Jilid 04
Keringat dingin sebesar kacang berketes-ketes membasahi sekujur badan dan lantai di bawah kakinya, dalam jangka setengah jam, keringat yang merembes ternyata berwarna merah muda, beberapa saat lagi bukan lagi keringat tapi darah segar yang merembes dari pori-pori badannya.
Badan Cia Thian terus bergetar namun makin lama makin mereda, namun sekujur badan sudah mandi darah, betapa mengerikan keadaannya sungguh susah dibayangkan kejadian hanya berlangsung beberapa kejap, namun keadaan Cia Thian berobah secara drastis, kini tubuhnya sudah tidak gemetar lagi.
Sedikitnya ada seratus orang yang hadir dalam pendopo besar ini, namun semua orang manahan napas, seperti kesurupan setan semua mendelong mengawasi Cia Thian, setelah Cia Thian melepas pelukannya, badannya lantas tersungkur jatuh, kembali orang banyak menjerit kaget, jeritan yang ngeri namun juga duka cita.
Ditengah jeritan orang banyak itulah Nyo Cu-so memburu maju mendekat, dilihatnya bola mata Cia Thian membundar besar bola mata berdarah, diwaktu terjatuh barusan agaknya Ki-king pat meh seluruh tubuhnya tergetar putus, maka kematiannya begitu mengerikan.
ooo)0(ooo
Berita kematian Cia Thian Hwi liong-ceng Cengcu yang mendadak lekas sekali tersiar luas, Cia Thian punya nama dan terpandang dikalangan Kangouw, begitu dia meninggal yang datang melayat sudah tentu amat banyak, semuanya tokoh tokoh kosen persilatan. Tapi setelah para pelayat itu meninggalkan Hwi liong-ceng semua mendelu dan bertanya- tanya dalam hati. Pertama, kenapa seluruh penghuni Hwi liong-esng tutup mulut kalau ditanya tentang kematian Cengcu mereka, kejadian seperti amat misterius. Kedua, putra tunggal Cia Thian, Siau-kim-liong Cia Ing-kiat ternyata tidak pernah kelihatan bayangannya.
Memang demikianlah kejadian didunia persilatan, persoalan yang dirahasiakan, kejadian yang ditutup tutupi oleh pihak yang bersangkutan, justru semakin menimbulkan banyak dugaan yang makin jauh dari kenyataan sebenarnya. Dalam jangka setengah bulan, tersiar tujuh puluh alasan atas kematian Cia Thian. lebih separo dari berita yang tersiar itu menyalakan kematian Cia Thian ada sangkut pautnya dengan Gin koh dan Thi-jan Lojin, karena sebelum peristiwa tragis iiu terjadi, kedua orang ini pernah bertandang ke Hwi-liong-ceng.
Jenazah Cia Thian sudah dikebumikan, tamu-tamu sudah pulang, namun warga Hwi-Hong-ceng masih diliputi duka cita. beberapa hari sudah berselang, namun Cia Ing-kiat putra tunggal Cia Thian ternyata masih belum tahu tentang kematian ayahnya. Sejak dia ditutuk Hiat-to dipinggang oleh Thi jan Lojin terus digondol pergi tubuhnya dipanggul diatas pundak terus dibawa melayang keluar, jangan kata meronta berteriakpun tidak mampu, dia hanya sempat mendengar gemboran marah sang ayah, lalu bayangan perak berkelebat, ternyata Gin-koh sudah menyusul di belakang Kecepatan lari Thi jan Lojin memang luar biasa, Cia Ing-kiat yang dipanggul di pundaknya menghadap kebumi, yang terlihat bumi ternyata seperti mundur ke belakang seperti mau menggulung dirinya, sementara bayangan perak dari baju Gin-koh yang kemilau tetap membayangi disebelah belakang.
Hari itu Thi-jan Lojin dan Gin-koh seperti berlomba lari sehari suntuk, hingga hari menjelang petang baru berhenti. Tempat itu seperti di dalam hutan, di mana sudah menunggu sebuah kereta, ditanah dalam hutan tampak daun-daun pohon bercampur kembang-kembang merah yang rontok bertaburan. Cia Ing kiat seorang yang suka kelana, suka ngelayap sejak usia masih belasan tahun, dari kembang-kembang merah itu dia tahu bahwa hutan di sini adalah hutan pohon flamboyan, letak hutan ini ada dua ratusan li lebih dari Hwi-liong-ceng. maka dapatlah dibayangkan kecepatan lari Thi-jan Lojin dalam jangka setengah hari ini, tanpa berhenti memanggul badan lagi.
Setiba dipinggir kereta badan Thi jan Lojin sedikit mengendap sambil miring, tubuh Cia ing-kiat tahu tahu sudah didorong kedalam kabin kereta. Menyusul didengarnya pintu ditutup, dari pandangan gelap diluar, didapati oleh Cia Ing-kiat keadaan didalam kereta ternyata bercahaya redup dan kalem, waktu dia mendongak, diatas langit-langit kabin kereta ternyata terbagi diempat penjuru masing-masing tiga butir mutiara, jadi jumlah seluruhnya dua belas Ya bing-cu sebesar kelengkeng. cahaya temaram yang menentramkan perasaan ini dipancarkan dari dua belas mutiara itu. Sementara kabin kereta ini ternyata dilembari kasur yartg empuk beralaskan kulit binatang yang berbulu tebal, ada bantal lagi, tidur didalam kabin yang empuk begini memang cukup nyaman dan menyegarkan, tapi keadaan Cia Ing kiat sekarang justru terbalik.
Dalam pada itu kereta terasa bergerak dan kuda mulai berlari. Selama dipanggul dipundak Thi-jan Lojin dan dibawa lari sepanjang dua ratus Li itu, hati Cia Ing-kiat bukan kepalang gusar dan penasaran, pikirannya timbul tenggelam, tak pernah tentram sampai sekarang perasaannya masih kalut. Entah di mana kemana dirinya akan dibawa olah Thi-jan Lojin dan Gin-koh. Tapi sekarang tersimpul dalam benaknya, bahwa tujuannya tentu amat jauh kalau dekat tidak mungkin mereka menyediakan kereta ditempat sejauh ini.
Akhirnya Cia Ing-kiat menyadari keadaan seperti dirinya mau ribut atau banyak pikiran juga percuma. maka lambat laun keadaan menjadi tenang, Hiat-tonya tertutuk hingga tubuhnya tidak mampu berderak, namun dia masih bebas mencurahkan hawa murni, berulang kali dia kerahkan tenaganya untuk menjebol Hiat-to yang tertutuk. Beruntun lima hari dia rebah didalam kabin, hakikatnya kereta berkuda ini tidak pernah berhenti, didalam kereta yang tertutup rapat, ada kalanya Cia Ing-kiat mendengar suara percakapan ramai seperti ditengah pasar atau dijalan raya sebuah kota yang penuh sesak, sering juga dia mendengar gemericiknya air mengalir jelas kereta manyebrangi sungai, lapat-lapat terasa oleh Cia Ing-kiat bahwa kereta ini menuju kearah selatan, namun sampai kapan kereta ini baru akan berhenti, susah dia mengetahui.
Hari keenam usahanya ternyata tidak sia-sia, setelah dia mengerahkan hawa murni berulang kali, Hiat-to yang tertutuk lambat laun dijebolnya satu persatu, karuan bati Cia Ing-kiat girang setengah mati, maka dia lebih giat mengerahkan tenaga dan berusaha sekuat tenaga, kira-kira satu jam kemudian seluruh Hiat-to yang tertutuk ditubuhnya sudah berhasil dibebaskan seluruhnya. Segera Cia-Ing-kiat menjingkat duduk, tindakan yang di lakukan setelah tubuhnya bisa bergerak bebas adalah ulur tangan mendorong pintu kereta
Pintu ternyata tidak dikunci atau digembok dari luar, sekali dorong ternyata terbuka, namun Cia Ing-kiat lekas menutupnya pula. hanya mengintip dari celah celah yang dibuatnya sedikit, dia tidak mau segera lompat keluar, karena dia tahu tangannya belum pulih seperti sediakala, kaki tangan juga masih pegal setelah tidur tak berkutik sekian hari. Didapatinya kereta sedang laju ditengah jalan raya besar, sayang jalan ini tidak terawat atau mungkin sudah jarang orang lewat jalan ini sehingga jalan ini ditaburi rumput rumput liar, keadaan di sini sepi, tiada tampak bayangan orang disekitarnya.
Pintu kereta berada disamping, kebetulan dia bisa mengintil kearah depan, maka dilihatnya yang pegang kendali ternyata adalah Thi-jan Lojin seorang saja. Tampak pula oleh Cia-Ing- kiat empat kuda penarik kereta ternyata semua kuda jempol, kuda pilihan diantara ribuan ekor kuda kuda yang paling baik, bahwa kuda bagus begini dibuat menarik kereta, sungguh harus dibuat sayang.
Senang hati Cia Ing-kiat melihat hanya Thi-jan Lojin yang mengiringi perjalanan dirinya, meski tahu kepandaian sendiri jelas bukan tandingan Thi-jan Lojin, namun satu lawan satu betapapun dirinya masih bisa berusaha mololoskan diri, dari pada pihak sana ketambah seorang Gik-koh pula.
Seteiah menarik nafas dan beristirahat beberapa lamanya, kereta sudah berlari, cukup jauh, kaki tangan juga sudah normal, perlahan dia mendorong pintu bila cukup tubuhnya menyelinap keluar, segera dia melompat jauh keluar, begini badan menyentuh tanah terus menggelundung pula beberapa kali.
Sementara kereta kuda itu masih terus berlari kedepan, hanya sekejap jaraknya sudah delapan tombak lebih, baru saja Cia Ing-kiat merasa senang, baru saja dia mau melompat berlari, mendadak dilihatnya bayangan perak laksana lembayung meluncur dari atas kereta, bayangan perak seorang laksana seekor burung aneh berputar diudara, meluncur laksana panah menukik miring kearahnya. betapa pesatnya, baru saja Cia Ing-kiat berdiri, Gin-koh ternyata sudah berdiri didepannya.
Pada saat itu pula didepannya Thi-jan Lojin membentak nyaring seraya menarik tali kekang, keretapun berhenti seketika.
Begitu berdiri tegak dan melihat Gin-koh sudah didepannya, maka dia hanya bisa tertawa getir saja. Didengarnya Gin koh berkata: "He kau mau lari menghindari pernikahan ini, ya, tidak boleh, jikalau kau pergi, kami berdua sebagai comblang bagaimana harus memberi pertanggung jawab kepada pihak mempelai perempuan?"
Meski gusar namun Cia Ing-kiat tak bisa berbuat apa-apa, katanya menyengir kecut "Kalau aku bisa lari, betapapun memang lebih baik."
Merdu tawa Gin-koh, katanya "Maklum karena kau belum melihat calon isterimu. Bila kau sudah melihat binimu, kuhajar pantatmu serta mengusirmupun tanggung kau tidak mau pergi"
Tergerak hati Cia Ing-kiat. Gin-koh dan Thi-jan Lojin adalah jago kosen yang disegani dalam Bulim, bahwa hari ini mereka rela menjalankan tugas sebagai comblang, jikalau pihak yang menyuruh tidak memiliki Kungfu lebih tinggi dari mereka, maka mungkin kedua orang ini sudi melaksanakan tugas rendah ini? Maka segera dia menjengek dingin "Kiranya nama besar kalian hanya kosong belaka, ada juga orang yang kalian takuti."
Terangkat Kedua alis lentik Gin-koh, namun wajahnya masih berseri tawa, katanya: "Anak bagus, sekarang Jangan kau memancing amarahku, lekas naik kereta, atau ingin kututup Hiat-tomu serta kubopong naik ke-kereta?"
Insaf betapapun dirinya takkan bisa melarikan diri, dari pada di tutuk Hiat-tonya, terpaksa Cia Ing-kiat menghampiri kereta serta masuk kedalamnya.
Ternyata Gin-koh mengawalnya ketat hingga dipinggir kereta. Thi Jan Lojin tertawa besar, katanya: "Boleh diuji. Dalam jangka enam hari kau mampu menjebol tutukan Hiat- toku. beberapa hari ini kau tidak merasa lapar, kini setelah bergerak bebas, sebentar juga perutmu akan berontak, lekas naik kereta, didepan kita mencari makanan."
Mending tidak bicara soal makan atau lapar, begitu disinggung Thi-jan Lojin, seketika perut Cia Ing-kiat betul- betul ketagihan. Seketika dia rasakan kaki tangan lemas, mata berkunang. Lelaki gagah macam apapun takkan kuat menahan lapar, sebetulnya Cia Ing-kiat masih ingin bicara, namun karena kelaparan segala persoalan tidak terpikir lagi olehnya. Kali ini Thi jan Lojin tidak lagi menutuk Hiat-tonya, tapi Ing- kiat diseretnya naik kedepan duduk disampingnya yang pegang kendali, Gin koh melompat pula keatas kereta, kereta mulai bergerak.
Cia Ing kiat benar-benar kelaparan, dalam hati dia berdoa semoga lekas tiba disebuah kota maupun dusun yang penduduknya menjual makanan, celakanya kereta ini menyusuri jalan pegunungan yang sepi dan jauh dari kota, selepas mata memandang puluhan li tidak terlihat ada rumah penduduk atau asap. Syukur beberapa jam kemudian, jauh didepan terlihat ada beberapa gubuk dipinggir jalan, didepan sebuah gubuk diantaranya dipasang sebuah barak, beberapa orang desa duduk berkerumun didalam barak itu istirahat. Begitu tiba didepan barak itu Thi-jan Lojin menghentikan kereta terus berseru lantang: "Ada makanan apa, lekas siapkan untuk kami." Lekas Cia Ing-kiat melorot turun serta masuk ke dalam barak, kue-kue dan hidangan yang tersedia di sini ternyata berminyak dan warnanya juga kotor, dalam keadaan biasa jelas Cia Ing-kiat tak mau makan, namun sekarang dirasakan lezat dan enak luar biasa, Thi-jan Lojin mengikuti Cia Ing-kiat dan dan duduk disampingnya. Sementara Gin-kob tetap bersimpuh diatas kereta orang-orang desa itu nama melenggong, semua bingung dan saling pandang melihat kelakuan aneh perempuan yang satu ini.
Cia Ing-kiat tidak peduli keadaan sekelilingnya, yang penting sekarang adalah mengisi perut sekenyangnya. Namun baru setengah jalan dia mengisi perut, didengarnya lari kuda mendatangi, tiga ekor kuda tampak dibedal kencang kearah sini dan berhenti didepan barak.
Cia Ing-kiat belum sempat angkat kepala, didengarnya seorang berkata dengan dengan suara: "Kenapa jalan setan seburuk ini yang dipilih, hayolah turun dulu istirahat sejenak." di susul langkah orang memasuki barak.
Baru sekarang Cia Ing kiat sempat melihat tiga orang berjalan masuk jajar, dua kurus satu gemuk, bila hal dalam barak hanya tersedia sebuah meja di mana Cia Ing-kiat dan Thi-jan Lojin sudah duduk di sana, tapi begitu masuk sigemuk lantas membentak.."Minggir "
Cia Ing-kiat sedang mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya, waktu dia angkat kepala dilihatnya gendut yang mengusir mereka ini bermuka gembrot jelek dan bengis, umumnya orang gemuk berwajah lamah dan kalem, tapi lain si gendut ini, hanya sekilas Cia Ing-kiat metihat wajahnya, dia lantas menunduk jijik, karuan sigendut berjingkrak gusar, tangannya sudah terayun, untung seorang temannya yang kurus keburu mencegah: "Toako, jangan sembrono, coba lihat, bukankah beliau adalah Thi-jan Cianpwe?"
"Cuh " Thi jan Lojin berludah... "beginilah tingkah laku kalian biasanya, enyah" Bukan lagi bengis, tapi rona muka si gendut tampak menyengir lucu seperti babi yang mencium tahi bebek, sambil munduk-munduk dia mundur kebelakang, tiga orang ini sudah berada dipinggir kuda mereka, namun tidak berani berlalu, sikap mereka tampak lucu dan runyam, akhirnya mereka mematung diam diluar barak.
Cia Ing-kiat tertawa geli dalam hati, dalam hati dia membatin, kebesaran nama Thi-jan Lojin memang terbukti, ketiga orang ini memang bukan jagoan, bahwa mereka juga sepatuh ini maka dapatlah dirasakan betapa besar pengaruhnya didaerah ini. Tapi kejap lain Cia Ing-kiat terasa gregeten sendiri, dibawah pengawalan Thi-jan Lojin bersama Gin-koh, betapapun dirinya tiada harapan untuk meloloskan diri, kenapa dirinya harus merasa senang malah ? Selera makannya seketika lenyap, sumpit diletakan, habis minum segera dia berdiri. Thi-jan Lojin merogoh kantong meletakan sekeping uang perak diatas meja terus berlalu. Waktu lewat didepan ketiga orang itu, mereka munduk munduk memberi hormat, seorang yang kurus berkata menjilat : "Berapa lama kau orang tua meninggalkan Hwi-liong-ceng ? Cia Thian setan tua itu tidak tahu diuntung, berani dia bergebrak dengan kau orang tua, seumpama telur membentur batu layaknya."
Mendengar orang ini kurangajar terhadap ayahnya. Lia Ing- kiat amat gusar, namun sebelum dia bertindak. Thi-jan Lojin sudah bersuara : "He, kejadian di Kangouw, cepat benar tersiar."
"Memang," ucap orang itu membusung dada..."pihak Hwi- liong ceng plinitat plinitut tiada yang mau menjelaskan namun kejadian justru tersiar semakin luas."
Thi-jan Lojin tertawa, katanya : "Berita yang tersiar di Kangouw itu kurang benar, aku dengan Cia cengcu pada hal tidak atau belum pernah gebrak, kami malah sahabat baik, kedatanganku ke sana menjadi comblang untuk pernikahan Cia-sauceng-cu, dia inilah Cia-sau cengcu." Seketika berobah air muka ketiga orang itu, bila Thi-jan Lojin bicara habis, mimik mereka kelihatan lucu, mulut terbuka lidah menjulur, sepatah kata tak mampu bicara lagi.
Cia Ing-kiat maju beberapa langkah, tanyanya kereng : "Apa saja yang telah kalian dengar ?"
Ketiga orang itu saling pandang, tapi tidak berani bicara.
Thi-jan Lojin berkata : "Hayolah, kita harus melanjutkan perjalanan."
Salah seorang kurus diantara tiga orang itu agaknya tidak tahan lagi, mendadak dia bertanya : "Sau-cengcu, apa kau tidak tahu?"
Cia Ing-kiat curiga, tiba-tiba dia membalik serta menyerbu ke depan si kurus serta menjambak baju didepan dadanya, namun si kurus ini ternyata memiliki kepandaian lumayan, badan mengegos miring dia meluputkan diri dari cengkraman Cia Ing-kiat, serunya : "Sau-cengcu, bukankah ayahmu sudah meninggal"
Cia Ing-kiat masih ingin mengejar, tapi mendengar ucapan si kurus seketika dia berdiri tertegun, kupingnya seperti disambar geledek, hampir saja ia tidak kuat berdiri.
Pada saat itulah, Gin-koh yang sejak tadi bersimpuh diatas kereta mendadak membentak : "..Membual." berbareng sinar perak berkelebat, "plak, plok" dua kali, dua pipi si kurus telah digampar secara telak.
Tamparan Giu-koh cukup berat sehingga kedua pipi lelaki kurus itu bengap. kini bentuk wajahnya tidak kalah lebar dibanding temannya yang gendut itu, namun alisnya berdiri mata mendelik, agaknya dia penasaran, namun serta melihat yang memukul dirinya berdiri serba perak didepannya, alis yang tegak berdiri seketika lunglai, katanya dengan suara sengau : "Siapapun tahu bahwa Cia-cengcu dari Hwi liong- ceng telah meninggal, malah kami bertemu dengan beberapa kawan yang pulang dari melayat ke sana."
"Bagaimana kematiannya " tanya Thi-jan Lojin. Ketiga orang itu gelagapan.
"Katakan." tardik Thi-jan Lojin mendelik gusar.
Suara itu berpadu : "Barusan sudah kami katakan, kejadian
. . . setelah kalian berdua . bertandang ke Hwi-liong ceng."
Jawaban tiga orang ini agak ngelantur, namun stapapun dapat menangkap ke mana arti perkataannya, secara tidak langsung mereka mau bilang bahwa Hwi-liong-ceng Cia- cengcu mati dipukul oleh Thi-jan Lojin dan Gin-koh. Begitu mendengar berita kematian sang ayah, kepala Cia Ing-kiat sudah hampir meledak, pandangan berkunang-kunang, meski masih- berdiri tapi badannya masih limbung, baru sekarang dia tenang, maju menghampiri.
Bola mata melotot kearah Gin-koh, karena waktu dirinya dipanggul Thi-jan Lojin hanya Gin-koh seorang yang masih melayani ayahnya den kenyataan waktu itu ayahnya belum mati. Kejadian masih segar teringat dalam benak Cia Ing-kiat, meski cepat gerakan keluar Thi-jan Lojin, tapi masih sempat Cia Ing-kiat menyaksikan ayahnya yang hampir bertubrukan diudara dengan Gin-koh jikalau sekarang Cia Thian sudah mati, lalu siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan Gin-koh
?
Setangkah demi selangkah dia menghampiri, wajah Gin-koh dan Thi-jan Lojin tampak kalau mereka berdiri sigap tidak bergerak, sementara tiga Orang itu menyurut mundur dengan lutut goyah langkah gemetar-Bila Cia Ing-kiat sudah semakin dekat baru Gin-koh angkat kepala serta membentak : "bocah bodoh, apa yang sedang kau pikir?"
Berat napas Cia Ing-kiat, bola matanya seperti memancarkan bara yang menyala, Gin-koh ditatapnya beringas. Gin-koh membentak pula : "Kami sebagai comblang, walau Cia cengcu mungkin tidak setuju, yakin kelak dia akan berterima kasih kepada kami akan pernikahan putranya ini. mana mungkin kami berbuat sesuatu yang merugikan dia?"
Beringas muka Cia Irg kiat, hardiknya : "Kau dengar bukan, apa yang dikatakan ketiga orang itu "
Salah seorang dari ketiga orang itu segera menjerit : "Setiap otang di jalanan berkata demikian, urusan tiada sangkut pautnya dengan kami."
Mendadak Cia Ing-kiat memekik aneh, "Wut" di mana tangannya terayun, kontan dia memukul muka Gin-koh. Bekal kepandaian Cia Iug-kiat sekarang jelas bukan tandingan Gin- koh. namun hatinya sedang di rangsang emosi, maka tindakannya sudah di luar kesadarannya. Berdiri alis Gin-koh. sebelum tangan Cia Ing-kiat mengenai wajahnya, sebelah tangannya terangkat, gerakannya lembut dan enteng, pergelangan tangan Cia Ing-kiat disampuknya perlahan serta ditariknya kesamping. Kontan Cia Ing-kiat menjerit kesakitan, keringat dingin membasahi jidatnya- Sambil meringis Cia Ing- kiat mundur, tangan kiri memegang tangan kanan yang menjuntai lemas Jelas gerakan menepis enteng dari tangan Gin-koh barusan telah membuat tulang pergelangan tangan Cia Ing-kiat terkilir.
Baru dua langkah Cia Ing-kiat mundur, Thi-jan Lojin sudah memburu maju menangkap pundak Cia Ing-kiat serta membalikan tubuh, dengan tangkas kedua tangannya bekerja, memegang lengan dan telapak tangan terus dibetotnya "Krak" kembali Cia Ing-kiat melolong kesakitan, syukur tulang pergelangannya tersambung pula.
Thi-jan Lojin lantas berkata : "Sau-cengcu, kami berdua selamanya tidak perlu membela diri akan perbuatan yang pernah kami lakukan, tapi kau harus yakin bahwa kematian ayahmu bukan kami yang membunuhnya." Dua kali disiksa kesakitan dipergelarkan tangannya hampir saja Cia Ing kiat jatuh pingsan, apalagi setelah dia menerima berita duka Kematian ayahnya, betapapun hati takkan bisa tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Namun setelah mendengar pertanyaan Thi-jan Lojin, tergerak juga hatinya.
Menurut kebiasaan sepak terjang Gin-koh dan Thi-jan Lojin, apapun komentar orang terhadap perbuatan mereka selamanya tidak pernah membantah atau mendebatnya, itu menandakan bahwa mereka tidak pernah gentar menghadapi segala persoalan. Apalagi persoalan kecil didepan mata. Akan tetapi sekarang, Thi jan Lojin merasa perlu menyangkal dihadapannya secara serius, apakah maksudnya ?
Hwi-liong-ceng memang disegani di kalangan Kangoaw, namun kedua orang ini juga tidak perlu takut terhadap kebesaran nama Hwi-liong ceng, bahwa sikap mereka sekarang masih agak segan dan sungkan terhadap dirinya tentu ada sebabnya, dan sebab itu lantaran dirinya sekarang digondol untuk melangsungkan pernikahan, jadi persoalan lebih jelas lagi bahwa pihak perempuan tentu mempunyai kekuatan yang cukup menciut nyali mereka. Makin dipikir benak Cia Ing kiat semakin ruwet, kecuali memburu napas sepatah katapun dia tidak bicara.
"Gin-koh," seru Thi-jan Lojin "melihat gelagatnya, kami harus balik ke Hwi-liong-ceng untuk melihat kenyataannya."
Gin-koh menyeringai, katanya: "Apa gunanya balik ke sana? Lekas kita antar orangnya dan serahkan kepada yang berkepentingan. Bila pernikahan sudah berlangsung, pihak perempuan sudah menjadi besan, urusan yang menyangkut Cia cengcu memangnya tidak mereka usut? Apa sih sangkut pautnya dengan kami ?"
"Betul, memang demikian." ujar Thi-jan Lojin. Diakhir katanya jempolnya mendadak memijat Toa-pau hiat di bawah iga Cia Ing-kiat, berbareng tangan yang lain memeluk pinggangnya terus dikempit seketika Cia Ing-kiat mendehem berat tenggorokan, di mana Thi jan Lojin menggerakan tangan, tubuh Cia-Ing-kiat dilemparnya "Blang" menumbuk pintu kereta dan tubuhnya terbanting diatas kasur empuk dalam kabin.
Sigap sekali seperti berlomba saja Thi-jan Lojin dan Gin-koh melesat bersama, yang satu tetap menjadi sais yang lain duduk diatas kereta, ditengah ringkik kuda kereta itu telah dilarikan kedepan. Setelah kereta tidak terlibat lagi baru ketiga orang itu menghela napas lega, seperti siuman dari mimpi, satu sama lain saling pandang, keringat dingin menyebabkan pakaian mereka lengket ditubuh. Terutama sigemuk keringatnya paling banyak, sambil mengusap keringat, napasnya masih ngos-ngosan, katanya: "Sungguh menyesal, kami bertiga sebagai Hong teng-sam-say (tiga singa dari sungai timur) juga cukup punya nama, Heh, dinilai keadaan tadi, lebih baik pulang saja mengasuh anak."
Dua temannya yang kurus juga manggut manggut dengan muka cemberut, kini mereka masuk kebarak dan duduk dengan sopan dan tidak sekasar tadi, wajah mereka masih pucat, tubuhpun masih ingin gemetar, sekian lamanya mereka lupa pesan makanan. Para pembaca harap maklum, Hong- tang-sim-say adalah begal besar dari golongan hitam, jelas mereka memiliki kemahiran yang berbeda, namun bila taraf mereka dibanding Gin-koh dan Thi jan Lojin jelas masih terpaut sangat jauh. Dengan lesu mereka lalu minta makanan padanya, namun selera makan sudah hilang, maka sekedarnya saja mereka mengisi perut yang semula memang sudah lapar, namun makanan apa dan bagaimana rasanya yang masuk keperut mereka sama sekali tidak diperhatikan. Setelah merasakan kenyang meski tiada separo piring yang mereka makan, siap berangkat pula, mendadak mereka melihat seseorang berjalan masuk dengan langkah gemulai.
Begitu melihat orang ini kembali Ho tang- sam-say melenggong. Jalan raya yang berada di pegunungan dipagari hutan lebat ini jarang dilewati orang, orang ini tidak menunggang kuda entah dari mana dan bagaimana dia datang kemari. Pada hal jalan penuh debu, namun pakaiannya kelihatan resik, sepasang sepatunyapun tidak kelihatan berdebu seperti baru keluar pintu saja, usianya masih muda, bentuknya sih genteng, namun rona mukanya putih pucat seperti kelabur kapur.
Baru saja katiban pulung, maka Ho-teng-sara-say uring- uringan, namun melibat orang ini mereka juga hanya melirik saja tidak bersuara atau menegornya. Tapi pemuda itu justru langsung menghampiri mereka. Suaranya dingin tidak sopan lagi: "Dijalan raya ini, adalah kaliau melihat Gin-koh dan Thi- jan Lojin"
Ho tang-sam-say melenggong. si gendut mendengus kasar, katanya: "Baru saja lewat, jikalau larimu lebih cepat dari binatang, boleh kau menyusulnya."
"Apa maksud perkataanmu ?" tanya pemuda pucat sambil menatap si gendut.
Sigendut tertawa geli sendiri, katanya : "Arak bagus, tuan besarmu tidak ingin cari perkara, agaknya kau ingin mengusik aku, maksudku bila kau lebih cepat dari binatang ..."
Sigendut bicara sambil menggerakan kaki tangan, mendadak lengan baju si pemuda seperti disendal naik keatas mengusap muka sigendut, terasa oleh si gendut mukanya seperti dielus oleh tekanan angin keras hingga napaspun sesak, tersipu dia menyurut mundur, namun lengan baju orang bagi pisau baja yang tajam luar biasa, seketika dia rasakan sebelah pipinya kesakitan, sambil menjerit dia mendekap pipi yang kesakitan, terasa lekat dan basah, waktu dia angkat tangannya ternyata muka dan telapak tangan berlepotan darah, ternyata daging pipinya yang gembrot telah teriris hilang oleh kebasan lengan baju si pemuda. Biasanya si gendut suka berlaku kejam terhadap setiap korbannya, tapi kali ini tak urung dia menjerit-jerit, tiba-tiba pandangan gelap. 'Bluk' tubuhnya yang besar itu ambruk semaput.
Tanpa hiraukan korbannya pemuda itu putar tubuh terus beranjak keluar. Dua singa kurus yang lain terperanjat melihat sigendut menjadi korban, sambil meraung mereka menubruk bersama dari kanan kiri mencengkram pundak. Tapi begitu jari mereka menyentuh pundak si pemuda, segulung tenaga dahsyat memukul balik sehingga cengkraman mereka terpental kesamping betapa hebat tenaga yang tersalur di pundak si pemuda, ternyata kedua singa kurus ini sampai mencelat keatas menjebol barak
Pemuda itu tidak berhenti, langkahnya tenang, bila dia sudah berada dijalan raya, kedua singa kurus itu juga sudah menggelundung jatuh ditanah, kecuali bola mata mereka yang, bergerak, badan ternyata lunglai tak bertenaga. Dari keadaan mereka dapat dibayangkan, tulang belulang badan mereka sudah remuk.
Tidak lama sigendut semaput, pelan-pelan dia sudah siuman lagi, melihat keadaan temannya seketika dia mengkirik ketakutan, tanpa hiraukan mati hidup kedua rekannya segera dia angkat langkah seribu. Selanjutnya Ho tang sam -say lenyap dari percaturan Kangouw, namun beberapa minggu kemudian, sering muncul seorang gendut gila yang separo mukanya terkelupas dagingnya dibeberapa bandar sepanjang sungai besar. Setiap melihat orang membawa senjata, segera dia membujuk orang itu supaya tidak bermain silat, berbahaya salah salah jiwa bisa melayang, namun tiada orang yang menghiraukan ocehannya.
Sekarang mari kita ikut perjalanan Cia Ing-kiat yang rebah didalam kereta , sekaligus kereta itu dikaburkan sejauh delapan puluh li, setelah hari petang baru berhenti, karena Hiat-tonya tertutuk maka dia tidak mampu bergerak, dalam beberapa jam ini. pikirannya tidak karuan, sungguh dia kehabisan akal. tak tahu apa yang harus dilakukan.
Setelah kereta berhenti, walau hari sudah petang, namun daun pintu sudah jebol maka dia bisa melihat kereta ini berhenti didalam hutan. Didengarnya Gin koh yang berada di- atap kereta tertawa, katanya "..Ginkang tuan sungguh hebar, sepanjang jalan ini kau dapat mengejar dengan ketat" jelas dia sedang bicara kepada seseorang.
Meski pikiran sedang ruwet, namun mendengar perkataan Gin koh, kaget juga hati nya. Kereta berlari sekencang itu, seseorang dapat menyusul bukan suatu yang perlu dibuat heran, karena tidak sedikit kaum persilatan yang lihay Kungfunya. Pada hal Gin-koh duduk diatap kereta, pakaian peraknya yang khas itu. jago silat mana yang tidak mengenalnya, tapi orang ini toh berani menyusul datang, hal inilah yang membuat Ing-kiat heran.
Maka dari tempat gelap sana seorang balas bertanya : "Sau cengcu dari Hwi-liong-ceng, bukankah berada ditangan kalian?"
Ing-kiat hanya mendengar suara tidak melihat orangnya, namun suara dingin ini masuk ketelinganya, seketika dia bergidik ngeri, seolah-olah ditempat gelap dia melihat seraut wajah pucat lesi, seketika tubuhnya seperti kecemplung kekubangan salju suara itu adalah suara Sau-pocu dari Kim- hou po yang sudah dikenalnya, rasa takut seketika merangsang sanubarinya. Bahwa dirinya menyelundup ke Kim-hou-po dan lari keluar pula adalah kejadian yang amat dirahasiakan, kecuali ayahnya seorang pasti tiada orang ketiga yang tahu, namun kenyataan Sau-pocu Kim-hou-po ini telah mengejar dirinya. Karena tubuh Cia Ing-kiat tidak dapat bergerak, maka dia mendengar Gin-koh mengiakan-
Kedua kali Sau-pocu Kim-huo po berbicara, suaranya sudah berada disamping kereta : "Aku ingin tanya beberapa patah kata kepadamu." Tampak oleh Cia Ing-kiat bayangan perak berderai, agaknya Gin-koh sudah melompat turun dari atas kereta sementara tak jauh didepan Gin koh, didalam keremangan malam tampak seraut wajah pucat. Berdetak jantung Cia Ing- kiat, didengarnya Gin-koh bertanya:, "Tuan siapa; siapa gurumu?"
Cia Ing-kiat tahu. pertanyaan yang diajukan ini sudah terlalu umum dikalangan kangouw tapi pertanvaan sejenis keluar dari mulut Gin koh, jelas bobotnya berbeda ini pertanda pula bahwa Gin koh juga tahu bahwa orang ini bukan jago sembarang jago, maka nada pertanyaannya cukup prihatin, padahal Gin-koh yang berwatak kaku berangasan ini mana mau bersikap sopan dan bertanya secara wajar?
Cia Ing-kiat berusaha memalingkan muka melirik keluar, dalam kegelapan sekujur badan Gin-koh seperti dibungkus cahaya perak kemilau, wajah Sau-pocu dari Kim-hou po yang pucat lesi itu kelihatan seram dan menakutkan dibawah pancaran sinar reflek baja
Tampak Sau-pocu menggerakkan ujung mulutnya, lalu berkata:"Tak usak tanyalah, apakah Cia Ing-kiat berada dalam kereta? " sembari bicara tangannya bergerak jarinya menuding kearah kereta, saat itulah mendadak pergelangan tangan Gin-koh terbalik, jari jari tangannya yang halus lembut laksana sutra gemulai laksana daun pohon pengebas ke pergelangan tangan lawan seperi pemain musik yang mengebas suara gitar,
Siang tadi tulang pergelangan tangan Cia Ing-kiat juga dikebas hingga terkilir oleh gerakan gemulai jari jari Gin-koh ini-Tapi lain pula kejadian kali ini, jelas jari-jari Gin-koh tepat mengenai pergelangan tangan orang tapi Sau-pocu seperti tidak merasakan sama sekali, katanya lebih lanjut:"Kalau betul dia ada didalam suruhlah dia keluar menjawab beberapa patah pertanyaanku," Gerakan tangan Gin koh ringan seperti melayang, gerakan tangan mengkilir tulang yang dilakukan Gin-koh ini boleh dikata tiada tandingan di Kangouw, namun kali ini jarinya seperti mengebas batu karang yang sudah lama terendam dibawah air dan lumutan, keras tapi licin, kuku jari sendiri terasa kesemutan malah, Hal ini belum pernah terjadi sejak Gin-koh mahir menggunakan ilmunya keruan hatinya bercekat, serta merta dia berteriak: "Thi-jan..."
Thi jan tetap duduk ditemparnya memegang tali kendali, maka dia melihat jelas segala kejadian meski Gin-koh tidak memanggilnya juga dia sudah siap bertindak, sebat sekali dia sudah melompat turun, begitu kaki menyentuh tanah dia bergelak tawa, katanya: ”..Dalam dunia persilatan muncul pula seorang kosen seperti dirimu, ternyata kami tidak tahu menahu, sungguh cupat pandangan kami."
Tangan Sau pocu tetap menuding kedepan, katanya:"Aku ingin becara beberapa patah kata dengan Cia Ing-kiat."
Thi jan Lojin dan Gin-koh adalah jaso silat kelas wahid, barusan Gin koh sudah menjajal kemampuan anak muda ini, meski hati tidak jeri, namun dia tahu bila betul-betul bergebrak, belum tentu dirinya bisa menang. Maka Gin-koh merobah sikap, katanya dengan cekikikan: "Cia saupocu adalah menantu baru orang, ada urusan apa tuan ingin tanya dia?" diam diam dia memberi tanda kepada Thi-jan Lojin. Maka Thi-jan Lojin mundur selangkah, tangannya yang digendong dibelakang menutuk balik kebelakang kearah kereta, sejalur angin meluncur kebelakang membentur tubuh Cia Ing-kiat hingga Hiat-tonya yang tertutuk terbuka.
Diwaktu Hiat-to tertutuk karena ketakutan sekujur badan basah kuyup oleh keringat dingin, kini selelah Hiat-tonya terbuka, terbuka, bukan saja kedinginan diapun menggigil. Sementara Gin-koh dan Thi-jan Lojin tetap berhadapan dengan Sau-pocu, agaknya mereka bersiaga sepenuh perhatian. Didengarnya Thi jan Lojin berkata: "Sau-pocu, saudara ini mencarimu ingin tanya sesuatu hal, apa kau mengenalnya?"
Lekas Cia Ing-kiat tenangkan hati terpaksa dia mengeraskan kepada melorot turun dari dalam kereta, sahutnya: "Aku tidak mengenalnya."
Begitu dia berdiri tegak serangkum angin silir seketika menyampuk mukanya, Sam-pocu dari Kim-hou-po ternyata bergerak lincah laksana kupu menari dan menyelinap, tahu- tahu tubuhnya menjeblos dari celah berdiri antara Gin koh dan Thi jan Lojin dan berdiri didepannya. Reflek Thi-jon Lojin dan Gin-koh juga cukup cepat, segera mereka sudah membalik badan tapi mimik muka mereka kelihatan lucu menggelikan.
Maklum mereka berdiri jajar sejauh dua kaki berhadapan dengan orang, dengan bekal kepandaian mereka berdua, jangan kata manusia, seekor lalatpun jangan harap bisa menyelinap dari celah-celah mereka. Tapi dengan kemampuan mereka yang hebat, kenyataan pemuda ini telah menyelinap kebelakang mereka, Bagaimana orang bergerak juga tidak terlihat jelas, hanya merasa angin sejuk menerobos. Tahu- tahu orang sudah berhadapan dengan Cia Ing-Hiat, sungguh kejadian luar biasa, dan sekaligus telah menyapu bersih pamor mereka sebagai angkat tua yang berkepandaian tinggi, tak heran bila mimik muka mereka sedemikian lucu.
Timbul hasrat Cia Ing-kiat menyurut mundur, namun baru pundaknya bergerak. Sam-pocu sudah ulur tangan memegang urat nadinya, betapa cepat gerakan tangannya sungguh cepat luar biasa, seketika Cia Ing-kiat lemas lunglai, tenaga tidak mampu dikerahkan, didengarnya Sau-pocu berkata; "Serahkan"
Bergidik tubuh Cia Ing kiat, giginya sampai beradu, beberapa kali dia meronta baru bisa bersuara: "Apa...apa yang diserahkan?" Saat itulah Thi-jan Lojin membentak: "He, kau bilang hanya tanya beberapa patah kata, kenapa turun tangan?"
Walau urat nadi Cia Ing-kiat kena dipegang, tapi Sau pocu. tidak menggunakan tenaga besar, namun Thi-jan Lojin tidak tahu bahwa Cia Ing-kiat ketakutan akan bayangannya sendiri sehingga tubuhnya menggigil, suara gemetar, namun dia kira Sau-pocu memencet urat nadinya dengan tenaga dalam sehingga keadaannya kelihatan payah.
Sau-pocu anggap tidak dengar akan bentakan Thi-jan Lojin, katanya setelah tertawa dingin beberapa kali: "Ciong Tay pek jangan pura pura pikun dihadapanku."
Thi-jan Lojin saling pandang sekejap dengan Gin koh berkata: "Apa kau tidak keiiru mengenali orang Dia bukan Ciong Tay-pek, tapi Sau-congcu dari Hwi-long ceng bernama Cia Ing-kiat."
Cia Ing-kiat juga berseru: "Kau panggil apa terhadapku "
Dingin setajam pisau tatapan bola mata Sau-pocu, seperti menyelidik wajah Cia Ing-kiat. Kini Cia Ing-kiat malah lebih tenang, karena dia sudah tahu bahwa Sau-pocu juga tidak yakin bahwa dirinya betul adalah Ciong Tay-pek, asal dirinya tetap mungkir, orang pasti apa boleh buat. Maka badannya tidak gemetar lagi, kini wajahnya memperlihatkan sikap marah, serunya : "Kau ini pikun, sebetulnya siapa yang kau cari dan ada urusan apa ?"
Sau-pocu membentak bengis : "Kau pernah belajar tata rias di Jit cap ji-pian Toa-seng bun. Betul tidak ?"
Tersirap darah Cia Ing-kiat. "Ya, kenapa?" tapi segera dia menjawab.
"..Setelah tamat belajar tata rias, ke mana saja kau selama ini?" Sau-pocu bertanya pula.
Cia Ing-kiat marah, serunya : "Kau ini siapa, kenapa aku harus memberitahu kepadamu " "Katakan" bentak Sau-pocu sambil memperkeras pegangan tangannya.
Terasa segulung tenaga besar merembes masuk lewat urat nadinya menerjang jantung dan paru paru. tak tertahan mulutnya terpentang dengan jeritan melengking. Reaksi Gin koh dan Thi jan Lojin teramat cepat, sebat sekali mereka maju selangkah, Thi jan Lojin turun tangan lebih dulu. "Plak" jari- jari tangannya sudah menekan pundak Sau-pocu. Gerak menekan ini kelihatannya biasa saja. pada hal dilandasi kekuatan dalamnya kalau orang biasa ditindih tenaga sebesar ribuan kati pasti tidak akan kuat menahannya, kaki lemas dan pasti berlutut. Tapi Sau pocu yang satu ini tetap berdiri tegak malah menoleh, katanya dingin : "Kalian tidak mudah belajar silat apa lagi sampai setua ini, nama besar juga sudah punya di Kangouw jangan hanya karena mempertahankan gengsi, latihan Kungfu selama puluhan tahun terhanyut ludes tanpa bekas."
Walau merasa kaget terhadap Kungfu anak muda ini, apalagi dengan bekal pengalaman dan pengetahuan mereka selama ini ternyata tidak tahu asal usulnya, Gin-koh dan Thi- jan Lojin memang merasa masgul dan heran, padahal usianya masih begini muda, tapi memberi peringatan cukup pedas, mana kuat mereka menahan perasaan hati? Maka Thi-jan Lojin bergelak tawa, hawa murninya di kerahkan, maka tekanan tangannya dipundak Sau-pocu juga bertambah besar.
Tapi kecuali mengerut kening Sau-pocu tetap tenang seperti tidak terjadi apa-apa.
Apapun Thi jan Lojin memang tokoh bukan sembarang tokoh, jago- silat yang berpandangan obyektif, dalam keadaan tegang begini, lawan masih kelihatan biasa saja, maka dia insaf, bila tidak lekas lepas tangan dirinya bakal mengalami rugi yang cukup fatal, maka lekas dia kendorkan tenaga dun mengangkat tangan. Sayang sekali meski dia ingat akan hal ini. tapi sudah terlambat, baru sedikit tangannya terangkat Sau-pocu sudah membalik seraya mengebas telapak tangannya, betapa ringan seperti melayang saja gerak tangannya, namun begitu melihat gaya tangan orang wajah Thi-jan Lojin yang merah itu seketika menjadi pucat. terdengar dia menjerit keras : "Kasihanilah." "Plak" tangan orang juga menepuk pundaknya
Pukulan ini kelihatan enteng, waktu kena pundak Thi-jan Lojin suaranya juga tidak keras. Tapi akibat dari pukulan ini justru teramat bebat, siapapun pasti menjiblek kaget.
Terdengar Thi-jan Lojin meraung seperti binatang buas yang terluka, badannya mendadak mencelat terbang "Blang" menumbuk seekor kuda. kuda Itu meringkik kesakitan roboh tak bernapas lagi. Sementara badan Thi-jan Lojin masih menelat terbalik kebalik kuda sambil ulur tangan berpegang kereta, pikirnya supaya dirinya tidak terguling sungsang sumbel pula, tak nyana kereta ikut tertarik terbalik, tubuhnya masih juga terlempar kebelakang menumbuk pohon sebesar paha, pohon itupun patah seketika baru dia kuasa berdiri, namun juga masih terhuyung lagi tiga tindak.
Disebelab sana. Gin-kob juga menyurut mundur beberapa langkah. Dia mundur bukan lantaran didampar angin pukulan, tapi dia amat kaget dan pesona melihat akibat dari pukulan tangan San pocu. Demikian pula Cia Ing kiat, hatinya tidak karuan rasanya.
Betapa tidak, Giu-koh dan Thi-jan Lojin mempunyai ketenaran dan kewibawaan besar di Bulim, masuk Hwi liong ceng menculik orang secara paksa untuk menikah secara sepihak, seperti tiada orang lain yang lebih unggul dan gagah dari mereka, tapi sekarang seperti bocah umur tiga tahun, kalau Thi-jan Lojin dihajar kalang kabut, tapi Gin koh jago lihay juga menyurut ketakutan, mimik mukanya kelihatan lucu dan runyam.
Setelah berdiri tegak Thi jan mengelus dada dan kendalikan napas, sesaat lamanya baru dia kuasa bersuara : "Terima kasih akan belas kasihanmu. Terima kasih akan belas kasihanmu."
Melirik pun tidak Sau-pocu, kepadanya, pandangannya menatap Gin-koh sikap Gin-koh tetap runyam, katanya : "Apa kehendakmu "
Bergerak ujung mulut Sau-pocu, seperti tersenyum tidak tersenyum, katanya : "Aku hanya ingin membawanya pergi."
Thi-jan Lojin sudah menghampiri perlahan, melibat pernyataan Sau-pocu segera ia berhenti dan saling toleh dengan Gin-koh, sikap mereka serba susah Gin koh yang sudah terkenal jahat dan licin ini ternyata berseri tawa dan merendah : "Harap tuan maafkan terus terang kami disuruh oleh fihak yang berkepentingan untuk membawa Sau-cengcu dari Hwi-liong-ceng ini, untuk mencapai tujuan memerlukan lima hari lagi. Dengan bekal kepandaian tuan tadi, bila sudah ditempat tujuan secara terbuka kau menuntut kepada mereka kurasa juga bukan soal yang menyulitkan."
San pocu mendengarkan dengan cermat, Gin-koh bicara habis, dia lantas, tanya : "Pihak siapa yaug berkepentingan?"
Gin-koh geleng kepala : "Maaf, kami tidak berani menjelaskan."
Sm-pocu mendengus, katanya: "Siapa sabar main teka teki dengan kalian?" sembari bicara sebelah tangannya bergerak membalik mencengkram kerah Cia Ing-kiat. Jarak mereka ada delapan kaki, waktu tangannya mencengkram balik tubuhnya tidak bergerak, maka cengkramannya ini jelas tidak tercapai pada sasaran.
Tapi pada saat jari-jarinya terkembang kebelakang lalu mendadak ditebuk dan meremas, kontan Cia Ing Kiat merasa segulung tenaga besar menerjang dada sehingga tubuhnya terjengkang kebelakang, namun hanya sedikit tenaga besar itu berubah menjadi daya sedot yang lebih besar dari dorongan semula, tubuhnya seperti digantol besi saja, tanpa kuasa dia senak maju lima langkah, kejap lain terasa dadanya perih, ternyata Sau-pocu sudah mencengkram dadanya.
Dalam waktu yaug sama terdengar Gin-koh berteriak : "Kalau kau merebut secara paksa terpaksa kami adu jiwa dengan kau."
Karena dada tercengkram ternyata Cia-Ing-kiat kehilangan tenaga, jantungnya seperti ditusuk jarum sakitnya, hampir saja dia tidak knat lagi, mulutnya megap-megap karena napas sesak, kupingnya masih mendengar teriakan Gin-koh, sinar perak berkelebat, ternyata Gin-kon nekat menerjang. Dari sanmping terdengar pula Thi-jan memekik : "Gin-kon, jangan." menyusul terdengar pula "Seerrr", terasa oleh Cia Ing-kiat tubuhnya seperti dilempar terbang keatas
Begitu cepat kejadian berlangsung sehingga dia tidak sempat mendengar suara lainnya lagi, yang jelas dia melihat bayangan perak menerjang lewat dibawah kakinya, agaknya Gin-koh tak kuasa kendalikan gerakannya masih terus menerjang kedepan baru sekarang Cia Ing-kiat sadar bahwa dirinya masih di-cengkram Sau-pocu dan dibawa mencelat tinggi keudara.
Sambil menjinjing tubuh seorang besar, lompatannya masih dapat mencapai dua tombak tingginya, terhindar dari sergapan Gin-koh lagi, betapa tinggi Ginkangnya, sungguh susah dibayangkan.
Dalam sekejap ini Cia Ing-kiat sudah membulatkan tekadnva, bahwa dia pantang mengaku pernah masuk ke Kim- hou-po meski dirinya disiksa dengan cara apapun, karena dia insaf sekali dia mengaku, jiwanya mungkin sukar dipertahankan lagi. Disaat Ing-kiat membulatkan tekadnya ini, gerakan Siau pocu mulai anjlok kebawah. namun sebelum menyentuh tanah langsung melesat kencang ke-depan.
Kecuali deru angin dipinggir telinganya, Ing-kiat mendengar pekik suara Gin-koh dan bentakan Thi-jan Lojin, namun hanya sekejap saja sudah tak terdengar lagi karena jarak sudah makin jauh. Jantung Ing-kiat seperti kuda yang berlombang kencang, entah berapa jauh dirinya dibawa lari sekencang angin lesus, akhirnya "Bluk" tubuhnya terbanting keras, suara apapun tak terdengar lagi.
Cia Ing-kiat berusaha membuka mata, didapati dirinya nenggeletak di tanah.
Sian-po cu berdiri didepannya. Sebetulnya Kungfu Cia Ing- kiat tidak rendah, hanya jatuh begitu sebetulnya tidak sampai menjerit kesakitan, tapi waktu menyengkelit dan membanting tubuhnya entah Sim-pocu menggunakan Jong jiu-hoat apa. begitu tubuh menyentuh bumi seketika Cia Ing kiat rasakan sekujur badannya seperti luluh dan lunglai, tulangnya seperti protol. rasa sakit yang menusuk tulang sungguh sukar ditahan lagi, disamping menjerit-jerit tengorokannya juga mengeluarkan suara rendah seperti binatang buas yang menggerung kelaparan, ada hasratnya mengerahkan hawa murni untuk meugatasi rasa sakit ini hakikatnya dia seperti orang lumpuh yang tidak mampu mengerahkah tenaga sedikitpun, jelas ada beberapa Hiat-to penting di tubuhnya yang tertutuk oleh cengkraman tangan orang tadi.
Meski tubuh sudah berkeringat dingin dan gemetar saking menahan rasa sakit, tapi Cia-Ing-kiat masih kertak gigi, katanya dengan suara gemetar: "Kau......kau tanpa sebab.
..begini..." dia tidak manpu meneruskan perkataannya. Sebetulnva dia sudah siapkan rangkaian kata hendak memaki orang, namun hanya dua patah kata terlontar dari mulutnya, seketika dia menjerit-jerit pula. Selama setengah jam Cia Ing- kiat tersiksa, dia sendiri tidak habis mengerti, bagaimana dia kuat bertahan selama ini.
Setengah jam kemudian rasa sakit badannya mulai buyar, namun siksa derita seperti bergelombang itu sungguh membuatnya lemas dan lemah seperti kapas, badan basah kuyup oleh keringat dingin, walau rasa sakit berangsur hilang, tapi napasnya masih sengal-sengal.
Didengarnya suara Siau-pocu yang dingin kaku berkata pula: "Han kin-joh-kut-jiu yang kulancarkan barusan hanya mengerahkan satu bagian tenaga, sekarang akan ku tumbah satu bagian lagi. apa kau ingin mencobanya ? "
Sungguh seperti terbang arwah Cia Ing-kiat mendengar ancaman orang, pada hal baru saja dia kertak gigi menelan air liur. siksa kesakitan setengah jam tadi belum lagi lenyap seluruhnya, mana kuat disiksa lebih parah lagi. Karuan hatinya ciut dan ngeri, teriaknya: "Jangan jangan turun tangan."
Sau pocu tertawa dingin, katanya: "Tadi sudah kukatakan,akhirnya juga meski ngaku, kenapa lebih suka disiksa lebih dulu."
Napas Cia Ing-kiat masih memburu, sudah timbul hasratnya ingin bicara terus terang saja supaya dirinya tidak tersiksa begini rupa, namun sekilas benaknya berpikir pula, akhirnya dia kertak gigi. katanya: "Sungguh aku tidak tahu persoalan apa yang kau ingin aku katakan,"
Siau-pocu tertawa dingin, sejalur angin lembut langsung menerpa mukanya, ditengah gelap dia seperti Siau-pocu mengebas lengan baju sehingga wajahnya seperti diusap sekali tapi tenapa usapan itu terasa lembut dan menimbulkan rasa linu dan gatal, tapi juga nyaman segar.
Tengah Ing-kiat keheranan, kenapa kebasan tenaga orang seringan ini mendadak dia teringat bila ilmu Hun-kin-joh-kut- jiu diyakinkan mencapai taraf tinggi, setiap kali turun tangan dapat membuat lawan lemas dan gatal, rasa gatal yang tak tertahankan itu mampu membuat seseorang menjadi gila.
Terbayang akan hal ini, serasa terbang arwah Cia Ing-kiat dari badan kasarannya, ditengah pekik suaranya yang keras, tubuh-nya mendadak mumbul keatas. Tapi tubuhnya hanya mumbul satu dua kaki, rasa gatal yang dimulai dari mukanya lekas sekali sudah menjalar keseluruh badan Cia Ing-kiat angkat tangan menggaruk kemuka sendiri, namun kedua tangannya lemas lunglai tak bertenaga, umumnya rasa sakit bisa ditahan, namun rasa gatal sungguh tak bisa ditahan lagi. Seorang kesatria atau pahlawan gagah umpama tangan buntung kaki putus juga takkan menjerit kesakitan, namun rasa gatal itu seperti timbul dari tulang sumsum, laksana ribuan semut yang merambat bersama kesekujur badan, menggigit dan menggerogoti tubuhnya, betapa hebat siksaan seperti ini sungguh sukar ditahan oleh manusia manapun.
Cia Ing-kiat pernah mendengar cerita, dahulu dengan Hun- kin-joh-kut-jiu (cara menyilang tulang cari memelintir urat) Go-bi-siang ki (sepasang orang aneh dari Go-bi) menghukum seorang maling cabul yang kelewat jahat dari golongan hitam, dikala rasa gatal tak tertahan lagi, kedua tangan maling cabul itu menggaruk dan mencakar sekujur badan sehingga kulit daging sendiri digaruknya sampai cecel duwel sehingga kelihatan tulangnya, isi perut kedodoran darah kering akhirnya meninggal.
Namun sekarang Cia Ing-kiat rela mati secara demikian, karena keadaannya sekarang lemah dan lunglai tidak mampu mengerahkan tenaga sedikitpun untuk menggaruk dan mencakar kulit daging sendiri juga tidak mungkin.
Kalau kedua tangan tidak mampu menggaruk padahal rasa gatal itu makin lama makin gatal, aKhirnya tenggorokannya mengeluarkan suara "ah, uh" yang menakutkan badannya meringkel dan kelojotan. semula dia kira bila dirinya meringkel rasa gatal itu akan tertahan, atau agak mending, tak nyana semakin dia menekuk kaki dan badan rasanya makin gatal, apa boleh buat terpaksa Cia Ing-kiat meluruskan badan dan kaki tangan, secara kekerasan dia melonjak keatas. Entah bagaimana jadinya, yang jelas badannya melenting mumbul dua kaki tinggi nya, "Elang" dengan keras tubuhnya terbating lurus dan datang sehingga raja gatal di campur rasa kesakitan yang luar biasa.
Begitulah secara beruntun Cia Ing - kiat meringkel lalu meluruskan tubuh lagi sehingga badannya melejit mumbul mirip ikan yang jatuh ketanah dan berkelojotan karena kehausan, makin kerap tubuhnya jatuh terbanting diatas lantai yang pecah dan gumpil hingga kulit badannya lecet berdarah, agaknya dia tersiksa terus begitu sampai tenaga habis darah kering sampai mati.
Penderitaan yang dialaminya sekarang mungkin lebih parah dari ikan yang meninggalkan air, napasnya sampai ngos- ngosan, ke dua bola matanya melotot besar seperti hampir menclat keluar dari pelupuknya, tenggorokan masih terus mengeluarkan suara tidak genah, sekujur badai basah kuyup oleh keringat dingin, sehingga lantai sekitarnya-lama kelamaan menjadi basah seperti disiram air.
Rasa gatal itu memang susah ditahan, karena kedua tangan tidak mampu menggaruk, maka tubuhnya terus berkelojotan naik turun, siksaan ini teramat berat sehingga otaknya tak sempat memikirkan persoalan lain.
Bila dia bisa menenangkan diri pasti otak nya bisa berpikir secara tenang,dari pada tersiksa demikian rupa, lebih baik mati saja, maka bukan mustahil dia akan menceritakan duduk persoalan sebenarnya. Setengah jam lamanya Cia Ing Kiat berkelojotan naik turun hingga tenaganya betul-betul habis, akhirnya dia hanya rebah terlentang tak bisa bergerak lagi, syukur rasa gatal itu-pun sudah makin berkurang, selama semasakan air lamanya baru Cia Ing-kiat menenangkan perasaan dan pernapasannya, kini rasa gatal itu sudah lenyap seluruhnya, tapi dirinya seperti baru lolos dari pintu neraka, setelah merangkak keluar, rebah ditanah tak mampu berkutik lagi. Dalam keadaan selemah itu, diam-diam Ciang Ing-kiat tidak percaya pada dirinya, bahwa setelah mendalami siksaan seberat itu, dirinya masih kuat bertahan. Lama dia mendekam sambil mengatur napas, selama itu tak mendengar suara Siau- pocu, di kala dia angkat kepala melihat keadaan sekitarnya, mendadak segulung tenaga terasa mengebas mukanya pula.
Tenaga lunak itu cukup membuatnya membalik badan saja. hakikatnya tidak menimbulkan luka atau sakit sedikitpun namun Cia Ing-kiat sudah ketakutan sendiri terbayang oleh dua kali siksaan tadi begitu badan terdorong terlentang seketika dia menjerit ngeri:"Baiklah aku katakan. Aku katakan." suaranya gemetar, badan bergulingan kakinya tembok, kembali napasnya sengal sengal.
Dari tempat gelap sana, suara Siau-pocu terdengar dingin:"Sudah kuperingatkan sejak tadi, ketahuilah, tiada seorangpun yang kuat menahan Hun-kin-jin-kut yang kulancarkan"
Wajah Cia Ing-kiat mendempel lantai, setelah mengalami dua kali siksaan, tekadnya tadi sudah goyah dan sekarang dia berpikir lain, jiwa ksatrianya sudah tak berbekas lagi pada dirinya, keadaannya lebih mirip anjing liar yang dikuliti orang menggeletak lemah pasrah nasip belaka.
Sesaat kemudian suara Siau-pocu kumandang pula dikegelapan: "Cara bagaimana kau bisa masuk ke Kim_hou- po? Setelah di Kim-hou po, bagaimana pula kau tahu seluk beluk rahasia didalam perbentengan. Lekas katakan."
Pelan pelan Cia Ing kiat memaling muka wajah Siau-pocu yang pucat ternyata tak jauh disebelahnya.wajah mirip muka setan yang terapung diudara. setelah bergidik baru dia berkata dengan suara sengau:"Aku........ kudengar didalam Kim-hou-po ada sebuah benda pusaka dinamakan. . . " sampai di sini. mendadak terbayang bahwa akhirnya dirinya juga akhirnya mati, seketika seperti di iris-iris sanubarinya. "Katakan lebih lanjut." seru Siau poca nadanya penuh ancaman.
Cia Ing kiat manggut-manggut, kuatir orang turun tangan keji pula, dengan napas ngos-ngosan dia melanjutkan: "Sebelumnya aku membuat persiapan matang, pertama meguru Tay-seng-bun mempelajari tata rias, dengan menyamar sebagai Ciong Tay-pek aku pura pura masuk ke dalam Kim-hou-po,"
Siau pocu tertawa dingin. katanya;"Kenapa waktu kau masuk ke Kim-hou-po aku sudah tahu, betapa banyak orang- orang yang memiliki Kungfu jauh lebih tinggi dari kau, setelah diperingati, yang pertama kali semua memadamkan niatnya untuk melarikan diri dari Kim-hou-po, kenapa kau justru tidak takut?"
Cia Ing-kiat tertawa getir, "kenapa kau tidak takut, kenapa timbul hasratnya masuk ke Kim hou-po serta berusaha melarikan diri pula, hal ini dia sendiripun susah memberi keterangan. Sudah tentu masih segar dalam ingatannya, keadaan setelah dirinya diperingatkan yang pertama kali dalam beberapa hari itu, bukankah dirinyapun dalam keadaan orang-orang lain didalam Kim-hou-po, siap tinggal di Kim-hou- po seumur hidup sampai ajal mendatang?
Namun ada sedikit perbedaan dirinya dengan orang lain. yaitu dia bersua dengan perempuan yang juga mengenakan kedok iui. Maka dengan napas tersengal dia berkata: "Aku, .. . bertemu seorang perempuan, dia , . . . memberitahu kepadaku di mana dapat menemukan pusaka."
Siau-pocu kelihatan melenggong sejenak, namun nada suaranya tetap dingin: "Agaknya kau mau bicara jujur, perempuan yang kau maksud, apakah yang mengenakan kedok jelek itu?"
Setelah disiksa dua kali Cia Ing-kiat betul-betul sudah kapok lahir batin, kuatir orang tidak percaya akan keterangannya, mungkin dirinya disiksa lagi, kini mendengar Siau-pocu mengatakan dirinya sudah bicara jujur, hatinya amat senang, lekas dia berkata pula: "ya, ya. Mana berani aku mengelabui kau."
"Jangan banyak omong, selanjutnya apa yang kau Lakukan?" desak Siau-pocu dingin.
"Malam itu juga aku turun tangan sesuai petunjuknya, tak nyana begitu aku menemukan pusaka itu , perempuan itu mendadak muncul merebut pusaka itu dari tanganku, melihat ada kesempatan maka sekalian aku melarikan diri keluar dari Kim-hou-po"
"hhmm," siau-pocu menggeram, "kapan kejadian itu?"
Cia Ing-kiat menarik napas, katanya: "Tanggal lima belas bulan lalu . . ".
Sampai di sini mendadak, dia teringat malam ini tanggal 14 bulan 3, sinar bulan menyorot masuk lewat lobang besar diatap kuil, maka dia menambahkan: "Dengan hari ini tepat satu bulan"