Bab 02 : Disuruh Memperhambakan Diri kepada Paman
Damarwulan sangat terikat hatinya ke asrama Maharesi di lereng gunung itu. Dari muka asrama itu pemandangan lepas jauh ke utara. Sayup-sayup kelihatan atap-atap rumah di kota Majapahit, kemerah-merahan warnanya, tersembul antara pohonpohon dan daun-daun yang hijau. Agak ke timur laut tampak anak Kali Berantas mengalir di atas lembah yang subur sebagai seekor ular naga yang besar, kuning keemas-emasan warnanya, menyelusur di atas sebuah hamparan sebagai permadani yang hijau menuju ke laut. Dari sana kelihatan pula sebuah pulau dan selat yang indah dan biasanya pada waktu petang dan musim semacam itu ditutupi oleh gumpalan-gumpalan awan atau mendung yang berat, lembap, bergerak dari timur ke barat atau dari utara ke selatan....
Pada waktu yang semacam itu banyak yang dikenangkan oleh anak muda itu. Ayahnya sudah bertahun-tahun tidak lagi datang, barangkali beberapa lama tidak akan datang lagi mengunjunginya dan sekarang ia sudah meningkat dewasa, umurnya sudah hampir tujuh belas tahun. Baik ibunya maupun eyangnya, sejak ayahnya mulai mengundurkan diri ke dalam pertapaan, selalu memberinya kebebasan yang tak berhingga seperti amanat ayahnya juga. Sekarang timbul dari dalam hati nuraninya sendiri perasaan kesadaran, ingin mengetahui haluan hidupnya. Keadaan di desa, pergaulan dengan anak-anak kampung, suasana di pertapaan, dan pembicaraan- pembicaraan-nya dengan Maharesi Paluh Amba tentang kehidupan sangat berpengaruh di hatinya, bibit kesadaran yang ditanamkan dengan tulus ke dalam sanubarinya tumbuh subur, bertambah lama bertambah besar dengan sendirinya.
Semakin is besar semakin berkesan di hatinya kesepian hidup di lereng gunung di sekitar asrama itu. Kadang-kadang dicobanya menyendiri dan berhari-hari terpikir, teringat dan terkenang di hatinya arti hidup dan makna kehidupan ini. Tetapi makin dipikirkannya malah makin kabur baginya.
Ia mena tap tenang-tenang. Jauh di hadapannya dipandangnya gumpalan awan bergulung, bergerak berarak-arak, mulamula menipis lama-lama makin menebal dan menebal, berbentuk dan kemudian berubah beraneka warna, akan tetapi hanya sekejap mata saja. Sesaat kemudian gumpalan mega itu melayah dan melayang kembali, menjadi melebar dan merata, sehingga seluruh lembah atau dataran yang tadinya menghijau sekarang kelihatan diselimuti oleh kabut.
Demikian pula pikiran Damarwulan! Banyak yang diingat, dikenang dan dipikirkannya, tetapi tiada suatu pun yang dapat diujudkannya, ada yang serasa-rasa ditangkapnya sesaat kemudian atau seketika itu juga terlepas dan lenyap pula kembali.
"Damarwulan!" ujar Maharesi Paluh Amba seraya menghampiri cucunya, yang sejak dari tadi diamat-amatinya dengan diam-diam. "Ingatlah engkau, tiada mungkin sesuatu persoalan, begitu timbul begitu dapat dipecahkan.
Engkau bawalah dahulu berpikir tenang-tenang!" Damarwulan berpaling agak terkejut. Dengan tiada diketahuinya sedikit juga, maharesi itu telah ada di sisinya.
"Tidak hamba duga Eyang ada di sisi hamba. Pada sangka hamba eyang sedang duduk membaca ... atau tengah memuja di pertapaan," sahut Damarwulan.
"Memang aku sedang membaca, tetapi tiada membalik Weda, tengah membaca kitab jagat raya. Di telingaku aku pun turut mendengarkan sabda alam.... Mataku pun dari tadi ikut menyaksikan permainan Dewa Bayu dan Mahakela di cakrawala luas seperti yang engkau saksikan."
Maharesi Paluh Amba terdiam pula seketika. Sekonyongkonyong kedengaran guruh berbunyi.
"Engkau pandanglah arah ke Majapahit," ujar maharesi itu sambil menunjuk ke utara, ke kota Majapahit yang mulai samarsamar kelihatan di bawah kabut. Angin timur laut bergerak agak cepat dan matahari tiada lagi dapat menampakkan diri. Akan tetapi di beberapa tempat masih juga kelihatan sinarnya menembus mewarnai celah-celah kabut atau awan tipis yang dapat dilaluinya.
"Ya, Eyang, sekarang kota Majapahit sudah hilang dalam kabut," kata Damarwulan.
"Kabut yang mana yang engkau maksudkan?"
"Kabut yang berarak di depan mata kita sekarang, Eyang! Kabut yang mana lagi!?"
"Yang tampak olehmu hanya yang ada di depan mata, tetapi hatiku telah lama melihat kabut senja yang sedang merundung kerajaan Majapahit," ujar Maharesi Paluh Amba pula dengan tenang. Dari nada suaranya dapat diketahui, bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang muskil.
Damarwulan tiada segera menyahut. Ia pun mengetahui pula akan segala kesulitan yang dialami keratuan Majapahit pada waktu yang akhir-akhir seperti pernah diceritakan oleh maharesi yang bijaksana itu. Rakyat sudah mulai memperlihatkan sikap yang tiada senang , gelisah, malah di beberapa tempat sudah mulai ada yang menentang. Tak lain sebabnya melainkan karena perbuatan dan kelakuan pembesar-pembesar atau pegawaipegawai pemerintah yang sudah melewati batas. Rakyat seakanakan tiada mendapat perlindungan lagi dari atasannya, malah sebaliknya mereka merasa ditekan, diperas, dan ditindas dengan sewenang-wenang. Mereka memandang pembesar-pembesar dan petugas-petugas kerajaan sebagai musuh yang ditakuti, dan dijauhi bukan lagi sebagai pelindung atau pemimpin yang mesti ditaati dan dihormati.
Kemudian, Damarwulan seakan-akan telah dapat memahami kalimat Maharesi Paluh Amba yang terakhir itu, lalu bertanya, "Bagaimana caranya, Eyang, supaya kepercayaan rakyat dapat diperbaiki kembali dan keamanan di seluruh Majapahit dapat pulih seperti sediakala?"
"Jalan yang pertama hendaklah perbuatan dan kelakuan para pembesar itu dapat diperbaiki lebih dahulu, karena keangkuhan dan perbuatan mereka yang melewati batas itulah yang telah menjauhkan hati rakyat serta telah menghilangkan kepercayaan rakyat kepada mereka," jawab Maharesi.
"Di daerah Pantai Utara, menurut cerita orang, sekarang timbul kepercayaan baru dan menurut beritanya, sudah banyak pula penganutnya, Eyang!
Tidakkah itu merupakan pendurhakaan kepada Majapahit...?"
"Terutama kepada dewa-dewa dan mereka hendak menghancurkan kasta- kasta yang telah diatur oleh dewa-dewa itu!"
Kemudian Maharesi Paluh Amba berdiam diri seketika. Dari cahaya mukanya yang redup dan pandangannya yang tenang dan sayu menatap kejauhan terbayanglah kekhawatiraimya yang amat sangat.
"Bagaimana pada pendapat Eyang ajaran baru itu?" tanya Damarwulan pula setelah turut berdiam diri beberapa lamanya.
"Mungkinkah ajaran baru itu menjalar ke mana-mana dan sampai ke desa kita ini?"
Maharesi Paluh Amba masih berdiam diri. Kelihatan benar berat baginya untuk mengucapkan sesuatu.
"Akan sampai jugakah pendurhakaan itu ke sini?" tukas Damarwulan.
"Cucuku! Kepercayaan baru itu tak ubahnya seperti api yang baru dicetuskan di tengah-tengah musim kemarau di tepi rimba yang sudah kering mersik, karena sudah sekian lama tiada dititiki air hujan. Bagaimana juga kecil api itu pada mulanya, apabila datang angin berembus pastilah seluruh rimba itu akan terbakar."
Maharesi Paluh Amba terdiam pula seketika dan memandang dengan tajam kepada Damarwulan, seakan-akan hendak meresapkan makna kata-katanya ke sanubari anak muda itu. Wajahnya sekarang berubah menjadi amat jernih dan tenang. Sorot matanya makin terang, bersinar-sinar, bercahaya-cahaya sebagai menembus menyinari rongga dada cucunya yang sedang dalam kegelapan itu.
"Tahukah engkau," ujarnya pula, "bahwa jiwa rakyat sekarang sedang kosong, sedang merana, sedang kekeringan seperti rumput di tengah padang atau seperti ilalang di kaki rimba di musim kemarau yang amat lama.
Penduduk Majapahit sudah sekian lama menderita, kekuatan kehidupan mereka ibarat ampas kelapa yang terus-menerus diperas telah habis sarinya, sehingga tiada berdaya lagi."
"Hamba dengar banyak rakyat desa yang pergi mengungsi ke utara." Maharesi Paluh Amba berdiam diri seketika, kemudian jawabnya, "Tentu dengan sendirinya, Cucuku! Domba-domba yang kelaparan sebelum ajal tiba mencekik lehernya, jika ada kesempatan tentu akan meronta-ronta dan lari ke mana-mana mencari rumput atau menjilati apa saja yang ada untuk pengobat laparnya. Menurut berita yang dibawa orang dari rantau pesisir utara itu, saudagar-saudagar dari negeri di atas angin telah memperlihatkan teladan kehidupan yang baru menurut ajaran agamanya dan contoh kehidupan baru itulah yang merupakan besi berani, yang telah menarik hati rakyat yang berdekatan. Kehidupan berita dari tempat yang jauh kelihatannya memang bercahaya-cahaya, apalagi bagi rakyat Majapahit yang melihatnya dari tempat yang telah mulai gelap."
"Bagaimana akal untuk memadami cahaya itu, Eyang? Tunjukkanlah hamba jalan!"ujar Damarwulan bersungguhsungguh. Keterangan Maharesi Paluh Amba tampaknya amat berkesan ke dalam jiwa remajanya.
"Untuk memadaminya tak mungkin. Mengapa pula kita akan pergi ke rumah orang lain untuk mengembus atau memadami pelita yang ada di tangannya.
Dengan demikian rumah kita tiadalah akan bercahaya, atau berubah menjadi terang, malah sebaliknya akan bertambah-tambah gelap-gulita. Yang demikian itu tentu tiada dikehendaki oleh para dewa! Pelita yang bercahaya di tempat lain, bagaimanapun kecilnya, laksana bintang kecil yang berkelap-kelip di langit malam secara langsung atau tidak, memberi cahaya juga ke tempat kita."
Damarwulan termenung, kemudian katanya, "Jadi apakah yang harus kita lakukan?"
"Menghidupkan pelita dalam rumah tangga kita sendiri dan jagalah cahayanya supaya lebih benderang."
Berhenti pula sebentar, kemudian katanya, "Majapahit harus dibela dari keruntuhannya."
"Bagaimana jalannya, Eyang?" sela Damarwulan pula.
"Menjalankan petunjuk Mahadewa dengan sebaik-baiknya kembali. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap golongan seharusnyalah menyadari tugasnya, mengenali kewajibannya. Terutama golongan Triwangsa, yang menjadi tiang-turus negara hendaklah mengetahui kewajiban kedudukannya. Kasta waisya dijadikan oleh Dewa Mahakala dan diserahi tugas memelihara kemakmuran negara, sebagai petani, petemak, saudagar, dan pengusaha; ksatria sebagai prajurit dan pemimpin negara; brahmana sebagai pemimpin agama dan upacara. Jangan dikacaukan seperti sekarang!"
"Dikacaukan bagaimana, Eyang?! Masih belum terang bagi hamba "
"Bukankah masanya sekarang ksatria berebut harta dunia, prajurit tiada lagi setia atau sedia membela rata dan negaranya, akan tetapi mereka berebut- rebut mengumpulkan kekayaan. Jangan dikata tumenggung dan bupati, demang dan mangkubumi, penewu dan penatus, sedang lurah dan carik telah menjadi pengisap dan pemeras di desa-desa...." Maharesi mengangkat kepalanya dan berhenti berkata-kata. Di kejauhan kedengaran seperti suara ingar-bingar, tetapi hanya sebentar. Setelah hilang suara itu, maharesi Paluh Amba berkata pula, "Asrama dan pertapaan sudah sepi, brahmana dan pendeta tiada lagi memikirkan urusan agama atau santapan kejiwaan, mata mereka sudah disilaukan pula oleh kedudukan atau harta keduniaan."
"Hamba ingin masuk pertapaan, Eyang, ingin menjadi Sang Budiman, mengikuti jejak Ayahanda dan Eyang!" kata Damarwulan sekonyong-konyong dengan agak bernafsu. "Hamba supaya dapat turut bersama-sama memperbaiki kepercayaan rakyat kembali akan mempertahankan agama, akan jadi penyebar ilmu kebatinan, seperti dikehendaki Mahadewa. Hamba tiada akan membiarkan kesucian dan keluhuran agama dinodai."
"Itu bukan tugasmu, Cucuku dan pertapaan bukan menjadi tempatmu.
Lupakah engkau, bahwa engkau mempunyai duniamu sendiri. Ingatlah bahwa jalan kehidupan ini bertingkat-tingkat, apabila engkau ingin sampai ke ujungnya dengan selamat laluilah tingkat-tingkat itu lebih dahulu dengan beraturan, jalani satu demi satu sebaik-baiknya. Ibarat orang naik tangga hendak mencapai tempat yang tinggi, engkau tiada akan pernah sampai ke atasnya, apabila engkau tiada mulai naik dari bawah dahulu meningkat dari anak tangga yang pertama."
Termenung, kemudian ujarnya, "Jadi apa yang harus hamba lakukan sekarang, Eyang!" Kakeknya menyerahkan sebilah keris kesaktian kepada Damarwulan.
"Pergilah engkau ke Majapahit, kepada paman mudamu, Patih Logender. Di sanalah tugasmu! Kelak dialah yang akan memberi jalan bagimu, apa yang seharusnya engkau lakukan. Janganlah engkau segan-segan merendahkan diri terlebih dahulu untuk mengejar cita-cita yang lebih tinggi! Jagalah kesekian keris ini dapat dipergunakan semata-mata dalam membela kebenaran. Bila dipergunakan pada jalan yang salah, pastilah is akan menghindar, mungkin makan tuannya sendiri. Ingatlah engkau, hanya dapat dipakai dalam membela kebenaran!"
Keduanya terdiam pula dan Maharesi Paluh Amba bergerak memperhatikan suara ingar-bingar yang semakin mendekat. Damarwulan mengiring di belakang. Sabda Palon dan Naya Genggong datang berlari-lari menuju asrama. Jauh-jauh keduanya sudah berteriak, "Den Damar...! Den Damar...! Ada rampok...!"
"Di mana rampoknya?" tanya Damarwulan, sambil meraba dan memindahkan kerisnya dari pinggangnya ke sebelah depan, tepat dekat perutnya sebelah kiri.
"Sayang benar sudah jauh, Den!" ujar Naya Genggong.
"Sesudah orang-orang pada datang kami baru keluar," sela Sabda Palon pula, "kami tak sempat lagi mengejarnya. "
"Coba...! Senjakala begini desa diserang perampok. Seakanakan tak ada lagi laki-laki yang ditakuti penjahat-penjahat itu di desa ini," kata Maharesi Paluh Amba pula. Bersamaan dengan ucapan Maharesi yang akhir itu di langit kedengaran geluduk berbunyi seperti suara Mahakala membenarkan perkataannya. Tak lama kemudian mendung yang menghitam di langit senja itu telah mencurahkan hujan ke bumi. Di jalan di muka asrama itu masih kedengaran langkah orang-orang berlari-lari bolakbalik. Mungkin mereka masih mengejar dan memintasi perampok yang belum jauh itu. "Engkau berangkatlah ke Majapahit serta bicarakanlah dengan ibumu! Kamu Naya Genggong dan Sabda Palon ikutlah bersama-sama ke kota, supaya kamu dapat pula mengingati atau mempelajari adat sopan santun di kepatihan kembali. Jadilah kamu sebagai punakawan yang baik dan berbudi halus!"
Keduanya mengangguk dan menyusun jarinya sebagai menyembah. Tiada jauh dari Paluh Amba ada pula seorang ajar yang kenamaan tinggal di desa Pandan Wangi, bernama Sumbar Jaya dan anak-anak desa itu lebih mengenalnya dengan panggilan Perwira Timpung, karena kakinya memang agak timpang sebelah, disebabkan lukanya dalam salah satu peperangan pada masa mudanya. Ajar Suci Sumber Jaya sangat disegani dan dihormati oleh orang-orang desa di sekitar Pandan Wangi dan Paluh Amba, bahkan sampai ke kota Majapahit, karena pengetahuannya dan kepandaiannya yang luar biasa.
Selagi mudanya, menurut riwayatnya, ia memang seorang perwira yang gagah dan cakap serta sangat berpengalaman dalam ilmu perang dan sangat pandai menunggang kuda. Damarwulan pun telah berguru kepadaya dan termasuk salah seorang yang sangat dicintainya.
"Sebelum Cucunda pergi ke Majapahit," ujar Maharesi kepada Damarwulan, "jangan lupa Cucunda mengunjungi Ajar Suci Sumbar Jaya serta terangkanlah apa m.aksud Cucunda hendak ke Majapahit itu ...!"
Hujan di luar kedengaran makin lebat, malam makin gelap....