Serial Naga Geni Eps 10 : Maut Di Lembah Sempit

 
Eps 10 : Maut Di Lembah Sempit


ANGIN SEJUK berhembus sepoi-sepoi pada sisa-sisa malam itu, dan kapal Barong Makara yang berlabuh dalam teluk Sampit bergoyang mengangguk- angguk seakan menyambut ujung cahaya fajar yang mulai muncul di cakrawala timur.

Beberapa orang awak kapal tampak sibuk mempersiapkan pelayaran pagi nanti sesudah matahari terbit cukup tinggi. Mereka mempersiapkan tali temali layar serta meneliti alat2 lain ataupun bagian-bagian, kapal, seperti dinding-dinding, kemudi, dayung- dayung, dan sebagainya.

Ketika langit sebelah timur makin berjambah terang, Mahesa Wulung, Jagayuda, Daeng Matoa dan Pandan Arum pun telah bersiap-siap pula. Mahesa Wulung berkeliling beberapa saat untuk memeriksa persiapan pelayaran, apakah semuanya telah beres dan sempurna. Sebab untuk pelayaranjarak jauh, segalanya harus dipersiapkan dengan baik. Jangan sampai ada kerusakah- kerusakan kecil sekalipun. Jika ternyata ada, maka lebih baik diperbaiki sekarang dari pada sesudah berlayar nanti, karena tidak mustahil bahwa kerusakan yang kecil akan dapat membawa bencana yang besar. Dengan tersenyum puas, Mahesa Wulung kembali kepada ketiga rekannya tadi. Hatinya merasa puas setelah melihat kerja para awak kapal yang dengan teliti dan sempurna mempersiapkan pelayaran ini.

— Adik Jagayuda. — ujar Mahesa Wulung. — Perintahkan para perajurit yang berjaga di pantai itu untuk naik ke kapal dan sebentar lagi kita akan berlayar. —

— Baik kakang. — Jagayuda berkata seraya mengangguk hormat. — Kini ijinkan saya turun ke darat. — Dan tak lama kemudian tampaklah sebuah perahu kecil yang membawa Jagayuda serta dua orang pendayung meninggalkan lambung kapal dan berkayuh ke arah pantai teluk Sampit, untuk menjemput kelima perajurit jaga yang semalam telah berjaga di tempat itu.

Perahu tadi semakin berkayuh cepat dan sebentar saja telah mencapai pantai. Ketiga penumpangnya segera berloncatan,   turun dari  perahu, sementara kelima perajurit jaga segera berlari-lari  menyambut  mereka dan turut membantu menyeret perahu ke tepi Dalam sepintas lalu, pantai yang penuh ditumbuhi oleh semak pohon bakau diseling oleh pohon-pohon kelapa yang bertumbuhan    disana-sini   dengan suburnya, sangatlah sepi tampaknya. Tak ada gerak-gerik binatang besar atau makhluk yang perlu mereka takutkan, sebab yang mereka lihat hanyalah burung-burung bangau dan raja udang yang tengah sibuk mencari ikan- ikan kecil. Sedang di lumpur-lumpur pantai, di sela akar pohon bakau yang bergayutan pada permukaan air, ikan2 glodog berloncatan riang menimbulkan suara berkecopak di sana-sini.

Kedelapan orang tadi, yaitu Jagayuda dengan ketujuh awak kapal Barong Makara tidaklah mengira sama sekati bila di balik dedaunan semak2 pohon bakau berpasang-pasang mata telah mengawasi mereka sejak mulai mendarat sampai mereka mengemasi tenda dan alat-alat untuk bermalam. Namun Jagayuda tidaklah sia-sia memperoleh pangkat Tamtama Madya bila ia tiba- tiba mengangkat muka setelah angin berdesir ke telinganya dari arah utara.

— Saudara-saudara!! Siapkan senjatamu cepat-cepat dan jangan bertanya apa-apa! — ujar Jagayuda kepada ketujuh awak kapal yang tengah bekerja didekatnya. — Aku mendengar bunyi gemerisik dan dengus nafas dari semak-semak pohon bakau disebelah utara! —

Agak terkejut juga ketujuh awak kapal yang mendengar seruan Jagayuda ini dan secepat kilat tanpa menunggu perintah yang kedua kalinya, mereka menghunus dan menyiapkan senjatanya masing-masing. Sesaat suasana menjadi tenang tetapi juga tegang. Mereka menanti beberapa waktu lagi. Tak ada apa-apa dan mereka tetap bersiaga. Beberapa awak kapal mulai gelisah tampaknya, lalu diam-diam mereka mengira bahwa Jagayuda mungkin salah dengar atau memang tengah mencoba kesiap siagaan mereka, sebab belum juga tampak sesuatu yang muncul dari balik semak-semak pohon bakau.

Jagayuda pun mulai mencucurkan keringat dinginnya pada dahi dan lehernya. Ia akan merasa malu jika ternyata dibalik semak2 bakau itu tidak ada sesuatu yang tengah mereka tunggu. Namun itu semua bukan semata- mata kesalahannya. Suara gemerisik dan dengus nafas itu memang betul-betul didengarnya dari sana.

Tepat disaat mereka tengah gelisah dan bertanya-tanya didalam hati, tiba2 muncullah sesosok tubuh keluar dari balik semak2 pohon bakau disebelah utara dan disaat itu juga para awak kapal yang dipimpin oleh Jagayuda tadi merangsak maju dalam bentuk setengah lingkaran menghadap ke arah orang yang baru saja muncul itu. Mereka bersiaga menghadapi setiap kemungkinan, sementara mereka menjadi berdebar-debar hatinya demi pandangan mata mereka menatapi tubuh orang didepannya.

Dalam jarak enam tombak, orang tadi berdiri dengan gagahnya, meskipun wajahnya tampak setengah tua. Badannya masih tampak segar dengan sebuah baju tak berlengan penuh ragam hias lingkaran2 kecil, dipakainya dalam potongan yang sangat serasi. Sedang selembar kain ikat kepala kecil disertai beberapa lembar bulu burung menghiasi kepalanya.

Pada tangan kirinya tergenggam sebuah perisai panjang, juga dihiasi oleh gambar lingkaran2 dengan warna merah dan hitam.

Jagayuda dan para awak kapal tadi tidak hanya sampai disitu saja mengawasi orang tersebut. Mereka dengan jelas dapat melihat hampir semua perlengkapan dan pakaiannya. Selain baju, orang itupun mengenakan selembar kain tenun yang dipakainya sebagai cawat dengan bagian ujungnya terurai di sebelah muka dan pada pinggang kirinya tergantung sebilah mandau, sejenis pedang yang merupakan senjata khusus dari pulau Borneo.

Melihat orang itu tetap berdiri dengan tenang tanpa menunjukkan wajah bermusuhan, Jagayuda dan orang- orangnya menjadi semakin bercuriga. Maka segeralah mereka bergerak lebih dekat ke arah orang ini sedang senjata2 ditangan mereka tetap tergenggam erat, siap melaksanakan tugasnya.

Namun alangkah terkejutnya mereka, di saat jarak antara orang tadi dan diri mereka tinggal kurang lebih dua tombak, tahu2 berloncatanlah dari balik semak2 di depan mereka beberapa orang2 yang berpakaian serupa dengan orang pertama. Pada tangan2 mereka tergenggam berbagai senjata, seperti tombak, mandau, sumpitan dan penggada. Orang2 inipun bersiap dihadapan rombongan Jagayuda untuk bertempur.

Untunglah orang pertama tadi mengacungkan tangannya keatas dengan jari2 terbuka, dan seketika orang2 yang baru muncul tadi mundur beberapa langkah sambil menyarungkan senjata mereka masing2.

Oleh hal ini, Jagayuda dan orang- orangnya pun mengetahui maksud baik dari mereka, maka ia pun memerintahkan orang-orangnya agar segera menurunkan senjatanya.

Sementara itu, Mahesa Wulung yang berada diatas geladak kapal Barong Makara, dapat pula melihat semua kejadian di pantai beberapa saat berselang. Dan ia pun menarik nafas lega bila kedua rombongan itu tidak sampai berbentrok. Maka segera diperintahkan kepada anak buahnya untuk menyiapkan serta menurunkan sebuah perahu lagi ke air, karena ia bermaksud pergi ke pantai serta mendapatkan kedua rombongan itu.

Dalam pada itu Jagayuda juga tak ketinggalan untuk mengacungkan tangannya ke atas kepada ketua rombongan yang bersenjata mandau itu, sebagai pernyataan "tidak bermusuhan", atau "bermaksud damai" seraya melangkah ke hadapan si ketua rombong- an itu disertai senyuman yang ramah.

Sebaliknya, siketua rombongan menunjukkan senyumnya pula kepada Jagayuda. Keduanya tak lama kemudian saling mengeluarkan tangan dan berjabatan dengan eratnya.

— Jagayuda — ujar Jagayuda memperkenalkan dirinya kepada ketua rombongan itu.

— Tawau — terdengar siketua rombongan yang bersenjata mandau tadi menyebutkan namanya. — Maaf, jika kedatangan kami telah mengejutkan tuan dan para awak kapal ini. —

— Tak mengapa saudara, tak mengapa. Bahkan seharusnyalah kami yang meminta maaf, sebab begitu saudara muncul dari semak2 pohon bakau itu. kami menyambutnya dengan senjata terhunus. —

— Heh, heh, heh, untunglah kita tidak sampai mengadu senjata, tuan Jagayuda. — kata Tawau. — Rupanya akan hebatlah korbannya bila hal itu benar- benar terjadi. —

— Hmm, akupun berpendapat begitu saudara Tawau. Namun Tuhan Yang Maha Besar telah menghindarkan bencana tadi dari kita dan untuk itu kita patut berterima kasih kepadaNya. — kata Jagayuda dan Tawau mengangguk-angguk karenanya. Kemudian Jagayuda bertanya pula. — Saudara Tawau, mengapakah andika begitu muncul tiba2 ketika kami berada di pantai ini? —

— Memang, kami sengaja untuk menemui tuan-tuan semua. — ujar Tawau.

— Kami mempunyai suatu maksud dan semoga tuan-tuan bersedia mendengarnya. —

— Katakanlah saudara Tawau, kami akan mendengarnya dengan senang hati.


Percakapan mereka terpaksa terhenti oleh bunyi kecupak air yang tersibak oleh dayung-dayung dan sebuah perahu telah mendarat di pantai. Beberapa orang turun ke pasir dan seorang bertubuh tegap langsung menuju ke arah Jagayuda dan Tawau berdiri de- ngan langkah2 yang mantap.

— Nah, saudara Tawau. Inilah pemimpin kami. — Jagayuda berkata ketika orang bertubuh tegap yang tidak lain adalah Mahesa Wulung telah tiba disamping mereka. Mahesa Wulung mengangguk kepada Tawau, berbareng itu Jagayuda berkata lagi. — Kakang Mahesa perkenalkanlah. Bapak ini bernama Tawau dan ia bersama orang orangnya sengaja menemui kita. — Sambil berjabatan tangan, Tawau berkata kepada Mahesa Wulung. — Benar apa yang dikatakan oleh saudara Jagayuda ini. Kami memang sengaja menemui tuan2 dengan suatu maksud yang

baik. —

— Eh, apakah yang bapak kehendaki? — Mahesa Wulung berkata, sedang dalam hatinya dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan, — Apakah kami telah membuat sesuatu kesalahan disini? —

— Kesalahan? — seru Tawau kaget.

— Oh, tidak. Sama sekali tuan-tuan tidak berbuat kesalahan, bahkan sebaliknya, Tuan-tuan telah berjasa terhadap keluarga saya dan para penduduk lainnya.

— Janganlah bapak keburu berkata tentang jasa-jasa kami, sedangkan kami sendiri tidak tahu menahu jasa-jasa apakah yang telah kami perbuat dan apakah hubungannya dengan keluarga bapak serta para penduduk disini? —

Mendengar perkataan Mahesa Wulung, orang tua ini justru malah tersenyum seraya mengangguk-angguk, lalu berkata. — Eh, kata-katamu membuat hati bapak kagum setengah mati. Tuan telah membuat satu jasa besar bagi kemanusiaan dan tuan sendiri malah tidak merasakan hal itu. Atau mungkin tuan mencoba menyembunyikan pengakuan itu? — Tawau berhenti sejenak dan ketika Mahesa Wulung belum juga berkata, kembalilah si tua ini berkata — Yah, seorang yang bijaksana dan berbudi luhur memang seringkali menganggap suatu hal yang biasa bagi jasa2 yang telah diperbuatnya, sementara orang lain memandangnya dengan kagum. Ketahuilah tuan, dengan hancurnya Kapal Hantu itu, kami sekarang telah merasa aman dan lega, sebab selama ini hidup kami selalu terancam oleh anak buah Kapal Hantu yang telah sering kali merampok dan mengganggu para penduduk. —

— Oh, jadi hal itulah yang bapak maksudkan. — sahut Mahesa Wulung setelah ia mengetahui duduk persoalannya. — Tentang Kapal Hantu itu, memang sebenarnya menjadi buron kami, karena ia telah mengacau lalu lintas pelayaran dilaut Jawa. Dan kami, dari Armada Laut Demak mendapat tugas untuk menghancurkannya. —

— Nah, jika tuan telah mengetahuinya, maka sudilah tuan menanggapi satu permintaan yang akan kami sampaikan kepada tuan. — — Marilah bapak katakan permintaan itu, dan kami dengan senang akan menyambutnya. —

Demi mendengar kesanggupan Mahesa Wulung, orang tua ini menarik napas lega. — Begini tuan, sesudah hancurnya Kapal Hantu dan pulihnya ketenteraman para penduduk disini, kami bermaksud mengundang tuan2 untuk berkunjung ke kampung kami, sebab para penduduk ingin berkenalan dengan orang yang telah berhasil menghancurkan Kapal Hantu — Tawau berhenti sejenak seraya memandang ke wajah Mahesa Wulung, seolah-olah ingin menyelidik, apakah pendekar muda ini bersedia memenuhi undangannya — Dan kami telah menyiapkan suatu perjaimuan untuk tuan-tuan sekalian maka kami betul2 mengharapkan kedatangan itu. —

Mahesa Wulung tak segera menjawab oleh permintaan yang telah diajukan oleh Tawau tadi, karena disaat itu pula ia telah dihadapkan pada persoalan yang sulit. Yah, bukankah ia telah mempersiapkan kapalnya untuk berlayar kembali ke Demak? Sedang kini ia telah diminta untuk berkunjung ke kampung orang tua ini.

Sungguh persoalan yang sulit dan mesti dipecahkan, dalam saat ini juga. Kalau seandainya ia tetap melanjutkan niatnya untuk belayar, ini berarti akan membuat kecewa kepada Tawau dan segenap penduduk sedang sebaliknya, jika ia memenuhi permintaan Tawau, ini sama saja dengan menunda pelayarannya. Begitulah, sesaat Mahesa Wulung terbungkam   membisu  sementara pikirannya  menimbang-nimbang akan keputusan yang  harus diambilnya. Sebentar kemudian, pendekar muda ini telah mengambil  keputusannya  dan berkatalah ia kepada Tawau siorang tua

yang bersenjata mandau itu.

— Demi persaudaraan kita yang telah terjalin ini, aku tak berkeberatan untuk berkunjung ke kam- pung bapak. — ujar Mahesa Wulung dan keruan saja orang tua ini terlonjak kegirangan.

— Weh, bagus! Itulah yang kami harapkan, tuan —. seru Tawau. — Dengan begitu tak akan sia-sialah perjamuan yang telah kami persiapkan itu dan kapankah kita berangkat? —

— Maaf bapak, tak dapat kami tergesa-gesa sebab kami harus lebih dulu memberi tahu kepada para awak kapal agar pelayaran kita tunda dulu.


Tawau menganggukkan kepala oleh kata-kata Mahesa Wulung dan pendekar muda inipun memberi petunjuk-petunjuk kepada Jagayuda. — Adi Jagayuda, beritahukan kepada saudara Daeng Matoa dan adi Pandan Arum agar mereka turun ke pantai untuk menemaniku dalam perjalananku ke daerah pedalaman. Kemudian pimpinan kapal Barong Makara sementara aku serahkan kepadamu. —

— Baiklah kakang, dan sekarang juga aku akan kembali kekapal untuk menjemput dan memberitahu mereka berdua. — ujar Jagayuda serta berpamit kepada Mahesa Wulung dan selanjutnya, dengan beberapa orang telah berperahu ke tengah laut mendekati kapal Barong Makara.

Demikianlah tak lama kemudian perahu tadi merapat ke dinding kapal dan naiklah Jagayuda kegeladak lalu menyampaikan segala pesan2 Mahesa Wulung kepada Daeng Matoa dan Pandan Arum. Maka sejurus lagi meluncurlah sebuah perahu dan dari tepi dinding kapal menuju kearah pantai, membawa Daeng Matoa dan Pandan Arum.

Keduanya diperkenalkan kepada bapak Tawau setelah mereka tiba di darat dan Mahesa Wulung pun berceritera kepada mereka berdua akan segala maksud dan permintaan bapak Tawau.

— Nah, bapak Tawau, sekarang kami telah siap menyertai bapak untuk bertamu ke kampung andika — kata Mahesa Wulung kepada si orang tua itu.

— Bagus. Marilah kita berangkat — Tawau berkata sambil kedua tangannya memberi aba2 ke atas dan segera orang- orangnya berkemas-kemas pula. Maka berjalanlah mereka kearah utara beriring-iring menembus hutan bakau dan pohon kelapa menuju daerah pedalaman. Berjalan paling depan adalah empat orang anak buah Tawau, lalu orang tua itu sendiri berjalan berdampingan dengan Mahesa Wulung dan di belakangnya berjalan Pandan Arum bersama Daeng Matoa, disusul oleh enam orang anak buah Mahesa Wulung kemudian disambung pula oleh dua puluh orang pengikut Tawau.

Daerah yang mereka tempuh semakin lebat pohon-pohonnya. Batangnya yang tinggi dan besar tak ubahnya pagar2 raksasa yang membentengi pulau itu dari jamahan tangan manusia. Pohon2 besar seperti pohon besi, pohon sindur dan lanan serta rotan2 yang berlilitan seperti ular terlihat di sana-sini.

Diam2 hati Pandan Arum tergetar pula menatap kelebatan hutan yang tengah mereka lalui ini. Biarpun ia merasa senang dengan beraneka ragam bunga2 anggrek liar yang bergayutan pada batang2 pohon di sepanjang perjalanan, namun sekali2 ia terkejut oleh jeritan2 melengking memekakkan telinga, hingga ia terpaksa berpegang pada pundak Mahesa Wulung yang berjalan di depannya. Melihat hal ini, bapak Tawau menoleh sambil tersenyum, dan berkata dengan pelan, — Jangan takut nona Pandan Arum, itu tadi adalah jeritan2 dari Orang Utan, sejenis kera besar yang hanya terdapat di hutan pulau Borneo ini. Rupanya ia terkejut melihat orang2 yang sebanyak ini. —

Pandan Arum melihat ke atas ke arah cabang2 pohon yang hampir seluruhnya menutup dan melingkupi udara, sehingga warna biru langit hampir tak terlihat sama sekali, kecuali dari sela2 dedaunan.

Sekali waktu Pandan Arum tercengang2 melihat bayangan-bayangan hitam berkelebat di antara cabang dan dahan2 pepohonan lalu lenyap dibalik dedaunan.

— Nah, itulah tadi Orang Utan yang menimbulkan suara2 jeritan melengking. Selama orang tak mengganggu maka iapun tak akan mengganggu kita — berkata bapak Tawau kepada Mahesa Wulung dan Pandan Arum serta Daeng Matoa.

— Tapi, apakah belum pernah ada orang yang berani menangkapnya? — tanya Mahesa Wulung.

— Oh, tentu ada tuan. Namun itu pun hanya orang-orang tertentu, yaitu para tagoh atau pendekar-pendekar berilmu tinggi. Sebab seekor Orang Utan' yang benar-benar marah akan mengamuk dengan hebat. — jawab Tawau kepada tamunya. — Dan tidak sembarang orang berani menghadapinya. — — Hmm hebat juga binatang itu! — desis Mahesa Wulung. Perjalanan diteruskan kearah utara dan hutan pun bertambah lebat. Sekali-sekali mereka terpaksa melewati rawa-rawa kecil atau genangan air dan tak jarang beberapa orang setelah melewatinya jadi sibuk memunguti dan melepaskan lintah-lintah yang menempel pada kaki mereka. Binatang-binatang kecil pengisap darah ini terlepas sesudah diludahi dan dipelintir dengan jari. Sedang Mahesa Wulung dan anak buahnya yang kebetulan membawa daun sirih atau ranjangan tembakau dengan mudahnya mengusir bi- natang-binatang tadi dengan cucuran air sirih atau air tembakau.

Perhatian Pandan Arum tiba-tiba dipecahkan oleh jeritan kicauan yang serak dari atas pohon dan tercenganglah ia melihat burung burung ganjil bertengger di depan sebuah lubang pada batang kayu.

— Bapak Tawau, sungguh ganjil burung-burung ini! — ujar Pandan Arum seraya menunjuk ke atas.

— Ooo? nama burung itu adalah Enggang dan lihatlah paruhnya yang besar. Agaknya ia tengah memperlebar lubang pada pohon itu. —

— Uuuh, memperlebar lubang pada batang pohon itu? Apakah maksudnya bapak? — sela Daeng Matoa ikut bertanya pula. — Itu berarti bahwa ia tengah mencari tempat untuk bertelur. Sesudah lubang tadi cukup lebar, burung Enggang yang betina akan masuk ke dalam untuk bertelur, sementara burung jantan menembok lubang pohon tadi dari sebelah luar dengan lumpur serta tanah liat dan ia cuma menyisakan sebuah lu- bang kecil tempat si betina melongokkan kepalanya keluar.

— Wah, sungguh aneh kebiasaan burung Enggang itu bapak Tawau? — desis Pandan Arum.

— Heh, heh, heh, nona boleh keheranan oleh kesetiaan si jantan. Ia setiap hari dan setiap kali mencari makanan buat si Enggang betina. Sesudah telurnya menetas, si betina lalu memecah tembok lumpur tadi dan keluarlah ia dari dalam lubang. Mereka lalu mengurung dan membiarkan anak- anaknya tinggal didalam lobang tersebiut serta menembok kembali se- perti semula dengan lumpur. Kini Enggang betina dan jantan akan mencarikan makanan buat anak anak mereka serta bergantian menyuapinya. Dengan begitu mereka tak usah menguatirkan keselamatan anak-anaknya sampai kesemuanya besar dan sudah waktunya keluar dari lubang tersebut.

— Demikianlah si tua Tawau berceritera sambil berjalan bersama tamu-tamunya. Hal ini membuat senang mereka, lebih- lebih bagi Pandan Arum yang dasarnya haus akan pengetahuan. Di tengah hutan seliar ini ternyata banyak hal hal yang aneh, yang patut diketahui.

Apabila rombongan tadi semakin jauh ke utara menjelajah hutan liar ini, semakin terlihatlah banyaknya sulur-sulur tumbuh-tumbuhan dan rotan yang bergayutan, berjuntai kebawah bagaikan tangan-tangan hantu yang siap menerkam korbannya. Si tua Tawau segera berkata kepada para tamunya, — Saudara-saudara jangan terlalu banyak berjalan dengan menundukkan kepala kebawah, tetapi sering-seringlah melihat keatas. Sebab dengan begitu saudara-saudara akan dapat membedakan, apakah itu sulur tumbuh-tumbuhan ataukah tubuh seekor ular yang tengah menanti mangsa. — Dan tiba-tiba sebelum rombongan bergerak, Mahesa Wulung menggenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya dengan sebat melesat ke atas dibarengi pe- dangnya berputar selingkaran penuh.

Bulu tengkuk Pandan Arum seketika bergidik meremang mendengar peringatan situa Tawau, sehingga tak dapat disalahkan bila gadis pendekar inipun menggandeng lengan kekasihnya, Mahesa Wulung.

Belum lagi lama selesainya Tawau berkata tadi, mendadak orang tua ini meminjam sebuah sumpitan panjang dari tangan seorang anak buahnya dan lansung ditembakkannya kearah atas pepohonan disebelah muka.

— Cappp! — Anak sumpitan melesat dan disusul bunyi benturan menancap, kemudian sebatang sulur! sebesar lengan yang tidak lain seekor ular hitam kecoklatan melorot kebawah lalu terhempas ke tanah dengan kepalanya tertembus oleh anak sumpitan.

— Oooh! — jerit Pandan Arum tertahan.

— Tak apa-apa nona, tenang lah. Bahaya telah lewat ! — ujar situa Tawau dengan ramahnya. — Ular itu telah mati dan tak akan mengganggu perjalanan kita lagi. — Suasana sesaat menjadi senyap dan mereka segera bergegas-gegas untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Tetapi, benarkah bahaya telah lewat? Agaknya tidak demikianlah kenyataannya, sebab telinga Mahesa Wulung telah menangkap suara berisik serta desis perlahan dari atas dedaunan tepat diatas jalan yang tengah dilaluinya. Dan tiba-tiba sebelum rombongan bergerak, Mahesa Wulung mengenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya dengan sebat melesat ke atas dibarengi pedangnya berputar selingkaran penuh kearah dedaunan dan terdengarlah kemudian bunyi tebasan serta desis yang terputus, lalu terkulailah sebuah tubuh ular dengan kepala yang terpisah meluncur jatuh di tanah. Dalam saat yang sama Mahesa Wulung telah pula mendarat dan tiba di tanah seraya menyarungkan pedangnya.

Keruan saja si tua Tawau dan anak buahnya terlongoh2 keheranan melihat gerak Mahesa Wulung yang demikian cepat dan tangkasnya, sehingga orang tua ini tanpa segan-segan memuji sipendekar muda yang menjadi tamunya.

— Hebat! Tak kami kira bahwa tuan rnampu berbuat demikian. Maka tak heranlah bila Kapal Hantu itu telah berhasil anda hancurkan.—

— Aah, bapak Tawau berlebih lebihan memuji saya. Penghancuran Kapal Hantu itu tidak saya lakukan seorang diri, tetapi bersama saudara Daeng Matoa ini juga. — ujar Mahesa Wulung sambil menepuk bahu pendekar Bugis itu dengan tangannya, dan Daeng Matoa cuma tersenyum karenanya.

— Oooh! Kalau begitu lebih hebat lagi! Tak kukira bahwa tamu-tamuku terbilang pendekar2 tangguh, — seru Tawau tak habis kagumnya, — Nah, marilah kita lanjutkan lagi perjalanan kita. —

— Marilah bapak! — ujar Mahesa Wulung. Mereka meneruskan perjalanannya kembali kearah utara menyusuri sepanjang tepi sungai Sampit yang mengalir kearah selatan dengan derasnya.

Sungai ini makin lama makin menyempit dan berbelok-belok bagaikan ular yang tengah melata. Makin keutara, makin banyak terdapat riam- riam dan batu-batu yang bertebaran disungai.

Jauh disebelah barat laut Sana, terbayanglah kebiruan tanah pegunungan yang terlihat dari celah-celah pepohonan, menimbulkan rasa nglangut menerawang seakan-akan membuat hati rindu. Bagi si tua Tawau dan anak buahnya yang terbiasa hidup di hutan belantara Borneo ini, tak ada pengaruhnya sama sekali. Tetapi untuk Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Daeng Matoa serta para awak kapal Barong Makara sungguh besar pengaruhnya! Selain lelah, mereka setengah diliputi perasaan jemu. Mereka ingin menatap pemandangan yang lepas bebas, menyaksikan birunya langit dan sinarnya matahari yang terang benderang. Sedang kini, yang mereka lihat melulu pohon-pohon yang tinggi dengan daunnya yang melingkupi udara, seolah-olah hutan ini tak ada putusnya.

Dari berkas-berkas sinar matahari yang jatuh, dapatlah diketahui bahwa matahari telah condong ke sebelah barat, sebagai pertanda bahwa senja tengah menjelang.

*****

Sementara itu, dalam waktu yang hampir bersamaan dan jauh di sebelah tenggara teluk Sampit tampaklah seorang manusia yang sedang berenang dari tengah laut dengan tangan sebentar-sebentar menggapai-gapai tak teratur, menunjukkan bahwa orang tersebut telah kelelahan, kehabiran tenaga. Dengan susah payah akhirnya tibalah ia ditepi pantai dan seketika merebahkan tubuhnya di pasir.

Orang ini menatapkan matanya kearah hutan yang mulai menggelap dan suram. Tiba-tiba pandangannya menangkap dua sosok tubuh yang bergayutan lincah dan meloncat turun dari atas dahan pohon. Keduanya perlahan-lahan berjalan ditanah, sedang dibelakang mereka tiba-tiba bergayutan pula sosok-sosok tubuh yang meloncat turun ke tanah, tidak kurang dari sepuluh jumlahnya. Maka kedua belas sosok tubuh itu berjalan mendekati kearah tempat orang yang baru mendarat tadi.

Tentu saja tak terbayangkan betapa kaget dan takutnya orang itu yang kedatangan dua belas sosok tubuh berjalan dalam keremangan senja. Dua sosok tubuh yang berjalan paling depan sangat banyak bedanya. Yang satu bertubuh kurus tapi kekar, sedang yang satunya bertubuh pendek, besar dan kedua tangannya sangat panjang, sampai mencapai tanah.

Demikian pula yang kesepuluh sosok tubuh dibelakangnya, tak berbeda dengan sosok tubuh kedua. Mereka memiliki pula tangan-tangan yang pan- jang terseret ditanah.

Hampir saja orang tadi mengira bahwa kedua belas sosok tubuh tadi adalah hantu-hantu dedemit penghuni alas rimba teluk Sampit, namun sosok tubuh yang kurus tadi tiba2 menyapanya. — Haai! Bukankah anda bernama si Mata Siji dari Kapal Hantu?! — Orang yang disebut si Mata Siji, yakni orang yang baru saja mendarat tadi terhenyak keheranan sampai ia mengangkat kepalanya serta mempertajam penglihatannya. Pandangannya kini mulai jelas. Sosok tubuh yang kurus itu adalah manusia seperti dirinya juga. Bahkan dengan perlahan-lahan ia dapat mengenalsikurus ini.

— Bengara! — desis si Mata Siji atau yang dulu bernama Jaramala kepada si kurus. — Kemana saja bapak selama ini? —

— Hee, aku orang merdeka dan bebas kemana saja serta berbuat apapun! Anda tak perlu bertanya apa2 kepadaku! — bentak Bengara dengan mencibirkan bibirnya. — Tak seorangpun yang bakal menghalang-halangiku. Lihatlah kesebelas orang temanku ini. Mereka akan menjaga dan melindungiku dari setiap bahaya. —

Si Mata Siji terperanjat, begitu matanya menatap kesebelas teman Bengara yang berdiri dibelakang berjajar bagai pagar. Kehitaman, berbulu kehitaman. Mereka adalah sebelas ekor Orang Utan yang berdiri dengan garangnya!

— Jangan anda takut! Heh, heh, heh, selama anda tak mengusiknya dan anda tetap menghormatiku, anda akan selamat. Tapi jika anda melanggar kedua hal itu, jangan harap tubuhmu masih utuh. Mereka akan mencabik-cabik dan melahap tubuh anda dalam waktu singkat!—

— Hmm, bapak Bengara mengancamku?

— gumam si Mata Siji.

— Bukan mengancam, tapi sekadar peringatan saja. Aku tak ingin ada orang yang terlalu banyak mengetahui tentang diriku! —

— Baiklah — sahut si Mata Siji. — Tapi bapak akan menyesal bila mendengar perihal Ki Monyong Iblis!

— Heei, perihal Monyong Iblis? Apa yang terjadi dengan sahabat karibku itu?! — seru Bengara tak sabar. — Ayo, lekas katakan terus terang atau kamu ingin diganyang oleh pengawal-pengawalku ini! —

Si Mata Siji di dalam hati tersenyum geli melihat tingkah laku Bengara, pendekar liar yang berpakaian kulit beruang itu. Ia tahu bahwa antara Ki Monyong Iblis dengan Bengara terjalin persahabatan erat, sehingga keduanya saling membantu dan bekerja sama. Maka tak heranlah bila ia sangat tertarik akan perihal diri Monyong Iblis.

— Heh, baiklah kalau bapak ingin mengetahui nasib Ki Monyong Iblis. Ia telah meninggal dan Kapal Hantu telah meledak! — ujar Mata Siji tandas bernada geram. — Gila! Apa katamu tadi, ha? Ki Monyong Iblis telah mati? — teriak Bengara sambil meringkus leher baju si Mata Siji serta menggoncang-goncangnya

— Coba berkatalah yang jelas. Mungkin aku tadi salah dengar! —

— Aku telah berkata begitu dan bapak telah mengatakannya pula. Maka tak ada yang keliru lagi. Ki Monyong Iblis telah meninggal!! —

— Keparat! Siapa yang melakukannya? Siapa berani berbuat demikian terhadap sahabat karibku, ha!

— teriak Bengara dengan beringas.

— Ia telah meninggal oleh tangan Mahesa Wulung dan orang itu pula yang telah menghancurkan Kapal Hantu! —

— Heerh! — terdengar suara geram dari mulut Bengara disertai pancaran matanya berapi-api karena marah.

— Aku belum pernah mendengar nama Mahesa Wulung itu. Dimana sekarang orang itu? Aku ingin pula mengukur tenaga dengan dia. Kalau sahabatku, Ki Monyong Iblis setelah binasa ditangan Mahesa Wulung, pastilah ia termasuk pendekar jagoan, sebab untuk merobohkan orang seperti Ki Monyong Iblis itu diperlukan keberanian dan ilmu yang bertihgkat tinggi! -

— Tepat! — Memang tepat! Orang yang bernama Mahesa Wulung itu adalah pendekar jagoan dari Armada Demak dan kiranya hanyalah bapak yang bisa mengalahkannya! —

— Tapi mengapa engkau sendiri tak ikut melawannya — damprat Bengara kepada si Mata Siji.

— Bapak tak tahu bahwa pada saat itu tengah terjadi pertempuran hebat digeladak Kapal Hantu dan kami masing- masing mendapat lawan yang tangguh- tangguh! Nah, kalau bapak ingin mencari Mahesa Wulung, orang itu sekarang tengah berkunjung ke lembah Sampit dan menjadi tamu si tua Tawau. Begitulah mereka telah kuintai tanpa setahu siapapun —

Pendekar liar Bengara tampak mengangkat kedua alisnya dan berkata keras. — Uh, jadi orang itu pun telah bersahabat dengan Tawau?! Wah kita bertambah sulit jadinya. Terhadap si tua Tawau kita harus berhati-hati! —

— Sekarang kemana tujuan kita? — tanya si Mata Siji kepada Bengara, sedang kesebelas Orang Utan pengawal2 Bengara melenguh-lenguh seperti tak sabar.

— Ayo ikutlah aku si Mata Siji! Kita bisa Bantu-membantu! — ujar Bengara seraya memberi isyarat kepada sebelas pengawalnya untuk kembali ke tengah hutan, diikuti pula oleh si Mata Siji. Mereka berjalan ke arah utara dan sejurus kemudian lenyap, seperti ditelan oleh hutan belantara. Malampun mulai turun dan kegelapan merajai segalanya.

2

BEBERAPA gubuk liar yang sangat sederhana, terdiri dari cabang-cabang pohon dipancangkan diatas tanah dengan beratapkan daun-daun pepohonan.

Dua buah unggun api telah terpasang menyala dengan lidah apinya menjilat keudara, sedang disekelilingnya berkerumun beberapa orang. Hawa panas memancar dengan rasa nyaman pada malam yang gelap dan dingin, di tengah rimba Borneo.

Pada api unggun yang satu, tampaklah situa Tawau, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Daeng Matoa. Sedang disekeliling api unggun kedua yang agak lebih besar, beberapa orang duduk-duduk disitu. Mereka adalah anak buah Tawau dan para awak kapal Barong Makara. Rupanya dalam waktu yang singkat itu telah terjalin persahabatan yang erat diantara me- reka.

— Bapak Tawau, ternyata jauh juga tempat tinggal andika — ujar Mahesa Wulung — Kapan kita sampai disana? —

— Oh, janganlah tuan merasa cemas. Besok pagi atau paling lambat disaat matahari tepat di atas kepala, kita akan sampai disebuah lembah dan disitulah tempat tinggal kami — kata situa Tawau dengan ramahnya. — Dan lembah itu namanya ialah lembah Sampit. —

— Mmm, dapatkah saya mendapat gambaran tentang tempat tinggal bapak itu? —

— Kami tinggal didalam rumah rumah panjang yang berdiri diatas tonggak tonggak kayu dan untuk naik kerumah kita menggunakan tangga kayu. Mungkin tuan akan bertanya mengapa rumah-rumah kami berdiri diatas tonggak tonggak kayu. Yah, itu untuk menghindari gangguan binatang-bintang buas ataupun rasa dingin yang timbul bila hujan lebat turun dan ajrnya menggenangi tanah dan rerumputan dibawah. —

Tiba-tiba percakapan mereka dihentikan oleh teriakan Pandan Arum yang duduk di samping Mahesa Wulung mengejutkan semua orang.

— Oh, ada apa nona? — tanya Tawau setenyah heran.

— Mengapa Pandan Arum? ! — Mahesa Wulung bertanya pula.

— Itu! Itu, mata itu kakang, lihatlah! Mata hantu yang bersinar! Hiii!! — seru Pandan Arum dengan tangannya menunjuk-nunjuk kearah pohon di sebelah kanan atas. Baik Mahesa Wulung, Daeng Matoa maupun orang-orang awak kapal Barong Makara terperanjat pula ketika menatap kearah pohon yang ditunjuk oleh Pandan Arum.

Memang diantara dedaunan lebat terlihatlan dua bulatan menyala kuning kehijauan yang sebentar turun naik diantara cabang-cabang pohon, tak ubahnya mata hantu seperti yang dikatakan oleh Pandan Arum.

— Heh, heh, heh, tenanglah nona yang juga tuan2 semua saya harap tidak panik. Itu bukan mata hantu, tetapi mata seekor binatang yang bernama Kukang. — ujar situa Tawau. — Nah, lihatlah itu. Seorang anak buahku akan mengoborinya. —

Seorang anak buah Tawau mendekati pohon tadi kemudian menerangi dengan sebilah obor ditangannya dan apa yang dikatakan oleh situa Tawau ternyata benar.

Pada sebuah cabang pohon bergantunglah seekor binatang berbulu mirip kera tetapi tak berekor. Ia memegang cabang pohon itu dengan kedua kaki belakangnya, sedang kedua kaki muka mengusap usap mulutnya. Mungkin ia tengah makan sesuatu atau mungkin pula ia merasa silau terkena cahaya obor tersebut.

Dengan gerak yang tenang binatang Kukang ini berjalan lurus sepanjang cabang pohon yang melurus tumbuh keatas, dan kemudian bersrrnbunyi dibalik dedaunan.

Serentak terdengar orang-orang menghela napas lega. Malah ada diantaranya tertawa geli melihat Ku- kang itu bersembunyi seperti orang malu karena terkena cahaya obor tersebut.

Suasana menjadi tenang kembali, kecuali bunyi jengkerik dan belalang bersahut-sahutan bagai alunan irama senandung malam. Dari jauh terdengar sayup2 raungan binatang buas. Suaranya mengaung terpantul pada tebing2 pepohonan menggetarkan rongga2 dada.

Namun mereka tak perlu kuatir lagi sebab enam orang telah berjaga dengan cermatnya disekitar perkemahan darurat itu. Dari keenam orang penjaga tadi, yang dua orang adalah anak buah Mahesa Wulung, sedang yang empat orang lagi adalah anak buah situa Tawau. Karena itu yang lainnya tidak perlu ikut berjaga semalam suntuk. Mereka boleh mempercayakan keamanan rombongan ini kepada keenam penjaga itu.

Biarpun begitu, Mahesa Wulung tidaklah dapat sepenuhnya tertidur pulas, melainkan ia hanya "tidur- tidur ayam" saja, yang setiap saat dapat terbangun dan bersiaga bila ada hal2 yang tidak diinginkan. Lebih- lebih ia merasa ditempat asing yang belum dikenalnya, sehingga kewaspadaan adalah unsur penting yang harus diutamakan.

Begituiah malam terus berlalu dengan lambathya dan semakin larut, udara dingin terasa menusuk tulang- belulang sampai ketulang sumsum rasanya. Para penjaga selalu bergiliran dan setiap kali enam orang selalu berjaga sedang enam orang yang baru selesai, diganti segera merebahkan dirinya diatas dedaunan kering atau pun berselimutkan kain yang dibawanya. Mereka sebentar saja tertidur pulas.

Ketika tengah malam telah lewat, mendadak bunyi dering jengkerik terhenti dengan tiba-tiba membuat hati para penjaga seketika berdebar-debar dengan kerasnya.

Demikian pula Mahesa Wulung yang tajam tel-nganya itu, ia merasakan adanya sesuatu yang ganjil, yang membuat para jengkerik itu tiba-tiba membisukan diri. Maka cepat-cepatlah ia bangun dari pembaringannya serta mendapatkan para penjaga.

— Tuan! — desis seorang penjaga yang berdiri didekat Mahesa Wulung..— Kami merasakan sesuatu yang ganjil! Rasanya kita tengah dikepung oleh bencana! Oleh maut! —

— Tenanglah! Apa yang anda katakan tadi, juga tengah aku rasakan sekarang ini. — ujar Mahesa Wulung dan kemudian ia berseru kepada keenam orang penjaga itu. — Awas!! Kita telah terkepung! Musuh telah bercokol di sekitar kita. Perhatikan baik-baik pepohonan disekitar kita ini, dan siapkan senjata kalian. —

Keenam orang penjaga tersebut, lekas-lekas menghunus senjatanya masing-masing dan alangkah kagetnya mereka ketika pandangan mata mereka tercampak pada pepohonan yang tinggi disekitar mereka. Pada dahan-dahan pohon tadi, terlihatlah dua belas sosok tubuh yang bertengger dengan enaknya.

Keruan saja keenam pengawal tersebut mengalirkan keringat dingin yang menetes dari dahi dan pelipis mereka. Tambahan lagi sebentar kemudian kedua belas bayangan itupun mengeluarkan suara riuh, melenguh serta menjerit dengan suara menggetarkan udara sekeliling.

— Nguuuuk......

ngoaaak........kiaaaak.......

kuiiik......ngeek-ngeek......—

Beberapa orang yang tengah tidur telah terbangun oleh suara ribut-ribut itu. Tampak seperti situa Tawau, Daeng Matoa dan Pandan Arum dan beberapa orang lainnya.

— Apa yang terjadi tuan Mahesa Wulung? — tanya Tawau dengan gugupnya. — Kita telah dikepung oleh musuh, bapak! —

— Musuh?! Aneh sekali! Disekitar sini jarang manusia tinggal! — ujar Tawau keheranan. — Dan kalau ini ada orang yang berada disekitar tempat ini, pastilah mereka juga salah satu penduduk dari desa kami sendiri! —

Percakapan mereka terhenti oleh sebuah derai ketawa bergetar dari atas pepohonan itu.

— Hah, hah, hah, hah, hah, hah. Maaf para sobat sekalian! Aku terpaksa mengganggumu sebentar, karena aku tengah mencari manusia yang bernama Mahesa Wulung! —

Mahesa Wulung terperanjat oleh suara ini. Juga situa Tawau yang merasa sebagai tuan rumah bagi tamu- tamunya yakni Mahesa Wulung serombongan itu haruslah bertanggung jawab atas keselamatan mereka.

— Hei, tunjukkan mukamu lebih dulu! Siapa engkau, hah? — teriak Tawau dengan marahnya.

— Hah, ha, ha, ha, ha. Kalian sudah terkepung, para sobat! Dan ketahuilah bahwa aku cuma berurusan dengan orang yang bernama Mahesa Wulung dan biarkan aku membuat perhitungan dengan dia! — terdengar suara dari atas pohon.

— Apa maksudmu, setanl Keluarlah!

— situa Tawau berteriak pula dengan jengkelnya. Betapapun jadinya ia tak akan membiarkan tamunya diganggu.

— Tua keriput! Hah, ha, ha, ha. Aku tak berurusan dengan kalian! — terdengar pula teriakan dari atas pohon. — Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku cuma akan membuat perhitungan dengan Mahesa Wulung. Lain tidak! —

Situa Tawau jadi kian tersinggung oleh kata-kata dan suara tadi dan kembali ia berseru — Keparat! Sebelum berurusan dengan dia, akupun bersedia membuat perhitungan dengan kamu! —

— Bagus! Tawau yang telah tua lumutan ini ingin bergurau dengan diriku? Jadi kau berani menantangku? — terdengar ancaman lagi. — Awas jangan menyesal nanti! —

Sementara itu Mahesa Wulung yang berdiri disamping Tawau, segera menggait lengan orang tua ini seraya berbisik. — Bapak, mengapa andika bersikap begitu? Bukankah suara itu hanya mencariku saja? —

— Biarpun begitu. — jawab Tawau kepada Mahesa Wulung. — Aku ingin melayaninya pula dan tuan lihat sajalah nanti. Jika bapak terpaksa kalah barulah tuan boleh turun tangan!


Sebuah bayangan yang bergerak lincah tak ubahnya gerak seekor kera tahu-tahu telah meluncur dari balik dedaunan, kemudian bergayut-gayut pada sebatang dahan pohon, kemudian meluncur keatas tanah dalam gaya yang manis dan ringan tampaknya seperti selembar kapas jatuh kebawah tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Selanjutnya, begitu di tanah, bayangan tadi terus saja mengumbar suara, memperdengarkan ketawanya — Hah, ha, ha, ha. Nah, tua keriput! Kini kita telah berhadapan muka. Sekarang mari tunjukkan permainanmu dihadapan Bengara ini, dengan sepenuh tenagamu agar nanti tidak menyesal bila aku terpaksa meremukkan tubuhmu! —

— Bengara! — Bedebah! Jangan coba menakut nakutiku seperti dengan anak kecil saja! Dulupun aku telah mengalahkanmu karena perbuatanmu yang suka merusak ketentraman kampung, dan sekarang kau muncul kembali untuk mengganggu tamuku! —

— Bah. Itu dulu, waktu yang telah lampau. Tetapi kini lain sama sekali. Bengara yang sekarang berdiri disini, bukanlah Bengara yang ingusan dulu, yang mudah kau lemparkan seperti segumpal batu belaka! Bengara sekarang adalah pendekar liar pilih tanding! Ayo cabutlah mandaumu itu Tawau! Sesudah kau binasa, selanjutnya akan menyusul yang lainnya satu demi satu!

— Wajah Tawau seketika merah membara mendengar kesombongan sipendekar Bengara. Maka tanpa memperpanjang waktu lagi, ia melolos mandaunya dan secepat kilat menebas kearah dada Bengara. — Wesss! —

Sungguhpun cepat dan tiba-tiba, bahkan tebasan mandau tadi hanya merupakan seleret sinar putih kemilau, anehnya cuma menebas udara kosong, sebab keburu tubuh Bengara terlebih dulu telah melenting keudara berjumpalitan, lalu bergayut pada seutas sulur rotan sambil terkekeh- kekeh ketawa.

Agak kecewa bercampur heran situa Tawau bila tebasan mandaunya meleset begitu mudah. Cepat-cepat ia mengulang serangannya, secepat tubuh Bengara mendarat kembali diatas tanah.

— Hyaaat!! — Ujung mandau melibas kearah Bengara dengan kencang, tapi.....sreet! Bengara sekali lagi memperlihatkan kelincahannya. Ia merebahkan diri ketanah dengan punggungnya lebih dulu, dan ketika senjata mandau si tua Tawau terjulur diatas tubuhnya, kedua kaki Bengara beraksi dengan tendangan berganda keatas. — Taap! Plaaak! —

Sebuah jeritan kecil keluar dari mulut Tawau begitu kedua ujung kaki Bengara telah menghajar tangan kanannya, Seketika senjata mandau tadi terpental lepas dari tangan Tawau.

Rasa terkejut Tawau belum habis ketika tiba-tiba pendekar liar Bengara itu bangkit dan kedua tangannya menyambar bahu lawannya. Situa Tawau lebih terkejut lagi. Tak mengira bila kedua bahunya kena dicengkeram oleh tangan Bengara.

— Haaaait! Mampus kau tua keriput! — teriak Bengara sekaligus menghempaskan tubuh Tawau kearah sebatang pohon besi.

Meskipun pertempuran ini hanya diterangi oleh dua onggok api unggun serta obor-obor ditangan orang-orang yang berdiri disitu namun Mahesa Wu- lung dengan mudahnya mengikuti pertempuran tersebut, apa lagi ketika tubuh Tawau kena dilemparkan oleh Bengara, Mahesa Wulung cepat bertindak. Tubuhnya melesat mencegat tubuh Tawau yang meluncur bagai anak panah siap membentur sebatang kayu besi.

Dengan tangkapan serta sergapan tangan yang cepat, Mahesa Wulung menyambar tubuh Tawau yang. tengah meluncur tadi dengan arah memotong tenaga lontaran tersebut. Yang tampak kemudian adalah, dua tubuh yang meluncur diatas tanah dan kemudian keduanya mendarat di tanah. — Uuh! — desis Bengara kaget melihat lawannya lolos dari maut, terlebih pula melihat pemuda yang telah menyelamatkan Tawau, sehingga situa ini lolos dari maut.

— Heee, bocah ingusan! Mengapa kau selamatkan situa keriput itu?! — teriak Bengara kepada Mahesa Wulung.

— Itu urusanku! Kini akulah yang akan menghadapimu. Bersiaplah! — seru Mahesa Wulung sambil bersiaga.

— Bagus! Tapi sebut dulu namamu!


— Akulah Mahesa Wulung yang kau

cari! —

— Eeee, muncul juga kau, keparat. Kini giliranmu untuk mampus, sebagaimana kau menewaskan sahabatku si Monyong Iblis!! — terdengar Bengara berseru.

— Hah, jadi cecunguk itu adalah sahabatmu juga?! Sayang, dia telah binasa dan kiranya itulah jalan terbaik baginya, agar dosanya tidak bertambah banyak! —

— Hesss, ngoceh juga kau bocah ingusan. Terimalah ini. Haiiit! — Tubuh Bengara melesat dan menerjang kearah Mahesa Wulung dengan kedua tangannya siap menerkam. Semua menahan napas dalam saat-saat yang tegang ini. Tetapi ketegangan yang lain muncul, apabila Mahesa Wulung tidak menghindar ataupun menangkis serahgan Bengara, malah justeru sebaliknya iapun melesat kearah Bengara dengan kedua belah tangan tergenggam mengepalkan tinjunya.

Tak dapat dikira bagaimana kagetnya pendekar liar Bengara ketika anak muda yang menjadi lawannya ini malah memapaki serangannya. Inilah yang aneh dan membuat hatinya tergetar!

Untuk menarik serangannya, sudah tak mungkin lagi, sebab jarak sudah begitu dekat sedang keduanya meluncur dengan kecepatan kilat. Maka terjadilah benturan dahsyat.

Mahesa Wulung yang melambari pukulannya dengan dasar-dasar permulaan Ilmu Pukulan Angin Bisu seketika terguncang juga, tak berbeda dengan Bengara.

Keduanya tergetar surut dengan derasnya seperti ditolakkan oleh tenaga raksasa. Untunglah Mahesa Wulung masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, hingga tubuhnya cuma sempoyongan saja. Sedang Bengara yang tak mengira bila dirinya akan mendapat benturan sehebat itu, terpaksa jungkir balik diatas tanah dengan peringisan disertai umpatan2 dari mulutnya.

Untunglah ia punya ketangguhan juga, sehingga setelah empat kali jungkir balik, ia melesat berdiri se- perti sediakala. Sikapnya itu cuma sekejap saja, sebab iapun segera melesat menyerang kembali kearah Ma- hesa Wulung lebih garang. Namun sekali lagi Mahesa Wulung mengelak. Sekali ini, sipendekar muda melesat keatas dan tahu-tahu telah bertengger diatas sebuah dahan pohon. Bengarapun tak mau ketinggalan. Iapun melesat kearah Mahesa Wulung berada.

— Braak! — kaki Bengara membentur dahan kayu tempat Mahesa Wulung berdiri hingga dahan tersebut patah dan runtuh ketanah, sementara Mahesa Wulung secara lincah telah bergantung pada dahan diatasnya.

— Keparat! Jangan kira mundur sampai disini saja! — teriak Bengara seraya kedua tangannya bergantian berpegang pada dahan2 pohon dan sulur- suluran. Tubuhnya bergayutan meluncur keatas mengejar ketempat Mahesa Wulung berada.

Hanya saja pendekar muda yang telah banyak makan asam garam pertempuran tersebut telah bersiaga sepenuhnya. Begitu tubuh Bengara meluncur ke tempatnya, Mahesa Wulung segera melenting kebawah dengan tangannya bergayut pada sulur pohon lalu menyongsongnya. Kedua bayangan manusia ini berkelebat songsong- menyongsong dan sesaat kemudian terdengarlah satu jeritan nyaring dari mulut Bengara, apabila kedua ujung kaki Mahesa Wulung telah bersarang kedadanya. — Heeekkk! —

Bengara terbeliak matanya dibarengi rasa sesak pada dadanya. Maka sesaat ia oleng dan terpelanting kebawah. Semua penonton dibawali terpekik puas menyaksikan pendekar liar ini kena terhajar oleh Mahesa Wulung. Benarkah Bengara mati disini?

Ternyata mereka jadi kecewa, tapi juga kagum. Bengara ditengah udara memutar tubuhnya dan melenting kembali kearah lawannya dalam gerak yang tak terduga dan tahu-tahu ia telah menyergap bahu Mahesa Wulung.

Pandan Arum menjerit lirih melihat kekasihnya terkena ringkus lawannya dan apa yang dilihatnya kemudian sungguh mengejutkan hatinya. Seperti halnya Tawau semula, Mahesa Wulung dengan sebatnya dilemparkan kearah batang pohon oleh sipendekar liar Bengara. Dan untuk kesekian kalinya pula Mahesa Wulung mempertunjukkan ilmunya, sehingga ditengah lontarannya ia memutar tubuhnya berjumpalitan diudara. Dengan begitu ia mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

— Taaappp! — Kedua kaki Mahesa Wulung seolah2 melekat pada kulit batang pohon dan tubuhnya terpancang lurus disitu. — Kurangajar! — desis Bengara. — Cukup tangguh anak muda ini. Tapi belum tentu ia kuat menghadapi keroyokan para pengawalku ini. Pasti tubuhnya akan disobek-sobek oleh orang utan-orang utanku, sapi sayang sekali waktu tak mengijinkan lebih lama disini. Juga senjataku aku belum sempat menggunakannya! Baiknya aku cepat2 meninggalkan tempat ini! —

Bengara melesat kesamping sambil bersuit keras dan seketika tubuhnya lenyap dibalik dedaunan diikuti oleh kesebelas bayangan hitam yang tidak lain ialah orang utan-orang utan.

Secepat tiba dibalik dedaunan, sesosok bayangan manusia telah menunggu kedatangan sipendekar liar Bengara.

— Mata Siji! Ceriteramu memang benar. Sianak muda bernama Mahesa Wulung itu memang hebat. Sa-angnya waktu kita tak banyak lagi dan kita harus cepat2 meninggalkan tempat ini!

— ujar Bengara pada si Mata Siji — Fajar hampir tiba. —

— Baik pak! Marilah kita rencanakan siasat lain! — kata si Mata siji atau yang dahulu bernama Jerawala itu. Ketiga belas sosok tubuh itu sebentar saja lenyap kearah barat.

Kini daerah perkemahan sunyi kembali. Sekali terdengar bisik-bisik halus mempercakapkan pertempuran yang baru lewat itu. Situa Tawau dan orange orangnya tak habis habisnya mengagumi keperkasaan Mahesa Wulung yang menjadi tamunya dan mereka hampir tak percaya bila pendekar muda tadi dapat menandingi si pendekar liar Bengara.

Hanya saja pendekar muda yang telah banyak makan asam garam pertempuran tersebut telah bersiaga sepenuhnya. Begitu tubuh Bengara meluncur ke tempatnya, Mahesa Wulung segera melenting ke bawah..... —Luar Biasa! — Tamu kita itu dapat menandingi si liar Bengara. — terdengar suara berbisik dari mulut seorang anak buah Tawau kepada teman disebelahnya.

— Memang hebat. Dengan beraninya ia bertempur menghadapi Bengara seorang diri dan aku lalu ingat dengan seorang pendekar kita yang menjaga kampung pada saat ini.

— Hmmm, ya, ya. Bukankah yang kau maksud tadi adalah Seguntur? — suara lain terdengar menyambung. — Diapun perkasa dan berani. Tapi kau tahu bukan, kalau ia tak mampu menghadapi Bengara? —

Kokok ayam hutan sayup-sayup terdengar dari arah utara terbawa oleh angin subuh ketelinga orang2 disitu. Situa Tawau tampak mempersilakan para tamunya untuk beristirahat kembali sampai sang mata hari terbit dan bersinardi langit timur.

3

PELAHAN-LAHAN, sinar fajar merekah dilangit timur dengan diiringi kokok ayam hutan serta kicau-kicau burung yang mulai beramai-ramai bersahutan.

Perkemahan ditengah hutan itu telah dibongkar sedang rombongan manusia itu tampak bergegas meninggalkan tempat tersebut. Begitu rapatnya dedaunan pohon-pohon hingga sinar matahari cuma kuasa menembuskan berkas-berkas sinarnya saja.

Sekarang tampaklah pemandangan yang jelas. Di waktu tempat kemah ditumbuhi oleh pohon-pohon pakis dan pisang hutan yang berdaun hijau kemetahan berselang-seling dengan rumput ilalang. Bau anggrek hutan tersebar semerbak oleh hawa pagi menambah segarnya suasana.

Rombongan yang terdiri dari Tawau beserta anak buahnya dan Mahesa Wulung dengan para awak kapal Barong Makara, meneruskan perjalanannya ke arah utara.

Kembali mereka menerobos hutan belantara ini. Bagi Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng Matoa dan para awak kapal Barong Makara, perjaianan ini banyak menambah pengalaman mereka. Pengetahuan tentang tetumbuhan, binatang2 dan cara bagaimana seharusnya, menerobos hutan belantara dahsyat ini serta menguasainya.

Kebanyakan hutan2 yang pernah mereka jumpai tidak sedahsyat dipulau Borneo ini, sehingga mereka tak henti2nya mengagumi alam yang terhampar disini.

Terutama bagi Mahesa Wulung sendiri, pengalaman tadi malam sungguh merupakan pengalaman terdahsyat. Betapa tidak, bertempur melawan seorang pendekar yang bernama Bengara itu, sebenarnya suatu hal yang luar biasa, sebab ia melihat sendiri, bagaimana situa Tawau kena diringkus dan dilemparkan begitu mudah oleh Bengara.

Terhadap Bengara, Mahesa Wulung menaruh kekaguman yang kelewat banyak, lebih-lebih bila ia mengingat cara Bengara bergerak dan bertempur yang diselang-seling oleh loncatan dari satu dahan pohon ke dahan yang lain benar2 mirip gerakan seekor kera. Lincah, tangkas dan berbahaya!

Tetapi yang lebih heran lagi, Mahesa Wulung tak habis mengerti, bagaimana Bengara ini dapat mengetahui bila Monyong Iblis telah binasa dan bagaiaman ia tahu kalau Mahesa Wulung berada di tempat ini. Hal itulah yang membuat Mahesa Wulung selalu bertanya- tanya didalam hati, dan ia mulai menduga kalau ada seseorang yang memberi tahu kepada Bengara. Tetapi siapakah orang ini. Mahesa Wulung tak tahu.

Jika Bengara ini tahu dengan sendiri, itu tak mungkin, karena selama pertempuran digeladak Kapal Hantu ia tdk melihat adanya sipendekar liar Bengara tadi. Juga dari jagayuda yang bertempur dipantai melawan orang orang Kapal Hantu, ia tak menerima laporan adanya si liar Bengara. Dengan begitu dapatlah dipastikan bahwa disaat terjadinya pertempuran itu, Bengara tidak berada ditempat tersebut dan ia hanya bisa tahu kalau seorang telah berceritera kepadanya!

Dengan sambil berpikir-pikir begitu. Mahesa Wulung tak merasa bahwa perjalanan mereka telah cukup jauh. Mereka lalu tiba ditempat yang berhutan semakin jarang dan diutara membayanglah pegunungan biru berkilat tertimpa curahan sinar matahari. Mereka tidak lagi menjumpai aliran sungai Sampit yang deras, melainkan sebuah mata air yang meluap2 dengan jernihnya dan mengalir kearah selatan.

— Tuan Mahesa Wulung. Nah, lihatlah pada gerombolan pohon-pohon besi disebelah tebing itu — ujar situa Tawau — Disitulah kampung kami berada.


— Syukurlah kalau sudah tiba, bapak. Aku lihat orang orangku telah lelah semua. — Mahesa Wulung berkata lega.

— Tak apalah tuan. Kami punya obat-obat penghilang rasa lelah dan tunggulah nanti hidangan2 kami yang disiapkan untuk tuan-tuan sekalian. —

— Terima kasih bapak. — ujar Mahesa Wulung. — Maklumlah mereka kurang terbiasa berjalan sejauh ini dan lagi sebenarnya mereka masih lelah setelah bertempur menumpas anak buah Kapal Hantu dan Monyong Iblis.

Rombongan semakin dekat dengan arah kampung yang ditunjuk oleh situa Tawau. Para anak buah Mahesa Wulung juga merasa lega setelah mendengar hal itu dari orang-orang pengikut Tawau. Kini, kampung tadi semakin dekat dan tampaklah pemandangan disana dengan jelasnya.

Rumah-rumah panjang berpanggung, berdiri diatas tonggak-tonggak kayu, pohon-pohon besi yang memagarinya serta tebing batu seperti perisai kesemuanya semakin jelas terlihat. Dan juga kesibukan orang-orang yang bergerombol menyambut kedatangan rombongan ini juga terlihat pula.

Sekejap saja telah terdengar suara riuh dan gaduh ketika rombongan tersebut memasuki daerah perkampungan. Orang-orang mengerumuni rombongan yang baru masuk tadi, sehingga si Tawau berkali-kali menyuruh para penyambut tadi supaya minggir ketepi, untuk memberi jalan kepada rombongan yang berjalan menuju kesebuah rumah terbesar.

Akhirnya situa Tawau mengacungkan tangannya kesamping dan berhentilah rombongan tadi dihalaman rumah yang terbesar. Seorang pemuda perkasa yang berdiri disitu segera menghadap kedepan Tawau serta mengangguk hormat.

— Terimalah hormatku dan kami mengucapkan selamat datang kehadapan Tawau yang mulia — ujar pemuda tadi dengan hormatnya.

— Terima kasih Seguntur — balas situa Tawau dengan tersenyum. — Bagaimana keadaan kampung selama aku pergi kepantai selatan? —

— Seperti kehendakmu, O Tawau. Semuanya selamat, tak ada kesulitan apapun juga! — demikian kata sipemuda perkasa yang bernama Seguntur dengan nada mantap.

— Nah begitulah harapanku Seguntur. Tak keliru lagi jika aku memilihmu sebagai pendekar utama dari kampung ini.! —

Oleh pujian situa Tawau, Seguntur tersenyum lebar seraya mengangkat mukanya disertai dadanya yang setengah membusung bangga, sementara matanya melirik kearah gadis manis yang berdiri diantara gerombolan orang- orang.

Situa Tawau kemudian berpaling menghadap kearah orang2 kampung yang tengah riuh. Melihat kepala kampungnya menatap kearahnya, mereka seketika meredakan keriuhannya, hingga suasana sebentar saja telah hening.

— Saudara-saudara sekalian — berkata situa Tawau dengan suara haru. — Setelah aku berjalan kearah selatan dan tiba diteluk Sampit, kami dapat bertemu dengan pendekar-pendekar seberang yang telah menghancurkan Kapal Hantu dan sekarang ia telah berdiri dihadapan kalian. —

Situa Tawau berhenti sejenak, sedang orang-orang mulai berbisik- bisik untuk mempercakapkan para tamunya dan kemudian Tawau berkata kembali. — Sekarang aku perkenalkan kepada kalian! Nah, lihatlah yang berada disebelahku ini. Yang paling kanan adalah Mahesa Wulung, dan disampingnya adalah Daeng Matoa. Sedang yang berdiri paling kiri adalah Pandan Arum. Dibelakang mereka adalah enam orang perajurit mereka yang gagah berani. —

Orang-orang kampung riuh sejenak dan tiba2 seorang gadis yang berwajah manis dan ramah maju kedepan dan menghadap situa Tawau!

— Bapak Tawau, kami mengagumi keberanian mereka dan perkenankanlah saya mengalungkan kalung ini. —

— Silakan Sandai, Sudah sepantasnya bila kita memberi tanda keberanian kepada mereka. — berkata situa Tawau dengan wajah cerah dan tersenyum.

Gadis manis yang bernama Sandai ini pelahan-lahan dengan langkah gontai maju kedepan Mahesa Wulung dan kemudian mengalungkan sebuah kalung berhiaskan enam buah kuku beruang keleher Mahesa Wulung.

Semua wajah tampak ikut gembira kecuali pendekar Seguntur yang menatap tajam kearah sigadis yang tengah mengalungkan kalung tersebut kepada Mahesa Wulung.

Walaupun sekilas, mata Mahesa Wulung sempat pula melirik kearah pendekar Seguntur yang menampakkan wajah masam kearah gadis Sandai.

Oleh hal itu terpaksalah hati Mahesa Wulung tergetar seperti disentuh oleh bisikan. Bisikan yang mengatakan adanya bahaya yang bakal timbul karena peristiwa ini.

Sesudah kalung tersebut terpasang, Sandai masih belum beranjak pergi dari hadapan Mahesa Wulung, seolah-olah ia masih mengagumi wajah tampan Mahesa Wulung.

Dada Mahesa Wulung, semakin berdebar-debar. Ia berkali-kali menatap wajah gadis didepannya dan kemudian berpindah kewajah pendekar Seguntur. Benar-benar membingungkan hatinya. Yang satu menampakkan wajah tersenyum cerah sedang yang kedua memperlihatkan wajah masam dan cemberut.

Butir-butir keringat dingin mengalir dari dahi dan mengalir kewajah serta leher Mahesa Wulung yang masih membisu.

— Oohh, gerangan apakah lelakon yang bakal kami temui disini? — berpikir Mahesa Wulung.

Diam-diam ia mengutuk didalam hati,mengapa gadis ini tidak lekas- lekas berlalu dari hadapannya dan apabila Mahesa Wulung kembali menatap kewajah Seguntur, ia lebih terhenyak lagi. Sekarang, pandangan tajam bernada marah itu tidak saja dilontarkan Seguntur kepada Sandai, sigadis manis yang berdiri dihadapan Mahesa Wulung itu. Tetapi juga dilontarkan kepada Mahesa Wulung juga!


Karena hal itu, Mahesa Wulung segera dapat merasakan adanya bahaya yang mulai timbul. Pandangan tajam pendekar Seguntur yang tajam tadipun sangat mengejutkan hatinya, bahkan sekilas saja ia telah bisa menduga dan berkesimpulan bahwa Seguntur telah menaruh hati kepada Sandai. Inilah agaknya sebab utamanya.

Untunglah, disaat Mahesa Wulung tengah bergolak hatinya itu, sikepala kampung telah menyapa gadis itu.

— Sandai, kau   juga harus berkenalan dengan kedua pendekar lainnya. —

— Ahh, betul bapak. Ehhh........

— ujar Sandai tergagap-gagap seperti orang kebingungan yang terbangun dari mimpi. Namun gadis ini cepat-cepat menguasai perasaannya, dan segera ia memperkenal kan diri kepada Daeng Matoa dan Pandan Arum.

Kini   Mahesa   Wulung  dapat mengumbar nafas leganya. Peristiwa yang menegangkan dada tersebut telah lewat dan berlalu bagai angin bertiup. Sandai, sigadis manis dari kampung Lembah Sampit telah kembali dan berdiri bersama penduduk kampung lainnya,  sementara    situa  Tawau memanggil  pendekar  Seguntur untuk

diperkenalkan kepada para tamunya.

Seguntur maju kedepan dan mula- mula memperkenalkan diri pada Daeng Matoa dan Pandan Arum. Sesudah itu ia melangkah kesamping dengan langkah berat dan tibalah Seguntur dihadapan Mahesa Wulung. Keduanya berpandangan sesaat.

Tiba-tiba pendekar Seguntur tersenyum lebar kepada Mahesa Wulung dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Karena itu, Mahesa Wulungpun cepat-cepat menyambutnya diiringi oleh senyum dibibirnya.

Namun Mahesa Wulung terkejut dengan segera apabila senyum ramah pendekar Seguntur ini secara pelan pelan berubah. Kedua sudut bibirnya menurun dan melengkung kebawah, sehingga senyum tadi kini berubah sebagai senyum cemooh yang merendahkan. Bahkan tidak itu saja, juga sinar mata Seguntur menatap tajam kepada Mahesa Wulung, seperti sebuah mata pedang yang tengah menghujam.

Dada Mahesa Wulung berdebar kembali seperti semula dan terasa bahwa jari jemari Seguntur yang menggenggam tangannya bertambah erat dan rapat, seakan-akan sebuah kunci yang menjepit dengan keras. Senyuman Mahesa Wulung pun lenyap seketika dan kini malah Mahesa Wulung meringis, menahan rasa sakit yang terpancar dari jari-jari tangannya yang tengah diremas oleh jari jari pendekar Seguntur.

Hampir-hampir ia menjerit, kalau tidak mengingat berada dihadapan orang banyak. Betapa malunya nanti jika hal ini terjadi, sebab namanya dan juga nama teman2nya akan runtuh apabila ia menjerit hanya disebabkan tangannya digenggam oleh tangan Seguntur.

Maka sadarlah ia, bahwa pendekar perkasa dari Lembah Sampit ini tengah mencoba dirinya! Sungguh suatu pertunjukan yang berbahaya. Suatu permainan yang terjadi tanpa setahu siapapun!

Akan tetapi Mahesa Wulung tidak mau terlampau lama dipermainkan begitu oleh pendekar yang baru dikenalnya ini. Satu-satunya jalan, sebelum jari- jari tangannya remuk, ia harus pula melawan!

Karena itu Mahesa Wulung segera pula mengerahkan tenaganya. Perlahan- lahan segenap ilmu simpanannya tersalur kesegenap jari jari tangan kanannya dan apa yang terjadi kemudian cukuplah mengejutkan hati pendekar Seguntur.

Kalau bermula dialah yang meremas jari-jari Ma hesa Wulung, sekarang terjadilah sebaliknya. Sedikit demi sedikit terasa olehnya bahwa jari-jari tangan yang tengah digenggamnya itu semakin mengeras dan bertambah keras, sehingga jari-jari tangannya tak kuasa lagi meremasnya!

Giliran bagi Seguntur untuk mengucurkan keringat dinginnya demi jari jemari Mahesa Wulung kini ganti beraksi, mengunci dan meremas bagaikan terbikin dari baja. Rasa sakit yang hebat terjadi. Seguntur seketika terbeliak dan meringis dan sesaat kemudian iapun menjerit seru, setelah rasa sakit tadi menjalar sampai keujung kaki dan ujung kepala.

— Aaaaakhhh! — Seguntur menjerit.

— Lho, mengapa anda berteriak?! — ujar Mahesa Wulung seraya mengendorkan jepitan jari-jarinya, sehngga Seguntur terdiam kembali, Keduanya masih saling berjabatan. — A ,aah..."... tak apa-apa. Aku berteriak karena saking gembira dapat bertemu dan berkenalan dengan anda! — jawab pendekar Seguntur.

— Akupun merasa senang dapat berkenalan dengan anda. — ujar Mahesa Wulung pula. — Sungguh-sungguh anda seorang pendekar tangguh dari Lembah Sampit! —

Oleh perkataan tamunya tadi, pendekar Seguntur menggeram lirih, sebab dirasanya kata-kata tadi seperti sindiran yang halus. Bukankah dirinya telah kalah tenaga dalam mengadu kekuatan jari-jarinya melawan Mahesa Wulung?

Serasa ingin melayangkan tinjunya kemulut Mahesa Wulung, jika saja ia tak kuasa menahan nafsu amarahnya yang mendesak-desak didada. Tetapi Seguntur bukanlah anak kecil lagi. Dengan menarik napas panjang, Seguntur telah berhasil melenyapkan amarahnya, meskipun mungkin hanya untuk sementara waktu saja, sebab siapa tahu suatu ketika bakal meledak keluar!

Sesaat kemudian Mahesa Wulung melepaskan genggaman jari-jarinya, begitu juga dengan Seguntur. Pendekar Lembah Sampit ini cepat-cepat membalikkan diri serta melangkah kearah tempatnya semula, sedang kedua matanya masih juga melirik tajam kepada Mahesa Wulung, meskipun cuma sekejap saja.

Kemudian     pendekar Seguntur ini berpikir pikir tentang diri Mahesa Wulung yang baru saja berhasil mengalahkan remasan jari-jarinya. Hal ini rasanya seperti suatu peringatan bahwa ia harus lebih tekun berlatih memperdalam ilmunya.

Untunglah bahwa orang-orang ditempat itu tidak mengerti tentang "adu tenaga" secara diam-diam itu. Jika seandainya mereka tahu, pastilah Seguntur pasti mendapat malu seketika itu juga.

— Hmmm, memang aku akui kehebaian pendekar Mahesa Wulung itu! — berkata Seguntur dalam hatinya — Dan dia pula agaknya menaruh hati kepada Sandai, gadis manis yang selalu menjadi pujaan hati ku selama ini. Ah tapi benarkah hal itu? Mungkinkah seseorang jatuh cinta dalam waktu yang sekejap mata saja? Dan jika seandainya benar, berarti lenyaplah harapan hidupku yang selama ini telah kucurahkan kepada Sandai. Akan tetapi bisa juga dugaanku tersebut meleset, Mungkin yang terjadi adalah kebalikannya, bahwa Sandailah yang lebih dulu tertambat hatinya kepada pendekar Mahesa Wulung itu? Yah, inilah kemungkinan yang lebih kuat! Bukankah Sandai terpaku beberapa saat setelah ia mengalungkan kalung kuku beruang tadi kepada sipendekar? Persetan! Aku tak perduli alasan apaun yang bakal memisahkan harapanku kepadanya. Sandai harus menjadi milikku!

Tentang pendekar Mahesa Wulung itu, biarlah ia bertamu disini, selama situa Tawau menghendakinya. Aku tak akan mengusiknya, dan semoga tidak ada persoalan antara Sandai dan pendekar itu. Hmm, mudah-mudahan begitulah, agar aku tak sampai membuat perhitungan dengan dia! Sekali perhitungan terjadi berarti maut akan berpesta dilembah Sampit! —

Pendekar Seguntur segera meninggalkan tempat yang masih dikerumuni oleh orang-orang kampung karena pikirannya masih ruwet. Ia melangkah perlahan-lahan kearah barat menuju keatas. Beberapa kali ia dan menaiki tangga, menuju keatas. Beberapa kali ia memandang kebawah kearah orang orang kampung tadi bergerombol, lalu iapun masuk kedalam dan membaringkan diri ke lantai.

Dalam pada itu situa Tawau telah selesai memperkenalkan para tamu kepada orang orang kampung. Ia merasa gembira bahwa para penduduk ini menyambut baik mereka, sebagaimana tampak pada saat perkenalan tadi. Pertanyaan-pertanyaan serta saling memperkenalkan nama ataupun tawa senyum terlihat disana-sini.

— Tuan Mahesa wulung — kata situa Tawau — Sekarang saat berkenalan telah lewat. Marilah aku tunjukkan tempat dimana anda sekalian akan bermalam dan bertempat tinggal selama menjadi tamu kami dikampung Lembah Sampit ini.—

— Terima kasih bapak! — Mahesa Wulung berka ta seraya melangkah dan berjalan disamping situa Tawau diikuti oleh Pandan Arum, Daeng Matoa dan keenam anak buahnya.

— Saya harap andika menganggap tempai ini seperti tempat anda sendiri dan katakanlah kepada bapak jika ada kesulitan atau kebutuhan-kebutuhan yang andika perlukan. —

— Baik!, Bapak. — ujar Mahesa Wulung pula — Tempat ini sangat indah dan tenteram. Pasti teman-teman senang dan kerasan tinggal disini. —

— Syukurlah kalau begitu, tuan. — Situa Tawau berkata, sementara mereka telah tiba disebelah timur kampung itu dan berhenti didepan sebuah rumah bertangga. — Nah, inilah tempat andika sekalian untuk tidur dan berdiam dikampung ini. —

Kemudian situa Tawau naik keatas bersama para tamunya dan menunjukkan kepada mereka kamar-kamar serta segala seluk beluk dari rumah ini yang tentunya masih agak asing bagi mereka. Beberapa saat kemudian, sesudah situa Tawau menerangkan kepada mereka serta menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, iapun lalu turun kebawah meninggalkan para tetamunya untuk beristirahat setelah menempuh perjalanan yang sekian jauhnya itu.

Diluar, matahari siang sangat panasnya seakan-akan membakar kulit bumi dengan ujung2 sinarnya. Udarapun seperti ikut terbakar pula. Namun udara di Lembah Sampit tidaklah sepanas dengan udara ditepi pantai seperti diteluk Sampit disebelah selatan sana.

Udara dingin disini setelah mendapat sinar panas sang matahari berubah menjadi nyaman dan segar, terasa sampai kelubang-lubang kulit, Kampung di Lembah Sampit tampak tenang dan tenteram, lebih-lebih setelah hancurnya Kapal Hantu dan Monyong Iblis.

****

Mahesa Wulung dan anak buahnya telah beberapa hari tinggal dikampung Lembah Sampit sejak mereka tinggal disini sebagai tamu dari Situa Tawau, seringlah mereka bertukar pikiran dengan situa kepala kampung serta para penduduk, terutama yang tua-tua. Oleh Mahesa Wulung, diceriterakan tentang keadaan tanah Jawa serta segi penghidupan penduduknya. Pendekar muda ini berceritera kepada mereka cara- cara orang bertani, bersawah, menanam padi dan lain-lainnya. Juga tentang berlayar dan macam-macam perahu, Mahesa Wulung dapat berceritera lebih banyak lagi.

Demikian pula orang-orang tua kampung Lembah Sampit inipun bercerita tentang alam rimba Borneo, penduduknya, macam-macam bintang, tumbuh-tumbuhan dan cara menghadapi serta hidup didalam rimba raya ini. Semua itu didengar serta diingatnya betul-betul oleh Mahesa Wulung.

Begitulah, maka sejak saat itu Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng Matoa dan keenam anak buahnya tidak bergaul dengan orang-orang penduduk kampung Lembah Sampit. Kebanyakan mereka bersikap sangat hormat sehingga Mahesa Wulung dan orang-orangnya menjadi sangat canggung karenanya. Bagaimanapun juga, hal itu tak dapat disalahkan, karena mereka telah merasa berhutang budi. Bukankah mereka telah terlepas dari ancaman dan keganasan anak buah Kapal Hantu? Dan oleh karenanya mereka merasa sudah sepatutnya kalau berlaku hormat dan ramah terhadap Mahesa Wulung serta teman-temannya. Yah, semuanya bersikap ramah, kecuali seorang saja yang kadang- kadang memperlihatkan sikap acuh tak acuh ataupun tak bersahabat. Orang itu tidak lain adalah pendekar Seguntur, pendekar utama dari laskar kampung Lembah Sampit

Oleh karena sikap Seguntur yang demikian tadi, Mahesa Wulung menjadi lebih hati-hati lagi dalam menjaga sikap dirinya.

Pada suatu siang, ketika matahari bersinar dengan teriknya, Mahesa Wulung telah berjalan kearah utara kampung seorang diri menuju kesebuah mata air. Sampai disana, segera ia membasuh kepala, leher dan dadanya dengan air yang jernih dan sejuk, sehingga badannya terasa segar.

Sesudah itu, ia tidak lekas-lekas kembali melainkan duduk diatas sebuah batu besar ditepi mata air itu sambil menikmati pemandangan disebelah utara yang terdiri dari daerah pegunungan dan hutan-hutan kecil.

Bila saja matanya menatap pemandangan itu, Mahesa Wulung tiba- tiba teringat kepada gurunya, Panembahan Tanah Putih dari Asemarang. Bukit-bukit dan tebing-tebing yang berlekuk-lekuk mengingatkan akan pemandangan yang hampir sama ditanah pegunungan Tanah Putih. Karenanya, pikiran Mahesa Wulung lalu ikut menerawang, mengenang segala peristiwa yang telah lalu.

Sekonyong-konyong Mahesa Wulung terkejut oleh suara kecopak air yang keras dengan air bertampiasan kemana- mana. Keruan saja Mahesa Wulung kaget setengah mati. Terlebih lagi bahwa suara derai ketawa lirih telah terdengar pula dari arah belakangnya. Maka cepat-cepat ia menoleh kebelakang dan apa yang dilihatnya kemudian membuat hatinya tergetar.

— Sandai! Kau........? — desis Mahesa Wulung.

— Maaf, tuan. Aku telah mengejutkanmu. — ujar si gadis manis Sandai dengan senyumnya yang manja memikat — Aku lihat tadi tuan tengah melamun, lalu aku lemparkan batu keair ini.—

Sigadis Sandai berjalan dengan lemah gemulai seraya mengepit sebuah labu tempat air dipinggangnya. Ia menuju ketepi mata air dan berjongkok mengisi tempat airnya, sambil melemparkan lirikan matanya kepada Mahesa Wulung, — Tuan marah kepada Sandai? —

— Ah tidak. —ujar Mahesa Wulung singkat. Sandai lalu berdiri kembali setelah tempat airnya berisi penuh. Namun ia tidak lekas-lekas berlalu. Gadis manis ini mengenakan kain panjang sampai kedadanya berwarna biru, sedang selembar kain pita merah melilit pada dahinya, terikat sampai kebelakang ke palanya yang bersanggul. Kemudian ia manatap kearah Mahesa Wulung yang masih saja duduk diatas batu hitam tersebut.

— Engkau selalu mengambil air kemari? — bertanya Mahesa Wulung kepada Sandai.

— Benar tuan. — Sandai menjawab dan mengangguk pelan. — Memang orang- orang kampung biasa mengambil air kemari. — Eh, senangkah tuan tinggal dikampung Lembah Sampit ini? —

— Tentu, Sandai. Aku merasa senang tinggal di kampung ini, tetapi sayang aku tidak bisa terlalu lama berdiam disini. —

— Mengapa tuan? — Sandai bertanya, sementara iapun duduk di atas batu hitam tak jauh dari Mahesa Wulung berada. — Adakah sesuatu yang merisaukan hati? —

— Benar, Sandai. Kawan-kawanku lainnya masih berada dipantai teluk Sampit menunggu aku kembali dan jika kami terlalu lama tinggal disini pasti mereka akan menjadi gelisah karenanya.


— Oh, tapi tuan tidak bisa meninggalkan kami sebelum menghadiri pesta kampung Lembah Sampit ini. — — Pesta? Apakah yang akan dirayakan disini? — Mahesa Wulung bertanya kaget.

— Pesta kebebasan kampung kami dari ancaman dan gangguan orang-orang Kapal Hantu. Dan agaknya bapak tua Tawau akan mengangkat tuan sebagai pendekar utama, sehingga dikampung ini akan segera mempunyai dua orang pendekar utama, Yaitu tuan Mahesa Wulung dan pendekar Seguntur. —

Hati Mahesa Wulung berdetak keras mendengar penuturan Sandai bahwa dirinya akan diangkat sebagai pendekar utama Lembah Sampit. Bukankah ini dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi dirinya dan keselamatan anak buahnya? Ia masih jelas bagaimana sikap pendekar Seguntur kepadanya, disaat Sandai mengalungkan kalung kuku beruang sebagai lambang keberanian. Dan sekarang, apakah jadinya bila ia diangkat sebagai pendekar utama, sejajar dengan kedudukan pendekar Seguntur ini? Bukankah ini dapat menimbulkan sengketa dengan Seguntur sendiri?

Selagi Mahesa Wulung merisaukan pikirannya itu, mendadak Sandai tampak menengok kekiri kanan mengarahkan telinganya kearah sumber suatu gemerisik yang didengarnya dari arah barat. Dan selanjutnya tiba-tiba gadis manis itu meletakkan tempat airnya seraya bersiaga, seolah-olah ia melihat adanya musuh. Bersamaan dengan suara mendesing, Sandai meloncat, menubruk lalu memeluk tubuh Mahesa Wulung hingga keduanya rebah bersama- sama keatas tanah, disusul oleh bunyi benda menancap dengan nyaring

— Tass! —

Sesaat Mahesa Wulung terkejut dan ia kebingungan karena dipeluk sedemikian ketatnya oleh gadis manis ini, sampai ia dapat merasa detak jantung Sandai serta tubuhnya yang gemetar.

— Sandai, kau tak apa-apa? — bisik Mahesa Wulung.

— Tak apa apa tuan. Ah, hampir saja tuan dicelakai. Nah, lihatlah permukaan batu disamping kita itu. —

— Anak sumpitan! — desis Mahesa Wulung kaget ketika ia menatap kepermukaan batu yang ditunjuk oleh Sandai. Disitu tampaklah sebuah logam runcing seperti jarum dengan pangkalnya berumbai semacam serabut atau bulu berwarna merah.

— Ya, anak sumpitan yang beracun! Benda ini akan membunuh seseorang yang dikenainya dalam waktu yang tidak lebih dari setengah hari. — tutur Sandai dengan kata2 yang masih gemetar. - Kau telah menyelamatkan diriku, Sandai! —

— Tuanpun telah menyelamatkan kami dari orang-orang Kapal Hantu! — ujar Sandai.

— Sandai! — kata Mahesa Wulung seraya berdiri diikuti oleh Sandai yang telah menyelamatkannya dari bahaya. — Sekarang sebaiknya engkau pulang dan jangan ceriterakan kepada siapapun, tentang peristiwa sumpitan ini! —

— Baik tuan, dan anda akan kemana? — tanya Sandai.

— Aku akan mencari jejak sipenyumpit gelap tadi! —

— Hati-hatilah tuan! —

— Terima kasih Sandai! — berkata Mahesa Wulung seraya membalikkan diri dan meloncat dengan sebatnya kearah barat, sedang sigadis Sandai cepat- cepat berlalu menuju ke jalan pulang kekampung.

Mahesa Wulung terus berloncatan kearah barat dimana dijumpainya sebatang pohon tua dan cepat memeriksa sekitar tempat itu dengan seksama.

— Hmmm, jejak2 kaki manusia — gumam Mahesa Wulung — Agaknya dari sinilah sipenyumpit gelap tadi mengintai dan menembakku! —

Mahesa Wulung terus memeriksa lebih teliti dan dijumpainya jejak2 kaki tadi berbalik kearah utara. Maka diturutinya jejak tersebut dengan seksama, setapak demi setapak, dengan mudahnya. Apalagi bagi Mahesa Wulung yang telah berpengalaman, hal ini tidak menjadi kesukaran baginya. Namun setelah kurang lebih mencapai jarak seratus langkah lebih dari mata air tadi, Mahesa Wulung berhenti dengan tiba2.

— Heh, cerdik juga sipenyumpit gelap ini! Ia telah menghilangkan jejaknya diair dan berjalan disungai kecil ini kearah timur! Dengan begitu, berarti aku kehilangan jejaknya. Namun orang ini akan keliru jika menyangka Mahesa Wulung akan berputus asa karenanya — berpikir Mahesa Wulung seorang diri. — Tunggulah aku akan mengikuti aliran sungai ini ke timur!


Kembali Mahesa Wulung meneruskan penyelidikannya. Ia terus menyurusi aliran sungai kecil ini dengan sebentar2 berhenti untuk memeriksa. Dengan begitu, tanpa terasa Mahesa Wulung telah jauh dari kampung Lembah Sampit. Tetapi dasar ia seorang yang ulet, maka ia tidak merasa cemas akan kesasar. Yang dipikirkannya hanyalah sipenyumpit yang tahu dan hal inilah yang harus dicarinya. 4

ANAK SUNGAI itu semakin deras alirannya, dengan suara gemericik dan busa-busa gelembung disana sini. Hutanpun semakin bertambah rapat tampaknya.

Sampai sejauh itu jejak2 yang tengah dicari belum ditemui oleh Mahesa Wulung, menimbulkan keheranan bagi pendekar muda ini. — Belum juga ada petunjuk-petunjuk yang kuperoleh!

— gumam Mahesa Wulung. — Mungkinkah orang itu tetap berjalan diair hingga sejauh ini? Ah, sungguh hebat lawan gelapku ini! — Tapi, uh tunggu dulu, Benda apakah ini?! —

Mahesa Wulung cepat membungkuk dan memungut sebuah gelang akar bahar yang tergeletak ditepi sungai, tak jauh dari kakinya berdiri.

— Gelang akar ini telah retak dan terbuka keluar. Agaknya tersangkut pada sesuatu benda sehingga terlepas dari tangan atau kaki pemiliknya. — Mahesa Wulung berpikir dan kembali meneliti tempat itu. — Heh, tak ada apa-apa yang menarik perhatianku dh sini. Kalau begitu mengapa gelang ini tertinggal ditempat ini? Ahh, itu ada sulur dan dahan pohon yang menjulur tepat diatas sungai kecil ini. Hmm inilah yang boleh aku curigai. Namun aku harus lebih dulu mencoba perkiraanku ini terlebih dahulu! —

Karena itu Mahesa Wulung lalu mencebur kedalam air yang ternyata dalamnya cuma setengah betis saja. Perlahan-lahan ia melangkah kesebelah bawah dari sulur dan dahan-dahan pohon tadi, dan akhirnya berdirilah ia tepat dibawahnya!

— Nah, kini aku telah berdiri dibawahnya dan akan mulai! — Mahesa Wulung cepat bersiaga dan dengan sekali menggenjotkan kakinya kedasar sungai yang terdiri dari batu-batuan, maka melentinglah tubuhnya keatas berbareng tangannya menyambar sulur dan dahan2 pohon, lalu bergayutan dan berpindah dari pohon yang satu kepohon yang lain.

— Yah, agaknya dugaanku tidak meleset dan dengan cara inilah sipenyumpit gelap tadi melarikan diri!


Dengan hati lega Mahesa Wulung telah berhasil memecahkan rahasia jejak yang menghilang tadi. Tetapi kini timbullah pertanyaan baru. Siapakah sebenarnya orang itu?

Beberapa saat Mahesa Wulung masih meneruskan loncatan-loncatannya sampai kemudian terlihat olehnya dua bayangan berkelebat dari arah timur berloncatan dari dahan kedahan, dari cabang kecabang, membuat hatinya berdegupan. — Uuh, Bengarakah itu? — desah Mahesa Wulung seorang diri. — Aku lihat, mereka mempunyai kecakapan yang sama. Berjalan diatas pohon! —

Mahesa Wulung cepat berputar dan bersembunyi dibalik dedaunan sementara bayangan tersebut tiba-tiba berhenti berloncatan. Keduanya lalu bertengger, duduk berjuntai diatas dahan pohon besi.

Mata Mahesa Wulung hampir tak percaya melihat pemandangan yang berada didepannya, sebab yang duduk didahan tadi tidak lain adalah seorang manusia berpakaian kulit berbulu dan disampingnya duduk pula seekor Orang Utan yang besar.

Melihat itu semua, Mahesa Wulung hampir saja memastikan bahwa orang itu tidak lain adalah sipendekar liar Bengara. Tapi setelah ia meneliti lebih sek-sama lagi, ternyata bukan. Orang ini berwajah jauh lebih tua dan tampaknya tidak segarang Bengara yang dijumpainya dulu.

Yang membuat heran Mahesa Wulung, ialah pakaian orang ini. Sungguh mirip dengan pakaian sipendekar liar Bengara. Keduanya terbuat dari kulit berbulu coklat kehitaman dan mengkilat.

Pada tali ikat pinggang orang ini, terselip sebuah kapak batu hitam, berkilat dengan bertangkai kayu. Sebentar-sebentar kedua makhluk itu melayangkan pandangannya kearah Mahesa Wulung bersembunyi, sampai sipendekar muda dari Demak ini lebih berdetak keras hatinya. Maka ia mengatur napasnya agar teratur dan tidak mengalir dengan semaunya, sementara iapun berharap agar kedua makhluk tadi tidak mendengar nafasnya.

Ketika Mahesa Wulung menghela nafasnya, tiba2 orang tua tersebut berkata kepada Orang Utan yang duduk disampingnya. — Goro, biarkan saja orang yang duduk dibalik dedaunan itu. Kalau ia ternyata seorang baik, kita tak perlu mengganggunya. Namun jika ia berani mengganggu kita, pastilah kau kuperbolehkan untuk membunuhnya! —

Alangkah terkejutnya Mahesa Wulung mendengar kata2 orang itu. Dirasanya kata2 tadi ditujukan kepada dirinya, hingga Mahesa Wulung sadar bahwa orang tersebut mengetahui kalau dirinya bersembunyi dibalik dedaunan.

Inilah yang mengagumkan bagi Mahesa Wulung tentang orang tadi. Setidak-tidaknya ia berilmu tinggi pula, karena dapat membedakan suara.

— Hee, tukang sembunyi! Ayo muncullah di hadapanku dan terangkan, mengapa sampai kesasar ke daerahku ini, ha? — terdengar orang berbaju kulit itu berseru dengan lantang seraya menghadap kearah Mahesa Wulung bersembunyi.

Mendengar seruan itu, Mahesa Wulung lekas-lekas keluar dari tempat persembunyiannya. Toh orang berbaju kulit itu telah mengetahuinya pula.

— Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus! Ternyata kau masih muda juga. Nah sekarang apa maksudmu menginjak hutan ini? —

— Aku tengah mencari seseorang yang telah memenyumpitku dengan cara yang pengecut! Kalau boleh, akupun ingin bertanya kepada bapak, adalah seseorang yang lewat disini sebelum aku tiba ditempat ini? —

— Hee, anak muda! Kau belum lengkap menjawab pertanyaanku, malah sekarang engkau ganti bertanya kepadaku pula! Kau jangan membuatku gusar, ha! — ujar sibaju berbulu dengan nada tinggi dan wajah yang marah. — Kau belum sebutkan namamu! —

— Aku Mahesa Wulung! Aku orang asing ditanah ini, sehingga tak mengetahui bahwa tempat ini adalah daerahmu — berkata Mahesa wulung.

— Dimana engkau tinggal? —

— Aku menjadi tamu situa Tawau dari kampung Lembah Sampit ini. —

— Hemm, engkau sahabat situa Tawau? dan juga tamunya? Kalau begitu, pastilah engkau termasuk orang yang penting? — ujar siorang, tua berbaju kulit.

— Aku tak merasa begitu, bapak. Aku bukan orang penting, tetapi orang biasa saja, seperti halnya bapak sendiri — kata Mahesa Wulung — Dan sekarang akupun ingin bertanya kepada bapak! —

— Kau pandai bersilat lidah, anak muda. Tapi tak apalah! — sibaju kulit berbulu berkata geram. — Bertanyalah sepuas hatimu! —

— Sebelum aku tiba dikampung Lembah Sampit, ditengah perjalanan, kami telah dicegat oleh seorang pendekar liar yang berteman dengan orang orang Utan dan ia menyebutkan namanya, yakni Bengara! Sedang sekarang aku telah pula berjumpa dengan seorang manusia yang berteman seekor Orang Utan, Nah, apakah bapak juga termasuk sahabat dengan Bengara tadi? —

— Kurangajar! Setan! — terdengar orang tua berbaju kulit itu mendamprat dan mengutuk uring-uringan disertai tangannya menunjuk-nunjuk kearah Mahesa Wulung. Demikian pula Orang Utan yang bernama Goro itu turut menyeringai hingga terlihat barisan giginya yang tajam mengerikan. Agaknya binatang inipun mengetahui kemarahan tuannya. — Kau lancang, anak muda! Kau berani menyamakan diriku dengan silaknat Bengara itu, hee?! Memang du- lu ia sahabatku dan semua ilmu serta kepandaiannya adalah berkat ajaran si Bontang ini! — berkata sibaju kulit itu seraya menunjukkan jari telunjuknya — Tetapi sayang ia telah berkhianat, dengan menggunakan semua ilmu dan kepandaiannya guna maksud- maksud jahat! —

— Maafkan bapak. Kalau begitu aku telah keliru sangka.

— Hee, tak semudah itu kau menyesali sikapmu, anak muda! — seru Bontang dengan marah. — Terlebih dulu aku harus memberimu sedikit pelajaran! Goro, berilah anak muda itu kegembiraan. Ajaklah ia bermain-main untuk melemaskan urat-uratnya! —

Orang Utan yang dinamai Goro tadi, mengangguk-angguk dan kemudian melesat menerkam kearah Mahesa Wulung berada, disertai jerit yang memekakkan telinga.

Serangan yang mendadak dan mengejutkan itu sungguh diluar dugaan bagi Mahesa Wulung yang tak bersiaga sama sekali. Maka sesaat ia seperti terpesona. Untunglah, teriakan kedua dari mulut Goro seperti menggugah kesadarannya. Maka sebelum kedua ta- ngan berjari-jari kokoh dan panjang dari binatang itu sernpat menerkam tubuhnya, Mahesa Wulung telah mengelak kekiri seraya bergantung pada sebuah dahan.

Sebuah teriakan kecil pertanda kagum terloncat dari bibir Bontang, siorangtua berbaju kulit tadi, ketika ia mtelihat betapa Mahesa Wulung sempat menghindar kekiri dan bergantung pada dahan pohon dalam gaya yang sangat manis. Setelah itu pendekar muda tadi memutar tubuhnya keatas dan dengan sigap ia telah berdiri diatas dahan tadi.

— Setan! Sungguh tangkas anak muda itu. Pantas kalau ia menjadi tamu situa Tawau! — gumam Bontang tak habis-habisnya. Selama ini belum pernah si Goro gagal dalam serangannya.

Begitu serangannya gagal, Orang Ulan itu dengan lincahnya menjangkaukan kedua tangannya kesebuah dahan dan tubuhnya berputar keatas lalu berbalik dan telah bersiaga untuk mengulangi serangannya. Namun Mahesa Wulung bukan anak-anak lagi yang tengah berlatih silat. Itulah sebabnya ketika Goro menerjang kembali. Mahesa Wulung cepat melentingkan tubuhnya keatas sehingga orang Utan itu cuma menerjang angin kosong.

Binatang ini menggeram marah, tetapi Mahesa Wulung tak mau memberi kesempatan lagi kepada Goro. Maka disaat tubuhnya melesat turun, kedua kakinya menerjang kearah kepala Goro.

— Grrrr. — binatang ini menggeram kaget dan cepat-cepat ia mengendapkan tubuhnya dan akibatnya, tendangan Mahesa Wulung jadi meleset.

Oleh gerak binatang ini. Mahesa Wulung diam-diam merasa kagum. Goro, siorang utan dari rimba Borneo ini seolah-olah mempunyai kepandaian seperti seorang manusia biasa.

Meskipun begitu, Mahesa Wulung tidak sudi memberi hati kepada binatang itu. Dan sebelum Goro sempat memperbaiki kedudukannya, Mahesa Wulung telah melesat kembali dan menerjang Orang Utan tersebut dengan kecepatan bagai kilat yang menyambar.

Bontang melihat bahaya yang mengancam sahabatnya tapi sayang ia tak dapat berbuat apa-apa. Lebih-lebih gerakan Mahesa Wulung sangat cepatnya dan tidak mungkin lagi ia memberi peringatan kepada Goro.

Dalam saat yang tegang itu, lawan Mahesa Wulung masih juga sempat menangkiskan tangannya yang berjari- jari panjang, hingga terjadilah benturan keras. — Praaak! —

Sebuah jeritan keras melengking dari mulut binatang itu disusul tubuhnya terhempas kebawah begitupun Mahesa Wulung tergetar tubuhnya, sedang kepalanya berkunang-kunang sangat pusing. Untungnya ia sempat menyambarkan tangannya kesebuah dahan pohon hingga sesaat ia memeluk dahan tersebut, sampai pusingnya mereda.

Dibawah, si Orang Utan tergeletak ditanah setelah ia terhempas dengan kerasnya. Tak berapa lama kemudian, Goro bangkit dan berdiri kembali. Kedua matanya menjadi kemerahan, satu tanda kalau binatang ini telah benar- benar marah. Sebuah teriakan parau disertai kedua tangannya berserabutan keatas, seolah ia tengah menantang Mahesa Wulung untuk turun kebawah serta bertempur kembali dengannya.

Sekali lagi Mahesa Wulung molompat kebawah, melesat turun untuk memenuhi tantangan si Orang Utan Goro. Sebentar pula ia telah tiba ditanah saling berhadapan.

Dalam pada itu, situa Bontang yang masih berada diatas pohon mengikuti pertempuran tadi dengan hati yang cemas. Ia melihat kemungkinan bahwa pendekar muda itu akan lebih unggul dari pada si Goro.

Lagi pula ia melihat dengan jelas betapa pemuda itu dapat bergerak sangat lincah, selincah binatang si Orang Utan yang menjadi lawannya. Seolah-olah iapun pernah mendapat didikan secara rimba.

Karena rasa cemasnya yang mulai timbul itu, Bontang cepat-cepat melolos senjata kapaknya dari ikat pinggang dan kemudian dilemparkan kebawah kearah Goro, setelah lebih dulu ia berteriak nyaring kepada binatang itu — Goro pakailah kapak hitamku ini! —

Mahesa Wulung terkejut dengan teriakan dari atas pohon itu. Tetapi lebih terkejut lagi bila ia melihat gerakan yang lincah dan cepat dari Orang Utan ini, yang dengan sebat menangkap kapak tersebut.

Begitu memegang senjata kapak tersebut ditangannya, Goro tampak menyeringai meringis dan sorot matanya lebih bersinar garang. Senjata tadi ditimang-timang dan diputarnya, seperti membayangkan bahwa hatinya lebih mantap sesudah ia bersenjata.

Kapak itu diputarnya semakin santer sampai menerbitkan suara berdesing, sedang dari atas pohon terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dari mulut situa Bontang. Itu semua membuat hati Mahesa Wulung berdetak semakin keras.

Tiba-tiba senjata ditangan binatang itu menyambar kearah kepala Mahesa Wulung, menyebabkan pendekar muda ini mengelak kesamping dengan cekakaran.

Kali ini Mahesa Wulung terpaksa menanggung malu, sebab sambaran kapak tadi hanyalah gerak tipuan belaka dari Goro, yang secara tiba-tiba pula menarik serangan kapaknya kembali ditengah sambarannya itu.

Sekali lagi terdengar derai ketawa dari atas pohon dan teriakan dari Bontang — Bagus, Goro! Bagus! Berilah ajaran lebih banyak kepada orang muda itu!! —

Sebuah teriak lengkingan terdengar dan Goro tahu-tahu telah menebaskan kapaknya kearah Mahesa Wulung, dan sekali ini betul-betul serangan yang berbahaya.

Mahesa Wulung yang sejak semula telah berwaspada dan bersiaga, secepat kilat melenting keudara tepat disaat kapak hitam itu menghancur sebuah batu besar didekat Mahesa Wulung berdiri semula.

Hal ini membuat Bontang melongo keheranan, demikian pula dengan Orang Utan ini yang menyeringaikan mulutnya, sangat kecewa Binatang ini tambah beringas lagi dan segera mengulang serangan-serangannya lebih rapat, sehingga partempuran itupun segera menjadi lebih sengit.

Binatang ini ternyata memiliki kukuatan tenaga yang luar biasa. Gerakannya kian garang dan setiap sambaran kapaknya menimbulkan getaran yang mengerikan. Bunyi berdesing dari angin sambaran kapak ditangan Goro seakan-akan sebuah irama beralun yang melagukan kematian dan maut.

Senjata diujung tangan Goro setiap kali menyambar dan menebas mengeluarkan angin maut, susul- menyusul tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk balas menyerang. Sampai disini terlihatlah kalau pertempuran makin berjalan seru, dan Mahesa Wulung semakin mandi keringat!

Ia tak menyangka sama sekali bila binatang yang menjadi lawannya mampu bertempur sehebat manusia. Baru kali inilah ia menjumpai lawan yang aneh.

Karena itu Mahesa Wulung berusaha mengerahkan segala kemampuan dan ilmunya guna menghadapi lawan anehnya itu. Sekali-sekali ia membalas menyerang Orang Utan itu, dan sedikit demi sedikit ia berhasil mengatasi kerepotannya. Ia tak memperdulikan lagi bagaimana dahsyatnya kapak hitam ditangan Goro merombak, menumbangkan semak-semak dan dahan pohon disekitar mereka.

Bontang yang masih berada diatas pohon melihat pertempuran itu dengan detak jantung yang kencang, seperti kencangnya angin sore yang mulai menjelang. Matahari telah condong kesebelah barat, tetapi sinarnya masih benderang dan panas dilangit yang biru tak berawan. Ketika pada suatu saat Goro menebaskan kapak hitamnya, Mahesa Wulung untuk kesekian kalinya mengelak kekanan. Sayangnya, disaat itu pula tangan kiri Goro menyambar leher Mahesa Wulung sampai pendekar muda ini terhenyak kaget. Ia tak sempat mengelak dan segera jari-jari yang mencekik lehernya itu terasa makin mengunci.

Betapapun ia berusaha melepaskan tangan ganas si Goro yang mencekiknya, ia tak berhasil sedikitpun, bahkan bahaya lain segera akan tiba. Dilihatnya tangan kanan Goro yang memenang kapak telah siap meluncur kebawah, kearah kepalanya.

Melihat keadaan yang kritis ini, Bontang segera berteriak keras-keras.

— Goro! Berhenti! — Baginya, ia tak ingin adanya pembunuhan. Ia cuma bermaksud mencoba dan memberi peringatan kepada pendekar muda ini.

Akan tetapi agaknya si Goro telah gusar dan kehilangan pengamatannya. Maklumlah ia tetap seekor binatang walaupun telah bergaul dan dididik oleh manusia seperti situa Bontang itu. Ia tak memperdulikan kata-kata Bontang sama sekali dan tetap menghantamkan kapaknya itu kearah kepala lawannya.

Mahesa Wulung merasa semakin sesak nafasnya, tambahan lagi sebentar kemudian agaknya akan pecahlah kepalanya terhajar oleh kapal hitam si Goro. Dalam saat yang benar2 tegang tadi. Mahesa Wulung secepat kilat menotokkan ujung jari jari tangan kanannya kesisi leher Goro, sehingga binatang ini menjerit seketika sambil melepaskan jari-jari tangannya dari leher Mahesa Wulung. Begitu pula kapak hitam tersebut tiba-tiba telah jatuh terlepas dari tangannya. Seluruh kekuatannya seperti hilang lenyap dan tak bertenaga sama sekali.

Orang Utan itu sejurus kemudian rebah ketanah seperti setumpuk daging tak bertulang. Itu semua adalah akibat totokan jalan darah dari Mahesa Wulung yang sangat hebat.

Bersamaan itu pula Mahesa Wulung jatuh terduduk diatas tanah dengan lemasnya. Lehernya masih terasa sakit dan sesak.

Situa Bontang sebentar itu pula telah meluncur turun ketanah lalu mendekati tubuh Mahesa Wulung yang tergeletak disamping Goro. Orang Utan ini tampak menggeleng-gelengkan kepalanya dibarengi sorot mata yang mengharap belas kasihan dari situa Bontang.

— Nah, Goro. Aku tadi sudah melarangmu supaya berhenti, tetapi kau telah nekad dan inilah akibat nya! Sekarang aku tak dapat menolongmu, Goro. Yang tahu cara2 menolong kelumpuhanmu ini adalah pendekar muda itu sendiri. Bersabarlah dulu, Goro. Aku harus menolong pendekar itu lebih dahulu. — ujar situa Bontang serta mendekati tubuh Mahesa Wulung yang masih terduduk ditanah. — Maaf anak muda. Sahabatku tadi terlalu kasar kepadamu! — Situa Bontang berkata kemudian duduk didepan Mahesa Wulung.

— Tak apa, bapak. Justru aku merasa gembira dapat bermain-main dengan Orang Utan itu. Aku telah mendapat pengalaman-pengalaman yang berguna dalam menambah ilmu silatku. —

— Syukurlah anak muda. Sejak semula aku telah mengagumi gerak ilmu silatmu dan akupun ingin bersahabat denganmu. — kata Bontang. — Sekarang ijinkanlah aku menolongmu, anak muda.


— Terima kasih bapak. — sahut Mahesa Wulung dan ia membiarkan kedua tangan orang tua itu mengurut-urut pundak dan lehernya dengan hati-hati.

Dalam pada itu, sambil merasakan pijitan dan usapan tangan situa Bontang, Mahesa Wulung melemparkan pandangan matanya kearah Goro, Si Orang Utan yang tergeletak ditanah tanpa daya.

Rupanya binatang inipun tengah mengawasi Mahesa Wulung sehingga kedua pandangan mata mereka bertemu seketika. Dan disini Mahesa Wulung melihat pandangan mata Goro yang lembut, seakan akan ia menyatakan penyesalannya. Bahkan segera tampak oleh Mahesa Wulung kalau binatang itu mencoba tersenyum kepadanya.

Perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit tubuh Mahesa Wulung terasa segar kembali dan rasa sesak serta sakit pada lehernya berangsur-angsur hilang, sehingga sebentar kemudian ia dapat bernapas dengan lega.

— Nah, aku lihat engkau telah sembuh kembali, Mahesa Wulung. Kini aku minta agar si Goro engkau bebaskan dari totokan jarimu. — ujar situa Bontang.

— Tentu, pak. Jangan kuatir. Aku akan menolong sahabatmu ini! — terdengar Mahesa Wulung berkata dan mendekati binatang itu. Kemudian ia meraba leher si Goro dan dengan tiba- tiba menotokkan ujung jari-jarinya keleher Goro tepat ditempat semula ia menotoknya.

Suatu jeritan terlontar dari mulut Orang Utan ml dan kemudian binatang itu sudah dapat menggerak gerakkan kedua tangannya dan kaki. Sebentar kemu dian Goro tersenyum dengan sorot mata berterima kasih kepada Mahesa Wulung seraya menepuk- nepukkan kedua tangannya kepundak pendekar muda ini. Mahesa Wulung tersenyum melihat kelucuan Goro, demi kian pula dengan situa Bontang. Orang Utan ini setelah merasa dirinya sembuh kembali, lalu berjingkrakan dengan gembira dan kesannya bahwa ia seekor binatang yang pandai bertempur dan bersilat seperti manusia telah lenyap.

— Ah, anda telah membuatnya gembira, Mahesa Wulung — berkata situa Bontang seraya memungut kapak hitamnya yang masih tergeletak ditanah, dan menyelipkan sekali keikat pinggangnya.

— Aku sangat berterima kasih karenanya. Maka aku harap sudilah anak muda singgah kegubukku lebih dulu. —

— Baiklah, bapak. Dan kebetulan senja telah tiba — ujar Mahesa Wulung.

— Jika pulang kekampung Lembah Sampit sekarang juga, mungkin aku akan tersesat. —

— Itu betul, anak muda. — sahut Bontang. — Berjalan malam seorang diri ditengah rimba Borneo ini sangatlah berbahaya. Kalau tidak tersesat, maut pun yang akan mengancamnya. —

— Kearah mana kita pergi bapak? — tanya Mahesa Wulung.

— Ikutlah kami, anak muda. Kita pergi kearah timur dan sebaiknya berjalan diatas pohon saja agar lebih cepat! —

Sejurus kemudian, Bontang bersama Mahesa Wulung dan si Goro telah berloncatan keatas pohon. Mereka bergayut dan bergantung pada sulur dan dahan2 pohon, melesat dari tempat satu ketempat lain, dan dari pohon yang satu kepohon berikutnya.

Yang kelihatan kemudian adalah merupakan tiga bayangan hitam yang berloncatan diantara dahan pohon pohon dengan gesitnya menuju kearah timur. Sisa sinar matahari senja masih temarang dilangit barat yang telah disepuh oleh warna merah kekuningan. Kelelawar-kelelawar dan kunang-kunang mulai keluar dari sarangnya beterbangan dengan riangnya.

Ketiga sosok bayangan tadi terus berloncatan kearah timur dan sebentar kemudian mereka telah lenyap dibalik pepohonan dan kegeiapan udara senja.

Bagi Mahesa Wulung sendiri, perjalanan ini dirasanya seperti sebuah impian saja. Berloncatan dari pohon kepohon bersama dua makhluk yang baru saja dikenalnya dan masih sangat asing baginya. Biarpun begitu ia tak menaruh kecurigaan kepada mereka ber- dua, sebab ia yakin bahwa keduanya bukanlah termasuk golongan sipendekar liar Bengara. Bahkan menurut situa Bontang, mereka justeru bermusuhan karena perbedaan sikap dan tujuan.

Kini mereka telah semakin jauh dari sungai kecil, tempat mereka bertemu semula. Ternyata hutan di sebelah timur ini tak kalah lebatnya dengan hutan- hutan yang pernah dilalui oleh Mahesa Wulung selama tinggal dirimba pulau Borneo ini.

Tak antara lama situa Bontang memberi isyarat Mahesa Wulung serta berkata dengan senangnya. —Nah, anak muda. Lihatlah dengan pohon besar didepan kita itu. Kau lihat sebuah rumah gubuk berdiri di antara celah celah dahan pohon itu? —

— Benar, bapak. Dan aku kagum karenanya — sahut Mahesa Wulung kepada situa Bontang.

— Ha, ha, ha, ha. Terima kasih, anak muda. Terimakasih. Baru kali inilah aku mendengar sebuah pujian atas gubuk buatanku! — seru Bontang dengan hati yang bangga.

Mereka bertiga telah semakin dekat dengan gubuk itu dan sesaat kemudian tibalah mereka didepannya. Ketiganya segera mengakhiri loncatan- loncatannya dan berhenti pada dahan dahan pohon didekat rumah gubuk itu.

Mahesa Wulung segera dapat melihat keadaan rumah gubuk itu. Dinding dan atapnya terbuat dari kulit-kulit pohon dan anyaman daun kelapa yang dipasang berlapis-lapis.

Situa Bontang segera masuk terlebih dulu dan menyalakan sebuah pelita yang terbuat dari damar, getah pepohonan dengan batu apinya. Sesudah itu barulah ia mempersilakan Mahesa Wulung memasuki gubuk itu, diikuti oleh Goro di sebelah belakang.

— Nah, anggaplah seperti dirumahmu sendiri, Mahesa Wulung. Maaflah kalau ternyata kurang memuaskan bagi anda. —

— Lebih dari memuaskan, bapak. Aah, ternyata ruangan gubuk ini cukup luas. Cukup untuk tinggal lima orang.

— ujar Mahesa Wulung.

— Heh, heh, heh. Ya memang cukup luas, tetapi selama ini cuma kami berdua saja yang mendiami — sahut Bontang.

Ketika mereka tengah bercakap- cakap dengan asyiknya tadi, si Goro mendekat seraya membawa sebuah pinggan dari tanah liat yang berisi burung panggang dan buah-buahan, kemudian diletakkannya keatas lantai yang beralaskan tikar anyaman kasar.

— Anak muda, sayang sekali panggang burung ini telah dingin. Tapi tak apalah. Rasanya tetap gurih dan sedap. Nah makanlah hidangan sederhana ini dan tunggu nanti minumannya. —

— Terima kasih, bapak, — ujar Mahesa Wulung.

Sejurus kemudian Goro kembali kehadapan mereka sambil membawa seruas bambu yang berisi tuak dan cangkir- cangkir,dari potongan-potongan bambu. Oleh hidangan-hidangan tersebut, Mahesa Wulung jadi menelan air liur sebab seketika perutnya merasa bergejolak minta diisi. Maka mereka bertiga segera menikmati hidangan tadi dengan lahapnya, terutama Mahesa Wulung yang dasarnya sudah merasa lapar sekali. 

Demikianlah sesudah mereka bersantap, maka Bontang pun lalu mempersilahkan tamunya untuk beristirahat. — Tentu anda telah kelelahan setelah memeras tenaga sore tadi. Maka beristirahatlah secukupnya agar pulih kembali. —

Mahesa Wulung mengangguk pelan dan sebentar kemudian ia menguap sementara matanya terasa berat, mengantuk. Sedang situa Bontang sendiri telah mengatur tikar-tikar untuk alas tidur bagi mereka berdua.

Didekat pintu gubuk, si Orang Utan berbaring pada dinding. Matanya sebentar-sebentar menatap kearah Bontang dan Mahesa Wulung yang telah berbaring tidur dan sebentar pula ia melihat kearah tangga naik yang terbuat dari tali-temali, terjuntai sampai jauh kebawah tanah. Bagi Goro, menjaga tuannya adalah kewajiban yang utama, sebagaimana situa Bontang pernah menolongnya dari sergapan seekor ular ketika ia masih kecil beberapa tahun yang telah silam. Ketika malam telah semakin larut, suasana sunyi-senyap telah menelan tempat itu, dan sekitarnya. Hanya sekali-sekali terdengar suara burung hantu dan derai nafas teratur dari dalam gubuk itu.

5

BEBERAPA ORANG dengan membawa obor api ditangannya tampak menyuluhi tempat-tempat disegala pelosok kampung Lembah Sampit. Bahkan merekapun telah sampai di luar daerah tersebut. Semua itu untuk mencari Mahesa Wulung, yang sampai saat sisa-sisa malam ini belum kembali.

Situa Tawau, kepala kampung Lembah Sampit dan juga Pandan Arum serta Daeng Matoa menjadi cemas karenanya. Mereka sudah menyangka bila Mahesa Wulung akan tersesat bila terlalu jauh pergi dari kampung ini. Ketiga orang inipun ikut beramai-ramai bersama orang-orang kampung menyuluhi tempat-tempat yang gelap dan tersembunyi, untuk mencari jejak dan petunjuk-petunjuk dari kepergian Mahesa Wulung.

Terlebih cemas adalah Pandan Arum sendiri. Ia masih ingat akan pertempuran sipendekar liar Bengara melawan kekasihnya beberapa waktu yang lalu dan kini, tiba-tiba saja Mahesa Wulung telah menghilang.

Pikiran Pandan Arum lalu menjadi semakin kacau setelah mengingat hal itu dan rasa takutnya lalu bermunculan dari hati kecilnya. Bukankah ia kini berada ditengah daerah asing dan terpencil, disebuah kampung ditengah rimba liar pulau Borneo.

Sementara itu disebuah rumah panjang diantara gerombolan rumah rumah kampung Lembah Sampit, sigadis manis Sandai selalu membolak balikkan tubuh diatas tempat tidurnya. Sebentar sebentar ia terbangun karena mimpi- mimpinya yang buruk dan gelisah.

Setiap matanya sudah terpejam tidur setiap kali pula ia dibayangi oleh bayangan wajah Mahesa Wulung yang mula mula tampak kecil, lalu besar dan semakin besar seakan-akan memenuhi rongga matanya.

Ketika ia terbangun untuk kesekian kalinya, Sandai terkejut mendengar suara-suara ribut di bawah sedang cahaya terang dari obor-obor telah masuk kedalam kamarnya melalui celah-celah lubang lantai dan dinding rumah. Semula Sandai agak terkejut, tetapi setelah ia mengintai beberapa saat ke arahluar, iapun lalu teringat bahwa sejak senja menjelang malam tadi, orang-orang telah sibuk mencari Maluisa Wulung sampai saat kini pada sisa-sisa malam menjelang subuh.

Sayup-sayup Sandai mendengar kokok ayam hutan dengan merdunya tapi kemudian telah ditelan oleh suara ribut dan gumam manusia yang tengah menyuluhi segenap tempat disudut rumah dan semak-semak.

Waktu itu Sandai juga ikut gelisah, sebab mungkin hanya dia sendirilah yang tahu, kemana Mahesa Wulung telah pergi. Sedang selama ini ia tetap bungkam dan berdiam diri pura-pura tidak tahu, sebab memang hal itulah yang telah diminta dan dikehendaki oleh Mahesa Wulung kepadanya.

Maka terpaksalah dengan hati yang berat dan tertekan, ia tetap memenuhi permintaan Mahesa Wulung, sehingga dibiarkannya saja orang-orang itu nencari Mahesa Wulung kesana kemari tanpa arah tujuan yang pasti.

Demikianlah Sandai masih bisa menahan perasaannya dan membiarkan mereka kalang-kabut mencari pendekar muda dari pantai Seberang itu yang seolah-olah menghilang tanpa jejak dan bekas! Akan tetapi sesudah pencarian itu berjalan dua hari lewat, Sandai sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Cepat-cepat sigadis manis ini berlari-lari menuju rumah kepala kampung, membuat orang-orang terkejut heran karenanya.

Disana, dihalaman bawah rumah berpanggung situa Tawai, Sandai telah sampai dan dilihatnya bahwa disitu telah berkumpul beberapi orang memegang senjata. Diantara mereka terlihat pula bapak Tawau, Daeng Matoa dan Pandan Arum serta keenam orang anak buah Mahesa Wulung. Juga pendekar Seguntur pun terlihat pula diantara mereka.

Agaknya situa Tawau tengah memberi petunjuk pada kelompok- kelompok orang itu, yang sebentar lagi akan pergi keluar kampung. Dan kemudian, orang tua itupun terkejut melihat Sandai berlari-lari kearah dirinya.

— Sandai! Mengapa wajahmu begitu pucat dan berkeringat? Apakah yang telah terjadi dengan dirimu! — terdengar Tawau berseru kaget.

— Maaf, bapak, Aku telah bersalah! Aku memang orang yang tak berbudi! Aku telah berdosa kepada kalian! —

— Tenanglah Sandai, tenangkan hatimu dan kemudian ceriterakanlah kepada kami dengan jelas — ujar Pandan Arum Serta merangkul pundak Sandai dengan manisnya. — Apakah yang menyebabkan kekalutanmu ini? — — Tentang Pendekar Mahesa Wulung, nona. Aku sebenarnya tahu tentang kepergiannya dari kampung ini! —

Perkataan Sandai ini bagai sambaran petir bagi orang2 ini dan mereka terhenyak kaget seketika.

— Hah! Jadi kau sudah tahu tentang kepergian Mahesa Wulung selagi kami kalang kabut mencarinya? — seru Tawau. — Oooh. — desah Pandan Arum. — Kalau engkau sudah tahu sejak semula, mengapa tak engkau ceriterakan kepada kami, Sandai? —

Sandai sesaat tertunduk tak berani menatap w-jah orang orang disekitarnya dan iapun sadar, bahwa sikapnya ini menyebabkan rasa jengkel pada hati mereka. Tak lama kemudian berkatalah Sandai. —Maaf, nona. Itu semua kulakukan atas permintaan tuan Mahesa, agar aku tak berceritera kepada siapapun bahwa ia tengah mengejar dan mencari seorang penyumpit gelap yang menyerangnya, dua hari yang lalu didekat mata air. —

— Seorang penyumpit gelap? Dan menyerang pendekar Mahesa Wulung? — ulang situa Tawau dengan suara bergetar.

- Begitulah bapak — sambung Sandai pula — Kemudian tuan Mahesa Wulung memintaku agar pulang kembali kekampung, dan berpesan seperti yang telah aku ceriterakan diatas. — — Kearah mana ia pergi, Sandai?

— ikut bertanya Daeng Matoa. — Hari ini juga kita harus menyusulnya! —

— Kira-kira kearah barat, tuan Daeng — jawab gadis Sandai. — Dan jika andika semua akan pergi mencarinya, ijinkanlah aku turut serta. Siapa tahu aku dapat memberi keterangan keterangan yang berguna. —

— Baiklah, Sandai — kata situa Tawau. — Sebentar lagi kita akan berangkat! —

Kepala kampung ini segera menyiapkan segala sesuatu yang perlu bagi perjalanan nanti dan ketika matahari sudah cukup tinggi, mereka berangkatlah kearah utara lebih dulu.

Tampak situa Tawau berjalan bersama Sandai di sebelah muka, kemudian Daeng Matoa bersama Pandan Arum dan dibelakang mereka berjalan orang-orang anak buah Tawau serta keenam anak buah Mahesa Wulung.

Sandai mula-mula membawa rombongan tersebut kemata air disebelah utara kampung dan mereka masih bisa melihat sebuah jarum sumpitan yang menancap pada batu ditepi mata air. Situa Tawau mengangguk-angguk melihat benda itu dan kemudian rombongan itupun meneruskan perjalanannya kearah barat seperti petunjuk dari Sandai. Didekat sebatang pohon tua, mereka dapat melihat jejak-jejak kaki menuju kearah utara. Mereka pun segera menuruti jejak2 tersebut dengan teliti dan sampailah mereka pada sebuah aliran sungai kecil yang mengalir kearah timur.

— Nah, kita menemukan jejak lagi, Sandai! — ujar Tawau seraya menunjuk kebawah dan tampaklah jejak-jejak kaki di sepanjang tepian sungai tadi terus menuju kearah timur.

— Tapi, bapak — Sela Daeng Matoa

— Apakah kita yakin bahwa jejak2 ini adalah jejak kaki saudara Mahesa Wulung? —

— Aku bisa memastikan begitu tuan, karena jejak-2 ini masih sama dengan jejak yang terdapat dimata air pertama tadi — ujar Tawau seraya meraba-raba bekas2 jejak kaki tersebut. — Dan kira-kira ini berbekas pada dua hari yang lalu., —

Daeng Matoa dan Pandan Arum terperanjat juga mendengar penuturan Tawau. Mereka tidak menyangka kalau orang tua itu mempunyai pengetahuan yang sedemikian dalamnya.

— Ooh, mudah-mudahan kita dapat segera menemukannya. Bapak — ujar Pandan Arum menyambung.

— Begitulah harapan kita semua, nona — sahut situa Tawau. — Dan sekarang, marilah kita lanjutkan perjalanan kita. —

Maka sejurus kemudian, berjalanlah kembali rombongan tadi menyusuri sepanjang tepi sungai kecil menuju kearah timur. Mereka sebentar- sebentar berhenti untuk meneliti jejak-jejak tadi, sehingga perjalanan cukup memakan waktu yang banyak. Maklumlah, mereka tak berani serampangan untuk tujuan yang tengah mereka kejar. Apalagi mencari orang yang tersesat didalam hutan, seperti pekerjaan mereka sekarang ini. Semua benda yang dapat memberi petunjuk sangat berguna sekali, seperti jejak- jejak kaki, ranting-ranting terpatah, semak yang roboh dan sebagainya.

Cukup jauh sudah jarak yang tengah mereka tempuh dan tiba-tiba saja mereka berhenti karena Tawau yang berjalan paling depan telah menemukan jejak yang terputus dan sebuah jejak tampak menuju ketengah sungai.

— Hmm, jejak ini terputus dan hilang disungai! — desis situa Tawau sambil pandangan matanya memeriksa tempat sekeliling. Dan tiba-tiba ia melihat sebuah dahan pohon yang besar menjorok diatasnya. Hal ini membuat situa Tawau sibuk berpikir dengan kerasnya. Semua pengalamannya sebagai kepala kampung Lembah Sampit dan telah puluhan kali keluar masuk menjelajah hutan pulau Borneo ini, membuat ia kaya akan seluk beluk dan tanda-tanda sekecilpun, yang terdapat di dalam hutan.

— Ranting pohon yang terpatah itu telah kering. Pastilah ini terjadi beberapa hari yang lalu dan disebelah timurnya lagi, ada sebuah cabang pohon lain yang terpatah. Ehh, agaknya pendekar Mahesa Wiiliing telah berjalan diatas pohon menuju kearah timur! — demikian pikir situa Tawau.

— Jejak-jejak kaki telah terputus bapak — ujar sigadis Sandai kepada situa Tawau — Dan apa tindakan kita selanjutnya? —

— Kita menyeberang sungai kecil ini dan terus berjalan ketimur — ujar Tawau seraya memberi isyarat kepada rombongan tadi dan perjalananpun diteruskan kearah timur, menyeberangi sungai tersebut kemudian menerobos hutan yang lebat.

Beberapa waktu kemudian, rombongan Tawau tadi celah semakin jauh dari sungai itu dan tibalah dihutan yang lebat. Namun itu bukanlah rintangan yang berat bagi mereka, sehingga dalam waktu yang singkat terbukalah semak-semak yang merintangi jalan oleh tebasan mandau dan pedang orang orang itu.

Tak antara lama, Tawau memberi tanda berhenti kepada rombongan tadi, sebab didepan tnereka terlihatlah semak-semak dan pepohonan kecil yang berebahan dan terserak disana-sini. Sebagian dari semak-semak tadi juga telah kering. Itu semua menandakan bahwa hal ini terjadi pada waktu-waktu yang lewat.

— Ooh, apakah yang terjadi disini, kiranya? Agaknya seperti habis dipakai untuk tempat bertempur! — gumam Daeng Matoa yang berdiri disebelah Tawau.

— Benar, Daeng! Tempat ini telah dipakai untuk medan pertempuran beberapa hari yang lalu — sambung Tawau — lihatlah batu-batu yang berserakan pecah ini!—

— Tapi tidak ada tanda-tanda berdarah ataupu mayat yang kita temukan — berkata pula Panda Arum yang ikut memeriksa. — Dan disebelah timur kami dapati lagi beberapa cabang pohon yang terpatah dan sulur-suluran pohon yang terputus. —

— Nah, itu satu tanda lagi bahwa kita harus berjalan kesebelah timur! — sahut Tawau pula. — Ayolah, jangan lagi kita buang-buang tempo disini. —

Serentak mereka meneruskan perjalanannya, menempuh hutan yang kian lebat dan sulit untuk ditempuh. Hutan didaerah timur ini lebih rapat, seakan-akan pagar benteng yang berlapis-lapis, menghalangi siapa saja yang berani memasukinya.

Tetapi rintangan alam itu tidak ada artinya bagi putera-putera Borneo ini. Kelebatan hutan tidak menjadikan mereka takut, tapi justeru membuat semangat mereka bertumbuh untuk menjelajahinya.

Biarpun begitu, toh mereka tidak meninggalkan kewaspadaan diri. Mereka tetap berhati-hati dan senantiasa siap dengan senjatanya, sebab dengan sema- kin rapatnya hutan tadi, pastilah lebih banyak binatang-binatang liar dan berbisa yang tinggal didalamnya.

Tawau yang berjalan disebelah muka selalu dengan teliti memeriksa jalan yang bakal ditempuhnya. Pandangan matanya yang setajam elang itu selalu jauh mendahului langkah langkah kakinya, jauh kedepan, seakan akan ingin menerobos kelebatan hutan dan semak-semak yang terbentang dihadapannya.

Rombongan tadi terus berjalan kearah timur, bagai semut beriring- iring dan sebentar berbelok-belok menurut langkah, situa Tawau yang menjadi pemimpinnya.

Tidak antara lama, rombongan tadi dikejutkan oleh suara berisik dan teriakan-teriakan yang menggema dari sebelah timur. Keruan saja mereka berhenti dengan serentak disertai oleh hati yang berdebar-debar penuh tanda tanya.

Situa Tawau segera berseru — Saudara-saudara, siapkanlah senjatamu dan ikuti aku untuk mengintai sebab sebab suara tadi. —

Rombongan tadi kemudian bertebar dan mereka mengendap-endap maju dan mendekati arah suara yang berisik disebelah timur, setapak demi setapak. Daeng Matoa dan Pandan Arum telah menghunus   pedangnya  masing-masing, sedang Tawau, pendekar Seguntur dan orang-orang lainnyapun telah bersiap dengan senjatanya.  Ujung tombak, mandau dan pedang berkilatan tertimpa cahaya  siang, sementara  yang bersenjata sumpitan, telah pula siap

dimulutnya untuk menembak.

Suara berisik semakin jelas dun rombongan situa Tawau telah sampai pada tempot itu. Mereka sudah tak sabar lagi tampaknya untuk mengetahui apakah yang menyebabkan ramai-ramai sedemikian gaduhnya. Namun alangkah kagetnya mereka setelah menguakkan daun semak-semak didepannya. Ternyata suara gaduh tadi berasal dari dua sosok tubuh yang tengah bertempur dan bergerak dengan cepat, laksana dua bayangan yang saling melibat dan berpusaran.

Tak jauh dari tempat itu, diatas sebuah dahan pohon yang terlindung kelebatan daun-daun dan kegelapan, tampak pula sesosok tubuh yang nongkrong dengan enaknya serta menonton pertempuran tersebut. Sebentar-sebentar ia bersorak serta berteriak-teriak dengan lantangnya. — Ayo jangan tunggu lawanmu sampai menerjang lebih dulu! Tangkis! Yah, bagus. Itulah yang aku maksudkan. Awas, jangan lengah terhadap sambaran kaki lawan! Ha, ha, ha, ha! Nah, begitu. Ayo ulang sekali lagi! —

Situa Tawau dan orang-orang lainnya menjadi terkejut oleh suara tersebut. Rupanya orang yang tengah nongkrong di datas dahan tadi sedang memberi petunjuk petunjuk kepada dua sosok tubuh yang lagi bertempur.

Orang-orang yang bersembunyi dibalik semak-semak, termasuk Tawau, Daeng Matoa, Pandan Arum dan lain lainnya seperti terpukau melihat pertempuran tersebut.

Mereka tak tahu lagi apakah yang musti dikerjakan, lantaran saking takjub dan kagumnya. Dan lagi kedua sosok tubuh yang lagi bertempur seru tadi tak dapat mereka kenal wajahnya sebab selalu bergerak dengan cepat.

Begitulah, mereka kadang-kadang saling berpandangan tapi sama-sama diam tanpa berbuat apa-apa. Apalagi situa Tawau yang menjadi pemimpin rom- bongan, juga berdiam diri tanpa memberi perintah2 kepada mereka.

Entah sampai berapa lama mereka berlaku sebagai penonton diluar gelanggang pertempuran yang begitu seru. Tak seorangpun berkata-kata. Semua pandangan mata dicurahkan kepada dua sosok bayangan yang tengah berlibatan saling menyerang dan mener- jang.

Namun tiba-tiba semuanya terperanjat, sebab orang yang menongkrong didahan pohon itu mendadak berseru dengan nyaring.

— Berhenti!! Ha, ha, ha, ha. Kalian berdua telah mencapai apa yang aku inginkan, dan aku puas karenanya. Tapi waspadalah rupanya beberapa pasang mata telah mengintai kita! —

Kedua bayangan makhluk yang kini telah mengakhiri pertempurannya, seketika itu juga menebarkan pandangan matanya kearah tempat sekeliling serta bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Maka tak mengherankan bila sesaat tempat tersebut menjadi sunyi-senyap, kecuali derai napas pelahan dari orang-orang rombongan Tawau yang bersembunyi dibalik dedaunan.

Mendadak, saja, kesunyi-senyapan tadi dipecahkan oleh teriakan bernada gembira dan sesosok tubuh meloncat dari balik dedaunan, menuju kearah dua makhluk yang baru saja selesai bertempur tadi. — Kakang Mahesa Wulung!! —

— Pandan Arum !— seru salah seorang makhluk tadi yang tidak lain adalah Mahesa Wulung. Pendekar ini segera menyambut Pandan Arum yang berlari  kearahnya dan ia  segera menerima dekapan mesra dari gadis itu. Dalam hati, Pandan Arum mengucap syukur dan berterima kasih kepada Tuhan, bahwa kekasihnya  ternyata

selamat tak kurang suatu apa.

Ia kini merasa aman kembali dan perasaan cemas yang semula menghantui hatinya kini telah lenyap. Bahkan ia tidak lagi menjadi takut, bila ternyata makhluk yang satunya itu adalah seekor Orang Utan yang besar dan kokoh.

— Siapakah teman kakang ini? — bertanya Pandan Arum.

— Ooo, dia adalah sahabat baruku. Namanya adalah Goro. — Mahesa Wulung berkata kepada kekasihnya. — Dan tadi kami baru saja selesai berlatih. —

— Dan aku memperkenalkan diri pula, nona!! — seru sebuah bayangan yang meluncur dari atas dahan pohon, tepat mendarat didekat Mahesa Wulung dan Pandan Arum.

Hampir saja Pandan Arum ini terpekik kuget melihat bayangan tadi. Dikiranya pula adalah seekor Orang Utan yang pandai berbicara, tak tahunya adalah manusia juga yang berbaju kulit, berbulu hitam mengkilat.

— Maaf, jika aku telah mengejutkan nona. Nama saya adalah Bontang — ujar siorang tua yang berbaju kulit itu.

Selagi mereka asyik bercakap- cakap itu, situa Tawau dengan orang- orang lainnya telah bermunculan dari balik semak-semak dan mendekati mereka.

— Kakang Mahesa Wulung, kepergianmu telah membuat kami bingung dan akhirnya mencarimu sampai ketempat ini, — berkata Pandan Arum.

— Nah, nona Pandan Arum — ujar situa Tawau yang telah berdiri didekat mereka. — Bukankah benar kata-kataku, bahwa Tuan Mahesa Wulung pasti selamat? —

— Eh, benar bapak. Terimakasih. —

— He, he, he, heh. Begitulah tuan Mahesa Wu lung. Memang kepergian anda itu menyebabkan orang-orang sekampung kebingungan mencarimu kemana-mana. Lebih-lebih dengan nona Pandan Arum ini, yang hampir setiap harinya merindukan anda serta tak doyan makan sedikitpun. — berkata situa Tawau setengah menggoda, sehingga membuat Pandan Arum tertunduk malu dengan wajah kemerahan disertai warna merah jambu membayang dipipinya yang montok.

— Aaah, bapak ini ada-ada saja! — desah Pandan Arum seraya melirik kearah wajah kekasihnya yang tersenyum-senyum.

— Tapi bapak, darimanakah andika dapat menge-tahui arah kepergianku ini? — tanya Mahesa Wulung dengan perasaan heran, sebab hanya Sandailah yang tahu peristiwa penyerangan gelap itu.

— Semua itu adalah atas petunjuk Sandai. Bukankah begitu Sandai? — kata Tawau. — Nah, nona Pandan Arum — ujarnya situa Tawau yang telah berdiri di dekat mereka. — Bukankah benar kataku, bahwa tuan Mahesa Wulung pasti selamat? —

— Aku terpaksa berceritera kepada bapak Tawau dan lain-lainnya, tuan — sahut Sandai yang berdiri dibelakang Tawau — Sebab aku tak sampai hati melihat orang-orang ini kalangkabut mencari tuan, sedang sebenarnya aku mengetahui kepergianmu. —

Mahesa Wulung mengangguk-angguk penuh pengertian, dan iapun tak bisa menyalahkan sikap Sandai yang telah mengingkari pesannya. Dalam hati malahan ia mengucapkan syukur atas sikap Sandai yang penuh rasa tanggung jawab dan persaudaraan. Ia dapat membayangkan sendiri, bagaimanakah jadinya, seandainya gadis manis itu tetap bungkam dan tak mau berceritera tentang kepergiannya tersebut.

Yah, pastilah orang-orang ini akan kalang kabut dan kebingungan seperti yang telah dikatakan oleh Sandai sendiri.

— Bapak Tawau, aku mengucapkan terima kasih atas perhatian andika semua yang begitu besar terhadap diriku ini. — berkata Mahesa Wulung. — Dan selama itu aku telah tinggal dipondok pendekar Bontang ini. —

Situa Tawau segera memperkenalkan diri kepada pendekar Bontang, juga tak ketinggalan kepada si Orang Utan yang bernama Goro itu. Binatang tersebut sungguh membuat gembira dan tertawa bagi Situa Tawau dan orang-orangnya. Kelakuannya yang mirip-mirip dengan manusia itu sungguh menakjubkan orang- orang disitu, seperti bersalaman, tertawa, menggaruk-garuk kepala dan sebagainya lagi.

— Jadi, andalah yang bernama pendekar Bontang — ujar situa Tawau. — Kami sering mendengar nama anda yang terkenal diseluruh sudut rimba Borneo.


— Uh, itu kurasa terlalu berkelebihan buat diriku, sobat. — kata situa Bontang kepada Tawau — Aku cuma sedikit bisa bersilat dan itupun telah aku ajarkan kepada pendekar muda Mahesa Wulung ini.

— Situa Tawau merasa kagum atas sikap merendah dari pendekar Bontang tadi, terlebih lagi situa Bontang berkata pula. — Setelah aku ajarkan kepandaianku kepada Mahesa Wulung, maka terlihatlah bahwa pendekar muda ini dengan mudahnya menguasai segala ajaranku dan ternyata dia lebih pandai dari pada diriku. Agaknya patutlah bila sebaliknya aku menjadi murid Mahesa Wulung ini. —

— Ha, ha, ha, ha. Kalau andika bermaksud begitu, maka tak ada salahnya bila akupun mencalonkan diri untuk menjadi muridnya — sambung situa Tawau yang tak ketinggalan ikut berkelakar. menjadikan suasana pertemuan ini tambah cerah dan semarak.

Sementara itu matahari telah membuat bayangan pepohonan condong kearah timur. Pertanda kalau hari telah kelewet siang. Maka situa Bontang segera memerintahkan kepada Goro agar menghidangkan buah-buahan dan minum kepada orang2 itu semua, yang dengan senang hati menyambutnya.

Sesaat mereka beristirahat, tak jauh dari rumah gubuk milik Bontang yang terpasang diatas pohon. Sedang situa Tawau tampak bercakap-cakap dengan pendekar Bontang, disebelah lain kelihatan Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng Matoa dan Sandai duduk duduk bersama dibawah sebuah pohon rindang. Dipojok barat, keenam anak buah Mahesa Wulung dan orang orang Tawau sibuk pula bercakap-cakap.

Diantara mereka, tampaklah pendekar Seguntur yang sebentar- sebentar melirik tajam kearah bawah pohon rindang dimana Sandai dan ketiga orang sahabatnya dari seberang tengah asyik bercakap-cakap.

Tetapi hal itu jangan dikira tak mendapat perhatian dari Mahesa Wulung sendiri. Ia tahu bahwa pendekar Seguntur, tengah mengawasi mereka dengan mata tajam.

— Hmm, apakah gerangan yang membuat Seguntur bersikap begitu? — pikir Mahesa Wulung semula dan tiba- tiba ia sadar, bahwa gadis manis Sandai ada bersama mereka. — Ah, agaknya sikap cemburu yang berlebih- lebihan yang menyebabkan sikap Se- guntur bersikap demikian. Rupanya belum sembuh penyakit cemburunya sejak pertama aku datang dikampung Lembah Sampit. —

— Kakang Mahesa Wulung, — Pandan Arum berkata. — Aku heran bahwa pendekar liar Bengara yang dulu mencegat kita ditengah perjalanan, sangat mirip dengan bapak tua Bontang itu. —

— Memang mereka dulu adalah dua bersahabat yang kemudian berpisah karena masing-masing berbeda pendapat

— tutur Mahesa Wulung kepada ketiga rekannya. — Kalau sipendekar liar Bengara akhirnya menggunakan kepandaian dan ilmunya untuk kepentingan diri sendiri bahkan tidak jarang menyeleweng kearah kejahatan, maka adalah sebaliknya dengan Bontang. Orang tua itu banyak mengamalkan ilmunya untuk kebajikan sesama makhluk. Demikian pula jika kita memperhatikan kehidupan manusia sehari-harinya, maka tak luput dari nafsu berbuat baik dan berlaku jahat.

Pada dasarnya, kedua nafsu tadi ada bersarang dihati kita masing- masing dan selanjutnya kitalah yang harus menguasai dan mengendalikan mereka, seperti halnya dengan kereta berkuda. Manusia harus menekan dan rnengendalikan nafsu jahatnya, sampai akhirnya ia betul-betul menguasainya dan syukur kalau ia malah berhasil melenyapkannya sama sekali dari lubuk hatinya. —

Oleh penuturan Mahesa Wulung itu, Daeng Matoa, Pandan Arum dan Sandai terdiam sesaat seraya mengangguk mengerti. Tutur kata Mahesa Wulung tadi sungguh tepat dirasanya.

Tetapi lain agaknya jika yang mendengar itu adalah pendekar Seguntur. Pastilah dia tidak akan senang karenanya. Dalam pada itu, Daeng Matoa agaknya merasa ada sesuatu hal yang masih kurang jelas, maka cepat-cepatlah ia bertanya kepada Mahesa Wulung. — Saudara Mahesa Wulung, sudilah kiranya andika menerangkan sekali lagi perumpamaan kereta berkuda tadi? — — Mmm, baiklah Daeng. Kereta itu aku umpamakan tubuh manusia dan kehidupannya, sedang diri pribadi adalah kusirnya. Adapun kuda kuda tersebut ialah semua nafsu-nafsu. yang ada pada manusia. Nah maka tugas kusir atau sais tadi adalah menguasai jalannya kereta dengan mengatur dan mengendalikan arah lari kuda kuda itu semua. Ia harus benar-benar bijaksana dan tegas, janganlah sampai dia yang diperkuda oleh kuda-kuda atau nafsu- nafsu itu tadi. Jika sikusir tadi sampai bisa diperkuda oleh kuda- kudanya, maka tak mustahil bila kereta tadi akan dibawa lari kemana-mana tanpa arah tujuan tertentu dan kemungkinan akan rusak dan celakalah kereta tersebut. Begitulah Daeng, jadi jelasnya setiap manusia hendaklah bisa mengatur dan mengendalikan semua nafsunya agar hidupnya selamat dan sejahtera. —

Daeng Matoa sekali lagi mengangguk seraya berkata — Terima kasih saudara Mahesa Wulung. Segala tutur kata serta keteranganmu, telah aku mengerti semuanya. Memanglah, segala kata-katamu tadi ada benarnya juga. —

Diam-diam Pandan Arum merasa bangga oleh tutur kata kekasihnya. Ia kagum akan kebijaksanaan Mahesa Wulung yang berpandangan seluas itu. Rupanya cukuplah sudah waktu istirahat yang diperlukan untuk memulihkan tenaga bagi situa Tawau dan rombongannya, sebab situa itupun segera berpamit minta diri kepada pendekar Bontang dan si Orang Utan Goro! Juga Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng Matoa dan gadis Sandai serta orang-orang lainnya tak lupa meminta diri.

— Semua pesan dan pelajaran dari bapak, akan aku ingat baik-baik dan sungguh-sungguh. Kini ijinkanlah aku berangkat, bapak — berkata Mahesa Wulung dengan membungkuk hormat dan setelah itu berlalulah ia dari hadapan Bontang.

Rombongan tadi bergerak, lalu berjalan kearah barat menuruti jalan semula yang ditempuhnya ketika menuju ketempat ini. Mereka sudah tidak lagi susah-susah mencari jalan baru, karena jalan yang semula masih cukup jelas dan mudah dicari.

Sinar matahari masih bersinar dengan terangnya sementara angin siang bertiup dengan segar dari timur. Tak lama kemudian, rombongan tadi telah lenyap dibalik pepohonan dan situa Bontang serta Goro masih saja berdiri termangu ditempatnya. Dua titik air mata tergenang disudut mata Bontang sebagai luapan rasa harunya yang tak tertahan. Meskipun orang tua itu cuma secara singkat berkenalan dengan situa Tawau dan rombongannya, namun sangat berkesan bagi dirinya, sebab selama ini ia lebih banyak hidup memencil bertemankan Goro, dan binatang- binatang lainnya daripada dengan manusia-manusia. Hal ini seolah-olah memperingatkannya, bahwa betapapun manusia mencoba hidup menyendiri, tapi toh perlu juga bergaul dengan manusia- manusia lain.

*****

Dalam pada itu jauh disebelah timur teluk Sampit sana, tampaklah beberapa orang mengendap2 menuju kearah hutan. Mereka yang bersenjata pedang ada tiga orang dan dua orang lainnya bersenjata dua pucuk senapan lantakan, sedang pemimpinnya yang berjalan didepan selain bersenjata pedang lebar juga ia menyelipkan sebuah pistol kuno pada ikat pinggangnya.

Tanpa ragu-ragu mereka mulai menerobos semak-semak pohon bakau. Keenam orang tadi rupanya telah bertekad untuk bertempur mati matian sampai ketitik darah yang penghabisan.

— Kakang Garangpati. Mereka punya kekuatan yang jauh lebih besar dari pada kia! — ujar seorang diantaranya kepada sipemimpin yang berjalan didepan.

— Hah! Rupanya kau berkecil hati Dangsa! Kalau memang begitu sebaiknya kau tak usah ikut saja! — seru sipemimpin dengan wajah yang garang serta sorot mata yang tajam. — Biar kami berlima saja yang menyerang kapal Barong Makara itu! —

— Maaf, janganlah salah sangka kakang! Aku tak pernah takut melawan orang-orang dari Armada Demak itu. Kau masih ingat bukan, ketika kami disaat- saat terakhir mencoba mengeroyok pemimpin mereka yang bernama Mahesa Wulung itu. Sayangnya Kapal Hantu kita keburu meledak dan kami terpaksa lebih dulu terjun kelaut, sebelum mati konyol secara cuma-cuma. —

— Nah, kalau begitu apa lagi yang mesti kau kuatirkan? — Sahut Garangpati tajam. — Bukankah kita telah bertekad untuk bertempur mati- matian, sebagai pembalas dendam atas kehancuran Kapal Hantu dan tewasnya Ki Monyong Iblis? —

— Betul kakang! Tapi kita harus menyerang mereka secara diam-diam dan tersembunyi. Kita akan bunuh mereka satu demi satu, sehingga akhirnya habis ditangan kita! — ujar Dangsa dengan geram. — Tetapi yang membuatku heran, mereka belum juga berlayar, seolah-olah ada sesuatu kejadian yang membuat pelayaran mereka tertunda. —

— Hmm, memang betul bicaramu. Orang-orang itu malah kembali berkemah dipantai! Heh, heh, heh, justeru itulah yang memperkuat keyakinanku bahwa sebentar lagi mereka akan dapat kita hancurkan. — ujar Garangpati.

— Kita serang saja mereka malam nanti! — sela seorang lain yang berhidung pesek dan bersenjata bedil.

— Mereka akan kutembak dengan senapanku ini satu demi satu........—

— Ha, ha, ha, rupa-rupanya kau ingin menghabiskan mereka seorang diri, Pisek Grana?! — sahut Garangpati.

— Eeh, tidak kakang. — jawab Pisek Grana cepat-cepat. Mereka terlalu banyak untuk senapanku yang hanya sekali sekali menembak ini. —

— Heh, heh, heh, baiklah. Mereka akan kita bagi rata, Pisek Grana! Setuju kau?! — berkata Garangpati.

— Lebih dari setuju kakang! — sahut Pisek Grana seraya tertawa terkekeh-kekeh, disusul oleh suara ketawa yang lain-lainnya.

Keenam orang itu terus menerobos semak pohon bakau dan membelok kearah barat laut. Mereka bermaksud mengepung orang-orang yang lagi berkemah dipantai itu, dan menyerangnya pada malam hari. Beberapa orang lagi masih tertawa-tawa, namun sekonyong-konyong keenam orang tadi berteriak kaget sebab dari atas pohon-pohon besar berlompatanlah turun beberapa Orang Utan serta dua sosok tubuh manusia yang kemudian mendarat ditanah dengan manisnya.

— Garangpati! — teriak seorang yang baru turun dari atas pohon seraya menyambut kearah Garangpati — Hah, kau masih selamat sobat? —

— Kakang Mata Siji! Ah, kita masih berjumpa lagi, kakang. Syukurlah, kita akan bersama-sama menghancurkan orang orang Armada Demak itu! —

— Jangan terlalu bodoh Garangpati!. Dengarlah lebih dulu akan ceriteraku ini! — seru Mata Siji sam- pai membuat Garangpati terkejut.

— Mengapa kakang?! —

— Kau belum tahu tentu, bahwa saat ini Mahesa Wulung lagi bertamu dikampung Lembah Sampit disebelah utara sana! — Dan inilah yang harus kita perhatikan, Garangpati! Kita jangan keburu menyerang orang-orang yang tinggal dipantai itu, tetapi lebih dulu harus membinasakan pemimpinnya dan setelah beres, barulah kita menyerang orang-orang tadi menghancurkannya sekaligus! — — Ooh, itu bagus! Untunglah kami bertemu dengan kakang Mata Siji. Kalau tidak, entah apa jadinya. —

— Nah, adi Garangpati dan lain- lainnya. Kalian tentu masih ingat dengan bapak pendekar Bengara, sahabat Ki Monyong Iblis dahulu itu? Inilah dia dan silakan berkenalan! —

Garangpati dan kelima orang temannya segera berkenalan dengan pendekar liar Bengara. Mereka merasa gembira dapat berkenalan dengan Bengara yang terbilang pendekar jagoan dengan anak buahnya Orang-Orang Utan yang ganas-ganas ini. Selama itu, mereka cuma mendengar dari kabar-kabar mulut saja tentang pendekar Bengara ini. Maka tak heranlah, bila mereka tak habis-habis herannya menatap sipendekar liar dengan bala tentaranya, yang terdiri binatang- binatang tersebut.

— Mata Siji, marilah kita segera menuju kekampung Lembah Sampit. Sebab ada hal-hal yang harus kita kerjakan disana! — Bengara berkata kepada Mata Siji.

Mendengar itu, Mata Siji seketika meringis kesenangan sebab ia tahu akan maksud perkataan pendekar Bengara ini, yaitu menyerang kampung Lembah Sampit. Segera berangkatlah mereka bersama-sama kearah utara. Pendekar Bengara berjalan paling depan bersama pasukan Orang Utannya sedang dibelakangnya menyusul Mata Siji, Garangpati, Dangsa, Pisek Grana dan lain-lainnya.

Kalau Bengara dan rombongannya tengah berangkat kearah utara, diwaktu itu pula situa Tawau beserta orang- orangnya tengah menerobos hutan lebat jauh disebelah timur laut sana.

Dengan bersusah payah Tawau dan rombongan berusaha menerobos hutan yang sangat lebatnya. Ditambah dengan sinar matahari yang sudah tidak terang lagi, menyebabkan mereka lebih berhati-hati. Mereka tidak berani secara gegabah berjalan semaunya dihutan ini.

Tumbuh-tumbuhan sangat rapat dan dua orang yang berjalan paling depan terpaksa harus membuka jalan dengan menebas dan membabak semak2 didepan dengan senjata mandaunya.

— Kita telah tersesat? — desis Tawau kepada dua orang yang tengah membabat semak2 tadi.

— Ah, masakan kita tersesat ditanah kita sendiri, bapak — berkata sigadis Sandai kurang percaya.

— Benar! Ini memang tak masuk akal, Sandoi! — seru Tawau membenarkan perkataan Sandai. — Tapi hal itu benar2 terjadi! Kau masih ingat bukan, bahwa mula-mula kita telah mengikuti jalan yang pertama kita tempuh, namun sampai disini jalan itu telah lenyap, seolah-olah telah ditelan oleh bumi. —

— Tapi, bapak. Rasanya tak mungkin jika jalan tersebut musnah dengan sendirinya. — sahut Sandai pula.

— Memang, tak ada jalan yang dapat berpindah sendiri, kecuali....... — Tawau tiba-tiba berhenti berkata sebab ia menjadi terkejut sendiri oleh kata-kata yang baru saja diucapkan itu. Kata-kata tadi seketika menimbulkan suatu pikiran Tawau yang cemerlang. Diam- diam ia melanjutkan perkataannya tadi didalam hati —.....Kecuali jalan itu dipindahkan oleh tangan manusia! —

Situa Tawau lalu teringat akan cara-cara menjebak seseorang yang tengah berjalan dihutan. Diantaranya adalah menghapus jejak-jejak sebuah jalan agar seseorang menjadi tersesat karenanya? Sekali lagi Tawau mencoba mengingat-ingat perjalanan mereka yang mula-mula, ketika mereka berjalan kearah timur untuk mencari Mahesa Wulung. Untuk menghilangkan jejak- jejak tersebut, seseorang dalam rombongannya haruslah berjalan disebelah belakang sendiri.

Tetapi siapakah orangnya yang mungkin berbuat itu! Kembali situa Tawau terperanjat dengan hebatnya, bila tiba-tiba ia teringat seseorang yang sering berjalan paling akhir dari rombongannya. Orang tadi adalah pendekar Seguntur! Narnun Tawau menjadi ragu-ragu oleh hal itu, sebab rasanya tak mungkin bila Seguntur mau berbuat seperti itu. Atau bisa juga hal tersebut telah dilakukan oleh seseorang dari luar rombongan.

Selagi kebingungan berpikir yang begitu sulit, sigadis Sandai lalu bertanya, menyapa Tawau hingga orang tua ini geragapan.

— Bapak Tawau. Apakah langkah- langkah yang perlu diambil berikutnya?


— Kita terus saja menempuh jalan ini. Tetapi awas kalian berdua mesti hati-hati dan bersiaga. — ujar Tawau kepada kedua orang anak buahnya yang masih sibuk membabat semak2 di sebelah muka.

— Baik, bapak! — sahut mereka berbareng, dan segera melanjutkan pekerjaannya. Setapak demi setapak mereka maju kedepan dengan lambatnya.

Mahesa Wulung yang berada disebelah tengah buru-buru maju kedepan untuk menemui situa Tawau.

— Rasanya agak lambat bapak, perjalanan kita ini — berkata Mahesa Wulung kepada Tawau yang telah berdiri di sebelahnya.

— Wah, kita menemui kesulitan, tuan Mahesa Wulung — jawab Tawau seraya menunjuk kedepan. — Kedua saudara kita ini terpaksa membuka jalan yang baru, sebab jalan yang semula kita lalui telah hilang! —

— Eeeh, hilang? — sahut Mahesa Wulung dengan keheranan.

— Yah, begitulah — situa Tawau menyambung. — Tapi kita tak perlu cemas oleh hal itu. Jalan lain masih banyak untuk kita. —

— Hari sudah terlalu sore bapak, dan sebentar lagi akan gelap. — Mahesa Wulung berkata lagi, — Apakah kita tidak perlu berkemah jika malam nanti telah tiba? —

— Sebaiknya kita terus saja, tuan

— kata situa Tawau — Kampung kita sudah tidak seberapa lagi jauhnya. Kalau berjalan terus larut malam nanti kita akan sampai disana. — Tawau berhenti sejenak lalu berkata kembali.

— Namun kita mesti harus ber-hati- hati, tuan. —

— Ooh, gawatkah tempat ini, bapak? —

— Aku kira demikian, tuan. Dan lagi aku belum pernah menginjak daerah ini yang bagi kami masih agak asing juga.

— Kalau begitu aku harus mengingatkan orang-orang ini lebih dulu, bapak! — — Itu lebih baik, tuan. Silakan memberitahu mereka sementara kami maju serta membuka jalan. —

Mahesa Wulung segera kembali kebelakang serta memberi peringatan kepada orang-orang, agar berhati-hati melewati jalan ini, sementara itu pendekar Seguntur yang berada dibarisan sebelah belakang tampak tersenyum mengejek, mencibirkan bibirnya. Entah mengapa Seguntur berlaku begitu, agaknya ia menganggap sepi kata-kata Mahesa Wulung itu.

Kembali rombongan itu maju perlahan-lahan, dan mereka berbaris satu persatu karena sempitnya jalan darurat yang baru saja mereka buka tadi.

Hutan didaerah inipun tak kalah hebatnya dengan hutan hutan lainnya. Memang pulau Borneo yang sebagian besar tertutup oleh hutan itu, benar- benar membuat orang yang berhati kecil akan ketakutan menginjakkan kakinya dipulau ini.

Mahesa Wulungpun dapat merasakan kehebatan hutan ini, dan jika ia teringat pengalamannya ketika menempuh hutan Alas Roban dipesisir utara Jawa, ternyata bukan apa-apa jika dibandingkan dengan hutan disini. Jauh lebih hebat dan lebih ngeri hutan yang kini tengah dilalui ini. Rombongan orang-orang ini lebih banyak berdiam diri, serta memasang kewaspadaan dengan secermatnya. Senjata siap ditangan dan sewaktu- waktu dapat dipergunakan.

Mereka melihat banyak sulur- suluran dan pohon pohon pakis sebagai semak-semak utama, sedan hawapun terasa lebih dingin. Bunga-bunga beraneka warna tampak bermekaran dengan indahnya dengan menyebarkan bau-bau harum keudara sore ini.

Mahesa Wulung agak kagum melihat semacam tumbuh-tumbuhan bunga yang berdaun panjang-panjang seperti belalai runcing terhampar ditanah. Jika dipandang dari atas, agaknya akan mirip sebuah bintang yang berjari- jari, sedang ditengah-tengahnya terdapat sekuntum bunga yang berwarna merah kekuningan sangat menarik hati siapa saja yang melihatnya.

Semakin lama Mahesa Wulung banyak melihat bunga-bunga berdaun belalai tadi tumbuh disana-sini. Demikian pula orang-orang dalam rombongan tadi merasa takjub melihat bunga-bunga itu. Mereka merasa seakan-akan tengah berjalan ditaman bunga yang aneh.

— Kakang Mahesa Wulung. Bunga itu sangat aneh — ujar Pandan Arum kepada Mahesa Wulung yang ada didapannya. — Belum pernah aku melihatnya. — — Tapi aku merasa seolah-olah bunga-bunga tersebut tengah mengawasi kita, adi Pandan. — kata Mahesa Wulung.

— Ah, engkau ada-ada saja kakang Wulung. — Dalam pada itu, kedua orang anak buah Tawau yang berada didepan dan membuka jalan, juga menjumpai bunga-bunga berdaun belalai tadi. Seorang diantaranya cepat-cepat memungut sebuah bunga tersebut untuk dibabatnya karena dirasanya menghalangi jalan yang akan mereka lalui. Tetapi tiba-tiba orang tadi menjerit hebat dan mengerikan, sebab tahu-tahu seluruh daun-daun seperti belalai tadi dengan cepat terangkat keatas dan mengurung serta menjepit tubuhnya dengan duri-durinya yang menghunjam kedalam daging.

Kejadian tadi membuat orang orang terkejut dengan hebatnya, sampai- sampai mereka terpaku tanpa sempat berbuat apapun. Dan lebih hebat lagi bila melihat orang yang terjerat daun belalai tadi tiba-tiba tak berkutik lagi dan tubuhnya kelihatan semakin menyusut dan pucat. Setelah itu tubuh tersebut terus mengempis hingga tinggal kerangka bersaput kulit, sedang daging darahnya lenyap, seperti disedot oleh daun-daun belalai tadi.

— Tumbuh-tumbuhan pemakan daging!

— desis Mahesa Wulung, sedang Pandan Arum cepat-cepat mendekap Mahesa Wulung saking takutnya.

Demikian pula orang-orang dalam rombongan itu terkejut semuanya dan tiba-tiba dua orang diantaranya menjadi panik serta berlarian keluar dari barisan. Namun tak urung kedua orang tersebut tanpa sadar telah menginjak bunga-bunga berbelalai tadi dan dalam sekejap mata mereka terkurung oleh daun-daun tersebut untuk kemudian mengalami nasib yang sama dengan korban yang pertama. Tubuh-tubuh mereka mengering dan kemudian terkulai rontok kebawah.

Pandan Arum menjerit ketakutan. Ia tak tahan melihat pemandangan yang mengerikan itu. Begitu pula sigadis Sandai menjadi ngeri hatinya dan ia mendekap lengan Daeng Matoa yang berada dibelakangnya. Pendekar Bugis inipun dengan sigapnya menyambut Sandai serta melindunginya, sementara tangan kanannya telah menggenggam pedang terhunus, siap menghadapi mara bahaya. — Tenanglah Sandai! Jangan panik! —

Oleh jeritan2 tadi serta bau darah yang masih menetes dari duri2 daun belalai yang habis memakan korbannya, seketika daun2 belalai yang lainnya bergerak terangkat keatas bergerayangan turun-naik bagaikan minta korban pula seperti ketiga tumbuh-2an bunga pertama yang telah kenyang melahap daging dan darah ketiga korbannya.

Sungguh mengerikan! Taman bunga yang semula tampak indah itu berubah mengerikan oleh daun2 belalai yang berjungkit2 naik turun dengan suara bergesekan serta berdecit seperti jeritan2 kecil dari mulut-mulut yang kelaparan meminta makan. Jalan yang semula mereka lalui tadi juga telah tertutup oleh daun2 belalai, membuat seluruh rombongan Tawau dan Mahesa Wulung ketakutan setengah mati. Akan matikah seluruh rombongan tadi oleh tumbuh2an bunga pemakan daging ini?! Nah, para pembaca akan mendapat jawabannya kelak.

Sampai disinilah berakhir ceritera Seri Naga Geni "MAUT DI LEMBAH SAMPIT" dan segera menyusul Seri Naga Geni selanjutnya "KUTUKAN PATUNG INTAN", yang tak kalah hebatnya.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar