Serial Pendekar Kelana Sakti Eps 05 : Jago-Jago Rogojembangan

 
Eps 05 : Jago-Jago Rogojembangan 


Dua ekor kuda yang menarik sebuah gerobak kayu itu meringkik berbarengan ketika melewati padang tandus. Di mana-mana banyak berserakan tulang belulang. Entah bekas kerangka apa. Yang jelas di situ ada bermacam-macam tulang belulang. Di antara tulang belulang binatang, ada juga terselip kerangka manusia. Bahkan beberapa roda pedati yang telah usang sekalipun ikut berserakan di situ.

Gerobak itu berhenti mendadak. Pengendalinya yang hanya seorang itu geram sekali memecuti kudakudanya. Dua ekor kuda itu masih terus meringkik, membuat gerobak yang ditariknya bergoyang-goyang dan hampir terbalik. Pengendali kuda itu makin kencang mencambuki kuda-kudanya. Hreaaaa!

Hreaaaaa! Hreaaaa! Teriakannya menggelegar memecah kesunyian padang tandus. Burung-burung Nazar beterbangan mendengar suara yang menakutkan itu.

Bersamaan dengan beterbangan burungburung pemakan bangkai, kuda-kuda itu berlari kencang. Debu-debu pun menggumpal bagai asap mengikuti ke mana arah gerobak kayu itu melaju. Pengendalinya merasa lega. Sesekali ia menoleh ke belakang. Beberapa peti besar masih utuh pada tempatnya ditambahkan memenuhi ruang belakang gerobak. Setelah itu ia kembali mencambuki kuda-kudanya.

Beberapa saat kemudian kereta gerobak berhenti lagi. Kali ini bukan karena kuda-kudanya. Si pengendali sendiri yang menghendaki. Di hadapannya membentang sebuah jembatan kayu yang menyeberangi jurang menghubungkan pada puncak jurang berikutnya. Hati-hati sekali ia mengendalikan kudakudanya menyeberangi jalan itu. Roda-roda gerobak berderak-derak saat melindas jembatan kayu. Jembatan itu cukup kuat, di kedua sisinya terdapat dua utas tambang sebesar lengan memanjang sebagai pembatas lebarnya jembatan itu.

Udara yang berhembus dari jurang seberang begitu segar. Dataran itu nampak lebih subur dari padang tandus yang ia lewati tadi. Di situ banyak pepohonan, tanahnya pun berumput. Dari kejauhan nampak seperti permadani hijau yang membentang di kaki langit. Kereta gerobak itu kembali melaju dengan cepat setelah melewati jembatan penghubung.

"Huh kalau tahu keadaan Rogojembangan begini, aku tak mau lagi ke sini..." keluh si pengendali gerobak dalam hati. Kedua lengannya memacu tali kekang. Derap kaki kuda semakin cepat menelusuri jalan yang berliku. Melalui pohon-pohon besar yang tumbuh banyak di kedua sisi jalan.

"Mudah-mudahan saja ini untuk yang terakhir kalinya..." keluhnya lagi ketika ia melihat sebuah bangunan yang hampir roboh termakan usia. Dari kejauhan nampak bangunan itu begitu kotor dan tak terurus.

Kereta gerobak itu berjalan perlahan menghampiri halaman bangunan. Si pengendali menghapus keringat yang membanjir di sekitar keningnya. Seluruh bajunya telah basah oleh keringat yang mengucur sedari tadi. Belum kereta gerobak itu berhenti, seorang lelaki berperawakan kurus keluar dari bangunan. Melihat sosok berkulit hitam dengan rambut yang semrawut, si pengendali kereta gerobak begitu tercengang... Bukan karena takut! Tapi baru kali ini ia melihat seseorang berkulit yang demikian hitamnya. Kuda-kuda itu tidak meringkik begitu mendekati sosok hitam yang berdiri tepat di muka pintu bangunan.

"Kaukah Umbara Komang dari lereng Ungaran yang terkenal itu...?" sapa sosok hitam ketika kereta gerobak berhenti di hadapannya. Orang yang duduk di atas gerobak menjawab dengan anggukan kepala.

"Aku Wadak Keling akan membawa masuk barang-barang yang kau bawa... Mana barang-barang itu...?" kata sosok hitam yang menamakan dirinya Wadak Keling. Si pengendali kereta yang ternyata Umbara Komang menunjuk ke belakang gerobak dengan ibu jarinya. Wadak Keling mengangkat wajahnya melongok ke belakang gerobak. Dilihatnya dua buah peti berukuran besar terikat kuat saling tindih. Umbara Komang turun dari gerobak, ia menambatkan kuda-kudanya pada sebatang tonggak. Ia sempat melirik ke arah Wadak Keling yang mulai membuka ikatan peti-peti di belakang gerobak.

Tanpa minta bantuan Umbara Komang, Wadak Keling menurunkan satu demi satu peti-peti itu. Lalu memanggul peti itu memasuki ruangan bangunan yang nampak begitu gelap. Umbara Komang sengaja menunggu di luar. Ia membiarkan Wadak Keling memasukkan peti-peti itu sendirian. Suatu kesempatan untuk menghemat tenaga.

Peti kedua telah masuk ke dalam bangunan. Umbara Komang menghela nafas. Ingin rasanya ia cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Bau kemenyan yang sedari tadi keluar dari ruangan sejak pintu bangunan itu terbuka sangat menyesakkan hidungnya. Sebentar-sebentar ia mengendus mengusir aroma yang sangat membangunkan bulu roma. Namun Umbara Komang sengaja menunggu di luar. Menunggu Wadak Keling keluar dengan membawa sesuatu yang menjadi imbalan untuknya. Lama sekali Wadak Keling tidak menampakkan diri. Setelah ia membawa masuk peti kedua Wadak Keling tidak muncul-muncul lagi. Umbara Komang jadi tidak sabar.

"Wadak Keling...! Aku tidak bisa lama-lama di sini! Tolong sampaikan salamku kepada Ki Rondo Mayit! Bagianku harus ku terima sekarang...!" teriak Umbara Komang. Ia membenahi tali-tali pengikat peti yang malang melintang di sekitar roda gerobak.

"Aku mendengar suaramu, Umbara Komang...! Terimalah ini!" Terdengar suara dari dalam bangunan. Jelas bukan suara Wadak Keling. Bersamaan dengan itu desiran angin sangat kencang menjurus keluar... "Wwwwes!" Tiba-tiba saja Umbara Komang memekik dengan tubuh terbanting. Terasa sesuatu menghantam dadanya... Dengan tubuh yang masih seloyongan, ia berusaha bangkit.

"Apa-apaan kau, Ki Rondo Mayit! Aku tidak pernah mengecewakan kau, kenapa malah menyerangku sampai sedemikian rupa...!" bentak Umbara Komang. Ia melangkah memasuki bangunan itu. Wajahnya merah padam menahan amarah yang luar biasa... Tapi baru saja ia melangkah pada garis depan pintu yang terkuak lebar...

"Deeeeees!" Sebuah pukulan angin menghantam lagi.

Tanpa dapat menghindari, tubuh Umbara Komang terlempar lebih jauh. Kali ini ia tidak dapat bangun lagi. Umbara Komang terkapar di tanah dengan berlumuran darah di mulutnya. Kedua kuda yang tertambat di samping pintu meringkik hebat. Keduanya menyepak-nyepakkan kaki seakan-akan hendak pergi dari tempat itu.

Ringkikan kuda terhenti seketika saat dua orang keluar dari balik pintu. Wadak Keling bersama majikannya Ki Rondo Mayit. Mereka berdua sama seramnya. Rambutnya sama-sama tak terurus. Hanya kelainan pada Ki Rondo Mayit dengan rambut yang awut-awutan memutih. Raut wajah Ki Rondo Mayit sendiri tidak menggambarkan bahwa ia telah termakan usia. Tidak ada kerut-kerut sedikit pun pada kulit mukanya.

Tapi sewaktu Ki Rondo Mayit menyeringai melihat tubuh Umbara Komang terkapar, terlihat kedua gusinya tanpa sebutir gigi. Wadak Keling yang berdiri di samping majikannya melangkah menghampiri tubuh Umbara Komang.

"Dia tidak mati, Ki... Jantungnya masih berdenyut halus...!" katanya setelah memeriksa tubuh berlumuran darah itu.

"Memang itu yang kuharapkan! Aku tidak sampai hati untuk membunuhnya, karena ia telah banyak berjasa untukku..." jawab Ki Rondo Mayit ikut melangkah mendekat.

"Bawa saja ia masuk ke dalam... Aku masih membutuhkan dirinya..." katanya lagi. Ia langsung berbalik memasuki bangunan lebih dulu.

Wadak Keling menuruti perintah majikannya. Tanpa banyak bicara ia memanggul tubuh Umbara membawa masuk ke dalam ruangan yang sedikit gelap. Ruangan itu tidak seberapa besar. Tapi ketika ia memasuki ruangan yang kedua. Ruangan itu gelap lagi. Meskipun hanya diterangi dengan sebuah lampu obor, cukup membuat keadaan di situ nampak jelas. Ki Rondo Mayit telah menunggunya di samping meja kayu yang di atasnya banyak berserakan alat-alat pendupaan. Salah satu pendupaan itu masih mengepulkan asap menyebar bau kemenyan. Dua buah peti berdiri bersandar pada dinding batu. Ki Rondo Mayit memandangnya. Pandangannya beralih ketika Wadak Keling masuk membawa tubuh Umbara Komang ke ruangan itu. Wadak Keling meletakkannya pada sebuah balai di sudut ruangan.

"Penutup peti-peti itu harus kau buka Wadak Keling. Aku ingin melihatnya! Jangan-jangan ia menipuku..." Majikannya berseru.

Wadak Keling tidak pernah membantah perintah majikannya. Ia pun melangkah ke arah dua peti yang bersandar pada dinding Hanya dengan sekali tarik saja penutup peti itu terbuka. Maka terlihatlah dua sosok tubuh yang telah membiru berdiri membujur dalam peti-peti itu. Ki Rondo Mayit tersenyum. Kembali gusi tanpa gigi terlihat. Rambut yang putih beruban tidak bergeming. Lalu.....

"Baringkan kedua mayat itu di samping tubuh Umbara Komang Awas. hati-hati Wadak Keling! Jan-

gan sampai kulit mereka rusak !"

*

**

2

Wintara yang tadi berjalan di tengah-tengah jalanan, melompat ke pinggir ketika mendengar suara derap kaki kuda yang berjalan cepat dari arah belakang. Ia sengaja berhenti dan melihat beberapa kuda yang melaju dengan cepat melintasi jalan itu.

Ketiga para penunggang itu tidak perduli saat Wintara memperhatikan mereka. Ketiganya berlalu tanpa berpaling barang sekejap pun ke arah Wintara yang berdiri di sisi jalan. Sepertinya ada sesuatu yang mereka buru. Wintara pun masa bodoh. Sama acuhnya.

Setelah kuda-kuda itu menjauh, barulah Wintara meneruskan perjalanannya. Debu-debu bekas derap langkah-langkah kuda masih mengepul.

"Sombong! Mentang-mentang memakai lencana kerajaan, berjalan seenaknya saja!" gerutu Wintara sambil mengibas-ngibaskan telapak tangan pada baju bulunya. Matanya masih tertuju pada ketiga ekor kuda yang mulai hilang dari pandangan mata. Debu-debu yang melekat pada baju bulunya tidak hilang.

Dengan kesal Wintara berlari kencang menyusul mereka. Kecepatan larinya membuat rumputrumput yang tumbuh di pinggir jalan seperti merebah tidur saat ia melewatinya. Itu karena terjangan angin yang begitu deras. Langkah-langkah Wintara sendiri tidak jelas kelihatan. Tahu-tahu saja ia sudah berada jauh di depan sana. Menyusul ketiga kuda yang berlari di hadapannya.

Sekali hentak, kedua kaki Wintara melejit ke udara. Tubuhnya berputar berkali-kali. Kemudian hinggap tanpa menimbulkan suara di atas tanah. Ketiga penunggang kuda itu tercengang. Karena tahu-tahu saja telah muncul di hadapan mereka seorang pemuda mengenakan baju bulu binatang berdiri menghalangi perjalanan mereka.

"Minggirlah, anak muda! Kami tengah mengejar seseorang. Orang itu amat berbahaya sekali... Jadi kami tidak ingin kehilangan jejaknya." kata salah seorang penunggang yang berada paling tengah.

"Begitu pentingkah orang itu sehingga kalian tidak menghormati orang yang berjalan kaki di jalan ini...? Kalian lihat pakaian ku! Aku memang seorang jembel yang tidak patut dihormati... Tapi justru kalian orang-orang dari kerajaan tidak memiliki rasa sopan sedikit pun...!" Bicara Wintara blak-blakan.

"Oh... maafkanlah kami, Anak muda! Bukan sengaja kami mengotori pakaian mu... Sungguh! Kami kelewat terburu-buru... Sekali lagi maafkanlah kami..." kata orang yang menunggangi kudanya di pinggir.

"Betul, anak muda. Kami tengah mengemban tugas dari kerajaan... Sebenarnya kami bukan orangorang kerajaan, kami hanya orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka... Bukan hanya kami bertiga orang-orang pilihan beliau. Masih banyak lagi orangorang seperti kami."

"Orang-orang pilihan...?" Wintara jadi heran. Ketiganya tidak luput dari tatapan Wintara. Ia melangkah ke samping jalan seolah-olah memberi jalan pada mereka.

"Kami tidak dapat menjelaskannya sekarang, Anak muda... Maaf, kami harus mengejar buruan yang telah lepas dari pengamatan... Permisi... Mudahmudahan kita bisa bertemu lagi." kata penunggang kuda yang paling tengah. Orang itu segera menghela kudanya, maka kuda itu pun berlari lagi. Yang lain mengikuti mengejar. Wintara terpaku diam melihat kepergian mereka. Sebentar saja kuda-kuda itu jauh menghilang dengan asap-asap debu yang berterbangan di sekitar langkah-langkah kuda.

Di depan sana sebuah perkampungan tampak sepi. Binatang-binatang peliharaan dari sapi, kambing sampai ayam berkeliaran seperti tidak diurus oleh pemiliknya. Binatang-binatang itu simpang siur di sepanjang jalan yang menghubungkan ke arah perkampungan. Ketiga penunggang kuda itu pun merasa aneh dengan keadaan yang seperti mereka lihat sekarang. Binatang-binatang peliharaan itu segera menyingkir saat ke tiga kuda memasuki perkampungan. Ketiganya tersentak kaget melihat suasana dalam perkampungan yang sangat di luar dugaan.

Para penduduknya telah terkapar bergelimpangan tanpa nyawa. Darah segar masih menetes dari tiap-tiap tubuh yang bergelimpangan itu.

"Pastilah si pembunuh terkutuk itu yang melakukannya... Dia masih ada di sekitar sini! Cepat cari! Kalau tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, bunuh saja!" Penunggang kuda yang sampai lebih dulu turun dari kudanya. Lengan kanannya langsung mencabut pedang dari pinggang dengan ke dua sorot mata yang tajam.

"Begitu cepat ia menghabisi orang-orang kampung ini...! Dasar pembunuh! Padahal dirinya telah menjadi buruan kita! Masih saja sempat menurunkan tangan jahil....!" Temannya yang mulai turun dari kudanya ikut mendongkol.

"Mungkinkah ia masih di sini, Mogeni Kalpa. ?

Rasanya aku tidak yakin "

"Kau bisa melihat mayat-mayat ini   Nampak-

nya pembantaian baru saja terjadi...." jawab Mogeni Kalpa yang berdiri di antara mayat-mayat penduduk kampung itu. Dua orang yang berdiri di belakangnya memperhatikan mayat-mayat itu... Memang benar, luka-luka pada setiap mayat masih mengeluarkan darah segar. Hampir rata-rata leher para mayat itu berlumuran darah.

"Baru kali ini kulihat pembantaian sadis. ! Bu-

ronan itu mesti dicincang habis!" Salah satu penunggang kuda itu geram. Tangannya cekatan menyambar sebilah pedang tajam berkilat menyilaukan.

"Cepat menyebar...!" Mogeni Kalpa memberi komando. Dua orang yang berdiri di belakangnya berlari berlainan arah. Pandangan mereka hati-hati sekali. Setiap sudut maupun pelosok tidak luput dari pengawasan mereka. Ketiganya telah bersiap-siap dengan pedang terhunus di tangan.

Mogeni Kalpa memasuki tiap-tiap gubuk yang telah kosong. Ia berpindah-pindah terus. Dari satu gubuk ke gubuk yang lain. Namun tetap saja ia tidak menemukan orang yang dicari. Pedangnya berkelebat ke nana ke mari menyibakkan kain-kain yang menutupi tiap-tiap ruangan. Amarahnya makin meluap ketika ia melihat sosok tubuh seorang bayi yang hampir tidak terbentuk lagi. Mogeni Kalpa cepat beringsut dari tempat itu.

"Mogeni Kalpa...! Mogeni Kalpa...! Cepat ke mari...!" Salah seorang temannya berteriak-teriak. Mogeni Kalpa langsung melompat ke luar.

"Ada apa...? Apakah kalian menemukan manusia keparat itu...?" Mogeni Kalpa berlari ke arah suara orang yang memanggil-manggil namanya. Dan ia cukup terperanjat ketika tiba di samping kedua temannya.

"Kau lihat itu, Mogeni Kalpa... Dia ada di sini...!" Mogeni Kalpa seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sosok tubuh seseorang yang tengah mereka cari telah terkapar di hadapan mereka. Tubuh itu penuh dengan luka-luka. Pada batang lehernya terlihat jelas goresan-goresan luka yang mengalirkan darah segar.

Tubuh penuh luka itu bergerak-gerak. Mulutnya terbuka seperti hendak mengeluarkan kata-kata. Mogeni Kalpa menariknya berdiri.

"Susah payah aku mencarimu, Bala Tlenges! Ternyata demikian mudahnya kami mendapatkan dirimu di sini...! Sebelum ku kirim ke akherat, apakah ada pesan yang akan kau sampaikan? Katakanlah Bala Tlenges! Cepat! Orang-orang kampung yang telah kau bantai itu pasti akan menuntut mu dari alam baka sana...!" Mogeni Kalpa geram. Tiba-tiba saja tinjunya melayang menghantam perut, membuat Bala Tlenges tersungkur ke tanah dengan menghamburkan darah dari mulutnya. Bala Tlenges merangkak bagai binatang melata.

"Anjing! Tunjukkan kebolehan mu... Ayo!" Mogeni Kalpa menendang keras tubuh lelaki itu.

"Buuuuug!" Bala Tlenges terlempar lagi. Kali ini tubuhnya membentur dinding kayu sebuah gubuk. Namun tetap saja lelaki itu berusaha bangkit walaupun dengan susah payah. Darah menyembur lagi dari mulutnya. Mogeni Kalpa bermaksud memberi hantaman lagi. Tapi salah seorang temannya menghalangi...

"Sudahlah...! Ia sudah terluka parah! Mungkin orang-orang kampung telah mengeroyoknya sewaktu ia membantai di sini...!"

"Kalau saja ia dapat bicara aku sudah cukup senang! Tapi ia tetap bungkam! Itu yang membuat aku naik darah!" jawab Mogeni Kalpa.

"Ia pasti sedang mengucapkan sesuatu, Mogeni Kalpa... Kau lihat gerak bibirnya. Hanya sayang suaranya tidak keluar, mungkin karena tenggorokannya robek."

"Bagaimana pun keadaannya ia tetap buronan! Cepat atau lambat ia pasti dihukum mati! Apa bedanya kalau ia kubikin mampus sekarang!" Mogeni Kalpa menatap geram ke arah Bala Tlenges yang sudah berdiri dengan seloyongan.

"Kau harus berkepala dingin, Mogeni... Sekarang buronan telah kita tangkap, biar saja Raden Mas Kinanjar Swantaka yang menentukan hukumannya. Kau harus ingat, kita hanya orang-orang pilihan "

*

**

3

Ketiga kuda itu meninggalkan perkampungan di mana mayat-mayat berserakan bergelimpangan dengan darah. Mogeni Kalpa masih terdiam menguasai perasaannya. Ia tetap menunggangi kudanya paling tengah. Dua orang temannya mengiringi di samping kanan dan kiri. Di belakang mereka, tubuh Bala Tlenges terseret tak berdaya. Manakala ketiga kuda itu berlari semakin kencang berpacu. Tubuh itu tidak bedanya bagai sebatang tonggak yang terbawa arus perjalanan yang kadang-kadang membentur bebatuan menonjol di sepanjang jalan.

Diperlakukan seperti itu pastilah Bala Tlenges bakal mampus, pikir Mogeni yang masih menaruh amarah terhadap buronannya.

Bagaimana tidak? Bala Tlenges seorang perampok dan juga pembunuh sadis. Dalam satu hari selalu saja ada yang menjadi korbannya. Apalagi hari ini. Bala Tlenges telah membantai seluruh orang-orang kampung terpencil. Ini merupakan kejadian yang sangat luar biasa. Begitu tega Bala Tlenges membunuh habis para korbannya. Tidak perduli memandang usia, dari anak-anak sampai kakek-nenek pun habis dibantai.

Tubuh Bala Tlenges masih terseret kencang. Seluruh pakaiannya yang memerah bersimbah darah mulai koyak. Kedua matanya kadang terpejam kadang terbeliak menahan sakit. Jelaslah Bala Tlenges masih hidup.

Saat itu tanpa sepengetahuan ketiga penunggang kuda, sosok bayangan berkelebat dari atas sebatang pohon yang cukup tinggi. Sosok bayangan itu menukik menyambar memutuskan tali yang menyeret tubuh Bala Tlenges dan sekaligus membawanya pergi. Mogeni Kalpa yang menyadari ikatan talinya telah kosong langsung menoleh ke belakang. Dan ia terkejut bukan main. Tapi ia masih sempat melihat sosok bayangan membawa kabur tubuh Bala Tlenges. Ketiganya memutar arah. Dua orang temannya dapat melihat kecepatan lari sosok bayangan itu.

"Bangsat...! Bala Tlenges dicuri orang! Cepat kita kejar...!" Hreaaaaa! Hreaaaaa!! Mogeni Kalpa memacu kudanya. Yang lain mengikuti menuju ke mana larinya bayangan tersebut. Ketiga ekor kuda itu saling kejar dan saling mendahului mengejar sosok bayangan yang makin lama makin mereka dekati.

Tiba-tiba saja ketiga kuda itu berhenti berlari. Kuda-kuda itu meringkik hebat, para penunggangnya hampir terpelanting dari atas pelana. Untunglah mereka cukup mahir menunggangi kuda milik mereka. Kuda-kuda mereka terus meringkik dengan kedua kaki yang terangkat ke atas seakan enggan meneruskan perjalanan. Mogeni Kalpa maupun dua orang temannya berteriak-teriak menghela kudanya. Namun tetap saja kuda-kuda itu seperti mengamuk. Mereka betulbetul sudah tidak dapat mengendalikan lagi.

Dalam pada itu dua sosok tubuh pucat berjatuhan dari atas pohon. Tubuh-tubuh itu terbanting keras ke tanah. Kedua sosok tubuh pucat itu diam terkapar di tanah. Mogeni Kalpa bersama dua orang temannya memandang keheranan. Mereka menatap dari mana asal mereka jatuh, kemudian beralih pandang mereka pada kedua sosok tubuh yang terkapar tak bergeming. Kuda-kuda tidak mengamuk lagi. Ringkikannya tidak sekeras tadi.

"Mayat-mayat siapa ini...? Mengapa berjatuhan dari atas pohon, apakah kalian lihat ada orang yang sengaja melemparkannya?"

"Mayat-mayat ini tidak begitu penting bagi kita! Yang jelas sekarang kita harus mendapatkan kembali Bala Tlenges! Ayo kejar lagi...!" Setelah kuda-kuda itu cukup tenang, Mogeni Kalpa menghela kudanya. Kudakuda mereka berlari lagi.

Di luar dugaan, bahkan tanpa sepengetahuan mereka kedua sosok mayat yang telah pucat membiru bangkit dan melesat ke arah kuda-kuda itu. Kedua mayat itu dapat menyergap dua penunggang kuda yang berada di samping kiri dan kanan Mogeni Kalpa. Mereka bergulingan.

Mogeni Kalpa turun dari kudanya dengan kalap. Cepat ia menarik gagang pedangnya dari pinggang. Ia tidak berani membabatkan pedangnya ke arah mayat-mayat hidup itu. Karena kedua temannya tengah bergelut melawan. Ia sendiri tersentak kaget ketika dilihatnya salah seorang temannya terlempar terkena hantaman dari mayat hidup yang amat menyeramkan itu.

Mogeni Kalpa langsung menerjang dengan babatan pedangnya yang menyambar cepat...

"Bwwwes!" Bagai mengerti ilmu silat, mayat hidup itu dapat mengelakkan babatan pedang. Malah sempat membalas serangan itu dengan sambaran cakar yang berkuku sangat runcing.

Kalau saja Mogeni Kalpa tidak cepat menarik mundur tubuhnya, sudah pasti perutnya robek. Ia tidak menyangka sama sekali kalau mayat hidup yang ia hadapi demikian tangkasnya. Sukar sekali Mogeni Kalpa melancarkan serangannya. Sekalipun babatanbabatan pedangnya terus berkelebat menyambar ke sana ke mari.

Begitu juga dengan kedua orang temannya. Sekalipun mereka berdua mengeroyok salah satu mayat hidup itu dengan menggunakan senjata. Seleret sinar berkelebat menyambar perut mayat hidup itu... "Breeeeet!" Mayat hidup yang berperawakan gemuk ini mundur beberapa langkah. Lambungnya robek melebar. Tapi tidak ada setetes darah pun yang keluar. Kecuali isi perut berupa sekumpulan belatung-belatung yang menjijikkan.

Bau busuk menyebar dari lambung yang robek. Mayat hidup itu tetap berdiri tegar dengan mata terbelalak. Kedua bola matanya putih dengan kelopak mata yang cekung ke dalam. Serentetan giginya yang telah menghitam menyeringai... Lalu dengan sekali gerakan, tubuh busuk itu melesat ke atas. Dua orang yang bersenjatakan pedang menyambutnya dengan babatanbabatan pedang...

"Weeees...! Weeees!" Bagaikan kilatan seleret sinar dari babatan pedang mencerca tubuh busuk. Namun tubuh gemuk pucat membiru itu tetap berputar menghindari dengan mudah babatan pedang dari lawannya yang berjumlah dua orang.

Salah seorang dari mereka berhasil menikam pedangnya ke dada tubuh berbau busuk. Pedang itu menembus sampai ke pangkalnya. Seperti tidak merasakan sakit, mayat hidup itu menyeringai menyeramkan. Kedua lengannya terjulur ke depan mencengkeram leher orang yang menikamnya. Salah seorang lagi berusaha mencegahnya. Babatan-babatan pedangnya melanda di punggung mayat hidup itu. Sekalipun punggungnya hampir hancur terkoyak, tubuh gemuk tak bernyawa itu makin kencang mencengkeram leher seorang lawannya. Orang itu pun meronta-ronta.

Kuku-kuku jari yang runcing bagai mata jarum merejam batang leher. Salah seorang temannya bermaksud membabatkan pedangnya ke arah lengan yang mencengkeram kuat, namun belum sempat niatnya terlaksana... "Bug!" Sebelah kaki tubuh gemuk yang tak bernyawa itu menyambar ke samping. Orang itu pun terlempar jauh. Begitu juga dengan pedangnya.

Darah mulai mengalir dari batang leher yang terkoyak. Orang itu masih meronta-ronta. Setelah lengan mayat hidup melepas kan cengkeramannya. Tapi tak lama kemudian lengan itu menghantam lagi sampai kepala itu terputus menggelinding ke tanah. Tubuh tanpa kepala itu kelojotan dalam cengkeraman mayat hidup. Darah menyembur bagai air mancur yang keluar dari batang leher yang buntung.

Mogeni Kalpa terbelalak melihat seorang sahabatnya tewas secara mengerikan. Babatan pedangnya dipercepat sehingga membentuk seperti kitiran angin. Mayat hidup yang dihadapinya pun tidak kalah gesit, hanya dengan tendangan memutar pedang yang bergerak cepat itu terlepas dari genggaman Mogeni Kalpa. Bersamaan dengan itu sosok tubuh yang tak bernyawa itu melesat menerjang. Terjangan itu tak bisa di hindari lagi. Mogeni Kalpa berontak menghindari namun terlambat, sederetan gigi yang menghitam menggigit putus tenggorokan Mogeni Kalpa.

Mayat hidup itu belum juga melepaskan rangkulannya yang membawa maut. Keduanya nampak bergelindingan di tanah. Mogeni Kalpa menjerit-jerit. Seorang temannya yang tadi terlempar datang membantu. Dengan cepat ia menyambar pedang yang tergeletak di tanah ia menerjang. Babatan pedangnya siap di arahkan pada batok kepala mayat hidup yang menggigit tenggorokan Mogeni Kalpa....

"Craaak!" Sekali babat, batok kepala itu hampir terkelupas. Ketika ia mengangkat pedangnya lagi, mendadak tubuhnya terlempar. Sosok tubuh gemuk tak bernyawa datang melancarkan serangannya. Dengan menyeringai mayat busuk itu maju menerjang orang yang sudah terlempar. Orang itu cepat bangkit, pedangnya siap menyambut terjangan mayat hidup.

Begitu mayat hidup mendekat, pedang berkelebat menyambar. Sebelum mata pedang itu menggores, mayat hidup itu telah melesat ke atas lebih dahulu...

Tahu-tahu saja kelima kuku yang runcing bagai mata jarum menembus tepat di atas kepala orang itu. Dan seketika telapak tangan itu menarik ke atas. Isi kepala ikut ke luar dari rongga otak dengan tubuh yang kelojotan.

Bersamaan dengan itu pula tubuh Mogeni Kalpa telah terkapar kaku tak bernyawa. Tubuhnya nampak koyak bekas cakaran-cakaran, tenggorokannya hampir putus. Kedua mayat hidup itu menyeringai mengeluarkan suara yang amat mengerikan. Lenganlengan mereka terjulur ke atas menunjukkan kukukukunya yang runcing, tiba-tiba saja...

"Suiiiiiiiit!" terdengar siulan panjang mengumandang di udara. Maka dengan serempak kedua mayat hidup melompat-lompat meninggalkan tempat itu. Sedangkan di depannya nampak sesosok bayangan berlari kencang membawa sesuatu. Kedua tubuh yang menyebarkan bau busuk itu menuju ke sana. Ke mana sosok itu pergi, ke sanalah tujuan mereka.

*

**

4

Dari kejauhan Wintara sudah dapat melihat tiga ekor kuda berdiri menghalangi jalan. Ia sendiri berjalan menyusuri jalan itu. Tidak ada kesan apa-apa setelah melihat ketiga ekor kuda Pandangannya malah

menatap jauh mengarah pada perbukitan tandus berwarna keemasan tertimpa sinar matahari. Di atasnya membentang cakrawala nan biru dengan awan keputihan bergumpal bergeser tertiup angin.

Kuda-kuda itu meringkik kencang ketika langkah-langkah Wintara makin dekat. Pandangan Wintara teralih ke situ. Pada jarak yang sangat jauh ia dapat melihat tiga sosok tubuh bergelimpangan di sekitar kaki-kaki kuda. Jelas ketiga orang itu adalah orangorang yang mereka temui tadi. Langkahnya dipercepat, ia telah menduga bahwa telah terjadi sesuatu pada mereka.

Wintara betul-betul tersentak ketika sampai di tempat itu. Ia melihat tiga sosok si penunggang kuda bergelimpangan tan nyawa. Keadaan mereka sangat mengerikan. Salah satu di antaranya tewas dengan kepala terpisah. Ada juga yang batok kepalanya pecah dengan isi kepala yang berhamburan ke luar. Satu orang lagi yang pernah berbicara dengan Wintara tewas dengan tenggorokan yang hampir putus, tubuhnya pun habis terkoyak oleh sesuatu yang sangat tajam...

Seperti cakaran, itu pendapat Wintara setelah memeriksa ketiga sosok berlumuran darah.

"Sadis! Perbuatan siapa ini...? Masih ada juga manusia yang berdarah dingin di muka bumi ini! Melihat dari luka-luka mereka, tentulah bukan dikarenakan dengan senjata! Tapi..." Wintara tidak habis pikir. Ia sendiri tidak tahu mesti berbuat apa terhadap ketiga mayat itu.

"Tadi mereka mengatakan, bahwa mereka akan mengejar seorang buronan! Apakah mereka telah menemukan buronan itu sehingga terjadi pertarungan yang begini seru? Kalau demikian, sungguh hebat buronan itu!" gumam Wintara. Mata Wintara tertuju pada sebuah lencana yang melingkar di setiap lengan kiri mereka. Semua lencana itu sama. Tanda orang-orang kepercayaan kerajaan.

Ada pemikiran Wintara untuk mengantarkan mereka pada pesanggrahan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tapi cepat ia membatalkan niatnya. Ia tidak ingin terlibat urusan ini. Toh ketiga orang ini sama sekali tidak dikenalnya. Apalagi dengan Raden Mas Kinanjar Swantaka... Macam apa dia orangnya, Wintara tidak tahu sama sekali. Berniat mengantarkan mayat-mayat ini sama saja mencari penyakit! Sudah tentu dirinya akan dilimpahkan beribu-ribu pertanyaan yang memusingkan.

Sekarang Wintara hanya menaikkan tiap-tiap mayat ke atas kuda. Ia merasa ada kesulitan ketika menaikkan tubuh tanpa kepala. Tidak mungkin ia membiarkan kepala itu tetap tertinggal di situ. Sebentar kemudian Wintara menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Setelah rambut gondrongnya menjadi kusut, ia mendapatkan satu cara.

Tanpa merasa jijik, Wintara meraih kepala yang buntung itu dari tanah. Tentu saja ia hanya memegang rambutnya. Lalu ia menyelipkan ke dalam balik baju tubuh tanpa kepala itu. Ketiga tubuh tanpa nyawa telah terikat di atas pelana kuda-kuda mereka. Wintara tersenyum ia merasa puas akan tindakannya itu.

"Aku yakin, kuda-kuda ini sangat patuh... Mereka akan sampai ke tempat tinggal tuannya..." kata Wintara dalam hati setelah itu ia menepuk salah satu kuda yang berdiri paling depan. Kuda itu pun berlari. Dua kuda lainnya mengikuti. Meskipun lari kuda-kuda itu tidak kencang, tidak jadi masalah. Lambat laun mereka akan sampai ke tempat tujuan.

Wintara belum beranjak dari situ, ia masih menatap kepergian ketiga kuda yang kian menjauh. Pandangannya menggambarkan rasa iba. Ketiga wajah orang itu belum lepas dari ingatannya. Begitu cepatnya hidup ini. Sepertinya Tuhan telah mengutuk!

*

**

Nafas Wadak Keling terengah-engah ketika tiba di depan bangunan yang hampir roboh. Sosok tubuh yang dibawanya, diletakkan begitu saja di depan pintu. Punggungnya terasa sekali berdenyut. Sebentar kemudian ia menoleh ke belakang. Ia melihat dua sosok melompat-lompat menyusul ke tempat itu.

"Dasar mayat! Gerakannya lambat kayak keong!" gerutunya. Kembali ia mengangkat sosok tubuh yang berlumuran darah, sosok itu mengerangngerang menahan sakit. Luka-lukanya sudah tidak karuan parahnya. Tapi ia masih bertahan hidup. Sungguh luar biasa! 

Wadak Keling tidak perduli kedua sosok mayat melompat-lompat ikut memasuki ruangan bangunan. Setelah ia menembus ruangan yang agak gelap, ia memasuki ruangan lain yang cukup terang disinari lampu obor. Di situ telah menunggu sosok berambut putih kusut duduk menghadapi sebuah pendupaan yang mengepulkan asap kental menyebarkan bau kemenyan.

Kedua mayat hidup itu melompat-lompat memasuki ruangan itu. Seperti telah terkendali mereka memasuki peti-peti yang bersandar pada dinding batu. Sesaat kemudian dua sosok dalam peti itu diam seakan tertidur pulas. Kedua mata mereka yang tadi selalu membelalak menyeramkan, kini terpejam rapat. Sosok berambut putih kusut itu meniup asap pendupaan dalam-dalam. Bara api dalam pendupaan itu mati dengan seketika.

"Ki Rondo Mayit, sebaiknya cepat kau tolong putra mu ini... Luka-lukanya sangat parah..." kata Wadak Keling ketika melihat sosok berambut putih kusut itu berdiri.

"Jangan khawatir, Wadak Keling... Bala Tlenges akan segera pulih dari luka-lukanya. Baringkan saja di atas balai. Buka pakaiannya dan jangan sekali-kali kau membuka ikat pinggangnya... Ingat itu!"

"Aku mengerti, Ki Rondo Mayit!" Wadak Keling membawa tubuh Bala Tlenges ke arah balai. Di situ telah duduk seseorang bertubuh kekar. Sedari tadi ia memperhatikan mereka sambil tersenyum cengengesan. Ketika Wadak Keling mendekati balai, sosok tubuh kekar itu langsung beringsut menyingkir. Orang itu kembali duduk di atas lantai.

"Begitulah, Umbara Komang! Meskipun kau telah gila harus punya rasa tahu diri!" Wadak Keling membentak. Ia membaringkan tubuh Bala Tlenges di atas balai. Ki Rondo Mayit mendekati. "Bawa ke luar, Umbara Komang! Aku khawatir ia akan mengganggu pekerjaanku! Selama aku tidak memanggil jangan masuki ke mari." kata Ki Rondo Mayit. Wadak Keling menurut, ia melangkah mendekati Umbara Komang yang duduk di lantai. Lalu menyeretnya ke luar dengan kasar. Umbara Komang malah tertawa.

"Manusia gila! Ayo kita main di luar! Ada kau di sini malah merepotkan aku!" Lengan Wadak Keling menarik makin keras. Sebentar saja mereka sudah berada di luar. Umbara Komang berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Ada sesuatu yang tidak beres dalam otak Umbara Komang. Kesadarannya telah berputar seratus delapan puluh derajat. Tidak di sangkal lagi semua ketidakberesan yang ada pada diri Umbara Komang akibat ulah Ki Rondo Mayit. Ki Rondo Mayit sengaja melakukannya. Sewaktu ia merapalkan ajian membangkitkan mayat yang telah hampir membusuk. Tubuh Umbara Komang yang hanya pingsan diikutsertakan. Mayat-mayat itu dapat hidup meskipun tidak sempurna. Tapi mayat-mayat itu dapat diperintah sebagaimana Ki Rondo Mayit suka. Umbara Komang lain! Ajian Ki Rondo Mayit memang mengena, tapi Umbara Komang bukan mayat! Ia manusia yang masih hidup... Ketika Umbara Komang siuman ia telah kehilangan kesadarannya. Sampai sekarang... Ia telah gila!

"Langit akan runtuh...! Bumi akan belah...! Hehe-he-he... jangan takut... jangan takut...! Ki Rondo Mayit akan merobah segalanya...! Wuaaaaaa! Jangan! Jangan...! Roh jahat pergi...!" Umbara Komang berteriak-teriak. Wadak Keling yang menjaganya jadi kesal. Dengan telengas ia menendang tubuh Umbara Komang. Tubuhnya menggelinding. "Kau siluman hitam yang jahat...! Hiiii... Nanti juga aku jadi siluman! Aku tidak takut! Hua-ha-ha...!"

"Nanti kau jadi siluman gila!" jawab Wadak Keling setengah membentak. Ia membiarkan Umbara Komang berjungkir balik di halaman gedung. Kelakuannya memang selalu begitu. Wadak Keling sudah tidak heran lagi. Melihat tingkah Umbara Komang yang sangat menggelikan itu, Wadak Keling merasa terhibur. Ia membiarkan Umbara Komang bertingkah apa saja. Ia sengaja hanya duduk pada undakan batu di bagian teras bangunan. Tubuh hitamnya berkilat tertimpah cahaya matahari. Rambutnya yang kusut kaku tidak bergerak walau dihembus angin. Kedua matanya terus mengawasi Umbara Komang.

"Aku mau pergi...! Di sini tidak enak rasanya panas seperti di neraka! Selamat tinggal siluman hitam yang jahat...." Umbara Komang mengoceh sambil kedua kakinya berlari menjauh.

Langkah-langkahnya yang tidak karuan membuat larinya tak tentu arah.

*

**

5

Sudah tentu Wadak Keling tidak akan membiarkan Umbara Komang meninggalkan tempat itu. Dengan cepat tubuhnya melesat dan berputar di atas kepala Umbara Komang. Tahu-tahu saja ia sudah berdiri di hadapan Umbara Komang sambil menjambak rambutnya.

"Kau mau menyusahkan aku... Ayo kembali...!" Wadak Keling membentak. Ia mendorong kuat-kuat tubuh Umbara Komang kembali ke arah bangunan.

"Aku tidak mau main dengan siluman hitam yang jahat macam kau! Aku mau main sendiri...!" Umbara Komang berteriak-teriak. Tubuhnya merontaronta. Wadak Keling melancarkan hantaman ke punggung agar Umbara Komang tenang, tapi sebelum pukulan itu mengenai punggungnya, Plaaak!" Umbara Komang menangkis dengan lengan kirinya. Hantaman itu beradu. Wadak Keling merasakan lengannya berdenyut.

"Ha-ha-ha-ha... Siluman jahat kesakitan! Rasain...! Ha-ha-ha-ha....! Umbara Komang tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak-jingkrak di teras gedung. Wadak Keling jadi geram. Sekali lagi ia melancarkan pukulan....

"Des!" Umbara Komang terbanting. Tapi ia malah tertawa mengejek.

"Kalau mau memijit bukan begitu caranya...

Mari aku ajarkan !"

Tiba-tiba saja tubuh Umbara Komang melesat ke arah Wadak Keling. Tahu-tahu Plaaaakkkkk! tela-

pak tangan Umbara Komang menghantam keras kepala Wadak Keling. Terasa sekali hantaman itu.

Tentu saja Wadak Keling jadi kalap. Segera ia maju menerjang....

"Hreeeaaaaahhh!" Kedua lengannya siap menghantam, tapi....

"Wadak Keling! Apa-apaan kau!?" Ki Rondo Mayit sudah berada di situ.

Wadak Keling membatalkan serangannya. Mukanya memerah menatap Umbara Komang yang tetap cengengesan.

"Bantu aku sebentar! Biarkan saja ia bermain sesukanya di sini!..! Ayo!" Ki Rondo Mayit masuk lagi. Wadak Keling tidak segera ikut masuk. Pandangannya masih menatap tajam pada Umbara Komang.

"Ingat Umbara Komang.... Jangan coba-coba melarikan diri dari sini! Aku tidak segan-segan membunuhmu...!" ancam Wadak Keling sambil melangkah masuk.

"Whueeeeeeee!" Umbara Komang menjulurkan lidahnya.

Ketika Wadak Keling memasuki ruangan tengah, Ki Rondo Mayit menyerahkan sebuah pundi yang mengepulkan asap putih. Wadak Keling langsung menerimanya.

"Borehkan semua ramuan ini di tubuh Bala Tlenges! Sementara itu aku membuat ramuan lain agar ia kuat kembali."

Wadak Keling mengangguk. Ia pun melangkah ke arah tubuh Bala Tlenges yang masih terbaring. Bala Tlenges sudah tidak mengerang lagi. Matanya terpejam, namun nafasnya kian memburu. Wadak Keling menuangkan ramuan obat ke telapak tangannya, lalu ia memborehkan ke seluruh tubuh yang dipenuhi dengan luka-luka yang cukup parah.

Cairan berwarna kehijauan melapisi kulit Bala Tlenges yang diam terlentang. Dadanya naik turun mengeluarkan nafas yang demikian berat. Dua kelopak matanya berkedutan ketika cairan berwarna kehijauan membasahi di luka-lukanya.

"Kenapa Bala Tlenges sampai terluka be-gini, Wadak Keling...? Setahuku, Bala Tlengas tidak mungkin bakal dikalahkan orang. Aku telah menempa dirinya sekuat batu ka-rang dan seteguh gunung... Apalagi ia menguasai ilmu membaca pikiran orang!" kata Ki Rondo Mayit sambil menumbuk dedaunan di atas meja.

"Semuanya di luar dugaan, Ki... Sewaktu aku membawa kedua mayat hidup itu ke desa terpencil, tiba-tiba saja Bala Tlenges datang di saat kedua mayatmayat itu mengamuk!" kata Wadak Keling menunjuk ke arah kedua mayat yang berdiri kaku dalam dua buah peti.

"Lantas?" tanya Ki Rondo Mayit. Lengannya sibuk menumbuk ramuan daun.

"Kedua mayat hidup itu mengira Bala Tlenges adalah orang kampung itu juga, maka ia pun tidak luput dari amukan mayat hidup! Bala Tlenges mengadakan perlawanan. Tapi sia-sia menghadapi mereka. Mayat hidup bergerak tanpa berpikir. Tapi setiap gerakannya membawa maut." Wadak Keling menjelaskan. Ki Rondo Mayit tersenyum.

"Aku khawatir luka di tenggorokannya tak akan sembuh. Sekalipun sembuh mungkin ia tidak dapat mengeluarkan suaranya..." kata Wadak Keling setelah memeriksa luka robek di tenggorokan Bala Tlenges. "Mau dikata apa! Semua sudah terlanjur. Lagi pula, tidak perlu disesalkan. Sesuatu yang akan berhasil selalu memerlukan pengorbanan." Ki Rondo Mayit selesai menumbuk dedaunan. Lalu ia mengairi tumbukan daun itu dengan cairan berwarna hitam.

"Beri dia minuman ini... Kalau tidak habis, sisakan buat nanti sore!" kata Ki Rondo Mayit. Ia menuang ramuan obat yang telah di beri cairan hitam ke dalam gelas bambu. Wadak Keling menerima gelas bambu itu. Kemudian ia melangkah lagi ke arah tubuh Bala Tlenges.

Sebelah lengan Wadak Keling mengangkat tubuh Bala Tlenges bangun. Sebelah lengannya lagi mencekoki ramuan obat ke mulutnya. Tapi cairan kental hitam itu keluar lagi melalui tenggorokannya yang robek. Cepat Wadak Keling menutup tenggorokannya yang robek itu dengan telapak tangannya. Dengan begitu barulah cairan kental berwarna hitam kental masuk semua ke perut Bala Tlenges.

"Kalau sudah, kau boleh keluar Wadak Keling...

Aku sudah tidak membutuhkan mu lagi."

Wadak keling bangkit dari bale-bale, ia tidak menyerahkan gelas bambu pada Ki Rondo Mayit. Sengaja ia menaruh sendiri gelas bambu itu di atas meja yang banyak berserakan alat-alat keperluan Ki Rondo Mayit. Setelah itu ia keluar tanpa bicara apa-apa.

Sepeninggal Wadak Keling, Ki Rondo Mayit mendekati tubuh putranya yang terbaring di atas balai. Tubuhnya telah penuh dengan cairan berwarna hijau. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Lengannya meraba ikat pinggang Bala Tlenges yang melingkar kendor di pinggang. Lalu ia mengikat kencang kembali ikat pinggang itu.

"Ki Rondo Mayit... Ki Rondo Mayit...!" Tiba-tiba saja Wadak Keling kembali masuk ke dalam ruangan itu sambil berteriak-teriak.

"Ada apa!" Ki Rondo Mayit membalikkan tubuh. "Umbara Komang sudah tidak ada di luar. Ia

kabur!" jawab Wadak Keling tergagap.

"Budak tolol! Cari sampai dapat...!" bentak Ki Rondo Mayit.

Wadak Keling segera berlari ke luar. langkahnya berdetak-detak menginjak

lantai. Pandangannya memutar sesampainya luar bangunan. Ia betul-betul mengawasi tiap-tiap pelosok. Jauh di sana di antara rerimbunan pepohonan, sosok tubuh berjingkrak-jingkrak kian lama kian menjauh. Itulah sosok Umbara Komang. Wadak Keling merasa lega. Ia pun segera mengejar.

"Umbara Komang...! Kembali...!" Wadak Keling berteriak-teriak. Larinya makin cepat.

Umbara Komang yang mendengar suara itu makin cepat pula melarikan diri. Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang sambil berjingkrak-jingkrak. Setelah itu ia berlari lagi. Wadak Keling memacu larinya lebih cepat, terkadang pula ia melompat.

Umbara Komang memang berada jauh di depannya. Namun Wadak Keling tidak putus asa mengejarnya. Dalam hatinya ia mendongkol. Mengapa Ki Rondo Mayit tidak menjadikannya mayat hidup saja sekalian. Daripada ia gila seperti ini, akhirnya membuat repot! Untung saja ia gila. Coba kalau ia sadar seperti dulu. Sudah pasti akan lebih merepotkan lagi. Karena Umbara Komang bukanlah orang yang mudah diremehkan. Paling tidak ia memiliki kepandaian yang tidak rendah. Lihat saja sekarang. Meski pun ia gila kecepatan larinya sangat luar

biasa. Setengah mati Wadak Keling mengejar. "Sampai di mana pun kau akan kudapat, ma-

nusia gila...!" teriak Wadak Keling emosi.

"Siluman hitam mana becus lari... Hua-ha-haha-ha...!" jawab Umbara Komang. Suaranya yang keras hanyut terbawa angin. Mendengar ucapan yang demikian Wadak Keling amat gusar. Maka ia mengerahkan seluruh tenaganya. Dan kecepatan larinya cepat bagai angin. Sosok tubuhnya berkelebat bagai bayangan hitam.

Yang Umbara Komang tahu hanyalah siluman hitam mengejar. Ia semakin ketakutan saat sosok hitam itu mulai mendekat. Langkah-langkah Umbara Komang yang tidak karuan memperlambat kecepatan larinya. Bahkan ia sempat terjerembab ke dalam semak yang rimbun. Begitu panik ia berusaha melepaskan dirinya dari libatan-libatan akar-akar pohon yang merambat.

Dari kejauhan Wadak Keling dapat melihat Umbara Komang jatuh ke dalam semak. Teriakannya pun terdengar. Begitu juga dengan gemerisiknya daundaun yang nampak bergerak-gerak.

"Wuaaaaaaa...! Ular...! Tolong ular-ular ini melibat ku... toloooong!" Umbara Komang menjerit-jerit. Wadak Keling sudah berdiri di situ dengan pandangan sadis. Ia menatap garang ke arah Umbara Komang yang repot menyingkirkan akar-akar pohon merambat yang telah kering. Makin banyak bergerak, akar-akar pohon itu makin kusut membelit.

*

**

6

Sekali tendang tubuh Umbara Komang mencelat berikut akar-akar pohon yang putus berantakan. Wadak Keling melompat lagi ke arah Umbara Komang. Kepalannya siap mengarah ke bagian muka. Umbara Komang kalap, ia mendorong kuat-kuat tubuh Wadak Keling...

"Brweeeek!" Wadak Keling terpelanting. Ia tidak menyangka kalau dorongan itu begitu deras.

"Siluman jahat! Nanti kalau aku telah menjadi siluman boleh kita main-main...!" kata Umbara Komang sambil kacak pinggang. Hidungnya kembang kempis.

Diam-diam Wadak Keling bangkit berdiri, dengan gerakan yang sangat cepat ia menerjang. Umbara Komang hanya diam menghadapi sergapan itu. Maka keduanya bergulingan. Umbara Komang malah tertawa terkekeh-kekeh. Sebuah tamparan mendarat di pipinya... Umbara Komang meringis. Sosok hitam dengan rambut kusut menjambak rambutnya, lalu... "Deeees!" Sebuah hantaman mendarat di dada. Tubuh Umbara Komang mental menggelinding. Dan tepat berhenti di bawah kaki seseorang yang berdiri di situ. Dengan tubuh yang terlentang, Umbara Komang menatap wajah orang itu. Seorang anak muda yang mengenakan pakaian bulu binatang, Wintara!

Wintara membantu Umbara Komang bangkit berdiri. Kedua matanya tertuju pada seorang yang berkulit hitam dengan rambut yang kusut tak terurus. Alisnya mengernyit.

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha... Untung ada dewa penolong! Ayo siluman jahat tangkap aku kalau berani... Ha-ha-ha-ha-ha...!" Umbara Komang tertawa di samping Wintara. Wadak Keling menatap anak muda itu.

"Siluman jahat tidak mungkin berani terhadap dewa...! Kalau berani melawan bisa kuwalat!" celoteh Umbara Komang. Wintara sudah menyadari kalau orang yang berdiri di sampingnya adalah orang yang rada kurang beres otaknya. Namun begitu Wintara perlu melindunginya. Karena sejak tadi

Wintara sudah melihat penganiayaan Wadak Keling terhadap Umbara Komang. Sekarang ia melihat Wadak Keling berdiri angkuh.

"Anak muda jangan mencampuri urusan ku... Lebih baik menyingkirlah! Orang gila itu salah satu anggota keluargaku, aku harap kau mau mengerti...!" "Bohong! Dia bukan anggota keluarga! Dia si-

luman jahat yang mau membawa diriku ke neraka! Aku tidak mau...! Aku tidak mauuuu!"

"Umbara Komang! Ayo kembali!" bentak Wadak Keling. Lengannya siap menghantam. Sebelum hantaman itu mengena... "Plaak!" Wintara menepis dengan tangan kirinya. Wadak Keling melotot. Lengannya tadi memutar menyerang Wintara... "Weeees!" Wintara menggeser tubuhnya.

"Sudah kubilang kau tidak perlu ikut campur!" Wadak Keling melancarkan tendangan. Wintara menyambut dengan kakinya pula. Tendangan mereka beradu. Wadak Keling menahan sakit.

"Kalau dia anggota keluargamu tidak mungkin kau menganiaya, sobat!" jawab Wintara mengangkat tangannya menangkis serangan Wadak Keling yang kian membabi buta. Kedua lengan hitam itu berkelebat menyilang mengarah ke bagian kepala. Hanya dengan memutar lengannya, Wintara dapat menggeser kedua lengan hitam itu sampai melesat ke samping.

Melihat itu Umbara Komang berjingkrakjingkrak kegirangan. Mimiknya bagaikan bayi. Apalagi saat Wintara berhasil menghantam perut Wadak Keling... "Bug!" Meskipun tidak keras tapi tubuh hitam itu mundur seloyongan. Umbara Komang ngakak tidak kepalang tanggung.

"Hua-ha-ha-ha-ha... Mana ada siluman jahat mengalahkan dewa...? Kau bakal mampus siluman jahat! Kau akan tertimbun oleh langit dan awan! Ha-haha-ha..."

Wajah hitam Wadak Keling makin kelam diperlakukan begitu oleh Wintara. Maka sebelum ia melancarkan serangannya lagi, ia menghimpun tenaganya. Dari mulutnya terdengar raungan yang sangat hebat. Wintara mundur selangkah. Umbara Komang nampak menutup kedua telinga dengan kedua telapak tangannya.

Sesaat kemudian Wadak Keling melompat sambil lengannya menyambar. Wintara yang bermata jeli langsung menepis sambaran tangan itu, tapi ia tidak dapat mengelakkan serangan lengan lainnya... "Bug!" Menghantam telak di punggung. Wintara hampir tersungkur. Hantaman itu sangat keras, punggungnya seperti berdenyut.

Wintara berusaha berdiri tegar sambil menggerak-gerakkan punggungnya yang masih berdenyut. Matanya menatap mengawasi setiap gerakan Wadak Keling. Tubuh hitam itu maju lagi menyerang, sebelum ia melancarkan tendangannya, jotosannya bergerak maju... "Wes!" Wintara melesat ke atas berputar di udara dengan kaki ke atas. Sebelah lengannya menangkis jotosan Wadak Keling. Namun tubuh hitam itu menyambut lagi dengan tendangannya yang berputar dua kali mengarah kepada Wintara yang masih bersalto di udara...

"Bwet...! Bwet!" Dua tendangan yang berturutturut itu mengenai tempat yang kosong.

Dan ketika Wintara menginjakkan kakinya ke tanah, ia mendorong telapak tangannya kuat-kuat. Wadak Keling tidak sempat lagi menghindar...

"Deeeees!" Tepat menghantam tenggorokannya. Sosok hitam itu pun memekik keras. Pernafasannya seperti putus. Sebentar kemudian ia menyeringai sadis. Wintara yang berdiri di hadapannya cepat merunduk saat Wadak Keling menubruk dengan serentetan hantaman. Dalam keadaan seperti itu, sebelah kaki Wintara menyabet memutar bagian bawah... "Plaaak!" Tak urung lagi tubuh hitam itu terpelanting. Namun sebelum Wadak Keling terbanting ke tanah, ia sempat menghantam Wintara dengan kedua kakinya... "Bug...!Bug!" Wintara sendiri yang akhirnya terpelanting hebat. Wintara menyeka darah yang mulai mengalir dari lubang hidungnya. Ia baru menyadari lawan yang dihadapi ini tidak boleh dianggap remeh. Wadak Keling masih tetap berdiri. Sebelah kakinya nampak gemetar menahan sakit akibat sapuan kaki Wintara tadi. Ia bergeser ke kiri, kaki yang gemetar itu terasa seperti kaku. Wintara sudah menduga paling tidak tulang keringnya patah. Meskipun begitu Wadak Keling masih bernafsu untuk melancarkan serangan berikutnya. Dengan tenang Wintara menyambut serangan itu. Jotosannya tahu-tahu menghantam ulu hati. Wadak Keling ambruk celentang tanpa mengeluarkan suara. Wintara membiarkan tubuh hitam itu tergeletak. Ia sendiri beranjak mendekati Umbara Komang yang menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Wintara merasa ingin tertawa melihat tingkah Umbara Komang yang sangat aneh itu. Sewaktu mereka berhadapan, Umbara Komang cepat menyelinap ke balik pohon. Tapi sebentar-sebentar ia melongok melihat Wintara yang masih berdiri di situ. Wintara tersenyum. Tanpa perduli ia melangkah meninggalkan Umbara Komang yang sembunyi di balik pohon.

Setelah Wintara berjalan agak jauh, barulah Umbara Komang berani keluar. Dengan perlahan ia melangkah ke arah tubuh hitam yang terlentang di tanah. Dilihatnya sosok hitam itu masih bernafas, meskipun perlahan... Maka...

"Dewaaaaa...! Siluman jahat masih hidup... Aku takut! Dewaaaaa... Tungguuuu!" Umbara Komang berlari menyusul kepergian Wintara. Larinya yang begitu cepat hampir menabrak Wintara yang berjalan tenang. "Ada apa lagi...?" tanya Wintara. "Siluman itu masih hidup...! Siluman itu harus dilemparkan ke dalam api yang sangat panas... Jangan dibiarkan hidup di surga!" "Kau ini bicara apa, sobat...? Aku memang ti-

dak membunuhnya, hanya membuat dia jera agar tidak berbuat sewenang-wenang lagi terhadap kamu..." jawab Wintara sambil melangkah. Umbara Komang mengikuti.

"Kalau begitu langit bakal runtuh, bumi bakal goncang! Lihat saja nanti... Sayang aku bukan siluman...!" Kata Umbara Komang ngawur. Wintara hanya tersenyum. Mereka berjalan beriringan.

Mereka berdua makin jauh melangkah. Menuju ke perbukitan yang nampak subur. Arus kali terdengar menderu-deru menerjang bebatuan yang menonjol di permukaan air. Dari kejauhan nampak kali itu berlikuliku menuju sebuah jeram.

"Dewa... coba dengar suara itu.. Itu tandanya langit akan runtuh dan bumi akal berguncang... Apakah kau tidak takut?"

"Itu suara arus air yang deras! Kau pikir itu suara apa!" jawab Wintara.

"Apakah kau pernah melihat air?" kata Wintara lagi. Umbara Komang menggeleng Lalu...

"Apakah air itu jenis siluman yang jahat?" tanya Umbara Komang seakan betul-betul tidak mengerti.. Parah! Parah sekali gilanya, pikir Wintara. Terhadap air saja ia tidak mengenalnya. Semua yang dilihatnya dianggap siluman. Malang benar dia. Lelaki setegar ini mesti kehilangan ingatan. Cacat sejak lahirkah? Atau...

Wintara sengaja mengajak Umbara Komang menuju kali yang mengalirkan airnya dengan deras. Di situ ia akan memperkenalkan apa yang disebut air. Mungkin dengan cara itu ia bisa membedakan siluman dengan apa saja yang selama ini dianggap siluman. Seperti anak kecil, Umbara Komang mengikuti langkah Wintara. Makin lama makin terdengar jelas suara air menderu-deru. Wintara sengaja pula berjalan lebih dulu, sebab ia yakin laki-laki berpenyakit saraf ini pasti mengikuti. Dugaan Wintara tidak meleset. Mendadak Wintara berlari... Umbara Komang dengan spontan ikut berlari mengejarnya.

*

**

7

Sampai di tepi kali, Wintara melompat ke atas batu yang cukup besar di tengah permukaan air yang mengalir deras. Batu-batu di situ banyak sekali menghampar Umbara Komang berdiri menatap Wintara. Ia gemetar mendengar suara arus air.

"Tunggu saja di situ, aku akan mencari sesuatu yang bisa untuk dijadikan pengisi perut..." seru Wintara. Umbara Komang tetap diam, lalu ia duduk bersila di pinggiran kali.

"Tentunya kau pun lapar, bukan?" kata Wintara lagi. Kedua matanya tertuju ke bawah. Menatap riak air yang begitu bening. Kemudian ia turun ke dalam air. Kali itu tidak dalam dan juga tidak berlumpur. Di dasarnya banyak berserakan batu-batu kerikil.

Kedalaman kali itu hanya sebatas pinggang. Umbara Komang termangu menatapnya, sebenarnya ia ingin sekali ikut menyeburkan diri ke kali itu. Tapi ia takut sekali dengan suara air yang menderu bagaikan guntur di siang bolong.

Wintara menarik nafas. Kedua lengannya terangkat ke atas saat ia melihat beberapa ekor ikan berseliweran di sekitar kakinya. Lalu dengan cepat sekali kedua tangan itu masuk ke dalam air... Permukaan air menciprat ke atas membasahi muka Wintara saat kedua lengannya masuk menangkap ikan-ikan itu. Umbara Komang berseri ketika Wintara mengangkat kedua lengannya berhasil menangkap dua ekor ikan sekaligus.

"Hari ini kita makan besar, sobat! Nah, tangkap ini... Ikan-ikan di sini masih banyak." ujar Wintara sambil melemparkan ikan-ikan itu ke pinggiran kali. Umbara Komang langsung bangkit memunguti ikanikan yang menggelepar-gelepar di tanah berbatu. Bukan main senangnya Umbara Komang menangkapi ikan-ikan itu.

"Ha-ha-ha-ha...!" Wintara tertawa melihat ketololan Umbara Komang. Dari tadi ia belum juga dapat menangkap ikan-ikan itu. Wintara membiarkannya, kembali ia mengawasi sekitar kakinya. Ikan-ikan di situ memang banyak, dan juga cukup besar-besar. Dan di saat Wintara berhasil menangkap ikan lagi, ia mendengar sesuatu... "Byuuuur!" Cepat Wintara menoleh. Ternyata Umbara Komang terjun masuk ke kali. Kedua lengannya menyusup ke dalam air. Seluruh pakaiannya telah basah kuyup.

"Siluman-siluman kecil itu melarikan diri... Itu dia! Ha-ha-ha... Jangan harap kau bisa lolos dariku..." teriak Umbara ketika melihat dua ekor ikan berenang cepat di air. Air yang menggenang sebatas pinggang tidak diperdulikan. Langkah-langkahnya yang cepat dibantu arus air mengejar ke mana ikan-ikan itu berenang.

Wintara menggelengkan kepala, ia melemparkan dua ekor ikan lagi ke tepi kali. Kembali pandangannya mengarah ke bawah mengawasi sekitar kakinya. Kedua kakinya menahan kuat arus air yang makin lama makin kencang mendorong tubuhnya. Sesaat kemudian ia tersentak kaget. Ada sesuatu yang ia lupakan. Pandangannya menoleh cepat ke arah Umbara Komang. Astaga! Ia memekik. Dilihatnya Umbara Komang sudah berada jauh darinya. Meskipun air hanya menelan sebatas pinggang, namun arusnya yang demikian kencang mampu membawa tubuh Umbara Komang yang masih bersorak-sorak kegirangan. Ia tidak tahu sama sekali bahaya yang ada di depan.

Kurang lebih lima tombak lagi sebuah jeram menganga siap menelan tubuh Umbara Komang. Umbara Komang sendiri tidak menyadari kalau tubuhnya sudah terbawa jauh oleh arus air. Wintara jadi kalap. Ia melesat cepat dan melompat berkali-kali untuk mencapai Umbara Komang. Ia melompati tiap-tiap batu yang ada di permukaan air. Untuk menyelamatkan Umbara Komang sudah tidak mungkin lagi. Wintara benar-benar putus asa. Apalagi ketika dilihatnya tubuh Umbara Komang berdiri tepat di tepi jeram yang menerjunkan airnya ke dasar yang sangat tinggi.

"Sobat gila...!" Wintara memekik saat Umbara Komang ikut jatuh ke dasar jurang bersama air yang membawanya. Harapannya telah putus. Ia sudah membayangkan sesuatu yang bakal terjadi terhadap sahabatnya. Dan sudah membayangkan pula batubatu cadas yang siap menyambutnya di dasar jurang sana. Wintara terdiam kaku. Tubuhnya tidak bergeming melawan arus. Manakala suara air yang jatuh ke dasar jeram terdengar bergemuruh menakutkan. "Maaf, sobat... Aku tidak dapat menyelamatkan mu! Aaku sendiri tidak berani membayangkan apa yang terjadi atas dirimu di sana...! Semoga saja kau dapat te... Hah?! ucapan Wintara terputus. Kedua matanya terbelalak seakan tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Sosok tubuh Umbara Komang melesat ke atas dari dasar jeram tanpa luka sedikit pun. Tubuh itu terus melesat ke atas. Lalu ia hinggap tepat di bibir jeram yang masih menerjunkan airnya dengan deras.

Umbara Komang berlari melawan arus meskipun air menelannya sebatas pinggang. Arus air tidak berpengaruh sama sekali, gerak larinya nampak seperti biasa. Kedua lengannya mengacung-ngacung ke atas. Dua telapak tangannya menggenggam dua ekor ikan.

"Sudah kubilang, Dewa! Siluman-siluman kecil ini pasti kudapat kembali! Lihat ini!" Umbara Komang menunjukkan dua ekor dalam genggamannya kepada Wintara yang masih terlolong menatap kedatangan laki-laki itu.

"Kau tidak apa-apa, sobat?" tanya Wintara penasaran. Ikan-ikan dalam genggamannya terlepas. Membiarkan ikan-ikan itu bebas berenang.

"Siluman air ternyata tidak sejahat siluman hitam! Cakar-cakarannya yang lembut melempar diriku ke atas kembali..." kata Umbara Komang sambil memperagakan dengan tangannya. Wintara tidak percaya dengan apa yang dibicarakan Umbara Komang. Mengapa tiba-tiba saja tubuhnya dapat melesat ke atas, tidak tahukah kalau dirinya sudah merasa khawatir setengah mati...? Mungkinkah ada orang yang kebetulan menyelamatkan di dasar jeram sana? Rasanya tidak mungkin! Wintara dapat melihat jelas saat Umbara Komang hinggap di tepi jurang. Jelas itu perbuatannya sendiri. Siapa pun tidak ada yang menyelamatkan di bawah sana! Gerakannya tadi cukup membuktikan bahwa Umbara Komang memiliki ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna. Hanya saja dia tidak menyadari! Itu pendapat Wintara. Tanpa banyak bicara Wintara melesat ke tepi kali. Kedua kakinya hinggap di tanah berbatu tanpa mengeluarkan suara.

Wintara berharap Umbara Komang mengikuti gerakannya. Ia ingin melihat lagi kesempurnaan ilmu peringan tubuh yang di miliki Umbara Komang. Namun Wintara sangat kecewa sekali, Umbara Komang hanya melemparkan ikan-ikannya kemudian ia melangkah perlahan ke pinggir dengan sangat hati-hati sekali. Susah payah ia mencapai pinggiran kali. Arus yang begitu kuat membuat gerakan Umbara Komang semakin lamban.

Kedua lengannya menjulur. Wintara membantu menarik tubuh itu ke atas pinggiran kali. Ia tidak merasa kedinginan walaupun seluruh bajunya telah basah. Sekarang ia membantu Wintara mengumpulkan ikan-ikan yang menggelepar-gelepar di tanah. Sekali pun tidak pernah berhasil. Wintara cukup senang akan sifat kegotong royongannya.

Wintara sempat melirik ke arah Umbara Komang yang susah payah menangkap ikan-ikannya. Wintara pun pura-pura merasa kesulitan di hadapan Umbara Komang. Dengan sengaja ia melepaskan seekor ikan dengan sikap seolah-olah ikan itu terlepas. Ikan itu mencelat ke atas dan bakal jatuh ke dalam kali. Umbara Komang yang melihatnya langsung menghentakkan kakinya, maka tubuh Umbara Komang melesat ke arah ikan itu yang hampir nyemplung ke air. Dengan gerakan yang di luar kesadarannya, Umbara Komang dapat menangkap ikan itu kembali. Lalu kedua kakinya menghentak dari atas batu besar yang ada di permukaan air. Tubuhnya melesat berputar di udara. Kemudian turun tepat di hadapan

Wintara. Umbara Komang menyerahkan ikan itu padanya.

"Dewa kurang berhati-hati... Siluman kecil sangat licin dan mudah terlepas!" ujar Umbara Komang.

"Cukup, sobat. Kau tidak perlu lagi menyembunyikan dirimu! Sekarang katakan siapa dirimu yang sebenarnya...!" tanya Wintara setengah membentak.

"Orang lain tak ada yang tahu siapa aku... Hehe-he-he...!" jawabnya sambil tertawa. Wintara menunggu kata-kata itu, tapi Umbara Komang tidak melanjutkannya.

"Yah orang lain tak boleh tahu, kecuali aku, bukan?" kata Wintara lagi.

"Ya... ya... Hanya dewa yang boleh tahu...! Dewa lihat sendiri... miripkah aku seperti siluman...?"

Wintara diam mendengar jawaban yang mulai kacau. Umbara Komang mundur, lalu...

"Ha-ha-ha-ha-ha-ha..." Tiba-tiba Umbara Komang tertawa ngakak.

"Bagaimana aku tahu siapa diriku? Dewa tidak tahu... Orang lain tidak ada yang tahu... Aku ini seekor siluman, hanya sayang belum jadi!" Umbara ngoceh.

"Kau bukan siluman!" bentak Wintara.

"Tidak! Aku siluman! Aku ingin jadi siluman!" Umbara Komang tidak kalah membentak.

Wintara geram. Tinjunya melayang menghantam sebuah batu di bawah kakinya. Batu itu hancur sampai mengeluarkan percikan api. Rumput-rumput kering yang bertebaran di situ ikut terbakar. Wintara menambahkannya dengan ranting kayu. Membuat api itu makin besar bagai api unggun.

*

**

8

Tubuh hitam itu mengejang kejang saat Ki Rondo Mayit membalut luka di sekitar tulang keringnya. Ia sengaja menahan jeritannya agar tidak keluar dari mulutnya. Kalau saja Ki Rondo Mayit tidak menahannya kuat-kuat, mungkin Wadak Keling sudah meronta-ronta.

"Tulang yang patah ini sudah ku sambung, Wadak Keling! Tapi kau jangan banyak berjalan dulu..." pesan Ki Rondo Mayit. Wadak Keling meringis meskipun rasa sakitnya sudah berkurang. Lukalukanya nampak merembeskan darah ke kain pembalut yang melilit di betisnya.

"Soal kaburnya Umbara Komang lupakan saja, ia sudah tidak berarti apa-apa bagi kita... Toh dia sudah gila! Mana mungkin dia bisa menceritakan kegiatan kita di sini!" tutur Ki Rondo Mayit. Wadak Keling mencoba turun dari kursi. Bahkan ia mencoba bangkit berdiri. Sungguh ajaib! Tulang keringnya yang patah sudah tidak terasa apa-apa.

Ki Rondo Mayit meninggalkan Wadak Keling yang masih mencoba melangkahkan kakinya dengan berjalan-jalan di sekitar ruangan itu. Lelaki berambut putih kusut itu tersenyum menatap sosok tubuh yang terlentang telanjang dada di atas balai. Laku-laki itu melangkah mendekatinya. Tubuh yang terlentang itu masih berlumuran cairan berwarna hijau. Nafasnya teratur naik turun. Dua kelopak matanya nampak bergetar.

Perlahan sekali ia membuka matanya. Samarsamar ia melihat sosok tubuh berambut putih kusut berdiri di sampingnya. Lama kelamaan sosok tua itu nampak jelas.

"A-a-ayah..." Suaranya keluar pelan dan hampir tidak kedengaran. Ia mencoba bangkit dengan sebelah telapak tangannya memegangi tenggorokan yang terbalut terasa sakit. Lelaki berambut putih kusut itu langsung membantu tubuh anaknya duduk bersandar pada dinding batu di atas balai. "A-ayah "

"Aku masih mendengar suaramu, Bala Tlenges...! Maafkan ayah, Nak! Bukan maksud ayah menyuruh mereka menganiaya dirimu!" kata Ki Rondo Mayit sambil menunjuk ke arah dua buah peti yang bersandar pada dinding batu. Mata Bala Tlenges menatap ke situ. Melihat dua sosok tubuh pucat biru berdiri seakan tidur. Bala Tlenges langsung melompat dari atas balai. Langkahnya yang cepat meluruk ke situ dengan kedua lengan yang siap menghantam. Ki Rondo Mayit cepat pula menyambar tubuh yang berlumuran cairan hijau... 

"Sabar, Bala Tlenges...! Semua memang salahku! Tapi ini terjadi di luar perkiraan! Mereka cuma mayat-mayat. Kau hancurkan dia tak akan melawan !

Sabarlah dan tahan emosi mu, Bala Tlenges!" Ki Rondo Mayit merangkul tubuh Bala Tlenges. Bala Tlenges tak dapat bergerak lagi. Nafasnya kian memburu menahan amarah yang meluap-luap setelah melihat kedua sosok yang telah melukai dirinya. Namun dua sosok tubuh itu tetap diam berdiri dalam dua buah peti.

"Mereka tak dapat berbuat sesuatu tanpa ayah mengendalikannya! Dan aku tidak mengira kalau kau ada di perkampungan kecil itu sewaktu mencoba mereka...!" Bala Tlenges masih menatap garang ke arah dua sosok dalam peti. Ingin rasanya ia menghancur lumatkan tubuh mereka. Tapi amarahnya cepat mereda setelah sang ayah menjelaskannya.

"Luka-lukamu akan segera sembuh! Dan tak lama lagi kita akan menguasai tanah Rogojembangan ini! Percayalah, kedua mayat itu pasti dapat membantu banyak." Bala Tlenges masih ingat akan kehebatan kedua mayat hidup itu sewaktu ia menghadapinya di sebuah perkampungan terpencil. Tindakan kedua mayat itu lebih keji dari apa yang pernah dilakukannya. Bahkan lebih dahsyat! Mereka tidak pandang bulu dalam membunuh. Betul-betul berdarah dingin.

"Untuk menguasai tanah Rogojembangan ini, kita harus memusnahkan dahulu Raden Mas Kinanjar Swantaka. Dia satu-satunya orang sangat berpengaruh dan memiliki banyak anak buah yang berilmu tinggi... Itulah sebabnya aku memilih mereka, kedua mayat hidup itu untuk membantumu "

"Bagaimana aku bisa menguasai mereka, Ayah!" Bala Tlenges mulai tertarik dengan ucapan Ki Rondo Mayit.

"Untuk menguasainya kau tak mungkin bisa. Aku yang mengendalikannya dan sini... Tapi kau tak usah khawatir akan mereka. Mereka tidak akan mengulangi perbuatannya, karena ajian anti pati mayit telah meresap ke dalam tubuhmu. Bahkan kau akan lebih cepat menjatuhkan orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka." jawab Ki Rondo Mayit.

"Mengapa ayah memilih kedua mayat yang hampir busuk itu? Apakah tidak ada manusia biasa yang berilmu tinggi untuk membantu kita?" "Di tanah Rogojembangan ini mana ada orangorang berilmu tinggi dari golongan hitam. Kecuali kita...! Untuk itulah aku memilih kalian berempat menjadi Jago-jago Rogojembangan, termasuk Wadak Keling dan kedua mayat itu. Kalian berempat harus bersatu menghancurkan kekuatan Raden Mas Kinanjar Swantaka!"

"Aku berjanji, Ayah...! Kita harus menjadi penguasa Rogojembangan!" kata Bala Tlenges penuh semangat. Wadak Keling sudah berdiri dekat mereka. Wajah hitamnya menyeringai menakutkan membuat Bala Tlenges tambah semangat!

"Untuk sekarang ini kalian tidak perlu keluar! Suasana masih kacau. Aku yakin kematian tiga orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka pasti menggemparkan pesanggrahan! Beliau pasti mengerahkan orang-orangnya untuk mencari pembunuh mereka. Dalam hal ini sudah tentu Bala Tlenges menjadi kambing hitam. Karena sebelumnya kau memang seorang pengacau yang selalu membunuh!"

"Itu lebih bagus! Biar mereka semua mencari aku. Memang dari dulu aku bersumpah akan membasuh kedua lenganku ini dengan darah mereka!" kata Bala Tlenges.

"Ha-ha-ha-ha... Bagus! Bagus! Kau memang anakku. Dalam bertindak memang harus demikian! Jangan tanggung-tanggung! ujar Ki Rondo Mayit.

Ki Rondo Mayit melangkah ke samping meja. Lalu ia membereskan peralatannya yang berantakan. Dua buah pendupaan dibiarkan berada di tengahtengah meja. Begitu juga dengan dua buah boneka dari sabut kelapa. Keduanya tergeletak masing-masing di depan pendupaan itu. Selembar batang anak lidi ikut tergeletak di samping meja. Bala Tlenges maupun Wadak Keling sudah tidak heran lagi dengan isi yang ada di atas meja. Semuanya itu memang peralatan milik Ki Rondo Mayit. Dan mereka tidak berani menyentuhnya meskipun dengan maksud untuk membereskan atau membersihkannya dari debu dan sarang laba-laba yang menyelubungi semua peralatan itu.

Lagi pula Ki Rondo Mayit tidak pernah menyuruhnya. Bahkan tidak ingin sama sekali benda-benda miliknya disentuh orang. Sekalipun oleh Bala Tlenges anaknya. Untuk Wadak Keling, ia jarang memasuki ruangan itu kalau bukan diperintah atau dipanggil. Kalau bukan karena luka tidak mungkin Wadak Keling akan berada lama dalam ruangan khusus Ki Rondo Mayit. Seperti halnya siang itu.

Ruangan itu kembali sepi saat Wadak Keling meninggalkan ruangan itu, Ki Rondo Mayit masih sibuk membenahi mejanya. Bala Tlenges kembali naik ke atas balai. Ia tidak lagi tidur terlentang tapi duduk bersila. Tubuhnya masih berlumuran cairan hijau yang mulai menghilang terhapus oleh keringat. Tenggorokannya yang robek telah terbalut dengan sobekan kain usang. Darah merah masih merembes dari situ. Tapi ia tidak merasakan sakit sama sekali. Kedua lengannya yang juga dilumuri cairan hijau bergerak-gerak memutar bergantian. Menarik nafas dalam-dalam kemudian dihembuskan perlahan. Begitu seterusnya berulangulang.

"Sungguh cerdik! Dengan mengatur nafas, luka-lukamu akan cepat pulih!" kata Ki Rondo Mayit setelah merapikan meja kerjanya. Lalu ia melangkah mendekati Bala Tlenges. Ia pun naik ke atas balai dan duduk bersila di belakang anaknya yang mengatur pernafasannya. "Kalau saja kau tidak memakai ikat pinggangmu, kau sudah tewas, Anakku...!" bisik Ki Rondo Mayit perlahan sambil menjulurkan kedua telapak tangannya ke punggung Bala Tlenges. Terasa sekali kedua telapak tangan itu panas ketika menyentuh punggungnya.

"Tahan. Tenaga dalammu akan ku jernihkan..." bisiknya lagi. Bala Tlenges menganggukkan kepala. Namun bibirnya menyeringai menahan sakit yang luar biasa. Keduanya sama-sama duduk bersila tak bergerak. Rambut putih kusut Ki Rondo mengeluarkan asap hitam mengepul ke atas, Penyaluran tenaga dalam terus berlangsung. Tubuh Bala Tlenges mengucurkan keringat yang begitu deras membuat cairan hijau itu luntur di tubuhnya.

Ada sesuatu yang membuat Ki Rondo Mayit berlega hati. Semula ia menduga Bala Tlenges anaknya akan cacat bisu atau tidak dapat mengeluarkan suara karena tenggorokannya robek. Tapi ternyata tidak. Mungkin karena balutan di lehernya yang menyumbat luka robekan itu. Namun Ki Rondo Mayit tetap menyesali akibat ulahnya yang di luar perkiraannya. Kalau saja Bala Tlenges tidak ada di kampung terpencil itu, tidak akan terjadi hal yang seperti ini.

*

**

9

Lolongan serigala di atas bukit membuat dua orang peronda malam berhenti berbicara. Keduanya saling pandang menunjukkan rasa ngeri. Suara jangkrik ikut pula membisingkan suasana malam itu. Bulan yang bersinar penuh, mengambang di balik bukit di mana di atasnya bertengger beberapa ekor serigala yang melolongkan suara panjang mengerikan.

Udara berhembus makin dingin menyengat kulit. Dan saat serigala-serigala itu melolong kembali, bulu kuduk mereka berdiri. Salah seorang dari mereka membetulkan kain sarung yang menutupi tubuhnya sebagai penahan dingin. Satu lagi mengeluarkan sebungkus daun bakau. Setelah melinting daun bakau itu, ia menyulutnya.

Tanpa ditawari orang yang berkerudung kain sarung itu menyambar bungkusan daun bakau yang tergeletak di atas balai. Ia pun melakukan hal yang sama seperti temannya.

Rumah-rumah penduduk nampak sunyi di terangi pelita yang berkelap kelip sejak sore tadi. Sesekali terdengar pula tangisan bayi yang terjaga dari tidurnya. Sesaat kemudian tangisan itu lenyap. Dan suasana kampung itu kembali sunyi.

"Jun, kau lihat serigala-serigala di atas bukit sana? Aneh ya! Biasanya kalau terang bulan begini mereka tidak menampakkan diri... Paling-paling hanya terdengar lolongannya saja." kata salah seorang peronda itu.

"Entahlah! Mungkin mereka kelaparan... Hatihati saja terhadap hewan peliharaan kita. Kalau sampai mereka menyerbu ke sini repot!"

"Jangan takut, Jun... Semua serigala takut terhadap api..." Orang itu melangkah ke arah api unggun yang meletup-letup di samping gubuk ronda. Ia menambahkan beberapa batang ranting. Api itu menyala bertambah besar menerangi sekitar gubuk.

"Sekalian kau bakar ini, Pri... Dari tadi perutku keroncongan." kata orang yang berkerudung kain sarung sambil melemparkan beberapa penggal singkong yang masih mentah berlapis tanah. Orang yang berada di dekat api unggun langsung memasukkan singkongsingkong itu ke dalam bara api. "Kau dengar berita tadi pagi? Apa betul Raden Mas Kinanjar Swantaka akan membangun pertahanan darurat di kampung ini?"

"Itukan baru rencana! Mana mau Raden Mas Kinanjar Swantaka berdiam di desa kotor seperti ini. Enakan juga di pesanggrahan!"

"Bisa aja, Jun! Raden Mas Kinanjar Swantaka itu masih bujangan! Siapa tahu ia akan mengambil salah satu kembang di kampung ini. Di sinikan banyak gadis-gadis cantik."

"Sttt, Pri... Ada orang!" Sesaat percakapan mereka berhenti... Lolongan serigala terdengar lagi. Kali ini saling bersahutan. Orang yang berada dekat api unggun memicingkan mata memandang jauh ke arah jalanan. Nampak jelas empat sosok berjalan beriringan menyusuri jalan itu. Keempatnya berjalan tenang diterangi sinar rembulan. Hanya saja wajah mereka tidak nampak jelas.

"Siapa mereka?" bisik orang yang dekat api unggun mulai berdiri mengawasi keempat orang itu. Orang yang duduk di dalam gubuk ronda mengangkat bahu. Ia pun ikut menatap empat orang yang berjalan makin dekat ke arah mereka. Mereka mencium udara berbau busuk.

Dua orang peronda berdiri menanti kedatangan mereka. Bau busuk makin menyengat ketika keempat orang itu berjalan makin dekat ke arah kedua peronda. Keduanya sempat terbelalak saat jarak mereka dalam beberapa tombak. Keempat orang itu menatap liar bagai serigala-serigala liar. Dua dari keempat orang itu melangkah ke depan dengan kaku. Maka wajah yang amat menyeramkan itu nampak jelas terlihat. Api unggun menerangi mereka.

Para peronda malam itu tidak sempat berbalik mundur. Dua sosok menyeramkan lebih dulu menerjang. Kuku-kukunya yang runcing bagai mata jarum mencengkeram erat di tenggorokan mereka. Mereka pun menjerit-jerit sambil berusaha beronta dari terkaman sosok yang menyebarkan bau busuk. Jeritan mereka terhenti saat gigi-gigi hitam mengoyak robek perut.

Lolong serigala meraung mengerikan mengisi kesunyian malam itu. Lingkaran bulan yang mengambang di balik bukit mendadak gelap tertutup awan hitam yang bergumpal. Sinar terang api unggun menerangi dua sosok menyeramkan melahap dengan rakus isi dari perut yang terkoyak itu. Manakala dua sosok tubuh lain tetap berdiri menyaksikan dengan puas. Mereka tidak lain Bala Tlenges dan Wadak Keling!

"Suiiiiiit" Wadak Keling memberi aba-aba dengan siulan nyaring. Tubuhnya yang berkulit sangat hitam hampir tidak kelihatan. Bala Tlenges melangkah meninggalkan mereka. Wadak Keling menyusul. Begitu juga dengan kedua mayat hidup yang setelah mendengar siulan nyaring meninggalkan dua sosok tubuh yang terkapar dengan mata melotot. Keduanya melompat-lompat menyusul langkah-langkah Bala Tlenges dan Wadak Keling berjalan di depan.

*

**

Raden Mas Kinanjar Swantaka memijit-mijit keningnya. Beberapa orang yang dalam tenda itu memperhatikan. Tidak satu pun di antara orang-orang itu berani mengeluarkan suara. Rata-rata mereka semua menundukkan kepala. Raden Mas Kinanjar Swantaka menghela nafas. Lalu ia bangkit berdiri. Langkahnya yang cepat membawa dirinya ke luar dari tenda.

Di luar tenda nampak puluhan orang tengah mendirikan pagar dari bambu yang mengelilingi lapangan luas. Nampaknya hampir selesai. Pintu pagar yang setinggi tiga tombak mulai dipasang. Raden Mas Kinanjar Swantaka melirik ke tenda, lalu....

"Kalian ke mari semua!" Maka orang-orang yang berada di dalam tenda ke luar semua. Mereka berdiri berderet di belakang Raden Mas Kinanjar Swantaka. Mereka berjumlah delapan orang. Dua di antaranya wanita kembar.

"Berpencar menjadi empat bagian dan cari sampai dapat Bala Tlenges!" ujar Raden Mas Kinanjar Swantaka. Kemudian ia berbalik menghadapi mereka.

"Hamba rasa kematian dua orang peronda pada malam itu bukan dilakukan oleh Bala Tlenges. Hamba mendengar selentingan dari penduduk setempat, bahwa pada malam itu berdatangan segerombolan serigala dari bukit tandus." kata salah seorang dari wanita kembar yang berderet pada deretan ketiga.

"Jadi kalian berpendapat kedua peronda itu diserang oleh serombongan srigala? Begitu...? Kalau memang serigala yang menyerang mereka. Kedua peronda malam sudah tinggal tulang belulang ! Apa ka-

lian masih ingat bagaimana keadaan mayat ketiga teman kalian? Mogeni Kalpa? Dan dua orang teman kalian lainnya    Luka-luka mereka sama! Pada leher me-

reka terdapat cakaran-cakaran yang merobek kulit tenggorokan!"

Kedelapan orang itu diam. Kata-kata Ra-den Mas Kinanjar Swantaka memang masuk akal. Yang jadi pertanyaan pada diri mereka, mengapa Bala Tlenges jadi demikian sadisnya? Sebelumnya ia memang sering membantai orang-orang kampung juga orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tapi Bala Tlenges tidak pernah melakukan hal yang tidak wajar! Mogeni Kalpa bersama dua orang sahabatnya tergolong orang paling tinggi ilmunya. Mereka masih saja bisa tewas secara keji di tangan Bala Tlenges.

"Aku cukup menghargai pendapat kalian. Tapi aku lebih menghargai lagi bila bisa membagi tugas dan dapat menyeret ke mari Bala Tlenges hidup-hidup atau mati!"

"Kalau begitu kami 'Cambuk Seriti Kembar' Akan melacak ke Utara!" kata wanita kembar sembari mengacungkan cambuknya yang melingkar bagai ular...

"Siapa pun yang ikut denganku terserah!

Aku Langkung Daro mengambil jalan ke Timur!" kata lelaki yang bersenjatakan sederetan pisaupisau kecil menyerong di dadanya.

"Menurut hematku, Tangan Besi akan melangkah ke Tenggara! Siapa yang mau ikut denganku, Bala Tlenges bakal hancur kepalanya!" Orang yang berdiri paling ujung menunjukkan tinjunya tak mau kalah.

"Aku yang hanya mengandalkan gelang-gelang ini, tak punya pilihan... Akan ku lacak ke mana pun sampai Bala Tlenges ku dapat!" Gelang-gelang bergemerincingan di kedua lengan lelaki bertubuh kekar telanjang dada. Raden Mas Kinanjar Swantaka mengamati kedelapan orang yang berdiri berderet di hadapannya. Lalu pandangannya beralih kepada puluhan orang yang tengah menyelesaikan pagar benteng melingkar tanah lapangan itu.

"Aku beri waktu tiga hari... Berhasil atau tidak, kalian harus kembali ke sini. Aku tidak ingin gagal seperti Mogeni Kalpa yang terlalu ceroboh."

Tanpa diperintah kapan mereka harus berangkat, kedelapan orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka berpencar menjadi empat bagian. Sebelum mereka mengambil kuda-kuda yang ditambatkan di kandang, mereka menunjukkan sikap hormat terhadap lelaki yang cukup berpengaruh itu. Lalu duadua mereka berjalan ke kandang memilih kuda. Seriti Kembar yang bersenjatakan cambuk telah mendapatkan kuda pilihannya. Dan mereka berangkat lebih dulu.

*

* *

10

Daerah yang dilalui wanita kembar itu menuju ke perkampungan. Namun sebelum mencapai perkampungan tersebut mereka harus menembus hutan yang sangat lebat. Hutan itu membatasi tanah lapangan di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka membuat daerah pertahanan bersama puluhan orang prajuritnya. Mereka sempat pula menoleh ke belakang saat menembus hutan. Yang mereka lihat hanyalah sederetan pagar bambu yang sangat tinggi memanjang di seputar tamah lapang. Setelah menghela kuda-kudanya mereka hilang ditelan kegelapan dalamnya hutan.

Yang terdengar dari luar hanyalah geletargeletar cambuk menghela laju kudanya. Bersamaan dengan itu menyusul lagi beberapa orang menunggangi kuda. Sebelum beberapa orang itu menembus hutan, mereka berpisah dua-dua. Langkung Daro bersama seorang temannya menuju ke arah Timur, Tangan Besi pun berangkat berdua menerobos hutan mengambil jalan ke Tenggara. Yang paling terakhir, seorang lelaki bersenjatakan gelang-gelang di kedua lengannya. Ia pun bersama seorang teman. Mereka berdua menunggangi kudanya perlahan.

Raden Mas Kinanjar Swantaka memandangi mereka dari kejauhan. Ia belum beranjak saat orangorang pilihannya hilang dari pandangan mata. Pikirannya masih membayang pada kedelapan wajah orang-orang pilihannya. Ia berharap sekali kedelapan orang itu berhasil menyeret Bala Tlenges ke bawah kakinya. Yang akan menjatuhkan hukuman mati atas perbuatan terkutuk itu. Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah masuk ke dalam benteng pertahanan. Puluhan prajurit masih sibuk dengan pekerjaannya.

Dua wanita kembar mencambuki kudanya kuat-kuat, maka kuda-kuda mereka berlari kencang menerobos lebatnya semak dan pohon-pohon besar. Cara mengemudikan kuda mereka memang aneh! Padahal kuda-kuda itu cukup dengan dihela saja sudah dapat berlari kencang. Tapi mereka selalu mencambuki. Kuda-kuda itu terus meringkik walaupun berlari kencang.

Sesekali juga mereka menemukan beberapa gubuk terpencil dalam hutan itu. Tapi mereka tidak perduli. Sekalipun beberapa penghuninya nampak keluar gubuk memperhatikan mereka. Setelah melewati gubuk-gubuk itu, barulah mereka menemukan jalan yang melintas keluar dari hutan. Dengan melintasi jalan itu mereka tidak lagi mendapatkan halanganhalangan seperti dalam hutan tadi. Mereka menyusuri jalan itu terus. Udara segar pun mulai berhembus menerpa kulit mereka.

Dari kejauhan mereka sudah melihat titik-titik berwarna warni rumah para penduduk. Rumah-rumah penduduk nampak berderet. Membentuk suatu perkampungan. Selama melintasi jalan itu mereka sering berpapasan dengan orang-orang yang menuju ke desa tersebut. Kebanyakan dari orang-orang yang mereka jumpai para pedagang. Sudah tentu mereka berdua akan singgah di situ. Mengingat hari hampir gelap, mungkin juga mereka akan mencari tempat penginapan.

"Seriti Wuni, kita tidak mungkin dapat meneruskan perjalanan. Aku rasa di desa itu ada tempat untuk kita bermalam... Paling tidak sebuah penginapan tentunya...!"

"Aku ini tidak gila, Seriti Kuni. Aku pun sudah merasa lelah sejak tadi... Aku lapar sekali..." Wanita yang satu ini memacu kudanya lebih cepat. Kembarannya mengikuti. Asap debu mengepul saat kudakuda mereka saling susul menyusul. Keduanya tertawa cekikikan. Ketika mereka mendekati mulut desa. Kuda-kuda mereka berjalan perlahan beriringan. Desa itu nampak ramai, tiap-tiap di depan rumah selalu ada orang yang tengah duduk-duduk berbincang. Tidak segan-segan lagi kedua wanita kembar itu memasuki desa tersebut.

*

**

Anak muda yang mengenakan pakaian bulu binatang ini merasa risih saat semua mata memandang ke arahnya. Di antara mereka ada juga yang menertawakannya. Tapi Wintara tetap acuh. Tidak perduli dengan orang-orang yang memandang lucu ke arahnya. Wintara sendiri merasa kalau orang-orang itu bukan menertawakan dirinya.

Tapi tertuju pada lelaki yang berjalan di sebelahnya. Lelaki itu memang bertingkah aneh. Ia selalu menunjuk-nunjuk setiap orang yang dijumpainya. Wintara sudah melarang, namun lelaki itu tetap saja bertingkah aneh.

Sudah jelas orang-orang itu menganggap lelaki yang berjalan bersama Wintara lelaki berpenyakit sarap! Wintara yang berjalan di sebelahnya sempat tertawa melihat cara berjalan sahabatnya.

"Dewa... Hati-hati di sini banyak siluman berkeliaran! Aku khawatir mereka akan menyerang kita...!" Umbara Komang bertingkah bagai seorang pendekar yang sedang waspada.

"Mereka bukan siluman, sobat. Mereka cuma manusia seperti kita! Bersikaplah yang wajar... Coba lihat! Sedari tadi mereka memperhatikan kamu." jawab Wintara. Umbara Komang cemberut. Sepertinya ia tidak senang dengan ucapan Wintara.

"Apa? Mereka memperhatikan aku... Wuaaah! Jangan-jangan mereka mau menerkam aku...! Hiiiiy! Pasti mereka mata-mata siluman hitam!" Umbara Komang memeluk tubuh Wintara.

"Tenang... Mereka tidak akan berbuat apa-apa!" kata Wintara sambil melangkah ke arah sebuah pohon besar yang ada di sudut desa. Pohon itu cukup rindang untuk berteduh. Setibanya pada pohon itu Wintara langsung duduk. Umbara Komang berdiri mengawasi rumah-rumah yang berderet di hadapannya.

"Duduklah di sini, sobat... Kita tidak pantas memasuki rumah-rumah penginapan itu! Tempat kita cukup di sini... Mudah-mudahan saja tidak turun hujan." kata Wintara lagi sambil menarik lengan Umbara Komang sampai terjatuh duduk di sampingnya. mata Umbara Komang masih tertuju pada beberapa rumah penginapan yang nampak ramai dikunjungi orang.

"Sssst! Aku yakin yang berderet di depan sana pasti istana para siluman! Lihat, para siluman jahat mulai berdatangan. Aku akan ke sana!" Umbara Komang bangkit berdiri, tapi Wintara cepat menahannya.

"Diamlah di sini, sobat   Di sana bukan tempat

kita!" Wintara menarik kembali lengan Umbara Komang. Ia melotot! Dan duduk kembali di samping Wintara.

"Kenapa tidak boleh ke sana? Dewa bilang mereka sama dengan kita! Kalau mereka siluman, aku juga siluman! Atau aku yang bukan siluman!" kata Umbara Komang nyerocos.

"Kenapa semua orang tidak mengakui kalau diriku ini siluman... Dewa pun begitu! Tidak mengakui... Oh! Kalau saja aku siluman, aku bisa membalas dendam terhadap siluman hitam yang selama ini menyiksa hidupku..." Umbara Komang mengeluh dengan wajah yang sangat memelas. Wintara makin risi manakala semua orang menertawainya. Wintara tetap bersikap acuh dan bersandar pada batang pohon besar itu. Umbara Komang menangis tersedu-sedu di sebelahnya. Wintara jadi kesal.

"Baiklah kuakui bahwa kau siluman...!" kata Wintara sambil memalingkan muka.

"Apa?" Pendengaran Umbara Komang tidak je-

las.

"Kau siluman!" Wintara membentak. Orang-

orang yang mendengar bentakan Wintara tertawa terpingkal-pingkal. Wintara jadi malu.

"Benarkah aku siluman...? Benarkah...?" Tibatiba saja tubuh Umbara Komang melesat ke atas. Gerakannya cepat sekali. Wintara tersentak kaget. Ia tidak sempat lagi menahan lesatan tubuh Umbara Komang yang begitu cepat. Orang-orang yang berada di situ pun berhenti tertawa saat sebelah lengan Umbara Komang menghantam cabang pohon yang cukup besar. Cabang pohon itu berderak patah dan jatuh ke bawah bakal menimpa atap sebuah rumah yang berada di bawahnya. Tubuh Umbara Komang jatuh lagi ke tanah bagaikan daun kering. Wintara malah melesat ke atas menyambar cabang pohon yang patah itu. Atap rumah yang di duga pasti hancur tertimpa, sama sekali utuh.

Semua orang berdecak kagum melihat kehebatan Wintara menyambar cabang pohon yang hampir menghancurkan atap rumah. Sebelumnya orang-orang itu memekik ngeri, karena di bawah atap itu nampak beberapa anak kecil yang sedang bermain. Wintara melemparkan cabang pohon itu ke tempat yang kosong. Umbara Komang bersikap tenang.

"Hampir saja kau membunuh anak-anak kecil, Siluman tolol!" Wintara memaki.

"Mereka bukan apa-apa, Dewa... Mereka memang harus dimusnahkan sejak kecil! Nanti setelah besar, bisa menghirup darah kita...! Sekarang aku tidak khawatir lagi! Aku siluman yang hebat, lihat ini... Hreaaaaaaa!" Umbara Komang melesat lagi, langkahnya cepat menuju batang pohon. Lalu kedua telapak tangannya mencakar-cakar habis kulit batang pohon itu. Wintara tercengang melihatnya. Tiba-tiba saja Umbara Komang mendadak hebat. Kenapa kehebatannya itu selalu datang di saat-saat tertentu? Apalagi keadaannya yang demikian parah. Memiliki ilmu yang demikian akan berbahaya bila tak terkendali, Wintara tidak habis pikir. Ia masih melihat ilmu cakaran Umbara Komang yang menguliti habis kulit luar pohon itu.

Pastilah pada dasarnya lelaki berpenyakit saraf itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Wintara datang menghampiri menahan gerakan-gerakan Umbara Komang. Terhadap Wintara, Umbara Komang cukup patuh. Ia berhenti mencakar-cakar.

"Siluman hitam akan sama seperti ini... Lihat saja nanti! Jangan menatap begitu, Dewa... Percayalah! Aku siluman baik. Mereka juga siluman baik, kan?" Umbara Komang nyengir.

*

* *

11

Orang-orang yang berada di desa itu tidak menyangka kalau kedua orang yang mereka tertawakan ternyata memiliki ilmu demikian hebatnya. Sekarang mereka tidak menertawakan lagi, kini mereka cukup salut akan kehebatan kedua pendatang baru itu. Hanya sayang seorang di antara kedua manusia itu ada yang tak waras.

Peristiwa yang sangat mengagumkan itu tidak hanya diketahui oleh orang-orang yang berada di luar. Para pendatang yang berada di warung-warung maupun di ruangan teras penginapan juga sempat menyaksikan kehebatan yang sangat luar biasa itu. Bahkan di antara mereka banyak yang keluar untuk melihat lebih jelas siapa kedua manusia yang berbeda watak di luar sana.

"Haaaait!" Tiba-tiba saja serentetan teriakan menggelegar. Bersamaan dengan itu dua sosok tubuh ramping beterbangan melesat di udara. Setelah berputar salto di udara kedua sosok ramping itu hinggap di hadapan Wintara dan Umbara Komang. Wintara yang berdiri tenang menatap mereka yang berwajah serupa. Wanita kembar! Umbara Komang sendiri yang tidak waras merasa heran. Dan kebingungan melihat kehadiran mereka yang begitu mendadak muncul. Umbara Komang melangkah ke hadapan Wintara menghadapi kedua wanita kembar itu.

"Hati-hati, Dewa! Siluman kembar sangat berbahaya dan berbisa! Hati-hati terhadap ular-ularnya!" ujar Umbara Komang menatap dua gulung cemeti di tangan mereka masing-masing. Wanita kembar itu menatap garang.

"Kalau siluman kembar itu berani bertingkah di hadapanku, biar ku cabik-cabik tubuhnya bagai pohon itu." kata Umbara Komang dengan sikap yang acuh menatap langit. Sudah tentu kedua wanita kembar ini merasa tersinggung. Mereka nampak menyiapkan cambuk-cambuknya. Sebelum mereka bereaksi, Wintara mengeluarkan suara.

"Sabar, Nona-nona... Sabar... Harap di maklumi saja ucapan sahabat saya yang rada tidak beres itu. Semua orang pun tahu, dia itu berpenyakit saraf." ujar Wintara menenangkan suasana. Tapi kedua wanita kembar ini tidak mau mengerti.

"Maksudmu dia itu gila? Huh, siapa yang percaya dengan ocehanmu, Anak muda! Kalau dia gila mana mungkin memiliki ilmu yang demikian hebat. Kau lihat sendiri, keparat itu hampir membunuh beberapa anak kecil!" Salah seorang dari wanita kembar itu mendorong tubuh Wintara. Wintara terhuyung beberapa langkah ke belakang. Melihat itu Umbara Komang tidak tinggal diam. Mendadak saja tubuhnya maju melancarkan serangan. Pukulannya menghantam lengan wanita itu yang mendorong Wintara... "Plaaak!"

"Siluman kembar tak tahu penyakit! Berani kau menyentuh dewa... Rasakan ini!" Umbara Komang menyerang lagi. Tapi wanita itu cepat menyambut dengan cambuknya... "Cletaaar!" Cambuk itu melilit di lengan Umbara Komang. Seorang kembarannya datang membantu. Ia pun menggunakan cambuknya. Tapi sebelum ujung cambuk itu menghantam tubuh Umbara Komang, Wintara melompat menyambar ujung cambuk yang berbandul besi dengan tendangannya...

"Deeees!"

Ujung cambuk yang berbandul besi itu berbalik dan hampir mengenai kepala wanita itu. Untung saja ia cepat merunduk dan menangkap mata cambuk. Umbara Komang masih tetap berdiri dengan sebelah lengan terbelit cambuk salah seorang wanita kembar. Keduanya saling tarik. Wintara melangkah ke situ berdiri di antara mereka. Tapi wanita kembarannya itu masih terus melancarkan cambuknya...

"Cletaaar!" Cambuk itu kini membelit di tubuh Wintara. Baju bulu binatangnya sampai mengepul, rasa sakitnya pun bukan main. Wintara sengaja tidak membalas. Ia hanya menoleh sebentar. Lalu....

"Kita hanya salah paham, Nona...! Semua yang dilakukan olehnya di luar kesadarannya. Sekalipun dia berilmu tinggi, ada perduli apa dengan kalian?" kata Wintara tenang.

"Kami adalah orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Kami cenderung kalian adalah musuh-musuhnya.   Pasti kalian juga yang membantai

habis teman-teman kami!" kata wanita tadi menarik cambuknya dari lengan Umbara Komang. Kini tubuhnya melesat ke atas sambil tangannya menarik kuat cambuk itu. Tubuh Umbara Komang ikut melesat ke atas mengimbangi. Wintara yang pinggangnya terbelit cambuk sempat melihat keduanya siap melancarkan serangan. Maka ia pun segera melompat ke atas. Sebelum Umbara Komang dan wanita itu saling melancarkan serangan, dalam keadaan melompat ke atas Wintara menghantam mereka...

"Des...! Des!" Keduanya berjatuhan di tanah. Tapi Wintara tidak sempat menghindari serangan yang dilancarkan oleh perempuan yang membelitkan cambuknya... "Bug!" Punggung Wintara berdenyut. Hampir saja ia tersungkur.

Dua wanita kembar itu maju berbareng menyerang Umbara Komang yang sudah bangkit. Lalu Umbara Komang bergulingan menghindari sambaransambaran cambuk mereka...

"Cletaaar...! Cletaaaar...! Cletaaar!" Melihat itu Wintara cepat bertindak, sekali hentak kedua kakinya melayang ke atas. Lalu kedua tangannya tahu-tahu menangkapi semua cambuk-cambuk mereka. Kedua perempuan kembar itu pun tersentak.

"Sabarlah, Nona... Apa maksud kalian menuduh kami yang bukan-bukan! Aku memang pernah mendengar nama Raden Mas Kinanjar Swantaka dari ketiga orang yang pernah kujumpai di perjalanan. Sayang mereka telah tewas semua... Akulah yang menaikkan mayat-mayat mereka ke atas kuda. Salah satunya dengan kepala putus. Tapi mengenai siapa pembunuhnya aku sendiri tidak tahu...." kata Wintara sambil melepaskan cambuk-cambuk itu. Dengan sekali tarik cambuk-cambuk itu sudah bergulung di tangan mereka.

"Bagaimana pun kami tidak mempercayai katakatamu, Anak muda! Aku sendiri sudah melihat ilmu cakaran si bangsat gila itu! Semua mayat-mayat yang kami temukan dipenuhi dengan luka-luka cakaran pada tenggorokan mereka! Apa lagi yang mau dipungkiri...?" ujar salah seorang wanita kembar itu.

"Siapa lagi kalau bukan dia pelakunya...!" jawab yang satunya.

"Jangan asal tuduh dulu... Aku pernah dengar selentingan bahwa orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka tengah mencari-cari seorang buronan. Apakah betul demikian?"

"Betul! Dari mana kau tahu?" jawab wanita kembar itu serempak.

"Soal dari mana selentingan itu kalian tidak perlu tahu! Jawab dulu pertanyaanku. Apakah kalian kenal betul dengan buronan itu?" tanya Wintara mantap.

"Sekalipun ia telah menjadi abu, aku dapat mengenali bangsat itu!" jawab wanita kembar itu sengit. Wintara tersenyum. Lalu...

"Kalian perhatikan baik-baik! Apakah wajah buronan itu mirip dengan sahabatku ini?" Wintara menunjuk ke arah Umbara Komang yang berdiri sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kedua wanita kembar itu saling pandang. Jelas bukan! Yang mereka cari adalah Bala Tlenges! Bukan seorang yang berpenyakit gila seperti Umbara Komang. Keduanya diam.

"Selama ini dia selalu bersamaku, kalau tadi dia mencakar-cakar batang pohon, itu karena emosinya melonjak ke luar, dia sangat senang kalau dirinya disebut siluman. Jangan marah dulu. Aku pun tidak tahu dia gila karena apa... Anehnya, semua yang di lihatnya dianggap siluman..." Wintara menjelaskan.

"Bubar...! Bubar! Kalian semua siluman tengik! Aku siluman baik jangan sampai meruntuhkan langit! Atau bumi yang kalian pijak akan belah!" Tiba-tiba saja Umbara Komang berteriak-teriak mengusir orangorang yang memperhatikan mereka, maka orang-orang itu pun segera berlarian menghindari.

"Siluman! Kembali ke sini...!" Wintara membentak. Umbara Komang merungkut, ia takut menatap Wintara. Tapi ia tetap saja melangkah mendekat. Ia bergidik saat melihat dua gulungan cambuk yang masih dikiranya dua ekor ular. Kedua wanita kembar itu tidak segarang tadi. Namun mereka masih menunjukkan sikap angkuh.

"Kalau semua orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka diturunkan, berarti persoalan ini tidak sepele... Bahkan mungkin juga jiwa Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri pasti terancam. Aku punya usul... Bagaimana kalau kami berdua ikut membantu menangkap buronan itu? Aku harap kalian bersedia...!" Wintara menawarkan diri. Umbara Komang menatap salah seorang wanita kembar itu. Tapi setelah mereka saling tatap. Umbara Komang menunduk sambil nyengir.

"Kau pikir mudah untuk menjadi orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka? Tidak semudah itu, Anak muda... Boleh-boleh saja kalau mau ikut membantu. Itu lebih bagus tapi kau harus tanggung resikonya! Karena dalam hal ini tanpa sepengetahuan Raden Mas Kinanjar Swantaka!"

"Sekalipun jadi budak kalian, aku bersama sahabatku ini rela! Daripada dituduh sebagai pembunuh!" jawab Wintara sambil merangkul punggung Umbara Komang.

"Siluman baik pantang membunuh siluman baik... Tapi kalau ada siluman jahat, jangan harap bisa lewat di hadapanku." Umbara Komang ikut bicara. Tingkah lakunya masih saja membuat orang tertawa. Gerak geriknya hampir mirip lutung kebakaran buntut.

*

**

12

Bagi Langkung Daro perjalanan ke Timur amatlah menyenangkan. Ia tidak menemukan rintangan apa-apa selama dalam perjalanan. Setelah menerobos hutan belukar Langkung Daro bersama seorang temannya menyeberangi sebuah kali. Arus kali itu cukup deras. Dalam menyeberangi kali itu mereka tidak perlu turun dari kudanya. Mereka sengaja menunggangi kuda-kudanya menyeberangi kali itu. Dan ternyata kali itu memang tidak dalam. Di atas permukaan air banyak menghampar batu-batu yang tidak beraturan besarnya.

Sebentar saja mereka sudah berada di seberang kali. Di situ jarang sekali ditumbuhi rerumputan. Tanah yang menghampar pada dataran itu nampak tandus. Beberapa pohon besar yang telah mengering berdiri menghitam di sana sini. Juga batu-batu besar yang mencuat ke atas nampak membentuk sebuah bukit. Kedua kuda itu berjalan tenang.

Matahari hampir tenggelam menampakkan sinarnya yang kemerahan di balik bukit. Langkung Daro menghentikan langkah kudanya. Temannya yang berjalan menunggangi kudanya beriringan ikut berhenti. Ia baru menyadari kalau tanah yang mereka lewati banyak menghampar tulang belulang berserakan. Sekalipun di antara tulang belulang itu banyak terlihat jelas tulang kerangka manusia. Mereka tidak gentar sedikit pun.

Mereka pun tetap tenang ketika menyeberangi sebuah jembatan kayu yang menghubungkan jurang membentang di hadapan mereka. Meskipun jembatan kayu itu nampak lapuk, tapi cukup kuat untuk mereka mencapai dataran seberang. Dari kejauhan mereka sudah dapat melihat sebuah bangunan yang hampir roboh. Dan sudah dapat dipastikan mereka bakal menuju ke sana Mengingat hari hampir gelap, mereka tidak mungkin meneruskan   perjalanannya. Kemana lagi mereka mencari tempat untuk beristirahat, kalau bukan pada bangunan itu?

Dan mereka cukup lega ketika melihat sebuah pelita menerangi ruangan dalam bangunan itu. Keduanya menambatkan kuda-kudanya di depan bangunan.

"Siapa di luar...! Kaukah Wadak Keling?" Terdengar suara dari dalam ruangan.

"Bukan...! Kami orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka yang bermaksud menumpang bermalam di sini!" jawab Langkung Daro sambil mengikat tali kekang pada sebatang tonggak. Tidak ada jawaban lagi dari dalam. Tiba-tiba lampu pelita yang menerangi ruangan itu padam! Langkung Daro bersama temannya tidak jadi masuk. Mereka berbalik curiga.

"Ki Sanak, bolehkah kami menumpang beristirahat di sini...?" teriak Langkung Daro. Seorang temannya sudah selesai menambatkan kudanya. Ia melangkah masuk ke pintu bangunan.

"Aneh! Tadi terdengar ada suara orang menegur kita... Kenapa ia tidak menyahut, malah ia mematikan pelitanya! Apakah ia tidak suka terhadap orang-orang Raden Mas Kinanjar Swantaka...!" Ia memasuki ke arah ruangan yang gelap itu. Tiba-tiba saja..., "Aaaaaaarght!" Orang yang melangkah masuk mendadak terlempar ke luar. Hampir saja tubuh itu menabrak Langkung Daro yang berdiri tepat di depan pintu. Tapi cepat ia merentangkan kedua lengannya menangkap tubuh yang masih terpental. Orang itu gelagapan, lalu menarik pedangnya dan pinggang....

"Sudah masuk, kenapa keluar lagi?" Terdengar jawaban dari luar. Langkung Daro dan temannya memandang ke arah ruangan gelap itu. Mereka tidak melihat siapa-siapa. Orang yang memegang pedang melangkah masuk. Sebentar saja ia sudah hilang ke dalam kegelapan ruangan. Langkung Daro sengaja menunggu di luar. Kedua lengannya siap-siap menarik pisau-pisau kecil yang berderet di sepanjang dadanya.

"Traaak...! Deeeees...!" Terdengar suara dari ruangan gelap itu. Belum sempat Langkung Daro memburu masuk, sesosok tubuh menabraknya lagi. Keduanya bergulingan di tanah. Langkung Daro cepat bangkit, tapi seorang temannya menggelepar-gelepar di tanah. Pedang dalam genggamannya patah dua. Langkung Daro tersentak kaget melihat temannya kaku diam tak berkutik. Dari mulutnya mengalir darah segar.

Langkung Daro kalap. Ia melemparkan pisaupisau kecil ke dalam ruangan gelap itu... "Zing    Zing!"

Terdengar pula suara orang bergerak-gerak menghindari pisau-pisau kecil yang melesat bagai anak panah. Langkung Daro makin gencar menghujani pisau-pisau kecilnya. Namun ia masih belum berani masuk ke dalam ruangan itu. Gerakan-gerakan orang melompatlompat tambah jelas kedengaran... Dan pada anak pisau yang terakhir... "Zing ! Zing!" Dua belah pisau kecil meluncur deras! Maka... "Arrrrrght!" Terdengar pula sebuah jeritan.

Ruangan itu jadi sepi. Langkung Daro merasakan kebisuan itu, ia pun melangkah perlahan mulai memasuki ruangan itu. Ruangan itu betul-betul gelap. Apalagi suasana di luar, sinar matahari sudah tidak nampak lagi. Matanya nyalang mengawasi sekitar ruangan. 

Darahnya terkesiap ketika tiba-tiba saja lampu pelita menyala dan di hadapannya telah berdiri sosok tubuh dengan rambut putih beruban tak terurus. Wajah itu menyeringai menunjukkan mulutnya terbuka lebar tanpa sebutir gigi. Langkung Daro tidak sempat lagi memekik. Tahu-tahu saja sebuah hantaman keras melanda di tubuhnya sampai terlempar keluar melalui pintu. Sebelum tubuh itu jatuh ke tanah, belasan pisau-pisau kecil menyusul ke arah Langkung Daro. Begitu tubuh Langkung Daro terkapar di tanah ia tidak bergerak lagi.

Sekujur tubuhnya telah menancap semua pisau-pisau kecil miliknya.

Tak berapa lama keluarlah sosok tubuh berambut putih dari dalam ruangan gelap. Ia memandangi kedua mayat yang terkapar di sekitar halaman bangunan usang itu, Ki Rondo Mayit menyeringai lagi. Rambutnya yang putih kusut bergerak-gerak tertiup angin malam.

*

**

Gelang-gelang besi bergemerincing saat kuda yang ditungganginya melompati gundukan tanah. Begitu juga dengan sahabatnya yang mengikuti perjalanan dalam mencari buronan Bala Tlenges. Dalam perjalanan itu sepertinya mereka tidak pernah habis menerobos hutan belukar yang demikian gelap. Mereka sendiri kebingungan mencari tempat untuk peristirahatan. Di tempat yang segelap itu bagaimana mereka bisa memilih tempat yang nyaman. Bulan yang bersinar terang memang nampak dari celah-celah lebatnya dedaunan, mereka hanya melihat samar-samar keadaan di situ. Bagaimana pun mereka tidak akan mendapatkan tempat untuk bermalam, karena seluruh dataran hutan itu ditumbuhi dengan rumput alang-alang setinggi betis. Akhirnya mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan.

Dalam keremangan sinar bulan mereka nampak duduk tegar di atas pelana kuda-kudanya. Suarasuara binatang malam memenuhi suasana malam itu. Beberapa pasang mata burung hantu nampak jalang bertengger di atas batang-batang pohon. Mereka tidak tahu sampai di mana batas hutan yang mereka lewati. Mereka hanya mengikuti jalan yang diterangi sinar bulan.

Mendadak saja kuda-kuda mereka meringkik meronta-ronta. Dua orang penunggangnya tetap menghela. Namun kuda-kuda itu seperti tidak mau meneruskan perjalanannya. Dua penunggang kuda ini keheranan. Tiba-tiba saja burung-burung hantu beterbangan. Terdengar sekali kepak-kepak sayap mereka beterbangan menjauh dari cabang-cabang pohon itu. Membuat kuda-kuda itu semakin takut dan meringkik keras. Di hadapan mereka telah berdiri sosok tubuh berdiri tegak di balik semak-semak. Tubuh itu nampak jelas terkena sinar bulan yang menerobos dari celahcelah dedaunan.

Bukan main mereka kagetnya. Karena yang dilihat di hadapannya itu tidak lain Bala Tlenges! Buronan mereka! Sosok Bala Tlenges melangkah menerobos semak-semak itu. Dua orang penunggang kuda itu langsung turun.

"Sudah kuduga kau akan bersembunyi di sini, Bala Tlenges! Menyerahlah...! Kau tidak bisa lolos dari kami!" kata orang yang bersenjatakan gelang-gelang di lengannya

"Menyerah...? Ha-ha-ha-ha-ha...!" Bala Tlenges malah tertawa.

Dari atas pohon beberapa sosok tubuh terjun ke bawah, serangan itu mendadak sekali. Salah seorang penunggang kuda itu tidak sempat menghindari. Tahu-tahu saja tubuhnya telah di rejam oleh kedua mayat hidup. Ia menjerit-jerit saat kuku-kuku mereka yang laksana jarum menembus di tenggorokan. Gigigigi hitam mereka pun mengoyak habis perutnya.

Orang yang bersenjatakan gelang pun tidak dapat menghindari sergapan sosok bertubuh hitam. Tapi sekali ia menghentakkan kedua lengannya, tubuh sosok hitam itu terlempar jatuh ke tanah. Bala Tlenges yang melihat itu langsung melesat ke arah orang itu. Kedua telapak tangannya menghantam keras di bagian dada. Orang bersenjatakan gelang itu pun ambruk. Mayat-mayat hidup yang telah selesai membereskan korbannya meluruk menerjang. Sebelum mereka datang mendekat...

"Creb...! Creb...! Creeb... Creeb!"

Empat buah gelang menancap tepat di tubuh kedua mayat hidup itu, namun mayat-mayat hidup itu masih saja datang menerjang seakan gelang-gelang yang menembus di tubuh mereka tidak dirasakan sama sekali. Orang itu pun tidak sempat lagi menghindar. Dirasakan rasa sakit di sekitar tenggorokannya yang mengeluarkan darah. Begitu juga dengan tubuhnya. Sekali mencabik, kuku-kuku yang runcing merobek pakaian serta kulit perutnya. Gelang-gelang di kedua lengannya bergemerincing saat ia meronta-ronta.

*

**

13

"Suiiiiit...!" Mendengar aba-aba yang demikian kedua mayat hidup berhenti menyerang meninggalkan korbannya. Korbannya masih bergerak-gerak dan berusaha bangkit. Seluruh tubuhnya telah berlumuran darah. Bala Tlenges menatap puas.

"Kenapa cuma kalian berdua yang menyerbu ke mari? Mana yang lain!" bentak Bala Tlenges. Orang itu tidak menjawab, hanya gelang-gelangnya yang bergemerincing. Ketika Bala Tlenges melangkah mendekat, orang itu melemparkan beberapa gelangnya...

"Zing...! Zing...!" Bala Tlenges yang selalu awas melompat ke atas, tubuhnya bersalto di udara. Gelanggelang itu meleset ke tempat yang kosong. Dan ketika Bala Tlenges hampir menginjak tanah, tubuh

berlumuran darah itu melancarkan serangan lagi. Kakinya bergerak menyapu bagian bawah, namun tetap saja serangan itu gagal.

Bala Tlenges yang masih berada di udara memutar kakinya ke depan... "Deeees!" Tendangan itu melempar tubuh berlumuran darah itu semakin jauh. Darah menyembur dari mulutnya. Namun ia masih saja dapat bangkit berdiri. Dua ekor kuda masih tetap berdiri di situ sambil meringkik-ringkik ketakutan. Di luar dugaan tubuh berlumuran darah itu melompat ke atas pelana dan kuda itu cepat membawa pergi tuannya dari tempat itu. Bala Tlenges sengaja tidak mengejarnya. Wadak Keling dan dua mayat hidup masih terpaku melihat kepergian orang itu.

"Mengapa ia dibiarkan hidup, Bala Tlenges...? Tanpa kau yang turun tangan, mayat-mayat hidup ini bisa bekerja sendiri..." kata Wadak Keling. Dua mayat hidup di sampingnya bergerak-gerak menyeramkan.

"Tolol! Orang-orang pilihan Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak berarti apa-apa bagi kita... Membunuh mereka sama mudahnya membalikkan telapak tangan

...! Kalau dia mampus, mana bisa kita tahu di mana Raden Mas Kinanjar Swantaka berada. Karena selama ini hanya bangsat itu yang kita cari!

"Akal yang cerdik, Bala Tlenges! Aku tidak berpikir sampai ke situ... Tentunya kita sekarang harus cepat membuntutinya....!" ujar Wadak Keling. Bala Tlengas tidak menjawab. Ia membalikkan tubuh lalu secepat kilat ia melesat. Melihat kepergian Bala Tlenges, Wadak Keling memimpin kedua mayat hidup itu berlari mengikuti. Maka terlihatlah empat sosok bayangan hitam berlarian menembus kegelapan malam. Sementara itu di hadapan mereka terdengar derap langkah kuda yang sangat cepat.

Wintara bersama Umbara Komang tidak lagi berteduh pada pohon yang rindang di depan penginapan itu. Mereka kini berada di tempat yang lebih nyaman, dari pada udara di luar yang mulai dingin. Mereka baru saja selesai makan malam, Umbara Komang sengaja dipisahkan pada meja yang lain. Ia belum juga menyelesaikan santapannya. Karena wanita kembar itu sengaja membayarinya pesanan yang banyak untuk manusia gila itu. Mulutnya berdecak-decak saat mengunyah. Orang-orang yang kebetulan akan bermalam di situ, menyaksikan sambil tertawa keheranan. Nasi hampir sebakul munjung berpindah habis ke dalam perutnya.

Umbara Komang sendiri tersenyum-senyum ke arah setiap pendatang yang ada di penginapan itu. Ketika ia minum ia tidak perlu lagi menuang air ke dalam gelas bambu, ia langsung menenggaknya langsung dari pundi. Semua orang pun tertawa ngakak melihat tingkahnya. Setelah air dalam pundi itu habis ia menyeka mulutnya dengan lengan baju. Wintara bersama dua wanita kembar masih duduk pada meja sebelah. Mereka juga memperhatikan tingkah Umbara Komang yang sangat lucu dan menggelikan.

Meskipun malam mulai merambat gelap. Desa itu sangat ramai dan banyak diterangi lampu-lampu pelita maupun obor sebagai penerang jalan. Orangorang masih banyak yang berseliweran di tiap-tiap muka rumah. Beberapa orang yang berjalan beriringan di tengah jalan segera menyingkir saat seekor kerbau penarik gerobak melewati jalan itu. Di atas gerobak beberapa anak kecil menjaga beberapa buntelan kain. Kerbau itu di tuntun oleh seorang nenek keriput yang berjalan tanpa alas kaki.

Ia menghentikan kerbaunya di depan sebuah penginapan yang cukup ramai. Melihat itu seorang pelayan keluar. Nenek itu langsung menghadap.

"Maaf, Den... Aku memang tidak punya uang, tapi kami butuh tempat untuk bermalam. Besok kami berangkat lagi..." kata nenek itu pelan tubuhnya nampak menggigil kedinginan.

"Maaf, Nek... Bukan saya tidak mengijinkan, kamar-kamar di sini telah penuh semua. Coba saja nenek cari tempat lain..." jawab pelayan itu. Wajah si nenek memelas. Nampaknya ia telah lelah sekali. "Seriti Wuni, coba kau lihat ke sana.. " Salah

satu wanita kembar itu menunjuk ke arah pelayan yang tengah berbicara dengan seorang nenek. Wintara ikut menoleh.

"Bukankah mereka para penduduk yang tinggal di dalam hutan sana? Ada apa nenek itu bersama cucunya ke mari?" jawab salah seorang wanita kembar itu, ia bangkit berdiri melangkah. Wanita satunya mengikuti. Umbara Komang memperhatikan mereka, tapi kembali ia asyik dengan santapannya. Wintara tetap duduk diam.

"Ada apa dengan nenek ini...?" tanya salah seorang wanita kembar.

"Nenek ini bersama cucu-cucunya akan bermalam di sini, tapi semua kamar telah penuh... Saya menyarankan agar ia mencari tempat lain saja." kata pelayan penginapan ramah. Wanita kembar ini memperhatikan raut wajah yang nampak begitu letih. Lalu pandangan mereka beralih ke belakang nenek itu, mereka melihat seekor kerbau penarik gerobak dengan barang-barang berikut anak-anak kecil di atasnya.

"Bukankah nenek penduduk di hutan terpencil itu... Aku masih ingat betul sewaktu melintasi daerah hutan sana!"

"Betul, Ndoro... Orang-orang kampung pedalaman semua ngungsi malam ini. Kami semua ketakutan. Empat orang berwajah seram tiba-tiba saja datang mengamuk membantai semua laki-laki yang ada di keluarga kami...! Sekarang kami sudah terlalu lelah. Kami perlu istirahat malam ini... Kami rasa di sini aman..." kata nenek itu memohon. Dua wanita kembar saling pandang begitu mendengar penjelasan nenek itu. "Lalu ke mana keempat orang yang menyeramkan itu, Nek...? Apakah sekiranya nenek mengetahuinya...?" tanya wanita itu tidak sabaran.

"Entahlah... di sana tidak ada perkampungan lagi... yang nenek tahu mereka mengamuk saat penduduk hutan terpencil tertidur pulas. Dua di antaranya mayat hidup. Salah seorang di antaranya bertubuh hitam, lalu yang seorang lagi menyebut-nyebut nama Raden Mas Kinanjar Swantaka. " Bagai tersam-

bar petir kedua wanita kembar itu mendengarnya. Lalu dengan cepat ia menarik lengan pelayan yang masih berdiri di situ.

"Berikan dua kamar yang ku pesan tadi untuk mereka. Dan tolong keluarkan kuda-kuda kami Ce-

pat!" Setelah berkata begitu, salah seorang wanita kembar itu menoleh arah Wintara yang sejak tadi memperhatikannya. Pelayan itu dengan sigap berjalan ke samping menuju kandang kuda. Salah seorang dari wanita itu membawa masuk nenek yang menggigil kedinginan, yang seorang lagi menuruni anak-anak kecil satu persatu dari atas gerobak. Mereka membawa masuk keluarga itu ke dalam ruangan itu.

"Nanti barang-barang nenek diangkut oleh pelayan tadi, tenang saja di sini " Perempuan itu menge-

luarkan sekantong uang. Lalu diberikannya pada nenek itu.

"Besok pagi kalau nenek mau berangkat, bayar pakai uang ini... Sisanya ambil buat nenek, ya?" kata perempuan itu ramah. "Anak muda ke mari Ajak se-

kalian teman mu

ke mari...!" kata yang seorang lagi. Wintara langsung bangkit dari bangku panjang. Sambil melangkah ia menepuk punggung Umbara Komang yang telah selesai makan. Melihat Wintara bangkit berjalan, Umbara Komang ikut bangkit meninggalkan mejanya menyusul langkah-langkah Wintara.

Pelayan itu datang lagi membawa dua ekor kuda. Wanita kembar itu menerima kuda-kuda mereka. Wintara dan Umbara Komang sudah berada di situ.

"Terima kasih. Antarkan keluarga ini ke kamar, jangan lupa tolong bawakan barang-barang mereka... Aku telah menitipkan sejumlah uang pembayaran kamar dan makan kami tadi, kalau perlu beri mereka makan dulu..." Perempuan itu langsung menaiki kudanya.

"Ayo, Seriti Kuni... Kau naik bersamaku di sini! Biar anak muda itu bersama temannya dengan kuda itu! Atau kau ingin bersama dengan lelaki gila itu?"

"Chis! Siapa yang mau! Seriti Wuni kalau ngomong seenaknya saja! Jangan-jangan kau yang naksir sama dia..." jawab Seriti Kuni langsung melompat ke belakang Seriti Wuni kembarannya. Wintara masih berdiri terpaku memandangi mereka. Umbara Komang menggaruk kepala.

"Cepat anak muda...! Kita harus segera ke benteng! Raden Mas Kinanjar Swantaka dalam bahaya...!" Dengan tenang Wintara menaiki kuda itu. Umbara Komang tetap diam. Tapi Wintara cepat menariknya ke atas kuda. Umbara Komang nyengir ke arah wanita kembar itu....

*

* *

14

Tubuh berlumuran darah itu terkatung-katung di atas seekor kuda yang ditungganginya. Gelanggelang yang ada di kedua lengannya bergemerincing membisingkan. Kuda itu membawanya menuju ke sebuah benteng. Dari kejauhan benteng itu nampak tinggi menghitam, dengan tonggak-tonggak bambu yang runcing.

Sesampai di depan pintu gerbang yang terbuat dari susunan bambu setinggi tiga tombak kuda itu menyepak-nyepakkan kakinya ke pintu itu. Orangorang yang berada di balik pagar bambu itu mendadak kaget. Beberapa tenda yang ada di sekitar tanah lapang itu nampak terang benderang. Raden Mas Kinanjar Swantaka sendiri belum tidur. Ia masih menatap sinar rembulan yang bersinar penuh di luar tenda. Ia pun mendadak kaget setelah mendengar suara pintu gerbang berderak-derak.

Puluhan orang menuju ke arah pintu. Dari lubang-lubang yang sengaja dibuat pada pintu gerbang, mereka melihat sosok tubuh pendekar gelang paksi terluka parah. Maka cepat mereka membuka pintu. Seekor kuda masuk membawa tubuh berlumuran darah. Sosok tubuh terluka itu merintih-rintih....

"Bala Tlenges...! Hhhh... Bala Tlenges...!" Sosok itu ambruk ke tanah tak berkutik lagi. Semua orang mengerumuni tubuh terlentang bersimbah darah. Dalam pada itu dua sosok bayangan menyebarkan bau busuk melesat dari luar masuk ke dalam sambil melancarkan serangan dengan cakaran-cakaran yang mematikan. Mendadak saja tempat itu penuh dengan jeritan kesakitan. Puluhan orang itu segera mengepung kedua orang yang datang-datang mengamuk. Namun kepungan mereka sia-sia! Dua sosok ini tidak perduli dengan orang-orang yang demikian banyaknya menerjang. Dua sosok busuk itu makin liar melancarkan cakaran cakarannya. Sekali cakar, dua sampai tiga orang bergulingan.

Dalam keramaian itu datang lagi dua sosok dari luar. Lesatan tubuhnya begitu cepat. Tahu-tahu saja kedua orang itu berada di antara puluhan orang yang tengah mengepung dua mayat hidup. Mereka pun sama brutal. Datang-datang langsung mengamuk membantai orang-orang itu. Hantaman-hantaman mereka lebih parah. Sekali hantam ada yang kepalanya pecah, ada juga yang patah tulang! Sungguh mengerikan!

Raden Mas Kinanjar Swantaka berlari ke arah kekacauan itu. Dilihatnya para anak buahnya berpentalan satu demi satu. Matanya terbelalak melihat empat sosok mengamuk menjatuhkan para prajuritnya. Dan yang membuat dia tak percaya ketika melihat sosok Bala Tlenges di antara empat pengacau itu. Dengan geram ia melompat ke arah pertempuran itu.

"Hreaaaaaaaa!" Teriakannya menggelegar mengisi kegaduhan itu. Tubuhnya melesat di udara dan turun langsung melancarkan serangan kepungan Bala Tlenges... "Deeees!" Mendapat hantaman yang demikian keras, Bala Tlenges tidak goncang sedikit pun. Malah ia berbalik menoleh ke arah penyerangnya. Ia pun menggeram sengit.

"Bagus, Bala Tlenges! Kau datang untuk mengantarkan nyawa! Hreaaat!" Raden Mas Kinanjar Swantaka melancarkan tendangannya. Bala Tlenges cepat menangkis.

"Aku justru datang untuk mengakhiri hidupmu, Raden Terkutuk!" kata Bala Tlenges sambil membalas serangan. Raden Mas Kinanjar Swantaka melompat jauh memisahkan diri dari para prajuritnya yang tengah menggempur dua sosok mayat hidup dan sosok berkulit hitam. Bala Tlengas pun ikut melompat, kedua lengannya berputar-putar menyambar tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka... Beberapa hantaman hampir saja mengenainya. Raden Mas Kinanjar Swantaka membalas dengan sabetan lengan kirinya... "Weees!" Bala Tlenges gelagapan menyambut! Ia tidak menyangka Raden Mas Kinanjar Swantaka begitu hebat. Tinju Bala Tlenges maju lagi, kali ini bergulung-gulung mencecar pada bagian yang mematikan.

"Mampus!" teriak Bala Tlenges, hantamannya menyerempet tubuh lawannya. Namun cukup pedas terasa di pinggang Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia pun segera membalas serangan dengan tendangan memutar... "Blaaak!" Bala Tlenges menyambut dengan kedua telapak tangannya. Benturan itu sangat keras. Tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka sampai terbanting. Melihat lawannya kehilangan posisi, Bala Tlenges menerjang lagi... Tapi... "Cletaaar...! Cletaaar!" Dua cambuk sekaligus melilit di tubuh Bala Tlenges menahan gerakannya. Wanita kembar, Wintara dan Umbara Komang sudah berada di situ.

Wintara berlari ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ia membantunya bangkit berdiri. Bala Tlenges menatap geram terhadap dua wanita kembar yang menahannya. Umbara Komang malah menyaksikan pertempuran yang tengah berlangsung. Kedua matanya membelalak ketika ia melihat sosok bertubuh hitam menghantam jatuh para prajurit Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Minggir...! Minggir...! Siluman hitam itu musuhku! Biar aku yang menghirup darahnya...!" Tibatiba saja Umbara Komang berlari ke arah pertempuran. Kedua lengannya sibuk melemparkan orang-orang yang menghalanginya. Wintara mendengar teriakan Umbara Komang, maka ia pun menoleh ke arah sahabatnya itu. Tanpa sengaja ia melihat dua sosok mayat hidup mengamuk. Ia sampai terperanjat tak percaya. Dalam kelengahan itu sebelah kaki Bala Tlenges menghantam perut Wintara... "Bug!" Tubuhnya terpelanting jatuh. Wintara bangkit lagi, ia tidak membalas serangan itu. Matanya masih tertuju pada kedua mayat hidup yang mengamuk membabi buta. Bagaimana pun Wintara masih mengenali mereka. Mayatmayat itu tidak lain dari jasad Raden Sintoro Tinggil dan Gada Rencah. (Baca: Tapak Hitam Rajawali Perak & Tapis Ledok Membara). Yah jelas sekali wajah-wajah mereka. Sampai mati pun Wintara tetap yakin! Yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa mereka bisa bangkit dari kubur? Tentunya ada yang membangkitkannya. Pikirannya buyar saat ia mendengar teriakan dua wanita kembar.

Bala Tlenges menarik kuat kedua cambuk yang melilit di tubuhnya. Maka kedua wanita kembar ini terbanting bergulingan di tanah. Cambuk-cambuk itu lepas dari belitan di tubuh Bala Tlenges. Ia tidak memperdulikan perempuan-perempuan itu, langkahnya menerjang deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Tapi mana mau wanita kembar itu membiarkan junjungannya celaka. Hebatnya Raden Mas Kinanjar Swantaka bisa mengatasi suasana. Saat Bala Tlenges menerjang, Raden Mas Kinanjar Swantaka menyambut dengan sodokan kaki kirinya yang menghantam keras ke perut Bala Tlenges.

Saat tubuhnya terbanting, Seriti Wuni dan Seriti Kuni melancarkan cambuknya.

Cambuk-cambuk itu mendera di tubuh Bala Tlenges. Raden Mas Kinanjar Swantaka datang ikut mengeroyok. Mendapat serangan dari tiga orang lawannya yang berilmu tinggi, Bala Tlenges setengah mati mengatasinya.

Wadak Keling telah menjatuhkan belasan orang. Hantaman-hantamannya selalu saja memakan korban. Teriakannya berbareng saat ia melancarkan hantaman, begitu juga dengan pekikan kesakitan para prajurit itu. Telah banyak bergelimpangan sosoksosok tubuh bersimbah darah. Wadak Keling tidak tahu lagi kalau di tempat itu telah berdiri sosok manusia gila Umbara Komang. Saat Wadak Keling menghantam ke samping... "Deeeees!" Lengannya berdenyut! Terasa sekali ia membentur benda yang sangat keras. Kiranya benturan itu akibat Umbara Komang yang menyambut serangannya tadi dengan sebuah pukulan. Wadak Keling sendiri tidak menduga kalau Umbara Komang sudah berada di situ.

"He-he-he... Sekarang kita sama-sama siluman! Aku tidak perlu takut lagi dengan mu... Ayo siluman hitam kita bertempur sampai neraka ini hancur..." ujar Umbara Komang. Wadak Keling langsung menghadapinya. Melihat kedua orang ini saling berhadapan para prajurit segera mundur.

"Kebetulan kita bertemu di sini, Umbara Komang! Mari maju! Biar nyawamu yang gila dapat melayang!" gertak Wadak Keling sambil melancarkan beberapa hantaman. Sambil nyengir Umbara Komang merunduk, sebelah tangannya menyambar hantamanhantaman itu.

"Aku bukan Umbara Komang. Tapi siluman baik! Tidak seperti kau siluman yang hitam dan jahat!" Tendangan Umbara Komang menjurus ke depan. Menghadapi tendangan yang sangat cepat, Wadak Keling tidak dapat menghindar. Apalagi tendangantendangan itu beruntun mencecar...

"Des! Des!" Dua tendangan sekaligus membuat tubuh hitam itu bergulingan. Tapi dalam keadaan seperti itu Wadak Keling menghentakkan sebelah lengannya, maka tubuhnya melesat ke atas. Lalu menukik menerjang ke bawah.

"Mampus kau, Gila!" Hantaman Wadak Keling berkelebat menyambar. Umbara Komang menyambut dengan menggeser tubuhnya ke samping,... Hantaman itu meleset. kini berganti Umbara Komang yang memutar lengannya...

"Des!" Wadak Keling ambruk ke tanah. Tubuhnya bergulingan ke arah para prajurit yang masih berdiri di situ. Mereka yang sejak tadi menunggu kesempatan, tidak menyia-nyiakannya. Begitu tubuh Wadak Keling berguling ke arah mereka, para prajurit itu menghujami tubuh hitam itu dengan senjata-senjata mereka. Maka terdengarlah jeritan Wadak Keling yang menyayat.

Beberapa saat kemudian para prajurit itu beterbangan terlempar. Wadak Keling berontak sekuat tenaga. Para pengeroyoknya bergelimpangan. Ia berdiri terhuyung dengan tubuh yang terkoyak bersimbah darah. Kedua matanya merah. Umbara Komang tidak membiarkan Wadak Keling berdiri terlalu lama. Dengan gerakan yang sangat cepat ia menyambar sebilah pedang yang tergeletak di tanah. Lalu pedang itu membersit memisahkan kepala Wadak Keling dari lehernya... "Bet!" Tubuh hitam itu pun terbanting kelojotan dengan darah menyembur di leher.

*

**

15 Dengan sengit Umbara Komang menendang keras kepala Wadak Keling yang masih menggelinding di tanah. Kepala itu melayang deras membentur pagar bambu, membleduk! Lalu Umbara Komang menoleh melihat kesibukan Wintara menghadapi dua mayat hidup yang mengamuk memakan korban. Ia pun melihat Wintara berhasil menghantam beberapa kali. Namun kedua mayat hidup itu tetap saja masih sanggup melawan.

"Kalian semua menyingkir...! Kedua mahluk ini sangat berbahaya! Menyingkir!" teriak Wintara sambil menghalangi serangan-serangan kedua mayat itu yang liar mencakar-cakar setiap orang yang ada di hadapannya. Dalam pada itu tubuh Umbara Komang melompat ke situ. Membentak-bentak semua para prajurit yang bersikeras menyingkirkan kedua mayat hidup itu. Namun orang-orang itu masih saja terus mendesak menyerang.

"Siluman-siluman tolol tidak tahu penyakit... Dua orang ini raja neraka! Ditambah sepasukan kerajaan lagi pun kalian tidak akan sanggup menyingkirkannya." Umbara Komang mendorong beberapa orang yang ada di hadapannya. Mereka pun bergulingan.

"Tindakan kalian hanya merepotkan saja! Kalau mau tetap tinggal di surga kalian menyingkir!" Umbara Komang melancarkan tendangan menyingkirkan mereka. Orang-orang itu pun segera menyingkir. Semua yang dikatakan laki-laki gila itu memang benar. Para prajurit itu cukup ngeri setelah melihat belasan mayat bergelimpangan di sekitar tempat pertempuran. Hal itu juga yang membuat beberapa orang lari terbirit-birit. Seketika tempat itu menjadi leluasa. Yang nampak hanya Wintara menghadapi kedua mayat hidup. "Dewa...! Jangan gentar terhadap raja-raja neraka itu! Aku datang membantu!" Umbara Komang melancarkan serangan terhadap salah satu mayat hidup itu. Adanya bantuan dari Umbara Komang, Wintara tidak perlu tarik otot lagi menghadapi mayat hidup itu. Wintara sendiri yakin sahabatnya itu pasti bisa mengatasinya. Sebagai pendekar Pengelana Sakti tentunya Wintara bisa mengukur kehebatan ilmu Umbara Komang. Dan ia tidak ragu-ragu lagi membiarkan lakilaki gila itu menghadapi salah satu mayat hidup.

"Semasa hidupnya mereka musuh-musuhku, siluman...! Yang kau hadapi adalah jasad Raden Sintoro Tinggil!" ujar Wintara, tangannya menepiskan kedua cakaran yang hampir merobek tenggorokannya. Lalu membalas menyerang dengan sebuah pukulan. Tinjunya tepat mengena, bahkan lengan Wintara sampai menembus di lambung mayat hidup itu. Ketika ia menarik lengannya isi perut yang bercampur dengan ratusan belatung menghambur. Wintara bergidik.

"Pantas ia jadi raja neraka! Seorang raden mana pantas jadi siluman!" jawab Umbara Komang yang juga berhasil menendang patah tulang leher jasad Raden Sintoro Tinggil. Namun mayat hidup itu tetap berdiri kokoh dengan kepala miring menyentuh bahu. Kedua cakarnya yang runcing siap menerkam. Umbara Komang berguling ke samping sambil mendorong kedua telapak tangannya... "Deees!" Tenaga yang luar biasa itu melempar jauh jasad Raden Sintoro

Tinggil. Tubuh itu melambung jauh tinggi ke udara. Di bawahnya menanti pagar bambu dengan ujung-ujungnya yang runcing berderet. "Jreeeees!"

Tubuh busuk itu jatuh tepat menancap di atas pagar. Dengan seketika tubuh itu kaku tak bergeming.

Mengira akan bangkit lagi, Umbara Komang melesat ke atas lalu kedua kakinya dengan kuat menginjak tubuh busuk itu makin amblas tertancap pagar bambu. Umbara Komang masih tetap berdiri di atas tubuh itu. Kedua matanya tertuju pada Wintara menghadapi jasad musuh lamanya. Hantamanhantamannya menggeledek mendera. Namun mayat hidup itu selalu saja dapat bangkit dan menyerang lagi.

Jasad Gada Rencah ini memang alot. Untuk mengenal Gada Rencah, anda bisa mengikuti serial Pendekar Kelana Sakti dalam 'Tapis Ledok Membara') Wintara sudah melancarkan serangan dengan berbagai cara. Bahkan selalu mengena telak. Tapi jasad ini tidak pernah roboh dan lumpuh. Dalam pada itu Wintara sempat melihat sosok tubuh kaku di atas pagar. Sosok itu tidak lain jasad Raden Sintoro Tinggil. Umbara Komang berdiri menginjak tubuh itu. Selintas Wintara mendapat satu cara. Tiba-tiba saja Wintara berlari menjauh meninggalkan jasad Gada Rencah yang masih mengejar melancarkan cakaran-cakarannya ke arah Wintara.

Sekali hantam pagar bambu itu berantakan. Wintara menarik salah satu batang bambu itu. Ujung bambu yang runcing diarahkan pada jasad Gada Rencah yang datang menerjang. Umbara Komang segera turun, ia pun mengikuti seperti yang dilakukan Wintara Sebilah bambu panjang dengan ujung yang runcing pula, siap mengarah. Keduanya sama-sama berlari berbarengan menyambut terjangan Gada Rencah... Maka... "Breeees...! Breeeees!" Kedua bilah bambu itu menembus di jasad menyeramkan. Tubuh busuk itu pun diam dengan seketika! Mereka mendorong terus dua bilah bambu. Tubuh yang sudah kaku terkulai dengan tubuh yang tertembus batang-batang bambu. Jasad itu betul-betul sudah tak berkutik.

"Ayo siluman... Cepat kita bantu Raden Mas Kinanjar Swantaka!" Wintara menarik Umbara Komang. Laki-laki gila itu mengikuti langkah Wintara.

"Siluman hitam telah mengganti nama ku...!" Umbara Komang nyengir.

"Rasanya nama Umbara Komang sangat cocok untukku, baguskan nama itu..." katanya lagi. Wintara berhenti melangkah.

"Nama itu lebih bagus daripada aku harus menyebut mu siluman!"

"Asyiiiiik... Aku sekarang Umbara Komang... Aku bukan siluman lagi! Kalian semua yang siluman...!" katanya kegirangan sambil menunjuk-nunjuk orang-orang yang berdiri ketakutan. Ia bangga sekali dengan nama barunya.

*

**

Tendangan Bala Tlenges yang dahsyat luar biasa menjatuhkan dua wanita kembar dan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Ketiganya jatuh bergulingan. Kedua wanita kembar itu menyemburkan darah. Raden Mas Kinanjar Swantaka memegangi dadanya yang memar. Bala Tlenges menatap garang saat mereka bergulingan. Ia bukannya tidak tahu dengan kematian ketiga orang temannya. Maka ia tidak tanggung-tanggung lagi melancarkan serangan ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Namun kedua wanita kembar itu berusaha menghalangi dengan sabetan-sabetan cambuknya yang mendera di tubuh Bala Tlenges.

Dengan sengit Bala Tlenges menangkapi cambuk-cambuk yang mendera di tubuhnya. Lalu kuatkuat ia menariknya sampai tubuh kedua wanita kembar itu ikut terbawa. Bala Tlenges menyambarnya dengan hantaman yang membuat kedua tubuh ramping itu terbanting. Sebelum Bala Tlenges datang menyerang Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit melancarkan tendangan.

Bala Tlenges yang repot melancarkan hantaman ke arah wanita kembar itu tidak sempat menghindari tendangan Raden Mas Kinanjar Swantaka bersarang di pinggang. Umbara Komang yang ada di situ langsung menghantamkan kedua lengannya ke tubuh Bala Tlenges yang masih terhuyung. Kontan tubuh Bala Tlenges terpelanting. Dengan sigap pula ia bangkit berdiri.

Kini di hadapannya telah berdiri lima orang. Paling tengah berdiri sosok Raden Mas Kinanjar Swantaka. Wintara paling ujung di samping Umbara Komang.

"Hukum sudah tidak berlaku lagi untuk ku, Raden... Hayo, kalian lima-limanya maju semua! Kalian pikir aku gentar?" kata Bala Tlenges sambil mengikat kencang ikat pinggangnya. Perut serta dadanya nampak kencang. Pada tenggorokannya masih terbalut dengan belitan kain usang. Ia melangkah maju. Kedua wanita kembar, Seriti Wuni dan Seriti Kuni menyerang lebih dulu. Cambuknya berkelebat ke sana ke mari bagai ekor naga. Raden Mas Kinanjar Swantaka menerjang melancarkan dua tinjunya sekaligus. Umbara Komang melesat ke atas menghantam bagian kepala.

Bala Tlenges tidak mundur selangkah pun. Sebelah tangannya dapat menangkapi cambuk-cambuk wanita kembar itu, lalu sebelah lengannya lagi menyambut tinju Raden Mas Kinanjar Swantaka yang berturut-turut. Benturan hantaman itu membuat Raden Mas Kinanjar Swantaka terpelanting ke tanah. Wanita kembar itu memekik kesakitan saat tendangan keras Bala Tlenges mendarat di perut mereka. Umbara Komang yang masih di udara melancarkan pukulannya ke kepala Bala Tlenges... "Der!" Jelas sekali kepala itu pecah! Darah mulai menghambur dari batok kepalanya. Namun Bala Tlenges masih tetap berdiri tegar. Umbara Komang hinggap di tanah tanpa bersuara. Ia tidak tahu dari arah belakang Bala Tlenges melancarkan tendangannya...

"Plaak!" Wintara datang menepis tendangan itu, tapi dengan cepat pula Bala Tlenges membalas. Dan Wintara tidak mengira akan mendapat hantaman telak di dadanya. Setelah menghantam dada Wintara, Bala Tlenges memutar kakinya ke belakang...

"Des!" Salah seorang wanita kembar memekik. Kembali dari mulutnya menyembur darah. Melihat itu, Wintara melompat menerjang. Hantaman siap meremukkan kepalanya. Namun belum sempat Wintara melancarkannya, Bala Tlenges berbalik menghantam pinggangnya...

"Bug!" Wintara jatuh terbanting. Raden Mas Kinanjar Swantaka tidak tinggal diam. Cepat ia meraih pedang dari salah seorang prajurit yang berada di dekat situ. Lalu dengan sekuat tenaga ia membabatkan ke arah perut...

"Brwweeeek!" Perut itu nampak menghamburkan darah.

"Ha-ha-ha-ha-ha... Kalian pikir mudah membunuh ku...? Jangan harap Raden..!" Bala Tlenges malah tertawa. Mendadak lengannya berputar menghantam Raden Mas Kinanjar Swantaka...

"Deeeeer!" Menghantam keras di dada. Tubuhnya terlempar ke arah bambu-bambu yang sangat runcing. Wintara cepat menyanggah tubuh itu. Bambu-bambu runcing diam di samping mereka. Kalau tadi Wintara tidak cepat menyanggah tubuh Raden Mas Kinanjar Swantaka, mungkin tubuh itu telah menjadi sate manusia. Raden Mas Kinanjar Swantaka sudah terkulai lemas tak berkutik. Dari mulutnya berkali-kali menyembur darah segar.

"Raden... Bala Tlenges memiliki ilmu membaca pikiran orang. Satu-satunya orang yang mampu mengatasinya cuma Umbara Komang, karena pikiran dia selalu simpang siur..." bisik Wintara. Raden Mas Kinanjar Swantaka menarik nafas.

"Tangkap dia...!" perintah Raden Mas Kinanjar Swantaka.

"Pendekar kembar menyingkirlah..." teriak Wintara. Maka kedua wanita kembar yang nampak terluka parah itu menggeser tubuhnya menjauh. Namun Bala Tlenges masih terus melancarkan serangan kepada pendekar kembar itu. Wintara dan Umbara Komang menerjang menghalangi serangan-serangan itu... "Deeeeer!" Bala Tlenges menyambut Wintara dengan tendangan! Tapi untuk Umbara Komang, ia berhasil menghantam punggung Bala Tlenges. Sosok berlumuran darah itu tersungkur namun hanya dalam sekejap ia bangkit lagi. Kedua tangannya sibuk membetulkan ikat pinggangnya yang hampir terlepas.

Seriti Kuni menyambar pedang dari tangan Raden Mas Kinanjar Swantaka. Pedang itu dilemparkannya kuat-kuat, maka...

"Jreeeeeb!" Pedang itu menembus di dada samping ke tulang punggung. Tubuh itu hanya tersentak sebentar, sesaat kemudian ia terus melancarkan serangan ke arah Umbara Komang.

Kini hanya   Umbara   Komang   sendiri   yang menghadapi Bala Tlenges. Umbara Komang berkelit gesit menghindari serangan-serangan itu. Gerakangerakan aneh Umbara Komang sukar untuk dihindari. Tubuh yang tertancap pedang itu mendadak mencelat saat Umbara Komang mendorong kakinya ke depan! Ternyata tendangan itu sangat keras dan berisikan tenaga penuh.

Semua yang dikatakan Wintara benar! Bala Tlenges memiliki ilmu membaca pikiran orang. Menghadapi laki-laki gila yang pikirannya semerawut dalam bertindak, Bala Tlenges betul-betul terkecoh. Ia tidak dapat mengira setiap hantaman yang dilancarkan oleh Umbara Komang.

Bala Tlenges meraung-raung dengan kedua telapak tangan yang siap mencakar. Umbara Komang hanya nyengir, lalu ia pun mengikuti gerakan-gerakan itu. Mereka sama-sama mengeluarkan cakarancakaran. Sudah tentu Bala Tlenges merasa dipermainkan. Maka ia pun menerjang dengan geram... Di luar dugaan Umbara Komang cepat merunduk sambil cakarnya menyambar bagian perut...

"Brweeeeek!" Tanpa sengaja pula ikat pinggang Bala Tlenges ikut tertarik dalam cakaran Umbara Komang.

Sesaat kemudian Bala Tlenges berkelojotan kejang. Jeritannya menggelegar membisingkan tempat itu. Para prajurit beringsut minggir. Mereka tinggal separuh. Separuh lagi telah berserakan terkapar memenuhi dataran itu. Ada yang tewas ada juga yang lukaluka berat. Jeritan Bala Tlenges melengking tinggi. Matanya membeliak-beliak menahan sakit.

Tubuh yang berlumuran darah dengan pedang yang menembus ke punggung itu bangkit terhuyung, kedua matanya liar menatap ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka. Langkah-langkahnya gontai mendekat. Semua mata memandang kepadanya. Rata-rata mereka menatap ngeri.

Lalu mereka semua yang berada di situ memekik saat Bala Tlenges menerjang deras ke arah Raden Mas Kinanjar Swantaka yang masih lemas terluka di samping Wintara. Tentu saja Wintara tidak membiarkan Bala Tlenges melancarkan serangan terhadap orang yang terluka di sebelahnya. Dengan cepat pula Wintara menendang ke depan... menggagalkan serangan Bala Tlenges... "Deeeeer!" Bala Tlenges ambruk terlentang bersimbah darah tak berkutik lagi.

Umbara Komang masih memegangi ikat pinggang Bala Tlenges. Ikat pinggang itu sudah koyak tak karuan terkena cakaran tadi. Sambil memonyongkan bibirnya Umbara Komang melemparkan ikat pinggang itu. Wintara kagum dengan apa yang dilakukan oleh Umbara Komang. Lalu ia melangkah mendekati Wintara yang membantu Raden Mas Kinanjar Swantaka bangkit.

"Dewa... Aku lupa dengan nama baruku tadi... Siapa ya... Kalau tidak salah... Combro eh, bukan... Bukan Combro... Aduh apa ya...?" Umbara Komang menggaruk-garuk kepalanya. Wintara dan Raden Mas Kinanjar Swantaka tertawa. Begitu juga dengan pendekar wanita kembar, meskipun dadanya terasa sakit ia sempat tersenyum mendengar omongan Umbara Komang.

"Aduuuuh... Kenapa jadi blo'on...? Apa sih tadi nama baruku...?" Umbara Komang masih mikir. Lalu ia duduk sambil menopangkan telapak tangannya ke dagu.

"Sudah namamu 'siluman' saja! Agar mudah diingat...!" kata Wintara memapah Raden Mas Kinanjar Swantaka melangkah menuju tenda. Para prajurit mulai berdatangan membantu menggantikan Wintara. Mereka segera membawa masuk Raden Mas Kinanjar Swantaka ke dalam tenda dan merawatnya.

"Tidak, aku tidak mau punya nama 'siluman'! Tadi yang diberikan oleh siluman hitam sangat bagus dan aku sendiri pernah mendengarnya! Tapi sekarang aku lupa!" jawab Umbara Komang. Ia masih duduk termangu. Dua wanita kembar mendekatinya. Mereka ikut duduk menghadapi Umbara Komang. Begitu juga dengan Wintara, ia melangkah ke arah mereka...

"Namamu: Umbara Komang!" kata Wintara setelah mendekat.

"Ya! Betul...! Namaku Umbara Komang... Horee! Aku Umbara Komang!" Laki-laki sinting itu berjingkrak-jingkrak kegirangan. Wintara dan dua pendekar wanita kembar tertawa.

Malam makin larut, suasana masih berantakan. Di mana-mana berserakan tubuh-tubuh prajurit Raden Mas Kinanjar Swantaka. Beberapa prajurit yang masih hidup mulai membereskan mayat-mayat itu. Tenda-tenda sudah diterangi lampu-lampu obor. Bulan di atas sana ikut menerangi dataran itu. Nampak sosok Umbara Komang berjingkrak-jingkrak kegirangan... Dengan tingkahnya yang tidak waras!

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar