Bab 1 : Hati Anak Manusia
Musim penghujan belum juga berhenti kala Juru Kunci berkeliling menyusur tiap lorong, tiap lembah, tiap bukit, setiap sudut bumi semenanjung Blambangan. Bosah-baseh sisa pertempuran belum juga dibersihkan. Rumah banyak yang kosong. Huma merana tanpa palawija. Sawah-sawah menjelma menjadi semacam rawa-rawa tanpa padi. Ikan dan kodok berlomba jumlah. Sepercik rasa sesal memuncrat dari sudut hatinya. Matanya sayu menatap semua dan segala, dalam tanya mengapa semua ini mesti terjadi. Salahkah Wong Agung Wilis? Atau bapanya? Angannya jauh berlari menuju masa lalu. Tidak! Wong Agung Wilis dan Jagapati dan anak- anak Wong Agung Wilis tidak pernah bersalah, katanya menilai. Itu sebabnya ia membenci Jaksanegara. Diam-diam ia bersyukur Jaksanegara dibuang ke Gombong. Tapi sepeninggal orang itu ia merasa dihadapkan pada satu ujian. Batu yang terpasang di lereng bukit. Dan ia harus menginjaknya. Ah, setiap saat batu itu siap menggelinding ke dalam jurang. Kenapa aku yang harus menginjaknya? Sambil terus menuruti langkah kudanya, ia kembali merenungkan perjumpaannya dengan residen Blambangan, Schophoff. Satu minggu lalu, memang. Tapi saat ini ia belum memberikan jawabnya. Berkali kudanya terpaksa melompati pohon-pohon yang malang-melintang. Pohon-pohon yang ditumbangkan dengan sengaja untuk menghambat gerak' laju musuh. Tentu yang menumbangkan itu laskar Wilis. Ah, pemuda itu kini telah punah! Punah bersama cita dan cintanya! Juru Kunci menjadi malu pada diri sendiri. Kini jabatan adipati ditawarkan padanya. Ia akan bergelar tumenggung seperti halnya para bupati di Jawa lainnya. Ia baru sadar kini bahwa Blambangan telah berubah. Menjadi seperti kerajaan Jawa lainnya.
Kekuasaan yang cuma segenggam di atas bumi yang juga cuma sekepal.
Apakah ia harus menerima jabatan ini ? Sutanegara, Wangsengsari, Suratruna, dan Jaksanegara adalah sederetan contoh yang patut dijadikan pelajaran tentang nasib orang yang bekerja bagi kepentingan VOC. Semua disingkirkan. Bukan saja dari jabatannya. Tapi juga dari negeri yang melahirkan mereka. Juru Kunci tak pernah tahu mengapa Belanda begitu berang pada setiap orang yang dengan jujur menyatakan sikapnya. Kendati mereka tidak ikut punya negeri ini. Yang diketahui oleh Juru Kunci ialah bahwa jika seorang tidak sependapat dengan penguasa, ia harus disingkirkan.
Tidak peduli apakah ia pernah berjasa. Pernah mengabdi.
Sementara itu kudanya terus menapaki desa demi desa.
Terus! Bau badeg (bau busuk yang disebabkan bangkai) masih juga menyeruak tajam ke hidungnya. Kala sampai di tepi Kali Setail, Juru Kunci dan para pengawalnya terpaksa berhenti. Air coklat kekuning-kuningan mengalir deras. Membungkal- bungkal dan memperdengarkan suara gemuruh kala. aliran itu membentur batu-batu. Hati Juru Kunci berdesir. Bukankah bulan ini masih bulan Manggasari? (bulan November— Desember) Air sudah meluap di bibir tebing. Bagaimana jika bulan Pusa atau Manggakala? (bulan Desember-Januari dan Januari-Februari) Yang hujannya terjadi setiap hari? Mungkin saja banjir melanda sebahagian dari Blambangan.
"Tak mungkin menyeberang...," Juru Kunci berkata seperti pada diri sendiri. Tidak terjawabkan. Para pengawalnya juga tahu bahwa biasanya permukaan air kali ini kira-kira sepuluh depa di bawah bibir tebing ini. Air yang biasanya jernih dan menyuarakan gemercik lirih mendayu kalbu, kini menjelma coklat bercampur kuning. Mengalir deras dan memamerkan kekuatan dahsyat dengan mendorong batang-batang pohon yang tumbang, rumpun bambu yang tercabut dari tempatnya berpijak, belum sampah dan bangkai. Baik bangkai binatang atau manusia yang punah dalam perang baru lalu. Perang yang merupakan mimpi buruk, bahkan terburuk, bagi seluruh orang Blambangan yang tersisa. Itu pasti sukar dikebaskan dengan cuma sekali gebah saja. Sekalipun sekarang tidak tercium lagi bau anyir, karena perang tidak berkecamuk dan pencegatan oleh rombongan-rombongan kecil sisa-sisa laskar Wilis dan Jagapati juga sudah tidak ada. Tapi ia tahu bahwa kesetiaan orang pada Wong Agung Wilis tak pernah luntur.
Tak satu pun orang Blamba-ngan percaya bahwa Wong Agung Wilis mati. Mereka berkeyakinan orang itu masih akan datang lagi dan memerintah Blambangan. Kelak! Entah kapan, tapi pasti datang. Datang- bhatara wasesa sang amurwa bhumi!
Makin lama tercenung di tepi kali itu, makin banyak ia lihat mayat dan bangkai lewat. Semakin takut ia menyeberang. Ia tahu kudanya bisa berenang. Tapi ia tidak percaya apakah kuda itu mampu menyeberangkannya. Mendung menggantung tebal di langit. Seolah tak ingin memberikan celah sedikit pun pada mentari untuk meneroboskan sinarnya. Semua mendorong Juru Kunci untuk menyentuhkan tumit ke perut kudanya. Kemudian mengarahkannya ke kota. Pangpang.
Tidak! Aku tidak sudi menjadi adipati. Masih ada keturunan Tawang Alun yang lebih berhak untuk menjadi penguasa di Blambangan. Ya! Jika tidak Mas Arinten tentunya ia bisa mengajukan usul pada tuan residen, adik dari Mas Ayu Arinten, Mas Alit, yang saat ini tinggal di Madura bersama kakaknya Nawangsurya, tentu lebih cocok. Ya! putusnya tiba- tiba.
Para pengawal mengejar di belakangnya. Seolak perlombaan balap kuda, yang berebut dulu. Mereka memacu dengan cepatnya. Mendung ikut mendera kuda yang membawa mereka itu. Tak mereka perhatikan lagi lumpur yang mengotori pakaian. Bahkan seluruh tubuh mereka penuh bercak lumpur. Gerumbul, semak, dan belukar mereka terobos. Kuda terus didera. Ya! terus didera, untuk bisa sampai di Lo Pangpang secepatnya.
Di Pangpang juga tidak berbeda dengan lain tempat.
Beberapa loji menjadi reruntuhan belum dibangun kembali. Hati Juru Kunci kembali berdesir. Ia ingat bahwa dalam tiap pembangunan loji berarti mengerahkan kembali kawula Blambangan untuk bekerja tanpa gaji bahkan kadang juga tanpa makan. Dan jika terjadi lagi, maka pertempuran pun akan timbul kembali. Aku harus berusaha menghindarkan Blambangan dari petaka yang berkepanjangan macam itu. Ia harus menghindarkan perang yang selalu memayungi bumi Blambangan itu.
Kala ia memasuki rumahnya yang baru, bekas milik Jaksanegara, hari sudah sore. Istrinya menyambut dengan ceria. Sudah lebih sepekan Juru Kunci tidak pulang. Para pengawal iri dan bertanya dalam hati, bagaimana bisa perempuan keturunan Cina itu jatuh ke dalam pelukan Juru Kunci yang bermuka bopeng karena cacar itu? Apalagi jika melihat potongan tubuh. Perutnya agak buncit. Kumisnya jarang-jarang di bawah hidung yang tidak begitu mancung. Mungkin saja ikut dimakan rayap. Barangkali kesukaannya pada sate kambing membuatnya agak buncit. Arak merupakan teman dari sate yang selalu masuk ke perutnya hampir setiap hari.
"Bukan cuma itu," bisik salah seorang pada temannya ketika membersihkan tubuh mereka di kali kecil yang mengalir di belakang rumah Juru Kunci. "Coba ingat-ingat! Selama perjalanan ia selalu panik jika sehari saja tidak makan cindil.(anak tikus yang masih merah dan buta; artinya, belum berbulu serambut pun)
"Ke mana pun beliau tak pernah berpisah dengan madu," yang lain menimpali. "Biar badan selalu segar dengan jamu- jamu macam itu. Maka-nya bartyak wanita yang... ha... ha... ha..."Mereka berbagi suka. Yang lain pun menyahut dengan gelak.
Suara rombongan katak yang menabuh gamelannya menghiasi malam istirahat mereka. Kepadatan udara karena hujan menghalangi bau badeg menjalar ke kota Pangpang malam itu. Dan Juru Kunci melepas lelah bersama istrinya. Demikian pula para anak buahnya. Mereka mendapat acara santai pada malam itu. Mungkin sampai besoknya pun ia akan mendapat kesempatan istirahat. Karena acara selanjutnya cuma di Pangpang. Biasanya pejabat ini tidak suka dikawal jika cuma di Pangpang. Juru Kunci memang tidak merasa perlu dikawal. Karena ia tahu persis, Bayu sudah tumpas-tapis.
Hanya saja jika harus melampaui
hutan ia masih curiga, kalau-kalau ada sisa-sisa laskar Bayu yang belum terbunuh. Mereka tentu akan menjadi penyamun untuk menyambung hidup.
Keesokan harinya Juru Kunci bangun agak terlambat dari biasanya. Para dayang berbisik satu dengan lainnya.
"Tidak sembahyang subuh "
"Ssstt... siapa tahu mereka bersembahyang di kamar," satunya menyela.
"Tidak wudhu."
"Ala... biar saja kenapa to? Sudah lebih sepekan beliau tidak pulang. Melepas rindu pada istri kan wajar," kata yang seorang lagi sambil menyelinap ke balik tirai. Sambil masih cekikikan mereka kembali mengerjakan tugas masing-masing.
Sesudah menyegarkan tubuh dengan mandi pagi, Juru Kunci duduk di tengah taman yang dikelilingi kolam bekas milik Jaksanegara dulu. Tak ada duanya di Blambangan. Hampir seperti milik Ni Ayu Chandra, paramesywari Blambangan zaman Mangkuningrat dulu. Dari mana uang sebanyak ini? Jaksanegara sempat punya hubungan gelap dengan para pedagang candu zaman Wong Agung Wilis berkuasa. Memang lolos dari pengamatan Wong Agung. Sebab ia mulai melakukannya sejak Wong Agung menerima tekanan dari pelbagai pihak. Dan dengan uangnya, Jaksanegara mulai mengangkat diri dan menciptakan kekuatan baru. Apalagi kemudian ia menjadi sangat baik dengan ayahnya, Bapa Anti. Juru Kunci terus mengingat. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Sekarang memperistri bekas istri ayahnya yang sebenarnya wanita Cina ini? Bagaimanapun ia harus mengakui, dengan adanya Rani, maka banyak para pedagang Cina yang sering berkunjung ke rumahnya. Biasa mereka datang dengan membawa oleh-oleh. Istri yang membawa berkat, pikirnya. Karena itu, kendati bekas istri ayahnya, ia tidak peduli. Dengan warisan rumah yang indah dan cukup besar maka lengkaplah sudah kekayaannya. Makin hari makin banyak saja pedagang Cina yang datang untuk pelbagai urusan niaga. Tapi ia merasa aneh kendati sudah hampir enam bulan hidup bersama Rani, wanita itu belum menampakkan tanda-tanda hamil.
"Kapan kita punya anak, Rani?" tiba-tiba ia mengejutkan istrinya.
Rani terkejut. Tak pernah terduga olehnya bahwa suaminya juga memikirkan anak. Ia sendiri tak tahu mengapa belum juga hamil.
"Ah, kita kan belum lama," jawabnya sambil tersenyum. "Ya. Kita memang belum lama. Tapi betapa inginnya daku
melihat kau menggendong bayi. Tidakkah kau ingin?"
"Mana ada perempuan tidak ingin menggendong bayi." Rani mencubit paha suaminya. Senyum lagi dengan manja. Juru Kunci mendadak ingat pada ayahnya. Mengapa pula Rani tidak hamil saat dibuahi ayahnya? Tentu karena Ayah sudah terlalu tua, dan mungkin memang alasan lain juga Rani belum lama jadi istri Bapa Anti. Lamunan Juru Kunci tidak berlanjut karena Rani segera duduk di pangkuannya sambil mengalungkan tangannya. Bau harum tubuh wanita itu menusuk hidungnya. Para selir atau istri lainnya mengintip di balik tirai kamar mereka dengan iri.
"Apa sih hebatnya perempuan Cina itu? Huh, tidak tahu malu! Bermanja di tengah taman," umpat salah seorang. "Kurang barangkali semalam!" kutuk yang lain pula. "Barangkali karena dia suka berendam di air sirih
bercampur gambir itulah yang membuat Juru Kunci tak lepas
dari pelukannya. Dan lagi kulitnya mulus begitu," yang lain lagi menilai. Ia tidak iri. Tapi cenderung mendekati Rani untuk berbagi pengalaman. Siapa tahu pengalaman Rani akan berguna.
Juru Kunci tidak terlalu menuntut memang. Karena wanita- wanita lain yang pernah tidur dengannya belum satu pun yang mempersembahkan anak.
"Kanda kecewa?" Rani memandang suaminya tajam-tajam. "Tidak." Juru Kunci tersenyum. Ia belai rambut wanita itu.
Hitam lebat.
"Kanda boleh mengambil istri lagi, yang mungkin lebih cepat mempersembahkan anak. Asal jangan tinggalkan hamba." Wanita itu kembali menjatuhkan kepalanya ke dada Juru Kunci. Kembali birahi Juru Kunci bangkit. Tapi Rani memperingatkan bahwa suaminya ditunggu oleh Schophoff.
"Ah, betul, Adinda Tapi apakah kau kecewa jika aku
menolak menjadi adipati di Blambangan ini?" "Apa alasan Kanda menolak?"
"Aku tidak akan bisa langgeng di sampingmu jika menerima jabatan itu. Aku takut Wong Agung Wilis muncul kembali dan menang. Maka aku akan digantung. Atau jika Wong Agung Wilis benar-benar telah mati, aku akan mengalami nasib seperti Yang Mulia Jaksanegara."
Sambil menyiapkan pakaian suaminya, Rani mencoba menggapai apa yang dipikirkan suaminya. Jabatan tertinggi bagi pribumi masa kini ditolak. Takut dengan Wong Agung Wilis, yang memang kadang-kadang bisa saja muncul seperti hantu di bumi Blambangan. Dan mengapa takut seperti Jaksanegara? Nyatanya Belanda memang tidak pernah setia terhadap persahabatan. Sebab bagi VOC, yang adalah kekuatan modal raksasa itu, nilai suatu persahabatan hanya dipandang dari menguntungkan atau tidaknya sahabat tersebut. Mungkin saja semua kekuatan modal berpikir seperti itu. Dengan kata lain ia gagal menjadi Ban Ing yang kedua di bumi Nusantara ini.
Perubahan zaman dan waktu, berarti perubahan nilai-nilai kehidupan juga. Ban Ing beruntung saat itu menjadi istri muda Bhre Kertabhumi dan akhirnya ia menurunkan raja-raja Demak, melalui anaknya yang bernama Pangeran Jin Bun.
Rani tidak akan pernah mengalami seperti itu. Tapi mengalami seperti sekarang ini pun seharusnya ia bersyukur. Ban Ing memang keluarga baik-baik. Wajar jika menurunkan para satria. Rani tidak ingat siapakah orangtuanya yang sesungguhnya. Sejak masa kecilnya ia menjadi budak dan diperjualbelikan dari satu majikan pada majikan lainnya. Kala itu pun ia dipersembahkan pada Bapa Anti sebagai suap, untuk memperlancar perniagaan orang-orang Cina di Blambangan. Kini ia merasa damai. Berdamai dengan nasib.
Apalagi kini di pangkuan Juru Kunci. Karenanya pula ia tidak pernah mengajukan tuntutan apa-apa. Cukup bahagia dengan tidak diperbudak.
Juru Kunci berangkat "tanpa pengawal. Di atas kuda ia kembali bertimbang. Mempertimbangkan suatu keputusan. Ia tahu keputusannya harini sangat menentukan masa depannya. Perlahan-lahan saja kuda itu melangkah. Seolah malas melaksanakan tugasnya. Tapi sebenarnya itu memang kehendak tuannya. Kuda itu jarang kehilangan semangat.
Karena ia salah satu kuda di Blambangan yang terawat baik. Tiap tujuh hari sekali kuda ini juga diberi minum jamu beras kencur seperti juga majikannya.
Tumbuhan perdu tidak nampak di kiri-kanan jalan. Residen menghendaki agar jalan-jalan di Pangpang tampak bersih.
Dan di kiri-kanannya dipasang lampu-lampu minyak dalam jarak yang teratur. Pelebaran jalan diadakan di mana-mana di seluruh kota. Sekilas memang Pangpang nampak jauh lebih cantik dari zaman Wong Agung Wilis memerintah. Loji-loji makin hari makin banyak. Megah. Melampaui rumah-rumah milik para satria Blambangan sendiri. Belum lagi yang berdiri di kota Lateng. Rasanya ladang dan sawah kawula Blambangan makin habis. Sebagian besar ternyata telah menjelma jadi loji dan benteng. Sebagian lagi harus di relakan untuk jalan-jalan baru.
Mungkin itulah salah satu sebab, mengapa setelah Bayu kalah, kawula yang tersisa lebih banyak yang lari ke hutan- hutan dari pada kembali ke huma dan rumahnya. Ah... tiba- tiba muncul bayangan seorang gadis berkulit langsat, berambut hitam sampai di lutut, dengan lesung pipit di pipi. Bibir tipisnya merekah sambil memamerkan sebarisan mutiara yang berjajar rapi.
"Puas kau, Juru Kunci? Sawah yang dibuka dengan keringat, air mata dan bahkan darah manusia sebangsamu kini punah? Sekalipun di atasnya berdiri loji-loji, tapi siapa yang memilikinya? Adakah bangsamu bisa menjadi tuan di negeri sendiri? Cuma kau! Kau seorang yang merasakan! Selebihnya budak!"
Juru Kunci mengusap mukanya dengan telapak tangan. Seolah mengusap noda di wajahnya. Mendung masih saja memayungi perjalanannya. Wajah Mas Ayu Prabu yang semula ia kenal sebagai Sayu Wiwit itu lenyap. Meninggalkan seberkas senyum. Bukankah ia sudah mati? Tiba-tiba keringat dingin mengucur dari setiap lubang halus di kulitnya. Bulu tengkuknya serasa berdiri. Angin yang mengandung air menyapu tubuhnya. Membuat hatinya kian berdesir. Ya!
Tepat. Aku sudah mati. Kalian membakar aku! Dan itu berarti membakar dendam kawula Blambangan! Kembali gadis itu muncul. Juru Kunci kembali menggeragap sambil mengebaskan bayangan itu dengan tangannya. Perasaan berdosa menyelinap masuk ke dadanya. Aku barangkali yang menyebabkannya dibakar
Residen Blambangan, Schophoff, tidak mengalami apa yang dirasakan Juru Kunci. Tapi hampir setiap malam ia diburu mimpi-mimpi yang mengerikan. Dan hampir tiap malam ia terbangun dari tidurnya. Bayangan pertempuran dengan bangkai-bangkai yang berbau badeg itu belum mau pergi dari ingatannya. Apabila kegelapan mulai turun, udara dingin menusuk tulang, gerimis datang samar, burung-burung malam serta binatang malam lainnya memamerkan suara yang mencekam, baKkan kadang anjing-anjing yang kelaparan karena ditinggal mati tuannya itu menggonggong, melolong- lolong, ah... Ingin rasanya ia mengajukan permohonan pindah saja. Tapi hatinya sudah terpaut pada Blambangan. Bukan cuma karena negeri ini elok. Tapi hatinya juga telah tertambat di Pakis. Ia takut dikirim ke daerah baru yang mungkin saja lebih ganas dari
Blambangan. Biarlah, jika ia harus mati seperti para pendahulunya, ia ingin mati di pangkuan Arinten atau Mas Ayu Rahminten, si wanita pribumi yang menyimpan seribu teka- teki itu.
Seorang pengawal mengetuk pintu kamar kerjanya dan melapor bahwa Juru Kunci, patih Blambangan itu menghadap. Ia senang Juru Kunci menghadap. Tentunya segera akan menerima tawarannya. Biarlah tak terlalu lama Blambangan komplang tanpa pemerintahan pribumi. Sukar jika Belanda sendiri memerintah pribumi Blambangan yang liar dan keras kepala itu. Kendati jumlah mereka tinggal sangat sedikit dibanding sebelum perang.
"Selamai: datang, Yang Mulia. Mudah-mudahan perjalanan keliling Yang Mulia memberikan gambaran buat langkah kita selanjutnya." "Selamat, selamat pagi, Tuan. Tapi maaf, hamba tidak melihat Tuan Pieter Luzac dan Kapten Heinrich." Orang itu memberi hormat.
"Heinrich pulang ke Surabaya. Ia jatuh sakit. Panasnya seperti bara. Setiap malam mengigau. Sedang Luzac sendiri mulai..."
"Kita memang terlalu letih berperang, Tuan." "Barangkali Tuan benar." Schophoff terbahak-bahak.
.Seorang pelayan wanita membawakan minumam "Aku
berpikir juga akan mengambil waktu istirahat, sambil melaporkan kesanggupan Yang Mulia menjadi adipati Blambangan."
"Ampuni hamba, Tuan. Hamba tidak akan pernah menjadi adipati..."
"Yang Mulia menolak kepercayaan VOC?" Schophoff tersentak.
"Ampuni hamba, Tuan." Juru Kunci lebih berhati-hati. "Bukankah ada yang lebih berhak?"
"Ada yang lebih berhak? Masalahnya bukan berhak atau tidak. Yang penting adalah kesanggupan untuk bekerjasama dengan VOC. Sebab VOC-lah yang mengamankan Blambangan dari pengacauan Wilis."
"Hamba tetap bersedia bekerja pada VOC. Tapi yang kita hadapi adalah kawula Blambangan. Mereka tidak pernah tunduk pada orang asing. Juga tidak pada orang yang bukan satria dan brahmana. Kita tidak bisa mengubah watak mereka dengan paksa dan cepat. Sekalipun mereka telah menerima aniaya hebat karena perang. Apakah kita akan memungkiri kenyataan ini? Semakin keras aniaya mereka terima, semakin kuat pintu hati mereka tertutup."
Schophoff tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk.
Ucapan Juru Kunci sepenuhnya benar. Sesaat ia berdiri dan berdiri di dekat jendela. Ia pandangi kebun-kebun, sawah- sawah. Tiada petani pribumi Blambangan yang mengerjakan sawah-sawah itu. Ke mana mereka? Benarkah mereka semua punah?
"Hampir semua huma telah menjadi belukar kembali. Juga sawah-sawah di daerah-daerah, menjelma jadi rawa-rawa penuh ikan dan katak."
Masih saja memandang ke luar jendela. Kompeni tidak akan mendapatkan gaji jika tanah di Blambangan tidak mengeluarkan buah. Dan semua pegawai VOC digaji dari hasil perampokan milik orang lain. Tapi apa jadinya jika tanah yang mereka rampas dari Blambangan ini tidak mengeluarkan buah? Padahal buminya begitu hijau. Menyiratkan kesuburan yang tiada tara. Tiba-tiba ia berbalik dan memandang tajam pada Juru Kunci. "Lalu?"
"Kemungkinan besar kawula Blambangan akan mau dengar pada orang yang masih berdarah Tawang Alun "
"Siapa orang itu? Setahu kami darah Tawang Alun semua pemberontak."
"Apakah Yang Mulia Arinten juga pemberontak? Tidak! Tidak! Tentu tidak semua, Tuan." Juru Kunci ikut berdiri sambil menggoyang-goyangkan tangannya untuk meyakinkan kata-katanya. Dan orang itu pun mengangguk-angguk! Arinten begitu baik. Pernah menyelamatkan nyawanya yang diancam penyakit.
"Betul, Yang Mulia. Aku khilaf. Tapi, apakah Yang Mulia Arinten sanggup melaksanakan tugas berat ini?"
"Tentu hamba tidak mengusulkan beliau. Jika kita bertolak dari rencana Tuan Pieter Luzac, yang akan menjadikan negeri ini seperti Jawa lainnya, maka tidak boleh ada wanita memimpin ,suatu negeri. Bukankah begitu lazimnya negeri- negeri Islam?" "Jadi?"
"Jadi hamba mengusulkan agar Mas Ngalit, adik Yang Mulia Arinten, yang sekarang ikut Panembahan Rasamala di Madura."
"Ya, Tuhan... Yang Mulia ternyata amat bijak," Schophoff memuji.
"Sekalipun ia masih muda, tapi hamba sanggup membantunya dalam menjalankan pemerintahan di Blambangan. Cuma hamba tidak berani berbicara langsung dengan kawula. Itu pekerjaan sia-sia. Mereka tidak dengar hamba. Lagi pula, Mas Ngalit tentunya sudah belajar agama Islam selama di Madura. Itu jauh lebih baik daripada hamba yang menjadi adipati."
Schophoff menyetujui usul Juru Kunci. Ia berjanji akan mengusulkan hal itu pada gubernur di Surabaya. Bersamaan dengan itu seorang pengawal kembali mengetuk pintu kamar kerjanya.
"Tuan Pieter Luzac tiba dari Surabaya."
"Suruh langsung menghadap!" Schophoff ingin segera menerima berita. Memang berita bagi seorang pemimpin amat penting.
Setelah menghormat pengawal itu segera me- munggunginya untuk kemudian lenyap di balik pintu. Beberapa bentar kemudian Pieter Luzac mengetuk pintu. Gerimis di luar mulai turun. Pencuci pakaian milik Kompeni mengeluh karena jemuran sukar kering. Ayam-ayam yang berkeliaran di luar sedih berteduh di samping-samping rumah. Schophoff memerintahkan pelayan agar menyediakan minuman keras sebagai penghangat tubuh. Bertiga kemudian mereka minum bersama. Juga untuk menghormat kedatangan anak buahnya itu. "Tuan tampak sehat dari Surabaya. Bagaimana dengan Heinrich?" Schophoff bicara dalam bahasa Belanda.
"Kesehatan Tuan Heinrich belum menampakkan kemajuan. Tapi hamba sendiri menjadi sehat. Salam dari Tuan Gubernur untuk Tuan," balas Pieter sambil minum. Juru Kunci hanya mengikuti pembicaraan mereka dengan pandangan matanya. Ia terkejut ketika tiba-tiba saja Schophoff terbahak-bahak.
Juga Luzac. Ia tersenyum kecut tanpa makna.
"Selain itu jika Tuan sudah punya usulan tentang calon adipati, Tuan diperintahkan segera menghadap. Jika perlu harini melalui Prabalingga," Pieter sedikit melirik Juru Kunci. Dalam angannya tentu orang ini calon adipati Blambangan.
"Yang Mulia Juru Kunci menolak." Schophoff kini bicara dalam Melayu karena menyinggung nama Juru Kunci agar tidak menimbulkan kecurigaan. Ia melihat Pieter sedikit terperangah, karena salah duga. "Tapi Yang Mulia Juru Kunci sangat baik. Karena beliau ingin tetap bekerja dengan kita sebagai patih. Untuk jabatan adipati ia mengusulkan Mas Ngalit. Demi kebaikan VOC Beliau menolak."
"Patut diteladani. Ternyata Yang Mulia begitu tulus membantu kami. Sepatutnyalah VOC memberikan bintang jasa," Pieter memuji.
"Bukan bintang jasa yang hamba harapkan. Tapi kejayaan VOC dan kesejahteraan bagi Blambangan sendiri," Juru Kunci merendahkan diri dan bersikap hati-hati.
"Jika demikian Tuan harus segera berangkat ke Surabaya seperti perintah Tuan Gubernur untuk menyampaikan apa yang telah kita rundingkan ini. Sebab rencana Tuan Gubernur sang adipati akan dilantik di Surabaya sambil akan menerima petunjuk."
"Sekarang juga?" "Kapal akan bertolak esok lusa dari Prabaling-ga. Jika berangkat esok berarti Tuan harus meneruskan perjalanan melalui darat. Dan tentu akan amat melelahkan. Kapal sengaja menunggu, karena hamba melaporkemungkinan Yang Mulia Juru Kunci yang menjadi adipati. Dan Yang Mulia adipati akan menerima petunjuk untuk mengatasi kekosongan daerah yang ditinggal oleh pemiliknya itu. Ingat, sekarang sudah bulan Januari tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh tiga. Perang usai tanggal sebelas Oktober tahun lalu. Berapa bulan Blambangan komplang?"
"Baik aku akan berkemas. Tuan bisa beristirahat. Esok Tuan kembali bekerja mewakili kami." Schophoff kemudian mendekat pada Jufu Kunci.
"Yang Mulia bisa memberitahu hal ini pada Yang Mulia Arinten? Ah, betapa akan gembiranya perempuan itu."
"Hamba akan kerjakan." "Terima kasih, Yang Mulia "
Juru Kunci segera memerintahkan beberapa orang pengawalnya di rumah untuk bersiap mengantar Residen ke Prabalingga. Istrinya kaget.
"Akan ke Prabalingga, Kanda? Sekarang juga?"
"Ya. Sebab Tuan Residen harus berangkat harini. Panggilan penting. Amat penting sehingga tidak ada waktu "
Tidak tergambar kekecewaan. Wanita itu tetap dengan setia mengantarnya ke gerbang rumah. Juru Kunci memang mengantar sampai ke gerbang kota Pangpang. Tapi ia tidak terus ke Prabalingga. Cuma para pengawal yang terus ke Prabalingga. Sebab Schophoff memerintahkannya untuk memberitahu semua apa yang ia dengar itu pada Arinten. Juru Kunci memberi perintah agar para pengawal menunggu Tuan Residen di Prabalingga sampai kembali dari Surabaya. Setelah itu ia memutar kudanya ke Pakis dengan diiringi gerimis yang tipis. Namun itu cukup untuk membuat banyak orang menjadi malas keluar dari rumahnya. Bahkan tidak sedikit yang cuma menghabiskan persediaan makanan kering.
Entah siapa yang mula-mula mengajarkan mereka makan ketela goreng. Juga yang mengajar mereka memasak santan kental jadi minyak kelapa yang bermutu bagus. Tapi kenyataannya wanita Blambangan mampu mengerjakannya dengan baik. Demikian halnya Arinten, saat itu ia telah memerintahkan dayang menyiapkan pisang goreng, ubi jalar goreng, dan air aren panas untuk di suguhkan saat kehadiran kekasihnya, residen Blambangan nanti. Sudah agak lama orang itu tidak datang. Ia ingin berterus terang bahwa ia sudah hamil. Perutnya mengandungkan benih Schophoff.
Berkali ia berjalan mondar-mandir di beranda atau kadang ke pendapa. Lengang. Penjaga di gerbang tak lebih dari dua orang.
Keadaan Pakis memang telah menjadi lengang sepeninggal Ayu Nawangsurya. Sebagian besar ikut bertempur di Derwana untuk belapati atas gugurnya Mas Rempek. Kini jumlah penduduk di seluruh Pakis tidak lebih dari sepersepuluh jumlah dahulu. Menyedihkan. Seperti daerah Blambangan lainnya, di Pakis pun banyak tanah dan sawah merana. Arinten melihat kenyataan ini. Tapi tidak mampu berbuat sesuatu.
Yang dapat dikerjakannya ialah mengiakan semua kata-kata Schophoff. Siang telah berlalu. Udara makin dingin. Gerimis tidak lagi tipis. Mendung kelabu memayungi pandangan yang ingin menembus langit. Harapan akan kehadiran Schophoff makin pupus. Walau malam belum turun, bahkan senja masih jauh, tapi ia sudah memerintahkan para dayang memasang semua pelita, setelah itu memperkenankan mereka pergi istirahat. Ia ingin sendiri. Ingin memanjakan angan meniti kembali masa lalunya.
Ia tidak bisa menghitung lagi, berapa lama ia mendapat anugerah memandang cakrawala biru pada tiap harinya, juga berapa lama sudah mentari membakar kulitnya, atau rembulan membelai keheningan malamnya. Namun demikian ia tahu dan merasakan, bahwa di perjalanan hidupnya ada pahit dan manis yang harus dikunyahnya bersama-sama.
Termasuk apa yang pernah dialaminya dengan Jaksanegara, bekas suaminya, yang ternyata hanya memburu kepuasan pribadi semata. Tidak mempedulikan lagi cita-citanya untuk menegakkan wangsa Tawang Alun. Dan kini dengan diboyongnya Nawangsurya oleh Panembahan Rasamala ke Bangkalan, kemungkinan untuk menguasai kembali Blambangan kian tertutup. Kompeni kian mencengkeramkan kukunya. Blambangan telah punah. Maka ia kini mencoba mempertahankan keenakan sebagai pewaris kera-jaan dengan mengikat Residen di tempat tidurnya. Sebab cita-cita untuk menguasai Blambangan pupus. Tentu yang akan menjadi penguasa Blambangan adalah Juru Kunci.
Lamunannya tiba-tiba saja ambruk. Derap kuda yang berhenti di depan pendapa menyentak-kannya. Ia menoleh ke kiri-kanan. Para dayang sudah istirahat di gandok belakang.
Atau mungkin pergi ke kamar untuk berkencan dengan para pengawal. Bergesa ia melangkah ke pendapa. Siapa tahu Schophoff. Ia sempatkan ke kamar untuk bercermin dan membetulkan kain serta kemben. Juga rambut mendapat sentuhan kembali.
Melewati lorong yang kiri-kanannya ada empat buah kamar, ia setengah berlari ke pendapa. Di bawah keremangan ia tampak terhenyak dan berhenti untuk beberapa bentar.
Berulang menggosok matanya, untuk meyakinkan siapa yang berdiri di antara pilar-pilar besar pendapa itu.
"Inilah, hamba, Yang Mulia," suara lelaki itu menghapus tanya dalam kalbunya. Namun begitu ia cukup terkejut atas kehadiran penguasa tertinggi Blambangan itu. Tanpa pengawal dan basah kuyup. Tampaknya kedinginan. Ah, orang yang pernah berjasa membebaskannya dari cengkeraman Jaksanegara.
"Mari, Yang Mulia... silakan masuk. Tentu ada yang sangat penting sehingga Yang Mulia berkenan datang ke Pakis. Dalam hujan begini."
"Hamba mendapat perintah dari Tuan Schophoff. Beliau sekarang pergi ke Surabaya. Dan hamba membawa kabar gembira."
Juru Kunci mengekor di belakang Arinten. Udara makin dingin. Besar istana Pakis ini. Arinten mengajaknya ke ruang makan di mana telah tersedia minuman dan makanan yang sedianya diperuntukkan bagi Schophoff. Sambil mempersilakan duduk Arinten menyodorkan air aren dan arak. Ia sendiri sudah terbiasa minum arak. Jaksanegara yang membiasakannya. Sebuah meja besar dikelilingi enam buah kursi ukir persis di tengah ruangan.
"Yang Mulia tentu kedinginan. Hamba masih menyimpan sarung Yang Mulia Jaksanegara, dan sebuah baju beludrunya. Ah, mungkin cukup untuk menolong sementara agar Yang Mulia tidak..." Arinten segera masuk ke kamar untuk mengambilkan. Di kamar kosong Juru Kunci dipersilakan mengganti pakaiannya. Setelah itu mereka duduk kembali di kamar makan. Dinding papan berukir mengelilingi ruangan yang diterangi oleh pelita itu.
"Boleh hamba mendengar kabar gembira itu sekarang?" Arinten tidak sabar. Juru Kunci memperhatikannya minum arak. Senyum wanita itu masih seperti dahulu. Sungguh menawan. Yang lebih mengagumkan adalah alis matanya. Arinten mengerti Juru Kunci sedang memperhatikannya.
Hatinya berdesir. Pandangan mata Juru Kunci penuh birahi. Padahal sejak dulu ia sebenarnya tidak senang melihat wajah itu. Karenanya ia cepat-cepat lari pada pelukan Residen.
Sekalipun ia pernah dengar dari bekas selir Jaksanegara tentang kehebatan Juru Kunci di tempat tidur. Mereka mengibaratkannya bagai Arjuna.
"Hamba menolak menjadi adipati Blambangan." "Menolak anugerah itu? Aneh, Yang Mulia."
"Hamba bukan Yang Mulia Jaksanegara. Hamba tahu itu bukan hak hamba."
Arinten kaget mendengar itu. Ia pandang wajah bopeng di hadapannya. Wajah itu tersenyum. Pandangan Arinten menelusur ke bawah. Perut Juru Kunci nampak terbuka. Baju Jaksanegara kekecilan untuk perut Juru Kunci yang setengah buncit itu. Perut itu pun berkulit bopeng. Rupanya seluruh tubuh bopeng.
"Yang Mulia tidak percaya? Bisa lihat buktinya nanti." "Lalu? Siapa yang akan memimpin Blambangan nanti?" "Tentu orang yang berhak. Darah Tawang Alun."
Makin kaget. Bara dalam dada Arinten meletup seketika. Ia bangkit sambil mengguncang tangan Juru Kunci, sesudah terlebih dulu minum satu gelas arak lagi.
"Tuan Schophoff semula memang menunjuk hamba. Tapi hamba mengusulkan agar darah Tawang Alun yang memerintah demi cakrawarti Blambangan sendiri." Dalam jarak dekat Juru Kunci tidak bisa tidak makin mengagumi wajah janda kembang itu. Janda bekas atasannya yang kini sedang dalam pembuangan. Belum dicerai menurut hukum agama memang. Tapi harapan untuk bersua kembali tidak ada. Sebaliknya, kegembiraan yang meledak di hati Arinten memunahkan kejijikan yang selama ini memenuhi hatinya setiap kali bersua Juru Kunci. Padahal mereka pernah bekerjasama menjatuhkan Jaksanegara.
"Yang Mulia..." "Sungguh, Tuan Residen sekarang pergi menjemput Mas Ngalit atas usul hamba itu. Dan upacara pelantikan akan diadakan di Surabaya oleh Tuan Gubernur. Sebab hanya beliau yang hamba pandang. Tapi sekalipun kurang berpengalaman, hamba akan sanggup menjadi patih beliau."
Kegembiraan Arinten benar-benar tak tertahan. "Kita wajib merayakan ini. Kita makan bersama....
"Sepatutnya kita merayakan. Hamba lihat Yang Mulia suka minum arak juga. Hamba punya minuman arak Belanda.
Hadiah Tuan Schophoff waktu berangkat tadi. Hamba akan senang jika hamba mendapat kesempatan minum bersama Yang Mulia."
"Hamba akan menemani, Yang Mulia."
Juru Kunci segera pergi ke kudanya di depan pendapa. Rupanya ia membawa dua botol minuman keras sebagai bekal. Sementara itu Arinten menyediakan daging kambing bakar yang sudah ada di tempat penyimpanan. Dua gelas ia sediakan untuk minuman. Arak wangi juga tersedia. Untuk merayakan impian yang hampir pudar karena ulah Jaksanegara itu. Impian itu kini terbit kembali. Juru Kunci yang membangkitkannya.
Arinten tidak tahu apa nama minuman Belanda yang masuk ke dalam tenggorokannya itu. Satu gelas memang terasa enak. Bercampur daging kambing, arak wangi, diselingi cerita tentang masa depan Wangsa Tawang Alun atau sedikit humor, Arinten makin lupa diri. Tubuhnya serasa makin melayang di awang-awang. Kegelapan telah turun menggantikan keremangan. Hujan turun lebih lebat dari tadi. Arinten antara sadar dan tidak telah berpindah tempat duduk. Dari kursi ke pangkuan Juru Kunci yang tinggi besar itu. Juru Kunci makin berani. Ia tidak mabuk. Maka ia sadar ketika dengan sengaja melepas kemben ungu dari dada Arinten. Udara dingin menyentakkan Arinten. Ia lihat susunya telah terbuka. Tapi entah mengapa ia tidak marah. Berdiri sebentar. Meletakkan gelas. Juru Kunci ikut berdiri. Seperti bayang-bayang. Bahkan kini lekat. Tangannya melingkar di tubuh Arinten. Suara napas kuda terengah-engah. Gemercik suara hujan. Kegelapan dan kedinginan berjalan bersama. Pelangi membayang dalam angan. Lampu pijar, bintang gemintang, muncul-muncul tiada seperti gabus pelampung dari pancing yang mulai disentuh ikan. Ringkik kuda dan rintih manusia tak bisa dibedakan.
Mengantar pagi yang menjelma.
* * *
Berbeda dengan daerah Blambangan lainnya, Songgon tidak terlantar. Sawah dan huma kian subur. Sepanjang mata memandang padi seolah merupakan garis-garis hijau yang ditarik lurus dari ujung ke ujung. Teratur dan rapi. Kebiasaan ternyata memudahkan wanita-wanita Songgon bekerja begitu rapi walau tidak dibantu penggaris atau alat bantu lainnya ketika mereka menanam secara beramai-ramai di sawah- sawah. Sama seperti kerbau-kerbau mereka yang tidak pernah meninggalkan alur bengkok di tanah kala membajak.
Kebiasaan telah menciptakan naluri dalam tubuh manusia. Demikian pula di ladang. Jagung sudah mulai ditanam dua bulan lalu. Kini berjajar lurus-lurus, baris demi baris. Jika dipandang dari angkasa maka tampaknya akan seperti puluhan ribu garis lurus yang sejajar. Lombok, terong, dan sayur-mayur lainnya memadati halaman samping tiap rumah. Pohon-pohon perdu Luntas atau Waribang (kembang sepatu) menjadi pagar tiap halaman depan. Lamtoro berbaris di pinggir-pinggir jalan.
Memang tidak ada sebuah pun loji di sini. Satu-satunya rumah batu adalah milik Rsi Ropo yang saat ini ditinggali murid-muridnya dan Mas Ayu Tunjung, serta para pengawalnya. Mas Ayu Tunjung sendiri-lah yang berani memasuki kamar Rsi untuk membersihkannya. Hari-hari pertamanya di Songgon memang merupakan aniaya bagi hidupnya. Hari-hari yang dikungkung mendung. Betapa tidak! Memang saat itu adalah awal musim hujan. Penantian atas kehadiran kembali Mas Sratdadi mengganggu angannya dalam tanya, mengapa kau tidak datang? Atau semua orang harus berpisah denganku? Hari-hari yang penuh dengan kerinduan. Semua orang yang pernah mengasihi dan dikasihinya telah punah. Ayu Prabu yang pernah tidak disukainya tapi dikaguminya itu pun punah tanpa jejak. Laporan mengatakan bahwa ia mati dibakar di sebuah gubuk sebelum Wilis kekasihnya juga mati dengan tanpa bentuk lagi. Beruntung Mas Ayu Tunjung kala memutuskan menanti Mas Sratdadi sambil membersihkan dan menunggui padepokannya. Semula ia khawatir jika Sratdadi datang kemudian menerima laporan tentang gugurnya Mas Ayu Prabu serta Wilis dan semua pemuka Bayu akan menjadi kalap dan marah, sehingga kehilangan penguasaan diri.
Kesepian dibunuhnya dengan membaca gulungan lontar milik Rsi Ropo. Dari semua lontar itu, ia tahu bahwa pemuda yang dulu pernah jatuh hati padanya itu memang pantas menyandang gelar Rsi. Kendati pun ia bukan seorang keturunan brahmana. Yang membuat ia lebih kagum lagi adalah catatan Rsi tentang Ayu Prabu. Ah, Ayu Prabu lagi! pikirnya. Tapi setelah membaca, hatinya mengakui kehebatan wanita itu. Betapa tidak? Ia telah menjadikan Sayu Wiwit, seorang biarawati, menjadi momok bagi Kompeni.
Bahkan Ayu Prabu pula yang mengatur sehingga Jagapati merasa pernah menikmati tubuh sayu (wanita yang telah disucikan oleh brahmana ciwa) itu. Padahal ia berusaha menjodohkan Sayu Wiwit dengan kakaknya, Mas Puger atau Ramad Surawijaya. Ah, menyesal mengapa tidak dekat dengan Ayu Prabu sejak dulu? Apalagi setelah membaca catatan Ayu Prabu sendiri. Ah, ini bagian dia bersua dengan pemuda Cina. Siapa ini? Tha...? Oh, Khong Ming? Luar biasa Ayu Prabu. Sering menerima hadiah permata dan mutiara? Oh, juga Khong Ming memberikan banyak uang? Mengapa ia menolak menjadi istri Khong Ming? Dia telah jatuh cinta pada Wilis?
Di bagian lain lontar Mas Ayu Prabu mengatakan:
"Jika aku harus menjadi istri Wilis, tentunya bukan karena aku jatuh cinta padanya. Dulu itu mungkin. Tapi sekarang aku tahu seperti ibuku tahu jauh di lubuk hatinya, bahwa Wilis adalah putra ayahku sendiri, Wong Agung Wilis. Tapi baik ibunya, Yang Mulia Yistyani maupun ayahku yang saat ini di Mengwi, tidak mau menjelaskannya. Aku tahu mereka tidak ingin Wilis, junjungan Blambangan itu terguncang jiwanya.
Aku pun tidak ingin ia terguncang. Karena itu demi Hyang Maha Dewa, aku akan mendampinginya sampai musuh punah dari bumi kelahiran yang menyusui aku ini. Aku lebih mencintai negeri ini daripada Wilis. Demi Blambangan aku harus mendorongnya. Aku sadar jika putra-putra Blambangan sendiri seperti halnya diriku tidak melakukan sesuatu untuknya, maka kelak akan terjadi Blambangan pulas tertidur di bawah telapak kaki bangsa-bangsa asing dan satria pribumi yang merajakan diri sendiri!"
Seperti tanaman layu yang kembali mendapat air segar, tiba-tiba semangat Mas Ayu Tunjung bangkit kembali. Ya, jika putra-putranya tidak berbuat sesuatu, Bla/nbangan kelak tertidur! Tertidur di bawah'injakan kaki, di bawah aniaya. Ah, betapa hebat orang yang menginjak itu sehingga yang diinjak tidak terasa bahkan tertidur!
Sejak saat itu ia mendekati kawula di Songgon. Berbincang dan membantu mereka di sawah. Menolong mereka jika sedang sakit. Tunjek dan seluruh pengawalnya membantu. Ia memberikan ajaran-ajaran seperti saat dulu Rsi Ropo belum meninggalkan mereka. Bahkan memimpin pembukaan sawah dan ladang baru bagi mereka yang baru saja tiba dari kota.
Dan benar, kawula Songgon dapat kembali tersenyum. Apalagi setelah setiap beberapa hari ini Mas Ayu Tunjung memberikan tuntunan bagaimana cara menghadapi ponggawa Blambangan jika sewaktu-waktu mereka mencium kedudukan mereka.
"Jangan takut!" ujar wanita manis itu di saat mereka berkumpul. "Kalian jangan menjawab apa pun yang mereka tanyakan!! Biar aku sendiri yang akan memberikan jawabannya. Mengerti?"
"Mengerti!!!" teriak mereka, laki-perempuan, berbareng. "Rsi Ropo akan kembali di tengah-tengah kita. Karena itu
bertekunlah pada ajaran yang pernah diberikannya."
"Dirgahayu! Dirgahayu!" mereka berteriak senang.
Meluap hatinya menyaksikan betapa kawula masih mengharapkan kehadiran Rsi Ropo yang sebenarnya adalah Mas Sratdadi. Ia tahu persis mengapa demikian. Tentu karena mereka melihat Wong Agung Wilis dalam Rsi Ropo.
"Kita tidak akan berperang lagi. Karena kita tidak punya daya dan sarana untuk memenangkan suatu peperangan. Tapi kali ini kita akan melawan mereka dengan jalan damai. Seperti dulu kala Rsi ada, kita tidak mengakui pemerintahan Pangpang. Maka sekarang pun kita tidak mengakuinya. Kita tidak sudi hidup di bawah perbudakan. Pengalaman mengajar pada kita bahwa setiap kehadiran kekuasaan asing adalah bencana. Sanggup kalian menolak mereka?"
"Sanggup!! Sanggup, Yang Mulia!!" kembali mereka berteriak berbareng.
"Dengan demikian kita tidak perlu mempersembahkan upeti pada siapa pun. Kita untuk kita sendiri."
Kawula senang mendengar pernyataan itu. Mereka bertekad menata kembali kehidupan di Songgon di bawah pimpinan Mas Ayu Tunjung. Seorang wanita yang datang dengan membawa beberapa bagian tubuh Wilis yang dapat ditemukannya dan dibakar di desa Songgon. Maka kembali Songgon berjalan tanpa kendali dari pemerintah Pangpang: Walau beberapa bulan kemudian mereka mendengar berita bahwa Blambangan sekarang diperintah oleh seorang keturunan Tawang Alun yang bernama Mas Ngalit. Tunjung berusaha mengingat siapa dia? Ketajaman ingatannya membawa pada masa kanak-kanak. Pernah ia dikenalkan dengan seorang pemuda cilik bernama Mas Ngalit. Keturunan dari Pakis.
"Bukankah Yang Mulia lebih berhak?" bertanya Partini, pengawalnya.
"Betul, bukankah Yang Mulia lebih berhak?" Tunjek ikut bertanya.
"Kekuasaan Blambangan telah ambruk. Wang-sa Tawang Alun telah kehilangan kembangnya. Maka sekarang, siapa pun yang telah memunggungi leluhur dan Hyang Maha Dewa, dia merasa berhak atas tahta di Blambangan. Dan aku tidak akan mengincar tahta itu. Sebab aku tidak sudi bekerjasama dengan kekuatan asing untuk menginjak kepala kawula yang memberiku makan setiap hari."
"Tapi kita tidak bisa membiarkan mereka terus begitu "
"Dari delapan puluh ribu lebih kawula dan laskar Blambangan yang bertempur tahun lalu kini tinggal lima ratus orang di Songgon dan mungkin dua ribu lebih tersebar di berbagai hutan, masih kurangkah usaha kita membendung masuknya bule itu? Tidak bisa begitu, Tunjek. Yang dapat kita lakukan sekarang, menjaga hati kita agar tidak ikut terampas bersama bumi beserta seluruh kekayaannya. Memang kita berdosa karena tidak berdaya mempertahankannya. Tapi bukan berarti tidak melakukannya sama sekali. Kita sudah bermandi keringat dan darah."
Laporan berikut yang datang pada Mas Ayu Tunjung adalah datangnya rombongan lelaki dan perempuan yang diperkirakan dari daerah-daerah Mataram. Mereka datang dengan berjalan kaki gelombang demi gelombang di bawah pengawalan pasukan bersenjata Kompeni. Kemudian mereka ditempatkan di rumah-rumah kosong yang ditinggalkan oleh yang empunya. Mas Ayu Tunjung menjadi terperangah karenanya. Karena itu ia memerintahkan pada kelima pengawalnya untuk mencari tahu siapa sebenarnya mereka.
"Ini perampokan benar-benar!" ia mengumpat. Marah dan kesal menyatu dengan ketidakberdayaan.