Jilid XII
BALA dan Catursuda adalah orang-orang undangan Paguyuban Banjardawa. Windupati sendiri, bila melihat gelagatnya, tampaknya dia sangat akrab dengan Wigendro. Kalau Wigendro mau membantu Paguyuban Banjardawa, siapa tahu Windupati juga bisa diharap demikian? Apabila hal ini terjadi, maka pertarungan yang kini sedang berlangsung hanya berakibat kerugian bagi Paguyuban Banjardawa belaka, siapapun yang menang dalam pertarungan itu.
Dalam hal ini, kedua tetua Paguyuban memang tidak pernah mengetahui hubungan apakah dibalik keakraban antara Wigendro dengan Windupati.
Memikir tentang kerugian pada pihaknya, maka kedua pemimpin Paguyuban itu lantas mencurigai Turonggo Benawi, menduga bahwa orang sedang main adu domba.
Dan tiba pada dugaan yang demikian, dengan serta merta mereka saling kerdipkan mata. Lalu tanpa memperdengarkan suara apapun Ki Genikantar telah melontarkan ujung tali kearah mereka yang sedang bertarung.
Baik Bala maupun Windupati menjadi terkejut melihat serangan mendadak itu. Seketika mereka berlompatan mundur, menghindari. Siapa sangka begitu mereka berdua berpisah ujung tali dengan sangat pesatnya membalik arah, menyambar kearah telapak tangan Turonggo Benawi.
Semua orang terkejut. Akan tetapi terlambat gerakan ujung tali begitu sangat pesatnya, telah menggaer tusuk konde, langsung menyonteknya. Sehingsa benda kecil itu melayang cepat terbang kearah Ki Genikantar. Itulah suatu pertunjukan ilmu menyalurkan tenaga batin sakti melalui seutas tali yang sangat mahir.
Naga Dumung terlolong kagum, akan tetapi Wigendro mendengus. Lalu dengan langkah tertimpang-timpang akan tetapi menyeramkan, bergerak maju berkata dengan suara bengis.
“Yang termashur sebagai manusia yang paling licik diatas dunia ini, adalah aku, Wigendro. Aku tidak melakukan sesuatu mengingat bahwa benda itu masih dalam sengketa. Sekarang dengan perbuatanmu itu, apakah kau maksudkan mengundang kami ini hanya sekedar untuk melihat kesombonganmu main tali?”
Ki Genikantar tertawa.
“Sabar dulu sahabat! Masakah aku hendak menyerakahi benda tak berguna ini. Kupikir aku hendak menghancurkan benda ini agar kita sekalian jangan sampai terpancing oleh akal adu domba dari si buta melek itu.”
“Ngaco!” Pepriman telah membentak, memotong bicara. Kini pemuda itu telah melompat dihadapan Genikantar. “Kalian semua yang bernafsu seperti serigala berebut tulang, masakah orang lain yang kau jadikan dalih? Terang-terang guruku bermaksud memberikan benda itu kepada siapa saja yang berhak! Kaulah yang secara licik hendak menyerakahi sendiri. Andaikata guru bermaksud mengangkangi pusaka itu, apakah kau kira kau dapat merampaskannya begitu saja.”
Jitu sekali kata-kata pemuda jembel ini. Memang benar, andaikata Turonggo Benawi bermaksud mengukuhi tusuk konde itu, buat apa ia memperlihatkan benda itu? Atau misalnya
diperlihatkan juga, dapatkah Genikantar memamerkan kemahirannya melempar tali didepan Turonggo Benawi? Bahkan andaikata ketujuh orang yang baru datang itu turun tangan secara berbareng saja, orang masih ragu-ragu, entah bisa mengalahkan raksasa buta itu atau tidak.
Ki Genikantar yang mendapat tuduhan si pemuda jembel begitu tepat, untuk sejenak kehilangan kata-kata. Sejak semula ia mendengar nama si pemuda jembel, dan pernah bertemu dan bergebrak dengan pemuda ini telah timbul dugaan padanya, bahwa pemuda jembel itulah murid seorang guru sakti.
Sekarang ia mendapat kenyataan bahwa si pemuda jembel ternyata adalah murid Turonggo Benawi, maka kebencian lama yang tumbuh sejak terbunuhnya Dadamanuk, kini meluap kembali. Dengan serta merta, tangannya melayang maju, dan sebuah pukulan Turonggo Bromo dilancarkan dengan hebatnya.
Terdengar ledakan dahsyat. Asap kemerahan mengepul dari lengan guru Bantarkawung itu. Sekali menghantam, Genikantar telah melancarkan pukulan yang mematikan, sebab ia tahu bahwa bocah jembel itu bukanlah pemuda sembarangan.
Wigendro maupun Naga Dumung terkejut, dan mengerutkan kening. Mereka pikir Genikantar terlampau kejam. Untuk seorang pemuda rudin yang tampaknya lemah seperti itu, masakah harus menurunkan pukulan yang demikian lihainya.
Akan tetapi mereka justeru tidak tahu bahwa Pepriman adalah seorang pemuda gemblengan jurang raksasa yang telah lima tahun lamanya dididik secara matang oleh Turonggo Benawi.
Hantaman Turonggo Bromo, atau kuda api yang di lancarkan oleh Genikantar memang dapat meruntuhkan sebuah gegumuk. Akan tetapi jangan harap sekali gebuk Pepriman akan kena dicelakai olehnya.
Sebuah ledakan terjadi ketika pukulan dilancarkan oleh Genikantar dan menimbulkan sebuah lubang besar pada tanah. Akan tetapi Pepriman justeru sudah menyingkir setombak jauhnya dari pukulan itu. Dan kini pemuda itu telah melangkah maju sambil tertawa :
“Dulu musuh, sekarang juga musuh! Aku hanya menghendaki kau mengembalikan tusuk
konde pusaka itu. Kalau tidak, jangan katakan aku orang muda tak tahu peradatan!”
“Bocah besar mulut. Awas serangan! Bukan Genikantar yang memberikan sebuah pukulan, akan tetapi Dewi Cundrik dengan kelima jari tangan terkembang menerkam kearah pemula jembel itu.
Pepriman telah dapat menjajagi sampai dimana kelihaian racun pacet wulung wanita genit itu. Pada waktu mengobati Kiai Teger, dengan tenaga batinnya Pepriman dapat mengusir racun itu yang telah mengendap ditubuh Kiai Teger. Maka sekarang pemuda itu tidak begitu kuatir lagi. Dengan tabah disambutnya serangan lawan.
Dess! Dua telapak tangan saling beradu, Pepriman hanya tergentak mundur setindak, sedangkan Dewi Cundrik sambil memperdengarkan suara jeritan, tubuhnya terpental kebelakang. Setelah berjumpalitan beberapa kali diudara, barulah wanita itu dapat berdiri tegak kembali diatas tanah.
“Jembel sombong! Jangan kau buru-buru tertawa! Awas!” Dewi Cundrik membentak pula
seraya menerjang maju.
Kedua tangan wanita itu bergerak sangat cepat. Bau amis dan busuk keluar dari kuku-kuku jarinya yang panjang dan hitam, mengurung kearah Pepriman.
Namun pemuda berpakaian compang-camping itu dapat mengimbanginya dengan baik. Ia bergerak cepat kian kemari seperti orang mabuk, akan tetapi anehnya setiap serangan wanita itu hanya mengenai tempat kosong. Di lain pihak, pertarungan Windupati dengan Bala masih berlangsung sangat seru, walaupun cantrik Catursuda itu boleh dibilang cakap tangguh akan tetapi ia berhadapan dengan Windupati, orang kedua dari perguruan Loning.
Makin lama, terasa bahwa sinar golok lawan semakin berat menekan. Kelebatan sinar golok yang melayang-layang penuh perbawa, membuat cantrik itu seakan-akan terkurung.
Bala boleh tiga kali tangguh, akan tetapi ilmu golok Loning benar-benar menunjukan kedahsyatannya. Masih untung Windupati belum mendapatkan seluruh pelajaran ilmu golok sakti setinggi tingkat Cucut Kawung. Namun begitu, akhirnya Bala terjatuh dibawah angin.
Windupati dapat bergerak cepat dan tak terduga. Serangan goloknya ibarat terkaman maut yang tidak mengenal ampun. Permainan gelang tembaga si cantrik yang semula dapat menahan gerakan golok, kini berkali-kali tergempur membalik, menghantam kearah tuannya sendiri.
Bahkan dua buah gelang tembaga Bala telah buntung akibat sabetan Windupati. Dan permainan silat cantrik itu bertambah kalut, karena tekanan lawan semakin hebat.
Kini Bala sudah tinggal bertahan dan main mundur belaka, sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang.
Sedang golok Windupati berubah menjadi delapan bayangan berkilat yang menyerang dari delapan penjuru, maka dalam kagetnya Bala telah menggerakan kepalanya. Dua buah anting-anting telinganya melesat, menggempur kearah sabetan golok namun senjata Windupati itu tidak begitu mudah untuk dipunahkan serangannya. Golok itu tergetar miring oleh gempuran anting-anting Bala, akan tetapi guru kedua dari Loning itu telah berubah letak kuda-kudanya, dan goloknya tahu-tahu telah menikam tiga tusukan kearah dada cantrik itu.
Agaknya, walaupun Bala memiliki empat tangan sekalipun takkan sanggup menghindari serangan golok yang begitu cepat seperti kilat. Cantrik itu telah mengeluh, terima mati penasaran, ketika mendadak terdengar suara batuk yang sangat nyaring.
Dan sebelum golok Loning yang menikam seperti gerakan pedang itu mengenai sasaran, tahu- tahu terlihat berkelebat sebatang lengan yang kurus kering, bergerak-gerak seperti lintah.
Windupati tidak mengurungkan serangannya, akan tetapi mendadak terdengar suara trang- tring, trang-tring! Dan golok Windupati telah menyeleweng arahnya, menyerempet pundak Bala. Akan tetapi ujung golok itu sendiri telah kutung, sepanjang satu dim!
Sementara itu Catursuda telah tertawa sambil menarik kembali tangannya yang tadi baru dipergunakan untuk menyentil golok beberapa kali.
Windupati terkejut melihat kerusakan pada senjatanya. Ia insyaf bahwa goloknya adalah sebuah senjata pusaka hadiah dari Ki Cucut Kawung yang kecuali tajamnya tiada ukuran, juga kerasnya bukan main. Sentilan kakek bongkok itu dapat merusak atau menguntungkan sebatang golok pusaka, dapatlah dibayangkan berapa tingginya ilmu tenaga batin kakek itu.
Akan tetapi, ketika melihat kearah lengan kanan Catursuda, Windupati dapat melihat bahwa kakek bongkok itu ternyata telah mengenakan sarung kuku jari yang terbuat dari baja bergigi. Satu diantara sarung kuku itu tampak telah pecah. dan terserak ditanah.
“Ilmu golok Loning kiranya boleh juga ” kata Catursuda sambil tertawa. Seraya demikian,
kakek bongkok itu telah mengedip kearah cantriknya, untuk mundurkan diri.
“Tua bangka sombong! Majulah kalian berdua, biar tahu lihainya ilmu golok Loning!” Bentak Windupati penasaran. Memang ia tak perlu berkecil hati akibat kerusakan senjatanya. mengingat bahwa yang menempurnya adalah Catursuda. Akan tetapi, memangnya dia masih mendongkol akibat diharuskan bertarung melawan seorang cantrik, maka ia bermaksud untuk menggertak lebih lanjut.
Tetapi Catursuda tertawa.
“Tak usah. Tak perlu. Aku sudah cukup kagum pada ilmu golokmu, siapa tidak mengenal kelihaian golok Loning. Tetapi kita sudah cukup main-main sampai disitu saja. Lihatlah, bukankah tusuk konde itu telah berada ditangan Genikantar?”
Benar saja memang. Ketika Windupati menoleh kearah guru Bantarkawurg itu, ia segera melihat bahwa tusuk konde pusaka itu telah berada di tangan Genikantar. Dan agak beberapa langkah disisinya terlihat Dewi Cundrik sedang bertarung seru melawan si pemuda jembel.
Bila dihitung-hitung, dendam dan sakit hati si Pepriman terhadap guru Guha Gempol itu, mungkin melebihi dalamnya lautan. Hingga Pepriman mengalami penderitaan kehilangan ayah angkat, kehilangan perguruam Blimbingwuluh yang hancur, dan sampai kepada pemuda itu dimusuhi oleh seluruh kalangan rimba persilatan, adalah akibat perbuatan wanita itu. Sekarang Pepriman mendapat kesempatan untuk menempur orang yang paling dibencinya itu, tentu saja serangan-serangannya tidak mengenal ampun.
Ketika kedua cakar Dewi Cundrik meluncur mencengkeram kearah leher dan mata. Pepriman tidak sudi menunjukkan kelemahan. Badannya didoyongkan ke kiri, dan tangan kirinya diangkat menangkis terkaman tangan Dewi Cundrik. Sementara itu tangan kanan Pepriman telah diluncurkan kedepan untuk menghajar perut Dewi Cundrik dengan sekuat tenaga.
Menangkis tak mungkin lagi, maka dalam gugupnya Dewi Cundrik telah merendahkan tubuhnya, dan sambil tersenyum ewa ia menerima pukulan pemuda jembel itu dengan buah dadanya yang montok.
Seketika Pepriman jadi gugup. Betapapun, apabila ia melanjutkan pukulannya, akan mengenai daging membulat yang kenyal itu. Mungkin Dewi Cundrik akan terluka parah karenanya, akan tetapi Pepriman dengan gugupnya telah menekuk sedikit pergelangan tangannya. Dan pukulannya tidak menghanjut buah dada wanita itu, sebaliknya hanya menyerempet dan merobek baju didada wanita itu.
“Ih, anak muda...” Dewi Cundrik menjerit pura-pura sambil menutupi kulit dadanya yang terbuka. “Kalau memang jatuh hati kepadaku, masakah harus begini, buru-buru, main pegang dada didepan umum, hihik!”.
Memerah saga wajah Pepriman karena malu dan dongkol. Kalau tahu bakalan berakibat demikian, agaknya tadi ia takkan menggagalkan serangannya.
Kini dengan cepat sekali kedua tangannya bekerja.
Tangan kanan menampar kepala, sedangkan tangan kiri bergerak seperti hendak mencengkeram kempungan kiri lawan.
Dewi Cundrik menyambut kedua serangan itu dengan kedua tangannya. Bentrokan tenaga terjadi lagi.
Bukk! Baru saja kedua tangan mereka beradu, Pepriman telah menggerakkan kedua tangannya cepat-cepat ke kanan. Tubuh Dewi Cundrik ikut terhuyung mengikuti gerakan tangan Pepriman.
Justeru pada saat itulah kaki kiri Pepriman bergerak seperti kilat cepatnya menendang dengan keras. Dewi Cundrik menjerit kesakitan, sedangkan tubuhnya terlempar lebih lima tombak jauhnya, dengan tulang paha seakan remuk terhajar tendangan lawan.
Melihat Dewi Cundrik yang tergeletak menelentang dengan mulut menyeringai kesakitan, mendadak Pepriman seakan melihat kembali apa yang pernah dialaminya dalam sebuah kamar batu di istana Telagasona.
Seketika bagi menyembur api dari biji mata pemuda jembel itu. Rambut kepalanya yang riap- riapan seakan menegak, dan rahang pemuda itu menggigit-gigit menimbulkan suara nyaring.
Sekujur tubuhnya gemetaran. Dan ketika dari tenggorokannya terdengar suara lengkingan burung alap-alap menyambar, maka tubuh pemuda itu telah mumbul keudara.
Dan dengan kecepatan alap-alap menyambar, ia telah menukik menghantam kedua tangannya bersusulan ke arah Dewi Cundrik.
Bum! Blung! Dess! Beberapa pukulaa Pepriman menghantam tanah sampai amblong, sedangkan sebuah tendangannya sekali lagi tepat mengenai lambung wanita itu. Untungnya Dewi Cundrik telah mengerahkan tenaga dalam melindungi tubuhnya, kalau tidak, tentu ia akan terbinasa saat itu juga.
Sri Naga Dumung melompat maju menolong Dewi Cundrik. Kipasnya dikibaskan, menimbulkan angin gempuran yang dahsyst. Tetapi ketika Pepriman mengangkat tangannya, maka kipas baja itu telah menceng gerakannya, menghajar kesamping mematahkan beberapa cabang pohon.
“Cukup murid! Tak perlu banyak main-main membuang tenaga belaka...” Tiba-tiba Turonggo Benawi menegur sambil tersenyum.
Biasanya, apabila Pepriman telah kalap seperti itu tidak ada suatu apapun yang dapat mencegah dia melakukan pembunuhan.
Akan tetapi suara Turoaggo Benawi mempunyai arti yang lain bagi Pepriman. Pemuda ini seakan-akan terkena pengaruh sihir, seketika merandek. Matanya yang liar, menjadi jinak kembali. Wajahnya yang beringas, berubah tenang, sedangkan tangan dan kakinya yang tadi gemetaran, kini kembali diam.
“Kemarilah...” kata Turonggo Benawi pula. Dan Pepriman seperti kebo dituntun, berjalan perlahan menghampiri raksasa buta itu.
“Duduklah. Tak perlu menurutkan hawa nafsusekarang...”.
Ketika Pepriman mengambil tempat duduk seperti seorang anak didepan kakek yang dicintainya, maka sebaliknya Dewi Cundrik sedang merayap bengun sambil tersenyum bengis kearah Ki Genikantar. Mulut wanita itu berlepotan darah, akibat darah yang tertumpah dari dalam dadanya. Tampaknya ia terluka tidak ringan, akan tetapi karena kebenciannya terhadap Genikantar, dengan serta merta ia telah melompat kehadapan kakek hitam botat itu.
“Manusia licik, jahanam!”
Dewi Cundrik tak dapat melanjutkan kata-katanya. Karena kalau ia meneruskan kata-katanya itu, tentu ia akan berkata bahwa Genikantar tidak turun membantui wanita itu yang sedang terancam bahaya si pemuda jembel. Hal ini tentu saja hanya akan menghilangkan pamor perguruan Guha Gempol belaka.
“Licik bagaimana?” Genikantar justeru ingin mendengar Dewi Cundrik melanjutkan kata- katanya. Sengaja ia memancing kemarahan wanita itu agaknya mengandung beberapa maksud.
Pertama, memang secara diam-diam diantara mereka berdua Pepriman, paguyuban Barjardawa telah timbul persengketaan. Mereka jarang atau tidak pernah bergebrak untuk saling mengukur kemampuan, sehingga dengan adanya Dewi Cundrik dihajar habis-habisan oleh Pepriman, berarti wanita itu sudah harus mengakui keunggulan Genikantar.
Kedua, dengan adanya tusuk konde ditangannya Genikantar sama sekali tidak menyukai dikemudian hari Dewi Cundrik bersama anggota Paguyuban yang lain berusaha memperotes dan merampasnya. Bukankah bila wanita itu mati, akan lebih baik?
Ketiga, disamping Pepriman, masih ada Turonggo Benawi. Untuk melawan si pemuda jembel itu saja, sulit untuk mendapatkan kemenangan dengan mudah, apalagi bila gurunya turun tangan.
Antara pribadi Genikantar dengan Pepriman tidak terdapat permusuhan pribadi, untuk apa mencari penyakit?
Bukankah ambil langkah seribu dengan membawa tusuk konde pusaka itu, seribu kali lebih baik dari kehilangan pamor didepan para undangan?
Memang sejak tadi Genikantar sudah berpikir untuk pergi. Akan tetapi setelah sekarang kejadian berubah seketika, maka Genikantarpun buru-buru merubah sikap.
Dewi Cundrik tidak menjawab pertanyaan Genikantar. Bahwa wanita itu telah berdiri mendekati Sri Naga Dumung seperti hendak minta bantuan. Sementara itu Genikantar berkata sambil tertawa :
“Sudah terang tusul konde pusaka berada dipihak Paguyuban, masakah aku harus menjelaskannya terang kepadamu Cundrik?”
“Kentut busuk! Siapa tidak tahu isi perutmu!” Bentak Dewi Cundrik.
“Terserah kepadamu. Kalau kau kuatir aku hendak menyerahkan benda ini, terimalah?” Sambil berkata demikian, Genikantar benar-benar telah melemparkan tusuk konde pusaka itu kearah Dewi Cundrik, yang kemudian disambuti oleh wanita itu dengan muka masih cemberut.
Benar-benar cerdik, Genikantar ketua paguyuban Banjardawa itu. Didepan para undangannya, sengaja ia berbuat seakan-akan ia tidak bernafsu untuk menyerakahi benda pusaka itu. Dengan demikian ia bertindak seakan-akan menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Dengan menarik simpati para tetamunya, juga ia bermaksud menanamkan sangkaan buruk para tamunya terhadap Dewi Cundrik.
Apabila pihaknya telah jauh lebih kuat, apabila susahnya untuk merampas tusuk konde itu kembali dikemudian hari?
Sekarang yang perlu bagi mereka adalah menyingkir secepatnya. Sambil menghindari kemungkinan dari ancaman Turonggo Benawi bersama muridnya, juga sekaligus untuk melakukan penyelidikan atas benda itu lebih lanjut. Sekaligus juga mempersiapkan diri untuk menggempur lawan-lawan yaitu Kiai Kenistan suami isteri, Mbah Pucung dan yang lain.
Sedang mereka bermaksud untuk bertindak pergi maka dari kejauhan sayup-sayup terdengar suara melengking yang sangat tajam. Suara itu datang seperti dari arah sungai, mengikuti aliran air, menerobos daun-daunan hutan, dan menggetarkan lembah.
Tanpa dikomando lagi, sekalian undangan maupun kedua sesepuh Paguyuban Banjardawa itu, berlompatan pergi meninggalkan tempat itu, mereka sependapat, walaupun tidak berjanji lebih dulu, bahwa orang yang sedang mendatangi itu adalah orang yang berkepandaian sangat tinggi.
Ilmu mengirimkan suara yang begitu dashyat tak mungkin dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas menengah belaka.
Mereka menginsyafi bahwa pendatang itu tidak ketahuan lawan atau kawan. Kalau dibilang kawan tampaknya tidak mungkin, sebab mereka tahu benar kawan yang mana yang memiliki kepandaian setinggi itu.
Apabila sebenarnya lawan, mengapa mereka tidak segera angkat kaki. Sedang menghadapi Turonggo Benawi bersama muridnya saja mereka tidak berani mengharap kemenangan apalagi bila datang orang lain yang berpihak kepada lawan?
Suara lengkingan itu makin lantang terdengar. Dahan-dahan dan ranting pohon bergoyang- goyang. Angin tak keruan arah datangnya tiba-tiba saja berdesis disana sini. Burung-burungpun beterbangan, dan binatang-binatang rimba tersentak kaget dari sembunyinya, lantas berlarian mencari hidup.
Demikian hebatnya pengaruh suara lengkingan itu. Pepriman yang sedang duduk bersila, cepat-cepat mengatur pernapasan, mengheningkan cipta, membentengi diri dengan tenaga batinnya yang kokoh. Namun begitu masih juga terasa getaran suara itu menusuk-nusuk anak telinganya.
Sebaliknya, Turonggo Benawi malahan tertawa. Lalu dengan wajah menunjukkan kegembiraan, raksasa buta melek itu mengangkat kedua tangannya seperti menyambut kedatangan orang.
Ketika suara lengkingan itu mendadak lenyap dan Pepriman mengangkat mukanya, maka didepannya tampak berdiri sesosok tubuh yang tinggi langsing, dengan dandanan mirip seorang pertapa yang berjumbaian sampai ketanah.
Dia ini adalah seorang wanita berwajah merah jambu dengan rambut warna keemasan. Pepriman tak tahu-tahu, berapa usia wanita itu, bahkan menganggap wanita itu sebagai manusia biasapun tidak.
Sepanjang hidupnya, Pepriman belum pernah melihat seseorang yang memiliki tubuh yang demikian. Hidungnya mancung, dan matanya kebiru-biruan. Bibirnya pucat, sedangkan dagunya besar seperti dagu seorang jantan. Yang lebih mengherankan, lengan wanita itu berbulu-bulu lembut yang berwarna pirang, dan juga lebat.
Untuk beberapa saat, Pepriman diam termangu-mangu. Sampai Turonggo Benawi menegurnya :
“Murid. Mengapa tidak segera menghaturkan hormat kepada bibi gurumu!”
Bukan main terkejutnya Pepriman. Selama berkumpul dengan gurunya, ia belum pernah mendengar gurunya mempunyal adik seperguruan. Sekarang datang wanita aneh itu justeru disebut sebagai bibi guru. Tetapi Pepriman tak berani membantah, cepat-cepat menghaturkan hormatnya, yang disambut oleh wanita itu dengan suara dengusan yang dingin.
Beberapa tamu wanita itu memandangi Pepriman dengan tatapan penuh selidik, lalu katanya :
“Benawi. Apakah bocah ini yang telah kau suruh menyelidiki tempat tinggalku?” “Tidak salah, Manik. Dia muridku!” Sahut Turonggo Benawi seraya tertawa.
“Tutup mulutmu! Jangan ceringas-ceringis melulu! Belum kapok kau dihukum begitu rupa, buta melek, badan jadi gembung! Apa maksudmu kau melanggar sumpah?” Wanita yang dipanggil sebagal Manik itu berkata dengan nada getas.
Dibentak dan dimaki seperti itu. Turonggo Benawi tidak marah. Malahan tertawa-tawa tiada hentinya.
“Kalau sudah tahu ya sudah Manik. Aku melanggar sumpahku, mengambil murid bocah jembel itu justeru karena aku menginginkan kau cepat keluar dari tempat sembunyimu. Aku tentu akan menanggung segala akibatnya, asal aku masih mendengar suaramu lagi mendengar makianmu. Dan aku berharap dalam pertemuan ini, merupakan pertemuan kita yang terakhir kalinya ”
Mendengar penuturan Turonggo Benawi yang agaknya bernada sedih itu. Manik tampak tercegut-cegut lehernya turun naik. Lalu biji matanya yang kebiruan itu menjadi basah.
“Benawi... apakah kau mengira bahwa penderitaanmu itu akibat dari perbuatanku? Salah siapa kau mendengarkan ajakan siluman rase Gandri itu? Sudahku katakan, bahwa kita harus bersatu tak boleh berpisah lagi selama hidup, tetapi kau terlalu menuruti keangkuhanmu belaka. Akhirnya keadaan telah terlanjur begini rupa, apakah arwah Gandri yang gentayangan di neraka pernah menolong dirimu dari kebutaan? ataupun memulihkan jasadmu yang berubah bentuk itu?”
“Sudahlah Manik, tak perlu menyesali orang yang telah mati ” kata Turonggo Benawi.
Tentu saja maksud Turonggo Benawi dengan kata-katanya itu ialah agar melupakan kenangan lama yang
tak sedap itu. Sebaliknya Manik jadi salah terima, dan menjawab sambil membanting kaki.
“Memang! Memang! Aku tahu, kau selalu membela si siluman Gandri itu. Memangnya aku
jelek, aku hina. aku piatu, kau tak pernah menganggap aku benar barang sekali.”
Turonggo Benawi menghela napas. Diantara kedukaan yang melingkupi wajahnya, terlukis pula suatu sinar ketenteraman.
“Mana aku pernah menyalahkan kau, Manik! Kau adik kesayanganku, kau gadis yang paling kucintai selama hidupku! Kaulah perempuan yang paling cantik yang pernah kutemui. Tetapi sayang, sayang sekali mataku tak hisa lagi melihat kebeningan sinar matamu sekarang, Manik. Mataku terbuka, akan tetapi yang terlihat olehku adalah kegelapan abadi.
Dan kecantikanmu yang berkesan dalam hatiku, adalah kesan dulu. Kesan masa dahulu
Manik, masa kita sering main terompet batang padi...”
Berbicara sampai disitu, suara Turonggo Benawi terdengar agak gemetar. Pertapa setengah dewa yang begitu tabah menghadapi penderitaan hidup, terasing didasar jurang dalam kebutaan seperti itu, tak pernah mengeluh atau merasa sedih. Tetapi kini berhadapan dengan wanita berambut keemasan ini, pertapa itu seperti kehilangan keperkasaannya dan kekukuhan batinnya yang luar biasa.
Manik itu sendiri, demi mendengar suara Turonggo Benawi yang demikian, tubuhnya tampak tergetar. Lalu dengan serta merta ia menubruk maju memeluk kaki laki-laki itu sambil menangis sesenggrukan.
Beberapa saat, kedua manusia aneh itu diam membeku, kecuali Manik yang ingseg- ingsengan. Akhirnya Turonggo Benawi mengusapkan tangannya kerambut kepala Manik sambil berbisik :
“Tentu kau sangat menderita, Manik. Maafkan aku telah membuatmu sengsara ”
“Tidak Benawi. Kau tidak bersalah.” jawab Manik seraya menatap mata Benawi yang lolong. “Aku yang menyebabkan kau menderita begini rupa. Kaulah yang harus memaafkan aku Benawi, dan memaafkan aku yang telah menghina serta berprasangka buruk terhadapmu. Kau terlalu keras hati, dan tak mau berterus terang. Akibatnya begini ”
Dan Manik kian menjadi-jadi, sementara pelukannya pada kaki laki-laki itu semakin erat. Rasa duka dan penyesalan yang sedang mengalir bersama suara ratapan Manik, atau Dewi
Manik itu, telah menyentuh hati Pepriman alias Joko Bledug yang sedang duduk merundukan muka.
Samar-samar tetapi agaknya tidak melesat, Pepriman dapat membaca, akan masa lalu hubungan antara guru dan bibi gurunya. Rupanya kelicikan fitnah, atau sak wasangka dan cemburu telah mengganagu hubungan baik mereka yang mengakibatkan mereka saling memendam rindu hingga umur mereka sudah ratusan tahun.
Tidaklah mengherankan apabila kedukaan itu kini menjalar kehati Pepriman. Pemuda jembel ini adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah digembleng dengan kepahitan hidup, dengan ketabahan dan ketekunan.
Tetapi dalam usia meningkat remaja, fitnah hebat telah melanda nasib ayahnya, juga melanda dirinya. Akal busuk dan keji Dewi Cundrik yang telah menyebabkan pemuda ini malu menghadapi setiap gadis entah gadis yang mana itu!
Satu-satunya ingatan kepada Pepriman, adalah ia cuma seorang pemuda tak bermoral, pemuda yang lemah, pemuda yang dengan gampang menuruti permainan nafsu seorang siluman tua dan cabul? Yah, dan fitnah merajalela, merusak seluruh hidup pemuda itu, bila ternyata dibawah pengaruh racun-racun Dewi Cundrik. Pepriman alias Joko Bledug telah membunuh dua orang saudara seperguruannya sendiri.
Itulah semua kenyataan, dan kenyataan itu berekor dengan kekecewaan yang makin menghebat. Bermula Dewi Yoni meninggalkannya, dan akhirnya Cunduk Puteri mengalami nasib malang, terbinasa dibawah kebiadaban Windupati.
Semuanya itu telah terjadi dan tinggal merupakan kesan hitam belaka dalam hidupnya. Kini Pepriman melihat suatu kejadian yang hampir serupa dengan dirinya. Tentu saja hatinya bagai tersayat-sayat dan perlahan-lahan sedu-sedan naik dari dadanya. Setelah beberapa lama dalam keheningan seperti itu akhirnya Manik berkata.
“Benawi, mana tusuk kondeku!”
Turonggo Benawi seolah-olah tersentak.
“Dirampas oleh orang-orang yang anti Mataram. Kau pendekar berdarah Mataram sejati
apakah akan membiarkan benda itu dirampas musuh?”
Semula Dewi Manik tampak meragu. Akan tetapi sebentar kemudian tersenyum girang.
“Benar-benar kau laki-laki yang mengagumkan, Benawi. Apakah maksudmu agar aku segera turun tangan menyelamatkan negeri ini, karena kau sendiri dengan keadaanmu yang demikian tak mungkin dapat pergi dengan bebas?”
Sungguh suatu penafsiran yang sangat jitu. Sama sekali Pepriman tidak dapat menduga apa maksud gurunya dengan sengaja melepaskan tusuk konde pusaka ketangan Ki Genikantar. Kiranya begitulah maksudnya, dan Dewi Manik yang memiliki kecerdasan luar biasa, bisa segera menduga maksud orang dengan jitu.
“Terima kasih, Manik, kau telah menduga dengan tepat sekali.
Sekarang ini, negeri kita sedang terancam oleh bahaya kehancuran. Gerakan orang-orang gagah yang dipimpin oleh Kiai Teger dan Mbah Pucung serta kawan-kawannya telah mengalami pukulan hebat.
Syukurlah Manik apabila kau masih benar-benar mewarisi darah kepahlawanan ayahmu!
Sekarang kau dapat mengejar mereka, muridku boleh kau ajak sebagai penunjuk jalan...”.
“Nanti dulu! Aku juga telah mempunyai seorang murid dan seorang cantrik. Kukira diapun
memiliki darah pendekar dalam tubuhnya...”.
Bicara sampai disitu, Dewi Manik lantas berdiri dan melambaikan tangannya kebelakang.
Seketika itu juga tampak dua bayangan orang mendatangi dengan sangat cepat.
Begitu agak mendekat, maka tertampaklah bahwa mereka itu seorang gadis dan seorang laki- laki. Gadis itu bertubuh langsing semampai, berpakaian selembar jubah berwarna hitam. Rambutnya yang hitam lebat dilingkarkan dileher seperti orang yang sedang berduka cita, dan sebagian lembar-lembar rambutnya menutupi wajahnya yang putih murung.
Demi gadis itu berada dekat, maka Pepriman tersentak dari duduknya. Seperti orang yang
sedang terpukau oleh mimpi, ia mernburu maju sambil berseru : “Nona Cunduk...”.
Memang gadis itu Cunduk Puteri adanya. Sejak sekilas ia melihat Pepriman berada disitu, gadis itu telah menjadi gugup dan bingung. Ia bermaksud hendak berlari pergi, akan terapi melihat ‘si nenek’ yang memanggilnya dengan sungguh-sungguh, tentu saja ia tak berani membantah.
Sekarang benar-benar telah menjadi kenyataan, bahwa pemuda berpakaian compang-camping itu adalah Pepriman, pemuda sederhana yang selalu mengaguminya siang dan malam.
Kegembiraan serta merta hinggap dihati si dara. Rasa rindunya yang selama ini mengamuk didadanya, hendak meronta keluar. Namun segera teringat olehnya, akan keadaan dirinya! Dia tak suci lagi! Dia telah ternoda! Perutnya telah mengandung bibit manusia...
Ketika ingatannya sampai disini, maka saat itu justeru Pepriman sedang menubruk maju untuk merangkulnya. Tanpa sadar, Cunduk Puteri telah mendorongkan tangannya dengan keras, sehingga tak ampun lagi Pepriman yang tidak bersiap-siap jatuh terjengkang. terpelanting.
“Eh, eh, muridmu juga mata keranjang, seperti kau Benawi! Lihatlah, dia hendak merangkul muridku! Kurang asin tuh bocah!” Kata Dewi Manik seraya tertawa.
Turonggo Benawi juga tertawa. Walaupun ia tidak dapat melihat persis apa yang dilakukan oleh Pepriman, akan tetapi perasaannya dapat menduga dengan tepat.
“Dia anak kesayangan Ki Ageng Tampar Angin, tak mungkin semata keranjang aku Manik.
Kukira muridmu terlalu cantik seperti kau, sehingga muridku tak dapat menahan diri!”.
“Heh, Cunduk Puteri. Murid kakang Benawi berarti adalah kakak seperguruanmu, mengapa kau bukan mengunjuk hormat, bahkan bertindak begitu kurang ajar?”.
Dewi Manik menegur dengan sikap manis. Akan tetapi Cunduk Puteri yang sedang ditusuk- tusuk hatinya oleh rasa malu, kecewa dan sedih, menjadi bertambah sedih. Dan air matanya mengalir deras, menuruni lereng pipinya.
“O, iya, ya, ya...” Dewi Manik tertawa. “Aku tahu, biasanya muda mudi memang malu-malu
kucing!”
Sama sekali Dewi Manik tidak dapat menduga, apa yang sebenarnya terjadi atas diri muridnya. Memang, wanita itu berusia sudah lebih dari dua kali usia manusia.
Akan tetapi selama ini ia belum pernah mengalami apa yang disebut sebagai mengandung. Apalagi mengandung akibat perbuatan manusia secara biadab dan keji seperti yang dialami oleh Cunduk Puteri. Mengandung benih manusia buah dari perkosaan, sama dengan mengandung bayi calon haram jadah dan terkutuk. Bukan saja orang lain akan mengutuki kehadiran bayi itu, bahkan Cunduk Puteri sendiri agaknya tidak menghendaki pembuatan bayi itu makin besar...
“Manik, apakah kau sudah menemukan orang yang bakal kau serahi pusaka leluhur Mataram itu?” Tanya Turonggo Benawi kemudian.
“Tentu! Dialah muridku! Dia cukup syarat! Orangnya sangat cantik, adatnya baik, berperibadi tinggi, dan berilmu tinggi pula. Kau ingin tahu, anat siapa dia, Benawi?”
“Ya, coba katakanlah Manik, anak siapakah dia, biar hatiku lega.”
“Mbah Pucung! Nah, apakah belum setimpal nama itu dijajarkan dengan nama Kiai Tampar Angin! Aku justeru ragu-ragu apakah pemuda nglokro seperti muridmu yang masih muda suka pakai tambal-tambalan itu dapat melindungi isterinya atau tidak... hihihik!”
Memang aneh kedua manusia sakti itu. Aneh sifat-sifatnya, sepak terjangnya, juga jalan pikirannya. Mereka tanpa bersepakat lebih dulu, seakan-akan mereka telah menghitung-hitung mengenai perjodohan antara murid-murid mereka.
Yang jadi gugup dan gopoh adalah justeru murid-murid mereka itu. Pepriman telah duduk merunduk, dengan hati kecewa. Sedangkan Cunduk Puteri bingung, putus asa, dan dendam. Dengan pertemuannya dengan pemuda yang dikaguminya ini, menimbulkan dendamnya kepada manusia yang telah menodainya semakin besar. Di lain pihak, juga rasa rendah dirinya makin besar mengingat akan noda besar yang melaknat dirinya.
“Guru, kapankah murid boleh berangkat menghajar sekalian pengacau negeri?” Kata Cunduk
Puteri dengan suara gemetaran.
“Nah, kau dengar Benawi?” kata Dewi Manik seraya tersenyum bangga. “Begitu hebat darah kepahlawanan mengalir ditubuhnya. Dipikirkan jodohnya, malahan dia sendiri memikirkan perang. Hahaha...”
Turonggo Benawi manggut-manggut.
“Siapa orangnya tidak mengenal nama Mbah Pucung? Sekarang, selagi mereka belum jauh, kau boleh mengikutinya. Menurut perhitunganku, karena paguyuban Banjardawa telah mengundang banyak orang-orang berkepandaian tinggi untuk melawan gerakan pejuang, tentulah ia tidak lupa mengundang jenderal Kompeni dari Semarang. Itulah sebabnya aku menunggu kau sendiri yang langsung turun tangan...”.
“Ah, kau terlalu memuji, Benawi. Kulihat muridmu itu telah menguasai seluruh ilmu Nusa reca sakti ajaranmu. Jangankan Paguyuban Banjardawa atau tetek-bengek lainnya sedang aku sendiri belum tentu dapat mengalahkannya!”
“Kau masih selincah dulu. Manik, membuatku rindu dengan sinar matahari. Kau masih suka merendah-rendah diri, dan geguyon. Masakah bocah rombeng seperti itu berani berpikir tentang menandingi dirimu. Percayalah, Manik. Selagi aku masih dapat berdoa dan menunggu, aku akan melakukannya disini!”.
Demikian mustajabnya kata-kata Turonggo Benawi ini.
Dewi Manik tampak tersenyum. Lalu dengan mesra dan lembut dirangkulnya leher Turonggo Benawi untuk kemudian diusap-usap pelupuk matanya yang lolong. Setelah itu, wanita bermata biru itu berbisik-bisik dengan suara yang sendat.
Turonggo Benawi tampak seperti hendak tertawa, tetapi juga seperti mau menangis. Sejenak kemudin terdengar suaranya yang berat :
“Muridku. Jangan kau mengecewakan bibi gurumu, ya! Nah, berangkatlah...”
Sabda Turonggo Benawi pertapa sakti jurang raksasa itu, ibarat sabda sang raja. Dan hanya membutuhkan waktu beberapa tarikan napas saja, maka Dewi Manik, Cunduk Puteri, Pepriman dan Sogaklenting telah berloncatan menghilang, kedalam lebatnya hutan lembah Pegat-sih, meninggalkan doa dan puja-puji buat keselamatan dan kejayaan mereka.
oooOooo
SEBAGAI juga Dewi Manik bersama murid dan pengiringnya melakukan penguntitan atas diri orang-orang Paguyuban Banjardawa, maka diluar alun-alun kadipaten Pemalang tampak seorang penggawa muda sedang membuntuti perjalanan seseorang yang baru saja keluar dari Pendopo kadipaten.
Penggawa Kadipaten muda itu adalah seorang tokoh yang tidak asing lagi, yakni Kebo Sulung adanya. Sedangkan orang yang dibuntuti olehnya. adalah seorang bintara berpangkat mantri, dalam keprajuritan sandi kadipaten.
Perajurit sandi (petugas reserse atau intel?) itu sejak pagi dipanggil menghadap oleh adipati di pendopo. Dan setelah mengadakan sebuah rembungan yang agaknya sangat rahasia maka perajurit itu bergegas meninggalkan Kadipaten deagan cepat.
Tiba diluar kadipaten, maka perajurit itu lantas mencemplak kudanya, langsung binatang tunggang itu meluncur kearah timur.
Kira-kira jarak sepemanah jauhnya ketika perajurit itu memasuki batas bebulak, maka tampaklah Kebo Sulung membedalkan kudanya keluar dari sebuah gerumbulan, untuk mengejar.
Makin lama, Kebo Sulung semakin dapat memperpendek jarak antara dia dengan perajurit itu. Hal ini dapatlah dimaklumi mengingat Kebo Sulung adalan tergolong seorang perwira tinggi di kadipaten, kuda tunggangannyapun kuda pilihan, Lagi pula, agaknya perajurit itu sendiri agak sengaja tidak membalapkan kudanya.
Matahari sedang tergelincir dari pusat langit. Dan udara yang sangat terik, membuat suasana pesawahan jadi tampak berkabut menyilaukan.
Ketika jarak dengan kuda didepannya sudah tinggal kira-kira tiga puluhan langkah, maka Kebo Sulung telah melontarkan tali kedepan sekuat tenaga.
Tali itu adalah seutas tali kecil berwarna hitam yang terbuat dari orot-orot harimau kumbang.
Tentu saja kecuali ulet dan tajam, juga dapat lontarkan tanpa menerbitkan suara.
Tali terus meluncur, seakan mempunyai mata, bergerak sangat cepat kedepan, dan langsung menyambar leher perajurit berkuda yang ada didepan.
Perajurit itu tampaknya tidak menyadari adanya bahaya. Dengan tenang ia mengeprak kudanya, secepat biasa, tidak dipercepat ataupun diperlambat. Agaknya sebentar lagi, leher perajurit itu akan terjerat tali hitam, untuk kemudian kutung dan kepalanya menggelinding ketanah.
Akan tetapi sungguh diluar dugaan, begitu tali melibat kearah lehernya, tahu-tahu perajurit itu telah merebahkan tubuhnya kebelakang, demi tali itu telah menyambar lewat, dengan kecepatan yang susah diikuti pandangan mata, prajurit itu telah kembali duduk dipunggung kuda seperti semula.
“Hei, Bhre Yudha! Brenti!” Seru Kebo Sulung dengan nada gusar.
Dan perajurit itu tanpa menunjukkan tanda-tanda terkejut, telah membalikkan tubuhnya, dengan kuda masih tetap berdiri seperti tadi, berkata sambil tertawa :
“Kiranya Den bagus Kebo Sulung kukira siapa main-main dihari panas begini”.
Perajurit itu, usianya kira-kira tidak kurang dari lima puluh tahun. Tubuhnya kekar, dan wajahnya kukuh, melukiskan ketangguhan seorang perajurit yang gagah.
Berkumis dan berjenggot, bahkan bulu-bulu cambang bauknya juga tumbuh dengan terawat.
“Hendak kemana kau?” Entah bagaimana alasannya, Kebo Sulung telah secara langsung
bersikap sangat kasar terhadap perajurit itu.
“Kekademangan Ampelgading” jawab perajurit itu dengan tenang.
“Ada perlu apa?” Desak Kebo Sulung lebih lanjut.
Perajurit itu mengerutkan kening, menunjukkan sikap tidak senang. Lalu katanya :
“Sejak kapankah seorang perajurit sandi harus memberikan laporan kepada orang lain kecuali gusti adipati?”.
“Sekarang! Aturanku! Serahkan bungkusan surat yang berada dipunggungmu itu kepadaku!”
Kata Kebo Sulung dengan tandas.
Tetapi perajurit sandi itu cuma tertawa lebar.
“Den Bagus Kebo Sulung. Apakah adi sadar, bahwa kata-katamu tadi sebenarnya telah berarti menentang kekuasaan sang Adipati?”
Kebo Sulung tampak terkejut dan wajahnya menjadi pucat. Akan tetapi dasarnya memang penggawa muda itu adalah seorang yang berwatak sombong, maka sebaliknya dari mencabut kata- katanya malahan berpikir untuk membunuh perajurit sandi yang banyak mulut itu.
Katanya : “Mau serahkan atau tidak?”.
Perajurit itu teringat akan sumpah seorang perajurit sandi. Menyerahkan sebuah rahasia apapun kepada orang yang tidak seharusnya, maka dia harus dihukum mati!
Teringat akan ini, maka perajurit itu memperdengarkan suara tawanya sambil berkata mengejek :
“Pantaslah begini kejadiannya. Sudah tiga orang telik sandi kadipaten yang hilang, tak ketahuan rimbanya seperti ditelan bumi, kiranya adalah perbuatanmu hai orang kromodongso (orang kebanyakan) yang sombong! Untuk siapakah kau bekerja?”.
Kali ini perajurit itu bukannya menghindar pergi akan tetapi sebaliknya melangkah maju, dengan angkuhnya menghampiri Kebo Sulung.
“Bhre Yudha! Kau berani menghina Kebo Sulung!”
“Untuk sang Hotipati, kepalakupun aku sanggup menjualnya!” Jawab perajurit sandi yang
bernama Bhre Yudha itu.
Dan tanpa memberi kesempatan lagi, Kebo Sulung telah melancarkan tendangan kilat, menggempur kearah kempungan orang.
Tetapi Bhre Yudha telah bersiap sedia. Sedikit mengegoskan pinggangnya, maka tendangan Kebo Sulung mengenai tempat kosong.
Dan sebelum penyerang ini sempat menarik kembali kakinya, Bhre Yudha mendahului dengan getokan punggung kepalan tangannya kearah ujung kaki lawan.
“Bagus!” Kebo Sulung berseru memuji sambil kaget. Jurus tendangannya tadi adalah jurus keempat dari perguruan Guha Gempol yang bernama ‘membuat tangga kelangit pertama’. Tendangan ini memang hanya gerakan permulaan belaka, merupakan serangan bercabang yang banyak sekali pecahannya. Namun Bhre Yudha telah memunahkan jurus itu sekaligus dengan jurus pukulan yang kelima pada ilmu silat Guha Gempol, yaitu ‘batu gunung menimpa tangga’.
Pukulan Bhre Yudha sendiripun memiliki banyak pecahan dan gerakan-gerakan cabang, yang merupakan jurus penutup atau pemunah dari setiap cabang gerakan jurus keempat.
Dengan mudah, Kebo Sulung memutar sebelah kakinya yang tertegak sebagai poros, maka kakinya yang menendang tadi dapat diselamatkan dari pukulan Bhre Yudha.
Selanjutnya Kebo Sulung telah melancarkan serangan susulan berupa tendangan bersusun maupun permainan menangkap dan menghantam dari kedua tangannya yang mahir.
Nyata kemudian, bahwa dalam hal tenaga batin, Bhre Yudha memiliki keunggulan.
Sebaliknya dalam hal ketangkasan dan kegesitan ia harus mengakui keunggulan lawan.
Kebo Sulung adalah murid terkasih, bahkan juga kekasih Dewi Cundrik si ratu istana Telagasona itu. Hampir seluruh ilmu kepandaian wanita sakti itu telah dapat diwarisinya. Cuma sayangnya, memang kalau mengingat kecerdasan penggawa muda itu, agaknya dia kurang hebat. Sehingga masih ada beberapa ilmu pukulan yang dahsyat dari gurunya tidak dapat dikuasai dengan baik.
Sebaliknya perajurit yang bernama Bhre Yudha itu rupanya banyak memiliki beberapa ilmu silat campuran, yang tidak ketahuan dari mana sumbernya. Kadang-kadang ia bergerak seperti orang-orang Guha Gempol kadang-kadang seperti anak murid Blimbingwuluh, bahkan kadang- kadang bersilat dengan cara yang aneh seperti bukan gerak silat sama sekali. Namun begitu, tidaklah mudah Kebo Sulung ingin memperoleh kemenangan.
Berkali-kali terjadi benturan adu tenaga. Dan nyata sekali bahwa Bhre Yudha dapat mengimbangi keuletan lawannya. Ketika dengan gerakan kilat Kebo Sulung melancarkan serangan bersusun yang disebut ‘Tiga bayangan membentuk gerhana’, maka sepasang kaki penggawa muda itu seakan telah berobah menjadi tiga pasang.
Dan Bhre Yudha kerepotan untuk menghindarkaa diri. Dengan nekad, digempurnya tendangan lawan dengan kedua tangan yang diangkat didepan kepalanya. Benturan keras terjadi. Kebo Sulung tergentak mundur, sedangkan Bhre Yudha hanya gempur kuda-kudanya.
Sebenarnya tenaga dalam batin Kebo Sulung tidak serendah itu. Akan tetapi akhir-akhir ini penggawa muda yang sombong ini terlalu puas dengan kebiasaannya mengumbar hawa nafsu.
Sejak kematian Nyi Tratih ibu tirinya yang merupakan pemuas hawa nafsunya setiap kali penggawa muda ini mengalami hasrat yang meluap-luap, maka kini Kebo Sulung lantas mencari pemuasan itu ditempat-tempat sembarangan.
Di mana terdapat wanita-wanita yang dapat disewa dengan uang, atau dimana ada wanita yang dapat direnggut dari rumah tinggalnya, maka disitulah Keho Sulung melampiaskan nafsunya secara sewenang-wenang.
Adalah sudah menjadi pantangan, bahwa seseorang yang hendak memelihara tenaga batiniahnya, tentu dia tidak boleh memboroskan tenaga secara sia-sia. Perbuatan Kebo Sulung menurutkan nafsu birahinya bersama perempuan-perempuan sekian banyaknya itu, mengurangi bobot tenaga batin dalam tubuh, juga melembikkan jalannya penghimpunan indera hening.
Kematian Nyi Tratih dan ayahnya, Ki Jagabaya Karangsari, telah mengakibatkan kerusakan jiwa pada penggawa muda itu semakin parah. Terutama sekali dengan kekalahan yang pernah dialaminya, ketika senjata pancaloka pernah dirampas oleh seorang pemuda tampan tak dikenal.
Kini tindakan Kebo Sulung ini hanyalah merupakan pelampiasan hati dan perasaan yang mendendam belaka. Dan niatnya untuk Bhre Yudha inipun makin membesar.
Dengan serta merta, maka penggawa muda itu telah memegang sebuah senjata ditangannya, yang berbentuk sebuah tempurung baja dimana dipinggirnya tergantung beberapa gelang rantai. Senjata inilah ynng dikenal orang sebagai Batok Bumi! Dengan senjata ini, agaknya Kebo Sulung seakan tumbuh sayap.
Dan kegarangan yang timbul karena kesombongan dan dendam kesumat, berubah menjadi kebuasan, buas seperti seekor singa.
Bhre Yudha sendiri sangat terkejut melihat lawannya telah bersenjata. Ia menyadari bahwa senjata Batok Bumi milik Kebo Sulung adalah senjata yang telah pernah menyebabkan kematian Kaki Gagak Rawe raja penyamun di hutan Bengkelung.
Dan belum sempat Bhre Yudha berpikir terlalu banyak, Batok Bumi telah berdesing nyaring.
Bhre Yudha tersentak kaget. Terasa ada kilatan cahaya menyentuh sebelah pipinya. Ketika ia meraba tempat itu, kiranya darah yang hangat mengalir turun.
“Ha.. ha.. ha Yudha, masih tidak mau membuka mulut?” Kebo Sulung tertawa mengejek.
Tangannya masih terus menggerakkan senjatanya, mengancam.
Bhre Yudha tak mau menjawab. Ia tahu benar, bagaimana ia harus bertindak. Sebagai seoraug bintara perajurit sandi, masakah takut mati, dan menjual rahasia kadipaten dengan cara begitu sia- sia.
Kebo Sulung melancarkan serangan pula. Kali ini senjatanya diputar diatas kepala, untuk selanjutnya, dengan gerakan sangat cepat menyabet kebawah dengan keras.
Rantai-rantai gelang pada Batok Bumi itu berdesing dan berdering-dering. Tajamnya tidak kalah dengan pedang apabila mengenai kaki Bhre Yudha, agaknya bintara kadipaten itu akan cacad seumur hidupnya.
Akan tetapi Bhre Yudha tidak sudi menyerah. Dengan beberapa kali lompatan ia menghindari sabetan senjata lawan, untuk selanjutuya membalas menyerang dengan tendangan-tendangan berantai.
Namun perlawanan itu dapat berlangsung hanya untuk beberapa lama, dan tentu tidak merubah kedudukan Bhre Yudha berada pada pihak yang terdesak.
Kebo Sulung dengan Batok Buminya seakan-akan telah berubah menjadi satu, merupakan bayangan yang menyambar-nyambar tidak mengenal ampun.
Berkali-kali Bhre Yudha terkena senjata lawan, dan lengan kaki dan pundaknya mengucurkan darah.
Tampaknya bintara kadipaten itu sebentar lagi akan segera dapat dirobohkan, walaupun tampak benar bahwa ia telah menguras seluruh tenaganya untuk memberikan perlawanan hingga detik-detik yang terakhir.
“Yudha! Edan! Lihat, Batok Bumiku dapat menabas kutung lehermu!” Teriak Kebo Sulung gusar dan penasaran.
Bhre Yudha cuma mendengus. Kematian bagi seorang perajurit adalah merupakan tanda pangkat yang terakhir, mengapa harus takut mati? Sebaliknya dari takut, Bhre Yudha bahkan semakin bersemangat.
Pukulan dan tendangan yang dilancarkannya semakin menghebat. Disamping itu juga darah semakin banyak mengalir dari luka-lukanya.
Kebo Sulung telah kehabisan akal untuk memaksanya. Segera terlihat ia benar-benar hendak turun tangan membunuhnya.
Batok Bumi diangkatnya tinggi memutar. Rantai-rantai gelang berpencaran, mencari sasaran- sasaran maut, diseluruh tubuh Bhre Yudha. Bhre Yudha menghindar dengan sebuah lompatan panjang kebelakang, akan tetapi sabetan rantai gelang itu seakan memiliki mata, dan dapat memburu dengan tepat.
Ketika perajurit sandi itu baru saja hendak mendarat keatas tanah kembali, maka tiga batang rantai gelang, membabat dengan sinar kilatnya yang berkilauan.
Cranngg! Ketika Bhre Yudha sudah berada diambang kematiannya, mendadak sekali, dengan tidak ketahuan dari mana datangnya, selembar sinar ungu yang melengkung seperti bianglala telah datang menyilang. Bentrokan senjata nyaring.
Dua batang rantai pada senjata Batok Bumi itu, kutung dan terlempar bergemerincing, sedang disamping perajurit sandi kadipaten itu kini telah bertambah satu orang.
Seorang kakek tinggi gagah, bertubuh kekar, berkumis dan berjenggot dan mengenakan daster warna gagak, sedang menyarungkan goloknya. Dengan sikap acuh tak acuh, seakan-akan tidak melihat kehadiran Kebo Sulung ditempat itu, kakek berdaster hitam itu menegur Bhre Yudha :
Tak perlu ketempatku ataupun Blimbingwuluh kalau kau ingin mendapat bagian juga, boleh
kau pergi kehutan Banjardawa! Hahaha...”
Bhre Yudha sangat hormat kepada kakek ini, sebaliknya Kebo Sulung dengan sikap angkuh yang dipaksakan membentak garang.
“Hmm... rupanya Loningpun telah menjadi pemberontak!”
Kakek yang mengenakan daster hitam itu memang, tidak lain adalah Ki Cucut Kawung guru sakti perguruan Loning.
Sejak pertarungannya diselat Pencuci Dosa memukul mundur Paguyuban Banjardawa, guru sakti itu bergegas-gegas pulang keperguruan karena mendengar berita tentang sepak terjang Windupati yang sangat memalukan, dan dapat menghancurkan nama baik perguruan Loning.
Akan tetapi kedatangan guru itu mendapatkan suatu perubahan besar yang terjadi pada perguruannya. Windupati tidak berada ditempat sedangkan keadaan perguruan seakan sebuah negeri yang diamuk burung garuda.
Mayat-mayat murid Loning, tampak berserakan di sana sini. Pondok-pondok perguruan hancur, bahkan kamar semedhi Ki Cucut Kawung sendiri morak-marik seperti bekas diobrak-abrik orang.
Akhirnya Ki Cucut Kawung dapat menjumpai beberapa orang muridnya yang masih selamat, yang melaporkan bahwa diperguruan itu baru saja kedatangan seorang musuh.
Musuh itu justeru adalah murid kesayangan Ki Cucut Kawung sendiri, yaitu Dewi Yoni, puteri Demang Moga. Dengan berkeras Dewi Yoni bermaksud untuk mempengaruhi perguruan agar mau bekerja sama dengan kompeni untuk merebut kadipaten Pemalang. Akan tetapi, sekalian anak murid Loning yang lain yang menentangnya, hingga terjadi huru-hara.
Dewi Yoni dengan dibantu oleh ayahnya Ki Gede Ayom memukul hancur perlawanan anak murid Loning terutama adalah karena puteri demang itu memiliki senjata Pancaloka ditangannya.
Hal ini semua membuat Ki Cucut Kawung yang pada dasarnya berwatak berangasan menjadi kalap, murka bukan buatan! Segera ia melakukan pengejaran kekademangan Moga.
Agaknya Ki Gede Ayom bersama puterinya mencium bahaya itu. Dan mereka telah lebih dahulu menyingkir, dan menyembunyikan diri kekadipaten! Itulah sebabnya maka guru Loning itu lantas melakukan pengejaran kearah kadipaten. Dan diluar kadipaten, ia menemukan Bhre Yudha yang sedang terancam bahaya maut.
Sebagai diketahui bahwa Bhre Yudha adalah seorang perajurit kadipaten yang setia, dan merupakan seorang perajurit yang setia Mataram hingga ketulang sumsumnya. Telah sejak lama, terjalin hubungan baik antara perajurit itu dengan beberapa tokoh yang setia pada kerajaan seperti Ki Cucut Kawung, Mbah Pucung maupun Ki Ageng Tampar Angin.
Maka itu, begitu mendengar teguran Ki Cucut Kawung, Bhre Yudha segera mengetahui bahwa sesuatu yang hebat pasti bakal terjadi di hutan Banjardawa.
Oleh karena itu maka bintara sandi itupun segera menghormat, untuk kemudian mencemplak kudanya berlalu dengan cepat.
Seperginya perajurit kadipaten itulah, baru Ki Cucut Kawung mengarahkan pandangan matanya kearah Kebo Sulung. Sambil tertawa berkakakan, kakek sakti itu berkata :
“Sudah terlambat bagimu Joko Sulung untuk mimpi tentang menjadi seorang pengagung kadipaten. Kalau tidak salah perhitunganku, saat ini Paguyuban Banjardawa berada pada akhir riwayatnya. Adi Tampar Angin dan kakang Pucung maupun sepasang pendekar Kenistan sedang bersiap-siap mengadakan pembasmian di selat Pencuci Dosa. Sedangkan surat undangan kalian terhadap kompeni di Semarang tidak mendapat sambutan sama sekali, kasihan. Terlebih-lebih. Kanjeng adipati sendiri telah mengetahui adanya gerakan pemberontakanmu?” Mendadak pada akhir kalimatnya Ki Cucut Kawung membentak dengan suaranya yang mengguntur seperti halilintar membelah angkasa. “Bocah Biadab? Menyerah!”
Seumur hidup Joko Sulung atau Kebo Sulung telah mendengar maha guru Loning adalah seorang guru sakti yang sangat termasyur ilmu goloknya yang tiada tandingan. Dan kenyataan kali ini sekali kakek itu menggerakkan goloknya, senjata Batok Bumi ditangan penggawa muda itu telah dibikin kutung tiga batang rantainya. Walaupun Kebo Sulung seorang pemuda bernyali singa sekalipun, kali ini seketika telah pecah semangatnya.
Ketika Ki Cucut Kawung melancarkan bentaknya yang dilembari dengan pengerahan aji ‘Gelap Ngampar’ ibarat dapat meruntuhkan gunung, maka jantung Kebo Sulung seakan-akan diguncang-guncang, dan kedua lututnya gemetaran.
Masih untung, Kebo Sulung mempunyai dasar watak yang sombong, sehingga niatnya untuk melarikan diri alias kabur diurungkan sendiri. Lalu dengan suara dimantap-mantapkan ia menjawab.
“Orang mengenalku, sebagai Kebo Sulung. Kebo Sulung adalah abdi kinasih adipati! Ki
Cucut Kawung berani menghina diriku, sekarang juga ulurkan kedua tanganmu untuk kurangket!”
“Bagus!” Dengus Ki Cucut Kawung. “Memalukan sekali andaikata aku harus melawanmu dengan kedua tanganku! Nah, kau mau ikat, ikatlah! Ini tanganku”.
Seraya berkata demikian, Ki Cucut Kawung menyodorkan kedua tangannya kedepan, siap untuk diborgol Kebo Sulung terkejut dan meragu.
Tidak mungkin itu hanya tipu muslihat belaka? Kebo Sulung belum bergerak, Ki Cucut Kawung tertawa penuh ejekan.
“Pemuda yang patut dikasihani setelah perbuatanmu yang terkutuk dengan gurumu, kau ulangi dengan ibu tirimu. Setelah itu kau melancarkan fitnah keji! Dan sekarang, kau hendak melakukan kraman terhadap kerajaan dengan bantuan manusia-manusia bule itu?”
“Kasihan! Sudah tak ada tempatmu diatas bumi pertiwi ini, Sulung! Cepat kau menyerang, kalau tidak aku takkan membuang-buang waktu lagi!”
“Tua bangka sombong!” Teriak Kebo Sulung seraya menubruk kedepan, menghantamkan
senjatanya kearah dada kakek itu.
Demikian cepatnya Batok Bumi itu meluncur kedepan, seakan sebentar lagi akan memecahkan dada Ki Cucut Kawung.
Guru Loning itu tersentak, kaget, akan tetapi penuh kewaspadaan.
Diam-diam ia memuji juga, kegesitan gerak penggawa itu. Namun, Ki Cucut Kawung memang bukanlah lawan Kebo Sulung. Seorang kakek sakti dengan kesempurnaan ilmu kanuragan itu, takkan dapat dibikin kehabisan akal hanya oleh seorang pemuda yang baru gede kemarin.
Dengan gerakan melentur kebelakang seperti pimping ditebah angin atau dalam perguruan Loning disebut ‘Glagah katebah maruta’ tubuh kakek itu melentur kebelakang menghindari tubrukan senjata Batok Bumi.
Tidak lebih dari jarak satu dim, antara dada kakek itu dengan senjata Kebo Sulung, akan tetapi penggawa muda itu tidak dapat melukainya. Bahkan kini ia terjerumus kedepan, terbawa oleh tenaga serangannya sendiri.
Dan sebelum penggawa muda itu sadar apa yang akan terjadi, tahu-tahu kaki Ki Cucut Kawung telah menyepak keras.
Tubuh Kebo Sulung melayang terlempar lebih tiga tombak jauh.
“Ha... ha... ha... aku takkan mempergunakan kedua tanganku, bocah! Jangan kuatir aku tua
bangka tidak akan mengingkari kata-kataku!” Kata Cucut Kawung seraya tertawa bangkit.
Tendangan kakek sakti itu tepat mengenai lambung kanan Kebo Sulung, dan pemuda itu kini merasakan perutnya yang teraduk-aduk, seolah-olah isinya telah hancur.
Dengan susah payah Kebo Sulung merayap bangkit. Keringat sebesar biji jagung berbutiran didahi dan keningnya. Pemuda itu kini berpikir kembali untuk mencari jalan untuk meloloskan diri. Akan tetapi Ki Cucut Kawung seakan dapat menebak jitu jalan pikiran pemuda sambil melompat maju berkata lantang :
“Percuma Sulung! Berlari mundur, dibelakangmu ada Ki Patih Rotokusumo dari Kadipaten.
Apakah kau sanggup menghadapinya? Hahaha ”
Dan benar saja, ketika Kebo Sulung menoleh kebelakang, terlihatlah olehnya seorang pengagung kadipaten berdiri dengan sikap angker, sepasang tangannya bersedekap didada, akan tetapi sepasang matanya yang tajam berapi seakan dapat menghanguskan dada Kebo Sulung.
Terhadap pengagung kadipaten yang itu, Kebo Sulung justeru paling jeri. Patih Rotokusumo, adalah seorang pembesar kadipaten, orang kedua setelah Kanjeng adipati yang sikapnya keras dan ilmu kesaktiannya sukar diukur tingginya. Dalam setiap kekalutan kadipaten, tidak pernah sang Adipati turun tangan sendiri, akan tetapi adalah pembesar berpangkat patih itulah yang turun tangan dengan tangan besinya.
Walaupun Kebo Sulung memiliki keangkuhan dan kesombongan, kali ini ia tampak gugup dan panik, putus asa dan ketakutan.
Saat ini, Kebo Sulung benar-benar seperti celeng kepergok. Timbul tekadnya untuk mengadu jiwa, atau setidak-tidaknya mencari kematian dengan cara yang lebih baik dari pada dipendam dalam penjara. Terbayang di matanya, siksa kamar tikus dan anjing! Dengan tubuh menggigil, dan mata beringas seperti serigala Kebo Sulung menerjang kedepan, menghantamkan senjata sekuat- kuatnya kearah Ki Cucut Kawung.
“Ki Patih. Apakah demang Moga ayah dan anak itu telah dapat kau jinakkan?” Tanya Ki
Cucut Kawung dengan sikapnya yang penuh hormat akan tetapi wajar, tidak berlebihan.
Patih Rorokusumo mendengus.
Pada saat itu, serangan Kebo Sulung sedang meluncur datang, tetapi Ki Cucut Kawung justeru sedang mengobrol seperti orang tidak tahu urusan. Dan tampaknya, sebagai juga tadi terjangan Batok Bumi tampaknya akan segera mengenai sasaran.
Namun, Patih Rotokusumo dalam keterkejutannya telah menggerakan dodotnya. Dodot meluncur secepat anak panah, tahu-tahu telah melibat leher Kebo Sulung, mencekik dengan sangat keras. Dan sebelum Batok Bumi itu sempat menyentuh kulit Cucut Kawung, maka penggawa muda kadipaten itu telah terbanting dengan keras, tanpa sempat berteriak.
“Kau masih suka main-main, Kaki”, tegur Ki Patih Rotokusumo setengah mendongkol
setengah tertawa.
Ki Cucut Kawung tertawa.
“Didepan seorang pengagung sepertimu mana aku berani jual lagak? Ternyata kau patih yang lebih tepat mempergunakan nama Dodot Kawung, bukan aku!” Sahut Cucut Kawung masih juga tertawa.
Ki Patih Rotokusumo menghela napas. Lalu dengan wajah sungguh-sungguh, berkata :
“Jangan terlalu banyak geguyon Kaki Cucut Kawung. Ayah dan anak demang Moga itu telah meloloskan diri. Dan titah Sang Adipati, harap kalian para pini sepuh pesisir utara berhati-hati. Si bule dari Semarangtelah mendatangkan bantuan dari Betawie, yang temtu akan melintasi kadipaten kita. Besar sekali dugaan Sang Adipati, bahwa tindakan si bule itu disebut sambil berdiang nasi masak. Mereka bermaksud melakukan penyerbuan ke Bangil, pusat kekuasaan Kanjeng Gusti Untung Suropati, sekaligus juga meratakan segala gegumuk sepanjang perjalanan...”.
Ki Cucut Kawung terdiam. Kakek sakti ini insyaf babwa dalam waktu tidak lama, tentu barisan kompeni akan datang menyerang. Sedangkan di wewengkon kadipaten sendiri masih terdapat satu golongan besar yang akan membantu, yaitu Paguyuban Banjardawa dengan para sekutunya. Apabila hal ini sampai terjadi maka berarti kehancuran bagi kadipaten Pemalang, termasuk juga ancaman besar bagi keagungan kekuasaan Bangil.
Sifat kepahlawanan kakek sakti itu berkobar, seakan minyak disentuh api. Dan dengan serta merta, roman mukanya berubah garang.
Lalu dengan sikap angkuhnya yang asli, guru Loning itu berseru :
“Ki Patih, sebelum api besar datang, api kecil harus dipadamkan lebih dulu! Nah, urusanmu ini, bocah jahanam ini! Aku... hahaha”.
Belum habis bicara kakek itu, maka ia telah berlompatan pergi. Sebentar saja bayangannya telah tampak sebagai sebuah titik hitam yang melenting-lenting diatas bebulak.
Ki Patih Rotokusumo menggeleng kepala, kagum dan mengerti. Dalam banyak hal, mereka para kaum tetua, cukup dapat saling memahami. Ki Rotokusumo mengerti bahwa Ki Cucut Kawung pasti sedang pergi untuk melakukan penghancuran terhadap Paguyuban Banjardawa. Api kecil yang berada didaerab kadipaten ini memang harus dipadamkan lebih dulu sebelum api besar datang melanda.
Demikianlah, selanjutnya pengagung kadipaten itu lantas meeingkus Kebo Sulung untuk dibawa kekadipen guna mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sementara itu, matahari telah condong kebarat, di atas pinggang gunung. Burung-burung laut berseru-seru kembali kesarang, dan angin laut yang segar telah bertukar dengan angin darat yang dingin.
oooOooo
BENAR-BENAR tusuk konde ‘lintang kemukus’ mempunyai perbawa yang besar dan aneh bagi Paguyuban Banjardawa. Sejak benda pusaka itu berada di tangan Dewi Cundrik, maka tidak satu orangpun diantara para undangan paguyuban yang mau berjauhan dari ratu Telagasona itu.
Mereka secara diam-diam bermaksud untuk memperebutkan benda itu, walaupun sebenarnya mereka tidak tahu, untuk apa benda kecil semacam itu. Mereka hanya tahu bahwa pemilik tusuk konde pusaka itu adalah orang yang berhak mewarisi sepasang pusaka Nyai Tanjung dan Kiai Tanjung.
Begitulah mereka telah berubah menjadi sekawan ajag yang saling mengintai sesamanya, mengintai sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu kegunaannya.
Nafsu serakah ingin menang sendiri, ingin pinunjul sendiri telah membayang pada muka mereka masing-masing. Mereka yang semula berkumpul untuk suatu maksud, kini telah dibikin terpecah belah oleh sesuatu yang tidak mereka sadari, yang justeru disengaja oleh Turonggo Benawi. Dan sama sekali tidak terpikir oleh mereka, bahwa justeru kini mereka telah berada dalam perangkap pertapa jurang raksasa yang lihay itu.
Mereka belum tiba dihutan Banjardawa. Akan tetapi Windupati yang merasa bahwa pihaknya takkan mampu menghadapi satu paguyuban Banjardawa segera bermaksud untuk bertindak.
Dengan sekali mengerdipkan mata kearah Wigendro, maka Windupati telah melompat kehadapan Dewi Cundrik sambil berseru menghadang :
“Tunggu! Kami orang Loning adalah orang yang biasa bicara dengan ketajaman golok...”
Yang lain, berlompatan ketepi sambil mendelik kaget kearah Windupati. Sedang Bala yang memangnya belum puas bertarung melawan guru Loning itu, memotong bicara sambil bertindak menghampiri.
“Mau apa ha? Dengan tusuk konde berada ditangan Dewi Cundrik, berarti benda itu aman berada pada pihak Paguyuban Banjardawa. Kau bukan orang Paguyuban, kalau hendak pergi siapa sudi melarangmu?”
“Segala cantrik busuk, ikut campur omong!” Windupati mendengus gusar. “Kita tentukan dulu, siapa yang berhak memiliki benda itu! Apakah kau kira Dewi Cundrik tidak akan menyerakahi benda itu seorang diri?”
Ucapan Windupati yang terakhir ini menimbulkan kesadaran pada mereka sekalian, kecuali Ki Genikantar yang hakekatnya telah dapat membaca isi hati wanita itu.
“Betulkan kau akan menyerakahi benda itu, Cundrik?” Sri Naga Dumung menyeletuk. “Heheh. ” Catursuda tertawa sember.