Jilid II
...... Tiga tahun lagi aku dengan muridku akan mengunyungi gurumu, untuk mencoba gemblengan masing-masing itulah tantangan gurumu sendiri.”
“Uh-uh ...... bahok..” jawab Bisu yang nampaknya sangat bergembira. Maka berpisahanlah mereka kearah masing-masing.
Purbaya berjalan dibelakang gurunya didalam gelap sang malam yang sudah mengganti siang hari itu.
“Paman, apakah jurus itu palwa-ranu itu, mengapa sangat hebat, sampai pukulan guntur-geni tidak berarti terhadapnya?!”
“Nama lengkap jurus itu adalah Palwa mungging ranu, berarri perahu diatas air ….. bila ada angin dari kiri, ikut membelok kekanan, dari kanan belok kekiri, menurutkan keku atan pukulannya saja. Maka yang memukul serasa memukul udara kosong belaka. Hebatnya jurus itu, dapat menyesuaikan berat tubuhnya dengan gaya angin pukulan musuh, hingga dapat serta bersama pukulan. Setelah terbawa baru diegoskan sedikit, lenypkan hawa pukulan. Maukah denmas memilikinya?”
“Pasti mau pamaa, asal dipandang perlu saja oleh paman guru.”
“Baiklah, nanti kita pelajari jurus itu sebagai pelajaran pertama. Tetapi terpaksa bertarak-brata, tujuh hari tanpa makan-minum, bagaimana?”
“Ah, tak apa paman, bagiku biasalah hal semacamnya.”
“Bagus-bagus, malah sebaiknya aku ajarkan sekaligus nanti, mengatur pemafasan istimewa, untuk mengambil sari makanan dari udara, hingga manusia tidak perlu mati tanpa makan hari sampai tiga bulan sekalipun.” “Tidaklah itu mengurangkan arti tarak-brata, paman?” “Mengapa mengurangi .. . .. pokok, adalah tidak makannya ini
berarti memjucikan diri dari pengaruh makanan biasa yang mengotorkan gaya berpikir dan gaya cipta. Kita coba sajalah nanti, jangan kuatir kalau denmas tidak akan menjadi puas kemudian.”
“Terima kasih, paman, aku hanya dapat berbakti kepada paman guru saja.
****
ENTAH APA yang dikehendaki oleh ajar Cemara-Tunggal dari dirinya itu ... Waktu paman guru mengatakan sudah sampai dipertapaannya, denmas Purbaya tidak melihat gubug atau gua, yang biasanya dipergunakan oleh seorang petapa, untuk bertempat tinggal, berteduh dikala hnyan atau berlind~ng pada waktu. badai mengamuk merr~bawa angin maut yang disebut ampuhan nu. yang nampak hanya sebuah pohon Cemara tua yang sudah hampir brindil tiada berdaun lebat.
Anehnya pohon itu seperri tumbuh dibatu yang gepeng dan lebar, hampir berbentuk lingkaran dengan jari-jari kurang lebih tiga meteran. Sekitar batu bundar itu, berjarak tiga meter pula, umbuh semacam pandan berdaun keras, tingginya tidak mencapai satu meter lebih sedikit. Mengerrilah denmas itu sekarang mengapa gurunya bergelar ajar Cemara Tunggal. •
Kata orang tua itu : “Denmas, hujan dan angin beserta ampuhannya, yang sok ditakuti orang itu sebenamya teman hidup manusia didunia ini juga. Maka janganlah kecewa, kalau kadang-kadang bertemu erat demgan mereka itu. Sesuaikan perasaanmu dengan kenyataannya, maka pasti bertambahlah kekuatan.
Cara kita menyesuaikan diri demgan apapun yang menempa diri kita, adalah mengheningkan cipta, memusatkan tenaga batin me.nyatukan diri demgan keadaannya, Cara mengatur pemafasannya memang agak sulit, terapi bila kita tekun mempelajarinya, pastilah kita memperoleh kemajuannya. Hajo.... ..
Ikutilah caraku ini.”
Pemuda gagah itu bertekad bulat untuk bisa menjadi murid yang. dapat dibanggakan gurunya, maka bagaimana berat dan sulit segala ajaran gurunya dipatuhinya sampai sekama. hingga
berhasil baik. Mula-mula memang tidak mudah melakukan perintah guru itu.
“Menjalankan pernafasan menarik dengan lubang hidnng sebelah tanpa dibantu dengan tutupan jari. Setelah ditahan sampai empat-puluh hitungan lamban, baru dilepas melewati lubang hidung yang satunya, juga tanpa bantuan jari.
Purbaya mencobanya berkali-kali tanpa memdapat kemajuan sedikitpun. Dua hari berturut-turut ia hanya mengulang dan memgulang percobaannya masih belum sempuma hasilnya. Teiapi ia pantang mundur-kalau perlu seumur hidup ia akan memcobanya, malu terhadap kesanggupannya sendiri. Baru hari yang kelimanya Purbaya mendaparkan kunci jalan pemafasan ajaib itu.
Sekali mememukan kuncinya, segala kesulitan hilang lenyaplah baginya, Jurus-jurus ajaran gurunya yang semula sangat sulit dilakukan, kini menjadi mudeh baginya. Dirasakan badannya menjadi sangat enteng dan semua gerakannya menjadi gesit lagi bersih•rapi. Hanya menggunakan latihan ttga bulan, pemuda itu meudapat kemajuan yang tak terhingga pesatnya. Ah, benar-benar mengagumkan bakatmu denmas kau hampir melampaui gurumu sudah dalam ilmu Palwaranu. Si Bisu pasti bukan andinganmu lagi, lihat saja nanti. Nah. . . . . sekarang yang paling sulit dicapai, jakni jurus :
BUMI GENJOT GONJANG-GANJING. Hanya tiga macam djurus .... l. bumi genjot, . bumi gonjing, . kombinasi dari satu dan dua.
Jurusnya tidak sulit, tetapi pengerahan tenaganya kearah kebalikan, maka jika belum dapat mengatasi jalan darah membalik, sangat berbahaya dilakukan. Cara membiasakan aliran darah membalik, adalah bersamadi dengan berjungkir balik. Tetapi paman melakukan itu dengan menelah cara wanara Bali (Walin) bertapa, jakni : ujung kaki mengait dahan.
Lihat demikianlah caraku .
Habis berbicara, orangnya sudah berkelebat keatas dahan cemara, yang tingginya ada empat meter dari tanah, lalu menggantung dengan kepala kebawah, kedua lengan bersilang, dimuka dada, ujung kakinya berkait pada dahan cemara itu. Purbaya terpaksa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal pula……
Inilah hebat, pikirnya baru menaruhkan kepala dibawah sadja telinga sudah mengaung keras ... apalagi bersama di dengan cara guruku itu.
Toh, ada orang yang dapat berbuat demikian mengapa aku juga tidak dapat menirukan. Pendeknya aku harus bisa ... masakan guru mengayarkan suatu ajaran kepada muridnya tanpa menilai kekuatan si murid. Huh ... apa dikhawatirkan, paling-paling aku jatuh mati kalau tidak kuat, maka itu adalah lebih baik lagi dari pada mengecewakan harapan gnru. Dengan tekad baja denmas Purbaya mengayun tubuh sekuat tenaga, maka dapatlah ia menirukan gaya gurunya. lapun segera mencontoh sang guru dalam segala tata semadinya. Sudah barang tentu denyut darahnya dirasakan hebat dibagian-bagian nadi pelipis, sedang kedua telinga mengiang bagai memecahkan anak telinga, Terapi ia pantang menyerah.
Terdengar suara gurunja ... jangan terlalu lama dulu denmas, harus sabar, sedikit demi sedikit mengatakan kesulitannya ....
Kemudian guru dan murid itu sama-sama melepaskan kaitan kaki-kakinya, meloncat turun dengan gaya yang bagus sekali, karena harus menggoyang badan untuk jatuh pada kedua kakinya. Ajaran baru yang seru sekali dicoba mengerjakannya, pastilah saja masih terasa sangat asing. Maka waktu sudah berdiri ditanah, segera denmas Purbaya jatuh terduduk.
“Ha, …… sudah semestinya agak pening tetapi tak apalah,
Minggu ini denmas tidak boleh lebih dari sepemakan sirih melakukan latihan ini. Bila sudah merasa biasa boleh waktunya ditambah dengan sepemakan sirih lagi demikian seterusnya, hingga menjadi biasa sama sekali.
Bila kemudian denmas dapat berbuat demikian selama tiga hari tiga malam berturutan, masaklah waktunya untuk berlatih jurus- jurusnya.
“Baik paman.”
Setelah merawat gurunya dengan hidangan sederhana sekali barwujud ketela rebus dan minuman kesayangan legen enau, maka berlatihlah putra pangeran itu, menekuni segala ajaran yang pemah jadi miliknya, ditambah pelajaran-pelajaran baru dari gurunya. Sorenya ia berlatih samadi menggantung dengan kepala dibawah, sampai larut malam,. Tiga bulan sudah lewat lagi. Tanpa mengalami kesulitan Purbaya dapat melakukan sarat yang dikatakan paman gurunya tiga hari tiga malam berturutan bersamadi deagan caara wanara Bali. Maka setelah itu, giatlah ia me mepelarljari gerakan•gerakan jurus sakti yang diajarkan gu-unya secara isiimewa sekali. Tiap-tiap gerakan, baik tangan maupun kaki, dilakukan berulang-ulang karena tak boleh berbuat krsalahan sedikitpun jang dapat membawa akibat jelek oto tnya semdiri.
Tiap-tiap jurus diajarkan dalam sepuluh hari. Dapat dibayangkan betapa sulitnya gerakan-gerakan yang dikatakan tidak susah oleh gurunya dulu, namun berkat ketekunannya dalam waktu sebulan utuh itu, denmas Purbaya dapat menguasai ketiga jurus Bumi-genjot gonjang-ganjing. Kata ajar Cemara Tunggal, “Cukuplah sudah pelajaran paman, denmas .... tinggal mengolah dan memasakkan saja. Aku kira dengan bakatmu yang tidak tercela itu, dalam sepuluh bulan berlatih, akupun sulit menandingi kemampuanmu nanti. Hayo …... muridku yang baik, jangan menge:jewakan gurumu ...... berlatihlah sungguh-sungguh dalam bauas waktu yang aku sebut tadi. Sekarang juga aku akan berkelana untuk sekian lama.”
Tinggallah Purbaya seorang diri dipertapaan Cemara Tunggal, untuk memasakkan ilmunya. Pastilah saja mula- mula denmas Purbaya sudah memsa kangen kepada keluarganya juga ingin sekali melhat ajeng Alit, si manis mungil.
Tetapi martabat murid yang baik, tidaklah pantas mengingkari perintah guru, yang sudah berjerih payah memimpin dan mengajarkan ilmunya itu.
Purbaya menyengir muram menghadapi soal kangennya tadi
….. pikimya : “Hm …… mana aku tidak dapat mematuhi perintah guru. Biar lipat tiga-empat sekalipun wakmnya, pasti aku tidak menolak. Aiiiih, paman legakan hatimu, muridmu ingin menjadi
orang laki-laki sejati. Hajo, eayahlah rasa yang tidak-tiddk ini, masakan lari gunung dikejar.
Maka sejak waktu itu Purbaya selalu tekun berlatih jurus istimewanya, diteruskan dengan jurus-jurus yang telah dimilikinya. Malamnya dipergunakan untuk bersamadi wanara Bali, karena setelah biasa, dirasakan manfaatnya yang sangat besar. Tidak banya kekuatan bertambah besar, kecerdasan otakpun menjadi lebih terang
.... sedang segala indera juga lebih tajam.
Hari berganti hari, yang menjadi minggu bulan bersambung bulan, Sang kala berjalan terus, apakah artinya sepuluh bulan yang dipergunakan untuk berlatih mati-matian seperti dikerjakan oleh pemuda gagah itu. Kira-kira limabelas bulan ia meninggalkan ibu- kota Kartasura, sebagai pemuda sakti gemblemgan ayahnya .. ...
kini sudah menjelma jadi pemuda yang sulit diukur lagi kemampuannya. Baru berumur dua puluh tiga tahun, sudah berilmu padat dan rapat, dan justru karenanya sikapnya makin runduk, makin sopan makin suka mengalah. Maka agaknya memancarlah prabawa gaib dari keseluruhan pribadinya lebih-lebih dari mukanya yang nampak keagung-agungan.
Tepat pada waktunya, sepuluh bulan ......... • ajar Cemara Tunggal muncul kembali diasramanya dan lurus saja merangkul murid satu satunya itu: “Muridku …… denmas, benar-benar hebat, luar biasa. Paman memuji tidak sembarangan, karena biasanya aku kenal barang baik dan yang kurang baik. Aih-aih semuda
umurmu denmas, sudah padat isinya, hemm,...... bila saja denmas salah menggunakan jayanya, celakalah dunia kita ini. Maka pupuklah selalu pribadimu yang gagah perkasa itu, jauhilah rasa ingin berkuasa, ingin menang sendiri. Berdarma baktilah terhadap sesama hidup, lebih-lebih yang membutuhkan pertolonganmu. Ingat selalu kepada martabat sang Dananjaya, yang selalu siap menolong!”
“Paman, bolehkah aku bertanya tentang sang Dananjaya, karena paman menghendaki aku sebagai orang bermartabat sang Harjuna itu?!”
“Memgapa tidak nak, apanya yang tercela ksatria prajurit itu?” “Sebagian orang menganggap sang Dananyaja bukanlah tokoh
yang harus dicontoh, karena ia saugat menyukai wanita, Selalu
dicerirerakan dimana saja mempunyai isteri berserta anaknya ......
hingga malah ada yang mengatakan bahwa ialah jagoan kawin.”
“Ha-ha ...... mudah saja orang mencela orang lain bukan. Apakah sudah pasti baik tindakan sendiri, siapakah berani mengupas diri sendiri seperti kalau mengupas keadaan orang lain
...... Sebenamya saja, adakah orang laki-laki dewasa tidak suka akan seorang wanita? Bila orang itu orang biasa saja, hanya ada jawaban satu, ialah; SUKA. Tidakkah wajar kalau sang Harjuna juga suka akan wanita cantik itu. Kecuali itu, orang yang mencela tindakan Harjuna, pastilah orang yang tak mengenal dunia pewajangan yang sebenamya.”
“Mengapa demikian paman?” Purbaya menegas. “Karena dunia pewajangan adalah ilmu-falsafah hidup
manusia, yang diajarkan dengan pasemon (ibarat) dan dipergunakan dengan wujud Lajang-bayangan (wajang).
Misalnya sang Harjuna …… dalam hubungan Pandawa lima, adalah pasemon NAFSU SUPIAH, yang lajimnya dikatakan bersorot kuning, itulah salah satu nafsu yang timbul dari anasir AIR pada badan manusia. Kedudukannya ditulang-tulang dan sumsum manusia wataknya menginginkan segala, kesengsem, gandrungan, kasmaran dan selalu terpikat akan segala kegembiraan dunia.
Bila nafsu supiah dituruti saja, mana manusia dapat hidup tentram dan senang. Tetapi bila nafsu itu dapat dikendalikan dengan baik ……. aih, dialah pendorong kemajuan, perbaikan yang berguna sekali, dialah senjata ampuh bukan main .... tidakkah nama sang Harjuna juga sang KUNTADI, artinya senjata hebat?”
“Ah, demikiankah kiranya maksud yang sebenamya. Baru kali ini anak mendengar tafsimya.”
“Baik denmas, diwaktu malam senggang kita lanjutkan pembicaraan ini, supaya jangan membosankan. Baiknya sekarang ini kita berlatih saja, supaya lebih leluasa denmas mempratekkan jurus-jurusmu. Hayo, jangan sungkan-sungkan dan waspadalah!”
Kedua orang itu siaplah sudah, seorang guru yang akan melatih muridnya. Purbaya segera mendak menyembah sang guru. Dalam posisi itulah ia diserang gurunya secara tidak ketanggungan. Tetapi mana dapat pemuda itu dikenai pukulan geledeknya Cemara Tunggal, karena telah bersiap dengan jurus palwa-ranu. Nampaknya pemuda itu mental dari tempat semula, tetapi hanya setindak saja, badannya diegoskan sedikit, maka langsunglah pukulan gurunya menyemberet kesamping, hingga terpaksa dipuji oleh ki Ajar. “Bagus-bagus anak baik …… hajo jangan sungkan menggunakan jurus apa saja!”
Bagaimanapun juga Purbaya agak merasa segan untuk menyerang dengan hebat-hebatan, maka mula-mula ia masih mengutamakan pemjagaan diri saja, kakulah rasasnya. Ki Ajar tak henti-hentinya menganjurkan supaya sang murid jangan takut•takut menyerang ....... “Eh, mengapa, berlatih setengah-setengah begini …… penuhkan tenagamu. Jangan kira guru sudah menjadi orang bobrok yang tak tahan menerima gebugan geledeg!”
Tapi lama kelamaan, lenyaplah keragu-raguan pemuda itu, karena asyiknya bertanding dan tahu-tahu ia sudah menggunakan tenaganya seratus persen, melancarkan jurus-jurus sakti jang dapat dipergunakan, sesuai dengan kedudukan kaki dan badanya.
Saking asiknya berlatih karena mendapat tandingan setimpal, lupalah mereka akan waktu dan segala-galanya.
Tiga hari dan tiga malam, bertanding terus dengan seru sekali, mempergunakan jurus-jurus sakti yang tidak temilai keampuhannya, hingga pohon-pohon disekitar tempat berlatih tadi roboh malang-melmtang, terlanggar angin pukulan mereka.
Akhirnya yang rersadar lebih dahulu dari keadaan mabuk berlatih iiu, adalah ki-Ajar, Dengan pekik nyaring ajar Cemara Tunggal meloncat mundur tiga depa.
“Selesai!”…… yang ditimpali oleh muridnya.
Purbaya meloncat tiga depa kebelakang, jatuhnya ditanah sudah dalam posisi menyembah seperti waktu akan berlatih tiga hari yang lewat.
“Murid baik gurumu merasa puas sekali.”
“Terima kasih paman, terimalah pula sembah sujudku!”
“Baik-baik itupun aku terima, tetapi latihan yang bagus inilah yang paling kuhargai karena dengan hati lapang aku dapat menyuruhmu, denmas, kembali kepada sahabatku itu!”
“Adakah sesuatu yang terjadi di Kartasura, paman?” Tapi lama kelamaan, lenyaplah keragu-raguan pemuda itu karena asyiknya bertanding dan tahu-tahu ia sudah menggunakan tenaganya seratus persen, melancarkan jurus-jurus sakti yang dapat diper- gunakan, sesuai dengan kedudukan kaki dan badannya. “Belum ada perubahan apa-apa, kecuali kanjeng Sunan Amangkurat II sudah sering jatuh gering.
“Adakah paman bertemu dengan ayahku?”
“Ya, aku memang sengaya mampir, untuk menikmati hidangan yang lezat-lezat dirumah kanjeng pangeran. Beliau sehat-sehat saja, juga menanyakan putra pamerannya ...... hmm, agaknya beliaupun puas dengan kemampuan denmas yang sekarang.
Oh, ya masih ada pesan ayahmu yang tidak menyenangkan bagi
denmas ... itulah tentang putri Alit, yang hendak disuruh kawin dengan Bupati Mancapraja oleh kakaknya pangeran dipati Anom. Agaknya pangeran itu tidak setuju jika ajeng Alit ada hubungan yang erat dengan salah seorang dari keluarga ka Pugeran.
Karena Alit tidak berani membangkang perintah kakak putera- mahkota itu, maka kini putri itu jatuh sakit yang tak kunyung sembuh oleh segala macam obat.”
“Paman, ... kata Purbaya terharu bercampur marah …… paman, tidakkah ayah dapat berbuat suatu apa?”
“Itulah yang disesalkan ayahmu. Sudah beliau menghadap Sri Baginda sendiri, tetapi Baginda sendiri sedang menderita sakit yang tidak ringan, hingga tidak tegalah ayahmu membicarakan sesuatu yang dapat menimbulkan suasana buruk dalam keraton.”
“Paman, perkenankanlah muridmu meminjau keluarga ka- Kartasura barang beberapa hari.”
“Anak aku tahu hal itu …. dan sebenamya kuatir akan kenekatanmu nanti. Bagaimana denmas, dapat kau mengatasi hawa amarahmu disana? Ingatlah akan nasib keseluruhan keluargamu, bila terjadi hal-hal yang sangat tidak kuinginkan …. bagaimana ?” “Mudah-mudahan anak dapat bertindak menurut gelagat nanti. Kalau mungkin anak akan bertemu sekali lagi dengan kang mbok Alit itu.”
“Misal ajeng Alit yang lalu nekad, ikut dengan denmas menentang segala rintangan, bagaimana?”
“Tidak mungkin paman, kang mbok adalah seorang putri sejati
.... agaknya lebih baik daripada berbuat yang mencemarkan namanya.”
“Nah, baiklah denmas, berhati-hatilah dalam segala tindakanmu. Nasib seseorang adalah hak Tuhan, bukanlah manusia rendah yang menentukan. Segala sesuatu adalah terjadi karena kehendak maha Agung, maka menyerahlah bagian manusia, setelah berusaha sebaik mungkin.”
“Restuilah aku, guru ... semoga aku dapat berbuat bijaksana!”
****
SEBAGAI PEMUDA ganteng yang sudah berilmu tinggi sekali, denmas PURBAYA meninggalkan ibu kota negara Mataram Kartasura umuk sementara waktu, guna menghindari semgketa demgan keluarga keraton, demi keselamatan dan keutuhan keluarga kepangeranan PUGER.
Dua puluh bulan kurang-lebilnya, ia mendapat gemblengan lahir-batin dari ajar CEMARA-TUNGGAL yang berjulukan si KUNYUK-SAKTI, seorang tokoh terpendam luar biasa, dilereng gunung Lawu, Berbulan-bulan ia menekuni pelajaran gurumya, menyesuaikan matram dengan pengerahan tenaganya, diruntutkan dengan gerak jurus-jurus saktinya, dibangun dipelihara didasari tarak-brata ruaka tanpa disadArinya meningkatkan ilmunya dari
taraf sare'at dan tarekat kepada hakekat. Ini berarri, bahwa ilmunya dengan Tata hidupnya lahir dan batin telah menjadi satu.
Keruan saja yang kini melunrjur pesat sebagai kilat, menuruni lereng gunung angker itu, adalah denmas Purbaya, macam pemuda baru yang luar biasa yang sudah tidak terukur lagi kemampuan dan kedigdajaannya. Kadang-kadang badannya yang tinggi tegap, kokoh kekar, padat-rapat itu, nampak sebagai terbang diangkasa, bila pemuda itu meloncati tebing-tebing, jurang•jur:mg atau relung relung mengerikan, untuk memperpendek perjalananya. Tambahkan kumis dan bulu dagunya yang mulai melebat .... Pasti saja orang yang melihatnya dikala itu akan mengira, bahwasannya raden Gatutkaca, tengah melajang-lajang diaugkasa raya.
Demikianla, kesan yang timbul dihati seorang tua, berpakaian serba kain lurik wama kelabu, bertongkat trisula (tombak bermata tiga), yang tengah berjalan memdaki gunung seenaknya, tetapi yang sebenamya cepat sekali itu. Waktu melihat Gumam orang tua tanpa terasa “Hei hei mana bisa raden Gatutkaca masih berkeliaran diangkasa pada jaman manusia waktu sekarang. Hmm .. .. .. .. .
orangnya masih sangat muda. Aih, hebat benar perawakannya, demikanlah agaknya, wujud
Gatutkaca jaman Purwa itu Siapakah dia ini? Pemuda sakti
dari mana dia dan apa perlunya pula bergentayangan di lereng gunung. Hmmm ......... aah, mungkinkah dia ini murid tunggal
si Kunyuk-sakti ..... hebat-hebat......... dalam asuhan guru sakti, tak ada murid yang lemah, teranglah dia ini pasti murid Kunyuk tua itu. Bagus-bagus . . . . . memgapa tak kucoba kemampuannya, untuk dinilai sekaligus.” Dari jauh denmas Purbaya melihat seorang tua bertongkat jatuh tergelincir masuk ke dalam jurang yang dalamnya tidak kurang dari lima meteran. Sayang ... sekalipun ia dapat terbang benar, tidaklah ia dapat mencegah omng tua itu terperosot jaiuh, karena jaraknya masih terlalu jauh dari tempat orang itu berada.
Celaka-teriak pemuda itu itu, saking ngeri melihat tubuh seorang kakek terjatuh dari tempal yang cukup tinggi, untuk memdapat luka parah. Dan dalam beberapa loncatan saja sampailah ia pada tebing curam tersebut. Ternyata dasar jurang luas juga, kira- kira - meter. Disilulah orang tua tadi tedihat terlemtang tanpa gaya lagi layaknya. Terjunlah demmas Purbaya demgan gaya yang entemg sekali kedalam jurang untuk segera dapat memberi pertolongan kepada si celaka.
Tetapi siapa tahu ..... baru ia mengulurkan tangan hendak memjamah orangnya, kakek itu sudah melenting ringgi sambil menampel tangan yang hendak menolongnya, demgan mata melotot bengis. Setelah kakinya menginjak tanah, segera ia mengambil sikap memusuhi si pemuda.
Demmas Purbaya yang sekarang itu, bukanlah pemuda yang baru datang dari Kartasura dulu ...... bagaimana cepat orang menyererangnya, dalam keadaan tak berjaga•jaga, mustahil orang dapat menyentuhnya, hanya karema kepekaan prrasaannya yang terlatih baik sekali itu. Maka tampelan kakek itupun lewat tanpa memyentuh tangan yaing dijulurkan walaupun hanya selisih setemgah senti saja
Sudah barang tentu kakek tua itu memuji demgan perasaan kagum dalam hatinya, karema pemuda itu dapat menghindar dari tampelan tangannya yang digerakkan gesit luar biasa.
Denmas Purbaya-pun tak luput dari perasaan kaget, tiba-tiba merasakan samberan angin keras sekali kearah lengan yang diulurkan. Baiknya jurus palwaranu telah menjadi darah dagingnya, dapat bekerja otomatis dan cepat hingga dapat mengikuti, arah samberan anginnya beberapa senti untuk kemudian mengelak, dengan memiringkan lengan itu maka bebaslah ia. Kini pemuda itu sudah berdiri berhadapan dengan orang yang menyerangnya secara aneh tadi.
“Hai .... mengapa dia masih dapat bergerak secepat ini pikir pemuda itu setengah tidak percaja .... Menilai gerakannya, dialah seorang sakti sekali ... Mengapa bisa terjatuh dijurang? Meloncat dari keadaan celentang, hanya dengan melenggangkan badan, sambil menampel tangan orang masakan dapat dikerjakan orang biasa? Hmm .... agaknya orang ini mempunyai kehendak tertentu apakah itu?”
Kakek itu membentak keras dengan menudingkan tongkatnya : “Kau mau apa .... huhhh, pemuda tak tau malu .... , Kau mau
rampas barangku ...... kau kira aku sudah mampus, bukan? Wah,
kok enak ya, menghendaki barang orang tanpa keluar uangpokok, alias merampok. jangan kira aku takut padamu, Ya!”
Jawab pemuda itu sambil membelalakkan mata tidak mengerti, “Tidak pak, tidak ... ak-ak ... aku tidak hendak merampas
barangmu, aku bukan perampok, Sebenamya eh, sebenamya ….
eh !”
“Eh, eh- apa kalau tidak mau mengambil barangku, Huu-uh, memalukan anak muda jaman sekarang, pengecut tanpa guna.
Jangam bersikap pura-pura ya, terhadap aku si orang tua. Masakan aku tidak tahu kehendakmu itu ?”
“Kakek, jangan menuduh orang sembarangan saja. Yang benar aku hendak menolong bapak ini. Dari jauh aku melihat bapak terjatuh kedalam jurang. ltulah sebabnya aku juga berada disini. Tetapi temyata bapak tidak mendapat luka, maka sebaiknya aku melancutkan perjalananku saja,
“Nah, sel “
“Hei tidak - tidak bisa begitu mudah selesai urusan kita ini.
Kalau kamu kulepaskan begitu saja mana kamu tidak akan menjadi momok masarakat, merampas disini, merampok disana, berbuat sewenang-wenang menuruti kehendakmu sendiri saja!”
“Tidakkah bapak ini aneh sekali, apanya yang masih harus diselesaikan …. atau, adakah kehendak bapak yang tertentu terhadap diriku!?”
“Huh .... maksud apa-apaan .... yang benar ... saja, aku ingin memberi pelajaran kepadamu, supaya jangan sok suka bertangan- panjang, menginginkan milik orang lain!”
“Terima kasih, pak tua ... , pelajaranmu itu pasti akan kupedomani selalu.”
“Mana bisa pemuda sepertimu dapat mengingat-ingat pelajaran orang tanpa iringan yang mengesankan bagimu!”
“Lalu .... bagaimanakah bentuk iringan mengesankan yang pak tua maksud itu?”
“Ha-ha-haa apa lagi kalau bukan tiga kali tamparan dan tiga
kali gamparan keras, untuk merekatkan pelajaran itu pada tubuhmu!”
“Ah, agaknya itulah maksnd pak tua yang tertentu kepadaku. Nah .... baiklah, silahkan kakek melalukannya. Hanya ketahuila, bahwa aku akan mempertahankan diri sedapat mungkin secara orang-laki-laki, aku merasa tidak bersalah.”
“Boleh-boleh. kalau kau mampu saja berbuat begitu.” Habis berkata demikian orang tua tersebut yang sebenamya Kyai Harga Dumilah atau HARGA-BELAH bemama ajar HADISUKSMA, lalu mengibaskan kedua lengan bajunya „but-but‟ cepat sekali berturutan. Angin santer sekali menyambar kearah denmas Purbaya yang nampak melangkah surut selangkah lalu mengegoskan badannya kekiri dan kekanan mengikuti arah dan gaya pukulan tadi, Bebaslah ia dari inti samberan angin pukulan, sedang kedua tangannya yang melindungi dada dan lambung, sudah bergerak otomatis menghantam dan menindih serangan lawan dari samping …blang … berbenturanlah kedua angin pukulan sakti itu, maka gempurlah kedudukan kaki kedua pelakunya.
“Bagus ...... seru HADI SUKSMA, . . . temagamu hebat sekali, apakah kau dapat mengimbangi kecepatan ini juga?!”
Berka ta demikian sambil melancarkan pukulan berantai yang cepatnya sebagai air bah melanda dataran berupa jotosan gebahan- sabetan tangan miring-cengkeraman-rangsangan tusukan jari kesegala arah yang sangat berbahaya. Jangankan hingga tersentuh jari orang sakti itu ...... baru terserempet anginnya saja cukup memberi kesan sebagai disajat pisau tajam.
Terapi jurus PALWA RANU pemuda gemblengan itu, bukanlah jurus yang terlatih biasa saja, melainkan sudah menjadi ilmu seurat sedaging dengan pemudanya, maka ajar Hadisuksma boleh mempercepat gerakannya bila masih dapat neningkatkan kecepatannya ……. pastilah tidak akan menjadi halangan bagi pemuda luar biasa ini.
Semakin lama bertempur, semakin menjadi kagumlah orang tua itu. Sudah berkali-kali ia menggunakan jurus istimewanya.
Srikatan menyambar walang (burung srikatan menyambar belalang), namun jurus inipun tiada berguna, karena ditimpali nya dengan jurus Prenjak tinaji oleh lawannya. Sudah lebih dari satu jam mereka mengadu tiasa, keras lawan keras, gesit lawan cepat tipu lawan siasat, maka pertempuran itu kian menjadi seru demgan kecepatan yang mengaburkan pandangan mata. Keduanya berusaha keras untuk menindih kekuatan lawan, namun hingga sekarang mereka masih berhautam seimbang. Perbedaannya hanya nampak pada sikap masing-masing setelah bertanding lama iiu, Denmas Purbaya kian menjadi bersemangat, mantap gagah dan garang berseri-seri, sedang dipihak lain kian nampak tenang, penuh semangat tetapi juga sangat berhati-hati dan cermat menghemat tenaga dalam pertahanan gigih.
Hingga disitu sebenamya tahulah ajar Harga Belah, bahwa pemuda ini sekurang-kurangnya dapat mengimbangi kekuatannya sendiri, malahan masih mempunyai segi-segi keunggulan. Tetapi ia belum lagi mau menghentikan percobaannya…... ingin benar ia tahu hingga manakah pumjak kemampuan pemuda asuhan sahabatnya, si Kunyuk Sakti itu, Masih ia memancing-mancing serangan atau pertahanan denmas Purbaya.
Maka celakalah tebing-tebing jurang dimana mereka bertempur itu, terpaksa mengalami perubahan tergempur di beberapa tepinya, batu-batu gunung wadas-wadas yang terdapat di dinding relung itu, banyak yang terbongkah dan pecah berhamburan karena pukulan- pukulan istimewa. Lebih hebat lagi kerusakan dinding jurang waktu denmas Purbaya mulai mengunakan jurus. BUMl GENJOT GONJANG-GANJlNG jang tidak tanggung-tanggung kehebatannya
...... biarpun pemuda itu hanya mengunakan dua jurus saja, yaitu jurus Bumi Genjot dan Bumi Gonjng Bagaikan hujan batu besar- besar dari mulut jurang tadi yang melurug kebawab membawa serta batang-batang pohon yang berada dijalanan.
Repotlah Kyai Harga-belah, menyelamatkan diri dari pukulan- pukulan geledek pemuda itu, yang anginnya meajesakkan napasnya, menindih tenaganya bagaikan menahan tubuhnya tugu-baja. Dengan meloncat jauh-jauh, baru ia merasa agak bebas dari gangguan tenaga sakti lawanya.
Benar benar ia menjadi sibuk sekali, karena dengan menghindar sejam demikian, pastilah segera ludas kekuatannya, dipergunakan berlehih lebihan itu. Hampir saja ia hendak berseru mengaku kalah saja, tetapi terdengar teriak orang mendahulumja: “Tahan seranganmu, denmas.”
Tahulah Purbaya, bahwa yang datang menyela itu, gurunya sendiri. “Ah. paman guru pasti tahu, siapa lawanku bertempur ini,” demikianlah ia berpikir. Kini muncullah ki Ajar Cemara-Tunggal dari balik batu menonjol, dalam jurang itu, entah bagaimana datangnya.
Dengan senyuman lebar berkatalah ia: “Heh-heh-heh sudab puas menjajagi kekuatan muridku, kakek pikun Harga-belah Ha-
h.a, untung kamu hanya diberondong dengan pukulan Bumi genjot dan bumi gonjing, saja .... heh-heh-heh, kalau disertakan pukullan gabungannya …….. bumi genjot-gonjang-ganjing, dimana kamu dapat menaruhkan kepalamu yang sudah botak itu, pikun ?”
“Aih, hebat, ... hebat, kau benar Kunyak-tua, muridmu itu bukan tandinganku, tetapi dalam jangka waktu setengah tahun lagi saja …. , huh-huh-huh …. . jangan harap, kau masih tahan akan terjangannya, jya ”
“Tak usah lama-lama, sekarang saja aku sudah kalah tenaga kalah luwes dan cekatan. Hmm .... sekarang kembali kepada kau, apakah perlumu berkeliaran sampai disini, pikun.... Tidakkah aku sudah berjanji akan membawa muridku kerumahmu?”
“Yaaaah, aku ingin menyengukmu, Kunyuk .... sudah lama sekali kita tidak bertukar pikiran. Kecuali itu aku ingin juga melihat pemuda asuhanmu yang di-puji-piji oleh si Jaka Bluwo, si bisu, Nah, sekarang puaslah hatiku .... dan, jaaah .....mana dapat murid- muridku merendengi pemuda ini. Eh, Kunyuk-tua, coba perkenankanlah aku kepadanya!”
“Aih, pikun .... kau, benar sudah menjadi amat tua, sampai bertempur hampir copot semua anggota badanmu, kamu belum mengenal lawan, bagaimana sih kamu ini? Murid-tunggalku itu bemama denmas Purbaya, putera Pangeran Puger, yang menjadi sahabatku. Sebelum denmas berguru kepadaku, sudah mendapat dasar kuat sekali dari ayahandnya sendiri ... asuhanku hanya bersifat tambahan dan memperkokoh dasaran saja.”
“Bagaimana kau sudah berhasil, Kunyuk-tua, baguslah!”
Purbaya hanya tersenyum saja seraya membongkok hormat kepada bekas lawannya, yang temyata sahabat karib gurunya itu.
Berkatalah ajar Hadisuksma: Terima-kasih denmas kau
benar-benar hebat. Tidak lama lagi, denmaslah jago nomor satu diantara gembong-gembong para sakti di bawah bentangan langit ini. Sertakanlah kebijaksanaan dalam segala tindakanmu nanti, pastilah peri kemanusiaan mendapat manfaat besar dari tokoh sepertimu ini.”
“Terima kasih alas petunjukmu paman Hadisuksma!”
“Heii, Kunyuk-tua sudahkah muridmu itu mempunyai nama
julukan? Apakah gerangan yang pantas sekali, baginya. yang semuda ini, tetapi sudah memiliki kemampuan yang sudah sulit diukur lagi itu .... Bila saja sudah agak tua dikit, PANEMBAHAN lah gelarnya!”
“Eh, jangan sekarang disebut begitu …… nanti bila usianya sudah kesana, baru boleh. Sebaiknya sekarang memakai gelar PUTUT dulu, julukannya PUNUNG, singkatan dari EMPU (ahli / nenek-mojang kesaktian) dan GUNUNG (dari gunung dan bukit bukit) Jadi utuhnya gelar muridku sejak hari ini adalah: PUTUT PUNUNG ..... yang kemudian setelah berumur tahun menjadi PANEMBAHAN-PUNUNG..”
“Bagus-bagus julukan itu aku menjadi saksinya.
Nah, denmas .... jaga baik-baiklah nama besarmu yang kau terima dari monyet•monyet pemunggu-gunuug seperti kita-kita, supaja jangan temoda. nama pemberian kami ini.
“Terima kasih paman berdua, demi kehormatan paman berdua, akan kujaga nama itu baik-baik, legakanlah hatimu!”
Kini majulah ajar Cemara Tunggal dengan wayah berkerut angker: “Muridku yang baik, sekali paman memesan apapun
yang terjadi, baik atau buruk dalam pemilaianmu …… itulah kehendak Maha Agung, yang pasti paling baik …… baik, bagi semua orang, juga baik untuk denmas. Mungkin manusia tidak segera dapat mengerti kehendak Tuhan itu. Justru tidak segera mengerti itulah maka orang tdak boleh lekas berputus asa, atau memikir yang tidak-tidak. Hanya kesabaran dan ketahanan hatilah yang dapat mendekatkan kita kepada kebenaran sewajamya!”
“Terima kasih paman, semoga aku tidak mengecewakan harapanmu. Sekarang, restuilah aku melanjutkan perjalanan kekota, menemui keluargaku!” Menyembahlah ia kepada gurunya, kemudian membongkok hormat kepada ajar Harga Belah terus melesal pergi dari depan mereka, meluncur pesat menuruni leremg gunung
Masih terdengar gumam ajar Hadisuksma lirih.
“Aih …... semuda ini, sesakti .itu ...bila sampai bertindak menyeleweng, apakah jadinya dunia ini ..... siapakah tandinganya. Kunyuk-tua, hal itu banyak sangkut•pautnya dengan gemblengan serta asuhanmu.” “Hmm .... semoga saja, muridku keluar dari kancah perjuangannya sebagai kesatria sejati, berpedoman kepada Tuhan Maha bijaksana, berpegang teguh pada azas kemanusiaan amin amin-amin ……”
“Amin ….!” kata kyai Harga Belah juga.
Berkatalah ajar Cemara Tunggal: “Tahukah kamu, bahwa jagad Mataram dewasa ini sedang dibayangi kabut yang membahayakan?”
“Kunyuk tua .... tidakkah kamu sedang melihat hantu disiang hari bolong dengan ucapanmu itu?”
“Pastilah aku tidak sedang mengigau dalam soal yang segawat ini, Tahukah kau tentaug perangai dan kebiasaan calon yang akan mengganti raja Mataram nanti? Peernhkah kau mendengar tindakan- tindakannya yang selalu menyimpang dari kebijaksanan?”
“Biarpun tidak banyak akupun mendengar juga bisik•bisik orang menembus asrama pertapaanku. Kau ..... yang sok suka datang dikota, apakah ramalanmu mengenai soal tersebut?”
“Selagi raja yang sekarang ini masih hidup masih ada pula
tali-kekang yang dapat mengekang penyelewengan besar, Tetapi raja wafat nanti ..... pastilah segera terjadi hal-hal yang sangat mengerikan, karena berpangkal kepada dendam kesumat dan kebecian yang sudah lama terkandung!”
“Apa atau siapakah yang akan menjadi sasaran utama penyelewengan itu, kunyuk?”
“Itulah mudah sekali dimengerti .... siapakah yang sangat dipandang-pandang orang siapakah GEMBONG KARTASURA,
yang pemah berani bertahan terhadap terjangan kraman jaman Trunajaja yang tak sudi minta bantuan Kumpemi dulu?”
“Bukankah itu pangeran PUGER?” “Tidak usah kau sebut-sebut namanya ...... siapapun tahu orangnya.”
“Apakah •kiranya yang akan terjadi kemudian ... ?”
“Pikun….. jangan lancang mulut, mendahului kejadian ....
diamlah kau, sukur suka berdoa, supaya tidak terjadilah hal-hal yang pasti membawa kerusakan negara.”
“Baik-baik …. mari kita pergi kepertapaanmu saja, boleh kita melanyutkan bertukar pikiran ini, sambil menikmati singkong bakaranmu nanti!”
****
Siapakah yang tidak tahu bahwasanya Kartasura dan seluruh negara MATARAM, pada waktu itu, yakni kira•kira bulan dari permulaan pengembaraan denmas Purbaya .... tengah diliputi suasana gawat, karena sikap Baginda melindungl orang buruan Kump em, ialah Un tung Surapati.
Musuh yang dikejar-kejar oleh Belanda itu, dibiarkan masuk ke Kartasura, malahan mengungsi untuk memulihkan kekuatau dan melegakan nafas, Apalagi pelarian dari Jawa Barat itu mendapat penghormatan dan penghargaan dari sri Sunan. Tidakkah itu berarti membanru musuh Kompeni yang menjadi sahabat Mataram? Sikap yang demikian ini pasti saja mrrenggangkan persahabatan Kartasura demgan pihak Kompeni.
Karena Sri Sunan Amangkurat II (Amang Amral) tidak mau memangkap dan menyerahkan Untung Surapati kepada• Kumpe.ni itu, adalah memjalahi pereljanjian persahabatan Mataram, dengan Kompeni Belanda, sejak sri Sunan didudukkan kembali sebagai raja Mataram, setelah Trunajnya dapat dikalahkan. Perjanjian saling membantu menghadapi itu sudah dilanggar oleh pihak Kartasura.
Lebih nyata lagi sikap Kartasura, waktu utusan Kompeni yang dipimpin oleh kapten Tak, datang di ibu kota untuk menangkap Untung .... Karena bekas perwira Belanda itu melawan laskar utusan, maka terjadilah pertempuranan antara pemgikut Untung demgan pihak Beelanda. Pada waktu kacau itu, laskar Kartasura pura-pura ikut bertempur juga, namun kerjanya malahan menjadi penghalang kelancaran serangan-serangan Bedanda melulu.
Berkali-kali regu-regu Belanda menjadi rusak berantakan, karena memghadapi musuh dari depan dan musuh dalum selimut itu, berupa terjangan orang-orang Kartasura, yang katanya salah hantam karena kacau kiblatnya.
Dalam pertempuran itu, gugurlah kapten Tak, yang membawa akibat tidak baik kepada laskar utusan terpaksa gagal dalam tugasnya ..... Untung berserta pengikutnya dapat meninggalkan Kartasura dengan selamat, melanjutkan petualangan mereka kearah Timur, (Patut disebuikan disitu, bahwa kaptin TAK adalah salah seorang perwira yang pemah mendirikan jasa dalam peperangan Trunajaja.) Maka dapat dimengerti tentang kejengkelan pihak Kompeni terhadap Mataram.
Dengan kejadian itu, sudah .pasti terembetlah Kartasura menjadi kian hangat buminya, kian terasa menyesaklah udara jang merungkup bumi Mataram ..... membuat perasaan kurang tenang dan bimbang.
Bersikap sangat waspadalah yang paling benar bagi anggota pemerintah Untuk menjaga segala kemungkinan, dipanggil dan diaktifkanlah pasukan-pasukan cadangan negara. Menjadi bertambah ramailah keadaan di Ibukota karena tambahnya penduduk baru, anggota laskar, Penjagaao kota lebih diperkuat dari biasanya, Sampai ditempar- tempat yang dimasa damai tidak diperhatikan dan tidak pula dijaga, kini selalu disambangi oleh regu-regu berkeliling, dipimpin oleh punggawa berpangkat ngabehi atau kliwon.
Dapat pula dibajangkan kesibukan para pembesar praja, lebih- lebih mahapatih, raden adipati KUSUMABRATA jang memikul
tanggung-jawab terbesar diantara para pembesar itu. Demikian pula para pembantunya: LIMA-SERANGKAI, yang biasanya disebut- Pancaniti-ialah:
Pembesar bagian Keamanan dan Ketenteraman. Pembesar bagian Pembiajaan.
Pembesar urusan Kedalam dan Keluar. Pembesar urusan Kebudajaan dan Agama.
Pembesar urusan Keluarga Kraton dan Kepegawaian.
Sebenamya orang yang paling tepat untuk menjabat Pembesar bagian Keamanan dan Ketenteraman .... adalah pangeran PUGER, tokoh terbesar di Kartasura, yang sangat disegani dan disukai orang banyak dan para ksatria yang kebanyakan, dimulai kemampuannya dalam kalangan para sakti- manraguna. Bukankah orang tahu, bahwa pangeran Puger lah satu-satu putra Sunan Amangkurat Tegal-Arum (Amangkurat I) yang berani bertahan mati-matian, melindungi gengsi keluarganya, karena terpaksa leres dari KRETA dulu? Sunan Tegal Arum lari beserta pengikut-pengikutnya, termasuk pangeran dipati Anom (sekarang Amangkurat II). Dikejar- kejar oleh. Trunajaya dan kawan-kawan ..... lari kepada Belanda untuk mmta bantuannya kemudian Sri Sunan Amangkurat I. malah wafat ditengah perjalanan lalu dimakamkan disuatu tempat yang berbau harum. Pangeran dipati Anom yang kini menjadi raja, bergelar Amangkurat II (Amral) setelah mendapat bantuan Kompeni, lalu kembali me musuh Trunajaja. Sebelum itu adalah Pangeran Puger seorang yang berani berdiri pada kaki sendiri menghadapi keraman. Hampir pangeran itu berhasil menghalau lawan ....... datanglah pangeran dipati Anom beserta laskar Balandanya, melanjutkan pekerjaan Puger.
Musuh dapat dilenyapkan ... dipati Anom diangkat menjadi Sunan Amangkurat II (Amral) ... dari perkataan ADMIRAAL = perwira tinggi sebangsa LAKSAMANA.
“Jadi pantaslah apabila pangeran Puger diserahi pimpinan keamanan dan keprajul'itan itu, tetapi justru karena keadaan dan kemampuannya itulah ia tidak diangkat dalam jabatan yang terlampau besar kekuasaannya. Pangeran yang gagah-perkasa itu sekarang ini menjabat Penasehat-Agung dan Pantia-Niti tersebut. Mungkin didalam peperangan yang sangat berbahaya ia baru boleh diangkat menjadi senopati laskar Mataram. Pangeran itupun tahu maksud siasat-licik orang terhadapnya, namun ia tidak berkecil-hati karenanya. Sebagai adik jang berbakti kepada kakaknya. la mencurahkan segala daya pengabdiannya. Seujung rambutpun tidak ada niatnya yang bukan-bukan. Memang pada dasamya ia tidak kemaruk akan akan kegemerlapan dunia yang toh tidak abadi ini, ia lebih mengutamakan hal-hal yang bemilai keluhuran jiwa keagungan, ambeg welas-asih-paramarta dan lain sebagainya ….. yang bermutu tinggi…...
Demikianlah sifat tokoh yang kini sedang kta centerakan itu
….. seorang tokoh masih setengah tua berawakan tegap kuat, berwajh angker-segar, terhias kumis tipis terpelihar~. Wajah yang berwibawa itu kini sedang diliputi awan hihatam, kaenna keadaan negara dan keadaan Baginda yang terserang penyakit lumpuh pada kaki kirinya, Baru saja pangeran itu datang dari keraton, menghadap raja untuk merundngkan soal-soal kesulitan negara dikamar Baginda, sekaligus untuk melihat keadaan geringnya.
Waktu itu sudah Jewat tengah malam .... malam seram tanpa bulan, malam yang hanya diterangi oleh bintang-bintang melulu
…… Pangeran Puger nampak dari pintu samping, terus berjalan lambat menuju kekebun bunga dibelakang dalem ka-Pugeran, yang meliputi setemgah halaman bagian belakang Kebun bunga yang cukup luas, itulah tempat kesayangan sang pangeran diwaktu menanggung duka. Bau harum bunga-bungaan selalu membuat tenang rasa hatinya, menjernihkan pikirannya. Biasanya ia lalu terhibur sebagian dari rasa beratnya itu.
Terdengar guman lirihnya waktu sudah berada ditemgah kebun tersebut: “Hmmm .... keadaan negara kian menjadi ruwed-kaka- prabu entah dapat sembuh dari geringnya atau tidak-sudah lebih dari satu bulan beliau tidak dapat menghadiri pasewakan, sedang pangeran dipati-anom makin suka menuruti kehendak sendirr, yang selalu kurang bijaksana. Aih•aih, Mararam …... apakah yang akan terjadi atas dirimu diwakru dekat ini? Aku harus herusaha sekuat renaga, mencari obat yang dapat menyembuhkan kaka prabu dari lumpuh kaki kirinya ….. kemana aku hendak mencarinya itu. Cukup hebatlah penderitaan dunia ini. Tambahan pula nasib buruk anak ajeng Alit yang tinggal menunggu saat kematiannya saja sayang seribu sayang mati dalam usia muda karena lebih suka mati daripada menuruti kehendak kakaknya Dipati Anom yang mengharuskan denajeng Alit bersuamikan salah satu dari dipati manca-praja dengan dalih kepentingan negara……..
Hemm… benar-benar sulit hidup di dunia ini. bagaimanakah sikap Purbaya nanti setelah mendengar dan mengerti keadaan yang sebenamya… Iyaaa ……. Apa jadinya kemudian terserah padamu ya Tuhan……tidak sesuatu akan terjadi diluar kehendakMu. Tiba-tiba pangeran setemgah tua itu memasang telinga kearah utara, Indera pendeuguranya yang tajam itu lapat lapat memangkap bunyi derap kuda banyak memdekat lalu menyebar-berkumpul lagi, lalu menyauh pergi entah kemana.
Dimasa yang gawat, hal semacam itu sering saja terjadi, mungkin peronda berkuda gerak-cepat atau regu-regu pemghubung berkuda, yang membawa perintah dari markas pusat ke penjaga penjagaan, atau sebaliknya membawa aporan dari pos-pos penjagaan maka kurang menjadi perhatian Puger lagi.
Namun in memjadi agak gugup karena kagetnya, melihat berkelebatnya sesosok tubuh manusia meloncati pagar tembok cepuri ka Pugeran, terjun didalam taman itu.
Menilai tinggi loncatan tubuh itu, dengan gaya keakhlian tiada bercacad, cara terjunnya yang enteng sekali, tanpa mengeluarkan suara sedikitpun...... pastilah tamu malam ini seorang yang berkepandaian tinggi sekali. Pikir orang- setengah tua itu, “Apakah kehendak orang ini, datang dirumah orang pada waktu malam pekat semacam ini...... Kawan, atau lawankah dia itu ...... Mustahillah ia seorang kawan, datang berkunjung dengan cara demikian, waktu lewat tengah-malam.
Pastilah maksudnya kurang baik. Hmm, hingga manakah kemampuan tamu tak diundang ini, berani gegabah memasuki cepuri orang tanpa ijin!?”
Kedua lengan Puger yang sejak tadi bersilang dimuka dadanya, tahu-tahu sudah dikibaska kemuka. Maka menderulah angin pukulan sakti menerjang sang tamu malam. Biar kaget sekalipun, karema baru saja kakinya menyentuh bumi angin pukulan hebat sudah menyambar datang mengancam dada, tidaklah berakibat suatu apa bagi putut PUNUNG, atau demmas Purbaya yang sekarang ini. Gerak naluri reflek jurus Palwa ranu sudah berreaksi otomatis, selalu mengimbangi kecepatan arah pukulan lawan dan menindih kekuatannya, hanya dengan melenggakkan badannya sedikit saja punahlah pukulan lawan bagai ditelan angkasa-raya.
Senyum haru menghias wajah muda yang berkumis tebal itu, karema segera tahulah putut Punung siapakah yang menyerangnya
...... ialah ayahnya sendiri. Sebenamya ingin sekali ia hendak berlutut menyembah dan mencium lutut orang tua itu kanena rindu- kasihnya ...... juga karena ingin sekali lekas mendengar kabar keadaan kota yang sebenarrija, lebih-lebih tentang ia memberi gambaran kepada sang ayah, apa yang telah dicapainya dalam berpisahan kira-kira duapuluh bulan itu. Dibiarkan saja sang ayah belum mengenalnya lagi.
Dan anehnya, tiada terlintas dalam gagasan orang setengah
tua yang biasanya sangat cerdik ini, bahwasannya tamu malam yang mampu dengan se-enaknya saja meloncat masuk kedalam halaman, sebagai telah paham saja keadaan di situ .... pastilah seorang yang tidak terlalu asing. Juga tak terpikirkan, menghubungkan orang yang seolah-olah tahu seluk-beluk rumahnya, dengan puteranya yang telah lama tidak berada didalam kota, Maka bersikap sungguh- sunguhlah pangeran tua itu. Kakinya menggeser sedikit dalam kuda-kuda jurus Gineng•jalasengara, jurus Naracabala yang
segera pula dapat di-ubah memjadi kuda-kuda pukulan sakti Guntur-geni, aji andalan ka-Pugeran. Gembong Kartasura itu agaknya tahu benar, bahwa lawannya sekarang ini tangguh sekali, melihat caranya memberi perlawanan sebagus tadi.
Tidak sembarang orang dapat memghadapi jurus Neraca bala yang baru saja dilancarkan. Orang ini dapat memusnahkannya tanpa memggeser kedudukan kakinya, itulah hebat.
Segera pula Puger menyerang gemcar sekali dengan jurus Gineng-dialasengara, diselingi pukulan berondongan Neraca-bala, yang cepat lagi dahsyat namun, semua pukulan sakti itu lenyap- musnah tidak berbekas. Seperti masuk kedalam gaib bila hampir menyentuh sasarannya.
Malahan ajian Guntur geni yang panas membara, ampuh luar biasa itu, juga amblas tanpa guna terhadap lawan ini.
Gerakan-sakti apakah yang dipergunakan tamu malam ini. Nampaknya ia hanya menggeraakan tangannya membuat lingkaran- lingkaran besar-kecil, lurus miring-condong•disebelah badannya
yang akan terkena pukulan saja, kemu udian punahlah segala macam pukulan dibuatnya, Benar•benar pangeran Puger memjadi kagum sekali mengalami kenyaraan ini, mau tidak mau ia menjadi kuwatir .... lebih-lebih karena musuhnya hingga demikian jauh belum hendak melancarkan pukulan pembalasan, Adakah sikapnya itu berupa tantangan untuk mempergunakan pusaka Baiklah kalau demikian. Baru pangeran itu meraba ukiran kerisnya, kjai Gringsing, terdengarlah suara lawannya :
“Ayah, .... aku, Purbaya menyembahmu.” Berlututlah tokoh muda itu didepan ayahnya, memdekap lutut orang serta dicimnnya wanti-wanti
Haru dan kekaguman, meliputi hati pangeran Puger, maka selintasan kilat ia tak sanggup berkata sepatah juapun.
Bagaimana ia tidak menjadi kagum dibuatnya, karena orang dengan kemampuan tingkatannya saja tidak lagi mampu melihat bagaimana Purbaya bergerak, hingga tahu-tahu orangnya sudah memyelonong maju mendekap lutumya. Misalkan yang menyelonong secepat kilat itu musuh yang hendak membuat celaka orang, apakah jadinya dengan lawan orang itu?
Jang dapat dilakukan oleh pangeuan tua itu baru memgelus-elus rambut putera kesyangannya, yag mengombak-ombak disekitar pundak dan leher pemuda gagah tadi, serta mendekap-dekap kepalanya. Setelah agak reda harunya, berkatalah Puger dengan suara masih agak memggemtar : "Anak …… Purbaya ……kaulah kiranya yang datang ini? Anak kau banyak berubah dari waktu kepergianmu, hampir aku tidak memgemalmu lagi. Aih ... Purbaya, badanmu menjadi padat-paseg, kuat demikian bagus bentuknya .. sudah kau biarkan tumbuh lebat kumis dan jengotmu, pastilah itu akibal dinginnya udara tempat yang kau diami. Ah, aku hanya dapat bersyukur kehadirat Tuhan, dan berterima kasih kepada gurumu atas jerih-payahnya meningkatkan kemampuanmu. Ternyata kau hebat sekali sekarang ...Aih•aih, aku menjadi puas, sepuas-puasnya, nak.”
“Rama, anak menyampaikan salam dau bakti paman guru kepadamu yah,”
“Terima kasih, nak ... Adik Cemara Tunggal agaknya baik-baik saja. Belum lama ini dia bermalam beberapa hari disiini. Dan dari gurumulah aku banyak sedikitnya mengetahui temtang keadaanmu didekat puncak sana.” Berkata demikiau sambil mengacungkan telunjuknya ke arah gunung Lawu.
“Ayah, bolehkah kini anak menanyakan keadaan ibukota yang sebenamya?”
“Hmm ...... serba kurang menyenangkan, Purbaya. Renggang dengan kompemi, karena sikap kurang tegas dari Kartasura pihak Surapati juga tidak puas karenanya uwakmu baginda sedang menderita sakti lumpuh kaki kiri, yang keadaannya kian menyedihkandipati anom hanya suka memuruti kehemdak
semdiri saja, yang sering tidak bijaksana sama sekali, hinggn banyak orang memgeluh karema tindakannya itu.
Kau sendiri akan langsung terkena siasat liciknya Agaknya
pangeran dipati-anom sudah mencium baunya, bahwa telah ada hubungan erat antara Alit dengan kau ... maka memdekat datang siasat-kejinya, memaksa Alit harus diterimakan kekepada salah seorang dipati mancapraja melewati kekuasaan uwakmu baginda.
Inilah yang sebenamya sangat kukuatirkan, Bagaimana tanggapan- mu terhadap akal picik ini ...... lebih-lebih, karena anak Alit sudah menjadi putus asa, tidak berani membantah perintah ayahnya, yang terkena siasat putra sulungnya. Ketahuilah Purbaja, bahwa anak Alit sudah menderita sakit demikian payah hingga dewa suralajapun tak munzkin dapat menyembuhkannya lagi ... malah kini orang tinggal menanti saat ajalnya anak manis itu . . .. .. Iya -aaa ...... apa mau dibicarakan lagi, bila sudah harus demikianlah kejadiannya kuatkan dan tabahkan hatimu, jangan kau berbuat yang tidak-tidak, yang pasti hanya menambah keruwetan negara saja, Ingat anakku seorang ksatria, hanya mengutamakan pengabdiannya terhadap rakyat dalam keseluruhan negaranya, pengabdian kepada peri kemanusiaan dan kepada bentuk-bentuk keluhuran yang lain bila perlu dengan memyampingkan kehendak dan keiuginan pribadinya”
“Yaaah ..... haruskah kangmbok Alit dikorbankan, tanpa pembalasan? Bila Alit berani membuang jiwanya karena cinta kepada aku, masakan aku tidak berani berbuat yang sepadan dengan pengorbanannya itu!”
“Nah nah, itulah nak yang aku takut-takutkan. Jangan salah
talsir nak, aku tidak menakutkan kematianmu, lalu kematian kita bersama ... melainkan menyayangkan negara jang temgah menghadapi keruwetan ini. Coba pikirlah, bila terjadi sengketa keluarga dalam negara, pastilah musuh negara jang lain mendapat keuntungan yang tidak temilai harganya ..... Mereka tinggal duduk bertepuk tangan bergenderang lutut, menggosok disini menggosok disana, achimya usanglah yang digosok-gosok itu ...... dan dengan mudah saja akan putus diiinjak orang. Itulah belum yang paling cilaka coba, apakah yang akan dialami oleh orang-orang dalam negara kita? Peperangan selalu membawa korban banyak, siapakah yang akan terbunuh berserakan itu ...... ? Pasti bukan tokoh-okoh utama ...... kalau toh ada hanya satu-dua, dapat dihitung dengan jari saja ...... Tak urung yang dikorbankan adalah orang-orang kebanyakan, rakyat negara.. ....
maka, bila masih dapat dicegah semgketa demikian itu harus dijauhkan dari alam pikiran kita?”
“Ayah, bagaimanakah keadaan Alit yang pasti itu? Tidakkah kiranya aku diijinkan melihat kangmbok sekali lagi saja ......
Bukankah aku ini saudara sepupunya?!”
“Tidak mungkin mbokayumu itu dapat ditolong lagi. Sulitlah kiranya kau hendak. melihatnya sekali lagi itu karena keradenayon kini dijaga orang banyak, istimewa tempat Alit beserta bibinya. Itulah kehendak dipati-Anom sedang para pemjaga diharuskan melaporkan siapa saja yang mengunjungi sisakit.
Aku, menjadi pamannya saja ditolakmasakan kau yang dimata-
matai dapat menerobos penjagaan mereka, tanpa mempergunakan kekerasan.
Pendeknya habislah hubunganmu dengan putri itu karena dihalang halangi kakaknya.”
Sekali lagi denmas Purbaya bertanya kepada ayahnya dengan suara tandas sekali dirasa. “Yah, harus matikah kangmbok Alit itu?”
“Hmmm ...... Purbaya, penyakit Yayumu sudah kelewat parah, itulah yang disebut orang „kemlurusen‟ atau rusak demi sedikit. yang rusak lebih dahulu itu hatinya, maka kacaulah semua tata-kerja keseluruhan bagian dalamnya, hanya karena hati tidak lagi beres kerjanya. Sudah lama ia tidak dapat makan apa-apa dan segala yang masuk perut demgan dipaksakan, pasti dimuntahkan lagi. Oleh karema itu habislah badan serta kekuatannya. Sudah barang tentu ia tidak akan tahan hidup lama lagi ...... Purbaya, kau harus menguatkan hatimu sendiri. jangan kau turuti bisikan setan dalam segala macam bentuknya. Tabahlah menghadapi tantangan dunia ini, berbuatlah yang lajak sebagai laki-laki sejati, yang berpedoman kepada TUHAN yang Maha Kuasa dan Maha Agung. Jangan sekali-kali kau berani merusak hidupmu sendriri, karena ituluh pemberian Tuhan. Bila harus rusak, biarlah karena kehendakNYA. Bagian manusia ini, adalah hanya membaktikan segala•galanya kepada Tuhan seru-sekalian alam beserta mahluknya Kau
mengerti, bukan Purbaya?”
“Hanya sedikit, Yah, Ingin anak mengetahui dimanakah ada keadilan itu.” katanya dengan muka muram.
“Didunia ini sulitlah dicari keadilan yang mutlak karena
yang dirasakan adil bagi seseorang, belum tentu dianggap adil oleh orang lain. Itulah karema manusia sok suka mengetrapkan segala- galanya terhadap perasaannya sendiri. Yang dirasakan menyenangkan dan menguntungkan itulah adil baginya dan
yang tidak menyemangkan untuknya, dikatakan tidak adil. ltulah yang sering kita Iihat didunia ini, maka dimanakah keadilan itu harus dicarinya, kecuali kepada Tuhan Yang Maha ADIL.”
Baru sampai disitu pembicaraan ayah dan anak tadi, tiba-tiba terdengar bunyi genta dipukul satu satu satu, dengan nada tunggal
yang sangat menyedihkan sekali dari arah keraton, Itulah pertanda ibukota, bahwa ada keluarga agung jang -berpulang-Suara genta itu segera ditimpali dan di-iring! oleh segala macam tetabuhan yang ada dalam kota Kartasura maka menggemalah lagu memilukan diaugkasa. Seluruh isi kota segera ikut berkabung, biarpun belum jelas siapakah keluarga keraton yang meminggal itu. Sudah barang tentu ramai dengan mendadak ibukota yang tengah tertidur-lelap itu karenanya.
Siapakah mau ketinggalan untuk mengetahui, siapakah dari keluarga keraton yang meninggal itu. Maka orang t idak usah menunggu lama ..... regu-regu penjagaan penghubung pos•pos penjagaan membawa kabar-duka dari kedaion .... yang meninggal adalah putri raja, yang disebut putri ratu ALlT sebab menderita
gering sudah lama, hampir tujuh bulan.
Kabar itu pulalah yang sampai kepada kedua orang laki•laki didalam taman ka Pugeran tadi. Waktu kabar itu diumumkan dijalan-jalan ...... tak ampun lagi jatuh tersungkurlah demmas Purbaya menerimanya. Sampai dipuncak penderltaan jiwanyalah kabar kematian ratu ALIT itu baginya.
Maka guguplah sang ayah, berusaha menyadarkan puteranya, baru kira-kira setengah jam komudian, setelah digosok dipijit-pijit uluhatinya, pemuda itu menjadi sadar lagi. Bercucuranlah air•matanya setelah ingat segalanya. Demikian pula pangeran setengah tua itu terpaksa meruntubkan air matanya karena sedih melihat putra yang masih semuda ini, sudah menerima pukulan batin sebesar itu… sulit untuk dihibur.
“Yah, ….. sejak hari ini, aku hanya memakai julukanku saja PUTUT PUNUNG, maka berikanlah namaku Purbaya kepada adikku. Relakan anakmu mengabdi kepada rakjat negara pada umumnya. Bosanlah aku hidup sebagai bangsawan itu.” Setelah menyembah, melesatlah Punung bagai kilat lenyap dari depan ayahnya.
**** Denajeng ratu Alit, adalah keluarga keraton, tingkat puteri raja. Maka jenazahnya harus dikebumlkan dimakam agung, di Imagiri, yang letaknya tidak terlalu jauh dari ibu kota Mataram lama (Jogjakarta ). lbu-kota itu kini telah lama dipindah kearah Timur, kira-kira km .....
Kartasura, sejak penobatan sunan Amangkurat II, yang juga sering dijuluki sunan Mangkurat AMRAL.
Maka jarak itu pulalah yang harus dirempuh orang membawa jenazah ajeng Alit. Sebagian besar jarak itu masih berwujud hutan belukar terseling dengan adanya desa dan dukuh-dukuh lengnng yang masih berjauhan satu dengan yang lain. Bila sudah ada jalan- darurat, ....
Yang mudah ditempuh dengan kereta atau semacam pedati- angkutan, tidak pula berarti jauhnya. Halangan terbesar adalah sungai dan kali yang cukup lebar, karema orang terpaksa menyeberanginya. Jembatan yang lebar dan cukup kuat, belumlah ada waktu itu. Dapat dibayangkan betapa sulitnya perjalanan iring- iringan-duka itu. Karena sifatnya dan keburukan jalannya, tidak mungkin lancar majunya, hingga terpaksa harus bermalam ditemgah perjalanan.
Kecuali itu, bepergian jarak-jauh….. orang terpaksa harus memperhitungkan pringga-baya perjalanan, lebih-lebih bagi iring- iringan, yang selalu jadi incar-incaran para durjana. Bila mereka cukup merasa kuat, pastilah mereka mencoba untungnya, Dasar orang-orang tidak tahu malu bila kalah dalam mengadu nasib …..
paling-paling hanya angkat langkah seribu, apakah ruginya?. yang lebih berbahaya, itu, kalau bertemu dengan musuh pribadi, yang sengaja menghadang dijalan. Oleh karenanya, rombongan jenazah ratu Alit, dikawal oleh satuan laskar bersenjata lengkap, dipimpin oleh seorang laskar dipati yang tergolong tokoh utama ibukota malah kepercajaan raja, ialah tumenggung WIRJAPRAJA, dibantu oleh kliwon PRAJATARUNA dan dua orang panewu Harjadikara dan Jajaleksana. Banyak prajurir pengawal itu kira-kira seratus lima puluh orang .. .. . . bersenjata tombak dan pedang, yang diberi ciri duka berupa bebat putih, Karena masih belum baiknya jalan yang harus ditempuh itu, maka kemajuan iring-iringan tersebut terpaksa harus lambat-lambat pula, dengan irama jalan kaki orang menarik kereta layon menempuh jalan pegunungan. Itupun ada baiknya, karena banyak keluarga kraton keputrian yang mengiringkan sampai dimakam nanti. Diantaranya ada yang menunggang kuda tetapi yang kebanyakan berjalan kaki ...... bersama-sama dengan para emban dan inya, dayang dan biti-biti perwara yang bekerja pada putri itu serta bibinya.
Hari yang pertama ini mereka terpaksa berkemah didekat candi Prambanan, karena sudah lewat waktu Azar. Segera mereka mendirikan kemah darurat, untuk beristirahat. Ditengah-tengah perkemahan yang mereka dirikan, dibuat kemah terbuka beratap persegi, untuk menempatkan kereta jenazah.
Pemempatan prajurit dalam perkemahan itu, dibagi atas tiga bagian. Lima puluh orang ditempatkan dibelakang kemah jenazah
..... lima puluh disamping kanan dan yang lima puluh lagi disamping kiri. Kemah para pemimpin dibuat dimuka kemah yang dilindungi itu. Maka kini selesailah mereka mengatur penjagaannya. Ki Tumenggung WIRJAPRAJA menitahkan beristirahat sambil menikmati perbekalan mereka dari kota ...... sebelum rangsum dari pemerintah selesai diselenggarakan.
Itulah waktu yang diharap-harapkan oleh orang banyak, melepas lelah dan menangsal perut yang sudah lapar sekali. Tetapi benar-benar sial rombongan-duka ini kiranya Baru
terlengah seejenak saja, tengah menikmati bawaannya dari Kartasura, datanglah gangguan yang merusak ketentraman mereka. Mungkin sekali hal yang semacam itu termasuk siasat musuh, yang tepat sekali, datang waktu orang sedang tidak memikirkan bahaya sama sekali, tahu-tahu sudah datang dari gelap sangat mengejutkan hati.
Tiga orang bertubuh kuat lagi tegap, berpakaian serba hitam nila, sudah berdiri didepan teratag ki dipati Wirjapraja. Berkatalah pemimpinnya dengan lagak sombong sekali :
“Hei …… siapakah pemimpin rombongan ini, hayo keluar menemui aku!”
Serentak berdirilah keempat orang bertanggung jawab iring- iringan, untuk menghadapi segala kemungkinan. Majulah dipati Wirja sambil menebak-nebak dalam hati rentang asal-usul ketiga orang didepannya …… karena tidak mungkin mereka itu berani datang sendirian, pasti membawa kekuatan yang cukup untuk menghadapi laskar bawaannya sendiri, lalu menyawab:
“Akulah penanggung jawab iring-iringan duka ini.”
“Ha ....!” kata pemimpin itu pula dengan mengangkat bibir atasnya mengejek: “Ha, jadi kaulah yang dikatakan orang dipati Wirjapraja, bupati mandung yang sakti itu. Konon Mangkurat Amral, pengecut dan begundal Belanda itu sangat percaya kepadamu hah ….. Aku kira besarmu sama dengan gajah, hingga digolongkan orang istimewa di Kartasura, ha-ha-haaaak tidak
tahunya hanya sebegini saja macam orangnya- ha-ha-ha-aak..”
(Bersambung jilid ) SEBENARNYA dipati Wiryapraja sangat terkejut mendengar perkataan orang itu, pastilah orang ini mempunyai mata-rnata dldalam kota, hingga nampaknya ia tahu banyak keadaan disana. Tetapi sekaligus ia menjadi marah, karena orang itu terlalu lancang dalam ucap-ucapannya. Berkatalah ki-dipati dengan maju setindak lagi: “Siapakah kamu ini tuan Baru kita bertemu sekali ini, sudah berani mengumbar suara yang tidak pantas didengar orang. Adakah permusuhan diantara kita bilanglah, supaya jelas!”
“Waduh-waduh lagaknya orang kota ini …….. tidak •suka mengalah dalam berebut bicara. Ha-ha, kau mau tahu siapa aku dengan teman-temanku ini! ..... mungkin persoalannya juga ditanyakan, bukan?. Baik-baik, akan aku jelaskan dengarlah, Aku ini bernama Wiradiwangsa, dari gunung Sewu, temanku yang depan itu bernama Wiradrana ...... satunya lagi bernama Marutala, kedua orang itu dahulu perompak laut, pengikut Montemerano dan Daeng Galesung, pemban tu perjuangan keraman Trunajaja. Dapatkah karnu menghubungkan dendam kita terhadap Mangkurat Amral itu! Nah …….. tahulah kau sekarang, bahwa pekerjaanku sekarang ini mengacau kerajaan orang yang kami benci tujuh turunan Amangkurat II, si pengecut.!”
“Celaka ..!” pikir dipati Wiryapraja. “Sama sekali tidak kuperhitungkan brandal gunung Sewu ini. Hmm, lengah benar pemerintah Kartasura terhadap orang-orang macam Wirawangsa itu. Sudah lama mengetahui adanya pergerakan brandal di gunumg Sewu, mengapa diantap saja, malah dianggap sepi lagi …… inilah jadinya. Pastilah sergapan Wirawangsa ini lebih berbahaya dari gangguan sambang jalan biasa. Tetapi apa hendak dikata musuh tidak dicari, sudah datang didepan mata, pantang ditolak. Maka jawab ki dipati.
“O, begitulah kiranya, dan kaulah kiranya pemimpin brandal Gunung-Sewu, jelaslah kiranya persoalan kita ini, tetapi sekarang ini kau melihat sendiri, aku sedang mengawal iring-iringan-duka, membawa mayit. Masakan kamu juga tidak tahu akan waril, atau kutukan sesama hidup kepada yang berani merusak dan menyusahkan iring-iringan jenazah, Maka dapatkah kamu mempertangguhkan sergapanmu ini, hingga selesai tugas suci yang aku pikul sekarang, mengubur jenazah putri raja?”
“Heh-heh-heh pandai juga kau menggoyang lidah mas menggung, hendak mengulur waktu mendatangkan bala bantuan dengan diam-diam, o-ho-hooo Hanya orang segoblok kerbau busuk sepertimu saja dapat kau kelabui mata dan pikirannya dengan segala macam waril dan tabu segala, heheh-heh Kapan aku nanii dapat
kesempatan sebaik sekarang ini, untuk sekali-sekali dapat membalas menggebug keparat Sunan yang sangat terhormat itu, bah?”
“Wirawangsa …… kalau kau masih mempunyai hati perwira sedikit, aku akan bersumpah untuk menghadapi kamu berserta rombonganmu tanpa minta bala-bantuan. Hanya aku minta dipertangguhkan sampai aku selesai menunaikan tugasku ini, sergaplah kami dalam perjalanan pulang kami!”
“Ha• ha-haak …… enak benar bicaramu tuan, sekurang•kurangnya kamu sudah tahu bakal bertempur dijalan pulang, hingga kamu dapat bersiap siap, mana lucunya dalam hal semacam itu? Pendeknya hadapilah kami sekarang juga …. Atau kita atur demikian saja. Jenazah boleh kau tanam sekarang dan disini, toh sama saja masuk kedalam tanah suci. Kemudian wakililah gustimu itu bertahan terhadap sergapan brandal Wirawangsa dengan teman-temannya dari Gunung Sewu. Eh.. eh ....
dipati Wirapraja, jangan kau mimpi dapat melanjutkan perjalanan lagi, lihat itu barisan orang-orangku, tidak kurang dari dua-ratus orang bersenjata lengkap, yang pasti tidak dibawah persenjataan laskarmu. Segera mereka akan menyerang bila mendengar aba- abaku,!”
“Bagus ...!” kata dipati Wiryapraja yang sudah habis sabar …. Terangnya aku berhadapan dengan orang-orang tanpa hati-nuran, pula agaknya sudah direncanakan hendak menghina dan merendahkan Baginda sejadi-jadi …. Hai, brandal hina-dina jangan lancang mulut keterlaluan, kau kira takut matikah para prajurit
Kartasura dibawah pimpmanku ini?, Hanya kalau kepala dipati Wiryapraja sudah menggelindmg ditanah saja, kalian boleh banyak bertingkah dibumi Mataram ini.!”
“Bagus-bagus tumenggung, kiranya kau .. adalah pemberani juga. Baiklah, kita ini adalah kunci-kunci menang-kalah rombongan masing-masing. Mari-mari sambutlah seranganku ini, mewakili
rombonganku!”
Dengan berkata demikian menyeranglah kepala brandal itu deugan kedua belah tangannya. Tangan kanan menghantam kepala, tangan kiri menyambar dada lawan dengan jambakan membinasakan .. Angin yang mendahului serangannya berkesiur tajam, hingga dapastikan bahwa pukulannya mengandung tenaga sakti yang berat,
Kidipati Wirya cepat menggeser kesampmg sambil membungkukkan badannya sedikit, meluputkan kepalanya dari jotosan, sedang tangan kirinya menangkis jambakan orang dugg
…. Terdengar suara lengan heradu, keras lawan keras. Kedua orang itu meloncat dua langkah kebelakang, untuk membetulkan kedudukan kaki masing masing, karena sama-sama tergempur kuda- kuda mereka. Kini tahulah mereka akan kekuatan lawan melalui adu tenaga tadi.
Segera tahulah ki dipati bahwa kekuatanya. kalah seurat dari musuh maka dia harus mempertinggi kelincahan dan kegesitan untuk mengimbangi lawan kuat ini. Sebaliknya, ki Wirawangsa ....
dia menjadi lega sekali dalam hati karena musuh yang dikabarkan sangat sakti itu, ternyata tidak perlu dikuatirkan lagi rasa-rasanya
sangguplah ia merobohkan orang Kartasura ini.
Maka tanpa memberi kesempatan kepada lawan, ia terus mendesak dengau serangan-serangan, dengan serangan-serangan yang makin seram dan deras,. mengajak adu tenaga selalu. Tetapi dipati Wiryapraja memang prajurit pilihan lagi sudah kenyang pertempuran …. biarpun terdesak hebat, tidaklah mudah merobohkannya. Malah masih berbahaya sekali serangan•serangan pembalasannya, biarpun hanya sekali-sekali saja Puluhan jurus- jurus hebat dan cepat telah lewat, dipergunakannya untuk menyerang dan bertahan.
Hanya bila terpaksa bertangkisan, nampak selalu kerugianlah ki dipati Wiryaptaja, karena selalu mental surut heberapa tindak dengan agak menyeringai kesakitan. Memang ia kalah tenaga, maka akhirnya ia menjadi kuwatir untuk melanjutkan bertempur dengan tangan kosong. Hendak ia mempergunakan senjata ampuh baru
tangannya meraba keris pusakanya, tibalah jotosan keras musuhaja, bersarang kepada bahu • kanannya ..... dugg“Hayaaaa”
terdengar sesambat dipati itu, sedang orangnya mental kesamping lalu jatuh miring memegang bahu-kanannya sambil meringis kesakitan. Sekalipun tumenggung itu berilmu kebal, tetapi jotosan Wirawangsa bukanlah jotosan biasa... tulang bahu ki dipati masih utuh, namun lengan tidak dapat digerakkan entah untuk berapa lama.
Ha-ha-ha-haak hanya sebegini saja jago kota yang disohorkan sakti itu, ha-ha-ha-ha..ebbb ........ mendadak terdiamlah ketawa seram pemimpin berandal itu,
Semua orang yang ada disitu memandangnya dengan keheran- heranan, Dari mana datangnya tulang-tulang cakar ayam tiga potong, menelusup kedalam mulutnya, hingga orangnya menjadi kelabakan, seperti polong kena sembur ... Baru setelah pecicilan setengah mati, dengan tangan serabutan mengenyahkan tulang- tulang cakar yang memenuhi mulutnya dapatlah isi mulutnya dimuntahkan sernua. Tetapi berikut isi perut terkuras habis ... dimuntahkan semua.
Walaupun orang menjadi geli setengah mati melihat kepala berandal tersumbat mulutnya itu tidak seorangpun berani ketawa, yang terlanjur dibalik jadi batuk keras mendadak, jang pasti saja terdengar kurang wajar. Habis muntah-muntah itu.
Wirawangsa segera menarik pedang panjangnya. memaki-rnaki kotor menjerit-jerit tetapi tidak berani membuka mulutnya lebar- lebar lagi. “Babi buduk, anjing liar dari mana berani mempermainkan Wirawangsa. Hayo, unjukkan cucurmu bila bukan pengecut!”
Dengan mata melotot membara-merah, ia memandang kesegala arah, menantikan reaksi tantangarmja. Siapakah berani menandingi pemimpin brandal yang sudah nyata sekali amat kuat itu sedang kalap saking marahnya. Lagi pula ia memegang pedangnya berkeredapan disinar obor perkemahan. Sekali lagi ia berseru menantang. “Mana tampang busuk orang yang sudah berani berbuat tetapi tiadak berani bertaaggung jawab. Mungkinkah ini perbuatan roh mayat yang dipersemaikan dikemah tengah itu Baiklah
supaya putri itu menjadi lebih murka lagi, akan kurusak sama sekali jenazahnya !”
Itulah siasat keji Wirawangsa, untuk memaksa orang keluar kedalam gelanggang pertempuran. Lalu ia maju selangkah hendak mendekati kemah jenazah muncullah sesosok tubuh orang berperawakan tinggi besar, entah dari mana sangkan-parannya. Tahu-tahu ia sudah menyelonong maju, menempatkan dirinya di tengah-tengah mereka, membelakangi kemah majat. Pastilah orang ini masih muda, menilik badannya yang padat-pepat, otot-otonya yang paseg serasi penuh gaya hebat lagi ulet. Sayang pakaiannya acak-acakkan, dibeberapa bagian, kecuali celana hitamnya yang masih cukup kuat. Rambut gondrong bergulung-gulung dipundaknya, hanya diikat dengan ikat kepala terlipat saja. Kumis dan jenggot nya nampak bagus sekali, membuat mukanya menjadi angker sebada. Apabila kumis serta jenggot itu dicukur tandas, pastilah wajah pemuda ini sangat ganteng menarik.