Setan Harpa Jilid 09

 
Jilid 09

"BENAR!"

Sambil menggigit bibir menahas rasa dendam nya, si anak muda itu berseru lebih jauh: "Kenapa kau telah membunuhnya? Hayo jawab!"

"Kau ingin tahu?" "Benar!"

"Serahkan dulu harpa besi itu kepadaku!" "Untuk apa?"

"Jika hari ini aku tidak mati, semua rahasia tersebut pasti akan kuberitahukan kepadamu!"

"Kau..."

"Serahkan harpa besi itu kepadaku!" Suara bentakannya kali ini sangat keras, sangat berwibawa dan membuat perasaan orang bergoncang keras.

Tanpa sadar Ong Bun-kim melangkah ke depan dan mengangsurkan harpa besi itu kepada nya, Kui-jin suseng segera menyambut harpa besi itu kemudian baru menyapu sekejap wajah wajah para jago enam partai dengan sinar mata mengerikan.

"Kalian jangan terlalu memaksa orang, setelah berjanji satu tahun, sampai waktunya enam jilid kitab pusaka itu pasti akan kukembalikan kepada kalian semua, tapi bila kalian memaksa untuk turun tangan lagi, hati hati kalau aku sampai turun tangan membunuh kalian!"

Terkejut dan ngeri perasaan jago-jago enam partai itu setelah mendengar perkataan tadi.

"Bun-kim, hayo kita pergi!" bentak Kui-jin suseng kemudian.

Begitu kata terakhir diucapkan, dengan suatu gerakan cepat ia telah berkelebat meninggalkan tempat itu.

Ong Bun-kim segera menyusulnya dari belakang, ketika jago-jago dari enam partai besar mencoba untuk menyusulnya, tiga dentingan irama khim mencabut nyawa menahan orang-orang itu untuk melanjutkan pengejarannya.

Dalam waktu singkat Kui-jin suseng serta Ong Bun-kim sudah berada puluhan kaki jauh nya, menyusul kemudian bayangan tubuh mereka lenyap dari pandangan mata . . .

Dalam waktu singkat Kui-jin suseng dan Ong Bun-kim sudah berada setengah li dari tempat semula, dikala kedua orang itu sedang melanjutkan perjalanan dengan cepat, tiba- tiba serentetan suara tertawa dingin yang menyeramkan berkumandang memecahkan keheningan.

Mendengar suara tersebut, Kui-jin suseng segera menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah mana berasalnya suara itu.

"Kui-jin suseng, akhirnya kita bertemu lagi!" suara menyeramkan itu kembali ber kumandang.

Kui-jin suseng mendongakkan kepalanya dan tertawa seram. "Haaaahh . . . haaahhh . . . haaaabbh . .. betul sobat, kita memang telah berjumpa kembali, kenapa kau tidak menampilkan diri untuk saling bertemu muka?"

Ong Bun-kim sama sekali tidak memahami apa gerangan yang telah terjadi, tapi ia dapat menduga kalau orang-orang itu pastilah musuh tangguh yang selama ini mengejar Kui- jin suseng.

Tapi siapakah orang itu? Kenapa Kui-jin suseng menunjukkan perasaan takut terhadap lawannya?

Kembali kedengaran orang itu tertawa dingin sambil berkata:

"Kui-jin suseng, sudah belasan tahun aku mencarimu, kau memang betul-betul mempunyai kepandaian, ternyata selama banyak tahun kau berhasil menyembunyikan dirimu serahasia mungkin."

"Mau apa kau sekarang?"

"Apa lagi? Tentu saja membinasakan kau!"

"Apa pula dendam sakit hati yang terikat di antara kita berdua?"

"Sudah terlalu banyak yang kau ketahui, aku tidak membunuhmu akhirnya suatu saat kau pasti akan mencariku, bukankah begitu?"

Kui jin suseng tertawa dingin. "Betul!" jawabnya.

Selama ini hanya suara pembicaraannya yang kedengaran tapi tidak nampak batang hidungnya, Ong Bun- kim tidak tahu manusia semacam apakah lawannya itu?

"Orang itu adalah muridmu...?" kembali pihak lawan membentak dengan suara dingin.

"Betul!" "Putra Ong See-liat?" "Tepat!"

"Bagus sekali, nah Kui-jin suseng! Apakah kau ada pesan terakhir yang hendak kau sampai kan?"

"Tidak ada!"

"Bagus sekali!" kembali orang itu berseru dengan suara menyeramkan, "aku akan segera membinasakan kau!"

"Lebih baik turun tanganlah secepatnya!"

"Siapakah mereka?" tak tahan Ong Bun kim berbisik. "Asal aku tidak mampus, semua rahasia ini akan

kuberitahukan kepadamu ... " jawab Kui jin suseng, "sekarang aku sudah tak punya waktu untuk banyak berbicara lagi!"

Diam-diam bergidik juga Ong Bun-kim menghadapi kejadian tersebut.

Sementara itu Kui-jin suseng telah menggenggam harpa besinya, lalu bentaknya lirih:

"Kau juga harus bersiap sedia, dia pasti akan membunuh pula dirimu..!"

Sekali lagi Ong Bun-kim merasakan hatinya tercekat, dia tidak tahu siapakah lawan mereka, dan iapun tidak tahu kenapa Kui-jin suseng begitu takut menghadapinya ...

Sekarang ia baru tahu, ternyata selama ini Kui-jin suseng tak berani munculkan diri lantaran dia kuatir berjumpa muka dengan orang tersebut...

Mendadak Kui-jin suseng membentak keras:

"Sobat, kenapa kau belum juga melancarkan serangan?" Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba kedengaran bentakan keras menggelegar di udara, serentetan cahaya putih dengan kecepatan luar biasa menyambar ke tubuh Kui-jin suseng.

Ketika cahaya putih itu menyambar lewat,  Kui-jin suseng segera membentak keras:

"Sobat, aku akan beradu jiwa denganmu!"

Cahaya putih berkelebar lewat, tiba-tiba Kui-jin suseng mempergunakan harpa besinya untuk  menyongsong tibanya sinar putih itu.

Bayangan manusia berputar mengikuti gerakan cahaya putih itu, mendadak serentetan jerit kesakitan berkumandang memecahkan keheningan.

Tubuh Kui-jin suseng menjelat ke belakang dan roboh terjengkang ks atas tanah.

Sementara itu cahaya putih itu kembali menyambar lewat, terpaksa ia harus kabur lagi sejauh tujuh delapan kaki dari posisi semula.

Kecepatan gerak dari cahaya putih itu sungguh mengerikan hati, selama ini Ong Bun-kim tidak berhasil mengetahui dengan jelas manusiakah atau kilatkah yang menyambar-nyambar, sebab kecepatan bergeraknya sinar putih itu sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Sinar matanya yang penuh rasa kaget dan ngeri itu dialihkan kembali ke tubuh Kui-jin suseng, ternyata ia sudah tergeletak tak berkutik lagi, tampaknya cukup parah luka yang dideritanya...

Ong Bun-kim merasakan denyutan nadinya bertambah cepat, tak kuasa lagi ia menjerit: "Suhu!" Tiba-tiba suara yang dingin menyeramkan itu berkumandang kembali di sisi telinganya: "Ia sudah mati!"

Ong Bun kim merasa dadanya seperti terkena pukulan martil yang sangat berat, kepalanya pusing telinganya mendengung keras, nyaris tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.

Pada saat itulah, tiba-tiba suara yang dingin menyeramkan tadi kembali menggelegar:

"Serahkan juga selembar nyawamu . . ."

Cahaya putih sekali lagi berkelebat lewat dan menyambar ke arah Ong Bun-kim.

Pada saat cahaya putih itu berkelebat lewat tiba-tiba sesosok bayangan manusia bergerak ke depan dan menyongsong datangnya cahaya putih itu..

Suatu bentakan yang memekikkan telinga berkumandang memenuhi seluruh angkasa, cahaya putih serta bayangan manusia itu segera saling berpisah ke belakang . . .

Ternyata orang yang melancarkan serangan pertama kali tadi adalah kakek berambut putih yang pernah dijumpainya tadi, cuma raut wajahnya kini sudah berubah agak pucat.

Cahaya putih kembali berkelebat lewat dan kabur dari situ.

Selama pertarungan berlangsung, ternyata Ong Bun-kim tidak berhasil mengikuti jalannya pertarungan antara si kakek berambut putih dengan cahaya putih tadi, diapun tidak tahu sesungguhnya siapa yang berhasil menangkan pertarungan itu.

Tapi kalau dilihat dari kemampuan si kakek berambut putih yang sanggup menerima serangan dari cahaya putih itu tanpa roboh seperti halnya dengan Kui-jin suseng, hal ini sudah cukup mengejutkan hati, sebab dari sini semakin membuktikan bahwa ilmu silat yang dimilikinya betu-betul sudah mencapai tingkatan yang luar biasa.

Kakek berambut putih itu berdiri termangu-mangu untuk sesaat lamanya, kemudian sambil memandang sekejap diri Ong Bun kim katanya:

"Coba tengoklah dulu gurumu, apakah dia masih hidup ataukah sudah mati?"

Mendengar perkataan itu dengan perasaan bergetar keras Ong Bun kim memburu ke sisi tubuhnya lalu merobek kain cadar yang menutupi wajah Kui jin suseng.

Segera terlihatlah bahwa Kui jin suseng adalah seorang kakek berusia limapuluh tahunan yang berwajah tampan dan gagah.

Sementara itu darah segar masih saja mengucur ke luar dengan derasnya, warna hitam agak menyelimuti wajahnya, tapi dia belum tewas.

"Suhu . . . . " dengan perasaan yang bergolak keras Ong Bun kim berteriak memanggil.

Tapi Kui jin suseng sama sekali tak berkutik.

Kakek berambut putih itu segera menghampiri ke hadapan Kui jin suseng, ia mengeluarkan sebutir pil dan dijejalkan ke dalam mulutnya, kemudian sambil mengerahkan tenaga dalamnya ia bantu untuk menyadarkan kembali jago tersebut.

Dengan perasaan sedih Ong Bun-kim mengawasi perubahan di atas wajah Kui-jin suseng, kurang lebih setengah jam kemudian gurunya baru tampak bergerak dan siuman kembali dari pingsannya. "Suhu . . ." sekali lagi Ong Bun-kim berteriak dengan penuh luapan emosi.

Pelan-pelan Kui-jin suseng mengalihkan sinar matanya ke atas wajah Ong Bun-kim, sikapnya tampak pula terpengaruh oleh golakan emosi, air mata mengembang dalam kelopak matanya.

Ong Bun-kim ikut merasa bersedih hati, terlepas apakah Kui-jin suseng telah membunuh ayahnya atau tidak, bagaimanapun juga ia telah memeliharanya selama limabelas tahun dan mewariskan semua kepandaian silat yang dimilikinya kepadanya.

Rasa sayang dan benci segera berkecamuk dalam hatinya membuat ia merasa makin sedih dan tersiksa . .

Dengau sinar mata yang redup Kui-jin suseng memandang sekejap wajah si kakek berambut putih itu, tiba-tiba serunya dengan terkejut:

"Locianpwe, kau?"

Kakek berambut putih itu mengangguk lirih.

Kembali Kui jin suseng menghela napas panjang, katanya:

"Bun kim, aku . . . aku merasa telah berbuat salah kepadamu ..."

"Suhu, mengapa kau membunuh ayahku? Maukah kau memberitahukan latar belakang kejadian itu kepadaku?" pinta Ong Bun kim dengan luapan emosi yang berkobar- kobar

Dengan sedih Ku jin suseng mengangguk.

"Yaa, aku memang seharusnya memberitahukan persoalan ini kepadamu... sebelum aku mati, semua rahasia ini harus kuberitahukan kepadamu, karena aku sendiri sudah tak sanggup menyelesaikan pekerjaan yang harus kuselesaikan."

"Kau . . . kau tidak akan mati ... " Kui jin suseng mendongakkan kepalanya lalu tertawa tergelak - gelak seperti orang kalap.

"Haaaahhb . . . haaahhh . . haaahhh. . . limabelas tahun sudah aku bersembunyi dan menghindarkan diri dari perjumpaan dengannya, tapi pada akhirnya aku tak dapat meloloskan diri dari tangan kejinya..."

"Siapakah dia?"

"San tian jin (manusia kilat)!"

Mendengar perkataan itu tiba-tiba Ong Bun kim  bergidik, bulu romanya pada bangun berdiri, secara tiba-tiba ia teringat akan sesuatu, serunya tak tahan:

"San tian jin? Dia . . . bukankah dia adalah "pembunuh dari Kiam hay lak yu ... "

"Dari mana kau bisa tahu?" tiba - tiba kakek berambut putih itu menyela dari samping.

"Sesaat sebelum tewas Lui tian jiu berkata bahwa orang yang membunuh mereka bernama San . . . waktu itu perkataannya sudah tidak jelas sehingga mungkin yang dimaksudkan adalah "San" (kilat) bukan san (tiga) seperiti yang kudengar . . . maklumlah karena dua huruf kata itu hampir sama suaranya, kecuali dia, ilmu silat dari Sam jiu hek hou (rase hitam berlengan tiga) masih belum mampu untuk membinasakan mereka semua."

"Benar!" kata Kui jin suseng, "yang membunuh Kiam hay lak yu adalah San tian jin si manusia kilat !" Dengan perasaan teramat pedih dan bingung Ong Bun kim mengawasi wajah gurunya, lalu setelah termenung sekian lama katanya:

"Mengapa kau harus membunuh ayahku?" "Karena cinta!"

"Cinta ?"

"Yaa, benar. Karena cinta, sebab aku dengan Siau Hui- un pernah terlibat dalam suatu hubungan cinta!"

Perkataan itu sangat mengejutkan hati Ong Bun-kim, sebab kenyataan tersebut benar-benar amat di luar dugaannya . . . .

Ketika Kui jin suseng menyasikkan Ong Bun-kim memandang ke arahnya dengan wajah tertegun, ia lantas bertanya:

"Kau kau tidak percaya?"

"Aku tidak tahu!"

"Yaa, kau tidak akan tahu, sebab persoalan ini justru menyeretku sehingga membunuh ayahmu. "

"Kenapa kau membunuhnya?"

Kui-jin suseng termenung sebentar, lalu katanya: "Beginilah kejadiannya.....Aku dengan Siau Hui-un

sesungguhnya adalah sepasang kekasih yang saling cinta mencintai, persoalan ini jarang diketahui oleh orang-orang dari dunia persilatan, waktu itu kebetulan sekali kami berpisah dalam jangka waktu yang cukup lama lantaran saling mengambek oleh sebab suatu masalah kecil.

Di dalam saat perpisahan tersebut, aku mengikuti guruku berdiam di atas gunung dan belajar silat selama lima tahun lamanya, di dalam lima tahun itu, aku selalu merindukan kekasihku Toan-kiam-giok-jin Siau Hui-un yang kucintai itu.

-oo0dw0oo-

BAB 26

LlMA tahun kemudian akupun turun gunung, tapi ketika itu Siau Hui-un telah kawin dengan ayahmu. Atas peristiwa tersebut aku merasa amat bersedih hati bahkan mengalami tekanan batin selama banyak waktu, aku mulai membenci setiap persoalan yang ada di dunia ini, akupun mulai membenci setiap manusia yang kujumpai, semenjak itulah aku mulai gemar membunuh orang.

"Suatu hari, aku bertemu dengan Siau Hui un. Setelah mengalami perpisahan selama lima tahun, kami berdua sama-sama merasakan bahwa cinta kami sesungguhnya begitu dalam dan terukir dalam hati kami, dari mulutnya dapat ku ketahui pula bahwa kehidupannya setelah perkawinan tidak bahagia.

Seorang suami dengan dua istri memang kebanyakan tak bisa memperoleh kebahagiaan, itu bukan berarti ayahmu kurang baik kepadanya, sebaliknya karena ia selalu beranggapan bahwa cinta yang diperolehnya hanya separuh.

Karena itu dalam perjumpaan tersebut kamipun melakukan hubungan suami istri sampai beberapa kali, kemudian kamipun berpisah dengan penuh kesedihan.

Setelah meninggalkan Siau Hui un, tiba-tiba muncul sebuah siasat keji dalam benakku, aku ingin membunuh ayahmu, kebetulan pada waktu itupun aku berkenalan dengannya. Ilmu silat yang dimiliki ayahmu memang amat lihay, hakekatnya tiada tandingan lagi di dunia waktu itu, aku pernah beradu kepandaian dengannya tapi tak pernah kulampaui jurus ke delapan.

Untuk mewujudkan tekadku untuk mendapatkan Siau Hui un kembali, maka secara diam diam kucuri kitab pusaka ilmu silat dari enam partai besar, setelah berhasil akupun menyembunyikan diri dan mulai berlatih diri dengan tekun.

Selama mengasingkan diri, setiap sepuluh hari sampai setengah bulan, Siau Hui un selalu datang mengunjungiku, kecuali bermesraan dan melakukan hubungan suami istri, kami tidak melakukan yang lain, tapi setiap kali setelah melakukan hubungan sex, iapun pergi meninggalkan aku.

Suatu hari tiba-tiba Siau Hui un datang mencariku, ia bertanya kenapa aku tidak berusaha untuk melenyapkan Ong See liat dari muka bumi? Katanya setelah Ong See liat di bunuh, maka pasti dapat hidup berdampingan terus hingga tua nanti.

Tentu saja persoalan ini sudah menjadi rencanaku sejak awal, maka akupun membeberkan rencanaku itu kepadanya, waktu itu ia bersedia untuk melakukan serangan lebih dulu secara diam-diam dan minta aku menetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana itu.

Pada hari yang telah ditetapkan, Siau Hui un memasukkan sejenis racun yang kuat dan tidak berbau dalam air minum ayahmu, ketika ayahmu sudah mulai keracunan, akupun menyergapnya secara tiba tiba dan membinasakan ayahmu. Coba kalau ayahmu tidak keracunan lebih dulu. mungkin bukan lengan kiriku saja yang dibacok kutung, bahkan selembar nyawaku mungkin ikut melayang.

Maka akupun memburu kembali ke tempat tinggal kalian.

Ketika itu ibumu Coa Siok oh sedang berlarian ke luar, aku segera menghantamnya sampai terluka, tapi ketika aku tiba dalam ruangan belakang, tiba-tiba kujumpai suatu peristiwa lain yang sama sekali di luar dugaanku.

Waktu aku masuk ke ruang dalam, dari balik kamar tiba tiba terdengar suara Siau Hui-un sedang bercakap-cakap dengan seorang pria. Terdengar pria itu berkata begini:

"Adik Siau, caramu ini memang benar-benar jitu, setelah Kui jin suseng melenyapkan Ong See liat, lantas kitapun melenyapkan dirinya, selanjutnya dalam dunia persilatan tentu akan tersiar kabar yang mengatakan bahwa Ong See liat berhasil membebaskan sakit hatinya sendiri "

Ketika mendengar sampai di situ, api amarah yang berkobar dalam dadaku sudah tak ter-kendalikan, karena tanpa kusadari ternyata Siau Hui un telah mempergunakan siasat keji untuk mencelakaiku, dalam kenyataannya ia sudah mempunyai kekasih gelap yang lain.

Ketika mendengar perkataan laki laki tadi, Siau Hui un bertanya:

"Apakah dengan ilmu silatmu dapat membunuh Kui jin suseng?"

"Jangankan baru Kui jin suseng, sekalipun Ong See liat juga tidak kupandang sebelah matapun!"

"Kalau memang begitu, bagus sekali. " Belum lagi kata kata dari Siau Hui un habis diutarakan, tiba tiba kedengaran suara anak kecil menangis berkumandang memecahkan kesunyian.

Siau Hui un lantas bertanya. "Bagaimana dengan anak jadah itu?" "Apa salahnya kalau kita bereskan saja?"

"Jangan, jangan dibunuh, konon Ong See liat mempunyai sejilid kitab pusaka yang di  sembunyikan dalam tubuhnya."

"Kalau begitu kita bawa saja anak jadah itu, jika kitab pusaka itu sudah ditemukan baru kita jagal dia!"

"Baik!"

Pada waktu itulah tiba tiba timbul suatu ingatan dalam hatiku, aku segera memburu ke dalam kamar dan menyaksikan kau sedang menangis menjerit jerit, tanpa banyak bicara kau kusambar lalu kubawa kabur dari ruangan itu.

Rupanya Siau Hui un berhasil mengetahui jejakku, sambil menyusul dari belakang ia lantas membentak:

"Hei, mau kau bawa ke mana Ong Bun kim?" Dengan marah aku mendamprat:

"Siau Hui un, aku telah terperangkap oleh siasat kejimu, kau perempuan berhati bisa, rupanya dengan siasat satu batu membunuh dua burung kau ingin mencelakai aku dengan Ong See liat? Hmm, ingat saja! Suatu hari akupun akan membunuh kau "

Ketika aku memburu ke luar ruangan, tiba tiba seseorang telah membentak keras. "Saudara, meskipun kau telah mengetahui rencanaku, tapi jangan harap bisa lolos dari cengkramanku!"

Bayangan putih berkelebat lewat, seorang laki laki berusia tigapuluh tahunan sudah menghadang jalan pergiku, tak usah ditanya lagi orang itu bukan lain adalah kekasih gelap kedua dari Siau Hui un yang ia menyebut diri sendiri sebagai San tian jin, si manusia kilat.

Maka kamipun terlibat dalam suatu pertarungan sengit, tapi ilmu silat orang itu sungguh mengejutkan hati, dalam tiga gebrakan saja aku sudah termakan oleh sebuah pukulannya.

Ketika itu aku cukup menyadari bahwa kalau tidak kabur lagi, nyawaku pasti akan ludas seketika itu jua, maka secara nekad kulancarkan tiga buah serangan berantai yang paling dahsyat lalu melejit dan kabur dari situ.

Ternyata mereka tak mau lepaskan aku dengan begitu saja, kejar mengejar berlangsung seru, ketika sampai di tepi sebuah jurang maka sambil menggigit bibir akupun terjun ke bawah.

Ketika mencapai tanah, sekali lagi aku menahan tanah dengan tangan kiriku karena tangan kiriku sudah terluka, sekalipun kutung toh nyawa kita berdua berhasil di selamatkan.

Tapi dengan begitu akupun berhasil lolos dengan selamat, maka akupun membawa kau menuju tebing Kui ong gan, di sana kuwariskan semua ilmu silatku. Rasanya cerita selanjutnya dapat kau ketahui sendiri bukan?"

Ketika berbicara sampai di situ, keadaan Kui jin suseng sudah amat payah, nafasnya amat lirih dan jiwanya makin terancam... Saking pedihnya air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Ong Bun kim, tanyanya:

"Jadi kalau begitu kematian ayahku di tanganmu sebetulnya sama sekali tak ada hubungannya dengan Mo kui kiam jiu itu kwancu dari Hou kwan . . . ?.

"Yaa, sama sekali tak ada hubungannya, kami belum pernah saling berjumpa muka."

"Kini enam jilid kitab pusaka dari enam partai besar itu berada di mana. . . ?"

Kui jin suseng menghembuskan nafas panjang, setelah berhenti sebentar katanya:

"Setelah kubawa kau menuju ke Kui ong gan, diam-diam kubalik kembali ke tempat tinggalku semula, ternyata ke enam jilid kitab pusaka itu sudah dibawa kabur oleh Siau Hui un serta manusia kilat, sedang ia sendiripun pergi entah ke mana."

Aku lantas bersumpah akan mendidik kau menjadi seorang jago yang lihay dalam dunia persilatan, agar kau dapat membalaskan dendam atas kematian ayahmu.

"Hingga tujuh - delapan tahun kemudian aku baru muncul sekali dalam dunia persilatan, kukunjungi lembah Sin li kok untuk mencari Siau Hui un, tapi ilmu silatku masih bukan tandingannya.

Demi terwujudnya cita-citaku untuk membalas dendam, akhirnya teringat olehku akan mata uang kematian, sebab mata uang kematian mungkin bisa menunjukkan tempat persembunyian Si ong mo ci, kata orang asal mata uang kematian bisa ditemukan mungkin saja bisa mendapatkan pula serangkaian ilmu silat tinggi. Ketika kau sudah tamat belajar, akupun suruh kau pergi mencari Tui hong pocu, sebab bila kau memperkenalkan diri sebagai Ong See liat, dia akan menceritakan kejadian ini kepadamu. Sedang aku untuk sementara waktu tak ingin berjumpa dulu denganmu, bila iblis cantik pembawa maut telah kutemukan dan dendamku sudah terbalaskan, aku baru akan munculkan diri di hadapanmu untuk menebus dosa ... "

Ong Bun kim menggigit bibir menahan diri, dalam kesedihan yang tak terhingga ditatapnya Kui jin suseng dengan termangu-mangu, lama sekali ia membungkam dalam seribu basa.

Kedengaran Kui jin suseng berkata lagi:

"Kini semua duduknya persoalan telah kau fahami, tugas membalas dendampun terpaksa harus kuserahkan kembali ke atas bahumu !"

"Kalau memang begitu, bolehkah aku meng-ajukan sebuah pertanyaan lagi ?"

"Katakan       katakanlah !"

"Ayahku masih mempunyai seorang sahabat yang bernama Hiat hay ki khek . . apakah kau tahu ?"

"Yaa, aku tahu !"

"Kau pernah berjumpa dengannya?" "Belum !"

"Sekarang dia berada di mana?"

"Konon sudah jauh pergi ke Lam hay, hingga kini tiada kabar berita tentangnya !"

"Apakah kau juga tahu kalau aku mempunyai sebuah Liong bei?" "Yaa, aku tahu ! Waktu itu ayahmu pernah memberitahukan persoalan tersebut kepadaku, katanya sebuah Hong bei yang melukiskan burung hong, ia hadiahkan untuk seorang sahabat karibnya, diapun bilang barang siapa mengenakan Hong bei tersebut, dia adalah istrimu !"

"Kenapa ibuku tak pernah memberitahukan persoalan ini kepadaku?"

"Soal itu aku kurang begitu tahu!"

Dengan berat hati dan sedih Ong Bun kim menganggukkan kepalanya, mungkin saja menjelang kematiannya ibunya hendak memberitahukan persoalan itu, sayang ia sudah tak sanggup buka suara lagi. . ."

Terdengar Kui jin suseng kembali berkata: "Seandainya aku tidak mendengar kalau kau sudah terkena pedang beracun Liu yap kiam dari Mo kui kiam jiu hingga nyawamu berada di ambang kematian, akupun tak akan munculkan diri. Nah, apakah kau menghendaki mata uang kematian itu?"

"Benar !"

Kui jin suseng segera merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan dua biji mata uang kematian yang mana lantas diserahkan kepada Ong Bun kim . .

Dalam pada itu paras muka Kui jin suseng makin lama semakin menghitam dan keadaannya makin lemah ....

Dalam keadaan"demikian Ong Bun kim betul-betul tidak tahu bagaimana sikapnya terhadap gurunya itu, dia tak tahu haruskah merasa dendam ataukah merasa berhutang budi.

Kui jin suseng kembali menghembuskan napas panjang, katanya: "Bersedia . . . bersediakah kau untuk . . . untuk melakukan suatu . . . suatu pekerjaan bagiku . . , ?"

"Katakanlah !"

"Bantu .... bantulah aku un . . . untuk menemukan kembali ke enam jilid ki . . . kitab pusaka milik enam par . .

. partai besar ... "

"Aku pasti akan melakukannya untukmu, aku pasti akan merampasnya kembali dan dikembalikan kepada enam partai besar..."

"Kaa . . . kalau begitu.... ba...baik sekali . . ." nafasnya amat memburu hingga agak tersengal, terusnya agak terputus-putus, "ber. .. bersediakah kau un . . . untuk memaafkan aku . . . ?"

"Aku bersedia memaafkanmu!"

Sekulum senyuman sehingga menghiasi ujung bibir Kui jin suseng, tapi senyuman itu hanya berlangsung dalam waktu singkat sebab kepalanya tiba-tiba terkulai dan Kui-jin suseng yang termashur namanya di mana-mana inipun menghembuskan napasnya yang penghabisan.

Memandang jenazah gurunya yang membujur di depan mata, tidak tahan dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipi pemuda itu, sekalipun ia telah melakukan suatu perbuatan yang tak bisa diampuni, tapi bagaimanapun juga dia mempunyai budi kebaikan kepadanya.

Cinta dan dendam sudah seharusnya dihapus mengikuti kematian yang menjelang padan ya... oleh karena itu diapun memaafkan kesalahannya! Memandang jenazah Kui-jin suseng yang hitam seperti arang, kakek berambut putih yang selama ini hanya berdiam diri itu menghela napas panjang lalu katanya: "Hidup sebagai seorang manusia, sungguh amat sulit untuk membedakan mana yang buruk dan mana yang baik

!"

"Benar" gumam Ong Bun - kim pula, "sebagai seorang manusia, memang sulit untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk ...locianpwe, terima kasih banyak atas budi pertolonganmu tadi!"

"Aaaah, itu tidak terhitung seberapa!"

Baru selesai kakek berambut putih itu berbicara, tiba-tiba kedengaran suara langkah hianusia berkumandang memecahkan kesunyian, ketika Ong Bun-kim coba berpaling, terlihatlah dua orang dayang berbaju biru sedang berjalan menghampiri ke arahnya.

Ong Bun-kim agak tertegun, dengan cepat ia menarik kembali sinar matanya dan dialihkan ke atas jenazah Kui- jin suseng, kemudian dibopongnya jenazah itu  untuk berlalu dari situ.

Mendadak dua orang dayang berbaju biru itu menghadang jalan perginya ....

Menyaksikan perbuatan mereka itu paras muka Ong Bun-kim berubah hebat, segera bentaknya:

"Mau apa kalian?"

"Apakah kau beroama Ong Bun-kim?" tarya dayang berbaju biru yarg ada di sebelah kiri. "Benar!"

"Siocia kami ingin bertemu dengan kau!"

Ong Bun-kim tertegun oleh ucapan tersebut, segera serunya:

"Aku tak pernah kenal dengan siocia kalian, mau apa dia mengundangku untuk berjumpa?" "Tentang soal ini, kau akan mengetahui dengan sendirinya setelah berjumpa nanti!"

Paras muka Ong Bun-kim agak berubah. "Siapakah nona kalian itu?" tegurnya.

"Asal kau telah berjumpa dengannya, nanti toh akan kau ketahui sendiri!"

"Sebelum kalian menerangkan siapakah nona kalian, jangan harap aku akan mengikuti kalian!"

Akhirnya dayang berbaju biru yang rada di sebelah kanan itu menjawab sejujurnya:

"Nona kami adalah Gin Lo-sat (iblis perempuan-berbaju perak) dari pekumpulan Hui-mo pang (iblis terbang)!"

Ong Bun-kim merasa asing dengan nama orang itu, ia agak tertegun dibuatnya, sedang kakek berambut putih yang ada di belakangnya agak berubah muka, ditatapnya sekejap kedua orang dayang berbaju biru itu dengan pandangan jeri.

Ong Bun-kim segera tertawa dingin, katanya.

"Tapi aku tidak merasa kenal dengan nona kalian aku tak ingin pergi ke sana . . . "

"Tidak, bagaimanapun jua kau harus pergi menjumpainya!"

Kontan saja Ong Bua kim tertawa dingin. "Apakah nona berdua hendak memaksaku dengan kekerasan?" ejeknya.

"Setiap orang yang diundang nona kami belum pernah ada yang berani menolak undangan nya, apalagi tak mau pergi menemuinya!"

"Tapi kalau aku tak mau ikut, lantas kalian mau apa?" kembali Ong Bun-kim mengejek. "Saudara, kuanjurkan kepadamu lebih baik jangan menolak arak kehormatan dengan me milih arak hukuman!"

Ong Bun-kim tertawa dingin, mendadak ter dengar ujung baju tersampok angin, kembali ada puluhan sosok bayangan manusia melayang datang dari kejauhan.

Mereka segera membentuk barisan dan menghadang semua jalan mundur dari tempat itu, karena mereka tak lain adalah anak murid dari enam partai besar"

Paras muka Ong Bun-kim berubah hebat.

Pendeta tua yang menjadi pemimpin rombongan itu melirik ke arah Ong Bun-kim sekejap, lalu sinar matanya dialihkan kembali ke atas jenazah Kui-jin suseng, tampaknya ia merasa terkejut dan sedikit tercengang, hingga tanpa sadar serunya:

"Suhumu telah mati?"

"Betul!" jawab Ong Bun-kim dingin.

"Di manakah keenam jilid kitab pusaka kami?"

"Kalian tak usah kuatir," jengek Ong Bun kim dingin, "asal aku Ong Bun-kim tidak mati, dalam waktu setahun ke enam jilid kitab pusaka dari enam partai besar pasti akan kukembalikan!"

Seorang imam tua yang berada di barisan depan segera mendengus dingin, katanya ketus:

"Lantas, bagaimana pula pertanggungan jawab saudara atas puluhan lembar nyawa anggota enam partai besar kami yang tewas di tanganmu?"

Paras muka Ong Bun-kim berubah hebat. "Kalau begitu kalian datang mencari balas denganku?" serunya lantang.

"Kami cuma berharap agar sicu bersedia mengembalikan ke enam jilid kitab pusaka itu kepada kami!"

0oodwoo0

BAB 27

"TADI kan sudah kukatakan bahwa pada suatu hari kitab-kitab tersebut pasti akan kuserahkan kembali kepada kalian enam partai besar!"

"Kami minta kitab itu detik ini juga!"

"Kalau aku tak sanggup menyerahkannya, maka kalian hendak menggunakan kekerasan?"

"Benar!"

"Kalau begitu coba saja untuk mempraktekkan kelihayan kalian!"

Imam tua yang berada di barisan depan itu segera menggerakkan pedang ditangannya, dengan jurus Hong-sia- jian im (angin membuyarkan sisa awan) langsung menerjang tubuh Ong Bun-kim, sungguh cepat gerakan serangan tadi.

Pada saat yang bersamaan, sesosok bayangan biru berkelebat lewat diiringi bentakan nyaring:

"Pingin mampus ... "

Ternyata dia adalah dayang berbaju biru yang ada disebelah kanan, secepat kilat tubuhnya menerjang ke depan, seketika itu juga serangan pedang dari imam tua itu terbendung oleh ancamannya. Terkesiap juga Ong Bun-kim setelah menyaksikan kehebatan dayang baju biru itu.

"Kalau kalian berani turun tangan lagi, jangan salahkan kalau kucabut nyawamu!" demikian dayang baju biru itu mengancam.

Paras muka pendeta tua itu agak berubah, diapun menghardik:

"Li-sicu, siapakah kau?"

"Dayang dari Gin lo-sat, perkumpulan Hui mo-pang!" "Apa? Perkumpulan Hui-mo-pang?"

Hampir dengan suara yang sama kerasnya semua jago dari enam partai besar berteriak kaget, sekilas rasa kaget  dan tercekat segera menyelimuti seluruh wajahnya.

Dari sini dapatlah diketahui bahwa perkumpulan Hui- mo-pang bukanlah suatu perkumpulan biasa.

"Betul!" sahut dayang berbaju biru itu dengan dingin, "Ong Bun-kim adalah orang yang telah diundang oleh pangcu perkumpulan kami, jika kalian berani menyinggung seujung rambut nya saja, segera akan kujagal kalian semua, kalau tidak percaya boleh saja untuk mencoba nya!"

Untuk sementara waktu semua jago dari enam partai besar tak berani berkutik, mereka dibuat tertegun oleh kejadian tersebut.

Seorang dayang baju biru yang lain segera berkata pula kepada Ong Bun-kim dengan suara dingin:

"Hayo berangkat saudara!"

"Sayang aku tidak mempunyai waktu untuk memenuhi harapanmu itu!" jawab Ong Bun kim dengan paras muka agak berubah. "Jadi kau enggan pergi?"

"Tepat sekali, aku memang enggan pergi!"

Baru selesai Ong Bun-kim menjawab, tiba tiba terdengar bentakan keras menggelegar di angkasa, menyusul pendeta tua itu berseru:

"Perkumpulan Hui-mo-pang dapat membuat orang lain jeri, tapi jangan harap bisa menakut kan kami enam partai besar!"

Belum habis perkataan itu, ia sudah maju ke depan dan menerjang tubuh Ong Bun-kim.

Ketika pendeta tua itu melejit ke udara sambil melancarkan terkaman, dayang berbaju biru itu segera membentak keras:

"Hmm . . . ! Rupanya kau sudah bosan hidup!"

Secepat sambaran petir ia menyongsong datangnya tubrukan itu, sebuah pukulan dahsyat dilepaskan pula ke depan.

Bayangan manusia saling menyambar, puluhan sosok bayangan manusia secara bersamaan meluncur pula ke depan menyerang Ong Bun-kim.

Dayang berbaju biru lainnya membentak pula dengan suara nyaring, tubuhnya ikut me nerkam ke depan ...

Jeritan-jeritan ngeri yang menyayatkan hati seketika memecahkan keheningan malam, keadaan kian lama kian bertambah seram.

Pada saat itulah, dengan tangan kirinya menjepit tubuh Ong Bun-kim, tiba-tiba kakek berambut putih itu berseru: "Hayo berangkat ... " Tubuhnya melejit ke udara, seperti seekor kelelawar hijau, ia melayang ke udara dan kabur dari itu.

Sungguh cepat gerakan melayang dari kakek berambut putih itu, boleh dibilang melebihi kecepatan dari sambaran kilat, hanya dalam beberapa kali lompatan saja tubuhnya sudah berada puluhan kaki dari tempat semula.

la kabur terus menuju ke arah sebuah bukit yang tinggi, satu li kemudian dia baru menghentikan larinya dan menurunkan tubuh Ong Bun-kim dari dukungan.

Dengan termangu-mangu Ong Bun-kim mengawasi sekejap kakek berambut putih itu, lalu katanya:

"Locianpwe, banyak terima kasih atas bantuan mu, sekali lagi kau telah menyelamatkan jiwa mu!"

"Aaaah . . . cuma urusan sepele kenapa musti kau risaukan? Kata terima kasih lebih baik tak usah disinggung kembali!"

"Locianpwe, sesungguhnya apakah yang disebut Hui- mo-pang itu? Organisasi macam apakah dia?"

Selapis rasa murung menyelimuti wajah kakek berambut putih itu, jawabnya sesudah termenung sejenak:

"Organisasi macam apakah sesungguhnya Hui-mo-pang itu, hingga kini tidak diketahui oleh siapapun, cuma ia sudah muncul selama beberapa bulan dalam dunia persilatan."

"Menurut apa yang kuketahui, Hui-mo-pang bukan didirikan dalam dunia persilatan di daratan Tionggoan kita, melainkan datangnya dari suatu tempat lain, siapa pangcunya tidak diketahui orang, bagaimana raut wajahnya juga tak pernah dijumpai orang, tapi katanya ilmu silat yang dimilikinya luar biasa lihaynya sehingga boleh dibilang belum pernah ada orang yang mampu menerima tiga jurus serangannya."

"Beberapa bulan berselang, Hui-mo pang telah menciptakan beberapa kejadian berdarah dalam dunia persilatan, seperti misalnya perkumpulan Cing ih pang ( baju hijau), "Lui hong kau (perkumpulan angin geledek), lantaran mereka menolak untuk menggabungkan diri dengan organisasinya, maka akibatnya semua anggota perkumpulan mereka dibantai oleh orang-orang Hui mo pang hingga ludas, seorangpun tak ada yang berhasil lolos dengan selamat . . ."

Menggigil sekujur tubuh Ong Bun kim setelah mendengar perkataan itu, serunya tertahan:

"Oooh...kiranya sudah berlangsung peristiwa berdarah yang demikian mengerikan?"

"Benar!" kakek berambut putih itu kembali manggut- manggut, "malahan ada beberapa orang jago silat kelas satu dari dunia persilatan, seperti misalnya Tiong ciu siang kiam (sepasang pedang, dari Tiong ciu), Giok bin koay khek (tamu aneh berwajah pualam) dan Ngo gak sin kay (pengemis satu dari panca bukit) sekalian telah tewas pula di tangan mereka "

"Oooh.. . . sungguh mengerikan perbuatan mereka itu!" bisik Ong Bun kim dengan perasaan bergidik.

"Oleh karena itulah bbanyak sekali jdago lihay dari adunia persilatabn yang dewasa ini terpaksa menggabungkan diri dengan mereka "

"Tapi, ada persoalan apa ia datang mencariku?"

"Apa lagi? Sudah barang tentu ia hendak menarikmu agar bergabung dengan organisasinya!" Kontan saja Ong Bun kim tertawa dingin.

"Heehh . . heeehhh . . heeehh . . . sayang sekali ia salah perhitungan, sebab aku Ong Bun kim bukanlah manusia semacam itu!"

Kakek berambut putih itu kembali manggut manggut, katanya.

"Kecuali perkumpulan Hui mo pang yang

kemunculannya dalam dunia persilatan telah

menggemparkan seluruh dunia persilatan, aku dengar sebuah perguruan lain yang hanya kudengar namanya tapi tak kujumpai anggota perguruannya yang telah muncul juga dalam dunia persilatan . . ."

"Perguruan apakah itu?" "Yu leng jin!"

"Manusia tanpa sukma . . .?"

"Betul, Manusia tanpa sukma ini sudah pernah muncul beberapa kali dalam dunia persilatan, diapun telah menciptakan beberapa peristiwa berdarah yang mengerikan, tapi tak seorang manusiapun yang mengetahui bahwa musuh nya sesungguhnya seorang manusia ataukah sesosok sukma gentayangan belaka!"

Ong Bun kim menarik napas dingin, sekali lagi tubuhnya menggigil keras .....

Kakek berambut putih itu menghela napas panjang, kembali ia berbisik dengan murung:

"Aaaai beberapa organisasi misterius mulai menteror

dunia persilatan kita, tampaknya suatu badai pembunuhan yang mengerikan segera akan menjelang tiba. "

Ong Bun kim tertegun sekian lamanya tanpa mengetahui apa yang musti dilakukan, lama sekali, ia baru berkata: "Bolehkah boanpwe mengetahui nama besar dari locianpwe?"

Kakek berambut putih itu gelengkan kepalanya berulang kali.

"Tidak perlu tahu, ketika kusambut sebuah pukulan dari si manusia kilat tadi, lukaku sampai sekarang masih belum sembuh . . ."

"Apa . .? Locianpwe, kau . . . kau telah ter-luka?" seru Ong Bun kim sangat terkejut.

"Betul, aku sudah terluka, hanya saja secara paksa kutekan luka itu di dalam tubuh sehingga tidak kambuh, jika luka itu tibdak segera kuobdati maka akibatanya selembar jibwaku juga akan ikut melayang, oleh karena itu aku harus segera meninggalkan tempat ini!"

"Silahkan Locianpwe!"

Kakek berambut putih itu manggut-manggut, ia lantas melejit ke udara dan berlalu dari situ.

Sepeninggal kakek berambut putih tadi, Ong Bun kim mengebumikan jenazah Kui jin suseng di situ, di depan kuburan ia bersembahyang lama sekali, lalu dengan termangu mangu dia baru mengeluarkan seluruh mata uang kematian yang diperolehnya itu.

Bentuk dari keenam buah mata uang itu ternyata berbeda antara yang satu dengan lainnya, tapi bila digabungkan menjadi satu secara berurutan, maka terbacalah beberapa buah huruf kata yang berbunyi demikian:

"Thian san Bwee nia Hong shia,"

Membaca tulisan tersebut, Ong Bun kim menjadi tertegun dan untuk sesaat lamanya dia hanya berdiri termangu seperti orang bodoh.. Kemungkinan besar di atas bukit Thian san tebing Bwe nia kota Hong shia itulah Si ong mo ci (iblis cantik pembawa maut) disekap orang. Ooh Thian! Padahal ia hanya mempunyai kesempatan hidup selama tiga hari lagi, bagaimana mungkin dalam tiga hari yang amat singkat itu dia dapat mencapai bukit Thian san?

Dari sana menuju ke bukit Thian san, paling tidak juga membutuhkan waktu di atas sepuluh hari, pada hakekatnya suatu hal yang mustahil uptuk mencapai bukit tersebut dalam tiga hari yang singkat.

Kehidupannya kembali dari harapan terjatuh ke dalam keputus asaan, ia merasa saat kematian baginya sudah makin mendekat.

Memandang ke enam biji mata uang kematian tersebut, untuk sesaat lamanya ia hanya berdiri dengan sedih.

Yaa, kehidupannya sudah tiada harapan lagi, api yang bisa ia lakukan sekarang hanya menunggu tibanya saat kematian, kecuali itu ia sama sekali tiada harapan lainnya....

Tiba-tiba...

Dikala Ong Bun kim sedang berdiri termangu dengan perasaan amat sedih, dari belakang tubuhnya kedengaran seseorang memanggil:

"Ong sauhiap!"

Mendengar perkartaan tersebut Otng Bun kim meraqsakan tubuhnya rbergetar keras, ia berpaling ke belakang, dilihatnya Lan Siok ling yang telah menyaru sebagai gurunya "Kui jin suseng" telah berdiri kurang lebih satu tombak di belakangnya. Paras muka Lan Siok ling yang diliputi kemurungan dan kesedihan membuat jantung Ong Bun kim berdebar sangat keras.

Seandainya bukan lantaran dia, kemungkinan besar Kui jin suseng tak akan munculkan diri dan .diapun kemungkinan besar masih belum mengetahui sebab terbunuhnya ayah dan ibunya.

Terhadap dirinya, kecuali Lan Siok-ling menaruh perasaan simpatik dan memperhatikan, diapun menaruh cinta kepadanya.

Sekalipun ia sendiri tidak mencintainya, tapi seseorang yang dicintai adalah suatu kejadian yang membahagiakan sekarang, ia baru dapat merasakan betapa berharganya cinta.

Dengan wajah yang murung, sedih dan layu ia tertawa lirih.

Lan Siok ling memandang sekejap kuburan dari Kui jin suseng, kemudian -dengan sedih bisiknya:

"Ia sudah tiada?" "Yaa, benar!"

"Akulah yaog telah mencelakai jiwanya . ." "Tidak . . ."

"Ong sauhiap, aku. . .aku merasa amal bersalah kepadanya ... "

Ketika berbicara sampai di situ, tak bisa dicegah lagi air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya.

Ong Bun kim sendiripun merasa amat sedih, ia menjawab: "Aku tidak menyalahkanmu. lagi pula sepantasnya kalau kuberterima kasih kepadamu, seandainya kau tidak mencatut namanya dan menyaru sebagai dia, sampai sekarang dia tak akan munculkan diri!"

"Kau tidak menyalahkan aku?" bisik ^sang nona dengan sedih tapi lebih lega perasaannya.

"Tentu saja tidak!"

"Oooh . . . Ong sauhiap . . ."

Dengan sedih ia memanggil nama si anak muda itu, lalu tidak tahan lagi ia menjatuhkah diri ke dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu.

Ia sendiripun tak tahu, luapan emosinya itu karena rasa terima kasihnya ataukah karena ia sudah menaruh bibit cinta kepadanya.

Ong Bun kim membalas pelukannya dan membelai rambutnya yang hitam dengan sedih, ia merasa dalam alam kehidupan yang serba susah dan tersiksa ini, orang yang dicintainya adalah orang yang paling berbahagia . . .

Lama .. lama sekali, ia baru mendongakkan kepalanya dan memandang wajah Ong Bun kim, mukanya yang basah oleh air mata menambah daya pesona gadis itu.

Lama kelamaan Ong Bun kim tidak tahan juga, dirangkulnya gadis itu dengan mesra lalu diciumnya bibir yang mungil dan merah merekah itu dengan lembut.

Kejadian di luar dugaan ini disambut kaget oleh si nona, tiba-tiba saja tubuhnya menggigil keras.

Keadaannya waktu itu persis seperti keadaan dari gadis manapun di dunia ini ketika untuk pertama kalinya dicium orang, tubuh yang menggigil menunjukkan luapan rasa gembira dan senang yang mencekam perasaannya waktu itu.

Ciuman, membuat ia merasa amat puas.

Ciuman, membuat mereka melupakan semua kebusukan dan kejelekan yang ada di dunia ini.

Lama-lama kemudian, mereka baru melepaskan diri dari rangkulan.

Dengan sedih gadis itu bertanya:

"Cintakah kau kepadaku?" Ong Bun-kim memandangnya dengan tatapan kosong, agaknya belum pernah ia mempertimbangkan persoalan ini . . . cintakah? Atau tidak men cintainya?

Yaa, sebelum perkenalan belum pernah ia jumpai gadis itu . . . satu-satunya orang yang di cintai hanya seorang gadis yang bernama Bunga iblis dari neraka.

Sekarang, apa yang musti ia jawab? Ia tak tahu bagaimana caranya mengatasi persoalan itu.

Sekalipun ia mencintainya, ia percaya cinta nya kepada gadis itu sudah tidak sempurna lagi"

Maka sambil tertawa getir ucapnya:

"Aku . . . aku tidak tahu!" "Apa? Kau tidak tahu?"

"Kalau ciuman sebagai perlambang cinta, aku telah mencintaimu . . ."

"Kalau begitu kau mencintai aku?" tanya Lan Siok Ling dengan wajah yang amat sedih.

"Benar!" Dengan sedih Lan Siok ling membandang sekejap dke arah Ong Buna kim, bibirnya bbergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya ia batalkan niatnya itu, ia merasa sekalipun ada berjuta juta perkataan yang ingin diucapkan, tapi dia tak tahu dari manakah dia harus mulai dengan pembicaraannya.

Tiba tiba Ong Bun kim seperti teringat akan sesuatu, dia lantas bertanya dengan suara keras:

"Nona Lan, apakah kau mencintai diriku?" "Yaa, aku cinta padamu!"

"Bersediakah kau melakukan suatu pekerjaan! bagiku?"

"Aku bersedia, apa yang kau inginkan? Katakanlah dengan cepat kepadaku!"

"Kawinlah dengan aku!" "Apa?"

Tanpa sadar Lan Siok ling menjerit tertahan, lalu dia mundur dua tiga langkah dengan tindakan lebar;

Ucapan dari Ong Bun kim itu benar benar berada di luar dugaannya, hal mana membuat hatinya merasa amat terperanjat.

"Kawin dengan kau?" bisiknya dengan suara gemetar. "Betul!"

Dengan perasaan tertegun dan sedikit di luar dugaan gadis itu memandang wajah Ong Bun kim tanpa berkedip, seakan akan ia sedang bertanya kepadanya: . "Kenapa ., ."

"Tahukah kau bahwa aku sudah hampir mati?" demikian Ong Bun kim berkata lagi.

"Kau sudah pernah memberitahukan soal ini kepadaku!" "Aku masih ada kesempatan hidup selama tiga hari, maka aku minta agar kau bersedia kawin denganku!"

"Kenapa?"

"Sebab aku sangat berharap aku mempuyai seorang keturunan yang bisa membalaskan dendam bagi sakit hatiku!"

Setelah menghela napas panjang, pemuda itu kembali berkata:

"Aku tahu bahwa permintaanku ini adalah suatu permintaan yang mau menang sendiri dan tidak pakai aturan, tapi aku tak bisa tidak harus berbuat begini, seandainya kau bersedia mengorbankan diri demiku, sekalipun aku sudah berada di alam baka, aku tetap akan merasa sangat berterima kasih kepadamu . . . "

"Bukankah kau telah berhasil mendapatkan mata uang kematian?" tanya Lan Siok-ling se sudah termenung sebentar.

"Benar . .b . "

"Kalau begditu, kau tak akaan mati!"

"Akub sudah tiada waktu sepanjang itu lagi untuk berangkat ke tempat yang dimaksudkan!"

"Di manakah letak tempat itu?" "Bukit Thian-san!"

"Thian-san?" Lan Siok ling membelalakkan sepasang matanya lebar-lebar, kemudian dengan sedih ia menghela napas panjang, "yaa, kau . . . kau memang tiada cukup waktu untuk mencapai tempat tersebut, paling tidak kau membutuhkan waktu selama sepuluh hari untuk mencapai bukit Thian-san dari tempat ini..." "Oleh sebab itulah aku harus kawin denganmu," kata Ong Bun kim dengan sedih, "aku tahu peristiwa ini mungkin merupakan suatu peristiwa yang keji bagimu, tapi aku mohon kepadamu agar kau bersedia mengabulkan permintaanku ini, bersediakah kau memenuhi keinginanku ini? Bersediakah kau . . !"

"Aku. "

"Bila kau merasa keberatan, aku tidak akan memaksamu, katakan saja berterus terang!"

"Engkoh Ong, aku mengabulkan permintaanmu itu!"

Kembali jawaban tersebut membuat Ong Bun kim tertegun, suatu jawaban yang sama sekali di luar dugaan.

Dengan luapan perasaan terima kasih yang tak terhingga Ong Bun kim segera berseru:

"Kau benar-benar telah mengabulkan permintaanku?"

Lan Siok ling amat sedih, air matanya jatuh berlinang membasahi pipinya, ia menubruk ke dalam pelukan Ong Bun kim, kemudian menangis tersedu-sedu.

"Aku bersedia, aku aku bersedia melakukan pekerjaan apapun untukmu!"

Sekali lagi Ong Bun-kim merasa amat terharu dan berterima kasih, tanpa terasa titik air matanya jatuh bercucuran membasahi pipinya.

Yaa, kejadian ini memang merupakan suatu peristiwa yang cukup mengharukan, bukan suatu hal yang lumrah seorang gadis bersedia mengorbankan semua kebahagiaan hidupnya demi orang lain.

Dengan penuh kasih sayang dibelainya gadis itu, sementara titik air mata tanpa terasa jatuh menetes membasahi pipinya. Lama, lama sekali, dia baru berkata:

"Mari kita pergi!" "Ke mana?"

"Mencari suatu rtempat yang romtantis, kita harqus hidup secarar baik-baik dan gembira selama tiga hari ini!"

"Seandainya aku tak dapat memberikan anak untukmu?" tanya Lan Siok-ling penuh rasa kuatir.

-ooo00dw00ooo-

Bab 28

SEMOGA Thian melimpahkan rahmat dan hidayatnya untuk diri kita berdua," jawab pemuda itu lirih.

"Kalau begitu mari kita pergi!"

Ong Bun-kim mengambil harpa besinya yang tergeletak di tanah, merangkul gadis itu dan pelan-pelan berlalu dari situ.

Ia tidak memperdulikan ke mana mereka akan pergi, mereka pergi tanpa tujuan, mereka pun tak tahu kemana harus tinggal.

Tak jauh di depan sana terdapat sebuah gua karang yang besar, sambil merangkul gadis itu ia masuk ke dalamnya.

Gua karang itu sangat besar, dalam lagi, Ong Bun-kim berpaling dan memandang gadis itu sekejap, lalu katanya:

"Adik Lan, bersediakah kau tinggal bersamaku selama tiga hari di sini ?"

"Aku bersedia " "Aku sangat berterima kasih kepadamu, sekalipun berada di alam baka "

"Sudahlah engkoh Ong, jangan kau bicarakan lagi kata kata semacam itu."

Ia menciumnya.... ciuman tersebut pertanda dari permulaan suatu kematian.

Malam semakin sepi, udara makin gelap gulita.

Di tengah keheningan malam yang panjang dan sepi, di tengah suasana yang hening dan penuh kemurungan, ia telah mempersembahkan kesuciannya untuk pemuda yang ia cintai, sedang yang tersisa hanya kenangan yang penuh dengan penderitaan.

Ketika mereka telah menyelesaikan hubungan suami istri, gadis itupun menangis.

Seperti pula gadis gadis lain yang baru kehilangan perawannya, ia menangis sedih, isak tangisnya membuat orang merasa terharu dan ikut beriba hati.

Mendadak . . . .

Dikala Lan Siok ling sedang menangis dengan sedihnya, dari luar gua berkumandang suara langkah manusia, menyusul kemudian seorang gadis membentak keras:

"Siapa yang berada dalam gua?"

Ong Bu-kim dan Lan Siok ling sama sama merasa terperanjat, sebelum mereka melakukan suatu tindakan, bayangan manusia telah berkelebat lewat, seorang gadis berbaju merah tahu-tahu sudah melayang masuk dan berdiri di hadapan mereka.

Padahal waktu itu pakaian Lan Siok ling masih acak acakan tidak keruan, noda darah masih membekas di atas lantai, tentu saja terhadap kemunculan si nona berbaju merah yang sangat tiba-tiba itu mereka berdua sama sama merasa tertegun.

Gadis berbiju merah itu mempunyai raut wajah yang cantik jelita, dengan biji matanya yang jeli ia menyapu sekejap sekeliling tempat itu, lalu dengan paras muka berubah hebat bentaknya:

"Bajingan cabul!"

Ong Bun-kin terkesiap, ia berdiri melongo.

Lan Siok ling terparanjat pula, saking kagetnya diapun tak mampu berkata apa apa.

Terdengar gadis berbaju merah itu kembali membentak marah:

"Bajingan cabul, berani betul menggagahi gadis di tempat ini, kubunuh kau . . . : "

Tubuhnya menerjang maju ke depan, begitu tiba di hadapan Ong - Bun kim pergelangan tangannya segera diayunkan ke depan melancarkan sebuah pukulan dahsyat.

Sungguh cepat gerakan tubuhnya, membuat orang bukan saja kaget pun merasa kagum.

"Tahan," Lan Siok ling segera berteriak keras.

Mendengar bentakan itu, tanpa sadar si nona berbaju merah itu menghentikan gerakan tabuhnya dan memandang ke arah Lan Siok liag dengan wajah tertegun, tampaknya ia merasa tidak habis mengerti dengan kejadian yang sedang berlangsung di hadapan matanya.

"Dia ... dia bukan penjahat cabul!" kata Lan Siok ling kemudian dengan nada sedih.

"Se . . . sesungguhnya apa yang telah terjadi?" "Aku bersedia untuk untuk tidur dengannya!" "Kau bersedia?" "Yaa, benar!"

"Kalau memang bersedia, mengapa kau musti menangis?"

"Aku..."

Oleh pertanyaan itu Lan Siok lbing dibikin terdtegun, gelagapaan dan tak mampub menjawab.

Tampaknya gadis berbaju merah itu belum pernah merasakan bagaimana perasaan seorang gadis bila selaput daranya direnggut orang, kalau tidak, tak mungkin dia akan mengajukan pertanyaan seperti itu.

"Nona, kalau tak ada urusan lagi di tempat ini, aku harap kau segera pergi tinggalkan tempat ini!" kata Ong Bun kim kemudian dengan suara dingin.

Si nona berbaju merah itu memandang Ong Bun kini sekejap, tiba tiba ia beranjak dan maju beberapa langkah lagi ke depan, tapi secara mendadak ia menghentikan kembali langkah kakinya.

Tentu saja kejadian itu sangat mencengangkan Ong Bun kitn maupun Lan Siok ling

"Aku lihat, tampaknya saudara menderita luka yang cukup parah?" kata gadis berbaju merah lagi.

"Benar, dari mana kau bisa tahu?" seru Ong Bun-kim dengan perasaan hati yang tercekat.

"Menurut penglihatanku, umurmu tinggal empat hari lagi, benar bukan?"

"Betul!" jawab si anak muda itu pelan meski sekujur badannya telah menggigil karena ngeri. "Kalau demikian kejadiannya, maka aku rasa persoalan ini tidak sederhana "

"Persoalan apa yang tidak sederhana?"

"Kau adalah seseorang yang sudah hampir mati, kenapa nona itu bersedia menyerahkan tubuhnya untukmu?"

"Justru karena dia sudah hampir mati, maka aku baru bersedia menyerahkan tubuhku kepadanya!" jawab Lan Siok ling cepat.

"Kenapa?"

"Karena ia membutuhkan seorang keturunan untuk membalas dendam bagi kematiannya!"

Paras muka gadis berbaju merah itu segera berubah hebat, serunya tak tahan:

"Jadi kau adalah Ong Bun kim?" "Benar!"

"Apakah mata uang kematian berada di tanganmu?"

Mendengar pertanyaan tersebut paras muka Ong Bun kim berubah hebat, sabutnya dengan dingin:

"Benar! Apakah nona datang ke mari lantaran mata uang kematianku itu?"

"Betul!"

Mencorong sinar tajamb dari balik matda Ong Bun kim saetelah mendengabr pengakuan tersebut, katanya:

"Akan tetapi, mata uang kematian itu justru berada di sakuku "

Si nona berbaju merah itu segera tertawa dingin. "Heeehh . . .heeehhh heeehhh . . , kau anggap aku tak

bisa turun tangan untuk merampas mata uang kematian itu dari tanganmu?"

"Kalau memang demikian, kenapa kau tidak mencoba untuk merampas sendiri mata uang kematian itu dari tanganku?"

Si nona berbaju merah itu segera melompat ke udara lalu menerjang ke tubuh Ong Bun kim.

Sebelum si anak muda itu sempat menghindarkan dirinya, tahu tahu ia merasa tubuhnya menjadi kaku dan jalan darahnya sudah kena ditotok secara telak.

Tangannya lantas disambar ke depan, dan tubuh Ong Bun kim sudah kena dicengkeram oleh gadis baju merah itu.

"Hei, mau apa kata?" Lan Siok ling segera membentak gusar.

Sebuah pukulan segera dilontarkan ke muka untuk membendung tibanya ancaman musuh.

Dengan cepat si nona berbaju merah itu mengebaskan tangan kirinya ke depan:

"Mundur kau "

Di bawah kebasan ringan dari si nona berbaju merah itu, Lan Siok Ling tak mampu berdiri tegak dan secara beruntun mundur tujuh delapan langkah dengan terhuyung-huyung, nyaris tubuhnya jatuh tertelentang di atas tanah.

Menggunakan kesempatan itulah si nona berbaju merah itu melejit ke muka dan melon: pat ke luar dari gua tersebut.

Buru-buru Lan Siok-ling memburu ke Iuar gua, tapi gerakan tubuh si nona berbaju merab itu cepat seperti sambaran  kilat,  dalam  sekali  kelebatan  saja  tahu  tahu tubuhnya sudah berada puluhan kaki jauhnya dan posisi semula.

Mendadak...

Suara bentakan nyaring kembali berkumandang memecahkan kesunyian, sesosok bayangan hitam  melompat ke luar dari balik kegelapan dan menghadang jalan perginya.

Karena merasa munculnya bayangan manusia lain, serta merta nona berbaju merah itu meng-hentikan gerakan tubuhnya.

Dengan biji matanya yang jeli ia menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya dengan dingin:

-oo0dw0oo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar