Nagabumi Eps 121: Pembunuh Bayaran

Eps 121: Pembunuh Bayaran

DI bawah pohon nyiur yang melambai, aku masih tidur dengan wajah tertutup caping. Namun tidurnya mereka yang menyusuri jalan di rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan, bukanlah tidurnya orang awam yang mengalami tidur sebagai istirahat sejenak dari upacara kehidupan. Tidurnya mereka yang memilih jalan untuk menyoren pedang memang adalah tidur dalam pengertian tubuhnya beristirahat, tetapi justru dalam tidurnya itulah segenap inderanya bekerja penuh, sehingga dapat dikatakan dalam keadaan tidur pun kewaspadaan seorang pendekar tetap tinggi.

Dalam keadaan tidur dengan napas teratur, akan tetap terdengar olehnya langkah mengendap-endap siapa pun ia yang berkepentingan dengan dirinya, apakah itu sekadar untuk menyapa, apalagi jika bermaksud membunuhnya! Maka bukan hanya langkah mengendap-endap yang sebaiknya terdengar dengan jelas, tetapi tentunya juga desiran jarum- jarum halus yang beracun menembus udara harus mampu didengarnya dengan sangat amat jelas; karena jika tidak, bagaimanakah kiranya jalan persilatan yang ditempuhnya akan terlewati dengan selamat? Memang benar bahwa seorang pendekar itu harus siap untuk mati, tetapi bukan hanya kesiapan untuk mati terbunuh saja yang dituntut dari seorang pendekar, melainkan kematian dalam kesempurnaan dirinya sendiri.

Ini membuat tidur yang sempurna adalah tidur dalam tingkat kewaspadaan yang sangat tinggi. Itulah sebabnya telah kuketahui langkah-langkah orang ini, yang mendekati perlahan-lahan dengan agak memutar, karena mungkin dikiranya dengan itu diriku tidak akan mengetahui dirinya datang. Namun dapat kubaca dari langkahnya bahwa ia menganggap itu tidak banyak gunanya, sehingga akhirnya ia melangkah lurus, berhenti pada suatu jarak, dan menegurku. Siapakah dia dan apa yang harus kulakukan dengannya. Meskipun mataku masih tertutup kutahu ia menyoren pedang, bercaping, dan di balik pinggangnya terdapat pisau-pisau terbang. Jelas ia berasal dari dunia persilatan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan seperti hanya berarti pertarungan. Jadi aku pun harus benar-benar waspada!

IA berbahasa Jawa, dan dari logatnya kutahu diucapkan seseorang dari Jawadwipa. Bahwa ia berbahasa Jawa untuk membangunkan aku, maka itu berarti dirinya mengenali diriku, meskipun barangkali belum pernah berjumpa denganku. Seseorang tidak perlu mengenali dan menegurku dengan cara seperti ini, kecuali ia benar-benar bermaksud mencari dan menemukan aku.

Aku membuka caping. Langit biru. Seketika kutahu apa yang harus kulakukan setelah mendengar ombak berdebur di pantai.

Aku melesat dan berlari sepanjang pantai. Ia mengejarku dan memang kubiarkan ia menyusulku. Ia berlari di sampingku. Kulitnya sawo matang seperti kebanyakan orang Mataram, tetapi busananya seperti banyak orang di daerah ini. Pedangnya sudah tercabut dan seperti baling-baling berusaha membacok bahu kiriku. Kuajukan tangan kiriku untuk menangkis pedang itu.

Trangngng!

Terdengar suara seperti logam menimpa batu. Tentu dengan tenaga dalam bisa kujadikan tanganku sekeras batu. Ia tampak terkejut tetapi terus mencoba lagi dan aku terus memainkan tanganku seperti sebuah pedang. Aku terus berlari dan dengan begitu aku telah menyeretnya kepada sebuah pertarungan yang belum pernah dijalaninya. Aku sengaja lari dengan kecepatan yang cukup untuk membuatnya mengejarku, tetapi tidak akan cukup untuk mencegat dan menyerangku. Ia hanya bisa mengejar, mengejar, dan mengejar, dan hanya dapat berada di sampingku jika aku memberinya kesempatan untuk itu. Ilmu meringankan tubuhnya memang tinggi, karena tentunya kami tidak dapat dilihat dengan mata awam, tetapi itu belum cukup mengimbangi Jurus Naga Berlari di Atas Langit, karena dengan ilmu ini diriku bahkan bisa berlari di atas air dengan lebih cepat lagi.

Demikianlah sepanjang pantai itu kami melesat dengan dirinya selalu berada di sampingku dan tidak pernah bisa berhenti seperti jika dia berhasil mencegatku. Aku membuatnya berlari, berlari, dan terus menerus berlari, melesat di antara debur ombak, perahu-perahu nelayan, dan batang-batang pohon nyiur yang kadang-kadang begitu miring di atas pantai sehingga kami harus terbang melompatinya. Selama berlari kusempatkan diriku berpikir. Siapa pun yang berada di belakang penyoren pedang ini, dan bermaksud membunuhku, telah mengirim orang yang salah. Betapapun tinggi tingkat kepandaian orang ini, kuragukan tujuan pengirimnya untuk membunuhku. Siapa pun yang bermaksud membunuhku, betapapun sudah tahu tingkat ilmu silat seperti apa yang semestinya dikuasai seseorang agar mampu mengalahkan diriku. Jadi, jika seseorang dengan tingkat ilmu silat seperti ini tetap dikirimkan juga dari Jawadwipa, sampai mencari dan menemukanku di tempat sejauh ini, apakah maksudnya? Jika pembunuhanku tidaklah menjadi tujuan, aku haruslah memikirkan sesuatu yang lain.

Kubiarkan pedangnya sekali-sekali mengenai bahu dan tanganku yang berakibat pedangnya makin lama makin bergerigi seperti layaknya logam yang mengenai batu. Namun ia terus menerus merangsekku dan tidak sadar aku telah membawanya lari jauh sampai puluhan ribu langkah di sepanjang pantai yang landai. Tenaganya makin lama makin berkurang, tetapi tidak dirasakannya karena aku terus menyesuaikan kecepatanku dengan kecepatannya. Artinya ia selalu merasa sudah hampir mencapaiku, yang membuatnya terus berlari tanpa perhitungan lagi. Sampai lama kelamaan tenaganya habis juga, dan saat itulah kujepit pedangnya dengan dua jari, lantas setelah kupegang kulumpuhkan dirinya dengan tepisan punggung tangan kiri, yang membuatnya terjerembab di pasir basah pada punggungnya. Langsung kuinjak dadanya.

"Dikau menyebutku pengemis! Siapakah dirimu?"

Ia tidak menjawab. Apakah dirinya anggota jaringan rahasia? Aku meragukannya. Mereka yang bergabung dengan jaringan rahasia mempunyai kepatuhan teruji, bahwa jika mereka tertangkap dan terkalahkan maka bunuh diri menjadi kewajiban. Butiran-butiran racun terdapat dalam kantong mereka, yang harus segera mereka telan apabila tertangkap seperti sekarang.

Kuletakkan ujung pedang yang kupegang ke tempat jantungnya berada.

"Dikau datang dari Jawadwipa. Adakah dikau s iap mati jauh di negeri orang, tidak pernah melihat anak dan istri kembali?" Ia tersenyum. Baru kuingat bahwa bagi anggota jaringan rahasia, hidup sendiri dan tidak berkeluarga adalah yang terbaik. Selain demi terjaganya rahasia, juga karena dengan begitu tidak ada sandera yang dapat digunakan untuk memerasnya. Namun jika ia tidak dikirim untuk membunuh, apa yang akan dilakukannya? Ternyata ia lantas berbicara.

"Sahaya mendapat tugas untuk menjatuhkan embun," ujarnya, yang berarti ia ditugaskan untuk membunuh, "tetapi mereka tidak mengatakan Pendekar Tanpa Nama begitu tinggi ilmunya."

"Siapa yang menugaskan kamu?"

"Pendekar Tanpa Nama akan mengetahuinya, jika sahaya dapat memegang kembali pedang yang telah lepas dari tangan sahaya."

Aku masih menginjak dadanya. Segera kulepaskan. Semula aku muak kepadanya karena sempat memikirkan kemungkinannya sebagai pembunuh yang mengejar bayaran. Ternyata dia hanya orang suruhan. Sebaliknya, mengingat pengejarannya sampai sejauh ini, kukira ia melakukan tugasnya dengan baik sekali.

Ia bangkit dari kegeletakannya. Kukembalikan pedangnya.

Namun begitu menerima pedang itu, dengan kedua tangan memegang erat gagangnya ia tusuklah perutnya sendiri sampai tembus ke punggungnya.

Aku sangat terkejut dan menangkap tubuhnya yang jatuh ke depan.

Darah mengalir dari mulutnya, tetapi masih bisa kumengerti yang dikatakannya.

"Na-ga-hi-tam "

(Oo-dwkz-oO) AKU masih terus berjalan menyusuri pantai, dengan kenangan atas Jawadwipa yang meskipun belum setahun kutinggalkan, serasa begitu jauh dalam lorong waktuku penuh pertumpahan darah. Apakah keadaannya akan jadi lain jika kucari dan kutempur saja Naga Hitam waktu itu, dan tidak mengikuti kesenangan sendiri mengembara dibawa angin seperti ini.

Kucoba merenung, apakah aku takut kepada Naga Hitam? Dengan gelar naga yang telah dicapainya, ibarat kata ilmu seorang pendekar tidak bisa lagi diukur. Seorang pendekar dengan gelar naga sudah jelas tidak terkalahkan, apakah itu karena ia telah menantang semua pendekar dan selalu menang, apakah tiada seorang pun yang berani menantangnya, atau telah direbutnya gelar naga itu dari pendekar lain yang telah menyandang gelar naga. Jika yang terakhir ini memang telah dilakukannya, sungguh tak terbayangkan bagaimana seorang pendekar bergelar naga akan bisa dikalahkan, karena ia seolah-olah telah mengalahkan pendekar terbesar.

Namun benarkah begitu? Jika memang benar, apakah sudah tidak berlaku lagi pepatah di atas langit ada langit maupun gelombang yang di depan digantikan gelombang yang di belakang? Aku telah menenggelamkan diri dalam samadhi untuk memperdalam ilmu silatku selama sepuluh tahun di dalam gua, seperti aku begitu keluar akan langsung menantang Naga Hitam. Di dalam gua itulah kemampuan yang kumiliki menjadi berlipat ganda, karena pemecahan filsafat yang kuberlakukan kepada ilmu silat, yang telah mengembangkan pendekatanku terhadap ilmu silat itu, sehingga sulit diim bangi tanpa melakukan pendekatan yang sama. Dengan Ilmu Pedang Naga Kembar akan kuimbangi Ilmu Pedang Naga Hitam, dengan Jurus Penjerat Naga bahkan setiap naga berkemungkinan kukalahkan, tetapi dengan Jurus Bayangan Cermin, yang terus kugali dan kembangkan sebagai Ilmu Bayangan Cermin, maafkanlah jika kukatakan bahwa tiada terbayangkan ada lawan yang tidak bisa kukalahkan.

Tentu aku tidak sedang menyombongkan diri. Bukankah kepada diriku pun berlaku pepatah di atas langit ada langit maupun gelombang yang di depan digantikan gelombang yang di belakang? Aku mengungkapkan hal itu karena dengan begitu seharusnya aku memang mencari, menantang, dan menempur Naga Hitam, meskipun misa lnya ia menghindari diriku. Naga Hitam seharusnyalah kucari dan kutantang secara terbuka, bilamana perlu bahkan dengan cara mempermalukannya, agar ia segera keluar dari sarangnya dan bertandang, karena ia sudah terlibat begitu jauh dengan dunia kejahatan. Dalam dunia persilatan, para naga semestinya berada di atas semua golongan, tetapi Naga Hitam bagaikan telah bergabung dengan golongan hitam. Padahal kemampuanku sebetulnya mewajibkan aku membasmi gerombolannya.

Ternyata aku bukan saja tidak pernah menantangnya, melainkan pergi jauh, bagai ingin pergi ke luar dunia. Memang benar telah kutewaskan banyak murid Naga Hitam, bahkan berkat diriku pula berbagai kesatuan dalam jaringannya mengalami kehancuran, yang telah membuat Naga Hitam menganggapku seperti duri dalam daging, dan selalu mengirimkan para pembunuh bayaran untuk memburuku. Kurang alasan apa lagi bagiku untuk menantangnya bertarung dan menewaskannya? Memang benar pula bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya, tidak sama sekali menghindarinya, dan dalam kenyataannya begitu banyak urusan telah menyeretku tidak ke arah pertarungan itu, yang kemudian kuketahui telah menjadi perbincangan dari kedai ke kedai, meski Naga Hitam melalui utusan-utusannya tetap selalu memburuku, tetapi jika aku lebih memilih untuk menjadi pengembara, berjalan-jalan melihat dunia, tidakkah ini berarti aku ternyata lebih mementingkan diriku sendiri? MUNGKINKAH aku cukup bodoh untuk mengira diriku belum mampu mengalahkan Naga Hitam? Mungkinkah karena masih begitu muda maka diriku belum bisa mengukur dan membandingkan, betapa tidak ada sesuatu pun yang perlu kutakutkan dari Naga Hitam, bahkan dari pendekar mana pun yang tidak terkalahkan dan karenanya berhak atas gelar naga

? Mungkinkah aku terlalu menyadari, bahwa bukan ilmu silat yang jadi masalahku, melainkan kebijaksanaan dan kecendekiaan yang tidak kumiliku sebagai bagian dari wibawa naga ?

Sekarang, hari ini, di pantai ini, aku merasa malu kepada diriku sendiri. Merasa malu dan bersalah, karena telah mementingkan perasaanku sendiri, daripada kebutuhan orang banyak yang sudah sangat mendesak, yakni melepaskan diri dari gurita jaringan kejahatan Naga Hitam.

(Oo-dwkz-oO)

BEGITULAH aku terus berjalan, berjalan, dan berjalan jauh meninggalkan reruntuhan candi di Caoha, terus menerus menyusuri pantai sampai ke Teluk Tongking. Kucari jejak Naga Kecil dari kedai ke kedai, dari pasar ke pasar, sembari berpikir bahwa mungkin masih ada lagi pembunuh-pembunuh bayaran Naga Hitam yang dikirim mencariku. Semakin kusadari betapa Kedatuan Srivijaya sungguh berjaya di lautan. Kapal-kapal mereka sampai di Teluk Tongking ini bisa ditemukan di setiap pelabuhan. Kapal seperti yang pernah kutumpangi dulu, dengan nakhoda bernama Naga Laut yang telah kutinggalkan di bekas pelabuhan kerajaan Fu-nan di muara Sungai Mekong.

Begitulah aku menjadi seorang pemburu, dengan bayangan harus menyelamatkan Amrita, tetapi yang tahu juga sedang diburu, oleh pembunuh-pembunuh tangguh yang dikirim dari jauh, yang bersama dengan serbuan pasukan Wangsa Syailendra di sepanjang pantai Kerajaan Campa sebelumnya, membentuk jaringan perantauan Jawadwipa yang melayani kepentingan berbagai pihak dalam pertarungan kekuasaan di Suvarnadvipa. Naga Hitam telah memanfaatkan jaringan itu untuk melacak jejakku, padahal pertempuran dalam perburuan Amrita itu tentu menjadi dongeng yang bertebaran di segala penjuru.

Kuingat pertemuan terakhir dengan Naga Kecil pada malam berhujan itu. Saat halilintar berkeredap, garis-garis lengkung sisiknya menyala kebiruan, seperti cahaya tubuh ikan yang hidup di kedalaman. Kuingat Amrita berkisah tentang lidahnya yang bercabang, dan kemampuannya mengendalikan pikiran, baik pikiran manusia maupun ikan. Tentu dengan itu ia tidak perlu berbicara dengan lidahnya yang bercabang itu. Namun apakah orang-orang lantas dapat mengingat kehadirannya?

Di sebuah kedai pada sebuah pelabuhan kecil di muara Sungai Merah, aku bertanya dengan bahasa Malayu, yang dikenal di sepanjang pantai Teluk Tongking.

''Bapak, pernahkah melihat manusia bersisik yang diceritakan orang-orang itu?''

Tidak bisa lain, aku hanya dapat mengajukan pertanyaan pancingan. Aku tidak tahu jalan lain, dan sebuah pertanyaan kuharap menambah kemungkinan yang dapat kuperhitungkan.

''Maksud Anak dengan manusia bersisik adalah Naga Kecil? Tentu semua orang pernah mendengar cerita tentang murid Naga Bawah Tanah yang ajaib itu, tetapi bukannya itu hanya cerita? Kita tidak pernah tahu apa yang mungkin dan tidak mungkin, dari dunia yang disebut dunia persilatan itu. Heheheheheh. Namun istri sahaya menyukainya, untuk mengantarkan cucu-cucu kami tidur.''

''Bukankah Naga Kecil itu saudara seperguruan Amrita, putri Jayavarman II yang sedang menggalang kesatuan Angkor di selatan, dan Putri Amrita adalah nyata?''

Pemilik kedai itu manggut-manggut sambil mempersilakan orang-orang lain yang baru datang. ''Tidak ada yang lebih nyata dari Putri Amrita, putri raja yang naik kuda dengan busana tembus pandang, cerita tentang pengkhianatannya terbawa angin sampai kemari. Namun kisah di sekitarnya, tentang saudara seperguruannya yang bersisik kebiru-biruan itu kenapa harus dipercaya? Selalu ada cerita bagaikan dongeng di sekitar seorang tokoh, mulai dari kesaktiannya -puteri itu bisa membunuh tanpa bergerak katanya- sampai tokoh-tokoh di sekelilingnya, yang semuanya juga mirip dongeng. Coba, semua orang mengatakan Naga Bawah Tanah tidak pernah memperlihatkan diri bukan? Hahahaha! Itulah caranya menciptakan dongeng!''

Aku setuju, bagaimana caranya kita memercayai sesuatu yang tidak kita ketahui dengan pasti? Namun aku mengetahui banyak hal tentang Amrita dengan pasti, yang telah membuatku meninggalkan Khmer, menyusuri pantai sepanjang Kerajaan Campa, dan sampai di muara Sungai Merah ini.

''PARA pemberontak berkumpul di Hoa Lu, tidak aneh jika Putri Amrita yang dicari seluruh mata-mata ayahnya itu bergabung ke sana. Orang-orang Viet di sini sudah lama bermusuhan dengan orang Khmer, tetapi sekarang mereka lebih nekat lagi karena berpikir untuk melepaskan diri dari Negeri Atap Langit, sementara kebudayaannya dengan senang hati mereka tiru di sana-sini.''

Aku mendapat sebuah gambaran, tetapi gambaran yang sangat baur. T idak ada sesuatu yang sudah dapat dipastikan dari perbincangan ini, tetapi bagiku cukup bahwa di utara Campa, di Teluk Tongking ini, terdapat kegiatan yang berhubungan dengan pergolakan kekuasaan di se luruh wilayah. Kudengar orang-orang Viet ini memang sangat gemar berperang, meski mereka juga sangat menggunakan otaknya, dan tidak pernah menantang Negeri Atap Langit jika kedudukan kemaharajaan itu sedang sangat kuat. ''Anak merantau dari mana? Tampaknya anak warga Srivijaya...''

Aku terkesiap. Tidakkah Sriv ijaya dimusuhi di sini, karena kapal-kapalnya mengangkut pasukan Wangsa Syailendra dari Jawadwipa yang membantai di mana-mana?

Pemilik kedai itu seperti dapat membaca pikiranku. Ia tersenyum.

''Sriv ijaya adalah teman berdagang seluruh warga pesisir, apa pun kebangsaannya. Kami tidak menyalahkan Sriv ijaya yang barangkali memang menyewakan dan menakhodai kapal-kapal yang mengangkut orang-orang Jawa sampai kemari. Apalah yang bisa dilakukan orang kecil atas persengketaan di antara para raja? Lihatlah bagaimana orang Campa dan Khmer terpengaruh oleh kebudayaan Wangsa Syailendra dari Jawa itu. Tenang sajalah Anak, negeri kami bukan musuh negeri Anak!''

Aku memang sudah meninggalkan Khmer dan tidak berada di wilayah Campa lagi, bahkan orang-orang Viet tidak akan pernah sudi tunduk kepada Jayavarman II, jika kekuasaan Negeri Atap Langit pun diterimanya tidak dengan suka dan rela. Namun apakah yang bisa dipegang dari kata-kata seorang pemilik kedai, yang harus berusaha bersikap manis kepada semua orang agar jadi langganan?

Ketika pemilik kedai itu menyambut lagi orang-orang yang baru turun dari kapal. Aku mendapat kesempatan untuk sedikit merenung, berdasarkan segala macam keterangan yang kudapatkan sepanjang perjalanan, mengenai kedudukan berbagai kerajaan yang bertetangga dengan Campa ini.

Berbagai kerajaan di Tanah Khmer sebagian besar merupakan negeri yang mengandalkan hidupnya dari pertanian, sehingga tidak sepenuhnya terlibat dengan perdagangan antara Jambhudvipa dan Negeri Atap Langit, sementara itu juga tidak memiliki pelabuhan yang dapat mengancam perdagangan Sriv ijaya. Dengan kedudukan seperti ini, sulit dimengerti campur tangan perniagaan para datu Srivijaya di wilayah selatan Kambuja. Memang tampaknya terdapat kehendak Wangsa Syailendra untuk mengukuhkan kesinambungan darah mereka dengan Kerajaan Funan, meski ini juga sering dilihat sebagai hanya alasan agar dapat menjarah dan merampok harta raja-raja Khmer. Namun lebih masuk akal mempertimbangkan kenyataan, bahwa terdapat jaringan dagang lain di sepanjang pantai sebelah utara Kambuja, tempat orang-orang Viet bercokol, sebagai wilayah taklukan Negeri Atap Langit, yang mengancam kedudukan dan pengaruh orang-orang Malayu dalam perdagangan antara Negeri Atap Langit dan Jambhudvipa.

Keberadaan berbagai kerajaan Cam yang kecil di se latan dan tengah jalur pantai Campa menjadikan terdapatnya pusat kegiatan yang sangat menguntungkan dalam jaringan perdagangan dengan Negeri Atap Langit. Kelompok kerajaan- kerajaan Cam ini, sebagai lanjutan keberadaan Kerajaan Lin- yi, berbagi kerangka mandala yang sama, mengakui keunggulan kekuasaan dan perdagangan para pemimpinnya masing-masing di se luruh wilayah Campa bagian tengah. Jaringan dagang ini meliputi Campa bagian selatan, wilayah yang disebut orang-orang Negeri Atap Langit sebagai Chu-po, kepulauan di utara pulau yang terdapat Chu-po itu , Kambuja, dan Daerah Perlindungan An Nam yang dibawahkan oleh Negeri Atap Langit.

SEKITAR 40 tahun lalu, penaklukan kota-kota Luoyang dan Changan pada 755, disambung perang saudara melawan pemberontak An Lushan, penjarahan atas Kanton oleh para pedagang Persia pada 758, dan serangan orang-orang Tibet ke bagian tengah Negeri Atap Langit, yang baru berakhir tahun 777, telah melemahkan Negeri Atap Langit. Jalur perdagangan di laut wilayah selatan dari Negeri Atap Langit sekarang ini, sedang berusaha dipulihkan sebagian, sementara jaringan perdagangan ditata kembali. Perubahan penting yang terjadi, sebagai ganti jalan masuk ke pasar Negeri Atap Langit, banyak barang dagangan sekarang masuk ke Negeri Atap Langit melalui Delta Sungai Merah, yang masih termasuk ke dalam Daerah Perlindungan An Nam, artinya dalam wilayah Negeri Atap Langit. Perubahan ini mendorong penataan kembali pelabuhan-pelabuhan persinggahan Cam sepanjang pantai Campa, sehingga pelabuhan-pelabuhan di bagian selatan seperti Phan Rang dan Nha Trang lebih unggul atas pelabuhan-pelabuhan Cam bagian utara.

Kesejahteraan Cam tergantung dari perdagangan dengan Negeri Atap Langit. Mereka menjual dan mengirimkan ke luar negerinya barang-barang hasil hutan yang mewah, seperti kayu gaharu, cula badak, dan gading dari pelabuhan- pelabuhannya, dan sebagai penukaran menerima sutra maupun barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah besar dan sengaja dibuat untuk diperdagangkan, di bagian tengah Kambuja dan Campa. Maka pelabuhan-pelabuhan Cam bersaing langsung dengan Samudradvipa dan bagian utara Semenanjung Malayu dalam penyediaan hasil hutan ke pasar Negeri Atap Langit dan Kambuja. Karena tempat yang lebih dekat dengan pasar Negeri Atap Langit, maka kedudukan mereka lebih baik daripada orang-orang Malayu mendatangkan dan kemudian memperdagangkan hasil-hasil Negeri Atap Langit dengan hasil-hasil Kambuja maupun Campa. Ketika dalam beberapa puluh tahun terakhir, setidaknya paruh kedua abad VIII ini, mengakibatkan merosotnya pasar, dan membatasi masuknya barang Negeri Atap Langit maupun pertukaran untuknya, keadaan ini taktertahankan oleh orang-orang Ma layu dan segera dihakim i dengan serangan menghancurkan atas pantai Campa oleh suatu armada yang datang dari wilayah Srivijaya.

Pada 767, demikian orang-orang Viet bercerita, Tongking diserbu oleh kapal-kapal yang datang dari Cho-po, yang maksudnya taklain daripada Jawa. Mereka sebutkan juga betapa serangan ini berhasil dibalas oleh Penguasa Daerah Chang Po Y i, sehingga kapal-kapal dari Jawa ini terkalahkan, yang disebut dalam catatan Negeri Atap Langit tentang Daerah Perlindungan An Nam sebagai kemenangan kecil. Aku mempertimbangkan kemungkinan, bahwa asal dari kapal- kapal itu memang Jawadwipa, tetapi tampaknya takmungkin dapat dikirim oleh seorang penguasa merdeka seperti Devasimha atau penggantinya. Andaikanlah m isalnya mereka memiliki segenap sumberdaya untuk melancarkan serangan jarak jauh seperti itu, kepentingan dalam melibatkan serangan kekuatan bersenjata di tempat terpencil sangat terbatas, mengingat mereka juga punya musuh di depan gerbang mereka di bagian tengahg Jawadwipa. Kapal-kapal yang menyerang Tongking barangkali adalah gabungan kapal-kapal Srivijaya dan kapal-kapal dari pantai utara Jawadwipa.

Tujuh tahun kemudian, pada 774, sebuah prasasti dari Candi Po Nagar di Nha Trang muncul dan menyebutkan perihal serbuan pasukan asing ke pantai-pantai Campa. Kapal- kapal asing menyerang Aya T ran, bagian dari Nha Trang, dan para penyerbu ini menguasai kota, membakar dan merampok kuil-kuilnya. Namun akhirnya kota direbut kembali oleh raja Campa, Satyavarman, yang memaksa para penyerbu untuk mundur kembali. Pada 787, armada orang-orang Malayu lain menyerang kota Panra atau Phan Rang di sebelah se latan Aya Tran, yang juga dijarah dan dihancurkan. Sekali lagi para penyerbu dapat dipaksa meninggalkan negeri, tetapi kali ini membawa barang-barang rampasan bersama mereka.

Jika melihat cara penyerbuan-penyerbuan ini diceritakan kembali, dapatkah dipastikan dua serangan terakhir itu berasal Jawadwipa atau Samudradvipa, jika orang-orang Cam menggunakan nama yang sama untuk kedua pulau? Betapapun sangatlah meragukan bahwa dua serangan yang begitu besar dapat dilakukan tanpa dukungan persekutuan Srivijaya. Bagiku serangan-serangan ini menunjukkan bahwa orang-orang Cam dan Viet adalah lawan-lawan tangguh, sehingga kedatuan Srivijaya terpaksa menggunakan cara lain untuk menguasai perdagangan sepanjang pantai Kambuja, Campa, maupun Daerah Perlindungan An Nam.

SEORANG pedagang bernama Suleyman dari wilayah yang disebut Arab 4), yang kukenal di salah satu pelabuhan, pernah bercerita bahwa kapal-kapal Sriv ijaya yang menyerang kerajaan di bagian selatan Kambuja, dan tampaknya serangan ini berlangsung antara 782 dan 790 di bawah pemerintahan raja dari Wanga Syailendra yang bernama Sangramadhananjaya, penerus dari Dharmasetu. Semasa pemerintahannya, sepasukan kecil kesatuan Sriv ijaya berhasil menaklukkan kerajaan kecil pula yang disebut Indrapura di pedalaman Sungai Mekong.

Selama mendengarkan cerita di Daerah Perlindungan An Nam yang bahasa, peristilahan, dan penyebutan nama- namanya berbeda, aku harus cukup teliti untuk menandai, bahwa yang bagi orang Viet adalah Phan-Rang bagi orang Cam adalah Panduranga, yang bagi orang Viet adalah Nha- Trang bagi orang Cam adalah Kauthara, sehingga semakin ke utara aku harus mengingat-ingat sendiri bahwa Binh-dinh adalah Vijaya sedangkan Tra-kiew adalah Indrapura. Demikianlah perebutan pengaruh antara bahasa Sansekerta dari Jambhudvipa dan bahasa di bagian selatan Negeri Atap Langit yang memengaruhi bahasa di Daerah Perlindungan An Nam memperlihatkan perbedaan nama-nama untuk menyebut tempat yang sama. Bahasa mana yang akhirnya lebih banyak dipakai, ditentukan oleh s iapa yang berkuasa.

Aku masih belum tahu cara terbaik melacak jejak Naga Kecil. Apa jadinya kalau aku hanya tertipu, dan ia tidak membawa Amrita ke Sungai Merah seperti yang bersenjata cambuk di hulu Sungai Mekong waktu itu? Keluar dari kedai setelah membayar harga makanan. Aku tertegun melihat sejumlah pengemis berbaju tebal. Musim dingin telah tiba, tetapi pelabuhan kecil ini cukup ramai. Banyak orang bermaksud menuju Hoa-lu dan sete lah itu ke Thang-long. Untuk kali pertama banyak sekali orang-orang Negeri Atap Langit di sini. Jalan mereka cepat sekali dan mata mereka begitu sipitnya, sehingga seolah-olah tampak sebagai suatu garis sahaja. Jika tanpa sengaja bertemu pandang denganku, mereka segera memalingkan muka entah kenapa. Aku tidak melihatnya sebagai tindakan sombong atau mungkin jijik melihat caraku berpakaian yang seperti gelandangan, melainkan lebih seperti malu. Mengapa harus seperti malu?

Dalam dadaku bertiup kembali gairah menyerap segala sesuatu dalam pengembaraan. Kubayangkan seandainya diriku tidak memilih jalan di rimba hijau dan sungai telaga dunia persilatan, aku bisa lebih tenang berjalan-jalan tanpa diganggu oleh pertarungan. Itulah soalnya, bahkan dalam keadaan sama-sama menyamar sebagai orang awam, pendekar yang satu akan mengetahui keberadaan pendekar yang lain...

Maka kini kutahu kenapa aku tertegun di depan kedai. Tatapan mata para pengemis itu bukanlah tatapan sembarang pengemis!

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar