Nagabumi Eps 151: Sebuah Kedai di Tepi Jurang

Eps 151: Sebuah Kedai di Tepi Jurang

KETIKA aku memasuki kedai itu, kulihat bahwa rombongan orang-orang bercaping yang membawa keledai-keledai beban tersebut terdiri dari delapan orang. Mereka se-mua sedang tertawa-tawa sambil m inum arak, agaknya setelah makan dengan kenyang dan nikmat dalam uda-ra dingin dan berkabut seperti ini.

Kedai berada di tepi jurang, tetapi lapangan di depannya menghijau karena rerumputan basah berembun. Layaklah menjadi tempat persinggahan, takhanya untuk manusia, tetapi juga untuk kuda atau keledai yang melakukan perjalanan ber- samanya. Di tepi jurang, artinya ke-dai itu berada di tepi sebuah pemandangan, karena kali ini di depannya tak terdapat dinding curam menjulang, melainkan lembah tempat se-buah sungai tampak mengalir berkelak-kelok nun di bawah sana dengan perahu-perahu yang menga-rungi-nya. Memang tampak seperti perjalanan ini akan berakhir, tetapi aku tidak mau terkecoh, karena sebelum tiba di Celah Dinding Berlian se-ba-ik-nya aku menganggap perja-lanan justru sama sekali belum dimulai.

Kusadari betapa jalan setapak dari kedai ini justru tidak menuju sungai yang tampak di bawah itu, melainkan menghilang ke sebuah celah di antara dinding-dinding cu-ram tinggi menjulang, sehingga keberadaan pemandangan di tepi jurang itu menjadi sesuatu yang penting. Demikianlah orang-orang yang kini telah membuka capingnya itu duduk m inum arak sambil menghadap jendela terbuka memperlihatkan lembah dan sungai berkelak-kelok mengalir dengan perahu-pe-rahu yang mengarunginya. Itu se- buah sungai yang besar dan perahu-perahu tak hanya berlayar menga-runginya melainkan juga menyeberanginya dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Namun dari puncak ini tentu saja sungai besar itu tampak kecil meski tetap terlihat titik-titik kecil manusia berjalan di tepiannya atau berdiri di atas rakit atau perahu.

Sungai yang berkelak-kelok pada lembah yang bertebing landai itu berkilauan memantulkan cahaya matahari, tetapi kedai ini berada di puncak berkabut dan hanya ketika kabut berpendar cukup lama pada saat-saat tertentu maka pemandangan membentang di depan jendela terbuka dan orang-orang itu duduk memandang keluar sambil minum arak dan bercakap-cakap sambil tertawa-tawa.

Aku duduk di bangku yang lain karena mereka semua menguasai tempat di depan jendela. Bapak kedainya seorang tua yang tampak kukuh tubuhnya, seperti biasanya penduduk yang hidup di wilayah pegunungan, apalagi pegunungan hanya dengan jalan setapak berdinding curam dan puncak- puncak batunya tinggi menjulang yang dari celah ke celah penuh dengan penyamun.

Bapak kedai itu mengawas iku semenjak aku masuk dan aku pun menatapnya pula. Segera kuketahui bahwa bapak kedai itu termasuk ke dalam orang-orang yang menyoren pedang, orang-orang rimba hijau, orang-orang sungai telaga dunia persilatan. Hanyalah karena suatu alasan tentunya maka ia mengasingkan diri di sini, berlindung di balik kehidupan sebagai bapak kedai, yang hanya kadang-kadang saja bertemu manusia yang memberanikan diri mengarungi lautan kelabu gunung batu ini. Ia masih menatapku, terlihat senyum tipis di bibirnya. Ram- butnya yang seluruhnya sudah putih terikat dan tergelung rapi. Kain pengikatnya sutera biru yang membentuk ekor melambai, seperti juga ikatan pada rambut orang-orang yang sedang minum arak sambil tertawa-tawa itu.

Aku hanya membalas tatapannya selintas. Adakah ia sedang menilai segenap langkah dan gerakanku juga? Aku menundukkan kepala bagaikan orang awam yang rendah diri. Ia menyapaku dengan bahasa Negeri Atap Langit yang kukenal karena pernah kupelajari di Kuil Pengabdian Sejati.

''Silakan masuk Tuan, silakan duduk. Apakah yang bisa sahaya sediakan untuk Tuan setelah perjalanan panjang? Apakah dapat sahaya sediakan arak, daging kambing bakar, dan sup kacang polong dengan kuah kaldu ayam hutan?'' Apa yang ditawarkannya membuat aku lapar setelah selama ini hanya bisa makan seadanya. Namun aku juga ingin menguji kemampuan bahasa Negeri Atap Langit yang pernah kupelajari. Jika aku tidak mulai menggunakannya, aku hanya akan menjadi orang bisu di negeri orang yang selalu kudengar berbicara seperti burung. Maka aku pun mengangguk atas usulnya itu sambil menanyakan sesuatu pula.

''Pak, Bapak, masih berapa la-makah kiranya dapat sahaya capai Celah Dinding Berlian?''

'TIDAK lama lagi Tuan, jika tiada aral melintang, dalam dua hari dua malam Tuan juga sudah akan mencapainya,'' katanya, dan setelah melihat kudaku di luar ia pun melanjutkan, ''apakah itu kuda Tuan?''

''Ya, Bapak.''

''Kuda orang Uighur seperti itu sangat mengenal jalan yang pernah dilaluinya, dan jika tiada aral melintang Tuan bahkan bisa tiba lebih cepat.''

Kuperhatikan tekanan kata-katanya ketika berkata jika tiada aral melintang. ''Dan apakah kiranya aral melintang yang mungkin menghalangi itu Bapak?''

Bapak kedai itu tersenyum dan menjawab dengan dingin. ''Jika Tuan terbunuh oleh para penyamun, tentu Tuan

bahkan tidak akan pernah mencapainya, kecuali Tuan membunuh mereka lebih dulu, tetapi dengan begitu pun bukankah perjalanan kita sudah terganggu bukan?''

Aku menatapnya. Adakah sesuatu yang telah diketahuinya?

Ia beranjak ke ruang masaknya. Tentu di situ-situ juga. Ia meya-kinkan sebagai bapak kedai, seperti memang mencintai pekerjaan itu, meski aku masih juga bertanya-tanya. Apakah kiranya yang membuat seorang pendekar pengembara suatu hari merasa harus berhenti di tempat terpencil seperti ini, dan memutuskan untuk melanjutkan hidup dengan membuka kedai?

Wilayah ini bukanlah tempat yang menguntungkan jika berjualan makanan dan minuman menjadi tujuannya. Lagipula jika ia mengharapkan sekadar uang, maka uang bukanlah sesuatu yang kiranya akan dapat berguna di tempat seperti ini.

Orang-orang yang duduk menghadapi jendela terbuka di kedai bambu itu masih m inum arak sambil menikmati pemandangan dan tertawa-tawa. Kucoba ikuti perbincangan mereka, maka sedikit-sedikit dapat kuikuti bahwa mereka rupa-rupanya sedang membicarakan penyair Li Bai, yang perilakunya memang tidak seperti orang kebanyakan tersebut.

''Hahahahaha! Kalau maharaja memanggilnya, dan dia masih tergeletak karena mabuk, dia harus diguyur air supaya bangun! Hahahahahaha!''

''Begitu sadar langsung bisa menulis puisi! Hahahahahaha!'' ''Puisi buatan orang mabuk! Hahahahahaha!'' Seorang pendeta di Kuil Pengabdian Sejati menulis catatan yang pernah kubaca tentang Li Bai. Dia adalah penyair yang dikenal suka mabuk, selalu memegang secawan arak di kedai minuman, tetapi yang kadang-kadang setelah meninggalnya tiga puluh lima tahun lalu, perilakunya itu dilebih-lebihkan dalam berbagai percakapan dari mulut ke mulut dari kedai ke kedai. Tentang kematiannya itu sendiri m isalnya, seperti dipercakapkan orang-orang ini.

''Dia minum terlalu banyak dan berdiri di tepi kolam!'' ''Karena mabuk dia pikir rembulan mengambang di kolam!'' ''Padahal itu hanya bayangan rembulan!''

''Ia terjun ke kolam, berusaha memeluknya!''

''Ia tenggelam! Hahahahaha!'' ''Dasar pemabuk! Hahahahaha!''

Dalam beberapa perilaku Li Bai, seperti yang dibicarakan

orang dari kedai ke kedai, memang seperti ditunjukkan puisi- puisinya, yang sejauh kuingat tertulis seperti ini.

di antara bunga-bunga aku sendirian bersama guci anggurku minum sendirian; dan mengangkat cawan kuajak rembulan

minum bersamaku, bayangannya

dan bayanganku di dalam cawan anggur, hanya kami bertiga; lantas aku mengeluh

bagi rembulan yang takbisa minum dan bayanganku yang mengosong bersamaku yang takpernah ngomong; tanpa kawan lain, aku bisa

ditemani yang dua ini;

dalam saat-saat membahagiakan, aku pun mesti bahagia dengan segalanya di sekitarku; aku duduk dan menyanyi dan seperti rembulan menemaniku; tetapi jika aku menari, adalah bayanganku menari bersamaku; sementara belum mabuk, aku senang membuat bulan dan bayanganku menjadi kawan, tetapi lantas ketika aku terlalu mabuk, kami

semua berpisah; betapapun merekalah

kawan-kawan yang selalu bisa kuandalkan yang takkan marah

apapun yang terjadi; kuharap suatu hari kami bertiga akan berjumpa lagi

di kedalaman Bima Sakti

KADANG-KADANG delapan orang ini pun bernyanyi-nyanyi setengah mabuk, sambil mengutip puisi-puisi Li Bai yang seperti ini. Padahal sejauh dapat kutafsirkan, Li Bai bukanlah seorang pemabuk seperti orang-orang yang sudah putus asa karena tidak mampu mengatasi kenyataan, melainkan ia yang minum anggur untuk menikmati kehidupan. Itulah pendapatku tentang Li Bai, yang kematiannya sama sekali bukanlah karena mabuk dan tenggelam karena terjun ke kolam untuk memeluk rembulan, melainkan karena sakit pada 762, ketika us ianya 61 tahun, saat menjadi tamu Li Yang-bing, seorang hakim di wilayah itu. Ia meninggal tepat di Tsai Shih Chai setelah terbaring sakit enam hari di Tangdu.

''Aku ingin menjadi Li Bai!'' salah seorang berteriak sambil mengangkat gelasnya.

''Aku juga!''

''Aku juga!''

''Aku juga!'' Mereka mengangkat gelas dan minum sampai arak itu berleleran pada jenggot dan kumis mereka. Apakah mereka juga menulis puisi? Jika mereka bukan pegawai kerajaan, tentu sebabnya antara lain karena tidak bisa menulis, apalagi menulis puisi. Apakah mereka hanya suka dengan mabuknya? Bahwa kalau penyair boleh mabuk, maka mereka juga boleh mabuk? Ataukah jika seorang penyair bisa menulis karena mabuk, maka mereka merasa akan bisa menulis kalau sudah mabuk?

Li Bai dilahirkan di wilayah tengah benua di utara Negeri Atap Langit, puisi-puisinya ditulis dengan bahasa sehari-hari sehingga dimengerti dan disukai orang banyak, dan puisi- puisinya juga menunjukkan kecintaan kepada alam. Terhadap alam ia tidak tampak seperti ingin menguasainya, melainkan bahagia menjadi bagian daripadanya, seperti kanak-kanak abadi yang suka berbaring telanjang bulat di pegunungan dalam belaian angin. Ia mencintai dan menghargai sahabat- sahabatnya, ia sangat membenci ketidakadilan, dan mendapatkan kekuatan dari perbukitan dan sungai-sungainya.

Bahwa riwayat Li Bai sebagai pemabuk dilebih-lebihkan, kuketahui dari catatan seorang rahib di Kuil Pengabdian Sejati yang memeriksa juga bahwa sampai tiga puluh lima tahun lalu, anggur semasa hidupnya itu hanya anggur buatan rumah saja, sedangkan di selatan, juga hanyalah peragian beras seperti arak panas yang dim inum orang-orang itu sekarang. Meskipun bahan yang akan disebut air api sudah disuling sebelum masa Wangsa Tang, orang-orang hanya mabuk dalam lingkungan terbatas. Betapapun anggur yang mungkin ditenggak Li Bai tidaklah memiliki isi air api yang tinggi. Namun tentu wajar menghubungkan anggur dengan penyair semasa Li Bai, bahkan kukira juga sekarang ini, karena masa Wangsa Tang bukanlah sepenuhnya masa kejayaan filsafat Kong Fuzi, sehingga anggur dan perempuan, agaknya, terdengar lebih sering mendapatkan pemujaan. Makanan dan minuman yang kupesan datang. Apakah yang bisa lebih nikmat dalam udara dingin selain sup kacang polong dengan kuah kaldu ayam hutan yang panas? Daging kambing bakar itu pun masih berkepul ketika tiba di mejaku. Aku makan sangat lahap dengan mulut berbunyi. Sampai orang- orang itu menoleh kepadaku sebentar, tapi lantas segera tertawa-tawa lagi. Aku tidak peduli. Setelah semua makanan itu habis tandas, segera datang pula arak panasku. Hmm. Apakah arak seperti ini juga yang melahirkan puisi-puisi Li Ba i? Tidak. Aku tidak boleh percaya bahwa puisi-puisi dilahirkan oleh arak dan anggur. Seperti juga para pendekar yang minum arak sebelum bersilat tidak akan pernah menang dalam pertarungannya jika memang mabuk.

Bahkan Li Bai pun menulis puisi berjudul ''Tentang Minum Terlalu Banyak''.

kemarin aku terlalu banyak minum di Menara Timur, lantas

ketika pulang topiku kupasang terbalik-balik; yang

menolongku jalan ke rumah; yang membantuku turun dari menara, aku tak tahu

JADI, Li Bai memang suka minum, tetapi ia tidak menganjurkan siapa pun untuk minum terlalu banyak. Namun kurasa orang-orang yang sedang memperbincangkan Li Bai ini agak sedikit mabuk, meski kutipan mereka atas puisi-puisi Li Bai seperti tepat.

kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku. barangkali salju lembut telah melayang jatuh? kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit, kemudian tertunduk kembali, merenungi bumi Perbincangan mereka pun bagiku sebetulnya bukanlah sembarang perbincangan.

"Itulah akibatnya jika terlalu percaya kepada Kong Fuzi," kata yang satu, "orang-orang hanya peduli dengan urusan kekhalayakan, urusan antarmanusia, dan melupakan alam."

"Ya, kekuasaan mencari pembenaran, peraturan mencari pembenaran, dan juga perdagangan mencari pembenaran. Tidak ada satu pun yang berbi-cara tentang alam."

"Perebutan kekuasaan hanya mengundang kekacauan. Para pejabat dibunuh, cendekiawan dikucilkan, dan pemberontakan berkobar, hanya bisa dipadamkan oleh perang berkepan-jang- an."

"Lupakanlah dahulu Kong Fuze! Kita kembali kepada Dao!"

Tentu aku pun mempelajari, meski-pun Kong Fuze sangat dihormati dalam membangun peradaban, seperti adat yang menekankan bahwa cita-cita kekuasaan yang paling dasar adalah pemerintahan yang dilaksanakan melalui kekuatan Dao. Adapun Dao di sini maksudnya jalan menuju kebajikan dalam tiga pengertian, pertama sebagai tata cara alam atau tata cara semesta, yang menyatakan he atau keserasian; kedua sebagai tata cara kehidupan manusia sesuai dengan susunan alam; ketiga sebagai tata cara yang diikuti manusia karena keputusannya sendiri, sehingga meski berakar dalam diri, Dao harus tetap dicari dan dikejar.

Namun dalam adat yang menuruti ajaran Kong Fuze, puisi hanya mencatat dan memuji-muji kemakmuran dan kedamaian, serta anjuran untuk mengikuti jejak orang-orang bijak untuk mencapai keluhuran dan keabadian sebagai puncak c ita-cita manusia. Ini berbeda dengan penganut aliran Kaum Dao, yang lebih menekankan puisi sebagai pernyataan pribadi, de-ngan bahasa yang paling pribadi pula, sehingga memberi tempat yang lapang kepada nurani dan kepekaan. Maka dengan terganggunya cita-cita peradaban karena kekacauan yang silih berganti, para penyair mencari perlindungan dalam kedamaian alam dan kegemaran pada arak dan bunyi-bunyian. Pengungkapan perasaan yang luhur dan perenungan yang dalam tentang kehidupan dan alam adalah untuk mencapai keabadian. Maka begitulah keabadian memiliki pengertian sebagai pembebasan dan pemurnian diri dari pencemaran oleh peradaban, melalui peleburan ke dalam Dao.

Mereka masih mabuk sambil mengutip puisi-puisi Li Bai.

hidup kita di dunia ini hanya impian belaka untuk apa aku harus kerja keras?

biar saja aku mabok seharian

biar saja aku tergeletak dekat pintu pagar waktu sadar kukejapkan mata ke pepohonan:

seekor burung kesepian bernyanyi di sela bunga-bunga kutanyakan kepadanya ini musim apa:

jawabnya: "Angin musim semilah

yang membuat burung bernyanyi di pohon mangga." terharu mendengar nyanyinya aku pun menarik napas

panjang

lalu menuangkan anggur ke mulutku lagi

aku pun bernyanyi sepuas-puasnya sampai bulan bersinar terang

waktu laguku selesai, semua inderaku terasa kaku

BAGIKU yang paling menarik dari Li Bai sebagai penyair adalah keberadaannya sebagai seorang pengembara, yang telah menjelajahi Negeri Atap Langit. Ia yang dilahirkan di Sujab pada 701 di dekat Danau Balkash, di sebuah keluarga dengan darah pinggiran wilayah tengah benua, dibawa dari sana ke Sichuan waktu masih berusia lima tahun. Ia selalu merasa bahwa seluruh Negeri Atap Langit adalah rumahnya, yang tentu saja disebabkan oleh perjalanannya luas dan tidak kunjung berhenti. Ia bisa menulis tentang pasir Gurun Gobi maupun keelokan wilayah selatan Negeri Atap Langit. Ia tahu seperti apa rasanya tidur di padang pasir dengan angin menyakitkan di sekitarnya, dan karena itu dapat dihargainya bunga-bunga dan keindahan bagian selatan negeri.

Banyak orang mengagumi betapa begitu beragam gagasan dapat ditulisnya, termasuk entah gagasan apa yang setelah dibacakannya seusai makan malam bersama sahabat- sahabatnya, karena segera dibakar dan dihanyut-kannya ke sungai sampai hilang ditelan arus. Kemungkinan karena semasa hidupnya pun terdapat pokok perbincangan yang terlalu berbahaya untuk diucapkan, apalagi tertulis di atas kertas sebagai puisi. Maka puisi pun dibakar jika keselamatan jiwa seseorang menjadi taruhannya.

Ia bisa menulis puisi tentang rambutnya sendiri yang mulai memutih, kerinduannya akan lebih banyak anggur, seperti gagasan umum pada masanya, maupun yang tak terpikirkan seperti tentang pekerjaan tukang pencair logam, tentang seorang kawan Jepun, maupun seorang pejabat dari Jambhudvipa, yakni kepala pasukan di Huchow yang disebut Chia-yeh. Ia juga disebut menulis puisi tentang dunia lain yang nilai penghargaannya berbeda, seperti tentang penelitian dalam ilmu pengetahuan, keadaan kimiawi tubuh seusianya, maupun pemikiran betapa dirinya adalah bagian dari adat lama Tao Yuan-ming yang hidup empat abad sebelumnya.

Ketika Li Bai baru setahun dilahirkan, pemikiran Kaum Dao sedang menyalip pengaruh pemikiran Kong Fuze, sehingga menumbuhkan kesenian dan kesusastraan. Namun Li Bai mempelajari ajaran Buddha dengan sama mendalamnya dengan ajaran Kaum Dao, menghabiskan waktunya bertahun- tahun dalam kesunyian pegunungan untuk belajar dari guru ke guru. Tentu ia juga menulis banyak puisi yang dipersembahkan kepada kuil-kuil Buddha, tetapi yang kemungkinan besar telah hilang ketika kuil-kuil mendapat tekanan istana suatu ketika, dalam permainan kekuasaan yang semakin memudarkan kepercayaan banyak orang akan jaminan keamanannya. Perubahan besar dalam penulisan puisi Li Bai tercatat disebabkan antara lain oleh kematian sahabatnya, penyair dan cendekiawan Li Yung, yang difitnah dan dituduh berse-kongkol melakukan pengkhianatan serta dihukum oleh Perdana Menteri Li Lin-fu yang terkenal licik. Pejabat tinggi itu berkuasa penuh antara 745 sampai 752, dan perbuatannya itu hanyalah satu perkara dari banyak kepahitan yang melukai perasaan Li Bai yang peka. Maka dari kisah-kisah manusia, Li Bai mengalihkan pokok-pokok gagasan puisinya kepada keagungan alam yang memiliki daya tarik luar biasa baginya. Bukankah puisi-puisi seperti ''Nyanyian Air Biru'' ini menunjukkan kepekaannya terhadap alam itu?

bulan cemerlang membakar air kebiruan

di te laga selatan lelaki itu mengumpulkan bunga leli putih bunga-bunga teratai berbisik lirih:

si tukang perahu menghela napas panjang

BEGITU pula kukira dengan puisi Li Bai yang ini, yang juga sedang dikutip-kutip oleh mereka yang sedang minum arak sambil menghadapi pemandangan terbentang itu:

malam pun sampai: aku bermalam di kelenteng Puncak di s ini bisa kusentuh bintang-bintang dengan tanganku aku tak berani bicara keras dalam keheningan ini

takut mengusik ketenteraman penghuni Langit Maupun yang pernah kubaca terjemahannya ini: angin musim gugur betapa hening

bulan jelita

daunan yang tertiup mengonggok dan tersebar-sebar burung gagak yang istirah tersentak dari tidurnya

aku pun bermimpi tentangmu --kapan bisa kutemui kau kembali?

malam ini: ngilu hatiku Kemudian mereka berbicara tentang bagaimana Li Bai membawa urusan antarmanusia ke dalam puisinya. Benar juga, sebetulnya belum ada minuman di Negeri Atap Langit yang bisa membuat seseorang mabuk dalam pengertian hilang seluruh kesadarannya. Bukankah delapan orang pembawa keledai-keledai beban itu meski sambil tertawa-tawa masih juga dapat mengutip puisi Li Bai di luar kepala dengan tepatnya, sementara aku yang mulai merasakan kehangatan menjalar ke kepalaku, dengan pengetahuan bahasa-bahasa Negeri Atap Langit yang terbatas masih juga dapat mengikuti puisi yang mereka maksudkan itu?

bulan terang memuncak di bukit Sorga berlayar di samudera awan

angin melengking sejauh sepuluhribu li terdengar suara siul dari celah bukit Yu-men tentara kerajaan menuruni Jalan Tanggul Putih

bangsa Tartar menyusur sepanjang pantai Laut Biru perajurit-perajurit menoleh ke arah rumah mereka: belum pernah ada yang bisa pulang kembali

malam ini perempuan itu menanti di menara tinggi yang ada tinggal duka dan hisak berkepanjangan

Kehidupan Li Bai bertolak belakang dengan penyair lain yang juga sangat terkenal dari masanya sampai hari ini, yang juga adalah sahabatnya nan rendah hati, yakni Du Fu. Semasa muda mereka hidup bersama-sama di Chang'an dan jika puisi- puisi keduanya diperiksa, terbaca betapa mereka tak dapat saling me lupakan satu sama lain. Namun jika Du Fu hidup berpindah-pindah dalam kemiskinan bersama keluarganya, maka Li Bai menikah beberapa kali, punya anak-anak yang mesti dibiayainya, dan suatu kali melakukan perjalanan diiringi dua gadis penyanyi dan seorang bocah pelayan, sementara di setiap wilayah para pejabat menyambutnya. Pada masa Wangsa Tang ini ketika puisi sangat dihargai dan para penyair dihormati, Li Bai sebagai penyair cemerlang memang mendapatkan kemewahan seperti pangeran karena bakatnya.

Meski pernah sangat dicintai oleh seisi istana, Li Bai tidak pernah secara resmi menjadi bagian daripadanya, karena ia melihat bagaimana kehidupan di dalamnya adalah semu. Namun tetap saja Li Bai mencintai segala sesuatu yang baik dalam hidup, walaupun tidak se lalu dapat mencapainya. Ia menyukai orang-orang di sekitarnya sebagai bagian dari mereka, daripada hanya melihat mereka dari luar. Pada masanya Li Bai memiliki keanggunan, pemikiran yang tajam, serta kepribadian memikat, dan sebagai penyair ia memimpin dengan bahasa yang di Negeri Atap Langit susah ditampik. Puisi-puisinya bagaikan bebunyian dan termasuk di antara yang terbesar dalam riwayat pencapaian manusia. Di se luruh Negeri Atap Langit puisi-puisinya dicetak dengan cukilan kayu pada kertas-kertas menguning yang disimpan dengan sangar baik dari masa ke masa.

JADI aku pun tersenyum saja karena bapak kedai tentunya sudah mengerti.

''Sudah tiga puluh lima tahun,'' ujarnya, lagi, ''puisi-puisi Li Bai makin banyak dikutip orang, tetapi begitu pula Wang Wei dan Du Fu.''

Aku merasa beruntung bahwa se lama enam bulan berkubang di bilik pustaka Kuil Pengabdian Sejati, tak hanya filsafat Nagarjuna yang kupelajari me lainkan juga terbaca olehku catatan para rahib tentang para penyair Wangsa Tang yang mengagumkan. Tentu saja Wang Wei dan Du Fu sama besarnya dengan Li Bai, tetapi kehidupan mereka pribadi tidaklah penuh dongeng seperti Li Bai.

Wang Wei hidup dari 699 sampai 759. Ia seorang tabib, tetapi agaknya lebih banyak menulis puisi, sedangkan semasa hidupnya lebih dikenal sebagai pelukis. Maka puisi-puisinya dikenal mengandung lukisan, dan lukisan-lukisannya mengandung puisi. Pada usia dua puluh satu tahun ia sudah diangkat sebagai chin-shih, yakni seseorang yang sangat tinggi kadar kepandaiannya, sehingga dapat lulus ujian negara. Namun Wang Wei pernah ditawan pemberontak sampai bertahun-tahun lamanya, dan baru dilepaskan setelah pemberontak itu mati; tetapi kemudian Wang Wei dianggap sebagai pengkhianat karena selama dalam tawanan ia hidup tanpa kekurangan. Rupanya memang ia tidak begitu peduli siapa yang berkuasa.

Saudaranya yang menjadi rahib Buddha berhasil mengusahakan Wang Wei menduduki jabatan penting di istana, meski tidak berlangsung lama. Setelah istrinya meninggal, Wang Wei sering bersedih. Akhirnya ia mengundurkan diri dan pergi ke bukit, tinggal di sana sampai meninggal sebagai pendeta Buddha. Wang Wei terkenal sebagai penyair yang mampu menampilkan pemandangan dalam satu baris puisi saja. Bapak kedai di hadapanku mengutip salah satu puisi Wang Wei:

kerikil-kerikil putih berloncatan di arus sungai

satu-dua lembar daun memerah di musim gugur yang dingin

tak gugur hujan di jalan perbukitan namun bajuku basah di udara hijau segar

Aku terperangah. Belum lagi kumasuki Negeri Atap Langit, tetapi a lam maupun orang-orang yang kujumpai di perbatasan lautan kelabu gunung batu yang dalam dirinya sendiri sudah bagaikan puisi ini begitu penuh dengan pesona. Jika seorang pemilik kedai di pegunungan terpencil seperti ini, yang dari gerak-geriknya kuyakini mampu bersilat, pun begitu hafal dan menguasai perbincangan tentang puisi, tidakkah aku memiliki banyak alasan untuk menjadi rendah diri?

Namun untuk apa merasa rendah diri bukan? Setiap orang pasti akan mampu mengatasi kekurangannya jika mau belajar, sedangkan bagiku tiada yang lebih menarik dalam kehidupan ini selain belajar.

''Luar biasa sekali puisi seperti itu Bapak,'' kataku, ''bagaimana caranya kita dapat memiliki pula kepekaan semacam itu?''

Bapak kedai kemudian bahkan duduk di hadapanku. ''Segalanya adalah masalah sudut pandang, Tuan, dan juga

latihan,'' katanya, ''jika kita berada di tengah alam, tetapi tidak

berpikir tentang alam, maka alam itu tidak akan kelihatan. Namun seandainya kita berada dalam tahanan, tetapi berada dalam sudut pandang yang menempatkan diri sebagai bagian dari alam, maka sebaris lumut, sekuntum bunga rumput, seberkas cahaya matahari, maupun capung melayang lewat jendela pun dengan caranya sendiri akan menjelmakan pengalaman alam untuk kita, menjelmakan suatu kealaman...''

Sebetulnya bahasa Negeri Atap Langit yang kukuasai sungguh-sungguh amat terbatas, tetapi karena persoalan yang diungkapnya bagiku sangat penting, maka dengan segala kekurangan pemahaman aku merasa sedikit demi sedikit bisa mengerti juga. Bapak kedai itu mengutip sebuah puisi Wang Wei lagi:

kau yang baru tiba dari desa tua

katakan padaku apa yang terjadi di sana? tatkala kau tinggalkan, adakah bunga-bunga

sedang mengembang di bawah jendela putih itu, Saudara?

DAN satu lagi:

gerim is pagi kota Wei membasahi debu putih

warung-warung menghijau, pohon-pohon wu-tung berbunga

sebaiknya kau habiskan segelas anggur lagi

di s isi barat bukit Yuan Kuan tak ada teman akan kau temui Aku merasa tubuhku melayang, bu-kan karena arak beras sederhana ini, te-tapi karena merasa berada dalam sebuah dunia yang membahagiakan. Aku terpesona oleh kenyataan, bahwa segala se-suatu yang sederhana dan tampaknya tidak penting, ternyata bisa menjadi in-dah tanpa kita harus memoles atau meng-agung-agungkannya, melainkan cukup dengan menyadari keberadaannya.

Kesederhanaan menjadi cemerlang, tentu karena itu adalah puisi. Bahkan Du Fu dalam puisi yang ditujukan kepada Li Bai sampai menyebutkan istilah dewa puisi:

ketika angin dingin mengunjungimu dari sudut-sudut bumi apa kabar, sahabatku, apa yang kau impikan?

kapan angsa liar terbang membawa suratmu ke mari? sungai dan telaga musim panas menjadi dalam

dan membuatku terkenang padamu

dewa puisi membenci mereka yang beruntung hidupnya setan tertawa keras kalau ada lelaki yang berdiri di

sampingnya

dunia ini padang pasir!

kalau saja kita bisa melemparkan puisi ke Sungai Milo dan berbicara kepada sang jiwa agung

korban bagi kesetiaan dan puisi

Sejauh kuketahui dari riwayat hidup para penyair, mereka sedikit banyak adalah pengembara. Mengembara di tengah alam yang mampu mereka pandang sebagai sesuatu yang indah, apakah yang bisa lebih bermakna dari ini? Kalau seorang penyair bunuh diri, aku tidak yakin mereka mati karena menderita, melainkan karena menghendaki kebahagiaannya menjadi abadi.

Arakku sudah habis, aku menggeleng ketika bapak kedai menawarkan untuk tambah. Kubayar apa yang ku-makan dan kuminum, lantas beranjak. Namun pada saat yang sama pun ternyata delapan orang yang sejak tadi ber-bicara tentang puisi itu juga beranjak keluar, jadi aku duduk kembali menunggu mereka keluar semua.

Di luar, agaknya karena melihat kudaku mereka menjadi ribut sendiri. Perbincangan mereka berlangsung sangat cepat sehingga hanya terdengar olehku sebagai bahasa burung.

Apakah yang telah terjadi?

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar