Jilid 4
Burung itu setelah terbang berputaran sebentar, kemudian terbang menukik menuju ke arah batu aneh yang tumbuh rumput aneh pula. Melihat keadaan demikian, burung besar itu mungkin telah terbang mendatangi karena hendak mendapatkan rumput aneh itu, dan itu kawa-kawa besar mungkin adalah musuhnya burung tersebut, maka sebelum burung itu tiba di tempat tersebut, sengaja mengeram di dalam lobang untuk menunggu kedatangannya.
Cu Ling Cie karena merasa sayang dan senang pada burung itu, kuatir kalau kena dibokong oleh kawa-kawa berbisa itu, maka lantas menghunus pedangnya untuk memberi pertolongan bilamana perlu. Itu waktu, burung rajawali itu sudah terbang turun mendekati batu di tengah-tengah kolam itu.
Kawa-kawa berbisa itu seolah-olah seekor harimau yang sedang mengintai mangsanya, dengan sabar ia tetap menunggu, meski musuhnya sudah berada di depan mata. Burung rajawali itu telah berdiri di atas batu dengan sebelah kakinya, sambil memandang ke kanan kiri, dan kepada Kim Tan dan kawan- kawan memandang agak lama. Setelah tidak ada gerakan apa- apa, lalu memutar kepalanya ke belakang, dengan cepat mengulur lehernya untuk mematok buah yang ada di atas rumput aneh itu.
Pada saat burung rajawali sedang mematok buah dan tubuhnya membelakangi, kawa-kawa berbisa itu lalu menyemburkan serupa tali yang kuat. Ketika burung rajawali itu dapat tahu dirinya terancam bahaya, ternyata sudah terlambat, karena seluruh tubuhnya dengan cepat sudah dilibat oleh jalanya kawa- kawa berbisa itu, sehingga tidak bisa bergerak. Kawa-kawa berbisa itu lantas keluar dari tempat sembunyinya, merayap mendekati burung rajawali yang sudah tidak berdaya sama sekali itu.
Cu Ling Cie yang telah pasang mata sedari tadi, lantas bertindak dengan cepat, dengan menggunakan pedang pusakanya, ia timpukan ke arah kawa-kawa berbisa itu. Pedang pusaka itu laksana kilat meluncur ke sasarannya. Sebentar kemudian, terdengar suara yang seram, kawa-kawa itu tubuhnya tertusuk pedang dan jatuh ke dalam kolam. Air kolam lantas berubah menjadi hitam dan mengeluarkan suara seperti air mendidih.
Kawa-kawa berbisa itu meski sudah mati, tapi burung rajawali itu tubuhnya masih terlibat oleh jaringnya kawa-kawa tersebut dan tidak bisa bergerak. Selagi Cu Ling Cie hendak maju mendekati untuk memberi pertolongan, burung itu berbunyi tidak henti- hentinya, seolah-olah mencegah ia supaya tidak maju dekat.
Melihat keadaan demikian, Cu Ling Cie lantas menggunakan akal, dari kantongnya ia mengambil sebutir pil, untuk ditaruh di dalam mulutnya, kemudian mengambil pedang pusakanya Kim Tan, lantas lompat ke atas batu aneh itu. Siapa tahu bahwa jaring kawa-kawa itu mengeluarkan bau yang tidak enak, maka ia lalu menggunakan ilmu pukulan tenaga dalam yang dapat menembus udara, sehingga sebentar kemudian, jaring-jaring yang melibat tubuh burung itu telah terputus semuanya.
Burung rajawali itu meski sudah terlepas dari libatan jaring kawa- kawa, tapi masih tetap berdiri tidak bisa terbang, kelihatannya sangat lemah, tidak garang lagi seperti waktu mematok ular berbisa tadi. Cu Ling Cie merasa suka kepada burung tersebut, melihat keadaannya yang sangat mengenaskan ini, ia mengira terkena racunnya kawa-kawa, maka lalu mengambil sebutir pil diberikan kepadanya. Burung rajawali itu meski tidak menyingkir, rupa-rupanya tidak suka dengan pil obat itu, hanya dengan sepasang matanya yang bunder, besar dan merah memandang buah di atas rumput aneh itu.
Cu Ling Cie lantas berpikir, mungkinkah burung ini ingin makan buah itu? Jika dilihat keadaannya, memang kedatangannya burung itu juga oleh karena hendak makan buah tersebut.
Cu Ling Cie lalu masukan kembali pilnya, dan memetik buah aneh itu diberikan kepadanya. Burung rajawali itu segera mengulur patoknya yang panjang, dengan pelahan makan buah yang berada di tangannya Cu Ling Cie, kemudian dengan mengeluarkan suara nyaring, lalu terbang ke angkasa.
Cu Ling Cie mendongakkan kepalanya, dengan terlongong- longong melihat terbangnya burung itu. Ternyata burung itu tidak terbang jauh, hanya berputar-putar sebentar saja di atas mereka, kemudian menukik ke bawah, dengan sepasang kakinya ia mengambil pedang Cu Ling Cie yang menancap ditubuh kawa-kawa berbisa tadi. Cu Ling Cie yang telah menyaksikan kecerdikan burung itu, tambah merasa suka, hingga mengulurkan tangannya untuk mengelus-elus bulunya, burung itu ternyata sangat jinak. Bukan saja tidak menyingkir, malahan jongkok di atas batu, membiarkan tubuhnya dielus-elus oleh Cu Ling Cie.
Cu Ling Cie dengan suara lemah-lembut berkata kepada burung itu: „Burung, jika kau mengerti, selanjutnya kau jangan tinggalkan aku, setelah kita nanti membereskan sakit hati ayah bunda kita, aku akan bawa kau ke Ngo-bie-san, disana ada banyak lebih bagus daripada di tempat ini.”
Kawan-kawan Cu Ling Cie yang menyaksikan kelakuannya yang masih kekanak-kanakan ini, pada merasa geli. Tak dikira kalau burung itu benar-benar telah menjadi jinak, malahan sangat baik sekali terhadap Cu Ling Cie.
Selagi mereka hendak memberikan nama untuk burung rajawali itu, tiba-tiba mencium bau kembang kwi-hua yang wangi, tapi tercampur hawa gas. Ma Beng, Cu Ling Cie dan Kim Tan, karena kekuatan tenaga dalamnya sudah mencapai tingkatan yang sangat tinggi, masih dapat bertahan, tapi bagi He Kau Chun yang tenaga dalamnya masih agak rendah, segera tidak tahan hawa gas itu, sehingga tumpah-tumpah.
Ma Beng tahu gelagat kurang baik, selagi hendak merogoh obatnya, burung rajawali itu sudah mencabut rumput ajaib itu bersama-sama akarnya, dan diberikan kepada empat orang itu. Mereka setelah menempelkan rumput itu di hidung masing- masing, terasa bau yang sangat harum, dan benar saja hawa gas itu segera lenyap sendirinya.
Burung rajawali yang tadinya mendekam di dekat kakinya Cu Ling Cie, dengan secara mendadak telah terbang tinggi. Karena kuatir burung itu akan pergi jauh, Cu Ling Cie merasa sangat cemas.
Ma Beng berkata sambil tertawa: „Siau-tit tak usah kuatir. Binatang-binatang yang cerdik sejenis burung rajawali itu, paling sukar ditundukkan oleh manusia, akan tetapi bila ia sudah menurut, seumur hidupnya tidak berubah hatinya. Jika kau tidak percaya, coba nanti kau usir padanya, ia juga tidak akan minggat. Jika dilihat arah terbangnya, seperti menuju ke tempat dari mana asalnya hawa gas tadi, mungkin ada binatang beracun lain lagi yang ia hendak tempur. Mengapa kita tidak membuntuti ia dengan diam-diam, untuk memberi bantuan jika perlu.”
Perkataan Ma Beng ini memang beralasan, maka mereka lalu berangkat menyusul ke arah terbangnya burung rajawali tadi.
Burung rajawali itu sebentar terbang sebentar berhenti, tak lama kemudian, kembali terbang ke atas, seolah-olah memimpin empat orang itu berjalan terus. Tempat-tempat yang dilalui memang di bawah lembah, tapi akhirnya mereka tiba di satu puncak gunung yang tinggi. Anehnya di bawah lembah itu masih ada lembah lagi yang lebih curam, sehingga tidak kelihatan dasarnya.
Di tempat sejarak kira-kira lima tumbak jauhnya dari tempat mereka berdiri, ada sebuah batu gunung yang menonjol, batu itu rata laksana kaca, lebarnya kira-kira berapa puluh meter persegi. Di ujung batu itu ada tumbuh tiga batang pohon siong yang sudah tua usianya, yang berdiri disitu merupakan bentuk segi tiga. Di tengah-tengah pohon siong itu, ada tiga goa sebesar piring tembaga.
Hawa gas beracun tadi ternyata keluar dari tiga goa tersebut. Aneh adalah burung rajawali tadi, setelah memimpin empat orang tiba di tempat tersebut, ia sendiri sebaliknya telah terbang sangat tinggi, tidak tahu kemana perginya.
Ma Beng yang sudah banyak pengalamannya, melihat keadaan demikian, segera dapat menduga tentu akan terjadi apa-apa. Dengan suara perlahan ia berkata kepada Cu Ling Cie: „Melihat tindakannya burung itu, dalam goa ini mungkin tersembunyi benda atau binatang yang sangat beracun. Baiklah kita supaya berhati-hati. Rumput ajaib ini mungkin dapat menolak hawa racun, kita remas saja dan dimasukan dalam lobang hidung, dengan demikian hingga kita tidak usah kuatir terserang racun lagi.”
Pada saat itu, di puncak gunung yang sunyi itu, tiba-tiba terdengar satu suara yang aneh, seperti suara anak kecil menangis. Dari seberang batu yang licin itu mendadak keluar serupa seutas tali berwarna, cepat laksana kilat melesat ke arah batu, dan sebentar kemudian telah tiba di atas batu yang licin itu. Ternyata adalah seekor ular yang kepalanya berjengger dan seluruh badannya berwarna indah, besar badannya seperti tong air, panjangnya kira-kira empat-lima tumbak.
Ular besar itu setibanya di atas batu, badannya bagian atas lalu diputar sangat cepat kemudian melingkar, dan kepalanya yang berjambul kelihatan di tengah-tengah lingkaran. Sebentar- sebentar meleletkan lidahnya, matanya mengawasi ke lobang goa, dan sebentar-sebentar mengeluarkan suara yang aneh.
Ma Beng melihat ular ini kaget tak alang-kepalang. Karena pada berapa tahun berselang, ketika ia mencarikan obat untuk saudara seperguruannya dan pergi jauh sampai ke daerah pedalaman Biauw-ciang, juga karena hendak mencari ular semacam ini. Itu waktu jika tidak bertemu dengan ibunya Kim Tan yang memberi pertolongan, tentunya ia sudah binasa ditelan oleh ular yang ganas dan berbisa ini. Selagi belum hilang rasa herannya, dari dalam goa terdengar suara gemeresek, di mulut goa kelihatan sinar hijau, dari dalam goa itu merayap keluar seekor ular yang aneh lagi.
Ular itu seluruh badannya berwarna hitam, bentuknya agak gepeng, lebarnya tidak ada sejengkal tangan, tapi panjangnya ada tujuh tumbak lebih. Kepalanya tidak besar, tapi sangat tajam.
Ular berjengger itu melihat musuhnya menampakkan diri, perasaannya rupa-rupanya agak tegang, karena lingkarannya menjadi kencang, kepalanya ditonjolkan lebih tinggi, matanya mengincar lawannya.
Ular hitam yang berbadan gepeng itu dengan pelahan menggeleser ke atas batu, tapi tidak seperti lain-lainnya ular yang melingkarkan badannya, hanya kepalanya saja yang diangkat tinggi kira-kira tujuh-delapan kaki, sepasang matanya bersinar, memandang ular berjengger itu.
Tak lama kemudian, kedua ular luar biasa itu segera bertarung dengan hebatnya.
Dalam pertarungan sengit itu, ular berjengger tiba-tiba mengeluarkan suara yang sangat seram mulutnya dipentang, dari dalam mulut mengeluarkan asap berwarna. Ma Beng tahu asap itu adalah senjatanya yang paling ampuh dari ular jengger itu. Tapi tak disangka-sangka kalau ular hitam aneh itu sedikitpun tidak berkisar dari tempatnya, malah mementang mulutnya untuk menyedot asap berwarna itu. Dan berbareng dengan itu, selagi ular berjengger masih mementang mulutnya, ular hitam itu secepat kilat telah menerjang dan menyelusup ke dalam mulut lawannya.
Ular berjengger itu tahu gelagat tidak baik, buru-buru merapatkan mulutnya, tapi sudah terlambat, karena ular hitam itu sudah masuk ke dalam mulutnya dan terus menyelusup ke perut untk memakan nyalinya ular berjengger itu sehingga bergelimpangan di tanah. Burung rajawali saat itu mendadak muncul di atasnya tempat pertarungan ular itu, terbang melayang-layang dan mengeluarkan suara girang.
Cu Ling Cie melihat burung rajawali itu berterbangan dengan girang, tapi sepasang matanya terus memandang ke arah dirinya, ia lalu mengeluarkan pedang pusakanya sambil berkata:
„Apakah kau tahu pedangku ini ada pedang pusaka yang sangat tajam, dan suruh aku memotong kedua ular itu?”
Burung rajawali itu mengeluarkan suara berulang-ulang, lalu menukik dengan cepat. Lalu dengan kukunya yang tajam menyerang sepasang matanya ular berjengger itu sehingga menjadi buta.
Burung rajawali itu benar-benar cerdik, setelah berhasil menyerang ular itu, lalu dengan cepat mencelok di pundaknya Cu Ling Cie, bersuara tidak berhenti-hentinya. Cu Ling Cie mendongakan kepalanya melihat burung itu, ternyata sedang memainkan rambut di kepalanya.
Cu Ling Cie lantas mengerti maksudnya burung itu, yang tentunya memberikan isyarat untuk turun tangan membinasakan kedua ular itu. Maka segera melesat ke atas batu dengan menghunus pedangnya. Kim Tan, Ma Beng dan He Kau Chun mana dapat membiarkan Cu Ling Cie menempuh bahaya sendirian, maka juga lalu menyusul satu persatu.
Itu waktu, ular hitam itu hampir seluruh badannya sudah masuk nyelusup dalam perutnya ular berjengger. Meski bagaimana besar dan ganasnya ular berjengger itu, tidak tahan juga diserang nyalinya oleh ular hitam, maka binasa siang-siang. Burung rajawali itu matanya tidak berkesip memandang ke arah buntutnya ular yang sudah mati itu.
Ma Beng agak gelisah, karena kuatirkan ular hitam itu nanti setelah dapat keluar dari bagian buntut, lebih susah membinasakannya. Selagi hendak minta Cu Ling Cie segera turun tangan, apa mau si sembrono He Kau Chun sudah memutarkan senjata ruyungnya yang beratnya seratusdelapan kati itu, secepat kilat sudah menghajar tubuh ular berjengger itu.
Ma Beng hendak mencegah, tapi sudah tidak keburu, karena ia tahu dengan pukulannya ini, si sembrono tentu akan menerbitkan bahaya. Benar saja, senjata ruyung itu ketika mengenakan tubuh ular, bukan saja tidak dapat menghancurkan tubuh ular itu, sebaliknya malahan senjata He Kau Chun yang berat itu telah terpental ke udara. Hal ini telah membikin kaget Cu Ling Cie yang berdiri di samping tubuh ular.
Kiranya Cu Ling Cie itu waktu sedang menantikan keluarnya ular hitam dari perut ular berjengger, kemudian baru turun tangan. Siapa tahu dengan tindakannya yang sembrono dari He Kau Chun itu telah membikin cepat keluarnya ular hitam itu.
Hal ini telah terjadi di luar dugaan Cu Ling Cie, maka ia tidak keburu untuk menggunakan pedangnya, untung dalam saat yang kritis itu telah datang pertolongan dari burung rajawali. Dengan cepatnya burung rajawali itu dari atas mencengkeram leher ular hitam yang sedang menonjol itu, dan kaki satunya mencengkeram badan ular supaya tidak dapat bergerak.
Cu Ling Cie pun segera maju, dengan pedangnya ia membabat tubuh ular hitam itu. Bagaimana kebalpun tubuh ular itu, tapi terkena pedangnya Cu Ling Cie segera terkutung menjadi dua potong. Meski tubuh ular itu sudah kutung, tapi masih belum mati, sepotong bagian atas dicengkeram oleh burung rajawali dan dibawa terbang ke atas udara. Sepotong bagian bawah masih bergelimpangan di tanah dan bergerak kesana sini tidak hentinya.
Ma Beng, Kim Tan dan Cu Ling Cie yang sudah tinggi kepandaiannya, dan ilmu entengi tubuhnya juga agak sempurna, maka dalam sabetan tubuh ular yang mengamuk hebat itu masih dapat melesat ke udara untuk menyingkirkan diri, tapi He Kau Chun yang agak lambat, badannya kena kesabet, sehingga terpental sampai tujuh-delapan tumbak jauhnya. Kalau bukannya ia sudah mempelajari ilmu Ie-kin-kang (menukar tempat urat) dari Tat Mo Couw-su, mungkin sudah binasa seketika itu juga.
Tubuh kedua ular itu setelah bergelimpangan sebentar lagi, lalu menggelundung ke bawah jurang. Kim Tan buru-buru mengeluarkan pil obatnya untuk memberi pertolongan kepada He Kau Chun sedangkan burung rajawali, itu waktu masih berterbangan di atas udara sambil mencengkeram tubuh ular bagian kepala.
Kim Tan melihat demikian, tahu bahwa ular itu meski sudah terputus badannya, tapi masih belum mati. Ia lalu suruh He Kau Chun menyingkir ke samping, lalu bersama-sama Cu Ling Cie menghunus sepasang pedangnya untuk siap sedia.
Burung rajawali itu rupa-rupanya mengerti maksud mereka, maka lalu melepaskan cengkeramannya, dan sepotong tubuh ular itu lalu melayang turun ke bawah. Kim Tan dan Cu Ling Cie melesat setinggi lima-enam tumbak. sepasang pedangnya lalu dikerjakan untuk memotong-motong tubuh ular itu, sehingga berhamburan mengeluarkan banyak darah dan bau yang amis luar biasa.
Setelah itu mereka berempat lalu meneruskan perjalanannya, dengan diantar oleh burung rajawali sebagai penunjuk jalan. Dalam tempo beberapa hari mereka sudah sampai di perbatasan propinsi Hun-lam. Di salah satu kota mereka mencari rumah penginapan untuk bermalam.
Mereka berempat mengambil tiga kamar, Kim Tan dan Cu Ling Cie masing-masing satu kamar, Ma Beng dan He Kau Chun satu kamar. Burung rajawali itu sudah dididik oleh Cu Ling Cie, hingga begitu dengar siulannya Ling Cie segera terbang mendatangi, maka ia tidak diajak masuk kota.
Kim Tan yang rebah di pembaringan, karena memikirkan nasibnya Han Ing, pikirannya sangat kusut, sehingga tidak dapat tidur. Pada saat itu, mendadak kertas yang dipakai untuk lobang jendela seperti ada orang yang menimpuk, menyusul mana, dari lobang kertas itu melesat masuk ke dalam selembar daun dan jatuh di pembaringannya. Menyaksikan kepandaiannya orang itu yang luar biasa, Kim Tan sangat heran, ia tidak perdulikan daun yang jatuh di pembaringannya itu, lantas membuka jendela untuk menengok keluar, tapi orang itu sudah tidak kelihatan bayangannya, dan keadaan tetap sunyi senyap. Dengan perasaan sangat heran ia kembali ke pembaringannya untuk mengambil daun tadi, ternyata di daun itu ada sebaris tulisan yang ditulis dengan kuku jari tangan, tulisan itu bunyinya demikian:
„Lekas pergi ke kuil di luar kota sebelah barat untuk menolong orang, harus pergi seorang diri, jangan mengajak Cu Ling Cie dan Ma Beng.”
Kim Tan lama memandang tulisan di atas daun itu, ia merasa orang yang menimpuk daun ini kepandaiannya sama dengan orang yang pernah menolong padanya dengan duri pohon siong, ketika ia sedang bertempur lawan dua jago dari Pek-kut-kauw. Dilihat dari caranya menimpuk, orang itu ternyata mempunyai kepandaiannya yang sudah sampai di puncaknya kesempurnaan. Tapi mengapa orang ini telah dua kali membantu secara menggelap, masih belum juga mau memperlihatkan dirinya? Ya, mengapa? Untuk beberapa saat lamanya ia tertegun, belum dapat juga jawabannya.
Jikalau dipikir secara mendalam perkataan-perkataan yang ditulis oleh orang itu, seperti juga ada kenal baik dengan Ma Beng, malahan rupa-rupanya kenal baik asal usulnya Cu Ling Cie. Untuk mendapatkan ketegasan, ia segera mengambil pedangnya dan keluar dari jendela. Setibanya di luar kota sebelah barat, ia ragu-ragu juga untuk mencari dimana adanya kuil tua itu. Mendadak matanya dapat lihat di gerombolan rimba sebelah kiri, ada sebatang tiang bendera yang agak menonjol ke udara, tidak salah lagi, itu tentu tiang bendera kuil. Ia buru-buru cepatkan gerak kakinya, menuju ke arah tiang bendera itu.
Di tempat adanya tiang bendera itu, betul saja terlihat sebuah kuil kuno yang sudah rusak keadaannya. Ia Lalu mengeluarkan ilmu entengi tubuh, melesat ke atas tiang bendera, dan memandang keadaan sekitarnya. Keadaan di malam itu ternyata sangat sunyi, hanya di bagian belakang kuil tua itu, lapat-lapat kelihatan sinar lampu yang menyorot keluar.
Kim Tan dengan indap-indap berjalan mendekati kuil tua itu, dan dengan sekali enjot tubuhnya, sudah lompat melesat ke atas kuil dan sebentar kemudian sudah berada di atas genteng pertengahan kuil. Dengan cara mencantelkan sepasang kakinya di payon rumah dan kepalanya di bawah bergelantungan, ia melihat ke dalam keadaannya kuil tua itu, dan apa yang dilihat? Di depan meja toa-pe-kong ada menggeletak sesosok tubuh wanita muda.
Melihat keadaan ini, Kim Tan terkejut. Ia ada satu ahli, maka begitu melihat segera dapat tahu bahwa wanita muda itu sudah kena totokan sehingga pingsan. Di sampingnya tubuh wanita muda itu ada berdiri muridnya Pek Cu Lam, Phoa Cay, yang sedang mengawasi wanita muda itu dengan sorot mata yang buas. Kejahatannya Phoa Cay sudah dikenal baik oleh orang-orang dari dunia Kang-ouw, maka begitu dapat lihat Phoa Cay, Kim Tan meluap amarahnya, sebetulnya sudah ingin turun tangan untuk memberi hajaran sehingga mampus. Tapi setelah mendapat lihat wajahnya wanita itu seperti sudah pernah kenal, ia lalu mengingat-ingat dimana pernah bertemu dengan wajah itu.
Selagi berpikir keras, tiba-tiba terdengar suara tertawanya Phoa Cay, dengan bangga ia berkata: „Sumoy, percuma kau memperlihatkan kesombonganmu seperti yang sudah-sudah, yang selalu tidak pandang mata padaku. Sekarang bukankah sudah menjadi barang makananku, kemudian hari baru minta izin kepada suhu, untuk menetapkan hari perkawinan kita, masa kau bisa melarikan diri lagi?”
Suara Phoa Cay ini, tambah membikin panas hatinya Kim Tan. Ternyata wanita yang tubuhnya menggeletak di tanah itu adalah Han Ing, orang yang pernah menempuh bahaya untuk memberi pertolongan dan kemudian telah jatuh cinta padanya. Sejak ia meninggalkan surat untuk ia dan Cu Ling Cie, sebetulnya sudah ingin segera mencari jejaknya, tidak nyana telah dapat diketemukan secara tidak terduga dan dalam keadaan demikian.
Han Ing yang itu malam dengan tidak sengaja telah dapat dengar pembicaraan antara Cu Ling Cie dan Kim Tan tentang dirinya. Setelah berpikir semalaman, ia lalu ambil putusan untuk mengasingkan diri ke tempat yang sunyi, tidak lagi mencampuri urusan dunia. Siapa tahu, setelah meninggalkan Kun-san, ia tidak tahu ke mana harus menuju. Berpikir bolak balik pikiran selalu berputar atas dirinya Kim Tan. Dia tahu bahwa Kim Tan pernah berjanji dalam tempo tiga bulan akan datang di Ay-lie-san, untuk menemui Pek-kut-sin-kun dan bertempur dengan Ouw-pak-sam-sat. Pek-kut-sin-kun, ialah ayah angkatnya, kepandaiannya sudah sampai di puncaknya, ditambah dengan kekuatan Ouw-pak-sam-sat, barangkali Kim Tan dan Cu Ling Cie tidak gampang-gampang bisa merebut kemenangan. Jika tidak dibantu oleh Sam Hie To-tiang, dua anak muda itu ada kemungkinan akan menghadapi bahaya besar.
Sekarang setelah dirinya sendiri sudah ambil keputusan hendak sucikan diri, mengapa tidak melakukan apa-apa untuk kebaikan kedua pihak, maka ia lalu ambil putusan hendak pulang ke Ay- lie-san lebih dulu untuk membujuk sekali lagi kepada ayah angkatnya agar suka kembali ke jalan yang benar.
Pada suatu hari, ketika ia tiba di hutan perbatasan propinsi Hun- lam, hari sudah mulai gelap. Sebetulnya harus mengaso, namun karena pikirannya ruwet, apalagi mengingat daerah tersebut adalah daerah kekuasaannya Pek-kut-kauw, sudah tentu tidak perlu takut apa-apa. Ia ingin mendahului kedua suhengnya tiba di Ay-lie-san, agar dapat kesempatan untuk membujuk ayah angkatnya.
Selagi melalui satu tempat yang tinggi dan dengan cepat jalan menurun, tiba-tiba dari belakang seperti ada orang berjalan malam yang sedang mengikuti padanya. Ia menengok ke belakang, tapi tidak kelihatan suatu bayangan orangpun juga. Kecepatan jalan orang itu, benar-benar hebat. Mengingat ilmu mengentengi tubuh ia sendiri, dalam kalangan Kang-ouw dewasa ini, jarang ada bandingannya, sekarang ternyata ada orang yang membuntuti padanya secara diam-diam tapi tidak diketahui olehnya, kali ini betul-betul bertemu dengan orang yang lebih pandai ilmunya. Selagi berpikir keras, tiba-tiba ada satu bayangan yang lari turun dari atas gunung, setelah ditegaskan, orang itu bukan lain adalah orang yang paling dibencinya: Phoa Cay.
Bertemu dengan dia, Han Ing segera kerutkan keningnya.
Phoa Cay tidak menunggu sampai ia buka mulut, sudah mendahului bertanya: „Sumoy, pertempuran di Kun-san, pihak kita karena kurang tenaga, akhirnya telah menderita kekalahan. Kuheran kepada kau tidak kelihatan dan memberi bantuan, sebenarnya kau berada dimana?”
◄Y►
Han Ing mengangkat mukanya dan menjawab dengan sikap dingin: „Jie-suheng, pertanyaanmu ini sungguh aneh, aku telah mendapat titah ayah angkatku untuk meninjau ke cabang agama kita di pelbagai tempat, ada yang berbuat nyeleweng apa tidak dan supaya memberi laporan, agar anggota-anggota yang tidak baik itu dapat dibersihkan. Pertempuran di Kun-san, ayah sudah menitahkan kau, Hang-liong-lo-han Liauw Ceng, Cian-pie-sin-mo Chek Hong untuk mengepalai dan mengurus pertempuran itu. Mereka semua adalah orang-orang yang bukan sembarangan dalam perkumpulan kita, tapi akhirnya tokh dijatuhkan oleh lawannya, kau tidak cela diri sendiri, sebaliknya menyalahkan orang lain!”
Phoa Cay sejak dapat lihat Han Ing bersama-sama Kim Tan dan Cu Ling Cie berperahu dan bercakap-cakap di telaga Oey-he- louw, sudah timbul pikiran jahat terhadap dirinya Han Ing. Semula ia masih mengandal ilmu silatnya yang tinggi dan yang terhitung salah satu murid terpandai dari Pek-kut-sin-kun, asal saja bisa bersabar dan bisa mengambil hati Han Ing, sudah tentu akan berhasil mendapatkan dirinya itu nona.
Tapi sekarang, melihat sikapnya itu nona yang sangat dingin, segera berubah pikirannya, dan maksud jahat kembali menguasai sanubarinya. Dengan tertawa menyindir ia berkata:
„Kita adalah orang-orang sendiri, segala omongan tidak perlu memakai tedeng aling-aling lagi. Perbuatanmu selama beberapa bulan ini, apakah kau kira dapat membohongi aku? Dalam pertempuran di bukit Kun-san yang membinasakan Cian-pie-sin- mo dan Hang-liong-lo-han justru ada dua kenalan barumu. Nanti setelah kembali ke Ay-lie-san, jika hal ini aku bicarakan dengan Suhu, meskipun bagaimana sayangnya Suhu kepadamu, barangkali juga akan menganggap kau telah bersekongkol dengan musuh!”
Mendengar perkataan Phoa Cay yang mengandung gertakan ini, Han Ing sangat mendongkol, dengan uring-uringan ia menjawab:
„Siapa kesudian meladeni perkataanmu yang bohong belaka ini. Sekalipun kau hendak memfitnah, akhirnya tokh kebenaran nanti yang akan memberi buktinya. Hal ini lebih baik dibicarakan lagi setelah kita tiba di Ay-lie-san.”
Melihat si nona marah, Phoa Cay segera merubah sikapnya, dengan berseri-seri ia berkata: „Sumoy jangan marah. Aku dengan kau selamanya mempunyai hubungan baik, mana mungkin hendak membusuki namamu dihadapan Suhu? Tapi kau harus tahu, kenalan barumu yang membawa sepasang pedang pusaka itu, selagi mabuk dengan kemenangan yang didapatkan dalam pertempuran di Kun-san, di luar tahu mereka aku sudah memberi hadiah mereka pasir beracun. Kasihan dua anak muda itu, kini mungkin sudah terancam jiwanya.”
Mendengar ini, wajahnya Han Ing berubah dengan lantas. Tapi akhirnya tenang kembali, dan balik menanya kepada Phoa Cay:
„Itu dua anak muda yang membawa sepasang pedang mustika, kepandaiannya tidak tercela, cara bagaimana dapat kau bokong?”
Bagaimana licik adanya Phoa Cay, ia segera dapat lihat perubahan wajah nona itu. Kebenciannya lantas meluap, dengan berpura-pura ia mendekati Han Ing dan berkata di dekat telinganya: „Mana aku membokong, itu Kim Tan......” sampai disini, kedua jari tangan kanannya segera dikerjakan dengan cepat untuk menotok si nona.
Han Ing meski sudah merasa perkataannya Phoa Cay itu belum tentu benar, tapi sama sekali tidak akan menyangka kalau Phoa Cay bisa turunkan tangan keji terhadap ia. Dalam keadaan demikian, biar bagaimana tinggi pun ilmu silatnya Han Ing, sudah tentu tidak berdaya sama sekali.
Setelah berhasil maksudnya, dengan tertawa mengejek ia berkata: „Kau lihat, apakah Kim Tan akan lebih dari aku? Sumoy biasanya sangat sombong, dengan getas menolak kecintaan orang, ini kali kau sudah terjatuh dalam tanganku. Coba kulihat apakah kau bisa melarikan diri?”
Sehabis berkata, lalu memondong tubuhnya Han Ing dan dibawa masuk ke dalam kuil tua itu. Setibanya dalam kuil, ia lihat pelita di atas meja sembahyang masih ada minyaknya, maka lalu mengambil api untuk menyalakan pelita itu. Kemudian ia membersihkan bantal untuk sembahyang dan letakkan tubuhnya Han Ing di depan meja sembahyang.
Han Ing yang terkena totokan di urat bagian hun-hiat, sudah pingsan tidak ingat orang lagi. Selagi Phoa Cay merasa girang, tidak disangka-sangka kalau ada orang akan datang di kuil tua itu, setelah menengok, yang datang itu bukan lain orang, adalah musuh buyutannya Kim Tan, sehingga kagetnya tak alang kepalang.
Belum sampai Kim Tan turun tangan, Phoa Cay yang dua kali sudah terjatuh di tangannya, sudah ketakutan setengah mati, maka segera lari terbirit-birit. Dalam murkanya, Kim Tan tidak membiarkan ia melarikan diri begitu gampang, maka ia segera memburu, dari belakang ia melontarkan serangan keras. Siapa nyana ujung jarinya baru saja hendak mengenakan sasarannya, Phoa Cay tidak dapat bergerak sama sekali. Kim Tan merasa sangat heran, buru-buru menarik serangannya. Phoa Cay itu waktu keadaannya sudah seperti patung, tidak dapat bergerak sedikitpun juga. Kim Tan dengan teliti memeriksa tubuhnya, ternyata terkena totokan yang dilancarkan oleh seorang lain yang ilmunya lebih tinggi, karena totokan itu ternyata dapat menembusi udara kosong, dan mengenakan sasarannya dengan tepat.
Hal ini membikin Kim Tan tambah heran lagi, siapakah orang berilmu yang secara sembunyi telah memberi bantuan padanya itu? Ia memandang sekitarnya, tapi ternyata sunyi-senyap.
Setelah berpikir sejenak, ia merasa bahwa orang yang menotok Phoa Cay ini ilmunya ada sama tingginya dengan orang yang membawa kabar padanya dengan melontarkan daun ke dalam jendela. Yang membikin ia tidak habis mengerti adalah orang yang ilmunya tinggi itu berulang-ulang sudah membantu padanya, tapi mengapa tidak mau perlihatkan dirinya? Setelah Phoa Cay dibikin tidak berdaya, ia baru ingat, hingga buru-buru menolong dirinya Han Ing.
Tapi begitu sampai di depan meja sembahyang dan dapat lihat wajahnya Han Ing yang sedang pingsan itu mendadak kesima, ia tidak tahu mesti bagaimana baiknya. Kim Tan yang pernah dapat didikan ilmu surat juga, hatinya putih bersih, tidak mempunyai pikiran binatang, hingga menghadapi wanita cantik dalam keadaan demikian malah merasa sangat likat. Tapi karena mengingat pentingnya segera diberikan pertolongan, maka tidak pikir panjang lagi. Ia segera angkat tubuhnya Han Ing, di belakang gegernya ditepok dengan pelahan, dan setelah diurut-urut sebentar Han Ing pun lantas siuman. Tapi ketika melihat keadaannya yang masih diangkat tubuhnya bagian atas dan diurut-urut oleh Kim Tan, ia kaget hingga keluarkan jeritan di bibirnya. Kemudian setelah melihat Phoa Cay sedang berdiri tegak di satu pojokan, ia lantas mulai mengerti duduknya perkara. Ia merasa malu, hingga dengan kedua tangannya ia buru-buru menutupi mukanya yang berubah merah seketika.
Kim Tan melihat ia merasa malu, dengan sendirinya ia pun segera merasa panas mukanya, maka buru-buru melepaskan dirinya, dengan pelahan ia berkata: „Enci Han Ing, kau perlu mengaso dulu sebentar, nanti kuceritakan duduknya perkara.”
Han Ing berdiam, lapat-lapat ia seperti dapat tahu bahwa Kim Tan sudah menolong jiwanya dalam saat yang tepat. Tapi mengingat diri sendiri telah dibokong oleh Suhengnya sendiri, dan jika hal ini tersiar di luaran, bagaimana ada muka untuk menemui orang? Mengingat sampai disini, perasaan malu dan marah tercampur aduk menjadi satu, tidak dapat lagi ia menguasai dirinya sendiri, maka lalu bangun berdiri dan dengan kecepatan seperti kilat ia meleset ke arah tembok, untuk membenturkan kepalanya sendiri.
Kim Tan yang sedang berdiri membelakangi padanya, mendadak merasa samberan angin, ia segera menoleh, dan sangat terkejut menyaksikan perbuatan nekat dari Han Ing ini, secepat kilat pula ia menubruk. Dengan kedua tangannya ia memeluk tubuh Han Ing, tapi karena sama-sama mengeluarkan tenaganya, maka masing-masing tidak dapat kendalikan diri, hingga dua-duanya jatuh bergumulan di tanah.
Han Ing tubuhnya dipeluk secara demikian oleh Kim Tan, sesaat berasa malu dan gugup, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kim Tan ada seorang yang cerdas, melihat keadaan demikian, segera dapat menebak hatinya Han Ing.
Justru ia merasa sangat simpatik kepada dirinya nona ini, bukan saja karena dapat pertahankan diri dalam kawanan orang jahat, bahkan sudah menolong jiwanya ketika ia mendapat luka parah, maka ia lalu menundukkan kepalanya dan berkata lengan suara pelahan:
„Enci Han Ing jangan terlalu bersusah hati, sejak enci meninggalkan surat dan berlalu dari kita, aku dan adik Ling Cie sudah berjanji, untuk selanjutnya kita bertiga harus bersatu hati. Tunggu setelah kita nanti menyelesaikan pembalasan sakit hati kita terhadap musuh-musuh orang tua kita, lalu kembali ke gunung untuk meminta perkenan Suhu. Malahan adik Ling Cie suruh aku biar bagaimana harus mencari enci sampai ketemu.”
Setelah dikasih mengerti demikian, Han Ing meski merasa sangat malu, namun dalam hati merasa lega dan girang. Ia membuka kedua matanya untuk memandang Kim Tan, dan ketika merasa dirinya masih dalam pelukannya anak muda ini, bertambah malu perasaannya. Ia lantas menjawab dengan pelahan: ,,Adik Tan, sudahlah aku tidak akan mencari mati lagi, lekas kau lepaskan diriku, mari kita kembali untuk menemui Empe Ma Beng dan adik Ling Cie.” Kim Tan merasa seperti dirinya melayang-layang, setelah diingatkan oleh Han Ing, baru mendusin bahwa tindakannya barusan agak kelewatan. Itu orang yang memberi bantuan secara menggelap jika itu waktu belum berlalu, jika mendapat tahu bukankah memalukan? Ingat sampai disini, ia buru-buru lepaskan tubuh Han Ing dan ke luar dari ruangan kuil.
Han Ing yang dapat lihat Phoa Cay masih berdiri tegak seperti patung. Mengingat barusan hampir saja dibikin celaka olehnya, hatinya merasa malu dan gemas, maka lalu maju mendekati dan angkat sulingnya hendak memukul, kepalanya.
Kim Tan buru-buru mencegah seraya berkata: „Kalian sama- sama satu perguruan, tidak baik saling bunuh. Ini orang meski kelakuannya jahat, tapi sekarang ini masih perlu dibiarkan untuk menjadi saksi hidup. Sejak di Oey-he-louw sehingga di Kun-san sudah dua kali aku lepaskan dia, ini kali harap enci suka memandang aku, untuk yang terakhir melepaskan padanya. Sekarang biarlah kulepaskan totokannya, suruh ia membuat pengakuan atas perbuatannya terhadap diri Enci, supaya di lain kali jika bertemu suhumu tidak akan mengaco belo tidak karuan.”
Han Ing menurut usul Kim Tan, berdua lalu mencari kertas dan alat-alat tulis, kemudian paksa Phoa Cay membuat pengakuan di atas kertas, tentang perbuatannya terhadap sumoynya. Setelah selesai menulis pengakuannya, baru diperbolehkan pergi. Itu waktu, sudah hampir terang tanah, Kim Tan lalu mengajak Han Ing kembali ke rumah penginapan. Di rumah penginapan, pagi itu Cu Ling Cie tiba-tiba mendusin. Ia coba mencari Kim Tan, tapi tidak diketemukan dalam kamarnya, dan tidak tahu kemana perginya, karena kuatir ada apa-apa, ia lalu membanguni Ma Beng dan He Kau Chun. Selagi mereka berunding hendak mencari, Kim Tan telah kembali bersama Han Ing.
Cu Ling Cie begitu menampak Han Ing, girang rasa hatinya, ia lantas menubruk dan menggenggam tangannya seraya berkata:
„Enci Han, cara bagaimana begini pagi kau bisa berada disini? Dan bagaimana Engko Tan bisa ketemukan kau?”
Pertanyaan ini meski agak kekanak-kanakan, namun Han Ing yang ditegor demikian segera merah mukanya.
Kim Tan kuatir ia nanti tidak enak perasaannya, maka ia buru- buru talangi menjawab: „Tadi malam karena tidak dapat tidur, aku keluar jalan-jalan, tidak nyana kalau akan bertemu dengan Enci Han. Pertemuan ini benar-benar di luar dugaanku sama sekali, hingga aku ajak ia kemari,” ia sengaja membohong, sama sekali tidak menyebut-nyebut peristiwa di kuil tua.
Cu Ling Cie lantas ajak Han Ing ke kamarnya, lalu menceritakan pengalaman masing-masing. Han Ing tidak bermaksud menyembunyikan rahasianya terhadap Cu Ling Cie, maka lalu menceritakan juga peristiwa yang telah terjadi di kuil tua tadi malam, dan dengan cara bagaimana dapat ditolong oleh Kim Tan.
◄Y► Pagi itu setelah mereka habis makan pagi, lalu meneruskan perjalanannya. Gunung Ay-lie-san sangat luas. Untuk mencari kediamannya Pek-kut-sin-kun, sungguh tidak mudah. jika hanya Ma Beng, Kim Tan, Cu Ling Cie dan He Kau Chun berempat saja, dalam tempo tiga bulan belum tentu bisa menemukan. Untung ada Han Ing yang bertindak sebagai penunjuk jalan sehingga tidak membuang waktu secara cuma-cuma.
Di tengah perjalanan, mereka merasa sangat gembira, terutama Cu Ling Cie, Kim Tan dan Han Ing, yang kini sudah tidak merasa sungkan lagi. Tapi setelah memasuki daerahnya Pek-kut-kauw, Han Ing kurang leluasa menemani mereka, maka hanya memberi petunjuk jalan-jalan yang harus dilalui, dan minta mereka supaya menunda perjalanannya satu hari, karena ia hendak menggunakan tempo satu hari ini untuk membujuk sekali lagi kepada ayah angkatnya, biarpun apa yang akan terjadi, baik diterima maupun tidak, tapi ia sudah penuhkan kewajibannya sebagai anak, meskipun hanya anak pungut, untuk menghindarkan ayahnya dari keruntuhan.
Ma Beng puji pikiran dan tindakan Han Ing ini, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata: „Nona Han telah menerima budi sangat besar dari Pek-kut-sin-kun, sudah seharusnya begitu. Kita ini malam akan menginap di kota kecil ini saja dulu, besok baru melanjutkan perjalanan kita ke Ay-lie- san.”
Sehabis mendengari perkataan Ma Beng, Han Ing lalu bersenyum kepada Kim Tan, dan setelah mengucapkan pesannya supaya berhati-hati di perjalanan, lalu menghilang di tempat yang gelap. Setelah Han Ing berlalu, Kim Tan baru ingat bahwa surat pengakuannya Phoa Cay masih berada di tangannya, belum diserahkan padanya. Ia buru-buru mengejar, tapi sudah terlambat, karena kuatirkan dirinya Han Ing kali ini mungkin sukar akan lolos dari fitnahannya Phoa Cay.
Cu Ling Cie juga turut merasa kuatir, seperti juga seorang adik yang akan kehilangan Encinya.
Setelah mengaso satu hari, mereka lalu melanjutkan perjalanannya ke Ay-lie-san. Itu burung rajawali selalu mengikuti perjalanan mereka dari atas udara, dan setelah memasuki di daerah-daerah yang berbahaya, burung itu seolah-olah menjadi pelindung. Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Han Ing, benar saja di bawah kaki gunung telah diketemukan sebuah pintu batu besar, di kedua sisi pintu itu dipasang sepasang papan lian, yang tertulis dengan perkataan:
„Thian He Bu Kong Cun Pek Kut, Jin Kan Sian King Si Ai Lie!”
atau:
„Ilmu silat di kolong dunia ini terhitung Pek-kut yang paling tinggi, taman Firdausnya dunia adalah Ai Lie!”
Kim Tan yang telah menyaksikan tulisan dari sepasang lian yang sangat sombong itu, tidak tertahan gelinya, dengan tertawa dingin ia berkata: ,,Sungguh sombong.”
Empat orangnya Pek-kut-kauw yang menjaga di pintu gerbang dengan memegang golok, seolah-olah sudah tahu akan kedatangan Kim Tan berempat, maka sedikitpun tidak menghalang-halangi, malah dengan sangat hormat sekali menyilahkan mereka masuk.
Kim Tan sudah diberitahukan oleh Han Ing, tahu setelah melalui pintu batu ini, akan melalui pula satu jalanan di tengah-tengah lembah dan jalanan yang berbelit-belit serta berbahaya, baru bisa tiba di tempatnya Pek-kut-kauw. Maka ketika ia menyaksikan keadaannya jalanan yang mereka lalui, ia lantas mengerti bahwa jalanan ini sangat berbahaya.
Di jalanan yang curam dan sempit ini, jika ada musuh menyerang secara menggelap, sedikit alpa saja, sudah tentu akan membawa akibat yang hebat. Maka meski bagaimanapun tinggi ilmunya Kim Tan, Cu Ling Cie, Ma Beng dan He Kau Chun, mau tidak mau harus waspada.
Ma Beng yang sudah banyak pengalamannya, meski mempunyai perasaan seperti Kim Tan, tapi menilik kelalaian dan cara penyambutan dari empat orangnya Pek-kut-kauw tadi, Pek- kut-sin-kun sudah tentu tahu akan kedatangan mereka. Tidak perduli bagaimana hasilnya Giok-tek-hwie-sian yang pulang dulu untuk membujuk ayah angkatnya. Tapi menurut peraturan dunia persilatan, setelah maju lagi beberapa langkah, sudah tentu akan ada orang lagi yang datang menyambut, tidak nanti akan mencelakakan mereka di tengah jalan. Ingat sampai disitu, meski keadaan ada sangat berbahaya, namun hatinya merasa lega. Siapa duga, baru berjalan beberapa langkah, dari atas bukit yang tinggi mendadak ada suara gemuruh, dua buah batu yang sangat besar jatuh menggelinding ke arah mereka. Dalam jalanan yang sempit itu, rasanya agak sukar untuk menyingkirkan diri, masih untung mereka sudah dapat tahu lebih dulu, dan kepandaian mereka sudah sampai di puncaknya, sehingga dapat meloloskan diri dari bahaya.
Tapi karena beradunya kedua batu besar yang jatuh dari atas itu, telah menimbulkan suara hebat, dan batu-batu kecil serta tajam telah berhamburan ke sana-sini, seolah-olah menyerang mereka. Kim Tan, Cu Ling Cie dan Ma Beng masing-masing pada menggunakan tenaga dalamnya untuk menahan serangan itu, namun tidak urung pahanya Ma Beng masih kena beberapa potong, sehingga menimbulkan rasa sakit.
Pada saat itu, di atas bukit tinggi terdengar suaranya orang yang tertawa iblis. Ketika mereka mendongak, telah dapat lihat Phoa Cay dan seorang tua kate yang kepalanya sangat besar berdiri di atas.
Dengan menudingkan jarinya, Phoa Cay berkata kepada Kim Tan:
„Kim Tan bangsat kecil, ternyata tidak mengukur tenaga sendiri, dengan lancang berani memasuki pusatnya Pek-kut-kauw. Di lembah ini adalah tempat untuk mengubur tulang-tulangmu, sedangkan maksudmu untuk mencari Ouw-pak-sam-sat, sekarang ini Pui Tao Lo-cianpwee sudah berada di hadapanmu. Lihat, apakah yang kalian bisa berbuat terhadap ia? Kini tuan besarmu telah menghadang di tempat yang tinggi, di kedua kantongnya juga ada penuh dengan senjata pasir beracun yang khusus untuk menunggu kedatanganmu. Sekalipun kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan, juga susah akan dapat keluar dengan keadaan hidup. Lebih baik serahkan saja jiwa kalian, supaya tuan besarmu tidak usah turun tangan sendiri.”
Mendengar perkataan Phoa Cay, Kim Tan baru tahu bahwa orang kate besar kepala itu adalah musuh yang membunuh orang tuanya, salah satu dari tiga momok Ouw-pak-sam-sat. Ma Beng dengan diam-diam melihat keadaan di sekitarnya, ia agak cemas perasaannya, karena begitu turun tangan, empat orang itu jangan harap bisa terlolos dari kematian.
Kim Tan yang saat itu sedang panas hatinya melihat musuh besarnya berada di depan matanya, maka sudah tidak menghiraukan jiwanya sendiri, dengan diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya, siap sedia untuk melakukan tindakan seperti apa yang pernah dilakukan di bukit Kun-san untuk menaklukkan lawannya. Ia hendak menggunakan ilmu „Tay-it-sin-kang” untuk menahan serangannya pasir beracun yang dilancarkan dari atas, soal lainnya diserahkan kepada ketiga kawannya.
Baru saja ia empos semangatnya dan hendak sampaikan maksudnya itu kepada Cu Ling Cie atau dengan tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri. Dari atas berkelebat satu bayangan besar, menyusul mana tubuhnya Phoa Cay telah terjungkal dari atas bukit dan meluncur ke lembah yang sempit itu. Pui Tao itu waktu seperti terkena serangan musuh, mengeluarkan teriakan hebat, kemudian tidak kelihatan lagi.
He Kau Chun yang sudah sangat gemas kepada Phoa Cay, melihat ia terjatuh dari atas bukit, tidak ayal lagi lalu buru-buru lompat maju. Dengan senjatanya yang berat itu ia telah menyabet tubuh Phoa Cay, hingga tidak ampun lagi, orang paling ganas dari golongan Pek-kut-kauw itu seketika itu juga lantas melayang jiwanya.
Kim Tan maju memburu untuk melihat apa yang telah terjadi. Ia lihat mata sebelah kanan Phoa Cay telah bolong, sehingga mengeluarkan banyak darah. Melihat keadaan ini, ia lalu mengerti duduknya hal. Sebentar kemudian, seekor burung rajawali besar telah terbang turun menghampiri Cu Ling Cie dan hinggap di pundaknya.
Cu Ling Cie lantas mendusin, sambil tertawa ia mengelus-elus bulunya burung itu, lalu menanya: „Burung yang baik, apakah kau tadi yang mematok matanya si penjahat itu?”
Burung rajawali itu meski tidak bisa berbicara, tapi lantas angkat lehernya dan manggut-manggut.
Ma Beng melihat kecerdikannya burung itu tidak habisnya ia memuji. „Tidak disangka bahwa burung ini telah melakukan perbuatan menyingkirkan seorang penjahat, sehingga sebagai orang yang pertama yang mendapatkan pahala,” demikian katanya. „Phoa Cay sungguh sangat jahat, Kim Tan Hian-tit sudah tiga kali memberi ampun padanya, tapi sebaliknya ia hendak membokong kita secara tidak hormat dan rendah sekali, dan tokh akhirnya mati di tangannya He Kau Chun. Tuhan Allah sungguh-sungguh adil.
„Hanya, orang ini biasanya sangat disayang oleh Pek-kut-sin- kun. Dengan kematiannya, permusuhan kedua pihak mungkin akan bertambah dalam. Seorang yang adatnya gampang marah seperti Pek-kut-sin-kun, tidak nanti akan gampang-gampang membikin habis perkara ini. Pulangnya nona Han Ing untuk membujuk ayah angkatnya kali ini, sudah tentu tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Kita sekarang sudah berada di tempat yang penting, ancaman bisa datang di setiap saat, maka baiklah semua orang berwaspada.”
Terhadap kematiannya Phoa Cay, Kim Tan merasa sayang juga dengan kepandaiannya, karena dalam kalangan Kang-ouw, orang yang mempunyai kepandaian serupa ia, sungguh jarang jumlahnya. Sayang karena tersesat pikirannya, telah menemukan ajalnya secara sangat kecewa.
Ingat lagi dirinya Han Ing, ia kembali merasa kuatir. Ia berjalan sambil berpikir, tidak terasa sudah melewati jalanan yang sempit dan panjang itu, di depan matanya tiba-tiba terlihat beberapa buah rumah yang tinggi besar, yang dibangun di lereng-lereng gunung, rumah-rumah itu bangunannya sangat indah. Mereka tahu bahwa gedung di lereng gunung itu mestinya ada sarangnya Pek-kut-kauw, hatinya agak bercekat, lalu hentikan tindakannya, untuk memandang keadaan sekitarnya. Burung rajawali yang tadinya berdiri di pundaknya Cu Ling Cie, saat itu mendadak terbang tinggi, berbareng dengan itu, pintu gedung itu lalu keluar beberapa orang. Orang yang berjalan di tengah-tengah ada berpakaian imam, rambutnya putih, tapi wajahnya merah, usianya kira-kira baru setengah abad.
Melihat dandanannya, terang sudah ia adalah Pek-kut-sin-kun. Orang-orang gagah yang berjalan di belakangnya, yang Kim Tan kenali hanya Go Beng dan Touw Thing Hwie yang ia sudah kenal di Kun-san.
Ma Beng yang lebih lama merantau di kalangan Kang-ouw, ia kenali itu orang pendek gemuk yang berdiri di sebelah kanannya Pek-kut-sin-kun adalah satu-satunya dari empat malaikat maut yang masih hidup: Tai-lik-sin-mo Co Chiang Hua. Orang yang berdiri di sebelah kiri, berbaju panjang berwarna kuning adalah musuhnya Kim Tan dan Cu Ling Cie, orang yang pernah mencelakakan ayah bunda mereka Pui Tiauw, salah satu dari Ouw-pak-sam-sat.
Dulu di Liok-phoa-san ketika bertanding ilmu silat dengan ibunya Cu Ling Cie pernah dipapas daun telinganya, maka mudah dikenal, dan yang satu lagi, sudah tentu Pui Lip, tapi Pui Tao yang barusan muncul bersama Phoa Cay di atas bukit, ternyata tidak kelihatan mata hidungnya.
Pek-kut-sin-kun menyambut kedatangan mereka sejauh lima- enam tumbak dari gedungnya, lantas berhenti bertindak, dengan mengurut-urut jenggotnya ia tertawa bergelak-gelak dan berkata:
,Ma Tay-hiap, aku yang rendah Pek Cu Lam sudah lama mendengar namamu yang besar. Hari ini kita telah bertemu, tapi harap suka maafkan aku yang datang menyambut agak terlambat. Barusan aku telah menerima laporan, muridku yang kedua, Phoa Cay telah mendapat kecelakaan di lembah. Aku ingin tanya, perbuatan siapakah sebetulnya. Harap suka memberi penjelasan.”
Pek-kut-sin-kun ini meski nada pembicaraannya merendah, tapi air mukanya dingin, hingga keadaan berubah menjadi tegang.
Tempat berdiri antara kedua pihak itu waktu hanya sejarak tiga tumbak. Kim Tan melihat wajah dan gerakannya Pek-kut-sin- kun, terang sekali ada seorang yang berilmu tinggi, sehingga menimbulkan rasa hormat. Sayang karena ingin menjagoi dalam dunia persilatan, sehingga kena diperalat oleh orang-orang jahat dari golongan Liok-lim.
Ma Beng mendengar disebutnya perihal kematiannya Phoa Cay, selagi hendak menjawab, mendadak sudah didahului oleh si sembreno He Kau Chun.
Dengan menenteng ruyung kuningannya yang berat, sambil tertawa ha, ha, hi, hi, He Kau Chun berkata: „Itu anak nakal, kiranya adalah muridmu, dia siang-siang sudah kuhajar dengan ruyungku ini sehingga binasa.”
Pek-kut-sin-kun tidak kenal adatnya He Kau Chun, mengira dipermainkan olehnya, sudah tentu tidak dapat menahan amarahnya. Dengan mata mendelik dan bersorot tajam, ia mengeluarkan suara dihidung lalu berkata: „Anak yang besar nyalinya.” sehabis berkata, ia kebutkan tangan bajunya yang panjang dan gerombongan, satu samberan angin yang hebat sehingga meresap sampai ditulang telah menyerang secara hebat.
Untung He Kau Chun sudah tahu gelagat. Ia ingat pesan gurunya tempo hari yang pernah mengatakan, meski badannya kebal senjata tajam, tapi bila ketemu dengan pukulan dalam yang kelihatannya lemah tapi keras, lebih baik menyingkir, tidak boleh dilawan dengan kekerasan, maka begitu dirasakan ada samberan angin, buru-buru mencelat mundur, untuk menghindarkan tekanan dari serangan yang hebat itu.
Kim Tan dan Cu Ling Cie sudah pernah dengar Han Ing, bahwa ayah angkatnya ilmu silatnya sudah sampai di puncak kemahirannya, dalam jarak dua-tiga tumbak, dengan satu kebutan saja dapat melukakan orang, maka sedari tadi sudah siap sedia. Kasihan si sembrono yang tidak tahu gelagat itu, meski sudah berdaya untuk menghindarkan serangan itu, namun masih tidak berdaya, seolah-olah seperti layangan putus, tubuhnya melayang ke udara hendak menumbuk batu besar.
Kim Tan dan Cu Ling Cie juga merasakan hebatnya samberan angin itu, buru-buru mengerahkan ilmunya Tay-it-sin-kang dan Pan-yok-sin-kang, sekalian untuk melindungi Ma Beng, sehingga dapat bertahan. Tapi ketika melihat He Kau Chun terpental dan menghadapi bahaya maut, sebaliknya sendiri tidak dapat menolong, sehingga perasaannya sangat gelisah. He Kau Chun meski sudah tahu liehay, tapi apa mau tidak dapat kendalikan dirinya. Hanya satu tumbak saja dekatnya dengan batu tembok besar, tiba-tiba dirasakan satu dorongan yang kuat mencegah tertumbuknya badannya dengan batu besar itu, bahkan tenaga dorongan itu mendorong kembali ke tempat semula.
Dengan masih menggenggam ruyung di tangannya, He Kau Chun berdiri lagi di tempat semula, seperti belum pernah terjadi apa-apa.
Hal ini membuat si sembrono terheran-heran, tapi juga merasa senang, dengan menghadapi Pek-kut-sin-kun ia tertawa ha, ha, hi, hi.
Perbuatan He Kau Chun ini, kembali membuat Pek-kut-sin-kun sangat murka, dengan mengebutkan jubahnya, ia sebetulnya ingin menyerang mereka berempat, tapi akhirnya hanya He Kau Chun seorang yang terpental, tiga yang lainnya tetap berdiri tegak. Mau tidak mau, Pek-kut-sin-kun merasa heran juga. Kepandaian anak muda ini, betul-betul di luar dugaannya, tidak heran kalau orang-orangnya telah dijatuhkan di Kun-san.
Tapi yang lebih-lebih mengherankan ialah He Kau Chun yang terpental terbang di udara, mendadak bisa tertolak kembali dengan secara luar biasa. Hal ini sungguh jarang terjadi, maka sekalipun ia sendiri tinggi ilmu silatnya, menghadapi hal demikian, mau tidak mau bercekat juga hatinya. Ia lalu lompat melesat setinggi tiga-empat tumbak dan sejauh lima-enam tumbak ke arah di mana tadi He Kau Chun terlempar. Kira-kira sejarak satu tumbak dari batu besar itu, Pek-kut-sin-kun kembali mengebutkan jubahnya, kali ini lebih hebat serangannya, sehingga tanah, batu atau pohon yang menghadang di depannya disapu bersih. Tubuhnya baru saja menginjak tanah, ia lantas berseru: „Orang berilmu tinggi dari mana telah mengunjungi Ay-lie-san, aku Pek Cu Lam menunggu di sini, harap suka perlihatkan dirimu.”
Tapi, bukan saja orangnya, bayangannya pun tidak kelihatan. Hal ini bukan saja Pek-kut-sin-kun, bah¬kan Kim Tan dan kawan-kawannya pun merasa heran.
Pek-kut-sin-kun tidak bisa ketemukan orang yang tidak mau memperlihatkan diri itu, air mukanya merah padam, dan lantas balik kembali. Ma Beng lihat tindak tanduknya Sin-kun yang terlalu agulkan ilmu tingginya, begitu turun tangan segera hendak mencari korban, merasa agak mendongkol, hingga akan memberi hajaran dengan perkataan. Dengan separoh menyindir ia berkata:
„Sin-kun sungguh hebat kepandaianmu. Lihat caranya kau turun tangan tadi, tidak kecewa disebut orang kosen nomor satu di dunia persilatan. Aku Ma Beng mendapat kesempatan menemui kau, sungguh ada harganya. Cuma saja, oleh karena sedikit kesalahan paham, dahulu di bukit Kun-san pernah kebentrok dengan orang-orangmu.
„Kim Tan Su-tit dan Cu Ling Cie Su-tit, karena dengan keluarga Pui tiga saudara yang sekarang bernaung di bawah benderamu, ada mempunyai permusuhan hebat karena dendaman sakit hati terhadap pembunuhan ayah bunda mereka, hingga kini belum dibereskan. Baru ada perjanjian dengan Go Kau-cu, dalam tiga bulan akan bertemu di sini. Siapa nyana barusan ketika kita berjalan memasuki selat lembah yang sempit itu murid kesayanganmu Phoa Cay bersama Pui Tao menghadang di atas gunung dengan menggelindingkan batu besar, malahan kemudian hendak membokong dengan senjatanya pasir beracun.
„Ma Beng berempat, karena berada di tempat yang sangat berbahaya, selagi tidak berdaya sama sekali, tidak tahu orang berilmu tinggi dari mana, telah memberi pertolongan, telah menaklukkan Phoa Kau-cu dan membikin kabur Pui Kau-cu. Kawanku He Kau Chun ini, adatnya ada sangat polos dan jujur, karena terluka oleh batu yang digelindingkan oleh Phoa Kau-cu, hatinya panas dan turun tangan terhadap ia. Setelah aku mengetahui dan hendak mencegah, tapi ternyata sudah terlambat.
„Kita yang semula berjanji hendak bertemu disini, siapa kira bahwa pertemuan belum terlaksana, tapi sudah melukai orang. Berbicara hal ini, aku sungguh-sungguh sangat menyesal. Jika Sin-kun hendak memberi tegoran, kusilahkan supaya katakan saja terus terang aku Ma Beng sudah tentu akan menerimanya dengan hati rela.”
Pek-kut-sin-kun yang sifatnya pendiam dan banyak akal, sebetulnya tidak gampang-gampang turun tangan. Disebabkan Phoa Cay yang kembali dari Kun-san, telah mengadu biru, dan mengatakan bagaimana Kim Tan, Cu Ling Cie sangat sombong dan tidak pandang mata kepada orang-orang Pek-kut-kauw, sehingga membuat Pek-kut-sin-kun-sangat murka. Barusan telah dengar orang sebawahannya yang melaporkan bahwa Phoa Cay binasa di selat lembah, karena kecintaannya kepada muridnya yang tersayang itu, sekejap perasaan sedih dan mendongkol tercampur aduk menjadi satu, sehingga kecerdasannya buyar sama sekali dan berlaku agak sembrono.
Kini setelah mendengar keterangan Ma Beng, perasaannya kembali menjadi terang, dan setelah di-pikir-pikir, orang yang kepandaiannya sudah seperti Phoa Cay, bagaimana bisa dengan mudah terbinasa di tangannya anak muda yang begini tolol? Ditambah lagi kejadian barusan, ia tahu ada lain orang yang lebih tinggi ilmu silatnya memberi bantuan secara sembunyi. Apalagi kedatangan tetamu ini adalah atas undangannya, mana boleh dibokong sebelum membuat pertemuan dengan tuan rumah?
Perbuatan serupa ini, bukan saja melanggar peraturan dunia persilatan, bahkan sangat memalukan. Jika hal ini tersiar di luaran, bukankah akan membikin tertawaan orang? Kasihan karena sendirinya kurang berpikir sehingga kena diperalat orang lain, dan begitu bertemu sudah hendak mencari korban.
Kini setelah dicela habis-habisan oleh Ma Beng sepatah katapun tidak bisa menjawab, bahkan merasa sangat malu. Seketika itu mukanya berubah, dan menoleh kepada Ouw-pak-sam-sat; „Pui- heng, dimana Sam-teemu (adik lelaki ketiga) sekarang?” Pui Lip dan Pui Tiauw ditegor secara mendadak oleh Pek-kut- sin-kun, air mukanya pucat seketika. Jika dingat bahwa Ma Beng berempat yang berani memasuki goa macan ini, seolah-olah hendak mengantarkan jiwanya dengan cuma-cuma. Adiknya Pui Tao dengan melakukan pembokongan di tengah jalan, agaknya sangat keterlaluan, maka seketika itu tidak dapat menjawab.
Pek-kut-sin-kun melihat mereka tidak bisa menjawab, dengan mengeluarkan suara dihidung, menoleh kepada Ma Beng dengan wajah berseri-seri dan memberi hormat sambil mengangkat tangan seraya berkata:
„Pek Cu Lam tidak mampu mendidik orang sebawahannya, sehingga menimbulkan buah tertawaan orang. Muridku tidak mematuhi peraturan dunia persilatan, dia menanam dan memetik buahnya sendiri, kematian saja masih belum cukup untuk menebus dosanya. Saudara-saudara harap suka maafkan keteledoranku, agar tidak terlalu mencela, sekarang marilah kita minum teh di ruangan tamu.”
Ma Beng tadi sebetulnya merasa, kurang senang terhadap sikapnya Pek-kut-sin-kun yang sangat sombong. Kini setelah melihat ia berani menerima kesalahannya dihadapan orang banyak, tidak kecewa ia menjadi kepala dari satu cabang partai persilatan. Setelah saling merendah sebentar, lalu bersama Kim Tan, Cu Ling Cie dan He Kau Chun mengikuti Pek-kut-sin-kun memasuki kamar tetamu.
Kim Tan saat itu hanya memikirkan dirinya Han Ing. Semula ia berpikir Han Ing kurang enak turut menyambut bersama-sama orang banyak, tapi setelah tiba di ruangan tetamu, masih juga belum kelihatan bayangannya, hatinya agak bercekat. Tapi ada kurang pantas untuk menanyakan kepada Pek-kut-sin-kun, sehingga merasa gelisah sendiri.
Pek-kut-sin-kun setelah menyilahkan para tetamunya berduduk dan minum teh, lalu berkata kepada Ma Beng: „Ma Tay-hiap, kita orang-orang kasar ini suka berterus terang, kalian berempat tidak gampang sampai di sini. Hari ini sebetulnya aku hendak menemani kalian memain berapa jurus, tapi karena hari sudah malam dan kalian yang habis melakukan perjalanan sangat jauh, mestinya juga sudah lelah, maka biarlah mengaso dulu satu malam di kamar tetamu. Besok tengah hari, aku Pek Cu Lam tentu akan menjamu kalian, itu waktu bukan saja hendak membereskan perselesaian kalian bersama persaudaraan Pui, malahan aku hendak menghukum orang-orangku yang melanggar peraturan partai.”
Sehabis berkata, ia lalu perintah orang-orangnya mengantar tetamu-tetamunya ke kamar yang sudah disediakan untuk mereka bermalam.
Setelah makan malam, mereka berempat siang-siang sudah masuk tidur, karena besok pagi hendak melakukan pertarungan hebat. Hanya Kim Tan seorang yang tidak dapat tidur pulas, karena memikirkan nasibnya Han Ing, yang sejak tadi belum menampakkan dirinya. Ia menduga tindakan Han Ing untuk membujuk ayah angkatnya tentunya menemukan kegagalan. Memikir hal ini, hatinya bertambah gelisah, sehingga semalaman tidak dapat tidur. Setelah hampir pagi, ia baru bersemedi untuk memulihkan tenaganya dan ketenteraman hatinya, agar bisa menghadapi musuh-musuhnya.
Esok paginya, setelah bangun tidur dan sarapan pagi, dari pihak tuan rumah masih belum ada tanda-tanda untuk mengundang mereka berkumpul. Setelah lewat tengah hari, Pek-kut-sin-kun baru perintahkan orangnya mengundang mereka makan minum di ruangan makan. Orang-orang penting dari Pek-kut-kauw, kecuali Han Ing dan Pui Tao, hampir semuanya turut hadir.
Tengah perjamuan, Ma Beng berdiri sambil angkat tangannya. Selagi hendak angkat bicara, telah didahului oleh Pek-kut-sin- kun. Sambil tertawa Pek-kut-sin-kun berkata: „Ma Tay-hiap, urusan kita berdua sebentar lagi kita bicarakan, tunggu setelah aku membereskan urusan dalam rumah tangga sendiri.”
Sehabis bicara, matanya memandang ke sekitarnya, para hadirin segera diam semua, tidak ada yang membuka suara.
Dengan wajah yang sungguh-sungguh, sehingga kelihatannya sangat keren, Pek-kut-sin-kun dari dalam jubahnya mengeluarkan tanda perintah yang berupa bambu dicat warna merah, dengan keren ia berkata: „Kauw-yu Hun Kau-cu (ketua dari cabang Kauw-yu) Go Beng, dengar perintah.”
Baru habis diucapkan, Go Beng sudah berdiri dari tempat duduknya dengan sangat hormat sekali menantikan titah lebih lanjut. Pek-kut-sin-kun memandang ia sebentar, lalu mengeluarkan titahnya: „Pelindung undang-undang dari partai kita Pui Tao, Pek-kut-sin-im Kau-cu Phoa Cay, belum menerima titah, telah secara lancang melakukan perbuatan yang tidak sopan, dan berani melakukan pembokongan terhadap tetamu Ay-lie-san. Perbuatan ini bukan saja melanggar peraturan dunia persilatan, juga satu perbuatan yang sangat rendah. Jika tidak diberi ajaran, bagaimana bisa menjaga nama baik Pek-kut-kauw di kemudian hari?
„Phoa Cay sudah binasa, tidak perlu dibicarakan lagi, sekarang tinggal Pui Tao. Baiklah perintahkan semua cabang-cabang Pek- kut-kauw. Siapa saja yang bertemu dengan Pui Tao, segera suruh dia menghadap ke pusat Pek-kut-kauw. Siapa yang tidak turut perintah, akan dianggap penghianat Pek-kut-kauw, dan hukumannya ialah mati!”
Go Beng setelah menerima perintah, lalu mengundurkan diri.
Pui Lip dan Pui Tiauw yang mendengar perintah itu, hatinya sangat sedih.
Terdengar Pek-kut-sin-kun mengeluarkan perintah yang kedua:
„Giok-tek-hwie-sian Han Ing ada di mana?”
Mendengar disebutnya nama itu, seluruh hadirin merasa kaget. Kim Tan dan Cu Ling Cie menunjukkan roman yang sangat tegang, karena Pek-kut-sin-kun tadi pernah mengatakan, hendak membereskan urusan dalam rumah tangganya dulu. Sekarang ternyata ia perintahkan Han Ing keluar, sudah tentu dianggap sebagai murid yang melanggar undang-undang atau penghianat. Dengan perasaan tidak keruan, Kim Tan dan Cu Ling Cie matanya memandang ke arah Pek-kut-sin-kun dengan tidak berkesip.
Sebentar kemudian, Giok-tek-hwie-sian melangkah masuk ke ruangan. Ia masih berdandan pakaian lelaki, dengan baju berwarna hijau, dandanannya seperti anak sekolah.
Kim Tan memandang ia sejenak, kelihatannya ia agak sayu. Hanya berapa hari tidak ketemu, wajahnya kelihatannya banyak berubah. Beda sekali dengan keadaan biasanya yang sangat bersemangat dan segar.
Han Ing melihat Kim Tan dan Cu Ling Cie, agaknya terbangun semangatnya, ia memandang dengan tertawa getir. Dengan tindakan tetap ia menghampiri meja Pek-kut-sin-kun, dan berdiri di samping dengan kedua tangannya diturunkan, untuk menantikan titah.
Pada saat itu, semua tetamu yang ada di ruangan makan mendadak merasa tegang. Kim Tan dan Cu Ling Cie matanya memandang Pek-kut-sin-kun dengan tajam. Tapi cuma kelihatan sinar matanya dan wajahnya yang dingin dan sebentar-sebentar berubah, sejenak kemudian, matanya berkelebat, wajahnya menunjukkan rasa cinta dan gemas yang saling bertentangan. Dengan perlahan ia berkata kepada Han Ing: „Kau adalah anak piatu yang ditinggalkan di gunung yang sepi, dan aku bawa pulang serta rawat sehingga dewasa. Dalam waktu duapuluh tahun ini, dengan susah payah aku besarkan kau dan didik kau sehingga sempurna kepandaianmu ilmu surat dan ilmu silat. Tidak dinyana kau telah tidak mengingat budi yang membesarkan padamu. Kau telah bersekongkol dengan musuh, dan menghianati partainya sendiri.
„Menurut undang-undang perkumpulan kita, kau seharusnya dihukum mati. Tapi oleh karena kau adalah orang yang dibesarkan olehku sendiri. Meskipun hanya anak piatu, namun perhubungan dan kecintaan seperti darah dan dagingku sendiri, maka aku tidak tega turun tangan sendiri untuk menghukum kau. Aku harap kau dihadapan Ma Beng dan Kim Tan berempat untuk mengambil keputusan sendiri.”
Sehabis berkata, ia melihat ke arah lain, seolah-olah tidak tega anak yang dibesarkan olehnya menamatkan riwayatnya dihadapannya sendiri. Kim Tan merasa sangat gelisah, dan sudah siap sedia untuk melakukan sesuatu guna memberi pertolongan.
Sebaliknya dengan Giok-tek-hwie-sian, itu waktu malahan tenan.g. Ia tunjukkan tertawanya yang getir, serta berlinang air mata, dengan suara lemah ia berkata:
„Anakmu yang berdosa, sudah seharusnya mendapat bagian kematian, akan tetapi anak sekali-kali tidak pernah bersekongkol dengan musuh dan menghianati perkumpulan sendiri. Harap ayah sabar sedikit, anak hendak menunda waktu kematian anak sejenak. Setelah habis perkataan anak ini, segera akan habiskan jiwa anak sendiri.
„Anak telah menerima titah untuk meninjau ke pelbagai cabang, dan dapat melihat ada beberapa anak murid kita yang tidak beres. Mereka dengan menggunakan nama perkumpulan kita sebagai kedok, telah melakukan rupa-rupa kejahatan. Ji-su-heng orangnya juga tidak baik, ia telah mengelabui ayah ”
Bicara sampai disini, Pek-kut-sin-kun wajahnya muram, memotong pembicaraannya, dan membentak:
„Budak yang licin, Phoa Cay sudah mati, tidak ada saksinya yang hidup, lantas kau berkata sembarangan, di hadapan banyak tetamu, kau telah mencemarkan nama baik perkumpulan kita, dengan begini apakah bukannya menghianati perkumpulan sendiri dan menghina guru? Aku tidak nyana kau yang kudidik selama duapuluh tahun, hasilnya adalah begini, budak hina. Kau masih ada pesan apa-apa lekas kau katakan.”
Pek-kut-sin-kun biasanya sangat sayang terhadap anak angkatnya ini, tapi kini perasaan cinta dan sayang itu sekali berubah menjadi perasaan benci, sudah tentu rasa benci itu sampai pada puncaknya. Ia lantas mengangkat tangan kanannya, dengan diayunkan ke udara, menyerang dengan kekuatan sembilanpuluh bagian tenaganya, sehingga satu samberan angin yang hebat, telah meluncur ke arah dadanya Han Ing. Meski Han Ing tahu bahwa serangan ini akan menamatkan riwajat hidupnya, namun untuk menunaikan hormat baktinya terhadap orang tua, telah bertekad untuk mati. Terhadap serangan dahsyat ayahnya itu, sedikitpun tidak berkisar dari tempat berdirinya, malahan meramkan matanya menunggu kematiannya.
Kim Tan, Cu Ling Cie, sejak mendengar putusan Pek-kut-sin-kun yang perintahkan Han Ing bunuh diri di hadapan umum, dari tadi sudah bersedia untuk memberikan pertolongan. Maka ketika Pek-kut-sin-kun melancarkan serangan, Kim Tan dengan ilmu Tay-it-sin-kang dan Cu Ling Cie dengan Pan-yok-sin-kang kedua-duanya dikerahkan berbareng.
Tapi, ilmu silat itu sungguh susah dijajaki, ada kalanya dapat menghasilkan apa yang kita ingin secara menakjubkan, tapi ada kalanya agaknya membuat orang tidak habis mengerti. Ketika pertempuran di Kun-san, Kim Tan dengan ilmunya Tay-it-sin- kang, seorang diri telah dapat menaklukkan kedua murid kepalanya Pek-kut-sin-kun yang menggunakan ilmu Im-hong- ciang.
Sebaliknya kini dengan kekuatan dua orang, malahan dari samping memotong pukulannya Im-hong-ciang dari Pek-kut-sin- kun, dan tokh masih kalah setingkat, hanya dapat mengelakkan tujuh bagian serangannya Pek-kut-sin-kun. Sisa kekuatan yang dahsyat ini telah mengenakan tubuh Han Ing, sehingga melesat mumbul kira-kira tujuh-delapan tindak, kemudian jatuh di tanah dan dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Kim Tan dan Cu Ling Cie yang melihat keadaan demikian, hatinya tambah gelisah.
Ma Beng mendekati untuk memeriksa, ternyata lukanya sangat parah. Kembang terate yang tumbuh di air butek ini, dalam sekejapan segera akan menjadi layu. Ma Beng karena sangat gelisah, menjadi gugup, sehingga tidak tahu apa yang harus dibuat.
Kim Tan dan Cu Ling Cie segera memburu. Cu Ling Cie dengan bercucuran air mata, pondong tubuhnya Han Ing, dengan pelahan ia memanggil: „Encie Han, bagaimana keadaanmu.”
Han Ing memandang padanya sambil tertawa getir, tapi tidak berkata apa-apa.
Dalam gugupnya Kim Tan buru-buru mengambil pil obat dari Ngo-bie-san yang mujarab itu, lantas dimasukan dalam mulut Han Ing. Setelah makan obat mujarab itu, wajahnya Han Ing yang tadinya sangat menderita, kini agak kurangan, darahnya juga berhenti mengalir. Kim Tan mengambil sapu tangan untuk menyusut darah di mulutnya.
Han Ing dari wajahnya memperlihatkan rasa hatinya yang sangat pedih, memandang Kim Tan dengan senyuman getir, seolah- olah ada banyak perkataan yang hendak diucapkan, tapi tidak sanggup mengeluarkan dari mulutnya. Menyaksikan keadaan yang menyedihkan ini, Kim Tan merasa hancur hatinya, hampir mengeluarkan air mata. Pek-kut-sin-kun wajahnya dingin seperti es berdiri di samping. Dengan suara dingin ia berkata: „Budak hina yang tidak tahu malu. Apakah selagi mendekati ajalnya masih ingin minta dikasihani orang, membikin malu Pek-kut-kauw saja!”
Mendengar ini, Kim Tan segera lompat berdiri, menghadapi Pek- kut-sin-kun dengan mengangkat tangan ia berkata: „Sin-kun adalah kepala dari satu perkumpulan, tidak seharusnya begitu enteng tangan. Giok-tek-hwie-sian, nona Han Ing ini, kelakuannya baik, apa yang Sin-kun katakan bahwa ia menghina guru berkhianat kepada perkumpulan ini agak membikin orang merasa kecewa. Apalagi perkumpulan terlalu sembarangan menerima murid, sudah tentu antara yang baik dan jahat bercampur baur. Muridmu Phoa Cay, memang benar-benar banyak akalnya keji, sifatnya seperti binatang. Apa yang dikatakan oleh Giok-tek-hwie-sian, semuanya benar. ”
Belum habis ia berkata, Pek-kut-sin-kun sudah menjadi tidak sabaran, dengan suara keras ia membentak: „Anak kecil kau jangan sembarangan buka mulut. Perkumpulan dengan mentaati peraturan kita hendak membersihkan urusan rumah tangga sendiri, apakah boleh orang luar turut campur tangan. Sekarang tidak perlu disebut hal yang lain-lainnya, dalam pertempuran di Kun-san tempo hari, siapakah yang membunuh Hang-liong-lo- han, lekas keluar ketemui aku.”
Cu Ling Cie selagi hendak melepaskan Han Ing dan berdiri, telah ditahan oleh Kim Tan dan ia sendiri yang maju dan memberi hormat lagi kepada Pek-kut-sin-kun seraya berkata:
„Harap Kau-cu jangan marah dulu, dengarlah perkataanku dulu. Hang-liong-lo-han Liauw Ceng lima tahun yang lalu, di atas gunung Liok-phoa-san bersama-sama Ouw-pak-sam-sat telah membunuh ayah bunda Cu Ling Cie Sumoy. Permusuhan ini tidak mudah dihabiskan. Dalam pertempuran di Kun-san, Liauw Ceng telah binasa di bawah pedangnya Cu Ling Cie Sumoy, itu hanya sekedar untuk membayar hutang lama, rekening ini tidak dapat digabungkan dengan urusan Pek-kut-kauw.”
Baru saja habis berkata, Pek-kut-sin-kun sudah lakukan serangannya dengan mengebutkan jubah tangannya, sehingga mengeluarkan samberan angin yang hebat, menerjang ke arah Kim Tan.
Kim Tan sudah tahu liehaynya serangan orang, tidak berani menangkis dengan kekerasan. Ia lantas miringkan tubuhnya, dan dengan membalikkan tangannya ia membalas menyerang. Dua kekuatan tenaga dalam, untuk kedua kalinya beradu, dengan mengeluarkan suara benturan hebat yang luar biasa, kedua-duanya menarik kembali serangannya. Sekalipun Pek- kut-sin-kun sudah sampai di puncak kemahiran tenaga dalamnya, tidak urung tergoncang juga tubuhnya, dan Kim Tan terpental mundur kira-kira enam tindak, baru bisa berdiri tegak.
Cu Ling Cie juga merasakan hebatnya tenaga dalamnya Pek- kut-sin-kun. Dengan kekuatan Kim Tan seorang, barang kali tidak dapat menandingi, lalu berkata pada Ma Beng: „Empe Ma, tolong jaga baik-baik Enci Han ini, tunggu aku hendak membantu engko Tan.” Sehabis berkata, lantas menghunus pedangnya dan menikam ke arah dadanya Pek-kut-sin-kun. Dengan mengandal ilmu silatnya yang tinggi dan tenaga dalamnya yang kuat, ia tidak pandang mata sama sekali kekuatan dua anak muda ini, dengan tertawa dingin ia berkata:
„Budak hina, apakah kau cari mampus?”
Kim Tan kuatirkan Cu Ling Cie karena hendak umbar marahnya, lalu lengah terhadap penjagaan dirinya. Menghadapi orang yang licik dan banyak akal seperti Pek-kut-sin-kun ini jika sedikit lengah saja, akan membawa akibat yang hebat, maka ia segera melompat untuk menghalau di tengah, berkata kepada Pek-kut- sin-kun:
„Kau-cu perlu apa begitu marah besar, aku yang rendah tidak ada permusuhan apa-apa dengan Pek-kut-kauw. Perkataan Giok-tek-hwie-sian barusan, memang sebenarnya ia sendiri sebetulnya merupakan bunga teratai di air kotor, seorang wanita yang berkelakuan baik. Kau jangan memutar balik antara yang baik dan yang jahat, sehingga mengecewakan orang yang baik.
„Kedatanganku kali ini sebetulnya hendak menagih hutang kepada Ouw-pak-sam-sat. Aku sekarang hanya ingin supaya Pui Lip dan Pui Tiauw suka temani aku main-main beberapa jurus. Hutang jiwa harus dibayar jiwa, jika tidak beruntung aku tergelincir di bawah tangannya, mati juga tidak akan menyesal.”
Perkataan Kim Tan ini, diucapkan dengan suara halus dan sikap yang sopan santun sehingga Pek-kut-sin-kun yang mendengari tidak bisa menjawab sepatah katapun juga. Pui Lip dan Pui Tiauw yang dengar namanya disebut dan ditantang secara terang-terangan, mengingat adiknya telah melanggar hukum karena Kim Tan juga, maka seketika itu hatinya merasa sangat panas, dengan membentak keras, mereka lalu maju ke depan Pek-kut-sin-kun dan berkata kepadanya:
„Ini kawanan yang tidak ada nama, mana pantas bertanding dengan Kau-cu, serahkan kepada kita berdua. Biarlah kita nanti yang membereskan, supaya mereka bisa mati dengan mata meram dan segera dapat menemui ayah bundanya yang ada di akherat.”
Kim Tan mendengar perkataannya yang sangat sombong ini, hatinya panas dengan tertawa dingin ia berkata: „Iblis tua jangan kamu omong besar. Agar kalian bisa mati dengan mata meram, baiklah aku nanti akan lawan kalian dengan tangan kosong, tidak menggunakan senjata tajam. Dengan sepasang tanganku ini, aku akan antar kalian ke akherat.”
Ouw-pak-sam-sat ada orang-orang yang ada nama di kalangan Kang-ouw, mana pernah dihina demikian rupa? Dengan satu bentakan mereka lalu maju menyerang.
Kim Tan meski menghadapi musuh kuat, tapi masih tetap tenang, lihat saja pun tidak, dengan diam-diam ia kerahkan ilmunya Tay-it-sin-kang. Kasihan Pui Lip, karena ingin buru-buru merebut kemenangan, sehingga tidak berjaga-jaga. Dan setelah mendapat tahu Kim Tan tidak berkelit atau menangkis, baru merasakan gelagat kurang baik. Ia segera hendak tarik kembali serangannya, tapi sudah terlambat, sehingga tangannya yang sedang menyerang seolah-olah terbentur dengan kekuatan yang sangat kuat, dan ia terpental mundur kira-kira tujuh-delapan tindak jauhnya.
Pui Tiauw yang menyaksikan kakaknya segera akan mengalami kekalahan, lalu tidak perdulikan lagi peraturan Kang-ouw, segera melompat keluar untuk membokong, dari belakang melakukan serangan.
Kim Tan sedang pusatkan pikirannya untuk menghadapi Pui Lip, mendadak merasakan desiran angin, dengan kekuatan yang hebat menyerang padanya dari belakang. Dengan cepat ia mengelak sambil miringkan tubuhnya, melesat satu tumbak jauhnya.
Cu Ling Cie sangat murka dengan mata melotot, ia membentak:
„Dengan menggelap melakukan serangan, apakah itu perbuatannya orang gagah? Percuma saja kau menjadi orang ternama di kalangan Kang-ouw.” Sehabis berkata, lalu memutar tangannya, menyerang Pui Tiauw dari kanan dan kiri, untuk mengarah tempat kematiannya Pui Tiauw.
Pui Tiauw yang tadinya mengira serangannya akan berhasil, tidak disangka-sangka kalau akan diserang secara demikian hebat oleh Cu Ling Cie sehingga agak kelabakan. Dengan cepat, ia berkelit, lalu mengeluarkan bentakan: „Budak hina, kau mencari mati!” Sehabis berkata, lalu mendakkan tubuhnya, kedua jari tangannya ditusukan ke arah urat besar.
Cu Ling Cie yang melihat ia keluarkan tangan kejam, mukanya merah padam, dengan memutar tubuhnya, ia menyerang dengan telapakan tangannya. Serangan ini bukan saja menggunakan tenaga dalam sepenuhnya, malahan dibarengi dengan ilmunya Tay-it-sin-kang. Jika mengenakan sasarannya, Pui Tiauw tentu akan binasa seketika, setidak-tidaknya juga akan luka parah.
Masih untung Pui Tiauw tidak menjadi gugup, dengan mengempos semangatnya, ia melesat sejauh satu tumbak, sehingga terlolos dari bahaya maut. Cu Ling Cie tidak memberi kesempatan kepadanya, dengan cepat ia mengejar, seolah-olah membayangi jejaknya Pui Tiauw.
Pada saat itu, Kim Tan yang bertempur melawan Pui Lip, masing-masing sedang mengeluarkan kepandaiannya, untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan kekuatannya tenaga dalam yang agak dalam dari lawannya, Kim Tan sebetulnya bisa merubuhkan lawannya dalam tempo tidak sampai sepuluh jurus. Apa mau pikiran Kim Tan waktu itu sedang dipengaruhi oleh keadaannya Han Ing maka gerakan-gerakannya juga kena terpengaruh juga. Demikian, maka memberi kesempatan bagi Pui Lip untuk memberi perlawanan sehingga lebih dari sepuluh jurus.
Kemudian setelah sadar kalau ia sedang menghadapi musuh turunannya, jika tidak bertempur dengan sungguh-sungguh, mungkin akan mendatangkan bahaya. Ia lantas tetapkan hatinya, dengan secara tiba-tiba ia menyerang dengan sungguh- sungguh.
Ilmu pukulan-pukulannya yang dahsyat ia telah keluarkan beruntun-runtun, yang hebat dan kecepatannya seperti kilat, dalam sekejap mata saja, Pui Lip sudah dibikin kalang kabut. Melihat keadaan musuh sudah mulai terdesak, maka dengan tidak membuang tempo lagi ia telah berikan pukulannya yang terakhir dan dalam tempo sekejap, kepalanya Pui Lip sudah hancur luluh.
Pada saat Pui Lip menemukan ajalnya ini, Cu Ling Cie pun sudah hampir berhasil membunuh lawannya. Ia telah mendapat kesempatan baik untuk mengeluarkan serangannya yang dahsyat, maka dengan tidak mau membuang tempo lagi, ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk melakukan serangan.
Tapi selagi Pui Tiauw menghadapi bahaya maut ini, Pek-kut-sin- kun mendadak datang menghalau dengan kebutan jubahnya, sehingga serangan Cu Ling Cie telah terbentur dengan samberan angin jubah Pek-kut-sin-kun dengan satu suara keras. Cu Ling Cie mundur beberapa tindak, dan demikian maka Pui Tiauw pun terlolos dari bahaya kematian. Dengan muka pucat laksana mayat, ia buru-buru undurkan diri.
Cu Ling Cie yang sudah hampir berhasil dalam usahanya menuntut balas ayah bundanya, mendadak dihalangi oleh Pek- kut-sin-kun. Sudah tentu perasaan mendongkolnya tidak dapat menghadapi lawan yang sangat tangguh, orang yang kepandaiannya sudah tidak ada taranya serupa Pek-kut-sin-kun ini, tidak akan gampang-gampang dilawan.
Maka ia segera menahan perasaan sakit hatinya, dengan muka berseri-seri ia menghadapi Pek-kut-sin-kun seraya berkata: „Sin- kun ada seorang yang cerdik pandai, sudah tentu tahu kalau musuh ayah bunda itu ada sangat besar. Maka pertempuran dengan Pui Tiauw, sebaliknya jangan ambil perduli ”
Belum habis perkataan Cu Ling Cie, sudah dipotong oleh Pek- kut-sin-kun: „Budak kecil jangan kau sembarangan membuka mulut, di Shia-ling-kie, Cian-pie-sin-mo Chek Hong, mati di tangan siapa? Dalam pertempuran di Kun-san, siapa yang membinasakan pelindung hukum perkumpulan kita, Hang-liong- lo-han, Liauw Ceng? Dan kau masih berani mengatakan tidak ada permusuhan dengan perkumpulan kita. Sekarang keluarkanlah senjatamu untuk main-main dengan aku, supaya kau dapat mati dengan mata meram.”
Ia ucapkan perkataan itu dengan wajah merah padam dan mata melotot, sehingga Cu Ling Cie merasa agak keder. Ia mengerti kali ini dalam kemurkaannya, Pek-kut-sin-kun tentu tidak mau dibikin habis sampai disitu. Mengingat tenaganya sendiri jika dibanding dengan kekuatan Pek-kut-sin-kun, sudah tentu masih belum seimbang, dengan sepasang kepalan, tentu tidak dapat melawan.
Memikir sampai disini, ia terpaksa kertak gigi, menghunus pedangnya, dengan mengangkat tangannya ia berkata: „Jika memang Sin-kun tidak bisa memberi maaf, apa boleh buat, Boanpwee terpaksa melayani kau main-main beberapa jurus.”
Kim Tan setelah berhasil membunuh musuhnya, lalu berdiri disamping untuk menonton pertempuran Cu Ling Cie dengan Pui Tiauw. Ketika mendapat tahu Cu Ling Cie hendak bertempur dengan Pek-kut-sin-kun, ia buru-buru lompat maju dan menghadang di tengah seraya berkata: „Cie-moy, silahkan mundur dulu, biarlah aku yang menemani ia main-main beberapa jurus.”
Pek-kut-sin-kun ternyata masih pegang derajatnya sebagai kepala satu perkumpulan, karena seolah-olah tidak sedang hendak bertempur, ia masih tetap berdiri tanpa menunjukkan suatu sikap yang jumawa, malahan sambil tersenyum ia berkata:
„Siao-hiap sekiranya hendak menghalangi ia mencari kematian, silahkan maju. Aku si tua bangka hanya akan menggunakan ini jubah rombeng, sudah cukup untuk melayani kau.”
Kim Tan meski mengerti bahwa ia sedang dibikin panas, namun tetap tenang, tidak gubris semua hinaan itu. Dengan menghunus pedangnya, ia memulai serangannya yang di arah ialah bagian dada Pek-kut-sin-kun.
Dengan tenang sekali, Pek-kut-sin-kun tidak berkelit atau menangkis. Selagi ujung pedang hendak mengenakan sasarannya, barulah dengan enteng sekali ia kebutkan jubahnya. Sekalipun sangat enteng kelihatannya, namun pedangnya Kim Tan seperti dipampat oleh suatu tenaga yang kuat luar biasa, seolah-olah terhalang dengan tembok baja yang kukuh, yang sukar ditembus. Padahal kekuatan Kim Tan, meskipun belum lama turun gunung, namun boleh dikatakan sudah cukup sempurna.
Melihat keadaan demikian, Kim Tan segera tahu gelagat kurang baik, maka ia buru-buru rubah caranya bersilat. Namun Pek-kut- sin-kun masih tetap tenang, sedikitpun tidak membalas menyerang.
Kim Tan menengok sebentar ke arah Han Ing, dapat lihat wajahnya Han Ing yang pucat pasi, lantas mengerti bahwa lukanya Han Ing betul-betul tidak enteng. Sekalipun sudah minum obat Ngo-bie-san, untuk menahan sakitnya, tapi barangkali juga tidak bisa menahan terlalu lama. Memikir sampai disini, mendadak hatinya merasa sangat pilu, dengan kerahkan seluruh tenaganya dikumpulkan ke ujung pedangnya, dan segera menyerang pula kepada Pek-kut-sin-kun.
Kim Tan waktu sudah ambil keputusan nekat, hingga tambah berlipat ganda. Sekalipun Pek-kut-sin-kun yang kepandaiannya sudah sampai di puncaknya, tokh masih tidak berani menyambut dengan kekerasan, hanya sambil miringkan tubuhnya, ia berkelit untuk menghindarkan serangan yang hebat itu. Dengan membalikkan tangannya, ia mengebut pula dengan lengan jubahnya, kemudian disusul dengan samberan angin yang kuat dan dingin, menyerang dari samping.
Karena sudah nekat, Kim Tan coba melakukan serangan, dan karena tubuhnya terapung di tengah udara, sudah tentu tidak dapat berkelit. Adalah dalam saat yang kritis itu, ia paksa empos semangatnya, dengan mengikuti aliran angin yang dingin itu, ia melesat jauh, kira-kira tujuh-delapan langkah.
Pek-kut-sin-kun yang sudah berhasil dengan serangannya, mana mau lepaskan dengan cara begitu saja, maka ia lalu membarengi untuk melesat ke udara. Kembali ia kebutkan jubahnya, dan satu samberan angin yang dinginnya luar biasa, telah menyerang bebokong Kim Tan.
Kim Tan baru saja terlolos dari bahaya kematian, kini kembali diserang dari belakang. Bagaimana tinggipun ilmu silatnya Kim Tan, juga tidak berdaya untuk menyingkirkan dirinya. Cu Ling Cie yang dapat tahu bahaya sedang mengancam dirinya Kim Tan, selagi hendak memberi pertolongan, tiba-tiba terdengar berkibarnya baju yang kesampok angin, menyusul mana, satu bayangan putih telah melesat menghalang di depannya, menangkis serangan angin yang sangat dahsyat itu. Dengan demikian, hingga Kim Tan terlolos pula dari bahaya maut tapi bayangan putih segera terpental sejarak kira-kira satu tumbak jauhnya.
Pek-kut-sin-kun sedang mengerahkan tenaganya hendak membinasakan Kim Tan di bawah telapakan tangannya, telah terhalang oleh bayangan putih itu, seketika lantas kesima. Ia sama sekali tidak akan menduga bahwa orang yang membela mati-matian untuk menghindarkan Kim Tan dari bahaya, adalah anak angkatnya sendiri Giok-tek-hwie-sian.
Waktu Kim Tan sedang pejamkan matanya untuk menerima kematiannya, tidak disangka-sangka kalau Han Ing telah datang menolong dengan tidak perdulikan jiwanya sendiri, untuk menerima serangan yang hebat itu. Sejenak kemudian, tiba-tiba terdengar Cu Ling Cie menyerit keras, dengan suara sember ia berkata: „Enci Han Ing, dengan berbuat demikian, pengorbananmu terlalu besar sekali.”
Kim Tan segera memburu, dapat lihat wajahnya Han Ing pucat seperti mayat, darah dari mulutnya berhamburan di tanah, sangat pilu rasa hatinya.
Menghadapi peristiwa yang secara tiba-tiba ini, Pek-kut-sin-kun juga sangat kaget, hal ini sungguh di luar dugaannya sama sekali. Dua kali ia memandang tubuhnya Han Ing yang sudah hampir mati itu, di saat itu, setahu bagaimana perasaannya, entah kasihan, benci atau sayang.
Han Ing dengan sorot matanya yang sudah layu memandang Kim Tan, wajahnya yang pucat pasi itu tersungging senyuman ketir. Mulutnya bergerak tapi tidak kedengaran apa yang ia sedang katakan.
Menghadapi bunga teratai yang segera akan layu ini, melihat keadaannya yang sangat memilukan hati, meski bagaimana keras hatinya Kim Tan, tidak urung mengeluarkan air mata juga. Sedangkan Cu Ling Cie, sudah sedari tadi menangis sesenggukan sambil memanggil-manggil namanya Han Ing tidak henti-hentinya.