Serial Naga Geni Eps 13 : Harta Tanjung Bugel

 
Eps 13 : Harta Tanjung Bugel


MATAHARI telah sedemikian tergeser ke langit barat dan cahayanya sudah tidak begitu panas lagi.

Angin sejuk bertiup nyaman menyapu puncak puncak pohon dan dedaunan rumput tipis di tepi Kali Serang.

Air sungai yang berwarna putih kecoklatan beriak kecil- kecil dan mengalir dengan tenangnya seakan-akan tak memperdulikan akan keributan dan kedahsyatan dua manusia yang tengah bertarung di tempat tersebut, tidak jauh dari tepi sungai.

Agak jauh dari kedua orang itu, seorang pemuda berkumis tebal tampak terjelepak di atas rerumputan dalam keadaan setengah pingsan, dan wajah kepucatan

Sedang di dekat rumput pisang, dua orang gadis melihat kesemuanya itu dengan wajah kecemasan dan gelisah. Betapa tidak. Yang seorang ini tidak lain adalah Pandan Arum dan yang kedua adalah Endang Seruni.

Melihat pertempuran antara kekasihnya melawan Ki Bango Wadas yang berlangsung dengan dahsyat dan telah memakan belasan jurus itu, mau tak mau hati Pandan Arum berdentang-dentang amat kerasnya secepat irama gerakan silat Mahesa Wulung melawan Ki Bango Wadas yang berkepala botak dan berrsenjata penggada berduri logam.

Apa yang tidak dinyana selama ini, telah menimbulkan kecemasan hatinya Pandan Arum melihat bahwa gerakan Ki Bango Wadas makin bertambah ganas dan mencecar serta mendesak Mahesa Wulung. Apalagi senjata Ki Bango Wadas tadi seperti mempunyai mata yang selalu menyerang bagian-bagian yang lowong dari pertahanan Mahesa Wulung. Yang paling mengagetkan bagi Pandan Arum adalah keadaan Mahesa Wulung. Kekasihnya ini seperti kalah cepat dan selalu terkurung oleh gulungan tubuh Ki Bango Wadas yang berloncatan sebagai bayang-bayang hitam.

Dan celakanya lagi Mahesa Wulung harus selalu terus- menerus menangkis senjata gada berduri logam yang datangnya bagai gelombang menghempas bertubi-tubi tanpa henti. Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak berkesempatan untuk berpikir ataupun menggunakan cambuk pusakanya, Naga Geni.

Yang semata-mata memenuhi pikirannya adalah menghalau atau menangkis serangan-serangan senjata lawannya yang dahsyat itu. Biarpun Mahesa Wulung telah sering berkali-kali bertempur melawan musuh-musuh yang bersenjata beraneka ragam, namun toh setiap kali pula ia terpaksa menghadapi senjata-senjata baru yang lebih hebat lagi, seperti senjata Ki Bango Wadas ini.

“Bocah ingusan!” teriak Ki Bango Wadas dengan marah. “Sebentar lagi kau akan bertamasya ke neraka!!! Senjataku ini tak kenal akan belas kasihan.”

“Ngocehlah sepuasmu Bango kudisan! Atau kau yang lebih dulu berkubang di api neraka sana!” seru Mahesa Wulung membalas. “Mengapa kau tiba-tiba menyerangku?! Tentang muridmu si Lawunggana itu, kami ada urusan pribadi yang harus kami selesaikan sendiri dan anda sebagai seorang guru yang bijaksana, tentunya akan mem- biarkan anak-anak muda merampungkan persoalannya sendiri.”

“Pintar saja kau ngomong bocah ingusan. Kalau kau telah berani dengan muridnya, dengan gurunyapun kau harus berani menghadapinya!”

“Memang aku tak pernah takut kepada orang-orang macam tampangmu ini!” seru Mahesa Wulung jengkel. “Janganlah sekali-kali bikin gertakan terhadap Mahesa Wulung.”

Telah berapa jurus mereka berdua bertarung itu, tak terhitung lagi bagi Pandan Arum serta Endang Seruni yang tengah menonton pertempuran mereka. Pandangan mata mereka begitu tercengkam oleh kedahsyatan perang tanding itu, terlebih lagi bagi Endang Seruni yang jarang melihat hal-hal yang semacam ini.

Kadangkala Endang Seruni melirik ke arah tubuh Lawunggana yang sampai kini masih terhampar di atas rerumputan setengah pingsan. Sebagai seorang gadis yang pernah dikasihi oleh pemuda itu, tentu saja Endang Seruni menaruh rasa iba kasihan melihat Lawunggana terkapar setengah pingsan itu.

Di samping rasa iba itu, Endang Serunipun merasakan rasa heran yang terselip di dalam hatmya. Ia tahu bahwa dahulu Lawunggana tidak berhati keras seperti sekarang ini. Lawunggana telah dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berhati lembut dan lebih suka menghindarkan diri dari setiap perselisihan meskipun ia bisa berkelahi.

Agaknya Endang Seruni bisa menduga bahwa kekerasan watak Lawunggana ini berubah akibat didikan yang keras dan sedikit mengarah kekejaman dari gurunya Ki Bango Wadas. Untuk inipun ia telah maklum, dan ia berharap semoga ia bisa menyadarkannya. Itulah pula yang menyebabkan ia bergegas mendekati Lawunggana.

“Yunda Pandan Arum, aku akan menengok kakang Lawunggana yang tergeletak di sana.” ujar Endang Seruni meminta diri kepada kakaknya.

Pandan Arum menoleh dan tersenyum lalu berkata seraya menepuk bahu adiknya. “Ya, tengoklah dia, adi Seruni. Kasihan ia terharnpar di sana.”

“Terima kasih, yunda Pandan Arum.” ujar Endang Seruni serta melangkah ke arah Lawunggana diiringi senyuman Pandan Arum penuh arti. Ia sadar bahwa adiknya ini masih menaruh rasa cinta kepada si pendekar kumis tebal, Lawunggana dan jika ia mengingat bahwa pada per- jumpaan pertama dengan gadis itu ia telah menaruh rasa cemburu maka sekarang ini ia seperti ingin tertawa geli.

Endang Seruni tadi segera mendekati tubuh Lawunggana yang tak berkutik membisu bagaikan tak ber- nyawa lagi dan ini menyebabkan ia kecemasan. Maka cepat-cepatlah ia membongkok dan menempelkan tangan- nya pada dada pendekar ini.

“Ah, masih bernafas kakang Lawunggana ini. Syukurlah jika begitu. Berarti kakang Mahesa Wulung tidak benar- benar bermaksud membunuhnya!” gumam Endang Seruni seorang diri. Ia kemudian mengusap dahi Lawunggana yang penuh oleh keringat serta debu tanah dengan selembar sapu tangan.

Perlahan-lahan sekali pendekar berkumis tebal ini menggerakkan kepalanya seraya merintih dan menggerakkan bibir serta membuka matanya.

Betapa terperanjat Lawunggana ketika pandangan matanya menatap wajah Endang Seruni berada di hadapannya.

“Adi Endang Seruni.” bisik Lawunggana seraya me- mejamkan matanya sesaat dan kemudian membuka kembali. “ Apakah aku bermimpi? Aku belum mati bukan?!” “Kakang Lawunggana tidak mimpi dan kakang masih hidup. Kini berkata-kata di hadapanku.” berkata Endang Seruni dengan tangannya masih mengusap membersihkan dahi serta leher Lawunggana yang masih ditempeli oleh debu campur keringat. Usapan-usapan ini begitu lembut dan mesra membuat Lawunggana menyadari bahwa setidak-tidaknya gadis ini masih menaruh cinta kepadanya. “Mengapa Mahesa Wulung tidak segera membunuhku?” berkata Lawunggana dengan nada ragu seperti berkata

dengan dirinya sendiri. “Mengapa?”

“Itu pertanda bahwa kakang Wulung tidak benar-benar bermaksud ataupun menghendaki salah satu nyawa di antara kalian tercabut karena gara-gara kesalahpahaman atau pengertian yang sempit dari hati kakang Lawunggana yang dangkal dan mudah terbakar oleh nafsu amarah.”

Mendengar ini hati Lawunggana menjadi pedih bagai diiris oleh sembilu. Ia sendiri akhirnya insyaf bahwa serangannya terhadap Mahesa Wulung serta dendamnya selama ini adalah keliru dan sesat. Sekali lagi Lawunggana menatap wajah Endang Seruni sementara tangannya meraba jari-jemari gadis ini dan karenanya, Endang Seruni sesaat terkejut tapi akhirnya membiarkan Lawunggana menggenggam serta meremas mesra jari-jari tangannya.

“Maafkan aku, adi Seruni.” desah Lawunggana. “Aku terlalu memperbesar rasa cemburu, namun itu terlahir karena begitu besarnya rasa cintaku kepadamu.”

“Sudah lama aku memaafkanmu kakang Lawunggana.” sahut Endang Seruni. “Rasa cemburu mu memang kelewat besar dan aku tidak menyenanginya, kakang.”

Sesaat Lawunggana memejamkan mata seperti me- resapkan segala kata-kata kekasihnya ini.

“Kau tahu kakang, siapa gadis yang berdiri di sana itu? Dialah nona Pandan Arum, kekasih dari kakang Mahesa Wulung dan ternyata adalah kakak kandungku sendiri!”

“Hah?!” desis Lawunggana kaget. “Jadi gadis itu adalah kekasih Mahesa Wulung?”

“Begitulah.” sambung Endang Seruni. “Maka, sekali lagi aku mengharap agar kakang Lawunggana segera meng- hapuskan dendam hatimu kepada kakang Mahesa Wulung.”

Lawunggana menganggukkan kepala serta berkata lirih. “Baiklah, adi Seruni. Aku berjanji dan semoga harapanmu itu menjadi kenyataan.”

Sementara itu pertempuran antara Mahesa Wulung melawan Ki Bango Wadas masih berlangsung dengan sengit, tanpa ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai pemenangnya. Keduanya telah bercucur keringat.

Tiba pada jurus kelima puluh satu, tiba-tiba semua dikejutkan oleh suara berdentang keras dan segera setiap mata diarahkan ke arena pertempuran.

Ternyata itu adalah suara benturan pedang Mahesa Wulung yang menangkis serangan penggada Ki Bango Wadas. Benturan tadi sedemikian hebat dan akibatnya luar biasa.

Jari-jari Mahesa Wulung merasa nyeri serta bergetar hebat dan pedang ditangannya itupun terpelanting lepas. Mahesa Wulung terkejut seketika dan sebelum ia bertindak lebih lanjut tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, Ki Bango Wadas telah memukulkan kedua ujung jari telunjuk dan tengah jari tangan kirinya, langsung mengenai dada Mahesa Wulung.

“Heeh!” Mahesa Wulung terperanjat oleh serangan ini. Dadanya menjadi sesak dan terbatuk-batuk kemudian lemas, sehingga pendekar muda ini terjelapak jatuh terduduk di tanah dengan dada kembang-kempis.

“Weh, heh, heh, heh, heh. Mahesa Wulung! Hari ini adalah saat kematianmu!” seru Ki Bango Wadas sambil terbahak-bahak ketawa menyeramkan. Suaranya meng- gema di udara tepi Kali Serang. “Sekarang hiruplah udara sungai ini buat terakhir kalinya!”

Selesai berkata itu, tampak Ki Bango Wadas meng- angkat penggada berduri logam ditangannya tingg-tinggi serta di putar di atas kepala sehingga berdesing-desing suaranya.

“Heh, heh, heh, mampus kowe hah!” teriak Ki Bango Wadas dalam suara yang ganas serta meloncat pendek untuk kemudian menghantamkan senjatanya ke bawah, ke arah sasarannya, yakni Mahesa Wulung yang tergeletak lemas di atas tanah.

“Aaaaaa...” terdengar jeritan dan mulut Pandan Arum, juga dari Endang Seruni, sedang Liwunggana cuma ter- beliak matanya tanpa kuasa menjerit.

“Blaaaarrr!” terdengar suara keras bagai letupan petir menyambar, memekakkan anak telinga. Pandan Arum yang tak tega dan ngeri segera memejamkan mata. Demikian pula Endang Seruni.

“Ooh, bapak guru sangat kejam!” desis Lawunggana seorang diri. Apa yang dilihatnya ini benar-benar ber- tentangan dengan dasar-dasar keperwiraan yang pernah dikenalnya.

Ki Bango Wadas yang telah mengayunkan penggadanya ke arah tubuh Mahesa Wulung terkejut sekali oleh suara letupan ini. Bermula sekali ia yakin bahwa tubuh lawannya akan hancur berlubang-lubang oleh senjatanya yang ampuh ini.

Namun ketika ia membelalakkan matanya ke depan betapa terkejutnya pendekar setengah botak ini. Di hadapannya telah berdiri seorang berpakaian dengan warna keputihan dan kepalanya berselubung dengan topeng kain dengan dua lubang mata bulat yang menatap tajam ke arah Ki Bango Wadas.

Orang tersebut berdiri di antara Ki Bango Wadas dengan Mahesa Wulung. Pada tangan kanannya tergenggarn sebilah tongkat kayu bercabang dua dan agaknya orang bertopeng inilah yang telah menangkis pukulan senjata Ki Bango Wadas.

Mahesa Wulungpun kaget pula oleh kedatangan orang bertopeng yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia tidak lupa siapa orang ini, maka cepat-cepat ia berseru saking gembiranya. “Bapak Pendekar Bayangan!”

“Pendekar Bayangan!” desis Ki Bango Wadas meng- ulang nama tadi, yang selama ini telah disegani oleh hampir setiap tokoh persilatan serta ditakuti orang orang jahat.

“Keparat! Kau berani muncul di hadapanku serta merusak maksudku, hah?” seru Ki Bango Wadas dengan lantang.

“Hmmm, kalau antara murid dengan rnurid bertarung itu sudah lumrah. Tetapi jika seorang guru seperti tampangmu ini sudah mulai turut campur, maka tak ada salahnya kalau akupun mencampurinya pula!”

“Eeee, jadi Mahesa rembes itu adalah muridmu juga?!” seru Ki Bango Wadas. “Apakah ini berarti kau menantang- ku? Menantang Ki Bango Wadas dari rnuara Kali Serang?”

“Boleh kau mengartikannya demikian!” sahut Pendekar Bayangan. “Tapi aku lebih suka mengambil cara damai. Sekarang baiknya engkau berlalu dari tempat ini lekas- lekas dan kalau perlu bawalah pula muridmu itu!”

“Tidak gampang kau mengusirku dari tempat ini, Topeng busuk! Kecuali jika aku sudah tahu dan mencoba sampai di mana kesaktianmu!”

Pendekar Bayangan tertawa lirih serta berkata, “Hal itu akan segera engkau ketahui. Bango Wadas!! Aku siap melayanimu!”

“Hiaa…!” Ki Bango Wadas berteriak dan bagai kecepatan kilat ia tahu-tahu telah menerjang ke arah Pendekar Bayangan sekaligus senjatanya menyambar dengan pukulan maut.

Tampaknya penggada berduri milik Ki Bango Wadas tadi benar-benar akan meremukkan kepala si Pendekar Bayangan jika saja sasarannya ini cuma berdiam diri saja.

Kejadian berikutnya sungguh sangat mengagetkan bagi Mahesa Wulung dan Pandan Arum yang menyaksikan pertempuran itu bagai orang setengah mimpi.

Kelihatannya pendekar berkerudung topeng putih itu cuma menggeliat ke samping bagai orang meregangkan tubuh sehabis bangun dari tidurnya. Gerakan sederhana dan tampak sepele atau boleh dianggap setengah main- main ini ternyata cukup hebat.

Begitu tepatnya perhitungan gerak menggeliat tadi dan di saat itu pula penggada berduri dari Ki Bango Wadas terpaksa bersarang di udara kosong belaka, membuat Ki Bango Wadas kaget setengah mati.

Sebagai seorang pendekar jagoan ia seketika dapat menduga betapa tinggi dan sampai dimana kesaktian Pendekar Bayangan yang berada di hadapannya itu!

Dengan gerakan sederhana seperti main-main saja ia telah berhasil lolos dari senjata Ki Bango Wadas. Dan karena ini pulalah Ki Bango Wadas merasa seperti di- permainkan bagai anak kecil oleh lawannya, maka sudah barang tentu kalau ia marahnya bukan kepalang. Giginya berkerot gemeratak dan matanya bersinar tajam seperti mau menelan bulat-bulat terhadap lawannya ini.

Sementara itu Pendekar Bayangan masih saja berdiri dengan seenaknya dan bersandar pada tongkat ber- cabangnya sedang dari balik topengnya terdengar tertawa menggelegas bernada ejekan.

“Sess ... ses ... setaaan, kowe!!” seru Ki Bango Wadas sambil melototkan matanya sampai-sampai bagaikan mau meloncat keluar kedua bulatan mata tadi dari rongga dan pelupuknya. “Menghina keterlaluan kepadaku, ha!?”

“Sudah aku katakan dari semula bahwa kita bisa memakai jalan damai tanpa bertegang leher untuk mengadu tenaga. Sobat sebaiknya berlalu dari tempat ini dan boleh silakan membawa muridmu kembali.” ujar Pendekar Bayangan seraya mencoker-cokerkan ujung tongkatnya ke tanah. “Aku tak akan menghalang-halangi lagi maksudmu!”

“Topeng bobrok yang besar mulut! Tak berguna kau berkhotbah di depan hidungku! Minggir sajalah bila kamu merasa jerih berhadapan dengan Ki Bango Wadas ini!”

Sekali lagi Pendekar Bayangan memperdengarkan ketawa menggelegas sambil berkata pula. “Aku masih tidak marah, sobat! Maka jangan paksakan aku mengeluarkannya!”

“Hia, ha, ha, ha, itu lebih bagus topeng bobrok!” Seru Ki Bango Wadas. “Mari tunjukkan kemarahanmu itu! Aku ingin mengetahuinya!”

“Oooo, kau manusia tak tahu diuntung!” sahut Pendekar Bayangan. “Jangan menyesal kau nanti!”

“Haaaait!!” begitu Pendekar Bayangan selesai berkata begitu cepat pula ia menusukkan tongkat cabangnya ke depan dibarengi loncatan kecil.

Ki Bango Wadas terperanjat! Ujung tongkat bercabang tersebut meluncur ke arah dadanya dan ia sudah lebih dulu merasakan angin tusukan yang terdorong oleh senjata itu.

“Serangan tusukan maut!” desah Ki Bango Wadas dan segara pula ia menyabetkan penggadanya ke arah kanan keluar untuk menangkis serangan lawannya.

“Braaak!!” Suara keras terdengar gemerocok akibat benturan kedua senjata tadi. Namun yang paling terkejut adalah Ki Bango Wadas sendiri. Ia merasa bahwa peng- gadanya yang menangkis serta membentur tongkat cabang si Pendekar Bayangan, rasanya seperti membentur sebuah tonggak besi baja sehingga berakibat tangannya yang menggenggam senjata merasa kesemutan dan nyeri. Untungnya ia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi dan segera dapat mencegah senjatanya yang hampir lepas keluar dari jari-jemari yang menggenggamnya.

“Hmmm, hampir-hampir aku menderita malu oleh serangan tadi!” Ki Bango Wadas berkata di dalam hati sementara ia memindah senjatanya ke tangan kiri. “Biar aku akan mencoba serangan pasir maut ini!!”

Tanpa diduga tiba-tiba Ki Bango Wadas mengendap ke bawah sekaligus meraup pasir di dekat kakinya lalu menebarkannya ke depan dengan kecepatan dahsyat.

Untungnya Pendekar Bayangan tidak lengah dari segala gerak-gerik lawannya, sehingga ia tahu apa yang harus diperbuatnya untuk menghadapi serangan lawan yang pasti mematikan ini.

Butir-butir pasir tadi meluncur deras ke arah Pendekar Bayangan. Serangan ini terang mematikan sebab jika ia sampai menembus kulit maka akan segera masuk ke dalam daging atau mengalir dan masuk ke dalam aliran darah sehingga mau tidak mau korbannya akan segera mati.

Sudah tentu Pendekar Bayangan tidak mau kulit dagingnya untuk ditembusi oleh butir-butir pasir tadi. Maka secepatnya ia mendorongkan pukulan tinjunya ke depan memapaki serangan pasir maut.

Sekali ini pula, Ki Bango Wadas terpaksa terlongoh heran sebab butir-butir pasir tadi tiba-tiba terhenti di tengah jalan, bahkan kini terdorong oleh serangan angin pukulan dari tinju Pendekar Bayangan pada melesat berkeredapan ke arah diri Ki Bango Wadas sendiri!

Diam-diam Ki Bango Wadas terpaksa memuji kegesitan serta kehebatan lawannya dan cepat-cepat ia mengendap serendah mungkin agar butir-butir pasir maut tadi tidak sampai mengenai dirinya sendiri. Akan tetapi Pendekar Bayangan tidak membiarkan lawannya begitu saja nganggur selagi cekakaran menghindari terjangan butir-butir pasir maut secepat kilat ia menyampokkan tongkat cabangnya ke arah kaki Ki Bango Wadas serta mengaitnya dengan tepat dan hilanglah keseimbangan tubuhnya.

Keruan saja pendekar berkepala botak dari muara Kali Serang tersebut jatuh terjerembab di atas tanah sambil memaki-maki pedas serta meludah-ludahkan tanah yang masuk kemulutnya! - Iblis laknat! Topeng bobrok keparat! Kau kelewat batas menghinaku. Awas tunggu serangan berikutnya!”

“Hi, hi, hi, bukankah cukup enak makan gum-palan- gumpalan tanah itu?” ujar Pendekar Bayangan seraya berguncang-guncang tubuhnya menahan ketawa. “Rasanya asin-asin gurih bukan?!”

“Keparat! Terimalah seranganku ini!” seru Ki Bango Wadas sekaligus menyerang kembali dengan pukulan senjatanya yang berdesing mengerikan.

“Wuuuttt wuut-wuutt.” Kini penggada berduri di tangan Ki Bango Wadas semakin garang gerakannya dan menyerang dengan segala kemampuannya.

Biarpun Pendekar Bayangan juga bergerak hebat, namun Ki Bango Wadas yang telah mengerahkan ilmu permainan penggadanya yakni—Bindisrewu—tidak bisa dianggap enteng begitu saja. Kini penggada berduri logam tadi tampaknya menjadi beribu-ribu jumlahnya dan menyerang bertubi-tubi ke segala bagian tubuh Pendekar Bayangan.

Setiap pukulan penggada berduri logam tersebut menerbitkan angin berputaran menyebabkan debu dan daun-daun kering bertaburan ke atas. Untuk serangan- serangannya ini. Ki Bango Wadas sudah bisa memastikan bahwa pendekar bertopeng putih ini akan segera binasa atau paling sedikit mengalami cedera. Apalagi ujung-ujung duri logam pada ujung senjatanya pernah dipolesi oleh racun yang mematikan. Menghadapi serangan-serangan yang sedemikian ganas dan garangnya, Pendekar Bayangan tidak berani lagi bermain-main atau setengah-setengah tenaga melayani serangan Ki Bango Wadas itu. Maka diam-diam ia menggerakkan ilmu geraknya Samparangin yang mem- buat gerakan tubuhnya menjadi ribut, seribut angin prahara yang mampu menyambar dan menyapu setiap tetumbuhan di muka bumi hingga roboh sampai seakarnya. Dalam sekejap mata saja gerakan Samparangin beraksi menyelinap di antara celah-celah libatan senjata Ki Bango

Wadas yang berjurus Bindisrewu.

Sedikit demi sedikit jurus Bindisrewu tersebut tertindih oleh gerakan Samparangin yang makin ketat melibat tubuh Ki Bango Wadas. Ditambah pula ujung tongkat cabang si Pendekar Bayangan mematuk-matuk dan menyambar laksana moncong ular menyemburkan bisa mautnya.

Bukan main kagetnya Ki Bango Wadas menghadapi serangan-serangan sehebat itu. Kemudian terasa pula bahwa gerakan senjata Bindisrewu dari dirinya seperti surut dan tanpa daya lagi.

Pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, tiba-tiba saja Pendekar Bayangan menusukkan ujung tongkat cabangnya kedada Ki Bango Wadas dan tepat mengenai sasarannya, meskipun gerak tusukan tadi tidak di- lancarkannya dengan sepenuh tenaga.

“Heeeekk!” terdengarlah keluhan pendek dari mulut Ki Bango Wadas sambil melontarkan dirinya surut ke belakang beberapa tombak. Dengan demikian ia telah berusaha mengurangi tenaga tusukan dari tongkat Pendekar Bayangan sehingga tidak sampai dadanya berlobang.

Meskipun begitu, tak urung Ki Bango Wadas merasakan betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Sementara itu, Pendekar Bayangan tidak terus menyerang, melainkan berdiam diri di tempat sambil mengawasi segala gerak- gerik Ki Bango Wadas.

Pendekar berkepala separo botak itu kembang kempis mengatur nafas dan dadanya kelihatan turun naik meng- hirup serta menghembus udara lewat hidungnya. Sedang matanya yang tajam itu melirik ke arah Lawunggana si murid tunggalnya yang masih terbaring di tanah ditunggui oleh Endang Seruni.

Dilihatnya kedua anak muda itu dengan mesranya saling bercakap-cakap dan tentu saja Ki Bango Wadas merasa kurang senang karenanya.

Untuk beberapa saat suasana di tempat itu terasa sepi tanpa suara percakapan manusia kecuali desah angin siang membelai puncak-puncak pohon dan rerumputan di tepi Kali Serang ini.

Sekonyong-konyong dan dengan gerakan yang secepat kilat menyambar. Ki Bango Wadas tahu-tahu telah melesat ke arah Lawunggana terbaring. “Hyaat!”

Gerakan ini sungguh di luar dugaan siapa saja. Tubuh Ki Bango Wadas mirip gerakan burung bangau berparuh dan berkaki panjang yang dengan sebat menyambar tubuh Lawunggana sementara kakinya mengirimkan angin dupakan ke pundak Endang Seruni.

Akibatnya gadis ini terperanjat dan mencoba mengelak ke samping, tetapi ternyata angin tendangan dari Ki Bango Wadas lebih cepat datangnya. Maka hempas rebahlah Endang Seruni di atas rerumputan, karena terlanggar oleh angin tendangan tersebut.

Selanjutnya Ki Bango Wadas sambil mengempit tubuh Lawunggana, tak ubahnya seorang botoh mengempit jago aduannya, lalu melesat ke arah utara dalam loncatan- loncatan panjang selincah belalang. Sejurus kemudian Endang Seruni cepat bangun dan mencoba mencegah tubuh Lawunggana yang setengah sehat itu dibawa lari oleh gurunya, Ki Bango Wadas!

Akan tetapi apa daya orang selemah Endang Seruni yang tidak pernah mengenal dengan dalam akan gerakan- gerakan silat. Maka tanpa berdaya sedikitpun ia tak mampu mengejar loncatan-loncatan Ki Bango Wadas. Gadis ini cuma sempat meratap sambil menitikkan air  mata. “Oookh, kakang Lawunggana.” Sebentar itu pula, tubuh Ki Bango Wadas beserta muridnya telah lenyap ditelan oleh semak belukar di sebelah utara. Sambil memperdengarkan suara tertawa serta ancamannya. “Pendekar Bayangan!! Tunggulah dalam kesempatan lamnya. Kau pasti mampus di tanganku!!”

Mendengar ini baik Mahesa Wulung maupun Pandan Arum dan Endang Seruni merasa meremang tengkuknya oleh kata-kata ancaman dari Ki Bango Wadas tadi. Namun berbeda dengan si Pendekar Bayangan yang masih saja berdiri di tempatnya sambil memperdengarkan tertawa menggelegas dan manggut-manggut.

Begitulah akhirnya ketegangan tadi berlalu seperti lalunya angin bertiup di siang ini. Si Pendekar Bayangan perlahan-lahan melangkah mendekati Mahesa Wulung yang lagi ditunggui oleh Pandan Arum dan Endang Seruni.

“Oookh, terima kasih bapak Pendekar Bayangan. Andika telah muncul dan menolongku dalam saat-saat yang sangat tepat!” ujar Mahesa Wulung seraya tersenyum.

“Hmmm, yah, yah. Sedari kejadian yang pertama, aku telah mengikutinya, angger Wulung,” berkata si Pendekar Bayangan seraya berjongkok di samping tubuh Mahesa Wulung.

“Aku memang bermaksud berkunjung ke daerah ini dan menengok Ki Lurah Mijen, sebab telah agak lama merasa rindu kepada Ki Lurah dan desa Mijen ini. Kau ingat bukan, bahwa kita pernah tinggal bersama-sama di sini ketika menghadapi gerombolan Topeng Reges??’ 

“Benar, bapak.” jawab Mahesa Wulung. “Begitupun saya, telah lama pula ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan andika.”

“Mmm, tentunya banyak pengalaman-pengalaman kita masing-masing yang perlu kita ceritakan.” sambung Pendekar Bayangan. “Tapi lebih dulu harus kupulihkan kelumpuhanmu ini. Kau telah tertotok jalan darah serta urat-urat rongga dadamu, sehingga nafasmu menjadi sesak dan tidak lancar.” “Dapatkah ia sembuh dengan segera bapak??” bertanya Pandan Arum dengan nada kecemasan.

“Heh, heh, heh, jangan kuatir, angger. Ia akan ku- sembuhkan sekarang!” ujar si Pendekar Bayangan sekaligus mengurut-urutkan jari jemarinya ke leher Mahesa Wulung lalu menurun ke pundaknya. Selanjutnya tiba-tiba kedua belah ujung tangan Pendekar Bayangan menotok berbareng ke arah dada Mahesa Wulung sehingga Pendekar Demak ini mendesis pendek. “Haaekkk!”

Mahesa Wulung sesaat menyeringai sebab dadanya merasa dialiri oleh aliran hawa panas yang menyengat dan kemudian menyebar ke segenap rongga dadanya.

Bahkan lebih dari itu, terasa seakan-akan urat darahnya kembali bekerja dengan sempurna dan darahpun mengalir dengan lancar lewat pembuluh darah membawa udara bersih ke paru-paru dan jantungnya. Kekuatannya pulihi kembali. Maka tak heran bila nafas Mahesa Wulung kembali lancar dan cepat-cepat ia bangkit dan duduk bersama-sama mereka.

*** 2

ENDEKAR BAYANGAN   tampak menghela nafas dalam-dalam serta menatap kepada Mahesa Wulung dengan lega. Sedang Pandan Arum serta Endang Seruni tak henti-hentinya mengagumi si penolong yang

berkedok putih ini.

“Mengapakah angger sampai melibatkan diri bertempur dengan murid si Bango Wadas tadi?” bertanya Pendekar Bayangan kepada Mahesa Wulung.

“Itu terjadi karena kesalah fahaman dan dendam si Lawunggana yang sesat terhadap saya.” berkata Mahesa Wulung menjelaskan sebab-sebab terjadinya pertarungan antara Lawunggana dengan dirinya. “Sebelumnya antara kami berdua tidak pernah bertemu, berkenalan, apalagi sampai saling berselisih. Ternyata, si Lawunggana itu yang sejak semula telah mencintai adi Endang Seruni, telah mencemburukan adi Endang Seruni dengan diriku. Nah, inilah rupanya sumber dendam si Lawunggana tadi!”

Pendekar Bayangan mengangguk-angguk oleh penuturan Mahesa Wulung, sementara otaknya mem- bayangkan peristiwa-peristiwa yang lalu ketika ia bersama- sama Mahesa Wulung tinggal di desa Mijen ini untuk meng- hadapi pengacauan Ki Topeng Reges dan anak buahnya.

Ya, Pendekar Bayangan juga tahu bahwa Mahesa Wulunglah yang telah membebaskan Endang Seruni dari tangan anak buah Ki Topeng Reges. Juga ia tahu, bahwa Mahesa Wulung telah menolak kawin dengan Endang Seruni sebagai hadiah atas kemenangan sayembara.

Bagaimanapun juga Pendekar Bayangan dapat meng- hargai atas sikap Mahesa Wulung tadi. Satu sikap luhur yang menunjukkan betapa besar cinta Mahesa Wulung kepada kekasihnya yakni Pandan Arum. “Angger Mahesa Wulung. Sayang Ki Bango Wadas telah minggat dan membawa serta si Lawunggana.” ujar Pendekar Bayangan. “Dari wajah Lawunggana aku dapat mengambil kesimpulan, bahwa ia sebenarnya orang yang baik hati!”

“Benar, bapak.” sela Endang Seruni. “Memang aku telah mengenal kakang Lawunggana semenjak kecil mula dan ia adalah orang yang baik-baik!”

“Itulah sayangnya ia mendapat didikan yang sesat dari Ki Bango Wadas, yang mengutamakan kekerasan dan kekasaran. Untuk ini aku tak perlu heran sebab sedikit banyak aku telah mengenal siapa Ki Bango Wadas itu sebenarnya.” ujar Pendekar Bayangan dan kata-kata ter- sebut cukup membuat Mahesa Wulung terperanjat.

“Jadi bapak pernah mengenal Ki Bango Wadas itu?!” seru Mahesa Wulung. “Mmm, tentulah dia orang yang hebat.”

“Heh, heh, heh, heh, memang orang yang hebat si kepala botak itu!” kata Pendekar Bayangan. “Ia telah ter- kenal sejak mula kerajaan Demak berdiri.”

“Sejak Demak berdiri?!” berseru Mahesa Wulung dengan terhenyak bagai disengat lebah.

“Heh, heh, heh. Waktu itu ia masih muda sekali.” Pendekar Bayangan berkata. “Dan pada suatu ketika ia melamar ke Demak untuk menjadi calon tamtama dari pasukan kerajaan. Akan tetapi sayangnya ia sering menunjukkan kekasaran serta sikapnya yang selalu menyombongkan kesaktian dirinya, sehingga akhirnya Sultan tidak mau menerimanya. Hal ini rupanya membawa kejengkelan dalam hati Bango Wadas Anom. Maka pemuda sakti inipun meninggalkan kota Demak dengan kemarahan serta dendam yang berkobar di dadanya. Akhirnya dia menjadi seorang Pendekar liar yang sering mengganggu kearnanan dan ketenteraman. Di mana dia berada, di situ pulalah timbul perselisihan-perselisihan serta pertarungan yang kadang-kadang memakan korban jiwa. Nama Bango Wadas Anom tersebut semakin ditakuti, makin disegani oleh orang-orang dan akhirnya juga disingkiri oleh mereka. Meskipun ia mula-mula merasa bangga atas hal ini, namun toh kesudahannya ia menjadi kesepian juga. Betapapun juga kecilnya, setiap manusia masih memerlukan bergaul dan berhubungan dengan manusia lainnya. Keadaan tersebut justru menambah dendamnya terhadap setiap orang, terhadap siapa saja yang dijumpainya. Karena itu, akhirnya sekelompok prajurit-prajurit Demak telah men- coba menangkapnya.

Tentu saja Bango Wadas Anorn tidak tinggal diam dan iapun melawan dengan sekuat tenaga dan kesaktiannya.

Pertarungan hebat seketika berkobar. Pada kesempatan inilah ia menumpahkan segala dendam dan kemarahan- nya. Maka tak perlu heranlah bila dalam beberapa jurus gebrakan kemudian Banyo Wadas Anom berhasil meroboh- kan lima orang korban tanpa nyawa lagi, sedang tiga orang lainnya roboh terluka parah!

Beberapa orang sisa pasukan Demak yang merasa tak mampu lagi menandingi Bango Wadas cepat-cepat berlari meminta bantuan ke kota.

Begitulah, pertempuran hebat untuk kedua kalinya ber- kobar lagi. Kali inipun dari kalangan prajurit-prajurit tidak bisa memandang dengan sebelah mata kepada Bango Wadas Anom. Mereka terpaksa mengakui keunggulan si pendekar liar ini.

Kembali berjatuhan beberapa korban dari pihak prajurit- prajurit Demak, tetapi lainnya masih terus mengepung Bango Wadas Anom dan menyerang dengan sengitnya.

Mereka telah bertekad lebih baik mati bersama rekan- rekannya dari pada ngacir berlari meninggalkan lawannya yang cuma seorang diri.

“Hayo prajurit-prajurit Demak! Jangan rnaju satu persatu! Tuangkan seluruh teman-temanmu ke mari, dan aku akan melayaninya!” teriak Bango Wadas Anom dengan garangnya. “Kalian akan mampus, binasa satu persatu ditanganku. Hua-ha-ha-ha inilah Bango Wadas Anom yang telah ditolak sebagai calon tamtama Demak dan sekarang kalian akan merasakan betapa sepak terjangku!”

Sekali lagi Bango Wadas berkelebat dan beberapa orang prajurit pengepungnya terpelanting roboh ke tanah oleh sambaran kayu penggada ditangan Bango Wadas.

Senjatanya yang tampaknya sederhana itu ternyata ter- buat dari galih atau hati kayu pohon asam yang sangat keras dan ulet. Setiap pukulan dengan senjata ini akan menyebabkan maut atau paling sedikir patah tulang belulangnya. Maka celakalah bila lawan yang tak berilmu berani memapaki serangan gada kayu galih asam tadi!

Tiba-tiba saja dalam keadaan yang sangat kritis dan tanpa harapan bagi prajurit-prajurit Demak itu, berkelebat- lah sesosok bayangan manusia dari balik pepohonan lebat langsung melesat ke arah Bango Wadas Anom.

Kedatangan orang ini sangat tepat sebab bersamaan Bango Wadas Anom akan menghajarkan penggadanya ke kepala seorang prajurit Demak yang telah kecapaian dan terlongoh-longoh saking lelahnya.

Si pendatang tadi sekonyong-konyong dengan sebat membenturkan senjatanya yang senantiasa berputar bagai baling-baling ke arah penggada Bango Wadas yang tengah meluncur ke bawah. “Craaaakkk!”

“Keparat! Setan alas!” umpat Bango Wadas sambil me- loncat ke belakang menjauhi si pendatang tadi.

Kini Bango Wadas Anom dapat menyaksikan lawan barunya, seorang pemuda yang berumur sebaya dengan dirinya dan pada tangannya tergenggamlah sebuah senjata nenggala yang berujung dua buah sangat runcingnya dan berkilatan ditimpa sinar matahari pagi.

Dengan memegang pada pertengahannya, maka senjata tadi dapat diputar secepat baling-baling dan sepintas lalu akan miriplah dengan senjata nenggala si Prabu Baladewa dan cerita Pewayangan yang katanya mampu memukul hancur sebuah gunung anakan dan mengeringkan sebuah lautan yang dikenainya dengan senjata nenggala tadi.

“Siapa kau haa? Mencampuri urusanku di sini!” seru Bango Wadas Anom seraya melototkan matanya ke arah si pendatang tadi. “ Apakah kau sudah bosan hidup juga?” “Ha, ha, ha, Bango Wadas Anom! Memang hebat sekali

sepak terjangmu ini. Aku lihat beberapa prajurit Demak telah terkapar mati!” ujar si pendatang.

“Memang hebat, dan jika umurmu masih panjang, kau akan segera tahu bahwa besok hari pada ujung penggadaku ini akan kau lihat duri-duri logam yang aku pasang di situ sebanyak jumlah orang-orang yang telah mati itu!”

“Luar biasa!” desis si pendatang baru itu. “Itulah sudah sepantasnya bila lamaranmu sebagai calon tamtama Demak telah ditolak karena kekejaman dan kekerasanmu!” “Itu sudah menjadi pendirianku serta keyakinan yang telah mendarah daging di tubuhku!” seru Bango Wadas Anom. “Siapa yang kuat dan paling keras, pastilah akan paling berkuasa di dunia ini! Dialah orang yang paling

ditakuti!”

“Hmmm kau lupa! Bukan hanya dengan kekerasan serta kekuatan saja orang dapat berkuasa tetapi dengan keluhuran, akan kebijaksanaan serta keadilan orangpun dapat pula disegani!”

“Bagus, kita bertentang pendirian. Sakarang akan kita buktikan siapa di antara kita yang paling kuat.”

“Heh, heh, heh. Aku senang mendengar tantanganmu tadi. Namun rupanya kau belum tahu dengan siapa engkau berhadapan!“ ujar si pendatang.

“Lhah, siapa namamu he?! Kau kira aku takut men- dengar nama yang kau ucapkan!” seru Bango Wadas Anom sombong.

“Nah, kenallah lebih dulu. Aku biasa disebut orang si Banyaksekti, saudara seperguruan Ki Kebo Kenanga dari perguruan Pengging!” ujar si pendatang dengan tenangnya. “Kau?! Kau orang yang bernama Banyaksekti dari Pengging?” berseru Bango Wadas Anom dengan muka terperanjat. Nama tadi telah sering didengarnya sebagai nama yang paling ditakuti oleh para penjahat, maka sedikit banyak iapun tergetar pula olehnya. Meskipun begitu Bango Wadas Anom malah tertawa terbahak-bahak. “Heh, kebetulan sekali kalau begitu. Ayo, sambutlah senjataku ini!”

Banyaksekti terperanjat sebab begitu selesai berkata tahu-tahu senjata galih asam si Bango Wadas telah menyelonong menuju ke arah wajahnya.

Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan kecepatan angin senjata nenggala di tangannya berkelebat memapaki serangan lawan dan menyebabkan benturan keras. “Traaang!!”

Bango Wadas Anom terkejut seketika. Tidak dinyana bila serangannya yang cermat tadi meleset dari sasaran akibat tangkisan lawan. Ujung penggadanya tadi meluncur satu jengkal dari pelipis Banyaksekti.

Dalam saat yang sama pula tiba-tiba kaki kiri Banyaksekti mengirimkan tendangan manis ke perut Bango Wadas disusul bunyi berkerocak dan keluhan ter- tahan. Bango Wadas Anom buru-buru meloncat ke samping, tapi sesaat kemudian iapun muntah-muntah dengan wajah kepucatan. Sungguh hebat tendangan Banyaksekti.

Melihat ini Banyaksekti tertawa terkekeh-kekeh dan karenanya Bango Wadas makin bertambah garang saking marahnya. Kembali ia menyerang Banyaksekti dengan serangan-serangan maut. Penggadanya tadi berkelebat menyambar-nyambar ke sekeliling tubuh Bango Wadas dengan rapatnya tanpa ampun.

Namun sekali lagi Bango Wadas terkecoh, bila ke nyataannya Banyaksekti senantiasa mampu mengatasi serangan-serangannya dan tak lama kemudian iapun merasa bahwa senjata nenggala Banyaksekti berkali-kali mengancam tubuhnya.

Putaran senjata lawannya yang berujung runcing pada kedua belah ujung pangkalnya berkilatan membuat hati Bango Wadas tergetar pula karenanya. Ia terpaksa bekerja keras bila tidak ingin tubuhnya di tembus oleh nenggala si Banyaksekti yang sekali-sekali sempat pula menggores kulit dagingnya.

Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan kecepatan angin senjata nenggala ditangannya berkelebat memapaki serangan lawan yang menyebabkan benturan keras. “Traaaang!!!!”

Akhirnya Bango Wadas Anom merasa bahwa tenaganya akan menjadi habis bila diterus-teruskan bertempur melawan si Banyaksekti yang selincah burung sikatan melesat ke sana ke mari itu.

Begitulah, sebuah tendangan kaki Banyaksekti tak sempat dihindarinya dan terpentallah Bango Wadas Anom ke samping beberapa langkah. Akan tetapi di saat itu pula ia telah menyiapkan serangkaian serangan maut.

Sambil berjumpalitan, tangan kiri Bango Wadas tiba-tiba merogoh ikat pinggangnya dan begitu berkelebat mengibas meluncurlah beberapa jarum beracun ke arah Banyaksekti dengan cahaya berkeredapan. “Sringng!”

Melihat serangan ini Banyaksekti tidak kehilangan akal. Tangan kanannya yang menggenggam nenggala, berputar ke kiri ke kanan dengan cepat dan lincah menyambut sambaran-sambaran jarum beracun tadi.

Maka terdengarlah bunyi berdenting-denting susul menyusul dan rontoklah ke tanah jarum-jarum beracun tersampok oleh nenggala Banyaksekti.

Hal ini merupakan keuntungan bagi Banyaksekti sebab kedua matanya segera menyaksikan betapa rumput- rumput dan tetumbuhan yang terkena jarum beracun tadi menjadi layu serta mengering beberapa saat kemudian. Terbayanglah olehnya seandainya tubuhnya ditembusi oleh jarum-jarum beracun tadi pasti akan mengalami nasib yang sama.

Pada saat Banyaksekti menangkis serangan jarum beracun tadi si Bango Wadas Anom menggunakan kesempatan yang paling baik ini dengan melesat ke luar gelanggang pertempuran seraya berkaok-kaok. “Banyak- sekti! Tunggulah saatnya nanti. Kita akan bertemu lagi untuk melanjutkan pertemuan ini!!” Bango Wadas lenyap di balik kelebatan pohon-pohon dan tempat itu kembali sepi, kecuali beberapa erangan prajurit-prajurit yang terluka parah, sementara beberapa prajurit Demak lainnya yang masih selamat masih saja terhenyak oleh pertempuran yang baru saja berakhir tadi.

Banyaksekti tak tinggal diam. Ia segera mengajak para prajurit tadi untuk menolong rnereka-mereka yang masih sempat ditolong, sedang kepada mereka yang telah mati segera pula dikuburnya baik baik.

Sejak itu, Bango Wadas tak terdengar lagi kabar berita- nya. Ada sementara orang yang mengabarkan bahwa ia mengasmgkan diri di suatu tempat untuk memperdalam ilmu dan kesaktiannya. Sedang orang lain mengabarkan pula, bahwa setiap orang yang dijumpai tentu dibunuhnya. Begitulah kabar bersimpang siur terdengar dari sana-sini. Namun sampai sejauh itu, Bango Wadas ternyata tidak pernah muncul kembali dan orangpunn mulai melupakan- nya pula.

Pendekar Bayamian mengakhiri ceritanya dan ke- heningan kembali mencekam suasana. Mahesa Wulung berdiam diri, juga Pandan Arum dan Endang Seruni.

“Nah, angger bertiga,” ujar Pendekar Bayangan pula, melanjutkan bicaranya. “Begitu tadii cerita tentang Ki Bango Wadas yang diceritakan sendiri oleh sahabat karibku yakni si Banyaksekti sendiri.”

“Ooh, Banyaksekti itu juga sahabat bapak?!” seru Mahesa Wulung setengah kagum. “Sungguh bahagia tentunya mempunyai sahabat seperti Banyaksekti itu.”

“Heh, heh, heh, memang benar pendapatmu itu angger.” ujar Pendekar Bayangan seraya ketawa lirih. “Sekarang agaknya hari sudah terlalu siang. Baiknya kita kembali ke desa Mijen saja, angger Wulung. Aku ingin berjumpa dengan Ki Lurah. “Baik, bapak. Marilah!” berkata Mahesa Wulung mempersilakan Pendekar Bayangan yang telah bangkit dari duduknya.

“Sebentar angger Wulung!” sela Pendekar Bayangan. “Aku harus lebih dulu melepas topengku ini sebelum tiba di desa. Jika tidak, aku kuwatir kalau-kalau disangka tukang penari topeng barongan yang kesiangan.”

Pendekar Bayangan lalu melepas topengnya yang berwarna keputihan serta menyimpannya di balik bajunya yang juga berwarna keputihan. Maka sebentar kemudian Mahesa Wulung bertiga dapat menyaksikan wajah seorang tua yang masih nampak segar dengan sorot mata yang bening dan bercahaya, membuat Pandan Arum yang belum pernah melihatnya terpaksa tercengang kagum.

Tak lama kemudian mereka berempat bergegas menuju ke jalan desa Mijen yang letaknya tidak jauh lagi. Beberapa semak pohon bambu tumbuh di kiri-kanan jalan berseling- seling pohon kelapa.

*** 3

I LURAH MIJEN tampak mondar-mandir di pendapa kelurahan desa Mijen sedang Nyi Lurah diam-diam saja duduk di atas balai-balai.

Pada wajah Ki Lurah Mijen terlihat gurat-gurat kecemasan yang mendalam, lebih-lebih dengan munculnya Lawunggana yang akhirnya disusul pula dengan per- tarungan antara pemuda itu dengan Sorogenen.

Akan tetapi Ki Lurah Mijen tiba-tiba berhenti demi didengarnya suara orang Bercakap-cakap dari arah halaman Kelurahan.

Seperti digerakkan oleh tenaga naluriah Ki Lurah segera melayangkan pandangannya ke arah halaman.

“Oh...” Ki Lurah melihat empat orang menuju ke halaman Kelurahan dan ia segera dapat mengenalnya. Mereka adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang Seruni dan yang seorang lagi?

Ki Lurah mencoba mengingat-ingat dan memusatkan pikirannya. “Ooooo, siapakah dia? Rasanya aku telah lama mengenalnya.” pikir Ki Lurah beberapa saat dan akhirnya ia menampakkan wajah cerah.

“Hee, ya. Aku tak keliru lagi. Dia adalah Ki Pendekar Bayangan!!!”

Maka Ki Lurah segera bergegas keluar dan menyongsong mereka seraya berseru. “Ki Pendekar Bayangan! Ooo, andika masih teringat dengan desa yang buruk ini?”

“Heh, heh, heh, janganlah terlalu merendah Ki Lurah. Desamu justru sangat indah sehingga aku memerlukannya untuk singgah di sini kembali.” ujar Pendekar Bayangan dengan tersenyum lebar.

“Ayo, ayo, kita terus masuk saja ke dalam!” berkata Ki Lurah Mijen terbata-bata mempersilakan tamunya yang baru ini masuk ke pendopo. Mereka duduk di atas balai-balai kayu dan kemudian Ki Lurah membahagiakan tamunya, menanyakan tentang kesehatan Ki Pendekar Bayangan dan lain-lainnya.

“Hmm, aku memang sengaja datang ke mari Ki Lurah.” Pendekar Bayangan berkata. “Sebab aku sedikit banyak mulai mencium adanya bahaya yang menyangkut diri Ki Lurah!”

“Eeeh, bahaya apa itu, sahabat? Apakah andika mau menakut-nakuti diriku yang sudah tua ini,” ujar Ki Lurah dengan wajah yang setengah ketakutan tapi juga setengah senyum, sehingga nampaknya sangat lucu.

“Heh, heh, heh, aku berkata sebenarnya Ki Lurah. Dengarlah baik-baik. Ketika aku lewat di kota Asemarang dan bersinggah di sebuah warung minum di dekat bandar pelabuhan, aku melihat seorang pengunjung yang setengah mabuk dengan bau tuak menghambur dari mulutnya.

Ia mengomel semaunya dengan kata-kata begini. “Hoek, hoooeeek, aku akan segera kaya dengan harta Tanjung Bugel dan Ki Lurah Mijen tahu itu semua, hoooeeeekkk!!”

Mendengar ini seketika wajah Ki Lurah Mijen ter- peranjat, tak terkecuali Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Endang Seruni pula.

Hal itu tentu saja mengejutkan mereka, lebih-lebih bagi Ki Lurah yang namanya telah disebut sebut oleh si pemabuk itu, maka tak ada salahnya jika Ki Lurah buru- buru berkata kepada Pendekar Bayangan.

“Eh. siapakah orang itu, sahabat?”

“Nah, itulah aku yang kurang tahu Ki Lurah. Beberapa saat kemudian sebelum aku sempat bertanya kepada orang mabuk itu, tahu-tahu mendekat seorang berwajah garang yang langsung menuju ke arah si pemabuk itu, lalu berkata seraya menggerutu marah. Selanjutnya ia memapah si pemabuk tadi ke luar dari warung. Aku cepat- cepat membuntutinya keluar tapi aku tak mendapati apa- apa kecuali debu berkepul ke udara diseling bunyi derapan kaki-kaki kuda yang makin menjauh dan lenyap di kegelapan malam.”

“Sangat berbahaya!!” desis Mahesa Wulung setengah menggeleng-geleng. “Hidung-hidung liar rupanya lebih cepat membau akan harta terpendam di Tanjung Bugel itu!!”

“Heran sekali aku!” sela Ki Lurah pula. “Dari mana mereka dapat mengetahui perihal harta tersebut? Tetapi, yah! Aku agak ingat sekarang bahwa di antara para pengawal rombongan saudagar yang menanam harta tadi di sana, ada seorang yang aku curigai!”

“Hooa, lika-liku persoalan ini makin bertambah jelas rupanya!” seru Pendekar Bayangan. “Jadi Ki Lurah benar- benar mengenal orang yang andika curigai itu?!”

“Kenal sekali!” tukas Ki Lurah Mijen. “Sekarangpun seandainya berjumpa, aku masih bisa mengenalinya!”

Mendengar kalimat itu Pendekar Bayangan meng- angguk-angguk mengerti dan berkata pula. “Apakah ia mempunyai cacad atau bekas tanda luka pada dahinya?!”

“Tepat sekali! Ketelitian andika semakin membuatku bertambah jelas! Ya, orang itu memang pada dahinya berbekas tanda luka dan namanya si Blending. Dia adalah seorang yang suka minum tuak. Meskipun sudah kenyang perutnya dengan minuman tuak, tapi bagi dia belum ada artinya, maka dia akan menghabiskan beberapa lodong lagi sampai betul-betul perutnya bulat bagai tempayan, Nah, oleh sebab itulah dia bernama si Blending.”

“Hmmm, namanya memang sesuai!” desis si Pendekar Bayangan manggut-manggut. “Pantas saja kalau pada waktu aku melihat si Blending itu, di atas mejanya aku lihat beberapa lodong tuak yang telah kosong berserakan. Rupanya baru saja habis diminumnya dengan tandas.”

“Dengan demikian,” sela Mahesa Wulung. “Jelaslah bahwa harta dari Tanjung Bugel itu banyak yang mengincarnya!”

“Sebaiknya kita harus cepat-cepat mendapatkan harta itu lebih dulu, angger.” ujar Pendekar Bayangan pula.

“Dan bapak akan bersedia membantu kalian untuk mencarinya.”

“Terima kasih, sahabat!” Ki Lurah Mijen berkata. Bantuan andika sangat kami butuhkan memang! Sebab tentunya si Blending yang andika ceritakan tadi tidak mustahil mempunyai teman-teman lainnya.“

Ki Lurah Mijen kemudian bercerita pula tentang riwayat harta Tanjung Bugel secara singkat kepada Pendekar Bayangan dan karenanya Pendekar tua itupun menjadi tercengang kagum. “Eh, eh, eh. Tidak mengira bahwa ada lelakon seelok itu. Mmm, jadi angger Endang Seruni masih saudara sekandung dengan nona Pandan Arum!?”

“Begitulah, bapak.” berkata Pandan Arum seraya menepuk bahu Endang Seruni yang duduk di sampingnya.

“Jadi dia masih adikku sendiri. Adik sekandung yang aku ketahui karena kalung kami yang kembar.”

“Angger sungguh berbahagia, nona Pandan Arum. Rakhmat Tuhan telah mempertemukan andika dengan adik kandung yang telah terpisah sekian lamanya.”

Sementara itu Nyi Lurah disertai seorang pembantunya segera menyuguhkan minuman serta juadah ketan kepada mereka.

Sedang di luar sang matahari telah bergeser jauh ke sebelah barat pertanda bahwa sore akan tiba sebentar kemudian. Beberapa ekor kelelawar memberanikan diri terbang di udara menyambar-nyambar serangga yang akan disantapnya sambil mencicit kegirangan.

***

Dalam pada itu jauh di sebelah utara sana, di daerah Muara Kali Serang yang tengah diliputi kabut dan ditumbuhi oleh kelebatan pohon-pohon besar, terdengarlah suara orang memaki menyumpah-nyumpah dengan kerasnya. Kadang-kadang terdengar pula bunyi mem- bentak-bentak disusul oleh suara lecutan-lecutan keras, mengumandang di udara senja yang senyap sepi. Di balik pohon pohon besar itu, terdapatlah sebuah pondok kecil yang tersembunyi letaknya. Suara lecutan- lecutan tadi ternyata berasal dan samping rumah. Sebuah gawang kayu terpasang di situ dan di bawahnya tergantung sesosok tubuh manusia pada kedua belah tangannya yang terikat pada gawang kayu.

Di depan gawang itu berdirilah seorang berkepala botak dengan memegang sebuah cambuk pendek. Rupanya telah berkali-kali ia menghajarkan cambuknya pada seorang yang tergantung tersebut dan ini terlihat jelas dari luka-luka pada punggungnya yang berjalur-jalur merah padam dengan kulit mengelupas serta darah yang membasah.

“Rasakan kau hah! Lawunggana mulai berhati lunak? Ingin jadi perempuan kau, heee?!”- teriak si botak dengan marahnya. “Aku si Bango Wadas pendekar jagoan Muara Kali Serang tak pernah mengajarmu untuk berhati selunak kain bobrok! Kau ternyata kurang memenuhi harapan dan sudah selayaknya kau menerima pelajaran dari gurumu ini! Terimalah ini!” Ki Bango Wadas berteriak serta meng- hajarkan cambuk pendeknya kepunggung Lawunggana.

“Wesss!”

“Taaaar!”

Begitu cambuk tadi menimpa dan mendera ke kulit punggung Lawunggana bertambahlah lagi sebuah goresan merah darah melintang dibarengi kulit mengelupas serta darah melekat pada batang cambuk.

“Eeaaah!” teriak Lawunggana menyeringai saking sakit dan pedihnya. Punggungnya serasa terbakar oleh berbongkah-bongkah bara api menyala yang tidak bisa dihindari, kecuali ia menggemeretakkan giginya menahan rasa sakit tadi.

“Ayo, minta ampun di hadapan gurumu ini!” Kembali Ki Bango Wadas berteriak garang seraya mengacung acungkan cambuknya ke wajah Lawunggana yang bermandi peluh dan debu kotor.

Lawunggana telah lelah sekali dan setengah pingsan maka ia tak bisa berkata-kata dengan jelas, kecuali merintih. “Aku ... aku ... minta ... maaf   ”

“Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras, hee?” teriak Ki Bango Wadas. “Rupamu jadi jelek kalau merintih dan berurai air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang? Ayo, tertawa sekarang!”

Tapi Lawunggana tak dapat memenuhi perintah Ki Bango Wadas itu. Mana bisa orang yang telah menderita seberat dan separah Lawunggana mampu berkata jelas apalagi tertawa seperti orang sehat.

“Hmm, keparat! Jadi aku harus memaksamu tertawa bukan? Haaait!” Ki Bango Wadas yang berwatak bengis itu dengan tiba-tiba menotokkan ujung jari-jarinya ke leher Lawunggana, tepat pada "urat tertawa" sehingga sejurus kemudian tanpa sadar, tanpa ada sesuatu yang lucu atau menggelikan, pemuda ini tertawa terbahak, terkekeh-kekeh tanpa dia dapat menarik nafas dengan leluasa. “Heh, ha. ha. Heh, heh, ha, ha, ha ”

Melihat muridnya tertawa tanpa sadar ini, Ki Bango Wadas terpaksa ikut ketawa pula. Ia merasa sangat geli menyaksikan Lawunggana terus menerus dan sambung menyambung tertawa tanpa hentinya dengan mata melotot dan leher yang tegang. “Heh, heh, heh. Hah, hah, hah, hah. ”

Dengan demikian nafas Lawunggana lama kelamaan menjadi sesak dan makin sesak, hingga akhirnya ia terkulai lemas lalu pingsan. Tubuhnya tergantung pada gawangan kayu tadi, terayun bagaikan bangkai seekor binatang buruan yang telah disembelih.

Melihat ini Ki Bango Wadas meringis puas, lalu berpaling dan bergegas menaju ke kamarnya. Ia mengambil mangkuk dari tempurung serta sebuah lodong tembikar.

“Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras heee?!” teriak Ki Bango Wadas. “Rupamu jadi jelek kalau merintih dan keluar air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang! Ayo, tertawa sekarang!!”

“Heh, heh, heh, dia harus minum lagi "jamu pelupa" ini sehingga ia akan kembali ke sifat kejam dan keras yang telah mulai luntur ini!!” Ki Bango Wadas berpikir seraya mendekat ketubuh Lawunggana. “Sekali minum, maka lupalah dia akan kejadian kemarin dan selanjutnya akan tunduk di bawah segala perintah ku! Heh, heh, heh.”

Sesudah ia menuangkan cairan jamu yang berwarna hijau kecoklatan, Ki Bango Wadas segera menjemba dan membuka mulut Lawunggana, dan secepat kilat ia meminumkan jamu tersebut ke mulut muridnya, sampai tertuang habis.

Ki Bango Wadas berdiam diri beberapa saat sambil menatap ke arah Lawunggana. Ia menunggu kerja serta khasiat jamu tersebut.

Sesaat kemudian Lawunggana mulai bergerak-gerak tubuhnya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan segenap kulit tubuhnya. Perlahan-lahan pemuda berkumis tebal ini mengangkat kepalanya serta memandang ke wajah Ki Bango Wadas dengan mata yang sayu tetapi tajam!! Benar-benar mengerikan tak ubahnya mata seekor macan kumbag yang kelaparan!

“Lawunggana!” seru Ki Bango Wadas. “Katakan siapa aku!”

“Kau adalah guruku, Ki Bango Wadas dan kepadamu aku menurut segala perintahmu!” Lawunggana berkata dengan nada tegas tanpa ragu-ragu.

“Heh, heh, heh, bagus! Itu bagus Lawunggana!!” teriak Ki Bango Wadas dengan senangnya, bagaikan bocah ingusan mendapat oleh-oleh dari ibunya. “Itulah yang aku harapkan Lawunggana! Kau benar-benar memenuhi seleraku!”

Ki Bango Wadas kemudian melepas ikatan pada kedua belah pergelangan tangan Lawunggana dan sebentar saja muridnya yang berkumis tebal ini telah berdiri tegak di hadapannya.

“Salamku serta hormatku ke hadapan bapak guru!” ujar Lawunggana seraya membungkukkan tubuhnya ke hadapan Ki Bango Wadas sedalam-dalamnya. Sedang pada wajahnya tidak terbayang lagi akan adanya wajah lembut ataupun ramah, melainkan wajah garang dan kaku. “Nah, kau sekarang lebih baik, Lawunggana! Heh, heh, heh, heh.” Ki Bango Wadas berkata sambil terkekeh ketawa amat senang. “Sekarang kau boleh istirahat

sesukamu!!”

Lawunggana sekali mengangguk dan berkata. “Terima kasih, guru!” Dan kemudian ia melangkah ke ruang sebelah.

Dalam pada itu Ki Bango Wadas kemudian duduk di atas sebuah bangku dari kayu panjang. Sebuah lodong berisi tuak direguknya puas-puas sampai kumisnya basah kuyup oleh air tuak. Sambil meletakkan kembali lodong tuaknya Ki Bango Wadas menyeka mulutnya dengan tangan.

Beberapa daging bakar segera dilahapnya pula dan mulutnya sibuk berkomat-kamit mengunyah. Namun dasar Ki Bango Wadas memang seorang pendekar liar yang bertelinga tajam meskipun sambil rnengunyah santapan daging bakar tersebut, telinganya selalu terpasang untuk mendengarkan suara- suara yang mencurigakan.

Ya, suara mencurigakan! Itulah yang bisa didengar oleh telinya Ki Bango Wadas. Beberapa langkah-langkah kaki manusia yang berjalan dengan hati-hati, sebentar berhenti dan sebentar kemudian melangkah kembali. Mungkin maksudnya agar tidak bisa didengar oleh telinga siapapun atau paling-paling hanya di anggap sebagai angin yang berlalu di sela dedaunan.

Akan tetapi berhadapan dengan Ki Bango Wadas tidak boleh dianggap remeh begitu saja. Ia cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya sambil memungut tiga buah batu kerikil, langsung disambitkan ke arah semak belukar di kegelapan malam tidak jauh dari pintu pondok.

“Siapa itu bersembunyi di sebelah sana! Ayo lekas keluar!!” terdengar Ki Bango Wadas berkata seraya menunjuk ke arah semak-belukar tersebut. “Kalau tidak kalian akan segera binasa di tanganku!!”

Dari kamar samping, meloncatlah Lawunggana seraya bertanya kaget. “Ooh mengapa bapak guru?!”

“Kita ada tamu, Lawunggana.” jawab Ki Bango Wadas. Bersiap-siaplah siapa tahu mereka bermaksud jelek terhadap kita!!”

“Baik, guru!”

Sejurus kemudian dari arah semak helukar muncullah tiga sosok tubuh manusia dan berjalan ke arah Ki Bango Wadas serta Lawunggana berdiri.

Apabila ketiga pendatang itu semakin dekat serta tercapai oleh cahaya dian minyak, maka tampaklah tiga wajah garang yang berdiri di hadapan Ki Bango Wadas berdua.

Ketiganya membungkuk sesaat memberi hormat. “Maafkan jika kami bertiga telah membikin andika terkejut, Ki Bango Wadas!” ucap seorang bertubuh kekar. “Harap andika tidak menjadi gusar dengan kedatangan kami bertiga!”

“Apa maksud kalian datang ke tempat ini!?” bertanya Ki Bango Wadas dengan rasa curiga.

“Kami datang dengan maksud baik-baik!”

“Maksud baik-baik? Kalau begitu lekas katakan dengan jelas!” Ki Bango Wadas berkata.

“Sabar Ki Bango Wadas! Sebelum kami menjelaskan lebih dahulu kami minta kesediaan andika untuk bersekutu dengan kami.”

Mendengar perkataan si kekar tadi Ki Bango Wadas menjadi tersinggung karena orang ini tidak langsung mengatakan apa keperluannya, sehingga iapun berseru. “Kalian bertiga jangan mencoba main-main dengan Ki Bango Wadas! Kalau tak ada perlu yang penting lekaslah kalian berlalu menyingkir dan tempat ini!!”

“Bagus kalau andika tak mau diajak bersekutu!” kata si tubuh kekar meringis. “Sayang sekali kalau emas intan berpeti- peti harus menjadi milik kami sendiri!”

Habis berkata itu, si kekar dan kedua temannya segera bergegas meninggalkan tempat tersebut. Namun mereka terpaksa menghentikan langkahnya demi didengarnya Ki Bango Wadas berteriak. “Tunggu dulu! Kalian tadi me- ngatakan emas intan berpeti-peti?!”

“Betul Ki Bango Wadas! Kalau andika tak mau ber- sekutu biarlah kami ambil sendiri harta itu.” ujar si kekar.

“Heh, heh, heh. Jika untuk itu, aku bersedia bersekutu dengan kalian!” Ki Bango Wadas berkata.

“Nah, itulah harapan kami. Ki Bango Wadas. Kami memilih sekutu kepada andika berdua adalah pendekar pendekar gemblengan yang telah terkenal!”

“Heh, heh, heh! Tidak keliru lagi pilihan anda!” berkata Ki Bango Wadas dengan nada bangga, karena pujian dari si kekar tadi. “Sekarang katakanlah!”

“Baik Ki Bango Wadas.” Si kekar berkata, “Lebih dulu perkenalkan, kami bertiga adalah utusan Bido Teles dari Tanjung Jati. Saya sendiri adalah Sigayam dan yang bertubuh gempal pendek ini adalah Bujel, sedang yang berperut buncit itu ialah adi Blending!” Demikian Sigayam memperkenalkan dirinya serta kedua temannya.

“Hmm, baiklah. Aku adalah Ki Bango Wadas dan ini adalah muridku Lawunggana.” kata Ki Bango Wadas.

“Begini Ki Bango Wadas. Beberapa hari yang lalu adi Bujel ini telah mendapat keterangan bahwa Ki Lurah Mijen menyimpan harta emas intan di Tanjung Bugel” berkata Sigayam.

“Haaah?! Harta ernas intan?!” seru Ki Bango Wadas setengah kaget bercampur takjub. Kata-kata emas intan bagi Ki Bango Wadas sangat menarik, tak ubahnya kata- kata arak atau tuak bagi seorang peminum. “Tapi bagaimana sampai si Bujel dapat mendengar tentang harga emas intan itu?!”

“Hmm sudah lama kami mengintai Ki Lurah Mijen tersebut. Belasan tahun yang telah silam adi Blending dan ketua kami yang bergelar Bido Teles pernah bersama-sama mengawal Ki Saudagar yang berdagang emas intan. Pada suatu ketika semua hartanya ditanam di daerah Tanjung Bugel yang letak-letak serta tandanya digambarkan pada permata hijau "Soca Wilis" yang sekarang berada di tangan Endang Seruni, yakni putri Ki Lurah Mijen.” demikian kata Sigayam.

“Tapi mengapa Ki Lurah Mijen ada sangkut pautnya dengan harta tersebut?” sela Ki Bango Wadas.

“Heh, heh, heh, sebab sebenarnya Ki Lurah juga salah seorang pengawal dari Ki Saudagar itu!!”

Sambil manggut-manggut, Ki Bango Wadas mengelus- elus kumisnya. Pikirannya jadi melayang ke desa Mijen yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya ini. Serasa ia ingin segera tiba di sana serta merenggut kalung permata Soca Wilis dari leher Endang Seruni itu!

Agaknya Ki Bango Wadas masih sedikit ragu dengan keterangan Sigayam tadi, lalu secara tiba-tiba ia menatap ke arah kaki kiri si Bujel yang dibalut oleh lembaran kain putih setengah coklat kotor.

“Hee, rupanya temanmu itu kurang hati-hati Sigayam!!” berkata Ki Bango Wadas seraya menunjuk ke arah kaki Bujel yang dibalut.

“Maaf, Ki Bango Wadas.” ujar Sigayam. “Sebenarnya ia cukup hati-hati. Tapi sayangnya ketika ia mengintai dan mendengarkan percakapan Ki Lurah Mijen dari atas genting sirap pendapa kelurahan, tiba-tiba sebuah ujung senjata tajam telah menusuk serta menembus genting sirap dari sebelah bawah dan langsung menancap kaki Bujel ini!!”

“Luar biasa!!” desis Ki Bango Wadas kagum. “Si penusuk tadi pastilah seorang yang berilmu tinggi!!”

“Benar Ki Bango, dan untungnya si Bujel masih sempat dan lekas-lekas meninggalkan pendapa kelurahan tadi. Kalau terlambat sedikit saja, oh pastilah ia telah dirangket, diikat oleh mereka!” Sigayam berkata seraya menepuk- nepuk bahu si Bujel. “Memang di dalam pendapa kelurahan tadi ada seorang tamu yang bernama Mahesa Wulung.”

“Mahesa Wulung!” berseru Ki Bango Wadas. “Keparat orang itu! Beberapa waktu berselang aku telah bertempur dengan dia. Ternyata dia memang seorang pendekar gemblengan. Ketika itu hampir kubinasakan dia, tapi sayang sekali, seorang bertopeng tiba-tiba muncul dan menyelamatkan jiwanya!”

“Nah, itu lah sebabnya kami mengajak bersekutu dengan andika Ki Bango Wadas, sebab lawan-lawan yang harus kita hadapi bukanlah orang-orang ingusan kemarin sore, tetapi adalah pendekar-pendekar pilihan!”

“Kata-katamu benar Sigayam. Tapi tentang emas itu bagaimana pembagiannya setelah kita peroleh nanti?” Ki Bango Wadas bertanya.

“Tak usah kuwatir Ki Bango.” kata Sigayam. “Seluruh emas intan yang kita peroleh akan kita bagi rata oleh enam orang. Jadi masing-masing menerima seperenam bagian dari jumlah harta itu!”

“Heh, heh, itu berarti bahwa setiap orang harus bekerja sungguh-sungguh dan keras! Jika dari pihakmu ada yang bekerja seenaknya, bagian emasnya harus dikurangi!!”

“Itu sangat setuju Ki Bango!” seru Sigayam. Kami juga setuju!” ujar Bujel dan Blending berbareng.

“Nah, jika kita telah sepakat dengan persekutuan ini, kami mohon permisi dulu Ki Bango. Kami akan memberi laporan kepada ketua Bido Teles dan sepuluh hari lagi kami akan datang ke mari!” berkata Si gayam.

“Bagus, Sigayam.” ujar Ki Bango Wadas. ‘Pulanglah dan beri tahu kepada Bido Teles akan persetujuan kami.” Selamat jalan!”

Sigayam, Blending dan Bujel kemudian membungkuk hormat dan meminta diri. Mereka segera berlalu meninggalkan pondok Ki Bango Wadas di Muara Kali Serang itu.

Mereka melangkah dengan tenangnya, kecuali si Bujel yang sedikit terseok-seok setengah pincang langkah kaki- nya. Sejurus kemudian tubuh mereka bertiga telah lenyap di dalam pelukan gelap malam.

Ki Bango Wadas dan Lawunggana segera pula masuk ke dalam kamar setelah mereka mengantar ketiga tamunya tadi sampai di halaman. Lawunggana menutup pintunya sebab hawa malampun bertambah dingin menusuk ke dalam daging dan tulang, lebih-lebih seperti hawa di Muara Kali Serang ini. Pantaslah bila tempat ini jarang diinjak orang, kecuali mereka yang benar-benar berani menempuh segala bahaya.

Malam itu Lawunggana masih terbaring di atas balai balai di dalam kamarnya. Matanya sukar dipejamkan sebab pikirannya sangat ruwet, sangat kacau.

Antara kesadaran dan ketidaksadaran pikirannya ber- perang sendiri. Kadang-kadang ia teringat akan wajah Endang Seruni, kekasihnya.

Tetapi tiba-tiba pula wajah cantik tadi berubah menjadi wajah yang jelek, berkeriput dan menakutkan. Wajah tadi seperti menghantui dirinya, sehingga Lawunggana terpaksa gelisah, sebentar miring ke kiri, sebentar miring ke kanan.

Demikianlah Lawunggana berusaha mengatasi semua kesadarannya. Namun pengaruh jamu ramuan "pelupa" dan totokan "urat ketawa" yang mengakibatkan hilangnya kesadarannya itu benar benar sangat sukar dilawannya.

Maka tak heran bila sebentar sekujur wajah Lawunggana bermandi peluh. Juga segenap tubuhnya. Perjuangannya mengatasi kesadaran dirinya tak berhasil, sebab bagaimanapun usahanya, toh ia masih terlalu rendah tingkat kepandaiannya dari pada Ki Bango Wadas!

Dengan demikian ia cuma dapat berkeluh kesah saja dan akhirnya iapun kelelahan dengan sendirinya. Tak lama kemudian Lawunggana terlena tidur, meskipun sebentar- sebentar ia mengigau juga di tengah tidurnya.

Sedangkan di sebuah lubang dinding pada kamar itu terlihatlah sepasang mata mengawasi segala gerak-gerik Lawunggana.

Dan itulah mata Ki Bango Wadas yang mengintip muridnya. Ketika Lawunggana tertidur, si botak itu tertawa lirih. “Heh, heh, heh, Lawunggana, Lawunggana! Jangan sekali-sekali mencoba melawan kehendak Ki Bango Wadas ini. Tak akan berhasil percuma? Kau sekarang ada di bawah pengaruhku! Apapun yang aku perintahkan, kau pasti akan menaatinya, sekalipun aku perintahkan kau membunuh diri atau terjun ke dalam kawah gunung berapi! Heh, heh, heh, harta emas intan! Sebentar lagi aku akan kaya! Heh, heh, heh, dan tak seorangpun yang dapat merintangi Ki Bango Wadas dari Muara Kali Serang ini!!”

*** 4

ADA suatu pagi, ketika ujung pepohonan di sebelah selatan Muara Kali Serang telah disaput oleh cahaya fajar yang baru saja merekah, sebuah bayangan

manusia lagi berloncatan di antara batu-batu di tengah sungai.

Melihat gerakannya yang cekatan teranglah bahwa orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Berulang-ulang ia melenting dari satu batu ke batu yang lain bolak-balik. Kalau mula-mula jaraknya cuma dekat, kemudian semakin jauh dan bertambah jauh hingga akhirnya gerakan orang ini benar benar mirip seorang yang setengah terbang.

Orang yang melihat gerakan tersebut bisa jadi salah terka dengan menyangka melihat hantu atau dedemit penunggu muara sungai yang tengah bergembira berloncatan di tengah sungai.

Namun toh orang akan segera manggut-manggut setelah ia tahu bahwa si peloncat tadi adalah Lawunggana, murid tunggal dari Ki Bango Wadas. Pagi ini tengah melancarkan latihan-latihan pemanas badan dan gerak ulangan.

Si kumis tebal Lawunggana ini semakin menuju ke arah Selatan sehingga cukup jauh jaraknya dari pondok tempat tinggalnya.

Sementara itu di antara sela-sela dedaunan di sebelah selatan, sepasang mata tajam di balik topeng kain putih senantiasa mengintai segala gerak-gerik Lawunggana yang tengah sibuk melatih diri itu.

Ketika Lawunggana semakin bergerak ke arah selatan dan jaraknya dengan si pengintai tadi cukup dekat, secara tiba-tiba dan sebat, si pengintai melesat ke arah tengah sungai, menyambut gerakan Lawunggana.

Melihat ini, bukan main kagetnya Lawunggana yang tidak menyangka akan munculnya seseorang di tempat sesepi ini. Maka cepat-cepat ia menghentikan gerakannya. Kedua kakinya dengan lincah mendarat di atas sebuah batu di tengah sungai, dan seluruh jari-jarinya men- cengkeram ke permukaan batu, sehingga tubuhnya ber- henti tanpa bergoyang sedikitpun, tak ubahnya sebuah patung batu.

Sikap Lawunggana ini sungguh mengagumkan. Selain ia berdiri kukuh tanpa bergerak, iapun sekaligus memasang kuda-kuda jurus silatnya.

“Hmmm, hebat juga anak ini!” gumam si topeng sambil mendarat pula di atas sebuah batu. Kedua-duanya kini berhadapan di tengah-tengah sungai.

“Heh, keparat! Kau berani mengganggu latihanku, heeei?!” bentak Lawunggana keras-keras. “Dan aku seperti pernah melihat tampangmu itu!?”

“Ha, ha, ha, akulah si Pendekar Bayangan yang pernah bertempur dengan gurumu si botak Bango Wadas itu!!” ujar Pendekar Bayangan.

“Hah, jika demikian engkaupun harus kubinasakan di tempat ini!” teriak Lawunggana.

“Bicaramu memerahkan telinga, Lawunggana!” kata Pendekar Bayangan. “Dan mirip dengan perangai si Bango Wadas botak itu!’

“Tak perlu heran kau!” Lawunggana berkata. “Memang aku muridnya sehingga kami sangat mirip dalam segala sikap dan pikiran!”

“Jadi kau tak punya kepribadian sendiri?!” Pendekar Bayangan berkata. “Engkau selalu mengekor akan segala perintah gurumu?”

“Apa salahnya?! Kalau engkau musuh guruku, berarti musuhku pula dan harus mati ditanganku!”

“Hmm, sikapmu itu tidak wajar, bocah! Pasti ada sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhmu. Kasihan!” ujar Pendekar Bayangan dengan mata sayu.

“Keparat! Kau membuat aku gusar topeng jelek - seru Lawunggana. “Bersiagalah aku akan membuat perhitungan dengan kamu!” “Sesukamulah!” sahut Pendekar Bayangan. “Aku datang dengan maksud baik!”

“Maksud baik?!” desis Lawunggana. “Apa itu?!”

“Aku akan membawamu ke desa Mijen.” ujar Pendekar Bayangan. “Untuk mempertemukan dengan nona Endang Seruni!”

“Endang Seruni?! Bah, siapa dia? Aku tak kenal dengan gadis itu!!” ujar Lawunggana seraya membuang muka dengan sombongnya.

Melihat ini Pendekar Bayangan mau tak mau mengusap dadanya seraya bergumam sendiri. “Tobat! Pemuda ini telah kehilangan kesadarannya sama sekali. Kasihan kalau ia terus menerus begini. Aku harus segera menolongnya!”

Dalam pada itu rupanya Lawunggana telah mulai menyiapkan serangannya. Selagi ia melihat Pendekar Bayangan itu masih berdiam diri, sekonyong-konyong ia telah berteriak keras menggetarkan udara pagi.

“Hyaaat!!” Lawunggana melesat dan menerjang Pendekar Bayangan dengan tendangan mautnya! Tendangan kakinya tersebut berdengung membelah angin dan karenanya Pendekar Bayangan hampir saja mendapat bencana.

“Weh, serangan maut!!” desis Pendekar Bayangan sambil mengendap ke samping kanan, menyebabkan serangan Lawunggana meleset.

Bersamaan waktunya pula Pendekar Bayangan secepat kilat mengirim sebuah pukulan tangan yang mampu me- rontokkan tulang-belulang ke arah tubuh Lawunggana.

Seperti terbang semangat pendekar berkumis tebal itu oleh serangan balasan dari Pendekar Bayangan, maka se- cepat kilat ia menangkisnya. Tangan kirinya menekuk ke arah samping menahan pukulan lawan yang begitu deras meluncur ke arah dirinya.

“Bruuuk!!” Benturan keras antara dua kekuatan yang terpusat meledak berbareng, menyebabkan masing-masing tergetar.

Pendekar Bayangan cepat-cepat menguasai keseim- bangan badannya sebelum ia terpeleset ke dalam air, sedang Lawunggana terpental ke dalam air.

Akan tetap Lawunggana tidak sebodoh itu untuk kecebur dalam air. Ketika terpental akihat benturan pukulan tadi ia melenting ke udara berputaran beberapa kali lalu melayang turun ke arah batu yang lain.

“Tap! Tap!” Kedua kaki Lawunggana mendarat di permukaan batu sungai yang letaknya kurang lebih dua tombak dari batu yang semula, membuat Pendekar Bayangan menggeleng-gelengkan kepalanya setengah kagum dari kejauhan.

Lawunggana kembali mempersiapkan diri, kemudian dengan beberapa loncatan panjang ia melesat ke arah Pendekar Bayangan berdiri, kedua tangannya mengem- bang bagaikan cakar-cakar rajawali menyerang mangsa- nya.

Dalam pada itu, Pendekar Bayangan bermaksud me- lancarkan Pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyatnya, tapi ia buru-buru menggagalkan maksudnya itu, sebab ia teringat akan bahayanya.

“Mmm, aku berjanji kepada angger Mahesa Wulung serta Ki Lurah Mijen untuk membawa kembali si Lawunggana ini ke desa Mijen,” begitu gumam Pendekar Bayangan. “Aku harus hati-hati melaksanakannya!!”

Dengan pertimbangan-pertimbangan yang seperti itu, Pendekar Bayangan menjadi berbimbang hati beberapa saat. Itulah sebabnya ketika tubuh Lawunggana meluncur bagaikan meteor ke arah dirinya, ia menjadi geragapan.

“Wuuuk!” Tangan kiri Lawunggana yang mencengkeram ke arah kepala Pendekar Bayangan berhasil ditangkis oleh lawannya, tetapi berbareng itu pula tangan kanan Lawunggana berhasil membentur pundak Pendekar Bayangan. “Bruuuk!” Pendekar Bayangan dengan diam- diam meminjamkan tenaga pukulan lawannya, sehingga ia tidak mendapatkan cedera. Namun akibatnya hebat pula, sebab sesaat kemudian iapun terpelanting ke dalam air!!

Melihat ini Lawunggana meringis kesenangan. Sayang- nya kesenangan tadi tiba-tiba terhenti, sebab kedua kaki Pendekar Bayangan yang menyentuh air, tidak langsung amblas ke dalam air sungai, melainkan berdiri di atas permukaannya.

Itulah ilmu meringankan tubuh dalam tingkatan yang matang dan sempurna!

Beberapa saat Pendekar Bayanyan berpijak pada permukaan air untuk kemudian ia melenting lalu mendarat ke sebuah batu sungai di dekatnya!

Lawunggana terlongoh seperti orang mimpi, karena selama ini belum pernah ia menyaksikan pemandangan sehebat tadi. Kalau gurunyapun pernah mempertunjukkan ilmu-ilmu yang dahsyat, tapi yang baru aja dilakukan oleh Pendekar Bayangan ternyata jauh lebih dahsyat.

“Lawunggana memang hebat.” gumam Pendekar Bayangan. “Aku tidak boleh lagi memberi hati kepadanya. Sekarang harus kuakhiri permainan ini.”

Baik Pendekar Bayangan maupun Lawunggana masing- masing bersiaga kembali. Mereka saling berpandangan dengan tajam, menatap lawannya serta menyelidiki akan kemungkinan kemungkinan kelemahan lawan yang dapat ditembusnya.

Maka sejurus kemudian keduanya melesat saling menyongsong dengan cepatnya hingga sepintas lalu tampak seperti dua bayangan yang bersambaran di udara.

Kali ini Lawunggana betul-betul menyiapkan pemusatan tenaga dalamnya ke arah kaki dan tangannya. Setiap pukulan yang ditimbulkan akan berarti maut bagi lawannya.

Sedang Pendekar Bayanganpun lebih waspada. Begitu jarak mereka bertambah dekat, segera pendekar ber- topeng bertindak.

“Hyaaat!” Lawunggana mulai menyeringai! Kedua tangannya menerkam, masing-masing ke arah kepala dan dada Pendekai Bayangan, sedang kedua kakinya siap pula melancarkan tendangan rahasia, bila serangannya gagal. Akan tetapi Pendekar Bayangan yang berilmu tinggi se- tingkat dengan panembahan Tanah Putih dari Asemarang ini, tidak terkejut dengan serangan maut Lawunggana yang sehebat itu.

Bahkan ia menyongsong dengan tenangnya dan sejurus kemudian terjadilah adegan yang sukar dipercaya oleh mata. Tangan kiri Pendekar Bayangan menyelusup di bawah ketiak Lawunggana serta sekaligus mencengkeram bajunya sementara tangan kanannya bergerak siap menotok tengkuk Lawunggana.

“Haaackk!” terdengar jeritan pendek dari mulut Lawunggana begitu ujung jari tangan kanan Pendekar Bayangan menerjang tengkuknya, disusul rasa kesemutan yang menggerayang seluruh tubuhnya dan akhirnya semua- semua pandangan matanya menggelap. Ia mengantuk dan sejurus kemudian tubuhnya lemah lunglai bagaikan seorang bayi tertidur pulas dalam pelukan ibunya.

“Heh, heh, heh, tidurlah dengan pulas, anak bandel!!” ujar Pendekar Bayangan seraya mengempit tubuh Lawunggana yang dibawanya ke arah selatan berloncatan dari batu ke batu dan langsung menuju ke Desa Mijen!

Pada saat yang sama pula tiba-tiba pintu pondok Ki Bango Wadas menjeplak dan si pendekar botak itu meloncat keluar. Pandangan matanya liar menatap ke arah sungai dan cepat-cepat ia melesat ke selatan.

“Aku mendengar teriakan-teriakan!” gerundal Ki Bango Wadas. “Memang si Lawunggana tengah berlatih di sungai, tapi….. sekarang tidak kelihatan lagi loncatan-loncatan tubuhnya!”

Si botak inipun segera berloncatan ke batu-batu di tengah sungai untuk mencari murid tunggalnya ke sana ke mari sampai beberapa saat lamanya.

Bagaimanapun ia kejamnya terhadap murid tunggalnya ini, namun ketika Lawunggana tidak ketemu maupun dijumpai batang hidungnya, Ki Bango Wadas menjadi cemas pula hatinya.

“Ooh, mungkinkah dia minggat?! Tak mungkin begitu!” desah Ki Bango Wadas sendirian. “Ia masih berada di bawah pengaruhku! Ia mendapat celaka!” Sekali lagi si botak itu berloncatan ke sana ke mari mencari Lawunggana kalau-kalau tubuh muridnya hanyut atau tersangkut di batu-batu.

“Tidak ada! Heh, lalu ke mana bocah, ini? Ataukah ... ataukah dia ditangkap oleh seseorang?!” ujar Ki Bango Wadas. “Dan ke mana aku harus mencarinya?”

Beberapa saat Ki Bango Wadas termangu-mangu seorang diri di atas sebuah batu di tengah sungai, karena memikirkan muridnya.

Tiba-tiba, sejurus kemudian pendekar botak inipun tertawa terbahak-bahak, terkekeh sendirian sambil ber- kata, “Lawunggana minggat? Lawunggana hilang? Hah, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha. Itupun ada baiknya bagi diriku sebab bagian emasnya akan segera menjadi milikku! Kini sekutuku tinggal empat orang lagi! Ha, ha, ha, ha ”

Habis berkata begitu, Ki Bango Wadas berbalik dan melesat ke arah utara, kembali ke pondoknya di daerah muara Kali Serang.

Lima hari kemudian Matahari makin bertambah tinggi menyoroti segenap permukaan bumi Daerah muara Kali Serang yang semula masih suram oleh kabut pagi, kini menjadi terang benderang. Suara deburan ombak laut utara sayup-sayup terbawa oleh angin laut ke selatan, bagaikan nyanyian merdu yang menggapit hati.

Ki Bango Wadas duduk di atas sebuah batu hitam di depan pondoknya, sambil menggosok duri-duri logam pada senjata penggadanya.

Ketika dari arah timur ia melihat empat sosok tubuh berjalan ke arahnya, Ki Bango Wadas segera meng- hentikan pekerjaannya seraya menengok ke arah timur. “Nah itulah mereka telah datang!”

Keempat orang yang datang itu adalah Bido Teles, Sigayam, Bujel dan Blending. Mereka berjalan dengan tegapnya ke arah Ki Bango Wadas.

“Selamat datang kawan kawan!” ujar Bango Wadas menyambut tamunya dengan senyum lebar. “Saudara- saudara datang pada waktunya!”

“Tentu saja Ki Bango, sebab kami sudah tidak sabar dengan harta Tanjung Bugel itu!” ujar Sigayam. “Dan inilah ketua kami, Bido Teles dari Tanjung Jati!”

Ki Bango Wadas segera memperkenalkan diri kepada ketua rombongan yang bernama Bido Teles tadi. Orangnya berperawakan tinggi berwajah angker dengan hidung melengkung dan mata yang tajam dan cekung ke dalam. Mata itu seolah-olah mengingatkan pada seekor burung yang juga bernama bido dan bermata tajam!

Dengan senangnya Ki Bango Wadas cepat-cepat mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondok. Mereka duduk di sebuah balai-balai.

“Eh, aku tak melihat muridmu, si Lawunggana itu. Ki Bango Wadas.” ujar Sigayam.

“Heh, heh, heh, dia lagi kuberi sebuah tugas untuk beberapa hari.” ujar Ki Bango Wadas mengelabui tamunya. “Dan mungkin aku pula yang merangkap tugasnya nanti!”

“Itu tak menjadi soal Ki Bango!” Sambung Bido Teles. “Yang penting adalah andika sendiri!”

“Heh, heh, heh, memang begitu, saudara Bido Teles! Apa rencana kita kemudian?!” bertanya Ki Bango Wadas kepada si pendekar bermata cekung ini.

“Kita harus mendapatkan kalung permata itu dari tangan Ki Lurah Mijen.” kata Bido Teles. “Dengan kalung permata hijau tadi, kita dapat segera mengetahui letak harta terpendam dari Tanjung Bugel!”

“Itu tidak mudah Bido Teles.” ujar Ki Bango Wadas. “Ketahuilah bahwa di desa Mijen, saat ini berdiam si Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan!”

“Tak menjadi soal! Dengan berlima ini, masakan kita tak dapat menandingi mereka. Kalau perlu nanti akan kupanggil jagoan-jagoan dari tempat lain.”

“Hehh, jika demikian baiklah saudara Bido Teles. Aku tak perlu cemas lagi karenanya.” ujar Ki Bango Wadas. Rencana itu harus kita bicarakan masak-masak dan sekarang tentunya kawan-kawan berempat cukup lelah. Marilah beristirahat lebih dulu secukupnya di pondok buruk ini!”

“Terima kasih, Ki Bango Wadas.” jawab Bido Teles dengan gembira seraya meletakkan beberapa bungkusan bekal dan pakaian mereka. Demikian pula mereka menanggalkan senjata-senjatanya. Mereka memang kelelahan dan harus beristirahat banyak-banyak karena tugas yang lebih berat telah menanti mereka.

*** 5

EBERAPA orang bercakap-cakap di pendapa kelurahan desa Mijen. Wajah-wajah mereka tampak cerah, sebagaimana cerahnya bulan purnama yang bersinar di langit biru. Beberapa potong awan tipis menerawang seperti kain sutera berlalu rnelewati sang

rembulan dan kemudian tertiup ke arah selatan.

Ki Lurah, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, Sorogenen, Kertipana dan juga Lawunggana duduk bersama-sama di balai- balai besar.

“Bagaimana rasa badanmu sekarang ini, angger Lawunggana?!” Pendekar Bayangan bertanya kepada si pemuda berkumis tebal yang telah ditolongnya.

“Benar-benar merasa sehat, bapak.” jawab Lawung- gana. “Kalau semula aku selalu merasa berada di alam mimpi, dengan perasaan tertekan dan tidak sadar, sekarang semua itu telah hilang. Karenanya aku meng- ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada bapak.”

“Heh, heh, heh, sudah selayaknya aku menolongmu angger Lawunggana. Aku tahu bahwa semua sikap keras dan kejammu selama ini   tidak wajar!” ujar Pendekar Bayangan. “Semua itu adalah perbuatan Ki Bango Wadas!” “Ya, baru sekarang aku menginsyafi   kesesatanku selama ini. Selama itu kadang-kadang aku sadar dan kadang-kadang pula aku seperti orang mimpi menuruti

segala perintah Ki Bango Wadas.”

“Semua itu sudah berlalu, angger.” ujar Ki Lurah Mijen. “Hadapilah masa depanmu dengan tabah!”

“Terima kasih, bapak.” kata Lawunggana.

“Nah, Ki Lurah.” Sela Pendekar Bayangan. “Apakah segala sesuatunya telah siap besok malam?”

“Tentu beres, Ki Pendekar Bayangan. Upacara per- tunangan Endang Seruni dengan Lawunggana akan kita langsungkan sesudah saat magrib.”

Mendengar ini, Lawunggana menjadi tertunduk dengan dada gemuruh saking gembiranya. Saat yang telah diimpi- impikannya selama ini akan segera tiba, besok malam. Ya, dia akan segera menjadi tunangan Endang Seruni, sebagai calon suaminya.

Bukankah ini menggembirakan! Tetapi di balik ke- gembiraannya itu terselip pula rasa cemas akan kemarahan serta tindakan balasan dari Ki Bango Wadas.

“Bapak Lurah, bagaimanakah jika Ki Bango Wadas datang ke desa ini serta membuat kekacauan karena aku telah meninggalkannya?”

“Jangan takut! Jika dia berani berbuat demikian, pasti akan segera kita tangkap dan kita hadapi bersama-sama!” ujar Ki Lurah Mijen. “Bukankah demikian Ki Pendekar Bayangan?”

“Ya, dia boleh mencoba, Lawunggana.” berkata pula Pendekar Bayangan. “Tapi perlawanan hebat pasti akan dia dapatkan! Dan lagi di sinipun ada angger Mahesa Wulung, yang tidak boleh disepelekan olehnya!”

“Hmm, memang demikian yang akan kita perbuat, hanya saja aku belum yakin apakah dia tidak mempunyai sekutu?” berkata Mahesa Wulung.

“Jika demikian, memang kita akan sulit.” sahut Ki Lurah Mijen. “Namun Kertipana serta Sorogenen akan segera mengerahkan para jagabaya bilamana perlu.”

Dalam pada itu, ketika mereka lagi sibuk bercakap- cakap di pendapa kelurahan, beberapa sosok bayangan manusia mengendap-endap di celah-celah semak belukar mendekati halaman pendapa tersebut.

Dengan hati-hati sekali dan tanpa suara mereka berjalan memutar dan sebentar kemudian berhentilah mereka di samping halaman. Mereka berbisik-bisik seraya menunjuk-nunjuk ke arah pendapa kelurahan.

“Nah, Ki Bango Wadas, pekerjaan kita akan lancar dan lebih ringan. Aku telah menggaji lima jagoan yang membantu rencana ini.” ujar Bido Teles kepada sekutunya. “Ke mana mereka sekarang?” Ki Bango Wadas bertanya “Ooo, mereka tengah mendekati lumbung desa di

sebelah selatan sana!”

“Heh, heh, heh, mereka punya bagian di sebelah sana?” Ki Bango Wadas bertanya seraya tertawa meringis.

“Yaa, mereka akan membakar lumbung desa itu untuk memancing perhatian orang-orang desa ini, sementara kita berusaha merebut kalung permata hijau dari Ki Lurah!”

“Hmm, bagus! Rencana yang cemerlang. Tapi apakah orang-orang di pendapa itu tidak akan mengacaukan rencana kita?”

“Nah, itulah yang menyulitkan kita Ki Bango!” ujar Bido Teles. Meskipun kita langsung menyerbu dari rumah belakang, tapi tak urung merekapun akan mengetahuinya.” “Janqan bingung Bido Teles! Sekarang, soal itu menjadi bagianku. Biarlah mereka aku sirep, supaya tertidur

pulas!!”

“Ha-ha-ha-ha, kau sungguh cerdik Ki Bango. Nah, laksanakanlah, supaya kita dengan leluasa mencari kalung permata hijau itu!”

“Baik dan perintahkanlah Sigayam beserta teman- temannya untuk berjaga-jaga!”

Bido Teles cepat cepat memberi isyarat kepada Sigayam, Bujel dan Blending untuk bersiaga, sedang Ki Bango Wadas segera memungut sejumput tanah dilemparkannya ke arah udara diikuti mulutnya komat- kamit mengucapkan sesuatu yang tidak jelas terdengar oleh Bido Teles yang bermata cekung itu.

Biarpun begitu, pendekar tersebut menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada rekannya yang tengah menyebar sirep. Ia melihat Ki Bango Wadas berdiam seraya melipat tangan ke dada.

Tak lama kemudian tampaklah kedua tangan Ki Bango Wadas merentang ke depan ke arah rumah pendapa kelurahan dan karenanya Bido Teles menjadi tertarik sekali oleh sikap rekannya ini.

Jika mula-mula ia meragukan kehebatan Ki Bango Wadas. Saat ini terpaksalah ia dibuat kaget oleh kejadian berikutnya.

Dalam pancaran sinar purnama yang terang benderang beberapa ekor kelelawar beterbangan dengan riangnya. Hal itu belum mengagetkan Bido Teles, tetapi ketika dua ekor kelelawar terbang melintas ke arah halaman pendapa, tepat di depan Ki Bango Wadas yang juga merentangkan tangannya ke arah yang sama, tiba-tiba saja dua ekor kelelawar tadi terhenti terbangnya, seolah-olah menabrak satu dinding yang tidak nampak untuk kemudian tercampak rebah di atas tanah dengan menggelepar- gelepar seperti kehilangan kekuatan.

“Luar biasa!” desis Bido Teles setengah terhenyak kaget. “Kau benar-henar mengagumkan Ki Bango Wadas!”

“Heh, heh, he, he, he,” tertawa Ki Bango Wadas sambil kedua tangannya terus merentang ke arah rumah pendapa kelurahan. “Lihat saja nanti, saudara Bido Teles. Mereka pasti akan tertidur pulas setengah mati!”

Perkataan Ki Bango Wadas ini memang mengerikan bagi telinga yang mendengar. Bayangkan saja akibatnya, jika lawan-lawan yang harus dihadapi itu telah tertidur pulas pasti Ki Bango Wadas beserta kawan-kawannya juga, akan mudah berbuat semaunya. Mungkin mereka akan mencincang tubuh-tubuh lawannya yang telah tertidur pulas atau memenggal kepala mereka untuk dibuat tontonan.

Pendek kata mereka bisa berbuat leluasa terhadap lawan-lawannya yang telah tak berdaya akibat sirep tadi. Kalau benar benar terjadi hal yang demikian itu, pastilah mengerikan sekali akibatnya!

Akan tetapi kenyataannya berkata lain. Mereka yang tengah bercakap-cakap di ruang pendapa kelurahan memang merasakan adanya keganjilan suasana. Kertipana serta Sorogenen yang biasanya betah berjaga atau membaca kidung sampai jauh malam itu, tiba-tiba saja terlihat menguap beberapa kali, bersamaan hawa dingin dan memukau mengalir ke ruang pendapa kelurahan! Demikian pula Ki Lurah Mijen dapat merasakan adanya hawa yang memperlena perasaan, masuk ke dalam ruangan itu. Oleh karenanya, Ki Lurah segera mengerahkan segenap tenaganya guna menolak rasa ngantuk yang mulai menyerang dirinya.

Lawunggana juga tak ketinggalan berusaha dengan susah payah untuk menguasai dirinya. Hati kecilnya mendadak saja teringat oleh Ki Bango Wadas yang mempunyai kepandaian khusus dalam ilmu sirep. Hanya saja ia tak segera mengatakan rasa kuatirnya tadi kepada orang-orang untuk menjaga agar mereka tidak menjadi cemas atau panik!

Berbeda dengan Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung yang masih enak-enak duduk tanpa menunjukkan tanda-tanda mengantuk atau terpengaruh oleh hawa aneh tadi.

Walaupun begitu mereka akhirnya terkejut pula. sebab tampaklah bahwa Kertipana dan Sorogenen yang semula mengantuk sedikit-sedikit serta menguap-nguap itu sekarang telah merebahkan tubuhnya, masing-masing ke samping dan ke depan. Tambah-tambah lagi Ki Lurah dan Lawunggana tampak berwajah tegang dengan mengucur- kan keringat untuk menguasai dirinya.

“Ada sesuatu yang tidak beres!” desis Pendekar Bayangan setengah berbisik kepada Mahesa Wulung. “Bersiagalah angger!”

“Rupanya seperti sirep, bapak!” bisik Mahesa Wulung pula. “Dan berkekuatan cukup besar!”

“Nah itu mernang benar!” kata Pendekar Bayangan. “Pertahankanlah kusadaranmu, angger Wulung! Aku akan berusaha mengusir hawa jahat ini!”

Selesai berkata, mereka berdua segera memusatkan tenaga dalamnya. Dengan sikap tangan melipat, masing- masing telapak tangannya mendekap bahu kiri dan kanan. Pendekar Mahesa Wulung mulai mengerahkan segala kekuatan lahir bathinnya guna mengatasi pengaruh sirep yang tengah melanda mereka. Begitu pula dengan Pendekar Bayangan tak ketinggalan pula memusatkan tenaga dalamnya, sikapnya agak ber- beda dengan Mahesa Wulung.

Orang tua ini bersikap seperti patung-patung Budha di candi Borobudur, dengan meletakkan telapak kiri tangan- nya di atas pangkuan menghadap ke atas, sedang tangan kanannya menekuk kedepan dengan telapak tangan menentang ke depan pula, seperti orang menolak akan sesuatu. Nah, inilah yang bernama sikap “abaya mudra", atau sikap "menolak bahaya" yang kelewat ampuh.

Maka secara diam-diam berlangsunglah suatu peperangan tenaga dalam yang tak nampak oleh mata. Mereka berdua menghadap ke arah halaman pendapa, tepat di mana Ki Bango Wadas tengah pula melancarkan serangan sirep dan tenaga dalamnya dari celah-celah dedaunan semak-belukar.

Biarpun mereka tidak saling melihat lawan yang mereka hadapi, tetapi kekuatan mereka langsung berhadapan saling menerjang, sementara waktu berjalan terus.

Di pendapa itu, Ki Lurah serta Lawunggana masih mati- matian mempertahankan diri dari rasa ngantuk yang luar biasa itu. Mata mereka sudah separo terpejam, dan sebentar lagi pastilah mereka akan tergeletak tidur kepulasan seumpama tidak keburu oleh pertolongan Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung.

Beberapa saat kemudian Pendekar Bayangan tiba-tiba saja menghentakkan telapak tangan kanannya lurus-lurus ke depan seraya membentak keras-keras. “Duuaahh.”

Gerakan tiba-tiba dan seperti sepele saja ini ternyata berakibat luar biasa! Ki Lurah Mijen serta Lawunggana rnenjadi geragapan tersadar dari rasa kantuk yang telah menyerangnya. Demikian pula Kertipana dan Sorogenen seperti terhentak oleh sesuatu kekuatan dan mereka berdua segera terbangun dari tidurnya!

Namun bahaya lain telah terjadi pula, ketika pengaruh sirep dapat diatasi. Dari arah lumbung desa, tempat menyimpan padi terlihatlah nyala api berkobar-kobar disertai asap bergumpal bergulung-gulung kehitaman naik ke udara.

Pemandangan ini sungguh menggetarkan hati. Asap hitam dan nyala api tadi terlihat jelas dalam cahaya terang bulan.

Dan lebih menyeramkan lagi kiranya karena terdengar jeritan orang-orang desa yang ketakutan dan kaget setengah mati melihat lumbung desanya terbakar.

Ah, akan habiskah lima bangunan lumbung padi itu? Dan lenyap pulakah persediaan pangan bagi desa ini? Beberapa orang desa segera berlarian mencoba memadamkan api yang untungnya baru saja menyala di sebuah lumbung yang paling tepi. Begitu pula beberapa orang jagabaya turun tangan membantu memadamkan api. Akan tetapi alangkah kagetnya mereka ketika lima orang bertutup mulut dan hidung dengan bersenjata golok serta senjata tajam lainnya menghalang-halangi usaha mereka.

Sejurus kemudian terjadilah pertempuran ramai.

Sementara itu, di dalam pendapa kelurahan, Ki Lurah Mijen, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung dan yang lainnya segera pula dapat melihat api berkobar dari arah lumbung desa itu.

“Kebakaran! Lumbung desa dalam bahaya!” seru Ki Lurah dengan kecemasan. “Aku harus menyelamatkannya sekarang juga.”

“Tunggu dulu Ki Lurah!” ujar Pendekar Bayangan yang segera menahan Ki Lurah. “Jangan terburu-buru pergi ke sana. Mungkin ini hanya pancingan, untuk mengalihkan perhatian kita saja. Sedang bahaya itu aku rasa langsung mengancam ke tempat kita ini! Apakah Ki Lurah tidak merasakan adanya serangan sirep tadi?”

Ki Lurah seketika manggut-manggut mendengar penuturan Pendekar Bayangan itu. “Tapi, sebagai seorang kepala desa apakah aku akan membiarkan lumbung desa itu habis terbakar seluruhnya? Dan di manakah letak tanggung jawabku nanti?

“Maaf, Ki Lurah. Aku sangat setuju dan menghargai maksud Ki Lurah tadi, namun saya harap janganlah andika pergi ke sana. Lebih baik angger Sorogenen, Kertipana dan Lawunggana ini saja! Sedang saya, andika sendiri dan angger Mahesa Wulung akan berjaga-jaga di sini!”

“Baiklah, kalau begitu!” ujar Ki Lurah. “Dan sebelum kalian bertiga berangkat ke sana, terlebih dulu pukullah kentongan tanda bahaya dan kebakaran bersambungan!”

“juga ingat!” sela Pendekar Bayangan pula. “Janganlah kalian bertiga lewat di halaman depan ini, tapi lewatlah dari pintu pendapa samping sebelah sana!”

Mereka bertiga segera bertindak tanpa menunda waktu lagi. Setelah Sorogenen memukul kentongan, Kertipana dan Lawunggana segera berlari keluar lewat pintu samping kemudian disusul oleh Sorogenen setelah ia selesai memukul kentongan kayu, sebagai pemberitahuan adanya bahaya dan kebakaran!

Oleh suara kentongan tadi, Ki Bango Wadas dan Bido Teles serta orang-orangnya seketika terperanjat kaget. Mereka mengutuk-ngutuk sejadinya.

“Saudara Bido Teles! Mari kita langsung menyergap dari rumah belakang dan biarkan Sigayam serta orang- orangnya menyerang dari halaman pendapa.”

“Baik Ki Bango! Wah, rupanya ada yang mengacau pekerjaan kita!” gerutu si Bido Teles.

“Tapi jangan takut! Belum tentu semua orang dapat tersadar dari pengaruh sirepku tadi!” seru Ki Bango Wadas. “Ayo, kita segera bertindak!”

Kedua orang itu secepat kilat melesat ke arah rumah belakang dengan sebatnya, tak ubahnya laksana dua bayangan hitam dari kelelawar raksasa yang menyeram- kan.

Sementara itu Sigayam, Bujel dan Blending cepat-cepat meloncat ke halaman pendapa kelurahan.

“Hee, Ki Lurah!” teriak Sigayam dengan suara lantang. “Lekas keluar dan serahkan harta bendamu!”

Mendengar teriakan tersebut, cepat-cepat Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan ber- loncatan ke luar halaman dan di situ telah menunggu Sigayam, Budjel dan Blending.

“Heei, rupanya kamulah yang menjadi biang keladi kekacauan ini!” seru Mahesa Wulung seraya menunjuk ke arah Sigayam. “Menyerahlah untuk kami rangket!”

“Haa, jangan besar mulut! Marilah kita buktikan lebih dulu, siapa yang lebih unggul!” ujar Sigayam menyiapkan tombak pendeknya, seraya memberi syarat kepada kedua rekannya, yakni si Bujel dan Blending. “Ayo kawan-kawan serang mereka!”

Maka berlangsunglah seketika pertarungan seru di halaman pendapa kelurahan. Sigayam langsung menyerang Mahesa Wulung, sedang Blending menyerbu ke arah Pendekar Bayangan. Begitu pula Bujel dengan kaki setengah berjingkat karena bekas luka menyerang Ki Lurah Mijen dengan golok panjangnya, serupa pedang yang lebar. Pendekar Bayangan di dalam hatinya menaruh rasa curiga yang disebabkan tidak munculnya Ki Bango Wadas! Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman itu, ia dapat menduga serta merasakan bahwa tokoh-tokoh yang muncul di depan mereka sekarang ini, adalah tokoh-tokoh

kecil yang kurang mempunyai arti sama sekali.

Dengan begitu yakinlah ia bahwa benggolan-benggolan mereka sengaja mengumpankan Sigayam beserta kedua orang rekannya untuk mengalihkan perhatian dari tujuan pokok mereka!

Sigayam mengerahkan segala kekuatannya. Tombak pendeknya bersambaran mengurung Mahesa Wulung. Namun setiap kali pedang Mahesa Wulung selalu meng- gagalkan serangan Sigayam yang bertubi-tubi datangnya.

Pendekar Bayangan yang bersenjata tongkat bercabang serta telah mengenakan topeng kain putihnya kembali, dengan enaknya menyambut serangan-serangan golok si Blending yang datang bagaikan angin ribut.

Di saat yang sama pula, Ki Lurah Mijen dengan gigih menangkis serangan-serangan Bujel yang garang. Orang tua ini mempergunakan kerisnya untuk menghadapi Bujel dan gerakannya sungguh sangat lincah.

Ternyata Ki Lurah ini memiliki kepandaian yang cukup seimbang dengan Bujel Bahkan beberapa saat kemudian permainan pedang Bujel tertindih oleh tikaman-tikaman keris Ki Lurah Mijen.

Selagi enak-enaknya mereka sibuk bertempur di halaman pendapa kelurahan, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan dari arah rumah sebelah belakang.

Sejurus kemudian tampak sesosok tubuh melesat ke atas genting rumah dengan memondong sesosok tubuh semampai langsing dan sebentar pula melesatlah sesosok tubuh lainnya menyertai yang pertama.

Pendekar Bayangan yang sangat waspada itu secepat kilat menyabetkan tongkat cabangnya dengan dahsyat sehingga Blending terpental ketika menangkis jatuh bergulingan di tanah.

“Angger Mahesa Wulung!” seru Pendekar Bayangan kepada muridnya. “Layanilah mereka dengan baik-baik! Aku akan mengejar orang-orang yang berlarian di atas genting itu!”

Secepat selesai kata-katanya itu Pendekar Bayangan melesat ke atas genting, mengejar ke arah dua sosok tubuh yang berlarian.

“Heei, berhenti!” teriak Pendekar Bayangan sekaligus menyerang mereka.

Keruan saja kedua orang tadi yang tidak lain adalah Ki Bango Wadas serta Bido Teles terkejut setengah mati. Menghadapi serangan tiba-tiba ini, Ki Bango Wadas yang memondong tubuh Endang Seruni menjadi setengah kerepotan.

Untunglah Bido Teles cepat-cepat menadahi serangan tersebut dengan pedangnya sehingga sesaat Ki Bango Wadas lolos dari maut.

Kini pertempuran tersebut semakin sengit. Masing- masing berusaha untuk lebih dahulu melenyapkan lawannya tersebut.

Bido Teles dengan tangguh menghadapi lawannya yang bertopeng ini disertai pikiran yang penuh tanda tanya, siapakah gerangan orang ini sebenarnya? Gerakan Pendekar Bayangan sangat hebat. Sebentar saja Bido Teles merasa terdesak meskipun pedangnya berkali-kali mengurung dan menyerang si pendekar bertopeng ini.

Bido Teles segera memperbaiki serangan-serangannya Jurus-jurus mautnya dengan tusukan dan tebasan yang berbahaya mulai tampak.

Orang biasa yang menghadapi serangan demikian itu jangan diharap bisa bertahan lebih dari lima jurus. Akan tetapi lawan Bido Teles adalah Pendekar Bayangan pendekar yang mumpuni atau menguasai ilmu gerakan.

Maka tak heranlah bila Bido Teles berjingkrak kaget, serta terlongoh-longoh, sebab setiap pedangnya menyerang maka ujung tongkat bercabang lawannya selalu mengejar dan memapakinya.

Ketika Bido Teles makin terasa terdesak, mendadak saja Ki Bango Wadas berteriak dengan suara lantang dari tempat yang tak jauh dari lingkaran pertempuran antara Pendekar Bayangan dengan Bido Teles. “Heee, Topeng Bobrok! Berhenti! Jangan kau teruskan mengganggu kami dan lepaskan sahabatku Bido Teles itu!! Jika tidak, maka gadis yang ada ditanganku ini akan mati sekarang juga! Dengar kau hee!?”

Tentu saja Pendekar Bayangan segera menghentikan serangannya terhadap Bido Teles akibat ancaman yang gawat dari Ki Bango Wadas tadi. Sebagai seorang yang bijaksana dan waspada ia memahami bahwa ancaman Ki Bango Wadas ini tidaklah sekadar ancaman kosong belaka, karena iapun tahu bahwa tidak mustahil kalau Ki Bango Wadas akan benar-benar membunuh gadis itu. Peringai si botak yang kejam dan keras memungkinkan akan terwujudnya ancaman itu terhadap Endang Seruni tadi.

Itulah sebabnya Pendekar Bayangan segera memutus serangannya dan karenanya pula ia meloncat surut atau langkah serta bersiaga. “Heh, heh, he, he, he.” tertawa Ki Bango Wadas kegirangan. “Nah, itulah, sikap anak yang manis, Topeng Bobrok! Heh, he, he, he, kau menggeram jengkel? Sekarang dengarlah kata-kataku berikutnya!”

“Ngocehlah sepuasmu botak!” seru Pendekar Bayangan dengan marahnya.

“Heh, heh, heh. Aku tahu bahwa rahasia harta Tanjung Bugel itu terletak di dalam kalung permata hijau yang kembar. Sekarang yang tergantung dileher gadis ini cuma sebuah saja dan yang sebuah tidak berhasil kami dapatkan. Nah, maka gadis ini terpaksa aku bawa. Jika kalian ingin mendapatkan gadis ini kembali, datanglah ke Tanjung Jati serta membawa kalung yanh sebuah lagi sebagai penukarnya!!”

Selesai berkata, Ki Bango Wadas memberi syarat kepada Bido Teles untuk menyingkir dari tempat itu dan Sekali lagi ia berseru mengancam. “Sekarang kami akan menyingkir dan jangan sekali mencoba-coba berbuat sesuatu jika tidak menginginkan kematian gadis ini!!”

Pendekar Bayangan menggeram marah tapi ia tak dapat berbuat apa-apa karena keselamatan jiwa Endang Seruni.

Akhirnya Ki Bango Wadas dan Bido Teles melesat turun dan atas genting pendapa kelurahan ke arah timur dengan membawa Endang Seruni yang masih terlena tidur akibat pengaruh sirep Ki Bango Wadas.

Sementara itu, api yang semula berkobar-kobar di lunbung desa telah mulai surut dan berkurang. Karenanya Pendekar Bayangan menarik nafas lega.

Bido Teles yang telah tiba di tanah itu bersuit nyaring sebagai isyarat untuk mengundurkan diri. Maka Blending dan Bujel secepat kilat menarik diri dari lingkaran per- tempuran.

“Heeee. Topeng Bobrokl Berhenti! Jangan kau teruskan mengganggu kami dan lepaskan sahabatku Bido Teles itu!!! Jika tidak, maka gadis yang ada di tanganku ini akan mati sekarang juga! Dengar kau, he?!” Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen, hampir saja mengejar mereka jika tidak buru-buru diperingatkan oleh Pendekar Bayangan dari atas genting. “Biarkan mereka lari! Jangan kejar! Mereka akan membunuh Endang Seruni jika kita menghentikan mereka!”

“Endang Seruni diculik?!” seru Ki Lurah kaget.

Pendekar Bayangan melesat turun dan segera men- dapatkan Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen. Iapun lalu menuturkan segala kejadian dan ancaman Ki Bango Wadas beberapa saat yang lalu.

Dari arah belakang rumah dua sosok bayangan berlari- lari kecil mendapatkan mereka bertiga. Mereka adalah Pandan Arum dan Nyi Lurah.

“Kakang Wulung! Ooh adi Seruni telah diculik mereka.” ujar Pandan Arum setengah terisak sedih.

“Oooo, alah pakne Seruni, anakmu telah diculik penjahat!” Nyi lurah meratap sedih seraya memeluk suaminya dengan cemasnya. “Ooh, bagaimana nasibnya nanti!”

“Tenanglah, Nyi Lurah.” bujuk Pendekar Bayangan. “Mereka minta umuk menukar jiwa Endang Seruni dengan kalung yang sebuah lagi! Dengan begitu maka jelaslah maksud mereka!’

“Yah, memang mereka tadi berusaha pula merebut kalung yang aku pakai ini, tetapi tidak berhasil karena aku melawan mereka dengan pedang ini...” ujar Pandan Arum.

“Kalau begitu pakne. Serahkan saja kalung yang sebuah lagi dan biarkan mereka mengambil harta Tanjung Bugel itu asal Endang Seruni selamat dan kembali di samping kita.” berkata Nyi Lurah seraya mengusap air matanya dengan ujung baju.

Ki Lurah menjadi bingung oleh kejadian yang dihadapi- nya saat ini. Kalau umumnya orang pasti mengharapkan untuk mendapatkan harta itu. Namun kini keadaan ber- kembang ke arah lain. Endang Seruni telah diculik! Dan Nyi Lurah sendiri telah menganjurkan untuk menyerahkan saja harta itu kepada Ki Bango Wadas dan kawan-kawannya, asalkan Endang seruni segera dibebaskan.

Tetapi benarkah pendapat yang demikian itu? Nah itulah yang meruwetkan pikiran Ki Lurah saat ini. Antara keinginan untuk mendapatkan kembali harta itu, ber- lawanan dengan kepentingan untuk menyelamatkan jiwa Endang Seruni.

Seandamya ia menuruti ancaman Ki Bango Wadas itu, sama saja artinya dengan membenarkan tindak kejahatan mereka. Nah, serba salah lalu jadinya.

Pandan Arum yang mengetahui perasaan Nyi Lurah tadi, tak bisa menyalahkan pendapatnya. Bahkan sebagai kakak kandung dari Endang Seruni sendiri, ia tidak akan membiarkan jiwa adiknya dalam bahaya.

“Ibu, akupun rela menyerahkan kalung ini, asal jiwa adi Seruni selamat!” Pandan Arum berkata sambil melepaskan untaian kalung permata hijau tadi dari lehernya lalu di- serahkan kepada Nyi Lurah.

Melihat ini, Nyi Lurah semakin terharu, lalu sambil menerima kalung itu iapun merangkul Pandan Arum. Apalagi wajah Pandan Arum yang mirip dengan Endang Seruni membuat hatinya semakin pilu.

“Bagaimanakah pendapat andika, Ki Pendekar Bayangan?” Ki Lurah Mijen bertanya. “Apakah akan kita serahkan saja kalung yang sebuah itu?”

“Hmmm, memang tak ada jalan lain, kurasa!” berkata Pendekar Bayangan dengan tenangnya. “Kalung itu sebaiknya kita serahkan kepada mereka. Tapi itu sebagai siasat saja.”

“Sebagai siasat?” desis Ki Lurah kaget. “Siasat yang bagaimana Ki Pendekar?”

“Begini Ki Lurah.” Pendekar Bayangan berkata menjelas- kan maksudnya. “Pertama, kalung itu kita serahkan dan Endang Seruni akan selamat kembali kepada kita. Nah, maka setelah itu kita segera menyerang mereka serta merebut kembali kedua kalung permata hijau tersebut!”

Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk sebagai pertanda akan jelasnya penuturan siasat dari Pendekar Bayangan. “Ooo, syukurlah andika mempunyai gagasan yang demikian itu.” ujar Nyi Lurah dengan dada lega.

“Akupun setuju dengan pikiran bapak.” sahut Mahesa Wulung pula. “Dan tentang rahasia kalung permata hijau itu tidak perlu kita merasa cemas, meskipun keduanya akan jatuh ke tangan Ki Bango Wadas dan teman- temannya.

“Eeeh, tapi tentang peta yang tergambar pada kedua permata kalung itu, bagaimana jadinya? Bukankah kunci rahasia harta Tanjung Bugel berada pada peta tersebut!” Ki Lurah Mijen menumpangi perkataan Mahesa Wulung tadi.

“Hmm, maaf bapak.” berkata kembali Mahesa Wulung. “Sebenarnya sudah sejak lama saya merasakan adanya bahaya yang langsung bertalian dengan kedua kalung kembar tersebut. Maka untuk menghadapi setiap kemungkinan yang mengancam kedua kalung itu, saya telah secara diam-diam menyalin kedua peta yang berasal kedua permata kalung hijau tadi ke atas secarik kain.”

Mahesa Wulung segera mengeluarkan selembar kain putih dari balik lipatan ikat pinggangnya serta membeberkannya pula di hadapan orang-orang itu. “Nah, inilah dia, peta lengkap dari rahasia harta Tanjung Bugel yang menjadi incaran mereka.”

“Weh, tobat.” seru Ki Lurah penuh kagum. “Angger benar-benar seorang cerdas yang jarang bandingannya. Dan memang benar. Dengan peta itu, maka kedua kalung permata hijau tadi tak begitu lagi banyak artinya.

“Heh heh, heh, heh,” tertawa Pendekar Bayangan saking senang dan kagumnya, mengetahui akal Mahesa Wulung.

“Heh, heh, tak percuma aku mengangkat angger sebagai muridku. Wulung! Jika demikian, sementara kalung itu berada di tangan Ki Bango Wadas dan kawan- kawannya, maka kitapun dapat pula langsung menuju ke Tanjung Bugel!”

“Jika tidak keberatan...” berkata pula Ki Lurah Mijen. “Biarlah aku yang menjemput Endang Seruni ke Tanjung Jati.” “Itu cukup berbahaya, jika bapak pergi seorang diri. Maka akupun bersedia menyertai bapak.” ujar Mahesa Wulung.

“Hmm, sekarang begini baiknya.” Pendekar bayangan mengemukakan pendapatnya. “Ki Lurah dan angger Mahesa Wulung, dan juga angger Pandan Arum menuju ke Tanjung Jati untuk menjemput Endang Seruni serta menyerahkan kalung permata hijau itu kepada Ki Bango Wadas, sedang aku sendiri beserta Lawunggana, Sorogenen dan Kertipana akan menuju ke Tanjung Bugel. Kami akan menanti Ki Lurah dengan rombongan di sana untuk kemudian bersama-sama menghadapi Ki Bango Wadas dan sekutunya!”

Ki Lurah Mijen mengangguk senang oleh pendapat Pendekar Bayangan tadi lalu iapun berkata, “Jika demikian, besok kita dapat segera berangkat dan untuk perjalanan jauh itu, di sini cukup tersedia kuda-kuda yang bagus.”

Percakapan mereka terhenti ketika beberapa orang tampak memasuki halaman pendapa kelurahan meng- giring seorang berpakaian hitarn yang terikat tangannya di belakang.

“Nah, itu angger Lawunggana datang,” ujar Ki Lurah Mijen. “Heh, seorang pengacau berhasil mereka tangkap.

Lawunggana agak terkejut rnelihat wajah mereka begitu suram tampaknya, seperti ada sesuatu yang menyusahkan. “Ah, ketiwasan angger Lawunggana. Angger Endang Seruni telah diculik oleh Ki Bango Wadas dan teman-

temannya.” ujar Ki Lurah.

“Aakh, adi Seruni diculik!?” desah Lawunggana terkejut oleh penuturan yang tiba-tiba itu. Bukankah ini nasib yang benar-benar malang? Kalau besok adalah rencana dan kepastian hari pertunangannya dengan Endang Seruni, tetapi tiba-tiba hari ini telah terjadi malapetaka yang begitu hebat bagi dirinya. Maka tak mengherankan bila mendadak saja timbul kegeramannya terhadap si tawanan tadi.

Lawunggana sekonyong-konyong melayangkan be- berapa tamparannya ke wajah si tawanan tadi hingga orang itu menjerit kesakitan dan hampir roboh. Untunglah ia cepat-cepat dipegang oleh Kertipana dan Sorogenen.

“Sabar adi Lawunggana! Sabar!” ujar Manesa Wulung seraya mendekap Lawunggana yang tengah terbakar hatinya itu. Juga Ki Lurah Mijenpun segera menuturkan segala peristiwa yang baru saja terjadi.

“Hmm, Ki Bango Wadas keparat! Aku harus membalas kekurang ajarannya.” berkata Lawunggana.

“Siapakah orang ini, Lawunggana?” bertanya Ki Lurah seraya mengamat-amati wajah orang yang terikat tangan- nya. “Aku belum pernah melihatnya.”

“Dialah salah seorang pembakar lumbung desa kita. Ia berhasil kami tangkap sedang teman-temannya berhasil melarikan diri ketika terdengar bunyi suitan yang nyaring.” Lawunggana berkata menuturkan lelakonnya. “Dalam pertempuran singkat itu seorang di antara jagabaya kita, terluka. Sedang seorang di antara mereka dapat kami tewaskan.”

“Hee, mengaku saja kisanak, siapa kau sebenarnya.” terdengar Pendekar Bayangan berkata untuk menyelidiki tawanan tersebut. “Mengakulah saja, supaya hukumanmu menjadi ringan!”

Takut menghadapi tamparan Lawunggana kembali dan juga menghadapi Pendekar Bayangan yang bertopeng! Si tawanan akhirnya mengaku dengan terus terang. “Kami adalah orang-orang sewaan Bido Teles dari Tanjung Jati.”

“Dan jelaskan siapa sebenarnya Bido Teles itu? Lekas!” terdengarlah Lawunggana membentak dengan kerasnya.

“Dia ... dia ... saya tak tahu banyak tentang mereka. Cuma suatu kali saya pernah mendengar bahwa ketua Bido Teles pernah menyebut-nyebut nama Ki Rikma Rembyak!”

“Rikma Rembyak?!” desis Mahesa Wulung kaget. “Hmm, rupanya ada sangkut-pautnya pula antara Bido Teles dengan Rikma Rembyak.”

Dalam pada itu si tawanan yang tubuhnya sudah babak belur, agaknya sudah merasa putus asa akan keselamatan dirinya. Apalagi ia melihat sorot mata Kertipana dan Sorogenen menyala marah kepadanya, sedang di tangan mereka masih tergenggam pedang-pedang terhunus.

Si tawanan menjadi nekad akibat keputusasaannya, maka tiba-tiba saja ia melayangkan tendangan kakinya ke arah dada Lawunggana. Tendangan yang berdasarkan ilmu silat tangan kosong ini benar-benar berbahaya dan hampir saja mengenai dada pendekar muda berkumis tebal ini jika tidak keburu Mahesa Wulung mendorong tubuh Lawung- gana ke samping!

Gagal serangannya terhadap Lawunggana, si tawanan buru-buru menggenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya melesat ke arah pepohonan di samping halaman untuk melarikan diri.

Sayang, Pendekar Bayangan tak mau tinggal diam melihat tawanan itu lari, maka selagi yang lainnya masih berdiam diri. ia dengan sebatnya melancarkan "Pukulan Angin Bisu" ke arah si tawanan dan akibatnya sungguh mengerikan.

Tubuh si tawanan mencelat, terpental ke arah pepohonan akibat pukulan jarak jauh tadi.

“Proook! Aaaaurrgh!”

Bunyi benturan keras bercampur jerit melengking mengiringi tubuh si tawanan melanggar batang pohon kayu dan kemudian tercampak roboh di tanah dengan kepala yang pecah.

“Hmm dia telah mendapat hukuman yang setimpal!” desis Lawunggana lega sambil berpaling kepada Mahesa Wulung. “Untunglah kakang telah mendorongku. Kalau tidak, pastilah dadaku akan melesak, akibat tendangannya.”

Beberapa orang penduduk yang melihat kejadian itu segera berkerumun ke arah si tawanan yang telah ter- geletak tak bernyawa. Ki lurah Mijenpun segera menyuruh orang-orang untuk merawat mayat si tawanan tadi untuk dikebumikan pada keesokan harinya. Di sebelah lain, api yang membakar lumbung padi telah padam sama sekali.

Kertipana serta Sorogenen segera kembali bekerja. Keduanya memberi petunjuk-petunjuk untuk menyisihkan timbunan-timbunan padi yang belum terbakar serta me- robohkan serta mencopot bagian-bagian lumbung padi yang telah menjadi arang.

Suasana menjadi tenang kembali. Kekacauan yang semula timbul, kini telah reda kembali berkat kerja sama dan kegotong royongan yang terjalin erat di antara penduduk desa Mijen. Memang kegotong-royongan yang telah dirintis oleh nenek moyang masih terpelihara hingga kini. Dengan kegotong-royongan mereka membangun dan menanggulangi setiap bahaya yang mengancam mereka.

Ki Lurah beserta istri, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, Pandang Arum dan Laeunggana bersama-sama kembali ke dalam pendapa kelurahan. Mereka masih mempunyai pekerjaan besar dan rencana-rencana untuk keesokan harinya. Keselamatan diri Endang Seruni benar- benar mereka pikirkan dari untuk itu mereka telah bertekad untuk menempuh segala rintangan dan bahaya.

*** 6

I TENGAH TERIKNYA sinar matahari yang lagi ber- singgasana di siang hari, beberapa ekor kuda dan penunggangnya telah berpacu meninggalkan desa

Mijen.

Mereka berpacu dengan tangkasnya menuju ke arah utara melalui jalan kecil yang cukup baik. Beberapa bulak alang-alang dan hutan-hutan kecil telah mereka lalui, sementara jalan itu membelok ke arah timur laut dan menghubungkan desa Mijen dengan desa Mayong.

Berkuda paiing depan adalah Pendekar Bayangan ber- sama Ki Lurah Mijen dan di belakangnya adalah Mahesa Wulung bersama Pandan Arum, kemungkinan menyusul Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan tiga orang jagabaya bersenjata tombak. Ketika matahari telah ber- geser ke arah barat, rombongan tersebut telah memasuki desa Mayong.

“Nah, di sinilah kita akan berpisah, Ki Pendekar Bayangan. “Ki Lurah Mijen berkata serta menarik kekang kudanya, untuk memperlambat pacuan mereka.

“Baiklah Ki Lurah.” ujar Pendekar Bayangan. “Jarak yang kita empuh sama jauhnya. Andika akan mengitarinya dari sebelah timur. Marilah kita berusaha dan semoga bertemu di Tanjung Bugel dalam waktu yang sama!”

“Kami akan berusaha bapak.” sambung Mahesa Wulung kepada si Pendekar Bayangan. “Doakan, mudah-mudahan adi Endang Seruni kembali kepada kita dengan selamat!”

“Yah, marilah kita berdoa semuanya.” kata Pendekar Bayangan. “Manusia berusaha dan Tuhan yang menentu- kan.”

Hati mereka menjadi lebih mantap oleh ucapan singkat dari Pendekar Bayanyan tadi. Ucapan singkat memang, tetapi jauh lebih banyak dan lebih panjang akan semangat dan artinya. Rombongan tadi lalu berpisah.

Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan soorang jagabaya langsung berpacu ke arah barat laut, bersamaan saatnya pula, Pendekar Bayangan terus berkuda ke arah timur bersama Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan dua orang jabagaya lainnya.

Jalan yang ditempuh Ki Lurah bersama rombongannya sebentar-sebentar naik dan sebentar menurun. Mareka telah mulai mengitari kaki barat daya gunung Muria, untuk selanjutnya menuju ke utara.

Kuda yang mereka pacu ini berlari kencang dan gembira seperti memahami akan kepentingan tuannya. Dan mulut- mulut merek terdengar ringkikan segar seirama derap kakinya yang menempuh jalan ke utara ini.

Mereka berlari berkejaran dengan sinar matahari yang marayap ke langit sebelah barat, sehingga tubuh mereka berkilat-kilat basah oleh peluhnya.

Telah beberapa lama mereka berkuda, tak terasa lagi oleh mereka dan tahu-tahu desa Pecangakan telah dilewati. Kiri jalan yang mereka tempuh mulai berbelok ke arah barat laut, dan sebentar lagi pastilah mereka akan tiba di kota Jepara menjelang asar.

Namun mereka sengaja tidak singgah di kota ini, maka diambillah jalan di luat kota Jepara sebelah timur sebab mereka ingin cepat-cepat tiba di daerah Tanjung Jati di pojok utara.

Untunglah keempat orang ini telah benar-benar terlatih dalam berkuda. Seperti halnya Pandan Arum sendiri, meskipun dia seorang wanita, tetapi telah memperoleh dasar-dasar latihan keprajuritan dan keperwiraan, sehingga untuk berkuda berlama lama ia tak mengalami kesulitan apapun. Dengan demikian maka perjalanan mereka menjadi lebih lancar.

Berbareng saat terbenamnya metahari di kaki langit sebelah barat, suasana daerah Tanjung Jati bersaput warna merah senja. Namun warna-warna tadi sedikit demi sedikit menjadi pudar dan lenyaplah kemudian. Sedang di langit timur, sang purnama telah tinggi menyinarkan cahaya peraknya. Bulan yang berwajah bulat penuh itu kini menjadi penerus tugas sang matahari yang telah silam. Daerah Tanjung Jati telah bermandi sinar perak sang rembulan. Di sebelah utara dan barat, ombak Laut Jawa memecah di sepanjang pantai, berkejaran, bergulung-gulung dengan riangnya untuk kemudian surut kembali ke tengah, dengan meninggalkan busa-busa putih di pasir putih yang berkilatan tertimpa sinar rembulan.

Di sebuah tempat, tak jauh dari pantai, di mana onggokan batu-batu karang dan batang batang pohon tua yang telah kering berserakan, tampaklah beberapa obor terpasang menancap di celah-celah batu ataupun batang- batang kering. Di situ pula terlihat sebuah api unggun yang menyala terang benderang dengan api menjilat dan berlenggok-lenggok ke udara.

Agaknya api-api tadi dipasang bukan semata-mata dimaksud untuk menerangi tempat itu, sebab cahaya rembulan sudah pasti cukup terang.

Maka yang jelas adalah sebagai penghangat, dan pula sebagai pertanda bahwa ditempat itu telah ditunggu oleh segerombolan orang.

Memang agak luar biasa, bahwa di tempat yang biasanya sepi dan terpencil ini sekarang ditunggui oleh segerombolan manusia. Beberapa orang di antaranya tampak duduk di dekat api unggun, tak jauh pula dari sebuah tonggak kayu kering yang terpancang di situ. 

Seorang di antara mereka berkali-kali menoleh ke arah tonggak kayu tadi dengan mata berkilat-kilat penuh arti, di mana terikat tubuh seorang gadis bertubuh padat tanpa daya. Wajahnya manis dan pipinya yang montok serta hidungnya yang mancung berkilat tersinar oleh sinar bulan. Sebentar-sebentar dadanya bergelombang tergoncang oleh isakan-isakan sedih yang meratapi akan nasib dirinya.

Dan orang yang berkali-kali menatap gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri serta perlahan-lahan mendekatinya seraya gerenengan. “Heh, heh, Endang Seruni terikat seorang diri. Sebaiknya aku temani dia.” lalu orang yang berwajah angker dan bermata cekung ini menghampiri Endang Seruni.

Endang Seruni, gadis yang terikat tadi, terkejut melihat seseorang menghampirinya. Apalagi ia melihat sinar mata yang cekung menjijikkan itu memandangi tubuhnya, bagaikan ingin menelannya.

Dada Endang Seruni bergetar saking takutnya namun ia toh tak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja ia telah bertekad, jika keadaan dirinya bakal mengalami nasib yang buruk, ia akan lebih baik mati dengan membunuh diri. Ia pernah mendengar bahwa dengan menggigit putus lidah- nya sendiri, seseorang dapat meninggal dan ini pulalah cara yang akan dipilihnya.

Akan tetapi iapun selalu berdoa, agar dirinya segera terhindar dari semua bencana.

Tiba-tiba simata cekung telah mengembangkan kedua tangannya siap memeluk dirinya dan entah apa yang bakal terjadi kemudian, bila saja dua buah tangan tidak cepat- cepat menarik leher baju si mata cekung!

“Kau mau berbuat apa saudara Bido Teles!” ujar pendatang yang menarik leher baju si mata cekung. “Tahanlah dirimu sobat!!”

Bido Teles terpaksa menggagalkan maksudnya seraya menggeram jengkel. Ditelannya air ludahnya seraya mengomel.

“Kau lagi yang mengganggu maksudku Ki Bango Wadas! apakah aku tak boleh menikmati cahaya sinar bulan yang terang benderang dan indah ini!”

“Ingatlah akan penawaran kita kepada Ki Lurah Mijen itu! Kita akan mendapat kalung yang sebuah lagi dengan menukarkan Endang Seruni ini kembali kepada orang tuanya dalam keadaan selamat! Nah, kau ingat itu saudara Bido Teles!” ujar Ki Bango Wadas.

“Tapi sudah lama aku tak menjumpai wanita cantik dan aku menginginkan dia sebagai istriku!”

“Aaakh,   kau terlalu memikirkan kepentingan dirimu sendiri, Bido Teles!” kata Ki Bango Wadas. “Yang lebih penting, kan harta emas intan dari Tanjungy Bugel itu? Jika kita telah kaya, maka istri cantik yang bagaimanapun serta berapa jumlahnya, pasti akan terpenuhi semuanya. Maka sadarlah sobatku, Bido Teles!! “

“Hmm, jadi aku tak boleh mengarnbil gadis ini?”

“ Soal itu mudah!” Sahut Ki Bongo Wadas. “Kita tunggu tiga hari! Cukup waktu bagi mereka bukan? Nah, bila dalam jangka waktu tiga hari mereka tidak muncul untuk menyerahkan kalung yang sebuah lagi, barulah kau boleh berbuat semaumu terhadap Endang Seruni. Dan kita akan terpaksa lebih banyak mengerahkan orang-orang kita, guna mengobrak-abrik desa Mijen untuk mendapatkan kalung yang sebuah lagi!”

“Heh, baiklah jika pendapatmu begitu!” Bido Teles berkata. “Kita akan tinggal di sini selama tiga hari!”

Belum lagi habis mereka berkata-kata, terdengarlah derap kaki kuda dari arah selatan dan kemudian mereka melihat empat orang berkuda masuk ke dalam tempat mereka.

“Haaa, mereka menepati janjinya!” seru Ki Bango Wadas gembira. “Lihatlah Bido Teles, sebentar lagi kita akan kaya!!”

Tak antara lama mereka yang berkuda tadi telah turun dari punggung kudanya dan berjalan ke arah Ki Bango Wadas dan Bido Teles berdiri. Sedang pada waktu itu, seorang anak buah Bido Teles tampak berbisik-bisik melapor kepada Ki Bango Wadas dan Bido Teles. Keduanya mengangguk-angguk mengerti.

“Hmm, jadi menggembirakan sekali! Pengintai ini melaporkan bahwa mereka benar-benar cuma berempat saja!” ujar Ki Bango Wadas seraya meringis kejam.

“Jadi setelah tukar menukar, mereka dapat kita sikat!” bisik Bido Teles dengan mata cekungnya berkilatan tajam.

Keempat pendatang yang tidak lain adalah Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung dan Pandan Arum serta seorang jagabaya bersenjatakan tombak. Mereka kini berhadapan dengan kedua pemimpin gerombolan tadi. Ki Bango Wadas menyambut dengan kata-katanya. “Heh, heh, heh, aku telah menduga bahwa kau akan datang ke daerah Tanjung Jati ini, sebab kau tak ingin bukan, bila Endang Seruni itu mati merana di tangan kita?”

“Sekarang aku minta agar kau secepatnya mem- bebaskan anakku!” ujar Ki Lurah Mijen seraya menatap ke arah Endang Seruni dengan cemas.

“Heh, heh, heh, sabar dulu Ki Lurah. Kami belum tahu apakah Ki Lurah benar-benar telah membawa kalung permata hijau itu?” ujar Ki Bango Wadas dengan menyeringai.

“Ha, ha, ha, ha. Tunjukkan kalung hijau itu dan kami akan segera menukarnya dengan Endang Seruni!!” Bido Teles berkata.

“Hah, lihatlah ini!” seru Ki Lurah seraya mengambil seuntai kalung dari balik bajunya. “Apakah kalian masih sangsi juga?”

“Hmm, baiklah!” ujar K Bango Wadas bergirang seraya memberi isyarat kepada Blending yang duduk di dekat unggun api. “Blending, lekaslah kau lepas tali-tali pengikat Endang Seruni!”

Si perut buncit bernama Blending itu, lekas-lekas melepas tali-temali pengikat tangan Endang Seruni. Sedang Pandan Arum dengan perasaan dan hati berdebar- debar mengikuti semua kejadian ini.

“Ayaah!” teriak Endang Seruni ketika tubuhnya telah bebas dari tali-temali pengikat, seraya bergegas untuk lari mendapatkan ayahnva.

“Berhenti!!” seru Bido Teles sambil menghalangkan pedang panjangnya di depan tubuh Endang Suruni sehingga gadis ini terpaksa mundur kembali ke tempatnya dengan wajah kepucatan saking kagetnya. “Kau tak akan bebas, bocah ayu. Sebelum kalung hijau yang sebuah lagi itu sampai di tangan kami!”

Mahesa Wulunq menggeram jengkel, tapi ia tak dapat berbuat apa-apa sebab saat ini adalah saat yang amat berbahaya, sedikit saja ia berbuat kekeliruan, pastilah jiwa Endang Seruni terancam keselamatannya. Dengan demikian maka Mahesa Wuiurg terpaksa menahan gejolak hatinya.

“Hmm kalian tak usah kuatir!” berkata Ki Lurah seraya maju ke depan. “Kalung kedua ini akan sungguh-sungguh saya serahkan kepada kalian, sebab saya lebih sayang kepada anakku dari pada Harta Tanjung Bugel itu. Nah, terimalah kalung ini dan ambillah semua harta tadi!”

Sambil memberikan kalung tersebut kepada Ki Bango Wadas iapun berkata. “Nah, sekarang aku harap kalian tidak mengganggu Endang Seruni lagi!”

“Baiklah!” uiar Ki Bango Wadas. “Sobat Bido Teles, biarkanlah gadis itu mendapatkan ayahnya!”

Bido Teles mengangguk setuju seraya menyarungkan pedangnya kernbali dan dibiarkannya gadis tersebut berlari mendekap ayahnya. “Ayaah...”

Setelah sesaat Endang Serunipun memeluk kakaknya, Pandan Arum dengan mata yang masih berlinang-linang oleh air mata. Maka tempat itu sejenak menjadi sunyi senyap.

Suasana yang mengharukan bercampur ketegangan itu tak luput dari pengawasan sesosok tubuh bercaping dari balik sebuah batu karang. Sepintas lalu memang aneh. Tokoh tadi dalam malam hari masih mengenakan caping yang seharusnya dipakai pada waktu siang. Mungkin ia berusaha menyembunyikan bentuk wajahnya yang pada saat itu tertutup oleh bayangan capingnya.

Tokoh yang misterius ini tampak mengangguk- anggukkan kepalanya ketika tukar menukar tadi selesai.

“Kita telah selesai.” ujar Ki Lurah kepada Mahesa Wulung yang berdiri di sebelahnya. “Dan marilah kita cepat- cepat meninggalkan tempat ini! Pandan Arum, bawalah adikmu itu!”

Mahesa Wulung mengangguk seraya meloncat ke atas punggung kudanya, begitu pula dengan Ki Lurah Mijen dan si jagabaya. Sedang Pandan Arum sendiri cepat-cepat menaikkan Endang Seruni ke atas punggung kudanya, kemudian disusul oleh tubuhnya sendiri meloncat dengan sigapnya dan duduk ia di belakang Endang Seruni.

Namun alangkah kagetnya ketika mereka akan men- derapkan kudanya, tiba-tiba saja Bido Teles menghunus kembali pedangnya serta meloncat menghalang di tengah jalan.

“Berhenti!” teriak Bido Teles garang. Pedangnya di- acungkan ke arah rombongan Ki Lurah. “Tidak semudah itu kalian minggat dari tempat ini!!”

“Keparat! Apa maksudmu? Kau mau berkhianat? Bukankah kalung itu telah kami serahkan?” seru Mahesa Wulung dengan nada jengkel dan marah. “Dan tukar menukar itu toh telah selesai?”

“Memang benar! Tapi itu dengan Ki Bango Wadas!” kata Bido Teles. “Sedang urusan kalian terhadap diriku belum selesai!”

“Hah! Urusan macam apa lagi?!” seru Ki Lurah.

“Kalian lihat pada gerombolan kami ini? Tak ada seorang wanitapun yang tampak. Semua laki-laki melulu! Nah, sekarang tinggalkanlah salah seorang di antara dua orang gadis itu pada kami. Biar aku jadikan nanti sebagai istriku serta pemasak makanan dan nasi kami!”

“Kurang ajar!” desis Mahesa Wulung sehabis mencabut pedangnya. “Kalian memang orang-orang licik. Seandainya kami akan mengabulkan permintaanmu toh tidak demikian caranya melamar seorang gadis!”

“Hah, hah, hah, hah. Kami orang bebas, sebebas burung di angkasa. Tak sebuahpun peraturan dan tata cara yang mengikat kami, apalagi melamar seorang gadis untuk istri. Bagi kami, istri adalah manusia biasa seperti aku, dan kami akan selalu mengambil apa yang kami suka.” demikian kata Bido Teles seraya menyeringai. “Maka sebaiknya serahkan saja salah satu di antara gadis itu pada kami! Awas, kami masih cukup bersabar! Jika kalian mempersukar, maka kami pun akan menggunakan kekerasan. Dan mungkin malah keduanya akan kami ambil semuanya sedang kalian bertiga akan kami cincang untuk makanan ikan di laut!”

Oleh kata kata Bido Teles yang menggeledek ini, Endang Seruni menjadi ketakutan setengah mati dan dipegangnya lengan Pandan Arum arat-erat namun kakak perempuan- nya ini berkata dengan tenang. “Tabahkan hatimu adi Seruni. Tenang-tenanglah saja!”

Sebaliknya dengan Mahesa Wulung. Seketika ke marahannya benar-benar meledak tak tertahan dan berserulah ia dengan kerasnya. “Bido Teles! Pantas ocehanmu sedemikian memukkan dan memang sepantas- nya kata-kata itu keluar dari mulut bobrok orang tak beradab! Sedang istri yang cocok untuk tampangmu adalah seekor kunyuk, seekor kera yang biadab pula!”

“Heh, setan alas kowe!” teriak Bido Teles sambil memaki-maki setengah mati, kalang-kabut. “Hee kawan- kawan, lekas cegat mereka! Kepung! Cincang yang laki-laki, dan biarkan yang perempuan hidup!”

Sementara itu kuda-kuda rombongan Ki Lurah telah ber- gerak, meringkik-ringkik menderap-derapkan kakinya ke tanah dan kerikilpun berloncatan ke sana-ke mari.

Mahesa Wulung yang telah bersiaga sejak sernula tidak kaget oleh teriakan Bido Teles tadi, maka pedangnya telah siap menyambar-nyambar, menebas dan menusuk lawan- lawannya yang bermunculan dan balik batu-batu karang dan pohon-pohon kering untuk kemudian mengepungnya!

Begitu pula Ki Lurah Mijenpun telah melolos kerisnya untuk menghadapi serangan-serangan yang mendatang, sementara Pandan Arum dan si jayabaya Cangkring masing-masing telah menyiapkan pedang dan tombaknya. Pertempuran seketika berkobar dengan seru.

Pandan Arum yang berkuda bersama Endang Seruni menjadi kurang leluasa menggerakkan pedangnya ke kiri, terutama bila ada serangan-serangan lawan yang datang dari sebelah kiri. Itulah sebahnya Manesa Wulung yang selalu waspada, berusaha terus untuk selalu berada di dekat Pandan Arum untuk rnelindunginnya. Bagaikan burung rajawali mereka berempat bertempur menghadapi lawannya. Walaupun dikepung, mereka tidak pernah merasa gentar sedikitpun. Kuda-kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik dahsyat membuat arena pertempuran ini semakin kalut suasananya.

Beberapa orang yang bermaksud mendekati mereka berempat terpaksa mundur kembali dengan mengumpat- umpat sebab kaki-kaki kuda itu menerjang dan hampir saja menginjak-injak tubuh mereka, seandainya tidak cepat- cepat menghindar dan mundur kembali.

Si Bujel bermaksud menyerang Pandan Arum dari samping kiri sebab dia tahu akan letak kelemahan dari kedudukan Pandan Arum yang berkuda bersama Endang Seruni tadi. Namun iapun menjadi terperanjat ketika serangan pedangnya menjadi kandas dan mental kembali begitu Pandan Arum mernutar kudanya ke kiri secepat kilat sekaligus menyampok pedang si Bujel.

Tak jauh dari Pandan Arum, tampaklah Mahesa Wulung menyambut setiap serangan yang dilancarkan oleh Ki Bango Wadas. Mungkin pertempuran kedua orang inilah yang terdahsyat dari kancah pertempuran tersebut.

Ki Bango Wadas mampu bergerak lincah, selincah belalang yang melenting ke sana ke mari diikuti gada berduri di tangannya menyambar dan menyapu ke arah Mahesa Wulung. Bagaimanapun juga Ki Bango Wadas yang berdiri di atas tanah akan jauh lebih lincah dan leluasa melakukan gerakannya.

Berbeda dengan Mahesa Wulung yang bertempur di atas punggung kudanya hanyalah mampu melakukan gerakan-gerakannya yang terbatas. Maka tak heranlah bila Ki Bango Wadas semakin bernafsu melancarkan serangan- serangannya Soalnya, ia tanu bahwa dirinya lebih banyak mempunyai ruang gerak yang sangat luas, dan itulah pula sebabnya orang tak perlu heran bila sesekali, dengan gerakan yang menakjubkan Ki Banyo Wadas tahu-tahu telah melintas dipunggung Mahesa Wulung seraya menghajarkan penggadanya. Ternyata Mahesa Wulung tidak membiarkan senjata Ki Bango Wadas menyentuh kulit tubuhnya dan di saat Ki Banyo Wadas tadi melintas di belakangnya, ia dengan cepatnya menebaskan pedangnya ke belakang sambil menggeserkan kudanya ke samping beberapa langkah.

“Craaang!”

Ki Bango Wadas merasakan bahwa penggadanya sedikit bergetar menyerikan buku-buku tulang jari tangannya setelah beradu dan berbentur dengan pedang Mahesa Wulung.

Terpaksalah Ki Bango Wadas menggerundal disertai desis kekaguman terhadap lawannya yang masih muda itu. Disebabkan oleh api dendam yang telah bertumpuk dan membakar hati Ki Bango Wadas ia tak memperdulikan lagi kehebatan Mahesa Wulung yang menjadi lawannya ini.

Setahap demi setahap serangan Ki Bango Wadas semakin bertambah ketat, bertambah garang dan ganas. Bagaikan air bah yang membanjir ke arah lautan serangan- serangan tadi siap menyapu dan melanda setiap sasarannya.

Mahesa Wulung sadar akan hal ini. Ia tak mau lagi melayani serangan-serangan Ki Bango Wadas dengan setengah hati atau bermain-main menghindar dan menangkis saja. Kini iapun mulai melancarkan serangan serangan mautnya.

Setiap kali, kuda Mahesa Wulung melingkar-lingkar berlari dengan garangnya diselingi dengan kedua kaki depannya yang sekali berjingkrak ke atas siap menghancurkan tubuh lawan yang berani mendekatinya.

Melihat ini, keruan saja Ki Bango Wadas tambah marah. Sambil menyerang lawan mudanya ini, ia berteriak kepada anak buah Bido Teles supaya lebih memperhebat pengepurgan mereka.

“Kawan-kawan! Hayo, jangan setengah-setengah menumpahkan tenagamu! Lekas bereskan ketiga laki-laki itu. Cincang tubuh mereka lumat-lumat!”

Laksana orang terbangun dari pesona mimpi para anak buah Bido Teles menjadi lebih beringas setelah mendengar seruan Ki Bango Wadas tadi.

Mereka mengamuk dengan  serangan-serangannya sementara  di dalam  hati mereka timbul pula keheranannya. “Masakan cuma menghadapi lawan empat orang saja mereka tidak becus?” Begitulah pikiran mereka. Tetapi memang kenyataannya demikian. Lawan yang berjumlah empat orang tersebut benar-benar menjengkel- kan mereka. Hampir tiga puluh jurus serangan sudah berjalan, namun belum seorangpun di antara keempat

orang tadi kena dirobohkan.

Ki Lurah Mijen yang bersenjata keris dengan gigih menyambut setiap serangan Bido Teles dan anak buahnya yang semakin garang mencecar dirinya. Biar pun Ki Lurah ini sudah tidak muda lagi, tapi perkara olah senjata dan perihal keperwiraan jangan kira ia mau kalah dengan anak- anak muda. Itulah sebabnya pula mengapa Ki Lurah mampu bertahan terhadap serangan-serangan lawan.

Di sebelah timur, si jagabaya yang berperawakan tegap dan bersenjata tombak dengan gigih pula menanggulangi serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sigayam dan teman-temannya. Senjata tombak pendek Sigayam ber- putar mematuk-matuk menyambar ke arah si jagabaya yang berkuda itu, namun setiap kali pula tombak panjang si jagabaya selalu menangkis dengan tepatnya.

Melihat ini Sigayam menjadi lebih jengkel dan serangan- serangannyapun menjadi lebih dahsyat, menghempas seperti badai mengamuk, membuat si jagabaya lama-lama agak kerepotan juga.

Rupanya tidak si jagabaya saja yang mulai kelihatan kerepotan, juga Pandan Arum pun mengalami hal yang sama. Apalagi jika serangan-serangan yang datang itu berbareng dari sebelah kanan dan kirinya. Benar-benar merepotkan dan untung saja, setiap kali pula Mahesa Wulung senantiasa membantunya.

Ketika sang rembulan makin bertambah tinggi, pertempuran di tanah Tanjung Jati itu kian menghebat. Ringkikan kuda, jerit peperangan serta bunyi berdencing dari senjata-senjata yang beradu berbareng percikan bunga-bunga apinya, membuat makin serunya per- tempuran.

“Keparat! Jangan kira kau mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus lagi. Mahesa Wulung!” teriak Ki Bango Wadas. “Maka lebih baik menyerah saja sekarang, sebelum senjataku ini betul-betul meremukkan batok kepalamu yang cuma sebuah itu!”

“Gila!” desis Mahesa Wulung. “Marilah kita lihat, siapa- kah yang bakal mati lebih dulu. Engkau ataukah aku!”

Dada Ki Bango Wadas menjadi lebih terbakar, bilamana Mahesa Wulung tiba-tiba meloncat turun dari punggung kudanya dan langsung menyerang Ki Bango Wadas dengan sabetan pedangnya ke arah leher si pendekar botak yang liar itu.

Bunyi berdesing dan sambaran angin dingin mengiringi mata pedang Mahesa Wulung yang meluncur ke arah leher si botak dan hampir saja Ki Bango Wadas dari Muara Kali Serang itu terpapas batang lehernya, bila ia terlambat menggulingkan tubuhnya ke kiri beberapa langkah.

Sambil bergulingan itu Ki Bango Wadas mengutuk- ngutuk kepada lawannya. Untunglah beberapa anak buah Bido Teles lekas-lekas memberikan bantuannya kepada Ki Bango Wadas dengan mencegat serangan-serangan Mahesa Wulung berikutnya.

Terpaksa Mahesa Wulung menarik serangannya ter- hadap Ki Bango Wadas sementara waktu ketika dari arah samping terlihat beberapa sosok tubuh menghujani serangan-serangan pedang dan golok ke arah dirinya.

“Heeit!” Mahesa Wulung berkelit ke samping dengan gerakan selincah belalang bersamaan pedangnya menebas ke arah lawannya.

“Eeeeeeeakhhh!” Terdengar jeritan mengumandang dari mulut salah seorang pengeroyok Mahesa Wulung yang terkena oleh sabetan pedangnya tadi, disusul dengan tubuh yang tercampak di tanah dan darah merah menyembur dan dadanya yang tersayat sepanjang satu jengkal lebih.

Ki Bango Wadas terperanjat melihat seorang dari sekutunya telah tewas di ujung pedang Mahesa Wulung. Maka cepat-cepat ia bersiaga kembali dan dengan satu loncatan panjang Ki Bango Wadas menyambarkan penggada berduri di tangannya ke dada Mahesa Wulung.

Serangan tiba-tiba tersebut rnembikin Mahesa Wulung geragapan sesaat dan syukurlah, ia masih sempat mengegoskan tubuhnya ke kanan disertai pedangnya menumpangi arah sambaran penggada!

“Craaaaaang!”

“Keparat!” desah Ki Bango Wadas yang hampir saja terjongor, terjerumus ke dcpan akibat pukulan pedang Mahesa Wulung yang menumpangi pukulan penggadanya.

Akan tetapi, Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di situ, iapun berputar ke samping seraya menghajarkan senjatanya, bertubi-tubi ke arah Mahesa Wulung yang selalu bersiaga. Begitu menghindar, maka batu karang dibawah Mahesa Wulung menjadi ambrol berserakan ke mana-mana. Dan setelah itupun, senjata penggada tadi terus susul-menyusul mencecar ke arah Mahesa Wulung. Di samping itu, para pengeroyok Mahesa Wulung yang terdiri tidak kurang dan enam orang anak buah Bido Teles semakin memperketat pengepungan dan serangan- serangannya. Untuk itu terpaksalah Mahesa Wulung berloncatan ke sana ke mari sambil tak henti-hentinya menangkis serangan-serangan lawannya.

Sambil bertempur ini. Mahesa Wulung masih memerlu- kan melirik ke arah Pandan Arum yang dengan gigih menghadapi serangan serangan lawan. Beberapa kali ia sempat melihat, betapa kekasihnya itu menangkis setiap ujung senjata yang menghampiri dirinya dan sekali pedang Pandan Arum tadi berhasil pula menebas tubuh lawan!

Diam-diam Mahesa Wulung memuji ketrampilan Pandan Arum kekasihnya, sebab sambil mernboncengkan Endang Seruni pada punggung kudanya, ia masih lincah memain- kan pedangnya.

Akan tetapi tiba-tiba Mahesa Wulung terperanjat ketika dilihatnya Pandan Arum sibuk melayani serangan-serangan dari sebelah kanan, mendadak saja Bujel mengendap ke sebelah belakang Pandan Arum dan siap menancapkan pedangnya ke arah punggung gadis itu.

Rupa-rupanya saja si Bujel ini sudah benar-benar ter- bakar kemarahannya dan ia lupa akan perintah Bido Teles yang mengharuskan kedua gadis itu ditangkap hidup hidup!

Mahesa Wulung tak sempat berteriak memperingatkan adanya bahaya kepada Pandan Arum. Dalam saat saat yang tegang ini Mahesa Wulung secepat kilat melemparkan pedangnya ke arah Bujel yang mencoba secara curang menyerang Pandan Arum dari belakang. Bagaimanapun kecurangan harus dihukum!

Pedang tadi yang dilempar oleh Mahesa Wulung, melayang dengan pesat dan langsung menancap ke punggung Bujel sampai menembus ke dada sebelah muka.

“Creeeep! Uuuaarrgh!”

Bujel sesaat terhuyung-huyung dengan sebilah pedang yang menancap tembus pada punggung dan dadanya. Seperti orang tak percaya akan keadaan dirinya, ia masih saja melihat ke arah dadanya. Tampaklah ujung pedang yang tersembul dari dalam dadanya menculat keluar diiringi oleh darah merah memercik mancur keluar mem- basahi pakaiannya.

Tiba-tiba Bujel melempar pedangnya sendiri dan seperti orang ketakutan ia menggerakkan tangannya, meng- gerayangkan ke arah punggungnya untuk mencabut pangkal tangkai pedang yang menancap di situ. Gerakan Bujel sungguh mengharukan tapi juga mengerikan untuk dilihat.

Sambil menjerit panjang akhirnya robohlah tubuh Bujel ke tanah dan sesudah berkelejotan sesaat akhirnya diam tak berkutik matilah sudah si Bujel.

Melihat Mahesa Wulung sudah tak bersenjata lagi, Ki Bango Wadas menjadi lebih beringas. Pikirnya, ia segera dapat menghancur lumatkan tubuh Mahesa Wulung ini.

Tetapi ia menjadi kaget bila secepat kilat Mahesa Wulung tahu-tahu telah menggenggam sebatang cambuk yang terlolos dari ikat pinggangnya. Cambuk Naga Geni yang menyala berkeredapan biru kehijauan disinari sang rembulan itu, membuat Ki Bango Wadas berdebar-debar hatinya. Meskipun ia belum tahu apakah nama senjata yang tergenggam d tangan Mahesa Wulung, ia yakin bahwa cambuk tersebut bukanlah senjata sembarangan bukan sekadar cambuk penghalau ternak.

Ki Bango Wadas menerjang, tapi Mahesa Wulung cepat melesat ke samping dan di saat itu pula beberapa orang anak buah Bido Teles segera menyerang dirinya.

Melihat ini Mahesa Wulung tersenyum dan sekali ia melecutkan cambuknya ke arah mereka, terdengarlah satu ledakan diiringi jeritan parau. Seorang dari anak buah Bido Teles terjelapak ke tanah dengan tubuh hangus berkepul, dan tak bernyawa! Keruan saja Ki Bango Wadas terkejut dan seketika ia bersuit keras. Dari balik batu-batu karang munculah beberapa orang bersenjata panah, siap ditembakkan secara diam-diam ke arah Mahesa Wulung, ke arah Pandan Arum, Ki Lurah Mijen dan juga ke arah si jagabaya Cangkring!

Mereka berada didalam bahaya. Ya, keadaan ini sungguh menegangkan dan mendebarkan hati siapa saja yang melihatnya! Benarkah tubuh-tubuh mereka akan di- tembusi oleh panah-panah yang telah siap ditembakkan itu? Nah, itulah pertanyaan yang akan kita temui jawaban- nya dalam Seri Naga Geni berikutnya. yakni "SENGKETA KALUNG PUSAKA" yang akan segera mengunjungi anda.

Dan dengan ini pula selesailah cerita Seri Naga Geni— HARTA TANJUNG BUGEL—Salam buat para pembaca yang budiman.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar