Bab 14 : Kedengkian Menyalakan Api Dendam
Orang-orang Layang Seta dan Layang Kumitir tiada berhasil membunuh Damarwulan dalam perjalanan pulang dad Blambangan. Keduanya telah membuat siasat jahat akan membinasakan Raden Damar dengan pengiring- pengiringnya. Tetapi daya upaya mereka tidak berhasil
Mereka belum berputus asa. Bertiga dengan Patih Logender, mereka mengatur siasat, menghasut rakyat pesisir, terutama Pesisir Utara dan dari sana keduanya akan terus ke Sulebar di Suwarnabumi.')
"Bagaimana, Ayah, hubungan Sulebar dengan Majapahit?" tanya Kumitir, ketika mereka bermalam di suatu desa dekat Ampel.
"Sulebar tempat rempah-rempah. Bandarnya ramai salah satu pelabuhannya juga menghadap ke mulut kuala Selat Sunda Kelapa dalam sebuah teluk yang permai di Suwarnabumi. Negerinya kaya raya. Seandainya Majapahit berhasil merebut ujung kulon Jawadwipa, niscaya Majapahit bertambah kuat dan jaya. Tetapi amat sayang, hubungan Majapahit dengan Pajajaran tak dapat diperbaiki lagi, berhubung dengan peristiwa Bubat yang menggoncangkan itu."
"Ya, kami perlu mengetahui latar belakang peristiwa Bubat itu. Jika perlu kami akan menghasut sekalian musuh Majapahit," ujar Layang Seta pula dengan geramnya. "Sebelum sampai ke Sulebar Ananda akan menyinggahi tempat itu, sepatutnyalah kami mengetahui sejarah serta hubungannya dengan Majapahit. Buat sementara sebagai siasat kita akan berkawan dengan sekalian musuh Majapahit."
Patih Logender tiada dapat cepat menjawab. Banyak persoalan yang menyerang ingatannya. Sesungguhnya ia telah lama menyangsikan kesanggupan dan kemampuan kedua orang anaknya itu. Tiap-tiap usahanya selalu diikuti kegagalan serta kekecewaan atas dirinya. Ia sendiri sesungguhnya sangat menyesal meninggalkan Majapahit dan menurutkan kemauan kedua orang anaknya, yang selalu menurutkan hawa nafsu dan dendam kesumat. Apalagi bila diingatnya putrinya sendiri, Dewi Anjasmara... dan Raden Damar keponakannya yang sedang berbintang terang cemerlang. Lama ia termenung.
"Jalan yang lain, Ayah, tak ada, selain kita terpaksa meniup bara permusuhan yang masih bernyala di hati para bupati dan raja-raja di seluruh Jawadwipa dan Suwarnabumi. Kami telah mengirim orang pula kepada Bupati Bintara dan bagaimana juga, boleh dikatakan, penduduk Pesisir Utara seluruhnya menyokong kita," demikian desak Layang Seta selanjutnya. “Bagaimana Dewi Anjasmara, saudaramu sendiri!" sahut Patih Logender terharu dan agak bimbang.
"Kita bukan memusuhi dial" jawab Layang Seta dengan pendek. "Damarwulan pun sepupumu, bukan?"
"Mana yang Ayah pentingkan, anak sendiri atau keponakan Ayah yang tak tahu diri itu!" jawab Layang Kumitir pula.
"Dia telah menjadi suami adikmu, telah jadi iparmu!"
"Hal itu jangan Ayah bicarakan juga. Aku ingin berkuasa habis perkara. Atau Majapahit runtuh sama sekali...," jawab Layang Seta, "dan Ayah harus menurut kemauan kami.... Ayah jangan lupa, kita telah membuat perjanjian dengan orang-orang dari Pesisir Utara!"
"Baiklah," jawab Patih Logender mengalah dan lesu.
"Ketika Prabu Hayam Wuruk menduduki singgasana baginda masih muda sekali. Baginda tergila-gila melihat wajah seorang putri Sunda, putri raja Pajajaran."
"Di mana Prabu berjumpa dengan putri itu?" tanya Kumitir.
"Sang Prabu belum pernah bertemu muka dengan putri itu, hanya melihat lukisannya yang sengaja ditulis oleh seorang seniman. Baginda segera melahirkan keinginan beliau hendak mempersunting putri Parahiyangan itu. Lalu dikirimlah utusan ke tanah Sunda dan tentu saja pinangan itu diterima. Malah Raja Pajajaran amat berbesar hati dan bangga putrinya akan menjadi permaisuri seorang raja besar, yang menguasai hampir seluruh Nusantara."
"Belumkah Prabu mempunyai permaisuri pada waktu itu?" tanya Layang Seta menyela.
"Tentu belum," ujar Patih Logender pula meneruskan ceritanya. "Karena itulah kemudian timbul salah paham antara keluarga keraton serta orang besar kerajaan. Pajajaran dipandang sebagai suatu kerajaan kecil sedang Majapahit sebuah kerajaan besar. Salah paham terjadi, karena orang Pajajaran merasa terhina dengan perlakuan Majapahit yang sedemikian itu. Itulah sebab musababnya terjadi peristiwa di Bubat itu."
"Serta bagaimana pulakah hubungan Majapahit dengan Suwarnabumi?" tanya mereka.
"Suwarnabumi atau Suwarnadwipa suatu negeri tua seperti Jawadwipa mungkin lebih tua dan mempunyai sejarah yang hampir bersamaan pula. Baik dari pihak raja-raja di Suwarnabumi maupun dari pihak raja-raja Jawadwipa telah berkali-kali diusahakan kerja sama yang lebih erat atau persatuan, tetapi adaada saja halangannya."
"Apakah yang menjadi halangan itu, Ayah?" tanya Layang Kumitir. "Di antaranya perbedaan kepercayaan dan perlainan kebiasaan, adat
istiadat. Agama atau kepercayaan yang dianut oleh rakyat sekarang ini sudah
tak dapat mengikat rakyat lagi, karena salah kaum agama sendiri." "Apa maksud Ayah?" tanya Layang Seta, agak keheranheranan. "Ananda lihat sendiri, Brahmana dan pendeta bukan lagi membaca ajaran suci dari kitabnya, tetapi semata-mata menjadi alat akan menyampaikan perintah dan keinginan ... atasannya. Mereka mudah disuap untuk membodoh- bodohi rakyat. Seperti Ananda saksikan sendiri kehidupan penduduk desa ini dan orang-orang dari Utara sangat berbeda. Begitu pula kebiasaan, kepercayaan dan masyarakat Suwarnabumi dengan kehidupan orang Majapahit. Sudah beberapa lama kita bersembunyi di sini, tidakkah tampak oleh Ananda perbedaan pribadi dan pekerti mereka?"
Keduanya terdiam beberapa lamanya, kemudian Layang Seta berkata pula, "Keterangan Ayah ini amat penting artinya dalam mencapai jalan untuk penyelenggaraan tujuan kita_ Sepeninggal kami ke Sulebar, Ayah hendaklah pergi mengunjungi daerah Utara, terutama Bupati Bintara, untuk meminta bantuan mereka."
"Bagaimana hubungannya dengan Sulebar?" tanya Kumitir sekali lagi, "tadi belum lagi Ayah jelaskan._.!"
"Seperti telah Ayah terangkan, Suwarnabumi sebelah Selatan itu telah lama di bawah pengawasan Majapahit. Pamanmu sangat mengenal daerah itu, karena is berulang kali mengunjunginya dan menetap di tempat itu." Patih Logender terdiam pula seketika berpikir-pikir, kemudian katanya, "Jika tidak salah yang memegang kekuasaan sekarang di Sulebar bukan orang lain, anak pamanmu sendirilah."
"Anak Patih Udara, Ayah?" tanya Layang Seta, agak bimbang dan heran. "Benar!"
"Kalau begitu saudara si Damar!" seru Kumitir. "Sulit juga...!"
"Mengapa sulit," jawab Layang Seta. "Adakah mereka kenalmengenal, Ayah?"
"Ayah kira belum! Karena...." Ayahnya terdiam, berpikir. "Karena apa, Ayah?" tanya Kumitir.
"Hal itu rapat bertalian dengan rahasia pribadi pamanmu, Patih Udara masa mudanya."
"Bagaimana pula dengan kerajaan Pertiwi di pusat Suwarnabumi itu, Ayah?" tanya Kumitir.
"Kerajaan Sang Pertiwi merupakan negeri anal yang teramat tua yang masih memperlihatkan keasliannya, menurut bahasa mereka disebut kerajaan Bunda Kandung. Hubungannya luas sekali dan penduduknya tiada senang diam dari dahulu kala, suka merantau ke mana-mana, karena itu banyak cendekiawannya yang mempunyai akal seribu daya."
"Bagaimana pula hubungannya dengan Majapahit?" tanya keduanya. "Pembesar Majapahit pernah dikirim mengajak patihnya berunding. Akan
tetapi ketika diketahuinya, pembesar Majapahit telah menyiapkan serta diiringkan bala tentara yang amat besar jumlahnya, mereka segera membuka
.perundingan dengan kerajaan Pasai yang bermusuhan dengan Majapahit. ltulah pangkal kegagalan Gajah Mada hendak mempersatukan Suw-arnabumi dengan Jawadwipa. Kerajaan Bunda Kandung atau kedatuan Sang Ibu Pertiwi itu sejak itu mulai menjadi pusat Islam, sangat dipengaruhi oleh Pasai."
"Bagaimana jalannya Majapahit berhasil mengalahkan Sriwijaya, Ayah?" tanya Kumitir setelah berdiam diri seketika.
"Bukankah sebenarnya Sriwijaya yang besar itu ada bertalian darah juga dengan kedatuan Ibu Pertiwi itu?"
Patih Logender berdiam diri seketika, kemudian katanya, "Kedatuan Ibu Pertiwi, seperti telah diceritakan merupakan negeri asal yang tua, dari sanalah pada mulanya asal keturunan raja-raja Melayu dan Sriwijaya. Sejak dari masa pemerintahan Kartanegara di Singasari karena hubungan perkawinan kerajaan Melayu itulah kemudian yang menjadi kerajaan Dharmasraya yang kemudian berpusat di Si Guntur, yang telah berhasil dengan bantuan Majapahit mengalahkan Sriwijaya yang agung itu."
"Bagaimana caranya, Ayah?" tanya Layang Seta pula.
Patih Logender tidak segera menjawab. Dirasakannya benar suasana Majapahit pada waktu yang akhir-akhir itu tidak ubahnya pula dengan akhir kebesaran Sriwijaya sebelum mengalami keruntuhannya. Selain kegoncangan yang terjadi di kalangan kepercayaan rakyat terhadap penguasa, baik penguasa di bidang agama baik di bidang pemerintahan, yang terutama perebutan kekuasaan dan perpecahan di lingkungan istana. Sekaliannya seakan-akan memberi kesempatan yang baik kepada kepercayaan yang baru....
"Cobalah jelaskan, Ayah!" desak Kumitir.
"Kedatuan Sriwijaya memang sudah sangat tua, tiangtiangnya telah mulai lapuk dasarnya tidak kuat lagi, terutama kepercayaan rakyat telah goyah ,"
sahut Patih Logender.
Tengah mereka asyik berbincang-bincang itu beberapa orang yang mereka suruh menyiapkan perahu telah pulang, membawa kabar bahwa dinihari berikutnya mereka akan mengangkat sauh.
Dalam rencana mereka Patih Logender tidak akan turut dalam kunjungan ke Sulebar dan Ujung Kulon Jawadwipa. Ia sendiri dari Ampel akan pergi ke Leren, Giri, berjalan darat sepanjang pantai serta akan lebih cepat tiba di Bintara.
"Mohon restu, Ayah!" ujar Seta dan Kumitir, ketika keduanya akan berpisah dengan orang tuanya. "Ingatlah Ayah, sekalian musuh Majapahit dan orang Utara menjadi teman dan penolong kita!"