Setan Harpa Jilid 01

 
Jilid 01

SALJU, membuat seluruh permukaan bumi berubah menjadi dunia yang berwarna putih keperak-perakan, membuat yang jauh dari keramaian manusia ini semakin terpisah dari keramaian,

Tiada manusia berlalu lalang disana, tiada binatang buas hilir mudik mencari mangsa, tiada pula burung-burung yang terbang mencari makan.

Keheningan dan kesepian yang mencekam sekeliling bukit membuat tempat tersebut lebih mirip dengan sebuah neraka.

Sebuah rumah gubuk diatas tebing Kui-ong-gay dilapisi pula oleh salju yang tebal.....

Irama harpa itu memperdengarkan permainan musik yang penuh kepedihan kesedihan dan kesengsaraan.

Seolah-olah seorang yang patah hati sedang mengkumandangkan jeritan hatinya, seperti juga ada orang ingin melampiaskan seluruh kemurungan dan kedukaannya lewat permainan harpa tersebut.

Sinar rembulan yang kelabu menyinari rumah gubuk itu dan menembusi jendela, seorang pemuda tampan yang berwajah sedih sedang duduk ditepi jendela sambil memandang salju diluar sana, tangannya menari-nari diantara senar harpa dan memainkan lagu yang perih....

Bunga salju melayang-layang di udara, seakan-akan tetesan air mata karena kesedihan yang meluap.

Siapakah dia? Mengapa berdiam di tebing Kui ong gay yang tiada tanda kehidupan ini? Akhirnya irama harpa itu berhenti, menyusul berhentinya permainan musik itu, suasana disekeliling sana kembali tercekam dalam keheningan yang mencekam.

Ia menghela napas berat, dengan pandangan mata yang termangu-mangu ditatapnya lapisan salju putih di depan rumah.

"Lima belas tahun sudah lewat. oh. betapa panjangnya

hari-hari penuh kesepian ini." ia berguman.

Yaa, lima belas tahun memang suatu jangka waktu yang panjang, apalagi hidup dalam kesepian dan keheningan, ia harus melewatkan jangka waktu lima belas tahun dalam suasana penuh kedukan kecuali menghela napas dan berkeluh kesah, sepanjang hidupnya belum pernah secercah senyuman pernah menghiasi bibirnya.

Kadangkala, bahkan ia mencurigai kehidupannya di dunia ini, ia sering kali merasa apa arti kehidupan baginya selama ini, yaa, ia hidup hanya dengan sesosok kerangka tubuh yang kosong, sebuah roh, sebuah sukma yang penuh sayatan luka!

Ia merasa seakan-akan hubungannya dengan dunia kehidupan ini sudah terpisah, tiada suatu keinginan yang terserap dalam benaknya, tiada sesuatu benda yang diinginkan dari dunia ini.

Semenjak ia tahu urusan, sepanjang masa kehidupannya dilewatkan bersama gurunya, dalam suasana begini apa lagi yang dapat diinginkan?

Kembali ia menghela napas berat, lalu berdiri.

Tapi ia tidak beranjak dari tempat semula, ia masih berdiri tercenung disitu, berdiri sambil melamun... Dari sisi telinganya seakan-akan ia mendengar kembali suara bisikan dari gurunya:

"muridku, seandainya lima tahun kemudian aku belum juga kembali kau boleh tinggalkan tempat ini, robek sampul surat yang kutinggalkan dan bacalah isinya."

Kini lima tahun sudah lewat, tapi gurunya yang berlengan tunggal itu tak pernah menampakkan kembali batang hidungnya.

Ia sangat menguatirkan keselamatan serta mati hidup gurunya, sebab lima tahun berselang ia berlalu dengan wajah yang murung dan hati yang sedih, sepanjang waktu selama lima tahun ini, hampir tiada khabar tentang dirinya.

Suhu menitahkannya pergi, tapi kemanakah dia harus pergi? Tempat manakah yang seharusnya ia kunjungi?

Yaa, kecuali gurunya hampir boleh dibilang ia tiada sanak tiada keluarga lagi.

Sepucuk surat diambil keluar sakunya, inilah surat yang ditinggalkan gurunya sebelum berangkat dengan tangan yang gemetar ia memegang sampul tersebut, seakan-akan dalam surat inilah ia bakal menjumpai suatu tragedi yang memikul hati.

Akhirnya surat itu telah dirobek, din terbacalah isi surat itu berbunyi begini:

"Murid kesayanganku Si-liat:

Dikala kau membaca surat ini, mungkin aku masih  hidup mungkin juga aku telah mati, kau boleh turun  gunung dan berangkatlah ke benteng Tui-hong po dibukit Wu-liong san dan temuilah pocunya Tui-hong-kian! Tertanda gurumu" Ketika selesai membaca surat tadi, Ong Si-liat-pemuda bermuka tampan itu berdiri termenung di situ, ia tidak mengerti apa maksud dari surat tersebut? Mungkinkah gurunya telah tiada?

"Tidak.... tidak.... ia tak mungkin mati" demikian pekiknya dalam hati, ia tak akan mati, aku harus mencarinya "

Sekalipun suara hatinya sedang berpekik, wajahnya tetap dingin tanpa emosi, seakan-akan antara batin dan wajahnya sama sekali tiada berhubungan.

Siapakah pocu dari benteng Tui-hong-po itu? Mengapa ia disuruh menjumpainya? Mungkinkah gurunya telah tewas ditangan Tui-hong-kian (Si maut pengejar angin)?

Ketika ingatan tersebut melintas datam benaknya, tiba- tiba bawa napsu membunuh memancar diwajab Ong Si liat, disambarnya khim besi itu dan ia bersumpah dihati.

"Tui-hong-kiam. harus kutemukan. Tui-hong-kiam

harus kutemukan. "

Ia tidak mempedulikan lagi apakah bunga salju masih melayang di angkasa, iapun tidak ambil perduli apakah udara dingin serasa mencekam tulang belulangnya, ia melangkah keluar dari rumah gubuk itu dan bertekad ingin menemukan kembali gurunya.

Salju turun dengan derasnya, beberapa langkah kemudian ia berhenti sejenak dan berpaling, ketika memandang rumah gubuk reot tersebut, mukanya tampak lebih murung, lebih kesal dan pedih.

Yaa, sebelum meninggalkan tempat ini, ia tak dapat menghilangkan rasa sayang dan rasa berat hatinya untuk meninggalkan rumah gubuk yang telah dihuninya selama lima belas tahun. Akhirnya dia menggertak gigi lalu putar badan dan berlalu dari sana dengan langkah cepat...

Bayangan tubuhnya makin lama makin mengecil, makin lama semakin terbungkus oleh derasnya salju yang menyapu seluruh jagat... akhirnya ia lenyap dari pandangan mata...

Ong Si-liat telah meninggalkan tebing Kui-ong-gay, tebing raja setan yang telah dihuninya selama lima belas tahun.

Dikala ia tiba dibawah bukit Ong-wusan, fajar telah menyingsing.

Tiba-tiba dari kejauhan sana berkumandang suara jeritan ngeri yang menyayatkan hati, jeritan itu berasal dari atas sebuah tebing tak jauh letaknya dan sana.

Begitu mengerikannya jeritan tersebut membuat bulu kuduk siapapun yang mendengar menjadi berdiri semua.

Ong Si-liat tercekat, tanpa sadar ia hentikan langkah kakinya dia memasang telinga untuk memperhatikan dari manakah asal suara tersebut.

Selama ini, anak mada tersebut hidup di sebuah puncak bukit yaug jauh dari kehidupan manusia, kapankah ia pernah dengar suara jeritan menyayatkan hati seperti ini?

Sementara ia masih termenung, suara jeritan ngeri kembali berkumandang datang lalu menyusul pula suara tertawa dingin yang mengerikan hati mendesis diudara.

Agaknya Ong Si-liat telah dibuat terperanjat oleh suara- suara tersebut, untuk sesaat ia termenung dan berdiri bodoh disana.

"Aduuuh ! Aduuuh ! Aduuuh !" secara beruntun empat jeritan lagi mengelegar memecahkan keheningan. Ong Si liat merinding, hatinya sungguh bergidik mendengar suara-suara seram semacam itu, suara perasaan mual tiba-tiba saja tersirap dalam benaknya.

Cepat dia menutulkan ujung kakinya ditanah, lalu meluncur ke arah puncak tebing dengan kecepatan tinggi.

Lincah dan gesit gerakan tubuhnya, dalam satu lompatan ia berhasil melampaui jarak sejauh beberapa tombak. Ditinjau dari gerakan tubuhnya, dapat diketahui bahwa ilmu silat yang dimilikinya sudah mencapai taraf kesempurnaan.

Dikala tubuhnya sedang melayang ke atas dengan kecepatan tinggi itulah, dari atas tebing kebetulan melayang pula sesosok bayangan manusia dengan kecepatan yang tak kalah cepatnya, nyaris mereka! saling bertumbukan ditengah jalan.

Dengan gerakan yang sama-sama gesitnya, baik Ong Si- liat maupun orang itu cepat berkelit ke samping.

Dengan jantung yang berdebar pemuda she Ong mendongakkan kepala, tapi hatinya kembali dibuat terkejut, sebab seorang manusia berbaju serba hitam telah berdiri kurang lebih tiga kaki dihadapannya.

Sekali lagi Ong Si-liat bergidik.

Mereka tidak saling menyapa pun tidak saling, menegur setelah saling berpandangan sekejap bayangan hitam itu kembali melesat ke udara dan ibaratnya sesosok sukma gentayangan, dalam waktu singkat ia sudah lenyap dari pandangan mata.

Untuk sekian kalinya Ong Si-liat mengkirik karena ngeri bulu kuduknya kembali pada bangun berdiri: Karena lama sekali ia berdiri termangu disitu, akhirnya baru menggerakkan badan melompat naik ke puncak tebing.

Puncak tebing itu merupakan sebuah tanah lapang kecil pada sebuah batu cadas yang amat besar terpancang tiga huruf yang amat besar tulisan itu berbunyi:

"JIT GWAT-HONG" (Puncak matahari dan rembulan).

Sebuah gardu kecil berdiri angker dipuncak itu pada papan nama yang terpancang dimuka gardu tersebut pula tiga huruf besar yang terbuat dari emas murni:

"JIT-GWAT-TENG" (Gardu matahari dan rembulan). Memandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba-tiba Ong-

Si-liat berpekik kaget. "Aduh mak !"

Apa yang ditemuinya? Enam sosok mayat terkapar dimuka gardu kecil itu, mereka terdiri dari golongan pendeta, golongan imam dan golongan preman, tapi usianya rata-rata berada diatas lima puluh tahunan:

Mayat-mayat itu tewas dengan wajah menampilkan perasaan terkejut dan ketakutan seakan-akan sesaat menjelang kematiannya telah mengalami sesuatu peristiwa yang sungguh menakutkan.

Ong Si-liat kembali merinding menyaksikan adegan brutal didepan matanya, memang sejak kapankah ia pernah menyaksikan peristiwa pembunuhan sekejam ini? Mana enam orang lagi terkapar bersama dalam keadaan menggidikkan hati.

Tapi sikapnya mereka Kenapa terbunuh? Sudah pasti alasannya bukan alasan yang sederhana. tapi mungkinkah

bayangan hitam yarig dijumpainya barusan adalah pembunuh dari orang-orang ini? Ketika terbayang sampai kesitu, timbul kecurigaan dalam hati Ong Si-liat, ia tak menyangka dalam perjalanan turun gunungnya untuk pertama kali, harus bertemu dengan peristiwa menggidikkan hati yang penuhi diliputi tanda tanya semacam ini.

Lama... lama sekali... tiba-tiba salah satu diantara keenam orang itu, seorang kakek berbaju emas menggerakkan tubuhnya sambil merintih kesakitan.

Ong Si liat merasa jantungnya berdebar keras, rintihan tersebut membuktikan kalau satu di-antara keenam orang tersebut masih berada dalam keadaan hidup...

Dengan suatu gerakan yang cepat ia memburu kehadapan kakek berbaju emas itu, noda darah masih mengotori ujung bibir dan pakaiannya.

Dengan jantung yang berdetak keras pemuda itu menggerakkan tangan kanannya untuk menotok jalan darah orang itu, diiringi dengusan lirih berbaringlah kakek tadi dengan keadaan yang jauh lebih tenangan.

Ong Si-liat tklak berhenti sampai disitu saja, hawa murni yang dimilikinya pelan-pelan disalurkan kedalam telapak tangan, lalu melalui jalan darah di tubuh kakek tadi segulung hawa murni yang beraliran panas disalurkan menembusi kebekuan yang sudah mencekam separuh dada orang itu.

Tak lama kemudian, kakek berbaju emas itu siuman kembali dari pingsannya.

Dengan lemas tak bertenaga sikakek berbaju emas itu, menggerakkan kelopak matanya dan memandang Ong Si liat sekejap bibirnya terpentang seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tak sepotong katapun yang sanggup diutarakan keluar. "Kee..kenapa..kalian?... Sii... siapa yang melakukan pembunuhan kejam ini.....?" tanya ong Si-liat dengan perasaan cemas.

"Eng engkoh cilik, si siapakah kau?" tanya kakek baju emas itu kepayahan.

"Aku berama Ong Si-liat, sia.... siapakah kalian? Sia siapa yang melakukan pembunuhan ini?"

"Kami kami adalah Kiam Kiam-hay-lak yu (enam serangkai dari lautan pedang) " ia berhenti sebentar untuk berganti napas, lalu terus-nya, "engkoh cilik berse bersediakah kau untuk mem membantu aku?"

"Katakanlah, bantuan apa yaag kau butuh kan?"

"Tolong pergi pergilah ke rumahku beri... beritahu kepada putri putriku bahwa aku telah mati... mau bukan bukan?"

"Tentu saja mau, tapi siapa siapakah kau? Dimana rumahmu? Kau harus menerangkan dulu kepadaku!"

"Aku aku adalah Lui-tian jiu (tangan sakti kilat geledek)...aku- tinggal di perkampungan Thian-lui-teng diluar kota Kay- tiong asal... asal kau bertanya ke... kepada sekitar penduduk sana... mereka,... mereka tentu akan menunjukkan kepadamu..."

"Tak usah kuatir, aku pasti akan melaksanakan pesanmu itu dengan sebaik-baiknya. "

Lui-tian-jiu mengulur tangannya yang lemas tak bertenaga itu seperti hendak melakukan sesuatu, mayang ada keraauan tiada tenaga, sampai di tengah jalan tangan itu terkulai kembali ke tanah.

"Apa yang kau kehendaki?" tanya Ong Si-liat cepat. "Tolong,.... tolong lee..., lepaskan sepatu. sepatu

sebelah kiriku. ?"

Ong Si-liat tertegun, ia tidak mengerti kenapa orang itu menghendaki sepatu kirinya dilepas, padahal keadaannya sudah separah itu. Tapi pemuda Itu tidak membantah, dilepasnya sepatu sebelah kiri itu kemudian diangsurkan kehadapan kakek itu.

Sepatunya sudah berada disini katanya kemudian.

Lui-tian-jiu menerima sepatunya dan membalik ke bawah ..... "Trangg..!" tiba-tiba dari dalam sepatu itu terjatuh sebuah benda.

Ong Si-liat coba memperhatikan benda apakah itu ternyata hanya sebuah mata uang yang terbuat dari emas murni.

Tentu saja anak muda itu keheranan, ia tidak habis mengerti kenapa mata uang emas itu disimpan didalam sepatu kirinya oleh Liu-tian-jiu tersebut mungkinkah ada sesuatu rahasia dibalik mata uang itu?"

Dengan lemah dan tak bertenaga Lui-tian-jiu kembali berkata:

"Sudah sudah kau saksikan mata uang emas-ini?" "Sudah!"

"Kami...kami mati karena uang emas ini. "

"Karena mati karena uang emas itu.... ?" Ong Si-liat mengulangi perkataan itu dengan tubuh bergidik.

"Benar....sebab....sebab itu simpankah benda ini baik- baik "

"Sesungguhnya siapa yang telah membinasakan kalian ?" tanya Ong Si-liat cemas. "Dia ....dia adalah-Sam..."

Sam apa? Kakek berbaju emas itu tak sempat melanjutkan kata-katanya, mendadak kepalanya terkulai dan tubuhnya mengejang keras menyusul suatu jejakan kaki yang keras melayanglah jiwanya kembali ke alam baka...

"Sam apa ? Sam apa ?" teriak Ong Si-liat penuh kecemasan dan gelisah.

Tapi selembar nyawa Lui-tian jiu sudah keburu berpulang ke alam baka, selamanya ia tak sanggup lagi untuk meneruskan perkataannya yaag terhenti ditengah jalan.

"Sam" atau tiga melambangkan apa? Tiga orangkah? Atau tiga perguruankah? Atau mungkin Sam. julukan

seorang jago?

Ong Si-liat memungut mata uang emas itu dan bangkit berdiri, sekarang sorot matanya tertuju pada mata uang emas tersebut.

Mata uang emas itu lebarnya satu inci dan di buat sangat indah, pada permukaan sebelah terukir raut wajah seseorang, sedangkan pada permukaan yang lain terukir sebuah huruf "Hong" (Kaisar).

Sudah barang tentu Ong Si-liat tak akan mengetahui huruf "Hong" tersebut melambangkan apa, karenanya mata uang itu disimpan ke dalam saku. Kemudian setelah memperhatikan lagi mayat Lui tian jiu serta kelima sosok mayat lainnya akhirnya ia menutulkan kakinya ke atas permukaan tanah dan melayang turun dari puncak Jit-gwat- hong.

Ketika sampai di tengah jalan, tiba-tiba Ong Si-liat menyaksikan sesosok bayangan manusia sedang meluncur naik keatas bukit dalam waktu singkat orang itu sudah berada dihadapannya.

Pendatang itu adalah seorang kakek yang mengenakan topi lebar terbuat dari anyaman bambu dengan membawa sebuah alat pengail, ia memang ke arah Ong Si-liat sekejap kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju ke puncak Jit-gwat hong.

Ong Si-liat tertegun memandang kepergian orang itu, namun ia tidak menegur apapun mengucapkan sesuatu, setelah terhenti sejenak kembali perjalanan dilanjutkan untuk menuruni bukti itu.

Sekian lama ia melakukan perjalanan tanpa berhenti, entah berapa saat kemudian Ong Si liat baru menghentikan perjalanannya sambil bergumam kebingungan.

Haruskah aku berangkat ke perkampungan Thian lui- ceng lebih dulu? Ataukah mengunjungi benteng Tui-hong- po? Ah....lebih baik aku berangkat dulu ke benteng Tui- hong-po untuk menyelidiki jejak suhuku!"

Setelah mengambil keputusan, berangkatlah pemuda itu menuju ke arah bukit Wu-liong san.

Ia cukup mengerti kepergian gurunya mencari Tui-hong pocu bukannya tanpa sebab-sebab tertentu benarkah Tui- hong pocu yang telah membinasakan gurunya?

Mengapa sampai terjadi peristiwa itu? Tentu saja mati hidup gurunya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Tui-hong pocu seperti yang dicantumkan dalam surat peninggalannya.

Hari itu Ong Si-liat telah tiba di bukit Wu-liong-san, ia menyaksikan berkelompok-kelompok manusia persilatan berdatangan ke perkampungan Tui-hong-po, suasana yang begitu ramai dan meriah ini sangat mencengangkan hati Ong Si liat.

Sementara ia masih kebingungan sambil menyaksikan keramaian itu, tiba-tiba dari arah belakang berkumandang suara teguran:

"Hei ! Saudara, jangan pergi dulu!"

Tanpa terasa Ong Si-liat menghentikan perjalanannya sambil berpaling, dengan cepat mencorong sinar terang dari matanya, seorang nona cantik yang masih muda belia dan mengenakan baju berwarna hijau berdiri tepat di belakangnya.

Ong Si liat tercenung, ia merasa tak pernah kenal dengan gadis cantik yang masih muda belia itu.

Sementara ia masih melamun, nona itu sudah menyapa sambil tersenyum manis:

"Kalau kulihat dari harpa besi yang kau gembol, tampaknya saudara adalah seniman yang pandai menikmati suasana?"

"Aaah nona terlaiu memuji" kata Ong Si-liat sambil tertawa ewa, "aku bukan seniman, aku membawa harpa tersebut hanya karena kesenangan belaka."

"Apakah kau juga datang untuk ikut serta dalam perayaan dua puluh sejak berdirinya benteng Tui-hong-po?"

Setelah mendengar perkataan itu, Ong Si-liat baru tahu kalau hari ini adalah hari ulang tahun yang kedua puluh dari benteng Tui-hong-po tak heran kalau begitu banyak jago yang berdatangan kesana, ini mustinya menunjukkan kalau benteng Tui hong po mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dalam kancah dunia persilatan. Maka diapun menganggukkan kepalanya. Nona berbaju hijau itu tertawa ewa, kembali ia bertanya.

"Boleh aku tanya saudara berasal dari perguruan mana?" "Aku tidak tahu!"

"Kenapa?"

"Boleh aku tabu ada urusan apa nona mengajukan pertanyaan semacam ini. ?"

"Oooh tidak, tidak... aku cuma bertanya lantaran keheranan dan ingin tahu!"

Ong Si-liat tertawa, sekarang ia balik bertanya- -"Ada suatu urusan ingin kutanyakan kepada nona.."

"Urusan apakah itu?"

"Bagaimanakah watak serta perangai Tui-hong poocu ini?"

"Masa kau tidak tahu?" tanya nona berbaju hijau itu sambil tertawa hambar.

"Kalau aku sudah tahu buat apa mengajukan pertanyaan itu kepadamu?"

"Kau ingin mengetahui soal itu? Boleh saja, tapi ada syaratnya!"

"Apa syaratnya?"

Nona berbaju hijau itu tersenyum.

"Bila kebetulan kau ada waktu luang, petikkan sebuah lagu untukku, mau bukan?"

"Apakah nona beranggapan bahwa aku pandai memetik khim?" Ong Si-liat balik bertanya sambil tertawa ewa. "Apa? Jadi kau tidak pandai memetik khim?" tampaknya ucapan tersebut mendatangkan perasaan tertegun dihati nona berbaju hijau itu.

"Aku tak pernah mengatakan kalau tak bisa bermain khim, aku hanya ingin tahu dari mana kau bisa tahu bila aku dapat memetik khim?"

"Bukankah kau mengakui bahwa memetik khim merupakan suatu kesenangan belaka."

"Benar!"

"Itu berarti kau pandai memetik khim!" sambung si nona baju hijau itu sambil tertawa.

Ong Si-liat ikat tertawa katanya kemudian.

"Bila kau tidak keberatan, mengapa aku tak sudi untuk memetikkan sebuah lagu untukmu?"

Nona berbaju hijau itu tertawa.

"Kalau memang begitu, akupun tak keberatan untuk memberitahukan kepadamu, Si pocu dari Tui hong-po adalah seorang kakek yang murah dan baik hati, ia merupakan seorang cianpwe dunia persilatan yang dihormati setiap orang. Dengan sepasang senjata girnya ia sudah malang melintang dalam dunia persilatan, setiap ada perselisihan bila ia sudah ikut campur maka urusan akan menjadi beres. bukan saja mendatangkan berkah untuk umat persilatan, setiap orang pun menaruh hormat dan kagum kepadanya!"

Mendengar penjelasan tersebut, Ong Si-liat berkerut kening, untuk sesaat ia hanya membungkam diri.

Demikianlah sambil bercakap-cakap sambil melanjutkan perjalanan, tanpa terasa ia bersama nona berbaju hijau itu sudah tiba didepan pintu gerbang benteng. Seorang kakek berpakaian ringkas yang terdiri dimuka pintu segera memberi hormat sambil tersenyum, sapanya.

"Apakah kalian berdua datang untuk menghadiri perayaan dalam benteng kami..."

"Benar, kami datang untuk ikut menghadiri perayaan ulang tahun kedua puluh dari benteng Tui hong po!" sahut nona berbaju hijau itu.

"Tolong tanya siapa nama nona..." "Aku bernama Lan Siok-ling."

"Ayah nona adalah Thian-lam kiam kek (jago pedang dari langit selatan) ...?"

"Benar!"

Sorot mata kakek berpakaian ringkas itu segera beralih ke wajah Ong Si-liat, lalu tegurnya.

"Saudara adalah. "

"Aku bernama Ong Si liat!"

Boleh aku tahu saudara berasal dari perguruan mana?" "Soal ini..." Untuk sesaat pertanyaan tersebut

membuatnya tertegun.

Dia adalah kakak misanku!" dengan cepat Lan Siok-ling menerangkan.

Kakek berpakaian ringkas itu tertegun, kemudian sambil manggut-manggut katanya:

"Kalau begitu silahkan kalian masuk ke dalam!"

ooo0dw0ooo

BAB 2 ENAM SERANGKAI DAKI KIAMHAY

LAN SIOK LING memandang Ong Si-liat sekejap kemudian masuk lebih dulu, serta meria Ong Si-liat beranjak pula mengikuti dibelakangnya. Ditengah jalan katanya kepada nona tersebut. "Terima kasih banyak nona atas bantuanmu, terimalah rasa terima kasih dari aku orang she Ong!"

"Hei, buat apa kau musti menirukan cara tengik dari pelajar-pelajar rudin" kata Lan Siok-ling sam bil menutupi mulutnya tertawa cekikikan, "Jika tak enak hati, lain kali mainkan saja sebuah lagu lagi untukku, setuju bukan?"

Ong Si-liat tertawa jengah "Bila nona tidak beranggapan bahwa permainanku terlalu jelek dan tak sedap didengar, tentu akan kumainkan satu lagu lagi untukmu!"

"Bagus sekali! Jangan lupa dengan janjimu lho. Pandai bersilat kau?"

"Cuma mengerti kulit dan bulu luarnya saja!" Tiba tiba Lan Siok-ling seperti teringat akan sesuatu, sepasang alis matanya segera berkenyit lalu bertanya.

"Ada urusan apa kau menanyakan karakter dari Tui hong pocu? Ada yang tidak beres!"

"Ooh tidak, aku hanya mengajakan pertanyaan sekenanya saja, silahkan nona pergi!"

"Kenapa kau?"

Antara laki laki dan perempuan ada batas-batasnya, mana kita boleh melakukan perjalanan bersama? Lebih baik nona Lan berangkat dulu!"

Selintas perasaan berat hati menghiasi air muka Lan Siok-ling sedang dalam hati kecilnya diam-diam ia menyumpah: "Pelajar rudin kutu buku goblok."

Apa boleh buat? Tentu saja sebagai seorang nona Lan Siok ling tak bisa bersikeras untuk menentang pendapat rekannya maka setelah melotot sekejap ke arah pemuda itu, pergilah si nona dengan perasaan mendongkol...

Ong Si-liat sendiri merasakan pula sesuatu yang tak enak, tanpa terasa ia menghela napas panjang, seakan-akan ada sesuatu yang diharapkan, tapi agaknya ia teringat pula persoalan lain.

Sekilas pandangan, dia mirip dengan seorang sastrawan yang lembut dan ramah, padahal sesungguhnya ia adalah seorang pemuda yang kesepian, ia tidak membutuhkan apa- apa, diapun tak pernah mengharapkan untuk mendapatkan apa-apa.

Kesepian dan ketersendirian yang dialaminya selama banyak tahun, telah menciptakan watak suka menyendiri dalam hatinya.

Pelan-pelan ia beranjak masuk ke dalam benteng melalui pintu gerbang, didepan benteng berdiri dua orang laki laki berpakaian ringkas, ketika Ong Si liat menghampiri mereka, salah seorang diantaranya segera menegur:

"Harap melapor nama anda agar dapat diberi pelayanan!"

"Aku bernama Ong Si liat!" kata pemuda itu. "Silahkan mengikuti kami!"

Mengikuti dibelakang laki-laki berpakaian ringkas itu Ong Si-liat masuk ke dalam benteng, sedang otaknya berputar terus memikirkan bagaimana caranya mengajukan pertanyaan kepada Tui-hong pocu untuk menanyakan persoalan tentang gurunya. Pikir punya pikir akhirnya ia memutuskan untuk mengambil tindakan menurut keadaan setelah bertemu dengan Tui-hong poocu nanti.

"Ong sauhiap!" tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara panggilan nyaring.

Ong Si-liat menengadah, ia saksikan ruangan itu penuh dengan lautan manusia, semua perhatian orang ketika itu sedang tertuju ke arahnya.

Seorang kakek berambut perak duduk di ruang tengah, empat orang laki laki berbaju hijau ber diri dibelakangnya.

Ketika pemuda itu berpaling, kakek tadi sudah bangkit berdiri sambil memberi hormat kepada Ong Si-liat, katanya:

"Jauh-jauh Ong sauhiap datang kemari, maaf jika aku orang she Si tak bisa menyambut kedatangan anda sejak di depan!"

Dalam sekilas pandangan, Ong Si-liat telah dapat melihat bahwa Tui hong kian memang seorang kakek yang berwajah ramah, ia segera balas memberi hormat sambil berkata:

"Kuucapkan semoga Si pocu sehat walafiat dan segala usaha dalam benteng dapat berjalan dengan lancar!"

"Terima kasih, silahkan duduk!"

Ong Si liat manggut-manggut dan ambil tempat duduk di ruang depan sedangkan otaknya masih berputar terus mencari akal bagaimana caranya uutuk menanyakan kabar tentang gurunya.

Di saat Ong Si liat memutar badan tadi, sinar mata Tui hong-kiam Si Tiok gi terbentur dengan khim besi yang menggembol dipunggung pemuda itu, paras mukanya kontan berubah hebat, hampir saja ia menjerit kaget. Tapi untung dia adalah seorang jago tua yang pandai membawa diri, rasa kaget dan tercekatnya hanya melintas sekejap diatas wajahnya, menyusul kemudian senyuman cerah kembali menghiasi ujung bibirnya.

Sekalipun perubahan itu hanya berlangsung dalam waktu sekejap, toh diketahui juga oleh sekalian jago persiIatan cuma mereka tak habis mengerti kenapa Bu-lim cianpwe itu menunjukan perubahan semacam ini

Semua kejadian tersebut hanya berlangsung dalam waktu singkat, pada saat itulah kembali berkumandang suara bentakan amat nyaring:

"Ngo-ou-tiau kek (si pengail sakti dari lima telaga) tiba!"

Ketika nama Ngo Ou-tiau-kek disinggung paras muka sebagaian besar jago yang hadir disitu mengalami perubahan hebat, sebab orang ini mempunyai nama yang cukup besar dan jejak yang sukar ditapaki dalam dunia persilatan hanya terdapat namanya tapi jarang menjumpai orang tersebut, tak heran kalau kemunculannya disana sangat diluar dugaan semua orang...

Ong Si liat ikut mengalihkan perhatiannya ke depan, tapi begitu mengetahui siapa yang datang, hatinya seketika bergetar keras sebab jago yang di namakan Si pengail sakti dari lima telaga itu tak lain adalah kakek bertopi lebar yang pernah dijumpai dibawah tebing Jit gwat hong tempo hari.

"Dibelakang kakek pengail itu mengikuti pula seorang gadis berbaju perlente yang berwajah murung.

Ketika pengait sakti dari lima telaga melangkah masuk ke dalam ruangan, serta merta Tui-hong pocu bangkit berdiri seraya memberi hormat, sapanya dengan penuh rasa hormat: "Boanpwe tidak tahu kalau cianpwe akan ber-kunjung kemari, maafkan diriku bila tidak menyambut selayaknya!"

"Kunjunganku yang secara mendadak ini harap tak sampai membuat Si pocu tak senang hati, disamping itu kuucapkan pula semoga benteng anda selalu lancar dan sukses!"

"Silahkan duduk cianpwe !"

Si pengail sakti dari lima telaga tidak langsung duduk, melainkan dengan sorot mata sedingin es ia menatap sekejap wajah Ong Si-liat.

"locianpwe, dimana orang itu?" kedengaran si nona berbaju indah itu bertanya dengan sedih.

Pengail sakti dari lima telaga tidak menjawab. Sementara ini Tui-hong pocu Si Tiok-gi telah bertanya pula:

"Bolehkah aku tahu siapa nona ini?"

"Dia adalah putri kesayangan Lui tian jiu, ia bernama Kang Peng!"

Ketika mendengar nama itu, paras muka Ong Si-liat berubah hebat, mimpipun tidak disangka olehnya kalau nona itu bukan lain adalah putri Lui tian-jiu yang harus dijumpainya.

"Oooh kiranya nona Kang, apakah ayahmu juga akan datang kemari? kedengaran Tui-hong po cu bertanya lagi.

"Mungkin selama hidup dia tak akan datang lagi!" sela si pengail sakti dengan suara ketus.

"Kenapa?"

Sorot, mata pengail sakti dari lima telaga kembali dialihkan ke atas wajah Ong Si-liat, ia temukan pemuda tersebut masih duduk disita dengan sikap tersebut dan wajah agak terkejut.

Tui hong pocu bukan anak kemaren sore, sudah barang tentu diapun merasakan ketidak beresan dari sikap pengail sakti tersebut, maka buru-buru dia bertanya.

"Apakah kedatangan cianpwe lantaran ada suatu urusan?"

"Benar !"

"Dapatkah diterangkan dengan lebih jelas lagi?" "Aku datang demi kematiandari Kiam hay-lak-yu!" "Apa?"

Hampir setengah jago lihay dalam ruangan menjerit tertahan... tentu saja termasuk juga Tui-hong poocu sendiri. Sebab peristiwa ini sungguh merupakan suatu kejadian yang mengejutkan hati setiap orang.

Enam serangkai dari lautan pidang merupakan enam jago lihay dalam dunia persilatan dewasa ini, kematian mereka secara tiba-tiba tentu saja merupakan peristiwa yang cukup menggetarkan seluruh dunia, tak heran kalau kawanan jago itu ikut menjerit tertahan.

Paras muka Tui-hong poocu berubin hebat, dengan suara agak gemetar bisiknya:

"Kau kau bilang Kiam hay lak-yu telah telah tewas semua?"

"Benar!"

"Kenapa bisa mati?"

"Heeehhh... heeeh.... heeehh. hal ini musti ditanyakan

kepada seseorang!" jawab Pengail sakti dari lima telaga sambil tertawa dingin. "Siapa?"

Sebelum pengait sakti sempat menjawab, Kang Peng dengan sedih bercampur gelisah telah menyela pula:

"Locianpwe, sebenarnya dia berada dimana?"

"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Tui-hong poocu dengan perasaan gelisah pula.

"Pembunuh ayahku!"

"Orang itu berada didalam benteng ini?" "Mungkin..."

Betapa terperanjatnya Ong Si-liat sesudah mendengar perkataan itu, cuma perasaan kaget itu tak sampai diperlihatkan diatas wajahnya, sebab waktu menyendiri yang telah terpelihara sejak kecil membuat pemuda itu tak gampang memperlihatkan rasa sedih, gembira kaget atau marahnya.

Ia masih berdiri tenang disana, seakan-akan sedang mempertimbangkan suatu persoalan yang maha penting:

Tiba-tiba pengail sakti dari lima tenaga memutar badannya lalu menerjang ke hadapan Ong Si-liat, sebaliknya si anak muda itu masih tetap duduk di tempat semula tanpa emosi.

Dalam waktu singkat hawa pembunuhan menyelimuti seluruh ruangan itu, segenap perhatian jago yang berada disana sama-sama ditujukan ke wajah Pengail Sakti tersebut.

Sementara itu, pengail sakti dari lima telaga telah tiba dihadapan Ong Si-liat, setelah tertawa ewa ia menyapa:

"Selamat bertemu saudara!" Ong Si-liat mendongakkan kepalanya, memandang pengail sakti itu sekejap, paras mukanya masih tetap dingin dan hambar, tak seorangpun dapat menebak apa gerangan yang sedang dipikirkan olehnya.

"Ada urusan apa?" ia bertanya sesudah menarik napas pajang.

"Masih kenal dengan aku?" Ong Si liat mengangguk.

Kang Peng yang bersama pengail sakti itu segera menerjang maju ke depan bentaknya nyaring:

"Locianpwe, diakah orangnya?"

Pengail sakti dari lima telaga tidak menjawab dia hanya mengernyitkan alis matanya yang telah memutih, sedangkan Ong Si liat tanpa disadari telah bangkit berdiri.

Sorot mata pengail sakti dari lima telaga telah berhasil melihat ke arah khim baja di punggung Ong Si Hat paras mukanya mendadak berubah, rasa kaget dan tercekat sempat melintas diatas wajahnya meski sekejap kemudian telah lenyap kembali tak berbekas.

"Bolehkah aku meminjam sebentar khim baja yang kau gembol itu..?" katanya kemudian.

"Untuk apa?"

"Oooh. aku cuma ingin tahu"

Ong Si-liat tidak menjawab, khim besi itu dilepaskan dari punggungnya lalu diangsurkan kehadapan Pengail sakti.

Dengan seksama pengail sakti diri lima telaga memeriksa sekejap khim besi tersebut, kemudian teriaknya tanpa sadar:

"Aaaah harpa setan. "

"Apa?" Separuh jumlah jago persilatan yang hadir dalam ruangan menjerit penuh rasa kaget.

Ong Si liat ikut terperanjat, ditatapnya pengail sakti dari lima telaga dengan wajah tercenung.

"Saudara, apakah engkau adalah ahli waris dari Kui jin suseng (sastrawan setan harpa) ?" tegur Pengail sakti dan lima telaga kemudian dengan wajah yang jauh lebih lembut.

Nama "Kui jin suseng" masih terlalu asing bagi pendengaran Ong Si-liat, dengan wajah termangu ia gelengkan kepalanya.

"Bukan?" kata pengail sakti keheranan. "Tidak tahu!"

"Masak kau tidak tahu apakah gurumu adalah Kui-jin suseng atau tidak..?"

Dengan sinis Ong Si-liat mengangguk.

Pengail sakti dari lima telaga segera tertawa dingin. "Heeehh.... heeehh... heeehhh. nama besar Setan harpa

sudah menggetarkan seluruh dunia, sungguh tak disangka dua puluh tahun kemudian bisa muncul kembali disini, kau memang cukup kejam dan brutal."

"Hei, apa maksud dengan perkataan semacam itu?" tegur Ong Si liat dingin..

Kang peng tak bisa mengendalikan diri lagi, segera bentaknya:

"Pernahkah kau berkunjung kebukit Jit gwat-hong?" "Pernah !" "Kalau begitu kaulah yang telah membunuh Kiam hay- Iak-yu karena ingin mendapatkan enam biji mata uang Kematian?"

Ong Si liat segera tertawa dingin akhirnya ia baru mengerti kenapa si pengail sakti dari lima telaga dan Kang peng datang dengan sikap yang begitu garang ternyata ia telah dituduh sebagai pembunuh Kiam hay-lak-yu.

"Nona keliru besar." kata Ong Si liat sambil tertawa hambar. "Kiam hay-lak-yu bukan mati ditanganku. Justru setelah pembunuhan tersebut aku baru datang di puncak Jit gwat hong, aku menjumpai pula ayahmu yang hampir mati, ia minta aku memberi kabar kepadamu kalau ia sudah mati..."

"Omong kosong!"

"Omong kosong? Dalam ha! mana aku sedang berbohong?"

"Selelah mereka kaubunuh, kini kau tak berani mengakuinya?"

Ong Si liat masih tetap bersikap tenang, ia tidak dibikin marah oleh sikap lawannya.

"Aku sama sekali tidak membinasakan mereka..." katanya hambar.

Kang Peng membentak gusar, sambil menggeram penuh kebencian ia lancarkan sebuah pukulan dahsyat ke tubuh anak muda itu. Padahal selisih jarak kedua orang itu dekat sekali, ditambah pula Kang Peng melancarkan serangan dalam keadaan marah, pukulan boleh di bilang menyambar lewat secepat sambaran kilat. Tapi Ong Si liat masih tetap berdiri tak berkutik di situ, seakan-akan ia tak tahu kalau ada sebuah pukulan mematikan sedang tertuju ke tubuhnya.

Disaat yang kritis, tiba-tiba berkelebat lewat sesosok bayangan hijau, seketika itu juga tenaga pukulan yang dilancarkan Kang Peng terhadap Ong Si-liat terpental balik, bahkan saking kerasnya pukulan tersebut Kang Peng tak bisa berdiri tegak, dan tergetar mundur sejauh tiga empat tangkah.

Tahu-tahu nona berbaju hijau atau Lan Siok ting telah berdiri tetap dihadapan mereka.

Paras muka Kang peng Siok-ling ikut berubah katanya ketus:

"Siapa kau? Sudah bosan hidup?"

"Kau tak usah tahu siapakah aku, ada satu persoalan aku ingin bertanya kepadamu dan aku minta kau bersedia menjawab sejujurnya"

"Apa yang hendak kau tanyakan?"

"Kalian menuduh dia sebagai pembunuh enam serangkai dari Kiam hay, apakah tuduhan tersebut berdasarkan dari cerita orang ataukan kalian menyaksikan dengan mata kepala sendiri?"

Kang peng tertegun, untuk sesaat menjadi kebingungan, tapi sejenak kemudian jawabannya dengan dingin:

"Pengail sakti dari lima telaga loo-cianpwe yabg melihatnya!"

Lan Siok-ling segera berpaling ke arah pengail Sakti, tanyanya:

"Apakah kau melihat sendiri?" "Tidak..."

"Kalau tidak, dengan dasar apa kau menuduhnya sebagai pembunuh dari Kiam-hay lak yu?"

Pertanyaan tersebut dengan cepat membuat ke dua orang itu tertegun, sedang Ong Si-liat memandang sekejap kearah mereka dengan pandangan jengkel, seakan-akan kejadian tersebut hakikatnya tak dipandang sebelah mata olehnya.

"Kembalikan khim itu kepadaku!" bentaknya ketus.

Tanpa sadar Pengail sakti dari lima telaga mengembalikan khim itu ketangannya, entah mengapa tiba- tiba saja timbul suatu perasaan seram yang menggidikan hati terhadap pemuda pemurung yang suka menyendiri itu.

"Cianpwe, sesungguhnya apa yang telah terjadi?" tiba- tiba Tui hong pocu bertanya.

"Kau tahu tentang mata uang kematian?" tanya Pengail sakti dari lima telaga.

"Boanpwe pernah mendengar secara sepintas lalu! Konon mata uang kematian merupakan petunjuk dari tempat terpendamnya sejilid kitab pusaka, benarkah berita tersebut belum ada yang membuktikan kebenarannya karena hal itu hanya merupakan kabar angin belaka tapi yang pasti keenam buah mata uang yang terbuat dari emas murni itu telah menjadi benda berebutan dari umat persilatan selama dua puluh tahun terakhir ini."

"Tiga tahun berselang ke enam biji mata uang emas itu didapatkan oleh Kiam-hay-lak yu, untuk menyelidiki apa kegunaan serta sampai dimanakah teka teki yang menyelimuti keenam biji mata uang itu, enam serangkai dari Kim hay telah berjanji untuk mengadakan sesuatu pertemuan dipuncak Jit-gwat-hong pada bulan dua tanggal dua." "Dan kemudian mereka ditemukan telah terbunuh?" sambung Tui-hong-pocu dari samping.

"Benar, bahkan bersama tewasnya keenam orang itu, keenam biji mata uang kematian itupun ikut lenyap tak berbekas!"

"Jadi locianpwe telah menangkap basah saudara ini berada diatas puncak Jit-gwat-hong?"

"Tidak, ketika aku hendak naik kepuncak Jit-gwat-hong secara kebetulan kujumpai saudara ini sedang turun dari puncak Jit-gwat-hong tersebut..."

"Atas dasar itu, kau lantas menuduh aku yang membunuh Kiam hay lak yu?" ejek Ong Si liat ketus.

"Sekalipun aku tidak berani memastikan secara 100 %, tapi kau tak dapat melepaskan diri dari kecurigaan!" kata pengail sakti itu.

Setelah berhenti sejenak kembali katanya dengan dingin. "Aku mempunyai suatu cara untuk membuktikan apakah

Kiam hay-lak-yu mati ditanganmu atau bukan ?" "Apa caramu itu?"

"Akan kucoba sampai dimana taraf ilmu silat yang kau miliki!"

Kembali Ong Si-liat tertawa dingin tiada hentinya. "Untuk sekian kalinya aku hendak berkata bahwa Kiam-

hay lak-yu bukan mati ditanganku, tapi kuakui sebelum ajalnya Lui tin jiu telah menyerahkan sebiji mata uang kematiannya kepadaku!"

"Dimana sekarang benda itu?" seru pangail sakti dari lima telaga dengan paras berubah.

"Dalam sakuku!" "Bawa kemari!"

ooooOdwOoooo

BAB 3

PENGAlL SAKTI DARI LIMA TELAGA

Hmm.... dengan dasar apa benda itu harus kuserahkan kepadamu ?" ejek Ong Si-liat.

"Benda itu milik Lui-tian-jiu!"

"Tapi sayang ia telah menghadiahkan kepadaku!" Kontan saja Pengail sakti dari lima telaga tertawa dingin.

"Heeeh... heeehh heehhh... kau memang tak malu menjadi ahli warisnya Sastrawan setan harpa, keadaan dan sikapmu tak berbeda jauh dari keadaan gurumu"

Setelah berhenti sejenak, kembali sambungnya; "Sekarang aku hendak membuktikan apakah Kiam-hay-lak- yu mati ditanganmu atau bukan!"

"Kau bersikeras memaksa aku untuk turun tangan?" "Benar !"

Tampaknya Ong Si-liat telah dibuat marah oleh desakan pengail sakti dari lima telaga, dengan paras muka hebat pelan pelan ia maju ketengah gelanggang.

Sampai dimanakah taraf ilmu silat yang dimiliki Ong Si liat sendiri tak pernah tahu, hakekatnya ia tak terlalu tertarik untuk mempelajari ilmu silat, yaa ia tak suka untuk bunuh membunuh, seandainya ia tidak dipaksa oleh gurunya untuk berlatih ilnu silat kemungkinan besar ia tak akan pandai bersilat. Kecuali kemurungan dan kesedihan sukar untuk menemukan perasaan lain dari wajahnya, dikala tubuhnya maju ke tengah arena serta merta orang yang berada disekitarnya sama sama menyingkir kesamping.

Dalam waktu, singkat ketegangan dan keheningan mencekam seluruh gelanggang, ini membuat semua orang yang berada disekitarnya merasakan jantungnya berdetak keras.

Pengail sakti dari lima telaga tampil pula kedepan, mereka saling berhadapan pada jarak lima depa

Dengan pandangan tajam Ong Si liat mengamati musuhnya, lalu sambil tertawa dingin ia berkata:

"Pengail sakti lima telaga, aku tak ingin menyaksikan kau mati dalam keadaan mengerikan, baik yang mampus aku atau kau, aku ingin mengusulkan satu cara lain."

"Cara apa?"

"Sebelum pertarungan dilaksanakan, silahkan kau nikmati dahulu sebuah lagu kematianku!"

Paras muka pengail sakti dari lima telaga berubah hebat, Yu Ci-toan bisa dijuluki sebagai Kui-jin suseng lantaran sudah cukup banyak jago yang mampus oleh irama harpanya, apakah ia sanggup mendengarkan permainan khimnya sampai selesai hal itu masih merupakan suatu tanda tanya besar baginya.

Lagipula, andaikata tantangan tersebut ia terima dan Ong Si-liat benar-benar memainkan "irama kematian" nya, sekalipun ia tak terpengaruh toh paling sedikit ada separuh bagian-jago persilatan yang hadir dalam ruangan itu bakal mati atau terluka parah. Membayangkan kesemuanya itu, tanpa terasa tubuhnya bergidik, cepat katanya:

"Aku pikir tidak perlu, aku hanya ingin mencoba taraf ilmu silatmu belaka!"

Jadi kau bersikeras ingin menantang aku untuk berkelahi?" bentak Ong Si-liat gusar.

"Benar!"

Ong Si-liat segera menggertak giginya menahan emosi, katanya dengan dingin;

"Kalau begitu, silahkan turun tangan!"

"Sambutlah seranganku ini!" bentak Pengail sakti dari lima telaga.

Berbareng dengan bentakan itu, alat pengailnya yang panjang segera menyapu ke muka dengan sebuah jurus He- san sau-cian-kun (menyapu rata seribu prajurit), yang  diarah adalah pinggang si pemuda.

Jangan dilihat serangannya begitu sederhana dan tiada suatu perubahan yang menarik, padahal justru dibalik kesederhanaannya terselip perubahan yang tak terhitung banyaknya.

Ong Si-liat tidak bertindak gegabah, khim besinya diputar ke atas untuk menangkis datangnya ancaman itu.

Bayangan manusia berputar kencang, dengan suatu gerakan cepat karena kaget pengail sakti dari lima telaga menyurut mundur sejauh belasan langkah, tapi wajahnya sudah memucat, ia cuma berdiri termangu seperti orang bodoh.

Kejadian ini mencengangkan bati semua orang, siapapun tak sempat menyaksikan siapa gerangan yang berhasil memenangkan pertarungan itu. Walau begitu, dengan jelas Pengail sakti dari lima telaga mengetahui bahwa dalam tiga gebrakan tadi ia sudah kalah ditangan Ong Si liat, coba kalau pemuda itu tidak sengaja mengampuni jiwarya kalau tidak mampus paling sedikit ia subah terluka parah sekarang.

Kata Ong Si liat kemudian dengan suara dingin: "Sekarang, apakah kau telah membuktikan bahwa Kiam-

hay-lak-yu memang mati ditanganku?"

"Haaahhh..,. haaahh.... haaaah aku sudah membuktikannya." kata Pengail sakti dari lima telaga sambil tertawa seram.

"Apa yang kau buktikan?"

"Telah kubuktikan kalau mereka memang mati ditanganmu!"

"Apa..?"

Jerit kaget seruan tercengang berkumandang dari segala penjuru ruangan itu.

"Kau kau. apa kau bilang?" bentak Ong Si-liat marah.

"Telah kubuktikan kalau mereka memang mati ditanganmu, dan akupun telah membuktikan pula bahwa Kui-jin suseng adalah gurumu "

"Ngaco belo?" protes Ong Si-liat.

Pengail sakti dari lima telaga tertawa dingin.

"Saudara kau tak perlu menyangka lagi dalam ti ga gebrakan yang barusan berlangsung, kau telah menggunakan ilmu pukulan Humocian dari partai Siau-lim, ilmu pedang Tay-ik-kiam-si dari Bu-tong pay dan ilmu pukulan Kiam-kong-ciang dari Go-bi-pay, dan justru Kiam- hay lak yu tewas oleh keenam macam ilmu pukulan itu!" Sewaktu gurunya mewariskan jurus pukulan itu kepadanya, belum pernah ia menerangkan nama dan julukan dari gerakan-gerakannya sungguh tak dinyana sekarang ia telah dituduh orang sebagai pembunuh Kiam- hay-lak yu.

Pengail sakti dari lima telaga kembali tertawa dingin, katanya lebih jauh.

"Kecuali Kuy jin suseng yang pandai menggunakan keenam macam ilmu pukulan dari enam partai ini, sulit rasanya untuk menemukan orang kedua. Apa lagi pada puluhan berselang enam partai besar telah kecurian enam jilid kitab pusakanya, dan orang yang mencuri kitab itu bukan lain adalah Kiu jin suseng..."

Dengan penuh perasaan terkejut Ong Si-liat berdiri tertegun ditempat, peristiwa ini sungguh membuat hatinya amat terperanjat, sebab bila kenyataan berbicara demikian maka sulitlah dibayangkan bagaimanakah akibatnya...

Dengan paras muka berubah katanya dingin:

"Aku tidak tahu siapakah guruku, tapi aku berani bersumpah bahwa Kiam hay lak yu bukan mati di tanganku!"

Belum habis ia berkata Kang peng sudah membentak keras.

"Iblis berhati keji, kembalikan nyawa ayahku!"

Seperti harimau terluka ia menerkam ketubuh Ong Si liat sebuah pukulan yang disertai tenaga dahsyat segera dilontarkan ke atas dada anak muda itu.

"Tahan!" bentak Ong Si liat.

Tapi keadaan Kang peng pada saat ini sudah hampir mirip dengan orang kesurupan, bentakan Ong Si liat bukan saja tidak digubrisnya malah secara beruntun ia lancarkan tiga buah pukulan berantai yang luar biasa cepatnya.

"Kau ingin mampus?" bentak Ong Si liat.

"Yaa, kalau kau punya kepandaian bunuhlah aku!"

Ong Si-liat membentak keras, dengan suatu gerakan yang tak kalah cepatnya ia melancarkan sebuah pukulan dengan tangan kirinya.

Sedemikian dahsyat tenaga pukulan yang disertakan dalam serangan itu, sehingga Kang peng seketika terdesak mundur sejauh tujuh-delapan langkah lebih.

Hawa amarah telah menghiasi wajah Ong Si-liat, teriaknya penuh kemarahan:

"Nona, bila kan masih juga tak tahu diri, mungkin aku benar-benar akan membinasakan dirimu!"

"Kalau mampu, hayo bunuhlah diriku!" tantang Kang Peng seperti orang histeris.

Nona ini betul-betul setengah gila, bukan saja kalap, kesadarannya juga pun terpengaruh, begitu bentakan dilontarkan, ia ikut menerjang lagi ke depan.

"Cari mati!" bentak Ong Si liat.

Sebuah pukulan yang disertai tenaga dahsyat segera dilontarkan ketubuh lawan.

"Blaaang !" Tak sempat lagi buat Kang Peng untuk menghindarkan diri dari ancaman tersebut, pukulan Ong Si- liat bersarang telak diatas tubuhnya.

Tak ampun darah segar muntah keluar dari bibirnya yang kecil, tiba-tiba tubuhnya sempoyongan lalu terkapar di tanah. Pengail sakti dari lima telaga cepat memburu ke depan dan memayang bangun tubuh Kang Peng.

"Bawa dia pergi dari sini!" bentak Ong Si-liat ketus. Pengail sakti dari lima telaga tertawa dingin.

"Heeehh... heeehhh... heeehhh. bagus sekali" katanya,

"meskipun ilmu silatmu terhitung li-hay dan menggetarkan hati orang, tapi camkanlah, enam partai besar tak akan melepaskan dirimu dengan begitu saja."

"Kau tak usih kuatir, aku masih belum pikirkan persoalan itu didalam hati!"

"Bagus, aku akan mohon diri lebih dulu!" Sambil membimbing tubuh Kan Peng yang terluka ia putar badan dan pelan-pelan berlalu dari sana.

"Berhenti!" tiba-tiba Ong-Si-liat membentak keras. "Ada apa?"

"Ada satu persoalan hendak kutanyakan kepada mu!" "katakan!"

"Apakah dalam dunia persilatan dewasa ini ada seseorang yang menggunakan julukan dengan huruf "Sam" sebagai huruf pertamanya?"

Mula mula Pengail sakti dari lima telaga agak tegun, menyusul kemudian sahutnya ketus:

"Tidak ada !" "Tidak ada?"

"Yaa, tidak ada! Akupun ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu, bolehkah aku tahu siapa namamu?" "Soal ini tak perlu kau tanyakan, tapi aku akan memberi jaminan kepadamu pembunuh Kiam-hay lak-yu yang sebenarnya pasti akan berhasil kutemukan."

Pengail sakti dari telaga cuma tertawa dingin tanpa mengucapkan sekata patah katapun ia putar badan dan berlalu dari sana.

Sepeninggal pengail sakti berdua, dengan wajah berubah Ong Si liat berjalan menghampiri ke hadapan Tui-hong pocu, langkahnya lambat sekali tapi menggetarkan perasaan setiap orang.

Sorot mata semua orang hampir terkejut ke atas tubuhnya seakan akau mereka saksikan seorang pembunuh kejam muncul secara tiba-tiba dihadapan mereka.

Empat orang pelindung hukum yang berada di belakang Tui-hong pocu serentak maju ke depan dan menghalangi jalan perginya.

"Mau apa kau?" bentak mereka hampir berbareng. "Siapa kalian berempat?"

Sebelum ke empat orang itu memberikan jawabannya, tiba-tiba Tui hong pocu Si Tiok-gi bangkit berdiri seraya membentak:

"Mundur!"

Rupanya bentakan tersebut mencengangkan keempat orang pelindung hukum itu tapi mereka tak berani membantah, pelan-pelan mereka mengundurkan diri ke belakang.

Sesudah ke empat orang pelindungnya mundur Tui-hong pocu Si Tiok gi baru lenyap sambil tertawa:

"Ada urusan apa engkau kemari?" "Mencari kau!"

Tui hong pocu Si Tiok gi tertawa paksa kembali tanyanya:

"Bolehkah aku tahu ada urusan apakah mencari aku?." "Untuk menanyakan kabar tentang berita guruku."

"Kabar berita tentang gurumu Kui jin suseng? Aku mana tahu kalau dia berada dimana?"

Ong Si liat tertawa dingin, kembali katanya:

"Tapi guruku meninggalkan pesan agar aku da tang ke benteng Tui-hong po untuk mencarimu!"

"Omong kosong !" bentak Tui-hong dengan paras muka berubah hebat.

"Tidak, sedikitpun tidak omong kosong, guru ku memang suruh aku datang mencarimu!"

"Kau beranggapan bahwa akulah yang telah mencelakai gurumu?"

"Sebelum duduknya persoalan dapat kuketahui dengan jelas, tak bisa tidak aku akan mencurigaimu."

Dengan mendongkol Tui hong pocu tertawa tergelak- gelak, katanya:

"Kendatipun benteng Tui hong po cuma sebuah perguruan kecil yang tak ada artinya tapi belum pernah kami dicemooh atau dihina orang dengan cara seperti ini, baiklah kalau toh kau tak pandang sebelah matapun terhadap benteng kami terpaksa harus kuterima petunjuk ilmu silatmu. Nah, sebut kan dulu namamu!"

"Aku bernama Ong Si liat!" "Apa Ong Si liat?" teriak Tui-hong pocu dengan perasaan terperanjat, kau. kau bernama Ong Si liat?"

"Benar !"

"Bedebah! Latah, amat kau..." tiba-tiba Tui hong poocu membentak penuh kemarahan.

"Apa? Kau,. kau bilang apa?"

"Engkau tahu, siapakah Ong Si-liat itu?" "Siapa?"

"Su hay-bong-kek (si latah dari empat samudra)!" "Siapa siapakah dia?"

"Seorang tokoh sakti dari dunia persilatan!"

"Kecuali dia, apakah aku tak boleh menggunakan nama Ong Si-liat yang sama?"

Sekalipun anak muda itu berkata demikian, toh timbul juga perasaan curiga dan tidak habis mengerti dalam hati kecilnya, sebab kejadian ini memang cukup  mencengangkan hati.

Sebaliknya Tui-hong poocu sendiripun dibuat tertegun oleh pertanyaan balik dari Ong Si-liat.

Tiba-tiba Tui-hong pocu seperti teringat akan sesuatu, kembali ditatapnya Ong Si-liat lekat-lekat, sementara pelbagai perubahan menyelimuti wajahnya, perubahan tersebut meliputi rasa kaget, tercengang, sedih dan ngeri.

Sesaat kemudian, semua perubahan tersebut dapat dikendalikan, kepada kawanan jago lihay yang berada dalam ruangan, katanya dengan lantang.

"Saudara-saudara sekalian, terima kasih banyak kuucapkan atas kesediaan saudara sekalian jauh-jauh berkunjung kemari untuk ikut menghadiri perayaan lima belas tahun berdirinya benteng kami, Meja perjamuan telah disiapkan diruangan timur, silahkan saudara semua masuk ke ruangan perjamuan..."

Sesudah berhenti, sebentar, ia membentak. "Ji-te?" "Siap!" seorang kakek berbaju kuning melompat keluar

dari belakang tubuhnya.

"Ajaklah kawan-kawan semua menuju ke ruangan perjamuan!"

Demikianlah, dipimpin oleh kakek berbaju kuning itu berlalulah sekalian jago persilatan itu dari ruangan, sesaat kemudian ruang tengah yang lebar kembali tercekam dalam keheningan, ia termenung tidak berbicara, seakan akan sedang mempertimbangkan suatu masalah yang amat penting ...

Ong Si liat sendiripun masih berdiri ditempas semula dia ingin tahu permainan setan apakah yang hendak dipertunjukan Tui hong pocu itu dihadapannya.

Lama, lama sekali tiba tika Tui-hong pocu Si-Tiok-gi bertanya:

"Boleh aku tahu siapa nama ayah ibumu?"

ooooOdwOoooo

BAB 4

PERISTIWA BERDARAH 20 TH BERSELANG

"SUHU bilang aku adalah seorang anak yatim piatu" sahut anak muda itu dingin.

"Kenapa gurumu bisa lenyap tak ada kabar beritanya?" "Lima tahun berselang ia pergi meninggalkan diriku, sejak itu tiada kabar beritanya lagi tentang dia, sebelum pergi ia meninggalkan sepucuk surat kepadaku, katanya jika lima tahun kemudian ia belum pulang juga, surat itu diminta untuk dibaca."

"Maka kau membuka surat itu dan ia minta kau datang mencariku?" sela Tui-hong pocu.

"Benar!"

"Peristiwa ini memang bukan suatu peristiwa yang sederhana!"

"Kenapa?" tanya Ong Si liat dengan jantung berdebar keras.

Tui-hong pocu tidak menjawab, ia hanya termenung dengan kening berkerut kencang.

Sikap semacam ini makin membingungkan Ong Si-liat, sekali lagi ia bertanya:

"Persoalan apakah yang bukan peristiwa sederhana?" "Tentu saja bukan persoalan yang sederhana" kata Tui-

hong pocu dengan suara berat, "sebab Kui-jin suseng justru adalah pembunuh dari Su-bong kiamkek Ong Si-liat!"

"Aaah..." Ong Si-liat berteriak kaget.

Kejadian ini memang benar-benar suatu peristiwa yang aneh, suatu kejadian yang membingungkan pikirannya.

Si latah dari empat samudra terbukti mati di tangan Kui jin suseng, sedang dirinya ternyata mempunyai nama yang sama dengan si Latah dari empat samudra.

Ditengah keheningan yang mencekam seluruh raungan, tiba-tiba Tui-hong pocu Si Tiok gi tertawa lebar, katanya. "Haaahh haaahh... haaahh.... mengerti aku sekarang!

Yaa, mengerti sudah aku sekarang!" "Persoalan apa yang kau mengerti?"

"Bukankah tahun ini kau berusia delapan belas tahun?" "Benar, kau... darimana kau bisa tahu?"

Tui hong pocu segera tertawa dingin tiada henti nya.

"Heeehhh heeehhh hesehhh.... tidak salah, tidak salah lagi, suhu Kui-jin suseng memang pantas suruh kau datang mencariku, karena ia tak berani memberitahukan suatu peristiwa pembunuhan yang brutal kepadamu!".

"Peristiwa pembunuhan yang brutal?"

"Siapa yang memberitahukan kepadamu kalau kau bernama Ong Si-liat?" bentak Tui-hong pocu kemudian.

"Guruku!"

"Sekarang tidak bakal salah lagi, nah jawablah sejujurnya, bukankah ditubuhmu mengembol sebuah Liong- be (mainan yang berukir naga)?"

"Betul, darimana darimana kau bisa tahu?" teriak Ong Si liat dengan wajah berubah.

Sekarang, anak muda itu ikut merasa bahwa kejadian tersebut memang bukan kejadian umum, sebab bukan saja Tui-hong pocu mengetahui usianya tahun ini, bahkan diapun tahu kalau ia mengenakan sebuah liong-bei dialas dada nya.

"Pinjamkan Liong-bei tersebut kepadaku, berilah kesempatan bagiku untuk memahami satu persoalan!" bentak Tui hong pocu lagi dengan suara dingin.

Tanpa disadari Ong Si liat melepaskan kalung Liong-bei yang dikenakan di dadanya itu. Tui hong pocu segera menerima benda tersebut dan diperiksa dengan teliti, maka tampaklah lapisan atas dari Liong bei itu, terukir seekor naga terbang yang sedang mementangkan cakarnya, ukiran itu hidup dan indah.

Tiba-tiba sepasang tangan Tui hong pocu gemetar keras, bisiknya dengan suara yang bergetar:

"Yaa.... tak salah lagi, inilah benda yang dimiliki In-jin (tuan penolong)."

Ketika mendengar perkataan itu, secara tiba-tiba saja Ong Si liat merasa seakan-akan mendapat firasat jelek, seakan-akan suatu peristiwa yang mengerikan segera akan menimpa dirinya, tapi ia berdiri tak berkutik ia berdiri membungkam sambil mengawasi gerak-gerik Tui hong  pocu tanpa berkelip.

Lama, lama sekali... akhirnya Tui-hong pocu berkata juga:

"Kau bukan seorang anak yang yatim piatu, kau adalah putra dari Si Latah Su-hay-beng-kek..."

"Apa?"

Ketika mendengar pertanyaan tersebut, Ong Si-liat merasa dadanya seolah-olah dihantam dengan martil berat, dadanya seketika menjadi sesak dan pandangan matanya menjadi gelap, nyaris ia jatuh tak sadarkan diri....

Yaa, ucapan dari Tui-hong pocu itu sangat melukai perasaannya, sangat menggetarkan hatinya, ia merasa seperti mendapat pukulan batin yang amat berat.

"Kau adalah putranya Si Latah dari empat samudara" kembali Tui-hong pocu menerangkan, "kau tidak bernama Ong Si-liat, namamu yang sebenarnya adalah Ong Bun- kim, dan ayahmu telah tewas ditangan gurumu." "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"

"Apa yang ingin kau ketahui sekarang, tidak lain adalah maksud yang sebenarnya dari Kui-jin suseng memerintahkan kau kemari, ia suruh kau kesini tak lebih untuk menerangkan kepadamu asal-usulmu yang sesungguhnya, Aaaai.. sungguh tak ku sangka kalau Kui-jin Suseng adalah seorang yang mempunyai maksud yang mendalam, sengaja ia memberi nama Ong Si liat kepadamu agar aku segera mengetahui siapa gerangan kau yang sesungguhnya..."

"Beritahu kepadaku, sesungguhnya apa yang telah terjadi?" pinta Ong Bun kim kemudian.

"Yaa. bagaimanapun juga aku harus memberitahukan persoalan ini kepadamu, karena sudah delapan belas tahun peristiwa ini kupendam dalam hatiku, bila In-jin tahu kalau kau belum mati, sukmanya di alam baka tentu bisa tersenyum lega"

Ia menghela napas sedih, lalu pelan-pelan bercerita:

Untuk mengetahui kejadian yang sesungguhnya, kita harus bercerita kembali kejadian empat puluh tahun berselang.

Ayahmu Ong Si-liat merupakan putra tunggal dari Ong Yong-liong, Buncu (ketua) dari perguruan Liong-bun.

Ketika ini perguruan Liong bun (naga) dan Hau kwan (harimau) merupakan dua perguruan yang paling besar dalam dunia persilatan.

Tapi justru Liong-bun dan Hau-kwan merupakan musuh bebuyutan yang sudah berlangsung turun temurun, konon kakekmu Ong Yong-liong tewas ditangan kwancu dari Hau- kwan, sedang ayahmu setelah berhasil lolos dari mulut harimau, jejaknya tak diketahui orang. Enam-tujuh tahun kemudian, akhirnya ayahmu muncul kembali dalam dunia persilatan, ilmu silat yang dimilikinya waktu itu sangat menggetarkan seluruh dunia. Ketika itulah ayahmu telah menyelamatkan jiwaku dari mara bahaya, dari dialah baru kuketahui kalau ayahmu hendak mencari Hau-kwan kwancu untuk membalas dendam.

Tapi kemudian aku dengar Hau kwan kwancu sudah mati, sedang ayahmu telah jatuh cinta kepada putri Kwancu tersebut yang bernama Coa Siok-ah...

"Yaa ampun, bukankah peristiwa itu merupakan suatu tragedi yang amat tragis?" sela Ong Bun-kim.

"Tentu saja, kejadian ini memang merupakan suatu kejadian yang tragis...." sahut Tui-hong pocu. "semenjak itulah, ayahmu membawa Coa Siok-oh menghilang dari keramaian dunia persilatan.."

"Kemana ia telah pergi?"

"Setelah ayahmu menghilang dari keramaian dunia persilatan, timbul pelbagai penafsiran dalam dunia persilatan ada orang mengatakan ayahmu telah tewas ditangan Coa Siok-oh karena Kwancu dari perguruan Hau- kwan telah menipuan dengan siasat Bi-jin-ki (siasat perempuan cantik) kata orang ia telah mempergunakan tubuh putrinya sebagai siasat kejinya untuk mencelakai jiwa ayahmu,tapi nyatanya kabar berita itu cuma isapan jempol belaka."

"Kurang lebih dua tahun kemudian, aku telah berjumpa kembali dengan ayahmu, dia bilang kecuali Coa Si-ih masih mempunyai seorang istri lagi yang bernama Toan kiam giok jiu (manusia cantik pedang buntung) Siau Hui-un, mereka bertiga tinggal dibukit Ku liong-san lembah Lip jin kok bahkan telah mempunyai seorang putra yang bernama Ong- Bun-kim. "Pada saat itulah tiba-tiba tersiar kabar dalam dunia persilatan bahwa kitab pusaka dari enam partai besar telah dicuri oleh Kat-jin suseng (Sastrawan setan harpa).

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar