Serial Naga Geni Eps 17 : Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung

 
Eps 17 : Seribu Keping Emas Untuk Mahesa Wulung


BERDIRI di tepi pantai utara Demak, pendekar Ma- hesa Wulung telah dikepung oleh Surokolo dan para pengikutnya, sementara Gombong masih saja tunduk terpekur di tanah.

Angin sore bertiup santer sekali dan matahari per- lahan-lahan telah bergeser rendah ke cakrawala barat dengan warna membara.

“Heh, heh, heh. Kau mau membela Pakerti?” ujar Surokolo sambil mencibir. “Hah, bocah itu telah bun- tung dan pasti akan segera mampus kehabisan darah. Itulah hukuman bagi siapa yang berani menentang ke- kuasaan Rikma Rembyak!” Surokolo melotot ke arah Mahesa Wulung dengan pandangan tajam, lalu berkata pula, “Dan kau! Segera pula akan mendapat hukuman dari tanganku ini!”

“Jangan coba menakut-nakuti aku!” berkata Mahe- sa Wulung. “Kalian berdiri di tanah pemerintahan De- mak, dan hukuman selalu menantimu!”

“He, kau ganti mengancamku, hah?! Keparat!” Suro- kolo mengumpat dengan marahnya. “Kau kira peme- rintahan Demak berlaku atas kami?! Bah! Kami toh bukan orang-orang Demak, karenanya kami bebas ber- buat sekehendak hati!”

“Kakang Surokolo. Apakah ia akan kita biarkan un- tuk mengoceh terus-menerus?” demikian seru seorang berwajah bengis yang mempunyai luka membengkak pada kening atasnya.

“Tidak, Bedor,” sahut Surokolo. “Sebentar lagi akan kita ringkus si Mahesa Wulung ini. Kaulah nanti yang akan pertama-tama menangkapnya. Bukankah engkau dulu mengatakan demikian kepadaku?”

“Benar, Kakang Surokolo,” sambung Bedor seraya tangannya mengusap-usap bengkak di kepalanya. “Me- mang itulah yang aku inginkan.”

“Tapi ingatlah baik-baik, Bedor!” berkata Surokolo memperingatkan si Bedor. “Orang ini harus kita tang- kap, hidup atau mati. Jangan sampai ia dapat melo- loskan diri. Yang penting, kalian harus bisa mering- kusnya dengan cepat!”

“Ohh tentu, Kakang Surokolo. Kali ini aku akan le- bih berhati-hati.”

“Bagus, Bedor!” berkata pula Surokolo. “Kau boleh membuat bengkak di atas kepala Mahesa Wulung, se- bagaimana ia telah membuat bengkak kepalamu.”

Bedor menjadi bertambah merah matanya, dan ka- tanya kemudian, “Yah, dia telah melemparku di Ase- marang beberapa waktu yang lalu. Bengkaknya masih membekas sampai hari ini. Kini kedua tanganku telah gatal dan siap untuk meremas kepalanya!”

“Heh, jadi kamulah pengintai gelap yang telah ku- hadiahi dengan kepalan batu itu?!” sela Mahesa Wu- lung setengah mengejek, membuat Bedor menggeram marah.

Sriiiinng!

Bedor tanpa menunggu lebih lama telah menghu- nus pedangnya dan memberi aba-aba.

“Adi Salung dan Balur! Siapkan teman-teman untuk meringkus bergejil ini!” Bedor segera melesat lebih du- lu ke arah Mahesa Wulung dengan sebuah tebasan maut!

Untungnya Mahesa Wulung telah waspada. Sera- ngan yang tiba-tiba, dahsyat tapi juga terburu nafsu ini, dapat dihindarinya dengan melangkah ke samping. Berbareng saat itu juga kaki dan tangan Mahesa Wu- lung bergerak cepat. Kaki kanan mengait dan tangan kiri menyabet ke pundak si Bedor.

Wessst! Buug! “Eaarrhh!”

Bedor tersungkur jungkir-balik di tanah dan pe- dangnya terlepas dari tangannya.

Mahesa Wulung masih berdiri dengan tenangnya bagaikan tonggak baja yang berakar di tanah, semen- tara pandangannya masih menatap kepada si Gom- bong yang kelihatan ragu-ragu dan sedikit bingung.

“Gombong, sekali lagi kuperingatkan mumpung be- lum kasip. Sadarlah atas kesesatanmu selama ini!” ujar Mahesa Wulung memperingatkan si Gombong. “Insyaflah dan berdiri di sampingku! Aku akan mema- afkan segala kesalahanmu.”

Oleh kata-kata Mahesa Wulung, semua pandangan mata lalu tertuju ke arah Gombong.

Malahan oleh kata-kata Mahesa Wulung tadi, Gom- bong seperti dilemparkan terhadap satu angan-angan dan lamunan tentang kedudukan sebenarnya dari diri- nya sendiri.

Memang ia mengakui, bahwa sebelum dirinya me- masuki dan mengabdikan dirinya di Demak sebagai seorang prajurit kawal, ia telah banyak berhutang budi kepada Surokolo. Dan itu tidak sedikit yang ia da- patkan. Uang, bahan makanan dan masih banyak hal- hal lainnya yang telah dilimpahkan Surokolo kepada dirinya. Maka mengingat itu semua, sudah sepatutnya bila ia membalas budi kepada Surokolo.

Dan untuk itu, ia telah bersedia menuruti perintah Surokolo untuk memancing Mahesa Wulung datang ke tempat itu!

Kendatipun demikian, dalam sebuah relung di ha- tinya, Gombong terpaksa mengakui penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan itu, sehingga ka- ta-kata Mahesa Wulung yang menyebutkan bahwa dia telah berkhianat terhadap atasannya, adalah benar be- laka! Terus terang saja Gombong mengakui dalam hati. “Yah, itu memang benar! Aku telah berkhianat kepada Pendekar Demak ini, kepada Wiratamtama atasanku.” Dan ia tahu jelas hukuman apakah yang bakal diteri- manya. Dipancung atau digantung sampai mati, itulah yang akan didapatnya. Begitulah kesadaran Gombong lebih terbuka kini.

Bahkan ia teringat akan sumpah prasetya yang di- ucapkannya ketika ia mulai memasuki alam keprajuri- tan, bahwa ia akan setia kepada Kerajaan Demak dan pemerintahannya. Setia kepada segenap pimpinan dan atasannya.

Sumpah prasetya tadi dahulu diucapkan di depan rekan-rekannya dan kini wajah rekan-rekannya itu seolah-olah terbayang kembali satu demi satu di rong- ga matanya, dengan mengejek dan menghinanya kare- na ia telah mengkhianati sumpah prasetya tadi!

Gombong menjadi malu kepada dirinya sendiri. Ma- lu kepada setiap benda yang ada di sekitarnya, karena mereka itu seolah-olah telah melontarkan kutukan dan umpatan atas pengkhianatannya.

Dalam pada itu Bedor telah bangkit. Mulutnya me- ngeluarkan geram marah, apalagi ketika Mahesa Wu- lung menyapanya.

“Heh, heh. Masih berani?!”

Semakin marah si Bedor. Cepat ia memungut kem- bali pedangnya dan bersiap menyerang kembali ke arah Mahesa Wulung. Sekonyong-konyong gerakannya terhenti oleh bentakan Surokolo.

“Tahan! Aku tak ingin orang ini mempermainkan anak buahku! Biar aku sendiri yang menyelesaikan- nya. Ki Rikma Rembyak tentu akan senang memper- oleh hasil jerih payahku ini!”

“Bagus! Itulah yang lebih kusenangi! Aku lebih se- nang langsung menghadapi yang benggolan macam tampangmu ini, daripada menghadapi tikus-tikus kecil sebangsa Bedor itu!” ejek Mahesa Wulung dengan sia- sat memancing kemarahan lawan-lawannya dan itu rupanya berhasil, sebab tahu-tahu Surokolo telah me- lesat, menerjang dengan pukulan maut ke arah dada Mahesa Wulung.

“Hiaaaat! Jebol dadamu, laknat!” Weer!

Pukulan Surokolo menimbulkan suara berdesau, seribut angin puyuh melanda lawannya.

Tetapi sekali lagi Mahesa Wulung telah bersiaga menangkis pukulan tersebut.

Blaaaarrr!

Mahesa Wulung tergeser surut beberapa langkah untuk kemudian jatuh terduduk dengan pandangan mata berkunang-kunang. Sedangkan Surokolo terpen- tal cekakaran ambruk di tanah sambil meringis-ringis.

Namun sungguh hebat orang ini! Bertepatan Mahe- sa Wulung mulai berdiri, iapun meloncat bangkit se- raya tertawa-tawa menggelegar.

“Hia, ha, ha, ha. Bagus! Kali inilah aku menda- patkan seorang lawan yang pilih tanding. Ayo, Mahesa Wulung, bersiaplah untuk serangan-serangan berikut- nya! Heeit!”

Surokolo tak menunggu lebih lama lagi. Secepat ki- lat ia meloncat, menyerang dengan jurus-jurus maut- nya ke arah lawannya yang telah bersiaga pula.

Begitulah, sekarang mereka terlibat dalam perang tanding yang dahsyat. Surokolo diam-diam telah mulai mengetrapkan segala ilmu simpanannya dan selanjut- nya ia telah bertekad untuk mencurahkan dan me- meras segala ilmunya dalam batas kemungkinan yang ada, dalam menghadapi Mahesa Wulung. Disadari oleh Surokolo, bahwa Mahesa Wulung adalah seorang pen- dekar yang namanya cukup menggetarkan setiap dada gerombolan hitam dan lawan-lawannya. Dengan tegangnya, Bedor mengikuti perkelahian itu. Demikian pula dengan Salung, Balur, Gombong dan segenap pemimpin dan atasannya.

Gombong seperti tersadar dari mimpinya dan men- dapati dirinya telah terlibat dan terjerumus dalam kea- daan yang rumit dan gawat! Dapatkah ia memperbaiki dirinya?

Kepada Wiratamtama Mahesa Wulung yang seolah- olah telah terkepung itu, Gombong tidak lagi berani menatapnya. Wajahnya lalu tunduk ke bawah, seperti merenungi bumi dan menebak, berapa butir pasir yang ada di bawahnya itu.

“Hia, ha, ha, ha. Pendekar Mahesa Wulung!” bentak Surokolo keras-keras. “Tak perlu kau banyak omong dengan bualmu kepada si Gombong. Hadapilah kenya- taan! Kini kau berhadapan langsung dengan Surokolo! Akulah yang bernama Surokolo! Kau dengar dan tahu kini, heei?!”

“Hmm, aku sudah menduga sebelumnya! Dan me- mang aku tengah mencari-carimu untuk membuat per- hitungan dengan dirimu! Kau telah menyiksa si Pa- kerti!” ujar Mahesa Wulung.

“Pakerti?! Hah, bocah itu telah cedera dan mungkin akan segera mampus kehabisan darah. Itulah huku- man bagi siapa yang berani menentang Rikma Rem- byak!” teriak Surokolo sambil melotot. “Dan kau! Se- gera pula akan mendapat hukuman dari tanganku!”

Orang-orang lainnya tak lepas mengikuti setiap ju- rus dan gerak dari kedua pendekar yang lagi bertarung itu.

Di sebelah utara awan mendung mulai mengumpul dan di langit yang suram mulai muncul kilat yang ber- sambungan. Sejalan itu pula, tampaklah pertempuran antara Mahesa Wulung dan Surokolo makin mendah- syat. Apalagi Mahesa Wulung telah pula menggunakan pedangnya ketika ia melihat bahwa Surokolo pun telah menghunus belatinya yang berlekuk dan berpamor be- ras wutah.

Gombong dan rekan-rekannya dibuat terpukau oleh pertarungan itu. Kedua pendekar tersebut mampu ber- gerak lincah, seperti dua ekor burung sikatan, tapi se- kali waktu juga segarang dua ekor harimau yang saling menerkam.

Tiba-tiba saja Surokolo mencabut sesuatu dari balik bajunya, dan begitu dikebutkan, maka terkembanglah sebuah jala yang bening dan gemerlap di tangan la- wannya. Keruan saja Mahesa Wulung menjadi kaget dan lebih kaget lagi bila jala itu telah mulai menyerang dirinya. Dengan terkaman-terkaman dan sambaran yang hebat seperti cakar raksasa, jala di tangan Suro- kolo tadi selalu mendesaknya. Bahkan ia tak habis he- ran, bila tebasan-tebasan pedangnya tak mampu me- nyobek jala itu.

“Heeiit!” Mendadak saja Surokolo melenting dan ke- mudian menyambar Mahesa Wulung dengan kedua senjatanya. Detik itu Mahesa Wulung telah siap me- nangkis dan tahu-tahu jala Surokolo telah begitu cepat meluncur dan menerkam dirinya.

“Aaukh!” desis Mahesa Wulung ketika kulit daging- nya yang tersentuh oleh tali-temali jala tadi menimbul- kan rasa pedih dan mengalirlah rasa yang aneh! Mahe- sa Wulung berontak, namun tiada faedahnya sama se- kali. Rasa letih, malas dan mengantuk yang dialirkan oleh tali-temali jala tersebut telah menerkam tubuh Mahesa Wulung dan membuatnya lemas dan tak ber- daya sama sekali! Serentak itu pula pengikut-pengikut Surokolo meringkusnya.

“Heh, he, ha, ha, ha. Kutangkap kau sekarang, mo- nyet! Dan inilah pembalasan dari Rikma Rembyak. Tentu beliau akan senang menerimamu. Karenanya menurut sajalah, supaya kami tak berlaku kasar kepa- damu!” ujar Surokolo.

“Wheh! Ternyata cuma sedemikian kekuatan Mahe- sa Wulung ini, Kakang Surokolo,” berkata Bedor sam- bil bertolak pinggang di samping Surokolo. “Dengan kekuatanmu saja ia telah dapat kita ringkus. Apalagi jika dia berhadapan sendiri dengan Ki Rikma Rem- byak, pastilah sedari tadi telah terpukul mampus!”

Kemarahan terpancar dari sinar mata Mahesa Wu- lung yang menatap dengan tajamnya ke arah Surokolo dan para pengikutnya. Mereka telah berdiri mengelili- nginya tak ubahnya para pemburu yang telah berhasil menangkap binatang buronannya.

“Heh, heh, ha, ha. Lihatlah pada diriku, Mahesa Wulung!” berkata Surokolo kembali. “Terjerat tak ber- daya di dalam jaring seperti ikan. Sekali-sekali jangan mencoba untuk memutus tali jala yang terbuat dari bahan serat istimewa. Percuma saja, dan mungkin ha- nya senjata seampuh Kiai Pleret atau Kiai Sengkelat yang sanggup menyobeknya!”

Mahesa Wulung menggeram marah, meskipun diri- nya telah terjerat dalam jaring yang merupakan jala itu. Yang ia tak habis heran adalah getaran aneh yang dipancarkan oleh tali-tali jala ketika menyentuh ba- dannya. Rasa letih dan mengantuk telah menyerang- nya membuat tubuhnya seperti lumpuh di segenap sendi tulang-tulang dan ototnya.

“Kau boleh ketawa sekarang, Surokolo! Ketawalah sepuasmu, agar kelak engkau tak perlu lagi ketawa ji- ka berhadapan sekali lagi dengan diriku!” berkata Ma- hesa Wulung dengan lantangnya.

Surokolo mengerutkan dahi oleh kata-kata Mahesa Wulung yang kelewat berani tadi. Sejenak kemudian Surokolopun tersenyum lebar seraya berkata, “Heh, se- telah dirimu terjerat dalam jala wasiatku ini, apakah engkau memastikan akan berhasil lolos kembali?!” “Memang demikianlah kata hatiku ini!” sahut Mahe-

sa Wulung tegas.

Si Bedor rupanya saja sudah tidak dapat menahan geram hatinya oleh kata-kata Mahesa Wulung yang pernah melukainya itu. Maka berkatalah dia, “Keparat! Mahesa Wulung gila! Masih berani membuka mulut besarmu, hah! Bagaimana Kakang Surokolo, apakah akan kita biarkan saja musuh ini?!”

“Balaskan sakit hatimu, Bedor! Itu aku ijinkan!” sambung Surokolo. “Asal saja engkau jaga, agar ia ti- dak mati cuma-cuma di sini, sebab ia harus mati di tangan Ki Rikma Rembyak sendiri!”

Serentak kedua mata si Bedor menjadi berkilat-kilat saking gembiranya. “Terima kasih, Kakang Surokolo. Hari ini aku akan membalaskan sakit hatiku kepada Mahesa gila itu!”

“Kakang Bedor,” kata si Balur pula, “bolehkah aku membantumu?”

“Ooo, itu usul yang bagus, Balur,” sahut Bedor. “Bantulah aku dengan sepuas hatimu. Juga Adi Sa- lung dan lain-lainnya boleh membantuku pula.”

“Heh, nyatanya kalian adalah pengecut-pengecut kotor yang memuakkan!” teriak Mahesa Wulung. “Ka- lian cuma berani terhadap lawan-lawan yang telah tak berdaya. Apakah kau masih mengingat kejadian yang baru berselang, Bedor? Kau telah jungkir balik di ta- nah olehku. Di saat itu jika aku mau membereskanmu, tentulah telah sedari tadi kulakukan! Tapi itu tak per- lu, sebab musuh utamaku adalah Rikma Rembyak dan tokoh-tokoh andalannya seperti Surokolo itu!”

“Ah, edan kowe! Masih berani mengoceh, ya? Teri- malah ini, hiiiah!” Bedor dengan sebat meloncat dan kepalan tangannya menghajar dagu Mahesa Wulung. Seketika itu pula, tubuh si pendekar tamtama Demak terjengkang dari duduknya dengan teriakan tertahan. Bedor tidak berhenti sampai di situ, sebab begitu di-

lihatnya Mahesa Wulung berusaha untuk bangun, ti- ba-tiba ia telah melancarkan tendangan kaki ke pung- gung Mahesa Wulung, sehingga sekali lagi pendekar Demak inipun terjerembab kembali ke tanah.

“Aaaghhh!”

Tidak bisa si Balur tinggal diam melihat hal ini. Se- cepat kilat iapun melancarkan tendangan kakinya ke lambung Mahesa Wulung. Begitu pula Salung beraksi dengan pukulan-pukulan berat ke tubuhnya, hingga beberapa kali terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ataupun keluhan pendek dari mulut Mahesa Wulung yang kini telah mengucurkan darah akibat siksaan mereka itu.

Pada saat tubuh Mahesa Wulung menjadi bulan- bulanan dari pukulan dan tendangan pengikut-pe- ngikut Surokolo, si Gombong menjadi bergetar hatinya. Betapapun ia semula telah bersedia untuk menjebak dan menangkap Mahesa Wulung, tapi sama sekali ia tak menduga bahwa keadaan akan menjadi berkem- bang sedemikian buruknya.

Tambahan lagi, dalam dada si Gombong terjadi ge- lora perasaan yang bercampur-baur. Antara kewaji- bannya sebagai anggota gerombolan Ki Rikma Rem- byak dan kesetiaannya sebagai prajurit kawal dari Demak. Pergulatan perasaan antara kejahatan dan pengkhianatan melawan kebaikan dan kejujuran.

Oleh sebab itu tak heran bila Gombong berdiam diri mematung, menatap rekan-rekannya yang tengah menghajar Mahesa Wulung.

Makin lama Gombong menjadi tak senang melihat perbuatan mereka itu, dan mendadak saja ia telah me- loncat ke depan, ke arah Bedor dan kawan-kawannya berada. Dalam pada itu, si Bedor dan orang-orang lainnya yang lagi sibuk tidak melihat adanya satu bayangan yang meloncat ke arah mereka. Tahu-tahu setelah bayangan itu begitu dekat dan berseru dengan suara yang mengagetkan.

“Berhenti! Kalian pengecut busuk!”

Bedor, Salung dan Balur serta beberapa orang lain- nya segera dapat mengenal suara itu, dan mereka menjadi terlongoh keheranan, sebab bayangan tadi ti- dak lain adalah si Gombong!

Kekagetan mereka tidak sampai di situ saja, karena sebelum mereka menyadari tentang maksud si Gom- bong yang sebenarnya, mendadak saja kawannya yang bertubuh kekar dan bermata sipit ini telah menggerak- kan kedua tangannya menyampok ke kiri dan ke ka- nan.

Buuk! Praak! Plaak!

Baik Bedor, Salung maupun Balur terjengkang ro- boh di tanah dengan perasaan kaget yang tak terhing- ga sambil melotot memandang ke arah Gombong yang berdiri di hadapan mereka. Sedang orang-orang lain- nya terpaksa mundur ke belakang dengan herannya pula. 

Bedor masih terduduk seraya menghapus darah se- gar yang mengalir dari sudut bibirnya yang terluka oleh pukulan si Gombong. Begitu pula keadaannya de- ngan si Balur yang mengelus-elus pelipisnya yang bengkak berdarah ataupun Salung yang menutup hi- dungnya dengan kedua belah tangannya karena me- ngucurkan darah.

“Oooh, kau sudah gila, Kakang Gombong?!” seru Balur dan Salung. Berbareng keduanya meloncat bangkit serta menghadap ke arah Gombong.

“Bukan aku yang gila, tapi kalianlah!” ujar Gom- bong dengan lantangnya, sementara Surokolo yang masih agak bingung mengawasi saja dari tempatnya tanpa berbuat sesuatu apa.

“Keparat! Kau membela tawanan ini, Kakang Gom- bong? Kau ternyata orang yang bermuka dua dan me- rupakan musuh dalam selimut!” umpat Balur serta berpaling kepada Salung, berkata mengajak sahabat- nya ini. “Ayo, Salung. Kita bereskan sekali si Gombong ini!”

Selesai berkata, mereka berdua segera melolos go- loknya, dan kedua orang ini cepat menerjang ke arah Gombong. Senjata mereka menebas dan menusuk de- ngan gerakan lincah, tetapi sangat ganas!

Wess! Sreetttt! Sreet!

Demikianlah golok-golok si Balur dan Salung bergu- lung dan berputar mengurung Gombong yang tanpa takut meloncat ke sana-ke mari seraya menangkis sen- jata mereka beberapa kali.

Surokolo belum berbuat apa-apa melihat pertaru- ngan ini. Pada pikirnya, pastilah Bedor bertiga akan segera dapat menyelesaikannya.

Sesungguhnya Bedorpun telah bangkit lalu meng- genggam pedangnya dan terjun ke dalam lingkaran pertempuran yang kelihatan makin seru.

Mahesa Wulung diam-diam mengikuti juga pertem- puran itu. Meski tubuhnya sakit-sakit dan wajahnya penuh luka berdarah, tapi dengan seksama ia menyak- sikannya.

Pertempuran keempat orang itu terus menghebat dan tiba-tiba pada jurus ke limabelas, Gombong me- lancarkan permainan puncak dari ilmu pedangnya ke arah lawan-lawannya.

Beruntunglah bahwa pada detik itu Bedor sempat berkelit dan meloncat ke samping, sedang Salung dan Balur agak sial nasibnya karena ia tidak begitu cepat. Mata pedang si Gombong dengan gesitnya mematuk dada Salung dan ketika ujung pedang itu menyerong ke bawah, sempat pula menebas putus ikat pinggang si Balur.

Surokolo terkejut melihat hal ini. Demikian pula de- ngan Bedor serta kawan-kawan lainnya. Mereka meli- hat, betapa Salung menebah dadanya yang terluka mengucurkan darah sambil meringis kesakitan.

Namun begitu pandangan mata mereka sampai pa- da Balur, hampir saja mereka tak dapat menahan ke- tawanya, karena celana dan kain si Balur melorot lepas ke bawah dan menumpuk pada ujung kakinya.

Merasa bahwa tubuh bagian bawahnya tak tertutup sama sekali, si Balur menjerit kaget bercampur malu. Kemudian cepat-cepat ia memungut kembali kain dan celananya lalu terbirit-birit lari ke balik semak pohon bakau.

Surokolo tak bisa lagi membiarkan Gombong ber- buat semaunya, maka cepat-cepat ia melompat ke de- pan Gombong sekaligus menghunus pisau belatinya yang berlekuk itu. Serunya. “Gombong, kau telah ber- tindak kelewat batas! Terimalah ini! Hiiaaatttt!”

Gombong sedikit terkejut melihat belati Surokolo memagut ke dadanya, namun segera ia memutar pe- dangnya seperempat putaran guna menangkis sera- ngan senjata Surokolo.

Traaak!

Benturan kedua senjata terjadi. Dalam saat yang sama pula, tangan kiri Surokolo dengan dahsyatnya menerjang ke dada si Gombong, membuat orang ini terguncang ke belakang seperti dihempaskan oleh to- pan yang mengamuk. Tanpa berdaya, Gombong men- celat ke belakang beberapa langkah.

Akan tetapi, Gombong dengan beraninya telah ber- siaga dan siap kembali menerjang ke depan. Sayanglah bahwa ia tak melihat sesosok tubuh yang bergerak di belakang tubuhnya.

Hanya tahu-tahu ia merasakan sebuah sambaran benda tajam pada punggungnya dan kemudian terasa- lah sesuatu yang panas mengalir membasahi pung- gung.

Sewaktu ia menoleh, tampaklah olehnya bahwa Be- dor berdiri dengan menggenggam pedang yang ujung- nya telah basah oleh darah segar.

Kini tahulah ia, bahwa Bedor telah menyerang dan melukai punggungnya! Sambil menggeram marah, Gombong bersiap untuk mengamuk dengan sekuat te- naganya. Agak sayang kiranya, bahwa belum lagi Gombong beranjak, Surokolo telah menerjang dengan belatinya lebih dahulu.

Blesss! Claap! “Eearrhhh!”

Ujung belati berpamor beras wutah milik Surokolo itu telah menghunjam dalam-dalam ke dada Gombong disusul oleh darah segar memuncrat keluar.

“Mampus kau, pengkhianat!” seru Surokolo serta mencabut kembali belatinya dari dada si Gombong.

Tak ubahnya sebuah patung, tubuh Gombong se- saat berdiri kaku, lalu bergoyang-goyang. Pedangnya lalu terlepas jatuh di tanah. Matanya yang mendelik menahan sakit itu, tiba-tiba menatap ke arah Mahesa Wulung yang tergolek di tanah dalam jeratan jala.

Dengan langkah terhuyung-huyung Gombong men- dekati Mahesa Wulung, dan tepat di dekatnya, Gom- bong segera roboh dengan tubuh berlepotan darah.

“Tuan... Wira... Tam... tama... Mahesa Wulung,” ujar Gombong terputus-putus kepada Mahesa Wulung yang terbaring di sampingnya. “Aku tak... dapat berbuat ba- nyak.”

Mahesa Wulung tersenyum haru oleh kata-kata Gombong yang diseling oleh batuk-batuk sesak tadi. Jawabnya, “Kau telah berbuat lebih banyak, Gombong. Anda telah berlaku jantan!”

“Sayang... aku tak... dapat lagi menolong Tuan.” Gombong berkata kembali. “Semoga... Tuhanlah... yang akan menolong Tuan.”

“Tak usah... kuatir, Gombong,” sambung Mahesa Wulung pula. “Aku pasti akan berusaha melepaskan diri dari cengkeraman mereka.”

“Apakah Tuan sudi memaafkan segala kesalahan dan perbuatanku yang sesat ini..., Tuan?”

“Yah. Aku akan memaafkanmu, Gombong,” berkata Mahesa Wulung. “Semua kesalahanmu aku hapus dan aku maafkan.”

“Dan apakah aku akan mati sebagai prajurit kawal yang baik..., Tuan?” tanya Gombong sambil terengah- engah.

“Ya, ya. Itu benar, Gombong,” sambut Mahesa Wu- lung. “Kau akan tewas sebagai prajurit yang baik!”

“Teri... ma... ka... sih, Tuan... aaakhhh!” Gombong mengakhiri kata-katanya berbareng kepalanya terkulai layu bagaikan sebatang pohon yang ditebang. Matilah sudah si Gombong dan tubuhnya tergolek di samping Mahesa Wulung.

Beberapa orang segera menolong Salung yang terlu- ka dan mengobatinya, sementara itu Bedor telah di- panggil oleh Surokolo untuk menerima perintah-pe- rintah berikutnya.

“Siapkan perahu layar kita, Bedor! Cepat!” perintah Surokolo. “Matahari telah mencium cakrawala barat dan kita harus selekasnya meninggalkan pantai ini!”

“Baik, Kakang Surokolo,” sahut Bedor seraya lari ke tepi air dan memberitahu teman-temannya akan perin- tah dari Surokolo tadi.

Beberapa orang segera kelihatan bergegas me- nyiapkan sebuah perahu layar yang tersembunyi di ba- lik pohon-pohon bakau.

“Ha, ha, ha. Sayang bukan, bahwa Gombong tak berhasil menolongmu?! Sekarang dia telah mampus! Sebentar lagi engkau kuhadapkan ke depan Ki Rikma Rembyak di sarangnya!” ujar Surokolo kepada Mahesa Wulung.

“Kakang Surokolo,” berkata Balur, “bagaimana de- ngan Mahesa Wulung ini? Apakah jaring jala ini kita lepas sekarang?”

“Jangan sekarang, Balur. Nanti saja di dalam pera- hu. Kalian tak perlu repot-repot. Lempar saja tubuh- nya ke dalam perahu,” demikian perintah Surokolo.

Sekonyong-konyong, setelah mereka menyalakan obor-obor, terdengar suara berdesir di sebelah selatan, membuat mereka terperanjat.

Tepat di sebelah selatan muncullah sesosok baya- ngan manusia, begitu juga dari arah tenggara dan ba- rat daya. Ketika cahaya obor menyentuh wajah mere- ka, segera Balur dapat mengenal satu di antara mere- ka.

“Kakang Surokolo,” desis si Balur seraya menunjuk ke arah tokoh yang datang dari selatan, “itulah Gagak Cemani dan kawan-kawan Mahesa Wulung lainnya!”

“Siapkan senjata kalian!” kata Surokolo kepada si Balur, Bedor dan beberapa orang pengikutnya yang be- rada di sebelah belakang.

“Jangan bergerak! Kalian telah terkepung!” seru Ga- gak Cemani dengan lantang. “Dan bebaskan kembali sahabat kami Mahesa Wulung itu!”

Suasana menjadi hening sejenak. Tetapi Surokolo yang berotak licin ini tiba-tiba membungkuk dan meng- acungkan belatinya ke dada Mahesa Wulung disertai tertawanya yang terkekeh-kekeh.

“Heh, he, heh. Jangan coba menakut-nakuti kami! Lihatlah sahabatmu ini. Jika kalian bergerak ke arah kami, maka nyawa Mahesa Wulung ini akan terbang oleh senjataku!”

Gagak Cemani serta kedua bayangan yang tidak lain adalah Tungkoro dan Pandan Arum seketika ter- tegun dari gerakannya. Mereka terpaksa menghentikan langkahnya untuk menyerang Surokolo karena anca- man maut yang tertuju kepada Mahesa Wulung benar- benar sangat gawat.

“Nah, itu bagus,” kembali berkata Surokolo kepada Gagak Cemani. “Kalian tentu ingin sahabatmu ini baik- baik saja, bukan?! Karenanya, biarkan kami mening- galkan pantai ini dengan tenang!”

Melihat ketiga sahabatnya itu ragu-ragu oleh anca- man Surokolo, Mahesa Wulung segera pula berseru ke- pada Gagak Cemani. “Kakang Gagak Cemani! Jangan perdulikan tentang diriku! Serbulah mereka dan bina- sakan Surokolo beserta orang-orangnya!”

“Hah, ha, ha, ha. Berkaok-kaoklah sepuas hatimu, Mahesa Wulung. Aku yakin bahwa sahabat-sahabatmu cukup pandai dan tidak akan membiarkan dadamu je- bol oleh senjataku ini! Bukankah begitu, sobat-sobat?!” ujar Surokolo sambil memberi isyarat kepada Bedor dan Balur untuk mengangkat tubuh Mahesa Wulung ke dalam perahu mereka.

Begitulah, dengan ancaman keselamatan Mahesa Wulung oleh Surokolo, Gagak Cemani bertiga dibuat tidak berdaya sama sekali. Mereka membiarkan tubuh Mahesa Wulung digotong ke arah perahu, sebab me- reka kuatir jika dirinya bergerak, maka Surokolo akan benar-benar melaksanakan ancamannya, yakni mem- bunuh Mahesa Wulung dengan senjatanya!

Sebentar saja Surokolo dan orang-orangnya telah naik ke dalam perahunya dan bergeraklah ke arah uta- ra, persis seekor naga yang muncul dari sela-sela po- hon bakau. Bersamaan dengan itu, Pandan Arum tak bisa lagi membendung air matanya dan hampir-hampir saja ia roboh tak sadarkan diri bila Gagak Cemani serta Tung- koro tidak lekas-lekas menolongnya.

Tiga orang prajurit Demak yang datang bersama Gagak Cemani tampak tengah memeriksa mayat Gom- bong.

***

2

BAGAIMANAPUN bentuknya, sebuah hinaan akan benar-benar mempengaruhi perasaan dan jiwa seseo- rang. Namun janganlah sampai ada yang selalu meng- anggap bahwa sebuah hinaan atau cemooh akan bersi- fat buruk dan membawa keburukan.

Langkah pertama yang paling tepat bagi seseorang yang mendapat cemooh atau hinaan, adalah bermawas diri. Tepatnya ialah mengaca atau meninjau diri sen- diri.

Jika cemooh tadi memang benar, berarti bahwa diri kita yang mempunyai kekurangan. Dan sudah sepan- tasnyalah bahwa kita segera memperbaiki apa-apa yang kurang pada diri kita tadi.

Namun hal itupun memerlukan jiwa dan sikap yang teguh. Memanglah, bagi jiwa yang lemah dan mudah putus asa, sebuah hinaan atau cemooh akan merupa- kan alat penghancur yang hebat.

Akan tetapi tidaklah demikian buat orang-orang yang mempunyai keteguhan jiwa. Justru, sebuah hi- naan akan membuatnya makin kokoh dan bekerja ke- ras dalam mengejar semua kekurangan-kekurangan tersebut. Seperti halnya Bambang Ekalaya yang ditolak oleh Dorna untuk menjadi muridnya, justru membuat sang Ekalaya makin keras tekadnya. Maka dibuatnyalah pa- tung sang Dorna. Dan selanjutnya di depan patung ti- ruan tadi belajarlah Ekalaya dengan rajinnya dalam hal memanah, seolah-olah seperti ia belajar di hadapan sang guru itu sendiri. Sehingga akhirnya dapatlah Ekalaya menyamai kepandaian sang Arjuna dalam hal memanah.

Begitulah juga kiranya bagi seorang pemuda yang bernama Palumpang, terpaksa memencilkan diri dari kawan-kawan nelayan lainnya. Semenjak ia diejek oleh kawan-kawannya, disebabkan ketidak-mampuannya untuk lebih lama menyelam di dalam laut, Palumpang segera memisahkan diri dari mereka.

Sungguh malu rasanya bagi Palumpang, apabila ia setiap kali teringat akan kejadian beberapa waktu ber- selang yang telah dialaminya.

Waktu itu mereka mengadakan lomba ketangkasan untuk menyelam di dalam air, disaksikan oleh para ke- luarga nelayan. Di antara mereka tak ketinggalan pula gadis-gadis cantik ikut menonton perlombaan tersebut. Dan itu pulalah kiranya yang membuat semangat me- reka berkobar untuk memenangkan diri dalam lomba menyelam itu.

Palumpang, sebagai anggota nelayan dari daerah Muara Serang tak ketinggalan pula untuk mengiku- tinya. Tetapi sayang sekali, dan kejadian inilah yang akhirnya menyebabkan si Palumpang menjadi bahan tertawaan dan cemoohan dari kawan-kawan nelayan lainnya.

Begitu aba-aba diberikan, maka berterjunanlah me- reka ke dalam laut dari bibir-bibir perahu. Busa putih dan gelembung-gelembung air laut bertebaran dan memutih di permukaan air laut, diiringi oleh sorak- sorai para penonton.

Belum lagi sepemakanan sirih lamanya, tiba-tiba Palumpang telah memunculkan kepalanya di permu- kaan air, dan seketika pecahlah sorak-sorai ejekan dan cemooh dari mulut para penonton disertai tangan-ta- ngan mereka pada menunjuk-nunjuk ke arah Palum- pang.

“Ha, ha, ha, ha. Lihatlah kawan-kawan! Di sana ada kambing kecemplung air,” terdengar ejekan dari salah seorang penonton.

“Ya, benar. Heh, heh, heh,” sambung yang lainnya pula. “Lebih baik menyelam di tempat tidur saja, Nak!”

“Hoh, ho, ho, kau kurang pantas menjadi pelaut, Bung!” seru penonton yang lain, dan begitulah, berma- cam-macam ejekan dilontarkan kepada Palumpang, membuat pemuda ini cuma tertunduk diam menahan malu.

Secara jujur, Palumpang sendiri mengakui bahwa dialah yang paling kalah. Dilihatnya, bahwa kawan- kawan lainnya masih belum muncul sampai saat itu.

Palumpang segera berenang ke tepi dan meninggal- kan para penonton tadi dengan rasa malu dan kecewa. Meskipun di saat itu Palumpang cuma berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun, tetapi di dalam hatinya ia berteriak sekeras-kerasnya, “Awas! Kalian boleh mengejekku sekarang ini. Tapi tunggulah bebe- rapa waktu lagi. Akan kutunjukkan kepada kalian, siapa aku sebenarnya! Aku akan berlatih diri dan ka- lian akan kutantang untuk pertandingan menyelam dalam air!”

Maka sejak kejadian itulah Palumpang lalu memi- sahkan diri dari kawan-kawannya. Rupanya Palum- pang termasuk pemuda yang memiliki keluhuran budi dan ia mampu mengetrapkan diri dalam keadaan yang sebenarnya. Peristiwa tadi yang diawali dengan ejekan dan ce- mooh telah membajakan diri Palumpang. Bukannya ia menjadi putus asa ataupun hancur, tapi malah seba- liknya! Mula-mula sekali, dibuatnya sebuah rakit yang cukup lebar dari lonjoran-lonjoran bambu dan batang pohon. Sesudah siap, rakit tersebut diturunkan ke laut serta didayungnya ke tengah.

Mulai hari itu, Palumpang benar-benar menggem- bleng dirinya. Dengan seutas tali yang cukup panjang- nya, Palumpang telah mengikatkannya pada pinggang.

Sambil menghirup udara yang banyak, ia mener- junkan diri ke air. Tubuhnya menembus permukaan air laut, meluncur ke bawah dengan pesatnya.

Namun seperti peristiwa di dalam perlombaan me- nyelam dahulu, kembali Palumpang tak mampu berta- han diri untuk lebih lama tinggal di dalam air.

Dadanya seakan-akan mau meledak karena terlalu lama menahan udara di dalamnya. Karenanya dalam sekejap mata Palumpang telah menggenjotkan kakinya ke bawah dan tubuhnya meluncur kembali naik ke permukaan air.

Begitu sampai di atas permukaan air dan mencapai rakitnya, mulut Palumpang kelihatan megap-megap, bagaikan seekor ikan yang kekeringan air.

“Huuh, pantas mereka berani mengejekku!” desah Palumpang seraya mengusap-usap rambutnya. “Nah, akan kucoba lagi sekarang!”

Untuk kedua kalinya, Palumpang terjun kembali ke air, dan sekali ini ia berhasil memperpanjang waktu- nya untuk menyelam di dalam air.

Berbagai cara telah dicobanya untuk melatih paru- parunya, menyimpan udara dan menghematnya di da- lam air, sehingga lama-kelamaan Palumpang telah ter- biasa dengan alam sekitarnya.

Air laut, ombak, rakitnya, udara terbuka, angin, bu- rung dan binatang-binatang laut yang berbagai corak telah dikenalnya dengan baik. Mereka itu seolah-olah telah menjadi sahabatnya, merupakan bagian dari hi- dupnya.

Bila lapar, Palumpang tak terlalu pusing untuk mencari makanan. Dengan sebentar menyelam ia akan segera dapat menangkap beberapa ekor ikan yang di- kehendaki dan selanjutnya ia memanggangnya di dara- tan.

Demikianlah, akhirnya Palumpang menjadi seorang penyelam ahli dan tangguh. Itu semua telah dicapainya berkat latihan-latihan yang rajin dan ulet, sementara waktupun telah lewat tanpa pernah dihitung oleh Pa- lumpang lagi.

Latihan! Sekali lagi latihan! Dan itu semua menye- babkan Palumpang seperti tak memerlukan lagi untuk berkumpul dengan kawan-kawannya.

Sang waktupun terus berjalan dan kini Palumpang tidak saja mahir menyelam, tapi juga terus melatih di- rinya dalam ilmu keseimbangan tubuh.

Bila ombak laut menjadi besar dan angin ribut ber- tiup, maka rakit Palumpang itu terombang-ambing ke sana-ke mari bagai sepotong sabut kelapa.

Dan di saat itulah Palumpang kembali menggem- bleng dirinya. Dengan duduk bersila dan memusatkan perhatian, ia menjaga keseimbangan dirinya untuk te- tap bertahan pada permukaan rakitnya meskipun om- bak besar menghempasnya ke sana-ke mari.

Sepintas lalu, pemandangan ini menimbulkan keka- guman, tapi juga kengerian dan keseraman, sebab sia- pakah orangnya yang tidak akan gemetar bila menyak- sikan sebuah rakit dengan seorang penumpangnya duduk bersila tenang, meskipun timbul tenggelam di sela-sela ombak yang menggulung ganas!

Dari hari ke hari, panas matahari selalu membakar kulitnya, dan di malam hari, udara dingin menggelut tubuhnya sehingga tubuh Palumpang menjadi hitam mengkilat. Rambutnya menjadi panjang, terikat oleh selembar kain ikat kepala merah tua. Sedang kumis dan jenggotnya melebat tumbuh menghias wajahnya, menambah suasana keangkeran dan kekerasan.

Dalam keadaan sekarang ini, Palumpang sudah bu- kan seperti Palumpang beberapa tahun yang lalu, yang mudah terbakar amarahnya oleh kata-kata orang lain. Kini ia telah memiliki kepandaian yang tinggi dan me- lebihi teman-teman lainnya.

Namun ketika ia telah memiliki semua kepandaian, Palumpang tidak lagi mempunyai maksud untuk kem- bali menantang teman-temannya, guna mengadu keta- hanan diri dalam menyelam di dalam air.

Maksud tadi sudah tidak lagi ada padanya. Sem- boyannya, buat apakah suatu kepandaian mesti dipa- merkan dan dipertontonkan di hadapan orang lain?

Memanglah, Palumpang kini telah berbeda dengan waktu-waktu yang lalu. Jiwa dan pribadinya yang telah mengendap, tercermin jelas dalam sikap dan tindak- tanduknya.

***

Pada suatu malam, ketika Palumpang tengah bersi- la di atas rakitnya yang diayun-ayunkan gelombang itu, tiba-tiba hidungnya telah menangkap bau sebuah perahu dan manusia.

Sebenarnya ia tak perlu heran untuk hal itu, tetapi entah mengapa bahwa nalurinya mengatakan kalau ada sesuatu yang perlu diperhatikan dan menarik.

Palumpang mengambil dayung, dan setelah sejenak ia berdiri serta dapat mengetahui munculnya sebuah perahu, segeralah ia mendayungkan rakitnya untuk mendekati perahu tersebut. Belum lagi mendayung sepuluh kali, tiba-tiba ia berhenti. Tampaklah Palumpang merenung sejenak sambil terus mengawasi perahu tadi.

“Hmmm, ada dua orang penjaga yang selalu mon- dar-mandir di depan kamar buritan!” menggumam si Palumpang seorang diri. “Dan dua obor yang dipasang di sebelah haluan!”

Secermatnya ia mengawasi gerak-gerik perahu yang berlayar menuju ke arah timur laut, sementara itu pu- la ia memasang dua bilah mancung, atau kelopak bunga kepala yang berbentuk seperti badan perahu, pada kedua belah kakinya.

“Aku menjadi sangat tertarik pada perahu tersebut, dan rasanya ada sesuatu yang tidak beres di sana!” desah Palumpang seraya meloncat ke air sambil seka- ligus mengetrapkan segenap ilmunya. “Aku akan seli- diki perahu itu!”

Tap! Tap!

Kedua kaki Palumpang yang beralaskan kelopak bunga kelapa itu mendarat di air dan secepatnya dige- rakkan ke depan dan belakang silih berganti.

Akibatnya sungguh mengagumkan. Palumpang se- ketika dapat meluncur berjalan di atas air, sehingga seolah-olah bukan manusia tampaknya, tetapi hantu laut.

Bintang di langit kelam bertaburan dengan indah- nya, dan perahu yang diintai oleh Palumpang itu membelah air dan maju ke depan dengan tenangnya.

Gerakan Palumpang semakin hati-hati apabila ke- dudukannya telah dekat dengan buritan perahu tadi. Sebentar kemudian dengan tangkasnya ia telah meng- gantungkan kedua belah tangannya pada buritan.

Telinganya yang cukup tajam segera dapat menang- kap pembicaraan kedua pengawal perahu tadi.

“Ahh, untunglah Surokolo cukup tangguh mengha- dapi si Mahesa Wulung itu!” terdengar suara bernada serak dari salah seorang pengawal.

“Hi, hi, hi. Tentu saja Kakang Surokolo dapat me- ringkus Mahesa Wulung,” sambung suara lain yang sedikit besar. “Bukankah ia termasuk pendekar pilihan dari Pulau Mondoliko?!”

“Namun apakah Kakang Surokolo kiranya mampu melaksanakan tugasnya, seandainya ia tidak memiliki jala sutera sakti itu?”

“Huss, kau jangan meragukan kesaktian Kakang Surokolo! Dengan jala ataupun tidak, aku yakin bahwa Surokolo akan sanggup merampungkan tugasnya!”

“Dan sekarang bagaimana keadaan tawanan kita, si Mahesa Wulung itu?”

“Tubuhnya telah terikat keras-keras dan tak seo- rangpun yang tahu bila Mahesa Wulung telah kita tangkap dan kini berada dalam perahu ini!”

“Meskipun demikian, kita harus tetap waspada, se- bab tawanan kita itu sangat berharga bagi Ki Rikma Rembyak! Dan kau tahu? Hadiah besar telah menanti kita!”

“Ha, ha, ha. Benar kawan.... Tapi aneh?! Kupingku mendengar sesuatu di sebelah buritan perahu kita ini!” “Sesuatu? Yah... bunyi deburan air yang aku dengar

selama ini.”

“Goblok kowe! Dengar baik-baik. Nah, ada dengu- san nafas dari arah dinding buritan. Pasti ada sesuatu yang mencurigakan di sebelah sana. Mari, kita periksa bersama!”

Mendadak saja, belum lagi mereka melangkahkan kakinya sampai lima langkah, tiba-tiba melentinglah satu tubuh manusia dari arah buritan dan berputar di udara satu putaran, untuk selanjutnya menerjang ke bawah dengan gesitnya!

Betapa kagetnya kedua orang penjaga itu tak dapat dibayangkan lagi. Tambahan pula, melihat tampang si pendatang tersebut, mereka segera mengira bahwa hantu laut telah mendatangi mereka!

Dengan serentak mereka menyiapkan senjatanya. Tetapi sekali lagi mereka tak berdaya apa-apa ketika bayangan manusia tadi tahu-tahu telah menotokkan kedua ujung jari-jari dari kedua belah tangannya ke leher mereka.

Tuk! Tuuk! Braak!

Entah bagaimana rasanya, mendadak saja kedua penjaga yang bernasib sial itu roboh menggeletak se- tengah lumpuh, dengan mulut yang bisu tak dapat berkata-kata.

Bagaikan orang lagi bermimpi, kedua penjaga ini dapat melihat semua kejadian di depannya, akan tetapi ia tak mampu berbuat apa-apa, bergerakpun mereka tak kuasa!

Dan mereka menyaksikan, betapa si pendatang itu membuka kamar buritan dengan cekatan, kemudian masuk ke dalamnya.

Dugaan Palumpang semula yang mencurigai akan perahu ini ternyata benar. Dan juga dari pembicaraan kedua penjaga itu, Palumpang pun segera tahu bahwa perahu ini membawa muatan yang paling berharga, yakni pendekar Mahesa Wulung!

Bagi Palumpang, nama tersebut sudah tidak asing lagi meskipun ia sendiri belum pernah mengenal dan berjumpa sendiri dengan orangnya.

Masih cukup segar dalam ingatan Palumpang ketika beberapa saat yang silam di waktu ia masih bersama- sama hidup sebagai nelayan. Pada saat itu, hampir semua nelayan menjadi takut untuk berlayar terlalu jauh ke tengah Laut Jawa, sebab di sana, sering mun- cul Kapal Hantu yang dahsyat dan menakutkan.

Sudah tak terhitung banyaknya perahu-perahu yang dibinasakan sampai ke penumpang-penumpang- nya sekaligus! Untungnya sebuah kapal dari armada Demak yang dipimpin oleh Mahesa Wulung telah ber- hasil membinasakan Kapal Hantu tadi.

Dan kini Palumpang telah mendengar, bahwa Mahe- sa Wulung telah tersekap dan ditawan di dalam perahu ini. Maka tanpa membuang waktu lagi, Palumpang se- gera memeriksa seluruh kamar buritan dan sebentar kemudian, pada sebuah sudut kamar yang terlindung oleh tumpukan-tumpukan karung, dapatlah ia men- jumpai seseorang yang duduk meringkuk dengan ta- ngan dan kakinya terikat sedang mulutnya pun ter- sumbat oleh ikatan selembar kain.

Keduanya saling terperanjat ketika pandangan mata mereka saling bertemu. Palumpang ragu-ragu sejenak, lalu berkata. “Benarkah Anda yang bernama Mahesa Wulung?”

“Aah! Uh! Uh!” jawab orang itu dengan mengang- gukkan kepalanya beberapa kali.

“Oo, maaf, Kisanak. Aku lupa membuka kain ini le- bih dahulu,” ujar Palumpang seraya melepas ikatan kain yang menyumbat mulut Mahesa Wulung.

“Benar, sobat!” ujar Mahesa Wulung. “Akulah yang bernama Mahesa Wulung. Tapi... dari manakah Andika tahu tentang diriku ini?!”

“Nanti akan kuceritakan lebih lanjut,” berkata Pa- lumpang dengan hormatnya. “Tapi ikatan tali yang me- lilit tubuh Andika ini harus aku lepaskan terlebih da- hulu!”

“Yah, itu lebih baik,” jawab Mahesa Wulung, sambil matanya mengawasi, betapa dengan cekatan si peno- long ini melepas semua tali-temali tadi dengan sebilah pisau kecil. Sebentar kemudian, bebaslah tubuhnya.

“Perkenalkan Tuan, nama saya Palumpang,” kata Palumpang seraya menjabat tangan Mahesa Wulung. Namun ia terkejut, dan begitu pula dengan Mahesa Wulung sendiri, ketika tangan pendekar Demak ini ti- dak mampu untuk menyambut jabatan tangan dari Pa- lumpang.

“Ookh, aku telah dilumpuhkan oleh mereka!” desah Mahesa Wulung. “Harap dimaafkan jika saya tak mam- pu menyambut tangan Saudara.”

“Dilumpuhkan?!” desis Palumpang seraya memerik- sa segenap bagian tubuh Mahesa Wulung. “Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa urat-urat ataupun jalan darah Anda tertotok oleh sesuatu!”

“Memang begitu, sobat,” jawab Mahesa Wulung. “Aku terlumpuh bukan disebabkan terkena totokan urat atau jalan darah, tetapi disebabkan oleh senjata jala sutera yang meringkus diriku.”

“Jika demikian, agaknya tubuh Andika telah terke- na bisa pelumpuh!”

“Rupa-rupanya memang demikian,” sambung Mahe- sa Wulung seraya mengeluh.

“Akh, tak perlu Andika cemas,” jawab Palumpang pula. “Aku akan berusaha menolong Andika keluar da- ri perahu ini!”

“Terima kasih. Tapi aku tak mampu berenang de- ngan keadaan tubuh semacam ini.”

“Itu tak menjadi soal. Andika berteguh hati saja...,” ujar Palumpang sambil mengangkat tubuh Mahesa Wulung dan memondongnya ke luar dari kamar buri- tan.

Di luar, pada geladak perahu itu masih tergeletak kedua orang pengawal perahu yang tadi telah dilum- puhkan oleh Palumpang.

Serentak Mahesa Wulung menatapkan pandangan- nya ke arah orang-orang itu. Iapun berkata kepada Pa- lumpang. “Sebentar, sobat. Lihatlah pada pinggang pengawal yang berikat kepala kuning itu. Pedangku ada padanya, dirampasnya ketika aku terlumpuh.”

Palumpang mengangguk dan dengan sebatnya ia meloloskan pedang Mahesa Wulung yang terselip pada pinggang si pengawal berikat kepala kuning.

Kedua pengawal itu ternganga melihat si pendatang itu telah membebaskan dan menolong Mahesa Wulung keluar dari kamar buritan.

Akan tetapi, mereka cuma ternganga saja tanpa da- pat berbuat sesuatu. Malahan mereka menjadi terbe- ngong, sewaktu Palumpang mengenakan kembali te- rompahnya yang terbuat dari seludang bunga kelapa itu dengan cekatan.

“Heh, heh, heh,” tawa Palumpang serta menoleh ke arah kedua pengawal itu. “Katakan pada pemimpinmu, bahwa seorang hantu laut telah merampas tawanan- mu! Heh, heh, heh!”

Begitu rampung berkata, Palumpang dengan sebat- nya sambil memondong Mahesa Wulung telah melon- cat terjun ke air, membuat pengawal-pengawal itu me- lototkan mata seperti tak mau percaya oleh pengliha- tannya.

Seorang di antaranya dengan nekad telah memben- turkan kepalanya kepada sebuah tong kayu yang seke- tika menggelinding dengan suara berderak.

Oleh suara itu, beberapa awak perahu tampak ber- loncatan ke luar dari kamar geladak dan kamar haluan termasuk Surokolo sendiri.

Mereka berseru kaget dan serentak mereka sama- sama memandang ke arah samping timur perahu, ke- tika kedua pengawal itu mengangguk-anggukkan kepa- la serta melototkan matanya ke arah timur sebagai isyarat.

“Whaah?!” Seru Surokolo, begitu ia melihat sesosok tubuh dengan memondong tubuh yang lain telah me- luncur dan berloncatan, berjalan di atas permukaan air laut, bagai ikan terbang. “Siapa mereka?!” bentak Surokolo, seraya memandang kedua pengawal perahu itu.

“Uh! Uuh!” jawab kedua orang pengawal yang te- ngah lumpuh tersebut disertai kepalanya menggeleng- geleng pertanda akan ketidak-tahuannya.

“Hemm, kalian berdua telah dilumpuhkan mereka,” kata Surokolo bernada geram. “Baiklah, kalian harus kubebaskan dulu!”

Sambil berkata demikian, Surokolo menggerakkan tangannya dan begitu ujung-ujung jarinya menyentil sisi leher dari kedua orang pengawal itu, serentak me- reka terbangun dari kelumpuhannya seraya mem- bungkuk-bungkuk hormat.

“Nah, sekarang lekas jelaskan tentang kedua orang tadi! Dan bagaimana tawanan kita sampai bisa lolos!” Surokolo membentak keras, menyebabkan dua pen- gawal tersebut mengerutkan leher saking takutnya.

“Ampun, Tuan,” ujar seorang yang lebih tua. “Waktu kami tengah berjaga, tiba-tiba saja tanpa suara dan asal-usulnya meloncatlah satu bayangan manusia yang berwajah dan berperawakan seram dari arah bu- ritan. Dalam saat yang demikian gentingnya itu, maka kami segeralah melolos senjata-senjata kami. Tetapi tanpa diduga, si pendatang tadi tahu-tahu telah meno- tok leher kami dan membuat lumpuh! Akhirnya tanpa dapat berbuat sesuatu, kami cuma dapat melihat bah- wa si pendatang itu menggotong keluar tubuh Mahesa Wulung, sambil mengejek bahwa dialah yang bergelar Setan Laut, si penolong.”

Surokolo mengangguk-angguk puas oleh keterangan ini, namun kembali ia berseru marah. “Kenapa kau ti- dak mau berteriak, heei?! Goblok! Kalian tidak ber- tanggung jawab! Tahu?!”

“Ooh, maaf, Tuan. Kami begitu kaget oleh kemuncu- lan si pendatang itu dan kami tak sempat berteriak!” “Nah, itulah kesalahan kalian!” sahut Surokolo pu-

la. “Untuk itu kalian nanti harus bertanggung jawab di hadapan Ki Rikma Rembyak sendiri!”

“Aduuh,” keluh kedua penjaga tadi dengan putus asanya. Mereka telah menduga bahwa Ki Rikma Rem- byak akan marah sejadi-jadinya. Oleh sebab itu kedua- nya semakin ketakutan, dan dalam keadaan yang de- mikian itu, sering pula menimbulkan perbuatan-per- buatan nekad. Seperti digerakkan oleh tenaga yang sama, maka kedua penjaga itu meloncat ke arah ping- giran perahu untuk menerjunkan diri ke arah laut.

Sebagai seorang pemimpin, agaknya Surokolo telah dapat meraba setiap kemungkinan yang bisa terjadi, sehingga ia tidak menjadi kaget oleh tindakan kedua orang penjaga yang hendak membuang diri ke laut.

“Tangkap keduanya!” bentak Surokolo menggelegar lantang berbareng segenap anak buahnya berloncatan dengan cepatnya untuk meringkus mereka.

Surokolo tertawa gelak-gelak dan merasa puas ke- tika matanya melihat bahwa kedua penjaga yang men- coba melarikan diri tadi telah tertangkap hidup-hidup.

“Ha, heh, heh, heh, heh. Kau berdua, si tikus busuk akan kuhadapkan di muka Ki Rikma Rembyak! Dan sekarang, ayo kawan-kawan! Jebloskan mereka ke da- lam kamar tahanan!”

“Jangan! Jangan!” teriak kedua penjaga itu dengan wajah tegang ketakutan. “Aku tak mau ditahan di ka- mar bawah!”

“Hoh, ho, ho. Jadi kalian tak mau ditahan di sana?” ujar Surokolo dengan mulut menyeringai lebar. “Apa- kah kamu ingin tinggal di puncak tiang layar dengan terikat erat-erat?”

Kedua penjaga tadi cuma terdiam tanpa berani membuka mulut ataupun menatap pandangan mata Surokolo. Yang terasa oleh mereka adalah keputus- asaan dan kematian yang segera akan dijumpainya apabila mereka tiba di Pulau Mondoliko.

Kini mereka sadar, bahwa menjadi pengikut Ki Rik- ma Rembyak bukanlah pekerjaan yang ringan semata- mata. Selain keberanian serta kesetiaan, merekapun harus cerdas, dan hal inilah yang kurang dipunyai oleh kedua pengawal tadi.

Mereka tidak lekas-lekas berteriak ketika Palum- pang muncul, sehingga tiada orang lain yang mengeta- huinya kecuali mereka berdua sendiri.

Biarpun begitu, tak habis juga keheranan mereka ketika Palumpang tadi dengan mudahnya berjalan dan berloncatan di atas permukaan air laut dengan lincah- nya.

Meskipun kejadian tadi dilihatnya beberapa saat yang lalu, akan tetapi sampai sekarangpun seolah-olah masih terbayang jelas di rongga mata mereka, betapa si pendatang itu telah menyerobot tawanan mereka dan kemudian memondongnya serta membawanya ter- jun ke air, itu semua masih dapat diingat baik-baik oleh mereka.

Kedua penjaga tadi tak dapat lagi menggerakkan tubuhnya, sebab tangan-tangan awak perahu lainnya dengan jari-jemarinya yang kuat telah mencengkeram dan menyekap erat tubuh-tubuh mereka.

Yang tampak oleh mereka berdua hanyalah sorot- sorot mata liar dan tajam dari para awak perahu tadi. Kesan yang semula membayangkan persahabatan kek- al, kini berubah dengan pandang kecurigaan dan ke- bencian seluruhnya.

Bagi awak perahu lainnya, kedua pengawal tersebut telah menjadi barang menjijikkan yang tidak patut tinggal bersama mereka lagi!

“Hukuman kalian akan menjadi lebih berat, karena kalian telah mencoba melarikan diri!” seru Surokolo. “Har... harap diampuni, Tuan,” keluh si penjaga tua

sambil membungkuk-bungkuk rendah sekali saking takutnya. Sedang penjaga yang satunyapun ikut pula ketakutan, karena dalam hatinya mereka telah men- duga bahwa hukuman akan segera jatuh pada mereka. “Hmm, jadi kalian minta diampuni?” gumam Suro- kolo. “Tapi apakah kalian sadar bahwa melepaskan ataupun membiarkan seorang tawanan lari, akan men-

dapat hukuman mati dari Ki Rikma Rembyak?!”

Bagai mendengar guruh di telinganya, kedua pe- ngawal tadi terhenyak tanpa dapat berkata-kata apa- pun.

Dengan menghembuskan nafas resah, beberapa saat kemudian si pengawal tua berkata kembali. “Kami berdua telah berbuat sebisanya, Tuan. Namun sera- ngan si setan laut tadi benar-benar diluar dugaan ka- mi.”

“Ehhh, aku tak mau mendengar alasan-alasan dari mulutmu. Salah atau tidak, kalian dibebaskan atau harus dihukum, hanya Ki Rikma Rembyaklah yang bo- leh memutuskannya! Karena kalian pun tentu tahu bahwa yang terlepas tadi adalah Mahesa Wulung, yang tidak lain adalah musuh besar Ki Rikma Rembyak dan juga musuh kita semua!” seru Surokolo serta melotot tajam. Kemudian Surokolo berpaling ke arah salah seorang anak buahnya yang berperawakan kekar dan bermata kecil, lalu berseru, “Klowong! Lekas jebloskan kedua pengkhianat ini ke kamar bawah!”

“Baik, Kakang!” sahut si tubuh kekar yang bernama Klowong tadi lalu memberi isyarat kepada beberapa orang untuk bergerak.

Kedua orang pengawal yang bersalah itu tanpa ber- kutik segera diseret ke bawah, ke dalam kamar geladak yang biasa digunakan untuk menyekap tawanan-ta- wanan rendahan dan perantaian.

***

3

MAHESA WULUNG menggosok-gosokkan jarinya ke pelupuk mata, ketika ia merasa bahwa dirinya telah siuman kembali. Percikan-percikan buih dari ombak laut telah membasahi kulit wajahnya, ditambah de- ngan udara subuh yang telah mulai tiba, membuat Mahesa Wulung tersadar pingsannya.

Dengan sedikit lupa-lupa ingat, ia masih dapat menggambarkan kembali semua lelakon beberapa saat yang telah lewat.

Mula-mula ia dapat mengingat betapa seseorang te- lah menolongnya keluar dari perahu para penjahat yang hendak menyeretnya ke Pulau Mondoliko!

Mahesa Wulung melayangkan pandangan matanya ke daerah sekeliling, dan mendadak saja ia berseru keheranan bercampur kaget.

“Heeii! Aku masih di tengah laut?!”

Begitu kagetnya, Mahesa Wulung melongo menatap ombak-ombak besar bermain berhempasan di sekeli- lingnya. Ia mendapatkan dirinya tergolek di tengah- tengah rakit yang cukup lebar. Pada sebuah ujungnya terikatlah sebuah peti kayu berukir berwarna kehita- man.

Semakin heranlah Mahesa Wulung ketika ia cuma mendapati dirinya hanya seorang tergeletak di atas ra- kit ini.

“Uuh, ke mana si penolongku ini?” gumamnya sam- bil berusaha duduk dengan bersusah-payah. “Aku ma- sih lumpuh terkena racun senjata Surokolo!” Meskipun telah berusaha, Mahesa Wulung tidak berhasil menguasai dirinya, dan dengan mendesah, ia rubuh kembali ke geladak rakit.

Di kala itu, di antara celah deburan ombak laut, muncullah sesosok bayangan manusia berloncatan de- ngan lincah dan cekatan.

Melihat itu Mahesa Wulung tertegun penuh takjub. Kalau pada beberapa tahun yang lalu ia pernah mela- kukan hal semacam itu dengan menggunakan terom- pah kayu, tapi kali ini yang dilihatnya, adalah jauh le- bih sempurna. Orang yang meloncat-loncat di atas permukaan air laut itu, seolah-olah seperti berjalan di atas permukaan tanah keras yang biasa. Jika ada om- bak yang agak tinggi, kadangkala orang itu melesat di atas puncak ombak tadi dan membiarkan dirinya me- luncur terbawa arus serta kemudian meloncat kembali ke atas puncak gulungan ombak seperti semula.

Namun ternyata bukan itu saja yang membuat Ma- hesa Wulung kagum, sebab orang tersebut makin jelas dan dekat. Ternyata kedua kakinya menggunakan dua buah seludang bunga kelapa, sedang agak jauh di be- lakangnya berloncatanlah beberapa ekor ikan terbang yang mengejarnya.

“Heeh, he, he. Bagus, sobat. Bagus sekali!” berkata si peloncat ombak tadi tertuju ke arah ikan-ikan ter- bang itu. “Kalian hampir dapat mengejarku!”

Sewaktu mereka hampir sampai di dekat rakit, si peloncat ombak berseru lagi. “Sobat-sobat yang baik, hari ini sampai di sini saja permainan kita!”

Para ikan-ikan terbang tadi dengan cepatnya me- mutar haluan dan mereka berbelok ke arah utara sampai akhirnya lenyap di antara celah-celah deburan ombak.

Si peloncat air yang tidak lain adalah Palumpang, lalu meloncat naik ke atas rakitnya. Dan iapun berseru gembira ketika ia melihat Mahesa Wulung telah si- uman kembali dari pingsannya.

“Waakh, syukurlah jika Anda telah sadar!” berkata Palumpang. “Nah, sebentar lagi kita akan mendarat di pantai. Ini aku telah mengumpulkan bahan-bahan ob- at untuk mengobati kelumpuhanmu.”

Palumpang berkata begitu sambil menunjukkan kantongan jaring yang berisi rumput-rumput laut dan beberapa bahan lainnya. Di antaranya tampaklah be- berapa ekor ikan tangkur kuda yang masih bergerak- gerak hidup.

“Hoo! Anda telah menyelam ke dasar laut?!” komen- tar Mahesa Wulung serta memandangi kantongan ja- ring yang dibawa oleh Palumpang.

“Benar. Jauh di bawah sana tersimpanlah kekayaan lautan yang tak terhingga harganya. Aku akan menco- ba mengobati tubuhmu dengan ramuan yang akan ku- buat nanti.”

“Hmm, mengapa Anda berusaha menolongku de- ngan mempertaruhkan nyawa?” bertanya Mahesa Wu- lung kepada Palumpang yang duduk di sebelahnya.

“Aneh juga pertanyaan Andika,” sambung Palum- pang diiringi senyuman polos. “Tapi baiklah Andika ke- tahui, bahwa semula aku tak mengira bahwa Andika berada di dalam perahu mereka sebagai tawanan un- tuk Ki Rikma Rembyak. Hanya nalurikulah yang me- ngatakan, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan pa- tut aku curigai pada perahu tersebut. Maka tanpa me- nunggu lebih lama, aku secepatnya mendekati perahu tadi, sehingga dari percakapan dua orang pengawal mereka, akupun dapat mengetahui siapakah sebenar- nya Andika ini!” demikian tutur kata Palumpang yang diungkapkan dalam kata-kata tenang dan penuh rasa hormat. “Dan selanjutnya, akupun menyelamatkan Andika karena nama Andika telah cukup dikenal luas. Secara tidak langsung, Andika pernah menolong nasib para nelayan ketika Andika berhasil menghancurkan Kapal Hantu.”

Dengan manggut-manggut Mahesa Wulung mende- ngarkan itu semua dan iapun berkata pula, “Jika boleh aku duga dan menilik dari kepandaian yang Anda mi- liki, rupanya Andapun termasuk seorang pendekar gemblengan!”

“Heh, heh, heh. Perkiraan Andika tentang diriku ter- nyata kurang tepat,” sela Palumpang sambil terse- nyum.

“Maksud Anda?” seru Mahesa Wulung dengan ka- getnya pula.

“Aku bukan seorang pendekar seperti yang Andika duga tadi. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dan belum pernah aku berbentrok ataupun bertempur me- lawan seseorang, sampai beberapa hari yang lalu ke- tika aku terpaksa menotok lumpuh kedua pengawal perahu yang menawan Andika.”

Mahesa Wulung tercengang sesaat seperti tidak ha- bis percaya oleh keterangan Palumpang tadi. Sehingga akhirnya Palumpangpun terpaksa menceritakan ri- wayat dan asal-usul tentang dirinya. Mulai ia diejek dan dihina sampai akhirnya ia menggembleng dirinya sendiri di tengah laut dengan rakitnya.

“Nah, begitulah sekadar riwayat diriku yang sesung- guhnya,” kata Palumpang ketika ia mengakhiri cerita- nya. “Betapapun seorang pendekar memiliki kesaktian, toh setiap kali ia akan menjumpai yang jauh lebih sak- ti daripada dirinya. Dan sesungguhnya pula, di situlah seorang pendekar akan teruji sampai di manakah ia te- lah mendalami ilmunya!”

“Anda memang benar. Hanya saja kita mesti ingat bahwa kesaktian yang digunakan untuk maksud-mak- sud jahat dan diselewengkan, maka akibatnya akan membawa bencana.”

Palumpang ganti tersenyum oleh kata-kata Mahesa Wulung, dan jenggotnya yang lebat itu dielus-elusnya beberapa kali, lalu ia menyeletuk, “Mm, pendirian An- dika ternyata tepat dengan pendirianku.”

“Terima kasih.”

“Berbaringlah Andika baik-baik. Aku akan men- dayung rakit ini ke arah pantai,” berkata Palumpang seraya memungut sebilah dayung panjang yang telah tersedia di atas rakit.

Beberapa saat kemudian, rakit yang ditumpangi mereka telah bergerak membelah air ke arah pantai dalam kelajuan yang penuh.

***

Di pantai utara Demak yang membujur dengan me- gahnya berhempasanlah sepanjang tepinya, buih-buih ombak yang bertaburan.

Di sela pepohonan bakau, tertambatlah sebuah ra- kit, jauh dari tempat yang sering dijangkau oleh pera- hu-perahu atau tangan manusia.

Sungguh sepi tempat itu. Suasana lengang dan cu- ma gemersik dedaunan atau kadang-kadang pekikan burung camar pantai terdengar sekali-sekali.

Sesungguhnya memang tempat demikianlah yang sering didatangi oleh Palumpang dan dipilihnya, bila saja ia merindukan daratan atau ada sesuatu kepen- tingan yang diperlukannya di sini.

Dengan tenangnya Mahesa Wulung berbaring bera- laskan daun-daun kering yang disusun oleh Palum- pang seperti kasur tipis dan cukup empuk.

Di dekat pendekar Demak ini, tampaklah Palum- pang menunggui sebuah periuk tanah yang tengah ter- jerang di atas perapian tungku darurat. Agaknya tung- ku itu dibuat oleh Palumpang secara tergesa-gesa na- mun cukup baik. Dari beberapa batu karang yang di- susun membentuk lingkaran dan sebuah lubang un- tuk memasukkan kayu bakarnya, maka terbentuklah tungku darurat tadi.

Mata Palumpang tak henti-hentinya mengawasi isi periuk tanah yang tengah direbusnya itu, karena ter- nyata telah mulai mendidih.

Bunyi kemerusuk dari cairan mendidih diikuti oleh asap putih yang mengalun keluar dari periuk, memba- wa bebauan yang sedap setengah harum.

Ketika Mahesa Wulung mencium bau tersebut, dia meneguk. “Mmm, agaknya Anda membuat masakan is- timewa, Palumpang.”

“Ini kusiapkan untuk Andika,” tukas Palumpang, seraya menyenduk-nyenduk masakannya itu dengan sebilah pisau kecil. “Ramuannya kutemukan sendiri selama aku mengasingkan diri di atas rakitku ini. Mu- dah-mudahan saja kelumpuhan Andika segera tersem- buhkan olehnya.”

Bau sedap dan harum tadi betul-betul menimbul- kan selera makan Mahesa Wulung, yang selama dita- wan dalam perahu Surokolo hampir tak pernah mene- rima makanan yang layak.

Dan rasanya Mahesa Wulung seperti tidak sabar menanti masakan tersebut, kentara dari sikapnya yang beberapa kali meneguk air liurnya. Hal itu membuat Palumpang tersenyum kecil dan ia segera mempercepat pekerjaannya.

Dengan mangkuk-mangkuk aneh yang terbuat dari kulit lokan kerang yang selebar daun teratai, Palum- pang lalu menuangkan masakan dari periuk tadi ke dalamnya.

“Nah, marilah segera Andika melahap masakanku ini, agar kesembuhan akan segera Andika dapat dari- padanya,” demikian Palumpang mempersilakan Mahe- sa Wulung. “Andika tidak usah sungkan-sungkan ke- padaku.”

“Aah, terima kasih,” sahut Mahesa Wulung seraya menyambut mangkuk kulit kerang tadi. “Masakan An- da sungguh sedap baunya.”

“Dan pakailah sepasang cupit tulang ikan cucut ini untuk menjumput sayur di dalamnya,” begitu ujar Pa- lumpang dan sepasang cupit itupun segera sampai ke tangan Mahesa Wulung yang telah duduk bersandar pada sebuah gumpalan batu karang.

Demikianlah, kedua sahabat tadi duduk di dekat perapian dan menikmati masakan yang dibuat dari ramuan-ramuan istimewa ciptaan Palumpang. Dia sendiri hanya mencicipi sedikit saja, sebab sebenarnya memang masakan tadi dibuat khusus untuk Mahesa Wulung.

Tanpa merasa malu-malu lagi Mahesa Wulung telah menyikat habis makanan tadi pada mangkuk perta- manya, dan kemudian disusul dengan mangkuk ke- dua.

Apa yang dirasa oleh Mahesa Wulung adalah kenik- matan dan kesegaran. Maka tak heran bila Mahesa Wulung memuji kepandaian sahabatnya di dalam hati.

Akan tetapi selang beberapa waktu setelah meng- habiskan masakannya, Mahesa Wulung merasakan pe- rubahan pada dirinya. Itulah sebabnya mengapa pen- dekar Demak ini segera menatap wajah Palumpang.

“Sekarang ramuan tadi telah mulai bekerja!” cetus Palumpang. “Andika tidak perlu cemas dan marilah aku tolong untuk berbaring.”

Mahesa Wulung dengan ditolong oleh Palumpang, lalu membaringkan diri, tertelentang dengan tenang. Satu rasa yang aneh, rasa kepanasan telah timbul di dalam tubuhnya. Seolah-olah ia tengah dirubung oleh tungku api dan ini menyebabkan keringatnya mulai bercucuran menerocos keluar dari lubang kulitnya. “Nah, mungkin Andika sekarang bakal tidak per-

caya oleh penglihatan sendiri. Ramuan tadi, sari-sari- nya akan meresap ke segenap daging, kulit dan setiap tubuh Andika. Mereka akan secara cepat mendesak hawa racun dan bisa yang telah melumpuhkan Anda, untuk keluar dari kulit. Haah, sekarang inilah dia!” se- ru Palumpang,

Kata-kata Palumpang tadi ternyata memang benar. Air keringat Mahesa Wulung yang keluar tadi, makin lama makin berwarna kehijauan dan akhirnya berubah hitam.

Pada saat itulah Mahesa Wulung menyeringai-nye- ringai seperti menahan sakit yang amat hebat. Namun itu tidaklah lama. Setelah keringat hitam tadi keluar, rasa sakit, pedih dan nyeri segera lenyap secara be- rangsur-angsur.

Hawa segar terasa oleh pori-pori kulit Mahesa Wu- lung yang telah sembuh dan bebas dari pengaruh ra- cun dan bisa.

Mahesa Wulung tersenyum kepada Palumpang dan berkata. “Aku mengucapkan terima kasih yang sebe- sar-besarnya, Kisanak. Andika telah menyembuhkan- ku.” Demikian Mahesa Wulung berkata seraya mengge- rakkan tangannya.

“Heee, tanganku sekarang tidak lumpuh lagi!” cetus Mahesa Wulung seraya menatap tangannya dan juga kedua belah kakinya telah dapat digerakkan secara normal, seperti sediakala. Dan akhirnya duduklah ia di atas tanah.

“Janganlah Andika terlalu banyak bergerak lebih dahulu,” berkata Palumpang menasehati sahabatnya. “Sekarang, keringat-keringat hitam yang masih me- nempel pada kulit tubuh Andika akan kubersihkan!”

Palumpang lalu mengambil sebuah bunga karang dari kantong kulitnya dan ditutul-tutulkan pada keri- ngat hitam tadi, sampai akhirnya bersih sama sekali.

Biarpun telah sembuh dari gangguan racun pelum- puh itu, Mahesa Wulung masih terpaksa harus menu- ruti peraturan-peraturan dari sahabatnya yang berwa- jah seram dan berkulit kehitaman itu.

Memang Palumpang ternyata tidak tanggung-tang- gung dalam menolong sahabat barunya ini. Ia meng- harap agar Mahesa Wulung memperoleh kembali sepe- nuhnya akan kesehatan dan kekuatan tubuhnya.

Seringkali pula Mahesa Wulung tinggal sendiri di pantai tersebut untuk menunggu Palumpang turun ke laut, guna mencari ramuan-ramuan obat dan bahan makanan untuk bekal mereka.

***

“Hah! Andika ternyata sangat mahir memperguna- kan alat itu!” seru Palumpang dari atas rakit kepada Mahesa Wulung yang dengan lincah dan tangkasnya berjalan dan berloncatan di atas air laut dengan mem- pergunakan terompah seludang bunga kelapa itu!

“Oo, jangan terlalu keheranan, Palumpang. Jauh se- belum ini aku memang pernah memakai alat serupa ini,” kata Mahesa Wulung seraya mendekati rakit dan meloncat ke atasnya. “Dan sesungguhnya aku masih jauh lebih heran akan kekuatan Anda yang mampu menyelam di dalam air hampir seperdelapan hari la- manya.”

“Heh, heh, heh. Andika rupa-rupanya telah menghi- tungnya dengan teliti. Hanya seorang yang berpenga- laman luas dan berilmu tinggilah yang mampu me- ngerjakannya.”

Mahesa Wulung cuma tersenyum oleh kata-kata Pa- lumpang yang berisi sanjungan, dan iapun berkata pu- la, “Apakah kira-kira aku boleh mengangkatmu seba- gai guru dalam ilmu menyelam ini?”

Palumpang terhenyak sesaat, namun kemudian ia- pun tertawa terkekeh-kekeh sampai bahunya tergun- cang. “Heh, heh, apakah aku mempunyai potongan un- tuk itu dan pantas menjadi gurumu?!”

“Bagi saya, seorang guru tidaklah harus berkedu- dukan tinggi, berwajah tampan ataupun berpakaian bagus. Yang penting adalah keluhuran budinya, kecin- taannya terhadap sesama umat dan ”

“Cukup... cukup,” sela Palumpang tersipu-sipu. “Aku tak tahan terhadap kata-katamu itu,” begitu kata Palumpang seraya menyeringai dengan wajah lucu. “Baiklah, Andika akan kuangkat menjadi muridku.”

Sebenarnya, Palumpang pun merasa bersyukur di dalam hati karena mendapat murid seorang pendekar yang namanya telah jauh terkenal. Meski pada mu- lanya ia merasa sungkan, tapi akhirnya hilanglah hal itu berkat sikap Mahesa Wulung yang pandai memba- wa diri dan ramah-tamah.

Tanpa kesukaran apapun, Mahesa Wulung mampu mempelajari ilmu menyelam dari Palumpang, dan tidak jarang keduanya bersama-sama sering melatih diri di dalam air.

Sedang yang kelihatan kemudian, hanyalah sebuah rakit yang terayun-ayun di atas air ke sana-ke mari tanpa penghuni. Tak tahunya di sebelah bawah sana kedua penumpangnya tengah bersila di dasar laut se- perti arca. Atau, jika mereka tidak bersila, maka bere- nanglah menyelam ke sana-ke mari ke setiap sudut ba- tu karang dan rerumputan laut.

*** 4

SEJAK MENDARAT kembali di Pulau Mondoliko, Surokolo dan anak buahnya kena marah oleh Ki Rik- ma Rembyak. Lebih-lebih terhadap dua orang pengaw- al perahu yang lalai waktu Mahesa Wulung lolos, Ki Rikma Rembyak tidak memberi ampun lagi. Mereka secara singkat diadili oleh Ki Rikma Rembyak sendiri, sebagai pemimpin tertinggi dari pulau tersebut. Penga- dilan singkat tanpa kesempatan untuk kedua terdakwa itu membela diri.

Untuk itu, memang Ki Rikma Rembyak tidak ingin memperpanjang waktu. Baginya, jika terdakwa sudah terang bersalah, maka harus dihukum secepatnya. Dan siang itu, kedua orang pengawal yang terhukum lalu digiring ke arah sebuah teluk, dengan diikuti oleh seluruh penghuni pulau para pengikut Ki Rikma Rem- byak.

Berita tentang lolosnya Mahesa Wulung dari perahu Surokolo, secara diam-diam membuat gembira bagi Ja- gal Wesi. Juga Andini Sari yang menaruh rasa simpati kepada Mahesa Wulung, sejak ia ditolongnya di daerah Jurang Mati beberapa waktu yang silam, dengan diam merasa bersyukur bahwa pendekar Demak itu dapat lolos kembali.

Dengan begitu, maka hadiah dari Ki Rikma Rem- byak yang disediakan bagi tertangkapnya Mahesa Wu- lung masih belum ada yang menerimanya. Seribu ke- ping emas untuk Mahesa Wulung! Begitu tawaran Ki Rikma Rembyak kepada segenap pendekar-pendekar bawahannya yang diucapkan paling akhir.

Wajah kedua orang hukuman tadi semakin bertam- bah pucat ketika iring-iringan Ki Rikma Rembyak tiba di teluk kecil yang berdinding karang. Daerah itu memang kelihatan agak aneh. Dinding karang yang mengelilingi teluk itu cukup tinggi, sedang mulut dari teluk yang berhubungan dengan laut sa- ngatlah kecil, dan di situ terpasang sebuah pintu kayu besi yang berlapis logam. Bila air surut, maka pintu kayu besi yang tebal tadi ditutup sehingga teluk kecil tersebut tetap berisi air.

Orang tidak perlu bertanya-tanya lagi terhadap ke- pentingan teluk kecil yang aneh ini, sebab mereka te- lah tahu bahwa Ki Rikma Rembyak memiliki kegema- ran yang aneh-aneh dan ganjil.

Seperti teluk kecil ini yang sekarang dikelilingi oleh seluruh pengikut Ki Rikma Rembyak dan berdiri di atas dinding-dinding teluk, merupakan satu peman- dangan yang aneh!

Ki Rikma Rembyak juga berdiri di situ dan segera ia membacakan keputusan hukuman kepada kedua ter- dakwa itu. Surokolo sudah menduga sebelumnya, ka- lau kedua orang ini pasti dijatuhi hukuman mati oleh pemimpinnya.

Dan itu memang benar. Segera ia mendapat aba- aba dari Ki Rikma Rembyak.

“Dorong ke bawah!”

Kedua pengawal terhukum itu menjerit ketakutan sewaktu tangan-tangan algojo mendorong tubuhnya ke bawah. Keduanya terpelanting ke bawah dan sesaat kemudian langsung diterima oleh air teluk yang tenang dengan suara berdebur keras.

Byuuurrr!

“Hua, ha, ha, ha,” tawa Ki Rikma Rembyak meledak ketika melihat dua orang hukuman itu tercebur ke air teluk.

Seluruh perhatian dan pusat pandangan mata di- arahkan kepada dua orang ini. Sesungguhnya, huku- man itu lebih diarahkan sebagai hiburan bagi Ki Rikma Rembyak dan para pengikutnya.

Kedua orang hukuman tadi cepat-cepat menguasai diri dan berenang ke arah tepian teluk. Mereka bere- nang dengan cekatan. Mereka tidak lagi mengingat apakah mereka akan mampu memanjat keluar dinding teluk yang cukup terjal setinggi lebih kurang sepuluh kali orang berdiri. Yang penting mereka secepatnya ti- ba di tepian teluk.

Agaknya mereka telah menduga dan membaui ada- nya sebuah bahaya yang telah mengintai mereka, da- tangnya dari dasar teluk ini. Begitulah naluri mereka berkata! Jika tidak, mengapakah mereka dilemparkan ke dalam teluk itu? Dan apa pula perlunya?

Tiba-tiba buih-buih besar dan gelembung-gelem- bung air bermunculan dari dasar air dan muncul di permukaan dalam letupan-letupan gemuruh. Semua pandangan makin tegang.

Dan mendadak saja, meledaklah jeritan-jeritan ka- gum dan ngeri, seiring dengan munculnya belalai-bela- lai raksasa dari bawah air.

“Gurita raksasa!” desis Jagal Wesi kaget. Begitu pu- la Andini Sari, Surokolo, Bido Teles, Soma Karang, Si- gayam, Blending dan lain-lainnya menjadi terkejut bu- kan main.

Kedua orang hukuman yang tengah berenang itulah yang paling terkejut! Sewaktu mereka menoleh ke be- lakang, tampaklah beberapa belalai-belalai raksasa yang berwarna abu-abu kebiruan dan berbintik-bintik biru dan putih telah terjulur ke arah tubuh mereka.

Seketika itu pula, guguplah mereka dan gerakan renang mereka menjadi lebih cepat, namun juga men- jadi tak keruan karena dicampuri oleh rasa takut dan kaget yang luar biasa.

Salah seorang hukuman di antaranya yang berwa- jah lebih tua, menjadi tertinggal di belakang dan se- buah belalai gurita raksasa tahu-tahu telah mener- kamnya.

“Aaaarrgghhh!”

Tawanan berwajah tua menjerit parau, begitu ujung belalai tadi membelit pundak dan lehernya. Keruan sa- ja orang ini menggapai-gapaikan tangannya sebagai luapan rasa takut dan rasa paniknya.

Kepala dari gurita itu sebagian muncul di atas per- mukaan air, seperti mengintai akan sasaran yang telah ditangkapnya. Dua buah matanya yang kecil kekuni- ngan menatap tajam ke arah korbannya.

Kini si korban sudah tak berdaya lagi. Tubuhnya terseret oleh tangan belalai gurita ke arah mulutnya yang bergigi paruh seperti paruh burung betet.

“Aaaaaahh!” pekik terakhir dari mulut si korban berbareng tubuhnya lenyap di bawah kepala gurita raksasa. Busa bergumpal-gumpal menggelegak ke per- mukaan air tercampur warna merah darah mengam- bang mengerikan, sebagai pertanda tamatnya riwayat si korban karena terlahap seluruh tubuhnya ke dalam mulut gurita raksasa tadi.

Melihat nasib kawannya tersebut, maka si pengawal muda yang berenang di sebelah depan cepat-cepat me- nambah gerakannya, dan untunglah ia telah tiba di pantai teluk ini.

Begitu mendarat, orang hukuman yang kedua dan masih muda tadi dapat menarik nafas lega serta ke- mudian menyandarkan diri ke dinding teluk yang ter- diri dari batu karang terjal yang sangat tinggi.

Surokolo, Jagal Wesi, Andini Sari serta para penon- ton lain yang menyaksikan kejadian tersebut kini da- pat menarik nafas lega, sebab masih ada yang selamat dari ancaman gurita raksasa tadi. Untuk sementara ketegangan menjadi reda dengan selamatnya si orang hukuman muda. Tetapi benarkah bahwa dia akan terbebas dari maut yang tengah mengancamnya? Memang gurita raksasa tadi tidak berusaha mengejarnya. Agaknya ia telah cu- kup puas dengan melahap seorang korban dan kini di- biarkannya yang seorang itu lepas dari incarannya.

Melihat ke bawah pula, Ki Rikma Rembyak lalu ter- tawa tergelak-gelak, bagai ketawa hantu yang seketika bergaung memantul ke segenap dinding karang.

Ketawa tadi ternyata membuat semua orang yang berada di tempat tersebut sama-sama menatap ke arah Ki Rikma Rembyak, sebab seolah-olah hawa maut te- lah tersebar karenanya dan ketawa tadi adalah sebagai isyarat.

Betul juga akhirnya!

Sekali lagi Ki Rikma Rembyak tertawa pendek serta berteriak ke arah orang hukuman tersebut.

“Tikus kecil! Kau kira akan dapat lolos hidup-hidup dari tempat ini, heeeii?! Perhatikan tanah di sekitar- mu!”

Orang hukuman muda ini melihat ke bawah dengan ketakutan, begitu didengarnya ancaman si iblis be- rambut panjang itu.

“Aaakh!” keluhnya yang berputus asa terdengar. “Celaka ini!”

Tiba-tiba, tanah pasir di sekitar orang hukuman itu berdiri terdengar gemerisik. Sesaat kemudian, lubang- lubang kecil pada permukaan tanah menjadi semakin lebar dan muncullah ketam-ketam kecil sebesar ibu ja- ri.

“Ooh, kiranya ketam-ketam yang lucu saja!” gerun- dal si orang hukuman seraya mengusap peluh dingin- nya. Sejenak, takutnya menjadi reda.

Akan tetapi benarkah ketam-ketam kecil itu bina- tang yang lucu dan tidak perlu ditakuti? Memang pada umumnya seperti demikian. Ketam-ketam kecil yang banyak hidup di tepi-tepi pantai itu adalah binatang yang penakut sekali. Apabila nampak olehnya sesuatu makhluk mendekatinya, maka secepat kilat ia akan la- ri dan masuk ke dalam lubang tanah yang merupakan pintu liang rumahnya, serta bersembunyi di situ. De- lapan kaki dan dua capit kecil pada tubuhnya bergerak cepat ke samping. Dengan demikian gerakan berjalan atau berlari dari ketam ini selalu miring, ke samping kiri atau kanan. Sungguh lucu tampaknya!

Namun, ketam-ketam kecil dari teluk maut milik Ki Rikma Rembyak ini lain lagi. Secepat ia keluar dari lu- bang-lubang rumahnya, mereka serentak bergerak per- lahan-lahan mendekati si orang hukuman.

Maka sesungguhnya inilah awal ketegangan yang terakhir! Ketam-ketam kecil tersebut bergerak bersa- ma. Dari segenap lubang tanah, mereka bermunculan. Kaki-kakinya yang kecil bergerak dan menimbulkan suara gemerisik pada pasir yang dilaluinya.

Bukan main takutnya si orang hukuman tadi, se- hingga dengan nekadnya ia bermaksud memanjat din- ding karang terjal di belakangnya.

Ternyata usahanya tadi adalah sia-sia belaka, sebab dinding karang tadi cukup licin juga. Kiranya hanya orang-orang berilmu tinggilah yang mampu melaku- kannya. Tidak seperti si orang hukuman muda tadi, yang kemudian tergelincir jatuh!

Tubuhnya terhempas di pasir. Cepat-cepat ia bang- kit berdiri. Dilihatnya ketam-ketam kecil tadi telah me- ngepung dirinya!

Akhirnya, karena terjepit oleh ketakutan dirinya, si orang hukuman tadi mempunyai keberanian sedikit. Kaki kanannya terangkat ke atas dan selanjutnya menginjak hancur beberapa ekor ketam yang terdepan.

Breeekkk! Kriiyesss!

Namun bukan main kagetnya. Ketika kaki kanan- nya beraksi, tahu-tahu kaki kirinya merasa sakit dan pedih. Ternyata di kulit dagingnya, beberapa ekor ke- tam kecil telah menggigitnya.

Cepat-cepat ia menghentakkan kaki kirinya ke ta- nah. Kembali beberapa ekor ketam hancur terinjak oleh kakinya. Tetapi ketam-ketam yang tadi menempel pada kaki kirinya tidak juga lepas ataupun jatuh. De- ngan begitu, si orang hukuman itu menjadi semakin ketakutan dan ngeri. Apalagi ketika ketam-ketam itu mulai menyerang kaki kanannya pula, ia sudah berada pada puncak ketakutannya!

Akhirnya iapun berlari ke sana-ke mari sambil me- lolong-lolong seperti orang gila. Ke mana saja ia meng- injakkan kakinya, di situ pulalah ketam-ketam kecil lainnya menggerayangi dan merambati kakinya.

Kini sebagian ketam-ketam tadi telah memanjat tu- buhnya ke atas sambil menggigit-gigit. Keruan saja ia bertambah kalang-kabut dan mencak-mencak ke sana- sini sehingga akhirnya iapun jatuh terantuk batu pada kakinya.

Dan inilah sebenarnya detik-detik terakhir dari hi- dupnya. Karena demikian tubuhnya jatuh tergolek di tanah, secepat itu pulalah ketam-ketam kecil tersebut menerkam tubuhnya!

Dalam sekejap mata, tubuhnya telah dikerumuni oleh ketam-ketam kecil. Lolong dan jerit kesakitan ke- luar dari mulutnya.

Beberapa kali si orang hukuman ini menggulingkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, namun itu tidak mem- pengaruhi ketam-ketam kecil yang telah mulai meng- gumpal dan menggerogoti daging tubuhnya.

Darah merah segar berkucuran dari luka-luka gigi- tan ketam-ketam kecil tadi membasahi tanah di seki- tarnya. Karenanya pula, ketam-ketam lainnya semakin mengeroyoknya. Terakhir sekali, orang itupun menjerit panjang un- tuk kemudian tubuhnya tak berkutik sama sekali! Ber- akhirlah riwayatnya sudah.

Melihat ini Ki Rikma Rembyak tersenyum puas dan menarik-narik rambutnya sebagai pertanda kegembi- raan yang meluap-luap.

Sementara itu, Andini Sari masih saja menutup wa- jahnya dengan kedua belah tangan, sesudah ia melihat tontonan yang mengerikan itu.

Hatinya tidak sampai menyaksikan kematian yang begitu mengerikan dan kejam. Jika ia pernah menyak- sikan orang yang mati di medan pertempuran, itu tidak begitu menggoncangkan hatinya, karena semua itu sudah wajar. Sedang kematian yang baru saja disaksi- kan ini, jauh lebih mengerikan. Secara perlahan-lahan, menyakitkan dan merupakan siksaan hebat!

Di sebelah yang lain, Jagal Wesi juga memalingkan kepala, melengos untuk menghindarkan pandangan matanya dari tubuh si orang hukuman yang telah bermandi darah dan tak berbentuk itu!

Para penonton, anak buah Ki Rikma Rembyak lain- nya seperti terpesona, termasuk Soma Karang, Bido Teles, Surokolo, Sigayam dan lain-lain. Setidak-tidak- nya, hal itu merupakan contoh bagi mereka, tentang hukuman bagi siapa saja yang dianggap berkhianat dan berani menentang kepada Ki Rikma Rembyak.

Dengan demikian, ketakutan kepada Ki Rikma Rem- byak makin bertambah dan kesetiaan kepadanya men- jadi lebih besar. Memang inilah tujuan sebenarnya dari maksud Ki Rikma Rembyak yang baru saja menghu- kum kedua orang bekas anak buahnya itu.

Hanya saja, ia tidak menduga bahwa dengan mem- pertunjukkan kekejaman dan siksaan-siksaannya se- lama ini, beberapa orang di antara anak buahnya men- jadi tidak senang, termasuk pula Jagal Wesi dan Andi- ni Sari sendiri!

***

Malam hari, sesudah pelaksanaan hukuman terha- dap kedua anak buahnya, Ki Rikma Rembyak lalu me- ngumpulkan para pendekar pengikutnya di pendapa rumahnya.

“Kalian memang cukup sakti dan tangguh, tapi toh masih kurang teliti! Buktinya, Mahesa Wulung masih belum tertangkap sampai saat ini!” bentak Ki Rikma Rembyak sambil menuding dan menunjukkan tangan- nya ke wajah Soma Karang, Bido Teles, Surokolo, Si- gayam dan lain-lainnya. “Dengar kalian, heeii! Hadiah seribu keping emas telah tersedia untuk kalian, jika Mahesa Wulung berhasil kamu tangkap!”

“Ampun, Tuan,” sambung Surokolo memberanikan diri. “Masih banyak para pendekar utusan Andika yang belum pulang sampai hari ini. Siapa tahu, bahwa me- rekapun akan berhasil melaksanakan tugasnya dan menyeret si bedebah Mahesa Wulung itu ke hadapan Tuanku!” 

Ki Rikma Rembyak termenung sesaat dan berkata- lah ia kepada Surokolo, “Ngengngg. Pendapatmu itu benar, Surokolo. Memang sebaiknya aku akan me- nunggu mereka.”

“Andika masih ingat,” sahut Surokolo pula, “Kakang Talipati si peniti tombak yang sakti masih belum kem- bali. Demikian pula Kakang Tangan Iblis yang berta- ngan petir, serta Lampor Anom dan lain-lainnya. Me- reka telah berjanji akan berusaha mati-matian untuk menangkap Mahesa Wulung!”

“Heh, heh, he, he. Bagus! Bagus. Hampir saja aku melupakan mereka itu. Jika begitu aku tidak perlu ku- atir. Pertemuan kita kali ini cukuplah sekian dahulu, dan kalian boleh kembali ke tempat masing-masing,” kata Ki Rikma Rembyak.

Para pendekar itu kemudian meninggalkan pendapa rumah pemimpinnya, tepat sang rembulan mulai mun- cul dari balik awan mendung.

***

Cahaya yang semula redup-redup kini menjadi te- rang kembali menerangi segenap sudut Pulau Mondo- liko. Menerangi lekuk-lekuk batu karang, pepohonan, seluruh pantai dan apa saja yang terdapat di situ, se- perti pula sebuah bangunan bukit karang yang berlu- bang kepundan di tengahnya, merupakan bentuk se- buah kepala singa berambut panjang dan menengadah ke atas dengan mulut menganga. Sungguh dahsyat dan mengagumkan bangunan tersebut. Orang sukar menduga, apakah bangunan tadi dipahat dari sebuah bukit karang ataukah disusun secara bertahap??

Sekonyong-konyong tampaklah sesosok bayangan manusia yang mengendap di antara batu-batu karang dan mendekati Bukit Kepala Singa tersebut dalam lon- catan-loncatan panjang dan cekatan.

Dari sekilas sinar rembulan yang menimpa tubuh orang ini, dapatlah terlihat satu perawakan yang kekar dan gagah. Gerakannya mirip seekor tupai, sangat ha- ti-hati dan cermat. Terkadang tubuhnya seperti mele- kat pada bukit karang dan kemudian meloncat ke tempat lain tanpa membuat suara yang ribut.

Kiranya Bukit Kepala Singa ini bukanlah satu ba- ngunan yang sembarangan dan remeh. Hal ini akan segera terbukti, sebab di sebuah lekukan dinding ka- rangnya, terlihatlah tiga sosok bayangan manusia yang lain tengah mengawasi.

Ketiganya adalah para penjaga Bukit Kepala Singa. Pembicaraan mereka masih berkisar pada peristiwa yang baru saja terjadi, yakni tentang dihukum matinya kedua orang anak buah Surokolo oleh Ki Rikma Rem- byak sendiri.

Mendadak saja seorang di antara mereka dapat me- lihat sesosok tubuh kekar manusia yang menghampiri lubang kepundan dari mulut singa di sebelah atas. Da- lam sekejap pula ia segera memberitahu kepada dua orang temannya.

“Ssttt, lihatlah! Ada orang yang menghampiri pun- cak Bukit Kepala Singa! Ia telah memasuki daerah ter- larang.”

“Ayo cepat kita menangkapnya!” ujar penjaga yang lain sambil menepuk bahu temannya.

Maka serentak pula ketiganya berloncatan ke atas dalam kecepatan yang menakjubkan. Terang sekali bahwa ketiganya berilmu tinggi. Sambil memburu, me- reka menyiapkan senjata, yang seorang bersenjata tombak, sedang dua orang lainnya bersenjata pedang!

“Berhenti di tempat!” seru penjaga bertombak ber- samaan kedua orang temannya telah mengepung orang asing tadi. “Dari mana kau datang?!”

Sejenak orang asing yang telah terkepung itu mena- tap ketiga penjaga. “Buat apa kalian bertanya?! Aku juga penghuni Pulau Mondoliko ini!”

“Setan alas!” gerundal penjaga tadi. “Kau akan me- nyombong, hah?! Kau belum tahu, kalau kakimu telah menginjak daerah terlarang?!”

“Daerah terlarang?! Hmm, jika begitu, malah kebe- tulan. Aku ingin mengetahui apakah yang terlarang di sini. Kalian bertiga telah membikin kaget sewaktu aku tengah menghampiri puncak Bukit Kepala Singa ini,” ujar orang asing tadi dengan enaknya. “Kamu belum tahu? Aku berdiri di sini untuk melihat pemandangan yang indah di sekitarnya.”

“Bohong! Kau mesti tengah memata-matai dan me- nyelidiki tempat ini!” ujar si penjaga bertombak seraya memberi isyarat kepada kedua temannya. “Pedang Kembar, lekas kita ringkus orang ini hidup-hidup! Biar kita jadikan umpan di Teluk Maut!”

“Bagus, Kakang Sitongkol!” jawab kedua penjaga bersenjata pedang itu. “Kami telah siap dengan pedang maut ini!”

“Oooo, kalian bertiga akan memaksaku?! Mari kerja- kanlah jika kalian sanggup!” Si orang asing berkata be- rani. Wajahnya yang bulat telur dan tampan kelihatan sangat tenang. Rambutnya disanggul di atas, berikat kepala lebar berbunga-bunga dan pada pinggangnya tergantung sebilah pedang pendek bertangkai tebal.

“Mampus kowe!” teriak ketiga orang penjaga, sekali- gus menerjang si orang asing dengan senjata-senja- tanya.

Disertai bunyi berdesing, ujung sepasang pedang dan tombak tersebut mencoblos dan menebas ke tu- buh lawan yang berpedang pendek. Namun betapa ka- getnya mereka, bila tiba-tiba orang asing tadi me- lenting ke atas dengan satu putaran sambil kedua ta- ngannya bergerak ke arah pinggang.

Sriiiingnggg!

Ternyata orang asing tersebut telah mencabut pe- dang pendeknya dan terkejut pulalah ketiga lawannya ketika pedang pendek itu dapat terpisah menjadi dua bilah pedang pendek tipis!

Seketika itu pula pertempuran hebat segera terjadi di puncak Bukit Kepala Singa. Kedua orang penjaga yang bergelar Pedang Kembar mengeluarkan ilmu pe- dangnya, sehingga dalam sekejap mata pedang-pedang lebar mereka bergulung-gulung melibat lawannya.

Demikian pula Sitongkol tak tinggal diam dengan tombaknya. Dengan ilmu permainan dan jurus-jurus maut, ia memutar tombak tadi dalam gerakan yang saling bersahutan. Sebentar mata tombaknya seperti paruh seekor garuda, mematuk lawan. Tapi dalam saat yang lain, pangkal tombaknya menyapu garis pertaha- nan lawan, laksana sabetan ujung dari ekor ular naga yang lagi murka!

Dengan serangan-serangan hebat dari Sitongkol dan kedua orang rekannya itu, sudah boleh dipastikan bahwa lawan mereka akan segera roboh dan pecun- dang!

Akan tetapi, orang asing yang bersenjata pedang pendek dan berwajah bulat tampan ini, dengan berani dan mudahnya menghalau setiap ujung senjata lawan yang berani mendekatinya.

Merasa akan ketangguhan lawannya, Sitongkol ber- tiga makin menjadi marah. Kini sadarlah mereka bah- wa orang asing itu telah sengaja datang ke tempat me- reka untuk mencari mati. Maka tidak mengherankan bila Sitongkol bertiga telah menumpahkan segenap ke- pandaian dan ilmunya untuk menumpas lawan.

Si wajah tampan berpedang pendek, mulai merasa- kan tekanan-tekanan berat dari serangan lawan, se- hingga terpaksalah ia lebih berwaspada.

Sementara itu pula, kedua orang pendekar Pedang Kembar makin mempercepat serangan-serangannya dan tampaklah ujung-ujung pedangnya memburu te- rus-menerus ke tubuh lawannya.

“Hyaaat!”

Si wajah tampan menerkam ke atas dan kedua ujung pedang pendek di kedua belah tangannya me- nyambar ke arah kepala lawan-lawannya.

Gerak serangan si wajah tampan ini sungguh di luar dugaan, dan ketiga lawannya terpaksa mengum- pat-umpat sambil menghindar.

Wessst. Breettt! “Uuaarh!”

Sitongkol menjerit, ketika sebuah ujung pedang pendek lawannya yang berwajah tampan itu, menyam- bar dan menyayat pipinya. Darah segar seketika me- mercik keluar.

Tapi hanya untuk sebuah luka saja, Sitongkol ju- stru makin bertambah liar dan beringas. Sebagai seo- rang anak buah Ki Rikma Rembyak yang telah kaya akan pengalaman dan seluk-beluk pertempuran, Si- tongkol segera dapat mengukur akan tingkat kepan- daian dan ilmu lawannya.

Menurut perhitungannya, ilmu lawannya yang ber- wajah tampan ini tidak terlalu jauh selisihnya dengan ilmu yang ia miliki.

Tetapi yang ia tak habis mengerti, apabila ia menge- luarkan jurus-jurus puncaknya, lawannya tersebut se- nantiasa berhasil mengatasi. Dari kenyataan-kenya- taan tersebut, Sitongkol menduga bahwa lawannya ti- dak seluruhnya mengeluarkan ilmu.

Kedua pendekar Pedang Kembar telah bangkit memperbaiki diri dan beberapa kali masih terdengar umpatan dari mulutnya.

Sejurus kemudian serangan mereka bertambah he- bat dan rupanya, si wajah tampan mulai terdesak pu- la. Beberapa kali ia berada dalam posisi dan kedudu- kan yang kurang menguntungkan. Hanya berlan- daskan kenekadan dan kegesitan belakalah, ia masih selalu sempat meloloskan diri dari senjata-senjata la- wan yang datangnya bagai curahan hujan.

Di tengah dahsyatnya pertarungan itu, melesatlah satu bayangan manusia, lalu menerjunkan diri ke te- ngah arena. Dengan kedua tangannya yang kosong, si pendatang baru ini menyerang ke arah Sitongkol dan kedua pendekar Pedang Kembar.

Tentu saja Sitongkol bertiga terperanjat dan lebih kaget lagi bila wajah si pendatang itu penuh coreng- moreng dengan warna-warna kotor. Sehingga dengan demikian menjadi tersamarlah wajah orang tersebut. “Keparat! Kau turut campur dengan urusan kami.

Heei! Siapa pula kamu ini?!” teriak Sitongkol dengan mendongkol. “Kau berusaha menyembunyikan wajah- mu?”

“Jangan cerewet!” bentak si wajah coreng-moreng. “Kamu bertiga telah mengeroyok orang ini dan ber- main-main dengan hebatnya,” berkata begitu si penda- tang itu segera mengelus-elus kumisnya yang tebal. “Sekarang aku ingin meramaikan permainan ini dan bersama pemuda ini!”

“Yaah. Jadi kau mau membelanya, bukan?!” ujar Si- tongkol sambil meludah ke tanah. “Boleh. Boleh. Se- bentar lagi engkaupun akan mampus oleh ujung-ujung senjata kami! Kau berhadapan dengan Sitongkol, ta- hu!”

“Sombong sekali kau, sobat! Sambutlah ini. Hyaaat!” Si wajah coreng-moreng menebaskan sisi telapak ta- ngannya.

Serentak bersiutlah bunyi sambaran angin maut ke arah Sitongkol yang seketika cekakaran menangkis se- rangan tersebut dengan melintangkan batang tombak- nya di muka kepala.

Werrr! Pletakkk!

Tombak Sitongkol terpatah menjadi dua oleh teba- san tangan si wajah coreng-moreng. Suara berderak terdengar.

Hampir semuanya kaget oleh kejadian ini, lebih- lebih dengan Sitongkol sendiri. Walaupun begitu, tom- baknya yang menjadi pendek itu masih digenggamnya dengan erat dan dengan senjata tersebut pula ia me- lancarkan serangan-serangannya.

Sementara itu, sepasang pendekar Pedang Kembar tampak seimbang dalam pertempurannya menghadapi lawannya, si wajah tampan. Hanya saja keseimbangan ini tidaklah berlangsung lebih lama, sebab mereka su- dah tidak lagi dibantu oleh Sitongkol.

Melewati jurus kedua puluh, si wajah tampan mela- kukan satu gerakan menerobos, ketika sepasang pen- dekar Pedang Kembar menebaskan pedangnya ke arah kepala dari samping kiri dan kanan berbareng.

Sreettt! Wreekkk!

“Eaahhh!” Jerit salah seorang dari kedua pendekar Pedang Kembar sambil memegang lambungnya yang baru saja tersobek oleh pedang pendek si wajah tam- pan. Namun tiba-tiba si wajah tampan tergelincir kaki- nya.

Sitongkol kaget sekali oleh robohnya rekan tadi, dan di saat itulah kedua tangan lawannya yang kokoh me- nyambar tangan kanan Sitongkol yang menggenggam tombak.

“Uuukh!” Keluh Sitongkol kaget, begitu si wajah co- reng-moreng telah menyambar tombaknya. Maka de- ngan menggerakkan segenap kekuatan, Sitongkol ber- usaha mati-matian melepaskan diri.

Melihat sikap Sitongkol tadi, si wajah coreng-mo- reng seperti tidak terpengaruh sama sekali, malahan ia meringis kegirangan dan berkata pula dengan geram- nya, “Sitongkol yang sombong, cobalah lolos dari ke- dua tanganku ini!”

Sekali lagi Sitongkol berusaha melepaskan diri, tapi di saat itu pula, si wajah coreng-moreng menghentak- kan kedua tangan ke atas dengan daya tarik yang he- bat.

Maka tanpa ampun lagi tubuh Sitongkol ikut te- rangkat ke atas, dan ketika si wajah coreng-moreng sekali lagi memutar gerakan tangannya ke bawah, ma- ka tubuh Sitongkol terhempas ke bawah, ke atas per- mukaan batu karang dengan kerasnya.

Brruuukkk! “Heekkk!”

Leher Sitongkol patah sedang kepalanya remuk ber- darah, dan matilah ia seketika.

Tetapi si wajah coreng-moreng melihat bahaya lain yang tengah mengancam rekannya, si wajah tampan!

Ketika itu si wajah tampan tengah tergelincir sesu- dah ia selesai merobohkan salah seorang dari kedua pendekar Pedang Kembar. Dalam kesempatan ini, pen- dekar kedua dari Pedang Kembar telah siap mene- baskan pedangnya ke leher si wajah tampan dengan marahnya.

Untunglah saja, si wajah coreng-moreng telah was- pada lebih dulu. Secepat kilat ia melesat ke arah la- wan, berbareng kepalan tangan kanannya tepat mener- jang ke tulang punggung pendekar kedua dari Pedang Kembar.

Kreekkk!

Terdengar derak tulang patah dan pendekar kedua Pedang Kembar terjungkal roboh dengan melontakkan darah segar dari mulutnya.

“Aaarghh!”

Si wajah tampan segera berdiri dan menatap ke arah si wajah coreng-moreng, kemudian berkata. “Ah, siapa Anda dan mengapa bersusah payah menolong- ku?”

Si wajah coreng-moreng tersenyum lebar. Katanya, “Maaf, Nona Andini Sari. Saya tidak mengharapkan leher yang jenjang dan lembut itu tergores oleh pedang orang ini.”

Bukan main terkejutnya si wajah tampan, ketika di- rinya dipanggil dengan nama Andini Sari oleh si peno- long. Akan tetapi ia jadi tersipu-sipu sewaktu ia men- dapatkan ujung sanggulnya telah terlepas dan terurai di pundaknya.

“Semoga Andika tak keberatan dengan nama yang aku sebutkan tadi,” ulang si wajah coreng-moreng se- raya tersenyum.

Si wajah tampan yang sesungguhnya memang An- dini Sari menggeleng pelan dan tiba-tiba iapun berseru dengan wajah berseri. “Haaai, aku mengenal suaramu! Engkaukah Saudara Jagal Wesi?!”

Sambil tersenyum pula, si wajah coreng-moreng berkata pelan, “Heh, heh, heh. Ingatan Nona memang tajam! Tidak keliru lagi hal itu. Akulah Jagal Wesi.”

“Mmm, mengapa pula Anda berada di tempat ini?” tanya Andini Sari seraya mengatur kembali gelung sanggulnya yang terlepas.

“Aku tak sengaja kemari,” sambung Jagal Wesi. “Na- mun ketika aku melihat Andika mengendap-endap dan menginjak ke daerah terlarang Bukit Kepala Singa ini, aku jadi bercuriga. Saya ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukan oleh Andika di sini.”

“Jadi Anda semula tidak mengetahui, kalau yang mengendap-endap itu adalah saya?” bertanya Andini Sari pula.

“Sama sekali saya tidak mengetahuinya,” ujar Jagal Wesi. “Karenanya pula saya jadi tertarik ketika Andika menuju daerah ini.”

“Sebenarnya aku ingin mengetahui, mengapakah tempat ini dijadikan daerah terlarang oleh ayahku Ki Rikma Rembyak.”

“Nona Andini Sari ingin tahu?” sahut Jagal Wesi. “Lihatlah ke lubang kepundan atau mulut dari Bukit Kepala Singa ini. Dari situ sering aku melihat adanya bintang berekor yang meluncur keluar dan terbang ke angkasa!”

“Bintang berekor?!” ulang Andini Sari dengan ka- getnya. “Keluar dari mulut Bukit Kepala Singa ini?! Ya, memang aku sering melihatnya, tapi tidak kuketahui kalau bintang berekor tadi meluncur dari sana!” “Marilah kita melihatnya,” ajak Jagal Wesi pula. “Sudah lama saya pun ingin melihatnya. Secara kebe- tulan kita telah merobohkan ketiga orang penjaga di sini.”

“Baik. Lekaslah kita mendekati mulut kepundan itu,” ujar Andini Sari berbareng kakinya meloncat ke arah puncak bukit, diikuti oleh Jagal Wesi.

Dalam waktu singkat, keduanya telah sampai pada tepi lubang kepundan yang berbentuk mulut singa, de- ngan gigi-giginya terukir melingkar sepanjang tepi lu- bang.

“Heei, ada cahaya api dari dalam!” desis Andini Sari takjub. “Lihatlah di bawah sana. Ada sebuah busur panah raksasa!”

“Benar!” sambung Jagal Wesi yang telah pula meng- intip ke dalam lubang kepundan. “Sebuah gendewa panah yang berukuran luar biasa! Apa pula gunanya benda sebesar itu?”

“Aku pun tidak tahu!” sela Andini Sari. “Agaknya ayahku telah melakukan rencana-rencana dan peker- jaan besar!”

“Dan itulah yang menyebabkan daerah ini terla- rang!” ujar Jagal Wesi. “Kiranya, sudah cukup peker- jaan kita ini. Marilah kita kembali. Aku mendengar langkah-langkah kaki dari sebelah sana!”

“Tapi bagaimana ketiga penjaga yang telah mati itu?” sahut Andini Sari. “Apakah kita biarkan sehingga penjaga-penjaga lain mengetahuinya?”

“Jangan kuatir. Akan kulemparkan tubuh mereka ke Teluk Maut di sebelah utara, bisa dihabiskan oleh gurita raksasa. Ayo, bantulah mengangkat tubuh- tubuh ini ke pundakku dan kita selekasnya pergi ke sana.”

Cepat-cepat Andini Sari membantu Jagal Wesi meng- angkat mayat ketiga orang penjaga tersebut dan me- reka lalu melangkah ke arah utara, menuruni kaki bu- kit serta lenyap di balik gerombolan pohon-pohon.

Sebentar itu pula tempat tersebut menjadi sepi kembali. Hanya desir angin malam yang melanda din- ding-dinding Bukit Kepala Singa terdengar mendesau. Lubang kepundan yang merupakan mulut dari bentuk Bukit Kepala Singa itu masih saja menganga ke atas, persis mulut iblis raksasa yang siap mencaplok kor- ban.

Tak seorangpun yang bakal mengira bahwa di tem- pat tersebut baru saja terjadi pertarungan sengit yang memakan korban tiga orang penjaga bukit itu. Dan tak seorang pula yang mengira bahwa di tengah-tengah ge- rombolan Ki Rikma Rembyak yang kejam dan jahat ini, masih ada beberapa gelintir manusia yang berhati baik, tahu membedakan mana yang buruk dan mana yang baik.

Namun sanggupkah mereka kiranya untuk mem- pertahankan diri di tengah-tengah suasana kalut dan hitam itu? Hanya mereka sendirilah yang bisa menja- wabnya.

***

5

SEBUAH PERAHU layar yang cukup besar dengan laju bertolak meninggalkan Muara Demak—sebuah bandar kecil yang terletak di muara Sungai Tuntang.

Seorang gadis berwajah murung, senantiasa mena- tap ke arah laut dengan tatapan pandang yang sayu. Seolah-olah ia menapak dunia yang kosong dan datar di hadapan matanya. Begitulah lamunannya, sampai- sampai ia tak mengetahui, bahwa di dekatnya telah berdiri seorang laki-laki berjubah dan berkumis melin- tang.

“Aku tahu perasaan Andika, Adi Pandan Arum,” ujar si laki-laki berjubah. “Namun percayalah bahwa kita se- gera mendapatkannya kembali.”

“Mengapa Kakang Gagak Cemani dapat berkata de- mikian,” desah Pandan Arum tanpa berpaling kepada Gagak Cemani yang berbicara di sampingnya.

“Adimas Mahesa Wulung bukanlah orang yang sem- barangan,” sambung Gagak Cemani. “Ia cukup sakti dan ulet. Aku yakin bahwa Adi Mahesa Wulung akan dapat menjaga dirinya.”

“Sukar aku bayangkan, Kakang Cemani,” sahut Pan- dan Arum pula. “Bagaimana Kakang Mahesa Wulung yang telah teringkus tanpa daya dalam jala lawannya, masih akan dapat menyelamatkan dirinya?”

“Aku tak menyangkal bahwa Andika berpendapat demikian. Tapi pendapat tersebut kurang kuat, sebab hanya berpegang dan berdasarkan pandangan sekilas, yakni pada waktu peristiwa itu terjadi. Sedang ke- mungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi sesudah itu Adi Pandan Arum belum memperhitungkannya!”

Pandan Arum jadi termenung oleh tutur kata Gagak Cemani. Pendekar dari daerah timur ini yang usianya beberapa tahun lebih tua daripada Mahesa Wulung, ternyata sangat baik kepadanya.

Malahan Pandan Arum sendiri telah menganggap- nya sebagai kakak kandung, yang setiap kali bersedia membantu dan menasehatinya bila Pandan Arum tam- pak murung dan susah.

Gagak Cemani sendiri telah maklum akan kesedi- han gadis itu. Bukankah Pandan Arum telah melihat dengan mata kepala sendiri, ketika Mahesa Wulung kena ringkus dan diculik oleh Surokolo dengan pera- hunya? Memang, kehilangan seorang kekasih adalah menyedihkan.

Kini mereka berusaha mencari dan mengejar jejak perahu Surokolo tadi. Dengan menyewa sebuah pera- hu dan dibantu oleh beberapa orang prajurit Demak dan sahabat-sahabatnya, mereka telah berlayar ke arah timur laut, menyelusuri sepanjang pantai utara Demak yang membujur jauh sampai ke daerah bandar Jepara, pusat pangkalan dari Armada Demak.

“Masihkah Kakang Mahesa Wulung dapat kita se- lamatkan?” bertanya kembali Pandan Arum.

“Tentu dapat, Adi Pandan Arum. Jika ternyata per- lu, kita akan minta dengan resmi bantuan perahu- perahu Armada Demak untuk menggempur pusat per- sembunyian Surokolo dan begundal-begundalnya.”

“Ooo, terima kasih, Kakang Gagak Cemani,” Pandan Arum berkata dengan nada gembira. “Betapa aku ha- rus membalas kebaikan Kakang tadi?”

“Mmhh, janganlah Adi sungkan-sungkan begitu. Bukankah saya pernah pula ditolong oleh Adi Mahesa Wulung beberapa waktu yang lalu?”

Pandan Arum mengangguk pelan, sementara seo- rang awak kapal mendekati mereka berdua dan Gagak Cemani segera menyambutnya.

“Bagaimana, Saudara Tungkoro, apakah kita telah mendapat jejak-jejak yang kita perlukan?”

Tungkoro menggeleng perlahan dan berkata, “Belum ada jejak-jejak yang penting seperti yang kita ha- rapkan. Namun beberapa orang nelayan telah bercerita bahwa mereka pernah melihat sebuah rakit yang ter- apung-apung dengan penumpangnya di tengah lautan di sekitar tempat ini!”

“Eeh, coba Andika ulangi sekali lagi,” pinta Pandan Arum sambil tercengang.

“Sebuah rakit dengan penumpangnya pernah terli- hat di sekitar tempat ini,” berkata kembali Tungkoro keheranan. “Agaknya, inikah petunjuk yang kita cari? Begitukah pendapat Andika, Nona Pandan Arum?”

“Hiya, ya. Memang aku berpendapat demikian,” kata Pandan Arum. “Hanya sayang kita tidak mengetahui tempatnya yang pasti.”

“Hmm, mudah-mudahan kita dapat menemukan rakit tersebut,” sambung Gagak Cemani pula.

“Telah cukup jauh kita meninggalkan bandar Muara Demak.”

Perahu yang mereka naiki memang telah jauh me- nempuh ombak dan kini melaju di tengah lautan. Da- ratan pantai Demak tampak merupakan deretan hitam dengan puncak-puncak pohon kelapa yang melambai oleh tiupan angin.

***

Di tengah-tengah ombak yang menggelombang dan naik turun serta membuih itu, terlihatlah sebuah rakit yang terayun-ayun seperti barang mainan ke sana-ke mari. Dan yang mengagumkan adalah kedua orang penumpangnya. Tanpa memperdulikan suasana dan keadaan rakit yang terombang-ambing oleh ombak ta- di, mereka duduk-duduk dengan tenangnya.

Bahkan mereka kelihatan asyik berbicara dan ber- bincang-bincang. Bagi siapa yang belum mengetahui tentang kedua orang ini, mungkin akan mengira bah- wa keduanya adalah sepasang boneka yang dipaku pada lantai rakit, dan sengaja dilarung atau diha- nyutkan ke laut sebagai upacara selamatan.

Namun terdengarlah salah seorang dari mereka me- nyapa rekannya yang seorang lagi. “Badanku telah se- hat kembali, Palumpang. Mungkin sebentar waktu lagi aku akan pulang ke Demak.”

“Aku tahu, tugas Andika cukup banyak dan negara Demak sangat membutuhkan orang-orang yang seperti Andika ini. Setia, berbudi luhur dan sakti. Ketiga- tiganya merupakan tritunggal yang penting, lebih-lebih bagi setiap orang yang mengabdikan diri kepada nega- ra.”

Mahesa Wulung manggut-manggut oleh ucapan Pa- lumpang tadi. Dalam hati ia menyetujuinya. Ia tidak menyangka bahwa Palumpang yang jarang bergaul de- ngan manusia lain itu, mampu berpikir dengan cemer- lang.

“Jika boleh, saya ingin mengajak Anda untuk ber- samaku ke Demak. Tentu Anda akan kami terima de- ngan baik dan saya mengharap sudilah Anda menjadi penasehat dalam lingkungan keprajuritan,” ujar Mahe- sa Wulung.

“Ajakan Andika ini sangat membesarkan hatiku,” sahut Palumpang. “Tapi itu terlalu besar dan tinggi buat seorang nelayan liar semacam aku ini.”

“Jadi, maksud Anda, akan seterusnyalah keadaan Anda begini? Tinggal di atas rakit dan jauh dari per- gaulan ramai?”

“Sudah kukatakan bukan, sejak kita bersahabat dan saling berkenalan, bahwa aku sengaja menjauhi dunia ramai untuk memperoleh ketenangan diri?”

“Mmm, aku masih ingat hal itu,” sambung Mahesa Wulung pula. “Maaf, aku tak bermaksud mendesak Anda.”

“Tak mengapa,” ujar Palumpang. “Perlu pula Andika mengetahui pendirianku tadi. Bukan berarti aku tak menghendaki atau meremehkan pergaulan ramai seha- ri-hari, tetapi semata-mata aku bermaksud menguran- ginya. Harap Andikapun tidak lalu menjadi berpra- sangka yang keliru tentang diriku.”

Sekali lagi Mahesa Wulung menggumam setuju dan sesaat kemudian berkata pula. “Pendirian Anda sangat teguh. Karenanya saya bergembira mempunyai saha- bat seperti Anda.”

“Maka, biarlah aku tetap tinggal di atas rakit ini sa- ja. Dan Andika tentu lebih mudah mencariku di sini,” ujar Palumpang. “Heh, heh, he. Jangan lupa hidangan masakanku, bubur tangkur kuda akan selalu me- nyambut Andika.”

“Eh, ehm, tapi... tapi ”

“Apanya yang tetapi?”

“Saya kuatir kalau saya terpaksa akan mengha- biskan beberapa mangkuk masakan Anda itu.”

“Heh, heh, heh, heh. Ya, aku ingat hal itu. Semula aku pun kuatir kalau diriku sendiri sampai tidak ke- bagian masakan tadi. Heh, heh, heh.”

Sejenak mereka teringat ketika keduanya saling ber- kenalan dan makan-makan di tepi pantai. Teringat pu- la betapa waktu itu Mahesa Wulung dengan lahapnya menyikat habis makanan yang disediakan oleh Palum- pang. Ternyata makanan tadi berkhasiat me- nyembuhkan Mahesa Wulung.

Begitulah keduanya tertawa berbareng mengenang kejadian dan pengalaman-pengalaman masa lalu. Sua- ra tawa mereka mengalun bersama buih ombak yang menghempas bergulung-gulung, seakan-akan ikut me- rasakan kegembiraan dua orang sahabat ini.

Sekonyong-konyong, Mahesa Wulung dan Palum- pang berbareng menghentikan ketawanya. Keduanya menatap ke arah utara, dengan pandangan menyelidik ke arah deburan dan gelombang-gelombang laut.

“Andika mendengar sesuatu?” Palumpang bertanya seraya menengadah mendongakkan hidungnya ke atas. “Hidungku mencium sesuatu yang asing. Mung- kin ini merupakan bahaya buat kita!”

Mau tak mau Mahesa Wulung terpaksa dibikin ka- gum dan takjub oleh ketajaman hidung sahabatnya ini. Tetapi di saat itu, telinganya sendiri juga menang- kap suara putaran angin yang mendesing-desing dari arah utara, sehingga iapun berkata, “Tidak keliru, so- bat. Saya pun mendengar suara aneh dari arah utara!”

Terpaksa keduanya memutar duduknya ke arah utara dan siap-siap menanti sesuatu yang datang dari arah itu.

Dan inilah dia. Bersamaan dengan terangkatnya ge- lombang laut yang tinggi, muncullah seorang manusia berambut pendek, kaku seperti ijuk, meluncur di atas buih gelombang laut sambil tertawa-tawa dengan sua- ra berderak seperti perahu pecah, menyeramkan.

Sedang di tangan kanannya tampaklah sebuah tali panjang yang selalu berputar dengan ujungnya ber- bentuk roda logam berduri.

“Hua, ha, ha, ha. Kiranya di sinilah kalian bersem- bunyi, para kelinci!” ujar manusia berambut ijuk tadi tertuju kepada Mahesa Wulung dan Palumpang.

Roda logam berduri tersebut mempunyai lingkaran cincin, tepat di tengah sumbu dari salah satu sisinya. Sedang ujung talinya pun bercincin logam, dan di situ- lah cincin dari sumbu roda berduri tadi terikat. De- ngan demikian, maka roda berduri tadi mampu berpu- tar ke segala arah sesuai dengan putaran talinya.

“Ha, ha, ha, ha. Kamu belum tahu? Akulah yang bergelar Talipati, si peniti buih!” berkata si rambut ijuk tadi seraya memutar-mutar talinya yang berujung roda berduri. Sementara itu kedua kakinya selalu dengan lincah meniti dan meloncat-loncat di atas buih yang memutih bertebaran di atas permukaan air laut.

Betapa kuatnya tenaga dalam si rambut ijuk Talipa- ti ini, membuat Mahesa Wulung dan Palumpang terhe- nyak kaget dan terlongoh keheranan. Seolah-olah me- reka tengah berhadapan dengan seorang iblis yang berjalan di atas air. Biarpun keduanya pernah pula berjalan di atas air, tapi toh mereka masih mengguna- kan alas kaki yang terbuat dari kelopak seludang bu- nga kelapa. Sedang Talipati ini, kedua telapak kakinya telanjang saja, tanpa selembar alas apapun. Dan inilah yang sebenarnya membuat kagum kepada Mahesa Wu- lung dan Palumpang. Diam-diam keduanya meraih masing-masing sepasang seludang kelapa.

Meskipun demikian, keduanya dapat menguasai diri dan tetap tenang dengan duduk bersila di atas rakit- nya. Sejenak kemudian Mahesa Wulung berkata nya- ring.

“Talipati, kedatanganmu memang mengagetkan! Dan kami menjadi heran, apakah kepentinganmu terhadap kami berdua?!”

“Hua, ha, ha. Kau berpura-pura bengong? Tak apa- lah jika demikian,” ujar Talipati sambil mencibirkan bibir. “Engkau tentulah si Mahesa Wulung, yang lolos dari perahu sobatku Surokolo. Aku telah mendengar segala pembicaraan kalian dan tanpa setahu kamu, aku telah membayangimu sejak lama!”

“Heh, memang akulah yang bernama Mahesa Wu- lung, dan sekarang apa yang kau kehendaki!” kata Ma- hesa Wulung sekaligus memberi isyarat kepada Palum- pang supaya berhati-hati.

“Bagus! Kau mau berterus terang di hadapan Tali- pati. Jiwa ksatriamu sungguh tidak kuragukan,” sahut Talipati. “Ketahuilah, bahwa aku akan menangkapmu kembali. Kalian berdua akan kuringkus seperti dua ekor kelinci ompong!”

“Hoo, jadi terangnya engkaupun komplotan dari Su- rokolo?!” Mahesa Wulung menyahut.

Talipati menggeram. “Goblok! Kau kelinci goblok! Aku bukan komplotan dari Surokolo. Aku pendekar yang berdiri sendiri! Kami tengah berlomba untuk me- nangkapmu, ngerti?!” “Hm, kami bukan kelinci-kelinci goblok seperti yang engkau katakan!” terdengar Palumpang ikut bicara. “Kau boleh saja menangkap kami. Tapi itu tidak akan semudah yang kau kira!”

“Kurang ajar! Akan kubuktikan kata-kataku tadi. Heeitt!” terdengar Talipati berteriak seraya memutar ta- li yang berujung roda berduri ke arah selatan. Maka seketika itu juga menyambarlah roda berduri dengan suara berdesing menyakitkan telinga.

Wuuttst! Nguuungng!

Tak terbayangkan betapa kagetnya Mahesa Wulung serta Palumpang. Roda berduri yang berkilatan dan menyilaukan mata itu tahu-tahu telah menyambar ke arah mereka.

Beruntung, bahwa mereka berdua sejak tadi telah berwaspada terlebih dahulu. Sehingga di saat roda berduri tadi menyambar rendah, keduanya secepat ki- lat mengendapkan diri rapat-rapat ke lantai rakit.

Nguungng!

Roda berduri lewat menyambar beberapa jengkal di atas kepala Mahesa Wulung dan Palumpang dengan kecepatan dahsyat dan menderu bagaikan angin to- pan.

“Hia, ha, ha, ha. Kalian kaget bukan?!” seru Talipati serta menarik kembali senjatanya. “Maaf, dua kelinci goblok. Itu tadi hanyalah sekadar perkenalan terdahu- lu. Ha, ha, ha!”

Mahesa Wulung terhenyak kagum. Ternyata dengan lincahnya Talipati mampu mengulur dan menarik sen- jatanya. Dengan demikian, untuk menghadapi sasa- ran-sasaran yang jauh, ia tidak mendapat kesukaran apapun.

“Untuk serangan berikutnya, harap Andika berhati- hati,” berkata Mahesa Wulung memperingatkan Pa- lumpang. Peringatan itu ternyata tidak sia-sia, sebab tiba-tiba Talipati telah menyambarkan senjatanya kembali de- ngan gerakan membelah.

Seketika itu pula roda berduri yang berkilatan me- nyambar ke bawah ke arah rakit sasarannya dan tepat di saat itu, berserulah Mahesa Wulung kepada saha- batnya.

“Loncaat!”

Syrat.... Syraat   Byaaarrr!

Suara berderak terdengar berbareng dengan han- curnya rakit milik Palumpang berkeping-keping seperti bekas dipotong-potong oleh mata gergaji.

Talipati tertawa terkekeh-kekeh girang, karena piki- rannya telah memastikan bahwa kedua buronannya itu akan mampus. Dengan demikian ia akan dapat menyeret tubuh mereka ke hadapan Ki Rikma Rem- byak. Hadiah uang emas seribu keping telah ter- bayang-bayang di rongga matanya, seakan-akan telah tergenggam di dalam tangannya.

Akan tetapi bukan buatan kagetnya, sewaktu ia mendapatkan Mahesa Wulung dan Palumpang telah berloncatan lincah di atas permukaan air. Oleh sebab itu tak mengherankan kalau Talipati mengutuk-ngutuk, bergerundalan kalang-kabut bagaikan kakek-kakek yang kebakaran jenggot.

Kiranya, bukan hanya dirinya sajalah yang mampu berjalan di atas permukaan air. Kini berdirilah di ha- dapannya dua orang lain yang menjadi musuhnya da- lam posisi dan sikap yang sama.

Pada saat itu juga, terlihatlah sebuah pemandangan yang ganjil dan menakjubkan. Di atas permukaan air laut yang menggelombang, berloncatanlah tiga orang manusia bagaikan tiga ekor serangga anggang-anggang yang lagi bermain-main di atas air. Talipati tidak ting- gal diam lagi. Kembali ia memutar senjata roda berdu- rinya dan menerjanglah senjata hebat tadi ke arah Ma- hesa Wulung dan Palumpang, dengan suara mendesau dan kecepatan yang sukar diukur. Sebentar lagi, perta- rungan hebatpun pasti terjadi.

Sukar dibayangkan, betapa bahaya dan gawatnya menghadapi serangan senjata aneh yang datang dan perginya laksana kilat tanpa diketahui juntrungannya. Memang jarak antara Talipati dan kedua lawannya ini, cukup jauh. Tetapi dengan senjata yang bertali pan- jang sedemikian, rasanya tak ada halangan apapun untuk menerjang sasaran yang jauh.

Mahesa Wulung merasa, seolah-olah ia tengah menghadapi amukan senjata cakra milik Sang Prabu Kresna. Begitulah memang, senjata roda berduri milik Talipati ini mirip dengan senjata cakra. Hingga untuk melawannya, terpaksalah Mahesa Wulung dan Palum- pang memeras tenaga dan kepandaiannya. Mereka mengendap, mletik ke sana-ke mari untuk menghindari serangan-serangan maut tadi.

“Hua, ha, ha, ha. Sekarang kalian tahu, bukan? De- ngan siapa kamu berhadapan sekarang ini! Masihkah kalian ingin memamerkan kekuatanmu?!” teriak Tali- pati secara sombong, sedang tangan kanannya senan- tiasa memutar-mutar senjata roda berdurinya. Berba- reng pula tangan kirinya menggenggam segulungan tali hitam mengkilat.

“Hmm, selamanya kita belum pernah berkenalan ataupun bertemu dan kita belum pernah saling meru- gikan. Tetapi mengapakah kita saling baku-hantam?” berkata Mahesa Wulung dengan tenangnya.

Talipati mencerengkan mata, lalu mulutnya berge- rundal. “Berlagak pilon, heei?! Untuk satu pertarungan yang telah kuimpi-impikan ini, tidak perlu kita saling kenal-mengenal lebih dahulu!”

“Jelasnya, engkau telah lama mengincarku, heh?!” sahut Mahesa Wulung pula.

“Nah, sekarang engkau telah lebih tahu, bukan?” ujar Talipati. “Memang untuk hadiah seribu keping emas yang banyak itu, aku bersedia menyabung nya- wa!”

“Jika demikian, mengapa sahabatku ini ikut pula kau musuhi?!”

“Heh, heh, heh. Engkau terang menjadi musuhku. Maka siapa saja yang menjadi sahabatmu berarti pula menjadi musuhku!” demikian kata Talipati seraya me- nyabetkan senjatanya ke arah Mahesa Wulung.

Roda berduri itu berputar menyambar kembali ke arah kepala Mahesa Wulung, namun pendekar Demak ini ternyata masih mencintai kepalanya, maka tak ayal lagi ia mengendapkan diri ke bawah.

Wessst!

Senjata maut milik pendekar berambut ijuk itu me- nyambar sangat rendahnya di atas kepala Mahesa Wu- lung. Untungnya saja ia tidak terlambat dengan gera- kannya. Jika tidak, pasti batok kepalanya akan terpa- pas seperti buah kelapa.

“Gila! Kau bisa lolos dari senjataku ini, hah! Lagi mujur nasibmu kali ini, kelinci goblok!” berkata Talipa- ti setengah jengkel. “Baiknya kau coba sekali lagi me- nangkisnya. Hyaaatt!”

Tanpa ampun, senjata roda berduri menyambar lagi ke tubuh Mahesa Wulung. Kali ini arahnya sangat ren- dah sehingga tidak mungkin lagi jika Mahesa Wulung harus mengendap pula.

“Yaakkk!” Mahesa Wulung menggeram sambil me- lenting ke atas, laksana seekor belalang mencelat de- ngan gerakan ringan.

Talipati terpaksa mengutuk-ngutuk mendapatkan bahwa dua serangannya yang bertubi-tubi bisa dielak- kan oleh lawannya. Dalam pada itu, belum lagi Talipati mengulang sera- ngannya, mendadak ia mencium desiran angin datang dari arah samping.

Secepat kilat Talipati menengok ke samping dan alangkah kagetnya ketika dilihatnya Palumpang me- nyerang dengan tikaman pisau tulang ikan yang putih kekuningan dan runcing.

Serangan berbahaya ini tampaknya sukar dihindari. Tapi bagi Talipati yang kenyang pengalaman, tidaklah membuatnya gugup. Secepat kilat ia membuang diri ke samping sementara kedua kakinya lincah meniti buih ombak yang memutih dan berhempasan.

Sreeettt! “Huuhh!”

Terdengar Talipati mengeluh ketika ia dapat lolos dari serangan pisau tulang milik Palumpang. Ketika ia meraba sudut bajunya, ternyata telah sobek sepanjang satu jari.

Inilah yang membikin Talipati kaget setengah mati. Tak menyangka bahwa gerakannya masih kalah cepat dari tikaman pisau Palumpang. Biarpun tubuhnya ti- dak cedera, Talipati cukup jengkel karena pisau la- wannya masih sempat merobek ujung bajunya.

Dari gerakan-gerakan ketiga pendekar tadi, timbul- lah gelombang-gelombang air laut yang berpusing- pusing menggetarkan hati siapa yang melihatnya.

Beberapa ekor burung camar terbang menjauh sam- bil mengepak-ngepakkan sayapnya saking ketakutan.

Ketika Talipati makin gencar melakukan serangan- nya, Mahesa Wulung melesat ke depan seraya memu- tar pedangnya. Betapapun besarnya bahaya, ia tak mau terlalu memberi hati dan cuma berloncatan meng- hindar.

Talipati sangat kaget. Ia melihat tubuh lawannya ini melesat bagai sebuah meteor, sedang di tangannya ter- genggam sebilah pedang berkilat siap menyerang di- rinya. Tentu saja Talipatipun bukan seorang bodoh. Segera ditariknya senjata roda berduri dalam ukuran jarak pendek, untuk menyongsong serangan Mahesa Wulung.

Werrr! Traaang!

Benturan kedua senjata terjadi, diiringi loncatan asap panas mengepul ke udara. Sementara itu pedang Mahesa Wulung tergetar hebat seperti baru saja mem- bentur dinding baja yang tebal. Sedang Talipati sendiri cepat meloncat ke belakang beberapa langkah disertai perasaan heran berlebih-lebihan. Senjata roda berduri di tangannya memental ke samping beberapa kali. De- ngan demikian sadarlah, bahwa ia telah menjumpai lawan yang tangguh.

Palumpang tidak mau kalah. Melihat Talipati meng- hindar ke belakang, iapun menerjangnya dari arah samping sambil mengibaskan tangannya.

“Hiyaatt!”

Seketika itu pula melesatlah belasan duri ikan be- racun ke arah Talipati.

Namun si peniti buih ini memang luar biasa. Sebe- lum duri-duri beracun tadi menembusi tubuhnya, ia telah lebih dulu menyampok runtuh dengan putaran senjatanya, roda berduri. Ketawanyapun terdengar pu- la.

“Hua, ha, ha, jangan mengimpi untuk bisa menja- tuhkan Talipati si peniti buih!”

Sehabis berkata, Talipati menarik kembali senjata roda berdurinya. Kemudian dengan perlahan-lahan dan lebih teratur, Talipati memutar lagi senjata maut- nya.

Werrr... sring... sring.

Roda berduri tersebut bertubi-tubi menyambar sa- sarannya, tanpa memberi banyak waktu yang lowong kepada Mahesa Wulung berdua.

Begitulah, pendek kata mereka berdua selalu meng- ambil langkah yang bertentangan! Dan karena ini pula Talipati semakin mengamuk sejadi-jadinya.

Pertempuran terus berlangsung dengan hebat seo- lah-olah tidak akan ada akhirnya. Sampai sejauh itu, Talipati masih belum tahu, bagaimana ia harus me- robohkan kedua lawannya itu. Sebaliknya, Mahesa Wulungpun belum menemukan jalannya, bagaimana- kah cara menaklukkan Talipati yang bersenjata dah- syat dan ganjil ini. Apalagi si iblis peniti buih ini sangat lincahnya bergerak di atas permukaan air laut, di atas buih yang berserakan tersebar di sana-sini.

Diam-diam Mahesa Wulung mengagumi ilmu peri- ngan tubuh dan tenaga dalam Talipati yang mampu membuat dirinya ringan dan lincah bergerak di atas air tanpa alas kaki apapun. Berbeda dengan dirinya dan Palumpang yang masih melengkapi kakinya dengan sepasang seludang bunga kelapa, sehingga memung- kinkan kakinya meluncur ringan ke sana-ke mari di atas permukaan air.

***

Ketika tengah berlangsungnya pertarungan dahsyat seperti itu, matahari lagi bersinar dengan teriknya, meskipun beberapa awan mendung bergumpalan me- laluinya.

Dari arah selatan, sebuah perahu layar membelah air sangat lajunya. Layarnya mengembang dengan in- dah seolah sayap raksasa keputihan menjulang ke udara.

Di atas geladak perahu tampaklah beberapa orang sibuk mondar-mandir melempar pandangannya ke se- genap arah, ke setiap penjuru permukaan laut. Begitu pula yang berada di atas puncak tiang layar, selalu mengawasi permukaan air, seperti tengah mencari se- suatu yang amat penting.

Memang benar. Mereka tengah mencari rakit yang dikabarkan oleh sementara nelayan sering mondar- mandir terapung di laut dengan dua orang penum- pangnya.

Seorang berjubah yang tidak lain adalah Gagak Ce- mani sibuk dengan teropongnya memeriksa ke segenap bagian dari cakrawala di depannya.

Tak jauh dari Gagak Cemani, berdiri pula Pandan Arum dengan pikiran yang cemas, terlihat dari caranya menggigit-gigit bibirnya yang merah delima, sebagai penahan getaran hatinya.

“Hoiii!” teriak seorang pengawas di ujung tiang layar. “Perahu dari timur laut!”

Oleh teriakan tadi, baik Gagak Cemani, Pandan Arum, Tungkoro dan setiap penghuni geladak perahu menatap ke arah timur laut. Sebuah perahu nelayan muncul dari arah sana. Seorang penumpangnya tam- pak melambai-lambaikan tangannya ke arah perahu Pandan Arum. 

Karenanya Gagak Cemani segera berseru kepada ju- ru kemudi. “Dekatkan ke arah perahu nelayan itu! Awas hati-hati dan pelan!”

Sejurus itu pula kedua perahu tadi saling men- dekat.

Si penumpang perahu nelayan cepat berseru kem- bali. “Hooi, harap hati-hati mengambil arah utara. Di sana tengah terjadi sesuatu yang mengerikan!”

“Heeii, apa yang mengerikan?!” teriak Gagak Cemani dengan lantangnya.

“Sebuah pusaran angin dengan sinar yang berkila- tan muncul di sana!” kembali si nelayan berseru. “Li- hatlah burung-burung camar yang terbang ketakutan di atas itu! Jika boleh kunasehatkan, janganlah meng- ambil arah utara!”

“Terima kasih, sobat!” ujar Gagak Cemani pula. “Memang itulah yang kami cari!”

Terperanjat si nelayan tadi mendengar kata-kata Gagak Cemani. Begitu pula beberapa orang temannya ikut tercengang. Si nelayan tua menggeleng-gelengkan kepala seraya mulutnya bergumam komat-kamit lalu kedua tangannya diusapkan ke wajahnya, dan kede- ngaran gumamnya. “Semoga Anda semua dilindungi Tuhan!”

Agaknya, si nelayan tua tadi baru saja mengu- capkan doanya kepada perahu Pandan Arum tersebut.

Kemudian kedua perahu itupun saling menjauh, masing-masing dengan tujuannya sendiri. Perahu Pandan Arum terus melaju ke utara tanpa menggubris tutur kata kecemasan dari mulut nelayan tua itu.

Keteguhan hati setiap penumpangnya seperti juga teguhnya kerangka perahu yang mampu menempuh dan menahan getaran serta hempasan gelombang- gelombang lautan.

“Agaknya tengah terjadi keributan di sebelah utara sana, Adi Pandan Arum,” gumam Gagak Cemani.

“Jadi benar juga kata nelayan tua tadi,” sahut Pan- dan Arum. “Bahwa di sebelah sana ada sesuatu yang mengerikan!”

“Menilik dari burung-burung camar yang terbang ketakutan itu, memang agaknya ada apa-apa di sana! Mudah-mudahan bukan hantu laut saja yang kita te- mui di sana.”

“Aah, Kakang Cemani mau menakut-nakuti Pandan Arum?!” gumam Pandan Arum seraya memberengut sehingga Gagak Cemani tersenyum. Pendekar berjubah yang telah menganggap si Pandan Arum sebagai adik- nya sendiri kadang-kadang tidak segan untuk melucu, sekadar untuk menghibur terhadap kecemasan Pan- dan Arum.

Mendadak gadis ini berseru seraya menunjuk ke air laut. “Heei, lihatlah, Kakang Cemani! Perhatikanlah di bawah itu! Potongan dan serpihan-serpihan kayu tam- pak terapung-apung terbawa ombak. Apakah itu tidak kelihatan ganjil?!”

Gagak Cemani dan orang-orang lainnya segera pula memperhatikan permukaan air laut. Mereka dapat me- lihat banyaknya potongan-potongan kayu terombang- ambing ke sana-ke mari. Di antaranya terdapatlah po- tongan-potongan kayu yang masih terikat dengan seu- tas tali pada ujungnya.

Melihat itu Pandan Arum seketika berseru dengan lantang, “Itu adalah pecahan dari sebuah rakit. Ya, be- kas-bekas rakit yang hancur!”

Gagak Cemani mengangguk, membenarkan penda- pat Pandan Arum. Dalam hati ia mengakui ketajaman pikiran gadis ini dan kemudian iapun berkata. “Me- mang benar. Itu adalah bekas-bekas kayu dari sebuah rakit. Jika begitu pasti ada sebab-sebab lain yang me- nyebabkan pecahnya rakit tersebut.”

“Mungkin jawabannya ada di sebelah utara sana, seperti yang ditakutkan oleh nelayan tua tadi,” begitu sahut Pandan Arum.

“Ya, jawabannya saya kira ada di sana,” sambung Gagak Cemani seraya mengarahkan teropongnya kem- bali ke arah utara.

Tiba-tiba Gagak Cemani seperti orang linglung. Ia memeriksa teropong panjangnya dan menggosok-gosok kedua ujung kacanya dengan lengan bajunya, seperti mencoba membersihkan alat itu dari kemungkinan- kemungkinan debu yang melekat dan mengotori se- hingga menimbulkan pemandangan-pemandangan yang mengganggu.

Sesudah itu Gagak Cemani malah mengucek-ngu- cek kedua matanya, sehingga Pandan Arumpun men- jadi bertanya-tanya dalam hati.

“Aneh sungguh kelakuan Kakang Cemani.” Iapun kemudian berkata kepada Gagak Cemani, “Hei, apakah Andika melihat hantu laut, Kakang Cemani?!”

“Ehh, aku tak tahu, Adi. Lihatlah dengan teropong ini. Ada sesuatu yang bergerak-gerak dan berloncatan di sebelah sana,” kata Gagak Cemani seraya menye- rahkan teropong panjang kepada Pandan Arum. “Ru- panya seperti bentuk manusia, tetapi mereka berlonca- tan di atas permukaan air!”

Pandan Arum segera memasang teropongnya dan betullah apa yang dikatakan oleh Gagak Cemani tadi. Di antara deru dan hempasan gelombang laut, Pandan Arum dapat melihat tiga bayangan manusia berpusar berloncatan di atas permukaan air, sehingga iapun menyeletuk. “Kakang Cemani. Aku yakin itulah yang ditakutkan oleh nelayan tua tadi. Di antara gerakan- gerakan tadi memang terlihat adanya sinar yang berki- latan berputar-putar!”

“Nah, ke sanalah kita akan menuju, Adi Pandan Arum,” sambung Gagak Cemani pula.

Pandan Arum makin berdebar-debar dadanya, ke- tika perahu makin menuju ke arah utara. Sedang Ga- gak Cemanipun memberi aba-aba kepada juru mudi.

“Arahkan ke utara lurus!”

Haluan perahu membelah permukaan air, menyi- bakkan gelombang laut laksana ikan lumba-lumba yang lagi berenang dan berkejaran.

Meskipun telah begitu cepatnya, namun toh seluruh awak kapal merasa bahwa perahunya masih sangat lambat, lebih-lebih dengan Pandan Arum sendiri.

Ketika Pandan Arum mengarahkan teropongnya kembali, berserulah ia dengan kaget, “Kakang Cemani! Itu adalah tiga orang manusia yang berloncatan di atas permukaan air. Tidak keliru lagi. Kelihatannya mereka tengah bertempur, Kakang Cemani!”

“Bertempur?” ulang Gagak Cemani heran. “Mari aku pinjam teropong itu. Aku tak habis mengerti dengan mereka!” Demikian Gagak Cemani menerima kembali teropong dari tangan Pandan Arum dan secepatnya ia melihat ke arah utara. “Betul! Mereka adalah tiga orang manusia yang lagi bertempur! Sungguh menak- jubkan!”

Memang menakjubkan. Ketiga manusia yang dilihat oleh mereka tadi, tidak lain adalah Talipati, Mahesa Wulung dan Palumpang yang tengah bertempur de- ngan sengitnya. Beberapa puluh jurus mereka telah menghabiskannya, namun sampai saat itu mereka masih tampak segar-bugar dan bersemangat. Satu hal yang jarang dapat ditemui!

Ketika pertempuran hebat masih akan berlangsung lebih lama, Mahesa Wulung belum bermaksud meng- gunakan cambuk Naga Geninya, sebab ia tidak akan memakainya bila keadaan tidak betul-betul gawat.

Tiba-tiba Talipati mendongakkan kepala seraya meng- gerendeng, “Keparat! Teman-temanmu berdatangan, Mahesa kerdil. Kau pasti akan main keroyok. Nah, sampai jumpa lagi dalam arena pertarungan yang akan datang!”

Habis berkata, Talipati memutar tubuhnya lalu me- lesat ke utara bersama-sama gulungan ombak laut dan lenyaplah ia dari pandangan mata! Menakjubkan se- kali.

Mahesa Wulung menarik nafas dan berpaling ke arah selatan. Begitu pula Palumpang yang berhidung tajam segera berseru.

“Lihatlah, sebuah perahu menghampiri kita.”

Keduanya segera menampak sebuah perahu layar yang laju, meluncur ke arah mereka. Semula kedua sahabat ini masih bertanya-tanya, siapakah gerangan yang berperahu mendatangi mereka. Namun Mahesa Wulung segera berseri wajahnya, bila telinga tajamnya mendengar teriakan nyaring yang telah dikenalnya, de- ngan memanggil-manggil namanya.

“Kakang Mahesa Wulungngng...!”

Itulah suara Pandan Arum! Dan karenanya Mahesa Wulung serta Palumpang segera berloncatan menyam- but perahu tadi.

Sesungguhnyalah Mahesa Wulung telah mengenal dan hafal akan suara tadi. Dengan suaranya saja Ma- hesa Wulung telah dapat membayangkan betapa wajah orangnya, potongan tubuhnya dan rambutnya yang hi- tam bergelombang tersanggul dengan ujungnya terurai ke pundak.

Begitulah, kalau seseorang telah mencintai, maka apa saja yang bersangkut-paut dengan orang yang di- kasihi tadi akan mudah terbayang olehnya. Suatu daya ingat dan daya bayang yang kuat telah terbukti di sini, seirama dengan pemusatan pikiran yang sempurna.

Agaknya tak bedanya dengan orang yang menonton pesawat televisi, maka ia tidak saja mampu melihat orang yang dikasihi tadi, tapi juga dapat melihat keja- dian-kejadian yang telah lewat seolah-olah kejadian tadi masih berlangsung di hadapannya.

Oleh sebab itu, tak usah diherankan bila pemusa- tan pikiran dan daya bayang yang dilakukan sangat berlebih-lebihan tanpa dikendalikan secara bijaksana akan menyebabkan orang bertingkah-laku kurang wa- jar, mengarah seperti orang yang tidak waras. Kadang- kadang ia tertawa sendiri, berkata-kata dan menangis terhadap bayangan yang dilihatnya tadi. Rupanya itu pulalah sebabnya mengapa seseorang yang jatuh cinta kepada seseorang lalu dikatakan sedang menderita “sakit cinta” atau “lara wuyung” dalam istilah Jawa. Teriakan jarak jauh yang dilontarkan oleh Pandan Arum itupun bukan sekadar teriakan biasa, tapi di- lambari oleh tenaga dalam yang kuat.

Melihat adegan ini, Palumpang sesaat tertegun sen- diri dan hampir-hampir ia tertinggal oleh Mahesa Wu- lung yang berloncatan dengan pesatnya ke arah sela- tan untuk mendekati perahu tersebut.

“Haai, tunggulah aku, sobat!” seru Palumpang se- raya mengejar di belakang Mahesa Wulung. “Andika terlalu cepat! Aku jadi tertinggal karenanya!”

Mahesa Wulung menengok ke belakang oleh teria- kan sahabatnya, dan iapun lalu terkejut bila ternyata si Palumpang memang tertinggal agak jauh di bela- kangnya.

Dengan segera ia memperlambat sedikit gerakannya seraya berkata. “Heh, heh, maaf, sobat Palumpang. Kekasihku berada di perahu itu. Kau dengar teria- kannya, bukan? Pastilah ia telah kecemasan sejak ter- tangkapnya aku oleh Surokolo itu!”

“Ooo, jadi diakah Nona Pandan Arum, seperti yang pernah Andika ceritakan?” sahut Palumpang dengan wajah cerah. “Pantas Andika telah terbirit-birit me- nyongsongnya. Akh, anak muda, anak muda!”

Mahesa Wulung cuma tersenyum oleh kelakar sa- habatnya tadi, dan keduanya telah menjadi semakin dekat perahu yang datang dari arah selatan.

Begitu sampai, maka Mahesa Wulung berdua ber- loncatan ke atas geladak perahu dengan gerakan selin- cah belalang.

Tap! Tap! Tap!

Keempat kaki mereka yang berseludang bunga ke- lapa mendarat dan melekat ke atas geladak perahu, membuat seluruh awak perahu tersebut keheranan dan takjub.

“Kakang Wulung!” seru Pandan Arum seraya meme- luk Mahesa Wulung dengan eratnya, seperti tidak akan mau melepaskannya kembali. “Engkau tidak apa-apa, Kakang!”

“Aku telah ditolong oleh sahabatku ini. Namanya adalah Palumpang,” ujar Mahesa Wulung memperke- nalkan sahabatnya yang berkulit hitam itu.

“Aku telah cemas dengan kepergianmu, Adi Mahesa Wulung. Sejak perahu Surokolo itu bertolak dan mem- bawa dirimu, kami menjadi sangat kuatir,” ujar pende- kar berjubah si Gagak Cemani kepada Mahesa Wu- lung.

“Aku telah menjadi agak lengah waktu itu,” sahut Mahesa Wulung. “Tapi Surokolo memang orang yang sakti. Demikian pula dengan lawan yang baru kami jumpai tadi. Ia pandai meniti buih dan bersenjata roda berduri. Ia bergelar Talipati, si peniti buih. Baiknya aku ceritakan semua pengalamanku tadi untuk lain kali.”

“Akan kembalikah kita ke Demak?” bertanya Gagak Cemani. “Ataukah terus ke Jepara?”

“Kita kembali saja ke Demak, Kakang Cemani,” ujar Mahesa Wulung. “Banyak persoalan yang harus kita bicarakan di sana.”

Dan tak lama kemudian, aba-aba untuk memutar haluan terdengar mengumandang di segenap sudut pe- rahu.

“Kembali ke Demak!”

Seperti seekor ular naga, perahu panjang itu memu- tarkan diri lalu berbalik ke arah selatan dengan laju- nya. Angin laut berhembusan dengan cepatnya, me- langgar tali-temali perahu dan layar bersiutan seperti bunyi siulan-siulan merdu yang menggembirakan. Hingga di sini, selesailah seri Naga Geni “Seribu Keping Emas untuk Mahesa Wulung”. Segera menyu- sul seri Naga Geni yang berjudul “Bukit Kepala Singa”. Salam buat pembaca-pembaca tersayang.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar