Serial Naga Geni Eps 19 : Tragedi Di Tengah Kabut

 
Eps 19 : Tragedi Di Tengah Kabut


CAHAYA SENJA semakin melenyap ketika pertem- puran di sekeliling halaman rumah saudagar Wayan Arsana berlangsung dengan serunya. Beberapa ekor kelelawar terbang mencericit, seolah-olah ketakutan dan menjauhi medan pertempuran. Sesekali terdengar pula himbauan suara burung hantu dari sela pepoho- nan, menambah seramnya suasana di situ yang sebe- lumnya telah dipenuhi bunyi rintihan, erangan dan te- riakan perang ataupun gemerincingnya senjata ber- adu.

Betapa kaget si pendekar Ngurah Jelantik ketika mata pedangnya kena dijepit oleh sisi kedua telapak tangan lawannya, si Tangan Iblis yang sakti. Biarpun ia telah setengah mati dan sekuat tenaga berusaha mencabut pedangnya, ternyata itu tidak banyak gu- nanya. Dengan demikian, sia-sialah ia berkutat menge- rahkan tenaga, sedang kenyataannya pedang tadi tidak sedikitpun bergeming dari tempatnya, seakan-akan te- lah terjepit di antara dua dinding baja yang kokoh.

“Heh, heh, heh,” terdengar kembali si Tangan Iblis ketawa sinis. “Mengapa tidak kau biarkan saja pedang ini terlepas, haa?! Apakah senjata ini terlalu berharga, sampai engkau begitu menyayanginya?!”

Memenuhi anjuran ini, terang si Ngurah Jelantik ti- dak berani. Sebab dengan begitu toh sama artinya de- ngan menyerahkan nyawanya kepada si Tangan Iblis.

“Keparat! Kau bisa tertawa! Apakah yang kau ang- gap lucu saat ini?!” seru Ngurah Jelantik sambil terus mengerahkan tenaga dalamnya.

“Engkau sendirilah yang lucu saat ini!” ujar Tangan Iblis. “Masakan sudah terang tidak mampu mencabut kembali pedang ini dari telapak tanganku, kok engkau masih tetap ngotot?”

“Tutup mulutmu yang bau busuk itu! Baru mem- perlihatkan kepandaian rendah saja, engkau telah sombong keliwat batas!” bentak si Ngurah Jelantik, se- hingga Tangan Iblis makin marah mendengarnya. Ba- ginya, kata-kata tadi merupakan ejekan yang pedas.

“Baiklah. Akan kuakhiri permainan kosong ini,” ujar Tangan Iblis sambil menggeram marah. “Semoga eng- kau tidak kaget karenanya.”

Selesai berkata, tiba-tiba tanpa terduga si Tangan Iblis melepaskan genggaman telapak tangannya pada pedang Ngurah Jelantik, sehingga pendekar dari Si- ngaraja ini terpental ke belakang oleh daya tariknya sendiri dan nyaris ia jatuh terjengkang di atas tanah.

Tap!

Mendadak si Ngurah Jelantik seperti tersentak ta- ngannya dan sesaat kemudian ia menceloskan pan- dangan matanya ke depan. Alangkah kagetnya bila ta- hu-tahu Tangan Iblis telah berada kembali di depan- nya, dengan kedua sisi telapak tangannya menjepit mata pedang Ngurah Jelantik.

“Heh, heh. Aku terpaksa memegang pedangmu ini kembali, sebab aku tak sampai hati membiarkan eng- kau terjatuh tunggang-langgang menanggung malu!” terdengar Tangan Iblis mengejek lawannya.

Wajah Ngurah Jelantik menjadi semerah bara men- dengar kata-kata lawannya. Maka sekali ini Ngurah Je- lantik merubah tenaganya, ia tidak berusaha menca- but pedang tadi, tapi justru sebaliknya, ia me- ngerahkan tenaganya untuk mendorong dan menco- bloskan batang pedangnya ke arah Tangan Iblis.

Keruan saja lawannya terkejut setengah mati se- waktu ia merasakan perubahan tadi. Namun toh itu cuma berlangsung dalam sekejap, sebab, sekali lagi Ngurah Jelantik menjadi mati kutu apabila pedangnya tetap membisu tanpa mau bergerak sedikitpun.

Pada detik berikutnya mendadak saja si Tangan Ib- lis melepaskan pegangannya disusul tubuhnya berkelit ke samping. Akibatnya, Ngurah Jelantik lalu terdorong ke depan dengan terhuyung-huyung dan dapat dipas- tikan bahwa ia akan jatuh tersungkur ke atas tanah.

Namun sementara itu, si Ngurah Jelantik menjadi kian marah setelah merasa dipermainkan oleh lawan- nya. Maka secepat kilat ia berbalik dan membacokkan pedang tadi ke arah Tangan Iblis.

Siiingngng! Tap!

Si Tangan Iblis dengan tepatnya menyambut baco- kan pedang lawannya dengan menjepit pedang terse- but pada kedua sisi telapak tangannya. Maka hal ini sudah diulangnya untuk yang ketiga kalinya.

“Heh, heh. Sekarang lihatlah pedangmu ini baik- baik!” gereneng si Tangan Iblis seraya tangannya tiba- tiba bergerak membengkok disusul oleh bunyi berden- tang logam patah.

Pletaak. Tangngng!

Tahu-tahu batang pedang tersebut terpatah dan ku- tung menjadi dua bagian, mengejutkan hati siapa saja yang melihatnya. Satu pameran tenaga dalam yang hebat dan patut dipuji.

Belum habis kekagetan orang-orang melihat hal itu, mendadak saja tangan kanan si pendekar Tangan Iblis telah berkelebat ke depan dengan gerakan cepat, sukar ditangkap oleh mata dan kedua jari tangannya menjen- tik pundak Ngurah Jelantik dengan tiba-tiba.

Plak! Pluuk!

“Aah!” desis Ngurah Jelantik kesakitan dan kaget, begitu pundaknya merasa nyeri seperti disengat oleh lebah berbisa.

Sesaat kemudian satu perasaan lemas dan hilang semangat telah menjalar ke seluruh tubuh, sehingga Ngurah Jelantik lalu merasakan tubuhnya seolah-olah seperti tak bertulang lagi.

Sedetik kemudian rebahlah Ngurah Jelantik meng- gelosor di tanah, menggelumpruk seperti segumpal ka- pas yang kesiram air.

“Ooh, aku tertotok oleh jari Tangan Iblis! Celaka, habis riwayatku sekarang!” pikir Ngurah Jelantik ke- tika dirinya telah rebah tertelentang di atas tanah tan- pa daya dan setengah lumpuh.

Segera pula, Ngurah Jelantik memejamkan kedua matanya, siap menyambut kematian yang akan dija- tuhkan oleh lawannya, si Tangan Iblis. Hatinya telah pasrah kepada Dewa akan segala nasib dan lelakon yang bakal terjadi kemudian.

Terdengar langkah si Tangan Iblis makin mendekat ke arah tubuhnya yang tertelentang di tanah, dan ke- mudian berkumandang tawa kemenangan si Tangan Iblis. “Heh, heh, heh. Kau harus mati sekarang, sobat! Terimalah pukulan telapak mautku ini dan hiruplah udara segar ini banyak-banyak buat terakhir kalinya! Haeet!”

Dengan tanpa ampun, Tangan Iblis telah menghan- tamkan pukulan telapak mautnya ke bawah, tepat te- rarah ke dada Ngurah Jelantik.

Blaaaaarr!

Sebuah benturan keras seperti ledakan petir ter- dengar dengan dahsyatnya, mengejutkan orang-orang di situ.

Saking kagetnya, begitu telapak tangannya mem- bentur benda yang keras, si Tangan Iblis melemparkan diri ke samping dengan sebat, sementara hatinya pe- nuh bertanya-tanya, apakah yang terjadi sesungguh- nya dengan tubuh lawannya itu? Mungkinkah puku- lannya tadi meleset dan mengenai batu? Tapi itupun mustahil, sebab sewaktu terjadi benturan tadi, ia me- rasakan adanya tenaga dorongan yang membentur tangannya.

Memang ia tadi telah melihat sesuatu yang berkele- bat, justru tepat di saat ia memukulkan telapak maut- nya ke dada Ngurah Jelantik! Maka hal inilah yang membuatnya terheran-heran.

Selesai mendaratkan kedua kakinya ke tanah, si Tangan Iblis lantas terperanjat seketika, sebab ma- tanya yang tajam telah melihat sesosok tubuh manusia berdiri dengan kokohnya di dekat tubuh Ngurah Jelan- tik yang tergeletak di tanah.

Sementara itu, Ngurah Jelantikpun terkejut dan be- gitu membuka matanya, lantas saja ia menampak ada- nya sesosok tubuh yang berdiri di dekatnya, sambil memandang tajam ke arah Tangan Iblis.

Orang ini sudah cukup tua, terbukti dari rambut, kumis dan jenggotnya yang telah memutih kapas. Pada tangan kanannya tampak tergenggam selembar selen- dang cukin yang berwarna kuning, menjuntai ke bawah laksana seekor ular.

“Uh...! Uh...! Uh...!” Terdengar bunyi batuk dari mu- lut si kakek berambut kapas itu, seraya mengacung- kan tangan kirinya ke arah Tangan Iblis dan berkata dengan suara yang tenang dan berwibawa, “Kau telah membuat keributan di sini dan menyebar kematian! Sungguh tercela perbuatanmu ini! Karenanya, lekaslah minggat dari tempat ini! Atau jika engkau bandel, aku harus terpaksa menindakmu, heh?! Uh...! Uh...! Uh!”

“Tua bebangkotan! Sudah bertubuh reyot dan ting- gal mampus saja masih gatal ingin turun tangan?!” se- ru si pendekar Tangan Iblis sangat mendongkol dan penasaran.

Melihat selendang berwarna kuning yang tergeng- gam di tangan si kakek tua itu, ia dapat sedikit mene- bak, bahwa itulah agaknya senjata yang tadi telah membentur pukulan telapak mautnya.

“Sebut dulu namamu, tua bangkotan. Setelah itu barulah kita mengukur tenaga!” seru Tangan Iblis de- ngan mata menyipit, memandang rendah kepada ka- kek tua di hadapannya ini.

“Uh...! Uh...! Bagus! Namaku adalah Wiku Salaka! Apakah cukup berarti nama itu bagi dirimu, penga- cau?!” ujar si kakek tenang-tenang.

Wajah si Tangan Iblis berkerut seperti tengah men- gingat suatu, kemudian setengah pucat manakala ia dapat mengenal bahwa itulah nama salah seorang dari cucu murid Empu Barada yang terkenal sakti dan be- rilmu tinggi.

Kini tahulah Tangan Iblis, bahwa ia tengah berha- dapan dengan lawan yang tidak boleh dipandang de- ngan sebelah mata. Si kakek berambut kapas itu ter- nyata bukan orang sembarangan seperti yang ia sang- ka sebelumnya.

Diam-diam Tangan Iblis jelalatan melirik ke tanah, dan ia melihat sebatang tombak tergeletak di situ. Ma- ka secepat kilat tangannya menyambar tombak terse- but dan siap menyerang si kakek Wiku Salaka.

Tapi dengan gerakan yang tak terduga, Wiku Salaka menyerang lebih dulu dengan kibasan selendang ku- ningnya yang berubah menjadi keras seolah palu go- dam, menghajar patah tombak di tangan pendekar Tangan Iblis menjadi dua potong!

Keruan saja si Tangan Iblis kaget setengah mati me- lihat kehebatan senjata kakek tua itu, dan ini sudah cukup memberinya peringatan untuk lebih berlaku ha- ti-hati dalam menghadapinya.

***

Dalam satu gebrakan pertama dan telah runtuh, ternyata menyebabkan hati si Tangan Iblis seperti ter- cekat oleh duri dalam menghadapi si kakek Wiku Sa- laka. Ini pula seperti menjadi pertanda buruk bagi di- rinya, bahwa kemenangan akan sukar dicapai.

Selama malang-melintang di dunia persilatan, be- lum pernah ia terpukul runtuh oleh lawannya dalam gebrakan awal seperti kejadian yang lewat tadi. Tom- bak yang dipegangnya kena terhajar patah oleh selen- dang si kakek bangkotan. Memandang senjata lawan- nya yang cuma berwujud selembar selendang tapi mampu berubah menjadi sekeras logam, iapun sadar bahwa lawannya ini memiliki tenaga dalam yang dah- syat dan jarang tandingannya.

Jauh di sebelah timur, sang purnama telah muncul di balik pepohonan seperti tengah mengintip mereka yang lagi berhadapan untuk bertarung. Sinarnya ke- mudian dengan lambat merambah ke segenap arena pertempuran di sekitar halaman rumah Wayan Arsana, yang terletak di sebelah timur Gilimanuk.

Di sana-sini tampak para korban yang berkaparan di tanah, sebagian mati dan sebagian lagi luka-luka.

Made Maya masih menjaga ayahnya, si saudagar Wayan Arsana yang terluka dalam. Di sebelah lainnya, Ki Selakriya masih duduk juga mengatur tenaganya yang telah banyak hilang, akibat bertempur melawan Wasi Bera. Ia merasa beruntung bahwa Made Maya te- lah turun tangan menolongnya. Jika tidak, mungkin ia sudah binasa di tangan Wasi Bera itu. Namun di sam- ping rasa syukurnya tadi, iapun menjadi takjub ketika ia menyaksikan Made Maya mampu bertempur dan mengalahkan lawannya sampai roboh.

Dari sekian orang yang paling heran, Sunutamalah yang hampir tak percaya menyaksikan Made Maya bisa merobohkan lawannya. Selama mengenal gadis ini, be- lum pernah ia melihat Made Maya berlatih silat, apa- lagi memperlihatkan minatnya terhadap masalah per-  silatan. Sedang kenyataannya, Made Maya mempunyai ilmu dan tataran persilatan yang cukup tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi dari ilmu yang telah dimilikinya.

Inilah yang luar biasa. Terbukti bahwa selama ini Made Maya mampu merahasiakan dirinya, merahasia- kan ilmu silat yang begitu hebat.

Dengan munculnya si kakek Wiku Salaka yang kini berhadapan dengan Tangan Iblis, sementara pertem- puran terhenti. Semua seolah-olah seperti terpukau untuk menyaksikan bagaimana kedua tokoh tersebut berhadapan dan kemudian bertempur.

Memang begitulah, kini pusat perhatian tertuju ke- pada si kakek Wiku Salaka dan si Tangan Iblis. Mereka berhadapan, saling memandang dengan sorot mata yang tajam, menembusi udara senja.

Mendadak saja, si Tangan Iblis bergerak dengan ke- cepatan yang luar biasa membabatkan potongan tom- bak yang masih tergenggam di tangannya.

Wuuuss!

Tapi si kakek Wiku Salaka lebih cepat! Selendang di tangannya menyambar dan sisa tombak di tangan si Tangan Iblis sempal menjadi serpihan, terhajar oleh se- lendang tersebut.

Kembali orang berteriak kagum melihat kehebatan tandang si kakek yang berambut kapas. Lebih-lebih si Tangan Iblis sendiri. Menghadapi pendekar Ngurah Je- lantik saja ia mampu, malahan berhasil melumpuh- kannya. Padahal Ngurah Jelantik adalah pendekar ter- kenal dari Singaraja. Akan tetapi sekarang, ia seperti mati kutu, sebab bukankah lawan yang kini dihadapi jauh lebih tua, yang seharusnya lebih mudah untuk dirobohkan.

Rupanya si kakek itu tidak mau membuang-buang waktu lagi, sebab sebelum Tangan Iblis memper- siapkan diri kembali ia telah melancarkan serangan se- lendangnya.

Tangan Iblis mulai mengeluh di dalam hati, setelah kakek tua ini ternyata tidak mau memberi kesempatan kepadanya untuk bernapas.

Selendang Wiku Salaka merupakan sebuah senjata yang paling aneh dan sangat berbahaya. Dengan di- landasi tenaga dalam ia mampu berubah-ubah sesekali seperti baja keras yang mampu memporak-porandakan setiap benda yang dihajarnya sampai berkeping-ke- ping. Di lain saat, selendang itu ujungnya dapat me- matuk-matuk lemas, seperti mulut seekor ular yang siap mencaplok mangsa. Sehingga seluruhnya selen- dang kakek Wiku Salaka dapat bergerak dengan jurus maut sebanyak empat puluh bagian.

Masih mujur bagi Tangan Iblis bahwa ia memiliki kegesitan dan simpanan ilmu yang cukup, sehingga dengan meloncat dan berjumpalitan kesana-sini ia menghindar dari kejaran selendang si kakek yang sela- lu mengancam nyawanya.

Hingga saat itu, Tangan Iblis masih bertangan ko- song, sebab ia tak pernah mendapat kesempatan un- tuk melolos pedangnya yang tergantung di pinggang. Tambahan lagi, selama ia turun tangan di tempat itu, selalu saja mengandalkan ilmu pukulan telapak maut- nya. Tak tahunya sekarang ia telah ketanggor lawan yang hebat!

Telah dicobanya beberapa kali menghantam kakek Wiku Salaka dengan pukulan mautnya, tapi semuanya telah gagal. Apalagi sempat menyentuh tubuh si ka- kek, mendekat saja pun sukar, disebabkan oleh haja- ran si selendang kakek Wiku Salaka tadi.

“Hee, kakek bangkotan! Mengapa tak kau biarkan aku mencabut pedangku, sedang engkau sendiri meng- genggam senjata?! Nah, apa itu adil namanya?!” seru Tangan Iblis seraya masih berloncatan menghindar. Oleh seruan tadi, kakek Wiku Salaka memanggut- manggutkan kepala lalu berkata, “Eeh, eh. Bagus, bo- cah ingusan! Cabutlah senjatamu! Cabutlah dia lekas- lekas, supaya orang-orang tidak bakal mengatakan, bahwa Wiku Salaka seorang pengecut karena membu- nuh lawannya yang tak bersenjata!”

Sungguh hebat ucapan kakek berambut putih ini. Sifat ksatria dan kebijaksanaan tergambar di dalamnya cukup mengagumkan bagi telinga-telinga yang men- dengarnya, termasuk pula si Tangan Iblis sendiri.

Berbareng itu, kakek Wiku Salaka mengendorkan serangannya, untuk memberi kesempatan kepada si Tangan Iblis yang hendak mencabut pedangnya.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ta- ngan Iblis buru-buru melolos senjatanya dan balas menyerang ke arah si kakek Wiku Salaka.

Sebentar kemudian berlangsunglah pertempuran yang lebih hebat karena masing-masing telah bersen- jata di tangannya. Pedang di tangan si Tangan Iblis, menyambar-nyambar dengan ganasnya, berkilatan ter- timpa cahaya rembulan yang lagi mengembang. Na- mun itu hanya sedikit menolong terhadap kedudukan Tangan Iblis, sebab kembali selendang si kakek Wiku Salaka mencecarnya dengan serangan-serangan beran- tai yang dahsyat mematikan.

Detik-detik selanjutnya, keringat dingin si Tangan Iblis bercucuran keluar dari lubang kulitnya, manakala tenaganya seperti terkuras habis oleh serangan si ka- kek yang dahsyat. Berkali-kali si Tangan Iblis terpaksa mengerahkan kekuatannya sewaktu ujung selendang kakek Wiku Salaka membentur pedangnya. Terasa kemudian pada setiap benturan, rasa nyeri kelewat ba- tas, seolah-olah puluhan jarum lembut merayap ke tangan kanannya.

Dan akhirnya, pada suatu ketika... ujung selendang Wiku Salaka membentur dengan serunya pada pedang Si Tangan Iblis, disusul bunyi berdentang logam patah.

Klaaangng!

Patahlah sudah pedang si Tangan Iblis!

Saking kagetnya, si Tangan Iblis terhenyak lalu ter- pelanting roboh ke belakang disertai wajah kepucatan dan nafasnya tersengal-sengal. Pikirnya, “Celaka! Se- kali ini habis riwayatku!”

Kakek Wiku Salaka telah mengangkat tinggi-tinggi tangannya yang menggenggam selendang, siap dis- abetkan ke tubuh Tangan Iblis yang telah kepayahan terlentang di depannya. Semua menahan napas meng- ikuti adegan yang menegangkan dan mencengkam pe- rasaan.

Namun diam-diam telah terjadi sesuatu yang tidak mudah diketahui sebab-sebabnya. Ketika tangan Wiku Salaka telah terangkat tinggi dan sorot matanya mena- tap tajam ke wajah Tangan Iblis, tiba-tiba bergeloralah satu perasaan aneh yang menyelinap ke hati si kakek ubanan ini. Tiba-tiba saja ia seperti telah mengenal wajah si Tangan Iblis. Seolah-olah ia telah mengenal- nya sama sekali, sehingga membuatnya termangu be- berapa saat. Selanjutnya, Wiku Salaka menurunkan tangan yang semula telah siap menghajarkan selen- dangnya ke tubuh Tangan Iblis.

“Tangan Iblis! Bangunlah, dan cepatlah berlalu dari tempat ini selekasnya, sebelum aku merubah niatku!” ujar kakek Wiku Salaka dengan suara yang berwibawa. “Lekaas!”

Si Tangan Iblis seperti tak mau percaya dengan ka- ta-kata si kakek yang baru saja hampir membu- nuhnya. Namun ia segera bangkit perlahan-lahan keti- ka didengarnya sekali lagi Wiku Salaka berkata, “Aku masih ingin memberimu kesempatan untuk memper- baiki dirimu! Karenanya, lekaslah pergi dari tempat ini!”

Semua orang tertegun menyaksikan adegan yang cukup aneh ini. Seseorang yang telah bertempur mati- matian, ketika ia berhasil mengalahkan lawan dan tinggal membunuhnya sekali, semudah orang memijit buah tomat, tiba-tiba saja telah mengurungkan niat- nya.

Agaknya si kakek Wiku Salaka ini tak sampai hati mengakhiri nyawa si Tangan Iblis. Terbukti bahwa ia telah melepaskan lawannya tersebut, untuk cepat- cepat berlalu, meninggalkan tempat ini.

Akhirnya dengan langkah terseok-seok si Tangan Iblis telah bangkit dan kemudian melangkah mening- galkan halaman rumah Wayan Arsana, dengan diikuti oleh pandangan mata orang-orang di situ.

Sebuah geram tertahan terdengar dari mulut Ta- ngan Iblis, sambil berjalan itu. Entah, apakah itu ge- ram kemarahan atau geram pertanda kelelahan diri- nya. Juga kedua tangannya mengusap debu-debu yang melekat pada kulit dan pakaiannya.

Sekonyong-konyong, sehabis ia mengusap-usap pinggangnya, berbaliklah si Tangan Iblis ke belakang ke arah Wiku Salaka sementara tangan kanannya me- ngibas dengan kecepatan yang hebat dan menakjub- kan!

Di saat yang pendek itu, beterbanganlah belasan ja- rum beracun, berkeredapan seperti kunang-kunang menyambar ke arah kakek Wiku Salaka.

Hampir semuanya terpekik melihat hal ini, sebab jaranglah orang mampu menangkis serangan senjata rahasia yang berjarak pendek dan tiba-tiba ini.

Made Maya yang masih berjongkok di samping ayahnya lekas-lekas berseru dengan kecemasan, “Ka- kek! Awas! Jarum beracun!”

Untunglah, si kakek Wiku Salaka sendiri telah was- pada sejak tadi, ketika ia membiarkan si Tangan Iblis berlalu meninggalkan tempat itu. Maka secepat kilat ia melolos selendang kuning yang telah dikalungkan pada lehernya, untuk selanjutnya ditebaskan ke udara me- nyapu jarum-jarum beracun milik Tangan Iblis:

Kejadian ini begitu cepatnya. Sebagian jarum tadi terpental balik dan bersarang pada pundak si Tangan Iblis, sampai seketika mulut pendekar ini berteriak ke- sakitan. “Aauucchh!”

“Huh, bocah ingusan mencoba berlaku curang?!” desis si kakek Wiku Salaka seraya menggeram jengkel. “Sekarang, rasakanlah senjatamu itu sendiri. Huh, aku tak perlu kuatir, sebab toh engkau memiliki obat pe- nawarnya!”

Si Tangan Iblis peringisan menahan sakit, lalu ber- jalan dengan cepat dan sedikit sempoyongan men- dekati I Jembrana dan Jimbaran yang lagi mengerang kesakitan. Dengan tidak banyak berkata, si Tangan Ib- lis lalu mencabut keris yang melekat pada lambung Jimbaran dan membantingnya ke tanah.

“Mari kita pulang!” ujar Tangan Iblis kepada kedua muridnya, dan sekali sambar, ia telah memanggul me- reka di pundaknya untuk kemudian dibawanya kabur ke arah selatan.

Beberapa orang sisa pengikut Jembrana, segera pu- la lari terbirit-birit setelah mengetahui bahwa pe- mimpin-pemimpin mereka kabur meninggalkan tempat itu. Teman-temannya yang terluka sempat pula me- reka bawa. Yang tertinggal kemudian adalah orang- orang yang terluka parah dan mayat yang berkaparan di tanah.

Wiku Salaka, Sunutama, Made Maya dan sisa dari penjaga-penjaga pengikut Wayan Arsana segera me- rawat dan mengurus korban-korban pertempuran tadi. Untuk pendekar Ngurah Jelantik, segera si kakek Wiku Salaka dapat membebaskan kelumpuhan tubuh- nya akibat tertotoknya jalan darah. Tapi untuk Wayan Arsana dan Ki Selakriya, tidaklah bisa disembuhkan seketika, karena keduanya terluka dalam sehingga memerlukan beberapa hari untuk memulihkan tenaga dan kesehatan tubuh mereka.

Di pendapa rumah Wayan Arsana tampaklah ke- mudian kesibukan orang-orang yang merawat dan mengobati orang-orang terluka. Suasana menjadi te- nang, masing-masing terlibat dengan kesibukan ker- janya, hanya sesekali terdengar erangan dan rintihan dari orang-orang yang tengah dirawat luka-lukanya.

Wayan Arsana duduk dengan punggung tersandar, demikian pula dengan Ki Selakriya. Di dekat mereka duduk pula si Made Maya mendampingi ayahnya.

“Eeh, jadi Bapa Wiku Salakalah yang mengajarmu bersilat dan menjadi gurumu?” berkata Wayan Arsana kepada putrinya.

“Benar, Ayah,” sahut Made Maya. “Kakek Wikulah yang menjadi guruku.”

Wayan Arsana kemudian manggut-manggut dengan keterangan putrinya. Satu keheranan lagi baginya, bahwa kakek Wiku Salaka atau yang selama ini dike- nalnya sebagai ayah mertuanya, jadi ayah dari istrinya, mempunyai kepandaian silat yang begitu hebat. Ingin rasanya Wayan Arsana banyak bertanya tentang hal itu kepada Made Maya ataupun Wiku Salaka sendiri. Tapi, melihat kesibukan dan suasana yang demikian repot, maka mau tak mau Wayan Arsana terpaksa mengurungkan niatnya.

“Biarlah lain kali akan kutanyakan kepada Bapa Wiku Salaka,” pikir Wayan Arsana seraya melempar pandang ke halaman yang kini makin terang-ben- derang oleh cahaya rembulan.

Beberapa orang penjaga tampak mondar-mandir menjaga pintu gerbang. Sang malampun terus berjalan dengan tenangnya, seperti tak pernah menggubris bahwa pertempuran baru saja terjadi, dan kini ber- akhir dengan kemenangan pihak Wayan Arsana, sete- lah terusirnya si Tangan Iblis dan beberapa sisa anak buahnya.

***

2

SINAR MATAHARI yang terik seolah-olah tak kuasa menembuskan hawa panasnya yang menyengat kulit, ke lereng-lereng kaki gunung yang diselimuti oleh ka- but putih yang berarak-arak, melayang dengan malas- nya. Gunung ini, yang disebut orang dengan nama Gunung Merbuk, berdiri menjulang tinggi merupakan pagar di sebelah timur bagi kota Gilimanuk.

Di sebuah lerengnya di daerah selatan, hari itu tampak adanya kesibukan kecil yang sebenarnya agak mengherankan, sebab daerah itu biasanya tidak per- nah dirambah oleh manusia.

Sedang hari itu beberapa gubuk darurat yang ber- atap daun ilalang telah berdiri di lereng selatan dan beberapa orang bersenjata tengah berjaga-jaga di anta- ranya.

“Rasanya seperti tak sabar untuk terus-menerus menunggu pondok yang bobrok ini. Enakan yang ikut dengan pemimpin, mereka dapat beraksi mengelua- rkan ilmu-ilmu simpanan dan keberaniannya!” ujar seorang penjaga yang dengan malas duduk bersandar pada kaki batang pohon asam.

Seorang temannya yang duduk di samping, bering- sut dan menoleh seraya berkata, “Ah, kau mau berla- gak jagoan, Dregil?” “Hmm, mengapa tidak? Bukankah itu pula yang ki- ta inginkan?!” sahut teman penjaga yang bernama Dregil. “Apakah Kakang Arje juga tidak kepingin begi- tu?”

“Heh, heh! Masih enak yang tinggal di sini,” berkata si Arje. “Apakah kau kira, bertempur itu tidak memper- taruhkan nyawa?”

“Benar. Itu benar! Namun toh kita bertempur di samping pemimpin. Dan beliau adalah orang yang sak- ti dan selalu menang dalam setiap pertempuran. Men- dengar namanya saja, orang akan bergidik dan berlu- tut untuk memenuhi segala permintaannya!” kembali Dregil mengomong.

Arje rupanya sangat mengantuk, dan ia tidak lagi menanggapi omongan Dregil dengan ulasannya, tapi ditanggapinya dengan mulutnya yang menguap, me- lenguh bagai sapi kekenyangan.

Dengan mendongkol, Dregil melihat mulut teman- nya yang menguap lebar tadi, lalu kepalanya memba- yangkan persamaan mulut temannya dengan mulut seekor buaya. Lalu, tiba-tiba Dregil tersenyum sendiri seperti orang gendeng, manakala dalam ingatannya terlintas pikiran yang iseng, bagaimana seandainya ke dalam mulut tadi dimasukkan seekor kadal hidup, se- perti yang dilihat di samping kakinya sekarang ini?

Mendapat pikiran jahil tadi, tangan si Dregil tiba- tiba menubruk si kadal yang tengah lenggat-lenggot di dekat kakinya. Tapi sang kadal lebih dulu mencium bahaya yang mengancamnya, hingga dengan sebat ia lari ke bawah semak.

Tinggal si Dregil yang gerenengan sendiri setelah kecepatan tangannya masih bisa dikalahkan oleh se- ekor kadal. Kembali ia mengawasi si Arje yang kini te- lah sesengguran mendengkur dengan nikmat di sebe- lahnya. Akhirnya Dregilpun turut menguap setelah berkali- kali ia menatapi Arje. Rasanya, kantuknya telah tim- bul, terpengaruh oleh kepulasan sahabatnya, dan ke- mudian dua orang itupun tertidur pulas.

Beberapa waktu kemudian, sebelum mereka terti- dur sepemakan sirih lamanya, datanglah seorang pen- jaga lain ke tempat itu dan ia lantas menggeleng- gelengkan kepalanya, melihat kedua temannya terse- but.

“Hee, Arje, Dregil! Bangun, lekas!” seru si penjaga yang baru datang seraya mengguncang-guncang kaki Dregil dan Arje dengan keras.

Mendadak saja, Dregil terbangun, sekaligus mene- bas pedang lebarnya ke depan dengan cepatnya.

“Ahh, edan orang ini!” seru si penjaga yang baru da- tang sambil meloncat ke atas menghindari tebasan pe- dang si Dregil yang nyaris memenggal tangannya. “Ta- han! Kau sudah kesurupan setan rupanya!”

Dregil terlongoh mendengar seruan tadi dan buru- buru ia menarik serangannya. “Maaf, sobat! Baru saja aku bermimpi melihat seekor kadal yang hendak mela- hap kakiku. Maka aku secepat kilat membacoknya de- ngan pedang ini. Tak tahunya, tangan Andalah yang mengguncang-guncang kakiku. Harap Anda suka me- maafkanku, sobat.”

“Tak apalah,” gumam si penjaga yang berwajah ga- rang memperlihatkan rasa mengkalnya. “Sudah waktu- nya kalian berdua menjaga! Mengapa masih tidur saja? Lekaslah bertugas!”

“Ngngng... baiklah kami berjaga,” ujar Dregil dan Arje bersama, lalu bangkit dan menggeloyor ke arah se- latan sambil menggerutu.

***

Sementara itu, seorang nenek yang berwajah buruk berjalan menerobos semak-belukar menempuh hutan yang menutupi kaki selatan Gunung Merbuk. Seben- tar-sebentar ia mengerutkan keningnya dan bersu- ngut-sungut sambil bibirnya komat kamit menggerun- dal. “Bocah tolol! Lagi-lagi meninggalkan orang tua ke- lewat lama! Sudah kuperingatkan jangan semaunya pergi mengeluyur, tapi masih tetap bandel. Dasar bo- cah gendeng. Apakah ia mau mengandalkan ilmunya yang masih kurang seperempat tataran?! Heh, kadang- kadang ia sampai jauh mengembara, mendatangi kota- kota dan pulau-pulau. Yang sering diceriterakan, ia senang mengunjungi Bukit Kepala Singa yang terletak di tengah-tengah Pulau Mondoliko. Heh, bocah gelan- dangan!”

Demikianlah nenek tua berwajah buruk tapi senan- tiasa menggerundal di sepanjang perjalanan. Menilik ucapan dan kata-katanya, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dia sangat menyayangi putranya dan kini de- ngan susah payah mencarinya menerobos hutan, me- nyeberangi jurang-jurang dan menempuh bahaya.

“Hmm, aku akan mencarinya ke Gilimanuk, seperti yang pernah ia katakan kepadaku beberapa waktu yang lalu,” lagi si nenek mengomel. “Tapi aku juga he- ran kepadanya, mengapa ia sangat tertarik kepada ko- ta sekecil Gilimanuk itu? Apakah ada sesuatu itu yang menarik perhatian dan menahannya di sana?”

Langkah si nenek berwajah buruk ini sangat aneh. Di tanah yang rata, ia tetap berjalan seperti biasa, se- langkah demi selangkah sambil tertatih-tatih menggu- nakan tongkatnya yang berwarna hitam mengkilat ber- ukir-ukir amat indah. Akan tetapi, bila ia melewati teb- ing ataupun jurang, dengan enaknya ia meloncatinya semudah bila ia melangkah di tanah yang rata.

Sungguh menakjubkan gerakan si nenek ini. Ketika ia meloncat tadi, tampaklah kakinya dengan sebat mencapai sasaran yang dikehendaki, sementara mu- lutnya berkikikan mengeluarkan suara tertawa seperti suara kuda betina yang binal. Sama sekali ia tak men- cemaskan bahaya yang menghadangnya seperti ter- pancar pada wajah dan sorot matanya yang tajam.

Bila di tengah jalan ia menghadapi binatang-bina- tang liar, cukuplah dengan mengobat-abitkan tongkat hitamnya yang segera mengeluarkan suara mendesis- desis, dan menyingkirlah kabur si binatang liar tadi dengan ketakutan.

Semua tingkah laku si nenek bertongkat ini, tentu akan menimbulkan ketakjuban yang luar bisa. Sebab bagaimana mungkin orang setua dia mampu menyebe- rangi jurang dengan sekali loncat saja?

Namun sayang, tentu saja orang tak akan dapat melihat keanehan si nenek tadi, sebab dia tidak sem- barangan memperlihatkannya di depan orang lain. Dengan demikian maka orang lain akan tetap meng- anggapnya sebagai seorang tua yang lumrah tanpa keanehan-keanehan apapun.

Ketika si nenek hampir mencapai kaki gunung sebe- lah selatan, diam-diam dua pasang mata telah mengin- tainya. Kedua-duanya tengah berbisik-bisik ketika si nenek berwajah buruk melewati sebuah pohon be- ringin yang besar dan bercabang-cabang rimbun.

“Sstt, kau lihat itu, Dregil?!”

“Heh. Yah, aku melihatnya. Seorang nenek kudisan yang bertongkat...,” gumam yang seorang sambil me- ringis.

“Mengapa, Adi Dregil? Apakah itu nenekmu?” “Huss! Ngomong seenaknya. Nenekku sudah mati

dua tahun yang lalu!” sahut Dregil.

“Heh, heh, sayang bahwa sebentar lagi mungkin si nenek kudisan itu akan mati!” ujar si Arje seraya me- nyungir-nyungirkan hidungnya karena seekor lalat yang mengganggu.

“Weh, mati? Apa sebabnya?” si Dregil kaget.

“Kau lihat bukan, bahwa si nenek itu tidak mema- kai caping?!” kata Arje kembali, membuat Dregil makin bingung.

“Huh, apa hubungannya dengan caping?! Masak, orang tidak memakai caping lantas mati!” gerundal Dregil uring-uringan.

Arje tidak menggubris kata-kata temannya, mala- han ia memuntir telinga si Dregil sambil berbisik, “Kau cukup tolol, sobat! Coba, kau dapat melihat pada se- buah cabang beringin yang tengah dilewati nenek itu?”

“Ooh, celaka!” desis Dregil, begitu ia menurut kata- kata Arje seraya melihat ke cabang pohon beringin ter- sebut. “Seekor ular!”

“Naa, itulah sebabnya aku mengatakan bahwa si nenek akan mati, karena kepalanya pasti disambar oleh mulut si ular yang nampaknya rakus sekali.”

“Mari kita menolongnya, Kakang Arje,” ujar Dregil sambil mengawasi ke depan.

“Menolongnya?!” desis Arje dengan nyungir. “Apa pula perlunya menolong seorang nenek bangkotan yang tak ada gunanya? Biarlah ia dicaplok dan mam- pus. Kecuali kalau dia adalah seorang gadis yang can- tik! Huh, pasti akan kutolong dengan segera!”

Dregil mengerdip-ngerdip mendengar tutur kata sa- habatnya, lalu iapun berkata, “Eh, betul juga, ya. Biar- lah ia dicaplok ular. Aku kepingin melihat adegan itu!”

Begitulah bisik-bisik si Dregil dan Arje yang ber- sembunyi di balik semak belukar sambil mengawasi nenek tua yang terhuyung-huyung berjalan melewati pohon beringin raksasa.

Keduanya makin berdebar-debar ketika dari atas cabang pohon beringin itu, meluncur tubuh seekor ular yang menyambar dengan cepatnya ke bawah. Dregil dan Arje hampir dapat memastikan bahwa mulut ular itu akan tepat mencaplok kepala si nenek bertongkat, namun tiba-tiba kedua orang itu berbareng melongo, sewaktu dengan sebat, si nenek bertongkat meloncat ke samping menghindari sambaran sang ular.

Dregil menggosok-gosokkan jarinya ke mata, sebab ia tak mau percaya melihat kecekatan si nenek yang dengan mudahnya menghindari sambaran maut. Le- bih-lebih lagi dengan Arje yang semula telah memasti- kan kematian si nenek, sekarang menjadi melompong.

Si ular sendiri bukan main marahnya. Ia mengelua- rkan desisan hebat menggerakkan kepalanya kesana- kemari, siap menyerang kembali. Sedang si nenek tinggal berdiri dengan sambil mengobat-abitkan tong- kat hitamnya.

Rupanya saja sang ular merasa dipermainkan oleh mangsanya. Maka secepat kilat ia menyambar kembali dengan gerakan kilat.

Tetapi tiba-tiba si nenekpun bergerak cepat dan lin- cah meloncat kesana-kemari menerobos di antara sambaran-sambaran maut si ular yang kelaparan.

Dregil dan Arje melompong, begitu mereka menyak- sikan adegan yang menakjubkan ini. Dan sesaat ke- mudian, keduanya melihat adegan yang lebih menarik lagi, hampir sukar dipercaya. Tampak si nenek tua menebas tongkat hitamnya beberapa kali dibarengi bunyi benturan beberapa kali yang mirip ledakan mer- con, dan sesaat berikutnya tubuh ular tersebut meng- gelantung runtuh ke tanah dengan kepala yang hancur dan leher yang patah-patah.

Si nenek tua ini menatapi tubuh ular yang telah mengelumpruk mati di tanah sambil mengusap-usap tongkat hitamnya.

“Cuhh!” Si nenek meludah ke bangkai ular dan menggerundal. “Binatang edan! Orang sudah peyot dengan kulit yang alot begini masih akan dimangsa. Kini mampus kowe, huh!”

Kembali si nenek melangkahkan kaki, berjalan ke arah barat dengan tenangnya, seolah-olah ia tidak per- nah mengalami apa-apa.

***

Dalam pada itu Dregil dan Arje yang selalu menga- wasi nenek tadi, lalu berbisik-bisik.

“Kakang Arje, kau lihat sendiri bukan? Nenek itu luar biasa,” Dregil berkata.

“Benar. Tapi karenanya pula, aku jadi curiga. Sia- pakah dia sebenarnya?” ujar Arje dan tangannya telah meraba hulu pedangnya. “Mari kita cegat dia, lalu kita tanya apa perlunya sampai keluyuran di tempat ini?”

“Ehh, tapi apa perlunya, Kakang Arje? Bukankah kalau kita berdiam diri, malah nenek itu tidak akan mengetahui tempat kita ini?”

“Heei, apakah kau lupa, bahwa si Tangan Iblis telah memerintahkan kita, agar setiap orang yang berani le- wat di sini, dicegat dan kemudian tanyai apa tujuan- nya? Jika membahayakan kita, bunuh saja!” Arje ber- kata pasti.

“Tapi apakah yakin bahwa kita mampu menghada- pinya. Bukankah ular ganas itu telah dibunuhnya de- ngan tongkat di tangannya?”

“Hah, tentang ular itu, mungkin secara kebetulan saja dapat dibunuhnya. Siapa tahu ular tadi tengah kelaparan dan tidak memiliki kekuatan. Dengan demi- kian, kan mudah membunuhnya?”

Dregil mengerdip-ngerdip. “Baiklah, aku setuju mencegatnya. Tapi kau harus berani menghadapinya, Kakang Arje!”

“Jangan kuatir. Aku nanti yang akan pertama me- negurnya!” sahut Arje. “Ayo, lekas kita menghalangi- nya!”

Bagaikan serigala mencium mangsa, keduanya ber- loncatan dari semak-semak lebat dan berhentilah me- reka di tengah jalan, tepat di depan si nenek bertong- kat dengan sikap menghadang.

Sesaat itu pula si nenek terkejut, tapi saat berikut- nya ia tertawa mengikik terpingkal-pingkal seperti anak kecil melihat sesuatu yang lucu.

“Hi, hi, hi. Kalian membikin aku terkejut, bocah- bocah!” ujar si nenek manggut-manggut. “Apa maksud kalian dengan malang-melintang di depanku ini, heei?” Mendengar dirinya disebut bocah-bocah, Dregil dan

Arje menjadi naik darah seketika.

“Kau tak boleh ngomong seenakmu, nenek peyot! Kau telah masuk daerahku ini, dan tanpa keperluan yang harus kau katakan kepada kami, engkau harus kembali!” seru Arje. Suaranya penuh nada ancaman.

“Hee?! Hih, hi, hi, hi. Sejak kapan daerah ini di ba- wah kekuasaanmu?” kata si nenek acuh tak acuh.

“Kurang ajar! Banyak ngomong, kau nenek peyot!” seru Dregil. “Lekas kau sebutkan, siapa namamu dan apa tujuanmu di sini?”

Nenek tua itu mengangkat dahi mendengar perta- nyaan yang kasar lalu sorot matanya berkilatan ma- rah. Tapi aneh, sebentar pula sorot matanya jadi re- dup. Agaknya ia masih dapat menahan diri.

“Ha, ha, ha. Betul, nenek peyot. Katakan saja apa perlumu sampai keluyuran di daerah ini?!” seru Arje tak mau ketinggalan.

“Bagus, bocah! Bagus! Aku bernama Nyi Durganti. Nah, puas bukan? Itulah namaku yang kalian ingin- kan!”

“Durganti? Hmm, nama yang aneh,” desis Arje ter- cengang. “Lalu apa tujuanmu kemari?”

“Kau ingin tahu tujuanku? Hmm, aku tengah men- cari anakku yang minggat dari rumah.”

“Dan siapa nama anakmu itu? Laki-laki atau pe- rempuan?!” bertanya pula si Dregil dengan gencar sambil bertolak pinggang.

Nenek Durganti mengerinyitkan dahinya. Wajahnya yang penuh kerut-merut serta beberapa bintik dengan warna kulit yang kuning kehijauan seperti mayat, be- nar-benar menyeramkan. Begitu menghadapi Dregil dan Arje yang memberondongkan pertanyaan-perta- nyaan, ia lantas jengkel, katanya kemudian, “Keparat! Kalian masih ingusan! Tidak tahu adat! Kalian mena- nyaiku seperti memeriksa seorang pesakitan!”

“He, heh, he. Lucu! Lucu,” seru Arje diiringi keta- wanya. “Wajahmu makin peyot, Nek!”

“Heh, he. Betul! He, he, he. Betul!” ujar Dregil mem- betulkan pendapat si Arje. “Kalau marah, wajahnya makin peyot!”

“Hyaatt!” teriak nenek Durganti seraya menya- betkan tongkat hitamnya ke depan, menyapu ke arah dada Dregil dan Arje.

Dengan kekagetan yang luar biasa, Dregil dan Arje buru-buru membuang diri ke samping, terus berguli- ngan menjauh dari lawannya.

“Naa, ayolah teruskan mementang mulut, bocah i- ngusan! Baru sekian saja sudah gelagepan!” ejek ne- nek Durganti disusul ludahnya meloncat dari bibir.

Terang bahwa Dregil dan Arje tidak mengira bahwa si nenek kempong-perot itu mampu melabrak dengan gerakan tongkat yang tiba-tiba. Untung saja bahwa ke- duanya mempunyai ilmu yang lumayan. Jika tidak, mana bisa mereka lolos dengan mudahnya dari sera- ngan tongkat hitam si nenek.

*** 3

TANPA MEMBUANG waktu, keduanya segera melo- los pedangnya seraya bangkit dan bersiaga, sementara si nenek Durganti masih berkikikan ketawa.

“Huh! Seranganmu sungguh mengagumkan, nenek reyot! Tapi jangan kau kira bahwa kami tak sanggup melawanmu?!” berkata Arje seraya melentur-lenturkan pedangnya.

“Bagus! Cobalah mulai. Aku ingin tahu sampai be- rapa lama kalian mampu menghadapiku?!” kata nenek Durganti. Tangannya telah menggenggam pertengahan batang tongkat, siap diputarnya untuk menghadapi kedua lawannya. “Ayo, bocah ingusan, jangan malu- malu. Majulah berbareng kemari, supaya tidak kepa- lang tanggung!”

Seperti akan meledak dada Dregil dan Arje mende- ngar tantangan nenek Durganti tersebut. Maka secepat kilat keduanya menyerbu bersama, menebaskan pe- dang yang berkilat-kilat di tangannya.

“Jeeaah!”

Kalau pedang Arje mengancam kepala si nenek Durganti, pedang Dregil bergerak menyapu ke arah lu- tut.

Ternyata memang serangan mereka saling bergerak dengan jurus berpasangan dan tentu saja serangan begini akan sukar untuk dihadapi. Dan celakanya lagi, Arje juga mengibaskan tangan kirinya, disusul bebe- rapa pisau kecil menyambar ke arah nenek Durganti.

“Tobat! Serangan beruntun!” desis nenek Durganti saking kagetnya mendapat serangan yang begitu ganas dan penuh nafsu.

Tetapi sesaat kemudian, nenek Durganti dengan te- nang menghadapi serangan lawan, sebab untuk meng- hadapi gerakan yang buas diperlukan ketenangan. Makin tenang, makin jelas ia dapat mengikuti gerakan lawan. Maka itulah sebabnya nenek Durganti tiba-tiba melesat miring ke depan dengan menggerakkan kedua tangannya berbareng, berserabutan kesana-kemari. Tangan kiri menyapu ke depan tubuh, sedang tangan kanannya menggenggam tongkat yang berputar seperti baling-baling.

Tap! Tap! Tap! Trang Traaangng!

Beberapa bunyi benturan terdengar beruntun su- sul-menyusul dan sesaat kemudian Dregil serta Arje terhuyung ke belakang sambil mulutnya peringisan menahan rasa sakit dan pedih yang membakar jari-jari tangan kanannya

Mereka terpaksa kagum bahwa kedua senjata pe- dangnya kena ditangkis oleh putaran tongkat hitam si nenek Durganti yang bergerak ke atas dan ke bawah. Malahan dengan melongo, keduanya menatap tangan kiri nenek tua tadi. Pada tiap-tiap sela-sela jari-jema- rinya terseliplah pisau-pisau kecil yang tadi dilempar oleh Arje.

Melihat kenyataan ini, secepat kilat Arje bersuit nyaring memberi isyarat tanda bahaya kepada teman- temannya yang masih tinggal di dalam gubuk-gubuk darurat di sekitar tempat tersebut.

Sungguh mengagumkan bahwa nenek Durganti ma- sih tetap tenang, bahkan ia tertawa cekikikan, ketika sesaat kemudian beberapa teman Arje berloncatan ke- luar dari balik semak-semak, langsung mengepungnya. “Hi, hi, hih. Mari, kalian semua! Kita bermain-main menghilangkaN kantuk. Hi, hik. Coba kuhitung semu- anya. Satu, dua, tiga, empat, lima, tambah satu lagi, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh! Wah, wah, hampir dua regu pasukan lengkap dengan senjata. Ini sudah cukup banyak. Hayo, sekarang marilah, silakan membuka serangan!” berkata nenek Durganti menan- tang, sementara Arje dan teman-temannya telah ber- siaga.

Siapakah yang tidak jengkel mendengarkan tanta- ngan nenek reyot yang berlagak perkasa ini? Lebih- lebih Dregil dan Arje, kelihatan mengkerot-kerotkan gi- ginya menahan marah.

“Kawan-kawan! Keroyok nenek bangkotan ini! Ca- cah-cacah tubuhnya sampai lumat! Lekas!” teriak Arje memberi aba-aba, yang seketika disambut oleh teria- kan kawan-kawannya.

Mereka bersepuluh serentak bergerak menyerang si nenek Durganti dengan cara berpasangan, masing- masing dua orang menyerang berturut-turut, susul- menyusul sebagai ombak laut yang ganas.

Biar bagaimanapun, nenek tua ini menghadapi ke- sepuluh lawannya dengan tenang. Meski seolah-olah hujan serangan senjata mengurungnya, ia dengan se- bat memutar tongkat hitam di tangannya menyambut setiap serangan.

Ketika ternyata nenek itu masih tangguh mengha- dapi serangan-serangan tersebut, Arje dan kawan- kawannya merubah siasat. Mereka membentuk satu lingkaran yang mengepung nenek Durganti dengan ke- tatnya, tanpa ada tempat yang lowong untuk diterobos. Kesepuluh lawan nenek Durganti tersebut kemudian bergerak melingkar, seperti roda yang tengah berputar, membuat lawan yang belum kenyang pengalaman akan pusing. Dan justru inilah yang dikehendaki oleh mereka. Bila lawannya sudah pusing, maka serangan serentak akan mereka lancarkan seketika. Tapi, da- patkah nenek Durganti tadi menjadi pusing? Ini tak dapat dipastikan, kecuali ia sedikit kelihatan ter- huyung.

“Serang!” teriak Arje dan seketika kesepuluh pe- ngepung tadi bergerak ke dalam, melancarkan sera- ngan-serangan dahsyatnya.

Weeesssttt Trrraaangng!

Nenek Durganti menangkis dan tubuhnya melenting ke udara lalu meloncat ke luar dari lingkaran kepu- ngan kesepuluh lawannya.

Akan tetapi mereka tangguh pula. Lingkaran manu- sia inipun bergerak cepat ke samping mencegat lonca- tan si nenek, sehingga akhirnya, begitu nenek Durgan- ti tiba di tanah, ia telah mendapatkan dirinya tetap da- lam kepungan musuh.

Kini tahulah dia, bahwa kesepuluh lawannya akan sangat sukar untuk dirobohkan satu persatu, jadi ha- rus secara serentak pula. Oleh sebab itu, nenek Dur- ganti telah bersiaga sepenuhnya, lebih-lebih ketika la- wan-lawannya meluruk kembali melancarkan sera- ngan. Kali ini nenek Durganti tidak menghindar tapi tetap tinggal di dalam lingkaran pengepungan dengan memutar tongkat hitamnya.

Traang! Trang! Triing!

Benturan-benturan senjata terjadi dan kesepuluh pengepung tadi terhuyung ke belakang, begitu senjata- senjata mereka beradu lawan tongkat si nenek Dur- ganti.

Detik berikutnya, dalam saat yang singkat, Durganti bergerak lebih cepat lagi, sangat mengagumkan. Ia me- loncat berkeliling, ke sana-ke mari sambil tangan ki- rinya berserabutan menotok jalan darah kesepuluh la- wannya seperti pada sisi leher, pundak ataupun dada.

“Aaakh! Aduuuh! Tobat!” seru mereka hampir ber- bareng dengan tubuh-tubuh kaku seperti arca yang bernyawa, begitu tubuh mereka kena ditotok oleh jari- jari Durganti yang ampuh.

Si nenek itu kini berdiri tenang di tengah lawan- lawannya yang telah kaku, kemudian berkata, “Naaa, bocah-bocah ingusan! Sekarang bagaimana keinginan kalian? Apakah masih ingin membandel dan sombong di hadapanku, hah? Hi, hi, hi, hi. Jika mau, aku bisa meninggalkan kalian dalam keadaan begini, supaya tubuh-tubuh kalian dapat disantap oleh binatang- binatang buas di hutan ini.”

“Jangan pergi, nenek! Kami bertobat!” seru Arje dan kawan-kawannya serentak. “Tolong bebaskan kami! Kami mengaku kalah!”

“Hi, hi, hi, jadi kalian cukup puas dengan permai- nan ini? Baiklah, aku akan membebaskan kalian. Tapi kalian harus sanggup membantuku! Juga harus me- minta maaf! Bagaimana? Sanggup?”

“Sanggup!” ujar kesepuluh lawan yang telah bertu- buh kaku. “Kami meminta maaf kepada nenek Durgan- ti.”

“Hi, hi, hi. Bagus,” seru nenek Durganti sambil ber- loncatan keliling membebaskan totokan jalan darah kepada seseorang lawannya dan sebentar kemudian Arje, Dregil dan kawan-kawannya telah sembuh dan pulih seperti sediakala. Mereka merasa bagai terbebas dari kematian yang hampir mengancamnya.

***

Arje, Dregil dan kedelapan kawannya berdiri meng- gerombol di hadapan nenek Durganti dengan kepala tertunduk. Mereka yang semula menganggap ringan dan sepele terhadap lawannya yang telah tua renta ini, kini merasa malu begitu nenek Durganti telah menak- lukkan mereka kesemuanya.

Sebaliknya si nenek itu masih tersenyum-senyum puas, kemudian ia menebarkan pandangan matanya ke depan dan berkata, “Hih, hi, hi. Siapa kalian berdua yang pertama mencegatku?” Nenek Durganti berkata seraya menunjuk ke arah Dregil dan Arje dengan jari- jarinya yang berkuku panjang.

“Saya Dregil dan ini si Arje,” ujar Dregil.

“Sekarang jelaskan kepadaku, apakah keperluan kalian sampai menggerombol dan membuka gubuk- gubuk di sini?”

“Kami sedang menunggu pemimpin kami,” berkata Dregil. “Dan sekarang sudah seharusnya ia tiba di sini.”

“Ke mana perginya?” “Ke Gilimanuk.”

“Haa, ke Gilimanuk, katamu?” seru nenek Durganti dengan kaget. “Siapa nama pemimpinmu itu, bocah?”

“Dia bernama si Tangan Iblis!”

“Si Tangan Iblis?!” berseru lebih keras si nenek Dur- ganti sampai kesepuluh orang di depannya terguncang kaget, sebab dada mereka sesaat berdentang hebat oleh seruan si nenek yang terisi tenaga dalam.

“Mengapa terkejut, Nenek? Apakah nama Tangan Iblis cukup menggentarkan bagi Nenek?” ujar Dregil.

“Menggentarkan? Tentu saja!” sahut nenek Durgan- ti. “Tapi bukan karena takut kepadanya!”

“Jadi maksud Nenek...?!” sela Dregil menegaskan. “Aku sudah lama mencarinya!” nenek Durganti di-

barengi ketawa cekikikan bernada gembira sampai tu- buhnya berguncang-guncang dan rambutnya yang te- rurai lepas awut-awutan itu ikut tergerak berhambu- ran melambai-lambai. “Sebab, kalian harus tahu seka- rang, bahwa si Tangan Iblis itu adalah puteraku! Ka- lian mengerti, hah?! Buka kupingmu lebar-lebar. Ta- ngan Iblis yang menjadi pemimpin kalian itu adalah anakku!”

Mendengar perkataan tadi, Dregil dan kawan-ka- wannya bagai disambar petir kagetnya. Mereka seren- tak membungkuk hormat ke hadapan nenek Durganti seraya berkata ketakutan, “Harap dimaafkan perla- kuan kami yang kurang pantas tadi.” “Hi, hi, hi, sudah kuampuni, kalian,” berseru nenek Durganti. “Tak kukira bahwa Tangan Iblis bisa menjadi seorang pemimpin. Tapi jelaskan kepadaku, Dregil, apa sebabnya ia pergi ke Gilimanuk?”

“Mereka sedang menyerbu rumah seorang saudagar kaya,” kata Dregil pula, membuat nenek Durganti ter- kejut.

“Wah, kelewat berani anak ini,” gereneng Durganti. “Mudah-mudahan ia tidak menemui kesulitan di sana. Hai, Dregil. Kau tadi mengatakan bahwa seharusnya mereka telah pulang?!”

“Benar, Nenek. Malah seharusnya mereka sudah ti- ba tadi malam!”

“Ooo, jadi terlambat artinya,” kata Nenek Durganti dengan hati berdebar-debar. “Kalau ternyata demikian, marilah Dregil, siapkan diri kalian untuk menyusul si Tangan Iblis!”

Sebentar kemudian terlihatlah kesibukan memper- siapkan diri untuk perjalanan ke barat menuju ke Gili- manuk. Namun tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh munculnya sesosok tubuh manusia yang bermandi ke- ringat dan beberapa luka berdarah tampak menghiasi tubuhnya. Nenek Durganti dan orang-orang menolong- nya.

“Tolong! Aduh, Ki Tangan Iblis terluka,” rintih orang yang terluka tadi dengan terengah-engah, menandakan bahwa ia telah menempuh perjalanan yang jauh.

“Di mana teman-teman yang lain?” berkata Dregil. “Dan Ki Tangan Iblis berada di mana?”

“Ki Tangan Iblis terluka bersama I Jembrana dan Jimbaran, tertinggal di belakang sana. Tapi untunglah kita telah lolos dari kejaran mereka!”

Nenek Durganti seperti tak sabar mendengar orang menyelesaikan kata-katanya. Karena ia telah lama mencari Tangan Iblis dan kini mendengar bahwa anaknya telah mendapat luka, maka cepat-cepat ia berkata, “Dregil! Arje! Bawalah separuh teman-teman mengikuti aku. Yang separuh tinggal di sini, merawat orang yang luka-luka. Pasti akan datang lagi lainnya!”

Selesai berkata, Nenek Durganti telah meloncat ke barat disusul oleh Dregil, Arje, dan tiga orang teman- nya. Sebentar saja tampaklah bayangan-bayangan manusia yang berlari, berloncatan menerobos semak dan jalan-jalan kecil tak ubahnya kijang-kijang yang lagi berkejaran.

Dregil dan Arje serta kawan-kawannya terpaksa mengerahkan tenaga untuk dapat mengikuti loncatan dan lari si Nenek Durganti yang berada di sebelah de- pan. Tak urung mereka mengumpat-umpat di dalam hati, di samping rasa kagum terhadap Nenek Durganti yang sudah tua renta, tapi malah mengalahkan mereka, terutama dalam ilmu tenaga dalam dan tata kelahi.

Nenek Durganti yang berlari paling depan selalu memasang telinga dan menebarkan pandangan ma- tanya meskipun ia tengah berlari begitu cepat. Ram- butnya yang terurai lepas dan berkibar-kibar tertiup angin menimbulkan pandangan yang menyeramkan di samping wajahnya yang berkeriput dan berwarna se- perti mayat.

Ketika mereka sampai pada sebuah mata air, tiba- tiba nenek Durganti mengacungkan tangan kirinya ke atas, dan seketika itu pula Dregil dan kawan-kawan- nya segera berhenti.

Tak jauh dari tepian mata air, tiga sosok tubuh te- ngah tergeletak dengan mengerang kesakitan. Seorang di antaranya berlepotan darah pada mulut dan di sebe- lahnya, seorang lagi menebah lambungnya yang meng- alirkan darah. Sedang di depan mereka nampak seo- rang yang kelihatannya masih mampu mengatasi diri- nya telah mencoba untuk duduk. Pada pundak kiri orang ini kelihatan satu bengkak kebiruan yang meng- alirkan darah kental kehitaman.

“Anakku... Tangan Iblis!” berseru nenek Durganti seraya berlari mendekati orang yang bengkak pada pundaknya.

“I Jembrana dan Jimbaran juga luka!” seru Dregil dengan cemasnya. Ia tidak mengira bahwa ketiga orang sakti tadi dapat menderita kekalahan dan luka-luka. Maka dapatlah Dregil membayangkan bahwa lawan dan musuh yang mereka hadapi memiliki kesaktian yang hebat.

“Kau terluka, Nak?!” sapa si nenek seraya meme- riksa pundak Tangan Iblis yang bengkak. “Terkena apa ini?!”

“Senjata jarumku sendiri. Ia terpental balik kena tangkisan senjata lawan,” ujar Tangan Iblis disertai ce- ritera singkatnya tentang pertempuran dahsyat di se- belah timur Gilimanuk. “Tapi Ibu tak usah cemas, se- bab aku telah minum obat penawarnya.”

“Hmm, lawanmu bernama Wiku Salaka?! Aku be- lum pernah mendengarnya,” nenek Durganti berkata pula, sementara tangannya mengurut-urut tempat- tempat di sekitar pundak Tangan Iblis yang bengkak. “Biarlah lain kali kau ceritakan lebih jelas tentang per- tempuran itu. Sekarang yang penting kau dan teman- temanmu yang terluka harus segera mendapat perawa- tan.”

Dregil, Arje, dan ketiga temannya cepat membantu membuat usungan dari bambu untuk membawa I Jem- brana dan Jimbaran yang terluka parah. Sedang Ta- ngan Iblis sendiri mampu berjalan dengan dibantu oleh ibunya. Ni Durganti.

Akhirnya rombongan ini bergerak ke timur dengan pelahan melewati jalan-jalan rintisan kecil yang me- nembus kerimbunan pohon-pohon raksasa dalam hu- tan di kaki selatan Gunung Merbuk.

Di sepanjang perjalanan, timbullah pertanyaan-per- tanyaan di dalam diri si nenek Durganti tentang lawan yang baru saja mengalahkan Tangan Iblis. Ia tidak mengerti mengapa Tangan Iblis yang telah digembleng- nya itu, masih dapat dikalahkan oleh lawannya begitu saja. Bahkan terkena oleh senjata rahasianya sendiri. Bukankah ini sangat memalukan bagi seorang jagoan seperti Tangan Iblis?

Namun kemudian Nenek Durgantipun menjadi sa- dar, bahwa gemblengan yang diberikan kepada putra- nya belum selesai seluruhnya. Sehingga kekalahan si Tangan Iblis masih bisa dimaklumi. Satu hal yang menjadi jelas baginya ialah tentang lawan yang berna- ma Wiku Salaka. Setidak-tidaknya ia berilmu setingkat dengan dirinya.

***

4

SANG WAKTU TERUS BERJALAN. Pagi, siang, sore, dan malam, dan seterusnya kembali lagi sang pagi dengan sinar mataharinya yang segar dan hangat. Be- gitulah irama waktu selalu berulang-ulang tanpa mem- bosankan. Meskipun sang pagi hadir di setiap harinya, namun toh setiap kali ada suasana yang berlainan se- jalan dengan irama kehidupan manusia dan alam seki- tarnya.

Berangsur-angsur kesehatan Wayan Arsana, si sau- dagar kaya yang berumah di sebelah timur Gilimanuk, telah pulih dan sembuh berkat rawatan ayah mertua- nya, yakni Ki Wiku Salaka.

Dalam waktu yang sama, Ki Selakriya telah pula memperoleh kesehatannya kembali, sesudah ia beristi- rahat cukup lama. Pemahat ini masih tinggal bersama puteranya, Sunutama, dalam rumah Wayan Arsana.

Dan Ki Selakriya kini mendapat satu kegembiraan yang tak terhingga, ketika Wayan Arsana mengajaknya untuk merundingkan peningkatan hubungan antara Sunutama dan Made Maya.

“Apakah Anda tidak keberatan jika Sunutama men- jadi suami Made Maya?” tanya Wayan Arsana kepada sahabatnya yang waktu itu duduk-duduk bersama di ruang pendapa.

“Ooh, satu kehormatan bagi saya, Ki Wayan,” ujar Ki Selakriya berseri-seri gembira. “Tapi apakah kiranya patut jika keluarga Andika yang kaya raya itu meng- ambil Sunutama sebagai menantu? Eh, maksud saya, bukannya kami terlalu membedakan antara miskin dan kaya. Tetapi bukankah di sini berlaku pembagian kasta-kasta di dalam masyarakat?”

“Eh, janganlah Anda terlalu memusingkan soal itu, Ki Sela. Seorang saudagar seperti saya ini, bisa tergo- long kasta Waisya. Dan seorang pemahat yang baik se- perti Anda, juga termasuk kasta Waisya. Jadi setidak- tidaknya kita berada dalam kedudukan yang sejajar.”

Ki Selakriya mengangguk-angguk dengan hati yang puas dan ia berkata pula, “Terima kasih atas ketera- ngan Andika tadi. Dengan demikian aku tidak merasa sungkan-sungkan lagi.”

“Dan lagi,” ujar Ki Wayan Arsana melanjutkan bica- ranya, “yang penting bahwa kedua calon suami istri tersebut saling cinta-mencintai, seperti halnya Ananda Sunutama dan Made Maya. Nah, semoga Anda tak lagi merisaukan hal itu.”

“Sekali lagi terima kasih,” kata Ki Selakriya. “Na- mun harap Andika tidak keberatan untuk menerima hadiah perkawinan dari saya, sebagai mas kawin un- tuk Ananda Made Maya. Untuk itu kami telah me- ngerjakan dua buah patung singa, merupakan sepa- sang patung pengawal pintu gerbang yang bentuknya kami ambil dari patung singa di Candi Borobudur.”

“Hmm, akan kami terima dengan senang hati karya- karya Anda itu. Terima kasih,” berkata Wayan Arsana dengan mata yang berkaca-kaca saking terharunya. Kalau yang diberikan oleh sahabatnya itu berwujud harta benda tentulah itu merupakan hal yang lumrah, apalagi bagi Ki Wayan Arsana yang kaya raya dan ber- lebih-lebih dalam harta bendanya. Tapi yang diberikan Ki Selakriya ternyata adalah patung pahatan hasil daya cipta yang tentu nilainya akan lebih tinggi dari- pada harta benda yang dapat diserahkan Ki Selakriya.

Rupanya tidak Wayan Arsana saja yang berkaca- kaca matanya, Ki Selakriyapun demikian pula. Rasa harunya tak terkira, bahwa pengharapan dan cita-ci- tanya sebagai seorang tua, kini telah terlaksana. Akhir- nya Sunutama telah mendapat jodohnya, seorang ga- dis yang baik budi pekertinya dan pandai dan berilmu tinggi pula. Itulah Made Maya.

***

Sementara itu, seorang yang berperawakan gagah dan mengenakan caping lebar, tengah berpacu ke arah timur. Kudanya diderapkannya dengan cepat mening- galkan debu-debu dan kerikil bertaburan. Sebentar ia menoleh ke arah barat, menatap pintu gerbang rumah Ki Wayan Arsana yang menjulang tinggi dengan me- gahnya.

“Hmm, terpaksa aku harus kembali dulu ke Singa- raja, dan memberi laporan kepada pimpinan tamtama,” demikian desah si penunggang kuda yang tidak lain adalah pendekar Ngurah Jelantik. “Melihat luka Jim- baran dan Jembrana yang cukup parah, pastilah me- reka tidak akan hidup lebih lama dari satu minggu. Namun aku akan tetap membuntuti mereka, sebelum aku tahu dengan pasti tentang kematian mereka! Se- dang munculnya tokoh jagoan seperti si Tangan Iblis itu, benar-benar di luar dugaan! Dia berilmu tinggi dan mempunyai kekuatan yang tangguh. Untung saja ka- kek Wiku Salaka turun tangan untuk ikut mengusir si Tangan Iblis. Jika tidak, mungkin rumah Wayan Arsa- na seisinya telah dihancurkannya. Sayang aku belum banyak mengetahui tentang si Tangan Iblis ini, dan semoga saja pimpinan tamtama di Singaraja dapat ba- nyak memberikan keterangan tentang dia.”

Ngurah Jelantik terus memacu kudanya dan ketika ia sekali lagi menoleh ke belakang, pintu gerbang dan rumah Wayan Arsana telah lenyap dari pandangannya, tertutup oleh pepohonan.

Kini pusat perhatian Ngurah Jelantik dipusatkan- nya ke depan, ke arah jalan yang akan ditempuhnya. Jalan-jalan ini masuk ke bawah pohon-pohon raksasa, menerobos hutan yang lebat, bagaikan masuk ke da- lam pelukan raksasa rimba yang menyeramkan. Jalan tersebut sangat lengang dan sepi seolah-olah anginpun tiada bertiup di situ, bisu dan mencengkam perasaan.

Sebenarnya, jaranglah orang yang berani lewat sen- dirian di jalan yang menerobos lewat hutan ini. Kalau toh ada, tentulah mereka menyeberang dengan cara berombongan, lengkap dengan para pengawal yang bersenjata, sebab seringlah perampok-perampok men- cegat orang-orang yang lewat di situ, untuk merampas harta bendanya. Selain itu, tidak jarang mereka di- bayangi oleh binatang-binatang buas, seperti harimau ataupun ular yang besar kebanyakan hidup di tempat- tempat lembab dan suram.

Ternyata pendekar Ngurah Jelantik tidak dipenga- ruhi oleh hal-hal itu, terbukti dengan enaknya ia menggeprak kudanya menempuh hutan yang lembab di depan.

Apabila Ngurah Jelantik makin jauh masuk ke da- lam perut hutan, segera ia merasakan hawa yang lem- bab. Cahaya matahari cuma kuasa menembus berkas- berkas sinarnya ke dasar hutan sehingga pemandan- gan di situ tampak lebih seram, laksana alam impian yang penuh kengerian. Ditambah pula dengan ba- nyaknya sulur dan akar-akaran yang berjuntai dari atas dahan-dahan pepohonan, sempurnalah kesera- man yang menjelma di situ.

Tiba-tiba, Ngurah Jelantik terperanjat ketika kuda- nya meringkik-ringkik kecil serta mengangguk-angguk- kan kepala. Bersamaan kemudian, telinga pendekar Singaraja yang sangat peka itu telah mendengar suara- suara manusia dari ujung jalan yang tengah ditem- puhnya.

“Kau telah mencium bahaya, Hitam?” kata Ngurah Jelantik seraya menepuk-nepuk leher kudanya. “Te- nang saja di sini, aku akan melihatnya!”

Ngurah Jelantik kemudian membelokkan kudanya ke dalam semak di tepi jalan, lalu dengan sebatnya ia turun ke tanah.

Segera setelah ia menambatkan tali kekang kuda- nya ke sebuah dahan pohon, lekas-lekas ia mengen- dap-endap maju ke depan dengan hati-hati. Dahan- dahan kering yang kelihatan berserakan di tanah, sela- lu dihindarinya agar tidak menimbulkan suara, karena injakan kakinya yang melangkah setapak demi setapak dalam gerakan yang sangat lambat.

“Heh, siapa kiranya yang berada di tempat ini selain aku?” gumam Ngurah Jelantik. “Kedengarannya me- reka bercakap-cakap dengan kerasnya. Pertengkaran barangkali!”

Apa yang menjadi perkiraan Ngurah Jelantik dalam dirinya tadi ternyata mendekati kebenaran. Begitu jari- jarinya menguak dedaunan semak yang menghalang di depan mata, terlihatlah beberapa orang berwajah be- ngis menghadang di tengah jalan, sedang di depan me- reka berdirilah seorang gadis dan seorang laki-laki tua yang memanggul sapu lidi bertangkai serta bungkusan barang yang terikat pada batang sapu tersebut.

“Kami bukan orang kaya, Tuan. Kami tak membawa apa-apa yang bernilai. Maka kami mohon kepada Tuan-tuan sekalian, agar kami boleh melanjutkan per- jalanan,” ujar laki-laki tua dengan wajah ketakutan sementara tangan kirinya memegang lengan gadis yang berdiri di sampingnya dalam sikap yang melindungi.

“Sejak tadi belum kau sebut namamu! Dan juga nama gadis cantik di sebelah itu!” teriak seorang ber- senjata pedang, berikat kepala merah.

“Apa perlunya kau tanyakan namanya, Kakang Arje?! Yang perlu kan bungkusan yang dibawa mere- ka?!” ujar seorang teman di dekatnya.

“Hus, diam dulu kau, Dregil!” berkata Arje. “Siapa tahu mereka masih ada hubungan keluarga dengan saya.”

“Lekas sebut namamu, Pak!” sambung Dregil pula. “Siapa tahu bahwa nama gadis ini akan cocok untuk nama calon istriku?!”

“Saya bernama Ki Sukerte, Tuan,” laki-laki tua ber- kata. “Dan anak gadisku ini adalah Putu Tantri.”

“Ha, ha, ha. Bagaimana, Kakang Arje? Bukankah cocok sekali bila Putu Tantri menjadi istri saya?!” ujar Dregil sambil berjingkrakan senang. “Dan bungkusan mereka, kita rampas pula!”

“Bagus!” puji Arje. “Kau berpikir cemerlang, Dregil. Sebab itu lekas-lekas kita mintai bungkusan tersebut dari mereka!”

“Jangan, Tuan. Bungkusan ini cuma berisi kain- kain tua yang tidak berharga,” keluh Ki Sukerte. “Keparat! Apa kau ingin dipaksa untuk menye- rahkan benda-benda itu, hei?!” seru Arje dengan meng- ancamkan pedangnya ke depan, mengarah ke dada Ki Sukerte. “Lekas! Jangan tunggu sampai hilang kesaba- ranku!”

“Ooh, kasihanilah kami, Tuan. Bungkusan ini ada- lah satu-satunya bekal kami di perjalanan. Jangan Tuan-tuan memintanya.”

***

Sementara itu, Ngurah Jelantik yang bersembunyi mengintai di balik dedaunan semak, ikut berdebar- debar hatinya melihat peristiwa yang ada di hadapan- nya. Ia telah melihat bahaya yang tengah mengintai. Menuruti gerak hati dan darma ksatria, sudah sepan- tasnyalah bila ia cepat-cepat tampil ke depan untuk turun tangan memberikan bantuannya kepada Ki Su- kerte dan anak gadisnya. Namun sebagai seorang pen- dekar yang telah kaya akan pengalaman, ia lalu men- jadi curiga dan menangguhkan niatnya tadi. Sebab ia tak habis mengerti mengapa kedua orang ini berani menempuh perjalanan melewati hutan yang kelewat angker dan penuh bahaya. Untuk mencari mati, ba- rangkali? Itupun tidak mungkin! Mestinya mereka memang sengaja lewat di hutan ini. Dengan begitu da- patlah disimpulkan bahwa keduanya termasuk orang- orang pemberani. Dan satu hal lagi yang meragukan hati Ngurah Jelantik adalah sikap serta gerakan Ki Sukerte. Meskipun ia nampak ketakutan, namun po- sisi tubuhnya selalu menunjukkan kesiagaan dalam menghadapi bahaya yang mengancamnya. Seperti ta- ngan kanan yang menggenggam erat batang sapu, se- mentara kaki kiri terbuka ke depan setengah langkah dan kaki kanan serong ke belakang.

“Lekas serahkan bungkusan barangmu itu! Cepat! Kau dengar dengan telingamu, hee!” tiba-tiba terdengar teriakan Arje yang membuat Ngurah Jelantik ikut ter- kejut. Nampaknya ia telah kehilangan sabar dan men- gancam dengan pedangnya yang berkilat kepada Ki Sukerte.

“Jangan, Tuan! Jangan bermain-main dengan pe- dang setajam itu. Tuan telah menakuti anak saya!” ujar Ki Sukerte ketakutan.

“Nah, jika demikian, lekaslah kau serahkan barang- barangmu itu! Ayo!” bentak Arje sambil bergerak maju mendekati Ki Sukerte berdua.

“Tidak! Maaf, Tuan. Kami tak mempunyai apa-apa yang patut kami serahkan untuk Tuan-tuan sekalian!” seru Putu Tantri. “Sebab tak ada barang-barang kami yang berharga untuk dijual.”

“He, he, he. Kalau untuk kau, bocah manis, cukup kau serahkan dirimu untuk menjadi istriku,” ujar Dre- gil menyela. “Sedang untuk ayahmu, cukup menye- rahkan bungkusan barang itu!”

Ki Sukerte dan Putu Tantri tidak lekas-lekas men- jawab, kecuali keduanya berusaha melarikan diri. Sa- yang bahwa teman-teman Dregil dan Arje telah waspa- da, sehingga ketika keduanya bergerak mencurigakan, para penghadang telah lebih dulu mencegatnya.

“Ooo, jadi kalian berdua telah nekad, yaa?!” teriak Arje sangat marah. “Jika demikian kami tidak mempu- nyai pilihan lain, selain memaksa kalian untuk me- nyerahkan barang-barangmu!”

“Kawan-kawan! Cepat kita ringkus keduanya! Tapi yang perempuan jangan dilukai, sebab ia menjadi ba- gianku!” seru Dregil pula.

Sekejap itu pula, Arje, Dregil dan kawan-kawannya telah menyerang Ki Sukerte dan mengincar bungkusan yang dibawanya. Kenekadan Ki Sukerte ternyata telah menimbulkan kecurigaan di pihak Arje dan Dregil. Pi- kir mereka, kalau toh bungkusan itu cuma berisi kain- kain tua ataupun barang-barang tak berharga, menga- pa tidak lekas-lekas diserahkan saja kepada mereka?

Dengan agak terkejut, Ki Sukerte buru-buru me- nangkiskan tangkai sapunya ketika sebuah tebasan pedang Arje menyerang dari depan.

Clang!

Benturan seru terdengar nyaring dan Arje secepat kilat melompat ke samping, sedang tangannya tergetar hebat.

Dalam waktu yang sama dan singkat, Dregil telah pula menyerang dari samping dengan sebuah tombak. Karenanya, Ki Sukerte secepatnya memutar tangkai sapunya ke samping menangkis tombak lawannya se- belum mata tombak tersebut menembus lambungnya.

Sungguh berat gerakan Ki Sukerte. Sebab di sam- ping menanggulangi serangan lawan, iapun masih ha- rus melindungi Putu Tantri dari gerayangan tangan- tangan pengeroyoknya.

“Hyaaatt!” jeritan mengagetkan dari mulut Arje me- lengking, bersama pedangnya menebas dari sebelah ki- ri Ki Sukerte, yang saat itu tengah menahan serangan tombak dari Dregil.

Waaak!

Tiba-tiba tali pengikat bungkusan Ki Sukerte kena terbabat putus, sehingga bungkusan tadi terbuka ber- serakan setelah jatuh terhempas di tanah.

Ki Sukerte dan anak gadisnya terkejut ketika bung- kusan tadi terjatuh, terlebih-lebih lagi bagi Arje dan kawan-kawannya. Mereka sesaat seperti ternganga me- lihat isi bungkusan Ki Sukerte yang terserak di tanah. Tampaklah kitab-kitab daun lontar, beberapa lembar kain tua yang usang dengan beberapa corat-coret dan dua buah kipas yang mengeluarkan cahaya putih ge- merlapan, menyilaukan mata. “Sepasang Kipas Perak!” desis Arje dan Dregil, begi- tu melihat kipas gemerlapan tadi. “Pastilah! Itu barang berharga yang pernah kita jumpai!”

“Ha, ha, ha. Ternyata kau masih mempunyai barang berharga, Pak!” Dregil berkata. “Kau telah mencoba mengelabui kami. Akhirnya hukuman beratlah yang akan kau terima!”

Ki Sukerte tidak lagi memperhatikan kata-kata an- caman dari Dregil, melainkan ia segera berkata kepada anak gadisnya, “Putu Tantri, tunggu apa lagi kau? Ce- pat bereskan barang-barang kita yang tumpah ini, Nak! Dan peganglah sepasang Kipas Perak itu!”

Dengan gerakan hebat, Putu Tantri telah membung- kus kembali barang-barang yang berserakan di dekat kakinya, sementara Ki Sukerte berjaga-jaga melindu- nginya dengan sapu lidi bertangkai.

Hampir semua mata terpaku melihat kecepatan Pu- tu Tantri bergerak. Sesudah ia membungkus kembali barang-barang tadi, lalu diselempangkan ke punggung, dan kedua ujung bungkusan kain tadi ditalikan ke da- danya.

Kedua kipas perak telah tergenggam masing-masing pada tangan kiri dan kanan Putu Tantri, dan karena- nya, para pengepung tadi terkekeh-kekeh geli melihat sikap tersebut.

“Ha, ha, ha, ha. Kau akan menari, bocah ayu?!” se- ru Dregil yang suka memandang remeh kepada setiap orang yang menjadi lawannya.

Tetapi alangkah kagetnya kemudian, sebelum Dregil melanjutkan kata-katanya, mendadak saja Putu Tantri telah mengibaskan kipasnya ke depan yang mengem- bang terbuka dengan bunyi menjetar! Bersamaan itu pula menyambarlah angin dingin menampar ke depan Dregil dengan santernya.

“Huh!” desis si Dregil sambil nyungir-nyungir meng- atasi rasa kagetnya. “Jadi kau mampu pula untuk me- layani tombakku ini? Baiklah, kau boleh main-main dengan kipasmu beberapa jurus, tapi setelah itu kau akan kuringkus dalam pelukanku. Heh, heh, heh!”

Bagaimanapun juga, pendekar Ngurah Jelantik yang mengikuti peristiwa ini dari tempat persembunyi- annya, menjadi kian tertarik.

Arje sudah semakin penasaran menghadapi Ki Su- kerte yang menggunakan sapu lidi bertangkai sebagai senjata. Rasanya memang sangat aneh hal itu jika di- pikirkan oleh si Arje yang bersenjata pedang dan kini berputar secepat kitiran mencecar ke arah Ki Sukerte. Terpaksa Arje berpikir keras untuk ini. Berkali-kali su- dah, ia terpaksa menghindari sodokan-sodokan sapu lidi yang berujung runcing dan tajam dari lawannya. Bahkan ia menjadi semakin marah ketika diketahuinya bahwa Ki Sukerte pandai pula bertempur menghadapi serangan pedangnya.

Makin bertambah hebat pertempuran tersebut, apa- bila kawan-kawan Arje dan Dregil telah menerjang pula ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri.

“Maaf, Tuan-tuan,” seru Ki Sukerte sambil bertem- pur. “Sapu lidiku ini biasa untuk menyapu sampah- sampah kotoran, tapi sekarang terpaksa kugunakan untuk menghadapi Tuan-tuan sekalian. Sekali lagi ha- rap dimaafkan!”

“Keparat!” sumpah si Arje mendengar ejekan lawan- nya yang telah menyamakan dirinya dengan sampah kotoran. “Kau harus mati sekarang!”

Beberapa saat telah berlalu. Kelihatannya Ki Su- kerte dan anak gadisnya agak kerepotan menghadapi keroyokan anak buah Tangan Iblis yang telah makan gemblengan ini. Meskipun senjata sapu lidi Ki Sukerte berhasil melukai salah seorang di antara pengeroyok- nya, tetapi sama sekali tidak memperingan tekanan dari pihak lawan.

Dalam pada itu, sepasang kipas perak di tangan Pu- tu Tantri berkilatan menyambar-nyambar kesana- kemari dengan dahsyatnya dan jaranglah dari lawan- lawannya yang langsung berani membentur dengan senjata mereka. Namun agak sayang bahwa jurus- jurus yang digunakan oleh Putu Tantri terasa kurang sempurna.

Ngurah Jelantik yang masih saja sembunyi, hampir- hampir meloncat untuk membantu Ki Sukerte berdua. Tapi mendadak saja terdengarlah jeritan mencicit yang sangat kerasnya mengiringi berkelebatannya bayangan manusia yang meloncat dari semak-semak bagaikan keluar dari liang persembunyiannya.

Mereka yang sibuk bertempur, seketika terhenti se- jenak dengan kemunculan tokoh ini. Rasa kaget ber- campur pukau menyebabkan mereka tidak dapat ber- kata-kata untuk beberapa saat lamanya. Bahkan me- reka mundur beberapa langkah ke belakang, ketika to- koh manusia tadi meloncat ke tengah arena pertempu- ran.

Dengan demikian, arena tadi seakan-akan terpisah menjadi dua bagian. Yang sebelah adalah pihak Arje, Dregil, dan kawan-kawannya, sedang di sebelah lain berdirilah Ki Sukerte dan Putu Tantri.

Perawakan tokoh yang baru muncul ini agak pen- dek, namun tegap dan agak bundar pula. Wajahnya ti- dak tampak bengis, tapi dari sinar matanya yang sipit terbayanglah sifat kelicikan dan penuh siasat. Ia me- makai kain berbunga-bunga coklat dan celana hitam, tanpa baju. Sedang kulit tubuhnya kehitaman, berbu- lu-bulu panjang. Yang agak lucu adalah kumis orang tersebut. Cuma beberapa lembar, panjang-panjang dan kaku. Dihubungkan dengan gigi depannya yang besar- besar dan selalu meringis, tidaklah bisa disalahkan ji- ka orang menyamakan wajah tadi dengan wajah seekor tikus hutan.

“Cih! Cih! Cih! Kalian membuat onar di sini, kepa- rat!” ujar manusia bulat pendek tadi seraya menunjuk ke pihak Arje dan Dregil. “Kalian mencoba merampas barang-barang milik orang berdua ini, ha?!”

“Persetan! Ini urusan kami! Apa pula kepentingan- mu, sampai kau berani turut campur! Apakah kau be- lum tahu bahwa kami adalah anak buah si Tangan Ib- lis?!” teriak Dregil sangat marah.

“Tangan Iblis?” ulang manusia bulat pendek seraya berpikir-pikir sebentar. “Cih! Aku tak kenal namanya! Tidak peduli si Tangan Iblis atau si Tangan Gendruwo, aku tidak takut karenanya. Sebab bagi Bagus Wirog ti- dak ada yang perlu ditakuti, tahu?! Kalau kalian ingin tahu kepentinganku, barang-barang milik kedua orang inilah yang sejak tadi telah kuincar!”

“Kurang ajar! Jadi kita mempunyai maksud yang sama, sobat!” seru Dregil. “Kau boleh merampasnya bi- la telah mengalahkan kami terlebih dahulu!”

“Eee, jadi terangnya kalian menantangku, ya?!” ber- teriak Bagus Wirog serta mencabut dua buah cambuk pendek berwarna hitam mengkilat dari ikat pinggang- nya. Dengan anyamannya yang beruas-ruas, maka cambuk tadi miriplah dengan dua buah ekor tikus yang telah terpotong.

Mendengar kesombongan lawannya yang cuma seo- rang diri, Dregil menggeretukkan giginya. Segera ia berkata kepada kawannya, “Kakang Arje, biar aku pe- cahkan kepala si Bagus Wirog ini bersama kawan- kawan. Kau jagalah Ki Sukerte berdua, supaya jangan lepas sebagai buruan kita!”

“Bagus, Adi Dregil. Cepatlah bertindak!” seru Arje, bersamaan Dregil telah menerjang ke arah lawan diser- tai beberapa kawannya. Bagai macan-macan kelaparan, mereka melesat ke depan dan senjata-senjata di tangannya berkelebat me- nyambar kepala Bagus Wirog. Akan tetapi lawan mere- ka yang bulat pendek bergigi tikus ini tidak lekas men- jadi gentar oleh serangan membadai tadi.

Bagus Wirog ternyata bukan lawan yang dapat di- duga kekuatannya. Biasanya seorang yang diserang seperti itu pasti akan menghindar ataupun jika ia orang yang tangguh, pastilah akan bersiaga menang- kisnya dengan segala pengerahan tenaga. Namun ti- daklah begitu dengan Bagus Wirog ini. Begitu senjata- senjata lawan beramai-ramai menghujan ke arah diri- nya, ia cepat berjongkok dan memutar kedua cambuk pendeknya di atas kepala.

Plak! Plaak! Plaak! Taarrr!

Seketika itu juga Dregil dan kawan-kawannya men- jerit kaget, sebab senjata-senjata mereka seolah-olah telah menerjang bantalan karet. Itulah tangkisan Ba- gus Wirog.

Dengan begitu maka Dregil dan kawan-kawannya terpental surut beberapa langkah dengan tangan ke- semutan, sedang Bagus Wirog sendiri cuma terkekeh- kekeh kegelian, masih dalam sikap jongkok.

Untuk jurus tangkisan yang hebat tadi, diam-diam Ngurah Jelantik mengangguk-angguk kagum dari tem- pat persembunyiannya.

“Siapakah tokoh yang menamakan dirinya Bagus Wirog itu?” demikian pikir Ngurah Jelantik.

Dregil menjadi penasaran dan hampir tidak percaya, bahwa senjata-senjata mereka tidak mampu menem- bus putaran cambuk pendek dari Bagus Wirog. Maka Dregil meloncat kembali sambil menyapukan mata tombaknya ke arah Bagus Wirog lalu disusul pula de- ngan serangan kawan-kawannya berbareng. Dengan demikian maka pertempuran hebat berlangsung kem- bali di tengah hutan yang lebat dan berkabut tipis.

Dalam pada itu, Arje dan tiga orang kawan-ka- wannya masih terus menjaga kedua lawannya, yakni Ki Sukerte dan Putu Tantri. Namun sampai sejauh ini mereka tidak berbuat apa-apa, sebab perhatian me- reka sama-sama tertarik ke arah pertempuran dahsyat antara Bagus Wirog melawan Dregil dan kawan-kawan- nya.

Sinar matahari yang sangat terik dan panas itu ru- panya telah mulai menghangatkan dasar hutan dan permukaan tanahnya, sehingga uap air beramai-ramai melayang ke atas, merupakan kabut tipis yang mene- rawang bagai sutera.

Bagus Wirog sungguh menakjubkan gerakannya. Cepat dan cekatan menerobos serangan lawannya ke- sana-kemari, sementara kedua cambuk pendek hitam di tangannya berkali-kali mematuk ke arah pertahanan lawan yang kosong dan lengah. Sekali-kali ia berguli- ngan di tanah untuk kemudian meloncat ke atas de- ngan lincah, bagaikan seekor tikus menerkam lawan- nya.

Kini Dregil dan kawan-kawannya mulai mengucur- kan keringat dingin setelah berkali-kali senjata-senjata mereka gagal menyentuh tubuh Bagus Wirog. Sedang sebaliknya, lawannya yang bertubuh bulat pendek ini kelihatan semakin segar saja. Bahkan sekarang cam- buk pendeknya bertambah ganas.

Pada jurus berikutnya, mendadak saja Bagus Wirog melenting ke atas dan tiba-tiba cambuk kirinya mele- cut kepala salah seorang kawan Dregil, sedang cambuk kanannya menghajar tangan seorang lawannya yang lain.

“Waaarrgh!”

Semuanya terkejut ketika dua jeritan berbareng mengumandang memasuki udara, disusul dengan dua tubuh kawan Dregil terjungkal roboh dalam keadaan kepala retak dan yang seorang tangannya patah!

Keruan saja Dregil dan kawan-kawannya yang ma- sih tinggal menjadi ngeri juga melihat kedua kawannya roboh dalam keadaan mengerikan. Sehingga kemudian mereka terdesak oleh terjangan-terjangan cambuk Ba- gus Wirog yang datang laksana prahara.

Melihat hal itu, Arje tidak mau tinggal diam menon- ton kawan-kawannya semakin terdesak. Maka secepat kilat ia melesat dan langsung menerjang Bagus Wirog dengan tebasan-tebasan pedangnya yang dilambari oleh segenap kekuatan dan kemarahan.

Meskipun Dregil telah dibantu oleh Arje dan kawan- kawan lainnya, namun Bagus Wirog sama sekali tidak terpengaruh olehnya. Tambahan tenaga Arje tadi seo- lah-olah cuma tuangan setetes air ke dalam laut tanpa memberi pengaruh dan perubahan suasana.

Terpaksalah mereka mengakui akan kelebihan Ba- gus Wirog ini dan mati-matian mempertahankan diri. Inilah yang benar-benar di luar dugaan. Kalau semula mereka berada di pihak penyerang, kini berbalik seba- gai pihak yang diserang.

“Cih! Cih! Cih! Lekaslah minggat dari sini!” seru Wi- rog sambil meloncat kesana-kemari tanpa memberi ke- sempatan lowong kepada lawan-lawannya untuk seka- dar bernafas lega.

***

Ngurah Jelantik berdebar-debar pula menyaksikan pertempuran itu. Iapun bertanya-tanya dalam hati, apakah sanggup kiranya jika suatu saat ia menolong Ki Sukerte dan Putu Tantri serta menghadapi Bagus Wirog ini?!

Arje, Dregil, dan para pengikutnya semakin terdesak lebih hebat lagi. Dapatlah dipastikan, bahwa mereka akan berantakan untuk lima jurus kemudian.

“Hih, hi. Hi. Masih belum mau lari? Apakah kalian menunggu sampai kedua cambukku ini memecahkan batok-batok kepalamu?!” seru Bagus Wirog, sementara kedua cambuknya terus beraksi.

Dalam saat yang demikian kritisnya, sekonyong- konyong dua buah sinar menyambar tubuh Bagus Wi- rog dari balik semak belukar. Untunglah si tokoh bulat pendek ini cepat melenting ke udara dan dua buah pi- sau runcing menghunjam ke dalam batang pohon di sebelahnya.

Bagus Wirog kemudian mendarat kembali di tanah dan mulutnya komat-kamit mengumpat, “Keparat! Siapa main gila-gilaan ini?! Hayo lekas ke luar, menun- jukkan batang hidungmu, supaya dapat kupecahkan sekali!”

Iapun tertegun, ketika sebagai jawaban kata-kata- nya, muncullah seorang berperawakan gagah dari ba- lik semak-semak, melangkah ke tengah arena pertem- puran dengan tenangnya.

“Kakang Jimbaran!” seru Dregil dan Arje dalam sua- ra gembira dan penuh harapan. “Si wajah tikus ini te- lah mengganggu kami!”

“Jangan cemas! Akupun ingin mencoba kekuatan- nya!” kata Jimbaran sambil melesat dengan gerakan tiba-tiba, sedang kakinya telah melancarkan tendan- gan hebat yang sukar diikuti mata!

Buuk!

Paha Bagus Wirog tanpa ampun terhajar oleh ten- dangan Jimbaran, sehingga tubuhnya terguling dan menggelinding seperti bola. Tetapi sungguh di luar du- gaan, ketika kemudian tubuh Bagus Wirog melenting balik dan menerjang ke arah Jimbaran dalam kecepa- tan tinggi, sampai lawan-lawannya kebingungan untuk sesaat. Plaakk!

Pundak Jimbaran ganti terkena tendangan kaki Ba- gus Wirog sampai tubuhnya terguncang dan jatuh ter- duduk.

Arje, Dregil, dan kawan-kawannya tercekat melihat kejadian tadi. Berbareng mereka menerjang ke arah Bagus Wirog dan sesaat kemudian, Jimbaran setelah bangkit ikut pula mengurung si tokoh bulat pendek itu.

Ki Sukerte dan Putu Tantri masih saja berdiri terce- nung mengawasi pertempuran tadi. Kalau mereka mau lari, sebenarnya mudah saja, meskipun dijaga oleh tiga orang anak buah Dregil. Hanya saja mereka memang sengaja untuk masih tinggal di situ sambil menyaksi- kan pertempuran dan jurus-jurus yang digunakan oleh pihak Jimbaran dan pihak Bagus Wirog.

Tampaklah bahwa Jimbaran dan kawan-kawannya mengamuk. Mereka bertempur menggunakan jurus be- rantai yang menghantam lawan dengan gerakan ter- atur dan sambung-menyambung tanpa ada saat yang lowong sedikitpun. Kini angin kemenangan ganti ber- pihak pada Jimbaran dan kawan-kawannya. Keme- nangan yang semula hampir diperoleh si Bagus Wirog, menjadi buyar dengan datangnya Jimbaran di pihak lawan.

Agaknya masih beruntunglah buat Bagus Wirog, karena dimilikinya kegesitan yang luar biasa. Sehingga kendati dirinya telah terdesak, masih saja ia mampu meloloskan diri dari sentuhan senjata-senjata lawan- nya.

“Celaka! Aku makin terdesak!” desis Bagus Wirog bersungut-sungut gelisah. “Ketiga lawanku yang uta- ma ini, memiliki tenaga gabungan yang luar biasa. Sangat sulit untuk memecahkan tenaga mereka seo- rang diri. Untuk laripun rasanya sangat sukar! Mereka telah mengepungku dari segenap arah, tak ubahnya satu lingkaran mata rantai baja! Hmm, biar kucoba untuk beberapa saat lagi!”

Dari tempat persembunyiannya, Ngurah Jelantik se- perti terpukau menyaksikan pertempuran tadi. Mata- nya terus saja melotot, sebab ia memang merasa sayang untuk berkedip sebentar saja dan melewatkan adegan-adegan di depannya. Jurus-jurus yang diguna- kan oleh Bagus Wirog sungguh menarik hatinya, serta diam-diam ia mencatat di dalam otaknya yang cerdas.

Bagus Wirog yang semula berusaha mengatasi te- kanan dari pihak lawannya, ternyata tidak berhasil dengan baik. Malahan hampir-hampir saja pedang Jimbaran sempat membacok kepalanya, jika ia tidak lekas-lekas membuang diri ke samping serta berguli- ngan di tanah.

Tampaklah Bagus Wirog terengah-engah dengan mulut menyeringai, hingga giginya yang besar-besar menonjol keluar tak ubahnya sikap seekor tikus yang ketakutan karena kalah berkelahi dan menanti ajal- nya.

Melihat itu, Jimbaran dan kawan-kawannya telah bersiap melancarkan serangan terakhir yang pasti mematikan. Dengan langkah perlahan mereka mende- kati Bagus Wirog, sementara senjata-senjata di ta- ngannya gemerlapan oleh sinar matahari.

Baik Ngurah Jelantik maupun Ki Sukerte dan Putu Tantri sama tergetar hatinya melihat adegan yang te- gang itu. Meskipun Bagus Wirog dan pihak Jimbaran semula sama-sama bermaksud jahat, merampas ba- rang-barang Ki Sukerte, namun kini keadaan Bagus Wirog benar-benar memilukan dan patut dikasihani.

Mendadak saja, si tokoh bulat pendek itu mendo- ngakkan kepalanya ke atas dan mengeluarkan jeritan panjang mencicit yang seketika memenuhi udara di tengah hutan dengan menggetarkan dada siapa saja. Jeritan tadi lebih mirip jeritan seekor tikus daripada jeritan seorang manusia. Karenanya, tidak mengheran- kan bila Ki Sukerte berdua, Ngurah Jelantik, maupun Jimbaran beserta anak buahnya hampir-hampir tidak bisa mempercayai bahwa jeritan tadi keluar dari mulut Bagus Wirog, si manusia bulat pendek.

Berbareng selesainya kumandang dan gema jeritan mencicit dari Bagus Wirog tadi, terdengarlah suara gemeresak daun semak belukar dan rerumputan di se- belah timur mereka, seolah-olah bunyi injakkan kaki berpuluh-puluh banyaknya.

Suara berderak dan gemerisik tadi makin dekat dan sesaat kemudian terlihatlah satu pemandangan yang membuat Jimbaran serta semua orang yang berada di tempat itu mengeluarkan jeritan tertahan. Sebab dari sela dedaunan dan rumput-rumput muncullah belasan ekor tikus hutan yang besar-besar, berbulu hitam ke- coklatan dan bergigi tajam. Dari gerakannya yang gesit dan mulutnya yang menyeringai mengeluarkan liur, dapatlah diketahui bahwa puluhan tikus tadi sangat liar.

Namun mengherankan pula, ketika binatang-bina- tang pengerat ini berhenti dan menggerombol di sam- ping dan di belakang Bagus Wirog sambil mencicit- cicit, menciumi kakinya seakan-akan memeriksa kaki Bagus Wirog mengalami cedera atau tidak.

Siapakah tidak mengkirik dan berdiri bulu teng- kuknya melihat pemandangan yang ganjil dan me- nyeramkan ini? Bagus Wirog yang berdiri tegap di seki- tar puluhan tikus-tikus hutan ini tak ubahnya raja da- ri para tikus liar tersebut. Apalagi wajahnya yang agak mirip-mirip tikus itu menyebabkan keganjilan tersebut benar-benar mencekam perasaan orang-orang yang be- rada di sekeliling tempat tersebut. Terlebih-lebih bagi Jimbaran dan anak buahnya yang semula mengepung rapat-rapat terhadap Bagus Wirog, kini dengan sendirinya mundur-mundur ke be- lakang dengan hati kecut.

Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tiba- tiba saja Bagus Wirog telah mencicit keras sambil me- nunjukkan jarinya ke arah Jimbaran dan anak buah- nya. Maka seketika itu juga, puluhan tikus hutan yang bergerombol di sekitar Bagus Wirog menyerbu berlon- catan, meluruk bagai air bah, ke arah mereka dengan suara bergemuruh dan mencicit-cicit.

Seorang anak buah Jimbaran yang berdiri paling depan mencoba untuk menebaskan pedangnya, tapi binatang-binatang pengerat yang liar ini lebih cepat menyerangnya.

“Awas, Ktut!” teriak teman-temannya.

Tapi terlambat! Dalam sekejap mata, pada tubuh orang itu telah bergayutan puluhan ekor tikus yang mencercah badannya dengan gigi-gigi tajam dan beker- ja cepat.

“Tikus-tikus keparat! Pergi! Pergiii!” teriak histeris terdengar dari mulut si Ktut yang sejurus kemudian te- lah terguling roboh di tanah.

Sambil bergulingan tadi, si Ktut berusaha mengi- bas-ibaskan tangan dan kakinya yang kini telah meng- hitam karena hampir-hampir tertutup oleh tubuh- tubuh tikus hutan yang mengeroyoknya.

Putu Tantri yang melihat kejadian ini, mendekap erat-erat ayahnya, Ki Sukerte. Hampir saja gadis ini pingsan karena tak tahan melihat adegan yang ngeri dan menyeramkan tadi.

“Aaakh! Tolong! Tolooongng! Aduuh... sakit., sakiiit!” Jerit kesakitan dan parau terdengar dari mulut si Ktut yang masih berusaha berkutat melepaskan tikus-tikus yang kini telah mulai menggerogoti tubuhnya, sehingga darahpun bercucuran membasahi tubuh dan tanah di sekitarnya.

Ternyata bau darah segar dan amis itu sangat me- narik selera tikus-tikus lain yang belum ikut menge- royok tubuh si Ktut, sehingga dengan cepat mereka be- ramai-ramai menyerbu ke tubuh manusia yang telah tidak berdaya dan kini berkelojotan di tanah setengah mati.

Boleh dikatakan semua mata terpukau menghadapi adegan yang paling mengerikan yang belum pernah terjadi selama hidup mereka. Apalagi kini mereka me- nyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Sedang Ngurah Jelantik yang sedari tadi masih saja terpukau di tempat persembunyiannya, seperti tidak mau percaya untuk meyakini bagaimana puluhan ti- kus liar bisa diperintah oleh seorang manusia, dan be- rani menyerang manusia pula! Tapi pertanyaan ini memang tak pernah bisa terjawab manakala perhatian tertumpah pada adegan yang mengerikan ini. Si kor- ban sudah tak mampu berbuat apa-apa dan sesaat kemudian ia masih berusaha merangkak, tapi toh ak- hirnya jatuh kembali di tanah dan menggelepar-gelepar sangat mengharukan.

“Waaarrrggghhh!”

Terdengarlah jerit berkepanjangan dan itulah meru- pakan jerit terakhir dari mulut si Ktut. Tubuhnya ter- hampar di tanah tanpa berkutik, sementara puluhan tikus liar itu dengan lahapnya menggerogoti kulit da- gingnya. Gigi-gigi setajam pahat mereka, bekerja de- ngan cepatnya. Memotong, menggerek dan mencercah tubuh sang korban untuk kemudian dilahap dan pin- dah ke dalam perut-perut mereka, yang tampaknya se- lalu lapar serta keranjingan daging segar.

Jimbaran dan anak buahnya seketika terbang se- mangatnya melihat sepak terjang tikus-tikus lain yang telah membinasakan salah satu kawannya dalam seke- jap saja. Mereka menjadi sibuk menjaga diri supaya ti- dak ikut direncah oleh tikus-tikus tersebut. Beberapa orang, termasuk Jimbaran, Dregil, dan Arje, dengan lincahnya menggebrak tikus-tikus yang mencoba me- rangsak tubuh mereka. Namun terpaksa mereka terhe- ran-heran dan kewalahan, ketika tikus-tikus yang di- gebrak tadi, begitu terjatuh, lalu serentak menyerbu kembali ke arah mereka dengan ganasnya.

Sementara itu, Putu Tantri menjerit dan terisak-isak ketika pandangan matanya menatap ke arah tubuh si Ktut yang malang. Ternyata tubuh si korban dalam waktu singkat telah merupakan kerangka tulang de- ngan sedikit sisa-sisa daging merah yang melekat di sana-sini. Sedang di sekitarnya, puluhan tikus yang te- lah selesai berpesta-pora tadi kelihatan duduk-duduk sambil mulutnya masih berkomat-kamit, mengunyah sisa-sisa daging dan darah segar yang masih berlepo- tan di sekitar mulut.

Sebentar kemudian mereka ramai lagi mencicit-cicit dan menatapkan pandangan matanya ke arah Jimba- ran serta anak buahnya. Mata hewan-hewan kanibal tadi memancarkan perasaan yang selalu haus akan daging dan darah dari manusia-manusia yang berdiri di hadapannya. Hal ini dapat pula diketahui oleh Jim- baran yang senantiasa waspada. Setelah dia melihat kematian si Ktut dan betapa nekadnya binatang- binatang liar tadi dalam menghadapi lawannya, maka cepat-cepat ia memberi tahu kepada anak buahnya.

“Awas, tunggu aba-abaku! Kita harus segera me- nyingkir dari binatang-binatang terkutuk ini!”

Bagus Wirog tertawa terkekeh-kekeh melihat ting- kah ketakutan dan kengerian dari Jimbaran dan anak buahnya. Seraya duduk di atas sebongkah batu besar ia mengejek dan berseru ke arah mereka, “Ha, hi, hi, hi! Mengapa tidak lekas-lekas angkat kaki dari tempat ini?! Apakah kalian ingin seperti temanmu tadi?! Ting- gal tulang dan mampus dalam sekejap mata?!”

Selesai dengan kata-katanya, Bagus Wirog meng- acungkan tangannya ke arah rombongan Jimbaran disertai jeritan mencicit-cicit yang ke luar dari mulut- nya. Serentak para tikus liar tadi menyerbu, mengge- muruh ke arah manusia-manusia di depannya. Dari mulutnya terdengar bunyi mencericit riuh, seolah-olah saling mengatakan, mana manusia-manusia yang bak- al direncak sebagai korbannya.

Akan tetapi Jimbaran telah mengambil satu kepu- tusan untuk menyingkir dari tempat itu. Bagaimana- pun juga, sebagai manusia, Jimbaran dan kawan- kawannya tidak sudi mati konyol di mulut binatang- binatang pengerat yang lahap daging itu. Kalau toh ia mati, lebih baik mati di tangan manusia-manusia yang menjadi lawannya. Sedang kini yang dihadapi oleh me- reka adalah para tikus liar. Dan alangkah rendah dan hinanya menurut mereka, jika seandainya sampai mati dikeroyok oleh binatang tersebut.

“Mundur!” teriak Jimbaran kepada kawan-kawan- nya, dan serentak mereka berloncatan ke belakang un- tuk kemudian kabur ke arah utara.

Kepergian gerombolan Jimbaran tadi diiringi oleh gema ketawa Bagus Wirog yang terkekeh-kekeh meng- umbar ketawa puasnya. Sementara itu, para tikus ikut pula mencericit ramai sambil mengangguk-anggukan kepala. Malahan satu dua ekor di antaranya, berlonca- tan menjungkit-jungkit, bagai luapan rasa gembiranya. Tempat tersebut telah penuh oleh tikus-tikus dan sekarang hanya Ki Sukerte serta Putu Tantri yang ting- gal di situ, di samping Bagus Wirog sendiri. Beberapa ekor tikus masih tampak menggerogoti kerangka si Ktut hingga menimbulkan pemandangan yang me- ngerikan, tapi juga mengharukan.

“Cih! Cih! Chih! Para pengecut telah kabur!” kata Bagus Wirog menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa tidak sedari tadi, sebelum kawannya yang seorang ini mampus?!”

Ki Sukerte dan Putu Tantri sesaat masih terpaku di tempatnya ketika Jimbaran dan kawan-kawannya me- ninggalkan tempat tersebut. Mereka tersadar dan kaget oleh bentakan Bagus Wirog yang tiba-tiba mengacung- kan tangan.

“Heeii, kalian berdua! Hi, hi, hi. Sekarang kamulah yang akan mendapat giliran berikutnya untuk diga- nyang oleh tikus-tikus ini! Kecuali jika Anda menye- rahkan semua barang-barangmu, termasuk sepasang kipas perak di tangan bocah manis itu!”

Ki Sukerte memandang sesaat ke samping, kepada Putu Tantri, lalu berkata kepada Bagus Wirog keras- keras, “Kau manusia biadab! Mana bisa barang-barang pusaka ini mesti kami serahkan kepadamu dengan enaknya!”

“Jadi kalian ingin kekerasan untuk mempertahan- kan barang-barang butut itu?!”

“Cobalah untuk mengambil barang-barang ini dari tanganku, kalau mau! Mereka akan kupertahankan mati-matian! Bukankah begitu, Putu Tantri?!”

Gadis yang memegang sepasang kipas perak itu mengangguk mantap seraya memasang jurus memper- tahankan diri, sebab ia telah yakin bahwa sebentar kemudian bakal terjadi pertarungan ramai.

“Kalau begitu, matilah kalian!” seru Bagus Wirog se- rentak mengacungkan tangannya, disusul kemudian puluhan tikus tadi menyerbu dengan liarnya ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri.

Kedua ayah dan anak ini cepat menggunakan senja- tanya, menghadapi para tikus yang telah siap meren- cah tubuh tanpa ampun. Kedua kipas perak di tangan Putu Tantri berkali-kali berkelebatan menyambar para tikus yang berani mendekat ke arahnya, namun patut dikagumi bahwa tikus-tikus tadi mampu mengelak dengan gesitnya. Dengan demikian untuk sementara Putu Tantri berhasil menanggulangi serangan tikus- tikus tersebut, akan tetapi ia tak berhasil membunuh seekorpun. Jadi tampaklah bahwa masing-masing sa- ling serang-menyerang dan mengelak tanpa korban yang jatuh.

Entah apa sebabnya para tikus itu tidak berani le- bih seru menyerang Putu Tantri. Apakah disebabkan gadis ini bersenjata kipas perak yang selalu menyam- bar-nyambar melindungi diri, ataukah memang me- reka sengaja mempermainkan Putu Tantri. Sebab bisa juga dimaklumi, setelah gadis itu kelelahan, tentulah suatu saat ia akan terlengah dan di saat itulah para ti- kus tadi merencah dan melahap tubuhnya!

Berbeda dengan Ki Sukerte yang bersenjata sapu bertongkat. Seganas tikus-tikus itu menyerang, sece- pat itu pula senjata aneh tadi berputar disertai samba- ran-sambaran yang mematikan. Seekor di antara ti- kus-tikus tadi segera terhajar oleh ujung lidi-lidi yang tajam dan seketika terpelanting jatuh di antara kawan- kawannya dengan keadaan tubuh luka-luka mencu- curkan darah.

Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang aneh, tapi ju- ga mengerikan. Dan ternyata inilah nanti yang mem- pengaruhi kelemahan pertahanan Ki Sukerte dan Putu Tantri. Si tikus yang terluka tadi, begitu tubuhnya ter- jatuh di antara kawan-kawannya, segera dikeroyok dan direncah oleh para tikus lainnya sampai tubuhnya hancur dan lumat dalam sekejap mata, untuk kemu- dian dilahap oleh mereka! Inilah yang aneh! Apakah karena mereka marah melihat seorang di antara ka- wannya terluka dan kemudian menghukum serta membunuhnya sendiri? Ataukah barangkali mereka masih kelaparan, sehingga begitu melihat kawannya terluka dan bakal mati dengan cuma-cuma, segera di- ganyangnya sendiri?!

Keruan saja Putu Tantri menjadi ngeri dan perta- hanan dirinya menjadi kendor. Hal ini mempengaruhi pula Ki Sukerte. Melihat anaknya kehilangan seman- gat, iapun menjadi putus asa. Maka terdesaklah me- reka oleh puluhan tikus-tikus tadi dan bisa dipastikan bahwa keduanya segera akan mengalami kematian tragis, seandainya sebuah bayangan manusia tidak se- gera melesat ke arah mereka.

“Kisanak! Janganlah takut! Aku membela kalian!” seru bayangan manusia tadi yang tidak lain adalah pendekar Ngurah Jelantik. “Teruskan pertahankan de- ngan senjata-senjata Anda!”

“Baik! Terima kasih, sahabat,” ujar Ki Sukerte pula. “Nah, Putu Tantri, bangkitkan lagi keberanianmu!”

Maka sekejap kemudian ketiga orang itu memain- kan senjata-senjatanya dengan hebat, dilandasi oleh ilmu permainannya yang matang sehingga pertempu- ran tadi menjadi kian seru. Ketiga orang ini dapat me- robohkan beberapa ekor tikus setelah dengan mati- matian bertempur sengit melawan hewan-hewan pe- ngerat tadi.

Itupun sebenarnya telah merupakan kemajuan yang dapat mereka capai, sebab sesungguhnya tikus-tikus tersebut mampu bertempur seperti naluri manusia, seperti menyerang, mengelak gerak tipuan, dan seba- gainya. Rasanya, mereka telah memiliki kecakapan ta- di dengan latihan dan melewati percobaan-percobaan yang terinci.

Maka tak heranlah, meskipun beberapa ekor dari tikus-tikus tadi telah binasa, yang lainnyapun masih gigih dan sengit melancarkan serangan-serangannya. Agaknya saja pertempuran ini akan menelan waktu yang lebih lama.

Bagus Wirog yang sejak semula masih duduk di atas batu besar itu diam-diam telah menggeram ma- rah, sesudah sekian lama mengikuti pertempuran ter- sebut. Ia mulai menjadi risau begitu dilihatnya bebe- rapa ekor tikus pengikutnya telah binasa oleh senjata- senjata ketiga lawannya.

“Keparat!” desis Bagus Wirog. “Ada yang membela kedua orang calon korbanku. Tunggulah sepak ter- jangku yang segera akan datang melandanya! Haaatt!”

Tubuh Bagus Wirog melesat, berkelebat dengan ge- sitnya, segesit loncatan tikus-tikus liar yang berada di situ. Ia langsung menerjang ke arah Ngurah Jelantik, sementara kedua cambuk hitam pendek di tangannya dengan deras melayang ke pundak lawan.

“Awas, Tuan!” seru Putu Tantri dari samping, ketika ia melihat serangan kilat Bagus Wirog yang datang de- ngan dahsyatnya.

Pendekar Ngurah Jelantik cepat memutar tubuh se- raya mengibaskan pedangnya ke samping, menangkis terjangan cambuk Bagus Wirog.

Blaarr!

Sebuah letupan membisingkan terdengar sewaktu pedang Ngurah Jelantik berbenturan dengan kedua cambuk pendek Bagus Wirog.

“Uhh!” keluh si Ngurah Jelantik sambil terpental ke belakang akibat benturan tadi. Hampir saja ia jatuh tunggang-langgang ke arah puluhan tikus-tikus di si- tu, jika saja ia tidak cepat-cepat berjumpalitan ke atas, memunahkan pengaruh dari benturan lawannya itu.

“Bagus! Bagus! Tapi seranganku tidak sampai se- kian saja, sobat! Inilah dia sambungannya!” seru Ba- gus Wirog dengan kerasnya. Ngurah Jelantik yang telah melesat turun segera disambut oleh serangkaian serangan dari Bagus Wirog. Akan tetapi, sejak ia hampir roboh oleh benturan sen- jata lawannya yang bulat pendek itu, segeralah ia me- nyiapkan diri. Sebab sejak itulah ia mengetahui uku- ran kekuatan dan ilmu Bagus Wirog yang sesungguh- nya sangat hebat dan kemungkinan berada di atas tingkatan dirinya. Karenanya, pertempuran menjadi lebih hebat.

Dengan turun tangannya Bagus Wirog ke arena per- tempuran, sesungguhnya membuat keadaan Ki Sukerte dan Putu Tantri menjadi terancam kembali oleh sera- ngan-serangan tikus liar tadi, sebab untuk menanggu- langi Bagus Wirog, terpaksalah Ngurah Jelantik men- curahkan dan memusatkan perhatiannya sepenuhnya kepada lawannya. Ini berarti ia tidak lagi sempat mem- berikan bantuannya kepada Ki Sukerte dan Putu Tan- tri dalam menghadapi tikus-tikus tersebut.

Pada sesungguhnya, meskipun ia sibuk bertempur melawan Bagus Wirog, pendekar Ngurah Jelantik ber- kali-kali melempar pandang ke arah Ki Sukerte dan anak gadisnya. Ia merasa tidak sampai hati membiar- kan kedua orang itu bertempur sendirian melawan he- wan-hewan pengerat yang liar dan senantiasa haus korban. Justru perhatian Ngurah Jelantik berkali-kali menjadi terpecah karenanya. Memanglah kalau dipikir- pikir, keadaan sama-sama serba sulit, baik bagi Ngu- rah Jelantik maupun bagi Ki Sukerte dan Putu Tantri sendiri.

“Rasakanlah olehmu, sobat! Sebentar lagi mereka berdua akan binasa dilahap oleh tikus-tikus ini, se- dang engkau sendiri juga akan mampus di tanganku!” seru Bagus Wirog. “Salahmu sendiri mengapa engkau sampai campur tangan!”

“Hah, jangan main gertak terhadapku, iblis! Aku masih mampu menghadapi seranganmu! Sekarang, apa lagi yang akan engkau keluarkan?!”

Ucapan Ngurah Jelantik tadi betul-betul meme- rahkan telinga Bagus Wirog. Ia tidak lekas menjawab- nya, kecuali sesaat kemudian mulutnya mengeluarkan bunyi mencicit keras.

Keruan saja Ngurah Jelantik menjadi kaget dan hampir tidak percaya bahwa suara jeritan tikus tadi bisa keluar dari mulut Bagus Wirog.

Detik berikutnya, puluhan ekor tikus hutan yang liar dan masih segar bermunculan dari balik semak be- lukar seakan-akan baru saja keluar dari liang rumah- nya. Mereka langsung menyerbu Ngurah Jelantik, se- lagi ia sibuk dan gigih bertempur melawan Bagus Wi- rog.

“Ha, ha, ha. Hiruplah udara segar sebanyak-ba- nyaknya dan tataplah wajahku baik-baik sebelum tu- buhmu hancur dicacah mereka. Atau barangkali kau lebih suka mati karena senjataku ini, haa?!” seru Ba- gus Wirog dengan mencecar terus-menerus ke arah Ngurah Jelantik.

Mendapat serangan ganda dari tikus-tikus dan Ba- gus Wirog sendiri, Ngurah Jelantik menjadi kian kere- potan. Keringatnya bercucuran membasahi setiap ku- litnya, dan hampir saja pedangnya terlepas karena te- lapak tangannyapun telah licin. Tambahan lagi, ha- tinya pun kian risau, ketika melihat ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri. Mereka telah pula nampak akan kele- tihannya serta keputus-asaan yang membayang dari wajahnya. Jika seandainya Ngurah Jelantik tadi sendi- rian saja, agaknya tak akan malulah jika ia mengambil langkah seribu, melarikan diri dari Bagus Wirog serta para tikus liar tadi. Tapi bukankah ia masih harus mengingat kedua orang lain yang patut ditolong dan diselamatkan dari kebinasaan? Dalam keadaan yang menegangkan, di mana kebi- nasaan telah mengancam kepada Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, serta Putu Tantri, sekonyong-konyong terde- ngarlah bunyi dengungan yang sambung-menyambung membahana ke segenap sudut-sudut daun pepohonan dan pelosok-pelosok hutan di sekitar arena pertempu- ran tadi.

Hal ini mengagetkan siapa saja, baik manusia-ma- nusia maupun puluhan tikus-tikus yang berada di si- tu, sehingga tanpa disadari pertempuran menjadi ken- dor beberapa saat.

Mulut-mulut para tikus pengikut Bagus Wirog pada saling mencericit, seperti membayangkan satu kegeli- sahan yang mulai merayapi hati segenap makhluk yang berada di tempat itu, seperti burung-burung un- ggas yang beterbangan menyingkir ke udara, disusul beberapa ekor bajing berloncatan dengan paniknya.

Dengungan tadi makin jelas terdengar, turun naik mengalun dari arah selatan bagai sebuah alunan mu- sik yang mampu menggetar dan merobohkan segenap isi hutan.

Nguuggng....

Digerakkan oleh naluri yang sama, mereka serentak mengawaskan mata ke arah selatan, di mana daun- daun seperti tergetar dan sesaat kemudian menampak- lah segumpal kabut putih yang mengalir ke utara me- nembus dedaunan dengan diiringi bunyi berisik dan mendengung.

“Ohh! Apakah itu yang datang?! Hantu?!” pikir pen- dekar Ngurah Jelantik dengan perasaan panik. “Celaka ini. Bertambah lagi bahaya yang mengancam ”

Tak berbeda dengan Ki Sukerte dan Putu Tantri yang berdiri dengan cemas. Keduanya tidak mengira bahwa perjalanannya telah menemui rintangan-rinta- ngan yang sangat berbahaya. Pencegatan oleh orang- orangnya Jimbaran, kemudian Bagus Wirog, dan kini bahaya apalagi yang tersembunyi di belakang suara berdengung itu.

Setiap dada makin berdebar-debar manakala gum- palan awan putih tadi semakin mendekat ke arah me- reka, tanpa ada yang bisa mengetahui apakah sebe- narnya itu.

Mendadak saja gumpalan awan putih tadi meluruk ke bawah, menyebar ke arah bekas arena pertempuran laksana sebuah gumpalan awan mendung yang pecah dan menyebarkan air hujan.

“Tawon putih!” teriak Bagus Wirog dalam nada sua- ra parau dan berbau panik ketakutan, ketika ia dapat mengenal bahwa gumpalan kabut awan yang meluruk dan memencar ke arahnya itu, adalah serombongan lebah-lebah berbisa yang ratusan jumlahnya! Dan ce- lakanya, kawanan lebah putih berbisa tadi langsung menyerangnya.

Keruan saja Bagus Wirog secepat kilat memutar ke- dua cambuk pendeknya untuk melindungi tubuhnya dari serangan kawanan lebah berbisa tadi. Sedang pa- ra tikus pengikut Bagus Wirog, menjadi kalang-kabut setelah mereka diserang oleh beratus-ratus lebah ber- bisa dari udara.

Berbeda sewaktu mereka menghadapi manusia yang bertubuh lebih besar dan mudah menyerangnya, akan tetapi mereka sekarang berhadapan dengan la- wan-lawan yang jauh lebih kecil dan bersenjatakan sengat-sengat berbisa.

Beberapa ekor tikus segera terkena sengatan lebah putih itu dan sejurus kemudian berkaparan di tanah dengan tubuh kaku tanpa nyawa.

Sungguh hebat serangan lebah putih yang memati- kan tersebut, sehingga patutlah bahwa Bagus Wirog bertempur mati-matian menjaga dirinya. Tapi terjadi pula satu keanehan, bahwa lebah-lebah tadi cuma menyerang Bagus Wirog dan tikus-tikusnya. Sedang Ki Sukerte, Putu Tantri, serta Ngurah Jelantik, cuma dilewatinya, tanpa diusik sedikitpun. Itulah pula sebabnya mereka bertiga jadi terbengong-bengong ke- heranan, menyaksikan pertempuran aneh yang selama hidupnya baru sekali ini dilihatnya.

***

5

TIKUS-TIKUS YANG MATI KAKU karena sengatan lebah-lebah beracun makin bertambah jumlahnya. Bangkai-bangkainya berserakan terkapar di sana-sini, sementara yang masih hidup dengan sibuknya berlon- catan kesana-kemari menghindari serangan lawan yang tidak kurang ganasnya. Hal ini tidak sedikit me- nimbulkan kekacauan pada gerombolan tikus-tikus tadi. Kadang-kadang mereka saling bertubrukan ketika berloncatan menghindari serangan lebah putih.

Demikian pula Bagus Wirog makin kerepotan dan terdesak meskipun ia dengan hebatnya memutar ke- dua cambuk pendek secepat kitiran berpusing. Me- mang ia berhasil pula meruntuhkan beberapa ekor le- bah, tapi itupun setelah sekian lama bertempur mati- matian.

“Serangga keparat!” teriak Bagus Wirog mengumpat- umpat dengan kemarahan yang memuncak, seraya mengeluarkan jurus-jurus puncak dari permainan cambuk hitamnya. Benar-benar seperti orang kerasu- kan setan sepak terjang Bagus Wirog sekali ini, sampai tak memperdulikan keadaan sekeliling, kecuali pusat perhatiannya cuma tertuju ke arah lebah-lebah putih yang beterbangan mengeroyok dan berkeliling di seki- tarnya.

Namun tak lama kemudian, ketika kakinya kena tabrak oleh seekor tikus, Bagus Wirog seperti teringat kembali kepada nasib para tikus anak buahnya itu. Dan seketika bukan main kagetnya, begitu ia tepat me- lempar pandangan matanya ke arah sekeliling. Tam- paklah dengan jelas, tidak kurang dari dua puluh ekor tikus pengikutnya, telah mati kaku tergeletak di tanah. Kini sadarlah bahwa keadaan tidak begitu mengun- tungkan bagi dirinya serta segenap tikus-tikus tadi. Kalau toh ia mampu bertahan dalam menghadapi se- rangan lebah-lebah itu, berarti akan lebih banyak kor-

ban yang jatuh di pihak tikus-tikus anak buahnya.

Bagus Wirog segera mengeluarkan jeritan mencicit yang panjang disusul dengan tubuhnya meloncat ke arah semak belukar di sebelah timur. Demikian pula dengan serentak, para tikus anak buahnya menarik di- ri dari tempat pertempuran untuk kabur ke arah ti- mur, mengikuti Bagus Wirog.

Sebentar saja Bagus Wirog dan tikus-tikusnya telah lenyap dari pandangan mata. Yang tertinggal kemudian hanyalah bangkai-bangkai tikus yang telah mati kaku. Sedang lebah-lebah putih itu masih beterbangan berke- liling di atas bekas arena pertempuran, bagai gumpalan awan putih yang berdengungan membisingkan.

Karenanya, Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, dan Putu Tantri merasa cemas. Sebab, setelah kaburnya Bagus Wirog dan tikus-tikusnya, tidaklah mustahil bahwa le- bah-lebah berbisa itu akan ganti menyerang diri me- reka!

Namun, mendadak saja berkelebatlah satu baya- ngan bertubuh ramping dari arah selatan, menuju ke arah mereka sambil bersenandung merdu.

“Lebah putih lebah sayang, terbang rendah me- layang-layang. Orang baik patut disayang, orang jahat pasti diserang. Ha, ha, ha. Maaf, sahabat-sahabat sayang. Andika semua tak perlu kuatir dengan lebah putihku ini!” ujar seorang gadis cantik yang masih re- maja sekali sambil berloncatan mendekati Ngurah Je- lantik bertiga.

Gerakan yang ringan hampir tanpa suara membuat gadis remaja ini seakan-akan melayang dan Ngurah Jelantik bertiga menjadi kagum karenanya.

“Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan No- na!” ujar Ngurah Jelantik seraya mengangguk kepada gadis remaja tadi. “Dan perkenalkanlah, saya bernama Ngurah Jelantik, sedang mereka ini adalah Ki Sukerte dan Putu Tantri.”

“Aah, sama-sama, Tuan. Sesama makhluk, kita wa- jib tolong-menolong,” berkata si gadis remaja sambil melempar senyum manis yang menggetarkan hati Ngu- rah Jelantik.

“Nama saya adalah Tanjung,” demikian si gadis re- maja memperkenalkan diri dan mendadak saja sesosok bayangan orang tua melesat ke arah mereka berbareng Tanjung berseru. “Oh, itu kakek saya, Ki Tutur telah datang. Sekarang aku harus pergi meninggalkan An- dika bertiga.”

“Maaf, Tuan-tuan. Cucuku ini sangat nakal. Ia ter- lalu jauh menggembalakan lebah putihnya,” seru si kakek Tutur seraya menyambar pinggang si Tanjung dan kabur ke arah selatan, bersama lebah-lebah putih yang terbang mengelompok bagai gumpalan awan pu- tih yang berdengungan di sepanjang jalan.

Pendekar Ngurah Jelantik, Ki Sukerte dan Putu Tantri menghela nafas dengan lenyapnya Ki Tutur, Tanjung, dan lebah-lebah putihnya, di balik pepoho- nan yang lebat. Mereka merasa sayang bahwa kejadian tadi telah berlalu dengan cepatnya tanpa suatu perke- nalan yang lebih mendalam. Akhirnya merekapun te- lah bersiap-siap melanjutkan perjalanannya masing- masing.

“Kami bermaksud mengunjungi sanak keluarga yang tinggal di daerah Gilimanuk,” ujar Ki Sukerte ke- tika berpamitan dengan pendekar Ngurah Jelantik. “Semoga kita dapat berjumpa lagi dalam keadaan sehat dan selamat.”

“Saya pun harus secepatnya melanjutkan perjala- nan ke Singaraja,” Ngurah Jelantik berkata sambil me- nyiapkan tali-temali kudanya. “Nah, aku permisi seka- rang, Ki Sukerte. Selamat jalan dan selamat tinggal.”

“Selamat jalan, Tuan,” ujar Ki Sukerte dan Putu Tantri hampir berbareng. “Berhati-hatilah. Semoga De- wata Agung melindungi Anda!”

Pendekar Ngurah Jelantik memacu kudanya ke arah timur, menyusuri jalan rintisan dan lenyap di balik pe- pohonan. Sedang Ki Sukerte bersama Putu Tantripun telah melangkahkan kakinya, melanjutkan perjalanan- nya menuju ke daerah barat, di mana sang matahari merayap ke arah sana pula dengan lambatnya.

Beberapa ekor burung layang-layang berbondongan kembali ke sarangnya dengan tergesa, seolah-olah ta- kut kemalaman di tengah perjalanan.

***

Beberapa orang yang tengah duduk-duduk berkum- pul di dekat pohon-pohon ilalang di tengah hutan, mendadak saja dibikin terkejut oleh munculnya bebe- rapa orang dengan langkah tergesa-gesa dan terengah- engah. Wajah-wajah mereka berkilat basah oleh keri- ngat dan kotor dengan debu yang menutupi kulit-kulit tubuhnya. Begitu pula pakaian dari beberapa orang di antara mereka telah sobek-sobek di sana-sini disertai luka-luka kecil berdarah.

Tampak sekali bahwa mereka telah kelelahan serta suasana kecemasan masih belum lepas dari wajah- wajahnya. Malahan di antara mereka segera merebah- kan diri di atas rerumputan dengan nafas yang ber- sesakan.

“Heei, mengapa kalian ini?!” berseru seorang berwa- jah garang yang duduk di situ. “Apa yang telah terjadi, Jimbaran?! Katakan lekas!”

“Ses... sesuatu yang mengerikan...,” sahut Jimbaran tergagap-gagap. “Seorang kawan kami... yakni si Ktut, telah tewas...!”

“Haah, tewas katamu?!” seru Tangan Iblis sambil mengguncang-guncang bahu Jimbaran. “Sebutkan, siapa yang telah berbuat sekurang ajar itu, hee?!”

“Waktu itu kami telah mencegat dua orang di dae- rah selatan, lalu tiba-tiba saja muncul seorang manu- sia bulat pendek yang membawa tikus-tikus berjumlah puluhan. Ia menolong kedua orang tadi dan bertempur dengan kami. Ternyata mereka sangat kuat, hingga si Ktut menjadi korban keroyokan tikus-tikus liar dan di- lahapnya sampai habis! Akhirnya, kami terpaksa meng- undurkan diri,” demikian tutur ceritera Jimbaran.

Si Tangan Iblis terperanjat sesaat mendengar nasib seorang anak buahnya yang mati secara konyol dima- kan oleh tikus-tikus liar tadi. Akan tetapi, segera ia berkata dengan nada marah, “Naah, sudah berkali-kali aku katakan, supaya jangan mengganggu siapapun di tempat ini! Kau tahu, itu sangat berbahaya bagi tempat pondokan kita yang tersembunyi di sini. Apakah otak- mu tidak berpikir, bahwa tindakanmu tadi bisa mem- bawa orang-orang lain ke tempat ini?!”

Jimbaran tertunduk ketakutan menghadapi kema- rahan Tangan Iblis, maka katanya kemudian, “Maaf, Kakang, kami terlengah waktu itu ”

“Heei, kau belum menyebutkan nama lawanmu yang bertubuh bulat pendek tadi?!” ujar Nyi Durganti menyela. “Siapakah dia?!”

“Oooh, betul, Nyai. Nama orang itu adalah Bagus Wirog!” ujar Jimbaran gugup.

“Hooh! Si keparat Bagus Wirog telah keluyuran sampai di daerah ini?!” seru Nyi Durganti dengan ka- get. “Ngngng, ini berbahaya. Bagus Wirog bukanlah orang sembarangan. Ia sangat sakti dan mempunyai rombongan tikus-tikus seperti yang diceriterakan oleh Jimbaran tadi.”

“Jadi, Ibu telah mengenalnya?” gerendeng Tangan Iblis. “Apakah ia bermusuhan dengan Ibu?”

“Benar, Angger. Aku telah mengenal Bagus Wirog itu. Memang kami pernah berselisih kecil, tapi kalian tak usah kuatir. Aku sanggup menghadapinya.”

“Terima kasih, Ibu. Kembali tentang penyerbuan ke rumah saudagar Wayan Arsana, kapankah itu bisa ki- ta laksanakan?!”

Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar perkataan anaknya, si Tangan Iblis, dan kemudian menggumam, “Hm, kau masih penasaran terhadapnya, Ngger! Apakah perlunya mengusik orang-orang tolol itu?”

“Ibu,” ujar Tangan Iblis dengan lembutnya, “sebe- narnya kami dapat melupakan hal itu. Namun sayang sekali bahwa kami telah mendapat penghinaan yang sangat keterlaluan. Mereka melepaskan kami dengan iringan ketawa dan ejekan. Terlebih lagi dengan si tua Wiku Salaka yang telah memandangku dengan sebelah mata saja, benar-benar merupakan hinaan yang tidak mudah terlupakan. Aku adalah putra Nyi Durganti. Mendapat hinaan begitu, apakah itu secara tidak lang- sung menampar muka Ibu?!”

Nyi Durganti menghela napas panjang, begitu Ta- ngan Iblis rampung mengutarakan pendapatnya. Apa yang diutarakan anaknya tadi banyak benarnya. Na- mun sebab musabab bibit persengketaan itu, dirasa- nya tidak mempunyai sangkut paut dengan dirinya. Bukankah si Tangan Iblis sekadar mempaut dengan dirinya? Bukankah si Tangan Iblis sekadar membela anak muridnya, yakni Jembrana dan Jimbaran setelah berselisih dengan Wayan Arsana? Dan kebetulan pula, seorang sahabat Jimbaran yang bernama Wasi Bera te- lah terlibat dalam persoalan mereka. Dengan demikian apakah itu sebenarnya tidak sepenuhnya merupakan tanggung jawab Tangan Iblis sendiri? Akan tetapi, se- kali lagi sifat orang tua, mendengar anaknya kalah dan katanya mendapat penghinaan, siapakah yang tidak akan terbakar hatinya?

Pertimbangan manusia kadang-kadang memang mudah condong ke arah sepihak. Jarang yang bisa bertahan bahwa untuk yang salah harus disalahkan, sedang yang benar harus tetap benar. Apalagi jika itu sudah menyangkut hubungan keluarga. Tentunya hanya seorang ksatrialah yang mampu bersifat adil dan seimbang. Baginya tidak akan ada sifat-sifat saha- bat atau keluarga, sebab ia selalu memandang manu- sia mempunyai hak yang sama. Sehingga pertimba- ngannya akan bersifat umum menyeluruh.

Tetapi sekali lagi hal itu sangatlah sukarnya. Seperti halnya Nyi Durganti yang telah mendengar penjelasan dari Tangan Iblis, segera hatinya terbakar oleh kema- rahan yang menyala bagaikan obor. Apalagi didasari oleh pertimbangan hati yang dangkal, maka Nyi Dur- ganti tidak mempunyai lagi pertimbangan lain, selain harus membela Tangan Iblis dengan sungguh-sungguh.

“Baiklah, Angger Tangan Iblis. Kita akan mencari hari yang baik, dan aku perlu memikirkan satu siasat yang jitu. Aku mengharap bisa langsung memukul benggol-benggolnya, tanpa banyak menimbulkan kor- ban di pihak orang-orang rendahan yang tidak tahu apa-apa!”

“Terima kasih, Ibu. Hanya itulah yang ananda ha- rapkan,” berkata Tangan Iblis. Mukanya berseri-seri puas sepuas anak kecil yang dijanjikan oleh ibunya untuk mendapatkan kembang gula manis.

“Tapi kalian harus memperhatikan, pimpinan ada- lah di Tangan Iblis, sedang segala sesuatu harus men- dengar nasehatku terlebih dulu. Ingatlah akan bahaya pasukan kerajaan! Jika kalian bertindak liar semau- maunya, aku akan cuci tangan dari perkara ini!” demi- kian bicara Nyi Durganti dengan tandasnya.

“Kami akan mematuhi segala nasehatmu, Ibu,” ber- kata Tangan Iblis sekali lagi dengan senangnya. “Saya akan memerintahkan seluruh pengikutku untuk mem- perhatikan hal itu.”

Dalam pada itu, Dregil dan Arje tengah membantu mengobati kawan-kawannya yang terluka. Kebanyakan adalah luka-luka bekas gigitan tikus-tikus liar pengi- kut Bagus Wirog, ketika mereka bertempur beberapa saat yang lalu.

Kadang kala Dregil dan Arje masih meremang bulu tengkuknya bila teringat akan kematian seorang ka- wannya akibat keroyokan tikus-tikus liar. Kedua orang tadi seperti sukar mempercayai, betapa tubuh si Ktut dapat habis kulit dagingnya dalam sekejap mata oleh rencahan gigi tikus-tikus tadi. Dan yang membuatnya lebih heran adalah perawakan, wajah dan tindak-tan- duk Bagus Wirog yang menyerupai seekor tikus.

Semua itu diceritakannya kepada kawan-kawan lain- nya yang tidak ikut bertempur pada waktu itu. Karena- nya, keruan saja mereka tercengang-cengang kehera- nan mendengar penuturan ceritera si Dregil dan Arje.

“Apakah engkau kira-kira berani menghadapi tikus- tikus itu, Parse?” bertanya Dregil sambil cengingisan setengah mengejek, kepada temannya yang bertubuh gemuk di sebelahnya.

“Weeh, tentu saja berani. Kalau memang itu menja- di lawan kita, haruslah kita lawan!” temannya yang bernama Parse berkata dengan penuh semangat.

“Hi, hi, hi. Semangatmu hebat! Tapi aku kuatir bah- wa tubuhmu yang gemuk itu akan menarik selera ti- kus-tikus tadi,” kata Dregil menggoda. “Atau mungkin saja kau berani menghadapinya asal tikus-tikus tadi ompong, tanpa gigi. Sehingga mereka cuma mampu menjilat-jilati tubuhmu saja. Hi, hi, hi.”

“Huss! Ngawur sekali bicaramu,” potong Parse cem- berut. “Bagaimana kalau kita membawa kucing-kucing untuk melawan mereka?!”

“Satu usul yang baik! Hmmm, tapi di mana kita ha- rus mencari kucing-kucing dalam jumlah yang ba- nyak?” sambut si Dregil. “Dan lagi, untuk seekor ku- cing, paling-paling ia hanya sanggup menelan dua ekor tikus hutan itu. Sedang jumlah tikus tadi pasti ratusan jumlahnya! Nah, bukankah itu merupakan persoalan yang cukup sulit dan memusingkan?! Salah-salah ma- lah kucing-kucing itu yang akan dilahap oleh gerombo- lan tikus liar tadi! Sayang, engkau tidak ikut kami waktu itu. Ternyata tikus-tikus tersebut sangat terlatih dan mampu menghindari senjata-senjata yang meng- ancamnya.”

“Jika demikian, lebih baik aku tidak ikut bertempur melawan binatang-binatang tadi. Aku lebih senang tinggal di sini menjaga pondok, atau membantu mema- sak makanan,” sahut Parse.

“Hi, hi, hi. Memang itulah pekerjaan yang paling co- cok buatmu!” ujar Dregil diiringi ketawa segenap ka- wan-kawan lainnya yang berada di sekelilingnya. “He, he, he. Apabila sudah sampai pada persoalan masa- kan, saya kira Parselah yang paling cocok.”

Suasana menjadi gembira beberapa saat, dan itu cukup menghibur hati mereka yang tengah bergurau, tanpa mengetahui bahwa para pemimpinnya tengah merencanakan penyerbuan ke rumah saudagar Wayan Arsana di daerah Gilimanuk. Dan boleh dipastikan, bahwa pertempuran kali ini akan lebih hebat, karena Nyi Durganti yang sakti, yakni ibu si Tangan Iblis sen- diri, akan turun tangan membantu mereka di gelang- gang pertempuran.

Entah kapan rencana itu akan dilaksanakan. Ba- rangkali satu minggu lagi, atau sebulan kemudian, dan mungkin juga pada keesokan harinya, tak seorang di antara mereka yang mengetahuinya. Yang jelas saja, mereka melihat bahwa para pemimpinnya seperti si Tangan Iblis, Nyi Durganti, I Jembrana, Jimbaran dan seorang lagi yang bertubuh kurus, dengan sibuknya kasak-kusuk melakukan perundingan.

Kabut putih yang sebening sutera mulai mengam- bang di udara seiring dengan merendahnya sang mata- hari ke cakrawala barat. Beberapa ekor kelelawar ber- kepak mengembangkan sayapnya, beterbangan ke udara mencari makanannya, tanpa menggubris manu- sia-manusia yang bergerombol di dekat pondok-pon- dok ilalang di hutan tadi.

***

Di suatu malam, ketika sang purnama mulai me- ngembang di langit dengan megahnya, sinarnya telah merambah ke segenap permukaan bumi, sampai dae- rah Gilimanukpun bermandi cahaya perak.

Beberapa sosok tubuh dengan lincahnya mengen- dap-ngendap di balik semak-semak hutan kecil yang terletak di sebelah timur rumah Wayan Arsana. Mereka tampak berhenti dan membicarakan sesuatu dengan segenap rombongannya yang terdiri tidak kurang dari delapan orang lebih. “Dengarkan sekali lagi baik-baik. Terutama dengan Adi Jimbaran yang pernah membuat kesalahan!”

Semuanya mengangguk, kecuali seorang wanita ber- wajah mayat kepucatan yang mendengarkan peringa- tan tadi dengan tenangnya. Itulah dia, Nyi Durganti.

“Ingatlah, bahwa ini bukan penyerbuan yang sebe- narnya, melainkan sekadar peringatan untuk meng- guncangkan perasaan mereka! Nah, maka janganlah melakukan suatu tindakan apapun tanpa isyarat dari saya!” begitu Tangan Iblis memperingatkan para peng- ikutnya.

“Jangan kuatir, Kakang. Aku akan memimpin me- reka agar tinggal di tempat ini baik-baik,” ujar I Jem- brana berjanji.

“Baik. Sekarang kita bisa berangkat, Ibu,” Tangan Iblis berkata kepada Nyi Durganti. “Mereka akan me- nunggu kita di sini.”

“Ayo, Tangan Iblis. Ikuti aku!” seru Nyi Durganti sambil meloncat dengan gesitnya meninggalkan tempat itu, laksana seekor kijang.

Tangan Iblis segera menyusulnya dengan melesat ke arah timur, mendekati arah tembok rumah Wayan Ar- sana. Keduanya merupakan dua bayangan hitam yang berkelebatan ringan, tak ubahnya dua iblis yang te- ngah mencari korbannya.

Keduanya kemudian melesat ke atas tembok pagar tanpa menimbulkan suara, untuk melanjutkan berlon- catan dari genting atap rumah satu ke genting lainnya. Gerakan mereka sangat cepat dan sebatnya, sehingga orang biasa tak akan tahu tentang penyelundupan ini, apalagi sampai mengetahui rencana-rencana yang te- ngah tergambar di otak Tangan Iblis bersama ibunya.

Tiba-tiba mereka terkejut ketika melihat bekas- bekas hiasan janur yang telah agak kering di halaman rumah itu. “Bekas-bekas pesta, Ibu!” bisik Tangan Iblis kepada Nyi Durganti di sebelahnya. “Agaknya belum lama ber- langsung. Mungkin kemarin, atau dua hari yang lalu.”

“Biarlah, kita melaksanakan rencana kita,” ujar Nyi Durganti.

Kembali mereka berloncatan memutar. Dan ketika mencapai halaman rumah, Tangan Iblis berhenti se- saat di atas genting, seraya menatapi dua buah patung singa yang berdiri megah di depan pintu rumah.

“Ssst, mengapa berhenti di sini?” gereneng Nyi Dur- ganti kepada anaknya. “Adakah sesuatu yang penting sampai engkau menghentikan langkahmu?”

“Lihatlah dua buah patung singa itu, Bu. Aku jadi teringat dengan Pulau Mondoliko.”

“Apa hubungannya?!”

“Aku tiba-tiba mendapat satu pikiran yang selama ini tengah kucari-cari. Tak tahunya pemecahan itu te- lah kudapatkan di tempat ini.”

“Ah ayolah, Ngger! Kita harus cepat-cepat melaksa- nakan pekerjaan kita,” desak Nyi Durganti. “Tentang patung singa itu, pikirkan saja belakangan.”

“Baik, Ibu,” sahut Tangan Iblis sambil meloncat kembali bersama Nyi Durganti ke arah utara, menelu- suri segenap pojok rumah.

Dalam saat yang bersamaan pula, di sebuah perta- manan, jauh di sebelah utara yang masih termasuk lingkungan rumah saudagar Wayan Arsana, dua orang muda-mudi sedang asyik bercengkerama. Yang putri sangat cantik, sedang prianya berwajah tampan. Wajah si putri tadi masih menampakkan bekas-bekas cuku- ran upacara pengantin dan sanggulnya dihiasi bunga- bunga harum yang semerbak mengambar di udara te- rang bulan. Keduanya duduk di atas kursi panjang terbuat dari batu putih dan saling memandang mesra.

“Kau tak menyesal bersuamikan aku, Made Maya?” bertanya si pria sambil mengusap pipi pengantin putri yang montok merah jambu itu.

“Jangan katakan itu, Kakang Sunutama,” ujar Made Maya, sementara jari-jarinya menutupi bibir suaminya, seperti takut kalau suaminya berkata-kata lebih lanjut. “Apakah Kakang masih menyangsikan cinta kasihku?”

“Bukan begitu, Adi Maya. Hanya aku sedikit kuatir kalau kedudukan kita dipandang tidak seimbang oleh mata masyarakat.”

“Ahh, itu tak usah dipikirkan, Kakang. Mereka toh cukup menghargai Kakang Sunutama sebagai pemahat ulung di daerah ini.”

Sunutama manggut-manggut mendengar tutur kata istrinya. “Syukurlah jika demikian, Dinda. Aku tak pernah menyangsikan cintamu.”

“Ooh, Kakang...,” keluh Made Maya seraya mere- bahkan kepalanya ke dada Sunutama yang bidang dan tegap, membuat laki-laki muda itu tergetar hatinya.

“Heei, mengapa kau menangis, Maya?” sapa Sunu- tama dengan membelai-belai rambut istrinya. Butiran air mata yang mengalir keluar dari sudut mata Made Maya berkilatan tertimpa cahaya perak rembulan, ba- gaikan intan permata.

“Aku berbahagia, Kakang. Berbahagia sekali,” keluh Made Maya dan memeluk tubuh suaminya lebih erat.

“Lihatlah sang purnama itu, Maya. Ia seperti mener- tawakan dirimu, karena Dinda telah meruntuhkan bu- tiran air mata bahagia,” berkata kemudian Sunutama dengan mengusap leher Made Maya, sampai mengge- linjangkan kegelian.

Sambil tersenyum manja Made Maya merangkul leher suaminya dan Sunutama membiarkannya. Seke- jap kemudian sepasang temantin baru itu telah terha- nyut dalam kemesraan bermandikan cahaya perak sang rembulan. Huk...! Huk...! Huuukk...!

Siulan burung hantu terdengar memecah kesunyi- an, mengagetkan tiba-tiba Sunutama dan Made Maya.

“Ooh, aku takut, Kakang Sunutama,” ujar Made Maya dengan manjanya. “Suara burung hantu itu sa- ngat menyeramkan.”

“Eh, masakan seorang pendekar seperti kau ini ta- kut mendengar suara burung hantu?” desah Sunuta- ma menggoda. “Apakah tidak mungkin, bahwa burung hantu tersebut memberi salam dan ucapan selamat kepada kita?”

“Aku merasa sebaliknya, bahwa ia memberi isyarat akan datangnya marabahaya,” sahut Made Maya.

Sunutama tidak lekas menjawab, melainkan ia meng- angkat hidungnya ke udara dan menggerundal, “Coba dengarkan baik-baik, Made Maya. Aku mendengar ge- rakan yang lembut sekali. Entah bunyi daun terjatuh atau bunyi lainnya aku belum tahu. Sebaiknya kita berhati-hati, Dinda.”

Belum lama mereka menyelesaikan kata-katanya, mendadak saja berkelebatlah dua bayangan hitam dari arah selatan dan langsung turun ke tengah pertama- nan, membuyarkan kabut malam yang tengah mela- yang.

Made Maya hampir berteriak mendengar suara beri- sik yang mengiringi turunnya dua sosok tubuh manu- sia ke tengah pertamanan. Yang lebih mengagetkannya adalah wajah kaku mayat dari seorang di antara kedua pendatang itu. Mereka mengeluarkan derai ketawa ber- nada berat yang tertahan di dalam mulutnya. Agaknya mereka cukup berhati-hati dan berusaha agar orang lain tidak akan mendengarnya.

“Siapa kalian?! Datang secara gelap di tempat ini?” seru Sunutama bersiaga.

“Bagus kalau kalian bertanya. Tapi coba perhatikan baik-baik siapa aku ini!” seru si wajah garang yang ti- dak lain adalah Tangan Iblis.

“Tangan Iblis! Kaulah yang telah merusak keten- traman di sini beberapa waktu yang lalu?!” berseru Sunutama dengan beraninya, begitu mengenal wajah si pendatang.

“Jangan banyak mulut. Hari ini aku akan meng- adakan pembalasan!” sahut Tangan Iblis. “Ibu, apakah pendapatmu sekarang?”

“Robohkan yang laki-laki, tapi jangan kau bunuh! Biar aku yang akan menangkap perempuannya!” ujar Nyi Durganti seraya bersiaga pula dengan terkaman- nya. Jari-jari tangannya mengembang disertai sorot mata yang mengerikan seperti hantu.

Made Maya yang melihatnya, seolah-olah telah menghadapi hantu leak yang ganas. Serentak hatinya menjadi bergetar ketakutan. Namun iapun telah berte- kad melawan.

Di saat itu pula Tangan Iblis melesat ke depan, me- lancarkan serangannya kepada Sunutama yang telah bersiaga sepenuhnya. Maka sejenak kemudian terjadi- lah pertempuran yang sangat seru di tengah pertama- nan yang semula bersuasana tenang.

Sunutama sudah pernah melihat sepak terjang si Tangan Iblis, karenanya ia sangat berhati-hati dan ti- dak mau gegabah menghadapi lawannya ini.

“Heh, heh. Kau mampu bertahan berapa jurus menghadapi seranganku ini, ha?!” ujar Tangan Iblis dengan melancarkan tendangan kakinya.

Wuuutt!

Sunutama cukup waspada dan mengeluarkan gera- kan gesit berjungkir balik ke udara untuk kemudian turun ke bawah sambil menyapukan kedua tangannya ke arah kepala Tangan Iblis dengan gaya ketam men- capit belut. “Setan!” gerundal Tangan Iblis lantaran kaget de- ngan serangan Sunutama yang tanpa terduga. Namun dasar ia telah banyak pengalaman, maka secepat kilat ia menjatuhkan diri ke bawah.

Tak tahunya, Sunutama kembali melancarkan se- rentetan serangan maut dengan dupakan kaki ke arah dada Tangan Iblis, yang saat itu masih tertelentang di tanah.

“Heeit, jangan gegabah!” seru Tangan Iblis sambil menerjangkan kakinya ke atas menyambut dupakan Sunutama yang mendatang dengan derasnya.

Blaakk!

Benturan keras terjadi, dengan akibat Sunutama terpelanting ke belakang, sedang Tangan Iblis pun pe- ringisan menahan rasa kesemutan yang menjalar di kakinya akibat benturan tadi

“Kurang ajar! Bertenaga pula orang muda ini!” um- pat Tangan Iblis. “Sayang aku tak boleh membinasa- kannya!”

Dengan sedikit pusing, Sunutama cepat bersiaga kembali untuk menghadapi lawannya.

“Heei, Angger Tangan Iblis! Jangan bermain-main seperti anak kecil. Lekaslah robohkan anak itu!” seru Nyi Durganti. “Tunggu apalagi?!”

“Baik, Ibu. Tapi dia cukup bandel!” sahut Tangan Iblis. “Sebentar lagi, barangkali dua jurus kemudian!” Demikian teriakan pasti dari Tangan Iblis dan sambil menggeram marah, ia melipat-gandakan serangannya kepada Sunutama.

Sementara itu, Made Maya merasa kerepotan meng- hadapi serangan Nyi Durganti. Apalagi nenek berwajah mayat ini selalu menyorotkan sinar matanya yang pe- nuh pesona dan memukau. Serangan-serangan yang dilancarkannya seperti lenyap tak berbekas dalam tangkisan Nyi Durganti. Dan inilah yang membuatnya cemas. Seolah-olah lawannya berwujud bayangan be- laka, sehingga setiap kali diserang, dengan mudahnya ia menangkis.

Kesulitan istrinya ini telah dilihat oleh Sunutama. Maka gerakannya makin nekad. Namun ini menimbul- kan kelengahan, dan dua jurus kemudian, seperti su- dah diramalkan oleh Tangan Iblis, Tangan Iblis mener- kam pundaknya.

Plaak! “Aakh!”

Sunutama mengaduh pendek dan pandangannya menjadi kabur. Berbareng roboh pingsan, mulutnya menyebut nama istrinya, “Made Mayaaa. !”

“Kakang Sunutama...!” seru Made Maya kecemasan dan dengan marahnya ia mendamprat ke arah Nyi Durganti. “Kalian jahat! Awas aku akan berteriak jika kalian tidak minggat dari tempat ini. Apakah kalian in- gin berhadapan dengan Kakek Wiku Salaka dan pen- dekar-pendekar lainnya?!”

Mendengar ini Nyi Durganti secepat kilat menyapu- kan tangannya ke depan dan mengusap wajah Made Maya yang seketika jatuh pingsan di tangan Nyi Dur- ganti.

“Nah, sekarang tempelkan surat peringatan itu!” seru Nyi Durganti kepada Tangan Iblis. “Lekaslah, Ngger!”

Tangan Iblis pun cepat melemparkan sebilah pisau yang bertempelkan secarik kain bertulis ke arah seba- tang pohon di pertamanan, sementara Nyi Durganti te- lah memondong tubuh Made Maya.

“Hei, keparat! Kalian mengacau!” jerit sesosok tu- buh ramping bersenjatakan sepasang kipas perak di tangannya dan menyerang Nyi Durganti. “Terimalah serangan si Putu Tantri ini! Heeitt!”

Nyi Durganti yang sakti itu tidak gugup sedikitpun. Ia cukup mengibaskan kepalanya sehingga rambutnya yang terurai panjang  menghajar lengan Putu Tantri sampai gadis ini merasa kesakitan dan lumpuh sesaat. Kesempatan ini digunakan oleh Nyi Durganti dan Tangan Iblis untuk kemudian melesat ke atas genting dan berloncatan cepat ke arah selatan, kabur tanpa

menimbulkan suara.

“Toloooooong! Maling! Maliingng!” teriak Putu Tantri sambil mendeprok kesakitan di tanah, mengagetkan segenap isi rumah saudagar Wayan Arsana dan me- reka berlarian ke arah taman, di mana satu tragedi di tengah kabut baru saja terjadi.

Sampai di sini selesailah seri Naga Geni “Tragedi di Tengah Kabut”, dan segera akan menyusul seri Naga Geni, yakni “Berakhir di Ujung Fajar”. Di situ akan kita ketahui nasib Made Maya selanjutnya, yang ternyata membawa serentetan peristiwa yang mengharukan, te- gang dan sangat menarik.

SELESAI
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar