Bagian 4
Candrika yang dianggapnya Sempani masih hidup?” “Untuk sementara Candrika wo tempatkan di
ruang khusus,”
“Sinse Li, apakah boleh aku menemani Candrika?”
“Kau boleh menemuainya kapan saja, Niluh….” “Terimakasih sinse Li.”
“Iblis Bisu, nanti malam kau bawa Candrika ke tempat ku,”
Iblis Bisu tampak mengangguk, pemuda berwajah pucat itu lantas bangkit dari duduk diikuti Chao-Xing.
“Kami akan mempersiapkan segala sesuatu nya,” ujar Chao-Xing dijawab anggukan Niluh Arundaya dan Rakeyan Kanuruhan Rajendra, sedang diluar rumah matahari mulai bergeser ke barat seiring rintik hujan yang mulai turun mengguyur ibu kota Tarumanagara.[] Misteri Kitab Jalatunda
Pusaran waktu berjalan sangat cepat, siang berganti malam, malam berganti pagi, pagi beranjak siang, begitu seterusnya. Hari-hari pun berputar mengikuti roda kehidupan nan silih berganti. Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Tujuh belas tahun sudah bumi Tarumanagara dalam pendudukan kerajaan Sriwijaya, walau dalam rentang masa tujuh belas tahun itu Tumenggung Jari Kambang sebagai pemimpin tertingi Tarumanagara menjalankan roda pemerintahan dengan baik, adil dan bijaksana namun masih saja momok paling meresahkan dalam pemerintahannya itu adalah kelompok Sempani yang semakin merajalela.
Kelompok yang mengatas namakan pejuang Tarumanagara tersebut begitu sulit dilacak keberadaannya setelah tujuh belas tahun lalu pasukan Keraton memporak porandakan markasnya di bukit Sanca. Tindakan-tindakan antisipasi telah dilakukan, penjagaan diperketat di tiap desa, kampung dan pecantilan seluruh ploksok Tarumanagara namun dengan kelihaiannya kelompok Sempani itu dapat mengelabui bahkan mempermainkan pasukan Keraton, disaat ketat penjagaan, kelompok itu seperti hilang tapi disaat penjagaan mulai kendor Sempani dan anak buahnya secara mendadak muncul membuat keonaran.
Sementara itu, Paduka Raja Linggawarman nasibnya bagai buih di tengah lautan, walau telik sandi Yuda Karna berhasil menawarkan racun Datura Metel dengan air kelapa dan extrak jahe tapi extrak tanaman yang memabukan itu selalu diberikan secara diam-diam oleh orang-orang kepercayaan Tumengung Jari Kambang hingga Raja Tarumanagara itu hidup diantara dua dunia, sedang Niluh Arundaya, dara ayu dengan lesung pipit walau selama tujuh belas tahun memendam duka lara akibat Candrika yang kini tidak mengenalinya lagi tapi dara ayu ini yakin satu saat pemuda yang sangat dicintai nya itu ingat jati diri nya kembali.
“Candrika, apapun yang terjadi aku tetap mencintai mu dengan ikhlas, seperti daunan kering luruh ke bumi tanpa pernah menyalahkan angin, aku mencintai mu dengan ikhlas, seperti uap embun pagi tanpa pernah menyalahkan sinar matahari.”
Pemuda gagah dengan alis saling bertaut itu hanya diam membisu, tatapan matanya kosong seperti tiada cahaya kehidupan di sana, mungkin yang masih membuat bertahan Niluh Arundaya selama tujuh belas tahun bersama Candrika adalah kekasihnya itu penurut, apapun yang diucapkan Niluh Arundaya sealau di ikutinya, apapun yang diperintahkan selalu dilaksanakannya tanpa membantah.
“Candrika apakah kau ingat dengan ku?” begitu tiap hari yang selalu ditanyakan Niluh Arundaya pada Candrika.
“Tidak…,” dan Candrika selalu menjawab hal
yang sama selama tujuh belas tahun.
“Tidak apa walau kau tidak ingat, aku tetap mencintai mu.”
“Aku…, tetap mencintai mu,” ujar Candrika
menirukan kalimat terakhir Niluh Arundaya.
“Nama mu Candrika,” kata Niluh Arundaya sembari menempelkan telapak tangannya pada dada pemuda tersebut.
“Nama mu….”
“Nama ku…,” sela Niluh Arundaya. “Nama ku….”
“Candrika….”
“Candrika…,” mengulang Candrika, saat itulah muncul sinse Li Sizen bersama keponakannya Chao- Xing. “Maap, Niluh…, sudah waktunya Candrika kembali ke kamarnya,” kata sinse Li Sizen, Chao-Xing lantas membimbing Candrika masuk ke sebuah ruangan sedang Niluh Arundaya masih mengobrol dengan sinse Li Sizen.
“Sinse Li, bagaimana perkembangan Candrika selama ini?”
“Jika kau rutin mengajaknya berinteraksi seperti
tadi, secara perlahan ingatannya akan pulih.” “Sampai berapa lama lagi sinse Li?”
“Wo tidak tahu, Niluh, tetaplah memelihara keyakinan dalam hati ni’, pepatah China mengatakan seorang Jendral mampu membunuh ribuan prajurit dengan pedang nya, namun ribuan Jenderal tidak akan pernah mampu merobah keyakinan seseorang.”
“Aku mengerti, sinse Li, kalau begitu aku pamit titip Candrika untuk ku,” kata Niluh Arundaya dijawab anggukan pelan sinse Li Sizen.
“Kesetiaan yang luar biasa,” gumam sinse Li Sizen manakala punggung gadis itu menghilang diantara rimbunnya pepohonan, Disaat itulah sekelbatan bayangan sudah hadir dihadapan tabib kerajaan tersebut, seorang pemuda telanjang dada berbadan kekar dengan puluhan pisau terselip di pinggangnya.
“Pisau Terbang, bagaimana hasilnya?”
“Aku tidak berhasil menemukan kitab itu di mana pun, sinse.”
“Mungkin di salah satu muridnya?”
“Aku salah satu muridnya, atau mungkin…,” “Telik sandi Yuda Karna.”
“Tidak mungkin sinse, sebab terakhir kali aku sudah merebutnya.”
“Tanpa kitab itu, ajian pamungkas pada kitab
Jalatunda tidak ada gunanya.”
“Lantas apa tindakan kita selanjutnya?” “Kau sudah mengumpulkan enam kitab tinggal satu kitab lagi, jika semua kitab sudah lengkap dunia persilatan tanah Taruma ini dapat kau kuasai.”
“Aku akan terus mencarinya, sinse.”
“Bagus,” ujar sinse Li Sizen yang terpana beberapa kejap begitu menyadari pemuda tegap telanjang dada itu sudah hilang dari hadapannya namun gema suaranya masih terdengar jelas.
“Luar biasa sekali ilmu nya, tapi sayang amarahnya tidak stabil,” gumam sinse Li Sizen kemudian tabib Kerajaan itu berjalan menuju sebuah taman bunga Anggrek hitam di samping kiri bangunan tempat tinggalnya.
“Bagaimana Chao-Xing?”
“Apakah kita perlu mengecat tubuhnya seperti yang lain bo’bo Li?”
“Tidak usah, dia bukan salah satu pasukan
Anggrek Hitam.”
“Baik, bo’bo Li.”
“Chao-Xing bagaimana dengan babah ni?”
“Babah masih saja menanyakan kapan bo’bo Li mengangkatnya jadi penanggung jawab kebun Anggrek Hitam.”
“Babah ni itu keras kepala, tapi sudahlah biar
masalah itu urusan wo,” “Baik, bo’bo Li.”
“Pergilah ke rumah tuan Kanuruhan, sampaikan
surat wo ini pada nya,” “Baik,”
“Ajak serta Iblis Bisu.” “Baik, bo’bo Li.”
Orang tua berjubah putih itu hanya mengangguk kemudian berlalu meningalkan kebun bunga Anggrek Hitam menuju kediamannya, semantara itu Chao-Xing dan Iblis Bisu telah sampai juga di kediaman Rakeyan Kanuruhan Rajendra. “Baik, sampaikan pada sinse Li, saya akan datang.”
“Terimakasih tuan Kanuruhan, oh iya bo’bo Li menitipkan sesuatu untuk Arimbi,” sela Chao-Xing sambil memberikan sebuah kotak kecil yang begitu di buka terpancar sinar hijau dari dalam kotak.
“Itu giwang giok hijau buat Arimbi.”
“Wah, terimakasih sampaikan salam saya pada sinse Li,”
“Baik, kalau begitu kami pamit.”
“Kenapa buru-buru, sebentar lagi Arimbi datang
dari latihannya.”
“Tidak apa-apa tuan kanuruhan, lain waktu ni
akan datang kemari lagi.”
“Baiklah kalau begitu,” ujar Rakeyan Kanuruhan Rajendra sambil mengantar Chao-Xing dan Iblis bisu sampai depan gerbang.
**
Ratusan mil dari kota raja Tarumanagara tepatnya di lereng pegunungan Salak, di sebuah desa bernama Gelino seorang pemuda gagah tampak berjalan tenang menyusuri keramaian pasar yang saat itu sedang ramai, di sebuah kedai pemuda tersebut memutuskan istirahat, seharian itu dia baru saja menjajakan dagangannya berupa rempah dan kebutuhan sehari-hari, dipilihnya pojok kedai yang dari situ lebih leluasa memperhatikan lalu-lalang pengunjung dengan lebih jelas.
“Bagaimana hasil dagangan mu hari ini, Taruma?”
“Seperti biasa, laris manis paman.”
“Syukurlah kalau begitu,” sela pemilik kedai, setelah melayani semua kebutuhan sang pemuda orang tua itu berlalu melayani para pengunjung lainnya.
Di luar kedai, terpaut jarak dua puluh tombak seorang pedagang sedang adu mulut dengan lima orang bertampang sangar bahkan salah satu nya tidak segan melayangkan tendangan dan pukulan pada pedagang itu, Taruma yang melihat hal itu langsung hentikan makan dan bangkit dari duduk namun sang pemilik kedai segera mencegahnya.
“Kau tidak usah ikut campur, Taruma.” “Siapa mereka itu?”
“Anak buah Sempani,”
“Siapa Sempani itu paman?”
“Pemimpin pejuang kemerdekaan Tarumanagara.” “Pejuang kemerdekaan kok memeras pedagang,” sungut Taruma kemudian melangkah pelan ke sumber keributan.
“Taruma….”
“Paman tidak usah khawatir, saya hanya ingin menyapanya saja,” sela Taruma kemudian keluar dari kedai diikuti pandangan cemas orang tua pemilik kedai tersebut, tepat di saat lelaki berbadan kekar dengan cambang bawuk liar di wajahnya itu melayangkan tendangannya kembali.
Buukk…!
Lelaki berwajah sangar itu meringis kemudian merasakan tubuhnya terbanting keras di atas tanah.
“Kurang ajar, siapa kau ikut campur urusan kami, pejuang kemerdekaan Tarumanagara.”
“Pejuang kemerdekaan kok memeras rakyat, pejuang macam apa kalian.”
“Jaga bicara mu anak muda, kau tidak tahu kami anak buah Sempani,”
“Terserah…, kau anak buah Raja sekali pun saya
tidak peduli.”
“Keparat, beri pelajaran cecunguk ini…!” sentak lelaki sangar tersebut diikuti melesatnya empat orang anak buahnya yang dengan beringas menyerang Taruma.
Empat serangan golok melesat bersamaan, mengarah epat titik mematikan di tubuh Taruma namun dengan acuh pemuda tersebut geser sedikit badannya ke samping kiri, empat ujung golok saling beradu saat itulah sebuah tendangan menyilang melanda ke empat nya sebelum sadar apa yang terjadi golok-golok itu telah mental entah kemana saat itulah sebuah tendangan melingkar merobohkan ke empat penyerangnya.
“Kau tunggu pembalasan kami,” sela orang bertampang sangar kemudian berlalu diikuti ke empat anak buahnya.
“Kau tidak apa-apa pak tua?” tanya Taruma
sembari membantu pedagang itu bangun.
“Terimakasih anak muda,”
“Sama-sama, kita sesame pedagang harus saling
membantu.”
“Oh ya, nama saya Razep Govinda, siapakah kau ini, anak muda?”
“Nama saya Taruma pak tua,”
“Taruma…,” sela pedagang itu matanya menerawang sesaat seakan menembus ruang dan waktu yang telah lewat.
“Ada apa pak tua?”
“Ah, tidak. Saya hanya ingat kenangan masa lalu saja.” “Pak tua tinggal dimana?”
“Saya tinggal dimana saja anak muda, mengembara sambil berdagang.”
“Baiklah pak tua, saya mau pulang kalau ada waktu datanglah ke lereng gunung salak sebelah utara di sana tempat saya tinggal.”
“Baik anak muda, “ ujar orang tua itu kemudian berlalu meningalkan Taruma yang juga hendak meninggalkan pasar Gelino kembali ke lereng Salak,namun langkahnya terhenti begitu dua sosok tubuh kini telah mengadangnya, sosok pertama seorang dara bermata sipit berpakaian terusan merah kembang- kembang, rambutnya yang panjang digelung kecil di kanan dan kiri, sebilah gagang pedang menyembul dari bahu kirinya, sedang sosok ke dua adalah seorang lelaki berwajah pucat memakai baju Hanbox, setelan baju ala Tiongkok warna hitam, seutas rantai baja melingkar di bahu kanannya.
“Siapa kalian, mengapa menghadang langkah
saya?”
“Wo terkesan dangan ilmu silat ni, perkenalkan
wo Chao-Xing dan disebelah wo si Bisu.” “Saya Taruma,”
“Jika kita sesama pedagang bersatu para
pengacau pasar itu tidak akan macam-macam lagi.” “Benar nona, maap saya harus pulang,”
“Baiklah, sampai bertemu kembali kami pun
akan pulang dagangan kami sudah habis,” “Silahkan….”
Ke tiganya saling menjura memberi penghormatan kemudian berlalu meninggalkan pasar Gelino yang mulai sepi seiring rembang petang melingkupi perkampungan di bawah kaki gunung Salak.
**
“Kau bertemu dengan siapa di pasar Gelino, Taruma?”
“Anak buah Sempani yang mengaku pejuang kemerdekaan Tarumanagara, paman.”
“Sempani….”
“Paman Udayana mengenalnya?”
“Saya kenal ke dua orang tuanya, “ “Oh ya….”
“Ke dua orang tua Sempani adalah murid-murid
eyang Jalatunda. Selain itu, siapa lagi yang kau temui”
“Dua orang pedagang, mungkin dari negeri jauh.”
Udayana tampak menerik napas dalam dan menghembuskannya dengan pelan.
“Taruma, kau sudah mempelajari seluruh isi kitab eyang Jalatunda tapi ada satu lagi ritual untuk menyempurnakan ajian Banyu Lentis itu,”
“Apakah itu paman?” “Kau harus puasa, bersemadi selama tujuh hari
tujuh malam di bawah guyurn air terjun curuk
Cibeureum, apakah kau sanggup Taruma?” “Saya sanggup paman.”
“Baiklah, besok ritual itu harus kau lakukan.”
“Apakah itu berarti sudah waktunya kita kembali ke Tarumanagara?”
“Itu tergantung hasil pencapaian ilmu mu, Taruma.”
“Baik paman Udayana.”
Orang tua berselempang sarung dengan ikat kepala batik berwarna hijau itu berlalu meningalkan Taruma, sedang suasana malam semakin larut tapi pikiran pemuda gagah itu malah mengembara kemana- mana, satu raut wajah timbul tenggelam dalam benak Taruma.
“Niluh Arundaya, bagaimana keadaan dia sekarang. Kalau dia masih hidup kini usianya sekitar dua puluh satu tahun, satu tahun di bawah usia saya,” gumam Taruma sembari memandangi kotak hitam pemberian gadis itu disaat masih kanak-kanak.
“Tentunya dia kini menjelma menjadi seorang gadis cantik, ah…, saya kangen sekali denganya, ah…, bagaimana ini, kenapa jantung saya berdegup kencang, ahh….”
Dini hari, pemuda gagah itu baru dapat memejamkan matanya.
**
Pagi-pagi sekali Chao-Xing dan Iblis Bisu sudah sampai di pasar Gelino, ke duanya mencari tempat berjualan agak ke tengah pasar dimana kemarin dirinya bertemu dengan Taruma yang menolong seorang pedagang dari anak buah Sempani, matahari mulai meninggi namun orang yang ditunggunya tak kunjung datang.
“Iblis Bisu, kenapa Taruma belum datang juga
ya?” Yang ditanya tampak mengangkat bahu terus menggelar dagangannya berupa rempah-rempah, kebutuham dapur, dan pelbagai obat dari daun, akar, kulit pohon kayu yang sudah dikeringkan.
“Apakah hari ini Taruma tidak berdagang ya,”
Iblis Bisu tampak menggelengkan kepala berkali- kali kemudian memberikan beberapa gerak isyarat pada Chao-Xing membuat dara ayu yang mulai tumbuh dewasa itu menampakkan wajah masamnya, Iblis Bisu hanya tersenyum saja melihat tingkah laku keponakan majikannya itu.
“Ni diam di sini bisu, wo akan menanyakan Taruma pada pemilik kedai itu,” kata Chao-Xing sambil berlalu meninggalkan Iblis Bisu yang mulai melayani para pembeli. Chao-Xing ingat, kemarin Taruma muncul dari dalam kedai kemudian menolong seorang pedagang dari sikap bengis anak buah Sempani.
“Silahkan-silahkan nona, mau pesan apa?”
“Nasi pepes ikan dan satu kendi wedang jahe.” “Baik nona, tunggu sebentar.”
Pemilik kedai itu langsung membuatkan pesanan Chao-Xing, setelah makan gadis itu mulai menanyakan prihal Taruma pada pemilik kedai.
“Hemm, boleh tanya paman?” “Oh silahkan.”
“Paman kenal dengan Taruma?”
“Oh ya, tumben biasanya pemuda itu sudah datang dan menggelar dagangannya di bawah pohon mahoni itu, tapi kenapa hari ini belum datang ya.”
“Paman tahu dimana rumahnya?” “Lereng gunung Salak, nona.”
“Di sebelah mananya paman?”
“Kalau hal itu, paman tidak tahu, Taruma hanya memberi tahu asal dia dari lereng gunung Salak saja.”
“Baiklah paman, terimakasih untuk makanannya.”
“Sama-sama nona,” Chao-Xing hanya tersenyum, setelah membayar gadis itu kembali ke tempat dagangannya dimana Iblis Bisu mulai sibuk melayani para pembeli, Iblis Bisu menayakan sesuatu lewat bahasa isyatar pada Chao- Xing, gadis manis itu hanya mengangkat bahu dengan memperlihatkan wajah masamnya.
Hampir tiap hari Chao-Xing menjajakan dagangan di tempat biasa Taruma berdagang, namun sampai genap satu purnama keberadan pemuda gagah yang menarik perhatiannya itu tak kunjung datang, seakan pemuda itu hilang begitu saja ditelan bumi.
Sejatinya, keberadaan Chao-Xing dan Iblis Bisu di desa Gelino adalah dalam rangka menjalankan tugas rahasia yang diberikan sinse Li Sizen untuk menyelidiki keberadaan markas gerombolan Sempani, berbulan- bulan mereka mengembara keluar kampung masuk kampung sambil menyamar jadi pedagang dan di bulan ke tujuh penyelidikan mereka akhirnya membuahkan hasil, di kaki gunung Salak di sebuah desa bernama Gelino mereka menemukan informasi tentang keberadaan gerombolan Sempani.
“Besok kita kembali ke Tarumanagara, bisu.”
Iblis Bisu tampak bertanya menggunakan bahasa isyarat.
“Taruma, eh maksud wo kita sudah mendapatkan petunjuk dimana markas Sempani.”
Lelaki muka pucat itu hanya mengangguk pelan, sebenarnya Iblis Bisu tahu keponakan majikannya itu mulai putus asa menunggu Taruma yang sampai sekarang tidak ada khabar beritanya. Sejatinya Iblis Bisu begitu menyayangi Chao-Xing, ketika pertama kali bertemu, ketika gadis manis itu begitu telaten merawat dirinya dalam keadaan pingsan selama tiga hari karena dikeroyok tiga orang temannya sendiri dikarenakan lebih memilih bergabung dengan sinse Li Sizen.
Rasa sayang Iblis Bisu pada Chao-Xing hanya disimpannya dalam hati paling dalam, lelaki muka pucat itu sudah cukup bahagia dengan kebersamaannya selama ini, dia tidak pernah mengharapkan cintanya terbalas, dia cukup bersyukur dapat mendampingi gadis yang dicintainya itu dengan diam, mengaguminya dengan diam, dan mencintainya dengan diam. Sebuah ketulusan cinta murni yang terlahir dari hati seorang lelaki dengan reputasi buruk di masa lalunya.
Masa kanak-kanak Iblis Bisu penuh dinamika, dia terlahir bernama Wulung Pujud dari seorang emban, abdi dalem pada masa pemerintahan Prabu Purnawarman, ayah dan ibunya merupakan orang-orang kepercayaan Mangkubumi Cakrawarman, paman dari prabu Purnawarman. Kala Cakrawarman melakukan kudeta terhadap Takhta keponakannya dan ahirnya tewas, jasad Mangkubumi Kerajaan Tarumanagara itu sangat dirahasiakan keberadaannya, orang-orang yang terlibat dalam proses kremasi dibantai habis tanpa sisa, pun dengan ke dua orang tua Wulung pujud kecil, namun disaat beberapa prajurit yang diperintahkan membunuhnya entah kenapa menjadi iba, tapi demi menjaga kerahasiaan terpaksa salah seorang prajurit memotong lidah Wulung Pujud kecil.
Anak kecil itu lantas ditempatkan pada sebuah penjara bawah tanah, tangan dan kakinya dirantai, puluhan tahun disaat Wulung Pujud tumbuh menjadi seorang remaja dia mampu meloloskan diri dari penjara bawah tanah tersebut dan dengan rantai baja yang selama itu membelengunya justru menjadi senjata mematikan, beberapa penjaga penjara tewas ditangannya.
Wulung Pujud remaja mengembara tak tentu arah dan tujuan, kesamaan nasib mempertemukan dirinya dengan kelompok Nyai Tenung Ireng Cs menjadi pendekar bayaran.
“Ayo bisu, kita pulang…,” sergah Chao-Xing membuat lelaki muka pucat itu tersentak dari lamunanya. Ke duanya lantas membereskan dagangan kemudian berlalu meninggalkan pasar desa Gelino yang mulai ramai.
**
Matahari semburat diantara punggung perbukitan Salak, hembusan angin selatan menggoyang tanaman perdu yang banyak tumbuh di dinding tebing air terjun dengan keras, bergoyang-goyang terus menerus diterpa angin yang berasal dari guyuran air yang jatuh menimpa satu sosok pemuda gagah yang tampak duduk bersila di bawah guyuran air terjun curuk Cibeureum, pemuda gagah itu tak lain dari Taruma yang selama satu pekan tengah merampungkan sebuah ilmu kedigjayaan.
“Taruma…, cukup…!” “Ciaattt…, hup.!”
Dalam sekali hentak, tubuh Taruma tampak melayang cepat ke atas bersalto beberapa kali di udara kemudian hinggap di tepi sungai air terjun dengan ringan.
“Bagaimana paman Udayana, saya berhasil bukan?”
“Kau hebat Taruma, Tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tanpa minum bertapa di air terjun, diterjang air terjun tanpa henti, tapi badanmu tetap segar bugar bahkan aku lihat tenaga mu berlipat ganda.”
“Jadi, apakah saya sudah berhasil menguasai ajian Banyu Lentis?”
“Yah…, tapi untuk membuktikannya kau harus menerobos air terjun itu kemudian berbalik lagi keluar,”
“Baik, paman Udayana, edaaaa…!”
Secepat kilat Taruma melompat dan menerobos air terjun, tubuhnya lenyap di balik air terjun kemudian berbalik lagi menjejak pinggiran sungai air terjun dengan ringan.
“Hebat sekali anak ini,” membhatin Udayana. “Saya berhasil bukan?” “Yah, kau berhasil Taruma, menerobos guyuran air terjun curuk Cibeurem itu tanpa mengalami kegoncangan sedikit pun, begitupun sebaliknya ketika kau berbalik lagi semuanya berhasil dengan sempurna.”
“Terimakasih paman Udayana.”
“Yah, marilah kita pulang, kau harus makan
Taruma.”
“Baik paman Udayana.”
Ke duanya lantas meninggalkan tepian air terjun Curuk Cibeurem menuju pondok yang berada di atas sebuah bukit, rembang petang mulai melingkupi kawasan lereng Salak, hembusan angin terasa dingin kabut mulai turun.
“Bagaimana sekarang keadaan tubuh mu?”
“Semangkok bubur beras putih, segelas air gula aren membuat tubuh saya terasa segar, tidak berbekas rasa letih dan penat selama berpuasa tujuh hari tujuh malam.”
“Hemm…, kau memiliki dasar tubuh yang kuat sehingga kau mempunyai daya tahan yang tegar terhadap tempaan alam, dan itu semua mendukug bhatin mu sekuat baja, sebab memang begitulah hubungan jasmani dan rohani, bila jasmani kuat maka rohani pun ikut kuat pula, tapi sebaliknya jika jasmani lemah maka rohani pun ikut lemah.”
“Iya paman.”
“Nah, itulah makanya kita sering menjumpai orang yang sakit tanpa di obati sembuh sendiri, mengapa demikan sebab orang itu memiliki rohani yang kuat, dengan rohaninya orang itu mampu menyebuhkan penyakit Jasmaninya.”
“Betul paman.”
“Kau sekarang sudah menguasai ajian Banyu Lentis, maka semua ilmu yang berada di dalam kitab ini sudah kau kuasai, jadi kau sudah selesai mempelajari
ilmu kedigjayaan.” ganjil,” “Tapi paman Udayana, rasanya ada sesuatu yang
“Oh ya, apa itu?”
“Eyang Jalatunda yang menyusun kitab ini konon merupakan seorang tokoh yang sakti, tapi rasanya kitab yang saya pelajari ini merupakan ilmu kedigjayaan tingkat menengah, dan bukan ilmu pamungkas.”
“Hehehe, kau peka Taruma, otak mu cerdas.” “Sebab begini paman, eyang Jalatunda
merupakan guru besar para kesatria Tarumanagara, hampir semua jawara di bumi Taruma berguru pada beliau sebab ditatar di wilayah kulon, eyang Jalatunda tidak ada bandingannya akan tetapi kitab ciptaan beliau yang saya pelajari ini merupakan tingkat menengah, jadi saya pikir seorang tokoh seprti beliau pasti masih menyimpan kitab-kitab yang lain yang tingkatannya
lebih tinggi.”
“Kau benar Taruma, eyang Jalatunda ilmunya terlalu banyak juga membuat beberapa kitab , tapi karena beliau sudah wafat maka kumpulan kitab-kitab beliau cerai berai, meski dapat dipastikan kumpulan kitab-kitab itu dipegang oleh beberapa murid-muridnya yang tersebar dimana-mana, tapi aku tidak tahu siapa- siapa saja muridnya, sebab aku bukan murid beliau.”
“Mengapa paman tidak menjadi murid eyang
Jalatunda?”
“Hehehe…, aku bukan manusia yang gemar mempelajari ilmu kedigjayaan, aku lebih tertarik ilmu tata Negara sehingga sedikit sekai pengetahuan ku tentang ilmu kedigjayaan, tapi aku bernasib baik, ketika Senapati Benanda sebelum gugur sempat menyerahkan kitab Jalatunda itu pada ku, sehingga aku bisa memberikan kitab itu kepada mu untuk kau pelajari, meskipun baru tingkat menengah tapi ya cukuplah sebagai bekal diri mu untuk menjaga diri dari segala mara bahaya.” “Ahh, apakah itu berarti saya dapat menjumpai
ayahanda dan ibunda di ibukota Tarumanagara?” “Iyah, betul….”
“Ahh, betapa bahagianya, betapa rindunya saya ingin melihat wajah ayahanda dan ibunda.”
“Apakah kau masih ingat pada wajah ayah dan ibu mu?”
“Lupa-lupa ingat, paman.”
“Hehehe…,bisa dipahami, sebab ketika kau berpisah dengan ayah dan ibumu umurmu baru lima tahun.”
“Hem, sekarang umur saya dua puluh dua tahun, berarti tujuh belas tahun saya tidak berjumpa dengan ayahanda dan ibunda, apakah mereka masih berada di Kerajaan Tarumanagara?”
“Nah, itulah yang aku ragukan, sebab akupun sama seperti mu, tujuh belas tahun aku tidak berjumpa dengan ke dua orang tua mu, dimana ibumu adalah kakak kandung ku.”
“Kita dapat bertanya pada orang-orang penduduk ibukota Tarumanagara paman, pasti diantara mereka ada yang tahu.”
“Yah kau betul Taruma, tapi ada sesuatu yang maha penting.”
“Apa itu paman?”
“Ah, begini Taruma. waktu kita berpisah dengan ke dua orang tua mu, ibu mu sedang hamil tua jadi kalau anak itu lahir dengan selamat tentulah dia sudah besar, umurnya tujuh belas tahun, kalau dia laki-laki tentu dia akan gagah seperti mu, dan kalau dia perempuan tentulah menjadi seorang gadis yang cantik seperti ibu mu.”
“Ohh, saya punya adik, oh…, betapa bahagianya bergurau, bermain, bercengkrama dengan adik saya baik dia perempuan atau laki-laki saya akan menyayanginya dengan sepenuh hati.” “Kau pasti ingat dengan Niluh Arundaya, anak perempuan mendiang senapati Benanda itu kan.”
“Ah paman,”
“Tidak usah malu, kau meridukannya Taruma?” “I.., iya paman, bagaimana keadaan Niluh
Arundaya sekarang?”
Sebelum menjawab pertanyaan Taruma, Udayana tampak menyilangkan telunjuk pada bibirnya.
“Ada apa paman?” bisik Taruma,
“Tidak usah sembunyi kisanak, keluarlah…!”
Pertanyaan Taruma terjawab dengan munculnya satu sosok dari balik pepohonan.
“Pak tua.”
“Kau mengenalnya Taruma?”
“Belia bernama Razep Govinda, pedagang dari desa Gelino, paman.”
“Oh…, marilah kisanak duduk bersama kami.” “Terimakasih, sekali lagi saya ucapkan telah
menolong saya dari anak buah Sempani.” “Ah, sudahlah pak tua.”
“Maap, saya telah mencuri dengar pembicaraan kalian tentang Kota Raja Tarumanagara,” ujar orang tua ini pelan.
“Kisanak pernah ke Kota Raja Tarumanagara?” “Sebenarnya, saya dulu adalah tukang cukur
Kerajaan,”
Maka, tanpa diminta dua kali orang tua yang ternyata Razep Govinda, tukang cukur Kerajaan itu menceritakan semua kisahnya tentang peristiwa jatuhnya Kerajaan Tarumanagara. [] Semburat Fajar Harapan
Suasana masih berkabut, hembusan angin dingin terasa mencucuk persendian, dalam keheningan malam menjelang dini hari itu satu sesosok bayangan tampak mengendap-endap meninggalkan bilik peraduan Raja, sosok itu tidak menyadari ada dua sosok lain yang sedari tadi mengintai gerak-geriknya, begitu sampai di luar pintu gerbang selatan pada sebuah hutan kecil barulah sosok ini tercekat, dua orang telah berdiri di hadapannya.
“Emban dalem, kau tidak usah kaget begitu.” “Oh, tuan…, tuan Rahardian Tarusbawa, saya
kira siapa,”
“Emban dalem dini hari begini kau mau kemana?”
“Saya mau menemui seorang kerabat tuan Yuda Karna.”
“Apakah kerabat mu, sinse Li?” “Saya…, saya.”
“Sudahlah emban dalem, kau tidak usah banyak alasan, kami sudah tahu semua tentang diri mu.”
“Ampunkan saya, tuan Rahardian,” ujar wanita paruh baya itu sembari menjatuhkan diri ke tanah.
“Kau akan aku ampuni jika mau jujur terhadap ku, katakana semua hal tentang sinse Li Sizen,” tandas Rahardian Tarusbawa.
Emban dalem tercekat, wanita paruh baya pemimpin para emban Istana itu membisu beberapa lama.
“Sudahlah tuan Rahardian, kita bereskan saja percuma bicara dengan penghianat ini,” sela telik sandi Yuda Karna sambil mencabut bilah pedang. “Ampun tuan…, ampun. Baik…, baik saya akan bicara.”
“Bagus, katakana semua yang kau ketahui
dengan jujur.”
“Iya tuan…, sebenarnya…..” Sttttt….!
Tranggg…!
Sebilah pisau terbang mental dan menancap di sebatang pohon begitu telik sandi Yuda Karna kibaskan pedang yang masih tergenggam di tangannya memapasi laju pisau yang akan menembus jantung embam dalem.
“Ada apa Yuda Karna?”
“Tuan Rahardian teruskan saja, saya ada urusan sedikit dengan pemilik pisau itu,” tandas telik sandi Yuda Karna, kemudian tubuhnya melesat menembus angin mengejar satu sosok bayangan hitam yang berkelebat diantara pucuk-pucuk pohon.
Pada sebuah aliran sungai, ke dua bayangan yang saling kejar-mengejar itu hentikan lari, ke duanya tampak berdiri kokoh pasang kuda-kuda dengan memegang senjata masing-masing. Telik sandi Yuda Karna silangkan pedang di depan dada, sedang lawannya merentangkan ke dua tangan dengan dua pisau terselip di tangan kanan dan kirinya.
“Yuda Karna, katakan siapa murid ke tujuh eyang Jalatunda?”
“Kau ini aneh Pisau Terbang, bukankah kau tahu murid ke tujuh eyang Jalatunda itu mendiang Senapati Benanda.”
“Jawaban yang salah, kau bicaralah dengan pisau-pisau ku ini,” tandas Pisau Terbang kemudian menghambur ke depan menyerang bagian-bagian mematikan telik sandi Yuda Karna, duel maut pun pecah dengan sengitnya di pinggir aliran sungai.
Dengan ganas, Pisau Terbang peragakan jurus swastika kembar, alur panjang tercipta dari sayatan mendatar kemudian disusul sabetan menyilang atas bawah kiri dan kanan secara beruntun, namun lawannya kali ini adalah telik sandi Yuda Karna, seorang pendekar mumpuni yang sejatinya adalah saudara seperguruannya sendiri, sayang perbedaan prinsip memaksa mereka harus memiih dimana kaki berpijak.
Duel antara pendekar itu sudah berlangsung seratus jurus, namun belum ada tanda-tanda siapa pemenang dan siapa pecundang, ke duanya sama-sama tangguh sama-sama digjaya sebab tanpa mereka sadari sejatinya ke duanya megandalkan jurus yang sama-sama bersumber dari kitab pusaka Jalatunda, hingga satu ketika, sebuah dentuman keras terdengar memekakan telinga memaksa tubuh ke duanya surut beberapa tindak ke belakang begitu suasana kembali tenang diantara Pisau Terbang dan telik sandi Yuda Karna berdiri dengan gagah satu sosok samar berjubah putih berwajah jernih dengan janggut dan kumis berwarna senada, dialah sosok astral, sosok gaib eyang Jalatunda, guru besar para kesatria Tarumanagara.
“Eyang Jalatunda…,” ujar telik sandi Yuda Karna dan Pisau Terbang berbarengan, ke duanya lantas merangkapkan ke dua telapak tangan di depan dada sambil menundukan kepala.
“Kitab yang saya tulis ternyata membawa petaka,” kata sosok astral Eyang Jalatunda, dan entah dari mana datangnya tujuh buah kitab tampak berputar-putar mengelilingi sosok astral tersebut.
“Dunia persilatan tahan Jawa akan terus berguncang, sayang sekali…, sayang sekali,” gumam sosok astral Eyang Jalatunda sambil memandang ke dua muridnya dengan hati masgul.
“Tandang Kaweruh, saya lah yang meminta gusti Prabu Linggawarman mengangkat Yuda Karna sebagai senapati jaba, bukan atas kehendaknya dan bukan maksud dia menghalangi tujuan mu,”
“Maapkan saya, eyang Jalatunda,” gumam Pisau
Terbang. “Untuk kebaikan semua, seluruh kitab ini akan saya musnahkan,” seiring dengan ucapannya tujuh buah kitab yang masih melayang-layang mengelilingi sosok astral eyang Jalatunda itu secara serentak terbakar menjadi abu kemudian hilang tertiup angin berbarengan dengan hilangnya sosok astral eyang Jalatunda.
Sementara itu di lereng gunung Salak dalam waktu yang bersamaan, kitab eyang Jalatunda yang sedang dipegang Udayana perlahan menciut disusul letupan kecil terdengar berbarengan dengan hancurnya kitab pusaka itu menjadi debu.
“Apa yang terjadi paman Udayana?”
“Taruma, eyang Jalatunda sepertinya sudah
memusnahkan seluruh kitab pusaka yang ditulisnya.” “Sayang sekali, paman Udayana.”
“Tapi setidaknya, kau sudah menuntaskan salah satu isi kitab pusaka eyang Jalatunda, Taruma.”
“Iya, paman.”
“Nah, sepertinya kita pun harus melakukan perjalanan pulang ke Tarumanagara.”
“Lalu bagaimana dengan pak tua Razep Govinda, paman?”
“Biarlah dia tetap tinggal di sini, sebab aku
memiliki pirasat satu ketika tenaganya akan diperlukan.” “Baik, paman Udayana.”
“Besok pagi-pagi sekali kita akan kembali ke Tarumanagara.”
“Ah, alangkah bahagianya saya paman.”
“Tidurlah lebih awal Taruma, perjalanan besok mungkin membutuhkan tenaga lebih.”
“Baik paman Udayana,”
Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan Taruma yang masih tercenung di pinggir amben, perlahan pemuda gagah itu rebahkan tubuhnya yang penat, bukanya langsung tidur justru pikirannya melayang ke mana-mana, satu wajah ayu menari-nari di benaknya. “Niluh Arundaya…,” gumam pemuda ini sambil memandang langit-langit bilik, dini hari baru Taruma terlelap dengan mimpi-mimpi indah tentang Niluh Arundaya, sahabat masa kecil yang sangat dirindukannya.
**
Pagi nan cerah, matahari bersinar lembut dihiasi mega-mega putih, hembusan angin menyibak pepohonan yang banyak tumbuh disekitar halaman rumah yang asri tersebut, di belakang rumah diantara rindangnya pohon- pohon bambu dua sosok tubuh berkelebat ke sana-ke mari dengan lincah, seorang gadis manis dengan tatapan mata setajam elang tengah bertarung dengan lelaki paruh baya telanjang dada mengunakan bilah pedang yang berkilat-kilat diterpa sinar mentari pagi, satu ketika pedang gadis manis itu mampu mendesak lawannya hingga pedang lawan mental entah kemana.
“Bagaimana ayah…?”
“Ah…, kau hebat Arimbi, ayah menyerah, kau sanggup membabat pedang ayah hingga terlepas dan terlempar jauh sekali,”
“Soalnya ayah sudah capek, napas ayah sudah megap-megap jadi tangan ayah sudah tidak tegar lagi dalam menggenggam pedang, maka dari itu saya mencurahkan perhatian untuk membenturkan pedang saya kepada pedang ayah dengan telak, dengan tujuan agar pedang ayah terlepas dari tangan ayah.”
“Hehehe…, kau benar Arimbi, kau dapat dengan
cepat mengetahui turunnya daya tahan lawan mu.” “Iya ayah….”
Dari dalam rumah muncul seorang perempuan paruh baya dengan baju terusan panjang, perempuan itu tersenyum melihat Arimbi dan suaminya yang sedang berlatih ilmu kanuragan.
“Ayo sudah siang, latihannya sudah, makan
dulu.” “Iya ibu,” sela gadis manis itu kemudian bergegas
menemui ibunya yang masih berdiri di depan pintu.
“Nah, Arimbi, sana mandi dan ganti pakaian, lalu kita makan bersama.”
“Baik ibu,” sela Arimbi kemudian tubuhnya melesat ke belakang rumah dimana sebuah pancuran berada.
“Arimbi, anak kita itu benar-benar mewarisi sifat mu kanda, gemar mempelajari ilmu kadigjayaan.”
“Hehehe, sayang kesibukan saya sebagai pejabat tinggi Keraton membuat saya tidak punya waktu banyak untuk mempelajari ilmu kedigjayaan tingkat tinggi, saya hanya bisa menurunkan ilmu silat tangan kosong dan ilmu permainan pedang pada Arimbi, padahal bakatnya sangat besar untuk menjadi seorang pendekar yang tangguh.”
“Bagi seorang gadis seperti Arimbi, saya rasa sudah cukup dengan memiliki ilmu kadigjayaan dalam tingkatan seperti itu, untuk menjaga dirinya kanda.”
“Kemarin sore dia pernah berkata pada saya, katanya ingin mengembara, merantau mencari seorang guru yang hebat, nah bagaimana menurut pendapat
dinda?”
“Ahh, tentu saya keberatan kanda, sebab dia seorang perempuan lagi pula dia anak perempuan satu- satunya, kalau dia pergi tentu saya kesepian.”
“Heemm, bukankah kita masih punya seorang
anak, anak laki-laki yang bernama Udaka.”
“Memang benar kanda, akan tetapi kita sekarang tidak tahu dimana keberadaan anak laki-laki kita itu, bahkan apakah dia masih hidup atau….”
“Dinda…, janganlah berkata demikian saya yakin anak kita masih hidup, bahkan kita akan segera bertemu dengan dia, sebab tentu dia akan mencari kita.”
“Ahh, tentunya dia sekarang sudah menjadi seorang pemuda gagah dan tampan seperti kau kanda,” “Iyah, dan sudah saatnya kita mengatakan semuanya pada Arimbi, sebab sekarang dia sudah besar sudah bisa menerima hempasan bhatin yang berat sekalipun,”
“Iyah, kanada…, tapi yang saya cemaskan bagaimana kalau dia akan pergi mencari kakaknya, sebab kita sudah tahu kanda watak Arimbi yang sangat keras.”
“Hemm, ataukah lebih baik kita kirim dulu
kepada Bilawa di padepokan Ciampea.” “Ehh…, maksud kanda?’
“Keinginannya untuk merantau dan memperdalam ilmu kedigjayaan sangat besar di hatinya, nah kita katakana saja untuk tahap pertama dia boleh belajar pada seorang guru, yaitu Bilawa ketua padepokan Ciampea, setelah lulus baru diperbolehkan mengebara mencari guru lain yang lebih hebat, nah dengan begitu untuk semantara waktu kita bisa menahan Arimbi untuk pergi mengembara, sambil menunggu kedatangan Udaka anak kita.”
“Saya setuju dengan pendapat kanda, mudah- mudahan selagi Arimbi belajar di padepokan Ciampea, anak kita Udaka datang.”
“Iya dinda…,”
Saat itulah Arimbi masuk dan bergabung dengan ayah dan ibunya, sang ayah langsung megutarakan maksudnya mengirim Arimbi ke padepokan Ciampea.
“Ayah terimakasih ayah, ibu. Ayah dan ibu mengizinkan saya menambah ilmu kedigjayaan di luar lingkungan keraton,”
“Ayah akan menyerahkan kau pada Bilawa, besok pagi kau berangkat,”
“Terimakasih ayah,”
“Dan muai besok kau berada pada pengawasan Bilawa,jadi yang memberi izin kau untuk mengembara mengelilingi jagat raya bukan ayah, tapi Bilawa. Sebab dialah yang dapat menilai apakah kau sudah pantas
disebut sebagai seorang pendekar atau belum. ”
“Iya, ayah. Apakah Bilawa itu sudah tua?”
“Masih muda, umurnya baru tiga puluh tahun.” “Kok masih muda, biasanya seorang ketua
padepokan tentulah orang yang sudah tua, sebab dialah
yang menjadi guru besar di padepokan itu.”
“Bilawa menjadi ketua padepokan Ciampea, karena dialah ahli waris padepokan itu, “
“Kalau begitu pendiri padepokan Ciampea itu bukan Bilawa?”
“Benar, yang mendirikan padepokan Ciampea adalah Perkutut Kapimonda,”
“Perkutut Kapimonda, ahh bagus sekali namanya,”
“Dia seorang tokoh yang amat sakti, seorang Senapati Tarumanagara yang gagah perkasa, dialah murid ke satu eyang Jalatunda, sedang Bilawa adalah murid ke satu Perkutut Kapimonda.”
“Oh ya, ayah pernah bercerita bahwa eyang Jalatunda meninggal karena usia tua, lalu murid utamanya Perkutut Kapimonda meninggalnya karena apa?”
“Yahh, beliau gugur waktu bertarung dengan Panglima tentara Kerajaan Sriwijaya.’
“Wahh, betapa hebat Panglima perang kerajaan Sriwijaya itu, dan tentu memiliki ilmu kedigjayaan yang sangat tinggi sehingga dapat mengalahkan Senapati Perkutut Kapimonda,”
“Para pemimpin angkatan perang Sriwijaya memang rata-rata memiliki ilmu kedigjayaan tinggi, Arimbi, itulah mengapa Kerajaan kita ini kerajaan Tarumanagara berhasil ditaklukan oleh Sriwijaya.”
“Jadi sekarang kerajaan Tarumanagara ini menjadi jajahan kerajaan Sriwijaya bukan.”
“Benar, Arimbi.” “Lalu kenapa ayah sebagai orang Tarumanagara asli mau bekerja sama dengan bangsa Sriwijaya?”
“Ah, maksud mu?”
“Ayah, bukankah kita bangsa Tarumanagara?” “Benar…,”
“Kenapa kita menjadi orang Keraton, bahkan ayah mempunyai jabatan tinggi, mentri kanuruhan, nah apakah dulu ketika bala tentara Sriwijaya menyerbu Kerajaan Taruamanagara ayah membantu bala tentara Sriwijaya?”
“Ohh…, tidak begitu anakku…, angkatan perang Sriwijaya menyerbu Tarumanagara bukan dengan maksud untuk menindas atau menghancurkan Tarumanagara, melainkan sekadar minta pengakuan.”
“Pengakuan apa ayah?”
“Pengakuan bahwa Kerajaan Tarumanagara bersedia tunduk kepada Kerajaan Sriwijaya, hanya itu.”
“Tadinya tidak mau tunduk?”
“Iyahh…, Kerajaan kita ini Kerajaan Tarumanagara tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya, padahal kerajaan dari semua semenanjung utara Malaka sampai semananjung selatan bumi Swarna sudah tunduk, seperti Kerajaan Kedah, Kerajaan Minang Natamuan, Kerajaan Melayu, Kerajaan Bangka, dan Kerajaan Tulang Bawang bahkan sampai jauh ke Ligor di Siam.”
“Wahh, luas sekali jajahan wilayah kerajaan
Sriwijaya itu,”
“Yah…, hanya kerajaan Tarumanagara yang tidak mau tunduk, maka tujuh belas tahun yang lalu yaitu pada tahun 686 kerajaan Tarumanagara diserbu oleh angkatan perang Sriwijaya dan Kerajaan Tarumanagara runtuh, maka sejak itu Kerajaan Tarumanagara ini menjadi jajahan Kerajaan Sriwijaya.”
“Hemm, iyayah…, begitu rupanya.”
Obrolan antara Arimbi dan ayahnya terhenti begitu seorang gadis cantik bermata sipit mamakai baju terusan warna merah kembang-kembang didampingi seorang lelaki berwajah pucat datang bertamu.
“Bibi Chao-Xing.” “Arimbi,”
“Kau dari mana saja bibi Chao-xing?”
“Biasa Arimbi, mencari rempah-rempah untuk
ramuan obat.”
“Ahhh, kalian rupanya, silahkan dilanjut saja, saya mau masuk sebentar,” sela Rakeyan Kanuruhan Rajendra.
“Silahkan tuan Rakeyan….”
Rakeyan Kanuruhan Rajendra mengangguk kemudian berlalu meninggalkan Arimbi dan Chao-Xing juga Iblis Bisu di pendopo.
“Bibi Chao-Xing, besok pagi saya mau ke
padepokan Ciampea.”
“Ni mau apa ke sana Arimbi?”
“Saya mau berguru di padepokan itu.” “Boleh kami ikut?”
“Bibi juga mau berguru?”
“Tidak, hanya mengawal ni saja, Arimbi.” “Baiklah.”
**
Ke esokan harinya, diiringi beberapa pengawal, Chao-Xing dan Iblis Bisu, Arimbi bersiap menuju padepokan Ciampea.
“Ayah, ibu saya berangkat.”
“Anakku Arimbi, hati-hati lah, sesuaikan lah dirimu dengan keadaan di padepokan Ciampea, jaga polah mu sebagai putri bangsawan, hendaknya tidak menjadi penghalang bagi mu di tempat yang baru di lingkungan masyarakat biasa,”
“Iya ibu, saya tidak akan manja, tidak akan melawan sama guru, tidak akan egois, saya akan patuh kepada semua peraturan di padepokan.”
“Iyah…, Arimbi, sebulan se kali pulanglah ke
rumah sebab ibu tentu akan kesepian tanpa mu,” “Iya ibu.”
“Nona Chao-Xing dan kau Iblis Bisu, kami
titipkan Arimbi pada kalian.”
“Baik, tuan Rakeyan,” jawab Chao-Xing dan anggukan hormat Iblis Bisu.
“Nah, berangkatlah anak ku, sang maha pengatur jagat hyang widhi bersama mu.”
“Baik, ibu ayah selamat tinggal….”
“Selamat jalan, anak ku…,” ujar ke dua orang
tuanya berbarengan.
Arimbi melambaikan tangan kemudian menarik tali kekang kuda tunggangannya, binatang itu berjalan pelan meninggalkan halaman rumah diiringi Chao-xing dan Iblis Bisu serta beberapa pengawal.
Dapur Istana merupakan tempat tersibuk di dunia, pun di dapur Istana Kerajaan Tarumanagara, beberapa pelayan tampak hilir mudik mempersiapkan bahan-bahan untuk dimasak, bau harum menyeruak seiring masakan-masakan yang sedang dibuat, Kim Meyong sang kepala juru masak Kerajaan berkeliling dari satu tempat ke tempat lain memastikan kualitas masakan yang dibuat memenuhi standar yang ditetapkan Kerajaan.
Kim Meyong yang beberpa waktu lalu sempat dijebloskan ke penjara gara-gara fitnah sinse Li Sizen kini dengan kebijakan Sriwijaya dia dibebaskan dan mendapatkan posisinya kembali sebagai kepala juru masak yang tentunya harus patuh dibawah kendali dan perintah Tumenggung Jari Kambang, pemimpin tertinggi Tarumanagara saat ini.
Kim Meyong yang sejatinya orang yang disusupkan pihak Sriwijaya dan mengemban misi melumpuhkan Tarumanagara lewat racun yang dibubuhkan pada makanan para prajurit Tarumanagara hingga pada hari serangan besar-besaran pada tujuh belas tahun yang lalu itu kondisi pasukan Tarumanagara melemah yang akhirnya mau tidak mau, Tarumanagara mengaku tunduk pada kebesaran Sriwijaya.
Seperti diketahui, ada tiga orang yang disusupkan Sriwijaya kala itu yakni sinse Li Sizen, Kim Meyong dan Razep Govinda, sayang dalam menjalankan tugas rahasia itu, ke tiganya saling berebut pengaruh dan terlibat persaingan yang tidak sehat.
Setelah menyelesaikan tugas sebagai pengawas makanan, Kim Meyong bergegas pulang ke wisma yang berada di luar pintu gerbang utara, di sebuah aliran sungai diantara hutan kecil langkah kepala juru masak Kerajaan itu tertegun, seorang dengan wajah ditutup cadar hitam dengan puluhan belati terselip di pinggang telah menghadang langkahnya.
“Kim Meyong, ada pesan dari sinse Li Sizen,” tandas orang tersebut sembari meraba sebuah belati dari pinggangnya.
“Siapa, siapa kau?”
“Kau tanyakan saja pada malaikat maut di alam
sana,”
“Saya akan membayar kau, dua kali lipat dari
yang diberikan sinse Li, asal kau berbalik membunuh
tabib itu, ”
“Hemm, hahaha…, tawaran yang menarik, sayang aku tidak tertarik, nah bersiaplah Kim Meyong,” tandas orang tersebut lalu tusukkan belati pada dada sebelah kiri kepala juru masak Kerajaan itu yang dengan repleks menghindar, sambaran angin dingin satu senti membeset dada juru masak tersebut, walau hanya sambaran anginnya saja darah tampak merembes membuat wajah Kim Myong pucat pias.
“Cek cek cek, lolos,” gumam orang bercadar hitam yang kembali meraba beberapa belati yang terselip di pinggang dan dengan cepat lemparkan pisau-pisau itu pada Kim Myong yang tercekat pasrah menanti ajal.
Traaang…, traaang…, traaang..! Tiga buah belati terbang luruh ke tanah, kini di hadapan orang bercadar itu berdiri seseorang bercaping lebar dengan pedang terhunus.
“Kau lagi, mengapa selalu ikut campur urusan
ku?”
“Selama ilmu eyang Jalatunda digunakan untuk
angkara, selama itu pula aku berada di situ.”
“Baik, aku tunggu kau di puncak terang di bulan purnama yang akan datang,” tandas orang bercadar hitam kemudian melesat cepat menerobos lebatnya dedaunan perdu.
“Aku terima tantangan mu, Tandang Kaweruh…!”
teriak orang bercaping lebar lantang.
“Terimakasih kisanak, kau telah menolong ku,”
“Kim Meyong, seseorang ingin bicara dengan mu,” “Siapa Kisanak?”
Tidak menunggu lama, dari balik pepohonan muncul satu sosok tubuh yang membuat kepala juru masak Kerajaan itu tercekat.
“Tuan…, tuan Rahardian Tarusbawa.” “Bagaimana khabar mu, Kim Meyong?” “Saya…, saya….”
“Kau tidak usah takut, nyawa mu aku ampuni asal kau bersedi membantu ku.”
“Apa yang harus saya bantu? Tuan Rahardian Tarusbawa.”
“Kau harus menjawab semua pertnyaan ku dengan jujur, bagaimana?”
“Baik, baik tuan Rahardian.”
“Apakah kau selama ini yang meracuni prajurit- prajurit Tarumanagara atas perintah Tumenggung Jari Kambang?”
Kim Meyong tercekat, kepala juru masak kerajaan itu langsung bungkam seribu bahasa, wajahnya tampak pucat tak berdarah.
“Sudahlah tuan Rahardian Tarusbawa, kita
jangan buang waktu dengan penghianat ini,” tandas telik sandi Yuda Karna yang tampak mengacungkan pedangnya pada Kim Meyong.
“Ampun…, ampun tuan Raharidian Tarusbawa, memang benar apa yang tuan tanyakan,” sela Kim Meyong sambil merapatkan ke dua telapak tangannya di depan dada.
“Bagus, dan tentunya kau pun punya penawar nya?” “Saya punya, tuan.”
“Berikan penawar itu.”
Dari balik lengan baju, Kim Meyong menyerahkan sebuah ruas bambu kecil yang langsung diterima Rahardian Tarusbawa.
“Satu lagi, kau pun menaruh ramuan tertentu
pada masakan yang dimakan ayahanda Prabu?” “Benar tuan,”
“Berikan penawar itu.”
“Tapi, penawar itu hanya sinse Li Sizen yang punya.”
“Kau tidak bohong?”
“Silahkan bunuh saya kalau bohong,”
“Baik aku percaya untuk saat ini, tapi jika kau terbukti berbohong lehermu taruhannya.”
“Baik tuan Rahardian Tarusbawa,” “Nah, sekarang kau bisa pergi.”
“Terimakasih…, terimakasih tuan Rahardian Tarusbawa,” ujar Kim Meyong berkali-kali kemudian bergegas meningalkan tempat itu.
“Tuan Rahardian mempercayai ucapannya?” “Semantara waktu Yuda Karna, dan ternyata
dugaan kita benar antara sinse Li Sizen dan Kim Meyong
kini sudah tidak satu jalan lagi.”
“Lalu bagaimana dengan penawar untuk gusti Prabu Linggawarman?”
“Inilah yang sedang aku pikirkan, Yuda Karna.
Kalau kita meminta langsung pada sinse Li Sizen tentu dia akan mungkir, ingat dia sekarang salah seorang
kepercayaan Tumenggung Jari Kambang.”
“Kasihan Gusti Prabu Linggawarman,”
“Sudahlah Yuda Karna, untuk semantara waktu kita pulihkan dulu prajurit-prajurit Tarumanagara, baru kita pikirkan langkah selanjutnya,”
“Baik tuan Rahardian Tarusbawa.”[]
Balada Cinta Para Pendekar
Abilawa langsung turun dari langkan rumah begitu iring-iringan prajurit Tarumanagara yang mengawal Arimbi memasuki pintu regol padepokan Ciampea, lelaki tinggi besar bertampang gagah itu memang sudah mempersiapkan segala sesuatunya sebab satu hari sebelumnya sudah ada warta dari salah satu telik sandi yang dikirim Rakeyan Kanuruhan Rajendra untuk menyampaikan kabar tentang kedatangan Arimbi, anaknya yang akan menuntut ilmu di padepokan Ciampea.
“Selamat datang di padepokan Ciampea, den ayu Arimbi,” ujar Abilawa sembari mempersilahkan putri Rakeyan Kanuruhan itu turun dari kudanya. Seorang cantrik kemudian menuntun kuda Arimbi ke belakang padepokan.
“Terimakasih, apakah guru Bilawa ada di
tempat?”
“Saya Abilawa, guru padepokan Ciampea ini, den
ayu.”
“Ohh, maap kan ketidak tahuan saya guru,” ujar
Arimbi yang langsung memberi penghormatan membuat kikuk lelaki gagah tersebut. “Sudahlah den ayu, bangunlah…,” ujar Abilawa sambil membimbing Arimbi bangun, ke dua mata mereka tak sengaja saling tatap, getaran aneh sontak menjalari hati ke dua insan ini, sebuah pertemun yang mendebarkan, jantung Arimbi terasa copot ketika beradu pandang dengan lelaki gagah di hadapannya, pun dengan Abilawa, lelaki tinggi besar bertampang gagah itu tertegun akan kecantikan paras Arimbi yang mempesona, Abilawa langsung menepis rasa itu kemudian mempersilahkan Arimbi dan rombongan prajurit Tarumanagara beristirahat di tempat yang telah di sediakan.
“Wo tidak mengira, guru padepokan Ciampea itu gagah sekali, Arimbi.” Kata Chao-Xing diiyakan Iblis Bisu, namun orang yang ditanya seperti tidak mendengar, Arimbi rupanya masih terbayang-bayang kejadian barusan.
“Arimbi, ni melamun?”
“Ah tidak bibi Chao, apa yang bibi tanyakan
barusan?”
“Sudahlah Arimbi, lupakan pertanyaan wo barusan.”
“Saya tidak menyangka, semuda itu sudah menjadi guru besar padepokan Ciampea,” guamam Arimbi, masih tersisa rona merah di ke dua pipinya.
“Muda, gagah dan tampan,” menyambung Chao- Xing menambah rona merah di wajah arimbi bertambah kelam.
“Ah, bibi Chao ini….”
“Baiklah, kau istirahat saja dulu Arimbi, kami akan memastikan keamanan padepokan Ciampea ini.”
“Baik, bibi Chao,” ujar Arimbi.
Chao-Xing dan Iblis Bisu langsung keluar dari pondok, ke duanya tampak berjalan pelan melihat-lihat susana padepokan Ciampea yang sejuk, tertata rapi asri dan rindang, sebuah air terjun tampak di kejauhan menambah tentram siapapun yang melihatnya. “Iblis Bisu, sepertinya Arimbi mengalami jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gurunya itu,” gumam Chao-Xing, mata sipit wanita ayu ini semakin
berbinar ketika bayangan Taruma melintas di benaknya.
“Iblis Bisu, apakah wo bisa bertemu kembali dengan Taruma?”
Orang yang ditanya tampak mengangkat bahu.
“Kawasan ini dekat dengan lereng gunung Salak, satu waktu wo akan mencarinya.”
“Nona Chao-Xing, kau mendamba seseorang yang belum tentu memiliki rasa yang sama dengan mu, semantara ada hati yang begitu tulus menyayangimu, namun kau tidak menyadarinya,” keluh Iblis Bisu dalam hati.
“Iblis Bisu mengapa wajah mu memerah…?”
Lelaki muka pucat ini tercekat kemudian mengalihkan pandangannya pada air terjun yang bergemuruh di kejauhan.
“Iblis bisu, apakah kau pernah jatuh cinta?” sela
Chao-Xing.
Tanpa sadar, lelaki muka pucat itu mengangguk membuat Chao-Xing langsung menatapnya dengan antusias.
“Dengan siapa? Tentunya kau mempunyai kisah cinta yang bagus, ceritakan lah pada wo,” ujar Chao-Xing tapi langsung menghela napas dalam.
“Ahh, bagaimana wo bisa bercerita…,” gumam
Chao-Xing menyadari kebodohannya.
“Sudahlah Iblis Bisu, mari kita istirahat….”
Kali ini Iblis Bisu langsung mengangguk kemudian mengiringi langkah Chao-Xing dari belakang, sedang rembang petang mulai melingkupi kawasan padepokan Ciampea.
**
Derap ladam kuda terdengar nyaring memecah kesunyian pagi, di sebuah lereng perbukitan ke dua penunggang kuda itu tampak hentikan tunggangannya, di bawah sana sebuah sungai besar berair deras terdengar bergemuruh memecah bebatuan yang banyak bertebaran di sepanjang aliranya.
“Huppp…, paman Udayana, di bawah sana di kaki bukit ada sungai.”
“Yah, kau benar Taruma. Itulah sungai Aruteun,” “Besar sekali sungai itu, dan lebar paman,”
“Yah…, sungai itulah batas wilayah Kerajaan
Tarumanagara.”
“Oh iya…?”
“Iyah, bila kita menyeberangi sungai itu maka
kita akan ada di wilayah Kerajaan Tarumanagara,”
“Ah, ternyata perjalanan kita tidak terlampau jauh, paman.”
“Yah,”
“Hanya dalam waktu satu bulan, kita sudah
sampai di wilayah kerajaan Tarumanagara.”
“Memang, Taruma. Sebab tempat tinggal kita di desa Gelino letaknya di kaki gunung Salak, jadi tidak terlalu jauh dengan sungai Aruteun itu, tapi untuk sampai di pusat Kerajaan Tarumanagara, kita masih harus menempuh perjalanan satu bulan lagi,”
“Wah, tambah lagi satu bulan.”
“Yah…, ayolah kita memacu kuda menuruni
lereng bukit ini sampai ke tepi sungai Aruteun itu.” “Baik paman.”
“Ayo Taruma, hyaaa…hyaaa…!”
Ke duanya tampak memacu kuda tunggangannya menuruni lereng bukit menuju tepi sungai Aruteun, kebetulan sekali di pinggir sungai ada seorang lelaki yang sengaja menawarkan perahunya dan tanpa menawar Udayana dan Taruma menukarnya dengan kuda-kuda miliknya pada lelaki tersebut.
“Untunglah ada penduduk Caduma yang baik hati, mau menjual perahunya pada kita sehingga kita dapat menyusuri sungai Aruteun ini dengan naik perahu,” “Kenapa harus naik perahu paman?” “Maksud mu.”
“Bukankah lebih cepat dengan naik kuda, lewat jalan darat.”
“Ohh…, justru sebaliknya Taruma, lewat jalan darat kita harus memutar melalui bukit Gandok, tapi kalau melalui jalan air dengan cepat kita akan sampai di desa Aruteun, karena kita memotong jalan, nah dari desa Aruten itulah kita bisa menunggang kuda dengan leluasa sebab jalan yang menghubungkan desa Aruteun dengan ibukota Tarumanagara cukup bagus dan agak
lurus, sehingga tidak akan banyak hambatan.” “Iya paman,”
“Nah ayo sekarang kita dorong perahunya ke tengah,”
“Baik paman…, Ciaaaatttt…!” mengandalkan tenaga dalam, Taruma mendorong perahu itu ke tengah sungai dengan Udayana berada di dalamnya sedang dirinya masih tampak berdiri di tepiannya.
“Hahah…, gila, Taruma mendorong perahu menggunakan tenaga dalam sehingga perahu ini meluncur dengan cepat ke tengah sungai sedangkan dia sendiri masih berada di tepi sungai,” membhatin Udayana.
“Taruma…, hayo loncat…!”
“Edhaaaaa…!” sentak Taruma, sosoknya tampak melenting ke atas bersalto beberapa kali di udara kemudian dengan ringan mendarat di dalam perahu.
“Hehehe…, lompatan mu sangat baik Taruma, dari tepi sungai kau dapat sampai ke perahu yang berada di tengah sungai ini, ilmu meringankan tubuh kau sudah sempurna,”
“Haha.., sambil latihan paman.”
Ke duanya lantas menyusuri sungai Aruten ke hilir, tidak berapa lama tampak lekuk caringin tempat perahu merapat berada di hadapan ke duanya. “Nah, itu lekuk caringin, tempat perahu merapat,
ayo kita menepi.”
“Iya paman,”
“Iyap, prahu sudah merapat ke tepi sungai, ayo kita melompat ke darat.”
“Hup hiyaaa…!” “Hup hyaaa…!”
Dengan sekali lompat ke duanya sudah berada di tepian sungai Aruteun.
“Nah dari sini ke desa Aruteun jalan kaki hanya setengah hari,”
“Iya paman.”
“Taruma, apakah kau masih ingat tempat ini?”
“Mana mungkin saya melupakannya paman, dari tepi sungai inilah kita dulu menyeberang dan meningalkan wilayah Kerajaan Tarumanagara.”
“Ingatan mu masih tajam, Taruma.”