Nagabumi Eps 115: Nagarjuna di Dalam Air

Eps 115: Nagarjuna di Dalam Air

"SETELAH dikau lepaskan totokan jalan darahku, tubuhku segera menjadi segar kembali dan dengan segera pula daku kenali tempat ini. Sejak dikau memasuki ce lah sempit sembari membopong diriku itu, dalam pandanganku yang tergolek dan jalan darahnya tertotok sebagian, samar-samar kukenali kembali wilayah itu, yakni danau tersembunyi yang menjadi tabir penghalang bagi pertapaan Naga Bawah Tanah yang memang tidak pernah menampakkan diri.

"Sambil mengatur pernapasan kuketahui dirimu menghilang, tentunya masuk ke dalam kolam, karena seperti dikau aku pun lapar dan karena itu tidaklah keliru jika dikau memilih untuk menyelam berburu ikan daripada memancing atau menjala seperti nelayan. Daku membayangkan dan daku tahu karena pernah lama tinggal di sini, betapa dalam remang senja itu dikau harus membiasakan diri dengan lingkungan selama berenang-renang dalam penjelajahan danau, dan terutama dikau tentu tidak akan menduga bahwa di dasar danau itu terdapat gua yang merupakan pintu lorong menuju gua ini, tempat pertapaan Naga Bawah Tanah yang mahasakti.

"Daku tidak berpikir dikau akan memasukinya, meskipun jika kebetulan melihatnya, selain karena tidak memunyai alasan untuk sekadar menduga, juga keadaan kita yang lapar tentu akan membuat dikau mengutamakan ikan daripada bertualang ke mana-mana. Kita telah mengalami peristiwa yang sangat menegangkan dan tentunya dirimu juga sekadar ingin mengendapkan apakah kiranya yang akan kita lakukan. Maka daku pun beranjak untuk duduk bersila, bersikap samadhi, mengolah pernapasan, dan mengembalikan tenaga. Saat itu aku lupa dengan keberadaan Naga Kecil, saudara seperguruan yang pernah menjadi kekasihku, tetapi yang telah kutinggalkan karena perbedaan tujuan setelah menyelesaikan pelajaran.

"Seperti guru kami, Naga Kecil juga mewarisi kemampuan membaca dan memindahkan daya pikiran kepada makhluk- makhluk di atas maupun di bawah permukaan kolam. Jadi itu bukan seperti memerintahkan dengan pengertian, melainkan pengaruh daya-daya yang merambati air maupun udara, agar seperti ikan itu misa lnya bergerak seperti dikehendakinya. Daya-daya itu adalah suara tak terdengar seperti yang telah membuat kelelawar maupun lumba-lumba dapat saling berhubungan, tetapi dengan jarak yang nyaris tak terkirakan jauhnya. Dengan ilmu yang sama pula telah dibacanya udara yang tersibak set iap gerak, sehingga tiada sesuatu pun dari segenap tindakanku yang tidak diketahuinya, kecuali pikiranku. Dengan membaca segala tindakan ragaku itulah Naga Kecil dapat memperkirakan apa yang daku pikirkan. Karena tidak mampu menutupinya, maka daku biarkan saja bekas kekasihku itu mengetahui segala tindakanku, termasuk ketika mengetahui pertarunganku dengan dikau, dan segala sesuatu yang kemudian terjadi selanjutnya.

"Meskipun telah daku nyatakan kepadanya bahwa diriku tidak terikat lagi kepadanya sebagai seorang kekasih, tetapi kepeduliannya kepadaku tetap, bahkan terlalu sering diiringi rasa cemburu. T iada yang lebih berbahaya di dunia ini selain rasa cemburu yang berkobar dalam kebutaan cinta bukan? Telah kuusahakan segala cara untuk memberinya pengertian, bahwa meskipun kami telah terpisah jauh tetapi diriku tidak akan pernah melupakannya, dan bahwa dalam kenyataannya aku tidak pernah mempunyai seorang kekasih lagi selain dirinya.

SELAIN memang tidak mau, memang perhatianku sudah tersita oleh dua hal: Pertama, mencari kesempurnaan melalui jalan pedang di sungai telaga dunia persilatan; kedua, mengerahkan segala daya untuk membalaskan dendam penderitaan ibuku, yang sebagai bangsawan Kerajaan Tchen- la terpaksa melahirkan diriku dalam kekuasaan Kerajaan Angkor.

"Namun kecemburuan Naga Kecil telah memberi pengaruh daya nalarnya. Terhadap musuh-musuhku ia melakukan pembunuhan jarak jauh yang sebetulnya tidak perlu, hanya karena aku seolah-olah telah menjadi kekas ih mereka, padahal sama sekali tidak, se lain demi kepentingan membuka rahasia yang sangat kuperlukan untuk tujuan pembalasan dendamku. Kuakui memang ada pembunuhan gelap yang kulakukan dengan meminjam tangan kelompok Naga Hitam dari Jawadwipa, dan karena itu terjam in tiada jejak yang ditinggalkannya; tetapi pembunuhan yang dilakukan Naga Kecil selalu dilakukan terhadap orang-orang yang sedang kudekati begitu rupa, seolah-olah daku menjadi kekas ihnya, sehingga setiap kali kecurigaan terarah kepadaku jua. ''Naga Kecil memang sakti, kuduga dalam pertempuran tadi berlangsung campur tangannya pula, karena meski dendamku atas penderitaan ibuku begitu membara bukanlah maksudku membantai banyak orang sampai bertumpuk-tumpuk begitu. Murid Naga Bawah Tanah hanya dua, maka tidak anehlah kiranya jika Naga Kecil menaruh hati kepadaku pula dalam gua yang terasing dan sunyi seperti ini. Berbeda dengan Naga Kecil, yang sebetulnya tidak pernah berniat belajar ilmu silat, melainkan diangkat Naga Bawah Tanah sebagai muridnya sejak bayi setelah membebaskannya dari perut seekor ular sanca; maka aku sengaja datang kepadanya demi penyempurnaan ilmu silat dan pelaksanaan dendam yang membara.

''Daku akui, meskipun bersisik, Naga Kecil bukan tidak menarik sebagai seorang kekas ih, tetapi cinta bukanlah tujuan hidupku. Jadi kulayani Naga Kecil dengan catatan dalam hati, bahwa daku akan pergi meninggalkannya jika pelajaran yang kutempuh sudah selesai. Setelah pelajaranku se lesai, kami berpisah tanpa janji ap apun, bahkan kutegaskan bahwa aku memang tidak akan memberikan diriku untuk cinta sebelum cita-citaku tercapai, dan karena itu tiadalah perlu Naga Kecil itu mengharap diriku akan kembali kepadanya.

''Tentu tidak ada yang bisa dilakukannya atas keputusanku itu. Lagi pula Naga Bawah Tanah telah memberi tugas untuk menjaga pertapaan, ilmu silatnya lebih dapat diandalkan di dalam air daripada di atas tanah, meski tentu saja tidak mudah mengalahkan Naga Kecil di mana pun. Ia mendapatkan namanya, karena Naga Bawah Tanah setiap kali ditantang oleh seorang pendekar yang menghendaki gelar naga, selalu mengirimkan Naga Kecil sebagai gantinya. Di Tanah Khmer belum pernah ada seorang pun mampu mengalahkan Naga Kecil, sedangkan siapa pun yang menantang Naga Bawah Tanah, tidak akan melakukannya tanpa ilmu silat yang tinggi. Namun karena betapapun ia bukan Naga Bawah Tanah, ia pun disebut Naga Kecil. Agaknya Naga Bawah Tanah juga merestui julukan itu, bahkan ikut menyebutnya Naga Kecil.

''Nama sesungguhnya daku tak tahu, tak jelas siapa dia ketika Naga Bawah Tanah mengetahui isi perut ular sanca yang ditemuinya. Ia mendengar bunyi detak jantung. Maka dari jarak jauh dibedahnya perut ular itu, dan bayi yang agaknya baru saja ditelan itu menggelinding keluar kembali. Bayi itu ternyata lidahnya bercabang, sehingga ia tak bisa mengucapkan bahasa manusia. Ia hanya bisa mendesis seperti ular, kulitnya pun bersisik, dan Naga Bawah Tanah berhubungan dengannya hanya secara batin. Naga Bawah Tanah memang sangat menyayanginya, dan menumpahkan segenap ilmu kepadanya. Jika bukan daku yang melawannya, sulit mengalahkan Naga Kecil, karena kami berdua murid Naga Bawah Tanah maka saling tahu titik kelemahan ilmu-ilmunya. Kini daku bertanggung jawab atas kematiannya. Tak tahu apa yang akan dilakukan Guru kepadaku.

''Sebetulnya Guru sudah memperingatkan Naga Kecil, bahkan antarmurid Naga Bawah Tanah sebenarnya tidak dibenarkan adanya hubungan pribadi sebagai sepasang kekasih. Ia telah memperingatkan Naga Kecil, bukan saja masalah peraturan itu, tetapi juga keberadaanku yang tidak memungkinkan hubungan cinta abadi. Namun siapakah kiranya yang dapat membendung perasaan cinta? Meski lidahnya bercabang sehingga tak dapat berbicara seperti kita, ia punya hati, dan matanya tajam menyatakan perasaannya. Daku pun tergetar karenanya dan karena itulah kami dapat saling mencintai dan menjalin hubungan cinta. Bahkan Naga Bawah Tanah tak berdaya menghalangi maupun melarang kami. Ia hanya menyatakan bahwa pelanggaran ini bukan tidak ada akibatnya. Sekarang daku sudah tahu, ternyata diriku harus membunuhnya demi dikau. Daku yang selalu menghindari bahkan mempermainkan cinta, kini terjebak dalam perasaan cinta yang membuatku membunuhnya, membunuh ia yang telah menjagaku dengan penuh cinta... "AH, betapa diriku tidak berdaya..."

Masih ada sisa bara yang memungkinkan diriku melihat betapa matanya berkaca-kaca. Aku tahu bukan sekadar bahwa dirinya telah membunuh Naga Kecil yang telah membuat berduka, melainkan betapa cinta yang sudah mengorbankan seperti itu tidak akan terbalas sesuai dengan harganya. Meski aku telah bertahan melayani tantangan Pangeran Kelelawar hanya karena daya tarik Amrita, aku adalah seorang pengembara yang sudah pasti akan meneruskan perjalanan, bahkan besar kemungkinan meski belum tahu kapan akan kembali ke Jawadwipa. Aku masih ingin menyaksikan seperti apa jadinya Kamulan Bhumisambharabuddhara. Aku masih ingin kembali menengok Celah Kledung. Namun aku juga masih ingin mengembara sejauh-jauhnya, selama ada jalan yang memungkinkan. Jadi aku tidak mungkin tetap tinggal di Kambuja ini selamanya.

Dalam gelap Amrita mendekatiku, merebahkan diri di pangkuanku, menjulurkan tangan kirinya, sehingga dalam remang kulihat ketiaknya, dan menarik leherku agar diriku bisa diciumnya. Mulut kami masih berbau ikan. Namun apa salahnya?

"Pendekar Tanpa Nama, jangan tinggalkan Amrita," desahnya, sembari menciumiku lagi, lagi, dan lagi.

Pipiku terasa basah oleh air matanya. Apakah kiranya yang harus membuat Amrita Vigneshvara sang dewi penghancur putri raja nan jelita itu jatuh cinta kepada seorang pengembara lata? Aku hanyalah seorang lelaki berkancut dan berkain jubah sekadar penahan dingin yang miskin dan kotor.

"Jika diriku jatuh hati kepada dikau, wahai Amrita putri Jayavarman, maka hal itu sungguhlah wajar karena dirimu cemerlang seperti kejora, lembut seperti sutra, keras seperti pedang, dan mendebarkan seperti cinta pertama; tiadalah selayaknya sesuatu dari diriku seimbang dengan keadaan dirimu, tiadalah akan dirimu kehilangan daku..." Dise la ciumannya ke seluruh tubuh, dengan segenap belitan ular yang dimabuk cinta merana, Amrita terisak dan bersedusedan.

"Janganlah berkata begitu pendekar bijaksana, diriku mengukur manusia dari isi kepalanya, dan kutahu betapa luas dunia dalam dirimu dibanding semua orang siapa pun dirinya yang pernah kukenal."

Bara api telah padam seluruhnya. Kegelapan nyaris sempurna. Kurasa bukanlah pada tempatnya kubantah segenap kata-katanya sekarang. Lagipula bibirnya telah menutup mulutku, sementara lidahnya bergulat mengunci lidahku. Malam semakin kelam. Ketika kupejamkan mata dunia ternyata tidak lebih dari dunia di luarnya. Kubayangkan duniaku kelak tanpa Amrita, tetapi aku merasa tidak mungkin meninggalkannya.

"Aku tidak ingin berpisah darimu Amrita, pergilah bersamaku, mengembara dan menjelajahi dunia."

"Pendekar Tanpa Nama, beri aku cinta..."

Dan aku masuk ke dalam tubuhnya... Aku tidak ingat apakah Amrita masih merujuk Kama Sutra dalam permainan cintanya, karena yang kurasakan hanyalah diriku bagaikan dibelit ular naga.

(Oo-dwkz-oO)

DI dalam danau, di bawah permukaan air, kubaca Muladhyamakakarika. Konon seperti itulah Naga Bawah Tanah melatih kedua muridnya. Bukan ujaran Nagarjuna dari gulungan lontar yang tersimpan di rongga-rongga gua itu yang kupelari, melainkan yang berasal dari lembar-lembar lempengan emas yang tertulis dengan aksara Sansekerta.

tiada keberadaan apa pun yang jelas di mana pun yang muncul

dari dirinya sendiri dari yang lain

dari keduanya atau dari ketiadaan

Dengan kata-kata seperti ini, menurut Amrita mereka tidak dibenarkan keluar dari danau jika belum memahami maknanya. Tentu tidak dapat kubayangkan betapa beratnya menjadi murid Naga Bawah Tanah itu, karena setiap keluar danau tanpa menguasai isinya mereka akan segera ditempur agar menyelam kembali.

LATIHAN seperti ini membuat mereka terpaksa mengasah kecerdasan dan pada saat bersamaan meningkatkan daya ketangkasan, mula-mula hanya menghindar, lantas menangkis, tetapi kemudian mampu membalas, bahkan juga menyerang -dan hanya terhindar dari keterpaksaan bertarung jika mampu menguasai maknanya, sedangkan Naga Bawah Tanah akan mengetahui tingkat penguasaan itu cukup dengan daya batinnya. Selama penguasaan atas ujaran Nagarjuna belum dianggap memadai, mereka terpaksa terus membacanya di dalam air, dan tidak akan bertahan lama tanpa penguasaan ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk hidup di dalam air.

Maka pilihan mana pun akan meningkatkan kemampuan mereka pada tiga daya, kecerdasan olah filsafat, kemampuan ilmu silat, dan kehidupan di dalam air. Dua perkara pertama dapatlah kumengerti, tetapi yang ketiga, kehidupan di dalam air tidaklah terlalu mudah bagiku memahaminya. Seperti juga tiada bisa kumengerti bagaimana mungkin selaput kulit dapat ditumbuhkan dari antara pergelangan tangan sampai ke pinggang Pangeran Kelelawar, karena ketekunannya bersamadhi dengan cara tergantung seperti kelelawar, tiada pula dapat kupahami bagaimana Naga Kecil dapat hidup di dua alam hanya karena pernah ditelan ular sanca.

"Bahkan Naga Bawah Tanah pun juga tidak mengerti," ujar Amrita, yang hanya mengandalkan ketangguhan menahan napas dengan tenaga dalam, dan bukan karena bernapas dengan insang untuk bertahan lama di dalam air.

"Barangkali dia memang jenis manusia yang lain," Amrita menirukan Naga Bawah Tanah, yang karena segala perbedaannya, yakni tubuhnya bersisik dan lidahnya bercabang seperti ular sehingga tidak dapat mengucapkan bahasa manusia, akhirnya sangat menyayangi Naga Kecil.

Tidak seperti mereka, tidak ada peraturan bagiku untuk mesti memahami ujaran-ujaran Nagarjuna di dalam air lebih dahulu sebelum menarik napas di permukaan. Namun aku melatih diriku untuk memahaminya, dan tanpa memahaminya aku tidak akan keluar ke permukaan, karena betapapun aku memang ingin menguasai setidaknya dua perkara itu sekaligus, yakni menguasai filsafat Nagarjuna untuk mengembangkan ilmu silatku ke arah Jurus Tanpa Bentuk, selain menguasai cara bertahan selama mungkin di dalam air.

Lempengan emas yang kubaca tadi berisi kutipan dari Pratyaya-pariksa yang berarti Pengujian Keadaan, sebagai pembuka dari bab pertama Mulamadhyamakakarika atau Filsafat Jalan Tengah. Dengan kutipan tersebut, Nagarjuna mengajukan sastrakanta kebertidakan yang berjumlah delapan; suatu sastrakanta yang diajukan untuk dibuktikan dalam dua puluh lima bab berikutnya. Nagarjuna belum membuktikan apa pun di sini, artinya sastrakanta yang diajukannya belum diiringi pembelaan atau perbincangan dukungan, selain menyatakan bahwa empat jenis peristiwa munculnya keberadaan itu bukanlah suatu kejelasan atau kepastian.

Dengan belum terdapatnya pembelaan, aku tidak ingin beranjak lebih jauh dari penafsiran, bahwa Nagarjuna menggugat gagasan atas keberadaan isi dari suatu keadaan atau pracaya. Kutafsirkan pula, tampaknya Nagarjuna menggunakan pembelaan yang mengandalkan gagasan atas pengalaman langsung untuk mengingkari pandangan mereka yang berpihak kepada terdapatnya keberadaan isi. Jadi, Nagarjuna menyatakan bahwa isi bukanlah suatu kepastian, dan karena itu keberadaannya tidak memenuhi kelayakan.4) Kucoba simpulkan, sastrakanta Nagarjuna adalah pernyataan bahwa isi atau keberadaan itu sendiri adalah gagasan yang tidak mungkin berlaku.

Napasku habis dengan simpulan ini, dan aku melejit ke permukaan danau. Seberapa cepatkah Amrita dapat memahami persoalan filsafat yang sama? Betapapun terbukti betapa daya penalarannya, seperti diriku juga, dapat dengan amat sangat menjadi rontok oleh dendam maupun cinta...

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar