Jilid X
KUKIRA, dapat dihitung banyaknya orang yang mampu menahan pukulan Kiai akan tetapi apakah Kiai sendiri tidak merasa bahwa diantara putaran batu itu terasa sambaran angin yang dingin dan panas berganti-ganti? lalu siapakah manusianya yang mampu melontarkan pukulan seperti itu.
“Kalau begitu, tentu dia muridnya!” Suara kedua menjawab, setengah meragu.
Mendengar jawaban begitu, orang pertama tadi tertawa.
“Orang kena kutuk sebagai Turonggo Benawi itu dengan cara bagaimana dapat menemukan seorang murid? Masakah ada orang yang sengaja datang menceburkan diri kedalam neraka jurang raksasa itu? Kalau aku berpendapat tetap, yang datang itu pasti si raksasa picak itu sendiri ”
Sedang kedua ini berselisih pendapat demikian, sayup-sayup dari arah yang lebih dalam lagi, terdengar merdu seorang wanita yang memotong pembicaraan :
“Kalian berdua tua bangka memang kerjanya cuma berdebat dan bertengkar belaka. Tentang siapa yang datang, apakah itu si Turonggo Benawi atau bukan, mengapa tidak pergi menangkannya? Sekarang giliran kami untuk mengaso, cepat kalian kemari. sebelum ku sabet kalian dengan selendangku. ”
Kata-kata wanita itu terdengar seakan mengomel dan mengancam, akan tetapi didalam nadanya terkandung sifat yang gembira, dan yang sesungguhnya hanya kelakar belaka.
Mendengar ucapan wanita itu, maka kedua laki-laki pembicara pertama itu tertawa terkekeh- kekeh. Untuk selanjutnya menjawab sambil kedengaran bertindak menghampiri si wanita.
“Ah, Nyai Cerewet! Kami toh cuma ingin melihat kemampuan selendangmu menangkap ‘tamu’ kita itu. Tentang giliran, giliran bekerja mana pernah kami melupakannya! Sudahlah, kalian suami isteri cari keringat. Sudah lama kalian tidak pernah mempertunjukkan permainan selendang layungmu! Cobalah kau iseng-iseng menjerat tamu kita itu dengan permainanmu yang selama ini kukagumi !”
“Ceriwis. Minggir!”
Bersamaan dengan suara bentakan merdu wanita itu, maka terdengar suara yang meledak- ledak nyaring di udara. Menyusul kemudian tampak sehelai ujung kain selendang berwarna hijau kemilau telah menyambar kearah karang dimana Pepriman sedang bergelantungan.
Kembali Pepriman terperanjat, ia tidak pernah melupakan suara merdu itu. Selama hidupaya, sejak kecil ia pernah beberapa kali mengenal wanita yang mempunyai suara begitu merdu galak akan tetapi penuh wibawa, dan ia tidak pernah melupakannya! Dialah Nyai Kenistan adanya.
Semua Pepriman hampir berseru girang memanggil wanita itu dan mengunjukan dirinya. Akan tetapi segera timbul ingatan lain dalam pikirannya, bukankah Nyai Kenistan selalu berada bersama suaminya Kiai Kenistan? Bukankah kedua pendekar baya itu merupakan sahabat baik bagi perguruan Blimbingwuluh? Walaupun selama itu hubungan kedua tokoh sakti itu dengan Kiai Teger tidaklah terlampau akrab akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar sakti, pembela kebenaran yang angkuh.
Padahal, Pepriman kini sadar, siapa dirinya kini! Bukankah Pepriman adalah Joko Bledug, murid durhaka anak tak tahu membalas guna murid mesum yang seharusnya dihukum mati.
Dengan segera Pepriman mengurungkan maksudnya untuk memperkenalkan diri. Akan tetapi serangan selendang warna hijau kemilau itu kini telah melayang datang.
Pepriman.
Pepriman mengangkat sebelah tangannya, menangkis dengan punggung tangan untuk membuat selendang hijau itu terpental. Akan tetapi sungguh diluar dugaan, selendang hijau disebut dengan nama tenar ‘selendang layung’ mendadak mulur sangat panjang. Dan sebelum tangan Pepriman berhasil mengepretnya tahu-tahu ujung selendang telah menukik kebawah secepat kilat.
Selanjutnya sebelum Pepriman sadar apa yang terjadi, tahu-tahu pinggangnya telah terangkat keudara, untuk kemudian tubuhnya tertarik kedepan dengan sangat cepatnya! Untuk selanjutnya, tak ampun lagi Pepriman jatuh berdebruk, ketika libatan selendang itu melepas pinggangnya.
“Hai, Cucut Kawung! Lihat! Dalam segebrakan selendang layungnya itu, yang memang tidak lain adalah Nyai Kenistan, berseru gembira, sambil menunjuk kearah tubuh Pepriman yang masih menengkurap dilantai jurang.
“Ah, kiranya cuma seorang jembel berantakan...” seorang laki-laki baya yang berdiri disamping Nyai Kenistan menyeletuk. Melihat tampan mukanya, dan sikapnya yang agung-agungan itu, Pepriman tak usah mengingat-ingat lagi, terang dia adalah Kiai Kenistan, suami wanita itu.
Pepriman bangkit duduk, sambil menyeka-nyeka mukanya yang berdebu. Sesaat itu, terlihat olehnya, kecuali suami isteri Kenistan, ditempat yang agak menjorok kedalam sana, pada tempat kegelapan, tampak dua orang laki-laki tua yang sedang duduk berhadapan menghadapi sesuatu. Bila ia memperhatikan, kiranya ‘Sesuatu’ itu adalah manusia pula, yang berbaring menggeletak seperti orang mati.
Dengan segera Pepriman mengenal siapa-siapa yang berada didasar jurang itu. Sepasang suami isteri itu, jelas adalah sepasang suami isteri Kenistan. Adapun dua orang laki-laki yang sedang duduk diam berhadapan disana, salah satu yang menghadap kearahnya segera dikenali oleh Pepriman. Dia adalah seorang laki-laki tua dengan alis janggut dan kumis yang memutih yang janggutnya nyaprut kedepan. Tak mungkin Pepriman melupakannya, sebab laki-laki tua itu adalah seorang calon mertuanya sendiri seorang kakek yang telah mengikat tali perbesanan dengan Kiai Teger sejak Pepriman masih anak-anak. Mbah Pucung, atau Kiai Pucung adanya.
Adapun yang seorang lagi, yang duduk membelakangi Pepriman, adalah seorang kakek tinpgi jangkung yang membiarkan rambutnya terjurai kebawah seperti Burisrawa dalam cerita pewayangan, tadi telah di sebut namanya oleh Nyai Kenistan, yaitu Ki Cucut Kawung, mahayogi perguruan Loning.
Hebat, dan aneh, keempat tokoh sakti ini secara bersamaan berkumpul ditempat yang begini asing, di dasar sebuah jurang jadi-jadian. Sedang mengapakah mereka dan siapakah ‘orang mati’ yang agaknya sedang dirawat oleh mereka itu?
Melihat berkumpulnya empat tokoh persilatan yang penting-penting dan ternama, mustahilah apabila orang yang sedang mendapatkan perawatan itu bukan tokoh yang ternama pula.
Hal ini diduga demikian oleh Alap-alap Gunung Gajah. Akan tetapi sedang ia bermaksud menanyakannya, terlihat Nyai Kenistan memandang tajam kearahnya. Lalu dengan nada suara yang dingin, berkata :
“Bocah sombong! Ada hubungan apakah dengan Turonggo Benawi, ha?” Rupanya wanita
sakti tertarik pada pinggang Pepriman. Tampak pada bagian tubuh pemuda itu..... pinggangnya.....
baju tambalan yang dipakai putus pada bagian itu. Akan tetapi, kulit si pemuda sama sekali tidak terluka. jangankan lecet berbekaspun tidak.
Tidak banyak orang yang mampu menghadapi keuletan dan keganasan selendang layung wanita itu. Batu-batu karang pun dapat hancur terkena pukulannya, akan tetapi kulit pinggang si Pepriman yang terlihat olehnya justeru tidak kurang suatu apa. Hal inilah kiranya yang membuat wanita itu menduga bahwa si pemuda sengaja pamer kesaktian dihadapannya.
Harap dimaafkan nyai, dan sekalian para sesepuh yang hadir ditempat ini. Aku sudah secara lancang mendatangi tempat ini, akan tetapi bukanlah maksudku hendak kurang ajar. Aku adalah muridd Kiai Turonggo Benawi, namaku Pepriman. Dan saat ini aku sedang dalam perjalananku ke “
Berbicara sampai disini, terpaksa Pepriman menghentikan kalimatnya, sebab kecuali alasan tidak masuk akal juga Nyai Kenistan telah membentak gusar.
“Ngaco belo! Mana ada Turonggo Benawi mempunyai murid? Sebutkan terus terang, apa maksudmu mengintai kami? Apakah ingin mencoba-coba kesaktian selendang layung ”
“Tunggu Nyai!” Kiai Kenistan mencegat bicara isterinya dengan suara hati-hati. Mungkin dia benar bukan murid Turonggo Benawi, hanya mengaku-aku belaka. Akan tetapi kita sedang membutuhkan tenaga orang yang memiliki ilmu pukulan sakti jangkar bumi! Dengan adanya tambahan bocah jembel kotor seperti itu agaknya tugas kita akan segera dapat diselesaikan.”
“Tidak perduli! Memangnya Turonggo Benawi manusia macam apa, berani jembel kotor itu mengaku-aku sebagai muridnya? Apakah kakang Kiai tidak ingat akan sumpah pertapa raksasa itu bahwa dia takkan mencari murid, dan takkan memberikan ilmu sakti jangkar bumi kepada siapapun?” Nyai Kenistan adatnya agak berangasan, dan agaknya hal inilah yang membuat suaminya semakin lekat hatinya kepada wanita itu.
“Benar memang, Nyai, isteriku, apa yang kau katakan memang benar!” Bertubi-tubi Kiai Kenistan membenarkan kata-kata isterinya. “Akan tetapi katakanlah bahwa pemuda jembel itu masih ada harganya untuk kita minta bantuannya!”
“Persetan! pokoknya, dia telah menghina Turonggo Benawi. Dan dia harus dihukum!” Nyai
Kenistan tidak mau mengalah.
“Mau hukum, hukumlah, asal jangan sampai mati!”
“Kalau begitu, sudahlah kau diam, suamiku! Hendak kuhajar adat sedikit jembel sombong ini!” Seraya berkata demikian, Nyai Kenistan telah mengangkat tangannya, maka segera tampaklah bayangan hijau berkilau berkelebatan diudara, dibarengi suara ledakan-ledakan yang nyaring.
Dalam setiap pembicaraan, Kiai Kenistan selalu mengalah, dan memang kadang-kadang benar-benar kalah dalam bersilat lidah dengan isterinya. Sikap sepasang suami isteri Kenistan yang aneh ini, agaknya hampir setiap orang dari kalangan rimba persilatan mengetahuinya. Tidak terkecuali Pepriman alias si Joko Bledug ini. Begitu melihat pertengkaran telah tiba pada kemenangan Nyai Kenistan, maka pemuda jembel ini telah siap dengan berbagai cara untuk menghadapinya.
Pepriman tahu bahwa watak wanita itu tidak suka mengalah, mau menang sendiri. Akan tetapi bukan jahat. Sesungguhnya hati wanita itu adalah lembut dan penuh kasih sayang sebagaimana wanita-wanita yang lain. Satu hal yang tadi membuat Nyai Kenistan tersinggung, adalah karena Pepriman tidak terluka oleh libatan selendang wanita itu. Maka, jika sekarang Pepriman dapat membiarkan kulitnya berdarah karena serangan wanita itu, agaknya perselisihan akan segera dapat diakhiri.
Memikir yang demikian, maka dengan serentak Pepriman bangkit berdiri, sambil berkata lantang :
“Jangan terlalu mendesak, Nyai. Aku tidak mengganggu sekalian para sesepuh disini, dan aku
hendak berlalu sekarang. Bila ada kelancanganku, mohon di maafkan!”.
“Tidak begitu mudah!” bentak Nyai Kenistan. “Kau tahu aku adalah Nyai Kenistan! Dapatkah begitu saja orang datang mengintai, terus hendak lantas kabur? Boleh kau lantas pergi, akan tetapi tinggalkan sepasang matamu yang tadi kau pergunakan untuk mengintai itu!”.
Pepriman tampak gelisah.
“Apakah jurang dan kali dibawah itu milikmu, Nyai? Sehingga orang tak boleh melintasinya?”.
Mendapat pertanyaan yang agak mendesak itu, Nyai Kenistan tertawa dingin. Adatnya ingin selalu menang sendiri tambah kumat.
“Sekararg ini, punyaku memang, mau apa? Aku hendak menghukummu siapa akan menghalangi? Tadi aku hanya menuntut sepasang matamu yang kau gunakan untuk mengintai. Akan tetapi sekarang, karena kau rewel, maka aku minta sepasang tanganmu juga kau tinggalkan disini! Disini!
Sambil mulutnya berkata ‘disini’, maka tangan kanannya bekerja, menggoyangkan ujung selendang. Tahu-tahu ujung selendang yang berbentuk sebagai ronce-ronce benang itu telah mematuk kearah mata si pemuda.
Tentu saja Pepriman tidak mau kedua matanya akan dicongkel keluar oleh patukan ujung selendang Nyai Kenistan. Maka begitu serangan telah datang sangat dekat, pemuda itu miringkan kepala, sambil tangan kanannya dipergunakan untuk menjambret kedepan, dengan ke lima jari terkembang.
Kiranya serangan pertama si wanita ini hanyalah pancingan belaka. Serangan yang sesungguhnya adalah gerakan yang datang berikutnya.
Ujung selendang mendadak mengembang seakan ujung rambut tertiup angin, dan setiap ujung benang ronce-ronce selendang itu menyambar kesegala penjuru, beberapa diantaranya mematuk kearah jalan darah dipergelangan tangan, pada tenggorokan, pada titik antara dua mata, dan ubun- ubun Pepriman. Bukan main hebatnya serangan ini.
Agaknya hanyalah orang-orang setinggi ilmu batinnya sebagai Nyai Kenistan sajalah yang maju mengemudikan setiap helai benang ronce itu, sehingga mampu melakukan serangan total pada detik yang bersamaan kearah jalan-jalan darah maut seperti itu.
Pepriman terkejut. Serangan yang datang tanpa suara semacam itu, hanyalah mampu dilakukan oleh orang-orang yang bertenaga batin sangat tinggi belaka. Sedang serangan itu sangat cepat, dan mematikan!
“Ahh...”, bukan Pepriman yang mengeluh kaget, sebaliknya adalah Kiai Kenistan yang melihat serangan isterinya itu dapat membunuh orang.
Namun Pepriman tak mau mati siang-siang, Pepriman atau Joko Bledug yang sekarang, bukanlah Joko Bledug lima tahun yang lalu. Dengan ilmu pelajaran lahir dan batin yang diperoleh dari Kiai Turonggo Benawi, sebenarnya ilmu kepandaian Joko Bledug sudah tidak dibawah wanita sakti itu. Bahkan didalam hal menguasai tenaga agni (panas) dan tenaga her (dingin) Pepriman boleh dibilang setingkat diatas mereka ini.
Penguasaan tenaga batin panas dan dingin secara sekaligus inilah yang tadi di sebut-sebut
sebagai ‘Jangkar Bumi’ oleh Nyai Kenistan ataupun suaminya.
Dalam keadaan dirinya terancam bahaya seperti itu. Pepriman tak mempunyai kesempatan lain kecuali harus mempergunakan ilmu pukulan saktinya, Jangkar Bumi! Seketika, dari setiap pori- pori tubuhnya, menguap keluar suatu hawa yang mengandung tenaga tolak. Begitu serangan tiba, seketika ujung ronce-ronce selendang itu menggeliat seakan tertiup angin besar, dan arah
serangannya jadi berpindah, tidak lagi mengenai jalan darah yang berbahaya seperti itu, akan tetapi hanya mengenai pakaian pemuda itu.
Bret! Terdengar suara kain yang terobek, kiranya hampir seluruh baju didada pemuda ini rontok menjadi benang-benang yang berterbangan.
“Bagus!” Seru Nyai Kenistan memuji, tetapi dalam hati ia mendongkol melihat serangannya gagal, dan terutama melihat lawannya yang masih muda itu tidak melakukan perlawanan. “Kau tidak mau melawan, mau mati sekarang itupun bagus!” Dan wanita itu merangsek maju, menyerang lebih bernafsu.
Detik-detik selanjutnya, tak mungkin Pepriman tinggal diam lagi. Serangan selendang wanita itu telah berubah menjadi kelebatan cahaya hijau belaka, sebagai pelangi-pelangi yang mengurung si pemuda dari segala penjuru.
Maka kemudian tampaklah Pepriman sendiripun telah bergerak-gerak cepat, menghindar dan menyerang, menyerang dan menghindar gantian mendesak dengan lawannya.
Dalam hal kegesitan maupun ilmu ringankan tubuh keduanya boleh dibilang seimbang. Nyai Kenistan tampak seakan-akan menjadi kupu-kupu hijau yang berloncatan menari-nari mengelilingi lawannya, sedangkan Pepriman ibarat monyet mabuk tak keruan gerakannya, kadang-kadang sempoyongan, kadang-kadang seperti menari, tetapi terkadang juga jatuh bangun, akan tetapi tidak sekali juga serangan lawan pernah mengenai sasarannya!
Belum juga lewat beberapa menit, maka keduanya telah bertarung lebih dari lima puluhan jurus. Keduanya kini seakan telah hilang bentuk aslinya sebagai manusia, akan tetapi telah berubah menjadi bayangan-bayangan belaka, bayangan hijau dan bayangan compang-camping yang kadang- kadang saling mendekat dan terkadang saling menjauhi.
Mendadak sekali, satu bayangan hijau mengembang panjang, bergerak menjauh, setelah itu mendengar teguran yang merdu :
“Brenti! Bukankah jurus-jurusmu tadi adalah dari Siluman Pedut, atau Gelap Panglimunan?”
Pepriman melompat mundur, seraya membungkuk hormat.
“Tidak salah Nyai. Itulah pelajaran dari guruku!” Sahut Pepriman.
Kau tetap mengaku sebagai murid Turonggo Benawi?” Nyai Kenistan kembali mendesak. “Maaf Nyai, bukan aku mengaku-aku, akan tetapi memang begitulah kenyataannya”. sahut si
pemuda.
“Cukup kau main-main isteriku. Betapapun kau jangan memusuhi Turonggo Benawi”, Kiai
Kenistan menyela bicara.
Nyai Kenistan menghela napas, setelah itu diwajahnya membayang satu senyuman yang ramah dan manis. Walaupun usianya sudah lanjut, akan tetapi kemanisan senyum wanita ini cukup terlihat pula oleh Pepriman.
“Yah, aku mengalah sekarang. Tentang urusan Turonggo Benawi mempunyai murid biarlah nanti kuurus belakangan. Yang penting sekarang, bila kau benar-benar murid Turonggo Benawi, tentu kau akan bersedia membantu kami...”, kata Nyai Kenistan seraya memandangi pemuda jembel itu dengan pandang mata yang berubah ramah, tidak mencemooh seperti tadi.
Pepriman baru hendak bertanya, bantuan apa yang harus diberikan kepada para sesepuh itu, ketika terdengar suara berat yarg menegur parau :
“Apa-apaan kalian ribut-ribut tak keruan! Cepat datang, berikan pertolongan, bukankah itu
lebih baik?”.
Yang berkata ini adalah Kiai Cucut Kawung. Dan ketika Pepriman memandang kearah guru Loning itu maka tampaklah diatas kepala kakek sakti itu tampak selapis kabut putih yang menguap
keluar dari atas ubun-ubun kepalanya. Hal begitupun tampak pula pada diri Mbah Pucung. Dan Pepriman yang memahami segala hal mengenai tenaga dalam batin, segera menyadari bahwa kedua kakek itu telah terlalu banyak menguras tenaganya.
Tanpa banyak diminta lagi, Pepriman lantas bertindak maju menghampiri, diiringi oleh Kiai Kenistan dan Nyai Kenistan yang terdengar menggerutu perlahan.
Kiai Kenistan dan Nyai Kenistan telah mengambil tempat duduk bersila disisi kedua kakek itu menghadapi sesosok tubuh yang tergeletak dihadapannya, akan tetapi Pepriman masih berdiri terpaku, dengan sepasang mata terbelalak dan tubuh gemetaran.
Apa yang dilihat oleh mata pemuda ini, tidak lain adalah sesosok tubuh laki-laki tua, seorang laki-laki yang selama hidupnya selalu dihormatinya diatas kepala, manusia laki-laki yang telah menamakan jasa sebesar harga jiwanya sendiri, yaitu Kiai Teger adanya...
Akan tetapi Kiai Teger atau Ki Ageng Tampar Angin yang sekarang ada dihadapan pemuda jembel ini, bukanlah Ki Teger yang bijaksana dan gagah perkasa seperti lima setengah tahun yang lalu, yang tampak kering layu, dan yang menghitam sebagian tubuhnya sebelah kiri dari batas pinggang kebawah hingga kejari kaki.
Betapa siksa dan derita yang ditanggung oleh guru Blimbingwuluh itu, membayang dalam perasaan si pemuda. Siksa, aniaya, rasa penasaran dan dendam sakit hati, terkumpul jadi satu, terlukis pada wajah tua yang tergeletak dengan mata terpejam itu.
Dan dibalik itu, dibalik bayangam kesedihan itu semua, berkelebat suatu ingatan yang lain pada diri si pemuda, yaitu tentang perbuatan mesumnya dengan Dewi Cundrik juga tentang pembunuhan atas diri Sawung dan Galing. Walaupun agaknya ada rasa malu dan duka pernah dialami seseorang, tak mungkin ada yang pernah dialami sebagai Pepriman saat ini.
“Bocah goblok! Kau tidak mau membantu? Das...” Baru sampai di situ Nyai Kenistan membentak, maksudnya memaki Pepriman, mendadak mulutnya telah ternganga, dan makian selanjutnya terputus ketika melihat betapa Pepriman saat itu dengan tubuh gemetaran dan air mata mengucur deras, berseru sambil menubruk : “Ayah. ”
Demi terdengar sepatah kata panggilan Pepriman, seketika keempat orang sakti yang sedang duduk bersila itu tersentak kaget. Dan secara bersamaan, keempat orang itu telah mengebaskan tangannya dengan keras seraya membentak : “Jahanam!”
Saat itu. Pepriman sedang menubruk kedepan hendak memeluk ayah angkat dan gurunya itu! Akan tetapi empat pasang tangan tokoh sakti itu telah mengebas keras secara serempak. Jangankan hanya sebatang tubuh sebagai Pepriman, gunung anakan sekalipun takkan mampu menahan pukulan gabungan ini.
Dan akibatnya, separti layang-layang putus tali, tubuh Pepriman terlempar keras, melayang seperti daun kering dihembus topan.
Tak ampun lagi, tubuh pemuda itu menghantam dinding jurang, kemudian berdebuk jatuh kelantai batu, untuk memuntahkan darah dari mulutnya, menyembur bagaikan pancuran.
Sungguh mustahil sekali, andaikata Pepriman dapat bertahan dari gempuran maut gabungan empat tenaga tokoh sakti itu. Namun sebagai telah dituturkan didepan, didalam tubuh pemuda ini, telah bergolak hawa sakti, atau tenaga dalam batinlah yang telah terhimpun secara otomatis. Tenaga sakti gemblengan Turonggo Benawi ini, telah berkembang begitu hebat dalam tubuh si pemuda, berkat ketekunan latihannya, ditambah dengan adanya bakat alami yang telah timbul sejak ia mengalami goncangan jiwa dalam Istana Telagasona bersama Dewi Cundrik.
Ketika dirinya terancam bahaya maut, maka seketika tenaga dalam batinnya itu bergolak dengan sendirinya, membentengi tubuhnya secara spontan.
Namun, karena gempuran itu terlampau dahsyat. ibarat dapat merubuhkan gunung, maka walaupun tidak sampai tewas akan tetapi Pepriman cukup menderita luka dalam didadanya.
Dengan tubuh masih gemetaran, dan air mata yang membanjir, Pepriman berusaha merayap bangkit “Ayah...aya...” rintihnya. Dan selanjutnya alam sekitarnya tampak berputar, ribuan kunang- kunang bertaburan dimata, maka kembali tubuh pemuda itu roboh, pingsan.
Begitu tak selang berapa lama ia tersadar, maka di depan kepalanya tampak dua pasang kaki yang berdiri kaku. Pepriman mengangkat muka, maka terlihatlah dua pasang mata Ki Cucut Kawung dan Mbah Pucung berkilat-kilat memancarkan api pembunuhan.
“Ayaaah... ayah...” hanya itu yang dapat dirintihkan oleh Pepriman.
Ki Cucut Kawung mendengus dingin. Lalu terdengar kata-katanya yang mengguntur :
“Anjing tak tahu budi! Anak jadah sepertimu berani menyebut kepada sahabatku Ki Ageng Tampar Angin sebagai ayah?” Terdengar Ki Cucut menggereng penuh amarah. “Aku akan mewakilkan sakit hati orang yang paling berjasa atas dirimu, Kiai Teger untuk membunuhmu! Aku akan mewakili Sawung dan Galing murid-murid setia Blimbingwuluh untuk membunuhmu! Aku akan mewakili malaikat untuk mengadili dosa-dosa mesummu. Kau Joko Bledug? Kau?” Dan kakek tinggi jangkung itu memperdengarkan tawa bengis yang berkakakan menyeramkan.
“Ah, ayah... ampuni aku ayah...” Pepriman merintih terbata-bata.
“Aku tak pernah memukul orang yang tak berdaya” Mbah Pucung berkata, suaranya datar dan dingin. “Akan tetapi untuk orang melakukan dosa tumpuk undung sepertimu, dengan meramkan mata aku akan turun tangan juga”.
Nyata sekali bahwa keempat orang sakti yang hadir disitu semua niat untuk menghukum mati diri Pepriman. Pepriman menginsafi hal itu. Dia tidak takut mati, juga tidak menyangkal bahwa hukuman mati yang hendak dijatuhkan para sesepuh itu tidak adil. Hanya dalam keadaannya saat ini, ia cuma bermaksud untuk memohon ampun kepada ayahnya belaka. Untuk mendengar pengampunan yang akan diucapkan oleh ayah angkatnya.
Tidak lebih dan tidak kurang, ia hanya ingin menumpahkan rasa sesal dan dukanya, hingga terjadinya bencana yang menimpa ayahnya itu. Tetapi untuk keinginan semacam ini saja, tampaknya keempat tokoh sakti itu takkan mengijinkannya.
Sekali gebug, atau sekali lagi saja Ki Cucut Kawung mengirimkan pukulan, tak nantinya Pepriman dapat bertahan hidup lebih lama. Dan agaknya guru Loning itu sama sekali tidak memberi ketika lagi. Ia telah mengangkat kakinya, siap untuk menginjak hancur punggung Pepriman, ketika tiba-tiba terdengar suara lemah yang mendesis :
“Tungguuuuu...”, itulah suara Kiai Teger, yang di ucapkan dengan nafas antara sadar dan
pingsan.
“Ayaah...” Pepriman menjerit sekuatnya, darah dari mulutnya menyembur lagi. “Kaukah Joko Bledug?” Terdengar suara Kiai Teger yang berdesah pula. “Ayaah... benar ayaah. ”.
“Kau telah membunuh Sawung dan Galing, Bledug? Kiai Teger tampak sekali telah menguras seluruh sisa hidupnya untuk mengajukan pertanyaan itu, nyata dari dadanya yang tipis itu menggelombang turun naik.
“Ayaahkuu...” Pepriman tak sanggup melanjutkan jawabannya, karena kalimat yang hendak diucapkannya telah berobah menjadi tangisan yang berhiba-hiba.
“Itu cukup membuktikan bahwa kau benar pembunuh saudara-saudaramu... Bledug Dosa-
dosamu tak mungkin dapat diampuni ”.
Jelas sudah, sebagai menyambarnya geledek diatas kepala, bahwa ayah angkatnya tak dapat memaafkannya. Joko Bledug alias Pepriman telah pasrah pada nasib untuk menerima kematian dibawah injakan kaki Ki Cucut Kawung.
Dalam hati ia mengeluh : :Hiduppun sudah tak ada gunanya lagi. Ayah adalah orang paling baik terhadapku, diapun tak dapat memaafkan diriku, apalagi orang lain...” Sedang mata dipejamkan untuk menerima datangnya kematian yang akan menghancur remukkan dadanya, mendadak sebilas terbayang olehnya wajah Cunduk Puteri.
Yah, dara hitam manis itu saja yang dapat memahami dan memaafkan diriku. Tetapi diapun kini sudah terbinasa, mati dalam perjuangannya membela rakyat melarat dan kaum lemah.
Kasihan, Cunduk Puteri, kematiannya terlalu mengenaskan. Kasihan dia. Kasihan rakyat jelata. dan kasihan kaum lemah yang ditindas dan teraniaya terus. Mereka tak ada yang membelanya lagi.
Ah, tetapi kakang Walikukun, dia sedang kesana. Kesana membela nama baik Cunduk Puteri...
Sampai disini keterangan Pepriman, terlintas dikepalanya, betapa barisan pemuda Gunung Gajah berderap dibawah aba-aba dan komando Walikukun yang gagah perkasa itu. Dan, teringatlah olehnya... pertemuannya dengan mereka di selat Pencuci Dosa ini...
Tepat ketika Ki Cucut Kawung menurunkan kaki kanannya yang besar berbulu-bulu dengan seluruh ketegangan yang melukiskan kebuasan seorang pembunuh, tepat sedetik lagi nyawa Pepriman akan melayang, dari arah mulut jurang nun tinggi sekali disana, terdengar suara yang sayup tapi jelas, suara tawa dan tantangan :
“Alap-alap Gunung Gajah! Pepriman jembel busuk! Serahkan Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung kepadaku! Tak ada jalan keluar bagimu......” Selanjutnya, setelah suara mengancam itu, terdengar tawa riuh yang berderai.
Sekian manusia yang berada didasar jurang itu adalah tokoh-tokoh berkepandaian tinggi, dan walaupun betapa sayupnya suara diluar itu, bagi mereka cukup jelas terdengar ditelinganya. Dan mereka tersentak kaget. Sepasang mata Cucut Kawung terbelalak geram.
“Haturkan kemari Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung! Sudah itu biarlah aku akan mengampunimu, asal meninggalkan bumi Pemalang!” Kembali suara sayup itu terdengar, kali ini lebih riuh dari yang pertama.
Kemudian, bersamaan dengan riuhnya suara sorakan dari mulut jurang tampak meluncur beberapa butir cahaya berkobar, menyambar kearah dasar jurang.
Kiranya benda-benda kecil bercahaya itu adalah anak panah berapi. Jarak antara mulut jurang dengan tempat dimana keempat tokoh sakti ini berkumpul, yaitu dalam jurang itu, tidak kurang dari tiga ribu kaki. Akan tetapi karena tempat didalam jurang itu gelap gulita, sedangkan anak-anak panah tersebut berapi, maka semuanya terlihat dengan nyata.
Dan Cucut Kawung memaki :
“Sebel! Paling jemu aku berurusan dengan monyet tua itu!” “Genikantar?” Mbah Pucung bertanya mencemooh.
“Hmmh. Entah dengan cara bagaimana tua bangka gila itu bisa menemukan tempat ini”. Ki
Cucut Kawung menggerutu.
Tiba-tiba Kiai Kenistan dan isterinya tertawa.
“Mudah saja”, katanya, “disini ada si jembel busuk itu yang memiliki Kiai Tanjung dan pusaka Nyai Tanjung. Monyet-monyet haus kesaktian sebagai Genikantar itu kapan tidak ijo matanya mengingus-ingus berita adanya kedua pusaka Pemalang itu”.
“Benar”, Ki Cucut Kawung membenarkan, dan seketika sekalian pandangan tokoh sakti itu
terlempar kearah Pepriman yang saat itu sedang tergeletak empas-empis.
Nyai Kenistan mempermainkan selendangnya dengan sikap penuh ancaman, menghampiri Pepriman. Barisan giginya yang putih berkilau sangat indah itu, kini tampak sangat mengerikan.
“E, bocah bau. Mana kedua pusaka itu!”
Pepriman membuka matanya. Ia tidak mati, dan selama itu, semua kejadian yang berlangsung dalam jurang itu tidak luput dari pendengarannya.
Ia tidak kuatir disabet mati oleh selendang wanita itu, tetapi ia terkejut juga mendengar pertanyaan wanita itu.
“Hei kunyuk busuk. Dimana kau simpan Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung, ha?”. Nyai
Kenistan lebih mendesak, kakinya maju setapak demi sctapak.
Tiba-tiba terbayang senyuman diwajah Pepriman yang kotor berlcpotan darah itu. Dan melihat itu, Nyai Kenistan terkejut, lalu berseru :
“Jahanam. Kau kira aku kemaruk barang pusaka seperti itu? Kau dengar! Untuk pengobatan Kiai Teger diperlukan adanya benda atau mahluk yang memiliki perpaduan dwi kekuatan panas dan dingin. Mahluk yang memiliki tenaga itu adalah Turonggo Benawi dan kau. Tapi siapa sudi menerima budi dari anak jadah tak keruan macam sepertimu? Kami perlukan kedua pusaka itu. Cepat serahkan kepadaku!”
Senyum Pepriman yang pertama tadi, sebenarnya hanyalah senyum pasrah pemuda itu belaka, dimana hatinya pada saat itu sudah terima nasib untuk mati dibawah tangan orang sakti sebagai Nyai Kenistan. Kitanya karena wajah yang kotor dari pemuda itulah, yang agaknya, menyebabkan wanita itu salah terka.
Dan sekarang dengan mengambil kesimpulan lain, Peprirnan jadi ingin untuk tetap hidup. Ia tidak memiliki Kiai Tanjung apapun Nyai Tanjung. Sekarang ia tahu bahwa kedua pusaka itu berguna untuk mengobati ayah angkatnya. Kalau toh ayah angkatnya tak sudi menerima bantuan tenaga batin si pemuda, andaikata si pemuda dapat menemukan kedua pusaka itu bukankah ia dapat memberikan pertolongan?
“Nyai, kalau kedua pusaka itu datang dari tanganku, apakah itu pun tidak berarti budi pertolongan pula?” kata si pemuda kemudian.
“Ngomong busuk! Pusaka Nyai Tanjung bukan milikmu. Kalau sekarang berada padamu, maka aku hendak merampasnya! Kau mendapat pusaka itu boleh mencuri, kalau aku merampasnya mana boleh di sebut budi pertolongan apa segala?!” Nyai Kenistan sengit.
“Sayang... sayang sekali.” sahut Pepriman seraya merayap bangun,” Kedua pusaka itu justeru
tidak ada padaku. ”
Nyai Kenistan tertawa mengejek, begitupun suaminya dan kedua kakek sakti yang lain.
“Mana bisa kau mengelabui mataku?” Bentak Nyai Kenistan.
“Aku tidak mengelabui mata siapa juga, harap Nyai dapat berpikir panjang. Kalau pusaka itu berada di tanganku, dan aku tahu benda itu berguna untuk mengobati ayahku, apakah aku takkan sejak tadi menyerahkannya kepadamu”.
“Tutup bacot! Jangan sebut-sebut ayah lagi!” Seru Ki Cucut Kawung. Kau serahkan benda pusaka itu atau tidak! Kau serahkan berarti matimu mati lega, kalau tidak kau akan mati penasaran!”.
Bagi Pepriman, kedua macam kematian yaug ditawarkan oleh Ki Cucut Kawung sudah tak ada bedanya lagi. Kini persoalannya adalah karena pemuda itu benar-benar tidak memiliki kedua benda pusaka yang di maksud itu. Maka sambil hendak bergerak pergi, Pepriman berkata lesu :
“Kalian para sesepuh harap tinggal disini untuk beberapa waktu lagi. Aku hendak pergi mencari ”.
“Brenti!” Ki Cucut Kawung telah melompat, menghadang didepan si pemuda sambil membentak “Mau minggat kemana kau?”
Pepriman tidak marah, sejak tadi juga, bahwa dirinya dicaci maki, bahkan dikutuk oleh sesepuh itu. Akan tetapi didesak secara demikian akhirnya kesal juga. Lalu dengan suara keras ia berseru.
“Aku tidak hendak minggat? Aku mau mencari pusaka itu, bukan untuk marah-marah secara
bodoh seperti kalian para orang tua!”
Ki Cucut Kawung tersentak kaget. Tidak menduga sama sekali bahwa pemuda itu masih ada keberanian untuk membentak secara begitu keras. Kakek tinggi jangkung itu tampak meringis bengis, lalu tangannya terulur kedepan.
Deeees! Sebuah pukulan menghantam pundak Pepriman dan tubuh si pemuda melayang jatuh, berdebruk dilantai jurang. Dengan meringis menahan sakit, Pepriman merayap bangun.
“Semua para sesepuh, dapat saja membunuhku, tetapi apakah kalian sebenarnya memang hanya berpura-pura untuk berprihatin mengobati ayahku? Kedua benda pusaka itu sama sekali tidak berada ditanganku apabila kalian para sesepuh membunuhku, apakah kedua benda pusaka Tanjung itu dapat kalian peroleh? Sampai berapa lama lagi, kalian para sesepuh bertahan menyambung napas ayahku, tanpa kedua benda pusaka itu?” kata Pepriman dengan pahit yang membayang dibibirnya yang kotor.
Sekalian para tokoh sakti itu melengak. Sedikitnya, apa yang dikatakan oleh Pepriman ada benarnya. Kedua benda pusaka Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung, nyata-nyata tidak berada ditangan pemuda itu, berarti perlu benda itu untuk mencarinya lebih dulu.
Harapan tipis ini, tentu saja ada lebih baik dari pada mereka berempat secara bergiliran menyambung napas Kiai Teger dengan napas bikinan yang dibangkitkan oleh bantuan aliran tenaga batin keempat tokoh sakti itu.
Sampai kapan mereka dapat bertahan menyambung napas si penderita? Pertanyaan itu benar sekali terpikir oleh mereka. Mungkinkah mereka akan berdiam terus menerus didalam jurang itu sampai mati terkubur?
Kebimbangan terlintas diwajah masing-masing tokoh sakti itu. Dan hal ini cukup dimengerti oleh Pepriman, maka pemuda itu lantas berkata :
“Dosaku tumpuk undung, itu benar”, Pepriman menyambung bicaranya. “Tujuh kali dihukum mati sekalipun, agaknya belum impas aku menebus dosa. Namun, para pinisepuh yang mulia, apakah kalian akan membiarkan jerih payah dan perihatin kalian sia-sia begitu saja?”
Keempat tokoh sakti itu saling berpandangan. Sementara itu, disebelah sana tampak Kiai Teger tergeletak dengan napas yang semakin jarang-jarang. Mereka menghela napas.
“Berapa lama kalian para sesepuh meninggalkan dunia ramai, dan berapa banyak korban telah berjatuhan akibat keganasan tangan Dewi Cundrik dan Genikantar? Ketika rakyat jelata teraniaya, ketika perkosaan dan kelaliman melanda seluruh pantai utara pulau Jawa kalian para pini sepuh sedang berkumpul ditempat yang tersembunyi ini untuk melakukan suatu usaha yang tidak tentu kesudahannya. Apakah itu bukan sebuah kekeliruan?”
Tidak seorangpun menyanggah pembicaraan Pepriman. Mereka terdiam, saling pandang, bukan Kiai Kenistan membelalak kearah isterinya, dengan sinar mata Maido.
“Ayah terluka parah. Dan dalam darahku mengalir dosa-dosa yang tak berampun. Akan tetapi para pini sepuh yang mulai sejak kapankah obat dipilih asal kedatangannya dari suci atau si dosa, bukan dipilih dari manfaat dan kegunaannya? Di atas jurang sana...” Pepriman menarik napas berat, dan sekalian para sesepuh mengangkat muka memandang kemulut jurang di sana Genikantar dan Dewi Cundrik, dan pengikut Paguyuban Banjardawa sedang berpesta pora dengan darah dan nyawa laskar kakang Walikukun..... Pembunuhan dan penganiayaan akan berjalan terus sementara tanganku yang berdosa tak boleh menolong ayahku. ”
Apa yang dikatakan oleh Pepriman itu benar belaka. Saat itu, diatas selat Pencuci Dosa, disekitar mulut jurang, sedang berlangsung pertarungan yang sangat seru. Walikukun bersama anak buahnya yang berjumlah kecil itu, dikurung dan didesak habis-habisan oleh laskar paguyuban Banjardawa yang dipimpin oleh Ki Genikantar dan Dewi Cundrik serta Ki Gede Ayom demang Moga.
Siang tadi, barisan pemuda Ganung Gajah tiba di selat Pencuci Dosa itu. Sesuai dengan pesan pemimpin mereka Alap-alap Gunung Gajah, mereka berkumpul dan beristirahat disekitar mulut jurang, sambil menunggu kedatangan pemimpin mereka.
Waktu itu, matahari sedang naik tinggi diatas kepala, panas sangat terik menggigit kulit. Sehingga wajah-wajah para pejuang dan para murid Kenistan itu tambah tampak semakin tegang. Tegang berkeringat karena perjalanan jauh, dan tegang karena rnenunggu dalam kecemasan.
Walikukun menjelaskan bahwa Alap-alap tentu akan segera cepat muncul, dalam mana membawa hasil penyelidikannya menyelundup kedasar jurang. Namun keterangan wakil pemimpin keterangan ini terdengar sumbang ditelinga mereka. Terasa bahwa Walikukun sendiri agaknya tidak yakin pada kata-katanya.
Seorang pemuda asal murid Kenistan menyeletuk.
“Kakang Walikukun. Dewa Bumi sendiri agaknya tidak sembarangan menyelusup kebawah
tanah...“
“Apa maksudmu?” Walikukun tersentak kaget. Walaupun ia membentak akan tetapi dihati ia
sendiri mengakui kebenaran kata-kata bawahannya itu.
“Menyedihkan sekali, rasanya. Andaikata Ketua berjalan bersama kita, agaknya besok sore kita sudah tiba didaerah Loning. Hemmm, sudah gatal tanganku ingin mencobai ilmu golok yang dipakai menyombong itu. Murid Kenistan tadi menyambung pembicaraannya.
Walikukun berdiam. Alisnya berkerut dan wajahnya melukiskan kegeraman. Bayangan kematian Cunduk Puteri mengetuk ingatannya, dan kini tinjunya mengepal ingin meremukkan batok kepala Windupati orang yang telah memperkosa dan menganiaya pujaan hatinya itu.
Sedang para murid Gunung Gajah itu bercakap-cakap, mendadak terdengar genta sapi atau kerbau dikejauhan, kelenang-kelening merdu dan nyaring.
Mereka mengira itu adalah suara gerobak sapi yang memuat padi atau ketela pohon yang sedang melintasi jalan-jalan kampung. Sungguh tak terduga, mendadak dari arah yang berlawanan dengan arah bunyi keleningan itu terdengar suara bersereset tajam naik keudara. Tampaklah sebatang anak panah berapi, berkobar sedang naik menjulang kelangit.
Para pejuang Gunung Gajah itu sedang mencurahkan perhatiannya kearah suara keleningan, siapa sangka, berbareng dengan meluncurnya anak panah berapi itu dari arah belakang mereka bermunculan laskar-laskar paguyuban Banjardawa yang dipimpin oleb dua orang berkuda didepan. Ki Genikantar dan Dewi Cundrik.
Walikukun terperanjat bukan main. Jumlah pasukan yang berbaris dibelakang kedua jago tua itu, tidak kurang dari empat ratus orang. Jumlah ini saja sudah dua kali lipat dari pada jumlah pemuda Gunuug Gajah yang sedang keletihan itu. Belum terhitung keganasan maupun keunggulan ilmu kepandaian kedua tokoh ternama sebagai Ki Gcnikantar dan Dewi Cundrik itu.
Jalan mundur, tak mungkin lagi karena tertutup oleh barisan pendatang ini. Dan untuk maju, Walikukun sendiri merasa ragu-ragu untuk melintasi jalan selat Pencuci Dosa dimana pada ujung terakhir sebelah utara terdapat mulut lembah ‘Pegat-sih’ yang terkenal sangat angker dan merupakan lembah maut, tempat orang yang tersesat tak pernah kembali hidup.
Akhirnya diambil keputusan untuk mengomando anak buahnya menyerbu maju. Sebelum diserbu, lebih baik mendahului memukul, pikir Walikukun. Maka segera ia membawa anak buahnya menyambut laskar yang baru datang itu
Serbuan itu segera disambut oleh amukan murid-murid Paguyuban Banjardawa, dan kedua pemimpin mereka yang ternyata terlalu kuat untuk dilawan oleh Walikukun sendiri.
Sebenarnya, kedatangan Ki Genikantar dan Dewi Cundrik saat itu sama sekali tidak bermaksud untuk mencegat pejuang-pejuang Gunung Gajah ini. Kedua tokoh sakti itu memang telah sekian lamanya, berhari-hari menyelidiki selat Pencuci Dosa untuk mencari kedua pusaka, Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung.
Ketika mereka melihat munculnya laskar-laskar Gunung Gajah, Genikantar, Dewi Cundrik dan anak buahnya lantas menyembunyikan diri. Dan dalam persembunyiannya itulah, Ki Genikantar dan Dewi Cundrik yang berpendengaran sangat tajam dapat mencuri dengar pembicaraan Walikukun bersama anak buahnya.
Dan itulah sebabnya maka mereka mengerti bahwa si Pepriman sedang menyelundup kedalam dasar jurang, Dalam hal ini, otak Genikantar terlalu cerdas, dan ia mengira bahwa si Pepriman pasti sedang mengambil atau mungkin telah menemukan kedua pusaka Nyai dan Kiai Tanjung.
Oleh dugaan yang demikianlah, maka Ki Genikantar dan Dewi Cundrik memanggil-manggil kedasar jurang sambil juga melemparkan beberapa murid Gunung Gajah kedalam jurang itu. Tentu saja kedua tokoh pimpinan Paguyuban Banjardawa itu tidak pernah mengira bahwa didasar jurang sana Pepriman bukan sedang menemukan pusaka Kiai dan Nyai Tanjung, bahkan menemukan orang-orang yang tidak pernah diduganya, ayahnya dan keempat tokoh sakti pantai utara pulau Jawa...
Tepat pada saat pembicaraan Pepriman sampai disitu, maka dari mulut jurang terdengar suara jeritan yang menyayat, menyusul tampak sesosok bayangan hitam yang melayang turun dengan cepat sekali.
Entah suara angin mendesau atau suara benda yang menyambar tiba, tahu-tahu disamping mereka tampak sesosok tubuh laki-laki yang hancur berantakan tak berbentuk lagi, kepala tak ada tangan terbeset-beset pecah, dan kaki terbang entah tersangkut dimana. Darah membasahi lantai jurang.
Keempat tokoh sakti itu berdiri kaku bagai patung dengan mata terbelalak. Pepriman menjublek, air matanya meleleh turun.
Bruk! Bruk! Brushsh! Beberapa tubuh lagi, membentur jatuh kebawah jurang, dengan bentuk tubuh sudah compang-camping tak keruan. Dan disitu, kini terserak tulang daging darah yang menyerak, menyiarkan bau amis.
Gemetar sekujur tubuh Pepriman. Ia tak yakin, apakah tubuh-tubuh yang binasa itu kawan ataupun lawan. Akan tetapi kejadian ini semua menandakan adanya pertarungan sengit diatas jurang.
Apabila Pepriman memikir sampai disini, teringat olehnya bahwa jumlah pasukannya terlalu kecil apabila harus berhadapan dengan laskar Paguyuban Banjardawa. Sedang Walikukun sendiri, belumlah tergolong sebagai pemuda yang tangguh yang akan mampu menghadapi Ki Genikantar dan Dewi Cundrik. Apalagi jika diantara jago-jago Paguyuban itu terdapat juga Kebo Sulung dan Ki Gede Ayom?
“Mbah Pucung!” Seru Pepriman berteriak. “Kiai Kenistan dan Nyai Kenistan! Di atas jurang Walikukun sedang dipotong-potong oleh Genikantar dan Dewi Cundrik! Apakah kalian yang menyebut dirinya pendekar pelindung kaum lemah hendak diam sajaaa?”
Teriakan Pepriman kali ini, menimbulkan akibat yang luar biasa itu. Tanpa menoleh atau membuka mulut, Nyai Kenistan yang wataknya cepat kena di bakar itu telah berkelebat pergi.
Menyusul Kiai Kenistan yang memang tak pernah mau berjauhan dengan isterinya, segera berseru sambil melompat pergi : “Isteriku! Tunggu aku!” Dan selanjutnya tampaklah dua bayangan yang bergerak sangat ringan seperti burung pelatuk, berloncatan naik mendaki didinding jurang dengan sangat pesatnya.
“Kurang ajar!” Ki Cucut Kawung agaknya juga seorang berangasan juga. Usia boleh tua, akan
tetapi wataknya yang mudah disuluti itu takkan berubah.
Belum jauh bayangan Nyai dan Kiai Kenistan mendaki dinding jurang, maka guru Loning yang berperawakan seperti seorang atlit itu telah melompat naik keudara. Selanjutnya dengan kegesitannya yang mengagumkan, tubuh yang tinggi jangkung itu berjumpalitan beberapa kali diudara, untuk kemudian sekali tangannya terulur kedepan, maka ia telah berpegang pada sebuah bungkahan karang dinding jurang yang menonjol.
“Bagi-bagi sedulur! Akupun ingin coba-coba menggebuk si monyet tua Genikantar, hahaha...” suara tawa guru Loning itu masih terdengar, akan tetapi bayangan tubuhnya sudah berubah menjadi sebuah titik diantara dua titik lain yang berada didepannya.
Suasana dalam jurang itu kembali suayi. Mbah Pucung menghela napas seraya berjongkok mengawasi tubuh sahabatnya. Kiai Teger yang tak diam tak berkutik. Tampaklah kabut kedukaan melingkupi wajah kakek ini, hanya dia tampak tenang, tidak menunjukkan kegelisahan sama sekali.
Lalu Pepriman menghampiri dengan sikap penuh hormat iapun berjongkok disamping tubuh ayah angkatnya.
“Apa yang hendak kau katakan lagi, Bledug?” Tegur Mbah Pucung dengan suara yang datar,
serta tatapan mata yang tajam menikam seperti mata pisau.
Sejak tadi memang Pepriman bermaksud untuk menyampaikan kabar duka tentang kematian Cunduk Puteri. Akan tetapi si pemuda mengurungkan maksudnya, mengingat bahwa Cunduk Puteri adalah puteri tunggal kakek sakti itu. Dalam keadaan seperti itu, apakah yang akan terjadi bila disampaikan kabar bencana itu?
Akan tetapi Mbah Pucung yang arif bijaksana itu, dengan matanya yang tajam seakan dapat menembus hati orang, telah dapat menduga hal itu. Dan kini setelah ketiga kawannya itu pergi, si kakek lantas bertanya.
Pepriman bermaksud untuk membohong, tanpa menyebut-nyebut perihal Cunduk Puteri. Namun entah mengapa pengaruh tatapan mata kakek itu demikian dahsyatnya seakan menghipnotisnya. Dan tanpa disadarinya, terlompat kata darl mulutnya : “Cunduk Puteri”.
Mbah Pucung tampak agak terkejut, keningnya berkerut seraya berkata : “Kau hendak mengatakan bahwa puteriku dalam bahaya?”
“Tidak hanya itu, mbah. Tetapi, tetapi, Cunduk Puteri te...telah...”
Untuk seketika, Mbah Pucung tampak terserentak. Akan tetapi kejadian itu berlaku hanya sekilas belaka sehingga tidak terlihat sama sekali betapa kedukaan sebenarnya telah menggempur hati kakek itu. Hanya wajahnya saja yang menjadi tampak guram, kerut merutnya bertambah. Walaupun begitu, suara yang dikeluarkan dari mulutnya tetap datar tanpa gentaran.
“Kalau puteriku meninggal tentulah, gugur sebagai bunga pertiwi. Dan itu termasuk cita- citaku maupun kita cita Nduk Cunduk sendiri ” kakek itu coba tersenyum. “Masih lebih baik dari
pada tinggal hidup dengan menanggung kehinaan dan kutukan. Mengapa orang rindu hidup dan
takut mati?”
Di mulut si kakek berkata demikian, akan tetapi pada ujung kelopak matanya yang telah keriput itu, tampak sebutir cairan yang berkilau.
Pepriman sadar bahwa kakek itu telah menyindirnya. Tetapi ia tidak perlu membantah, semua yang dikatakannya benar-benar semata.
“Cobalah kau ceritakan terlebih dahulu menelan ludah beberapa kali, barulah Pepriman mulai dengan penuturannya.
Apa yang diceriterakan olehnya, adalah seluruhnya yang diperoleh dari Walikukun, dari sejak dara memasuki hutan Bengkelung sampai memasuki perguruan Loning, hingga tewasnya dara
pendekar itu dibuangkan kesumur mati. Tidak satu halpun yang dilewatkannya, karena kecuali berdusta tak ada gunanya juga. Mbah Pucung memang bukanlah orang yang dapat dibohongi.
Selesai Pepriman menuturkan kisah itu, tampak Mbah Pucung menegang beberapa saat, dadanya yang tipis itu berombak-ombak dan napas yang keluar dari hidungnya mengeluarkan hawa panas. Ketika Pepriman menundukan muka, maka terlihatlah lantai dimana kakek itu duduk telah amblas lebih dari sejengkal?
Itulah pertanda kemurkaan telah mengamuk dalam diri kakek sakti yang penyantun itu. Dia tidak memaki, tidak mengumpat, akan tetapi apabila orarg melihat bayangan senyum yang bertengger dibibirnya akan bergidik seluruh bulu tubuhnya akan meremang.
Seakan Batara Indera sedang bersemedhi maka Mbah Pucung merangkap kedua tangannya. Lantas sayup-sayup suara yang keluar dari mulutnya terdengar sangat perlahan akan tetapi nyaring.
“Mati dan tewas ataupun gugur itu sama, berarti kembali keharibaan yang Maha Kuasa. Akan tetapi mati menaburkan bunga dam mati terbinasa itu jauh berbeda! Matinya seorang pendekar, adalah ibarat layunya sekuntum bunga, setidaknya pada saat kematiannya masih menyerakkan bau harum!” Beberapa lama Mbah Pucung diam.
Suasanya jadi hening sunyi. Pepriman tak berani membuka mulut, bahkan bernapaspun ia takut untuk menimbulkan dengusan.
“Kepergianku lima setengah tahun yang lalu, membuntuti dan merampas Kiat Teger dari kerangkeng orang-orang Ampelgading adalah sekedar menunaikan bakti seorang pendekar aku tidak mabuk pada sebutan pendekar atau sebutan budiman yang kosong melompong, tetapi aku bertindak adalah karena keyakinanku pada kebenaran dan keadilan! Aku yakin Kiai Teger tidak barsalah, dan adil sekali apabila ia harus dibebaskan dari fitnah yang biadab itu!”
“Cunduk Puteri menyetujui tindakanku. Dan ia sendiri bermaksud untuk membuat suatu gabungan atau serikat para pendekar yang nantinya akan dipergunakan untuk menandingi kesombongan Paguyuban Banjardawa. Kiranya benarlah kata pepatah, manusia berusaha dan Tuhan Yang Berkuasa! Kiai Teger sahabatku belum seluruhnya tertolong dari fitnah, serikat tandingan Banjardawa belum terbentuk, puteriku telah mendahuluiku meninggalkan alam fana ini!”
Beberapa kali leher kakek itu bergerak-gerak, mungkin menelan ludah membasahi kerongkongan yang kering, atau mungkin juga menahan gelombang tangis yang akan meletus dari dadanya.
“Matipun hidup sebenarnya, dialam baka! Hidup mati adanya, tetapi dialam fana! Sebab kedua-duanya hanyalah wujud dari bersatu atau bercerai raga dan jiwa belaka. Didunia hidup jasadnya, mati jiwanya. Di alam akhir, mati jasadnya hidup jiwanya. Apa katamu, Bledug?”
Mendadak kakek itu membuka matanya. Dan Pepriman yang memang saat itu hendak mengatakan sesuatu, tersentak mundur.
“Mbah. Semua pesanmu tadi benar belaka! Aku yang muda cupat pandangan tak dapat
menyangkalmu. Tapi lantas timbul pertanyaanku, apakah Mbah Pucung sudi mendengarnya?”
Mbah Pucung menganggukkan kepalanya. Sikapnya sangat tawar, dingin, seakan-akan alam sekelilingnya ini sudah tidak memberi arti sama sekali baginya.
“Manusia berusaha, Tuhan berkuasa! Sepanjang pendengaranku kalau tak salah, tentulah para pini sepuh telah berusaha menolong ayah sejak lima setengah tahun yang lalu. Betapa penderitaan dan kesulitan yang dihadapi oleh para sesepuh, agaknya aku tak berani membayangkannya. Tetapi Tuhan jualah Yang Maha Kuasa, dan jerih payah para sesepuh belum juga memberi hasil. Suatu kesimpulan, bahwa dengan tenaga ilmu pukulan jangkar bumi...”
Mbah Pucung mengangguk mengerti.
“Aku yang rendah ini, secara kebetulan telah diwarisi sebagian ilmu pukulan tersebut. Walaupun tidak seberapa, bukankah lebih baik aku berusaha menyembuhkan ayahku dengan tenaga sendiri, daripada menunggu sampai ditemukannya Kiai Tanjung dan Nyai Tanjung?”.
“Bicara muter-muter, maksudmu toh hendak memberikan pertolongan pada ayah angkatmu
bukan?” Mbah Pucung bertanya dingin.
“Benar Mbah” sahut Pepriman seraya mengangguk.
“Sekalian orang gagah telah memusuhimu. Tidak satu orangpun akan menerima kehadiranmu dikalangan rimba persilatan. Dosamu sudah keliwat ukuran Bledug. Ayahmu sendiri tak sudi menerima budi darimu!.”
“Terapi Mbah, dengan ingkar dari kenyataan, yaitu kenyataan bahwa yang secara kebetulan mungkin dapat menolong jiwa ayahku adalah aku, apakah itu tidak berarti perbuatan ingkar? Atau putus asa, tidak berikhtiar namanya? Mbah Pucung. Kalau aku boleh berkata, maka jika begini betul pendapat kalian para sesepuh, maka aku akan menuduh kalian sebagai orang yang sok suci, sok merasa bersih sendiri! Dosaku bertumpuk-tumpuk, akan tetapi beranikah Mbah Pucung menyebut dirinya tak berdosa?”.
Mendengar kata-kata yang tajam dan keras Mbah Pucung terbelalak sejenak, akan tetapi tak lama kemudian tenang kembali.
“Di dalam agama, dapatlah dihalalkan barang yang haram, apabila barang itu cuma satu- satunya obat yang dapat menyembuhkan suatu penyakit, apakah kataku ini tergolong keliru, Mbah?” Kata Pepriman dengan penuh semangat.
Mbah Pucung terdiam. Betapapun, ia ingat bahwa Pepriman alias Joko Bledug lebih berhak memberikan obat daripada mereka yang mengaku sebagai sahabat sejati Kiai Teger. Mereka para pini sepuh adalah sahabat-sahabat sejati, sahabat karib kalangan rimba persilatan, sedangkan Joko Bledug justeru anak angkat si penderita itu sendiri.
“Sudahlah Bledug, aku takkan banyak omong lagi” kata Mbah Pucung kemudian. “Kutolakpun tampaknya tak bisa lagi. Keadaan ayah angkatmu tampaknya sudah sangat perlu membutuhkan pertolonganmu. Marilah kita mulai dari sekarang ”.
Mendengar Mbah Pucung menyebutkan kata ‘kita’ Pepriman keheranan. Apakah kakek itu
tidak bermaksud tnencari musuh-musuh puterinya dan membalaskan sakit hatinya?
Tampaknya Mbah Pucung dapat membaca isi hati orang. Terdengar ia berkata : “Apakah kau kira aku seorang pendendam?” mata kakek itu mengawasi tajam kearah Pepriman. “Cunduk Puteri datang dari ketiadaan, dan sekarang dia kembali tak ada, apa yang harus dijadikan dendam?”
Pepriman sudah tak mau membuang waktu untuk berdebat lagi. Cepat-cepat ia bersila disamping tubuh ayahnya, untuk menempelkan kedua telapak tangannya pada punggung ayahnya. Detik itulah, si pemuda lantas meramkan mata, mengetrapkan aji sakti ‘jangkar bumi’ ajaran Turonggo Benawi.
Sayang sekali, Pepriman dalam keadaan terluka dalam, andaikata tidak, agaknya ia akan lebih bebas dan besar mengumpulkan tenaga batin saktinya!
Ketika hening dan bening seluruh sukma berhimpun jadi satu dalam keheningan yang tunggal, dimana tiada warna hidup lain kecuali sebatang sinar hidup yang memancar pada seluruh jiwanya, maka mengalirlah suatu tenaga gaib panas dan dingin melalui kedua belah tangan si pemuda, mengalir, menembusi jasad Kiai Teger, beredar mengembang keseluruh tubuhnya melalui setiap pembuluh darah.
Melihat adanya uap tipis yang mengembang keluar berwarna merah dan putih dari tubuh si pemuda, Mbah Pucung tertegun, kemudian kaget gugup. Uap dwiwarna itu kiranya bergoyang- goyang tak lancar, seakan asap yang terhalang dedaunan.
Mbah Pucung mengeluh : “Celaka! Luka dalam bocah ini cukup berat. Mungkin dia bisa menyelamatkan ayah angkatnya akan tetapi jiwa sendiripun agaknya takkan tertolong...”
Menyadari kenyataan demikian, maka diam-diam kakek sakti itu menyesal. Menyesali perbuatan sendiri bersama ketiga sahabatnya tadi, yang telah membuat si pemuda terluka dalam begitu hebat. Urusan sudah terlanjur begini, tak guna disesali lagi.
X
X X
KETIGA sahabat Mbah Pucung kini telah berada di luar mulut jurang. Begitu mereka muncul langsung mereka bekerja. Berpuluh-puluh laskar Paguyuban Banjardawa jatuh menjadi korban.
Kedatangan mereka ini sebenarnya sangat tak diduga, oleh Paguyuban Banjardawa maupun oleh Walikukun. Saat itu, pejuang-pejuang Gunung Gajah sedang didesak terus mundur kearah mulut jurang oleh Dewi Cundrik bersama murid-murid Gunung Kelir yang dipimpin Toh Kecubung.
Sedangkan Walikukun terdesak hebat menghadapi tokoh sakti sebagai Ki Genikantar itu. Boleh jadi Walikukun gagah berani dan perkasa, akan tetapi murid kepala perguruan Kenistan ini bukan imbangannya melawan bekas opsir Mataram sebagai guru Bantarkawung, Ki Genikantar itu!
Permainan tongkat hitam, yaitu tongkat Walikukun ditangan pemuda itu sudah kacau. Di beberapa bagian tubuhnya, tampak luka-luka berdarah yang hangus, mirip cakaran jari tangan. Pemuda wakil ketua perguruan Gunung Gajah ini tampaknya sudah payah sekali. Hanya karana semangat dan keberaniannya yang tak terbatas sajalah, maka Walikukun masih dapat bertahan.
Genikantar yang melihat lawannya sudah hampir kehabisan tenaga itu selalu melancarkan serangan sambil tertawa-tawa penuh ejekan.
“Walikukun! Gurumu sendiri belum patut menjadi lawanku, apalagi sekedar bocah gede
kemarin seperti kau! Lebih baik menyerah, haaa...”
“Ngomong besar!” Walikukun membentak. “Kau tua bangka beranimu mengeroyok, mengandalkan jumlah untuk mencari menang! Kau kira aku Walikukun tak dapat menghukum mati kalian!”
Genikantar tahu, bahwa lawannya sedang memancing kemarahan, sebagai orang kawakan rimba persilatan mana boleh diselomoti begitu mudah?
Sambil tertawa, Ki Genikantar melonjorkan kedua tangannya kedepan seperti orang hendak menangkap sebuah benda bulat. Walikukun tak mau gegabah, segera diputarnya tongkat hitamnya, memapas tangan orang, menggertak atau melindungi diri sendiri.
Akan tetapi tampaknya Ki Genikantar terlampau gegabah, memandang rendah pada lawan, dan kedua lengannya dibiarkan saja terlunjur kedepan, seolah-olah akan manda dihajar tongkat.
Untuk sedetik itu, Walikukun tersenyum dalam hati. Walaupun lenganmu terdiri dari besi baja, akan tetapi kena bajar tongkat kayu walikukunku, masakah tidak remuk lebur? kata Walikukun dalam hatinya. Dan tenaganya dikerahkan sepenuhnya memutar tongkat guna menghajar lengan lawannya.
Akan tetapi masakah Ki Genikantar begitu bodoh. Mendadak sekali ketika sabetan tongkat datang menyambar, dengan kecepatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki aji sakti ‘sangkar angin’ (yang memiliki kecepatan dan keringanan sebagai angin). Genikantar telah merotolkan kedua kakinya ketanah. Lalu tubuhnya memutar lurus seperti baling-baling sambil mengapung, sehingga kepala dibawah kakipun lurus keatas, begitupun kedua lengannya masih tetap lurus, akan tetapi juga kebawah.
Itulah ilmu silat aneh dan hebat yang sering disebut oleh Ki Genikantar sebagai jurus gerak sakti Branjangan kekejer (burung Branjangan mengapung).
Kini justru tubuh Ki Genikantar berada diantara tubuh Walikukun dengan tongkatnya yang sedang menyambar. Tongkat kayu hitam memutar terus tidak mengenai sasaran, sedang bahaya maut agaknya sudah tak mungkin lewat dari atas diri bekas murid perguruan Kenistan itu.
Jarak antara tangan Ki Genikantar dengan dada Walikukun, ibarat tidak ada setengah jengkal lagi. Sedang keadaan Walikukun, kini sedang terhuyung karena pukulannya tidak mengenai sasaran, maka menangkis atau menghindar baginya sudah tak mungkin lagi.
Kelima jari tangan Genikantar telah terkembang, siap ditancapkan menembus ulu hati Walikukun. Pemuda inipun hanya bisa terkejut, untuk kemudian pasrah pada nasib, menerima kematian dibawah pukulan cakar Bromo (Cakar Api) dari Ki Genikantar.
Tetapi rupanya sang Dewa Maut belum suka mampir pada diri Walikukun. Sebelum jari-jari tangan Ki Genikantar ambles kedalam ulu hatinya, mendadak sekali terdengar suara ledakan nyaring diudara, menyusul kemudian sebuah sinar hijau menyambar secepat kilat menggempur tangan Ki Genikantar dengan dahsyatnya.
“Yeahh...!” Ki Genikantar terpekik kaget, dan cepat-cepat menarik kembali jari-jari tangannya. Sementara itu tubuhnya kini sedang meluncur turun, berjumpalitan sekali, baru kemudian jago tua itu mendarat diatas tanah dengan jidat berkeringat.
“Kiranya kau, Nyai Lembayung!” Tegur Ki Genikantar seraya tertawa paksa, kearah penyerangnya Nyai Kenistan.
Antara Ki Genikantar dengan Nyai Kenistan di masa mudanya pernah terlibat suatu kisah, dimana Ki Genikantar selalu mempergunakan panggilan Dewi Lembayung terhadap diri Nyai Kenistan (dikisahkan dalam cerita Sejengkal Tanah Si GESENG).
“Bertingkah apa kau tua bangka? Setelah melihat aku yang datang kau hendak berlagu apa lagi?” Nyai Kenistan menjawab ketus.
Dan dalam keadaan seperti itu, sikap berdiri angkuh wanita tua ini tampak sangat agung- agungan, angker dan menarik hati sekali. Ki Genikantar hampir tersenyum akan tetapi melihat seorang laki-laki tampan yang mendadak tahu-tahu berada disisi Nyai Kenistan, guru Bantarkawung itu terbatuk-batuk.
“Isteriku.....” lelaki yang baru muncul itu sudah lantas memanggil mesra kepada Nyai Kenistan. “Itu disana ada si Cundrik. Kalau kau mau main-main, sekarang waktunya!”
“Kiai Kenistan baru saja berkata begitu, kiranya isterinya telah lebih dahulu melompat pergi
melabrak kearah guru Guha Gempol atau Dewi Cundrik.
Demikianlah memang keadaannya sepasang pendekar tua dari Kenistan itu. Dalam keadaan yang bagaimanapun, mereka selalu bersikap mesra, walaupun sebenarnya mereka sering bertengkar mulut. Akan tetapi semuanya itu sesungguhnya hanyalah mewakili cinta kasih mereka yang tidak kunjung reda, hingga dihari-hari tuanya seperti sekarang.
Setelah melihat Nyai Kenistan pergi, Ki Genikantar tertawa bergelak seraya mendelik kearah Kiai Kenistan.
“Kiai Kenistan! Kau hendak membela orang busuk, pemberontak-pemberontak semacam laskar Gunung Gajah itu? Hm apakah tidak menyesal kau ditakdirkan sebagai keturunan Wong Agung?”
Kiai Kenistan hanya tersenyum tawar belaka. Jawabannyapun enteng saja.
“Sejak kapan kau boleh menasehati aku?”
“Kuharap kau berlalu saja bersama isterimu, cepat-cepat kesana. Aku takkan mengganggu Dewi Lembayungmu!” Seru Ki Genikantar seraya melayangkan pandang kearah Nyai Kenistan yang saat itu sudah bertanding seru melawan Dewi Cundrik.
“Kukira kalau kau berani mengganggu isteriku dari dulu kau tentu sudah melakukannya, Genikantar? Kita sudah sama-sama tua! Kalau mau bicara terus terang bukankah kau jeri melihat kedatangan aku berdua dan Ki Cucut Kawung?”
Ditebak secara begitu jitu, tentu saja Ki Genikantar gelagapan. Ia memang melihat betapa anak murid Gunung Kelir dan anggota Nelayan dibawah pimpinan Tambakeso tampak kocar-kacir diamuk oleh guru Loning yang yang sangat perkasa itu, walaupun Toh Kecubung, Ki Tambakeso dan sekalian murid-muridnya bertahan, akan tetapi Ki Cucut Kawung memang bukan lawan mereka. Dengan bentakan-bentakan mengguntur dan permainan goloknya yang belum ada tandingan dikolong langit ini, Ki Cucut Kawung selalu dapat membikin roboh setiap lawan yang berani mendekatinya.
“Kiai Kenistan, jangan sombong!” Ki Genikantar membentak. “Mau kulihat apakah sabuk
Cinde-mu masih bertenaga atau tidak.”
“Kukira kemat kemayah Guntur Bromo yang setengah mati kau latih sudah tumpul sekarang!” Sahut Kiai Kenistan seraya melolos sabuk (ikat pinggang) Cinde (emas) dari pinggangnya.” Segala cakar bromo, turonggo bromo, siluman bromo (siluman api) sekarang tidak penting lagi. Apa gunanya api, aku tidak ok!”
Siiiing! Berdesing nyaring, ketika Kiai Kenistan menarik senjatanya yang berbentuk ikat pinggang terbuat dari emas tipis. Sinar kuning berkilau berkelebat diudara, bersamaan dengan terpencarnya hawa panas dari senjata itu.
Tentang senjata Sabuk Cinde ini, Kiai Kenistan sebenarnya sangat jarang mempergunakannya. Akan tetapi melihat lawan yang tangguh dan sangat ternama itu, walaupun tidak kuatir akan dapat dikalahkan, agaknya tak mungkin ia bertarung densan tangan kosong.
Sabuk Cinde mempunyai tajam bolak balik, karena memang senjata itu tipis, sebagai pedang. Ujungnya runcing, dan disitu tampak sebuah gambar burung sri gunting berkepala merah. Gambar burung itu melukiskan kelincahan dari pada gerak senjata itu, yang dapat dipergunakan untuk membabat, membacok, menusuk tetapi juga menyabet seperti cambuk.
Lawan telah mengeluarkan senjata, maka Ki Genikantar tak mau ketinggalan. Dari dalam kantong baju luarnya, ditarik keluar sebuah benda dari tembaga yang berbentuk seperti anglo (tempat pedupaan). Kemudian kedalam anglo itu, dituangkan beberapa jumput bubuk warna merah, seketika mengepullah asap warna merah dari tempat itu yang juga memancarkan hawa sangat panas. Setelah itu, sambil membentak Ki Genikantar mengeluarkan sebuah gaetan tembaga pula, yang kemudian dikaitkan keras, pada bibir anglo.
Ketika tiba-tiba api berkobar dalam anglo itu, maka Ki Genikantar berseru :
“Kiai Kenistan tahukah kau, bahwa aji Guntur Bromo dapat membunuhmu, dan membuat
Dewi Lembayung jadi janda?”.
“Ngomong!” Kiai Kenistan membentak dan senjatanya meluncur melancarkan tikaman.
Ki Genikantar tak berani gegabah menghadapi serangan itu. Dengan menggeser kaki kesamping tangan kanannya yang memegang anglo digerakkan menangkis.
Trang! Dua senjata berbentrok menimbulkan bunyi nyaring. Ki Genikantar mundur setindak, sedangkan Kiai Kenistan terpaksa harus melompat mundur setombak sebab ia insyaf bahwa asap anglo akan menimbulkan bahaya-bahaya tak terduga.
Dan kiranya dugaaa itu betul semata. Bukan asap merah dari anglo itu yang berbahaya, akan tetapi loncatan api dari dalamnya yang menyambar seakan bermata, mengejar kearah lawan.
Dengan mundur setombak itu, maka Kiai Kenistan selamat tak kurang suatu apa, akan tetapi sebagai mereka kalangan tokoh-tokoh ternama, loncatan mundur itu terhitung agak kalah setengah gebrakan.
“Aku tidak mungkin kalah!” Kiai Kenistan mendengus seraya menggerakkan senjatanya pula
menerjang.
Kali ini, Kiai Kenistan tidak menghendaki bentrokan senjata lagi, maka tubuhnya lantas bergerak sangat lincah, berlompatan kekiri dan kekanan, maju atau mundur dengan cepat. Sementara itu, Sabuk Cindenya bergerak sebagai bayangan terkadang menyabet, membabat atau menikam dengan gencarnya.
“Bagus!” Mau atau tidak, Genikantar harus mengagumi kelincahan lawan. Kiai Kenistan sudah tak tampak sosoknya lagi, tinggal bayangan-bayangan kuning belaka yang berkelebatan sangat cepat.
Namun permainan anglo Genikantar sendiri mempunyai kedahsyatan lain pula. Setiap senjata itu digerakkan, maka mendesus angin tajam yang sangat panas dan berbau sangit. Tidak itu saja, kakek sakti ini telah berubah merah, persis tembaga.
Demikianlah, pertarungan kedua tokoh tua itu berjalan dengan seimbang. Yang seorang lincah, yang seorang tangguh. Dan walaupun kini mereka telah menyelesaikan lebih dari lima puluh jurus, akan tetapi tidak seorangpun yang tampak terdesak.
Dilain pihak, Dewi Cundrik sedang bertarung seru melawan Nyai Kenistan. Kali ini Dewi Cundrik sudah tidak mengenakan topengnya lagi, sehingga tampaklah wajahnya yang asli, yang sebenarnya kecuali cantik dan manis seimbang dengan Nyai Kenistan, bahkan mempunyai paras yang tampak lebih muda dari lawannya.
Sebenarnya Dewi Cundrik tldak lebih muda usianya daripada Nyai Kenistan. Hanya, sebagai telah di ketahui bahwa wanita Guha Gempol ini berwatak genit, dan paling gemar melalap daun muda (perjaka).
Tidak sedikit korban perjaka telah jatuh dalam jaring-jaring asmara busuknya, yang mengakibatkan wanita itu berhasil mengetrapkan ilmu Mayang Anom yaitu Ilmu Awet Muda!
Suatu kelebihan bagi Nyai Kenistan, adalah ia memiliki senjata yang cukup panjang. Sehingga Dewi Cundrik yang termashur dengan berbagai ilmu beracun dapat diimbangi keganasannya.
Dewi Cundrik sendiri sadar, bahwa lawannya kali ini bukanlah main-main. Nyai Kenistan, atau Dewi Lembayung telah lama dikenalnya, dan didengar kelihaian ilmu selendang layungnya. Kecuali itu, dalam hal tenaga batin, Dewi Cundrik harus mengakui keunggulan lawannya, keuntungan sedikit dipihaknya, ialah Nyai Kenistan jeri menghadapi racun-racunnya.
Ketika Dewi Cundrik mengembang sepuluh jarinya maka tampaklah kuku-kukunya yang panjang dan sepotong merah seporong hitam. Itulah racun pacet wulung dan pacet bromo telah melekat dikedua telapak tangannya.
Jangankan manusia, seekor banteng belum tentu sanggup bertahan oleh karena keganasan kedua macam racun itu.
Taar! Taar! Seleadang layung Nyai Kenistan terbang memutar diudara meledak-ledak, mengurung diatas kepala lawan. Dewi Cundrik tidak gentar. Sebaliknya dari mundur, ia bahkan maju setindak dan mengulurkan tangan mencakar kearah dada lawannya.
Buutt! Tahu-tahu ujung selendang menukik turun, menyambar lengan Dewi Cundrik.
Memang hal inilah yang ditunggu oleh Dewi Cundrik.
Begitu selendang melayang turun, Dewi Cundrik menjambret dengan kuku-kuku jarinya. Tetapi lacur, ujung selendang itu seakan bermata tahu-tahu telah berubah arah, menampar kemuka Ratu Telagasona itu.
“Aiiih!” Dewi Cundrik menjerit kaget. Tubuhnya melompat mundur berjumpalitan, maka serangan ujung selendang dapat dihindarkan, namun sudah cukup membuat guru Guha Gempol itu berkeringat di dingin.
“Hati-hati Cundrik!” Nyai Kenistan memperingatkan, tetapi nadanya mengejek. “Kau, sudah tidak memakai kedok lagi. Kalau pipimu hancur kena selendang, jangankan jejaka, kakek-kakek jompopun belum tentu kesudian mendekati dirimu lagi... hihik!”
„Ceriwis! Kau kira aku takut pada siluman sepertimu!” Dewi Cundrik membentak marah. “Kiai Teger juga jatuh dibawah pukulan beracun, apa lagi kau!”
“Lain soalnya.” Nyai Kenistan tersenyum menghina. “Kalau Kiai Teger tentu bisa dirayu oleh mulutmu yang beracun seperti kuku jarimu! Tapi aku? Biarlah, aku akan membalaskan sakit hati Kiai Teger biar manyesal kau seumur hidupmu. Hendak kuhajar pinggangmu. sebagaimana kau menusuk pinggang Kiai Teger dengan jarum pacet wulungmu”.
Dewi Cundrik gusar, wajah hingga kelehernya merah saking marahnya. Tetapi wanita ini sempat mendamperat, sebab Nyai Kenistan benar-benar membuktikan kata-katanya, selendangnya diluncurkan menghajar pada pinggang Dewi Cundrik mengegoskam tubuh lalu tangan kirinya digentakkan kesamping mencengkeram. Bila Nyai Kenistan meneruskan serangannya, tentu selendang itu kena dicengkeram oleh kuku jari Dewi Cundrik. Akan tetapi mana Nyai Kenistan mau begitu mudah diakali!
Ujung selendang masih tetap meluncur menghajar kearah pinggang lawan, sementara itu tangan kiri Nyai Kenistan bergerak cepat, menggaplok kepinggang Dewi Cundrik sebelah kanan.
Sedang tubuhnya mengegos kekanan, datang serangan tangan kiri Nyai Kenistan yang menyambut dengan keras. Walaupun lihay bagaimanapun, Dewi Cundrik terkejut juga. Sambil berteriak nyaring, guru Guha Gempol itu terpaksa melompat mundur pula, beberapa langkah. Dan ini berarti setengah kehilangan muka bagi Dewi Cundrik.