Bab 18 : Fitnah dan Iri Hati
Suasana di Majapahit makin lama makin panas. Raja Angabaya dengan bantuan Senapati, Raden Menak Koncar, tiada lama dapat mempertahankan keamanan. Makin banyak perubahan serta perbaikan dijalankannya untuk kepentingan masyarakat, terutama ditujukannya untuk mengangkat kehidupan rakyat jelata di desa-desa, makin hebat tantangan dari pihak tertentu.
Terutama dari pihak kaum bangsawan dan golongan agama. Menurut pendapat mereka, Raja Angabaya terlampau memberi hati kepada rakyat. Malah ada yang mengatakan, siasat Damarwulan memihak kepada rakyat itu adalah untuk memperlemah kedudukan mereka, untuk mengurangi hak dan kekuasaan kaum bangsawan serta untuk menghilangkan kekuasaan serta pengaruh kaum pendeta.
Ada pula yang sampai menuduh, sebagai seorang ksatria, is ingin berkuasa lebih tinggi, sebab itu rakyat sekarang dipersiapkannya, dengan jalan memberi hati, mengadakan perubahan dan perbaikan, yang semata-mata hanya menguntungkan rakyat jelata. Malah ada pula yang menuduh, Raja Angabaya yang baru telah dipengaruhi oleh orang-orang dari Utara, sebab itu mereka semakin banyak jumlahnya di kota Majapahit.
Banyak lagi tuduhan yang bukan-bukan ditimpakan atas dirinya. Angin pancaroba yang berbahaya tengah melanda Mahapahit! Kemenangan dan kemasyhuran yang dicapai Damarwulan, dalam waktu pendek telah mengangkat dirinya ke atas puncak kemasyhuran dan kemuliaan. Akan tetapi secepat kemasyhuran itu menerbangkan namanya ke mana-mana, secepat itu pula kedengkian, kebencian serta iri hati orang di sekelilingnya berusaha hendak menjatuhkannya kembali, hendak meruntuhkan mahligai kemasyhurannya itu.
Majapahit kerajaan Hindu yang telah lapuk itu seakan-akan tak kuasa lagi menahan serangan angin pancaroba yang amat dahsyat itu. Damarwulan sebagai Raja Angabaya, karena fitnah, akhirnya dihadapkan kepada suatu majelis tinggi, dengan tuduhan keji telah menghasut dan menyiapkan rakyat untuk menggulingkan Seri Ratu dan akan menjatuhkan pemerintahan serta rnenggantinya dengan pemerintahan yang baru. Huru-hara timbul di mana- mana, Iebih-lebih setelah rakyat mengetahui maksud sidang itu.
"Bagaimana pendapat Tuanku Werda Menteri?" tanya seorang Werda dengan berbisik kepada temannya yang baru sampai. Yang ditanya tidak segera menjawab dan melihat dengan tajam dan agak liar berkeliling.
"Silakan Saudara!" seru yang bertanya itu pula kepada yang ditanya, menyuruh ia duduk, setelah ternyata pertanyaannya tiada lekas mendapat jawaban. la masih mondar-mandir perlahanlahan dan menggaruk-garuk daun telinganya kemudian melekapkan tangan kirinya ke atas dadanya yang sebelah kanan. Semuanya itu mengandung arti tertentu, sebuah isyarat rahasia. Maka yang bertanya itu maklumlah maksudnya menggaruk atau memegang daun telinga berarti bahwa ada dari pihak lawan yang mungkin dapat mendengar percakapan mereka dan tangan kiri di atas dada memberi alamat: hendaklah sabar seketika. Biasanya mereka datang ke tempat itu hanya untuk bertemu sementara saja, untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka; tempat itu boleh dikatakan tempat umum, sebuah warung biasa, yang boleh dikunjungi siapa saja.
"Saya permisi dahulu, Wak!" kata orang itu kepada yang empunya warung itu, Wak Seberang Lor namanya. Sebenarnya bukan nama sesungguhnya, hanya nama warungnya "Warung Seberang Lor" maka orang tua itu disebut merekalah Wak Seberang Lor dan namanya yang sebenarnya, Salikun, serta ada seorang anaknya laki-laki bernama Mukamat. Warung itu terletak di ujung jalan yang menuju ke pasar, agak terpencil, akan tetapi selalu ramai, baik siang maupun malam, karena Wak Seberang Lor selain masakannya enak dan bersih, ia terkenal seorang pembanyol, yang ramah-tamah dan pandai mengambil hati tiaptiap orang yang masuk ke warung itu.
"Tidak ada titipan...?" tanya Wak Seberang Lor pula dengan lemah lembut. Pada waktu itu orang-orang dari I'esisir Utara telah mulai banyak berusaha, membuka warung atau berdagang, bahkan orang Islam dari luar Pulau Jawa, seperti dari Sumatera dan Malaka pun telah banyak, umumnya mereka orang dagang, mulai dari yang sekecil-kecilnya, berjual malau dengan nila, benang dengan jarum pentol dan peniti, minyak dan terasi, dan sebagainya. Ada pula yang berjual barang pecah belah, cawan, pinggan, periuk, belanga, halus dan kasar, mulai dari tembikar biasa buatan pribumi, sampai kepada porselen Tiongkok yang sehalus-halusnya. Jangan dikata barang sandang, kain tenun yang hal[ s-halus, seperti kain Bugis dan Donggala, Kubang dan Palembang, sutra Antelas dan kain-kain Makau banyak masuk dan diperjual-belikan orang di Majapahit. Sekalian barang yang masuk itu, sebagai gantinya, mereka tukar dengan hasil bumi dari Pulau Jawa. Tentu tidak sedikit keuntungan yang mereka peroleh. Buktinya, pada mula-mula tiba di kota Majapahit, mereka tidak mempunyai apa-apa, selain sedikit perabot dapur untuk keperluan memasak sehari-hari dan sedikit barang dagangan yang menjadi sumber pencaharian mereka. Tetapi setelah berusaha setahun dua tahun kadang- kadang belum cukup sepuluh bulan mereka telah mendirikan gedung yang baru, yang hampir menyamai gedung yang ditinggali seorang bupati. Begitu pula tentang perabot rumah tangga mereka, barang pakaian dan perhiasan emas perak mereka selalu berganti dan bertambah, karena makmur penghidupan orang dagang pada waktu itu.
Pada umumnya kehidupan mereka lebih maju dan pembagian masyarakat mereka lebih teratur. Kelihatan mereka selalu rukun dan damai serta sangat mementingkan kebersihan. Lima kali sehari dan semalam mereka datang ke pinggir Kali Berantas, ke tempat mereka beribadat, akan menyembah Hyang atau mereka, yang mereka sebut Yang Maha Esa. Mereka sangat teliti sekali menjaga kebersihan dan tiap-tiap akan mengerjakan sembahyang itu, mereka tetap mensucikan dirinya terlebih dahulu.
Kalau sekiranya ada di antara mereka yang miskin, yang tidak empunya, apa-apa bersama-sama pula mereka menolong atau membantunya, dengan jalan memberi sedekah atau zakat atau pertolongan yang lain-lain. Pada mulanya kehidupan dan pergaulan orang-orang dari Pesisir Utara dan umumnya penganut agama Islam itu telah memperlihatkan surf teladan yang amat baik, laksana setumpuk kecil bumi yang segar dan subur di tengah- tengah tandb cadas yang gersang, kering, dan mati. "Assalamualaikum_..!" ujar orang itu pula, ketika hendak melangkahkan kakinya ke luar pintu.
"Alaikum salam!" balas Wak Seberang Lor alias Salikun.
"Sudah mau berangkat ini...!" tegur seorang anak muda, ketika ia sampai di halaman dan hendak membelok ke kiri. Anak muda itu tidak lain daft Mukamat bin Salikun atau anak Wak Seberang Lor. Melengong ke kiri dan ke kanan dengan cepat serta menoleh kepada orang-orang yang duduk dalam warungnya ia membisikkan, "Sampeyan ditunggu oleh sidang...! Biar saya menanti di sini ... selamat!"
Dengan tidak berkata lagi segeralah ia menuju ke tempat yang dimaksud. Setelah membelok ke kiri is menyeberang jalan, menempuh sebuah lorong, kemudian sebuah lorong lagi dan setelah keluar di ujung lorong yang kedua sampailah ia ke jalan yang agak besar; jalan itulah yang menghubungkan kepatihan dengan penjara dan orang yang diceritakan, menyeberang jalan itu dan setelah melalui sebuah lorong lagi barulah ia sampai ke tempat yang dituju. Setelah memperlihatkan tanda-tanda rahasia ia dipersilakan masuk.
"Silakan Saudara...!" seru kawannya yang ditanyainya di warung Seberang Lor tadi. "Karena kita sudah berkumpul marilah kita mulai "
Ia melihat berkeliling, memperlihatkan sekalian kawankawannya yang hadir, sambil mengingat-ingat dengan cepat siapa yang belum kelihatan.
"Baiklah saya mulai dengan menceritakan pendapat Tuanku Werda Menteri..." katanya dan melihat kepada kawannya yang baru .datang itu. "Pada mulanya beliau ragu-ragu dan tampak agak tkut-takut."
"Takut bagaimana?" tanya seseorang yang duduk di ujung sekali di sebelah kanannya.
"Seperti kita semua, maklum Raden Damar alias Raden Gajah memang seorang besar, orang besar yang mengangumkan. Keberaniannya luar biasa menggegerkan Pulau Jawa, bahkan menggoncangkan seluruh Nusantara.
Apabila ia didekati atau barang siapa yang telah berdekatan dengan dia, hilanglah sifat kepahlawanannya yang dahsyat menakutkan itu, ia lalu menjadi sahabat tiap-tiap orang, tua muda, hina mulia dan kecintaannya kepada sesama manusia terlalu besar, sama besarnya bahkan lebih besar, bila dibanding dengan kecintaannya kepada pasukannya dan kepada pertempuran selaku kesatria tinggi yang sesungguhnya dalam hati kecilnya ia ingin menjauhi peperangan, karena memang ia sangat membencinya dan bercita- cita hendak membangun kedamaian, keadilan, serta keutamaan budi."
"Karena itulah rupanya kepala agama menaruh dendam kepadanya," ujar yang lain pula.
"Bukan dendam," sela seorang lagi, "tetapi iri hati atau dengki"
"Ya, sesungguhnya demikianlah halnya!" sahut yang bercerita itu pula dengan cepat. "Damarwulan sebenarnyalah seorang satria yang taat dan patuh kepada ajaran agamanya dan kemurnian agama itulah yang hendak diperjuangkannya."
"Akan tetapi, mengapa ia mendapat tantangan atau perlawanan yang hebat dari pihak kaum agama sendiri?" seru yang lain pula. "Itu sudah sewajarnya...!"
"Sudah sewajarnya bagaimana?" sahut orang yang ada di depannya. "Saya sungguh tidak mengerti "
"Bukankah kaum agama, pemimpin-pemimpin kejiwaan itulah sebenarnya yang seharusnya menunjuki rakyat ke jalan yang lurus dan benar, akan tetapi bagaimana kenyataannya sekarang?" jawab orang yang pertama. "Agama jadi alat untuk mengelabui rakyat !"
"Kebenaran agama dan ajaran-ajarannya yang sejati telah lama hilang dan rusak, di Majapahit yang hidup sekarang hanyalah namanya dan tinggal semata-mata ketakhyulannya," sela temannya, yang duduk di sebelah kirinya.
"Ya! Tepat sebagaimana yang Saudara katakan itu," sambungnya pula. "Di pertapaan pada mulanya orang datang untuk ketenangan jiwa, mematikan dan menjauhi huru-hara dunia, akan memperdalam serta mensucikan kebatinan, dengan tujuan yang utama sekali, ialah akan menyelamatkan masyarakat ramai. Sekarang apa yang terjadi?" katanya pula sebagai bertanya.
"Pertapaan dikunjungi oleh orang-orang durhaka, serta tidak dengan cita- cita yang baik sejak mulanya. Ayat suci dijadikan mantra, mereka menuntut ilmu kebal supaya tidak dimakan besi, tidak telap, tak mempan kulitnya ditembus senjata tajam. Ada pula yang mempelajari ilmu siluman di sekitar pertapaanpertapaan suci itu, supaya dapat menghilang di hadapan orang ramai atau mempelajari mantra "ilmu angin" dapat terbang di angkasa dengan tiada bersayap, serta sanggup lobs ke dalam lubang jarum sekalipun yang
sangat berbahaya kepada putriputri cantik atau gadis-gadis "Mengapa ?"
"Coba Anda bayangkan, jika sekiranya ada orang yang sampai berhasil memperoleh mantra keramat ilmu angin semacam itu, bagaimana menjaga keamanan rumah tangga? Alangkah takut dan ngerinya anak istri Saudara ditinggalkan di rumah, biar pintu dipalang dengan jerajak besi, dikunci serta diikat erat-erat dari dalam, namun penjahat juga masuk, sebab lalu angin lalu pula dia karena pertolongan mantranya itu."
"Jadi, kalau begitu dari celah-celah dinding atau dari lubang angin, ia dapat masuk...?" tanya yang lain.
"Ya, menurut kepercayaan mereka yang bodoh itu," jawab yang bercerita. "Karena mereka bodoh lalu diperbodoh-bodoh benar dan pendeta-pendeta itu sebagai pemimpin kerohanian bukanlah mengajarkan petunjuk agama yang benar, yang akan dapat mencerdaskan rakyat, akan tetapi semata-mata menyiarkan takhayul yang menyesatkan dan menggemparkan masyarakat.
Pertapaan ramai dikunjungi karena ilmu semacam itu. Pintu depan kedengaran diketuk orang, lalu terbuka.
"Ini yang dinanti-nanti telah datang! Agaknya Saudara tidak kebenatan kami mulai!" katanya pula sambil mempersilakannya duduk.
"Karena Saudara yang ditugaskan menghadap Tuanku Werda Menteri baiklah Saudara teruskan!" sahut orang itu dengan cepat. "Terus terang harus diakui," katanya pula, "ibarat orang berlayar, kita sungguh-sungguh mendapat angin turutan, angin dari buritan, tugas kita yang utama menjaga kemudi dengan baik. Orang-orang besar Majapahit memang masih dapat dipengaruhi oleh Patih Logender, sebabnya seperti saya ceritakan tadi: Raden Damar terlalu keras bertindak dan sangat percaya akan kekuatan- nya dan kebenaran mutlak yang diperjuangkannya itu."
Ia diam seketika.
"Akan tetapi, ada pula kelemahannya," katanya, "kelemahannya inilah yang membawanya kepada kehancuran..."
"Apakah yang Saudara maksud?" tanya yang kedua di sebelah kanannya. "Raden Damar seharusnya telah lama mengambil tindakan dan bersikap
tegas terhadap mertuanya itu, tetapi sayang ia tak sanggup, sebenarnya ...
tidak mau...!"
"Ya... tak sampai hati... terhadap mertua dan paman sendiri!" ujar seseorang sebelah kirinya.
"Sebenarnya yang menjadi pusat bencana dalam hal ini, ialah Layang Seta dan Layang Kumitir, iparnya," kata yang lain pula, yang duduk di ujung sekali, sebelah kiri.
"Bukankah keduanya sekembalinya dari Sulebar bersamasama Raden Panji Wulung, telah terbuka rahasianya, tegasnya fitnah busuknya, serta telah pula tertangkap oleh Kuda Rarangin dan Kuda Tilarsa, saudara Damarwulan sendiri?"
"Memang sampai pada saat ini keduanya masih tetap dalam penjara, tetapi namanya saja yang dipenjara, ayah bundanya bebas keluar masuk."
"Ya... ya... memang serba sulit, yang menjadi kepala penjara i keluarga mereka juga," kata yang seorang.
"Mudah-mudahan mahkota Rajasa akan jatuh dan singgasana Majapahit yang telah lapuk ini akan runtuh, supaya kepercayaan baru yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat membangun Jawadwipa dan mempersatukan seluruh Nusantara. Kita sebagai pengikut Sunan Giri dalam memperjuangkan kebenaran dan kemurnian ajaran baru yang telah jadi kepercayaan kita dapatlah mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya!" katanya pula selanjutnya.
"Bagaimana tentang bangsawan yang lain?" tanya salah seorang. Pembicara yang kedua, yang ditugaskan untuk itu, berkata, "Sri
Paramesywara pasti di pihak Patih Logender, karena beliau terhitung keluarga
dekat kepada ibu Layang Seta, pamannya di pihak ibu."
"Yang penting pula kita ketahui," kata yang lain lagi, "ialah pendirian Rakrian Tumenggung.'}"
"Rakrian Tumenggung ikut memusuhinya!" sahut seseorang. "Percayalah Tuan-Tuan sekalian," kata yang lain memberi keterangan.
"Kebesaran dan ketinggian budi Damarwulan memang telah tertanam sangat
dalam di hati rakyat jelata, ia sesungguhnya sangat mencintai mereka, menyamai bahkan melebihi kecintaan seorang bapa membela serta memperjuangkan kepentingan anak-anaknya. Seperti Bering kita dengarkan Raden Damar berteriak-teriak di paseban atau di manguntur, di manamana, bahkan dalam sidang sekalipun, katanya: rakyat jelata kurus kering karena kurang makan, tenaganya diperas habishabisan diperintah menjalankan ini dan itu dan kewajiban terlalu berat, semata-mata untuk kepentingan kaum bangsawan belaka. Selama ini mereka telah ditekan dan ditindas, katanya, tiada diberi hak sedikit juga untuk bersuara membela diri dan mempertahan- kan hak-hak mereka."
Diam sebentar, kemudian orang itu meneruskan keterangannya, "Karena Damarwulan terlalu berpihak kepada rakyat, kaum bangsawan lalu menjadi musuhnya. Bukan saja kaum bangsawan dan pegawai-pegawai tinggi pemerintahan, tetapi lebih-lebih lagi kepala-kepala agama, Syiwa dan Buddha. Sepanjang pendengaran hamba, sekalian kaum bangsawan, mulai dari rangga, tumenggung, paramesywara, patih, mangkubumi dan kedua pembesar agama membenci Damarwulan dan berusaha sekuatkuatnya untuk menjatuhkannya. 1=lanya seorang Senapati jadi sahabatnya yang setia, sedang Menak Koncar sekarang sedang bertugas keluar kota.
"Boleh hamba menyela?" tanya seorang pula. "Silakan Saudara!" jawab yang berbicara itu.
"Jika demikian, pendirian Damarwulan tentang keadilan dan bangun masyarakat, yang dikendaki serta dicita-citakannya itu sama benar dengan yang dikendaki para wali kita?"
"Tampak-tampaknya memanglah demikian, tidak banyak bedanya. Agaknya itulah yang Bering disebut-sebutnya dengan kebenaran mutlak itu! Ihanya... sayang...!" Ia terdiam.
"Sayang bagaimana?" tanya orang itu.
"Setujuan akan tetapi berlainan caranya, dan ya... berbeda pula hakikatnya!"
"Ah... ah... janganlah pula Saudara berfilsafat terlalu tinggi...!" katanya pula, "kami ini orang awam, belum mengerti benar istilah mantik dan filsafat!"
"Ya," sahut yang lain, "hamba sependapat dengan Tuan minty dijelaskan apa maksud perkataan itu?"
"Seperti telah diceritakan, para wali yang mengajarkan ajaran baru mengingini dan memperjuangkan keadilan masyarakat, supaya seluruh masyarakat dapat menerima dan merasakan
hikmat keadilan itu, langsung menurut petunjuk Yang Mahakuasa." Ia diam dan memandang berkeliling.
"Raden Damar, karena pengalaman atau penderitaannya bersama-sama dengan rakyat jelata selama ini, kita umpamakan jiwa dan batinnya itu merupakan sebagian atau belahan jiwa rakyatjelata itu sendiri, bertindak karena dendam atau karena iri hati belaka pada mulanya. Diumpamakan karena usaha, karena tindakan dan perjuangan mereka sendiri, bila perjuangannya itu telah berhasil, pertama umpamanya mereka menjadi orang kaya, akan bergunakah kekayaan itu kepada dirinya sendiri? Atau kepada masyarakat sekitarnya? Belum tentu! Mungkin is akan menjadi pengisap yang lebih kejam. Kedua, ditnisalkan mereka hendak memperjuangkan golongan atau kedudukan dalam masyarakat, bukan perjuangan untuk mencari kekayaan atau harta benda. Katakanlah, golongannya dapat menggantikan golongan yang berkuasa sekarang ini. Dari golongan rakyat jelata yang dikendalikan, berubah menjadi yang mengendalikan, pasti mereka tidak akan menyokong "keadilan" yang mereka perjuangkan pada mulanya itu! Mungkin sebaliknya, setelah berhasil perjuangan mereka, segeralah mereka menginjak- injak keadilan itu pula untuk mempertahankan kedudukan mereka. Manusia tidak mungkin bersifat adil, jika tidak percaya kepada "I'uhan Yang Mahakuasa, serta bersedia menjalankan petunjuk-petunjuk-Nya !"
Pintu masih diketuk-ketuk orang sekali lagi dengan keras dan setelah dibukakan palangnya, segera dikuakkan dan dibantingkannya kuat-kuat, karena gugupnya.
"Ada apa, Mukamat?" tanya mereka serempak.
"Ada suruhan dari menguntur, mengabarkan, bahwa rakyat telah menyerbu ke pusat kota dan keraton telah mereka kepung."
"Sudah adakah berita yang nyata tentang persiapan tentara Adipati Bintara?" tanya seorang berbisik.
Sebahagian yang ada dalam pertemuan itu termasuk anggota barisan penyuluh atau penyelidik tentara Adipati Bintara sendiri, yang ditugaskan mempelajari dan mengetahui segala sesuatu yang diperlukan. Segala gerak- gerik dan kegiatan serta suasana dalam kota Majapahit pada akhir-akhir itu telah mereka pelajari sebaik-baiknya.
"Bila tentara Senapati Menak Koncar tampak bergerak hendak kembali," kata seorang utusan pula, setelah is diberi kesempatan untuk melapor.
Mereka berpandang-pandangan, sama-sama dapat membayangkan apa yang akan terjadi di bumi Majapahit.
"Tuhan selalu bersama kita.. !" bisik mereka.