Nagabumi Eps 12: Wayang Topeng; Tarian Kematian

Eps 12:  Wayang Topeng; Tarian Kematian

MALAM telah turun. Bulan sabit di antara bintang. Aku berada di antara para penonton yang menyaksikan wayang topeng Pembantaian Seratus Pendekar. Setelah limapuluh tahun, peristiwa itu telah menjadi sebuah dongeng. Konon seorang kawi takdikenal telah menuliskan ceritanya dalam pupuh-pupuh di atas lontar. Aku tidak dapat membayangkan apakah yang tertulis pada lembaran?lembaran lontar yang langka itu, tetapi kini aku berada di depan pertunjukannya. Penonton menanti dengan tertib di sekitar tanah kosong di dalam puri. Rumah tabib hanya beberapa langkah dari situ. Seseorang muncul membawa gong kecil dan menabuhnya. Setelah penonton terdiam, ia pun berbicara.

"Para penonton yang terhormat, malam ini kami akan membawakan cerita Pembantaian Seratus Pendekar yang sampai hari ini tidak diketahui siapa penulisnya. Cerita ini mulai beredar secara lisan hanya beberapa hari setelah berlangsung peristiwa yang sebenarnya lima puluh tahun lalu, tetapi baru dituliskan dua puluh lima tahun sesudahnya, ketika Pendekar Tanpa Nama menghilang dari dunia ramai, dan penjaga perpustakaan menemukannya sebagai naskah tanpa kejelasan nama penulisnya. Terdapat dugaan, naskahnya ditulis oleh Pendekar Tanpa Nama itu sendiri yang selama duapuluhlima tahun sebelumnya melebur dalam penyamaran di dunia ramai untuk menghindari musuh-musuhnya, tetapi dugaan ini belum bisa dibuktikan. Kini Pendekar Tanpa Nama menjadi musuh negara, tersedia hadiah sepuluhribu keping emas bagi mereka yang berhasil membunuhnya. Cerita ini dipertunjukkan bagi khalayak, agar kita semua mengenal riwayat Pendekar Tanpa Nama."

Aku tertegun dengan keajaiban dunia. Apa saja yang telah terjadi selama aku tenggelam dari samadi ke samadi dua puluh lima tahun lamanya? Betapa mungkin aku yang selalu berusaha menghilang dan menyendiri, telah mengada dengan suatu cara tanpa aku sendiri berniat dan menghendakinya? Aku tidak habis pikir, betapa mumgkin terdapat banyak orang yang merasa tahu tentang diri dan kehidupanku yang selalu menghindar untuk dikenal ini? Begitu bodohkah aku sehingga begitu yakin merasa tiada seorang pun akan mengetahui siapa diriku? Ataukah begitu keterlaluan seseorang dan siapa pun mereka yang merasa begitu yakin mengetahui siapa diriku sehingga berani menuliskan dan mementaskannya sebagai pertunjukan keliling dari desa ke desa? Ataukah aku saja yang begitu naif, tidak mengakui hak seorang penulis untuk mengguratkan apa saja yang pernah dia dengar maupun apa saja yang dipikirkannya?

"Selamat menyaksikan!"

Di sekeliling tanah kosong itu telah menyala obor. Sekelompok penonton berdesak-desakan di bawah pohon, ada yang berdiri dan ada yang duduk. Paling depan anak?anak kecil duduk dengan usil, di belakangnya orang-orang dewasa berdiri dan ada juga yang memanggul anak33, muda-mudi saling menempel dan bercubit-cubitan. Lelaki dengan perempuan, lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Mereka berbagi berbagai macam minuman seperti tuak, arak, waragan, badyag, dan budur. Aku menghela napas. Apakah aku sudah keliru memilih jalan hidup di dunia persilatan? Namun benarkah aku sendiri yang telah memilih dengan sadar jalan hidupku, dan bukannya berbagai macam ketentuan telah membentuk dan menetapkan riwayat hidupku?

Kemudian manapal atau manrakat atau matapukan tampak dima inkan. Tiga araketan36 perempuan terkenal menari-nari dengan mengenakan topeng.

"Itulah Karigna, Dharini, dan Rumpug,"37 kudengar gunjingan penonton.

Mereka bergerak melonjak-lonjak diiringi tetabuhan yang dipukul dua pemain lain sembari berkeliling. "Jaway dan Baryyut!"

Rupa-rupanya rombongan teledek ini memang terkenal, tetapi kali ini mereka dise wa oleh negara untuk memainkan wayang topeng Pembantaian Seratus Pendekar. Mereka benar-benar pemain topeng, karena hanya dengan tiga orang, dapat memainkan kepribadian seratus orang melalui seratus topeng, tetapi yang sepanjang pertunjukan tidak memperlihatkan diriku. Karigna, Dharini, dan Rumpug secara berganti-ganti memainkan seratus ilmu silat dari seratus perguruan dengan indah. Namun setiap kali para pesilat yang mereka perankan itu berjatuhan bagai disambar dewa pencabut nyawa yang tidak kelihatan. Jaway dan Baryyut sembari memukul tabuhan juga bergantian menjadi juru cerita.

"Demikianlah Pendekar Tanpa Nama berkelebat begitu cepat sampai tiada dapat diikuti mata orang biasa! Seratus pendekar ditewaskannya seperti membalik telapak tangan! Lihatlah nyawa mereka terbang, terbang, terbang, dan menari-nari! Ooooo..!"

Lantas ketiga penari topeng itu menarikan apa yang disebut nyawa terbang. Topeng mereka kali ini hanya putih, tanpa mata tanpa mulut dan tanpa hidung, meski tentu ada lubang nafas pada topeng itu. Kedua pengiringnya menabuh sambil menari juga dengan gaya melayang-layang. Kukenal semua itu sebagai jenis Tarian Kematian. Mereka mengenakan kalung tengkorak kecil?kecil dan berkain sulaman perak dari pinggang ke bawah. Rambut mereka, yang perempuan lelaki terurai panjang, dan mereka jadikan rambutnya sebagai bagian dari tarian mereka.

Kedua penabuh terus berkisah.

"Maka Pendekar Tanpa Nama semakin merajalela mencabut nyawa dalam dunia persilatan. Pendekar Tanpa Nama yang tiada pernah ingin dikenal akan membunuh siapa pun yang mengenalinya. Dia membunuh secepat kilat selembut bayangan dengan Jurus Tanpa Bentuk yang tiada terkalahkan. Jurus Tanpa Bentuk, jurus yang tidak bisa diajarkan dan tidak bisa diturunkan, karena harus diciptakan dalam pemikiran, untuk mencapai kesempurnaan. Ooooo, dengan ilmu apakah dia bisa dikalahkan kiranya, jika Jurus Bayangan Cermin pun dim ilikinya? Jurus penyerap ilmu, jurus pengubah ilmu, yang akan kembali kepada lawan dengan membingungkan! Oooo!" Demikianlah para penari itu menarikan silat yang mencoba membayangkan Jurus Bayangan Cermin. Gerak indah penari pertama ditirukan gerak indah penari kedua untuk dikembangkan penari ketiga yang telah menjadi sangat berbeda-tarian berlapis yang susul menyusul itu sangat mengesankan, dan sebetulnya dapat kubaca sebagai jurus ilmu silat tersendiri yang hanya terdapat naskah-naskah tua dengan nama yang sama, yakni Tarian Kematian.

Mungkinkah ada seseorang yang pernah melihatku menggunakan Jurus Bayangan Cermin ketika menghadapi lawan yang memiliki Jurus Tarian Kematian? Karena dengan cara begitulah Jurus Bayangan Cermin akan dikira seperti Jurus Tarian Kematian. Barangkali kuhadapi lawan seperti itu dalam pertarungan terbuka yang disaksikan banyak orang, termasuk orang-orang awam, karena terbukti ada yang mengira Jurus Bayangan Cermin seperti Jurus Tarian Kematian dan kemudian menjiplaknya. Padahal Jurus Bayangan Cermin akan menyerap bentuk ilmu silat seperti apa pun yang dihadapinya, untuk dipertunjukkan kembali secara berbeda, sehingga akan sangat membingungkan lawan, yang merasa mengenal jurus -jurus tersebut tetapi tidak mampu mengatasinya.

Bagi mereka yang ilmu silatnya masih rendah, juga tidak akan mampu memahami hubungan antara Jurus Bayangan Cermin dan Jurus Tanpa Bentuk. Kukira ini menambah kekacauan dalam perbincangan orang-orang tanpa diriku, baik di dunia persilatan, apalagi di antara orang-orang awam.

Siapakah yang kuhadapi waktu itu? Kukira jauh sebelum peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar, ketika aku masih senang menghadapi lawan ditonton orang banyak, dan kukira pendekar golongan merdeka yang kuhadapi adalah seorang pria. Tentu saja tidak ada urusan apa pun di antara kami kecuali mengadu ilmu dan s iapa pun yang kalah harus berjiwa besar menerimanya. Seingatku ia menamakan diri Wrehatnala, mengambil nama samaran Arjuna dalam Mahabharata ketika menyamar sebagai wanita bertubuh pria di kerajaan Wirata.

Dalam kenyataannya Wrehatnala adalah lelaki terindah yang pernah kutemui, karena ia memang begitu cantik dan jelita. Ia berbusana seperti kaum wanita Jambudwipa, yakni berkain sari melibat seluruh tubuh kecuali perut dan kelihatan pusarnya yang berhiaskan anting-anting permata. Bahwa suaranya yang lembut merayu adalah suara seorang pria, tidak menutupi kenyataan betapa aku terpesona oleh kecantikannya. Namun aku tahu itulah kecantikan maut yang membunuh dan telah menjadi bagian dari andalan Jurus Tarian Kematian.

"Hari ini aku mendapat kehormatan bertarung dengan Pendekar Tanpa Nama," ujarnya.

"Wrehatnala yang besar namanya di Jambudwipa terlalu merendah, sahaya sungguh merasa kecil berhadapan dengannya."

"Dikau tiada terkalahkan, dan barangkali aku akan mati, tapi memperkenalkan Tarian Kematian kepada Pendekar Tanpa Nama adalah kesempatan langka."

Wrehatnala memang berasal dari Jambhudwipa, tetapi aku tak tahu apakah dari Goda, Kancipuri, atau Karnataka. Namun setidaknya karena kulitnya kuning langsat, bisa kupastikan dia bukan orang kling drawida yang juga berasal dari Jambhudwipa, tetapi hitam legam kulitnya.

"Wrehatnala yang ternama tidak usah sungkan, silakan mempertunjukkan Tarian Kematian."

Kemudian orang-orang yang menonton tidak akan melihat lagi Wrehatnala kecuali bayangan merah muda dari sari-nya yang berkelebat terlalu cepat bagi mata orang biasa. Aku sangat menikmati pertarungan dengan Wrehatnala, karena aku mampu bergerak lebih cepat, dan karena itu dapat menikmatinya sebagai gerak tarian yang sangat diperlambat, tanpa kehilangan pesona mautnya yang sangat berbahaya.

Giring-giring di kakinya berbunyi dan biasanya tentu mengalihkan perhatian. Jadi hanya itulah yang tercerap pancaindera mereka yang bermaksud menonton-bayangan merah muda berkelebatan diiring bunyi giring-giring. Karena itu tentu bukanlah sembarang penonton yang akan mampu melihatku ketika menyerap Jurus Tarian Kematian dengan Jurus Bayangan Cermin, meski masih keliru mengira Jurus Tarian Kematian yang berhasil kuserap itulah sebagai Jurus Bayangan Cermin itu sendiri.

Aku bergerak di antara kelebat ujung kain sari Wrehatnala yang menyabet seperti se lendang tetapi mempunyai ketajaman pedang mustika. Pernah kusaksikan korban-korban sabetan selendang itu terkoyak tubuhnya dengan luka merekah yang sangat mengerikan. Memang benar betapa keindahan geraknya merupakan tarian kematian. Wrehatnala dengan segenap kelembutan tutur katanya sempat merajalela di Yawabumi, meninggalkan mayat berkaparan di berbagai pelosok negeri, dan tiada seorang pun punya nyali menghadapi, sampai akhirnya dia menantangku pula. Aku tidak usah merasa terlalu bersa lah untuk menamatkan riwayatnya.

Di antara kelebat bayangan merah muda dan suara giring- giring terdengar suara seperti orang tersedak. Sebelum banyak orang menyadari apa yang terjadi, aku sudah lenyap dari pandangan mereka, meninggalkan Wrehatnala yang sudah tengkurap tanpa nyawa. Dari mulutnya mengalir darah membasahi tanah.

Kini kusaksikan Tarian Kematian diperagakan sebagai Jurus Bayangan Cermin. Seseorang telah menonton lebih cermat dengan kesalahan duga, tetapi kecermatannya tetaplah harus kupujikan juga. Mereka tidak mengenakan sari, bahkan dadanya terbuka, tetapi dari bagian pinggang dari kain bersulam perak yang dikenakannya terdapat kain selendang yang dimainkannya seperti ketika aku melawan Wrehatnala. Sebagai tarian, pesonanya tidak dimanfaatkan untuk mencari kelengahan seperti dalam pertarungan silat. Kulihat semua orang ternganga. Aku begitu juga. Topeng mereka yang putih dan dingin memberiku perasaan aneh. Para penabuh bercerita lagi s ilih berganti.

"Dari lawan satu ke lawan lainnya, tiada satu pun yang dapat mengatasi Jurus Tanpa Bentuk. Pendekar Tanpa Nama tiada terlawan, Pendekar Tanpa Nama menjadi ukuran, siapa ingin mencapai kesempurnaan harus mengalahkan Pendekar Tanpa Nama, dan siapapun yang menantang Pendekar Tanpa Nama selalu mencapai kesempurnaan hidupnya dalam kematian."

"Namun setelah Pembantaian Seratus Pendekar dia menghilang, me lebur duapuluhlima tahun dalam dunia awam "

"Menjadi mapadahi menjadi widu mangidung "

"Menjadi pamanikan menjadi limus galuh "

"Menjadi payungan menjadi tuhan judi "

"Menjadi tuhan jalir menjadi padam apuy "

"Menjadi walyan menjadi wli hapu "

"Menjadi wli hareng menjadi tuha dagang. "

"Dan banyak lagi! O!" "Dan banyak lagi! O!"

"Setelah dua puluh lima tahun menyamar dalam kehidupan awam, dan selalu kepergok karena se lalu punya urusan, ia menghilang dari peradaban, O!"

"Apakah yang dilakukannya?! O!" "Apakah yang dilakukannya?! O!" "Dia merongrong kewibawaan negara! O!" "Dia merongrong kewibawaan negara! O!" "Jadi..."

"Jadi..."

"Siapa pun melihat dia..." "Tangkaplah dia!" "Bunuhlah dia!"

"Menjadi payungan menjadi tuhan judi..." "Menjadi tuhan jalir menjadi padam apuy..." "Menjadi walyan menjadi wli hapu..." "Menjadi wli hareng menjadi tuha dagang..., "Dan banyak lag! 0!"

"Dan banyak lagi! 0!"

"Setelah duapuluhlima tahun menyamar dalam kehidupan awam, dan selalu kepergok karma selalu punya urusan, ia menghilang dari peradaban, 0!"

"Apakah yang dilakukannya?! 0!" "Apakah yang dilakukannya?! 0!"

"Dia merongrong kewibawaan negara? 0!"

"Dia merongrong kewibawaan negara! 0!" "Jadi...

"Jadi..."

"Siapa pun melihat dia..." "Tangkaplah dia!" "Bunuhlah dia!" Padahi atau gendang dipukul bertalu-talu, wangsi ditiup meliuk-liuk. Para penari berganti topeng, tiga topeng yang ketiganya serba jahat, dima inkan dengan gerak yang menunjukkan jiwa jahat. Sambil menggeram-geram pula.

Grrhh! Grrrhhh! Grrrrhhhh!

Kucoba mendengarkan percakapan orang di sekelilingku. Apakah yang mereka pahami dari pertunjukan ini? Sangat berbeda pendapat antara orang tua yang hidupnya semasa denganku, dan orang muda yang hanya mendengar cerita yang sudah terlalu jauh dari peristiwanya.

"Kalau Pendekar Tanpa Nama dikatakan merongrong kewibawaan negara, barangkali memang ada masalah dengan yang disebut negara itu," kata seorang tua, "aku termasuk salah seorang ulun yang dibebaskannya, ketika kami dipaksa membangun Kamulan Bhumisambhara."

"Apa yang dilakukannya?"

"la mempertanyakan kesahihan sebuah candi pemujaan leluhur yang tidak dibuat dengan sukarela."

"Siapa yang tidak membuatnya dengan sukarela?"

"Menurut Pendekar Tanpa Nama, kesucian sebuah candi ternoda jika dalam pembuatannya banyak masalah yang bertentangan dengan agama."

"Perbudakan maksudnya?"

"Bukan hanya perbudakan, ia terutama menunjuk pembebasan tanah secara paksa."

Hmm. Benarkah aku pernah berperilaku seperti itu? Umurku bukan saja sudah 100 tahun, tetapi aku juga telah meminum seteguk ramuan penghapus ingatan.

Apakah yang bisa kuingat dari pernyataan itu? Memang Aku mengetahui kewajiban rakyat untuk membayar pajak yang disebut drawya haji atau juga melakukan kerja bakti bagi kerajaan yang disebut bwat haji.

Misalnya saja bahwa set iap desa mempunyai kewajiban menunjuk beberapa orang tiap tahun untuk bekerja bakti bagi raja. Namun ada saja pajak yang dibebankan terlalu tinggi, sehingga rakyat mempertanyakan, atau bahkan menolak dikenai pajak.

Memang, penduduk yang diwakili oleh pejabat desanya akan mengajukan kepada raja, melalui pemerintah daerahnya, agar ketetapan itu diubah. Biasanya permohonan itu dikabulkan.

Namun bisa terjadi juga tidak. Sebaliknya, sangat mungkin ada satu dua orang yang sama sekali tidak dapat menerima kebijakan pemerintah daerahnya, yang tanpa pernah tercatat dalam prasasti manapun ternyata melakukan penindasan.

Apakah aku juga terlibat dalam pembelaan atas pemberontakan para ulun atau budak dan gugatan perkara pembebasan tanah untuk candi, termasuk yang berlangsung di Desa Budur? Jika aku melakukannya, itu berarti aku telah dianggap menantang Wangsa Syailendra. Entah karena sudah berumur 100 tahun, entah karena ramuan penghapus ingatan, aku tidak dapat langsung mengingatnya kembali-tetapi aku harus mendapatkan seluruh ingatanku kembali. Harus!

Untunglah masih kuingat urutan kejadian yang baru saja kualami. Aku masuk ke rumah seorang rogajna atau rogasantaka muda untuk menyembuhkan luka cambukan. Rogasantaka muda itu mengaku ingin mencuri pundi-pundi uang dariku, atas paksaan orang berserban yang membuntuti aku, yang ternyata memperlihatkan dirinya sebagai seorang perempuan. Aku memergoki betapa perempuan itu telah membunuh rogasantaka muda itu, setelah menyatakan bahwa ramuan penghapus ingatan diberikan kepadaku atas suatu perintah. Istri rogasantaka muda itu juga mengaku, mereka sekeluarga telah menjebakku karena diperintah. Janda yang malang itu hampir saja menyusul suami?nya, jika usaha pembunuhan dirinya oleh perempuan yang membuntuti aku tidak kucegah. Sayang sekali, aku hanya bisa mencegah pembunuhan untuk menutup mulut itu dengan pembunuhan pula. Kulihat tangannya mengirim?kan totokan jalan darah mematikan dari jarak jauh, aku mengembalikan totokan maut itu ke pemiliknya dari jarak jauh pula. Senjata makan tuan. Namun rencanaku untuk menjebak orang yang membuntuti aku, yang kukira sebagai anggota kadatuan gudha pariraksa itu, tentu menjadi gagal. Semula aku ingin mengaku kepadanya, bahwa sebetulnya aku adalah utusan Pendekar

Tanpa nama yang masih hidup dan meminta penjelasan atas pencemaran nama baiknya.

"Pendekar Tanpa Nama yang ternama, kini menjadi buronan! O!"

Aku tergeragap. Tontonan masih berlangsung. Tabeh- tabehan berbunyi dengan riuh dan bertalu-talu.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar