Serial Pendekar Bloon Eps 14 : Pendekar Kocar Kacir

 
Eps 14 : Pendekar Kocar Kacir


Pangeran Suprana yang lebih dikenal dengan julukan Kumbang Pemikat atau Iblis Peruntuh Mahkota tampak mondar-mandir di depan belasan gadis cantik berpakaian transparan. Wajahnya yang tampan melebihi ketampanan pemuda-pemuda sejagad itu kelihatan murung. Sementara malam sudah menunjukkan pukul dua dinihari. Kegelapan menyelimuti istana Pasundan yang terletak di sebuah lembah yang sangat subur. Di lembah Kahuripan itulah istana Pasundan berdiri dengan megahnya.

Dulunya kerajaan Pasundan diperintah oleh raja Jasa Raga Namun sejak sang raja mangkat secara aneh dan misterius. Maka kedudukan raja digantikan oleh putra mahkotanya yang bernama Demak Pati. Waktu itu pangeran Suprana yang hanya merupakan putera selir raja tiba-tiba saja hilang raib dari istana setelah dua hari kemangkatan raja Jasa Raga. Sebagai putera mahkota yang terlahir dari permaisuri Diah Mustika, sesungguhnya Pangeran Demak Pati tidak suka menggantikan posisi ayahnya. Pangeran yang lucu ini suka berkelana menuntut ilmu sejak usia belasan tahun.

Ia sering bergaul dengan rakyat jelata. Tidak segan-segan ia sering menyamar sebagai seorang pengembara hanya karena ingin menyelami kehidupan rakyat jelata.

Tidak heran jika seluruh rakyat negeri kerajaan Pasundan cinta kepada Pangeran yang kocak ini. Sejak ayahandanya mangkat, praktis Pangeran Demak tidak dapat pergi ke mana-mana. Roda pemerintahan telah memaksanya untuk berpikir keras demi masa depan kerajaan dan seluruh rakyat negeri. Karena hanya dialah putra mahkota satu-satunya. Sedangkan saudara lainnya dari permaisuri hanya puteri Saba. Yaitu gadis cantik berperangai lembut dan tidak memiliki ilmu silat sama sekali.

Demikianlah Pangeran Demak Pati memerintah kerajaan Pasundan dalam jangka waktu lebih kurang lima tahun. Ketika Pangeran Suprana kembali lagi ke istana setelah lima tahun menghilang tidak tentu rimbanya. Putera selir raja ini secara

diam-diam meracuni permaisuri yang sesungguhnya sangat berperan dalam menunjang berlangsungnya roda pemerintahan.

Kemudian orang-orang penting istana juga ditemukan meninggal secara misterius.

Termasuk Patih Gala Menda, Penasehat kerajaan Para Seta dan juga panglima Ganda Permana.

Tidak lama setelah itu Pangeran Suprana melakukan pemberontakan. Putera selir ini ternyata memenangkan pertarungan, Pangeran Demak Pati dengan membawa lukalukanya melarikan diri bersama puteri Saba berikut beberapa orang pengikut yang sangat setia kepadanya. Sekarang kejadian itu sudah berlangsung sepuluh tahun lebih.

Sungguh pun begitu Pangeran Suprana tetap merasa khawatir tentang keamanan kerajaan. Apalagi hingga saat itu Pangeran Demak dan putri Saba masih belum dapat ditangkap. Bahkan tempat persembunyiannya tidak seorang pun yang tahu. Selama sepuluh tahun Pangeran yang telah berubah sakti ini memimpin kerajaan. Selama itu pula kehidupan rakyat dalam keadaan makmur dan tenteram. Hal ini memang sengaja dijaga oleh Kumbang Pemikat untuk menarik simpati rakyat atas pemerintahannya. Cuma kebiasaannya yang sangat menjengkelkan adalah, Pangeran mata keranjang itu gemar mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk dijadikan tempat pelampiasan  nafsu.

Pangeran yang haus kekuasaan, haus kehangatan tubuh perempuan ini kemudian bahkan merubah nama istana Pasundan dengan nama Kerajaan Sorga Dunia. Ia memperTuhankan dirinya sendiri di depan wanita-wanita cantik yang memberikan kehangatan tubuhnya pada Pangeran terkutuk ini. Malam ini setelah sepuluh tahun, sebulan, sepuluh hari kegelisahan di hati Pangeran Suprana semakin menjadi-jadi. Apa yang menjadi pangkal kegelisahannya itu tidak lain karena Pangeran mendengar suara burung Bence (Burung malam yang mengisyaratkan adanya tanda-tanda yang tidak baik). Lalu pemuda berumur sekitar tiga puluh tahun ini teringat pada pesan gurunya yang sakti mandraguna dari tanah Andalas. Dia adalah Dewa Kubu tokoh legenda yang dikabarkan telah raib dari dunia persilatan. Tokoh dari Indera Giri Hilir ini pernah berpesan padanya ketika Pangeran Suprana meninggalkan tempat tinggal gurunya....

"Pangeran mata keranjang. Niatmu untuk menguasai kerajaan Pasundan pasti dapat kukabulkan. Kesaktian yang kuturunkan padamu setara dengan tokoh-tokoh rimba persilatan merupakan modal utama untuk mencapai cita-citamu. Aku Dewa Kubu, adalah satu diantara dua tokoh paling sakti di tanah Andalas ini. Aku berada di belakangmu. Tapi ingat jangan kau bertindak semena-mena terhadap rakyat kecil.

Jika kau menjadi raja, makmurkan hidup mereka. Mengenai tingkahmu terhadap perempuan aku tidak ambil perduli. Karena perempuan itu bisa menjadi tongkat dan bisa pula menjadi ular dalam kehidupan setiap laki-laki. Daripada kau dihancurkan, lebih baik kau menghancurkan mereka. Satu hal yang harus kau ingat, bila suatu masa kau mendengar suara burung malam. Itu merupakan suatu tanda bahwa kau harus meningkatkan kewaspadaanmu."

"Gila! Aku lupa bertanya pada  guru, pertanda apa semua ini?" desis Kumbang Pemikat semakin gelisah. Dari ruangan pribadinya, Pangeran Suprana ini langsung menuju keluar istana. Suasana di luar sangat sepi, walaupun puluhan prajurit tampak terus berjaga-jaga. Sedangkan sampai saat itu suara-suara burung malam terus terdengar tiada  henti-hentinya.

"Esok, pagi-pagi sekali aku harus menjumpai pimpinan bala tentara untuk tetap bersiap siaga!" batin Iblis Peruntuh Mahkota.

Lorong di bawah tanah yang terdapat di daerah Ciujung di pagi hari itu kelihatan

sunyi. Tidak sebagaimana hari-hari biasanya, setiap pagi selalu terdengar suara teriakan dari seorang pemuda dan seorang gadis yang sedang berlatih silat. Sudah bertahun-tahun pemuda dan gadis itu dengan ditemani oleh beberapa laki-laki tua berada di sana.

Kepandaian serta kesaktian yang mereka miliki pun semakin bertambah pesat. Maklum guru mereka adalah seorang tokoh kosen berwatak aneh yang dikenal dengan julukan Setan Terompet.

Di dalam lorong bawah tanah pelita minyak sudah hampir padam. Sementara itu tiga laki-laki tua berpakaian usang tampak sedang menyediakan makanan untuk pemuda berbadan kurus itu dan juga buat gadis cantik berambut panjang sepinggang.

"Rasanya sudah satu abad kita berada di sini. Padahal kita terpaksa mengungsi di sini baru sepuluh tahun!" berkata pemuda itu pada gadis di depannya. "Kanda, sepuluh tahun adalah waktu yang lama, mengapa Kanda mengatakan 'baru'?" sergah gadis berwajah oval dengan bibir cemberut. Terkadang ia memang merasa kesal pada pemuda di depannya. Karena pemuda yang sesungguhnya putera mahkota kerajaan Pasundan ini seakan tidak pernah serius dalam menghadapi persoalan penting yang harus mereka selesaikan.

"Sepuluh tahun tidak lama, Dinda.

Bagaimana kalau kita tetap berada di sini sampai seumur hidup kita?"

"Sebagai adikmu, aku tidak menyukai kebodohan sekaligus kepasrahanmu. Kerajaan harus kita selamatkan. Kudengar Pangeran Suprana sekarang sudah merubah nama kerajaan Pasundan menjadi kerajaan 'Sorga Dunia'. Apa ini tidak kau anggap gila, tidak keterlaluan! Lebih celaka lagi dia mengaku dirinya Tuhan!" ucap si gadis yang tidak lain adalah puteri Saba serius. Pangeran kurus menggelengkan kepalanya, sekali ke kanan, sekali ke  kiri.

"Sekarang memang sudah banyak orang gila. Gila memang gila! Apa yang dia katakan Sorga Dunia itu, paling urusannya pelampiasan nafsu rendah selera setan. Apa betul di dunia ada sorga? Omong kosong, perempuan dengan laki-laki berbuat mesum kok dikatakan sorga. Kalau Pangeran gila itu mengaku dirinya Tuhan, bisa berbuat apa sih dia? Menciptakan bayi? Huh. "

Pangeran Demak gelengkan kepala, sekali ke kanan, sekali lagi ke kiri. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi apa-apa. "Bayi itu yang menciptakan Gusti Allah. Ibu dan

bapaknya cuma berpartisipasi saja, kerjasama yang bagus itu cuma menghasilkan air. Pangeran bangsat itu orang gila yang dikutuk Tuhan. Menciptakan sayap nyamuk saja dia tidak becus! Nyawa sendiri bahkan dia tidak bisa menjamin. Bagaimana dia mengakungaku?"

"Kanda seriuslah bicara.  Kita tidak mungkin mendekam di sini terus. Kerajaan harus diselamatkan dari kemaksiatan. Kita juga harus menyelidiki siapa yang meracuni ayahanda Prabu, bunda kita dan juga pembesar-pembesar yang setia pada Prabu!" desis puteri Saba semakin tidak sabar.

'"Ha ha ha...! Mengapa kau begitu khawatir Dindaku yang cantik. Pagi ini guru akan menjumpai kita. Kita tunggu kabar apa yang dibawa oleh Aki Braja. Aku pun sebenarnya sudah tidak sabar menghirup udara luar yang bebas dari debu. Dan lagi kau tidak usah khawatir tentang kerajaan. Mahkota tidak ada pada Pangeran gila itu. Pula pedang Penyebar Bencana sejak ayahanda Prabu mangkat tidak tahu berada di mana. Mahkota kebesaran kerajaan kita punya. Untuk menegakkan kerajaan agar kembali pada kita. Satu-satunya cara kita cari dulu Pedang Penebar  Bencana. Pangeran Suprana sakti luar biasa, entah siapa gurunya. Kita harus memperhitungkan kekuatan  kita sendiri!" tegas Pangeran Demak Pati.

Suasana kemudian semakin bertambah hening. Pangeran terdiam, demikian juga dengan puteri Saba. Keheningan itu tiba-tiba saja disentakkan oleh suara bunyi trompet yang sedemikian  keras seakan merobek gendang-gendang telinga juga memecahkan sel-sel otak.

Tet! Tet! Tet! Tot! Tet! Tet! Tot!

Dinding lorong tergetar hebat. Debu beterbangan, angin topan berhembus. Pangeran Demak dan puteri Saba yang sudah memiliki tenaga dalam tinggi saja terpaksa tutup kedua telinganya. Apalagi para pengasuhnya yang dulu merupakan orangorang dari ksatriaan istana. Mereka yang memiliki kepandaian serta tingkat tenaga cukup tinggi ini pun terpaksa tutup kedua telinga pula.

"Anak-anak yang malang! Murid-muridku yang sengsara! Aku datang, datang untuk mengucapkan salam perpisahan. Setelah kalian bertahun-tahun berada di pengasingan Ciujung ini!" kata sebuah suara di tengahtengah hembusan angin yang membadai.

Setelah hembusan badai topan mereda. Maka muncullah sesosok tubuh kurus kering. Kulitnya keriputan, sekujur tubuhnya nyaris tidak berdaging. Pipinya yang juga keriput tampak menggembung menyimpan udara. Rasanya keadaan kakek ini tidak  beda dengan jerangkong. Rasanya jika anggota tubuh si kakek dipisah-pisahkan, tulang sama kentutnya saja yang lebih banyak, sedangkan dagingnya sangat sedikit sekali. Di dekat bibir si kakek terdapat lubang trompet, melingkar menyerupai pipa yang berkelok-kelok. Sedangkan di punggungnya bagian ujung trompet berukuran besar berwarna putih terbuat dari perak.

Laki-laki berbaju selempang ini kemudian duduk di depan Pangeran Demak Pati dan adiknya. Setelah memandang beberapa saat lamanya, maka orang tua berambut putih dan cuma beberapa helai ini berkata....

"Waktu bagimu sudah tiba, Pangeran Demak Pati. Kau Pangeran yang teledor dengan kedudukan, dengan kerajaan. Kau adalah manusia yang tidak perduli dengan hari esok, lusa dan masa yang akan datang. Kau Pangeran masa bodoh, tidak mau tahu dengan tahta, harta benda dan wanita. Ragamu berada di bumi, tapi jiwa, hati dan pikiranmu berada di langit. Kau seorang Pangeran, tapi tidak patut menjadi penerus kerajaan, karena jiwamu pengembara. Sepuluh tahun yang lalu kau gagal mempertahankan kerajaan Pasundan. Bahkan kau moratmarit, tunggang-langgang, terbirit-birit, kocar-kacir melarikan diri. Jika kau kembali merampas hakmu, maka jangan kau sebut dirimu Pangeran, gelar harus di copot dan diganti dengan julukan. Julukan bagus bagimu tidak ada dan tidak pula sanggup aku memberikannya. Kau hanya pantas menyandang julukan Pendekar Kucar Kacir. Ingat-ingatlah, Kucar Kacir...!" Suara trompet kembali menggema. Hingga membuat Pangeran Demak Pati yang baru saja hendak bicara terpaksa telan ucapan dan tutup kuping rapat-rapat.

"Guru sedeng ini hanya membuat telingaku congekan dengan trompet setannya!" rnaki Pangeran Demak dalam hati.

"Kau mengerti apa yang kuucapkan ini, Pangeran Demak?" sentak Setan Terompet.

"Mengerti Guru!"

"Apa yang kau mengerti anak manusia yang tidak pernah mau tahu?"

"Gelar Pangeranku telah kau copot, aku sekarang diharuskan memakai julukan Pendekar Kucar Kacir. Padahal aku tidak mau, dengan memakai julukan itu kau sama saja seperti menyindirku. Aku jadi heran, aku yang sudah sakit ingatan atau Guru yang sudah menderita penyakit gila?" dengus Pangeran Demak cemberut.

"Murid sedeng! Berani sekali kau menghina guru sendiri. Terus terang jika kerajaan di suatu waktu nanti dapat kau rampas kembali, bukan manusia bertampang sepertimu ini yang menduduki tahta. Tetapi adikmu puteri Saba inilah yang pantas memimpin kerajaan Pasundan!" tegas Setan Terompet.

"Ha ha ha...! Guru... Guru... memang siapa yang akan memimpin kerajaan aku pikiri. Bagiku asal sudah dapat mengungkap kematian ayah bunda dan mencari Pedang Penyebar Bencana simbol kerajaan saja sudah sukur. Mahkota sudah kubawa. Nah sekarang mahkota ini ada padaku, apakah kau mau memakainya? Aku bisa menobatkanmu menjadi raja. Tentu saja gelarmu menjadi Setan Terompet raja kurus kering kurang makan!"

"Anak setan kapiran. Jangan kau berani mengejekku. Aku bicara sungguh-sungguh. Untuk sementara mahkota kerajaan harus kubawa demi keselamatannya. Kalian boleh mencari pedang Penyebar Bencana. Pusaka kramat Mahasakti yang cahayanya saja dapat membuat manusia menjadi debu itu. Selama pedang itu tidak kalian temukan, maka selama itu pula arwah Prabu Jasa Raga tidak mengijinkan siapa pun di antara kalian menduduki tahta. Pedang itu adalah lambang pemersatu kerajaan. Ayahanda kalian menyimpannya di suatu tempat rahasia, tentu karena sudah mencium gelagat yang tidak baik dari Pangeran Suprana!"

"Kemana harus kami cari pedang itu.

Tempat penyimpanannya saja tidak kami tahu. Jika Guru tahu mengapa tidak tunjukkan pada kami!" protes Pangeran Demak Pati.

"Goblok! Aku sendiri tidak tahu dimana almarhum ayahandamu menyimpan pedang itu. Tapi kurasa ia menyembunyikannya di tempat yang sering dikunjunginya. Nah... untuk itu kalian harus menyamar sebaik mungkin agar usaha kalian untuk menemukan pusaka pemersatu itu lancar. Ingat kurasa dengan menyaru sebagai rombongan kaum pengemis usaha kalian akan berhasil! Saat ini janganlah berharap bantuan siapa pun. Karena baik aku atau pun kalian sama-sama sudah tidak  tahu  lagi mana kawan dan mana lawan. Sekarang mahkota itu serahkan padaku. Kelak aku akan mengembalikannya pada puteri Saba!"

Pangeran Demak Pati tanpa bicara

apa-apa lagi langsung mengulurkan tangannya yang memegang bungkusan berisi mahkota salah satu lambang kerajaan.

"Kurasa bekal ilmu serta kepandaian yang kuberikan pada kalian berdua telah cukup. Sekarang terimalah senjata ini!" kata Setan Terompet sambil memberikan dua potong kayu seukuran satu meter. Melihat ini Pangeran Demak pelototkan mata hendak marah. Sedangkan puteri Saba hanya diam, namun keningnya  mengerut.

"Guru! Aku tahu kegilaanmu. Tapi kuharap kau jangan bercanda dan menghina dalam waktu sekarang ini!" protes si pemuda kurus.

"Setan betul! Terima saja, mengapa harus membantahku?!"

"Sepotong kayu butut begini? Aku sendiri bisa mencari beratus-ratus potong di depan terowongan ini!"

"Diam! Edan kowe!" maki Setan Terompet dengan mata mendelik.

"Bagaimana aku bisa diam. Guru menghina aku dan adikku!"

"Pangeran edan. Setan sontoloyo. Nanti jika kau sudah berhadapan dengan musuh dan kau keluarkan tenaga dalam. Kau segera tahu rahasia apa yang terkandung di balik sepotong kayu butut yang kau caci maki itu. Sekarang terima saja sambil berharap moga sepotong kayu butut itu tidak berubah menjadi seekor ular yang mematukmu!"

"Baiklah. Guruku Setan Terompet! Jika berbantahan terus denganmu, berarti aku bisa ketularan penyakit gilamu. Lalu apalagi yang harus kami perbuat?"

Tet! Tet! Tet!

Terompet kembali berbunyi sebelum Setan Terompet lanjutkan ucapannya kembali. "Aku berharap semoga kau dapat melindungi orang-orang yang menyertaimu dan selalu setia padamu ini. Terlebih-lebih jagalah keselamatan puteri Saba. Sebab bagaimana pun kesaktiannya masih berada jauh di bawahmu! Aku sayang kepadanya sebagaimana rasa sayangku pada seorang cucu. Jika nanti kau tidak becus menjaganya. Aku tidak segan-segan membunuhmu, mengertikah Pendekar Kucar Kacir?"

"Gelar jelek itu lagi yang kau sebut? Tidak usah kau peringatkan tentu aku akan menjaganya. Dia adikku satu-satunya!" sahut Pangeran Demak Pati.

"Bagus! Aku gembira mendengarnya. Sekarang tukarlah pakaian kalian dengan pakaian yang lebih buruk lagi, sehingga kalian benar-benar mirip dengan seorang pengemis?!"

"Pakaian yang kami pakai saja sudah jelek, Guru. Apakah kami harus memakai pakaian sobek-sobek hingga dada adikku dan burungku kelihatan orang?" Pangeran Demak bersungut-sungut.

"Diam, gila betul! Kau selalu membantah setiap kata-kataku!" damprat Setan Terompet. Pangeran Demak Pati langsung katupkan bibirnya. Selagi ia hendak bicara, maka kakek bertubuh kurus kering di depannya telah lenyap dari pandangan mereka. Lebih kurang setengah jam kemudian maka terlihatlah sekelompok rombongan pengemis berpakaian lusuh berwajah kotor meninggalkan terowongan lembah Ciujung.

"Auuuh... siang-siang begini, panas terik, enaknya minum air kelapa muda. Mana ada kelapa di tepian hutan begini!" kata pemuda berbaju biru sambil menggaruk rambutnya tiada henti. Kemudian ia merebahkan tubuhnya yang letih di bawah sebatang  pohon rindang berdaun lebat.

Memandang ke ranting pohon yang terlihat olehnya dua ekor burung Kapodang berbulu kuning sedang bercumbu. Pemuda berambut hitam kemerahan nyengir, lalu menggaruk kepalanya.

"Hei burung. Kalian lagi pacaran ya?

Enak jadi burung main semplak saja. Tidak perduli emaknya sendiri, adik sendiri atau saudara sendiri. Tapi... banyak juga kok manusia di akhir jaman ini berbuat dan mempunyai prilaku seperti binatang. Padahal jadi manusia itu berat tanggung jawabnya.

Salah melangkah menyesal sampai ubanan, sampai ke liang kubur malah. Ada

kakek sudah bau tanah mipisi gadis ingusan Masa bodo'! Ha ha ha...!" Sikonyol tiba-tiba tertawa.

Crot!

Plok!

"Ait, apa ini anget-anget?!" Suro Blondo murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api seka keningnya yang tertimpa cairan hangat dan lembek. Setelah dapat diendus-endusnya. "Edan, burung goblok, tidak tahu sopan santun,  berak seenaknya. Dasar binatang, otak tidak dipakai!" maki Suro sambil mencak-mencak seperti seekor monyet yang kebakaran ekornya.

Pemuda itu tiba-tiba saja mengambil batu kecil dan menyambitkannya ke arah burung tadi. Namun belum sempat batu mengenai sasaran, burung sudah terbang, berputar-putar  di atas kepala Suro, lalu terdengar suara crot lagi untuk yang kedua

kalinya. Barulah setelah itu burung Kapodang benar-benar telah terbang menjauh.

"Bangsat! Edan betul! Itu binatang tidak pernah diajar adat oleh nenek moyangnya. Gila...!" maki Suro dengan mulut termonyongmonyong.  Suro kepalkan tinjunya dan ia acungkan ke udara. Mana kedua burung tadi perduli, mereka terus ngibrit untuk kemudian hilang dari pandangan mata.

Dengan perasaan kesal Suro merebahkan tubuhnya lagi, teringat pada burung tadi. Ia langsung teringat pada Puteri Kilat Bayangan. Gadis bermata indah seperti bintang kejora, berwajah cantik bagai bidadari.

"Okh... oh...! Andai saja aku dapat gadis secantik dia. Betapa dunia yang gersang ini menjadi indah dan jadi milikku, orang lain termasuk raja terhitung numpang.

Hatiku tidak pernah bergetar seperti ini! Memandang pada puteri Kilat aku merasa seperti sedang menelan tulang kaki ayam. Bagaimana gitu, serba salah. Matanya mengandung magnet. Senyumnya membuat aku langsung klepek-klepek seperti ayam disembelih! Walah... kapan aku dapat bersua dengan gadis secantik dia. Gadis yang bukan saja meruntuhkan hati dan jantungku. Tapi juga membuat runtuh atap rumah tetangga! Ha ha ha...!'* Suro tergelak-gelak. Sehingga tanpa disadarinya sejak tadi ada sepasang mata yang terus mengawasi tingkahnya.

Namun ada yang terasa aneh pada diri orang ini. Ia tampak selalu menahan sesuatu yang hampir tidak dapat di tahannya.

Sedangkan matanya hampir terpejam-pejam. Sampai kemudian....

"Hasyiih... hes. !"

Suara bersin pun terdengar. Bukan hanya suara bersin biasa, suaranya membuat pendekar Blo'on jatuh terguling-guling tunggang langgang. Telinga pemuda berikat kepala biru belang-belang kuning ini mendenyut sakit. Dengan wajah pucat Suro bangkit berdiri. Memandang ke arah datangnya suara. Ia melihat seorang kakek tua ompong berambut kelabu berjenggot panjang seperti kambing telah berdiri tegak di situ.

Kakek tua tersebut menutup hidung dan mulutnya. Agaknya ia hendak bersin lagi. Suro garuk-garuk kepala, rasa heran sekaligus takjub membuat matanya terus melotot.

"Has... has... hasyiih...!"

Si kakek bersin lagi. Suro merasakan kepalanya mendenyut sakit. Ia gelenggelengkan kepala untuk menghilangkan rasa nyeri yang menyerang telinganya.

"Orang tua aneh! Hosyah-hasyih. Apakah Anda menderita sakit pilek, plu demam dan sakit kepala? Siapakah situ, rasanya aku belum pernah berjumpa dengan orang sepertimu?!" ujar Suro mencoba bersikap ramah. Si kakek tiba-tiba saja pegangi perutnya, kemudian terdengar suara tawanya yang serak seperti cicak kcjepit jendela.

"Ha ha ha! Kau boleh ingusan. Kalau kau mau tahu aku ini yang dijuluki Ki Bersin, namaku Sapta Dewa. Kau sendiri siapa?"

Suro menjura hormat, melangkah ke depan lalu salaman. Sungguh tindak tanduknya membuat Sapta Dewa menjadi geli. Sehingga ia bersin lagi. Gantian Suro yang jantungan dan kaget melulu.

"Aku Suro Blondo, Ki. Tapi kuharap kau tidak bersin melulu. Aku bisa kaget

terus dan mati berdiri karena suara bersinmu itu. Sebenarnya Anda hendak kemana?" "Hes...! Bersin hampir bersin lagi. Buruburu ia tutup mulutnya. Lalu tawanya meledak. Jenggot kambingnya tergoncanggoncang sedangkan tubuhnya bergetar. "Aku datang dari seberang, daerah Kutai asalku.

Aku merindukan seorang saudara yang sudah lama meninggalkan tanah kelahiran dan merantau di daerah orang Jawa. Aku ingin mengajaknya pulang. Apakah kau pernah bertemu dengannya?"

"Siapa saudaramu itu, Ki? Perempuan atau laki-laki, sudah tua apa masih muda?" tanya Suro serius.

"Saudaraku? Ha ha ha...! Barangnya seperti barangmu, sudah tua, keriputan kurus dan seperti nggak pernah  makan. Namanya Ki Braja, dia dikenal dengan julukan Setan Terompet!" jelas Sapta Dewa.

"Walah julukannya jelek amat. Maaf Ki aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya. Mendengar julukannya saja baru kali ini."

Kakek tua itu terdiam. Lalu ia bersin lagi, namun kali ini suaranya pelan hingga tidak membuat Suro kalang kabut.

"Sayang sekali. Padahal baru sepekan yang lalu aku menerima kabar bahwa aku harus menjumpainya. Katanya ada persoalan besar yang harus diselesaikan bersama muridnya dan dia minta bantuanku! Setan Terompet sejak dulu memang sering bikin aku pusing, was-was dan memperbudak aku.

Karena dia adikku. Maka aku jadi tidak tega melihat dia dapat masalah." Kata Sapta Dewa seakan ditujukan pada diri sendiri.

"Siapa nama murid adikmu itu, Ki?" "Hmm, konon dia seorang putera mahkota

kerajaan Pasundan. Ia terpaksa mengasingkan diri bersama adiknya ketika tahta kerajaan dirampas oleh seorang Pangeran putera selir raja."

"Sebuah cerita yang sangat menarik.

Aku memang pernah mendengar ada kerajaan cukup besar bernama Pasundan di Lembah Kahuripan. Tapi menurut yang kudengar, kerajaan itu sekarang telah berganti nama dengan kerajaan Sorga Dunia. Rajanya mengangkat dirinya sebagai Tuhan! Aku menganggap ini tindakan orang gila yang pantas menjadi penghuni di jurang neraka kelak di hari kiamat! Tetapi kudengar pula, raja edan itu sangat menghargai kehidupan rakyatnya. Mengenai yang lain-lainnya aku belum menyelidik!" tegas Pendekar Blo'on berterus terang.

Sapta Dewa alias Ki Bersin memandang tajam pada pemuda di depannya. Setelah memperhatikan beberapa saat lamanya, maka ia berseru kaget....

"Astaga?! Mengapa aku tidak perhatikan sejak tadi. Rambutmu hitam kemerahan seperti orang bule. Tampangmu. hemm, cepat kau katakan padaku, siapa dirimu yang sebenarnya?"

"Sudah kukatakan aku Suro Blondo, apakah ada yang aneh menurutmu?" tanya murid Malaikat Berambut Api dan Penghulu Siluman Kera Putih terheran-heran sendiri.

"Suro...?! Kau bocah yang terlahir pada malam satu Asyuro dua puluh tahun yang lalu?" Kini giliran si konyol yang dibuat kaget.

"Bagaimana Aki bisa mengetahuinya?" "Berita menggemparkan tentang bocah

ajaib itu sampai juga di daerah kami. Kalau melihat tampangmu, rasanya aku tidak bisa menggantung harapan padamu. Mengapa orang-orang mengatakan kau sebagai bocah ajaib?"

"Ha ha ha...! Dunia ini penuh dengan keanehan, Ki. Mengapa kau harus mempercayai berita gombal? Tidak ada yang istimewa pada diriku, dan sebaiknya harapanmu jangan kau gantungkan padaku." sahut Suro merendah.

"Dulu mendengar hari kelahiranmu yang menghebohkan itu aku penasaran Hei pemuda bertampang tolol. Sekarang aku jadi penasaran pula dan ingin tahu sampai di mana kehebatanmu! Hasyiih...!"

"Bah...! Mengapa kau begitu bersemangat menyerang orang yang tidak punya salah apa-apa. Aku tidak mau melayani orang gila sepertimu!" desis Suro sambil bersungutsungut.

"Hasyih! Hasyiiiih...!"

Sapta Dewa bersin lagi. Suaranya keras menggeledek. Sehingga membuat Pendekar Blo'on jatuh bangun. Namun dengan cepat segera bangkit kembali.

Ki Bersin tiba-tiba saja menggerung keras. Tangannya terjulur  dan langsung memanjang seperti karet.  Mencengkeram leher Pendekar Blo'on dengan lima jari terkembang.  Mana sudi Suro serahkan lehernya. Sambil menggerutu ia melompat mundur. Gerakan yang dilakukannya ini tidak banyak menolongnya, karena tangan Ki Bersin terus terjulur. Pemuda ini segera mengambil inisiatip untuk  menyerang. Ia bergerak ke samping, lalu sikunya menepis disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Duuk! "Heh...!"

Suro terhuyung disertai suara pekikan terkejut. Lengannya memerah dan terasa sakit mendenyut. Sapta Dewa tersenyum mengejek. Tangannya bergerak ke samping.

Menyadari tangan lawannya atos laksana baja. Maka Suro kini segera mengerahkanjurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.

Detik itu juga terdengar suara lolongan yang sungguh aneh, terdengar suara ngak ngik nguk seperti suara monyet. Lalu tubuhnya berjingkrak-jingkrak, terkadang melompat, atau berguling-gulingan. Tidak jarang sambil menghindar ia pun menggaruk bagian-bagian tubuhnya. Walaupun setiap gerakan yang dilakukan oleh Suro terkesan seperti gerakan seekor monyet yang mabuk. Namun hingga sejauh itu tidak satu pun serangan ganas yang dilakukan oleh Sapta Dewa mengenai sasaran.

Ki Bersin kerutkan keningnya. Sungguh ia telah tertipu mentah-mentah. Sama sekali ia tidak menyangka pemuda bertampang ketolol-tololan itu sesungguhnya memiliki kepandaian yang sangat mengagumkan.

"Hasyiih."

Sapta Dewa  bersin lagi. Tentu saja suaranya sekarang tidak berpengaruh lagi bagi Suro karena pemuda ini sudah melindungi diri dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Ki Bersin tarik tangannya. Kedua tangan setelah disilangkan lalu melambai-lambai. Angin menderu hingga membuat si pemuda terhuyung ke belakang.

"Edan! Apalagi yang hendak dilakukan oleh tua bangka ini?" batin Suro dalam hati.

"Heaa...!"

Ki Bersin tiba-tiba mengadu telapak tangan satu dengan yang lainnya. Sekejab saja kedua tangannya kemudian berubah merah laksana bara. Dari telapak tangan itu memancar cahaya gemerlapan bagaikan sinar bintang. Lima sinar meluncur deras ke arah Suro. Pemuda ini pencongkan mulutnya, lalu secepat kilat ia melesat ke udara. Sinar merah itu luput dari sasaran dan menghantam pohon besar di belakangnya.

pohon langsung berlubang meninggalkan warna hitam. Kemudian hanya dalam waktu sekejab daun-daun pohon berwarna hitam pula dan berguguran. Suro leletkan lidah. Hatinya memaki. "Setan  betul manusia rongsokan berjanggut mbek ini! Dia punya pukulan beracun yang agaknya sengaja dipergunakan untuk membunuhku! Awas!

Kalau aku sampai cedera apalagi sampai kelenger dia akan kubuat malu pulang pergi!" Sebaliknya Ki Bersin yang melihat lawan dapat menghindari pukulan 'Merobek Raga Meruntuhkan Sukma' ini terperanjat sekali.

Diam-diam ia membatin "Pemuda rambut jagung ini tampangnya saja yang geblek. Siapa sangka dia punya kesaktian terendam. Aku rasa belum puas kalau bilum membuatnya semakin bertambah konyol. Coba kulepaskan pukulan sekali lagi apa yang dapat diperbuatnya!"

"Anak setan! Lihat...!" seru Ki Bersin.

Seraya hantamkan kembali tangannya ke depan.

"Bayi bangkotan tidak bergigi! Mampus!" Suro berteriak tidak kalah kerasnya. Rupanya pemuda ini dibuat kesal melihat ulah si kakek yang bukan saja berniat mengujinya, namun nekad membunuhnya.

Melihat sinar merah meluncur deras ke arahnya, Suro dorongkan kedua tangannya menyambut sinar merah tersebut. Sinar putih menderu Pendekar Bloon telah lepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'. Maka terjadilah suara ledakan keras. Kaki Suro amblas ke dalam tanah, Ki Bersin terhuyung, namun sebentar saja sudah dapat menguasai dirinya lagi. Sapta Dewa memegangi dadanya yang sesak.

"Boleh juga kau pemuda gendeng!" maki Ki Bersin.

Setelah puas melepaskan pukulan, namun tidak menghasilkan apa-apa. Maka kini Ki Bersin menyerang lagi dengan jurus-jurus tangan kosongnya yang ampuh.

Suro geram bukan main, mulutnya termonyong-monyong. Ketika tinju lawannya menderu menghantam rahang Suro. Pemuda ini merijerit, bukan kena dipukul, melainkan disaat itu Suro telah mempergunakan jurus Tawa Kera Siluman. Si kakek berambut kelabu bersurut mundur, ia gelengkan kepala seakan tidak percaya melihat tubuh lawannya berkelebat mengitari dirinya. Hebatnya lagi tidak satu pun serangan yang dilancarkan Ki Bersin mengenai sasaran. Pemuda itu menjerit-jerit, semakin lama berubah menjadi tawa menggeledek yang membuat konsentrasi

lawannya jadi terganggu. "Hasyih...! Hesss!"

Sapta Dewa bersin. Dalam suaranya terkandung tenaga dalam tinggi. Lalu kakek berjenggot kambing ini  tiba-tiba bersalto dengan gerakan setengah berputar. Murid Penghulu Siluman Kera Putih ini sama sekali tidak menyangka serangan mendadak dan sulit ditebak ini. Sehingga sungguh pun ia berusaha menghindar. Kaki lawannya menghantam dada Suro.

Diekh...! Braak!

Pendekar Mandau Jantan jatuh tergulingguling. Ada darah yang menetes  dari sudut-sudut bibirnya. Ki Bersin terus mencecarnya dengan serangkaian tendangan beruntun.

"Ki Bersin manusia gila. Apakah kau hendak membunuhku!" teriak Suro.

"Mana keajaibanmu!" dengus Sapta Dewa disertai senyum  mengejek.

Merasa diremehkan terus menerus maka Suro kini berbalik arah. Secepat kilat ia berdiri. Kemudian ia dengan nekad dan penuh kegusaran langsung menerobos pertahanan lawan. Sekali hantaman Ki Bersin menghantam perut Suro, ternyata Pendekar Blo'on tidak menghiraukannya. Lalu tangannya bergerak dengan sangat cepat sekali

Brct!

Srosot! Serosot!

"Auh...!. Kurang ajar!" Sapta Dewa sambil bersin-bersin menyumpah. Rupanya ketika bertarung dalam jarak dekat tadi Suro sengaja menelanjangi lawannya.  Adalah sesuatu yang sangat sulit dipercaya, karena Ki Bersin sebenarnya merupakan tokoh kenamaan dari daerah Kutai. Suro tergelakgelak. Ki Bersin cepat membenahi pakaiannya. Ia menjadi sangat marah bercampur malu. Anehnya setelah melihat pemuda konyol itu tertawa, Ki Bersin akhirnya ikut tertawa pula.

"Bagaimana, Ki! Apakah kau masih penasaran juga? Sekali lagi kau menyerangku, aku bersumpah akan mencukur habis kau punya bulu!" desis Suro bersungutsungut.

"Has...!" Sapta Dewa tutup mulutnya rapat-rapat. Wajahnya masih bersemu merah. "Rasanya tidak perlu diteruskan. Tampangmu tolol, ternyata otakmu cerdik. Pandai sekali kau membuat malu lawanmu! Sekarang aku percaya dengan kehebatan yang kau miliki.

Satu hal yang kuminta darimu..! Suro langsung memotong. "Huh setelah kau hampir membunuhku sekarang aku tahu kau pasti akan minta  bantuanku!" "Betul. Suro, terus terang aku orang asing di daerah ini. Naluriku mengatakan akan terjadi sesuatu yang sangat besar. Aku percaya kau seorang Pendekar yang memiliki kepandaian tidak terduga dan berhati jujur. Jika pun seumur hidup aku memutuskan untuk mempunyai seorang sahabat. Maka kaulah orangnya."

Suro garuk-garuk rambutnya. "Apa yang dapat kulakukan untukmu?"

"Coba selidikilah apa yang terjadi di kerajaan Pasundan. Siapa Pangeran Suprana. Yang aku dengar ia tidak dapat berkuasa penuh, pemerintahannya tidak diakui selama ia belum mendapatkan mahkota kerajaan dan juga pedang pemersatu  Penyebar Bencana!" jelas Ki Bersin.

"Aneh... sebuah pedang pemersatu. Tapi mengapa namanya mengerikan begitu?"

"Rasanya tidak ada yang aneh, Suro.

Pedang itu menurut adikku konon sangat berbahaya. Terlebih-lebih bila sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Dia hanya akan menyebar bencana."

"Hemm, aku sering mendengar dan melihat senjata pemersatu. Tapi

tidak seaneh ini." gumam Pendekar Blo'on Seraya memandang Ki Bersin seakan menunggu jawaban selanjutnya.

Sapta Dewa segera menjelaskan apa yang diketahuinya tentang Pedang Penyebar Bencana pada Suro.

"Sulit! Rasanya memang sulit sekali.

Jika almarhum raja Jasa Raga tidak pernah menceritakan dimana beliau menyimpan pedang itu. Pangeran Demak pasti sulit menemukannya, walau kepalanya sampai botak ubanan!" kata Suro seenaknya.

"Hasyiim! Memang apa yang kau katakan itu dapat kuterima. Namun alangkah baiknya jika kita berusaha menolong Pangeran Demak dan puteri Saba!"

"Engkau sendiri hendak ke mana, Ki?" "Tentu saja mencari adikku Setan

Terompet untuk mendengar duduk persoalan yang sebenarnya. Jika urusan di tanah Jawa ini selesai, tentu saja aku mengajak adikku kembali ke Kutai. Aku tidak tahan berada di sini  berlama-lama, gerah!"

"Cepatlah minggat dari hadapanku, Kakek gila!" gerutu Pendekar Blo'on. "Ee... ternyata tua bangka tukang bersin itu pergi diarn-diam!" Di kejauhan Suro mendengar suara orang bersin yang semakin lama semakin bertambah menjauh untuk kemudian hilang sama sekali. Suro pun tidak perlu menunggu lebih lama lagi. Ia segera pergi menuju Lembah Kahuripan.

Tubuhnya tegap bukan main. Tatapan matanya tajam, setajam mata harimau ganas dalam kegelapan malam. Dia-lah Sang Bala, manusia tinggi besar yang tidak memiliki sifat belas kasih sebagaimana layaknya manusia lain pada umumnya. Sang Bala masih merupakan murid hasil didikan Dewa Kubu. Asal usulnya tidak jelas. Puluhan tahun yang lalu Dewa Kujbu menemukan Sang Bala di tengah-tengah runtuhan sebuah

kota kecil yang porak-poranda dilanda gempa. Waktu itu kepalanya retak. Dewa Kubu kemudian mengobati Sang Bala hingga sembuh. Setelah sembuh ternyata Sang Bala tidak dapat mengingat lagi siapa dirinya.

Ia bahkan tidak dapat mengingat dari mana asal usulnya. Karena itulah Dewa Kubu memberinya nama Sang Bala alias Malapetaka alias Bencana

Kini ia tinggal bersama Pangeran Suprana dan menjadi pimpinan bala tentara kerajaan pula. Laki-laki berumur empat puluh tahun ini sangat patuh menjalankan perintah. Ia tidak bedanya dengan sosok makhluk pembunuh yang sangat mengenkan. Kesaktiannya sulit dijajaki. Lebih dari itu tubuhnya kebal terhadap berbagai jenis senjata. Pagi itu Pangeran Suprana menjumpai tangan kanannya itu.

"Salam sejahtera untukmu, saudaraku!" sapa Pangeran Suprana.

"Hemm, aku dalam keadaan sehat-sehat saja. Tidak biasanya kau menjumpai aku pagi-pagi begini. Ada apa saudaraku raja nan perkasa?" tanya Sang Bala, suaranya dingin sebagaimana wajah dan tatapan matanya. Iblis Peruntuh Mahkota tidak menanggapinya, sebaliknya ia terus berjalan menelusuri taman bunga yang luas di samping istana. Sang Bala mengikuti Kumbang Pemikat.

"Saudaraku! Begitu  banyak masalah akhir-akhir ini yang sangat mengganggu pikiranku. Aku ini seorang raja, bahkan Tuhan  dari  segala macam kesenangan. Namun hatiku tidak pernah tenang selama mahkota dan  Pedang Penyebar Bencana belum berada di tanganku. Pangeran Demak Pati harus segera ditemukan. Aku juga ingin menjadikan puteri Saba menjadi permaisuriku di istana ini. Untuk itu aku menginginkan bantuanmu secepatnya. Kerahkan pasukanmu untuk mencari pedang dan merampas Mahkota dari tangan Pangeran Demak Pati."

"Apakah kau merasa yakin saudaraku bahwa Pangeran Demak masih hidup hingga saat ini?'”

"Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Pangeran Demak Pati punya seribu cara untuk mengelabuhi kita. Aku tidak ingin istana Sorga Dunia ini kelak jatuh ke tangannya!" geram Kumbang Pemikat sinis.

"Pangeran Suprana, Iblis Peruntuh Mahkota. Demi kejayaan kekuasaanmu, aku makhluk Pembantai telah siap melakukan segala-galanya. Tidak akan ada seorang pun yang mampu menghentikan aku. Pula kau dapat berbuat leluasa dengan burung langka Elang Perak. Sisa makhluk purba itu dapat mengantarmu kemana pun kau mau!"

'Tidak kuragukan apa yang kumiliki, Elang Perak adalah  kendaraanku untuk menembus langit. Tubuhnya dua kali lebih besar dari burung Rajawali. Jika selama

ini burung kesayangan hadiah dari guru

itu kupergunakan untuk menculik gadis-gadis yang aku ingini. Tentu dia akan  lebih berguna bila kugunakan untuk mencari musuh utamaku Ha  ha ha...!" Kumbang Pemikat tergelak-gelak.

"Saudaraku, Tuhan dari segala macam kesenangan kenikmatan di dunia. Sekarang aku mohon pamit. Aku hendak memulai perjalanan ini untuk mencari dua  sebab yang meresahkan hatimu. Aku hanya membutuhkan lima orang pengawal untuk mendampingiku. Sedangkan yang lain-lainnya biarkan mereka tetap berjaga-jaga di istana."

"Pergilah saudaraku seguru. Aku merestuimu...!" sahut Pangeran Suprana.

Sang Bala membalikkan tubuhnya, kemudian ia menuju ke halaman depan istana. Sedangkan Iblis Peruntuh Mahkota tetap berdiri di tempatnya sambil tersenyumsenyum seorang diri. "Apa yang kuinginkan di dunia ini sudah kudapat. Kehormatan gadis-gadis yang cantik, yang hitam-yang putih. Semuanya sudah kurasakan. Keinginanku yang belum terkabul adalah mengenai puteri Saba. Sudah sangat lama aku merindukan keindahan tubuhnya. Dia harus menjadi permaisuriku. Kalau dia menolak, hmm...!" Iblis Peruntuh Mahkota tersenyum sinis. "Aku pasti akan memaksanya, menelanjanginya dan memandangi keindahan tubuhnya sehari semalam. Setelah itu kurampas apa yang dia miliki. Akan kuruntuhkan mahkotanya yang menjadi simbol kesucian wanita. Kebahagiaanku atas kekuasaanku di dunia ini tentu menjadi lengkap  setelah mahkota kerajaan dan Pedang Pemersatu itu telah berada di tanganku!"

Kumbang Pemikat terdiam lagi, ia kemudian mendongak ke langit. Tiba-tiba saja Pangeran Suprana bersuit nyaring. Entah  ditujukan pada siapa tidak begitu jelas? Namun tidak lama kemudian terdengar suara pekikan nyaring di angkasa.

"Hiiiii...!"

"Selamat datang sahabatku! Selamat datang Elang Perak!" seru Iblis Peruntuh Mahkota. Dengan jelas di angkasa terlihat seekor burung melayang-layang. Sosoknya semakin lama semakin bertambah besar ketika burung berbulu putih keperakperakkan itu merendah. Kepakan sayapnya menimbulkan deru angin yang sangat besar bagaikan topan. Debu dan batu-batu kecil beterbangan. Pucuk pepohonan terguncang keras.

"Kiiik!"

Elang Perak yang memiliki tubuh dua kali lebih besar dari burung rajawali ini memekik. Lalu kedua kakinya yang kokoh mendarat di atas tembok istana.

"Ha ha ha...! Aku manusia perkasa, tidak ada tokoh mana pun yang dapat menandingi kesaktianku. Kendaraanku juga tidak pernah  dimiliki oleh  orang lain.

Perkasa adalah kekuasaan, aku telah ciptakan sorga di dunia ini Sorga kenikmatan yang didambakan oleh setiap laki-laki dan perempuan.  Ha ha  ha... karena aku berkuasa, maka orang lain kecil semuanya. Aku berkehendak, tidak ada seorang pun yang dapat menghalang-halangi kehendakku! Elang Perak! Antar aku mencari apa yang kuinginkan!!" seru Iblis Peruntuh Mahkota

"Kiiiiikh...!"

Elang Perak menjerit panjang. Sayapnya terangkat tinggi. Pangeran Suprana lalu melompat ke arah tembok. Setelah itu ia naik ke punggung burung purba tersebut. Sayap kembali terkepak menimbulkan suara desis hingar bingar. Tidak lama setelah terbang berputar-putar, maka Elang Perak tersebut membubung tinggi membelah mega.

Apa yang terlihat tadi memang sangat mencengangkan. Pemuda baju biru hanya dapat pentang mata lebar-lebar, mulutnya melongo seakan tidak percaya. Ia yang telah melihat Pangeran Suprana, Sang Bala disusul dengan kehadiran Elang Perak seakan terbius oleh apa yang dilihatnya. Kini ia hanya dapat garuk-garuk  kepala.

"Edan...! Pangeran Suprana, anak setan yang mengaku dirinya sebagai Tuhan Sorga Dunia' itu dan Sang Bala saja aku tidak tahu sampai sejauh mana kehebatannya.

Dan burung tadi, melihat rentangan sayapnya saja sudah mengerikan. Jika salah satu sayap itu mengemplang kepalaku, bukan mustahil aku langsung mampus. Ini benarbenar perjuangan yang sangat besar dan berat bagiku. Gusti Allah, bagaimana mi...?! Suro garuk-garuk kepala.

Pendekar Blo'on melayangkan pandangannya ke arah istana. Dari atas pohon beringin putih yang sangat tinggi itu ia dapat melihat semua kegiatan yang sedang berlangsung di istana tersebut.

"Percuma saja aku menggebuk mereka. Kalau pun mereka semua mampus, prajuritprajurit kerajaan itu cuma kroco-kroco pesing yang tidak ada artinya. Sumber kekuatan adalah dari dua orang pentolannya ditambah dengan kehadiran Elang Perak. Urusanku benar-benar telah berubah menjadi kapiran! Tidak ada kata mundur dalam  hidupku!

Iblis Peruntuh Mahkota harus kusingkirkan. Aku yakin dia manusia setengah gila. Tuhan itu gaib, sangat keterlaluan dan dosa besar jika dia mengaku-ngaku sebagai Tuhan.

Orang edan, gila, sedeng, gemblung, dan lain-lainnya. Bagaimana pemuda keparat itu bisa sesombong itu. Sedangkan dia terlahir dari mulut perempuan yang dibawah. Dari lubang kencing yang bau pesing! Hmm...!" Suro menggeram. Untuk pertama kali dalam hidupnya wajah pemuda itu kelam membesi. Sepasang matanya tidak Jenaka lagi, melainkan telah berubah merah. Bibirnya semakin monyong. Ini merupakan suatu tanda bahwa murid Malaikat Berambut Api dan Penghulu Siluman Kera Putih sangat serius.

Saking kesalnya ia bersiul kecil, nadanya sumbang tidak teratur. Lalu terdengar suara nyanyiannya yang semakin ngaco tidak karuan juntrungnya.

Kepada keparat laknat

Kulihat setan dalam amarah manusia Kulihat setan dalam kesombongan manusia Kulihat setan dalam kedengkian manusia Kulihat setan dalam kebencian manusia Kulihat setan dalam ketamakan manusia Kulihat setan dalam keserakahan manusia Lalu kulihat semua kebusukan dalam nafsu manusia Bermula dari tiada, ada, dan kembali pada tiada

Pantaskah manusia sombong dan membanggakan diri.

Kecantikan rupa dan ketampanan wajah hanyalah sari pati tanah.

Kepalamu, tanganmu, badanmu, kakimu kelak menjadi tanah.

Lalu mengapa kau berjalan di muka bumi dengan membusungkan dada besar kepala. Jika aku mati, semua manusia mati.

Kemana perginya sang Roh.

Aku merenung dalam kehinaan diriku diitadapanNya.

Lalu aku menangis dalam kesunyianNya. Masihkan ada kebahagiaan lain selain harta, wanita dan anak-anak yang dikasihi?

Kelak bila aku mati ada tiga hal yang kutinggalkan, cuma satu yang menyertaiku di dalam kubur....

Hartaku yang menumpuk, keluargaku yang kucinta mustahil ikut serta dalam kubur.

Hanya amal perbuatanku yang setia menemaniku dalam kuburku

Masihkah aku dapat sombong bila kematian datang pasti?

Aku merenung dalam kebodohanku

Lalu kurasakan ketidak sempurnaanku...

sebagai manusia

Suara Pendekar Blo'on yang tidak beraturan itu tentu saja memancing perhatian para prajurit kerajaan. Mereka segera berlompatan menuju ke arah datangnya suara. Salah seorang di antaranya yang berbadan tinggi besar membentak.

"Kau siapa? Turun cepat!"

Suro cengar-cengir sambil garuk-garuk kepala. "Aku ini manusia seperti kalian juga. Masih perjaka tapi cari perkara!" sahut si konyol seenaknya. "Aku ingin kasih pesan para raja kalian yang gemblung itu.

Sebaiknya lepaskan perempuan di dalam istana yang menjadi budak nafsunya itu. Sudah itu berhenti mengaku diri sebagai Tuhan, tinggalkan istana dan buang pula angan-angannya yang  muluk itu!"

"Bangsat! Rupanya dirimu itu siapa kunyuk baju biru?"

"Aku adalah orang yang akan menghancurkan ambisi rajamu!"

"Keparat betul! Kawan-kawan tangkap dia!!" perintah perwira kerajaan ditujukan pada kawan-kawannya.

Perintah itu segera disambut teriakan teriakan keras prajurit lainnya. Karena Pendekar konyol Mandau Jantan ini berada di atas pohon. Maka sulitlah bagi mereka untuk menjangkaunya. Beberapa diantaranya langsung memanjat pohon tersebut melalui akar nafas pohon beringin yang menjulur

ke tanah. Namun ada juga yang tidak sabaran dan langsung melepaskan anak panah ke arah pemuda itu.

Suro tersenyum mengejek sambil melompat-lompat di atas pohon seperti seekor monyet yang' bergelayutan dan berpindah dari satu  dahan ke dahan lainnya.

Dalam hal ini tentu dia sangat ahli, karena pemuda ini didikan langsung Penghulu Siluman Kera Putih penguasa kera-kera siluman di gunung Mahameru.

"Pesan telah kusampaikan, aku tidak mau mengotori tangan dengan darah kalian! Sampai jumpa...!" gumam Suro. Tiba-tiba ia bergerak menuruni pohon tersebut, gerakannya cepat sekali. Hingga dalam waktu singkat pemuda konyol ini telah hilang dari pandangan mata.

"Kejar!" seru salah seorang prajurit. "Jangan, percuma saja?!" cegah Perwira

berbadan jangkung. "Nanti jika paduka kembali kita laporkan apa yang kita saksikan!"

Tidak seorang prajurit pun yang berani membantah perintah Perwira. Mereka akhirnya kembali ke tempatnya masing-masing

Telaga Sender di senja itu tampak sunyi.

Airnya yang jernih membuat ikan-ikan yang hidup di dalamnya terlihat dengan jelas.

Berjalan ke bagian hulu telaga sejarak sepuluh tombak. Terlihat sebuah air terjun kecil bernama Pancuran Dewa. Dari balik Pancuran Dewa itulah orang luar tidak pernah tahu bahwa ada seorang pertapa bergelar Dewa Petir berdiam di balik air terjun selama belasan tahun. Dewa Petir tokoh aneh yang tidak pernah berpihak pada aliran mana pun.

Ketika masih malang melintang di rimba persilatan dulu tidak jarang ia berpihak pada orang-orang persilatan aliran hitam, tapi di lain waktu bisa saja ia membela golongan lurus. Watak laki-laki bertubuh tambun berambut putih ini sulit ditebak, angin-anginan dan  terkesan seperti orang yang kurang waras. Pada masa itu jarang sekali tokoh rimba persilatan di tanah Jawa yang mengenalnya. Terkadang ia muncul dalam waktu tertentu dan tidak terdugaduga.

Dulu Dewa Petir punya kebiasaan jelek, ia sering melakukan pencurian dan juga

mencopet pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Sehingga ia juga dyuluki Dewa Copet, atau Dewa Maling.

Belasan tahun mengasingkan diri di Telaga Sider, ia juga mempunyai seorang murid perempuan yang cantik rupawan. Namanya Gadis, dan perempuan itu sebagaimana gurunya punya kebiasaan sangat buruk, kolokan/manja dan juga sangat cerdik. Sejak Gadis berhasil mempelajari jurusjurus dahsyat Dewa Petir dan juga mempelajari ilmu mencopet kelas tertinggi. Wanita cantik ini boleh dikata hampir jarang tinggal bersama gurunya. Beberapa purnama bisa saja ia bergentayangan di kota-kota, untuk kemudian kembali dengan membawa berbagai jenis barang  curian.

Senja itu angin dingin berhembus. Di dalam telaga tampak seorang gadis berkulit kuning langsat berenang kian kemari.

Sesekali terdengar suara nyanyiannya yang merdu. Namun suaranya kemudian terhenti saat ia mendengar suara caci maki dari balik air terjun.

"Ini sudah waktunya. Barang langka itu harus ditemukan, mengapa hanya bersenangsenang, cepat kembali!"

Wanita berwajah ayu itu menggeliatkan tubuhnya dengan malas. Tanpa bicara apa-apa dia berenang menepi untuk menghampiri pakaiannya. Tanpa merasa curiga apa-apa, gadis yang punya nama Gadis ini naik ke tebing telaga. Betapa tubuhnya sangat indah sekali, dadanya mencuat kencang, pinggulnya yang mulus itu pasti membuat laki-laki jadi jelalatan.

Gadis mengenakan pakaiannya. Tidak lama ia segera meninggalkan telaga dan berlari cepat menerobos air terjun. Di balik air terjun ternyata terdapat sebuah gua besar yang seluruh dindingnya berwarna putih seperti terbalut es. Di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah pelita kecil. Di belakang pelita itulah terlihat seorang laki-laki tua bertubuh tambun duduk bersila dengan mata terpejam.

"Guru memanggilku?" tanya Gadis, matanya yang indah melirik pada gurunya. Kakek rambut putih buka matanya. Mata itu berwarna kemerah-merahan seperti orang yang kurang tidur.

"Bocah bengal! Sejak siang tadi kau mandi terus di telaga. Apa kau mau pamer tubuh pada ikan-ikan itu? Duduklah disini, aku punya tugas penting untukmu!" kata Dewa Petir.

"Aku mau tetap berdiri. Kuharap Guru tidak memaksa!" sahut Gadis dengan wajah cemberut.

"Murid Edan! Kalau aku tidak sayang padamu, tubuh bagusmu sudah kubikin hangus. Kau tetap keras kepala, ingin aku tahu bagaimana nanti jika kau jatuh cinta pada seorang pemuda! Ha ha ha...!"

"Huh, aku bukan perempuan lemah yang mudah jatuh cinta. Lagipula aku bisa saja mengatur orang yang kucinta sesuai dengan kehendakku. Sekarang jangan Bebut-sebut persoalan cinta! Aku tidak suka mendengarnya!" sahut si baju hitam semakin sewot. "Semakin kau membantahku, ingin cepatcepat rasanya aku punya mantu!"

"Guru! Kalau kau tetap bicara tidak karuan. Jangan salahkan aku jika aku pergi lagi!"

Si kakek gelengkan kepala pelan. "Muridku kau dengarlah! Dalam mimpiku aku melihat orang-orang mendaki bukit. Aku melihat di atas bukit pancaran cahaya api. Kemudian aku melihat orang-orang saling bunuh memperebutkan sebuah senjata Pemersatu. Kulihat pula seorang raja, tapi dia sebenarnya bukan raja. Kemudian aku melihat orang-orang aneh. Aku ingin kau menyelidik. Jika persoalan sudah jelas, maka kau kembali kesini secepatnya. Atau kau

atasi keadaan dan ambil pedang yang menjadi rebutan. Aku ingin mempunyai koleksi senjata yang bagus. Seperti pedang yang kulihat dalam mimpiku itu!" jelas Dewa Petir.

"Hmm, Guru bicara tidak karu-karuan juntrungnya. Tidak pula jelas ujung pangkalnya. Aku jadi tidak tahu!"

"Pedang itu milik kerajaan Kahuripan.

Karena suatu sebab pemiliknya menyimpan senjata itu di puncak bukit. Tempatnya secara pasti aku tidak tahu. Itulah sebabnya kau harus menyelidik!"

"Apakah kabar ini baru Guru saja yang tahu?" "Huh, rupanya kau tuli!" Kakek tambun mendengus. "Tadi sudah kukatakan dalam mimpi itu aku melihat orang-orang saling bunuh. Ada tentara kerajaan, tokoh-tokoh sakti dan masih banyak lagi yang lainlainnya. Apakah  sekarang kau sudah mengerti?"

"Guru, aku tidak tertarik dengan segala macam pedang. Aku lebih suka perhiasan, permata dan juga batu-batu zambrut biru. Kalau kau menghendaki pedang itu lebih baik kau cari sendiri. Bagaimana pun selera laki-laki dan perempuan berbeda!"

"Diaam! Setan betul!" Dewa Petir tampak sangat marah sekali. "Selama ini aku sangat memanjakanmu. Sehingga kau tidak dapat

membedakan mana tugas mana perintah! Apa yang baru saja kukatakan adalah perintahku! Jangan sekali-kali kau bantah apalagi mencela!" hardik Dewa Petir.

"Dulu Guru maling, aku maling! Dulu bapak moyangnya Guru copet aku juga

copet.

Kita sama-sama maling, sama-sama pencopet

pula. Terlanjur aku berhutang budi padamu, maka perintahmu akan  ku laksanakan!"

"Ha ha ha! Ternyata kau seorang murid yang punya guna juga. Tidak percuma aku menceboki kau sejak kecil! Nah Maling Jenaka alias Maling Cerdik! Pergilah, semoga usahamu tidak mengecewakan aku!" "Baiklah, tapi satu yang kuminta. Jika

" sudah sepekan aku tidak kembali harap kau menyusulku!"

'Tentu saja. Aku akan lihat nanti apa yang dapat kau lakukan setelah kudidik selama bertahun-tahun!"

Gadis tidak menghiraukan kata-kata gurunya lagi Seraya langsung berbalik, lalu berkelebat pergi menerobos air terjun yang terdapat di  depan mulut gua.

"Sepertinya tempat ini pernah di huni oleh manusia!" Membatin laki-laki bertubuh sangat tegap itu dalam hati. "Rasanya tidak salah dugaanku. Lorong di bawah tanah mi memang pernah di pergunakan untuk temnat tinggal selama bertahun-tahun. Meneara prajurit kerajaan tidak seorang pun varS tahu?" Laki-laki tinggi besar menggerTm marah.

"Kalian yang mengikuti aku! Cepat kalian periksa sepanjang lorong ini! Jika ada orang di dalam sana tangkap dan cepat lapor padaku!"

Lima orang pengawal pilihan yang menyertai Sang Bala langsung bergerak melakukan pemeriksaan. Tidak sampai sepemakan sirih mereka sudah keluar lagi menjumpai Sang Bala. Salah seorang di antara mereka menggelengkan kepala. "Tidak ada siapa-siapa di dalam sana, Panglima. Kami menunggu perintah selanjutnya!"

Alat pembunuh Pangeran Suprana tampak kecewa. Ia memandang ke upuk barat. Ketika itu matahari sudah hampir tenggelam.

"Aku tidak mau mengulur-ulur waktu. Aku rasa orang-orang yang pernah tinggal disini adalah Pangeran Buronan Demak Pati. Mereka telah pergi. Tapi melihat sisa-sisa makanan yang ada kurasa mereka belum jauh dari sini! Sebaiknya kita ikuti jejak-jejak kaki ini!"

"Panglima, sudah dua malam kita tidak tidur dan tidak istirahat sama sekali. Apakah

tidak sebaiknya kita bermalam di sini?!" Usul salah seorang pengawal. Mata dingin yang selalu menyorot tajam itu

memandang lurus pada anak buahnya. "Aku pemimpin kalian. Aku tidak pernah

mengantuk. Siapa yang ingin bermalam silakan! Dengan syarat kepala kalian kubawa untuk di hadapkan pada raja Sorga Dunia!" Maka menggigillah sekujur tubuh pengawal itu. Ia tidak berani berkutik. Ia sadar betul Sang Bala meskipun manusia, namun tidak bedanya dengan sang pembunuh berdarah dingin Dalam melakukan pembunuhan dia tidak pernah  pandang  bulu. Siapa pun orangnya baik kawan maupun lawan bila sudah tidak berkenan   di hatinya pasti dibunuhnya.

"Siapa yang masih ingin hidup, cepat jalan di depan!" Suara Sang Bala yang serak membuat tengkuk para pengikutnya meremang berdiri. Kegelapan mulai menyelimuti alam sekitarnya ketika Sang Bala

dan anak buahnya meninggalkan lembah Ciujung.

Sementara itu pada waktu yang sama, tampak Serombongan pengemis telah sampai di sebuah kota kecil Cepu. Meskipun hanya merupakan sebuah kota yang terpencil, di malam hari itu cukup ramai. Banyak penjual makanan berdagang di  pinggir jalan.

"Ki Jarot!" kata pengemis muda berwajah lucu "Kita harus mencari makanan, setelah itu kita cari sebuah penginapan pula»"

Laki-laki paling tua dalam kelompok itu mencegah.

"Tidak usah cari penginapan, Pang eh Aden. Tidak ada pengemis yang menginap di rumah-rumah mewah. Mata-mata Pangeran Suprana tersebar di mana-mana. Kemewahan tidak sepadan dengan penyamaran kita sebagai pengemis!" jelas Ki Jarot tanpa maksud menggurui.

"Lalu kita tidur dimana? Di emperan pasar, atau tidur bersama kerbau dan kuda milik orang  kaya  disini?"

"Tentu saja tidak, Den. Nanti setelah

kita membeli makanan. Kita bisa melewatkan malam di luar kota."

"Mengapa kita hidup seperti diburu-buru setan?" Gadis berpakaian tambal-tambalan yang berada di samping pemuda itu mengeluh.

"Ini suratan takdir, Den putri." menyahuti kakek berbaju hitam tambal-tambalan. "Pangeran Suprana menyebar mata-mata di setiap tempat sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Jarot tadi. Aku sendiri bersama

Ki Pacul tadi siang juga hampir mata-mata kerajaan. Untung mereka tidak mengenali aku!"

"Lalu sekarang bagaimana?” tanya pemu da lucu yang tidak lain adalah Pangeran Demak Pati.

"Aku, Ki Palang dan Ki Pacul yang membeli makanan. Sedangkan Adon dengan Den putri menunggu di kegelapan sana. Aku takut kehadiran kita memancing perhatian orang lain. Warung-warung di sini penuh sesak. Jika pun sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada kami. Masih ada kesempatan bagi Aden berdua meloloskan diri!"  tegas  Ki Jarot.

Betapa terharu hati Pangeran Demak dan puteri Saba mendengar ucapan bekas abdi istananya itu. Mereka begitu setia dan rela mengorbankan nyawa untuk melindungi keselamatan Pangeran dan puteri kerajaan Kahuripan atau yang lebih  dikenal dengan kerajaan Pasundan.

"Baiklah, Paman. Berhati-hatilah! Kalau pun sampai terjadi apa-apa dengan kalian. Tidak nantinya kami meninggalkan Paman semua begitu saja. Kita sudah saling berikrar, berat sama di pikul, aku tidak

mau menjadi manusia pengecut!" tegas Pangeran Demak alias Pendekar Kucar Kacir serius.

"Aden, pengabdian kami bukanlah apaapa. Kami telah melakukan apa saja asal Aden dapat menguasai kerajaan kembali!"

"Ssst! Aku takut pembicaraan kita didengar oleh orang lain!" kata si gadis Pengemis khawatir. Ki Jarot segera memberi isyarat pada dua orang kawannya. MereKa menuju ke warung terdekat dimana Pangeran Demak Pati dan adiknya menunggu.

Baru sampai di depan warung dan belum sempat bicara apa-apa. Pemilik warung sudah mengusirnya.

"Hei pengemis-pengemis bau, pergilah! Kehadiran kalian hanya menghilangkan selera langganan kami!" bentaknya tidak ramah.

"Tunggu dulu Pak tua! Kami bukan mau meminta makananmu secara gratis. Kami mau beli. Ini uangnya...!" Ki Jarot menyodorkan sekeping uang perak. Pemilik warung belalakkan mata seakan tidak percaya. * *

Dengan penuh suka cita, pak tua pemilik warung tanpa banyak bicara lagi langsung menyediakan makanan yang dipesan oleh Ki Jarot. Ketiga laki-laki tua ini setelah menerima pesanan mereka langsung bergegas

menuju kegelapan malam. Baru saja ketiganya menghilang dari pandangan mata.

Terdengar suara derap langkah kuda. Lima orang laki-laki berpakaian prajurit kerajaan di sertai seorang laki-laki berbadan besar muncul dengan kuda-kuda mereka. Salah seorang prajurit melompat turun, masuk ke dalam warung dengan tergesa-gesa. Pemilik warung begitu melihat siapa yang datang langsung bergegas menghampiri.

"Tu... Tuan apa yang dapat kami lakukan untuk Tuan? Kebetulan sekali persediaan makanan kami masih banyak!" Pak tua menghampiri dengan tubuh terbungkukbungkuk.

"Aku tidak membutuhkan makananmu

Aku ingin tanya padamu apakah ada orang asing melewati kota kecil ini? JanRan coba-coba berdusta kalau tidak ingin kupenggal batang lehermu!" gertak pengawal angkuh. Maka menggigillah tubuh pak tua' Dengan gugup ia menjawab. "Tiada seorang pun orang asing lewat sini, Tuan prajurit.

Sebentar tadi ada tiga orang pengemis membeli makanan dengan uang perak!" jelasnya.

Kening pengawal itu mengerenyit dalam. "Mustahil pengemis bisa memiliki uang perak. Orang memberi sedekah biasanya dengan Uang kepeng. Aku harus lapor pada Panglima!" membatin prajurit itu.

Tidak lama ia telah membalikkan tubuhnya,  menghampiri  Panglima yang duduk dengan sikap tidak sabar di atas pelana kudanya.

"Bagaimana?!"

"Hanya ada tiga orang pengemis yang belanja di warungnya dengan uang perak, Tuan Panglima!"

"Hmm, pada saat seperti ini jangankan pengemis, monyet budukan pun perlu dicurigai! Mari kita susul mereka !" Panglima segera menggebrak kudanya Lima orang pengikutnya segera menyusul. Karena suasana dalam keadaan gelap. Matai matan itu mereka  tidak menemukan kelompok pengemis yang mereka curigai. Namun Sang Bala tidak putus asa. Keesokan paginya mereka masih berputar-putar di luar kota Cepu.

Sementara itu di pinggir sebuah sungai Pangeran Demak alias Pendekar Kucar Kacir baru saja selesai membasuh mukanya. Sedangkan Ki Jarot, Ki Palang dan Ki Pacul tampak sibuk menyediakan makanan untuk kedua putera raja tersebut. "Perjalanan ke Sembuang masih jauh

lagi, Ki. Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Kejab lagi perjalanan segera kita teruskan!" ujar Pendekar Kucar Kacir sambil menghirup sisa-sisa kopi di dalam cangkir tanah liat.

"Mengapa kita pergi ke Sembuang. Yang saya tahu di sana hanyalah sebuah bukit dengan hutan-hutannya yang sangat lebat!" Ki Jarot menanggapi.

"Ya... hanya bukit saja memang. Tapi aku ingat dulu ayahanda sering berburu dan bersunyi diri di sana. Firasatku mengatakan di sanalah Prabu menyimpan pusaka pemersatu Pedang Penyebar Bencana!" Ki Jarot tidak menanggapi. Ia mendengar suara langkah kuda menuju ke arah mereka.

"Ada orang kemari, sebaiknya kita sembunyi saja!" kata Ki Jarot.

"Mengapa harus sembunyi, kita ini pengemis! Kita lihat saja siapa yang datang!" sergah puteri Saba mencoba bersikap tabah

Karena yang bicara adalah junjungan mereka, maka Ki Jarot tidak berani memaksa kehendaknya sendiri. Tidak lama kemudian muncullah prajurit kerajaan dan juga Sang Bala. Pendekar Kucar Kacir tampak kaget juga melihat kemunculan mereka. Namun sebentar saja mereka sudah dapat menguasai diri dan bersikap acuh tak acuh. Sang Bala meneliti wajah mereka satu persatu. Keningnya mengerut dalam ketika melihat cangkir rnilik kelompok pengemis tersebut. Cangkir itu jelas cangkir milik kerajaan. Setelah terpisah sepuluh tahun Sang Bala memang tidak dapat mengenali wajah orang-orang yang diburunya. Karena di antara mereka sudah banyak yang berubah, baik rupa maupun dandanan mereka.

"Kalian kelompok pengemis dapat cangkir mewah dari mana?"

Pertanyaan Sang Bala benar-benar membuat kaget para pengemis ini. Sial. Mereka tadi tidak sempat membuang cangkir mereka. Ki Jarot bangkit berdiri. "Cangkir ini hadiah dari seorang Pangeran kerajaan belasan tahun yang lalu." sahut Ki Jarot berbohong

"Seorang Pangeran begitu bermurah hati menghadiahkan cangkir pada kalian? Hebat betul “

Waktu itu Pangeran memerlukan kuda untuk sebuah perjalanan yang sangat jauh. Karena kehabisan bekal mereka memberi kami cangkir sebagai upah mencarikan kuda!"

Sang Bala manggut-manggut, jawaban pengemis tua ini memang masuk di akal. Mungkin yang dimaksudkan oleh pengemis ini adalah Pangeran Buronan dan adiknya. Kalau begitu mereka pergi jauh dari wilayah Pasundan. Tapi bila melihat salah seorang dari pengemis itu adalah seorang perempuan dan seorang pemuda. Sang Bala menjadi curiga. Siapa tahu kedua orang yang menyertai para pengemis itu orang yang mereka cari?

"Pengemis! Aku hampir percaya dengan keteranganmu. Tapi setiap sesuatu perlu diteliti kebenarannya. Tampaknya kalian bukan pengemis biasa!" dengus Panglima itu. Ia kemudian memberi isyarat pada para pengawalnya untuk menggeledah para pengemis itu.

Melihat gelagat yang tidak baik ini, Ki

Jarot dan juga Pangeran Demak Pati segera bersikap waspada. Baru saja para prajurit ini hampir menyentuh tubuh para pengemis. Ki Jarot, Ki Palang dan Ki Pacul bertindak cepat. Tangan berkelebat. Gerakan itu sama sekali di luar dugaan. Empat orang prajurit menjerit kesakitan. Mereka roboh dengan leher tertembus pedang pendek di tangan ketiga pengemis tua tersebut. Satu prajurit lagi yang memeriksa Pangeran Demak juga mengalami nasib tragis sebagaimana kawankawannya. Sang Bala tersentak menyaksikan kejadian yang berlangsung sangat cepat sekali. Baginya walaupun kematian para prajurit itu tampak mengerikan sama sekali tidak mempengaruhi hatinya. Kematian baginya baik di kalangan sendiri maupun di pihak lawannya sama saja. Lalu laki-laki haus darah ini menggeram.

"Pertanyaan berjawab dengan kematian! Semakin besar rasa curigaku pada kalian. Kau anak muda!" Sang Bala menunjuk lurus ke arah Pangeran Demak. "Kau pasti Pangeran buronan itu, perempuan itu adikmu dan tiga tua bangka  ini  adalah para

abdi-abdimu. Tugasku terkecuali membiarkan puteri Saba tetap hidup, adalah mengambil mahkota dan merampas nyawa kalian!"

"Huh, sedap betul bicaramu. Kau pikir mahkota itu milik nenek moyangmu atau milik bapak moyang Pangeran keparat majikanmu. Jangan coba ganggu adikku atau menghendaki mahkota itu jika ingin selamat!" dengus Pendekar Kucar Kacir sengit.

"Pangeran serahkan apa yang kuminta! Aku tidak segan menghabisi kalian semua jika kau tetap keras kepala!" bentak Sang Bala dengan mata  melotot.

"Manusia setan! Mahkota itu tidak ada pada Pangeran Demak. Percuma Baja kau memaksa kami!" sahut Ki Jarot kelihatan tidak sabar  lagi.

"Aku tidak pernah percaya pada manusia. Apalagi pada orang-orang buronan seperti kalian!" Sang Bala mendengus pendek.

Belum sempat ia melakukan sesuatu, Ki Palang telah menggebukkan senjatanya yang berbentuk pikulan ke bagian kaki kuda. Kuda tersebut meringkik keras lalu tergelimpang roboh. Ki Pacul tidak tinggal diam, ia mengambil senjatanya berupa pacul yang tergeletak di tanah. Dengan pacul itu dihantamkannya kepala Panglima. Tapi laki-laki bermata tajam ini langsung menggulingkan tubuhnya ke samping. Serangan Ki Pacul luput, dari sebelah kiri Ki Jarot segera hantamkan senjatanya yang mirip dengan gergaji.

Creng!

Serangan ke bagian kepala Sang Bala luput, laki-laki  itu keburu miringkan tubuhnya lalu lepaskan pukulan beruntun ke arah tiga penyerangnya. Tiga leret sinar menderu, hawa dingin menyengat. Ki Pacul, Ki Jarot dan Ki Palang memutar senjatanya lindungi  diri. Dua dari pukulan  yang dilepaskan lawan luput. Yang satunya lagi langsung melabrak Ki  Pacul.

Kakek tua itu menggerung keras dan jatuh terguling-guling. Ki Pacul tampak menggigil. Cepat sekali ia kerahkan tenaga dalam. Setelah itu bangkit berdiri dan menyerang kembali. Dari arah samping Ki Jarot hantamkan gergajinya, dari arah depan pikulan Ki Palang menyodok perut Sang Bala. Serangan itu dapat dihindari oleh Panglima. Namun gergaji Ki Jarot menghantam punggungnya.

Crok! Croeng! Ki Jarot terkesima ketika melihat senjatanya tidak berhasil melukai lawannya. Melihat hal ini Pendekar Kucar Kacir tidak tinggal diam. Ia dan puteri Saba serentak ikut mengurung Sang Bala. Tenaga dalam dikerahkan ke arah sepotong kayu pemberian Setan Terompet. Begitu sebagian tenaga mereka telah mengalir pada potongan kayu tersebut maka pada bagian ujungnya tampak membuka. Dari dalamnya melesat dua ekor ular berwarna kuning. Melihat semua ini Sang Bala malah tertawa terkekeh-kekeh.

"Bagus! Majulah kalian semua. Aku jadi senang membunuh mana saja yang aku maui!"

Sang Bala memutar kedua tangannya untuk mementahkan serangan ketiga kakek tua. Sedangkan tangannya yang lain dipergunakan untuk menyampok ular-ular berbisa berwarna kuning yang terus meluncur deras ke arahnya. Tiga di antara ular itu berhasil

di Rampoknya dan jatuh ke tanah. Sedangkan yang satunya lagi berhasil menerobos pertahanannya.

Cep! "Heh...”

Sang Bala kaget. Akibat gigitan ular tersebut membuat sekujur tubuhnya terasa panas bagai terbakar. Namun ia tidak merasa khawatir karena tubuhnya kebal terhadap berbagai jenis racun dan bisa. Ular tadi ditariknya dari bagian perut, lalu diremasnya hingga hancur.

Pangeran Demak Pati alias Pendekar Kucar Kacir  kaget sekali. Sementara serangan dari para abdinya semakin menghebat. Namun Sang Bala juga tampak mulai mengamuk. Tubuhnya  yang kebal senjata kebal racun  ini merupakan  keuntungan baginya. Tidak satu pun senjata dari ketiga kakek tua itu yang  dapat menembus kekebalan Sang  Bala.   Malah kemudian tangan Sang Bala terjulur, ia membiarkan dirinya menjadi sasaran senjata. Sasaran yang di arahnya adalah Ki Pacul. Si kakek tentu saja tidak tinggal diam. Ia hantamkan paculnya ke wajah Sang Bala.

Dokh...!

Senjata menghantam tepat pada sasaran, tapi tidak membawa akibat sebagaimana yang diharapkannya. Sementara tangan Sang Bala sudah mencengkeram bahunya. Kakek tua ini diangkatnya tinggi-tinggi ke udara.

Melihat para abdinya dalam keadaan bahaya. Maka Pangeran Demak gerakkan potongan kayu di tangannya. Begitu digerakkan dengan pengerahan tenaga dalam. Maka dari ujung kayu tersebut melesat tiga mata pisau berwarna putih.

Tang! Tang!

Senjata itu tidak berhasil menembusi sasaran, malah berpentalan dan jatuh bergemerincing.

Ki Pacul tidak dapat diselamatkan lagi.

Sang Bala membantingnya. Kakek tua itu tidak  sempat menjerit. Kaki Sang Bala terangkat lalu diinjaknya Ki Pacul, hingga tewaslah si kakek dengan usus berburaian dari duburnya. Ki Jarot terkesima, lalu sambil menyerang terdengar suara teriakannya.

"Pendekar dan puteri, larilah selagi masih ada kesempatan. Kami akan menghalanginya! Setan yang satu ini kebal, cepat lari!!"

"Mengapa aku harus meninggalkan pertempuran. Betapa pengecutnya aku!" sahut Pendekar Kucar Kacir. Seraya melompat ke depan sambil hantamkan potongan kayu ke kepala Sang Bala. Dari arah sampingnya puteri Saba juga hantamkan senjatanya arah sasaran yang sama.

Plak!

Plak!

Serangan beruntun itu hanya membuat Sang Bala terhuyung-huyung. Kemudian terlihat seringainya yang sangat mengerikan. Ia lepaskan pukulannya ke arah Pangeran dan adiknya. Dua leret sinar biru melesat, angin bergulung-gulung.

"Hantam dengan pukulan Trompet Maut'!" teriak Pangeran Demak memberi perintah pada adiknya. Wuud!

Pangeran dan puteri Saba hentakkan tangannya, sinar merah bergulung-gulung kemudian melabrak sinar biru di tengah jalan.

Bumm! Buum!

Terjadi ledakan berturut-turut. Sang Bala jatuh terduduk, namun  masih sempat menyambar Ki Palang. Laki-laki itu di cekiknya, leher disentakkan hingga patah berderak. Ki Palang  menjerit suaranya seakan merobek langit. Ki Jarot bagai kesetanan langsung menghujani Sang Bala dengan gergajinya. Sedangkan Pangeran Demak si Pendekar Kucar Kacir serta adiknya tampak berusaha bangkit berdiri. Ternyata luka yang diderita oleh mereka cukup parah juga.

Ki Jarot bersurut mundur. Ia melihat tidak ada kemungkinan selamat bagi junjungannya terkecuali melarikan diri. Sambil menyerang kembali Ki Jarot berteriak keras.

"Pangeran! Cepat tinggalkan tempat ini.

Kita tidak mungkin menghancurkan manusia baja ini!

"Tapi bagaimana dengan engkau?" sahut pendekar Kucar Kacir ragu-ragu.

"Jangan hiraukan keselamatanku. Cepatlah selama masih ada kesempatan!"

"Kakang, kurasa benar ucapannya. Kita bukan pengecut, tapi kerajaan harus kita bebaskan dari orang-orang seperti mereka!" Puteri Saba ikut  memperingati.

Dengan hati berat Pendekar Kucar Kacir terpaksa menuruti keinginan adiknya. Tentu saja Sang Bala tidak tinggal diam dengan membiarkan buruannya lolos begitu saja. Ia pun mengejar, namun Ki Jarot yang cerdik menubruk kakinya. Sementara Pangeran dan puteri sudah tidak kelihatan lagi. Panglima kerajaan Pasundan atau kerajaan Sorga Dunia ini berusaha membebaskan kakinya dari dekapan lawan. Tapi tangan Ki Jarot melekat erat bagaikan tangan-tangan gurita.

Alat pembunuh ini menggeram marah. Tangannya terangkat ke bagian kepala Ki Jarot. Lagi-lagi Ki Jarot menangkis.

Duuk!

Ki Jarot menjerit. Tangannya yang dipergunakan untuk menangkis hancur. Sang Bala menggeram dan jatuhkan pukulan lagi.

Kali ini Ki Jarot tidak sempat lindungi kepalanya.

Prok!

"Akh...!" Kakek malang hanya mengeluh pendek. Kepalanya hancur, benaknya berhamburan Sang Bala dengan geram menendang mayat Ki Jarot. Dengan tergesa-gesa ia kembali mengejar, kira-kita sejarak seratus tombak ia kehilangan jejak.

"Jahanam! Orang itu benar-benar telah memberi kesempatan pada tuannya untuk melarikan diri. Aku harus mencari kuda lagi Bagaimana pun Pangeran Demak harus kutangkap hidup atau mati." dengus Sang Bala masih kelihatan mendongkol.

"Kau terluka Kakang! Luka dalammu cukup parah!" kata puteri Saba kelihatan sangat khawatir sekali. "Kita harus menghubungi tabib Dewa Sesat. Kurasa hanya dia yang dapat menyembuhkan lukamu!"

Pemuda berbaju tambal-tambalan menyeringai menahan sakit. "Aku tidak butuh segala macam tabib. Apalagi Tabib Dewa Sesat. Dulu ketika ayahanda Prabu masih ada beliau memang memihak  pada kita.

Tapi sekarang kita tidak tahu dia berpihak pada siapa? Pula kita tidak tahu di mana tempat tinggal kakek aneh itu." sahut Pendekar Kucar Kacir. "Sudahlah jangan terlalu banyak berharap. Guru kita memang sinting, aku diberinya julukan sial! Pendekar Kucar Kacir, sungguh persis sekali dengan keadaan kita saat ini. Memalukan, sangat memalukan!" Pangeran Demak Pati bersungut-sungut. Ia kepalkan tangannya.

Tinjunya menghantam tanah.

Gerakan emosi spontan itu jelas membuat luka dalam Pangeran Demak semakin bertambah parah. Ia terbatuk dan darah bergumpal mengalir keluar. Puteri Saba semakin khawatir melihat saudaranya yang tampak prustrasi. Ia sendiri sebenarnya terluka dalam juga. Namun luka dalam yang dideritanya lebih ringan.

"Jangan banyak bergerak, Kanda. Nanti keadaanmu semakin bertambah parah!" Pangeran Demak terdiam. Tampaknya darah yang mengalir dari sudut-sudut bibirnya masih belum berhenti.

"Coba Kakang kerahkan tenaga dalam.

Mudah-mudahan saja ada hasilnya!" saran puteri Saba.

"Tidak bisa. Pukulan Sang Bala aneh sekali. Semakin aku mengerahkan tenaga dalam. Aku bisa mati mendadak! Sebenarnya kematian bukan sesuatu yang mengerikan bagiku. Cuma aku kasihan padamu, dengan siapa nanti kau tinggal! Pangeran keparat itu tampaknya menghendaki dirimu!"

"Cis, siapa sudi. Daripada menjadi permaisurinya, lebih baik aku mati!" sahut puteri Saba  marah.

"Ukh! Akh...!"

Pendekar Kucar Kacir dekap dadanya. tiba-tiba ia terkulai dan tidak sadarkan

"Kandaaa...!" jerit puteri Saba Bambil memeluk Pangeran Demak. Gadis itu menangis. "Kakang jangan tinggalkan aku! Aku tidak mau hidup sendiri!"

Ternyata Pangeran Demak bukannya mati, melainkan hanya pingsan saja. Selagi puteri Saba dalam keadaan bingung begitu Terdengar suara langkah-langkah kaki tidak jauh di belakangnya. Sang puteri cepat menoleh, ternyata yang muncul adalah seorang gadis cantik berpakaian serba hitam.

"Pengemis cengeng, yang mau mampus itu saudaramu, pacarmu atau suamimu.

Kalau suami biarkan saja dia mampus, nanti kau bisa cari gantinya yang lebih kaya dan bukan pengemis. Bukankah wajahmu cantik? Hi hi hi...!" cibir si gadis ketus.

Puteri Saba tentu saja menjadi marah dicaci maki oleh gadis yang tidak di kenalnya sama sekali. Ia bangkit berdiri, lalu berbalik menghadap gadis baju hitam.

"Kau siapa? Jika punya tujuan baik sebaiknya kau bantu aku menolong kakangku ini. Tapi jika cuma mau usil, sebaiknya kau merat dari sini!" bentak puteri baba sengit.

” Hi hi hi...! Baik, akan kulihat dia masih bisa ditolong atau tidak. Hi m ni. Gadis baju hitam menghampiri Pangeran

Demak. Setelah memperhatikan keadaan si pemuda dan memeriksa dadanya, ia berdiri lagi sambil menggelengkan kepalanya. "Luka. nya cukup berat, aku tidak bisa menolongnya Dia segera mati, biarkan saja jangan dipikiri. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini. Aku punya tugas berat, tugas maling! Selamat tinggal, selamat meratap-ratap!" kata gadis baju hitam yang tidak lain adalah Maling Jenaka atau Maling Cerdik.

Puteri Saba geram bukan main, jika ia tidak memikirkan keselamatan saudaranya. Ingin rasanya ia mengejar dan mendamprat gadis sinting tadi. Namun ia terpaksa menahan kekesalan hatinya. Dihampirinya Pangeran Demak yang masih tidak sadarkan

diri. Dalam keadaan bingung seperti sekarang ini ia memang tidak tahu harus berbuat apa. Namun lagi-lagi ia dikejutkan oleh suara seseorang.

"Hlo ke mana perginya gadis itu. Kulihat tadi ia ke sini! Kurang ajar betul! Mestinya aku tahu dia hendak pergi kemana!" kata seorang pemuda. Puteri Saba cepat menoleh. Gadis itu kerutkan keningnya. Saat itu di depannya telah berdiri seorang pemuda berambut hitam kemerahan berbaju biru. Lagaknya celingak-celinguk sambil garukgaruk kepala. Tampangnya ketolol-tololan dan terkesan seperti orang kurang waras.

“Kau siapa? Apakah temannya gadis Maling tadi?" tanya si gadis curiga.

"Bukan? Aku mencari gadis baju hitam Kulihat ia begitu mencurigakan!" sahut si pemuda yang tidak lain adalah Pendekar Blo'on.

"Aku tadi melihatnya. Gadis sinting yang mengaku dirinya seorang maling. Dia sempat membuatku kesal. Jadi benar kau tidak punya hubungan apa-apa dengannya?" Puteri Saba kelihatan masih curiga. Suro menggeleng. Perhatiannya kini beralih pada pemuda berpakaian kumal yang dalam keadaan terlentang tidak sadarkan diri.

"Dia siapa?" tanya Suro ditujukan pada puteri Saba.

"Saudaraku."

Hanya dengan sekali lihat saja Suro segera tahu bahwa pemuda itu sedang menderita luka dalam yang serius. Tanpa bicara ia langsung menghampiri.

"Celaka! Racun telah menjalar di sekujur pembuluh darahnya. Siapa yang melakukan semua ini?" .

"Panglima perang kerajaan Sorga Dunia! jawab puteri Saba tanpa ragu-ragu.

"Dia harus cepat ditolong, jika tidak umurnya paling hanya beberapa jam lagi.” tegas murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api ini serius.

"Apakah kau mampu melakukannya? tanya puteri Saba ragu-ragu.

"Kita lihat saja nanti!" sahut Suro tanpa menoleh.

Lalu Pendekar Mandau Jantan ini membuka baju Pangeran Demak Pati. Setelah bagian dada terbuka terlihat ada bekas telapak tangan membiru. Saking cemasnya Suro termonyong-monyong.

"Racun keji Pedut Pati! Bagaimana mungkin racun ganas yang menurut guru telah musnah dari rimba persilatan itu kini ada lagi?!" pikir Suro kecut. Mustahil ia mengerahkan tenaga dalamnya. Pengerahan tenaga dalam hanya membuat luka yang di derita oleh pemuda mengemis itu semakin bertambah parah. Jalan satu-satunya adalah dengan membuka jalan darah di bagian kaki, kepala dan juga dada pemuda itu.

Tanpa berpikir panjang lagi ia mengeluarkan dua buah obat pulung. Kemudian memasukkannya ke dalam mulut Pendekar Kucar Kacir secara paksa. Setelah itu ia mengeluarkan mandau berikut tangkainya. Melihat senjata di tangan pemuda bertampang tolol kekanan-kanakan puteri Saba jadi curiga.

'Hei... apa yang hendak kau lakukan?

Kau mau mencelakai saudaraku!"

"Justeru kalau aku tidak menolongnya dia benar-benar akan celaka!" jawab Suro tidak bergeming sedikit pun. Ia menggores kedua telapak kaki, kedua telapak tangan, ubun-ubun dan juga dada pemuda pengemis. Setelah ada darah yang mengalir melalui luka Kecil yang dibuat Suro Blondo.

Maka bocah ajaib mi segera menempelkan rangka mandau pada setiap bagian luka beberapa saat  lamanya.

Cairan darah berwarna biru kemerahmerahan tersedot keluar. Bau amis dan bau busuk bercampur aduk menjadi satu. Tubuh Pendekar Kucar Kacir pucat pasi seakan tidak berdarah lagi. Puteri Saba semakin khawatir melihat semua ini. Setelah menyedot habis seluruh racun ganas yang mengeram di tubuh pemuda itu. Barulah Suro berani mengerahkan tenaga dalamnya ke dada Pangeran Demak Pati.

Tampak jelas sekujur tubuh Suro menggigil, keringat sebesar-besar jagung menetes deras membasahi wajahnya. Tidak lama setelah terdengar suara erangan Pangeran Demak. Pemuda ini tarik balik tangannya. Suro bersemedhi.

Bukan main gembiranya hati puteri Saba melihat Pangeran Demak mulai sadar dan berangsur-angsur sehat kembali. Ketika si Bocah Ajaib buka matanya. Puteri Saba mengeluarkan sepuluh keping uang emas. Sebuah jumlah yang sangat besar yang pada masa itu bisa dipergunakan untuk membeli sebuah rumah penginapan Apalagi kalau dibelikan krupuk Suro tidak bisa membayangkan betapa  banyaknya.

Pemuda berambut hitam kemerahan itu beringsut menjauhi puteri Saba. Matanya sedikit melebar, bibirnya termonyongmonyong.

"Apa yang kau lakukan padaku? Dunia

ini kurasakan semakin aneh, ada pengemis sekaya engkau?!" Heran Suro bertanya dengan perasaan tidak mengerti.

"Lebih baik kau ambil Tuan penolong. Ini sebagai rasa terima kasihku karena kau telah menyelamatkan  saudaraku!" desak puteri Saba sambil tetap menyerahkan sepuluh keping emas pada Suro. Suro garuk kepala sambil menggeleng. "Aku tidak meminta imbalan apa-apa. Yang membuat aku heran mengapa orang kaya seperti kalian mengemis?!"

'Tunggulah sebentar, biar saudaraku yang menjelaskan semua ini pada Tuan!" Puteri Saba memapah Pangeran Demak hingga membuat pemuda itu dapat duduk tegak. "Kanda, Tuan ini telah menolongmu. Dia tidak mau pemberian dari kita. Apakah tidak sebaiknya kita ceritakan siapa kita dan juga kesulitan kita. Mungkin dia dapat menolong kita."

Pendekar Kucar Kacir memperhatikan Suro Blondo sekejab. Setelah itu yakinlah Pangeran Demak ini bahwa pemuda berambut hitam kemerahan ini dapat dipercaya.

'Terima kasih kuucapkan karena Tuan telah menolong kami! Tanpa pertolongan tu...!"

Jangan panggil tuan, aku ini bukan saudagar atau anak bangsawan. Aku Suro Blondo. He he he...!" potong Pendekar Blo'on merasa tidak enak hati.

"Suro Blondo?!" Kening puteri Saba mengerenyit dalam. Ia coba mengingat-ingat sesuatu. Namun apa yang dipikirkannya tidak menghasilkan  apa-apa. "Aku dan saudaraku sebetulnya sedang menyamar untuk menghindari  kejaran orang-orang kerajaan. Saudaraku ini adalah Pangeran Demak Pati bergelar Pendekar Kucar Kacir.

Sedangkan aku sendiri puteri Saba!" kata si gadis memperkenalkan  diri.

Suro tiba-tiba saja berlutut, kepalanya direndahkan seperti orang hendak bersujud. Puteri Saba buru-buru mencegah.

"Eiit... apa-apaan ini?"

"Maafkan aku yang tidak mengenali kalian. Aku tidak tahu Tuan puteri!"

"Jangan panggil tuan puteri. Aku lebih suka kalau kau memandangku sebagai masyarakat biasa  saja."

"Aku jarang melihat ada keluarga bangsawan rendah hati seperti kalian. Tadi kau mengatakan Pangeran Demak adalah Pendekar Kucar Kacir. Kalau tidak salah aku menduga, tentulah kalian berdua murid Setan Terompet?!" Pangeran Demak dan puteri Saba saling pandang, tampak jelas mereka sangat kaget mendengar ucapan Suro.

"Darimana kau tahu, Suro?" tanya Pendekar Kucar Kacir heran.

Pendekar Blo'on kemudian menceritakan perjumpaannya dengan Ki Bersin sekaligus menjelaskan maksud kedatangan tokoh dari Kutai itu pada pewaris kerajaan Pasundan yang sah.

"Hmm, guru kami Setan Terompet memang pernah menceritakan tentang saudaranya. Aku yakin dia bersedia membantu, karena Ki Bersin terhitung uwa guru kami. Tapi Pangeran Suprana sendiri bukan manusia lemah. Saudara seperguruannya yang berjuluk Sang Bala sakti bukan main, ia kebal senjata. Baru saja kami bentrok dengannya. Para abdiku tewas. Aku sendiri hampir mampus. Belum lagi Elang Perak burung raksasa itu. Aku pun khawatir jika

guru Pangeran Suprana yang bernama Dewa Kubu itu menyusul ke Jawa ini. Orang yang kita hadapi bukan hanya mereka saja, mungkin masih ada lagi tokoh-tokoh lain di luar perhitunganku!"

"Seperti gadis baju hitam tadi!" Puteri Saba menimpali. "Dia mengaku  dirinya maling. Tingkahnya kolokan dan setengah sinting. Kurasa ia juga orang kurang waras yang siapa tahu menginginkan pedang pemersatu yang disembunyikan almarhum ayahanda kami!"

"Apakah benar pedang itu ada?" tanya si konyol ingin kepastian.

"Pedang Penyebar Bencana memang ada Dulu ayahku selalu membawanya kemana pun dia pergi. Agaknya sudah menjadi takdir dan ayah mengetahuinya apa yang akan terjadi. Ayah kemudian menyembunyikannya di suatu tempat yang menurut dugaanku di puncak Bukit Sembuang. Aku khawatir orang luar sudah mendengar kabar ini." kata Pendekar Kucar Kacir.

"Mengenai masalah pedang. Aku berjanji untuk membantu mencarinya. Yang kudengar katanya bukan pedang itu saja yang menjadikan sah tidaknya raja memimpin kerajaan Pasundan."

"Memang benar. Siapa pun yang memimpin Pasundan juga harus memiliki mahkota kerajaan yang asli yang telah diwariskan secara turun temurun. Mahkota itu tidak perlu kau risaukan. Sialnya, dalam menghadapi Sang Bala, aku sudah tidak sanggup. Rasanya kesialan itu semakin membayangiku setelah guru kami Setan Terompet memberiku gelar Kucar Kacir."

"Ha ha ha! Kucar Kacir itu sama artinya dengan morat-marit, pontang-panting, tunggang langgang, terbirit-birit. Kurasa gurumu manusia tidak waras, ketika terlahir belum genap umurnya dalam kandungan Pangeran Demak, tidak segan-segan kukatakan padamu, kulihat garis wajahmu memang penuh kesialan!"

"Pemuda edan!" memaki Pangeran Demak Pati.

Entah mengapa hati Pangeran merasa cocok berkawan dengan Pendekar Blo'on padahal mereka belum lama saling kenal. "Apa gelarmu. Aku yakin kau punya julukan tidak jauh bedanya dari tampangmu!

Ayo katakan...!" Pangeran Demak mendelik. Suro beringsut menjauh. "Ha ha ha...! Aku tahu, tapi mana kena di tipu. Kalau kau tahu julukanku kau pasti akan mengejekku. Bukankah begitu?"

"Kau tampan namun tampangmu seperti orang bego. Aku tahu kau pasti bergelar Pendekar Goblok. Hayo mengakulah...!"

"Kau salah menduga!" bantah Suro, waiahnya berubah memerah. "Aku Pendekar Blo'on!"

Pangeran Demak langsung meledak tawanya. Ia terkekeh-kekeh, lalu pegangi celananya yang basah. Ternyata Pendekar Kucar Kacir sampai terkencing-kencing.

"Walah memalukan, sudah tua bangka begitu masih ngompol!" Suro tersenyum mengejek.

"Kanda celanamu... merah...!" seru puteri Saba.

Seketika Pangeran Demak melirik ke bagian yang basah itu. Memang ada darah bercampur air kencing di situ. Maka pucatlah wajah Pangeran Demak. Tawa Suro Bemakin menjadi-jadi.

"Kau pangeran mata keranjang, pasti sering jajan pada wanita jalanan. Kau kena penyakit. Ha ha ha...!"

Wajah Pangeran Demak berubah pucat. "Suro sungguh mati aku tidak pernah kencing pada perempuan murahan. Mengapa begini, Suro tolonglah! Kau jangan tertawa saja seperti orang gila. Bagaimana ini?!" Pangeran Demak kelihatan bingung sekali.

"Tolong kakangku, Suro!!" Puteri Saba ikut meratap, tatapan matanya tampak memelas sekali. Pendekar Blo'on hentikan tawanya. Ia sadar betul pasti ada urat darah di bagian saluran air seni Pangeran Demak yang bocor. Sehingga karena pengaruh suara tawa itu menekan darah keluar melalui saluran air seni sang Pangeran.

"Tidak usah khawatir. Darah itu akan berhenti dengan sendirinya." jelas akhirnya dengan serius.

Merasa jera Pangeran Demak Pati terpaksa hentikan tawanya. Ia memandang pada puteri Saba dan Pendekar Blo'on silih berganti. Lalu terdengar suara si baju biru.

"Aku tertawa di tengah orang yang sedang kesusahan.  Orang yang sedang kesusahan mentertawakan dirinya sendiri, gila betul! Pangeran  Demak!" kata Suro sambil mendongak ke langit. "Aku sudah menyelidik ke  istana  beberapa hari yang lalu. Aku juga sudah melihat bagaimana tampangnya Pangeran yang mengaku dirinya Tuhan. Seandainya ia punya ilmu simpanan segudang, aku tidak begitu menghiraukannya. Tapi burung raksasa yang bernama Elang Perak itu adalah sosok makhluk yang berbahaya. Sepanjang perjalanan mencari kalian, aku berpikir bagaimana caranya mengatasi burung raksasa itu. Akal sudah kudapat, namun aku tidak yakin apakah berhasil melakukan sebuah siasat!"

"Mengatasi Sang Bala dan Pangeran Suprana saja aku sudah pusing tujuh keliling Aku tidak dapat lagi membayangkan betapa dahsyatnya burung itu!" sahut Pendekar Kucar Kacir.

"Ketentuan di tangan Gusti Allah.

Marilah kita sama-sama bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan yang ada!" tegas Pendekar Blo'on memberi semangat

"Hiiii... kak...!"

Sedang mereka terlibat pembicaran serius. Tiba-tiba di angkasa terdengar suara mendesir disertai pekik keras suara seekor burung. Ketiganya serentak memandang ke langit.

"Celaka! Elang Perak...!" desis puteri Saba dengan suara tercekat.

Suro dan Pangeran Demak juga tidak kalah kagetnya. Timbul keinginan bagi mereka untuk bersembunyi. Tapi rasanya sudah terlambat. Pangeran Suprana yang duduk di punggung burung raksasa tadi pasti sudah melihat mereka. Terbukti Liang Perak mulai terbang merendah. "Pendekar Kucar Kacir! Luka dalammu

belum sembuh benar, harap kau berlindung di tempat yang aman. Kau juga puteri Saba!" perintah Si Bocah Ajaib, seraya bangkit berdiri.

"Hiii...!"

Elang Perak menyambar-nyambar di atas kepala Pendekar Blo'on. Sedangkan Pangeran Demak masih tetap berada di tempatnya.

Kepakan sayap elang itu saja sudah membuat tubuh Suro tergontai-gontai. Debu dan pasir berterbangan. Hingga suasana di sekitarnya gelap seketika.

"Kaak...!"

Angin bergemuruh, pohon-pohon seukuran paha porak poranda. Tidak lama kemudian terdengar suara Pangeran Suprana yang begitu lantang.

"Kepada orang di bawah! Harap kalian tidak bikin ulah dan menyerah secara baik-baik kepadaku!  Aku tahu kalian mungkin orang yang kami cari!" Elang Perak mendarat di atas batu cadas tinggi. Pangeran Suprana melompat dari atas punggung binatang tunggangannya. Dengan hanya beberapa kali lompatan saja ia telah

sampai di depan Suro Blondo. Hanya sebentar saja ia memperhatikan pemuda berambut kemerahan itu. Kini perhatiannya tertuju pada kedua muda-mudi berpakaian pengemis yang baru saja berdiri dari tempat duduknya. Mula-mula matanya tampak menyipit,

semakin lama memperhatikan. Maka kemudian terdengar suara tawanya bergelak. Pangeran Demak Pati merasa penyamarannya telah diketahui oleh orang yang sangat ia benci.

'Sepuluh tahun melarikan diri, sepuluh tahun kalian menghilang. Sungguh kasihan kini kahan menjadi gembel-gembel memalukan! Aku sebagai raja Pasundan mencari kalian kemana-mana. Tidak tahunya kalian sangat menyedihkan! Sekarang menyerahlah' Tidak ada gunanya kalian melawan Tuhan!" kata Pangeran Suprana begitu angkuhnya.

"Kau orang gila lepas dari penjara mana mengaku-ngaku diri Tuhan! Kau pikir pantas dirimu mengaku Tuhan! Walau pun wajahmu tampan, kau sesungguhnya lebih cocok menjadi monyet! Ha ha ha...!" celetuk Suro yang merasa panas telinganya mendengar ucapan Pangeran Suprana.

"Heh...!" Raja Sorga Dunia kaget sekaligus menoleh. Di lihatnya pemuda baju biru tampak cemberut sambil garuk-garuk kepala. "Kau yang barusan bicara kurang ajar tadi?"

"Matamu tidak buta. Tentu saja aku yang bicara, apa kau merasa arwah nenek moyang selir yang gentayangan kemari dan bicara padamu!" Marah sekali Pangeran Suprana mendengar ucapan pemuda bertampang ketolol-tololan yang sangat menghinanya itu.

"Jahanam!  Aku   akan selesakan urusanku dengan Pangeran Demak dulu, Setelah itu giliranmu nanti!” maki yang Suprana. Seraya berpaling Pangeran Demak dan  puteri Saba. “Kembalikan mahkota itu dan tunjuk dimana ayahanda

Prabu menyembunyikan pedang Penyebar Bencana!"

Pendekar Kucar Kacir pura-pura terkejut. "Eh, kau manusia dari mana? Apakah kau baru turun dari langit? Aku sama sekali tidak mengenalmu, aku juga tidak mengerti apa maksud ucapanmu! Aku Pendekar Kucar Kacir, bukan Pangeran apa tadi yang kau sebutkan?"

"Ha ha ha! Kau memang pantas menjadi Pendekar Kucar Kacir, sepuluh tahun yang lalu kau pontang panting menyelamatkan diri dari istana bersama adikmu. Nyawamu tidak bisa kuampuni, hanya nyawa adikmu saja yang dapat kumaafkan, karena ia akan menjadi permaisuriku!" kata Pangeran Suprana tanpa malu-malu.

Wajah puteri Saba sempat memerah, sedangkan Pangeran Demak Pati jadi geram sekali. Perubahan air muka mereka tidak sempat terlihat oleh Pangeran Suprana.

Sebaliknya Pendekar Blo'on tampak tidak sabar mendengar ucapan raja tengil itu. "Hei raja cabul. Sudah selesai kau bicara dengan para pengemis itu? Cepatlah kemari, berlutut di hadapanku. Kata-katamu cuma membuat gatal kupingku! Cepat turuti perintahku!" bentak Suro Blondo sinis.

“Anak setan ini benar-benar Bangat keterlaluan sekali. Kalau aku tidak menghajarnya hingga mampus, dia akan semakin kurang ajar saja padaku!" batin Pangeran Suprana geram.

Cepat sekali Pangeran Suprana alias Iblis Peruntuh Mahkota alias' Kumbang Pemikat berbalik. Tanpa basa-basi ia kirimkan satu jotosan menggeledek ke dada Si Bocah  Ajaib. Angin dingin bersiut membuat tubuh Suro merinding. Karena serangan mendadak itu disertai pengerahan tenaga dalam, dapat dipastikan pukulan itu dapat meremukkan dada lawannya. Hanya sepersekian detik lagi pukulan itu mendarat di dada lawannya, di luar dugaan Suro meliukkan tubuhnya. Ia bergerak ke samping sambil meludahi wajah Pangeran Suprana.

Air ludah berhamburan membasahi wajah raja Sorga Dunia. Pemuda itu selain kaget juga marah sekali. Ia seka air ludah tersebut sambil menggeram.

"Jahanam!"

"Ha ha ha! Pentang matamu baik-baik, orang gila yang mengaku Tuhan! Barangkah kau mabuk hingga seranganmu jadi melenceng!" kata Suro mencemo'oh. Merasa penasaran Pangeran Suprana kembali lepaskan tendangan beruntun ke arah awannya. Kali ini  Suro  melompat-lompat sambil menggaruk bagian-bagian tubuhnya. Tiba-tiba saja pemuda ini berbalik lalu dengart cepat menangkis tendangan lawannya dengan sikunya.

Dak! Dik! Duk! Splak!

Iblis Peruntuh Mahkota bersurut mundur. Kakinya yang berbenturan dengan siku lawannya terasa mendenyut seperti di tusuk-tusuk ribuan batang jarum.

"Orang ini ternyata mempunyai kepandaian di luar dugaanku semula. Melihat wajahnya aku tidak menyangka ia memiliki kesaktian. Gerakan-gerakannya aneh seperti gerakan monyet. Aku harus cepat menyingkirkannya!" batin Pangeran Suprana.

Untuk kedua kalinya Kumbang Pemikat merangsak maju. Ia langsung mempergunakan jurus Menembus Langit Merengkuh Matahari. Salah satu jurus warisan Dewa Kubu yang  sangat dahsyat. Lalu kedua tangan Iblis Peruntuh Mahkota ini  secara bersamaan menghantam  ke bagian-bagian tubuh lawannya. Suro menggerung   ketika merasakan adanya sambaran hawa  panas seakan memanggang tubuhnya. Ia bersalto ke belakang. Sambil berjongkok ia terus menghindar. Gerakannya cepat bukan main, sedangkan dari bibirnya terdengar suara ngak ngik nguk tiada henti.

Meskipun gerakan-gerakan unik Suro yang seperti monyet mabuk ini sempat mengecoh Pangeran Suprana. Tetapi  ketika raja Sorga Dunia ini lipat gandakan tenaga dalamnya dan lakukan serangan bertubi-tubi Suro mulai merasakan adanya tekanan yang kian menghebat, la tidak dapat tinggal diam saat jemari tangan lawan menjebol dadanya secepat kilat ia melompat, kaninya segera menendang

Duuk! "Ukh...!"

Sentakan keras serta akibat dorongan Kumbang Pemikat yang begitu besar membuat Suro nyaris terbanting. Pangeran Suprana menggelengkan kepalanya sekali. Setelah itu melompat lagi,  kini jemari tangannya  mencengkeram pundak Suro. Pemuda itu jelas tidak membiarkan bahunya hancur dicengkeram lawan, karena ia sudah melihat kedua tangan lawan sudah berubah seperti bara sampai sebatas siku.

"Dia tidak bisa dipandang enteng. Monyet satu ini harus di beri sedikit pelajaran!" batin Suro.

Pendekar Blo'on menggeser langkahnya.

Segera ia kerahkan jurus Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau. Pemuda baju biru mi langsung melompat tinggi ke udara. Serangan Pangeran Suprana luput, saat itu Suro sudah meluncur kembali ke bawah. Tendangan lurus di arahkan tepat ke bagian kepala lawannya. Serangan yang sangat cepat^ ini tidak sempat lagi dielakkan oleh Pangeran Suprana.

Dhaak!

Dengan telak kepala Pangeran kena dihantam oleh Suro. Laki-laki ini jatuh tidak jauh dari tempat Pangeran Demak dan puteri Saba berada. Iblis Peruntuh Mahkota yang masih puyengan ini langsung bersuit. Sesungguhnya ia belum kalah, namun rupanya ia punya rencana lain.

"Kiiik!"

Elang Perak yang sudah tampak resah di atas batu cadas kepakkan sayapnya. Makhluk raksasa itu langsung terbang rendah mendekati Suro.

"Bunuh setan tolol itu, sahabatku!" teriak Pangeran Suprana.

"Kaaak...!"

Elang Perak memekik keras. Suro terkesiap.

"Celaka! Jika binatang ini menyerangku, mustahil aku dapat melindungi Pangeran Demak yang sedang terluka, si jahanam itu pasti menghendaki puteri Saba!" maki Suro dalam hati. Dan pemuda ini sebagaimana kenyataannya memang sudah tidak punya waktu lagi untuk berfikir jauh. Kepakan Elang Perak telah menghantam Suro. Bukan main dahsyat angin yang ditimbulkannya. Suro nyaris terpelanting. Namun ia cepat berguling-guling. Elang Perak menukik tajam, paruhnya mematuk kepala Suro. Melihat bahaya yang mengancamnya, Suro lepaskan pukulan Kera Sakti Menolak Petir Sinar   putih bergulung-gulung melabrak burung raksasa itu. Namun Elang Perak seakan mengerti, ia kepakkan sayapnya Angin bagai badai topan menderu, pukulan Suro  buyar. Pemuda konyol ini memaki panjang pendek. Ia gagal mengusir Elang Perak, kini bahaya lain mengancam jiwanya. Kaki elang raksasa itu mencengkeram ke arah  perutnya. Pendekar Blo'on langsung mempergunakan jurus Tawa Kera Siluman. Tubuh pemuda itu tampak berkelebat disertai tawa yang seakan mengitari elang tersebut. Namun hanya sekejab saja Elang Perak menjadi bingung, sekejab kemudian ia sudah menguasai keadaan dan keluarkan suara nyaring.

"Kaaaaak...!"

Elang Perak terbang rendah berputarputar. Suro leletkan lidah dan mulutnya langsung termonyong-monyong, ancaman paruh burung ini tidak dapat dianggap

main-rnain. Belum lagi cakar-cakarnya. Inilah yang selalu dijaga oleh Suro. Namun di luar dugaan sayap burung tersebut menghantam dari  sisi kiri.

Brees! "Huaagkh...!"

Murid Penghulu Siluman Kera Putih ini terpelanting. Pakaiannya robek, tubuhnya yang dipenuhi luka tampak kotor berselimut debu. Pemuda ini merasakan bumi seperti berputar dengan cepat, kepalanya pusing dan sakit mendenyut. Setelah menggeleng dan kerahkan tenaga dalam ia bangkit berdiri.

"Burung jahanam!" maki Suro dalam kemarahannya yang meledak-ledak.

Makiannya itu disambut pekikan Elang Perak, binatang ini langsung menyerbunya lagi. Semakin lama tampaknya serangan sisa burung purba ini semakin mengganas.

Angin kembali  menderu, Suro bertambah sewot. Lalu ia lepaskan pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma'. Elang Perak agaknya mengetahui bahaya yang mengancamnya. Ia bergerak mundur menjauh ketika melihat sinar putih laksana salju bergulung-gulung ke arahnya. Karena begitu jauhnya jarak antara sasaran dengan Suro. Praktis pukulan yang dilepaskannya tidak menghasilkan apa-apa. Semakin bertambah kesallah pemuda ini dibuatnya. Ia kemudian melihat Elang Perak kembali mendekatinya. Pemuda ini langsung bersiap siaga.  Sementara itu Pendekar Kucar Kacir dan adiknya juga sedang menghadapi

serangan Iblis Peruntuh Mahkota. Karena luka dalam yang diderita oleh Pangeran Demak masih belum sembuh benar, maka pemuda ini tidak berani bentrok tangan secara langsung dengan lawannya. Dua bersaudara ini sama-sama lepaskan pukulan ke arah lawannya. Dua leret sinar merah datang menggebu dan langsung menghantam Pangeran Suprana. Laki-laki ini tidak tinggal diam. Ia juga kibaskan kedua tangannya memapak serangan itu. Sinar hitam bergulung-gulung. Lalu terjadilah ledakanledakan yang sangat keras!

Buuum!

Puteri Saba memekik keras, sedangkan Pangeran Demak yang memang belum sembuh benar dari luka yang dideritanya tampak terpelanting. Iblis Peruntuh Mahkota tertawa membahak.

"Kanda...!" pekik puteri Saba ketika melihat Pangeran Demak muntahkan darah kembali.

"Ha ha ha! Sekarang kau benar-benar sesuai dengan julukanmu!" desis Kumbang Pemikat. Dengan langkah tegap Pangeran Suprana datang menghampiri. Ia bermaksud membunuh pewaris kerajaan yang sah saat itu juga. Kemudian Pangeran gila ini mencabut pedang, senjata diayunkan. Ketika senjata itu menderu, tampak bayangan putih berkelebat dan....

Traang! .

Tangan Pangeran Suprana sempat tergetar. Ia cepat menoleh dan terlihat olehnya puteri Saba berdiri sambil memegang sepotong kayu di mana pada setiap ujungnya mencuat mata pisau putih berkilat-kilat.

"Jangan coba-coba mengganggu kandaku!" ancam sang puteri.

Iblis Peruntuh Mahkota  tersenyum, matanya jelalatan seakan menggerayangi lekuk-lekuk tubuh puteri cantik tersebut.

"Kau calon permaisuriku, jangan membantah! Apa kau suka kalau aku memperkosa dirimu di depan saudaramu! Ha ha ha. !"

"Kau benar-benar iblis!" maki puteri Saba. Ia segera lakukan penyerangan kembali.

Namun dengan mudahnya Pangeran Suprana mentahkan serangan-serangan ganas yang dilakukan oleh lawan. Puteri Saba kerahkan tenaga dalam ke bagian senjata yang dipegangnya. Kedua ujung kayu tampak membuka, lalu dari dalamnya meluncur dua ekor ular berwarna kuning. Ular-ular tersebut menyerang sang Pangeran. Pedang dikibaskan dengan cepat!

Tes!

Salah seekor ular berhasil dibabatnya hingga putus menjadi dua. Sedangkan yang satunya lagi berhasil menerobos pertahanannya dan mematuk perut pemuda itu. "Akh... keparat!" Pangeran Suprana

memaki, tubuhnya terhuyung-huyung. Hawa panas menyerang dirinya. Kini ia urungkan niat untuk membunuh Pangeran Demak.

Sebaliknya ia melompat ke samping kiri. Puteri Saba tersentak kaget dan coba menghindar dari totokan. Tapi gerakannya kalah cepat dengan gerakan lawannya.

"Tak! Tak! "Akh...!" "

Puteri Saba menjerit tertahan, tubuhnya langsung kaku. Gadis ini tidak dapat berbuat apa-apa ketika Pangeran Suprana menyambar dirinya dan berlari menjauh dengan terhu yung-huyung

Swiet!

Terdengar suitan nyaring. Elang Perak yang sedang mencecar Pendekar Blo'on sontak meninggalkan lawan begitu mendengar suara majikannya. Burung itu di sebuah tempat menghilang. Ketika ia terbang lagi ke angkasa. Maka terlihatlah oleh Pendekar Blo'on Pangeran Suprana dan puteri Saba yang dalam keadaan tertotok telah berada di atasnya. Suro jadi cemas, kesal dan dongkol. Rahangnya menggembung, tiada henti ia garuk-garuk kepala saking bingung-

nya. Di atas sana dalam ketinggian terdengar suara Pangeran Suprana mengejek.

"Untuk sementara aku akan bersenangsenang dulu. Setelah itu aku akan mencari kalian berdua. Kalau mau selamat serahkan mahkota dan pedang pemersatu padaku.

"Setan jahanam! Dia akan merusak kehormatan adikmu, Pangeran! geram Pendekar Blo'on sambil menghampiri Pendekar Kucar Kacir

"Selamatkan adikku, Suro. Pangeran Suprana pasti kembali ke istana." jelas Pendekar Kucar Kacir sambil pegangi dadanya.

"Bagaimana dengan kau?" Suro bingung juga khawatir.

"Jangan hiraukan aku, jika kita samasama selamat. Nanti bertemu di puncak bukit Sembuang."

"Baiklah! Kau telan ini dulu!" Suro Blondo memberikan tiga obat pulung yang salah satu diantaranya berwarna merah.

"Terima kasih. Jangan tunda-tunda waktu, sahabatku. Sebelum segala-galanya jadi kucar kacir!"

"Baik, aku pergi dulu!" jawab Suro.

Tanpa menoleh-noleh lagi pemuda itu segera berkelebat pergi. Gerakannya cepat sekali, karena pada waktu itu ia telah mengerahkan ilmu lari cepat Kilat Bayangan. Kini Pangeran Demak Pati tinggal seorang diri.

Ia menyesali kelemahan diri sendiri. Antara kecewa, putus asa membaur menjadi satu.

"Aku ini mengapa menjadi seperti banci? Melindungi adik sendiri saja aku tidak mampu. Benar-benar tolol!" Pangeran Demak Pati memaki diri sendiri. Ia lalu bangkit berdiri, selanjutnya melangkah terseok-seok meninggalkan tempat  itu.

Suasana rimba persilatan semakin memanas. Ditambah lagi dengan ketegangan pihak kerajaan yang terus mencari mahkota dan juga pedang pemersatu kerajaan Pasundan. Kabar tentang pedang keramat itu dengan cepat langsung meluas. Maka bermunculanlah tokoh-tokoh hitam yang juga menginginkan Pedang Penyebar Bencana yang konon apabila senjata itu tercabut dari rangkanya, sinarnya saja dapat membuat orang di sekelilingnya menjadi debu.

Setan Terompet menjadi resah memikirkan persoalan ini. Ia juga khawatir dengan keselamatan murid-muridnya. Pendekar Kucar Kacir memang memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Begitu juga dengan puteri Saba. Namun tokoh-tokoh yang muncul di rimba persilatan rata-rata mempunyai kepandaian seendang. . ,.

"Tentara kerajaan kulihat ada di manamana. Orang-orang rimba persilatan juga tampaknya lebih banyak yang pergi ke bukit Sembuang. Aku yakin sekali pedang itulah yang menjadi perhatian mereka. Aku tidak tahu kedua muridku sekarang berada di mana." kata kakek tua berpakaian selempang itu seraya menimang-nimang buntalan berisi mahkota raja. "Sebaiknya aku menyusul ke sana."

Kakek berpakaian selempang yang tidak lain adalah Setan Terompet ini bermaksud beranjak dari tempatnya berdiri. Namun ia urungkan niatnya saat melihat sosok tubuh berpakaian kulit harimau tampak duduk membelakanginya. Yang mengejutkan bagi Setan Terompet pantat orang itu sama sekali tidak menyentuh tanah. Duduknya seakan mengambang dua jengkal di atas tanah. Orang ini sama  sekali  tidak terlihat wajahnya, juga tidak bicara apa-apa. Karena merasa tidak punya permusuhan apa-apa. Maka Setan Terompet mengambil arah lain. Kemudian ia berjalan dengan tergesa-gesa. Baru beberapa tombak dia berjalan. Di depannya tampak pula orang yang sama. Posisinya tetap duduk dalam keadaan mengambang dan memunggunginya pula.

Setan Terompet membalikkan tubuh dan berjalan ke arah lain. Rasa kagetnya semakin menjadi-jadi disaat ia melihat orang yang sama telah pula duduk searah dengan jalan yang ditempuhnya. Setan Terompet segera menyadari adanya gelagat yang tidak baik

ini . Belum sempat ia mengajukan pertanyaan Terdengar suara orang yang duduk memung gunginya, suara yang begitu dingin seakan meremas-remas jantung Setan Terompet "Langkahku telah terseret jauh demi

seorang murid yang kucinta. Kutinggalkan tanah pengasingan di mana orang-orang telah menganggap aku telah terkubur lama di sana. Tapaku yang hampir seratus tahun membuat ujudku antara ada dan tiada. Aku berjalan dalam waktu, langkahku secepat topan. Lariku secepat perjalanan cahaya dalam kegelapan. Tiada kehendak yang tidak terkabul, tiada pula hajat yang tidak terpenuhi. Anak manusia yang berjuluk Setan Terompet. Jika kau belajar ilmu kesaktian seabad lagi.  Kau belum bisa menandingi kesaktianku! Setiap aku menemui manusia, pasti ada yang kuinginkan.

Untuk itu terus terang kukatakan padamu, serahkan mahkota kerajaan itu padaku. Setelah itu nyawamu kubiarkan tetap bersama ragamu!"

Apa yang dikhawatirkan Setan Terompet menjadi kenyataan juga. Laki-laki yang belum terlihat wajahnya berpakaian kulit harimau ini ternyata memang menghendaki mahkota raja yang  di bawanya.

Tet! Tet! Tet!

Setan Terompet meniup terompetnya. Terdengar suara bergemuruh menyakitkan telinga. Karena dalam suara terompet tadi terkandung pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Sungguh mengejutkan jika laki-laki berpakaian kulit harimau ini sama sekali tidak bergeming. Ia tetap duduk tenang mengambang di udara. Setan Terompet termasuk manusia sakti, namun ia terpaksa telan ludah membasahi kerongkongannya yang terasa kering tiba-tiba.

"Mahkota ini bukan milikku, ini hanya barang titipan yang di amanahkan padaku. Kuharap Anda suka mengerti dan memberi jalan padaku untuk berlalu!" jawab Setan Terompet berusaha ramah.

"Aku hanya bicara sekali lagi. Kalau

kau membantah aku akan rampas mahkota berikut nyawamu!" Dingin suara laki-laki berpakaian kulit harimau tersebut.

Setan Terompet bukan orang yang mudah digertaki tanpa menghiraukan ucapan lakilaki yang seluruh wajahnya tertutup rambut panjang menjela ini ia berkelebat pergi. Namun baru beberapa langkah, laki-laki yang duduk mengambang di atas tanah itu sentakkan kepalanya. Angin dingin menderu, Setan Terompet terjajar.

"Setan keparat! Hiii...!" teriak Setan Terompet kalap. Seraya langsung lepaskan pukulan jarak jauh  ke arah  laki-laki berpakaian harimau. Sekali lagi orang itu gelengkan kepala.

Plas!

Pukulan sakti yang dilepaskan oleh Setan Terompet lenyap seakan menghantam sebuah ruangan hampa udara. Kakek berselempang tersentak kaget. Pukulan yang dilepaskannya bukan sembarang pukulan. Jika hanya tokoh berkepandaian biasa saja yang terkena serangan itu dapat dipastikan ia menemui ajal seketika.

"Siapa kau?!"

Laki-laki berpakaian kulit harimau tertawa pelan, lalu mulutnya mengatup kembali. Ketika bicara ia sama sekali tidak menghadapkan wajahnya pada lawan bicaranya melainkan tetap  memunggunginya.

"Aku Dewa Kubu, datang ke sini ingin melihat kematian juga melihat darah. Aku juga ingin membantu muridku Pangeran Suprana! Kau sudah tahu, serahkan mahkota raja secepatnya!"

Semakin  bertambah kagetlah Setan Terompet. Orang yang satu ini tidak dapat dianggap main-main. Kesaktiannya sulit dijajaki, dan ia manusia sesat pula. Keadaan semakin runyam, persoalan bertambah pelik dan sukar.

"Bagus! Aku sudah tahu sekarang muridmu iblis dan rupanya kau bapak moyangnya iblis! Kau boleh ambil mahkota di tanganku jika sudah melangkahi mayatku!" tantang Setan Terompet gusar.

Ucapan Setan Terompet sama sekali tidak membuat Dewa Kubu memalingkan muka ke  arahnya. Tokoh Andalas ini  (agar lebih jelas ikuti Episode Memburu Manusia Setan), gerakan tangan kirinya. Lima larik sinar menderu, sebelum serangan itu menghantam Setan Terompet. Maka si kakek hantamkan mulut terompetnya.

Prang! Praang!

Setan Terompet bersurut mundur, tangannya yang memegang terompet itu tersengat hawa dingin membekukan. Ia kerahkan tenaga dalam, setelah itu dengan cepat ia menyerbu ke depan. Terompet ditiup tiga kali mengeluarkan suara yang dapat membuat hancur syaraf manusia. Dewa Kubu tertawa pendek, lalu kedua bibirnya mengatup rapat. Masih dalam posisi duduk tidak berubah, Dewa Kubu gerakkan kedua tangannya ke samping. Tiba-tiba Setan Terompet merasa seperti ada sebuah kekuatan dahsyat menindih sekaligus membungkam suara terompetnya.

Belum hilang rasa kaget di hati tokoh dari Kutai ini Dewa Kubu menggerakkan tangannya ke atas seakan mengangkat. Anehnya tubuh Setan Terompet ikut pula terangkat ke udara. Serangan seperti ini

sangat jarang dimiliki oleh tokoh-tokoh rimba persilatan di masa itu. Meskipun dirinya terancam bahaya besar. Dalam keadaan terangkat ke udara itu ia lepaskan pukulan dahsyat. Hawa panas menyengat menghantam Dewa Kubu. Laki-laki yang masih belum jelas wajahnya ini gerakkan tangan yang satunya  lagi.

Sssst!

Serangan itu meleset dan menghantam pohon di samping Dewa Kubu. Laki-laki itu menggerakkan tangan kanannya. Setan Terompet tiba-tiba merasa tubuhnya seperti tersedot ke arah lawannya. Meskipun ia berusaha bertahan namun kekuatan lawannya terus membetotnya.

Lama kelamaan ia pun tidak kuat bertahan. Tubuhnya meluncur deras ke arah Dewa Kubu. Sejengkal lagi badannya menubruk lawan, Setan Terompet hantamkan senjatanya ke bagian kepala Dewa Kubu.

Prang!

Mulut terompetnya melesak, Dewa Kubu bergeming pun tidak. Tiba-tiba kakinya menendang. Sedangkan rambutnya yang berubah kaku laksana kawat baja menghantam perut Setan Terompet. Laki-laki itu sudah tidak dapat menghindar lagi. Perutnya ditembusi ribuan batang rambut, beton Terompet menjerit sambil mendekap perutnya. Ketika rambut yang berlumuran darah itu disentakkan. Maka Setan Terompet terbanting ke tanah. Ia tewas seketika, tidak terbayangkan betapa tingginya ilmu

Dewa Kubu, apalagi mengingat orang seperti Setan Terompet adalah tokoh yang memiliki kepandaian tidak rendah. Mahkota dalam buntalan diambil oleh laki-laki berpakaian kulit harimau ini. Ia tertawa sambil menimang-nimang mahkota tersebut. Setelah itu Dewa Kubu berdiri sepenuhnya di atas tanah. Selanjutnya tokoh aneh ini langsung berkelebat pergi meninggalkan mayat Setan Terompet yang mulai membeku.

Tidak lama setelah perginya Dewa Kubu sambil membawa mahkota kerajaan. Di tempat itu terdengar suara bersin-bersin yang tentu saja membuat burung-burung pemakan bangkai berterbangan menjauh. Hanya beberapa saat setelah terdengar suaranya, muncul pula orangnya. Ia tidak lain adalah seorang laki-laki berambut kelabu dan berjenggot kelabu. Mata si kakek tampak mendelik ketika melihat Setan Terompet terkapar tanpa nyawa. Tergesa-gesa ia datang menghampiri.

"Saudaraku Setan Terompet?!" Ki Bersin menggerung keras. Seraya memeluki mayat adiknya. "Aku datang jauh-jauh kemari, tidak tahunya kau suruh aku melihat mayatmu? Setan mana yang telah membuatmu kaku begini?" desis Ki Bersin di sela-sela isak tangisnya. 

Setelah puas menangis, Ki Bersin tengadahkan wajahnya. Ia teringat sesuatu "Aku punya ajian Pati Darah, mengapa aku sebodoh ini. Dia tidak mungkin mati selama aku masih hidup. Akupun tidak akan mati selama Setan Terompet masih hidup! Mengapa aku harus bersedih, hu hu hu...!" Ki Bersin bangkit berdiri, mayat saudaranya yang sudah dingin ini dilangkahinya sebanyak tiga kali. Setelah melangkahi mayat

itu tiga kali, maka Ki Bersin menunggu sejenak. Reaksinya kemudian segera terlihat. Mayat yang sudah dingin tersebut tampak bergerak-gerak. Setan Terompet menggeliat sambil merintih. Tidak lama ia merentak bangkit.

"Waduuuh... sakit...! Kk... kau...!" Setan Terompet kelihatan terkejut sekali. "Bagaimana Kakang bisa berada di  sini?"

""Kepalamu peang Setan Terompet. Jika aku tidak muncul dalam waktu yang tepat. Tubuhmu seminggu mendatang sudah membusuk. Coba kau ingat-ingat siapa yang membunuhmu?"

Setan Terompet pegangi perutnya yang masih meneteskan darah di sana-sini. Ki Bersin segera membaca mantra-mantra Pati Darah, lalu kedua tangannya di usapkan

ke bagian luka di perut adiknya. Secara aneh, luka itu pun lenyap.

Kini Setan Terompet tertawa-tawa seperti anak kecil yang baru mendapat mainan. Ki Bersin melotot.

"Cepat katakan siapa yang membunuhmu?" bentak kakek berambut kelabu tidak sabar lagi.

"Yang membunuhku Dewa Kubu. Guru Pangeran Keparat Suprana. Ia bahkan telah melarikan mahkota itu. Duh, apa nanti jawabku kalau Si Kucar Kacir menanyakan mahkota kerajaan? Apa...??" Setan Terompet menggerung.

"Kau tua bangka tolol. Menghadapi satu musuh saja sudah kalah, bahkan mampus malah. Betapa memalukan Setan Terompet?!" Ki Bersin kelihatan gusar sekali.

"Aku tidak malu-malu mengakuinya. Namun harus diingat jika pun kita berdua maju bersama-sama. Belum tentu kita dapat mengalahkannya. Dia sakti bukan main. .Ia menghadapi aku hanya dengan duduk saja."

"Ngomong apa, kau Terompet! Aku tidak percaya!!!" sergah Ki Bersin.

"Kau boleh tidak percaya. Yang jelas kita semua termasuk Pangeran Demak benar-benar terancam bahaya besar saat ini!" Kening Ki Bersin mengerenyit dalam. "Katamu dia menghadapi kau hanya duduk saja?"

"Betul."

"Kau kalah dengan orang duduk? Setan memalukan. Apa gunanya kau belajar ilmu sampai ubanan. Jika kau tidak becua menghadapi seorang musuh apa lagi dengan murid-muridmu?!" bentak Ki Bersin dengan mata melotot. "Itulah yang memusingkan pikiranku, Kakang. Kau harus membantuku. Kita harus pula pergi ke bukit Sembuang secepatnya Kulihat orang-orang pergi ke sana. Kurasa di sanalah almarhum ayahanda muridku menyimpan pedang pemersatu."

"Tunggu dulu. Sebelum aku mencarimu, aku bertemu dengan seorang pemuda berbaju biru. Kurasa dia seorang pendekar juga. Ia kutugaskan untuk menyelidiki ke istana.

Tapi sampai saat ini aku belum bertemu dia lagi."

"Lalu?"

"Setelah melihat keteledoranmu menjaga mahkota itu. Firasatku mengatakan kekacauan segera terjadi. Orang yang telah membunuhmu tadi adalah tokoh sesat yang namanya melegenda di rimba persilatan tanah Andalas. Dulu... kudengar-dengar ia dikabarkan sudah mati. Siapa sangka ia sekarang bergentayangan dengan segala kesaktiannya yang semakin menggila. Ayo tunggu apalagi tua bangka goblok? Apa kau ingin melihat murid-muridmu mampus semua ?”

Setan Terompet hendak mengatakan sesuatu, namun urung karena Ki Bersin telah menyentakkan tangannya dan membawa Setan Terompet berlari menuju ke arah utara. "Kurasa aku salah jalan, salah tujuan. Dan bukit ini bukan tempat yang kutuju. Dewa Petir memang manusia gila! Mengapa dia tidak mau memberi peta padaku di mana bukit Sembuang?" Gadis baju hitam bicara seorang diri sambil membantingbanting kakinya yang terbungkus sepatu kulit beruang. "Kalau dia bukan guruku, siapa sudi bersusah payah mencari barang yang belum ketahuan di mana rimbanya.

Padahal barang guru tidak pergi kemanamana. Dia tetap berada di tempat sejak masih kecil. Sepertiii... hi hi hi. Malu aku mengatakannya." Gadis ini memegang bawah perutnya. "Barangku juga tidak kemanamana. Mana mungkin ada barang disimpan

di atas bukit. Aku sudah memeriksanya tadi. Guru ada-ada saja, segala pedang dicari.

Aku sendiri lebih suka mencopet barangbarang yang ada harganya. Betul-betul menjengkelkan!" desis si gadis.

Selagi ia sedang dilanda kebingungan.

Semak-semak di depannya tampak bergoyanggoyang. Si gadis memperhatikan dengan seksama. Lalu ia lepaskan pukulan ke arah semak-semak tersebut.

Buum!

Terjadi ledakan keras. Semak belukar berantakan. Namun tidak terlihat reaksi apa-apa. Tidak disangka-sangka di belakang Maling Jenaka terdengar suara seseorang "Ribut-ribut mencari barang hilang?

Barang yang di atas atau yang di bawah? Tapi kulihat barang di atas masih ada dua di balik bajumu. Kalau yang di bawah, maaf... aku belum memeriksa. Aku juga tidak tahu rupanya, entah rimbun atau gersang, hahaha...!"

Wajah gadis baju hitam kontan berubah seperti tomat masak. Kata-kata orang di balik semak-semak itu sungguh menyinggung perasaannya karena nyerempet-nyerempet daerah larangan.

"Setan usilan yang bersembunyi di balik semak, sebaiknya tunjukan diri kalau tidak ingin mampus!" ketus suara si gadis. Dari balik semak belukar muncul seorang pemuda berpakaian biru berwajah tampan. Hanya tampangnya ketolol-tololan.

"Kau yang bicara kurang ajar tadi?” "Iya Kita ketemu lagi, Nisanak. Ku-

dengar kau mencari barang? Barang siapa sebenarnya?" tanya Suro sambil garuk-garuk kepala. Sebagaimana kita ketahui Suro bermaksud mengejar Pangeran Suprana yang telah melarikan puteri Saba. Namun dalam perjalanannya ia melihat gadis yang pernah dijumpainya beberapa hari yang lalu sedang sibuk mencari-cari sesuatu.

"Barangmu!" sahut si gadis sinis. Suro spontan raba celananya. "Wah, aku punya masih ada kok. Tidak terbang kemana-mana!"

Gadis itu hampir tertawa, tapi kedongkolan lebih banyak menguasai dirinya.

"Pemuda kurang ajar. Jika tidak kupukul mulutmu itu, agaknya kau semakin bertambah konyol." Melihat gadis baju hitam mendekati, Suro melangkah  mundur.

"Jangan kau cari perkara. Sekarang kulihat kau begitu sibuk, dan  aku ada tugas penting pula. Maaf aku harus pergi!" kata Suro yang langsung teringat dengan tugas yang diembannya. Ia pun berlari, tapi entah sengaja atau tidak gadis baju hitam menabraknya. Kejadiannya seperti biasa-biasa saja memang, anehnya si gadis masih sempat berkata 'Maaf. Suro pun tidak ambil pcrduli.

Pemuda konyol itu langsung meninggalkan Maling Jenaka  si  Maling  Cerdik.

Gadis itu lalu tersenyum. Tabrakan yang memang disengajanya tadi telah menghasilkan sesuatu. Ia tidak perlu memeriksanya, segera barang yang baru didapatnya itu langsung dimasukkan di balik punggungnya. "Pemuda tolol. Nanti kau akan kelabakan

sendiri. Hi hi hi...!"

Gadis itu tidak merasa perlu berlamalama berada di tempat tersebut. Seakan tidak pernah terjadi apa-apa ia pun melenggang sambil terus tersenyum-senyum Dua orang tabib istana sudah didatangkan untuk mengobati luka yang diderita oleh raja Sorga Dunia. Namun kedua tabib tadi tidak berhasil menyembuhkan luka gigitan ular kuning sepenuhnya. Hanya sebagian kecil saja bisa dapat dikeluarkan. Sebagian lainnya masih mendekam di dada Pangeran Suprana.

"Kita harus mendatangkan Tabib Dewa Sesat, Paduka. Jika tidak empat puluh hari di muka nyawa Paduka tidak tertolong!" kata salah seorang dari tabib itu tanpa ragu.

"Tidak seorang pun yang tahu Tabib sakti itu berada. Semua ini gara-gara puteri celaka itu. Awas! Jika racun di tubuhku ini sudah menghilang ia benar-benar akan merasakan pembalasanku!" geram Iblis Peruntuh Mahkota disertai senyum liciK.

"Kami akan berusaha mencari Tabibj itu. Sebaiknya Pangeran istirahat saja duiu. saran sang tabib. Kedua tabib istana meninggalkan kamar peristirahatan. Pangeran Suprana menganggukkan kepala, kemudian ia merebahkan tubuhnya. Ia tampaknya memang tidak sabar menunggu kesembuhannya.

Lima orang gadis yang merawat Pangeran Suprana semuanya cantik-cantik. Kalau dihitung semua gadis yang berada di istana Sorga Dunia ada sekitar empat puluh orang. Semuanya setia dan siap dipanggil kapan saja untuk memberikan kehangatan pada Pangeran  itu. Dan kini kelima gadis itu tampak sibuk. Kelima gadis ini hampir semuanya berpakaian merangsang dan di balik pakaian tipisnya tidak  memakai pelindung apa-apa. Mereka sibuk sekali. Narnun pelayanan yang diberikan oleh kelima gadis itu  tampaknya kurang berkenan di hati Iblis Peruntuh Mahkota.

Rupanya ia sudah tidak sabar untuk menghampiri puteri Saba yang dalam keadaan tertotok dan di tcmpatkannya di sebuaii kamar terkunci. Pemuda itu tanpa menghiraukan tubuhnya yang panas langsung mencampakkan selimut yang menutupi dirinya.

"Paduka hendak kemana? Tabib berpesan agar Paduka jangan bergerak, racun yang mengeram dalam tubuh Paduka akan menjalar lebih cepat lagi!" Salah seorang gadis pemuas nafsu bejat Pangeran Suprana mengingatkan.

"Diam! Di sini aku yang berkuasa, bukan tabib sial yang tidak mampu berbuat apa-apa atas penyakitku ini!" hardik Pangeran sinting itu. Seraya keluar meninggalkan kamarnya.

Dengan terhuyung-huyung ia menghampiri sebuah kamar. Tidak lama pintu kamar pun sudah  dibukanya.

Di atas ranjang tampak puteri Saba diam terbaring dalam keadaan tertotok. Gadis itu menyadari adanya bahaya yang mengancamnya. Namun dalam keadaan tertotok seperti sekarang ini mana mampu

ia berbuat sesuatu.

"Iblis jahanam ini benar-benar ingin mempermalukan aku!" desis puteri Saba dalam hati. "Aku bersumpah akan membunuhnya jika sampai ia berbuat kurang ajar padaku!" Dugaan puteri Saba memang tidak meleset, Iblis Peruntuh Mahkota sambil tersenyum mendekati ranjang. Ia mencium bibir sang puteri. Tentu saja puteri  tidak dapat menghindari ciuman ganas itu karena kepalanya juga tidak dapat digerakkannya.

"Manusia iblis, lepaskan aku! Lepaskan...!!! teriak gadis berambut panjang itu

histeris. Pangeran menjauhkan sedikit wajahnya dari wajah sang puteri. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum mencemooh

“Percuma aku dijuluki Iblis Peruntuh Mahkota. Aku akan meruntuhkan mahkota kebanggaanmu, akan kurenggut kesucianmu Dan kau nanti hanya dapat meratap menyesali nasib! Ha ha ha...!" kata Pangeran Suprana. Ia kemudian menciumi leher puteri yang kuning langsat dan berbau harum. Sedangkan tangannya yang sedang menyusup di balik pakaian gadis itu sudah bergayangan meremas-remas dada sang puteri.

Gadis ini tampak semakin ketakutan. Ia bahkan kemudian menangis terisak-isak. Rupanya pengeran tidak puas hanya meremas dan membelai. Disobeknya pakaian puteri Saba di bagian dada. "Hari ini aku ingin melihat keindahan tubuhmu yang kau sembunyikan selama ini!"

Bret! ,    . .

Pakaian itu robek besar. Kedua dada puteri tersibak. Mata Pangeran mendelik. Ia leletkan  lidah  basahi bibir.

"Oh... betapa menawan." seru pemuda sinting itu, lalu ia menciumi kedua bukit yang hangat mulus tegak menantang itu Puteri Saba hanya dapat memaki dan menangis. "Luar biasa, aku belum pernah melihat yang seindah ini. Kau benar-benar masih, hmm...!" desis Pangeran Suprana.

Darah mudanya bergolak kembali, nafsu meledak-ledak. Dan ia bertindak semakin kurang ajar saja.

"Kurasa bagian lainnya lebih hebat dari ini!" kata Kumbang Pemikat. Dan tangannya meluncur melalui perut sang puteri. Jeritan gadis itu semakin menjadi-jadi. Setelah menyelinap di balik pakaian bawah si gadis. Pangeran menyentakkan pakaian yang menutupi bagian terlarang sang puteri sehingga gadis itu benar-benar dalam keadaan telan-

jang. Mata Pangeran mendelik-delik melihat tubuh telanjang di depannya. Tangannya dengan agresif menjelajah ke  bagian-bagian yang sensitip itu. Puteri Saba merasa nyawanya laksana terbang.

"Kau akan kubawa menikmati sorga di istanaku ini, puteri Saba!" kata Pangeran Suprana. Gairahnya kini meletup-letup. Darahnya bergolak, pemuda itu melepaskan pakaiannya. Satu hal yang tidak disadari oleh pemuda itu. Bahwa birahi yang membakar jiwanya secara langsung telah membuat racun ular kuning menyebar ke seluruh tubuhnya lebih cepat dari perhitungan sang tabib.

Pemuda yang sudah setengah telanjang ini tiba-tiba saja merasa ada satu hawa panas laksana membakar sekujur tubuhnya. Ia mendekap dadanya.

"Ukh...! Penyakit keparat ini” maki Pangeran dengan tubuh terhuyung-huyung Ia nyaris terjatuh, penderitaan yang dirasakannya membuat sang Pangeran Urungkan niatnya “Kau tunggulah sayang, waktunya pasti akan tiba!” kata pemuda itu. Ia menutupi tubuh telanjang si gadis dengan selimut Kemudian dengan terhuyung-huyung ia meninggalkan kamar yang dipergunakan untuk menyekap puteri Saba.

Jatuh bangun Pangeran Suprana memasuki kamarnya. Lima orang gadis yang tetap setia menunggu kelihatan kaget melihat sekujur tubuh rajanya berubah merah dan panas sekali. "Paduka...!!"

"Aku Tuhanmu. Cepat panggil tabib, jangan membuang-buang waktu!" bentak pemuda itu. Tubuhnya memang menggigil, mungkin semua ini tidak akan terjadi jika

ia tadi dapat mengekang nafsunya tapi mana Pangeran budak nafsu ini perduli, ia terus berteriak-teriak hingga para pengawal mengira rajanya sedang bertempur.

Merekapun berdatangan Melihat kehadiran para prajurit Pangeran bertambah marah.

“Mana tabib itu. Hadirkan Tabib Dewa Sesat ke sini! Orang-orang goblok mengapa cuma berdiri di situ?" maki sang Pangeran. Para pengawal berserabutan keluar. Iblis Peruntuh Mahkota terus mengerang-erang. Selagi semua gadis yang berada di ruangan itu dalam keadaan bingung tiba-tiba saja angin kencang berhembus menerobos kisi-kisi jendela. Pangeran Suprana walaupun dalam keadaan sakit tetap bersiap siaga menjaga segala kemungkinan. Kunci-kunci jendela terbuka, seakan ada tangan-tangan gaib yang menyentuhnya. Dan....

Braak! Braak!

Jendela terhempas dan terbuka dengan paksa. Angin kencang tetap berhembus menerobos ke dalam kamar. Lalu terdengar suara mendengung seperti suara ribuan lebah yang baru pindah sarang. Suara mendengung semakin lama semakin bertambah jelas, bertambah dekat sampai kemudian terdengar suara seseorang.

"Nafsu bisa mencelakakan manusia. Banyak manusia celaka karena nafsunya."

Pangeran Suprana kaget bukan main, memandang ke arah jendela ia lebih terkejut lagi. Di pintu jendela terlihat seorang kakek tua berkepala botak. Alisnya putih, tidak berjenggot dan tidak pula berkumis. Sesekali si kakek meludah. Air ludah berwarna merah. Ternyata kakek ini makan sirih.

"Tabib Dewa Sesat! Sukur para tabib istana telah menghubungimu. Cepat tolonglah aku?!" kata Pangeran Suprana penuh harap. Ia rupanya sungkan dengan tabib kondang yang konon juga memiliki kesaktian yang cukup tinggi.

"Cuih!" Tabib Dewa Sesat meludahkan air sirih ke lantai seenaknya saja dengan sikap acuh malah. "Penyakit kau cari sendiri! Dari mukamu aku dapat melihat umurmu paling hanya tinggal tiga puluh lima hari lagi karena kecerobohanmu sekejab tadi!"

"Tabib Dewa Sesat, aku akan memberi imbalan yang sangat besar. Para tabibku sengaja kusuruh menjemputmu, karena mereka tidak mampu menyembuhkan aku!" "Bertemu dengan batang hidung para tabibmu-pun aku tidak. Aku datang sekehendak hatiku. Kau tidak bisa membayarku terkecuali kau mau menuruti upah yang aku minta." kata si kakek botak acuh tak acuh. Tubuh Pangeran Suprana disaat itu semakin menggigil, rupanya racun ganas ular kuning semakin hebat menyerangnya.

"Apa...? Katakanlah!!" desak Pangeran itu tidak sabar. .

"Cuih! Aku meminta dua dan kemungkinan yang kau miliki. Pertama jika kau mau  menyerahkan kerajaan ini padaku Maka aku akan mengobatimu, kau nanti bisa membuat kerajaan di lain tempat”

Raja Sorga Dunia kaget ”Botak

jahanam ini benar-benar sangat Keterlaluan. Aku harus punya siasat untuk melicikinya.

Nanti kalau aku sembuh, kepalanya kupenggal lalu kuseret ke alun-alun." batin si pemuda. Maka dia menjawab. "Jangan kau pinta istana. Lebih baik kau minta seribu permintaan lain dan aku akan mengabulkannya!"

"Begitu?!" Tabib Dewa Sesat tersenyum sinis. "Kalau begitu bagaimana andai aku minta puteri Saba? Aku terlanjur melihat kebagusan tubuhnya. Kau sudah melihatnya, aku yang ingin merasakan dalamnya.

Bagaimana? Jika kau setuju, tentu aku akan mengobatimu!"

"Tua bangka ini cari penyakit! Dia pikir dirinya siapa? Aku harus mengalah sementara. Jika dia telah berikan obat itu, huh tahu rasa nanti!" maki Pangeran Suprana dalam hati. Namun mulutnya berkata lain. "Baiklah permintaanmu kuturuti. Aku menginginkan kesembuhan, seratus perempuan cantik nanti dapat kucari. Nah cepat sekarang lakukanlah  pengobatan sesegera mungkin!"

"Keputusanmu sangat bijaksana!" Tabib Dewa Sesat menyahuti, ia melompat turun dari atas jendela. Setelah itu ia mengeluarkan sebuah kantung berwarna hitam dan sudah butut. Setelah itu si kakek botak mengeluarkan belasan batang jarum panjang dari dalam kantung. Yang satu berwarna putih lainnya berwarna kuning.

"Tidak usah khawatir. Aku tidak mencelakaimu. Kalau kau kurang yakin suruh pergi kelima perempuan ini, panggil pengawalmu untuk berjaga-jaga di sini!''

Karena pada dasarnya Pangeran Suprana memang tidak pernah menaruh rasa percaya pada siapa pun. Ia segera memberi isyarat pada gadis-gadis itu. Kelimanya langsung pergi, tidak lama datang beberapa orang pengawal mereka tampak bersiap siaga di depan pintu  dan di depan jendela. Sambil tersenyum sang Tabib memandang acuh tak acuh pada para pengawal itu. Kemudian ia mulai menusukkan jarum-jarum itu di sekitar dada Pangeran dan juga pada bagian paha pemuda itu.

"Jangan bergerak sedikit pun. Salah-salah kau bisa lumpuh seumur hidupmu!" kata sang Tabib memperingatkan. Iblis Peruntuh Mahkota tidak berani bergerak walau barang sedikit pun. Ia mulai merasakan adanya serangan hawa dingin dari bagian-bagian yang di tusuki jarum tersebut. Hawa dingin dan hawa panas membaur dan terjadilah pergolakan hebat. Pangeran Suprana menjerit.   . .

Pemuda itu hampir saja memaki sang Tabib tapi ketika dirasakannya pergolakan dua kekuatan yang berlawanan mulai mereda ia pun urung. Sekarang dari seluruh pori-pori Pangeran Suprana menetes cairan merah kehitam-hitaman. Setelah warna hitam dalam cairan merah itu hilang sepenuhnya. Maka Tabib Dewa Sesat mencabuti jarum-jarum yang tertancap di sebagian besar tubuh pemuda itu.

"Bagaimana keadaanmu sekarang, Paduka raja?" tanya Tabib Dewa Sesat.

"Sudah agak lumayan!" sahut Pangeran Suprana.

Tabib Dewa Sesat menyerahkan dua pil berwarna biru dan hitam. "Telanlah! Obat itu gunanya untuk memperlancar peredaran darah!" Tanpa merasa curiga  Pangeran Suprana langsung telan obat pemberian Tabib Dewa Sesat. Setelah agak lama reaksinya pun terasa. Pangeran merasa tubuhnya menjadi enteng.

"Sekarang aku harus pergi dan membawa puteri Saba!" kata sang Tabib sambil bangkit berdiri. Di luar dugaan Pangeran Suprana bangkit berdiri pula, kemudian tawanya meledak

"Ha ha ha..,! Kau pikir akan semudah itu Tabib? Puteri Saba adalah calon

permaisuriku. Adalah suatu kebodohan jika aku menyerahkan kepadamu!" dengus raja Sorga Dunia sinis. Lalu ia menoleh ke arah pintu. "Panglima, tangkap monyet botak ini!!" perintah Pangeran Suprana. Dari balik lain adalah Sang Bala, SoSok pembunuh berdarah dingin yang paling ditakuti.

Kini Tabib Dewa Sesat yang ganti tertawa. "Aku sering mendengar kelicikanmu, Pangeran bangsat! Jangan kira kau sembuh sepenuhnya. Obat yang baru kau makan tadi satu diantaranya adalah alat pembunuh yang akan menyiksamu lahir batin. Hanya aku yang punya obat penawarnya, kau akan mati pelan-pelan. Bukan Tabib Dewa Sesat jika aku masih dapat diliciki oleh bocah ingusan sepertimu! Ha ha ha...!"

"Kau pasti berdusta. Siapa mau percaya?" "Aku tidak memintamu percaya pada

tabib sesat sepertiku! Untuk mengetahuinya, coba kau kerahkan tenaga dalammu!" perintah sang Tabib.

Diam-diam Pangeran Suprana kerahkan tenaga dalam. Tiba-tiba dadanya langsung sesak dan leher seperti tercekik. Maka pucatlah paras pemuda itu.

"Keparat!" Pangeran Suprana menggeram marah sudah bisa menakar umurmu.

Kalau kau tidak turuti parintahku, maka nyawamu tidak tertolong”

"Sebaiknya kita tabib tangkap ini saudaraku. Setelah itu kita rampas obat pemunahnya!" seru Sang Bala dingin.

Tabib Dewa Sesat memasukkan bungkus kecil berisi obat pemunah. Kau berani menangkapku, obat pemunah racun Serat Raja kutelan. Rajamu mampus dan kau tidak mendapatkan apa-apa dariku!" Pangeran Suprana menjadi serba salah. Ia harus menyerahkan puteri Saba pada Tabib itu jika dirinya ingin selamat.

Sementara itu di ruangan kamar tempat di mana puteri Saba berada tampak pula

bayangan merah berkelebat memasuki kamar tersebut. Melihat wajahnya mungkin orang ini sudah berumur delapan puluhan atau lebih. Ia memakai ikat kepala warna hitam dan lebar sehingga sehelai rambutnya pun tidak terlihat. Tanpa bicara apa-apa jalan suara si gadis ditotoknya. Puteri Saba ketakutan setengah mati. Kakek baju merah ini tanpa menunggu lagi langsung memanggul tubuh telanjang si gadis. Kemudian ia keluar lagi sambil berlari kencang meninggalkan istana.

Di ruangan pertama tadi Pangeran Suprana jadi bingung sendiri. Ia tidak menyangka Tabib itu telah menyiasatinya pula.

“Tidak ada pilihan lain bagimu, terkecuali menyerahkan gadis itu padaku!" tegas Tabib Dewa Sesat.

"Hmm, baiklah. Kau menang hari ini.

Puteri itu boleh kau miliki sekarang serahkan obat pemunah racun itu kepadaku”

"Aku tidak bodoh. Obat baru kuberikan pada panglimamu setelah aku membawa gadis cantik tersebut jauh dari istana Silahkan Panglima mengiringiku...!"

Dengan meredam kemarahannya, Pangeran Suprana terpaksa menurut pula. Ia dan panglimanya mengantar sang Tabib menuju kamar puteri Saba. Alangkah terkejutnya berbagai pihak yang sama-sama berada di situ ketika melihat pintu terbuka dan puteri Saba tidak berada di tempatnya.

"Celaka ada seseorang yang telah melarikannya!" desis Pangeran dengan wajah pucat dan bibir bergetar.

"Huh, kau tidak dapat menepati janjimu. Gadis itu dilarikan orang dan aku harus mendapatkannya. Jika dia tidak kutemukan, maka aku tidak akan pernah memberikan pemunah Racun Serat Raga padamu!" kata Tabib Dewa Sesat sambil berkelebat pergi. "Mari kita ikuti dia!" seru Pangeran

Suprana pada Sang Bala.

Tanpa membuang-buang waktu lagi kedua orang penting kerajaan Sorga Dunia ini segera mengejar Tabib Dewa Sesat.

Nah apa yang bakal terjadi? Siapa yang telah menawan puteri Saba, apakah nyawa Pangeran Suprana dapat tertolong ? Apa yang hilang dalam diri PendeKar Bloon ? Dewa Kubu tidak tinggal diam, Elang Perak apalagi dan kehadiran Dewa Petir?! Malapetaka tidak  dapat dicegah.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar