Serial Pendekar Bloon Eps 03 : Pemikat Iblis

 
Eps 03 : Pemikat Iblis 


Gunung Galunggung hampir sepanjang masa menyemburkan lidah api abadi. Hampir setiap saat penduduk di sekitarnya boleh dikata terancam marabahaya. Letusan gunung hampir semua orang tahu selalu mendatangkan malapetaka. Walaupun kesuburan tanahnya memberi manfaat bagi kehidupan umat manusia.

Tidak jauh dari gunung Galunggung ini ada sebuah tempat yang bernama Cilawu. Daerah ini merupakan sebuah daerah dataran rendah dan berbukit-bukit. Meskipun daerah tersebut selalu tampak sunyi seakan tidak berpenghuni. Bila dilihat dari dekat, maka setiap pagi selalu terdengar suara bentakan-bentakan atau terkadang suara lengking tangis berkepanjangan. Tidak jarang terdengar pula suara beradunya dua senjata, terasa menyakitkan gendang-gendang telinga.

Melihat ke arah lembah gersang dan berbatu cadas itu. Maka segera   terlihat seorang gadis berbaju ungu dan berwajah angker sedang bertarung mati-matian melawan seorang laki-laki tua muka tengkorak. Rambutnya yang riap-riapan dibiarkannya tergerai memanjang. Sementara kakek berambut putih acak-acakan muka tengkorak, tampaknya juga tidak jauh lebih baik dari gadis yang dihadapinya.

"Kerahkan seluruh kepandaian yang kau miliki!" suara kakek wajah tengkorak menggema ke seluruh bibir lembah, menggetarkan dinding-dinding batu, juga menulikan telinga.

"Jangan hanya gembar-gembor macam harimau ompong tua bangka! Mari kita buktikan siapa yang paling kuat di antara kita!" bentak gadis baju ungu tidak kalah sengitnya.

Tidak dapat dihindari pertempuran seru pun terjadi. Masing-masing tampaknya sama-sama mengandalkan tangan kosong. Setiap serangan yang mereka lancarkan selalu menimbulkan angin bersiuran. Debu-debu mengepul di udara. Batu-batu berhamburan dan siap menghantam tubuh lawannya. Lengah sedikit, maka putuslah nyawa.

Pertempuran sengit itu semakin lama semakin menghebat. Terlebih-lebih ketika kakek tua bertampang mengerikan berbadan kurus kering itu lepaskan salah satu pukulan yang paling diandalkannya.

"Heaaa...!" Tangan si kakek yang telah berubah menjadi biru tiba-tiba saja dihantamkannya ke depan.

"Hmm. Hanya pukulan Racun Segala Bisa, siapa yang takut!" Gadis baju ungu menggeram hebat. Ia kerahkan tenaga dalam yang dimilikinya ke bagian tangan kiri kanan. Hanya dalam waktu sekedipan mata saja kedua telapak tangannya juga telah berubah menjadi biru. Tanpa menunggu ia lontarkan kedua tangannya memapaki pukulan beracun yang dilepaskan oleh kakek muka tengkorak mata buta sebelah.

"Huup!" "Shaa...!"

Angin dingin mencucuk membekukan darah saling menyambar dengan ganas. Kemudian terjadi benturan yang sangat keras bukan alang kepalang.

"Duum! Duum!"

Dinding tebing yang selama bertahun-tahun tidak pernah goyah diterpa musim. Kini tampak longsor di sana-sini. Suara bergemuruh disertai menyebarnya bau menusuk berbaur menjadi satu. Debu mengepul tinggi membumbung ke angkasa. Bila beberapa saat kemudian debu-debu yang berterbangan itu mulai menipis. Maka daerah di sekitarnya menjadi porak poranda. Pada dua buah sisi yang berlawanan terlihat dua sosok tubuh tergeletak tidak bergerak sama sekali. Dari bibir mereka mengalirkan darah. Tampak jelas baik gadis berbaju ungu maupun si kakek muka tengkorak menderita luka dalam yang sangat parah. Namun anehnya tidak berselang lama. Terdengar suara tawa si muka tengkorak bergelak. Tawa itu semakin lama semakin meninggi, hingga membuat daun-daun hijau di atas pohon berguguran. Gadis berbaju ungu agaknya juga menyadari apa yang tengah dilakukan oleh laki-laki renta di depannya. Itulah salah satu cara menyembuhkan luka dalam lewat pengerahan suara tawa. Dan inilah merupakan sebuah cara yang teramat langka dan sangat jarang dimiliki oleh orang-orang rimba persilatan.

Sadar lawannya mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Maka gadis baju ungu juga ikut tertawa.  Suara tawanya melengking tinggi. Tubuhnya  yang ramping bahkan sampai terguncangguncang. Suara tawa saling tindih menindih hingga menimbulkan guncangan hebat pada tanah tempat mereka berada.

Dari arah barat laut, tiba-tiba saja angin kencang berhembus. Pohonpohon di sekeliling lembah dan bukit bertumbangan. Dan langit pun seketika berubah mendung. Gadis baju ungu terkesima, sebaliknya kakek renta muka tengkorak semakin memperhebat suara tawanya.

"Ha ha ha...! Hujan angin... inilah waktu yang kutunggu-tunggu sejak tujuh belas tahun yang lalu...! Hak kak kak. "

Gadis   baju   ungu   terkesima. Seraya jatuhkan diri dan berlutut di depan kakek renta muka tengkorak.

"Guruku Tuan Muka Tengkorak Mata Api, apakah maksud ucapanmu?" tanya si gadis. Ia seka darah yang membasahi sudut-sudut bibirnya. Sementara luka dalam yang dideritanya sudah tidak terasa sakit lagi.

"Ha ha ha...! Muridku Mustika Jajar. Sejak masih bayi merah aku sengaja mengambilmu untuk kujadikan seorang murid tanpa tanding. Sekarang dan untuk masa yang akan datang kau akan menjadi seorang ratu yang tidak ada tanding. Kau bukan saja menjadi tokoh yang tidak ada duanya, tapi juga karena kecantikanmu yang sungguh menggiurkan, membuatmu mudah menundukkan laki-laki manapun yang kau sukai."

Seandainya ia seorang gadis yang dididik oleh seorang tokoh aliran lurus. Tentu saja wajahnya berubah merah karena mendapat sanjungan. Tapi karena pada dasarnya ia merupakan hasil gemblengan tokoh Maha Sesat. Mustika Jajar malah tertawa bergelak dan leletkan lidah basahi bibir.

"Sekarang hapuslah coreng moreng di wajahmu, Mustika!" perintah tegas kakek renta muka tengkorak yang hanya mempunyai satu mata ini tegas.

"Hi hi hi...! Jika kuhapus bedak batu penutup wajahku. Aku takut guru tergiur olehku. Jika guru yang kepincut padaku, kujamin aku pasti tidak bersedia melayani keinginan guru!" Mustika Jajar tertawa genit. Seraya lalu menghapus coreng moreng di wajahnya.

"Tidak perlu khawatir muridku. Tidak nantinya pagar memakan tanaman. Sejak kecil aku merawat dirimu. Walaupun sekarang kau berpakaian rapi. Sebagai gurumu tentu aku sudah tahu lekuk liku tubuhmu!" kata kakek muka tengkorak sambil tertawa-tawa,

Mata Mustika Jajar mengerling nakal. Wajahnya yang sekarang tidak tertutup pelapis apa-apa tampak cantik berseri-seri.

Matanya berbinar penuh kemanjaan. Tapi di balik penampilannya yang nyata, tersimpan kekejaman melebihi manusia biadab.

"Ha ha ha. Sekarang kau benarbenar telah menjadi gadis yang sudah sangat dewasa sekali, Tika. Wajahmu cantik melebihi bidadari. Jika saja aku masih muda, tentu saja aku tidak akan melepaskanmu setelah berhasil mendapatkan cintamu. Ha ha ha...!"

"Ternyata guru dulunya mata keranjang." Cibir si gadis.

"Lain dulu lain sekarang. Sekarang adalah masa pembalasan di mana kau harus mencari dan membunuh seorang laki-laki yang berjuluk 'Malaikat Berambut Api'. Orang inilah yang dulu pernah mencungkil sebelah mataku. Sudah menjadi tugasmu menjalankan perintahku. Selain itu kau juga berhak membunuh semua tokoh persilatan aliran lurus. Pergunakanlah kecerdikan dan kecantikan yang kau miliki untuk memperdaya setiap lawan. Jika lawanlawanmu merupakan tokoh yang sangat sakti, kau pikatlah dengan kecantikanmu! Jika mereka benar-benar telah bertekuk lutut di bawah kakimu. Peralatlah dia untuk mencapai citacitamu."

"Tapi guru. Di mana aku harus mencari musuh besar guru yang mempunyai gelar 'Malaikat Berambut Api' itu?"

Tua Tengkorak Mata Api terdiam beberapa saat lamanya. Matanya yang cuma sebelah itu memandang lurus ke arah si gadis. Dan beberapa saat setelahnya suara tawa muka tengkorak menggema kembali. Di tengah-tengah suara tawanya yang tidak ubahnya bagai gaung suara harimau itu terdengar ucapannya yang tajam menusuk.

"Di manapun adanya Malaikat Berambut Api, kau harus mencarinya Mustika Jajar! Terakhir kudengar ia mengasingkan diri di Pulau Seribu Satu Malam yang terletak di daerah selatan laut Jawa "

"Apakah    orang    itu    tidak mempunyai murid, guru?"

"Mengenai murid aku sampai saat ini tidak mengetahuinya. Tapi kelak bila kau telah turun ke dunia ramai. Tentu kau dapat mencari tahu!"

"Baiklah guru. Kalau semua ini memang sudah merupakan keinginan guru. Maka sebagai murid yang ingin berbakti padamu, aku siap menjalankan segala perintahmu..." ujar gadis cantik berbaju ungu.

"Bagus! Sekarang kau duduklah di sini," ujar Tua Tengkorak Mata Api.

Mustika Jajar duduk di depan kakek Muka Tengkorak. Seraya kemudian mengangkat kedua tangannya tinggitinggi. Setelah memberi isyarat pada muridnya, lalu Mustika Jajar pun mengangkat kedua tangannya. Tangan mereka saling menempel. Sebelum Mustika Jajar mengetahui apa yang akan diperbuat oleh gurunya.

Tiba-tiba gadis ini merasakan adanya satu sengatan yang sangat keras dan menimbulkan rasa dingin yang tidak tertahankan mengalir melalui telapak tangan gurunya. Mustika Jajar sempat terkesima. Hanya saja sebagai gadis yang sangat cerdik ia segera mengetahui bahwa gurunya sengaja memperbesar hawa murni yang dimilikinya.

Tubuh murid dan guru tampak sama-sama tergetar hebat. Asap tipis mencuat dari bagian atas ubun-ubun si kakek muka tengkorak; Sebaliknya tubuh Mustika Jajar sudah tampak bersimbah keringat. Tidak sampai sepemakan sirih. Tua Tengkorak Mata Api sudah menarik tangannya yang melekat di tangan muridnya.

Mustika Jajar, gadis berbaju ungu dan memiliki kecantikan luar biasa ini menarik nafas panjang. Kini ia merasa tubuhnya semakin menjadi ringan. Bahkan ketika ia menggerakgerakkan tubuhnya. Semuanya terasa lebih hebat dari waktu-waktu sebelumnya.

"Apa yang kau rasakan, muridku?" tanya Muka Tengkorak. Sungguh pun saat itu ia sedang tersenyum. Tapi di mata yang melihatnya senyumannya tidak ubahnya bagai seringai yang mengerikan.

"Aku merasa badanku berubah seringan kapas!" jelas gadis cantik berhati telenggas ini sejujurnya.

"Bagus... ha ha ha... bagus...!" kata Tua Tengkorak Mata Api. Seraya meraba pinggangnya. Kemudian terlihatlah sebuah buntalan kecil warna hitam tergenggam di tangannya.

Buntalan itu selanjutnya dibukanya. Setelah buntalan terbuka sepenuhnya. Maka terlihatlah sebuah senjata yang sangat aneh bentuknya. Senjata itu berbentuk bulat seperti bulan sabit. Berwarna putih mengkilat karena ketajamannya.

"Kau tahu cara mempergunakannya, muridku?" ,

Mustika Jajar menganggukkan kepala.

"Coba bagaimana?"

"Sabit Bulan adalah senjata yang sangat aneh. Aku tentu saja dapat mempergunakannya. Walaupun hanya dengan menggenggamnya."

"Bagus! Senjata ini sekarang menjadi milikmu sepenuhnya," ujar kakek renta muka tengkorak. Seraya menyerahkan senjata itu pada Mustika Jajar.

"Pantaskah  aku menerimanya, guru?" tanya gadis itu agak ragu-ragu. "Tentu saja pantas,  karena sebentar lagi kau sudah harus mening-

galkan lembah Cilawu ini."

Mustika Jajar memang tidak perlu membantah lagi. Sungguhpun hatinya merasa berat untuk meninggalkan orang yang telah merawat dan mendidiknya selama ini. Namun akhirnya ia harus berangkat memulai kehidupan lain yang sangat baru.

2

Cambuk di tangannya sesekali melecut di udara disusul dengan suara jerit kesakitan salah seorang dari sekian banyak orang-orang dari mereka yang terbelenggu mata rantai. Tubuh yang semula muda perkasa ini lambat laun hanya tinggal kulit pembalut tulang. Mereka kurang makan, kurang tidur, kurang istirahat dan kurang segala-galanya. Sepanjang hari mereka harus terus menerus bekerja menggali sebuah terowongan, mengayak serpihan tanah untuk mendapatkan biji-biji emas murni.

Tidak jauh dari pekerja-pekerja paksa itu lebih dari sembilan lakilaki bertubuh tegap berkepala botak dan bertampang beringas terus mengawasi pekerjaan mereka tanpa mengenal belas kasihan sama sekali.

Jika para pekerja itu tampak malas, maka cambuk berduri di tangan para algojo itu ikut bicara. Tidak heran jika tiap hari para pekerja itu ada saja yang mendapat celaka atau mati. Mayat-mayat mereka biasanya dibuang begitu saja tanpa ada seorang pun yang di antara para pekerja itu yang berani mengurusnya.

Sebuah dataran rendah tidak jauh dari tempat penggalian emas telah ditentukan sebagai tempat pembuangan jenazah. Tidak heran jika dalam beberapa tahun saja Bumi Ayu telah dipenuhi dengan tulang belulang yang bertimbun bahkan mulai menggunung.

Bau di tempat itu tidak dapat dilukiskan. Kenyataan ini tentu saja sangat mengganggu pernafasan para pekerja paksa yang banyak didatangkan dari daerah Bumi Ayu dan Cijulang. Tapi siapa yang akan perduli? Tidak ada seorang pun yang memperdulikan nasib mereka. Kalau pun ada di antara para pekerja paksa yang berusaha melarikan diri. Tidak seorang pun di antara mereka yang dapat menyelamatkan diri. Mereka yang ketahuan oleh algojo segera dihabisi nyawanya. Kalaupun ada yang selamat sampai ke kampung halaman. Maka dalam waktu yang sangat singkat para algojo itu menyeret mereka untuk menerima hukuman mati atas pelarian nekad itu.

Siang panas terasa membuat rengat batok kepala. Para pekerja paksa itu seakan tidak mengenal rasa letih, terus melaksanakan tugasnya. Jika di antara para pekerja itu ada yang malas. Maka para algojo dengan kejamnya langsung mengayunkan cambuknya.

Pada suasana seperti itu, di kejauhan sana terdengar derap langkah suara kuda. Penunggangnya adalah dua orang laki-laki berbaju serba hitam bertampang tirus. Sedangkan kuda yang berada paling depan ditunggangi oleh seorang laki-laki berpakaian bangsawan. Semakin lama tiga ekor kuda tunggangan ini semakin dekat dengan tempat tujuan. Para algojo begitu mengetahui siapa yang datang langsung menyongsong kehadiran mereka dengan sikap penuh rasa hormat. Tidak sampai sepemakan sirih. Sampailah rombongan penunggang kuda ini di lokasi penggalian emas Bumi Ayu. Tiga ekor kuda tunggangan berhenti dengan tiba-tiba. Dua orang penunggangnya melompat turun, sedangkan laki-laki berpakaian bangsawan tetap duduk di atas pelana kudanya. Seraya memperhatikan para algojo itu dengan tatapan sulit dimengerti.

"Bagaimana hasil kerja selama satu purnama ini, Dasa Reksa?" tanya saudagar Bergola kepada kepala algojo

"Maafkan kami, Tuan. Pendapatan biji-biji emas agak merosot. Semua ini dikarenakan semakin menipisnya jumlah pekerja. Menurut hemat hamba, kita merasa perlu menambah jumlah pekerja..." ujar laki-laki berbadan tegap itu berpendapat.

"Hmm.... Seharusnya tidak kau bicarakan itu padaku. Kalian boleh mencari tambahan tenaga kerja di mana saja. Kau bisa pergi ke Argopuro, Ciamis atau Tungku Jajar." kata saudagar Bergola ketus.

"Ba... baik... Tuan. Kami segera melaksanakannya dengan baik!" kata kepala algojo itu menyanggupi.

"Bagus! Kalian memang harus selalu mengabdi kepadaku!" dengus saudagar Bergola Mungkur. Seraya kemudian beralih ke arah Giwang Rana dan Bajar Saketi. Yaitu kedua tangan kanannya yang sedang mengambil emas hasil para pekerja paksa itu.

Ada senyum sinis menghias di bibir si laki-laki. Tidak lama ia segera memeriksa emas di dalam bungkusan yang diserahkan oleh kedua tangan kanannya.

"Hasil bulan ini tampaknya memang agak berkurang banyak, Dasa Reksa. Kuingatkan padamu agar tidak mempermainkan aku. Jika ternyata kau menyembunyikan sebagian hasil pencarian ini. Seumur   hidup    kau dan kawan-kawanmu benar-benar akan kubuat menyesal!"

Rupanya ancaman saudagar Bergola Mungkur bukan sekedar ancaman kosong belaka. Karena ternyata Dasa Reksa sang kepala algojo tampak sangat ketakutan sekali.

"Saya mana mungkin berani mempermainkan Tuan. Selama ini saya sudah berusaha jujur kepada Tuan. Cuma karena belakangan para pekerja di sini banyak yang kojor menemui ajal. Itu sebabnya tenaga di lapangan menjadi sangat berkurang sekali."

"Aku percaya kata-katamu, Dasa Reksa. Untuk itu kuperintahkan pada kalian segera mencari tenaga tambahan. Purnama mendatang hasil yang kalian peroleh harus semakin bertambah meningkat!"

"Perintah segera kami laksanakan, Tuan..." kata Dasa Reksa.

Saudagar Bergola Mungkur sama sekali tidak menyahut. Malah setelah memberi isyarat pada Giwang Rana dan Banjar Saketi mereka memacu kuda-kuda tunggangan itu menuju daerah Cileles.

****

"Uhukk...! Uhuuuuukk..! Wuaakh.. kupikir benda hitam panjang yang bergelantungan itu sarang lebah. Tidak tahunya…!" Pemuda tampan berbaju biru muda memakai ikat kepala warna biru belang-belang kuning ini hentikan ucapannya. Perutnya mual seperti hendak muntah. Lalu tanpa tertahankan lagi.

"Hoeek... hoeek...!  Tuh kan, muntah betul...!” desisnya. Seraya lalu menyeringai dan garuk-garuk belakang kepalanya. Sekali lagi ia memperhatikan mayat-mayat yang tergantung di pinggir jalan menuju kota kecil Malaya. Mayat-mayat itu ratarata kepala menghadap ke bawah, kaki terikat pada cabang pohon. Ribuan lalat tampak mengerumuni. Sebagian di antara mereka telah membusuk. Tapi tidak jarang ada pula yang masih utuh. Pemuda tampan yang tidak lain adalah Pendekar Blo'on ini memperhatikan mayat-mayat itu dengan kening berkerut.

"Kulihat ada kematian di manamana. Siapa mereka? Melihat luka-luka di tubuhnya rasanya mereka disayatsayat dengan senjata yang teramat tajam. Apakah mungkin mereka ini merupakan orang-orang dari rimba persilatan? Rasanya...!" Suro Blondo usap-usap keningnya yang berkeringat. Ia melihat sebuah pedang pendek tergeletak di bawah salah satu mayat yang tergantung.. Namun sama sekali ia   tidak   punya, keberanian apa-apa untuk memungutnya.

"Ini merupakan pekerjaan yang sangat keji.... Siapa pun pelakunya. Siapa pun orangnya. Pastilah merupakan seorang pembunuh berdarah dingin." Suro Blondo lagi-lagi terdiam. Sayupsayup ia mendengar suara jlenting sesuatu di kejauhan sana. Pendekar Blo'on berusaha mempertajam pendengarannya. Suara denting seperti senjata sedang beradu terdengar semakin bertambah jelas. Suro Blondo penasaran. Hingga kemudian ia memutuskan untuk mendekati sumber suara.

"Hhh...!" Dengan mengandalkan ilmu lari cepat Kilat Bayangan yang sudah mencapai sempurna. Bergeraklah Suro Blondo dengan kecepatan yang sangat sulit diikuti kasat mata. Tidak sampai sepemakan sirih, sampailah pemuda itu di atas sebuah dataran berbukit-bukit. Pemuda tampan bertampang tolol ini tidak langsung menghampiri seorang laki-laki tua bertelanjang dada dan berambut riapriapan. Melainkan bersembunyi di sebuah tempat yang agak terlindung.

Sambil menahan nafas ia terus memperhatikan laki-laki bertelanjang dada yang ternyata sedang membuat patung ukiran terbuat dari batu cadas. Anehnya, laki-laki ini hanya mempergunakan kuku-kuku tangannya untuk membentuk bagian-bagian tertentu badan patung. Suro Blondo leletkan lidah dan usap-usap keningnya. Beberapa kali terdengar decak kagum dari mulut si pemuda.

"Cek. Ceek! jika saja dia tidak memiliki ilmu dan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tidak nantinya ia mampu menggores batu cadas itu dengan ujung jemarinya." gumam Suro Blondo. Mata terbeliak lebar terlebih-lebih setelah melihat betapa bagusnya patung yang dibuatnya.

"Melihat badannya yang reot seperti rumah hendak roboh. Mustahil rasanya ia mampu melakukan pekerjaan yang memerlukan ketekunan dan tenaga dalam yang tinggi. Dan hasil pahatan itu juga sangat bagus sekali. Ia pasti seorang pengukir patung yang sangat terkenal. Tapi untuk apa patung sebagus itu dibuatnya? Lagipula bagaimana membawanya? Patung itu ingin dijualnyakah?" kata Pendekar Blo'on lagi. Kemudian ia garuk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Pendekar Blo'on dengan perasaan takjub yang tidak ada habis-habisnya terus memperhatikan si pembuat patung yang tampak sibuk menyelesaikan wajah patung yang hanya tinggal menghaluskannya saja. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja Suro, Blondo mendengar kakek pembuat patung bicara. Tapi suaranya seperti orang yang sedang menyanyi. Pemuda itu pasang kuping dan gelang-gelengkan kepalanya.

Hidup delapan puluh tahun! Badan renta dimakan hari dan waktu. Menunggu si anak tunggal datang, tuntut ilmu ambil kepandaian. Yang ditunggu pendek umur pendek nafas. Tinggallah si tua renta putus karapan patah asa. Hidup terlunta-lunta menunggu pengganti. Tetap menunggu tidak seorang pun yang datang, dasar sial tua renta tidak berjodoh!

Suro Blondo tercenung. Kakek tua itu barusan mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya sama sekali. Anak tunggal? Siapakah yang dimaksudkannya? Apakah kakek pematung itu mempunyai anak? Ataukah ia hanya seorang pematung yang mempunyai otak tidak waras?

Keheranan di hati pemuda berbaju biru muda ini belum juga lenyap ketika dari arah utara terdengar suara derap langkah kuda yang dipacu sedemikian cepat menuju ke arah pematung tersebut.

Si kakek tua bersikap acuh tak acuh, ia tetap meneruskan pekerjaannya. Dan kini ia mulai memoles badan patung batu dengan sejenis pewarna berwarna coklat tua.

Penunggang kereta kuda semakin lama semakin mendekat ke arahnya. Karena jalanan itu sempit. Maka ketika ketiga rombongan berkuda itu sampai di depan si kakek. Maka ketiga penumpang kuda langsung memperlambat kuda mereka. Salah seorang laki-laki di depannya berpakaian bangsawan hampir saja membentak, tapi begitu melihat patung yang sedang diwarnai oleh si kakek langsung katupkan mulut dan telan ludah.

Raut wajahnya yang selalu menyimpan ketamakan itu tampak berubah memerah. Wajah patung tampak tampan. Otot-otot tubuhnya bertonjolan, dadanya bidang. Bagian perutnya yang menonjol tampak tegang dan berukuran cukup besar. Dalam hati penunggang kuda berpakaian bangsawan ini bertanya-tanya, patung siapakah yang dibuat oleh si kakek tua ini?

"Jalan di sini begitu lebar. Kalau kalian mau lewat, silakan saja!" kata si kakek tanpa berpaling sedikitpun.

Pengawal laki-laki berpakaian bangsawan hampir saja membentak gusar jika saja laki-laki di depannya tidak cepat memberi isyarat agar pengawal merangkap tangan kanan itu diam.

"Orang tua, siapakah kau ini?" tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa pernah mengalihkan perhatiannya pada patung yang sedang diwarnai oleh si kakek. Sama sekali si pematung tidak menjawab, bahkan menoleh pun tidak. Tapi saudagar Bergola Mungkur tetap berusaha bersabar, walaupun di dalam hatinya mencaci maki. Bagaimana tidak? Ia adalah orang yang sangat disegani di kota Malaya karena kekayaan dan pengaruhnya yang besar terhadap pembesar-pembesar Pariangan. Jika hanya seorang pematung tidak mau menjawab pertanyaannya, berlagak tuli seperti babu. Tentu ia merupakan orang yang sangat istimewa atau paling tidak memiliki keterampilan yang sangat tinggi. 3

"Kakek tua! Karyamu sungguh bagus sekali. Aku menyukai patung yang sedang kau buat...!" kata saudagar Bergola Mungkur mengulangi ucapannya.

Tanpa menoleh pematung tua itu menyahut "Sesuatu yang bagus belum tentu menyenangkan. Sesuatu yang disukai, belum tentu membawa kepuasan dan kebahagiaan."

"Jika aku ingin memilikinya, apakah kau mau memberikannya padaku?" tanya saudagar Bergola Mungkur tanpa mengerti apa arti ucapan si kakek.

Pematung tua gelengkan kepala-

nya.

"Bagaimana jika aku membelinya?"

tanya saudagar kaya itu penasaran. "Patung ini kubuat bukan untuk

dijual atau kuberikan kepada siapa pun. Jadi maafkan saja jika aku tidak dapat memenuhi permintaanmu, Saudara!" ujar pematung tua tanpa pernah berpaling dari pekerjaannya.

"Bagaimana jika   dua   kantung emas murni ini kita tukar dengan patung buatanmu, orang tua?" kata saudagar Bergola Mungkur. Seraya menggerakkan dua kantung emasnya sehingga menimbulkan suara bergemerincingan. Giwang Rana dan Banjar Saketi pelototkan matanya.

Mereka    sama    sekali tidak menyangka majikannya menjadi keranjingan setelah melihat patung buatan si kakek tua. Gilanya lagi dua kantung emas yang tidak ternilai harganya hendak ditukar dengan sebuah patung batu. Walaupun memang patut diakui patung itu memiliki kharisma yang sangat hebat. Bukankah jika pematung tua tidak menjualnya. Hanya dengan memberi perintah pada mereka, ia dapat membereskan si pematung untuk kemudian memiliki patung batu itu tanpa ada yang berani menganggu?

"Apakah kau seorang saudagar?" tanya si kakek dengan sikap acuh tak acuh.

"Benar, Aku adalah saudagar yang paling kaya di kota Malaya. Jika kau merasa dua kantung emas ini tidak sepadan dengan patung buatanmu itu. Aku dapat menyuruh orangku untuk mengambil dua kantung emas lagi sebagai tambahan."

Pematung tua kerutkan kening geleng-gelengkan kepala berulangulang.

"Sudah kukatakan dengan jumlah emas berapapun harganya aku tidak akan menjualnya. Patung ini adalah bagian dari hidupku!"

"Orang tua, kami harap kau tidak usah bertingkah di depan kami. Dua kantung emas adalah jumlah yang tidak sedikit. Apakah kami harus memaksamu untuk menyerahkan patung itu pada majikanku?" bentak Giwang Rana. Dan rupanya laki-laki bergiwang dan bertampang angker ini sudah tidak dapat lagi mengendalikan akalnya.

Saudagar Bergola Mungkur sendiri yang merasa telah kehabisan kata-kata untuk membujuk pematung tua hanya berdiam diri menunggu reaksi.

Untuk pertama kalinya pematung tua palingkan wajahnya dan memandang lekat-lekat ke arah Giwang Rana dan Banjar Saketi. Ekspresi wajahnya tetap datar tidak menunjukkan kemarahan sedikitpun.

"Kalian menjadi kaya adalah karena tenaga dan keringat darah orang-orang yang tidak berdosa. Jika kuterima tawaranmu, sama artinya aku melumuri hasil karyaku dengan darah orang-orang yang terbunuh di goa penambangan Bumi Ayu! Aku pematung kelana setiap saat selalu mendengar suara jeritan arwah-arwah orang yang mati sebelum waktunya. Berlalulah kalian dari hadapanku! Kehadiran kalian hanya akan membuat udara di sini menjadi pengap dan berbau dosa."

Bukan saja ketiga penunggang kuda ini yang dibuat terkejut. Tapi juga Pendekar Blo'on yang bersembunyi di atas bukit di balik batu cadas terkesima. Entah siapa laki-laki aneh itu? Namun sungguh mengherankan ia mengenali sepak terjang penunggang kuda yang ternyata merupakan seorang saudagar kaya ini.

"Orang tua! Kau benar-benar mencari penyakit telah berani mencampuri urusan kami!" bentak saudagar Bergola Mungkur tiba-tiba.

Tanpa berpaling dari patung yang sedang dipolesnya. Pematung Kelana tersenyum dingin.

"Manusia yang memiliki jiwa besar adalah orang yang berani mengakui setiap kesalahannya. Tidak perduli apakah kesalahan itu dibuat oleh tua bangka sepertiku ini. Tapi kebanyakan orang lupa, dan berusaha mencari dalih dengan menyebar fitnah untuk menutupi kesalahan sendiri. Alangkah ruginya manusia semacam itu kelak di kemudian hari!"

"Keparat! Aku tidak membutuhkan khotbahmu!" maki saudagar dari kota Malaya itu geram bukan main.

"Aku adalah orang yang paling tidak suka mendengar kata-kata yang kotor! Sebaiknya kalian menyingkirlah dari hadapanku!" perintah pematung tua, suaranya pelan namun tegas.

"Bangsat hina! Bunuh dia!" perintah saudagar Bergola Mungkur, lalu memberi aba-aba pada Banjar Saketi dan Giwang Rana.

Serentak kedua laki-laki bertampang beringas ini menggebrak kuda tunggangannya. Kuda itu melabrak ke arah Pematung Kelana yang tetap duduk ngejeplok di depan patung. Lalu kaki Giwang Rana dan Banjar Saketi menghantam dada dan kepala Pematung Kelana. Namun sebelum kedua kaki lawannya mencapai sasaran. Dengan gerakan yang sangat sulit diikuti kasat mata. Pematung tua gerakkan tangannya ke arah bagian selangkangan kaki kuda.

Dengan tidak terduga-duga, kudakuda itu melonjak ke atas sambil meringkik-ringkik kesakitan. Giwang Rana dan Banjar Saketi yang tidak menyangka akan mengalami nasib sial langsung terpelanting dari punggung kuda. Untung mereka rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Sehingga dalam keadaan yang sangat terdesak itu mereka masih sempat bersalto dan menjejakkan kedua kakinya tidak jauh dari pematung tua. Dua ekor kuda tunggangan berlari kencang meninggalkan majikannya. Sementara Giwang Rana dan Banjar Saketi menjadi marah bukan main.

"Tua keparat! Tidak ada jalan bagimu terkecuali mati! Sekarang kau katakan pada kami kematian yang bagaimana yang kau inginkan?" teriak Banjar Saketi.

"Kematian adalah urusan Tuhan! Pergilah sebelum darah kalian tercecer membasahi tanah gersang yang sangat suci ini!"

"Juih...!" Giwang Rana meludah. "Sriing!"

Dilain kesempatan laki-laki bertampang pemberang ini telah menghunus senjatanya berupa sebilah kapak berwarna kuning mengkilat. Sekali lirik Pematung Kelana sudah dapat melihat bahwa senjata di tangan lawan-lawannya mengandung racun yang sangat keji. Tapi dasar laki-laki aneh, sungguhpun lawan telah menghunus senjata yang sangat berbahaya. Namun ia tetap bersikap tenang-tenang saja bahkan tetap terpaku di tempatnya.

Merasa diremehkan, sambil menggeram aneh Giwang Rana dan Banjar Saketi melompat ke depan, lalu bacokkan senjata di tangannya membelah kepala Pematung Kelana, sedangkan kampak lainnya menebas bagian pinggangnya. Angin dingin menderu menyertai berkelebatnya kapak di tangan lawannya. Serangan itu cepat bukan main. Sehingga Pendekar Blo'on yang melihat keadaan ini terpaksa menahan nafas dan pentang mata lebar-lebar

"Heaaa...!" "Wuus!" "Aaaaakkkh...!"

Tiba-tiba terdengar suara pekik kesakitan. Dua sosok tubuh terpelanting dengan arah berlawanan. Di dekat patung, si kakek tua bangkit berdiri sambil sunggingkan seringai aneh. Entah bagaimana caranya dua kapak di tangan masing-masing lawannya kini telah berpindah tangan. Matanya yang agak cekung memandang ke arah lawanlawannya yang sedang berusaha bangkit berdiri.

Wajah Giwang Rana dan Banjar Saketi sebentar memerah sebentar berubah pucat. Selama malang melintang di rimba persilatan belum pernah mereka mengalami nasib sial seperti sekarang ini. Apalagi hanya dalam gebrakan pertama saja mereka sudah dibuat tidak berdaya!

Namun untuk mundur, merupakan satu pantangan bagi mereka. Apalagi mengingat di tempat itu ada majikan mereka. Sambil menelan ludah, tibatiba saja tangan kanan saudagar Bergola Mungkur mencabut keris berlekuk tiga di bagian pinggang kiri. Keris itu diputarnya sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah bayangbayang berwarna putih berkilauan.

"Hap...!"

"Mampuslah kau!" teriak Banjar Saketi dan Giwang Rana hampir bersamaan. Tubuh mereka melesat ke depan laksana kilat. Keris di tangan membabat dan menusuk ke arah sepuluh jalan darah yang mematikan.

Tapi ternyata Pematung Kelana adalah manusia serba bisa yang bukan saja memiliki ilmu kepandaian mematung yang handal. Tapi juga mempunyai simpanan jurus-jurus silat yang sangat mengagumkan.

Belum sempat senjata lawannya menyentuh tubuhnya. Ia sudah melesat ke udara. Senjata rampasan dilemparkannya dengan kecepatan sangat sulit diikuti kasat mata.

"Jiiing!"

"Traang!"

"Waarkhgh...!" Giwang Rana dan Banjar Saketi menjerit setinggi langit. Tubuh mereka mengejang kaku. Kapak beracun yang dilemparkan oleh pematung tua menghunjam di dada mereka dan langsung menembus di punggung. Mata kanan saudagar Bergola Mungkur terpentang lebar bagai melihat setan perempuan telanjang.

Hanya sekejap saja tubuh mereka berkelojotan, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Kejut di hati saudagar kota Malaya itu bukan alang kepalang.

Di atas bukit Suro Blondo leletkan lidah dan garuk-garuk kepalanya.

Sementara itu Pematung Kelana kembali duduk ngejeblok dan meneruskan pekerjaannya yang tertunda. Sikapnya begitu tenang seakan tidak pernah terjadi apa-apa di situ. Dari rasa kecut, Saudagar Bergola Mungkur berubah menjadi sangat marah sekali. "Manusia hina dina keparat! Kau benar-benar tidak memandang muka sama sekali padaku! Kalau kau tidak punya nyawa rangkap, sebaiknya kau berlutut di depanku dan serahkan patung marmer itu secepatnya!"

Bukan menjawab, pematung tua malah terkentut-kentut. Lalu terdengar suara batuk-batuk dari mulutnya yang tertutup kumis memutih.

"Ah... lega rasanya. Punya perut harus bisa kentut, supaya jangan sakit pemburut! Eeh... kau barusan bilang apa?" tanya Pematung Kelana tanpa memalingkan muka sedikit pun.

"Bangsat hina! Makan nih pedangku...!" teriak sang saudagar.

Tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke udara. Pedang di tangannya mengeluarkan suara mendengung. Tapi tiba-tiba saja dengan sikap acuh tak acuh Pematung Kelana melibaskan tangannya ke samping kanan. Angin kencang laksana bara menderu-deru.

Angin kencang berhawa panas menghanguskan itu melabrak Bergola Mungkur hingga membuatnya jatuh terjengkang.

"Akkh..."

"Bruuk...!"

"Hhrrrk...!"

Bergola Mungkur bangkit berdiri. Sekujur tubuhnya bergetar hebat, tanda amarahnya sudah memuncak sampai ke ubun-ubun. Pendekar Blo'on yang melihat kejadian itu bertepuk tangan. Hanya saja tidak menimbulkan suara sama sekali.

Sementara itu Bergola Mungkur sudah menerjang kembali dengan pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi. Sejengkal lagi pedang berwarna putih mengkilat itu hampir memutus urat leher Pematung Kelana. Tiba-tiba si kakek menggerakkan tangannya ke bagian dada lawan. Gerakan yang dilakukannya tampak begitu lambat. Tapi akibatnya sungguh sangat luar biasa sekali.

"Breet!"

"Iiih...!" Bergola Mungkur terpekik kaget.

Baju saudagar kaya ini robek besar bahkan seperti hangus terbakar. Jika saja Pematung Kelana menghendaki, tentu sejak tadi nyawanya melayang.

Sekarang sambil melangkah terhuyung-huyung ia memperhatikan pematung tua seakan tidak percaya dengan kemampuan yang dimiliki oleh lawannya. Tapi ia segera tahu gelagat. Kekayaannya menumpuk, siapa sudi kehilangan nyawa?

"Pergilah sebelum kesabaranku benar-benar habis!" Pematung Kelana menggeram.

"Bbb... baiklah, aku akan pergi. Tapi kau tunggulah nanti pembalasanku!" kata Bergola Mungkur. Seraya cepat-cepat mendapatkan kudanya, kemudian meninggalkan Pematung Kelana sambil memacu kudanya sekencang mungkin. Dan ternyata kuda tunggangannya entah mengapa sudah tidak dapat berlari kencang lagi. Sepanjang perjalanan terus terkencing-kencing dan meringkik-ringkik tidak teratur.

4

Pematung Kelana menarik nafas pendek. Ia kemudian duduk kembali di depan patung batu marmer yang berkilat-kilat terkena sinar matahari.

Suro Blondo usap-usap keningnya yang berkeringat. Ia sekarang menjadi ragu apakah ia harus menemui pematung tua itu atau berlalu? Tapi bila mengingat bahwa dirinya tidak punya urusan dan kepentingan apa-apa dengan laki-laki aneh ini. Maka tidak lama setelah itu ia pun memutuskan segera berlalu. Namun baru beberapa langkah ia meninggalkan tempat persembunyiannya, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya.

"Hei... pemuda bertampang geblek! Sejak tadi kau mengintip di situ, datang tidak permisi kini pergi tidak memberi salam. Kau benar-benar manusia tolol yang tidak tahu peradatan!" "Eeh... mati aku...!" Suro Blondo garuk-garuk punggung kepalanya. Kemudian senyumnya yang jenaka pun mengembang. "Bagaimana ini, kakek itu rupanya mengetahui kehadiranku. Sungguh! Walaupun sudah tua matanya belum lamur. Sebaiknya aku hampiri saja, ah...!" 

Sambil tersenyum-senyum, Suro Blondo datang menghampiri. Sampai di depan Pematung Kelana seraya menjura hormat. Tubuhnya terbungkuk-bungkuk hingga nyaris menyentuh tanah.

"Maafkan aku, kakek tua. Karena datang tidak memberi salam dan ingin pergi tapi ketahuan "

"Bocah goblok! Kapan aku kawin dengan nenekmu? Seenaknya saja kau memanggilku kakek?!" Pematung Kelana bersungut-sungut. Sebagaimana kebiasaannya kali ini pun ia tidak berpaling dari pekerjaannya.

"Lalu apakah aku harus memanggilmu, Mbah, Engkong, Buyut, orang tua keriputan, tua jelek atau manusia aneh tukang ukir batu?" kata Suro Blondo sambil menahan tawa.

Sedikitpun ekspresi wajah Pematung Kelana tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Hanya wajahnya saja agak dimiringkan. Sehingga pandangan mereka saling bertemu.

Suro Blondo alias Pendekar Blo'on melangkah mundur, bibirnya yang nyaris tersenyum kini terkatup rapat. Betapa sorot mata laki-laki tua di depannya tampak begitu berwibawa. Si pemuda merasa tidak kuat berlamalama menatapnya. Ia kemudian beralih ke arah patung. Pemuda ini lebih terkesima lagi setelah melihat betapa bagusnya ukiran patung batu itu. Dadanya bidang, otot-otot di tubuh patung bersembulan melambangkan seorang pemuda perkasa. Hanya pemuda ini menjadi malu sendiri ketika melihat ke bagian bawah perut patung.

Di sana ada daging yang berlebih. Dan daging itu tampak tegang seukuran lengan bayi, tegak terpancang menghadap ke langit.

"Walah! Patung ini memang indah. Tapi mengapa harus dibuat porno?" Suro Blondo nyengir, lalu garuk-garuk kepala.

"Bocah! Kuminta hentikan ocehanmu, tutup mulutmu dan jangan tersenyum macam orang gila di depanku!" bentak Pematung Kelana.

Tiba-tiba saja suara tawa Suro Blondo meledak. Perutnya terguncang karena berusaha menahan tawa.

"Diam...!" bentakan menggelegar itu menghentikan tawa Pendekar Blo'on seketika itu juga.

"Kau siapakah?"

"Namaku Suro Blondo, Kek!" sahut Pendekar Blo'on. "Apakah kau mempunyai gelar?" "Gelarku... ah bagaimana,

ya...!" Suro Blondo menggaruk belakang kepalanya berulang-ulang.

"Katakan saja kalau kau punya gelar atau julukan!" desak Pematung Kelana Bambil memperhatikan pemuda di depannya dengan kening berkerut.

"Aku Pendekar Blo'on...!" jawabnya polos.

"Pantas! Tampangmu saja sudah membuktikan bahwa kau seorang pemuda tolol. Hmm... akhir-akhir ini aku memang sering mendengar namamu! Oh ya... apakah kau mau jika patung ini kuberikan padamu?"

Suro Blondo terperanjat.

Saudagar Bergola Mungkur saja yang berniat membeli patung itu dengan dua kantung emas ditampik oleh Pematung Kelana. Mustahil sekarang Suro Blondo dapat menerimanya. Lagipula ia tidak berminat dengan segala macam patung, sungguhpun karya Pematung Kelana ini sungguh hebat dan mendekati sempurna tanpa cacat dan kekurangan.

"Bagaimana?"

"Wah... saya tidak berminat dengan patungmu, Kek." jawab si pemuda, tegas.

"Mengapa? Apakah patung ini tidak bagus, menurutmu?"

"Patung itu memang bagus. Tapi aku mana berani terima pemberian yang sangat berharga ini." jawab si pemuda polos.

"Hmm, ternyata walaupun tampangmu tolol, tapi kau merupakan seorang pemuda yang cukup cerdik. Rupanya kau tahu bahwa setiap keindahan yang kita lihat ternyata tidak selalu menjanjikan kebaikan. Rupa cantik belum tentu hati dan pribadinya cantik. Tampang tidak selalu mencerminkan hati. Jadi kau benar-benar tidak mau menerima pemberianku ini?"

Suro Blondo golang-golengkan kepalanya.

"Apakah kau tidak menyesal, jika nanti aku memberikannya kepada orang lain?"

"Jika itu memang sudah kehendakmu, buat apa kusesalkan?"

"Kalau aku punya satu permintaan untukmu, apakah kau mau melaksanakannya?" tanya Pematung Kelana.

"Tergantung baik buruknya permintaan itu. Jika kau suruh aku mencuri, siapa sudi. Jika kau suruh merampok tentu aku kapok. Jika permintaanmu baik dan aku mampu melakukannya, tentu dengan senang hati aku menjalankannya."

Pematung Kelana tersenyum, namun hanya sesaat saja. Dilain waktu sikapnya telah berubah serius. "Pergilah kau ke Bumi Ayu...!" "Heh.... Bumi Ayu?" "Betul!"

"Ada apa di sana?" tanya Suro Blondo tidak mengerti.

"Kau tidak layak bertanya!" "Sialan. Tua bangka ini sangat

angkuh sekali. Dia yang suruh pergi, tapi tidak mau kasih tahu apa yang harus kuperbuat di sana?" gerutu Pendekar Blo'on.

"Aku tidak akan pergi jika aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di sana...!" kata Pendekar Blo’on akhirnya dengan perasaan jengkel.

"Ha ha ha...! Kau rupanya curiga juga padaku. Perlu kau ketahui, bahwa saudagar yang menawar patungku tadi merupakan orang kaya yang telah memperalat orang lain untuk mengambil biji-biji emas di Bumi Ayu! Hampir setiap hari banyak di antara mereka yang menemui ajal secara menyedihkan. Mayat mereka dicampakkan begitu saja, hingga tempat itu bertimbun bangkai. Sudah menjadi tugasmu Suro, untuk menghentikan mereka. Jika usahamu itu berhasil. Maka kau juga harus melenyapkan saudagar Bergola Mungkur. Karena dia merupakan dalang dari semua penderitaan mereka."

"Mengapa tadi Kakek tidak membunuhnya?"

"Hmm, aku memang sengaja memberi kesempatan untuk memperbaiki sepak terjangnya. Lagipula aku berpantang membunuh."

"Tapi terhadap dua ekor anjing jelek itu mengapa Kakek dapat melakukannya...?"

"Itu karena kepepet, dan mereka memang sengaja mencari mati!"

Suro Blondo seka keningnya yang berkeringat.

"Satu hal yang harus kau ingat! Jika kau telah berhasil menghentikan mereka. Maka kau harus mencariku!"

"Untuk apa?" tanya Pendekar Blo'on terheran-heran.

"Sekarang belum waktunya bagiku untuk menjelaskannya padamu. Nanti jika tugasmu telah kau selesaikan."

"Baiklah, sekarang aku mohon diri." kata si pemuda. Pematung Kelana menganggukkan kepala sambil memandangi kepergian Pendekar Blo'on.

****

Dua pemuda penunggang kuda berbulu hitam pekat itu tampak saling berlomba-lomba menuju ke daerah Bumi Ayu. Melihat gelagat mereka yang dalam keadaan tergesa-gesa. Tampak jelas bahwa mereka ini mengemban tugas yang cukup penting.

Siang malam mereka memacu kuda tunggangan, seakan tidak mengenal lelah sama sekali. Mereka baru berhenti jika benar-benar merasa lelah. Memang kalau dipikir-pikir jarak yang mereka tempuh antara Kuningan dan Bumi Ayu cukup jauh. Sehingga dalam seminggu perjalanan beberapa kali mereka terpaksa bermalam di hutan.

Matahari sudah mulai condong di ufuk barat pada saat mereka memasuki daerah Bumi Ayu. Yaitu sebuah tempat terakhir yang menjadi sasaran pengejaran mereka.

"Sebaiknya kita bermalam di sini saja, Kakang!" kata salah seorang di antara pemuda itu. Pakaiannya yang berwarna putih telah kotor berselimut debu. Wajah pemuda itu juga sudah tampak kelelahan sekali.

"Jarak kita dengan gua-gua penggalian sudah sangat dekat sekali. Aku yakin pemuda-pemuda dari Kuningan yang diculik para algojo itu sampai saat ini belum menjalani kerja paksa! Bagaimana kalau kita lanjutkan saja?"

"Kakang Sapala! Kakang harus ingat bahwa algojo yang   menjaga para pekerja paksa itu jumlahnya tidak sedikit. Aku yakin mereka ratarata memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Kita membutuhkan waktu untuk menghimpun tenaga yang terkuras selama dalam perjalanan. Kalau tidak ada aral melintang besok pagi kita dapat melanjutkan perjalanan ini." "Baiklah, Panji. Jika memang itu sudah maumu, kali ini aku dapat menurutinya...!"

Sapala dan Panji yang selama ini dikenal sebagai Pendekar Kembar di daerah Kuningan segera turun dari punggung kudanya. Sebentar kemudian mereka mulai mencari tempat yang cocok untuk melewatkan malam.

"Hhuimm... adalah tolol, jika laki-laki tidur dengan laki-laki. Jika tidak mempunyai kelainan jiwa, pastilah orangnya sudah sinting!"

Panji dan Sapala melengak kaget ketika mendengar suara seorang perempuan yang seakan datang dari seluruh penjuru arah.

"Eeh... apakah kau mendengarnya, Panji?" tanya Sapala.

"Suara perempuan itu?" "Ya !"

Sapala kemudian memandang ke sekelilingnya. Aneh selain pohon-pohon besar ia tidak melihat apa-apa di situ.

"Lihat!" Panji tiba-tiba menunjuk ke salah satu cabang pohon. Ketika Sapala melihat ke arah itu. Maka ia tersentak kaget.

Pada salah satu cabang pohon ia melihat seorang gadis berbaju ungu. Wajahnya cantik menggiurkan. Tubuhnya padat montok di balik pakaian yang sangat tipis mencolok. Gadis itu langsung tersenyum genit ke arah mereka. Bibirnya sengaja dibasahbasahkan dengan lidahnya.

"Mengapa kalian memandangku seperti itu?" tanya si gadis yang tidak lain adalah Mustika Jajar atau terkenal dengan julukan 'Iblis Betina Dari Neraka'

Sapala dan Panji saling berpandangan. Lalu dua-duanya memutar langkah dan hendak berlalu meninggalkan Mustika Jajar yang masih tetap duduk tenang di atas cabang pohon itu. Namun baru saja tiga langkah,

tiba-tiba terasa adanya sambaran angin menerpa wajah mereka. Panji dan Sapala bersurut dua langkah ke belakang. Sebagai pendekar muda, mereka langsung bersikap waspada menjaga segala kemungkinan. Tapi gadis berbaju ungu yang sekarang berdiri menghadang di depan mereka malah tersenyum memikat.

"Kalian salah sangka. Aku bermaksud menanyakan sesuatu pada kalian!" ujar si gadis. Seraya membungkukkan kepala, sehingga memperlihatkan kedua payudaranya yang putih mulus menyembul ke luar.

"Siapa, Nisanak?" tanya Panji curiga. Mustika Jajar tersenyum. Betapa senyumannya menimbulkan gelora yang menyentak-nyentak. Tapi hanya dengan mengerahkan tenaga dalam, baik Panji maupun Sapala dapat menghilangkan semua pengaruh itu.

5

"Aku adalah orang yang tersesat dan ingin mencari jalan menuju daerah Malaya. Eeh... apakah kalian mengetahui arah yang hendak kutuju?" tanya Mustika Jajar.

"Sebaiknya Nisanak menuju ke arah timur!" sahut Panji bersungguhsungguh.

"Hmm, begitu. Kalau pulau Seribu Satu Malam apakah kalian tahu di mana letaknya?"

Sapala dan Panji menggelengkan kepalanya.

"Maaf kami tidak tahu. Mendengar namanya saja baru kali ini!" ujar Sapala.

"Sayang sekali kalian tidak tahu. Oh ya kalian sendiri hendak kemana, dua pemuda gagah?"

Panji dan Sapala saling berpandangan. Salah seorang di antara mereka lalu menyahuti.

"Kami ingin pergi ke suatu tempat!"

"Aku tahu kalian pasti mengejar para algojo yang menculik beberapa puluh pemuda untuk dikerahkan menjadi tenaga pekerja paksa, bukan?" Gadis berbaju ungu tiba-tiba saja tertawa mengekeh. Lalu pinggulnya digoyanggoyangkan membentuk sebuah gerakan yang sangat merangsang.

Sapala dan Panji terkejut bukan main. Bagaimana mungkin gadis berpakaian merangsang ini dapat mengetahui rencana perjalanan mereka? Apakah tadi dia sempat mencuri dengar apa yang mereka bicarakan?

"Kuharap Nisanak tidak mencampuri segala urusan kami!" Sapala memperingatkan.

"Hi hi hi...! Untuk apa mengejar para algojo itu? Apakah kalian tidak tertarik melewatkan malam yang indah bersamaku malam ini? Hik hik hik!"

Dengan sengaja Mustika Jajar melepas salah satu kancing bajunya, sehingga sebagian payudaranya yang kencang itu menyembul keluar. Sebagai pendekar golongan lurus dan berhati bersih, Sapala dan Panji cepat-cepat palingkan muka ke arah lain dengan wajah bersemu merah.

"Hah... kalian rupanya benarbenar manusia banci. Baiklah, karena kalian bermaksud pergi ke Bumi Ayu. Tidak ada salahnya jika aku menjajal sampai di mana kepandaian yang kalian miliki!" Gadis berbaju ungu menutup ucapannya dengan satu serangan dahsyat yang tidak terduga sama sekali.

"Hiyaaa...!" "Wuus!" Sapala dan Panji yang tidak menyangka akan mendapat serangan yang sedemikian cepat ini langsung melompat mundur. Serangan pertama luput, namun mereka sempat merasakan sekujur tubuh mereka seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Sadar lawannya menghendaki nyawa mereka. Maka tanpa sungkansungkan lagi mereka mencabut pedang yang miliki ketajaman pada kedua sisinya.

"'Jurus Hati Suci'!" teriak Panji memberi aba-aba. Pedang di tangan kemudian diputar sedemikian cepat. Angin menderu-deru. Hanya dalam waktu yang teramat singkat senjata di tangan mereka telah berubah menjadi gulungan sinar putih yang sangat menyilaukan mata. Kehebatan jurus yang dimiliki oleh mereka adalah kecepatan dan kekompakannya dalam melancarkan setiap serangan. Demikian juga yang terlihat pada saat itu. Namun lawannya malah tertawa mengikik. Mustika Jajar yang dalam keadaan terkurung sinar senjata lawannya ini tampak melesat ke udara.

"Haap...!"

"Shaaa...!" "Wuuss!"

Segulung sinar hitam melesat dari sekujur tubuh gadis berbaju ungu. Sinar berhawa dingin menggidikkan itu menyapu lawan-lawannya dengan hanya dalam tempo sekedipan mata saja.

Panji dan Sapala terdorong ke belakang. Mereka merasa sulit menggerakkan pedangnya. Bahkan tubuh mereka sendiri cepat terdorong, sungguhpun mereka berusaha bertahan. Bahkan telah mengerahkan tenaga dalam untuk menghalau pengaruh serangan aneh itu, tetap saja terlempar.

"Aaakh...!" "Braak!"

Sapala dan Panji jatuh terbanting. Celakanya mereka sama sekali tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Adalah sungguh mengejutkan jika pendekar seperti mereka berdua ini dapat terkalahkan dengan mempergunakan ilmu menotok jarak jauh.

Jika saja lawannya memang bukan orang yang memiliki kepandaian yang benar-benar sangat tinggi. Mustahil mereka dapat dijatuhkan hanya dalam waktu beberapa gebrakan saja.

"Bangsat pengecut! Lepaskan kami...!" teriak Panji. Ia menjadi berang karena ternyata lawannya telah memperdayai mereka.

"Tidak ada gunanya kalian memaki! Kalian telah menjadi tawananku!" dengus Mustika Jajar.

Gadis ini kemudian mengambil dua utas dari kulit kayu waru. Sebuah kecerdikan sekarang terlintas dalam hatinya. "Jika saudagar Bergola Mungkur benar-benar merupakan orang yang kaya raya. Mengapa aku tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk menguasai hartanya? Mengenai musuh besar guruku aku dapat mencarinya kemudian. Tapi aku juga harus ingat harta juga tidak kalah menariknya dengan musuh besar. Kedua pemuda ini dapat kujadikan jembatan untuk mendekati saudagar itu!"

Mustika Jajar tersenyum genit. Seraya kemudian mendekati Sapala dan Panji yang berhasil ditotoknya melalui pertarungan yang sangat singkat itu.

"Kkk... kau mau apa?" tanya Panji gugup.

"Hik hik hik! Kau tidak usah takut. Aku tidak akan menggantung dan membunuh kalian seperti orang yang tidak mau kasih keterangan di jalan! Paling tidak sampai di rumah saudagar Bergola Mungkur!" dengus gadis itu. Kemudian dengan cepat ia mengikat tangan Panji dan Sapala.

"Perempuan iblis! Mau kau bawa kemana kami?" teriak Sapala.

"Tenang saja. Karena kalian bermaksud membebaskan para pekerja di Bumi Ayu. Maka sekarang aku mau menyeret kalian kepada saudagar itu untuk terima hukuman yang setimpal!"

"Bangsat!"

"Memakilah sepuasmu! Aku memang iblis dari neraka. Kalian tidak perlu gusar!" ujar gadis baju ungu. Seraya lalu melompat ke atas punggung kuda milik Sapala. Tali yang mengikat kaki kedua tawanannya disentakkannya. Tidak lama kemudian melesatlah kuda tunggangan itu menyeret Sapala dan Panji. Beberapa saat kemudian terdengar suara tawa si gadis. Sementara di belakangnya terdengar jerit dan lolong kesakitan dari mulut kedua pemuda yang dalam keadaan tertotok itu.

****

"Jtar!"

"Jtarr!"

"Akkkh... ampun Pak... ampun Tuan...!" suara pekik tangis itu menggema meningkahi suara lecutan cambuk di tangan algojo. Beberapa pemuda bertubuh tegap yang baru saja didatangkan dari Kuningan tersungkur dengan tubuh bersimbah darah.

"Di sini tidak ada kesempatan hidup lebih lama lagi bagi seorang pemalas! Tugas kalian adalah mengumpulkan biji-biji emas. Tidak layak membantah apalagi membangkang! Cepat kerja!" bentak kepala algojo itu, lalu cambuk di tangannya diayunkannya tinggi-tinggi.

"Jtar! jtaar…!"

"Walah...   walah!   Sakitt...!" teriak salah seorang yang tangannya dirantai ini kesakitan. Kepala algojo dan kawan-kawannya tergelak-gelak. Tampaknya semakin banyak darah yang mengalir dari tubuh para pekerja paksa ini semakin membuat puas hati mereka.

Apa yang terjadi di tempat itu tampaknya tidak lepas dari perhatian seorang pemuda berbaju biru muda. Pemuda berambut panjang sebahu dan memakai ikat kepala warna biru belangbelang kuning ini menggeram marah. Mulutnya pletat-pletot, kepala golanggoleng ke kiri dan kanan.

"Algojo kepala botak itu tampaknya bukan manusia, tapi setan berkedok yang selalu haus darah. Jika terus kubiarkan, tingkah mereka jadi kapiran!" desisnya.

Dilain kesempatan pemuda ini melangkah tenang menghampiri para algojo yang selalu siap dalam keadaan waspada. Dasa Reksa Sebagai orang yang mengepalai delapan orang anak buahnya tentu saja menjadi heran sekaligus terkejut melihat kemunculan Suro Blondo. Dalam waktu yang sangat singkat, mereka langsung mengurung Pendekar Blo'on.

Pemuda berbaju biru muda ini garuk-garuk kepalanya. Mulutnya nyengir begitu melihat ulah laki-laki bertubuh tegap ini.

"Heh... hari ini kita dapat tenaga tambahan lagi. Walaupun tampang kunyuk ini tolol. Tapi rasanya kita dapat memanfaatkan tenaganya untuk menggali emas dalam jumlah besar! He he he... mimpi apa aku semalam?"

"Aha... aku yakin semalam kau telah bermimpi buruk! Melihat badanmu yang lebih besar dari kawan-kawanmu, rasanya tidak salah penglihatanku, kaulah orangnya yang bernama Dasa Reksa? Apakah betul...?" tanya Suro Blondo. Walaupun hatinya kesal bukan main, tapi ia tetap tertawa-tawa.

Dasa Reksa sempat tersentak kaget. Bagaimana mungkin pemuda ini dapat mengetahui siapa namanya? Namun setelah mengingat sepak terjangnya, maka ia merasa  tidak  tertutup kemungkinan  nama  besarnya  telah dikenal di seluruh penjuru persilatan. "Kalau kau sudah tahu siapa aku.

Bicaralah yang sopan dan sekarang berlutut di depan majikanmu ini. Setelah itu menyalak tiga kali!" perintah Dasa Reksa diikuti tawa anak buahnya.

"Oh... maafkan aku majikan. Sama sekali aku tidak melihat tingginya gunung di depanku. Tapi bolehkah aku bertanya pada majikan yang terhormat?" ucap Suro Blondo sambil membungkukbungkukkan badannya.

"Bagus! Rupanya kau tahu bagaimana caranya menghargai orang lain. Sekarang coba katakan apa yang ingin kau tanyakan?" perintah Dasa Reksa, lalu tersenyum. Sementara itu satu dua orang algojo begitu melihat keramahtamahan atasannya terhadap pemuda bertampang tolol yang tidak dikenal itu langsung membubarkan diri. "Yang ingin kutanyakan adalah berapa harga setiap kepala gundul di

sini?"

Dasa Reksa pentang mata lebarlebar dengan kening berkerut. Sedangkan pemuda di depannya kini. tampak berubah serius.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku sudah jelas, Tuan!" Suro Blondo mengusap keningnya. "Kulihat di dataran rendah sebelah sana tulang dan bangkai manusia bertimbun. Kalau dihitung mungkin jumlahnya lebih dari dua ratus biji, eeh... orang maksudku! Berarti sudah dua ratus nyawa melayang menjadi tumbal secara sia-sia. Dan semua itu adalah hasil kejahatanmu dan orangorangmu. Kini aku datang menagih hutang nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Apakah keterangan ini sudah cukup jelas bagimu?"

"Huh..., puih, pemuda edan dari mana kau! Berani-beraninya kau mengungkit-ungkit segala persoalan yang terjadi di sini? Apakah kau pikir kau mampu melakukannya?" bentak Dasa Reksa. Wajah sampai kepala botaknya berubah merah padam.

"Pruuuh... ha ha ha ha...! Dasa Reksa. Sudah kukatakan aku datang kemari ingin membebaskan orang-orang di dalam gua penggalian emas. Tentu saja sekalian mencopot kepala kalian dari badan!"

"Keparat! Kau benar-benar tidak tahu penyakit! Hiaaa...!" Disertai satu teriakan melengking tinggi. Dasa Reksa melompat ke depan. Tangannya yang kokoh dan besar itu mencengkeram ke bagian leher. Ia berpikir hanya dengan sekali gebrak saja, tentu kepala pemuda tampan bertampang tolol terpotes dari kepalanya.

Tapi ternyata dugaan Dasa Reksa benar-benar meleset. Laksana kilat Suro Blondo yang telah memperhitungkan segala sesuatunya ini berkelit ke samping. Serangan itu hanya menyambar tempat kosong. Karena saat menyerang tadi Dasa Reksa mengerahkan tenaga dalam yang cukup tinggi. Maka kini setelah tidak mencapai sasarannya membuat ia kehilangan keseimbangan.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Suro Blondo untuk membetot tubuh lawannya. Dengan satu sentakan yang sangat keras tubuh besar itu melayang dan tersungkur mencium tanah keras.

Dasa Reksa menggerung. Hidungnya yang membentur tanah patah dua dan berubah lembam membiru. Sambil meringis kesakitan ia bangkit berdiri. Matanya merah beringas. Memandang penuh kekejaman pada Suro Blondo. Yang dipandang malah tersenyum sambil garuk-garuk belakang kepalanya.

6

"Anak-anak! Bunuh monyet bertampang tolol itu!" teriak Dasa Reksa pada anak buahnya yang ternyata telah berkumpul kembali mengurung Suro Blondo. Perintah sang ketua disambut oleh bunyi lecutan cambuk yang meledak-ledak di udara.

Dalam waktu singkat delapan mata cambuk berderu menyerang Pendekar Blo'on dari delapan penjuru arah. Pemuda ini terpaksa melompat ke udara. Lalu kerahkan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kipaskan Ekor'.

Sekejap tubuh pemuda   ini sudah melompat-lompat atau terkadang menari-nari membentuk gerakangerakanya yang sangat aneh. Dilihat sepintas lalu gerakan yang dilakukan Suro Blondo ini memang sangat mirip dengan gerakan monyet yang melompatlompat di atas pohon. Namun sungguhpun demikian hingga sejauh itu tidak satupun lidah cambuk yang dapat menyentuh tubuhnya apalagi sampai melukainya.

"Gila betul! Rupanya pemuda bertampang tolol ini memiliki kepandaian yang dapat diandalkannya." Membatin Dasa Reksa.

"Kerahkan jurus 'Seribu Bisa'!" sang pimpinan berteriak-teriak memberi aba-aba.

"Shaa...!" "Buut!"

"Tar... tar...!"

Jurus-jurus yang dimainkan oleh para algojo itu secara serentak berubah. Suara cambuk meledak-ledak memekakkan gendang-gendang telinga. Semakin lama cambuk di tangan lawannya tampak berubah menjadi banyak. Suro Blondo leletkan lidah saat menyadari posisinya dalam keadaan terdesak.

"Gila. Betul-betul gila! Aku harus mengerahkan jurus 'Seribu Siluman Kera Putih Mengecoh Harimau!" batin Pendekar Blo'on dalam hati.

Namun sebelum ia sempat melaksanakan niatnya. Salah satu cambuk lawan menghantam punggungnya. Baju terkoyak lebar. Ada darah yang mengalir di sepanjang luka guratan. Suro Blondo tersungkur mencium tanah. Saat itulah cambuk berduri bertubitubi mendera tubuhnya. Dalam keadaan tubuh remuk redam seperti itu. Ia terus berguling-guling menghindari mata cambuk berduri yang datang mendera seakan tidak ada habishabisnya. Lalu....

"Haap !"

Suro Blondo bangkit berdiri lalu melompat mundur sejauh tiga tombak. Mulutnya menyeringai menahan sakit. Darah bercucuran membasahi bajunya yang hancur di beberapa bagian.

"Bunuh! Jangan beri kesempatan pada pemuda sinting itu meloloskan diri!" teriak Dasa Reksa sambil terus memperhatikan jalannya pertempuran.

"Urusan jadi kapiran jika aku sampai mati di tangan mereka!" gerutu Suro Blondo.

Tiba-tiba saja ia merangkapkan kedua tangannya ke depan dada. Setengah dari seluruh tenaga yang dimilikinya dikerahkannya ke bagian tubuhnya. Lalu... diawali dengan satu langkah yang sangat ganjil. Tubuhnya tiba-tiba bergerak cepat laksana kilat. Di tengah-tengah gerakan yang sangat sulit diikuti kasat mata dan membuat bingung lawannya itulah terdengar suara aneh. Mula-mula terdengar suara tawa meledak-ledak bagaikan hendak mengguncang bumi. Tapi di saat lain terdengar pula suara seperti orang yang sedang menangis. Suara itu mendayu-dayu mendirikan bulu roma. Dan di dalam kesempatan lainnya suara tangis lenyap berganti dengan suara gajah. Rupanya dalam keadaan sedemikian rupa, Pendekar Blo'on disamping mengerahkan jurus "Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Ia juga mengerahkan jurus 'Tawa Kera Siluman'.

Kenyataan ini sempat membuat terkesima lawan-lawannya. Namun mereka tidak mau berdiam diri lebih lama lagi. Laksana kilat cambuk berduri di tangan mereka melecut mengejar kemana saja bayangan Suro Blondo menghindar. Namun berulang kali mereka dibuat kecewa ketika serangan mereka mencapai tempat kosong. Bahkan dengan gerakangerakan yang sulit diduga-duga Suro Blondo mulai mempecundangi lawanlawannya. Satu demi satu lawanlawannya itu dibuat jatuh bangun. Hal ini semakin memancing kemarahan Dasa Reksa.

Ia pun mulai menerjunkan diri ke medan pertempuran. Tidak pelak lagi, Suro Blondo langsung mendapat keroyokan sembilan jago-jago pembunuh yang memiliki kemampuan tidak rendah.

Sungguh pun pemuda tampan bertampang tolol ini mempunyai watak yang konyol. Namun ia terdidik oleh dua guru yang memiliki pengalaman dan kepandaian sangat tinggi. Sehingga ia segera menyadari bahwa saat itu nyawanya   benar-benar   dalam keadaan terancam.

"Hiyaa...!" "Shaaa...!"

Gerakan silat Pendekar Blo'on dari cepat kini menjadi lambat. Sebagian tenaga dalam yang dimilikinya kini dikerahkannya ke bagian telapak tangannya. Sehingga dalam waktu yang singkat telapak tangan itu menjadi putih berkilauan. Pada kesempatan yang sama cambuk di tangan lawan-lawannya mendera sekujur tubuhnya hingga membuatnya jatuh tergulung-gulung dan babak belur.

"Bunuh!" teriak Dasa Reksa semakin bertambah beringas.

Serangan cambuk semakin menjadijadi. Pakaian yang melekat di tubuh Suro Blondo praktis tercabik-cabik. Namun pemuda itu cepat bangkit berdiri. Cambuk di tangan lawan-lawannya menyambut dan melibat tubuhnya. Tarik menarik pun terjadi. Andai saja Pendekar Blo'on bukan pemuda yang telah kenyang makan gemblengan gurunya. Mungkin saat itu tubuhnya telah terpisah-pisah.

Suro Blondo menggeram penuh amarah. Sama sekali ia sudah tidak menghiraukan darah yang mengalir dari setiap luka yang terdapat di tubuhnya. Dan dalam keadaan dilanda kemarahan sedemikian rupa. Satu hal yang tidak pernah disadari oleh lawan-lawannya adalah bahwa, rambut Pendekar Blo'on yang hitam kemerah-merahan itu sekarang telah berubah merah sepenuhnya,

"Heaaa...!" Suro Blondo berteriak melengking tinggi. Empat larik sinar putih menyilaukan berkiblat melesat dari telapak tangannya. Itulah salah satu pukulan yang bernama 'Kera Sakti Menolak Petir' yang dilepaskan oleh Pendekar Blo'on.

Udara berubah menjadi panas menyesakkan. Empat orang lawannya terkesiap melihat datangnya gelombang sinar putih yang meluruk deras ke arah mereka. Namun untuk menyelamatkan diri tidak ada kesempatan lagi bagi algojoalgojo ini karena pukulan itu langsung menghantam tubuh mereka.

"Blaam! Buum! Buum!" "Wuaaakh...!"

Empat sosok tubuh berpentalan meregang ajal. Tubuh mereka berubah hangus. Belum hilang rasa kejut di hati kawan-kawannya, Suro Blondo telah melompat ke belakang sehingga membuat cambuk yang membelit tubuhnya terlepas. Tidak tanggung-tanggung. Ia kali ini melepas pukulan 'Matahari Dan Rembulan Tidak Bersinar'.

Sinar redup bersemu merah bercampur dengan warna biru datang menggebu-gebu. Dun algojo lainnya kini menjadi korban. Tidak sempat menjerit apalagi melolong. Tubuh mereka tibatiba terhempas ke depan. Wajah mereka berubah pucat kebiru-biruan. Darah kental menyembur tiada henti dari mulut kedua algojo itu. Laksana mau terbang semangat Dasa Reksa melihat kejadian tragis yang sangat singkat ini. Namun kematian tetap kematian. Kenyataan yang dilihatnya tidak membuat nyalinya lumer, apalagi lari terbirit-birit meninggalkan pertempuran. Dengan dibantu dua orang kawannya ia kembali merangsak ke depan. Suro Blondo menyeringai seakan mengejek.

Menghadapi lawan yang sudah banyak berkurang, malah ia semakin berhati-hati. Selanjutnya ia mengerahkan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'. Gerakan laksana kilat ini disusul dengan tendangan maupun jotosan beruntun ke bagianbagian tubuh lawannya. Namun aneh... kali ini setiap pukulannya dapat dihindari oleh lawan. Ketika mereka balas menyerang dengan mempergunakan jurus 'Gaung Halimun' Maka serangan balik itu juga lebih berbahaya dari serangan dahsyat yang dilakukan oleh Suro Blondo.

"Buuuk! Buuuk!"

"Setan atas!" maki pemuda itu jatuh bangun mempertahankan diri.

"Ayo kerahkan semua kepandaian yang kau miliki pemuda tolol!" teriak Dasa Reksa dan kawan-kawannya semakin bersemangat.

"Kalian meminta aku memberi!" sahut Suro Blondo, Ia langsung meraba gagang mandau jantan di balik pakaiannya.

"Wuuus!"

Sinar hitam tiba-tiba saja berkiblat. Salah seorang algojo yang berada begitu dekat dengannya menjerit roboh sambil memegangi perutnya yang membusai. Di tengah-tengah berkiblatnya sinar hitam tersebut tiba-tiba terdengar pula suara raungan aneh. Suara raungan kemudian berubah menjadi siulan tidak teratur. Bahkan terus berubah seperti suara ringkik kuda jantan.

Suara yang tidak teratur dan sesungguhnya keluar dari empat lubang miring yang terdapat di tengah cekungan pipih di tengah-tengah mandau ini benar-benar mengacaukan gerakan silat Dasa Reksa dan salah seorang anak buahnya.

Serangan-serangan yang mereka lancarkan pun mulai membabi buta. Namun sampai sejauh itu tetap saja sangat berbahaya bagi Suro Blondo. Bahkan satu tendangan menggeledek berisi tenaga dalam penuh menghantam punggung Suro Blondo. Untuk yang kesekian kalinya pemuda itu tersungkur roboh. Namun senjata sakti mandau jantan masih tergenggam erat di tangannya. Sekilas Dasa Reksa sempat melihat Senjata berbentuk aneh ini. Sungguhpun hatinya berubah kecut. Namun ia tetap mengayunkan cambuknya untuk merampas mandau sakti di tangan lawan.

Ayunan cambuk mengarah pada bagian tangan Suro Blondo sempat dirasakan oleh si pemuda. Sehingga ia menggerakkan senjata ke arah datangnya cambuk yang menderu ke arahnya.

"Prass!"

"Tees!"

Cambuk baja di tangan lawan terbabat putus menjadi beberapa bagian. Kesempatan itu tidak disiasiakan oleh Suro Blondo. Seraya melompat ke depan sambil menusukkan senjata di tangannya ke bagian perut Dasa Reksa.

Kepala algojo ini berkelit ke samping kiri dengan jalan menggeser langkahnya sebanyak dua tindak. Serangan Suro Blondo luput. Tapi senjata itu kemudian ia belokkan dan menghantam tulang iga Dasa Reksa.

Bukan main cepatnya serangan Pendekar Blo'on, sehingga lawan tidak sempat melihat berkiblatnya senjata si pemuda. Tahu-tahu saja dadanya kena dihantam.

"Craak! Craaaak...!" "Wuaaakkk!"

Suara teriakan Dasa Reksa laksana merobek langit. Tubuhnya terguling, setelah empat tulang rusuknya terbabat putus senjata milik Suro Blondo. Laki-laki itu berkelojotan sebentar untuk kemudian terdiam selama-lamanya. Mati!

Suro Blondo bersiul nyaring. Ia memperhatikan algojo yang cuma tinggal satu-satunya ini. Ia menggerakkan tangannya, seraya memberi isyarat pada algojo yang sudah lumer nyalinya ini untuk maju menyerangnya. Namun algojo itu malah melangkah mundur bersiapsiap langkah seribu.

"Kau mau kabur kemana?" desis Suro Blondo. Pemuda ini tampaknya sengaja membiarkan algojo tersebut melarikan diri. Namun begitu sang algojo membalikkan badan dan ambil langkah dua ribu. Suro Blondo memungut sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu kemudian disambitkannya ke bagian punggung laki-laki berkepala botak tepat mengenai sasaran.

"Pluuuk!" "Wadooow...!"

Sang algojo menjerit tertahan. Tubuhnya terguling roboh tanpa mampu bangkit kembali. Sungguhpun ia berusaha mengerahkan segenap tenaga dalam yang dimilikinya. Namun tetap saja ia tidak mampu membebaskan diri dari totokan.

"Ternyata kau hanya seorang pengecut yang takut mati! Tapi hukuman segera kau terima dari para pekerja itu begitu aku membebaskan rantai baja yang membelenggu tubuh mereka!" kata pemuda itu, lalu usap-usap keningnya.

"Tunggu, tolong lepaskan aku! Aku berjanji mengabdi padamu jika kau mau menyelamatkan aku dari amarah mereka!" kata algojo itu penuh permohonan. Suro Blondo malah melangkah pergi sambil berkata:

"Manusia memang selalu begitu. Jika nyawa sudah di tenggorokan baru merengek-rengek minta ampun dan tobat. Huh... dasar kecoa kudisan!" desis Suro Blondo.

Tidak lama kemudian Pendekar Blo'on melepaskan rantai yang membelenggu tangan para pekerja itu. Setelah dirinya merasa terbebas, maka para pekerja itu beramai-ramai meninggalkan gua penggalian.

Saat mereka melihat salah satu algojo masih dalam keadaan tertotok. Dengan penuh amarah mereka mencincang tubuh algojo malang yang selama ini menyiksa mereka di lingkungan kerja paksa.

Di kejauhan lamat-lamat Suro Blondo yang telah meninggalkan Bumi Ayu mendengar suara jerit kesakitan dari mulut sang algojo yang sedang menerima hukuman rimba. Pendekar Blo'on bergidik seram, lalu golanggolengkan kepalanya berulang-ulang.

7

Sekujur tubuh kedua pemuda itu telah babak belur. Kulitnya terbesetbeset. Bagian wajahnya terkelupas, darah menetes-netes bercampur debu jalanan. Keadaan mereka benar-benar berada antara sadar dan tiada. Kuda terus berlari kencang. Penunggangnya gadis berbaju ungu terus menggebraknya bagai kesetanan. Setelah memasuki kota Malaya, gadis ini memperlambat kecepatan kudanya. Bagi Mustika Jajar tidak sulit menemukan tempat kediaman saudagar Bergola Mungkur yang kaya raya itu. Ia memiliki rumah yang paling besar dan yang paling mewah di tengah-tengah kota tersebut.

Mustika Jajar  memasuki alunalun, lalu berbelok ke arah halaman yang cukup luas.   Para begundal saudagar Bergola Mungkur langsung mengurungnya begitu melihat kehadiran gadis berbaju ungu ini. Sebaliknya Mustika Jajar dengan angkuh membentak. "Menyingkir kalian! Aku datang kemari untuk menyerahkan dua perusuh

pada majikanmu!"

Serentak mereka memandang pada dua tawanan yang pada bagian tangan dan kakinya terikat kuat. Sementara wajah mereka sudah tidak dapat dikenali karena luka-lukanya yang cukup parah.

"Siapakah mereka?" tanya kepala pengawal merasa curiga.

"Jangan banyak tanya! Panggil majikanmu, hanya padanya aku dapat menjelaskan siapa tawanan ini." dengus Mustika Jajar sengit.

"Tidak bisa!" kata pengawal itu kurang senang.

"Kalau begitu kau memang pantas mati!" Mustika Jajar menggeram. Ia angkat tangannya tinggi-tinggi. Pada saat itulah ia mendengar suara serak seseorang.

"Tahan...!"

Gadis baju ungu menurunkan tangannya, ia menoleh ke arah suara itu. Kini ia melihat seorang laki-laki berpakaian mewah datang menghampiri. Laki-laki itu berumur kurang lebih lima puluh tahun. Kumisnya tebal terpelihara rapi. Sekali lihat saja si gadis sudah dapat melihat inilah orangnya saudagar yang ingin ditemuinya itu. Serta merta Mustika Jajar mengangguk penuh rasa hormat. Kemudian, senyum genitnya pun mengembang.

"Kalau tidak salah aku sedang berhadapan dengan saudagar Bergola Mungkur yang kaya raya."

Laki-laki berbaju hijau bersulam benang emas ini menganggukkan kepala. Tenggorokannya turun naik setelah melihat kecantikan gadis yang duduk di atas punggung kuda tersebut.

"Dugaanmu memang benar!" sahut saudagar. "Ada gerangan apakah kau menemuiku?" tanya tuan rumah. Matanya yang jalang merayapi sekujur tubuh si gadis yang terbalut pakaian serba ungu yang ketat dan tembus pandang.

Sebaliknya Mustika Jajar malah menggerak-gerakkan tubuhnya, hingga membuat gelora birahi si saudagar terbangkitkan.

"Aku sengaja mencarimu untuk menyerahkan dua ekor kunyuk yang hendak menghancurkan ladang emasmu di Bumi Ayu. Kuharap kau suka memberi upah lelah atas jerih payah ini!" kata gadis itu sambil mengedipkan matanya.

Sementara belasan pengawal yang sempat mengurung gadis berbaju ungu, kini telah membubarkan diri dan kembali berjaga-jaga di tempatnya masing-masing.

Bergola Mungkur telan ludah basahi bibir. Sungguhpun ia telah mempunyai tiga orang istri dan anak yang sudah dewasa. Namun sebagai lakilaki mata keranjang. Tentu saja ia tidak menyia-nyiakan kesempatan melihat gadis secantik Mustika Jajar. Apalagi tampaknya gadis berpakaian tipis itu memang memberi angin kepadanya.

"Mengenai hadiah kau tidak usah khawatir! Kau meminta pasti aku akan memberikannya padamu dalam jumlah yang tidak kau duga. Tapi aku mau tahu siapa dua pemuda yang kau seret itu?"

"Hik hik hik...! Mereka menamakan dirinya sebagai Pendekar dari Kuningan. Beberapa hari yang lalu algojomu menculik pemuda-pemuda daerah itu. Itu sebabnya mereka sengaja datang ke Bumi Ayu untuk mengambil kembali pemuda-pemuda yang diculik oleh anak buahmu."

"Puah... kepandaian hanya seujung kuku. Mereka benar-benar mencari penyakit bila bermaksud merusak pencarian orang lain. Jika kau memang berada di pihakku. Kuharap sekarang juga kau mau membunuhnya!"

Sebagai Iblis Betina Dari Neraka, tentu saja Mustika Jajar dengan senang melakukan tugas yang diberikan oleh saudagar Bergola Mungkur.

"Jika aku telah membawanya kemari. Membunuh manusia-manusia seperti kecoa ini bukan merupakan pekerjaan yang sulit!" Mustika Jajar kemudian melompat dari atas punggung kudanya. Setelah itu ia mendekati Sapala dan Panji. Dengan mengandalkan tiga perempat dari seluruh tenaga dalam yang dimilikinya tangan Mustika Jajar tiba-tiba menghantam dua kali.

"Praak!"

"Praak!"

Darah bercampur otak muncrat dari bagian kepala Panji dan Sapala yang terkena hantaman tangan si gadis. Tewaslah keduanya seketika tanpa sempat menyadari apa yang terjadi pada dirinya.

Mustika Jajar bangkit berdiri. Seraya membalikkan tubuhnya dan menghadap langsung pada Bergola Mungkur. "Bagaimana apakah kau puas?"

"Ha ha ha...! Tentu saja aku merasa senang. Kau memang pantas menjadi salah seorang tangan kananku menggantikan dua orang lainnya yang telah mati!"

"Bukan saja hanya menjadi tangan kanan, aku dapat memberimu kebahagiaan yang tidak pernah diberikan oleh orang lain!"

Bergola Mungkur telan ludah. Matanya belingsatan memandangi Mustika Jajar seakan tidak pernah mengenal rasa bosan.

"Mari... kita rayakan kemenangan dan pertemuan yang tidak disangkasangka ini...!" kata laki-laki berkumis tebal tersebut sambil tersenyum-senyum.

Iblis Betina Dari Neraka memasuki sebuah ruangan yang cukup luas. Di dalam ruangan itu telah terhidang berbagai jenis makanan yang lezat-lezat. Di samping itu tersedia pula beberapa guci arak yang harum baunya.

"Hmm, rumah ini sangat mewah sekali!" kata gadis itu sambil menuangkan kendi arak pada sebuah cawan yang cukup cantik.

"Kalau kau suka, eeh... siapa namamu...?"

"Panggil saja Mustika." kata gadis itu, lalu meneguk araknya.

"Ah... namamu secantik dan seindah orangnya," Bergola Mungkur memuji.

"Kalau kau merasa namaku cocok. Mudah-mudahan saja kita selalu cocok dalam banyak hal," Mustika Jajar mengedipkan matanya. Sehingga membuat jantung si saudagar berdetak keras dan klepek-klepek. Seraya kemudian berpindah tempat duduk. Begitu dekat dengan si gadis, ia langsung dapat merasakan bau harum tubuh Mustika Jajar.

Mustika Jajar meneguk araknya kembali. Wajahnya yang cantik mulai berubah kemerah-merahan. Tatapan matanya juga berubah sayu. Tidak lama kemudian tanpa mengenal malu, gadis berbaju ungu ini menyandarkan kepalanya di bahu sang saudagar. Lakilaki itu tentu saja tidak menampik, ia seperti mendapat durian runtuh. Tangannya dengan berani bahkan mulai menggerayangi dada si gadis.

"Untuk sentuhan-sentuhan yang kau berikan, kau harus membayarnya dengan sekantung emas" desah gadis tersebut seperti orang mengigau.

"Eeee... jangan khawatir. Aku bahkan akan memberimu lima kantung emas bila kau mau memenuhi permintaanku...!" ucap Bergola Mungkur dengan suara bergetar.

Mata Mustika Jajar yang setengah terpejam itu terbuka lebar. Namun ia masih belum juga menarik kepalanya dari bahu sang saudagar.

"Apakah syaratmu? Apakah kau bermaksud mengajakku bersenang-senang?" tanya Iblis Betina Dari Neraka tersenyum sinis. Baginya lima kantung emas bukan jumlah yang    sedikit. Namun untuk memberikan kesuciannya pada laki-laki tua semacam saudagar Bergola Mungkur, tentu saja ia harus berpikir seribu kali. Kalau sekedar pegang-pegang saja tidak apalah. Batinnya.

"Bagiku bersenang-senang jika kau mau, jika tidak mau tak akan kumemaksa." ujar laki-laki di sampingnya. Rupanya saudagar Bergola sadar, bahwa gadis ini tidak dapat dibuat main-main. Terlebih-lebih setelah melihat kehebatannya di halaman tadi. Namun jika ia dapat memanfaatkan tenaganya. Tentu kedudukannya sebagai orang kaya tidak akan terusik oleh orang lain.

"Lalu apa permintanmu yang lain?" tanya si gadis.

Ia tetap membiarkan dadanya digerayangi oleh lawan bicaranya. Hanya sesekali saja rintihannya terdengar. Terlebih-lebih bila remasan tangan Bergola Mungkur terasa lebih keras. Karena saudagar itu tidak kunjung menjawab. Akhirnya ia menyentakkan tangan si laki-laki dari dadanya yang setengah terbuka.

"Katakan apa permintaanmu, agar aku bisa mendapatkan lima kantung emas darimu?" desah Iblis Betina Dari Neraka serius.

Sebelum menjawab, Bergola Mungkur meneguk araknya.

"Jika kau dapat mengambil patung marmar yang indah dari tangan Pematung Kelana dan menyerahkannya padaku. Lima kantung emas siap menunggu sebagai imbalan...!" kata sang saudagar.

Kemudian dengan singkat ia menceritakan apa yang pernah terjadi pada dirinya dan nasib tragis yang menimpa anak buahnya. Dengan seksama, Iblis Betina Dari Neraka ini mendengarkannya.

"Dua kantung emas bukan sedikit! Adalah sangat sombong jika Pematung Kelana menolak tawaranmu, bahkan malah meminta nyawa dua tangan kananmu!" timpal si gadis setelah selesai mendengar penjelasan sang saudagar.

"Memang Pematung Kelana manusia congkak! Bukan itu saja, ia malah menghinaku. Jika kau berhasil merampas patung marmar berikut nyawa pematung tua itu. Maka aku akan menambah satu kantung emas lagi!"

"Hik hik hik...! Kuterima tawaranmu. Aku ingin berangkat secepatnya!" Mustika Jajar bangkit berdiri. Tapi Bergola Mungkur cepat mencegah.

"Tunggu! Sebaiknya kau menginap dulu di sini barang semalam, kau habis menempuh perjalanan yang sangat jauh. Tentu kau sangat lelah."

"Tidak usah khawatir. Aku tahu keinginanmu, mungkin di suatu saat aku dapat memperlihatkan keindahan tubuhku di depanmu. Tapi kau tidak mungkin dapat memilikinya di luar batas memegang dan menyentuh. Terkecuali aku dengan suka rela mau melakukannya!" kata si gadis sambil tersenyum genit.

Wajah Bergola berubah memerah. Tapi hanya sebentar saja, dilain saat ia telah berubah seperti biasa kembali.

"Baiklah kalau itu maumu! Hadiah emas untukmu telah menunggu di sini, jika telah berhasil memboyong patung mar-mar itu ke sini!" Bergola Mungkur mengingatkan.

Iblis Betina tersenyum. Seraya melambaikan tangan lalu menghilang dari pandangan sang saudagar.

Di halaman depan Bergola Mungkur masih sempat mendengar suara langkah kuda bergerak menjauhi rumahnya yang megah.

"Andai saja aku dapat memiliki tubuhnya!" Sang saudagar beranganangan. "Tentu bukan perlindungan saja yang kudapat dari gadis itu. Tapi juga kehangatan dari gadis yang masih mudamuda!" Bergola Mungkur menelan ludah. Tiba-tiba saja tenggorokannya terasa pahit.

8

Laki-laki tua bertelanjang dada dan berambut putih ini berjalan mondar-mandir mengelilingi patung yang baru selesai diwarnainya. Memang patut diakui, setelah patung itu diwarnai, hasilnya semakin bertambah sempurna. Inilah satu-satunya patung yang paling bagus di antara sekian banyak patung yang pernah dibuatnya. Memandangi wajah patung lebih lama, tiba-tiba saja wajah Pematung Kelana berubah muram.

"Tidak kusangka kau pergi secepat itu, anakku! Kini aku hanya sendiri. Hidup bersama bayang-bayang mimpi yang tidak bertepi. Mimpi buruk selalu datang dan pergi. Hal ini sangat menyiksaku, menyiksa sangat dalam." Tanpa disadarinya air mata Pematung Kelana menetes. Suaranya kemudian berubah serak. "Jika aku pergi, satu rahasia yang sangat besar terkandung dalam dirimu. Aku selalu berdoa sepanjang siang dan malam. Jika aku tidak dapat menemanimu lebih lama, semoga ada orang baik berhati jujur dapat menyingkap tabir misteri yang sengaja kupendam dalam dirimu...!" desis si kakek tua sambil menengadahkan wajahnya ke langit.

Sedang Pematung Kelana bicara seorang diri seperti itu, sayup-sayup di kejauhan terdengar suara langkah kuda. Semakin lama suara derap kaki kuda semakin bertambah cepat dan bertambah jelas.

"Inilah pertanda yang paling tidak baik dalam hidupku!" membatin si kakek tua dalam hati.

Benar saja, tidak lama kemudian seekor kuda tunggangan berhenti tepat di depan Pematung Kelana. Duduk di atasnya seorang gadis berbaju ungu tembus pandang. Gadis ini terbelalak kaget begitu melihat betapa indahnya patung dan keperkasaan pada bagian bawah perutnya. Mustika Jajar sempat bergetar tubuhnya. Darahnya berdesir, jantungnya berdetak lebih kencang. Terus terang ia mengakui bahwa patung itu bentuknya sangat sempurna dari pribadi seorang laki-laki jantan yang perkasa. Apalagi setelah melihat tampangnya yang gagah dan ganteng. Jika semula ia berniat menukar patung itu dengan enam kantung emas murni. Maka kini setelah melihat patung itu ia malah berubah ingin memiliki patung itu untuk selama-lamanya.

"Pak Tua. Benarkah anda yang berjuluk Pematung Kelana?" tanya Mustika Jajar berusaha ramah meskipun suaranya sempat bergetar menahan keinginan yang meledak-ledak setelah melihat keperkasaan patung tersebut.

"Bertanya membawa satu maksud jahat atau baik?" tanya Pematung Kelana acuh tak acuh.

"Hhh... orang ini benar-benar sombong sebagaimana yang dikatakan oleh saudagar mata keranjang itu!" batin Iblis Betina Dari Neraka.

"Maksudku tergantung bagaimana penyambutanmu, Pematung Kelana? Hik hik hik...!" Mustika Jajar terkikik. Ia mengerling genit pada si kakek.

"Hmmm, setiap orang memang punya maksud-maksud tertentu datang kemari. Melihat penampilanmu hatiku mengatakan kau membawa maksud yang bukan saja buruk tapi juga keji! Pergilah! Aku tidak punya waktu untuk melayanimu." "Bagaimana kalau kau tukar patung itu denganku?"

"Maksudmu?"

"Patung bagus itu kau berikan padaku. Sebagai balas jasa aku menyerahkan diriku padamu untuk beberapa waktu!" Mustika Jajar tersenyum genit. Ia bahkan sengaja menggaruk dadanya, sehingga salah satu kancing bajunya terbuka dan memperlihatkan buah dadanya yang membusung padat, putih berkilat-kilat.

Pematung Kelana cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain. Gelora amarahnya terbangkitkan.

"Perempuan rendah! Aku adalah manusia renta yang tidak dapat kau perdaya. Sungguhpun kau telanjang di depanku, harga patung ini lebih mahal dari kemolekan tubuhmu!"

"Ah... terlanjur aku datang. Terus terang aku mau meminta patung itu!" Mustika Jajar tanpa malu-malu berterus terang.

"Hhh... patung ini kubuat bukan untuk kujual atau kuberikan pada orang lain. Dia adalah tiruan sosok anakku. Karena dia anakku, maka aku akan mempertahankannya walaupun nyawa sebagai taruhannya!"

Mata Iblis Betina Dari Neraka terbelalak lebar. Jika patungnya saja sedemikian perkasa dan jantan apalagi orang yang sesungguhnya. "Di mana anakmu itu, orang tua?" tanya gadis berbaju ungu.

"Dia sudah tiada!"

"Ah... sayang betul! Kalau begitu sekarang kau harus menyerahkan patung ukiranmu itu padaku!" tegas si gadis sambil berkacak pinggang.

"Sudah kubilang aku tidak akan memberikannya pada siapapun. Apakah kau tidak mendengar kata-kataku!" dengus Pematung Kelana dengan perasaan muak.

"Rupanya aku harus merampas nyawamu baru kau mau menyerahkan patung itu kepadaku!"

"Demi keselamatan patung ini dari manusia sepertimu, aku rela berkorban apa saja!" dengus Pematung Kelana merasa tersinggung.

"Banyak mulut! Hiyaaa...!" Secara licik Mustika Jajar menghantam punggung si kakek dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Namun Pematung Kelana begitu merasakan sambaran angin pukulan langsung melompat ke samping kiri. Lalu kibaskan tangan kirinya.

"Duuuk!"

"Uuuuh…!" Mustika Jajar tersentak. Tangannya terasa seperti menghantam dinding karang. Tangan itu berwarna merah dan nyeri pada bagian jemarinya. Ia terhuyung-huyung sejauh tiga tindak. Sebaliknya Pematung Kelana juga terkejut. Tangan kirinya seperti ditusuk-tusuk ribuan batang jarum. Lebih celaka lagi tangan itu berubah dingin. Sebagai orang yang telah berpengalaman dan malang melintang di sepanjang pesisir pulau Jawa. Ia sadar betul bahwa lawannya memiliki tenaga dalam yang mengandung racun keji. Cuma yang membuatnya terheran-heran adalah mengenai tenaga dalam yang dimiliki oleh gadis itu. Meski masih berusia muda, tapi tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna.

"Sebentar lagi kakek tua! Sebentar lagi Iblis Betina Dari Neraka akan mengirimmu ke Neraka!" dengus Mustika Jajar.

Seraya kemudian mementang kedua tangannya lebar-lebar. Selanjutnya kedua tangan itu dilintangkannya ke depan dada. Tangan itu kemudian berubah menghitam. Dengan satu gerakan yang sangat menantang, ia membuka jurus 'Prahara Bumi', yaitu salah satu jurus iblis langka yang pernah dipelajarinya dari 'Tua Tengkorak Mata Api'

Dengan mempergunakan jurus yang sangat berbahaya dan penuh tipu-tipu ini, Mustika Jajar menyerang lawannya. Setiap serangan yang dilakukannya menimbulkan angin bersiuran. Pematung Kelana merasakan pernafasannya menjadi sesak. Namun sebagai tokoh angkatan tua yang sangat berpengalaman. Ia langsung mengetahui siapa pemilik jurus sesat yang sangat berbahaya itu. "Ada hubungan apa kau dengan Tua Tengkorak Mata Api!" hardik Pematung Kelana sambil menghindari tendangan

kilat yang dilancarkan oleh lawannya. "Kau tidak layak bertanya!"

dengus Mustika Jajar. Diam-diam hatinya terkejut juga setelah mengetahui ternyata lawannya kenal siapa gurunya.

"Huup! Heaaa...! Jika kau muridnya Tua Tengkorak Mata Api. Berarti aku sudah dapat memperkirakan siapa kau yang sebenarnya. Rasanya tidak salah jika aku turun tangan kejam kepadamu!" Pematung Kelana menggeram.

"Bagus! Aku sendiri memang menghendaki nyawamu!" sinis suara Mustika Jajar.

"Shaa...!" Tubuh Pematung Kelana melesat ke depan. Ia mengerahkan jurus 'Bayang-bayang Sukma'. Inilah salah satu jurus andalan yang dimiliki oleh si kakek tua. Sadar bahwa lawannya merupakan murid seorang iblis. Tidak tanggung-tanggung ia mengerahkan segenap kemampuan yang ada

Sebaliknya walaupun masih muda, Iblis Betina Dari Neraka ini memang mewarisi kepandaian tinggi dari gurunya. Jadi sungguhpun lawan mempunyai pengalaman jauh lebih matang. Namun ia masih tetap dapat mengimbangi setiap serangan yang datang.

"'Tujuh Angkara Murka'!" jerit Mustika Jajar. Ia kemudian hantamkan tangannya yang telah berubah hitam itu menyongsong serangan lawannya. Melihat sinar hitam datang menggebu-gebu ke arahnya, maka Pematung Kelana membanting tubuhnya ke samping kiri Lalu lepaskan pukulan 'Geger Bumi'.

Sinar hitam dan merah datang bergulung-gulung bagaikan badai topan prahara. Udara di sekitarnya berubah menjadi dingin dan panas. Lalu dua pukulan yang dilepaskan oleh masingmasing lawannya ini saling bertemu di udara.

"Buummm...!" "Braak! Braaak!"

Dua-duanya jatuh terpelanting, Hampir bersamaan mereka bangkit kembali. Ledakan dahsyat itu membawa akibat runtuhnya dinding tebing. Bahkan longsorannya menimbun badan patung. Pematung Kelana menyeringai. Wajahnya berubah pucat. Sebaliknya Mustika Jajar malah tersenyum. Sekarang ia menyerang lagi dengan gerakan-gerakan yang lebih cepat dan gencar. Namun Pematung Kelana yang telah bergerak lebih awal dapat menghantam perut gadis itu hingga membuatnya jatuh terjengkang dan muntahkan darah segar.

Anehnya gadis itu malah tertawatawa. Rupanya itulah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya. Tidak lama kemudian ia bangkit berdiri.

"Kau telah melukaiku, berarti semua yang kau lakukan hanya mempercepat kematianmu sendiri!" Mustika Jajar menggeram marah sambil seka darah yang menetes di sudut-sudut bibirnya.

"Deb!"

"Beet!"

"Heyaaa...!" Jemari tangan si gadis tiba-tiba saja terentang lebar. Begitu jemari tangan terkembang. Maka terjadilah perubahan warna. Jika semula jemari tangan itu berwarna keputihan, maka sekarang telah berubah menjadi merah laksana darah.

Pematung Kelana terkesiap setelah melihat perubahan yang terjadi pada bagian tangan lawannya. Mulutnya mendesis 'Pukulan Jari Getih'.

Tidak ada kesempatan baginya untuk berpikir lebih jauh. Pukulan Jari Getih sebagaimana yang diketahuinya merupakan satu pukulan ampuh beracun yang sangat mematikan. Siapapun yang terkena pukulan itu tidak ada yang dapat menjamin keselamatan nyawanya!

Merasa tidak ada pilihan lain lagi. Maka ia mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian telapak tangan. Tubuhnya tiba-tiba saja bergetar hebat. Kedua telapak tangannya berubah kuning berpedar-pedar. Inilah salah satu pukulan simpanan yang bernama 'Geger Bumi'. Sungguhpun laki-laki ini tidak dapat memastikan apakah dia sanggup mengatasinya, Namun sebelum segala sesuatunya terjadi. Pematung Kelana telah menghentakkan tangannya ke depan. Hanya beberapa saat setelahnya, lawannya pun melakukan hal yang sama.

"Blaam! Blaaam…!"

Dua letusan dahsyat memporak porandakan suasana di situ. Satu bayangan terlempar ke arah jurang, sedang yang satunya lagi tergontaigontai dan jatuh terhempas tidak jauh dari longsoran tanah yang menimbun patung ciptaan Pematung Kelana. Dari arah jurang, sayup-sayup terdengar suara jerit seseorang. Itulah suara si kakek pematung.

Sementara itu Mustika Jajar sendiri telah bangkit berdiri. Dari mulutnya darah semakin banyak yang keluar. Barulah setelah menelan beberapa butir pel berwarna hitam dan merah. Darah langsung berhenti.

"Gila betul orang itu. Selain seorang pematung, ternyata ia mempunyai kepandaian yang tidak rendah. Syukur ia terpelanting ke jurang. Aku tidak tahu apakah ia dalam keadaan hidup atau mati!" desis Iblis Betina Dari Neraka sambil menyeringai. Tidak lama kemudian ia sudah memindahkan longsoran tanah yang menimbun patung pemuda gagah. Entah mengapa semakin dekat tubuhnya dengan patung tersebut, jantungnya berdetak

semakin kencang.

"Hhhm, ini dia! Oh sungguh merupakan patung yang sangat perkasa. Seandainya saja ia hidup. Ingin rasanya aku menidurinya sepanjang malam. Hik hik hik...!"

Dielus-elusnya patung tersebut. Tidak lama kemudian setelah longsoran tanah yang menimbunnya habis. Mustika Jajar seperti orang kesurupan langsung memeluk badan patung yang kekar tidak ubahnya seperti sedang memperlakukan orang yang sangat disayanginya.

"Aku menyukaimu. Tidak mungkin rasanya aku menukarmu dengan enam kantung emas. Aku akan selalu meminta pada para iblis, agar suatu saat kau dapat hidup sebagai manusia. Manusia perkasa yang dapat memenuhi setiap keinginanku...!" Lagi-lagi Mustika Jajar seperti orang kesurupan langsung memeluk patung itu. Kemudian ia mendaratkan ciuman bertubi-tubi pada bibir patung.

"Aku mau membawamu ke suatu tempat! Di sana aku akan minta petunjuk dari para iblis untuk membangkitkanmu!"

Gadis berbaju ungu ini kemudian berusaha mengangkat patung tersebut. Tapi ternyata patung itu beratnya bukan main. Sehingga Mustika Jajar terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk meletakkan patung itu di punggung kuda.

"Kraaakkk!"

Kuda yang diharapkannya dapat membawa patung, ternyata tidak kuat menahan berat patung. Bahkan terdengar suara berderak patah pada bagian tulang punggungnya.

"Upp... tidak kusangka patung ini berat sekali. Sebaiknya biar aku sendiri yang memanggulnya!" Mustika Jajar memutuskan.

Dengan sekuat tenaga patung batu mar-mar seberat kati itu dipanggulnya. Bahkan beberapa saat kemudian ia sudah berlari-lari, seakan beban berat yang dipikulnya tidak dirasakan sama sekali oleh si gadis.

9

Laki-laki itu terus melangkahkan kakinya yang pincang. Sesekali ia mendongak ke langit. Lalu berjalan lagi seperti orang yang sedang dalam keadaan tergesa-gesa. Lalu ketika berada di atas dataran bukit tiba-tiba ia hentikan langkahnya. Sekali lagi ia memandang ke langit.

"Aduh biuuung... panasnya dunia hanya asap api neraka. Di sana panas di sini panas. Mati... kematian ada dimana-mana. Aduh biung... mengapa aku terlahir ke dunia yang sengsara...!" kata kakek berkumis, berjenggot serta berambut putih itu seperti menyesali sesuatu.

Lalu ia melangkah lagi, tongkat butut di tangannya ia acungkan ke depan. Lalu tampak selarik sinar biru melesat dari ujungnya. Sinar biru tersebut menghantam sulur akar pohon rambat.

"Tes! Tes!"

Sulur-sulur pun putus, dari putusan sulur menetes air yang sangat bening. Si kakek berkaki kecil sebelah itu menampung air tersebut dan,

"Gluk! Gluuk!"

"Ah... lega rasanya, kelegaan yang membuat aku menyesal, menangis dan... hu hu hu... penyesalanku tidak kunjung berkesudahan. Kulihat kematian membuat aku menyesal. Kulihat kemarahan, aku menyesal, kulihat penderitaan orang kecil aku menyesal. Kulihat penghuni dunia celaka ini aku menyesal! Hidupku dalam penyesalan nafasku dalam penyesalan. Lahirnya Iblis Betina Dari Neraka membuat aku teramat menyesalkannya!" dengus si kakek. Lalu ketok-ketokkan tongkat di tangannya di atas batu.

Sehingga terdengarlah suara berdenting menyakitkan telinga. Si kakek memakai ikat kepala warna darah ini langkahkan kakinya lagi. Tetapi secara tiba-tiba ia melihat sosok bayangan biru berkelebat di depannya. Tampak bayangan biru tersebut tengah mengerahkan ilmu lari cepatnya yang bukan main-main. Tetapi hebatnya lagi begitu si kakek membentak....

"Kembali. !!"

Secara aneh dan benar-benar sulit dipercaya, bayangan biru tadi bergerak mundur seperti ditarik. Dan kekuatan itu terus membetotnya ke belakang. Dan....

"Buuk!"

Tubuh pemuda itu menabrak si kakek yang berdiri di belakangnya. Si pemuda bertampang ketolol-tololan menjadi kaget sendiri. Ia menyadari ada seseorang yang telah mengerjainya dengan hanya membentak secara aneh. Tetapi mengapa ia yang sedang berlari bisa tertarik ke belakang?

"Bocah gendeng! Punya mata tapi tidak melihat, ah...!" Si kakek hentikan ucapannya begitu melihat pemuda berambut hitam kemerah-merahan itu berpaling ke arahnya. "Kulihat wajahmu aku jadi menyesal. Di dunia ini ada orang seperti engkau... sungguh aku menyesal. Tapi aku sungguh menyesalkan mengapa ibumu melahirkanmu...?"

Pemuda berbaju biru memakai ikat kepala biru belang-belang kuning ini garuk-garuk kepala. Satu lagi orang gila ia temui, bukan gila tapi aneh dan sangat hebat.

"Orang tua siapa kau! Berani benar kau mengganggu perjalanan orang lain. Bisa-bisa kukemplang kepalamu!" dengus Suro Blondo.

"Ha ha ha...! Ada bocah yang tidak hormat pada orang tuanya. Ada kakek yang tega berbuat mesum pada bocah kecil, ada mayat dipotong-potong seperti hewan. Tahukah kau bahwa semua itu membuat aku menyesal? Oh dunia ini sudah teramat tuanya. Hah... manusia ini sudah parah bejatnya. Lalu siapa yang masih waras, apakah kau bocah gila?" tanya si kakek bersikap acuh tak acuh.

Pendekar Blo'on pencongkan mulutnya. Ia golang-golengkan kepala seperti orang bingung.

"Orang tua ini sebenarnya menderita penyakit apa? Gilanya sudah teramat parah. Dia bukan saja sinting, tapi miring. Namun melihat caranya menarikku tadi, kurasa dia mempunyai kepandaian yang sangat tinggi sekali...!" pikir Suro Blondo.

"Kau bicara apa bocah tolol? Aku bisa melihat pikiranmu, aku dapat mendengar suara hatimu, sungguh semua ini sangat kusesalkan!" dengus si kakek sambil ketok-ketokkan tongkatnya di atas batu.

"Kakek penyesal, siapakah engkau yang sesungguhnya. Urusanku dengan saudagar Bergola Mungkur sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi" tegas si pemuda.

"Ha ha ha...! Aku Datuk Sage Manyasal Hiduik. Si renta yang selalu menyesali segala sesuatu di dunia ini, orang yang menyesalkan terjadinya angkara murka di bumi, sepanjang abad, sepanjang hidup sampai dunia ini menjelang kiamat pun aku menyesal!"

"Datuk Sage Manyasal Hiduik. Apa yang kau sesalkan, setiap manusia punya urusan sendiri-sendiri. Biarkan saja...!" kata Suro seenaknya. Datuk Sage Manyasal Hiduik kedip-kedipkan matanya yang mulai lamur. Bicara pemuda tampan bertampang ketololtololan itu memang ceplas-ceplos. Dan ia tahu siapa pemuda itu.

"Kau pemuda tolol, pantas menyandang gelar Pendekar Blo'on. Gurumu Penghulu Siluman Kera Putih, duh menyesalnya aku. Kakekmu Malaikat Berambut Api, manusia sakti mandraguna, tinggal di Pulau Seribu Satu Malam, banyak musuh, punya banyak kekasih, tapi tidak pernah kawinkawin. Oh... menyesalnya aku...!" kata si kakek.

Kata-kata yang diucapkannya itu jelas membuat Pendekar Blo'on jadi terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa kakek aneh ini mengenali siapa dirinya dan juga gurunya. Bahkan sampai masa lalu gurunya sendiri. Padahal Malaikat Berambut Api tidak pernah cerita apaapa tentang peribadinya pada Suro Blondo.

"Bagaimana Datuk bisa mengenal mereka?"

"Aku menyesal mengenal kedua gurumu, aku menyesal mengenal dirimu dan aku menyesal bakal melihat darah!" kata Datuk Sage Manyasal Hiduik.

Wajah kakek tua berkaki kecil ini berubah muram. Lalu ia ketukketukkan tongkat bututnya ke tanah. Tanah sekeras cadas itu berlubang dan dari lubang akibat tusukan tongkat menebarkan bau busuk menusuk hidung.

"Darahnya siapa yang kau sesalkan Datuk? Apakah darahmu sendiri darahku atau darah monyet?" tanya Suro sambil cengengesan.

"Hidupmu berkubang darah, bukan kunyuk sepertimu yang akan menjadi bangkai. Aku menyesal karena bukan darahku pula yang tercecer. Darah orang-orang serakah. Aku sedih karena berpantang membunuh, aku menyesal datang ke tanah Jawa ini."

"Memang engkau dari mana Datuk? Apakah dari dalam kuburan, dasar bumi atau dikirim dari neraka?"

Wajah sang Datuk berubah kelam membesi. Matanya berkedip-kedip, lalu ia memandang ke langit.

"Bicaramu sudah keterlaluan, bocah gendeng. Sayang aku tidak punya urusan denganmu. Seorang anak ingusan tidak layang tanpa asal-usul. Satu hal yang harus kusesalkan, aku harus tahu seberapa hebat kekuatan yang kau punya, seberapa banyak ilmu yang kau miliki!" kata sang Datuk.

Tiba-tiba saja Datuk Sage Manyasal Hiduik hentakkan kaki kanannya yang kecil di atas tanah. Segulung angin kencang menderu, Suro Blondo tiba-tiba saja terpelanting tunggang-langgang. Pendekar Blo'on terkejut bukan main-main. Seorang Tua renta seperti Datuk Sage Manyasal Hiduik dapat menjatuhkannya hanya dengan menjejakkan kaki di atas tanah. Satu hal yang sangat sulit dipercaya.

Ia bangkit berdiri, dengan sangat berhati-hati ia segera mengerahkan tenaga dalam ke bagian kakinya.

"Mengapa kau menyerangku Datuk? Apakah kau sudah edan?" dengus Suro sambil garuk-garuk kepala.

"Kusesalkan karena aku tidak bisa memberikan jawaban kedua. Tetapi untuk lebih jelas sebaik-baiknyalah kau menjaga diri" Baru selesai bicara Datuk Sage Manyasal Hiduik tampak gembungkan pipinya. Lalu tiba-tiba saja ia menghembuskan nafasnya.

"Puuuih...!" "Wuus!"

Segulung angin topan menderu menerjang Suro Blondo. Pemuda berambut hitam kemerah-merahan ini tidak tinggal diam. Ia segera mengerahkan jurus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'. Pemuda ini kemudian melompat ke samping sejauh satu batang tombak. Tubuhnya meliuk-liuk sambil sesekali menggaruk kepala. Lalu berjongkok dan melompat-lompat, sedangkan tangannya menghantam ke depan dan mulut mengeluarkan suara seperti lolongan serigala kelaparan yang seakan datang dari seluruh penjuru arah.

"Buumm!"

Hembusan Datuk Sage Manyasal Hiduik menghantam sebatang pohon yang terdapat di belakang Suro. Pohon mengeluarkan suara berderak dan roboh. Jika Pendekar Blo'on tidak cepat-cepat menghindar tentu ia tertimpa pohonpohon.

"Ha ha ha...! Jurus gila, sudah kuduga gurumu mempunyai jurus itu. Menyesal aku harus menyerangmu hingga aku tahu seberapa hebat murid dari dua orang guru!"! kata Datuk Sage.

"Aku juga menyesal melihat ulah gilamu Datuk. Tapi aku tidak akan menyesal kau terus memaksaku bertindak kasar!" dengus Pendekar Blo'on jengkel.

"Heaa...!"

Datuk Sage Manyasal Hiduik sama sekali tidak menghiraukan ucapan Suro. Ia menulikan telinga dan kini menyerang Pendekar Blo'on dengan tongkat butut di tangannya. Sekali sang Datuk mengibaskan tongkatnya. Maka terlihat tongkat tersebut berubah menjadi banyak, tongkat butut meliukliuk bagaikan seekor ular cobra yang sedang memburu mangsanya. Suro dibuat pontang-panting, beberapa kali tongkat lawan menyodok ketiak, dada, ulu hati dan juga mata si pemuda. Pemuda ini mencoba menangkis serangan itu dengan telapak tangannya. Maka benturan tidak dapat dihindari lagi.

"Taaak!"

"Wadow... edan...!" maki si pemuda.

Tangannya tadi seperti lumpuh dan sakitnya bukan main. Padahal Pendekar Blo'on telah mengerahkan tenaga dalam ke bagian telapak tangan. Kini ia melompat mundur. Lawan terus mengejarnya, Pendekar bertampang ketolol-tololan ini segera mempergunakan jurus 'Kacau Balau' untuk menghalau setiap serangan yang melabraknya.

Gerakan pemuda itu sekarang benar-benar sudah tidak teratur lagi. Terkadang tubuhnya terhuyung ke kanan dan ke samping kiri, atau bergerak seperti menubruk ke depan. Ketika tongkat lawannya menyambar menusuk dada ia cepat menarik tubuhnya ke belakang seperti orang yang terpeleset kulit pisang. Lalu kaki depannya menendang ke bagian perut sang Datuk.

Lawan menepisnya dengan tangan kiri Suro menarik kakinya sedangkan tangan melayang mengemplang kepala sang Datuk.

"Plok!"

"Heh…!"

Sang Datuk memang sempat terhuyung-huyung terkena pukulan si pemuda. Namun Pendekar Blo'on sendiri dibuat kaget. Bagaimana tidak, ia seperti menghantam batu saja. Tangannya sendiri sakit bukan main.

"Ha ha ha...! Aku sedih karena tubuhku keras seperti batu. Aku menyesal lantaran kau kesakitan!"

Suro pencongkan mulutnya, "Datuk Penyesal, apakah kau tidak menyesal melihat orang lain yang tidak bersalah kesakitan?" tanya si pemuda. "Penyesalanku sudah mendarah daging, berurat berakar seperti pohon kehampaan. Kau kesakitan aku menyesal, tetapi aku akan lebih menyesal lagi setelah nanti melihat darah. Darah orang tamak, orang serakah, para pejabat kerajaan yang korup, dan juga pembesar yang menyeleweng. Semua itu kusesalkan!" kata Datuk Sage Manyasal Hiduik.

"Bicaramu semakin ngaco tidak karuan. Bicara soal penyesalan tapi kau malah menyerangku seperti orang mabuk. Kau menyerang maka aku pun harus balas menyerang supaya adil!" dengus Pendekar Blo'on.

Tiba-tiba saja pemuda tampan bertampang ketolol-tololan itu menerjang Datuk Sage. Namun sang Datuk menyambutnya dengan tusukan tingkat ke tubuh Pendekar Blo'on. Masih dalam keadaan mengambang di udara Suro berjumplitan ke belakang. Begitu ia menjejakkan kedua kakinya di atas tanah. Maka pemuda ini lepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'

"Huuuh...!"

Pemuda itu secepat kilat mendorongkan kedua tangannya ke depan. Seleret sinar putih melesat bagaikan anak panah melayang dari busurnya.

"Aku menyesal karena engkau keluarkan pukulan. Aku menyesal karena terpaksa gunakan tongkat bututku!" kata Datuk Sage Manyasal Hiduik. Tibatiba saja....

"Wuut! Wuut!"

"Byar!"

Pukulan yang dilepaskan Pendekar Blo'on buyar seketika terkena sabetan tongkat lawan yang menimbulkan angin kencang bagaikan badai. Suro Blondo terhuyung-huyung, namun secepatnya ia memperbaiki posisinya. Dalam kesempatan itu Datuk Sage telah membalas serangan si pemuda dengan mengayunkan tongkat di tangan. Pemuda itu mengelak, namun gerakannya kalah cepat dengan tongkat lawannya. Maka....

"Buuk!"

"Aduh emaak....! Kakek kaki kurus ini benar-benar edan." pikir Suro sambil usap-usap dadanya yang mendengut sakit. Setelah diusap-usap, malah dari bibir si pemuda tampak meleleh darah segar.

"Kau terluka? Aku sedih melihatmu terluka, ha ha ha...!" Datuk Sage tertawa sumbang.

"Sekarang aku terluka, sebentar lagi aku sedih melihatmu mati makan ulah sendiri!" dengus Suro.

Tiba-tiba saja Pendekar Blo'on melompat ke udara. Kedua tangannya dihentakkan ke arah Datuk Sage Manyasal Hiduik.

"'Ratapan   Pembangkit   Sukma'!

Hiaaa...!" teriak Pendekar Blo'on. Angin kencang bagaikan topan bergulung-gulung. Tampak adanya kabut putih bagaikan salju menderu ke arah Datuk Sage Manyasal Hiduik. Gelombang angin kencang itu menebarkan hawa dingin mencucuk ke sumsum tulang. Datuk Sage Manyasal Hiduik tersentak kaget. Sama sekali ia tidak mengira pemuda tampan berwajah ketolol-tololan ini telah mewarisi pukulan dashyat 'Ratapan Pembangkit Sukma' warisan manusia sakti Malaikat Berambut Api.

Maka tanpa membuang-buang waktu lagi ia kibaskan tongkatnya yang telah teraliri tenaga dalam ke arah lawan.

"Wut! Wut!"

Dari ujung tongkat melesat dua larik sinar biru menebar hawa panas menyambut gelombang angin topan yang melesat dari telapak tangan lawannya. Benturan keras tidak dapat dihindarkan lagi....

"Bum! Buum!"

Ledakan-ledakan keras disertai dengan memijarnya bunga api.

"Aaaakh... celakanya neraka dunia jika kau mempergunakan pukulan itu...!" desis Datuk Sage Manyasal Hiduik.

Tubuh kakek tua ini terhuyunghuyung. Ujung tongkatnya patah, celana sebatas betis terkoyak. Suro Blondo jatuh terduduk, dadanya sesak bukan main. Sedangkan kedua kakinya sampai amblas ke tanah sedalam lutut.

"Bukan main-main. Tidak menyesal aku bertemu denganmu, anak muda. Yang aku sesalkan celanaku robek. Ah... rasanya kau pantas menghadapi orang yang telah membunuh orang penting. Carilah dia, aku tidak akan menyesal dia mati di tanganmu!" kata Datuk Sage.

Suro Blondo menarik kakinya yang sempat terbenam, dalam hati ia dongkol juga melihat kakek aneh ini.

"Setelah membuatku hampir babak belur, kini kau menyuruhku pergi. Tidak mengapa. Tapi kuharap kau mau menyebutkan siapa dirimu yang sebenarnya. Dan Datuk hendak pergi kemana?" tanya Suro sambil garuk-garuk kepalanya. Datuk Sage Manyasal Hiduik mendongak ke langit. Wajahnya yang selalu muram tampak berubah semakin bertambah rawan dan menyimpan banyak kesedihan.

"Aku Rana Gingging, punya nama. Bertanya pada gurumu, mereka akan beri penjelasan. Urusanku sangat besar, di sebuah kerajaan besar, menghadapi hutang lama yang sangat besar. Semua orang mempertaruhkan nyawa di sana. Hik hik hik! Tapi aku tidak menyesal anak muda. Nanti bila panjang umur, panjang nafas, panjang langkah. Kita bertemu di sebuah tempat besar bernama Bukit Keadilan. Di sana, aku, kau, mereka dan sebagian tokoh di rimba persilatan akan bertemu dengan Malaikat Keadilan. Malaikat Bayangan yang menjadi penentu besar kecilnya dosa seseorang. Pada waktu itu setiap wajah tertunduk. Merasa malu pada dirinya sendiri, iblis pun akan malu, setan malu, hantu malu, perempuan cantik malu, laki-laki malu, terkecuali mereka yang tidak punya kemaluan tidak punya rasa malu." jelas Datuk Sage Manyasal Hiduik.

Pendekar Blo'on tampak kaget mendengar penjelasan Sang Datuk yang tidak beda dengan seorang peramal itu. "Kapankan waktu yang kau katakan

itu tiba, Datuk?" tanya Suro ingin tahu. Datuk Sage Manyasal Hiduik tibatiba saja gelengkan kepala sambil menepuk keningnya.

"Aku menyesal telah membocorkan rahasia besar ini padamu. Ah... bagaimana ini?"

"Aku bukan orang jahat, Datuk. Mengapa kau harus khawatir?" kata Pendekar Blo'on.

"Setiap orang punya bakat jadi orang jahat. Setiap orang punya dosa kecil. Terlanjur aku bicara, urusan besar itu akan datang menjelang kehancuran dunia, masalah besar akan menimpa manusia, dimana kemanusiaan sudah tidak dihargai oleh manusia itu sendiri. Dimana rasa malu hilang, keadilan tinggal tertulis di daun lontar. Dan manusia memakan sesamanya sendiri. Itulah neraka dunia di ujung rimba persilatan. Ah... aku menyesal telah banyak bicara. Anak muda, padamu kutitipkan pesan tegakkanlah kebenaran. Semakin berpegang kau pada akar kebenaran, maka semua orang akan memusuhimu!"

"Mengapa begitu, Datuk?".

"Aku menyesal tidak dapat mengatakannya. Tapi carilah jawaban sendiri. Kau pasti akan menemukannya. Sudahlah, aku harus pergi...!" kata Datuk Sage Manyasal Hiduik. Sekejap saja Datuk ini berkelebat, maka tubuhnya langsung menghilang dari penglihatan Pendekar Blo'on. Pemuda itu melongo sambil gelengkan kepala berulang-ulang.

"Banyak sekali orang aneh di rimba persilatan ini. Dunia ini rupanya benar-benar mempunyai banyak keanehan. Akh... bisa gendeng aku memikirkannya...!" pikir Pendekar Blo’on sambil melanjutkan perjalanannya kembali.

10

Mustika Jajar terus memanggul patung mar-mar di bahunya. Sesekali ia berhenti, beberapa saat lamanya ia memperhatikan suasana di sekelilingnya. Merasa perjalanan dalam keadaan aman-aman saja, maka Iblis Betina Dari Neraka ini melanjutkan perjalanannya kembali. Ketika ia menuruni lereng bukit tiba-tiba terdengar derap langkah kuda dari arah depannya.

Gadis cantik berpakaian tembus pandang ini memandang ke depan sekilas saja. Kemudian meludah dan lanjutkan perjalanannya kembali.

"Berhenti!" bentak sebuah suara.

Yang membentak barusan adalah salah seorang dari dua penunggang kuda memakai baju warna kuning. Tampang mereka tidak ramah, wajahnya ditumbuhi dengan cambang bawuk lebat tidak terurus. Di bagian pinggang kedua laki-laki tergantung sebuah pedang pendek berwarna kuning.

Muatika Jajar turunkan patung besar dari bahunya. Ketika melihat kedua laki-laki berbaju kuning itu ia kembali meludah. Sementara kedua lakilaki penunggang kuda berbulu coklat tampak leletkan lidah basahi bibir.

Seorang gadis cantik berwajah jelita ada di pinggir hutan seorang diri. Pakaiannya yang tembus pandang menimbulkan gairah yang begitu menggebu.

"Sudah hampir setahun ini kita tidak pernah bertemu dengan perempuan. Rupanya hari ini kita mendapat rezeki yang sangat besar. Lihatlah dari bayangannya saja tampak bukit-bukit yang indah. Seandainya bisa kuraih, hemm...!"

"Benar Kakang... selama ini yang kita lihat monyet betina, gajah betina, beruang betina. Dan yang betul-betul perempuan baru yang ini saja Kakang.'" kata yang berbadan pendek menyahuti.

"Kalau kau kebagian sisaku apa mau, Adikku?"

"Ha ha ha....! Sisanya juga enak Kakang. Aku mau saja walau sisamu yang ke sepuluh kalinya!"

Wajah Mustika Jajar seketika tampak berubah memerah. Ia tahu benar arah pembicaraan kedua laki-laki berbaju kuning tersebut. Tetapi di lain waktu wajah gadis itu tersenyum memikat. Malah ia usap-usap dadanya yang tampak membusung. Sehingga membuat kedua laki-laki ini jadi belingsatan.

"Kalian siapa?" tanya Iblis Betina Dari Neraka.

"Ha ha ha...! Ternyata kau adalah seorang gadis yang sangat ramah. Kami berdua adalah Iblis Kuning yang menguasai daerah ini. Tentu kau tidak keberatan bila kami mengajakmu bergabung. Jangan khawatir, hidupmu pasti terjamin, karena kami mempunyai harta yang sangat besar jumlahnya." kata yang berbadan pendek, lalu memelintir kumisnya yang tebal.

Mustika Jajar tersenyum, setiap senyumnya membuat jantung kedua lakilaki itu berdetak kencang.

"Hi hi hi...! Begitu? Apakah aku harus menjadi isteri kalian atau hanya sekedar sebagai pemuas nafsu?" tantang si gadis,

"Tentu saja menjadi isteri kami?" sahut yang jangkung

Ia melangkah mendekati si gadis. "Kalau aku harus memilih, maka

aku hanya bisa menjadi isteri salah seorang dari kalian. Selain itu kalian juga harus bertarung, siapa yang keluar sebagai pemenangnya. Maka orang itulah yang berhak mendapatkan tubuhku!"

Kedua Iblis Kuning saling pandang. Rasanya mustahil mereka saling serang sesama mereka sendiri. Sebab mereka masih punya hubungan darah.

"Kami tidak bisa memenuhi permintaanmu!" sergah yang berbadan pendek.

"Mengapa? Sarat untuk mendapatkan diriku hanyalah dengan bertarung antara kau dan kawanmu itu. Kalau tidak siapa sudi? Sebab aku tidak tahu siapa yang paling hebat di antara kalian jika telah berada di atas ranjang...!"

"Kami tidak mau." "Kalau kalian tidak mau bertarung aku pun tidak sudi menjadi isteri kalian!" dengus Mustika Jajar.

"Kau boleh tidak mau, tapi patung bagus itu harus kau serahkan pada kami...!" tegas si jangkung.

"Hik hik hik...! Patung ini tidak akan kuberikan pada siapa pun. Saudagar Bergola Mungkur hendak menukar patung ini dengan tiga kantung emas. Itu pun tidak kuberikan!. Apalagi cuma kalian yang memintanya. Tentu kalian hanya akan membuang nyawa secara sia-sia!"

Kedua Iblis Kuning tampak marah sekali melihat gadis di depan mereka terlalu memandang rendah. Yang berbadan pendek tiba-tiba saja melompat ke depan. Tangannya terpentang meluncur ke arah dada. Tujuannya adalah meremas bukit kembar milik si gadis yang tegak menantang itu. Akan tetapi tiba-tiba saja

"Tes!" "Aaaa...!"

Iblis Pendek menjerit keras. Tubuhnya terpelanting, ketika ia melihat ke bagian tangannya. Maka tangan tersebut telah bengkak membiru.

Mustika Jajar tergelak-gelak. "Kepandaian baru seujung kuku,

berani lancang main remas milik orang lain. Majulah kalian berdua, aku tidak punya banyak waktu untuk mengirim kalian ke neraka."

Yang berbadan jangkung melompat ke depan, iblis berbadan pendek bangkit berdiri. Lalu keduanya secara bersamaan melakukan penyerangan ke arah lawannya. Serangan yang mereka lakukan tidak main-main lagi, bahkan di saat itu kedua Iblis Kuning telah mengerahkan jurus 'Mengusir Kabut Dalam Badai'. Ini merupakan jurus andalan yang mereka miliki. Begitu tubuh dan tangan mereka berkiblat, maka terasa adanya sambaran angin yang sangat keras menampar wajah sang gadis. Mustika Jajar cepat menundukkan kepala. Laksana kilat masih dalam keadaan tertunduk itu ia melepaskan tendangan berputar.

"Duk! Duk!" "Hegkh...!"

Kedua Iblis Kuning terhuyung ke belakang. Dada mereka yang kena tendangan itu langsung berubah membiru.

"Hek... keparat kau iblis betina...!" desis salah seorang di antara mereka. Lalu....

"Sring! Sring!"

Mereka langsung mencabut pedang pendek yang tergantung di pinggang. Setelah itu laksana kesetanan mereka memutar pedang di tangan dengan kekuatan berlipat ganda.

"Wut!" Begitu tubuh mereka menerjang ke arah si gadis. Maka pedang di tangan mereka menusuk enam jalan kematian lawannya. Mustika Jajar tidak menjadi keder dibuatnya. Ia menggeser langkahnya ke belakang sebanyak dua langkah. Setelah itu tangannya menghantam ke arah lawan-lawannya dengan kecepatan sulit diikuti mata.

"Wusss!"

Dua larik sinar membeset udara.

Merasakan adanya hawa dingin menderu ke arah mereka. Maka dua Iblis Kuning terpaksa menarik serangan dan memutar senjata untuk melindungi diri.

Namun pukulan yang dilepaskan oleh Mustika Jajar tadi seakan tidak dapat mereka patahkan. Malah tubuh mereka seperti didorong oleh sebuah kekuatan yang sangat dashyat. Dua Iblis Kuning kertakkan rahang, lalu melipat gandakan tenaga dalam ke arah pedang. Akhirnya....

"Buuummm!" "Auugkh…!"

Kedua laki-laki tersebut menjerit tertahan. Tubuh mereka terguling-guling. Wajah mereka berubah pucat seperti mayat. Dengan bersusah payah kedua iblis ini mencoba bangkit berdiri. Sementara lawan mereka tertawa mengikik sambil bertolak pinggang.

"Hegkh. !" Begitu mereka dapat berdiri. Maka darah langsung menyembur dari hidung dan mulut mereka. Jelas sudah mereka menderita keracunan yang sangat parah.

"Racun Naga Biru belum seberapa. Tapi kalian segera berangkat ke akherat bila aku melepaskan pukulan yang ini...!" dengus si gadis.

Begitu tubuhnya berkelebat, maka Mustika Jajar kerahkan tenaga dalamnya ke bagian tangan. Kedua telapak tangan sampai ke siku yang berwarna putih tadi sekarang telah berubah menjadi merah semerah darah. Kedua Iblis Kuning segera menyadari apa yang bakal terjadi pada mereka. Mereka bersiapsiap hendak kabur, namun lawan rupanya melihat gelagat ini. Sehingga dengan cepat ia mengibaskan kedua tangannya ke depan.

"Wuut..,!"

Sepuluh leret sinar merah menebar bau bangkai melesat bagaikan kilat. Dua Iblis Kuning mencoba menangkis dengan memutar senjata di tangan. Tetapi tampaknya pertahanan yang mereka lakukan tidak memiliki arti sama sekali. Terbukti serangan Mustika Jajar mampu menerobos pertahanan lawannya.

"Glaar! Glaar!" "Aaaaakgh...!"

Ledakan dashyat disertai dengan terdengarnya suara jeritan yang saling susul menyusul. Dua sosok tubuh terlempar, ketika Iblis Kuning terbanting ke tanah. Maka tubuh mereka telah mengeriput hancur dalam waktu yang sangat cepat sekali.

"Hik hik hik...! Kalian belumlah pantas menyandang gelar iblis. Kepandaian hanya seupil sudah berani bertindak usil!" dengus si gadis.

Sambil tersenyum sinis ia meninggalkan dua korbannya. Lalu ia mendekati patung perkasa, setelah itu ia memanggulnya kembali dan berjalan pelan tanpa menoleh-noleh lagi.

11

Halaman luas yang dimasuki Suro Blondo tampak tenang dan sepi-sepi saja. Pemuda berbaju biru muda itu terus melangkahkan kakinya mendekati pintu utama, hingga kemudian terdengar suara bentakan disertai berkelebatnya beberapa sosok tubuh mengurung pemuda itu. Tanpa bertanya-tanya lagi, para pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari delapan orang langsung menyerang dengan pedang terhunus di tangan.

"Walah! Mau bertemu dengan saudagar kaya, anjing-anjing penjaganya malah mengeroyokku! Baiklah kalian akan kubuat loyo...!" dengus Pendekar Blo'on. Seraya garuk-garuk punggung kepala. Lalu menyambut serangan gencar lawan-lawannya dengan mempergunakan jurus 'Kera Putih Memilah Kutu'. Inilah salah satu jurus menghindar dan menyerang yang teramat konyol dan lucu. Mula-mula pemuda ini berjingkrak, kemudian melompat-lompat di lain saat menyerang sambil mengibaskan tangannya berulang-ulang. Sungguh pun gerakan kilat itu seperti orang menggaruk. Namun lawan terdepan yang terkena hantaman tangannya langsung terpental, berguling-guling disertai suara jerit kesakitan.

Melihat kawannya dengan dikerjai oleh pemuda bertampang tolol ini. Maka yang lain-lainnya menjadi sangat marah sekali. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh mereka semakin lama semakin bertambah hebat. Pedang menderu-deru menghantam sepuluh jalan kematian. Suro Blondo terpaksa memiringkan tubuhnya atau terkadang melesat ke udara. Ketika tubuhnya meluruk deras ke bawah. Maka kaki kanannya menghantam kepala lawannya dengan keras.

"Praaak...!"

"Akkkhgggk...!" dua pengawal menjerit keras. Tubuh mereka tersungkur dengan kepala remuk menyembur darah. Kepala pengawal tersentak kaget, sama sekali ia tidak menyangka kalau pemuda bertampang tolol itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Lebih mengherankan lagi ketika menyadari bahwa sampai sejauh itu pedang di tangannya tidak dapat menyentuh tubuh si pemuda. Merasa tidak ada pilihan lain, kepala pengawal segera mengerahkan jurus 'Menyibak Bukit Menghantam Demit'.

"Hiyaaa...!" Kepala pengawal sambil berteriak melengking tinggi segera memutar pedang di tangannya. Di lain waktu ia menerjang ke depan, lalu menusukkan ujung pedang ke lambung Suro Blondo. Pemuda itu menarik tubuhnya ke belakang. Namun dari arah belakangnya mata pedang lawannya membabat pula.

"Tep! Weleh... edaaan...!" Si pemuda menggerutu. Selanjutnya menghantamkan tangannya kedua arah sekaligus. Sinar putih  berkilauan melesat dan menghantam kepala pengawal dan kawannya. Itulah pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir' yang dimilikinya. Terdengar satu ledakan dahsyat.

Bersamaan dengan itu terdengar pula suara jerit lawannya. Kepala pengawal dan satu lainnya terkapar di tanah dengan mulut menyemburkan darah dan jiwa melayang.

"Hhmm... sekarang tinggal kalian! Cepat pilih, antara mati atau memanggil juraganmu untuk menghadapi aku!" Empat orang pengawal saling pandang sesamanya. Mereka sama-sama berpikir jika kepala pengawal saja tewas di tangan pemuda itu, apalagi sekarang mereka hanya tinggal berempat saja. Namun sebelum mereka sempat memutuskan apa-apa. Pintu utama tibatiba saja terbuka. Seorang laki-laki berpakaian mewah muncul dan melangkah menghampiri pemuda berambut hitam kemerahan ini. Wajahnya jelas-jelas tidak dapat menyembunyikan rasa kejutnya ketika melihat empat orang pengawalnya tergeletak tanpa nyawa.

Saudagar Bergola  Mungkur memperhatikan pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya ini sejurus lawannya. "Kau siapa?"  tanya sang saudagar, suaranya bergetar berusaha

menahan amarah.

Suro Blondo tersenyum, lalu usap-usap keningnya.

"Aku Pendekar Blo'on! Sengaja datang menemuimu untuk menagih hutanghutangmu yang bertumpuk!"

"Ha ha ha...! Bicaramu ngaco belo. Manusia tolol sepertimu telah menghutangkan apa kepadaku yang kaya raya, heh...!" hardik Bergola Mungkur, berang.

"Kau memang kaya, tapi hasil kekayaanmu adalah hasil cucuran keringat darah orang-orang yang mati sengsara di Bumi Ayu." dengus Pendekar Blo'on serius.

Saudagar itu terdiam. Wajahnya berubah memerah. Ia merasa yakin dapat mengatasi pemuda yang mengaku berjuluk Pendekar Blo'on ini. Untuk itu ia pun berkata dengan angkuhnya.

"Kau pendekar Gila! Lebih baik kau angkat kaki dari hadapanku sebelum aku benar-benar memenggal kepalamu!"

"Justru aku jauh-jauh datang kemari ingin meminta nyawamu. Kalau kau tidak percaya tanyakan saja pada semua algojomu yang sudah menunggu di pintu nereka!" kata pemuda itu lalu tertawa gelak-gelak. Saudagar Bergola Mungkur terkesiap. Sama sekali ia tidak menyangka kalau pemuda tampan bertampang tolol itu telah membinasakan orang-orang kepercayaannya.

"Keparat! Kau benar-benar membuatku marah!"

"Sret!"

Laki-laki berkumis tebal ini kemudian mencabut pedangnya.

"Jika kau sudah marah, mengapa tidak menyerang?" Suro Blondo tersenyum mengejek. Tingkah dan ucapan Pendekar Blo'on tentu saja membuat lawannya semakin mendongkol. Sambil membentak garang, Bergola Mungkur tiba-tiba saja mengibaskan pedangnya membelah dada si pemuda. Dengan gesit pemuda ini langsung menghindar. Selanjutnya ia memapak serangan itu dengan gerakan yang serba aneh dan lucu-lucu. Namun dibalik kekonyolan jurus-jurus yang dimainkannya. Terkandung sebuah kedashyatan yang tidak dapat diduga-duga. Saudagar Bergola Mungkur sendiri sempat terkesima. Berulang kali ia membangun serangan. Namun hingga sampai sejauh itu, setiap serangannya selalu menemui tempat kosong. Padahal ia telah mengerahkan jurus 'Sayap Kupu-Kupu Membelah Kuntum Bunga'.

"Shaa...!" "Des! Des!"

Satu gerakan tipuan dilakukan oleh laki-laki setengah baya ini. Suro Blondo berusaha berkelit. Namun dua pukulan yang tidak diduga-duga menghantam dada dan punggungnya. Pemuda berambut hitam kemerahan ini terhuyung-huyung. Dadanya terasa sesak hingga membuatnya sulit bernafas.

Belum sempat ia memperbaiki posisinya. Mata pedang lawannya menderu dan jika tidak cepat ia menarik badannya ke belakang. Pasti pedang lawannya telah menjebol perutnya.

"Heh... dia sangat cepat sekali dalam memainkan jurus-jurus pedangnya. Sebaiknya aku mengerahkan jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'" batinnya dalam hati. "Huuup...!" "Deep!"

"Beet!"

Benar saja dugaan si pemuda begitu tubuhnya berkelebat cepat. Pedang di tangan lawan terus memburu. Suro Blondo tiba-tiba berbalik, lalu hantamkan tangannya ke bagian pergelangan tangan Bergola Mungkur. Sungguh pun gerakan yang dilakukan oleh pemuda itu terasa cepat sekali. Namun lawan rupanya berlaku sangat cerdik. Jika semula ia melakukan tusukan, maka kini berbalik membabat kaki Suro   Blondo. Ia balas menyerang dan....

"Des!" "Aaakkkh. !"

Pendekar  Blo'on menyeringai. Tubuhnya  jatuh  terguling-guling. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Bergola Mungkur yang telah dikuasai oleh nafsu membunuh. Ia memburu sambil menghujamkan pedangnya berturut-turut. Suro  Blondo terus  bergulingguling kalang kabut. Satu kesempatan ia yang telah  mengerahkan tenaga

dalamnya segera menghantam ke depan. "Wuuus!"

Sinar merah hitam menderu dari telapak tangannya. Itulah pukulan 'Neraka Hari Terakhir'. Salah satu pukulan pamungkas yang sangat sulit dicari tandingannya. Bergola Mungkur sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan sedemikian rupa. Dalam jarak yang begitu dekat mustahil ia dapat menghindarinya. Tidak pelak ia pun memutar pedangnya untuk melindungi diri. Namun gerakannya kalah cepat dengan pukulan yang dilepaskan Suro Blondo. Sehingga tidak pelak lagi pukulan 'Neraka Hari Terakhir' dengan telak memanggang tubuhnya. Suara ledakan dahsyat disertai dengan suara jeritan Bergola Mungkur. Tubuhnya terbanting ke tanah dalam keadaan hangus seperti arang. Sedang pedang yang dipergunakan oleh Bergola Mungkur meleleh dan tergeletak tidak jauh dari mayat pemiliknya.

"Hemm... saudagar ini kaya raya, tapi ia mati tidak membawa hartanya. Lagipula orang mati mana doyan harta, tidak jajan dan tidak pula membutuhkan kemewahan dunia. Biarkah rakyat yang memiliki harta itu." batin Pendekar Blo'on lalu garuk-garuk kepalanya

Hari telah menjelang senja saat Pendekar Blo'on si bocah ajaib beranjak pergi meninggalkan mayatmayat yang bergeletakan.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar