Nagabumi Eps 104: Bercinta di Atas Pepohonan

Eps 104: Bercinta di Atas Pepohonan

KEMUDIAN hari-hari berlalu seperti biasa di Perguruan Harimau Kencana, bahkan Harimau Merah sudah tidak lagi mengendap-endap ke rumah-panjang Harimau Putih, karena apapun yang bisa didapatkan Harimau Putih dari perempuan itu sekarang bisa didapatkannya pula -dan perempuan itu tidak pernah memberikan apa yang dikehendaki keduanya begitu saja. Ia hanya memberikannya dengan imbalan atas pendalaman jurus-jurus tertentu.

Sedemikian pentingnyakah ilmu silat, sehingga seorang perempuan bersedia memberikan tubuh, dan bersama itu kehormatannya, demi penguasaan atas jurus-jurus pamungkas dan rahasia dari Ilmu Silat Harimau Kencana?

Pertanyaan ini mendapat jawab, hanya bila telah diketahui bahwa perempuan itu ternyata adalah seorang pencuri kitab. Demikianlah dalam dunia persilatan, seperti kita kenal dari kehidupan Pendekar Mahasabdika, terdapat orang-orang yang menyoren pedang tetapi menguji kesempurnaan hidupnya dengan mencuri kitab-kitab ilmu silat. Setidaknya terdapat tiga jenis pencuri kitab ini: Pertama, yang mencuri demi penguasaan ilmu silat; kedua, yang mencuri untuk memperjual belikannya; ketiga, yang mencuri demi kepuasan dalam mencuri itu sendiri -semakin sulit sebuah kitab dicuri, semakin tertantang mereka untuk mencurinya. Tentu saja tujuan pencurian itu bisa menjadi satu, karena tanpa ilmu s ilat yang tinggi, mencuri kitab ilmu silat adalah tindakan bunuh diri. Bukankah kitab ilmu silat dianggap sebagai pusaka yang dijaga, karena sifatnya yang rahasia, dan apalagi kalau memang langka?

Pencuri kitab dari jenis pertama adalah yang paling sering dipergoki, karena dengan pengutamaan kepentingannya terhadap ilmu silat, biasanya ilmu mencuri mereka lemah sekali, dan jika tertangkap nasibnya janganlah dipertanyakan lagi. Pencuri kitab dari jenis yang kedua, jelas menjadikan pencurian sebagai pekerjaan, sehingga ilmu mencuri mereka memang tinggi, tetapi minat untuk mempelajarinya tidak ada, karena tujuannya terutama adalah menjual kembali. Pencuri kitab dari jenis ketiga adalah yang paling diwaspadai, karena mereka menjadikan pekerjaan mencuri sebagai seni; mereka mencuri kitab bukan karena tujuan mencapai kesempurnaan dalam ilmu silat, melainkan kesempurnaan sebagai manusia melalui seni mencuri, dan untuk menjadikan pencurian sebagai sebagai seni yang tinggi, ilmu mencuri mereka mutlak harus tinggi. Di dalam ilmu mencuri yang tinggi itu, ilmu silat yang juga tinggi adalah bagian dari persyaratannya, karena ilmu mencuri hanya diakui tinggi jika mampu dimanfaatkan untuk mencuri kitab-kitab ilmu silat tingkat tinggi. Sedangkan kitab-kitab itu tentu bukan saja disimpan di tempat tersembunyi, tetapi dikitari orang-orang berilmu tinggi. Tidak heran jika para pencuri jenis yang terakhir ini menjadi sangat tinggi ilmu silatnya, tetapi yang mereka pelajari hanya untuk mendukung tujuan mencuri. Sehingga dengan ilmu silatnya mereka tidak akan pernah bercita-cita mencari dan menguji kesempurnaan sebagai manusia melalui pertarungan antara hidup dan mati. Sudah tentu ilmu silat yang tinggi itu sangat diperlukan jika jiwa mereka terancam dan karena itu harus membela diri.

Perempuan pendekar yang datang setelah menempuh perjalanan dan ujian berat itu jelas memenuhi ukuran jenis yang pertama, bahwa dengan suatu cara ia telah mencuri kitab itu demi ilmu silatnya. Namun tentu saja ia juga memenuhi syarat bagi ukuran jenis yang ketiga, bahwa setidaknya ia telah menggunakan cara tertentu untuk mempelajari bagian kitab yang tidak diperuntukkan baginya, dan itu adalah seni mencuri namanya. Baginya tidak penting benar kehormatan atas tubuhnya, karena kehormatannya dipertaruhkan dalam keberhasilan mencuri. Itulah fa lsafah para pencuri kitab ilmu silat.

MAKA setelah akhirnya ia mengetahui, betapa Harimau Hitam ternyata juga sering mengintip percumbuannya dengan Harimau Putih maupun Harimau Merah, ia biarkan saja anak kedua Harimau Kencana itu mengikutinya ke dalam hutan ketika meronda, hanya untuk memasang jebakan yang sama.

Ia berkelebat dari dahan ke dahan dengan cepat menjauhi perguruan, dan Harimau Hitam pun berkelebat dengan sangat cepatnya. Hutan itu begitu luas, sehingga meskipun keduanya melesat luar biasa cepat, meronda ke segenap sudut hutan itu tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Berkelebat, artinya pergerakan mereka tidak terlihat. Namun bagi mereka yang mampu menyaksikannya karena bergerak secepat mereka, kecepatan itu menjadi gerak lambat yang mengesankan seperti keindahan. Hutan rimba hanyalah kelebat hijau tua, dengan garis-garis cahaya matahari yang menembus dedaunan, membuat pandangan Harimau Hitam menjadi nanar, karena cahaya kuning keemasan telah membuat rambut kemerahan perempuan itu berkilau-kilauan. Perempuan itu melirik, maksudnya memang mengundang, dan masih mereka melesat bergelantungan dari akar pohon yang satu ke akar pohon lain ketika dengan sengaja tetapi seolah- olah tak sengaja ia lepaskan kain yang melibat erat dadanya.

Kain itu me layang-layang turun dan belum sampai ke tanah ketika di atas sana sambil masih bergelantungan Harimau Hitam berkelebat memeluk perempuan yang seolah tidak memberi perlawanan itu. Memang perempuan itu tidak melawan, tetapi ternyata tetap menghindar dan berkelit jua. Seolah-olah diberinya kesempatan Harimau Hitam merasakan hangat tubuhnya dalam dingin hutan, tetapi dengan licin ia berputar melepaskan diri sambil melejit kembali ke akar pohon yang lain.

Harimau Hitam mengejar sambil menggeram-geram. "Kedua saudaraku telah melanggar tabu, wahai murid

Harimau Putih, daku berhak mendapatkan pula apa yang telah

dikau berikan kepada mereka berdua," katanya sambil memburu perempuan itu.

Dalam hutan yang kelam, dalam kilau seleret cahaya yang menembus dedaunan, kerlingan mata perempuan yang telah membuka pula ikatan rambut merahnya itu semakin membuat Harimau Hitam penasaran, sampai rasanya betapa ingin menubruk dan menyeretnya ke rerumputan.

"Apa yang membuat Paman Guru berpikir daku memberikan semua itu tanpa imbalan? Berikanlah kepadaku apa yang telah mereka berikan, maka Paman Guru akan menerima dariku apa yang juga mereka dapatkan."

Harimau Hitam menggeram-geram. "Katakan segera yang telah mereka berikan."

Ketika perempuan itu sambil masih berayun-ayun

menyebutkannya, Harimau Hitam yang mengikutinya tertegun. Bukan sekadar tabu perguruan tentang hubungan guru dan murid yang telah dilanggar, melainkan juga sumpah mereka sendiri kepada ayah dan guru mereka, bahwa tiada seorang murid pun dari perguruan mereka akan menerima lebih dari sepertiga bagian I lmu Silat Harimau Kencana.

Semula ia bermaksud mengurungkan niatnya, tetapi cara berpikirnya telah dirusak oleh nafsunya.

"Jika kedua saudaraku telah melanggar sumpah dan tabu perguruan untuk mendapatkan perempuan ini, mengapa pula aku tidak boleh melakukannya," pikir Harimau Hitam.

Jadi bukan cara menyelamatkan amanat, bahwa Ilmu Silat Harimau Kencana jangan sampai dikuasai seutuhnya oleh siapa pun di luar garis keturunan, melainkan pembenaran atas kesalahan, agar dirinya bisa mendapatkan apa yang selama ini dibayangkannya sebagai puncak kenikmatan.

"Berhentilah di atas dahan yang melintang di ujung itu, wahai murid Harimau Putih, agar dapat kuberikan kepadamu sepertiga bagian I lmu Silat Harimau Kencana yang dikuasakan kepada Harimau Hitam."

Perempuan itu pun dengan ringan hinggap pada dahan yang sangat lebar itu. Menyusul kemudian Harimau Hitam pun hinggap di situ.

"Ikutilah semua gerakanku," ujar Harimau Hitam.

Maka perempuan itu pun mengikuti peragaan setiap jurus dalam bagian kedua Ilmu Silat Harimau Kencana di atas dahan yang sangat amat tinggi di atas hutan yang kelam. Ilmu Silat Harimau Kencana memang mengacu kepada gerak pertarungan macan, tetapi bagian kedua terutama memanfaatkan segala keistimewaan harimau kumbang, yang memang hitam, dan selalu mengendap tak terlihat di antara dahan.

”JADI itulah ceritamu,'' ujar Harimau Putih sembari mengangguk-angguk, ''tidak penting benar bagiku ceritamu itu karangan atau bukan, karena sudah pasti aku akan membunuhmu.''

Keduanya berhadapan dengan kuda-kuda yang sama, yakni kedua kaki ditekuk, sebelah kiri di depan dan kanan di belakang dengan tubuh serong ke arah kanan. Kedua tangan terangkat dengan cakar terkembang, kuku-kukunya menyala seperti besi panas ditempa, penanda telah dikerahkannya tenaga dalam. Logam sekeras apapun berbenturan dengan kuku-kuku ini, niscaya meleleh karena panasnya yang tiada terkira.

''Ketahuilah Guru, jika berhasil daku kalahkan dirimu hari ini, berarti dikau mengalami tiga kekalahan: Pertama, bahwa Ilmu Silat Harimau Kencana berhasil dicuri seutuhnya; kedua, bahwa orang luar takdikenal mampu mengalahkan Tiga Harimau dengan ilmu mereka sendiri; ketiga, bahwa daku adalah anak ibuku yang kalian aniaya dengan jumawa dan kini daku membalaskan dendam ibuku.''

''Hmmh! Orang luar? Tidakkah kamu adalah anak sa lah seorang dari kami berempat? Mana yang benar? Dikau anakku, keponakanku, atau adikku?''

Ucapan Harimau Putih itu jelas membuat darah perempuan ini menggelegak, meskipun ia memaksakan dirinya agar tetap berkepala dingin. Ia tahu Harimau Putih berusaha merusak pemusatan perhatiannya. Harimau Putih tahu ia telah membunuh Harimau Hitam dan Harimau Merah dan karena itu tentu akan mengeluarkan jurus yang mungkin saja belum diketahuinya. Tiga puluh jurus memang sudah dikuasainya, tetapi penggabungannya satu sama lain tidak terlalu mudah diduga. Namun begitu Harimau Putih selesai bicara, perempuan itu telah melesat ke arahnya, dan segera keduanya berubah menjadi gulungan bara menyala.

Perguruan di lereng gunung itu masih tetap sunyi seperti biasa, tetapi tanah lapang yang biasanya lembab oleh hawa dingin kini mengepul bagaikan di atasnya telah berlangsung perkelahian dua harimau. Mereka yang bertarung memang tidak terlihat wujudnya, justru karena itu suara-suara yang terdengar seperti dua harimau yang bertarung antara hidup dan mati dengan geram dan raungan silih berganti.

Pertarungan yang tidak bisa diikuti mata tentu menjanjikan kecepatan takterkira. Namun bagi kedua petarung yang bergerak sama cepatnya, gerakan masing-masing cukup lambat dalam pengamatan mata, meski jika kemudian kalah cepat, yang tampaknya lambat ternyata takbisa ditangkisnya pula. Itulah yang disaksikan Harimau Putih ketika cakar terkembang perempuan itu bagaikan sangat lambat menyambar lehernya, tetapi tangannya sendiri serasa begitu berat untuk diangkat guna menangkis cakar maut itu. Ia berusaha berkelit dengan mengundurkan lehernya, tetapi juga terasa berat bukan alang kepalang.

Maka dengan sangat terpaksa disaksikannya sendiri betapa cakar yang menyala seperti besi membara sedang ditempa itu melesak ke dalam urat lehernya dari sebelah kiri, menancap sampai tembus ke kerongkongannya dan segala yang tergenggam ditarik keluar tanpa ampun. Harimau Putih merasakan pandangan matanya gelap, sehingga tak dapat dilihatnya lagi segenap busana kulit harimau loreng hitam putihnya menjadi merah semerah-merahnya merah karena pancuran darah. Ambruklah Harimau Putih, bersama dengan ambruknya Perguruan Harimau Kencana, yang ingin menguasai dunia persilatan dengan cara begitu rupa. Disebutkan betapa perempuan itu berteriak ke langit sambil mengembangkan kedua cakarnya ke langit.

''Ibu! Ibu! Telah kubalaskan dendam Ibu!''

Tidak ada yang mengenal nama asli perempuan itu, karena nama yang kemudian dikenal adalah Cakar Maut dari Timur. Konon, ia tidak pernah meninggalkan lagi lereng Gunung Semeru itu, bahkan membuka jalan dalam hutan agar siapa pun bisa datang kepadanya untuk mempelajari segala ilmu. Ia mengundang para penyalin kitab untuk menyalin kitab-kitab yang pernah dicurinya, lantas menyebarkannya, agar ilmu s ilat dan pengetahuan apa pun jua lebih mudah dipelajari semua orang.

Seratus tahun kemudian, tempat itu menjadi tujuan mereka yang mencari kitab-kitab ilmu persilatan, ilmu pengobatan, maupun kesusastraan dan keagamaan, baik dengan membeli atau menyalinnya sendiri di tempat itu juga. Cakar Maut dari Timur meninggalkan dunia ini bukan sebagai pencuri kitab, melainkan penyebar pengetahuan. Untuk mendapatkan kitab- kitabnya kemudian ia tak selalu mencuri, karena ada juga yang mengantarkan sendiri kitab-kitab perguruan mereka ke tempat itu, terutama apabila para pewaris tidak berminat lagi meneruskan perguruannya. Penyebaran kitab-kitab telah menyadarkan bahwa ilmu silat tidak seharusnya menjadi rahasia yang hanya dimiliki sedikit orang.

Inilah yang juga terjadi dengan Kitab Ilmu Silat Harimau Kencana yang telah dibagi tiga itu. Perempuan yang kemudian dikenal sebagai Cakar Maut dari Timur itu kemudian menggabungkannya kembali menjadi satu, melakukan penyalinan, menjualnya kepada siapa pun yang berminat membeli salinan-salinan itu, sehingga kini di dunia awam tersebar ilmu silat harimau tanpa dikenali asa l-usulnya lagi, meski lebih banyak tanpa ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam. Keadaan semacam ini memberikan penggolongan dunia perkitaban, yakni terdapatnya kitab-kitab yang dengan mudah didapatkan dalam jangkauan, dan kitab-kitab langka yang memang isinya dirahas iakan dan hanya menjadi pengetahuan sedikit orang. Kitab dari golongan terakhir inilah yang membuat para pencuri kitab di sungai telaga persilatan masih penasaran.

PEREMPUAN itu adalah anak seorang bekas prajurit dari Kerajaan Mataram di bawah wangsa Sanjaya. Ia mencari Harimau Kencana yang namanya tersohor di bagian timur Yawabhumipala. Wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang terawat membangkitkan niat jahat Harimau Kencana, yang sementara itu telah kehilangan istri yang menjadi ibu ketiga anaknya. Istrinya tersebut, juga pengelana di sungai telaga persilatan, Harimau Kuning namanya, telah dibunuhnya karena berselingkuh dengan seorang awam terpelajar yang pekerjaannya menerjemahkan kitab-kitab dari Jambhudvipa ke bahasa dan huruf Jawa di perpustakaan istana. Meskipun istri dan kekasihnya itu berhasil ia bunuh ketika memergokinya di sebuah penginapan, Harimau Kencana telah kehilangan rasa percaya terhadap cinta. Maka ia enggan membasmi golongan hitam, malas menyebarkan ilmu, bahkan merasakan suatu dendam kepada setiap perempuan.

Malang nian nasib perempuan yang dari tempat sangat jauh datang untuk belajar ilmu silat tersebut. Ketika ia menunjukkan penolakan atas berahi Harimau Kencana sebagai ganti ilmu silat yang akan diajarkannya, ternyata Harimau Kencana justru memperkosanya, yang segera disusul oleh pemerkosaan oleh ketiga anaknya. Perempuan yang malang itu kemudian dibuang ke hutan, jauh dari gubuk mereka, dengan tujuan agar dimakan binatang, tetapi nasibnya ternyata belum menentukan demikian. Seorang tabib yang sedang mencari jamur, akar kayu, dan daun-daun tertentu untuk pengobatan, menemukan perempuan yang tergolek lemah tanpa daya itu dan menolongnya. Sembilan bulan kemudian ia melahirkan seorang anak perempuan akibat pemerkosaan itu. Sepanjang sisa hidupnya perempuan yang semula ingin belajar ilmu silat itu sakit-sakitan, tetapi tidak segera mati sebelum menceritakan riwayat hidupnya yang pahit kepada sang anak setelah dewasa.

Anak perempuannya kemudian berguru kepada seorang perempuan pencuri kitab tingkat tinggi, yang tidak termasuk dalam ketiga jenis pencuri kitab yang telah disebutkan, karena tujuannya mencuri kitab yang dirahasiakan bukanlah untuk meningkatkan ilmu silat, memperjualbelikan, atau demi seni mencuri, melainkan untuk digandakan sebanyak-banyaknya agar bisa disebarkan seluas-luasnya.

''Kalau dalam setiap rumah terdapat setidaknya satu kitab ilmu silat, orang awam tidak usah tergantung kepada para pendekar untuk menghadapi para penjahat, karena dapat melindungi dirinya sendiri,'' ujar gurunya itu, yang sudah tentu sangat tinggi pula ilmu silatnya.

''Juga kaum perempuan,'' katanya lagi, ''bisa melawan jika lelaki memaksakan kehendak dengan kekuatan tenaganya.''

Kiranya anak perempuan itu, atas petunjuk tabib yang merawat ibunya, telah mendapatkan guru yang tepat untuk melaksanakan dendam ibunya, yang telah diwariskan menjadi dendamnya sendiri.

Kini ia telah berhadapan dengan Harimau Putih, yang berbusana kulit harimau loreng hitam-putih yang diburunya di sebuah hutan di Jambhudvipa. Kuku-kuku keduanya sudah menyala seperti besi membara dalam tungku api. Harimau Putih menggeleng-gelengkan kepala. Selama perempuan itu tinggal bersamanya, tentu banyak hal telah diperiksa. Termasuk potongan kitabnya yang hanya sepertiga. Sebagai murid pencuri kitab tingkat tinggi, setiap tanda pada kitab dapat dibacanya, termasuk bahwa yang dilihatnya hanyalah sepertiga. Sebuah kitab yang dibagi-bagi sebagai warisan keluarga bukanlah sesuatu yang terlalu langka dalam dunia persilatan. Banyak dongeng beredar di kedai perihal kitab perguruan yang tidak utuh karena terbagi-bagi.

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar