Nagabumi Eps 100: Kehormatan pada Pembaca

Eps 100: Kehormatan pada Pembaca

Pembaca yang Budiman, untuk kesekian kalinya aku mohon maaf, izinkan orang tua berumur 100 tahun seperti aku yang tak tahu diri berani menulis ini, mengambil waktu rehat sebentar. Sudah berapa lama aku menulis? Entahlah. Di dalam rumah sudah bertumpuk-tumpuk keropak yang memuat riwayatku itu. Seperti diketahui, menulis di atas lembaran lontar tidaklah bisa berlangsung terlalu cepat. Sudah bagus jika aku dapat menyelesaikan tulisan di atas sepuluh lembar keropak dalam sehari. Jika memaksakan diri, memang bisa mencapai 20 lembar, tetapi tak jarang juga, apabila aku lebih sering mengantuk dan tertidur, atau diganggu Nawa yang selalu bertanya tentang ini dan itu dan tidak pernah mau berhenti jika tidak mendapat jawaban memuaskan, dalam sehari hanya bisa kuse lesaikan tulisan di atas lima lembar keropak.

DALAM setiap lembar keropak dapat termuat sekitar delapan baris tulisan, empat baris berdampingan dengan empat baris yang lain, dan setiap barisnya termuat lebih kurang 40 huruf. Berarti dalam setiap keropak terdapat seti- daknya 320 huruf, sehingga dalam sehari rata-rata kuguratkan sekitar 3.200 huruf dalam aksara Jawa. Apabila setiap kata dalam bahasa Jawa rata-rata terdiri empat huruf, dan setiap bab dalam riwayatku mencapai 2.000 kata, artinya aku membutuhkan 8.000 huruf untuk set iap bab yang baru dapat kuselesaikan, dengan berbagai selingannya, dalam tiga hari. Namun karena aku sedang bekerja sebagai pembuat lontar itu sendiri, maka tentu saja aku tidak dapat terus menerus menulis. Ada kalanya dalam sehari aku hanya mengurusi daun-daun rontal yang dijadikan lontar itu saja. Jadi sebutlah setiap bab kuselesa ikan dari guratan demi guratan selama empat hari. Berarti, kini, memasuki bab 100, aku telah menuliskan riwayatku itu selama lebih dari satu tahun.

Dengan begitu kita sudah memasuki tahun 872, kerajaan Mataram masih berada di bawah pemerintahan Rakai Kayuwangi, dan aku masih berada di Mantyasih, berlindung dari keramaian sebuah kotaraja di balik tembok merah batu bata, dengan sebuah gapura yang juga terbuat dari batu bata, tempat orang berlalu lalang sebagai jalan pintas ke sebuah perkampungan. Tanah di balik tembok ini adalah milik seorang perwira kerajaan yang tampaknya selalu pergi, kalau tidak untuk berperang menumpas pemberontakan besar maupun kecil, set idaknya untuk mengawasi tetap berlangsungnya kesatuan wilayah, dengan cara apa pun, keras maupun halus, agar ketenteraman dan kesejahteraan rakyat tetap terjaga. Mungkin karena merasa jarang menempati tanah miliknya yang luas itu, ia membuatnya tetap terhuni dengan menyewakannya. Salah seorang penyewa tanahnya adalah pembuat lontar untuk istana, tempat aku bekerja kepadanya sekarang ini, dan diiz inkan menempati salah satu gubuk.

Dibanding pemerintahan raja-raja sebelumnya, masa pemerintahan Rakai Kayuwangi kemudian akan kuketahui sebagai salah satu masa yang paling tenang, sehingga mengherankan juga sebenarnya, permainan kekuasaan macam apa yang membuat istana sampai mengeluarkan selebaran untuk memburu dan membunuhku. Dalam ketenangan, kebudayaan berkembang tanpa ketegangan, yang di satu pihak dapat menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, tetapi di pihak lain memberikan peluang kepada renungan mendalam. Aku hanyalah seorang pengembara di sungai telaga persilatan, itu pun yang pengembaraannya kemungkinan besar sudah hampir selesa i. Bukankah hanya itu yang bisa dikatakan seseorang yang sudah berumur 100 tahun? Namun meski aku bukan seorang pemikir, apalagi mahir dalam berfilsafat, terpikir juga perkara keberadaan aksara yang dalam setahun ini lebih banyak kugauli daripada ilmu s ilat tersebut.

Ilmu silat barangkali memang merupakan penemuan manusia yang hebat, terutama dalam menggali daya kemampuan tubuhnya sendiri. Bukankah kemampuan para pendekar untuk berkelebat secepat kilat, melenting di atas pepohonan dan atap-atap rumah, menyatu ke dalam bayang- bayang, menepuk batu menjadi abu, bertarung dengan mata terpejam, bahkan berlari di atas air adalah sesuatu yang dahsyat? Tentulah aku bersyukur telah mendalami ilmu silat begitu rupa sehingga kukenali diriku sendiri maupun orang- orang lain dalam usaha mencapai kesempurnaan sebagai manusia. Namun dalam setahun ini ibarat kata kudalami ilmu surat, dan sungguh ilmu surat itu dibandingkan ilmu s ilat t iada kalah memesona. Aku tinggal mengguratkan aksara, maka terhamparlah padang-padang hijau dengan latar belakang gunung nan ungu sementara mega-mega berarakan melewatinya. Apabila terus kuguratkan pengutik pada lembar-lembar lontar itu, maka padang-padang hijau akan disapu cahaya matahari keemasan yang muncul dari celah dua gunung, membuat embun pada rerumputan di padang-padang itu mengertap berkilatan, sebelum akhirnya terinjak-injak kaki kuda yang menggebu dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Siapakah lelaki yang berada di atas punggung kuda itu? Rambutnya yang panjang terurai di atas bahunya yang bidang, dengan pedang panjang tersoren di punggungnya, menggebu dan menggebu, ternyata karena diburu oleh serombongan pasukan berkuda sebanyak duabelas orang. Dua orang dari pasukan itu melaju lebih cepat dari yang lain dengan kemahiran berkuda begitu rupa sehingga keduanya dapat melepaskan tali kekang sembari membidik dengan panahnya di atas kuda yang melaju. Kedua kuda itu masih berlari dengan kecepatan yang sama ketika kedua pengawal rahasia istana itu secara bersamaan melepaskan anak panahnya. Dua anak panah segera meluncur melebihi kecepatan angin menuju sasarannya.

Lelaki berambut panjang yang melambai-lambai tertiup angin pagi itu menoleh ke belakang dan mencabut pedangnya, tetapi sudah terlambat. Kedua anak panah yang melesat itu menancap di punggungnya, menancap begitu dalam sampai menembus jantung dan paru-parunya. Lelaki berambut panjang itu terpental dari atas kuda dan ketika menyentuh rumput basah jiwanya sudah pergi. Para pengawal rahas ia istana yang berbusana serba putih, dengan pedang yang juga serba putih berkilatan, segera berkerumun mengitarinya tanpa turun dari kuda mereka sama sekali.

Aku memang pernah menyaksikan sendiri peristiwa yang kutuliskan itu, ketika masih kecil aku berdiri pada suatu pagi di tepi sebuah jurang di Celah Kledung. Saat itu ibuku menggamit tanganku dan menghindarkan aku dari pemandangan lebih lanjut, sembari bergumam sendiri, "Apakah tidak terlalu pagi darah tumpah hari ini?" Dalam hatiku waktu itu aku bertanya-tanya, apakah itu berarti darah sebaiknya tertumpah agak lebih siang? Namun aku tidak ingat lagi apakah kemudian aku menanyakannya. Bukan peristiwa itu sendiri yang sebetulnya ingin kuceritakan di sini, me lainkan bahwa aku dapat menceritakannya kepadamu, wahai Pembaca yang Budiman, melalui perantaraan aksara.

Saat aku mulai menuliskan cerita ini aku berada di tahun 871, dan seperti telah kusebutkan tadi, Pembaca, berdasarkan banyaknya tumpukan gulungan keropak yang telah kutulisi, agaknya aku telah menulis lebih dari setahun dan kini memasuki tahun 872. Aku belum tahu kapan penulisan riwayat ini akan berakhir, sehingga belum tahu lagi kapan kiranya dirimu suatu ketika akan membacanya. Kuingat bahwa aku juga pernah membaca kitab-kitab yang ditulis oleh orang yang sudah mati. Kitab-kitab seperti Arthasastra, Kamasutra, maupun Manasara-Silpasastra ditulis lebih dari empat ratus tahun sebelum aku membacanya dan ketika membacanya itu sungguh aku merasa berada di dalam sebuah dunia seperti yang telah diungkap melalui aksaranya.

Bagaimanakah kiranya manusia telah menemukan aksara, yang bukan sekadar mewakili bunyi me lainkan juga menyampaikan makna? Bahkan jurus silat takjarang mengacu kepada aksara itu. Tidakkah manusia memiliki pilihan lain selain aksara untuk menyampaikan gagasan-gagasannya? Tentu aku juga te lah mengalami dan menyaksikan bagaimana kami berbahasa dengan bendera, dengan asap, dengan genderang, dengan siulan, dengan jari, dengan tubuh, bahkan hanya dengan tatapan, tetapi aksara ini sungguh tiada duanya, terutama ketika dalam kenyataannya merupakan benda mati. Bukankah gulungan keropak dalam peti kayu tidak ada artinya jika tetap tertumpuk di dalamnya tanpa seorang pun membacanya? Keropak bertulisan menjadi kitab yang bisa dibaca, yang tentu tetap menjadi benda mati jika bukan saja aksaranya tak dikenal tetapi juga maknanya tidak dapat dipahami? Dari pengalamanku membaca berbagai macam kitab, meskipun itu hanyalah kitab ilmu silat, justru tergantung kepada pembacanyalah sebuah kitab menjadi berguna atau tidak berguna, menjadi bermakna atau tidak bermakna, menjadi berdaya atau tidak berdaya. Adalah pembaca yang memberi makna kepada sebuah kitab, sesuai dengan perbendaharaan makna yang mampu dikembangkan dalam penjelajahan pikiran ketika membacanya.

Pelajaran pertama dalam pembermaknaan ini diberikan oleh pasangan pendekar yang mengasuhku, ketika suatu hari mereka bagaikan berganti-gantian membaca sebuah kitab, menyampaikan suatu cerita kepadaku sebelum tidur. Esok paginya, ketika aku terbangun, gulungan keropak itu masih menumpuk rapi di dalam bilik. Karena seingatku ceritanya sangat mengasyikkan, aku ingin membacanya sendiri bagaimana cerita semacam itu telah dituliskan. Ternyata waktu kubuka gulungannya lembaran lontar itu tidak ada tulisannya sama sekali! Waktu kutanyakan kepada ibuku, ia hanya menjawab dengan ringan.

"Ada atau tidak ada tulisannya sama saja, semua tergantung kepada yang membaca dan kemampuannya memberi makna."

Kemudian aku menjadi semakin paham apa yang dimaksud ibuku, ketika meskipun aku sudah mampu membaca aksara, tetapi belum mampu membaca apa pun yang dituliskan pada kitab-kitab di dalam peti kayu itu, karena peti kayu itu memang tidak hanya berisi kitab ilmu silat, melainkan segala macam ilmu yang kedua orangtua asuhku itu pun belum tentu sudah membaca habis isinya. Kadang-kadang kulihat ayahku tekun membaca sampai jauh ma lam, bahkan nyaris sampai menjelang pagi, hanya untuk menutupnya sembari mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Kitab ini berat sekali," katanya.

Padahal dunia pun adalah sebuah buku terbuka bukan?

Tapi bagaimana kalau tidak bisa membacanya?

Maka setelah menulis terus-menerus setahun ini, meskipun bagi orang tua berumur seratus tahun seperti aku lumayan melelahkan, aku tahu betapa aku sebetulnya tidak bekerja sendirian. Kehormatan suatu bacaan tidak terletak di tangan penulisnya, melainkan justru pada para pembacanya, karena setiap pembaca menciptakan sebuah dunia berdasarkan bacaannya menurut kemampuannya masing-masing. Semakin kaya perbendaharaan seorang pembaca, semakin berdayalah pembermaknaan yang diberlangsungkannya. Itulah sebabnya kitab ilmu silat yang sama dapat menjadikan seseorang menjadi pendekar takterkalahkan, bagi yang lain hanya membuatnya jadi tukang pukul.

DENGAN demikian seorang pembaca sebetulnya bekerja sama kerasnya dengan seorang penulis. Artinya ketika membaca sebetulnya ia juga sedang menuliskannya kembali. Menuliskan kembali bacaan itu untuk dirinya sendiri, menurut kebutuhan dan kepentingannya sendiri. Bukankah dalam kepala set iap pembaca tidak akan terdapat padang rumput yang sama, kuda berlari yang sama, ketajaman sisi pedang lentur yang sama, karena pengalaman dan pengetahuan setiap orang atas gambaran yang tersampaikan itu tidak terlalu sama bukan? Bahkan perbedaannya pun bisa menjadi sangat besar, tidak mustahil pula menjadi bertentangan. Ini baru menyangkut penggambaran yang diandaikan kasat mata, lantas bagaimana pula jika itu menyangkut gagasan yang tidak terkasatkan sekadar oleh mata, seperti keadilan, kebahagiaan, dan keindahan?

Pembaca yang terbiasa dan terlatih menjelajahi serta menghayati gagasan-gagasan yang tak terkasatkan oleh mata tentu akan lebih berdaya dalam menikmati, memanfaatkan, dan berarti menuliskannya kembali dalam kepalanya sendiri daripada yang tidak. Menuliskan kembali dalam dan bagi dirinya sendiri membuat segenap daya dalam seorang pembaca bekerja. Pada dasarnya, demikianlah ujaran seorang pandai, seorang penulis mati setelah tulisannya selesai. Penulis tidak akan lagi menjadi sumber makna, karena pembaca yang manapun akan membaca tulisan apapun dengan penafsirannya sendiri. Sungguh nasib sebuah tulisan memang mutlak berada di tangan pembaca. Adalah pembaca yang bekerja menciptakan sebuah dunia dengan segenap daya dalam dirinya. Semakin berdaya pembaca, semakin kaya dunia yang diciptakannya; semakin kurang berdaya seorang pembaca, semakin terbatas dunia yang dapat diciptakannya. Namun keberdayaan setiap pembaca sebetulnya tidak terbandingkan, karena setiap pembaca memiliki wacananya masing-masing, demi dan untuk kebermaknaannya sendiri.

(Oo-dwkz-oO)

AKU masih mengguratkan aksara demi aksara, ketika sesosok bayangan berkelebat di balik pohon-pohon pisang. Umurku memang 100 tahun, bahkan kurasa menjelang 101 tahun -bagaimana aku tahu kapan tepatnya aku dilahirkan, jika pasangan pendekar yang mengasuhku itu menemukan aku hanya sebagai bayi bersimbah darah di dalam gerobak yang nyaris jatuh ke dalam jurang? Namun setua ini, kepekaanku atas bahaya yang mengancam agaknya belum berkurang sama sekali.

Hari memang telah senja. Kesibukan menulis karena takut usia mendadak berakhir membuat aku saat-saat belakangan semakin kurang peduli kepada senja yang bagiku selalu penuh dengan pesona. Kusadari keberadaan diriku sebagai senja itu sendiri, bukan senja yang membuat langit semburat merah keemas-emasan, melainkan senja yang telah menjadi sangat gelap langitnya, tinggal segaris cahaya redup di sebelah barat yang nyaris tidak terlihat sama sekali. Memang, kenyataan betapa diriku tiada berkurang daya sama sekali sete lah mengundurkan diri dalam samadhi se lama 25 tahun lamanya di dalam gua, kecuali menjadi agak pelupa, telah membuatku khawatir betapa diriku tidak akan kunjung mati. Kekhawatiran yang mungkin agak berlebihan, karena manusia semestinyalah akan mati. Namun kesegaran tubuh, kewaspadaan, dan daya tempurku yang sama sekali tidak menurun, bahkan seperti selalu meningkat, bagai mengesahkan kekhawatiranku. Apakah itu berarti aku memang harus mati di ujung senjata seorang lawan yang akan mengalahkan aku?

Selama mengembara di sungai telaga dunia persilatan aku selalu siap untuk mati ditangan seorang pendekar yang lebih tinggi ilm unya dariku, karena dengan begitu, seperti set iap pendekar yang perlaya dalam pertarungan, kematianku akan menjadi kematian pada puncak kesempurnaan. Namun bukan saja hari itu tidak kunjung tiba, sebaliknya aku merasakan suatu perasaan bersalah yang luar biasa, karena dengan semakin banyaknya pendekar yang tewas ditanganku, semakin leluasalah orang-orang golongan hitam merajalela tanpa para pendekar yang akan membasminya. Suatu perasaan yang memuncak setelah peristiwa Pembantaian Seratus Pendekar limapuluh tahun yang lalu. Kemenangan dalam dunia persilatan ternyata bukanlah sesuatu yang manis, sebaliknya kenyataan betapa aku tidak pernah terkalahkan sampai hari ini, telah membuatku hari-hariku lebih terasa sebagai kepahitan, membuat kehidupan bagiku se lalu terasa sendu dan muram.

Kutajamkan pandanganku ke arah gerumbul pohon-pohon pisang. Sesosok bayangan yang tadi berkelebat menahan diri untuk tidak bergerak di balik sebatang. Hmm. Ia memiliki kemampuan menyatukan diri dengan bayang-bayang dan kegelapan seperti yang sering kulakukan, tetapi bagiku tentu saja tiada artinya. Bumi sudah semakin menggelap, tetapi keberadaannya di gerumbul pohon pisang itu bagaikan begitu terang seperti siang. Ia menahan nafas, tetapi bahkan kudengar detak jantungnya.

SIAPAKAH dia? Perempuan pengembara yang membawa kain buntalan seperti diceritakan Nawa? Ataukah seseorang lain yang mengenaliku, dan telah mengawasiku se lama ini, tetapi luput dari pengamatanku? Meskipun aku sangat percaya diri dan tahu benar akan kemampuanku, dua dalil dalam dunia persilatan tidak akan pernah kulupakan agar tetap rendah hati: Di atas langit ada langit, yang maksudnya betapapun tinggi ilmu s ilat seorang pendekar, t idaklah mustahil akan ada pendekar lain yang lebih tinggi ilm u silatnya; dan gelombang yang di depan ditelan gelombang yang di belakang.

Dalil pertama mungkin bisa kuingkari, atau tepatnya kutafsirkan sesuai keinginanku, dengan berusaha keras agar diriku itulah yang selalu akan menjadi langit di atas langit yang lain; bahkan aku bisa menjadikannya dalil untuk mengembangkan ilmu silatku sendiri, bahwa seberapa tinggi pun ilmu silat yang sudah kucapai aku masih selalu mungkin mencapai yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Namun dalil kedua, gelombang yang di depan akan ditelan gelombang, jelas merupakan hukum alam yang merupakan kepastian, bahwa yang muda akan menggantikan yang tua, dan begitulah seterusnya. Dalam dunia persilatan, itu berarti akan tiba saatnya seorang pendekar muda mengalahkan seorang pendekar tua yang sebelumnya tidak pernah kalah, sampai seorang pendekar muda lain kelak mengalahkan dirinya.

Maka, meskipun sampai hari ini tidak seorang pun pernah mengalahkan aku, meski mungkin nyaris membunuhku, aku tetap merasa wajib menyadarinya untuk membuat diriku hati- hati.

"Tidak ilmu yang tidak punya kelemahan," kata ibuku, seperti kuingat selalu ketika menghadapi pertarungan yang berat. Saat itulah sosok tersebut keluar dari gerumbul pohon pisang, membawa sesuatu yang tampak meronta-ronta dengan sebelah tangannya.

"Akhirnya kutemukan juga dirimu di sini, wahai Pendekar Tanpa Nama," katanya pula.

Tangan kirinya mencekal tengkuk seorang anak kecil. Astaga! Meskipun gelap, aku mengenalinya! Nawa! Sebilah pedang menempel di lehernya!

Aku beranjak, melepaskan pengutik, dan melesat ke hadapannya. Ia mundur selangkah.

"Kakek!" Nawa berujar dengan tersengal.

Orang itu mundur se langkah, tetapi aku tidak maju sama sekali ketika kulihat mata pisau itu menekan leher Nawa.

Darahku naik, tetapi aku harus tenang: Siapakah mereka yang tega menjadikan anak kecil ini sebagai sandera?

"Apa maumu?" tanyaku, sementara telingaku menangkap langkah halus di belakangnya, jelas langkah seseorang berilmu tinggi.

"Serahkan semua lembaran lontar yang telah berisi tulisan itu kepadaku," katanya, "atau leher anak ini akan menggelinding sekarang juga!"

Malam serasa lebih pekat dari malam yang biasa. Menjadikan anak kecil sebagai sandera sungguh perbuatan yang nista! Aku berpikir keras, sangat keras, karena meski tiada kupedulikan nyawaku sendiri, tidak berarti Nawa juga akan selamat jika aku mati. Apapun akan kulakukan demi masa depan anak kecil yang cerdas ini, yang sangat mencintai ilmu pengetahuan dan tidak berm inat kepada ilmu silat sama sekali.

"Serahkan! Sekarang juga!" Dalam kegelapan kudengar sosok di belakangnya berkelebat..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar