Serial Naga Geni Eps 02 : Rahasia Barong Makara

 
Eps 02 : Rahasia Barong Makara


ROMBONGAN orang2 berkuda itu makin mempercepat jalannya, untuk lekas2 tiba di Semarang. Rupanya mereka sudah terlalu lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan bertempur melawan orang2 gerom- bolan hitam Alas Roban. Mereka ingin cepat sampai ke rumah, kemudian berce- ritera kepada istri, anak, keluarga, serta tetangga2 tentang kisah mereka menumpas para penjahat itu.

Salah seorang penunggang kuda yang mengenakan jubah dan berjenggot putih panjang, tampak meraba2 ikat pinggangnya lalu mecabut sesuatu

Ah Seruling ini, aku lupa tadi untuk memberikannya kepada angger Mahesa Wulung. Inilah salah satu peninggalan mendiang muridku Gansiran.

Orang tua itu bergumam sendiri dan gadis yang berkuda disampingnya ikut terkejut, lebih2 setelah ia melihat Penembahan Tanah Putih itu menggenggam sebatang seruling yang halus buatannya.

Sang Ranembahan, sungguh indah seruling itu - kata Pandan Arum sambil melirik ke samping mengawasi seruling itu.

Benar, Pandan. Memang seruling itu amat indah dan hanya angger Mahesa Wulung yang patut menyimpannya. Dialah satu2nya adik seperguruan mendiang muridku Gangsiran.

Mereka berdua sudah seperti kakak beradik.

Apakah Panembahan bermaksud menyerahkannya sekarang juga - tanya Pandan Arum penuh rasa ingin tahu.

Hee, memang begitulah. Tapi sayang sekali dia sudah jauh - orang tua itu berkata dengan nada yang kecewa.

Biarlah aku saja yang member- kannya, Panembahan. Jika tidak kebe- ratan, aku akan pergi menyusulnya ke Demak serta menyerahkan seruling itu kepada kakang Mahesa Wulung.

Baiklah aku merasa lega kini, karena kesediaanmu itu. Pandan. Nah, terimalah ini serulingnya. Jagalah itu baik2.

Panembahan Tanah Putih memberikan seruling itu diikuti seleret senyum dibibirnya. Agaknya ia sudah maklum bahwa diam2 gadis manis ini telah tertambat hatinya kepada Mahesa Wulung, muridnya kinasih. Senyum itu membuat Pandan Arum tertunduk kemalu2an dengan warna merah jambu yang membayang pada pipinya, maka ia cepat2 menerima seruling itu dan sesaat setelah ia meminta diri, Pandan Arum telah memacu kudanya keluar dari barisan itu menuju ke arah timur, ke arah dimana Mahesa Wulung dan Jagayuda lenyap dari pandangan matanya. Dalam memacu kudanya, tiba2 saja terlintas satu pikiran bahwa perjalanannya itu cukup berbahaya, maka satu2nya jalan untuk menanggulangi ialah dengan menyamar, berpakaian secara pria.

******

Hari telah mulai gelap ditambah awan mendung berarak2 di langit membuat pemandangan tampak seram merayapi desa kecil Buyaran. Namun disebuah warung, kecil beberapa orang sibuk menikmati minumannya. Dua orang yang duduk ditengah asyik bercakap2.

Adi Jagayuda, bagaimanakah keadaan kawan2 kita Armada Demak? Apakah mereka telah menyelidiki kabar2 kegiatan bajak laut hitam dari Pulo Ireng! — tanya yang seorang kepada temannya.

Yah, itulah pula yang menjadikan sebab kakang Mahesa Wulung dipanggil pulang ke Demak untuk menerima tugas, yang baru — ujar Jagayuda sambil menghabiskan minumannya, kopi jahe. Sementara itu ujung sikunya yang kanan disentuhkan kelengan Mahesa Wulung dan dengan matanya ia memberikan isyarat. Mahesa Wulung agak terperanjat dengan petunjuk isyarat itu. Ternyata jauh dipojok kiri kedai minum itu duduk pula dua orang yang sejak tadi berkali2 berbisik dan melirik ke arah Mahesa Wulung dan Jagayuda.

Kedua orang tadi rupa2nya memperhatikan percakapan mereka dan kini tampak seorang diantaranya menggores-gores selembar daun lontar dengan pisau kecil. Tanpa seorangpun yang tahu, dari sebuah lobang kecil dinding bambu kedai itu, sepasang mata mengawasi semua keadaan didalam kedai dan mata itu tampak terbeliak setelah melihat bahwa orang yang duduk dipojok itu ternyata membuat huruf2. Sesaat kemudian, orang asing tadi memberikan daun lontar yang berisi tulisan itu kepada temannya. Dengan tergesa2 sekali orang itu keluar dari kedai setelah terlebih dahulu menyimpan tulisan daun lontar itu dalam ikat pinggangnya. Dari langkahnya yang panjang2 serta ringan, ditambah lagi dengan gerak lambaian tangannya dapatlah ditarik kesimpulan bahwa orang itu sedikit banyak berilmu silat tinggi.

Tiba2 belum lagi lebih dari dua jangkah, orang itu terkejut bukan main karena mendadak dengan satu loncatan indah tak bersuara dihadapannya telah berdiri seorang pemuda berwajah tampan berikat kepala merah berbunga2 hitam.

Hee, bocah! Apa maksudmu menghadang jaianku! Lekas menepi, sebelum kau merasakan kerasnya tangan ini!!!

Baik aku akan menepi asal lebih dulu kau serahkan itu isi ikat pinggangmu! - seru pemuda tampan itu sambil bersiaga. Mendengar kata2 pemuda yang menyebut isi ikat pinggangnya, orang itu terperanjat. Maklumlah ia bahwa tugas rahasia menyampaikan pesan tertulisnya telah diketahui oleh pemuda itu.

Maka tak ada jalan lain, kecuali harus menyingkirkan pemuda yang menghadang ditengah jalan ini. Tangannya digerakkan dan tahu2 ia sudah mengirimkan serangan maut ke arah kepala sang pemuda. Ia sudah memastikan bahwa pemuda itu akan rubuh dengan sekali pukul ilmu silat yang dipunyainya adalah  berasal  dari perguruan Pulo Ireng. Dan ia termasuk tokoh pilihan dalam tugas rahasia itu. Tapi sayang, diluar dugaan sama sekali tubuh sang pemuda bergerak sedikit, kepalanya miring ke kanan sehingga pukulan maut itu hanya

mengenai tempat kosong!

Bahkan tidak lama kemudian tangannya yang terdorong oleh tenaga pukulannya itu, sebelum ditarik mundur masih terkena tamparan tangan pemuda ini hingga ia peringisan, - Bukan main tangan anak ini. Tamparannya terasa panas sekali bagaikan berani. Aku tak boleh setengah2 menghadapi anak ini! - Hatinya panas melihat serangannya gagal.

Setan, kau bocah yang kurang ajar! Jangan gembira kau lolos dari pukulanku yang pertama. Lekas sebut namamu sebelum kau mampus ditangan Sura Welang.

Ha, ha, ha, Gagak Bangah tidak takut dengan ancamanmu. Keluarkan semua kepandaianmu! - Seru anak muda menantangnya. Karuan saja Sura Weiang merah mukanya mendengar tantangan itu dan kembali tangan kanannya melancarkan pukulan beruntun diseling tendangan kakinya yang menimbulkan suara berderu. Tubuh Gagak Bangah bergerak dengan gesitnya bagaikan gerak burung gagak yang menyambar mangsanya sehingga setiap serangan lawannya selalu mengenai udara kosong. Terdengar Sura Welang menggerutu menghadapi lawannya yang tangguh ini, sejurus tubuhnya meloncat ke belakang sambil tangannya bergerak ke pinggang dan terlihatlah sebilah golok mengkilap ditangannya, lalu diputarnya bergulung2 menyerang Gagak Bangah. Melihat cara permainan golok lawan yang menderu seperti gelombang laut berputar2 itu sadarlah pemuda ini, bahwa Sura Welang termasuk orang2 bajak laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa. Ia mengenal permainan pedang itu dari ceritera gurunya Ki Sorengrana. Menghadapi serangan golok hebat itu, Gagak Bangah merasa kerepotan juga jika hanya menggunakan tangan kosong. Maka ia mencabut sebuah seruling dari ikat pinggangnya. Keduanya kini bertempur mati2an hingga berjalan puluhan jurus. Satu ketika golok Sura Welang membabat ke bawah dengan sasaran kedua kaki Gagak Bangah. Untunglah pemuda ini cepat berpikir kalau tidak kedua kakinya sebatas lutut akan terbabat putus. Ia cepat melontarkan tubuhnya ke atas menghindar golok lawan sedang tangan kanannya mengirimkan serangan balasan dengan pukulan serulingnya ke tangan Sura Welang. "Krak". Terdengar gemeretak tulang patah, dan golok Sura Welang terlepas dari tangannya lalu tubuhnya terhuyung-huyung jatuh. Ternyata pukulan seruling Gagak Bangah bukan sembarangan tapi dilambari pukulan Lebur Waja.

Dengan cepat Gagak Bangah memburu tubuh Sura Welang yang roboh itu serta menggeledah ikat pinggangnya. Dan diketemukanlah apa yang dicarinya. Lipatan2 daun lontar yang berisi pesan2 rahasia!

Baru saja ia menyimpan benda itu ke ikat pinggangnya mendadak berkelebat sesosok tubuh dan langsung menyerangnya dengan sabetan senjata berupa tambang yang lemas dan kuat berputar-putar mendesing dengan hebatnya!

— Rasakan tambang maut ini! Kau telah lancang merubuhkan Sura Welang, tapi sekali ini nyawamu akan hilang ditangan Tambangan! - Gagak Bangah berusaha menangkis serangan tambang itu, tapi sayang kalah cepat. Meski ia sudah menundukkan k-pala tak urung ikat kepalanya tersambar jatuh oleh sambaran tambang itu, sampai wajahnya merah saking marah dan malunya.

— Heee! Kau bukan laki2, tapi perempuan yang cantik. Ha, ha, ha, kalau tahu dari semula, aku tak akan melawanmu, manis. Ayo lekas kembalikan surat yang kau rampas tadi dan kau akan kujadikan istriku, ha, ha ha,.... Orang itu tertawa tergelak2 dan wajahnya menjadi beringas karena dihadapannya bukan lagi pemuda tampan tapi seorang gadis cantik. Tidak lain adalah Pandan Arum. Rambutnya yang tadi tersembunyi di dalam ikat kepalanya kini terlepas dan terurai ke bawah. Warnanya hitam dan bergelombang kecil2 itu membuatnya indah. "Krak" Terdengar gemeretak tulang patah dan golok Suro Welang terlepas dari tangannya .........

Gadis itu dengan gesitnya memu- ngut kembali ikat kepalanya dan segera memakainya. Kini kembali berdiri dihadapan Tambangan seorang pemuda tampan Gagak Bangah. Bukan lagi sebagai si Pandan Arum yang cantik.

- Bedebah kau Tambangan! Kau harus tebus perbuatanmu tadi? — Gagak Bangah menyerang lagi dengan serulingnya, tapi lawannya bukan sembarangan. Tambang maut lawannya beberapa saat kemudian membuatnya kerepotan dan terdesak mundur. Disaat Tambang itu menyambar ke arah mata Gagak Bangah, mendadak terdengar angin panas menyambar, Taar . . . tar . . .

Tambang maut itu terputus beberapa potong oleh sabetan cambuk yang bersinar biru kehijauan. Betapa terke- jutnya orang itu setelah memperhatikan orang yang memegang cambuk berwarna biru. Ternyata orang itulah yang diincernya dikedai minum tadi

— Mahesa Wulung! - Desisnya dan dengan gesit sebelum lawannya bertindak lebih lanjut. Tambangan cepat memutar tubuhnya dan meloncat ke dalam semak yang lebat. Sekejap saja tubuhnya telah lenyap ditelan gelap. Mahesa Wulung membiarkan orang itu lari. Ternyata ia dapat menebak dengan tepat tentang kecurigaannya terhadap lawannya. Sejak tadi didalam kedai minum, ia telah memperhatikan mereka, bahkan ketika seorang diantaranya keluar dengan tergesa2 dan sesaat kemudian disusul oleh yang seorang lagi, ia cepat2 memburunya. Hingga kini ia tak lepas2 pandangan matanya dari pemuda yang masih berdiri di hadapannya. Wajahnya yang tampan itu seperti pernah dikenalnya, lebih2 ia kagum akan senjata yang digunakan oleh anak muda itu. Sebatang seruling yang indah tergenggarn ditangannya.

— Terima kasih kisanak, kau telah menyelamatkan nyawaku, kata pemuda tampan itu. - Kalau terlambat, pastilah mataku sudah cedera. Nah, perkenalkan, aku biasa dipanggil Gagak Bangah. —

— Aku Mahesa Wulung! —

— Kisanak lihatlah apa yang baru saja aku rebut dari mereka tadi. Sebuah pesan rahasia dari daun lontar.

— Pemuda itu mengeluarkan lipatan daun lontar dari ikat pinggangnya, lalu diberikannya kepada Mahesa Wulung.

Wajahnya tampak tegang dan terperanjat membaca isi pesan rahasia itu. - Hmm, kisanak. Lihatlah pesan ini, didalamnya ternyata berisi laporan bahwa aku dalam perjalanan pulang ke Demak dan harus disingkirkan! Juga berisi peringatan kepada pimpinan mereka, di pulau Ireng Karimun Jawa supaya lebih waspada. Teranglah disini kisanak, bahwa mereka telah mengenalku lebih jauh dan menyebar mata2nya sumpai ke pesisir daerah Demak.

Memang terkenal kalau bajak laut hitam Pulo Ireng paling licin dan ulet. Tapi betapapun begitu, suatu ketika mereka akan hancur jika hukuman Tuhan sudah menimpanya! - kata Gagah Bangah.

Mari, kita bisa memperoleh keterangan lebih banyak dari orang yang berhasil kau robohkan itu, kisanak! - ujar Mahesa Wulung sambil mendekati tubuh Suro Welang yang terkapar di tanah

- Terlambat sudah, lihat ia sudah tidak bernyawa lagi! - teriak Mahesa Wulung hingga membikin Gagak Bangah yang berdiri disampingnya terkejut bukan main.

Wajah Suro Weiang kelihatan berwarna kelabu pucat. Sedang ditangan kirinya yang setengah tergenggam itu tampaklah dua butiran benda yang ber- warna hitam kehijauan.

Hmm, dia telah membunuh diri rupanya dengan meminum butiran racun. Lihatlah itu, masih ada dua buah tersisa - kata Gagak Bangah - Baginya, berbuat begitu dianggap lebih baik dari pada harus menjawab pertanyaan2 kita. —

Biarkanlah, Ayo kita cepat kembali ke kedai minum. Pastilah Jagayuda telah lama menunggu kita, — ajak Mahesa Wulung kepada Gagak Bangah dan merekapun berjalan ke arah kedai tadi. Demikianlah, setelah Gagak Bangah diperkenalkan oleh Mahesa Wulung kepada Jagayuda, ketiganya tak lama kemudian melanjutkan perja- lanannya ke Demak.

Kota Demak sangatlah ramainya dan termasyhur ke mana2. Setiap orang hampir tidak akan menyangkal mengganggunya terutama dengan Mesjid Demak yang dibangun oleb para Wali2. Beberapa tiangnya yang dibuat dari pada susunan tatal atau sisa2 kayu membuat Mesjid, itu terkenal hampir ke segenap penjuru tanah Jawa. Bahkan lebih dari pada itu, Demak pun dikenal negara2 luar Jawa karena armada lautnya yang sangat kuat sejak pertama dirintis oleh Adipati Junus sampai sekarang oleh Panglima Fatahilah. Keberanian Putera2 armada Demak terbukti dengan penyerangan mereka ke Malaka yang telah diduduki oleh Portugis si penjajah.

Pada suatu hari, kelihatan Jagayuda dan Gagak Bangah berdiri dihalaman Kepatihan yang terlindung oleh naungan pohon beringin. Mereka sedang asyik bercakap2 sesekali diselingi dengan tertawa.

Itu kakang Mahesa Wulung datang .

. . — tiba2 Gagak Bangah memutus percakapannya dan keduanya segera menyongsong Mahesa Wulung yang kini dengan wajah berseri2 keluar dari pendapa Kepatihan.

Bagaimanakah kakang apakah kita segera bertugas! — tanya Jagayuda, "Aku sudah lama tak berlayar. Aku sudah rindu akan hawa laut, rindu burung2 camar yang beterbangan disekitar perahu kita, dan ikan lumba2 yang berenang berbondong2 mengikuti perahu, Achh, aku rindu semuanya ....


Dalam waktu yang tak lama lagi Adi Jagayuda, mungkin beberapa minggu sambil mempersiapkan segala sesuatu untuk pelayaran itu. Kita akan bertolak dari pangkalan Jepara. Dari sanalah kita akan memulai tugas kita yang berat, yaitu menumpas bajak laut hitam dari Pulo Ireng Karimun Jawa. —

"Menumpas bajak laut Pulo Ireng?" seru Jagayuda. Hmmmm, ya, ya, itulah tugas paling tepat! Mereka telah cukup lama merajalela dilaut Jawa."

Begitulah dengan telah musnahnya gerombolan Alas Roban, dapatlah ditemukan bukti2 adanya persekutuan antara mereka dengan bajak laut Pulo Ireng.  Mereka  sengaja   merongrong kekuasaan Demak serta mengacau lalu lintas   perdagangan   didarat  dan dilautan. Sekaranglah tiba saatnya untuk berbakti kepada negara" ujar Mahesa Wulung, sementara Jagayuda dan Gagak Bangah mengangguk-angguk penuh pengertian  akan  tugas yang kini terpikul dipundaknya, lebih2 dengan Gagak Bangah yang belum pernah ikut berlayar itu, sangatlah ia bergembira. Sesaat kemudian tampaklah keti- ganya meninggalkan Kepatihan serta memacu kudanya kearah selatan, kembali ke Dalam Ksatryan. Dalam beberapa hari selama di Demak, Gagak Bangah dapat berlatih tentang olah keprajuritan serta ilmu tentang keluhuran budi. Satu hal yang tidak dinyana bahwa ia berkesempatan menerima   gemblengan2 dari ksatrya2 Demak yang telah banyak pengalaman dalam pertempuran2 untuk menjaga kejayaan Demak, seperti antara lain Ki Kebon Kenanga yang terkenal mempunyai   Adji  pukulan  maut yang dahsyat setarap aji pukulan maut Lebur Wajanya Ki Sorengrana dari Asemarang yang kinipun telah diwarisi oleh Mahesa  Wulung  dan  oleh  dirinya

sendiri.

Bahkan tentang tata cara kerajaan, Gagak Bangahpun mendapat petunjuk2 dari Mahesa Wulung dengan sempurna. Berkat sikapnya yang ramah tamah dan halus menyebabkan Gagak Bangah cepat terkenal di Demak, mulai dari desa2 sampai kelingkungan Keraton. Hanya satu hal yang selalu dihindarkan oleh Gagak Bangah yaitu selalu menolak secara halus setiap gadis yang menyatakan cinta kepadanya. Ia selalu berdalih bahwa saat itu masih jauh baginya, karena sekarang yang terpenting adalah tugas negara, harus lebih diutamakan.

Demikianlah setelah genap tiga pekan mereka tinggal di Demak, mempersiapkan segala keperluan untuk tugas2 yang berat dan mendapat petunjuk2 secukupnya dari Panglima Fatahilah, disuatu pagi yang cerah berangkatlah mereka ke utara menuju kota Jepara pusat pangkalan Armada kerajaan Demak.

Genap tiga minggu setelah tumpasnya gerombolan hitam Alas Roban oleh pasukan2 Asemarang, dipantai utara Alas Roban pada suatu senja muncullah sebuah perahu jung yang berbendera tengkorak berdasar hitam. Setelah membuang jangkar, nampaklah seorang yang melambai2kan obor sebagai isyarat yang segera mendapat jawaban pula dari sebuah perahu kecil yang didayung oleh dua orang. Sedang seorang yang duduk ditengah berjenggot dengan kumis yang lebat dan berikat kepala merah berbunga2 hitam berkali2 melambaikan obornya.

Dalam waktu yang tidak lama, merapatlah perahu kecil itu kepada perahu jung. Ditepinya telah berdiri beberapa orang yang mengawaskan perahu kecil yang baru saja merapat, dan bilamana penumpang perahu kecil itu naik ke atas, keluarlah dari orang2 yang berdiri itu seorang dengan memakai baju pendek hitam berwajah seram. Alisnya yang tebal dengan mata agak sitip menyala merah membuat orang itu dipanggil dengan nama Cucut Merah.

— Hua, ha, ha, ha, Satu kehormatan besar bahwa Cucut Merah bisa memberikan pertolongan kepada Kakang Macan Kuping!" seru orang itu, dengan ketawanya yang menimbulkan getaran udara senja itu, "Aku tahu semuanya dari mata2ku yang bertugas didaerah Demak".

- Setan kau, Cucut Merah! Keparat, kau enak2 mendekam disarangmu Pulo Ireng selagi aku bertempur mati2an dan dadaku terluka dalam pertempuran melawan pasukan Asemarang!" teriak Ki Macan Kuping agak marah, tapi tak urung pula senyum setak menghias bibirnya.

- Jangan kira bahwa dendammu itu tidak kubalaskan, kakang. Baru2 ini sebuah perahu Demak setelah lebih dulu kurampas barang-barangnya lalu kutenggelamkan bersama orang2nya! Kini kita tak perlu takut berhadapan dengan sebuah armada Demak. Apa lagi dengan bantuan Kakang Macan Kuping, ditambah senjata2 dari kawan2 kita orang Portugis, mereka segera kita hancurkan dan kita akan merajai laut Jawa! —

— Bagus2 akupun ikut senang, tapi apa kau lupa itu petualang laut si "Barong Makara" yang sering kali menyelamatkan perahu-perahu yang akan menjadi mahgsa kita? Bukankah dia orang aneh? Karena muncul dan lenyap begitu saja dengan perahunya tanpa seorangpun yang bisa mengejarnya. — Kata Ki Macan Kuping.

— Hmm, yah akupun tahu dan juga ingat bahwa kapal-kapal armada Portugispun tak mampu mengejarnya. Memang dia termasuk lawan kita. Tapi jangan kuatir kakang, telah berbulan- bulan ini ia tak lagi kedengaran kabar kabar beritanya. Mungkin ia telah mampus ditelan hantu2 lautan! Heh, heh, heh."

— Ayo kawan2, kita cepat pergi dari sini" teriak Cucut Merah memerintah anak buahnya. — Kita nanti bikin pesta meriah untuk menyambut kedatangan Ki Macan Kuping disarang kita Pulo Ireng! — Teriak Cucut Merah disambut ketawa gembira anak buahnya, merekapun cepat berkemas-kemas dan sejurus kemudian perahu bajak laut itu bergerak ke utara dan menembus kegelapan malam seperti bayangan hantu yang tengah mencari mangsanya.

********

Pelayaran dilaut Jawa semenjak menghilangnya Barong Makara terasa benar tidak aman. Telah beberapa perahu dagang yang menjadi mangsa keganasan Bajak laut hitam Pulo Ireng. Terutama kekejaman pemimpinnya yang bernama Cucut Merah tak terkira. Mungkin masih untung bila perahu dan anak buahnya yang menjadi korban itu hanya ditenggelamkan begitu saja. Diantara orang2 itu yang masih kuat berenang, ada kalanya sempat menyelamatkan nyawanya. Tapi jika Cucut Merah sudah memperlihatkan kekejamannya, siapakah yang tidak meremang bulu tengkuknya. Tidak jarang untuk selingan hiburannya. Cucut Merah mengikat calon korbannya, kemudian diseret dengan perahunya dan akan tertawalah dia terkekeh2 kesenangan.

Kemudian tertawanya akan bertambah keras jika korbannya tadi setelah diangkat keatas ternyata tubuhnya tinggal separo karena dilalap oleh ikan2 hiu yang terkenal ganas!

Rupanya Cucut Merah benar2 yakin bahwa Barong Makara telah mati sehingga ia tak perlu lagi merasa takut membajak perahu-perahu dagang. Bahkan lebih kurang ajar lagi, ia kini sekali2 berani melibatkan diri bertempur melawan kapal2 perang dari armada Demak. Perahu jung yang dipakainya dilengkapi dengan empat meriam besar pada masing2 sisi lambungnya dan dua meriam kecil pada haluan dan buritannya.

Namun yang menjadi sebab takutnya lawan2 Cucut Merah ialah senjata yang dipakainya, berupa dua penggada pipih dengan duri duri beracun pada masing2 sisinya. Senjata itu terbuat dari moncong ikan cucut gergaji yang direndamnya dalam ramuan racun berbisa selama tidak kurang dari dua tahun! Ditambah dengan ilmu silatnya yang hebat, ia mampu memainkan senjata itu dan bertempur sehari penuh tanpa sebuah goresan lukapun yang ditimbulkan oleh lawannya. Dalam sekejap saja, bila ujung duri2 senjatanya menyinggung kulit lawannya, mereka akan terkapar dan mati dengan kulit tubuhnya menjadi kehijauan!

Kini ia merasa raja dari lautan Jawa, sehingga iapun merasa bebas melakukan perbuatannya.

Jika perahu2 dagang sepi ia bersama anak buahnya dengan beberapa perahu lainnya, merampok ke darat k esetiap pesisir dimana uang, perhiasan, bahan makanan dan lainnya terlihat sangat melimpah.

— Ahoooi, perahu diutara cakrawala!" teriak salah seorang penjaga yang ada ditiang layar pertama. Seketika semua pandangan mata diarahkan ke sana dan betullah apa yang diteriakkan mereka. Dua buah perahu besar berlayar berdampingan dengan lajunya karah selatan. Meskipun kabut subuh masih mengambang diudara, tapi bagi mereka, orang2 bajak laut yang terlatih dan banyak pengalaman tentang laut mereka dapat mengetahuinya.

- Ayo anak2 lekas pasang meriam! Dayung pelan2 jangan menimbulkan suara!" perintah Cucut Merah kepada anak buahnya. Sementara itu dita- ngannya telah terhunus sebilah pedang melengkung. Dengan pelahan mereka mendekati kedua perahu itu dan pada jarak yang tepat mulailah perahu bajak laut itu memuntahkan tembakan pelu- ru2nya. Rupanya serangan itu tidak mereka sangka2, terlihat dari balasan tembakan meriam perahu yang pertama terlihat tidak merata, sedang perahu yang kedua dengan cepat meninggalkan pertempuran.

— Hee anak2, cepat selesaikan yang satu ini sebelum perahu kedua itu kabur terlalu jauh! — teriak Cucut Merah dan ia melompat ke prahu pertama setelah kedua perahu saling merapat. Demikian juga Ki Macan Kuping tidak ketinggalan ikut melompat sambil memperlihatkan ketawa mautnya yang menyebabkan lawan2nya seketika pada rebah ke geladak perahu dengan darah merah mengalir dari mulutnya, setelah isi dadanya rontok akibat getaran ketawa Ki Macan Kuping yang dasyat itu. Segera anak buah bajak laut Pulo Irengpun berlompatan ke dalam perahu korbannya dibarengi dengan teriakan2 perang, maka timbullah dikapal tersebut pertempuran hebat, diseling dengan bunyi letusan senapan yang memekakkan telinga.

Cucut Merah yang dikeroyok oleh beberapa orang ternyata dengan mudahnya membabat tubuh mereka satu demi satu. Pedangnya diputar sedemi- kian rapatnya hingga yang terlihat hanyalah gulungan sinar putih sedang tubuhnya seperti terkurung oleh sinar pedang

Lima orang lagi yang mencoba mengeroyok dan bersama-sama menusukkan pedangnya, menjadi terpental dan kaget bukan main. Ternyata ujung pedang2 mereka telah terpotong oleh gulungan sinar pedang Cucut Merah yang berputar itu.

Sedang disebelah buritan Ki Macan Kuping seperti kemasukan setan memutar pedangnya yang berukuran luar biasa besarnya. Geraknya seperti orang menari membacok kesegenap arah, di seling gertaknya berlandasan aji Senggoro Macan membuat serangan lawan2nya kandas dan kemudian sebelum mereka dapat memperbaiki serangannya, tahu2 tubuh mereka terobek oleh sabetan pedang Ki Macan Kuping.

Dalam sekejap mata saja kapal pertama telah jatuh ketangan bajak2 laut Pulo Ireng. Beberapa orang anak buahnya yang masih hidup diikat digeladak perahunya, untuk selanjutnya mereka dibakar bersama2! Cahaya api yang merah menyala-nyala seperti obor itu menjulang kelangit disertai bau daging yang hangus menyesakkan dada. Perahu pertama yang terbakar itu mulai miring.

— Ha, ha, ha, ha, mampus kamu sekalian, keparat! — teriak dan ketawa Cucut Merah menyaksikan "obor lautan" tersebut yang dengan perlahan-lahan tenggelam lalu lenyap dari pandangan mata.

—Ayo, anak2 jangan terlalu gembira, sebelum perahu yang kedua itu kita kirim ke dasar laut ini juga. Cepat dayung keras2! —

Memang perahu pertama tadi hanyalah sebagai umpan saja bila terjadi apa2. Sedang perahu kedua adalah yang terpenting dan kini telah siap2 menghadapi serangan bajak2 laut itu. Untuk kedua kalinya gelegar2 tembakan meriam bergema dipagi itu. Lalu kedua perahu setelah saling merapat, berlompatanlah awak2 kapalnya untuk menyongsong lawannya masing2. Gemerincing pedang beradu di tambah bunyi letupan2 tembakan senapan lasak yang hanya sekali tembak, malahan sebentar2 terdengar teriakan perang yang mengerikan bergema dipagi itu.

Kedua belah pihak sudah lupa akan harga nyawa manusia, karena disaat itu bukan waktunya untuk merenung-renung akan makna hidup, tetapi mereka harus berpikir cepat bilamana pedang lawan kelihatan menusuk atau membabat, mereka harus secepatnya menangkis serta balas menyerang musuhnya. Begitulah kedua belah pihak saling berusaha menumpas lawannya dengan cepat.

Sesaat pertempuran berlangsung, Cucut Merah terperanjat melihat dipihak lawan ada dua orang yang bertempur dengan gigihnya. Keduanya berpakaian seperti orang2 Malaka, baju berlengan panjang tak berleher. bercelana panjang sampai dibawah lutut dengan kain sarung tenun sutera yang dilipatkan pada pinggang. Lebih terkejut lagi, bahwa yang seorang ternyata adalah seorang pendekar wanita. Gerak serangannya lincah, sampai lawannya kerepotan menangkis serangan pedangnya. Tubuhnya seperti tak mempunyai gaya berat, sebentar melenting kesana sebentar lagi kemari dibarengi sabetan pedang di tangan kanannya yang lentur dan tipis namun tajamnya bukan main.

Pendekar yang kedua juga lincah gerakannya, keduanya rupa2nya berilmu sama, terlihat dari caranya bertempur. Bilamana tangan kanannya menangkis serangan lawan tangan kiri maju ke depan mengirimkan tusukan jarinya. Pendekar ini punya wajah yang tampan. Kumisnya tebal ditambah jenggot tipis dan sorotan matanya sangat tajam. Ia bersenjatakan sebilah keris yang panjang dengan hulu kerisnya berukir kepala burung garuda.

Kedua pendekar itu telah merobohkan mati beberapa orang anak buah bajak laut Pulo Ireng. Yang membuat Cucut Merah tak habis herannya ialah perbedaan pakaian antara kedua pendekar itu dengan anak buahnya. Kalau keduanya berpakaian model Malaka, anak buahnya berpakaian model prajurit armada Demak.

— Hmm, rupanya mereka adalah utusan Malaka untuk Sultan Demak. Baiklah keduanya sebentar lagi akan kutangkap hidup2 dan pasti aku akan menerima hadiah besar dengan menyerahkan mereka kepada kawan2 Portugis! - pikir Cucut Merah dengan diam2. Segera ia melesat kearah pendekar kedua dan langsung mengirimkan bacokan pedangnya. Sayang ia jadi kecewa manakala pedang yang dibacokkan dengan perhitungan yang masak2 itu lewat sejengkal dari kepala lawannya, setelah pendekar itu secara manis mengegoskan kepalanya ke kanan.

— Setan kau, ya! Cepat menyerah dan berlutut minta ampun kepadaku sebelum terbelah kepalamu oleh pedangku ini, ha! Belum pernah kau dengar permainan pedang Cucut Merah? — teriak Cucut Merah tambil mengacungkan pedangnya. Biar gerakannya pelan tapi karena dilambari tenaga dalamnya, menimbulkan desiran angin yang dingin, hingga diam2 pendekar ini merasa kagum.

— He, he, he, — pendekar itu tertawa mengejek. — Jangan mencoba2 mengancamku! Hang Sakti sudah bukan anak kecil lagi. Boleh aku berlutut didepanmu setelah bercerai kepala awak dari tubuh serta kerisku ini menembus dadamu! — Bagai sambaran petir ditelinganya, ketika pendekar itu menyebutkan namanya!

Nama itu adalah salah satu nama dari sekian deret nama2 pendekar2 Malaka seperguruan dengan Pendekar Hang Tuah.

— Hah kebetulan sekali kalau begitu! Kau akan kuingkus hidup2 sekarang juga! — Bentak Cucut Merah disertai tubuhnya yang melangkah sambil memutar pedangnya. Pendekar Hang Sakti tak tinggal dia ia cepat memiringkan tubuhnya dan menyambut pedang lawan dengan kerisnya itu. Kini keduanya terlibat dalam satu pertempuran yang dahsyat. Kedua tubuh itu sudah tidak tampak lagi kecuali sinar2 pedang dan keris itu saja saling kejar mengejar tusuk menusuk. Sesuai dengan namanya. Cucut Merah bergerak seperti seekor ikan cucut yang kelaparan. Setiap serangannya disertai gerakan tubuh yang hebat dan ganas. Kaki, tangan dan bahkan kepalanya sekaligus bisa digunakan untuk menyerang lawan

Sedang Pendekar Hang Sakti, gerakannya kelihatan sangat masak, penuh perhitungan dan sederhana terutama bila ia menangkis serangan lawan tetapi bila ia sudah balas menyerang, ujung kerisnya berubah seperti ribuan jumlahnya. Dua puluh juru telah berlalu. Selama bertempur itu, sekali2 Hang Sakti melirik kearah awak2 perahunya yang satu demi satu tewas diujung senjata bajak2 laut Pulau Ireng. Dan betapa ia tersirap darahnya ketika ia melihat adiknya Nurlela bertempur melawan seorang yang berjenggot dan kumis lebat, berikat kepala merah yang tidak lain adalah Ki Macan Kuping! Ia heran bahwa orang tersebut berani menghadapi adiknya dengan tangan kosong. Pedang yang tadi digunakan kini disarungkan kembali ke pinggangnya setelah Ki Macan Kuping mendengar teriakan Cucut Merah.

— Kakang Macan Kuping! Jangan bunuh yang dua orang ini. Kita tangkap mereka hidup2! —

Nurlela pendekar wanita itu biar telah sekuat seluruh tenaganya melawan Ki Macan Kuping, sedikit demi sedikit makin terdesak. suatu ketika ia menusuk pedang tipisnya ke dada lawannya, tapi tahu2 Macan Kuping memiringkan tubuhnya serta tangan kanannya bergerak cepat ke pundak Nurlela dan pendekar wanita ini rebah ke geladak perahu, pingsan setelah tertotok jalan darahnya. Anak buah Cucut Merah cepat mengikat tangan pendekar wanita yang sudah tidak berdaya itu.

— Hua, ha, ha, ha, yang satu sudah beres kini yang satu lagi. - Tubuh Ki Macan Kuping melayang ke arah lingkaran pertempuran antara Cucut Merah dengan Hang Sakti.

Disaat-saat terakhir, ketika masing2 mengadu senjatanya, dilandasi tenaga dalam, keduanya terpental ke belakang. Baik Cucut Merah maupun Hang Sakti diam2 saling mengagumi tenaga lawannya. Tapi, pedang lengkung Cucut Merah begitu beradu dengan keris Hang Sakti tergetar hebat dan kemudian jatuh berdentang ke atas geladak perahu. Melihat ini cepat2 ini menarik kedua senjata andalannya yang bergantung pada pinggangnya. Dua penggada pipih dan berduri penuh racun itu kini tergenggam erat ditangannya, sebentar kemudian bergerak sangat mengerikan. Hang Sakti yang melihat senjata aneh dari lawannya menjadi berhati2. Bahkan ketika kerisnya beradu dengan kedua senjata aneh itu hampir2 saja terkait oleh duri2nya dan terbetot lepas dari tangannya.

Maka dengan segera ia menggenjotkan tubuhnya ke atas bersamaan dengan itu ia mengerahkan segenap tenaga dalamnya dan menarik kerisnya hingga berhasil lepas dari kaitan senjata Cucut Merah yang berduri penuh racun racun. Dalam pada itu sesok bayangan hitam yang berkelebat sangat cepat ke arah tubuh Hang Sakti membuat pendekar ini agak terkejut. Bayangan itu ternyata Ki Macan Kuping yang siap menotokkan jari2nya ke arah urat2 dan jalan darah dari Pendekar Hang Sakti. Dibarengi gerakan menghindar, tangan Hang Sakti memutar senjatanya setengah lingkaran dan tahu2 kerisnya terasa menyentuh sesuatu - Breet! - Baju Macan Kuping terobek sepanjang dua jengkal. - Keparat! Kau  telah  berani merobekkan bajuku ini? Bagus, kau memang pendekar hebat, tapi kau kan menebusnya dengan nyawamu! Ayo, ada Cucut Merah, kita keroyok dia biar lekas selesai pekerjaan kita ini — seru Ki Macan Kuping sambil mencabut pedangnya  kembali   dari pinggang. Pertarungan kembali berlangsung lebih hebat. Pendekar Hang Sakti yang masih tergolong   muda   itu   lama2    agak kerepotan juga menghadapi dua lawan yang termasuk tinggi tingkatannya. Ki Macan Kuping dan Cucut Merah agak heran juga terhadap lawannya yang masih muda itu belum dapat dirobohkan. Tiba2 saja ketika dirinya terasa makin terdesak,  Hang  Sakti   cepat meloncati k  esamping  dan  berdiri dibibir perahu. Sambil menyarungkan kerisnya ia berteriak. - Baik, kalian berdua memang hebat, sayang tindakanmu yang mengeroyok ini tak lebih seperti keberanian    perempuan.  Kita  akhiri disini dulu permainan kita ini. Lain kali kita bertemu lagi! — Tubuh Hang Sakti selesai berkata itu, melayang ke

air dan terjun dengan suara berdebur.

— Setan! Dia lari! Ayo kawan2 cepat mampuskan dia! — teriak perintah Cucut Merah bergema dan serentak para anak buahnya bertindak. Sebagian ada yang melempar lembing atau menembakkan senapan lasaknya, sampai air laut itu berbuih2 menggelegak. Tubuh Hang Sakti tidak muncul2 lagi, sehingga Cucu Merah serta anak buahnya berhenti mencarinya.

— Hah, sudah mampus dia rupanya! Cepat kawan kita pindahkan kekayaan perahu ini keatas perahu kita, — seru Cucut Merah.

Setelah mereka menyikat licin tandas kekayaan perahu itu, beberapa orang anak buah Cucut Merah mulai melemparkan obor2nya hingga dalam sekejap perahu kedua itu terbakar pula dan kemudian tenggelam ke dasar laut.

— Ha, ha, ha, semua sudah beres kakang Maca Kuping! Lihatlah, tidak ada seorangpun yang masih nampak batang hidungnya. Biar tahu rasa mereka sekarang, akan kekuatan bajak laut Pulo Ireng. —

— Dan yang seorang tadi, akan kau apakah dia Cucut Merah? — tanya Macan Kuping kepada Cucut Merah yang berdiri disampingnya.

— Kita jual saja dia kepada orang2 Portugis. Mungkin dia membawa keterangan2 rahasia yang penting buat mereka! —

— Heh, heh, heh, kau memang cerdik. Cucut Merah. Tak percuma orang2 memilihmu sebagai kepala bajak laut Pulau Ireng! — Cucut Merah tersenyum lebar mendengar pujian Ki Macan Kuping itu, lalu iapun memerintah anak buahnya untuk segera berkemas2 dan berlayar ke utara, kembali kesarang mereka, Pulo Ireng di Karimun Jawa.

Ketika perahu bajak itu bergerak ke utara, di sela2 potongan2 kayu dan pecahan2 papan sisa dari perahu yang terbakar tadi yang kini terapung2 dibawa ombak ke sana ke mari, muncullah keatas permukaan air, kepala manusia yang dengan susah payah menjulurkan tangannya lalu bergantung pada potongan2 kayu. Dengan demikian orang itu bisa beristirahat.

— Hmmm, untunglah Tuhan masih mengulurkan tanganNya dan melindungiku dari kekejaman bajak2 laut Pulo Ireng. Biarlah untuk kali ini Hang Sakti berbuat sangat memalukan, karena lari dari pertempuran. Tapi lain kali tunggulah, mereka pasti akan kuhajar dan adikku Nurlela harus segera kubebaskan dari mereka. — Begitulah, Hang Sakti selesai berpikir, segera berenang ke sana ke mari mengumpulkan bilah2 papah dan tali-temali yang banyak berserakan terapung disekitarnya. Ia tidak boleh terus- terusan bergantung pada potongan2 kayu itu, sebab disekitar tompat itu sering berkeliaran kawanan ikan hiu yang ganas. Apa lagi dengan bau darah, ikan2 itu akan cepat datang ke tempat tersebut. Ya, dia harus berbuat sesuatu, agar tidak mati konyol dimangsa oleh ikan2 hiu, Hang Sakti lalu mencabut pisau kecil dari ikat pinggangnya yang depan, kemudian sambil duduk diatas beberapa potongan kayu dan papan yang kini telah diikatnya merupakan rakit kecil ia mengerat-ngerat dua bilah papan selebar satu jengkal jari dan panjangnya dua jengkal dan masing2 dibuatnya lubang2 sebanyak tiga buah. Satu lubang diujung, yang satu sedang dua lubang lagi diujung yang lain. Setelah itu kemudian ia memasukkan tali2 pada lubang itu dan selesailah sudah apa yang dibuatnya, dua buah terompah kayu lebar. Dan sambil mengamat-amati hasil kerjanya, Hang Sakti tersenyum lebar kepuasan.

*****

Dihalaman sebuah pondok yang terletak dikaki sebelah barat Gunung Muria, tampaklah seorang gadis yang duduk2 melepaskan lelah setelah ia berlatih silat dengan bibinya. Ia tersenyum manis, manakala tangannya yang memegang ikat kepala merah berbunga hitam berkali2 diamatinya. Selama ini, ia tetap memakainya dan merahasiakan dirinya dengan diam2 terhadap Mahesa Wulung, hingga pendekar perwira itu tidak mengenai sama sekali, bahwa dirinya yang selama itu memakai nama dan menyamar sebagai pemuda bernama Gagak Bangah tidak lain adalah Pandan Arum!

Begitu pula ia teringat waktu mula2 menjumpai bibinya di pondok ini. Walaupun ia menyebut kemeakannya, wanita itu masih belum mengenalnya, malahan wajahnya membayang rasa kebingungan. Barulah sesudah ia melepaskan ikat kepalanya dan rambut- nya yang hitam panjang berombak kecil itu terurai lepas dipunggungnya, wanita itu segera dapat mengenalnya kembali akan kemenakannya. Si Pandan Arum. Mereka berpelukan sangat mesra karena keduanya telah lama tak berjumpa dan Pandan Arum pun menceriterakan segala pengalamannya, sehingga bibinya mengangguk-anggukkan kepalanya penuh pengertian.

— Pandan Arum, mari nak kita lanjutkan lagi latihan tadi. - Dengan agak terkejut Pandan Arum menoleh ke belakang mendengar siapa itu. Bibinya telah berdiri dibelakang, sambil memegang dua buah selendang sutera ditangannya berwarna kuning jingga.

— Terima kasih bibi Sumekar - ujar Pandan Arum. — Nah, Pandan Arum telah lima hari kau kuajari dasar2 permainan selendang “Sabet Alun”. Sekarang lihatlah bagaimana engkau menggunakan selembar selendang sebagai senjata. Jika engkau sudah mengu- sainya, ilmu selendang "Sabet Alun" ini bisa kau terapkan dalam permainan pedang," ujar Nyi Sumekar sambil memberikan sebuah selendangnya kepada Pandan Arum.

Kemudian Nyi Sumekar mulai memainkan selendangnya. Geraknya cukup membuat Pandan Arum tertegun keheranan. Kain selendang yang mula2 lemas itu kini bergerak dengan hebat laksana ombak badai yang bergulung2. Saking cepatnya selendang itu sukar ditangkap mata, kecuali hanya sinarnya saja yang berkelebatan ke segenap arah.

— Pandan? Lihatlah hebatnya permainan selendang "Sabet Alun" — seru Nyi Sumekar sambil merubah gerakan selendangnya. Tiba2 ujung selendang jingga itu mematuk ke atas dan menyambar buah pepaya yang tergantung dipohonnya. "Taaaaarrr!" Buah pepaya sebesar kepala manusia itu hancur bercipratan kemana2.

Pandan Arum yang menyaksikan kehebatan itu terpekik kecil. Ia merasa ngeri dan diam2 berpikir seandainya selendang itu membentur kepala orang tentu lebih ngeri akibatnya!

Selendang Nyi Sumekar kini bergerak mendatar ke arah pohon pisang sebesar paha lebih dan melilit batangnya. Dengan gerakan menyentak, tiba2 ia menarik selendang itu dan hampir2 tak percaya Pandan Arum melihat bagaimana pohon pisang itu terpotong seperti ditebang dan roboh dengan suara gemuruh.

Sejurus kemudian, Nyi Sumekar tampak mengakhiri permainan selendangnya, sedang Pandan Arum tak henti2nya mengagumi. Kini Pandan Arumpun berlatih dengan tekunnya. Semua petunjuk2 dan nasehat2 bibinya diperhatikan dengan sungguh2, malahan sekarang ia betul2 merasa kepandaian- nya bertambah banyak dibandingkan sewaktu ia masih di Asemarang.

Dasar memang Pandan Arum berotak terang, maka dalam waktu singkat ia sudah menguasai semua pelajaran yang diterimanya dan maju dengan pesat sekali. Ia sekarang menjadi gadis yang pemberani dan lincah. Bibinya, Nyi Sumekar sudah maklum akan hal ini, karena iapun tahu bahwa semenjak kecil Pandan Arum sudah terbiasa menghadapi segala macam bahaya, sehingga ia mempunyai kepercayaan penuh terhadap kemarnpuan dirinya.

Pandan Arum sangat senang tinggal dipondok itu yang terletak dikaki Gunung Muria. Hawanya lejuk dan pemandangan alamnya juga indah. Nyi Sumekar tinggal disitu sudah lama, sedang suaminya Ki Wiratapa jarang2 pulang karena ia gemar bertapa kemana2. Selain itu ia juga seorang petani yang baik. Pondoknya itu dikeliiingi oleh bermacam2 pohon buah2an. Disebelah belakang, dibuatnya ladang yang ditanami jagung, diseling dengan ubi dan juga padi gogo. Nyi Sumekar sendiri sering didatangi tetangga2 dari desa disekitar tempat itu, karena ia terkenal sebagai pembuat jamu dan ramuan obat yang baik. Dan untuk itu Nyi Sumekar dengan senang hati akan memberikan pertolo- ngannya kepada tetangga2nya. Itulah sebabnya kedua suami isteri itu disayangi oleh setiap orang didaerah kaki Gunung Muria sebelah barat. Bila malam tiba, Pandan Arum sebelum tidur sering berdoa untuk keselamatan Mahesa Wulung, lalu kadang2 muncul rasa kangen dan ingin berjumpa dengan pemuda ini.

Ach, mungkinkah ini yang disebut cinta? pikir Pandan Arum dengan resah, tapi perasaan itu kemudian ditekan kembali. Iapun kadang2 menyesal mengapa sampai selama ini ia masih menyamar dihadapan Mahesa Wulung sebagai seorang pemuda bernama Gagak Bangah dan menyembunyikan rambutnya yang hitam indah itu dibelakang ikat kepalanya berwarna merah berbunga hitam? Bukankah maksud semula, ia hanya menyamar selama perjalanan saja didalam mencari Mahesa Wulung serta menyampaikan seruling atas permintaan panembahan Tanah Putih?

Meskipun seruling itu telah diberikan kepada Mahesa Wulung dengan mengaku kalau sebenarnya ia utusan dari panembahan Tanah Putih, tak urung hatinya belum lega sebelum Mahesa Wulung tahu bahwa ia sebenarnya adalah Pandan Arum. Entah kapankah hal ini terlaksana hanya Tuhan sendirilah yang tahu.

Pandan Arumpun tahu bahwa Mahesa Wulung saat ini sedang memikul tugas berat dari Panglima Fatahilah atau biasa pula disebut Faletehan, sehingga ia telah bertekad tidak akan mengganggu Mahesa Wulung dengan terburu2 menyatakan bahwa ia sebe- narnya si Pandan Arum. Bahkan ia dengan tetap menyamar sebagai Gagak Bangah, dapatlah ia secara diam2 memberikan bantuannya terhadap tugas Mahesa Wulung yang tidak ringan itu.

Ia telah berjanji dan pamit kepada Mahesa Wulung untuk mengunjungi paman dan bibinya yang tinggal disini selama sebulan, sementara sambil me- nunggu Mahesa Wulung menyiapkan armada Demak untuk penyerbuannya ke Pulau Ireng, Karimun Jawa dan menumpas bajak laut yang bersarang disana. Kemudian bila waktu itu telah tiba, ia akan segera kembali ke Jepara sebagai Gagak Bangah dan bers-ma2 Mahesa Wulung, Jagayuda serta lain2nya berjuang bahu- membahu.

Udara malam pegunungan yang sejuk terasa menembusi dinding2 pondok dan membelai wajah Pandan Arum sampai gadis ini merasakan matanya bertambah berat, dan berat kemudian tertutup perlahan dan tertidur dengan pulasnya.

*****

Siang itu matahari melepaskan sinar panasnya membuat ujung2 ombak yang berlarian, gemerlapan menyilaukan mata.

Riak-riak air yang kecil dan buih2 putih berkilau2 ditinggalkan oleh buritan perahu jung yang berlayar ke arah barat. Kepak2 sayap burung camar terdengar disekitar perahu besar itu, serta terbang merendah dan meninggi, berputar2 seperti menyambut gembira kepada perahu yang tengah berlayar itu. Mahesa Wulung dan Jagayuda berdiri dihaluan dan tersenyum melihatnya. Jung itu berlayar dengan lajunya menempuh ombak bagaikan sebuah benteng yang berjalan dilautan. Sisi2 lambungnya dilengkapi meriam2 besar, tampak bersembulan dari lobang dindingnya.

Beberapa perahu nelayan pencari ikan yang bertemu perahu jung itu mula2 agak terkejut tapi kemudian mereka tertawa dengan melambai lambaikan tangannya, gembira. Agaknya ada suatu yang membuat mereka terkejut tadi. Nelayan2 melihat bendera yang terpasang ditiang utama perahu besar tadi, berwarna dasar biru muda ditengahnya terdapat gambar Makara, seekor binatang yang hanya terdapat dalam dongeng saja. Binatang itu adalah seekor ikan dengan moncongnya berbelalai seperti gajah. Kata orang2 tua binatang itu terkenal sebagai kawan bagi pelaut2 dan menolong mereka bila mendapat kesusahan. Juga sebagai pembawa bahagia maka bentuk2 kepala binatang itu kita jumpai pada pintu2 gerbang candi dan pada perahu2 dari pulau Bali. Mulai dari belalai, mulut, gigi dan matanya. Gambar mata pada perahu tadi dimaksudkan agar pada malam hari dapat berlayar dan melihat jalannya. Mungkin Makara tadi sesungguhnya adalah sebangsa ikan lumba-iumba yang mulutnya mempunyai moncong. Bahkan ia juga terkenal sebagai kawan bagi pelaut2, yang berkali2 telah terjadi memberikan pertolongan kepada pelaut yang jatuh ke laut. Ikan2 tadi beramai-ramai mendukungnya malahan tidak jarang mereka melindunginya dari sergapan ikan2 hiu yang ganas. Nelayan2 itu agak heran juga, sebab sudah beberapa waktu mereka tidak menyaksikan bendera biru dengan gambar Makara kuning emas ditengahnya. Kini bendera itu berkibar lagi dan hati mereka tiba2 saja merasa aman. Selama itu bajak2 laut merajalela tanpa tandingan, tetapi sekarang ini dengan munculnya bendera itu mereka pasti akan menjadi pucat pasi lalu terbirit2 lari ketakutan.

— Lihatlah itu Barong Makara muncul kembali. — seru seorang nelayan kepada temannya. - Pasti ke amanan dilautan akan pulih kembali dan kita bisa mencari ikan dengan tenang. —

Ketika matahari lebih bergeser ke barat, Mahes Wulung dan Jagayuda terkejut mendengarkan teriakan pengawas layar dari atas.

— Ahoooi . . . ada orang disebelah utara. — Jagayuda segera memasang teropongnya dan mata Mahes aWulung yang tajam itu sudah lebih dulu menangkap sesuatu gerak yang membuat hatinya terkejut. Seseorang telah berjalan dan meloncat2 diatas air laut. Ahh, mungkinkah itu manusia atau setan penghuni lautan?

— Laksamana, lihatlah disana ada pemandangan yang aneh! Seorang manusia berjalan dan meluncur diatas air. — seru Jagayuda kepada Mahesa Wulung. — Ia dikelilingi oleh ikan2 hiu yang mencoba menyerangnya! —

— Kalau begitu kita harus segera menolongnya. Cepat putar haluan! Arahkan kemudi ke utara! — perintah Mahesa Wulung. Perahu besar itu laksana seekor naga meluncur cepat ke utara, kearah orang yang tengah diancam maut ganas si ikan hiu pemakan daging!

Ketika perahu semakin dekat dan bertambah dekat. Mahesa Wulung, Jagayuda serta segenap awak perahu terpesona dan kagum melihat orang itu. Tenyata ia memakai sepasang terompah kayu yang diikatkan pada kedua belah kakinya, hingga dari jauh terompah papan tadi tidak kelihatan dan orang itu seakan2 berlari dan melompat2 dipermukaan air. Inilah ilmu meringankan tubuh yang benar2 hebat. Dengan menggerak2kan kaki ke bawah keatas, timbullah daya dorong pada terompah kayu tadi sehingga orang yang memakainya tidak tenggelam malahan dengan lincah seperti berjalan diatas tanah keras saja, ia bergerak kesana kemari, maju mundur menghindarkan setiap terkaman gigi2 maut ikan hiu yang kini mulai menyerangnya.

Seekor hiu yang melesat terkamannya menjadi marah dan kembali menyerangnya dengan loncatan ke atas orang tadi yang tidak lain Pendekar Hang Sakti cepat menghunus kerisnya dan langsung mengirimkan tikamannya. Hiu tadi tembus perutnya, lalu kembali terlempar ke dalam air. Darah yang terpancar dari perutnya menyebabkan kawanan ikan hiu lainnya bertambah ganas dan gila. Tubuh temannya yang luka perutnya itu disambar beramai- ramai dan dilahapnya bersama-sama. Bau darah seperti mengundang ikan-ikan hiu lainnya, maka sebentar kemudian meluncurlah berdatangan ikan-ikan hiu ke tempat itu dari arah mana saja. Sirip punggungnya yang berdiri dan muncul keatas permukaan air itu, tampak bergerak amat lincah.

Melihat ikan2 itu semakin banyak memenuhi perairan itu Mahesa Wulung cepat meloncat ke dalam air dan hampir2 sukar dipercaya, tubuhnya kelihatan ringan setelah mengetrapkan aji "Baju Rasa", Kakinya dengan menginjak tubuh seekor ikan hiu dan sambil meminjam tenaga ikan tadi, Mahesa Wulung menggenjotkan tubuhnya ke atas dan tiba pula diatas punggung ikan hiu yang lain serta loncat kembali ke atas berkali2. Merasa dipermainkan ini, ikan2 hiu menjadi lebih beringas dan memperbanyak terkaman2 mautnya. Tapi Mahesa Wulung tidak tinggal diam. Tangan kanannya yang kini telah melolos cambuk pusaka Naga Geni, beraksi diputarnya seperti baling2 hingga yang tampak hanyalah sebuah pusaran cahaya biru kehijauan dan setiap terkaman ikan hiu disambut dengan sabetan cambuk itu. Maka tubuh ikan hiu yang terkena, kembali tercebut ke air dan badannya hitam hangus mati.

Demikianlah kedua pendekar itu seolah2 seperti berloncatan diatas air sambil sebentar2 menghantam hancur setiap ikan hiu yang mencoba menyerangnya. Kalau Hang Sakti memakai kerisnya, maka Mahesa Wulung selain menggunakan cambuk ditangan kanannya, tangan kirinya sesekali memukul pula dengan aji pukulan "Lebur Waja" nya yang dahsyat itu.

Sebentar saja bangkai2 ikan hiu terlihat dimana2 terapung diair yang merah tercampur darah. Setelah kira2 tinggal lima ekor saja yang tinggal, itupun sudah luka2 tubuhnya, ikan2 tadi rupanya kembali merasa takut setelah sekian banyak kawan2nya berkaparan mati. Mereka segera memutar tubuhnya dan berenang dengan cepatnya kebarat dan lenyap ke dalam air dalam sekejap mata.  

Seekor hiu yang meleset terkamannya menjadi marah dan kembali menyerangnya dengan loncatan ke arah orang tadi yang tidak lain Pendekar Hang Sakti cepat menghunus kerisnya dan langsung mengirimkan tikamannya. Sebuah perahu kecil yang baru diturunkan dari jung itu kini telah tiba didekat Mahesa Wulung dan Hang Sakti. Keduanya dengan cepat naik ke atas perahu. Akhirnya setelah mereka tiba diatas perahu besar, Hang Sakti segera diberinya pakaian kering dan bertiga dengan Jagayuda, mereka bercakap di ruang komando.

— Untunglah tuan cepat datang, kalau tidak entah apa jadinya tadi. Tuhan telah menurunkan tanganNya dan menolongku - kata Hang Sakti yang diucapkan penuh rasa syukur dan haru.

— Itulah sudah semestinya. Buat orang2 yang baik dan luhur budinya. Tuhan Yang Maha Besar selalu memberikan pertolonganNya, - sambung Mahesa Wulung.

— Hanya saja, saya masih memikirkan nasib adikku Nurlela yang kini ditawan oleh bajak2 laut Pulau Ireng di Karimun Jawa! - berkata Hang Sakti dengan wajah muram.

— Janganlah cemas Hang Sakti. Kita akan bersama2 menolong adik tuan itu. Kami memang tengah merencanakan penyerbuan ke Pulau Ireng, Karimun Jawa untuk menghancurkan bajak2 laut itu, — kata Mahesa Wulung membesarkan hati Hang Sakti.

— Selain itu, kami sekali lagi ingin menjelaskan maksud kedatangan kami ke Demak. Kami adalah utusan yang dijemput oleh dua perahu dari Demak. Tapi di tengah perjalanan kami telah dicegat oleh bajak laut yang menyerang secara tiba2 dipagi yang berkabut. Dua perahu itu telah melawan dan bertempur dengan gigih sebelum terbakar dan tenggelam. Hanya sayalah satu2nya yang masih selamat, sedang adik saya telah tertawan lebih dahulu. —

Hang Sakti berhenti sejenak. — Kami diutus oleh Sultan Malaka yang kini telah menyingkir ke Johar untuk meminta bantuan armada Demak menghalau bajak2 laut yang kini berkuasa diselat Karimata. Tidak hanya itu saja, mungkin tuan masih ingat peristiwa gugurnya ayah tuan Ki Sorengyudo diselat Karimata belasan tahun yang lalu, ketika iring2an perahu armada Demak sehabis menyerang Portugis di Malaka telah dicegat oleh kapal2 galli Portugis. Diantara para pencegat itu terdapat beberapa buah perahu jung berbendera naga merah dengan dasar hitam. Itulah perahu2 dari bajak laut "Iblis Merah" yang dipimpin oleh seorang bernama Lanun Sertung. Dialah yang mesti mempertanggung jawabkan pengkhianatan tersebut. —

— Dapatkah anda memberikan ciri2 orang tersebut? — sela Mahesa Wulung penuh rasa ingin tahu.

— Tubuhnya jangkung berkumis dan berjenggot kaku dan keras seperti ijuk sapu. Ditangan kirinya mulai dari pergelangan tangan sampai ke bahunya terdapat gambar seekor naga.

— Dan sekarang, apakah anda tahu siapa nama2 pemimpin bajak laut yang telah mencegat perahu2 Demak yang membawa anda tadi? — bertanya lagi Mahesa Wulung kepada Hang Sakti.

— Sewaktu kami bertempur melawan mereka itu, tahulah kami dua orang tokohnya yang masing2 bernama Cucut Merah dan Ki Macan Kuping! —

— Ki Macan Kuping? Orang yang mampu merobohkan lawannya dengan gertakan harimaunya? — Seru Mahesa Wulung terkejut.

— Ooh, agaknya tuan telah mengenalnya lebih dulu! - kata Hang Sakti keheranan sambil memandang wajah Mahesa Wulung.

— Ya, aku telah mengenalnya. Dialah guru Singalodra yang baru saja kami tumpas di Alas Roban. Sayang waktu itu Ki Macan Kuping sempat meloloskan diri dan sekarang rupanya telah bergabung dengan bajak laut Pulau Ireng di Karimun Jawa - sambung Mahesa Wulung.

— Hmm, rupanya kita menghadapi persoalan yang sama. Baik di Malaka dan di Karimun Jawa maupun di Demak. Bajak laut menjadi persoalan utama, mengacau di mana2 — gumam Hang Sakti. — Tidak itu saja, — sela Mahesa Wulung kembali. - Satu hal yang membuat mereka kuat dan kurang ajar ialah bantuan2 yang diberikan oleh orang2 Portugis berupa meriam, senapan2 lasah dan pistol2nya. Mereka yang mula2 belum mengenai senjata2 tadi, apalagi menggunakannya, kini telah mahir memakainya. Untunglah persenjataan kita yang berhasil kita rampas dari orang2 Portugis cukup banyak untuk menandingi mereka. —

Tak terasa percakapan dikamar komando itu, tahu2 perahu jung mereka telah mendekati pangkalan Jepara Gunung Muria yang menjulang ke langit biru kehijauan berselimut awan, bagai seorang raksasa yang tengah tidur berselimut putih. Ombak beriak2 menggeru2 menghempas ke pantai, dan buih memutih bersisir diatasnya.

Pemandangan dipangkalan amat indah. Beberapa perahu jung yang besar2 dan puluhan lainnya yang berukuran sedang, belum lagi yang kecil tampak berderet rapi di pangkalan Jepara. Saat ini memang te- ngah diadakari persiapan besar. Awak2 perahu, pelaut2 dan perajurit2 berseragam kerajaan Demak kelihatan bersiap2, setelah penjaga menara pantai melaporkan kedatangan perahu Barong Makara. Semuanya berbaris rapi disepanjang pangkalan untuk menyambut- nya.

Sorak dan sorai mereka bergema, manakala perahu itu merapat ke pangkalan. Beberapa orang perwira segera menyambut kedatangannya lalu memberi hormat kepada Mahesa Wulung, Jagayuda dan Hang Sakti yang kini tengah turun ke pangkalan. Kepada para perwira, Mahesa Wulung lalu memperkenalkan tamunya, Hang Sakti. Bertiga, kemudian dibelakangnya para perwira lain berjalan pelan2 memeriksa barisan perajurit armada Demak yang berdiri rapi seperti patung2. Mula2 dilewati mereka, barisan pendayung. Menurut kata, dayung-dayung yang dipegang oleh tangan-tangan kokoh berurat itu tidak hanya digunakan sebagai pendayung perahu saja, tapi dalam saat saat yang memaksa, dayung- dayung itu digunakan untuk penggada sebagai senjata.

Kemudian barisan berlembing, pemanah dan barisan senapan lasak. Begitulah, tak lama kemudian setelah Mahesa Wulung mengucapkan beberapa patah kata sambutan, barisan itupun bubarlah dan kembali kepada kesibukan kerjanya masing2.

* * * * Telah hampir sebulan Pandan Arum dirumah bibinya. Selama itu banyak terlihat kemajuannya, baik ilmu silatnya yang kini bertambah dengan ilmu permainan selendang "Sabet Alun" yang dahsyat maupun ilmu obat-obatan dari bibinya Nyi Sumekar, sehingga pandan Arumpun tahu cara-cara mengobati, dari luka-luka kecil sampai orang yang keracunan.

Siang itu Pandan Arum mengikuti bibinya mencari dedaunan dan akar-akar untuk bahan peramu obat-obatan. Keduanya sampai di hutan-hutan kecil yang banyak tersebar disekitar pondok mereka dikaki Gunung Muria. Jalan mereka semakin menurun ke barat yang hutannya bertanah datar dan bila me- reka tiba disebuah jalan rintisan kecil membujur dari selatan ke utara, Nyi Sumekar tiba-tiba menarik tangan Pandan Arum ke balik sebuah pohon yang terlindung semak-semak bambu. Suara ringkuk kuda dan langkah-langkah kakinya terdengar lamat-lamat dari arah selatan, kemudian tak berapa lama muncul empat orang berkuda. Seorang diantaranya bicara seenaknya, sambil sebentar-sebentar mulutnya meneguk seruas bambu berisi minuman tuak hingga berceceran didadanya sedang kumis dan jengotnya pun basah kuyup seperti bulu tikus yang kesiram air. Badannya kecil tapi kelihatan keras. — Kawan-kawan, kita sebentar lagi selesai tugas dan segera pulang ke Pulau Ireng. Kita semua mendapat upah nanti, dari ketua Cucut Merah . . .! — Kata orang si peminum tuak itu kepada ketiga temannya dengan suara yang sember menggatalkan telinga.

— Apa kalian masih ingin lebih lama tinggal disini ditanah terkutuk ini? —

—Hi, hi, hi, ada-ada saja kakang Manjung Seta ini. Mana bisa orang- orang seperti kita lebih senang tinggal ditanah orang. Kan lebih enak kumpul bersama kawan-kawan disarang Pulau Ireng dari pada disini. — ujar teman yang berkuda di sampingnya. Perawakan orang ini, bertubuh pendek dan kokoh sedang kepalanya gundul berkumis cerapang.

— Benar juga katamu itu adi Buntal Doreng, kecuali kalau kita sudah kecantol sama gadis dari sini — tukas si Manjung Seta.

— Hua, ha, ha, ha, ha, - keempat orang berkuda itu tertawa terbahak2 sampai tubuhnya terguncang dan kuda2 pada meringkik saking terkejutnya.

— Tapi mana ada gadis sini yang mau denganku. Melihat gundul kepalaku dengan kumis ijuk ini mungkin mereka pada lari terbirit2, ketakutan — sambung si Buntal Doreng lagi, dan keempatnya tertawa lagi cekakaan. — Kakang Manjung Seta tugas kita disini selanjutnya bagaimana? - bertanya si Buntal sampai memandang ke arah Manjung Seta, demikian juga dengan kedua orang lagi yang berkuda dibelakangnya.

— Kita menuju ke utara ke desa Bangsri. Disana disebuah warung minum yang pada dindingnya tergantung sebilah dayung perahu, kita telah ditunggu oleh kakang Tambangan. Dialah yang akan memberi tugas2 kita selanjutnya berkenaan dengan pesta dipangkalan Jepara. —

— Pesta? Siapa yang berpesta disana? - tanya Buntal Doreng.

— Ah, goblok kau adi! Tentu yang pesta disana ya orang-orang dari armada kerajaan Demak. Mereka telah selesai mempersiapkan perahu-perahu dan orang2nya untuk menggempur sarang kita Pulau Ireng di Karimun Jawa - ujar Manjung Seta. - Lima hari lagi mereka berangkat.

— Wah, celaka kalau begitu - potong Buntal Doreng disertai rasa kecemasan yang membayang pada roman mukanya. - Lalu apa tindakan kita kakang? —

— Nah, itulah yang akan kukatakan

- jawab si Manning kemudian - Kita menyusup dimalam hari ke tempat mereka mengadakan pesta dan kita bikin kekacauan      disana!      Keterangan sekecil2nya nanti akan diberikan oleh kakang Tambangan di Bangsri. Nah, ajolah kita cepat2 berpacu kesana. Nanti kita dapat mengisi perut lagi dengan makanan dan minuman tuak sepuas2nya! - Manjung Gember berkata dengan menarik kekang kudanya diikuti oleh ketiga temannya berpacu ke arah utara.

Jari2 Pandan Arum yang memegang lengan bibinya, terasa gemetar saking geramnya mendengar ucapan dan pembicaraan mereka tadi. Yang terbayang dimatanya sangat mengerikan seandainya maksud orang tersebut betul2 berhasil. Tampak pemandangan orang2 yang kacau balau, sementara itu perahu-perahu yang berderet dipangkalan Jepara kesemuanya di gelimangi oleh nyala api berkobar2 terbakar sampai ke orang-orangnya!

- Tapi, tidak, Tidak! Itu tidak boleh terjadi pada mereka. Aku harus mencegahnya sebelum mereka berbuat lebih jauh, apa lagi jika kakang Mahesa Wulung sampai cedera ... - berpikir Pandan Arum dengan hati yang resah.

Nyi Sumekar yang bijaksana itu sudah maklum apa yang bergejolak dihati Pandan Arum, maka cepat2 ia mengajaknya pulang dengan segera. - Ayo, Pandan, kita pulang sekarang! Kau harus mencegah maksud jahat mereka. Kalau mereka mengatakan bahwa armada Demak berangkat lima hari lagi setidak2nya pesta itu akan dilangsungkan pada hari ketiga atau keempat. —

—Benar bibi. Aku akan berangkat sekarang juga ke Bangsri, kemudian kembali ke Jepara! —

Keduanya segera berlari pulang melalui semak belukar dan hutan2 perdu, Nyi Sumekar serta Pandan Arum masing2 mengetrapkan ilmunya mengentengkan tubuh sehingga kaki2 mereka seolah-olah tidak menginjak tanah tapi melayang diatasnya, berlari meloncat2 seperti dua ekor kijang, amat lincahnya.

Sejurus kemudian sehabis menerobos hutan sampailah mereka dipondoknya kembali. Pandan Arum segera berkemas2. Mula2 ikat kepalanya yang merah berbunga hitam dipakainya kembali dengan rapi, sehingga rambutnya yang indah itu kini tersembunyi dibawahnya. Sekarang yang terlihat oleh Nyi Sumekar bukan lagi seorang gadis cantik bernama Pandan Arum, tetapi seorang pemuda tampan yang bernama Gagak Bangah. Bibinya yang telah menyiapkan sekantung kecil obat2an untuk Pandan Arum, tersenyum geli melihat kemenakannya pandai berdandan dan menyamar sebagai seorang pemuda. — Anakku Pandan Arum, ini bawalah sebuah selendang jingga dari bibi untuk menjaga dirimu, Tapi ingat, janganlah dia digunakan sembarangan. Dan ini sekantung obat hasil ramuan bibi seperti yang telah kau pelajari pula, boleh kau bawa serta. Pergunakanlah keduanya bilamana perlu

- ujar Nyi Sumekar seraya menyerahkan kedua benda tersebut kepada Pandan Arum.

— Terima kasih bibi, Pandan mengharap doa restu bibi semoga saja berhasil dalam menunaikan tugas ini — ujar Pandan Arum seraya mencium kedua punggung tangan Nyi Sumekar.

— Ya, ya, Pandan. Tuhan akan selalu melindungimu, melindungi setiap makhlukNya yang selalu berbuat kebajikan, suka menolong sesamanya. Berangkatlah, doa restu bibi akan menyertaimu, Pandan. —

Pandan Arum yang kini berpakaian pria dan memakai nama Gagak Bangah cepat2 menyiapkan kudanya dimuka pondok itu, dan segera meloncat ke punggungnya. — Selamat tinggal bibi, lain kali Pandan menengok kesini lagi.


— Selamat jalan nak hati2 dan ingat nasehat2 bibi, Pandan —   Seru Nyi Sumekar mengikuti Gagak Bangah yang sebentar saja memacu kudanya kearah utara dan lenyap dibalik semak bambu.

*****

Matahari hampir tenggelam disebelah barat sedang sinar2 panas yang dipanahkan tertampak dilereng- lereng Gunung Muria. Gemerlapan amat indahnya. Gagak Bangah yang memacu kudanya ke utara, tak sempat mengagumi keindahan panorama yang indah itu, karena pikirannya dipenuhi oleh persoalan2 gawat yang harus disele- saikan segera. Meski malam telah menjelang Gagak Bangah terus menerobos menuju ke utara. Ia tak boleh membuang waktu sebab jalan menuju ke Bangsri masih kurang lebih satu setengah hari lagi.

Seorang laki2 yang duduk seenaknya dengan satu kakinya ditaruh diatas bangku, kembali menyeruput air tehnya sementara tangan kirinya menjemput goreng pisang dan sekali lahap, lenyapnya pisang itu ke dalam mulut. Orang itu tampak resah dan sebentar-sebentar mendenyakan mulutnya, sampai menongolkan kepala keluar dari jendela warung minum yang pada dindingnya tergantung sebilah dayung. — Hmm, sudah siang begini setan2 itu belum mencungul, — gumam orang itu dengan wajahnya cemberut. Tapi tiba2 salak anjing dan derap kaki kuda terdengar sampai ke telinganya dari arah selatan. Maka wajahnya kembali menjadi cerah.

— Hee, setan2 pengapa sampai sesiang begini baru tiba? — serunya.

— Maaf kakang Tambangan, kami harus mengambil jalan melintas supaya tidak mencurigakan orang2 disini! — kata Manyung Seta, sementara ketiga orang yang lainpun telah turun dari kudanya.

— Ayo masuk lekas! Kita berunding didalam! - perintah Tambangan dan kelimanya segera masuk ke dalam warung, lalu duduk dipojokan. Bersamaan mereka masuk ke warung, dari arah selatan muncul pula sesosok bayangan orang berkuda. Ia berhenti disemak2. Selesai menambatkan kuda, lalu mengendap2 mendekati warung itu. Begitu menempelkan telinganya ke dinding, Gagak Bangah yang tajam telinganya itu bisa menangkap pembicaraan mereka.

— Manyung Seta, kau berempat bertugas menyalakan api, sedang aku sendiri beserta lima orang yang kini menunggu di Jepara akan menyiapkan minyak dan bahan peledak. Setelah kuberikan isyarat panah api kita mulai bertindak. Kita bakar dan ledakan kapal2 armada Demak itu dipangkalan- nya. Nah, jelas bukan? Ada pertanyaan?


— Kakang Tambangan, sesudah itu apa tugas kita? —

— Kita menyelinap dan berkumpul untuk kemudian lari dengan perahu yang telah kita sediakan. Begitulah, kita musti menghancurkan mereka sebelum mereka menyerang sarang kita, Pulau Ireng. Kita mulai bergerak selagi mereka sibuk berpesta dimalam itu. —

— Ha, ha, ha, kau memang cerdik kakang Tambangan, — seru Manyung Seta sambil tertawa — Aku setuju dengan rencanamu itu!" Mendadak selagi mereka sibuk bicara, dari luar terdengar suara berteriak keras.

- Awas2 ada mata2! —

Serentak berlima mereka pada berebutan keluar dari warung. Tamba- ngan wajahnya menjadi tegang demi diketahuinya, bahwa yang diteriaki mata2 oleh pemilik warung itu tak lain ialah Gagak Bangah yang dulu perhah mencegatnya didaerah Demak. Ia tidak ingin mengambil resiko dalam menghadapi Gagak Bangah, karena ia sendiri pernah merasakan betapa orang ini mernpunyai tenaga yang cukup hebat untuk dihadapinya. Buru2 Tambangan berteriak memberi perintah - Manyung Seta! Buntal Doreng! Cepat ikuti aku pergi dari tempat ini! Biarkan Carangan dan Si Bugel membereskannya. Heee, Egrang! Bantu mereka berdua, nanti kuberi uang sekantong!"

Tiga orang itu segera mengurung Gagak Bangah. Sementara Tambangan, diikuti Manyung Seta dan Buntal Doreng berlompatan ke atas kuda lalu memacunya ke arah selatan. Dengan sinar mata penuh kejengkelan Gagak Bangah mengikuti kepergian, ketiga orang itu tanpa dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya karena dirinya dikepung oleh tiga orang lawan yang harus dihadapinya.

Ketiga pengepungnya itu kini telah mulai melancarkan serangannya. Carangan dan si Bugel bersenjata pedang, sedang pemilik warung yang ikut mengepung dan agaknya memang kaki tangan bajak laut Pula Ireng, memegang sebilah dayung perahu sebagai senjata. Tubuhnya yang tinggi dengan kakinya panjang2 di sertai gerakan yang ganas, ia memutar dayungnya seperti baling2 berkesiutan mendesing sangat menge- rikan. Pantaslah kalau ia disebut Egrang. Carangan dan Bugel tak mau ketinggalan memperlihatkan permainan pedangnya, yang penuh dengan bacokan2 maut. Maka dimuka warung itu terjadilah satu lingkaran pertempuran yang dahsyat. Serangan dari ketiga pengepung itu bertubi2 menghantam Gagak Bangah laksana datangnya gelombang samudera yang menghempas- hempas. Tapi ketiga orang itu terbit kecewa bila mereka melihat kenyataan bahwa Gagak Bangah sangat lincah mengelakkan setiap senjata yang mengancam tubuhnya. Bahkan tak jarang mereka terpekik hebat bilamana sehabis mengelak. Gagak Bangah menggerakkan tangannya dan tahu2 mencubit mereka.

Tentu saja mereka kelabakan mendapat seranga cubit dari Gagak Bangah sebab sehabis kulit mereka kena cubit, tentu timbul bengkak2 kecil berwarna merah, panasnya seperti api. Sebenarnya mereka heran, sebab mencubit adalah biasa dilakukan oleh gadis2 saja sedang lawan mereka kini adalah seorang pemuda yang berwajah tampan dan berbibir merah.

Pertempuran dimuka warung itu telah berlangsung berpuluh jurus, namun dari lingkaran pertempuran belum seorangpun yang roboh. Yang menjengkelkan ketiga lawan Gagak Bangah itu, ialah cara bertempur pemuda ini. Ia hanya bertangan kosong saja sedang mereka bersenjata. Lama2 mereka merasa malu, dan segera memperhebat serangannya!

Gagak Bangah mulai merasa kerepotan menghadapi serangan2 yang kini datangnya makin rapat, hingga tubuhnya seolah2 dikurung oleh tiga gulungan sinar senjata. Maka dikerahkan seluruh tenaganya dan dengan ilmu mengentengkan tubuh, Gagak Bangah meloncat keluar lingkaran pertempuran, bersamaan dengan itu ketiga senjata musuh yang menyerang dirinya menjadi saling beradu satu dengan yang lain. Tapi ketiganya segera memperbaiki diri dengan tiap menyerang Gagak Bangah. Pendekar muda itu segera menguraikan selembar selendang berwarna jingga yang melilit pada pinggangnya. Melihat itu ketiga orang lawannya serentak tertawa cekakaan berbareng.

— Hee, kau mau menari dengan selendang itu? Ha, ha, ha ayo lekas, menarilah sebelum mampus nyawamu!! - teriak ejekan keluar dari mulut Carangan.

— Hi, hi, hi, agaknya dia mau memakainya untuk terbang dan minggat dari tempat ini - seru Bugel sambil bertolak pinggang.

— Keparat, kalian bertiga boleh buka mulut semau mu, tapi setelah kau saksikan kehebatan selendang ini, jangan lari dari tempat ini! — kata Gagak Bangak sambil menggerakkan selendangnya dan berputar amat derasnya, sampai2 yang terlihat hanyalah lingkaran yang berputar berwarna jingga. Meskipun dalam hati mereka merasa jeri melihat putaran selendang jingga itu, namun seperti digerakkan oleh perintah yang sama, ketiga berbareng menyerang Gagak Bangah.

Untuk kedua kalinya terjadi lagi lingkaran pertempuran ditempat itu, meski hanya secara singkat saja. Sebab tak lama kemudian senjata Egrang yang berujud dayung itu kena dilibat oleh selendang Gagak Bangah dan membelitnya dengan keras. Egrang ternyata tak kuat melawan tenaga dalam Gagak Bangah yang tersalur lewat selendangnya. Maka senjata dayungnya kena terbetot lepas dari tangannya kemudian terpental dan patah menjadi dua!

Mereka bertiga sangat terkejut melihat hal itu. Lebih2 dengan si Egrang itu sendiri. Selama ini senjata dayungnya tak pernah gagal merobohkan musuh, tapi sekarang ia terpatah menjadi dua, hanya disebabkan oleh selembar selendang saja! Beium lagi berpikir terlalu jauh, mereka dikejutkan lagi oleh selendang Gagak Bangah yang melayang bergerak kearah mereka. Carangan dan Bugel cepat memutar pedangnya untuk membabat putus selendang Gagak Bangah. Tapi seperti mempunyai mata, selendang yang digerakkan oleh tangan Gagak Bangah amat lincah menghindari setiap sabetan pedang lawan, bahkan dapat menerobos- nya untuk kemudian menyerang kearah

mereka. Inilah kehebatan ilmu

selendang "Sabet Alun" yang mampu bergerak dan memukul seperti gelombang samudera, menghancur leburkan setiap benda yang berani menghalanginya!

Amat cepat, bahkan sukar diikuti oleh pandangan mata, tahu2 ujung selendang Gagak Bangah mematuk ke kepala Carangan, lalu sekali lagi mematuk kepada Bugel.

Bagai disamber geledeg, kedua orang itu roboh ke tanah persis dua batang pohon tumbang. Dari mulut dan hidungnya keluar daerah merah, mereka tak bernapas lagi.

Egrang sangat ketakutan melihat kedua temannya roboh mati. Ia segera menjatuhkan diri ketanah dan merintih ketakutan.

— Aduh, aduh, ampuni aku tuan! Aku sebetulnya bukan dari gerombolan bajak laut Pulau Ireng tapi aku dipaksanya untuk berpihak kepada mereka. Kalau menolak, aku pasti dibunuhnya! —

Gagak Bangah sebenarnya ingin membereskan sekali dengan si Egrang tapi melihat sinar mata orang ini yang bening penuh kejujuran, terpaksa ia mengurungkan maksudnya. Bersamaan dengan itu menghambur lari, keluar dari warung minum seorang perempuan menggendong anak kecil sambil menangis.

— Oh, tuan muda, jangan dibunuh suami hamba ini. Dia orang baik2. Dia terpaksa meladeni dan menyediakan makanan mereka karena kami dipaksa. Kalau tidak mau, mereka akan menumpas keluarga kami! —

Melihat mereka, hati perempuannya menjadi beriba dan Gagak Bangah yakin bahwa Egrang benar2 orang baik.

— Baik kau kuampuni, asal kau bersumpah dan berjanji mau membantuku menggagalkan maksud jahat mereka! - seru Gagak Bangah seraya memilitkan kembali selendangnya ke atas pinggang.

— Demi Tuhan, aku berjanji membantumu untu menghancurkan rencana jahat mereka! — kata Egran sungguh2.

— Kalau begitu ayo, lekas ikut ke Jepara bersama ku! Besok malam adalah hari keempat! Dan pesta dipangkalan armada Jepara pasti dilangsungkan malam-malam itu! —

— Benar tuan, kita harus tiba disana sebelum pesta itu dimulai - seru Egrang sambil melepaskan seekor kuda yang tertambat dipohon sawo, lalu mengikut Gagak Bangah. Keduanya berpacu kearah selatan mengikuti arah larinya Tambangan beserta Manyung Seta dan Buntal Doreng. Isteri Egrang kini merasa lega, karena suaminya telah terbebas dari tindasan banjak2 laut Pulau Ireng.

Sore itu tampak kesibukan dipangkalan armada Jepara, Panggung yang tinggi telah berdiri dan seperangkat gamelan serta peralatan wayang kulit terlihat tengah di- siapkan.

Siang tadi adalah hari terakhir bagi mereka menyiapkan perahu2 dan berlatih oleh keprajuritan, sebab besok pagi2 sekali mereka akan mengarungi lautan dan menyerang Pulau Ireng di Karimun Jawa, sebab pulau kecil itu telah dijadikan sarang bajak laut yang selama ini telah bersimaharajalela dilaut Jawa mengacau lalu lintas perdagangan.

Persiapan pertunjukan itu tampak lancar, karena masing2 bekerja dengan sungguh2. Jagayuda berkeliling memeriksa mereka. Sekali2 ia berhenti dan membantu serta memberi petunjuk2 bila ada kesulitan2 yang terjadi. Sedang dari atas perahu jung Barong Makara yang megah, dua orang sibuk bercakap2 sambil memandang kesibukan kerja dipangkalan itu.

— Kanda Hang Sakti, besok kita mulai berlayar ke barat laut, dua tiga hari baru kita tiba di Karimun Jawa. —

— Ya, mudah2an tak aral melintang dalam pelayaran kita nanti, adi Mahesa Wulung - ujar Hang Sakti yang berdiri di sampingnya.

Matahari pelan2 terbenam ke cakrawala barat, merupakan bola api yang memerah seperti ditarik oleh satu tenaga raksasa. Sisa2 sinarnya masih menyaput dilangit berwarna merah keunguan, sedang dicakrawala timur mulai bermunculan bintang2 satu demi satu berkelip2 cahayanya.

— Lihatlah nanti kanda Hang Sakti. Andika pasti tertarik oleh beberapa nomor pertunjukan awal. Mereka yang siang tadi telah menutup latihan oleh keprajuritan, malam ini akan mempertunjukkan ketrampilan silat mereka serta menggunakan senjata2. —

— Benar adi Mahesa Wulung, aku sangat tertarik. Mungkin dengan itu pengalamanku akan bertambah matang. Namun kiranya yang paling menarik adalah pertunjukan wayang kulit yang belum pernah kulihat dinegeriku Malaka. Menurut kata orang yang menggubah wayang kulit itu ialah para Wali Demak. —

— Memang begitulah dari cerita2 orang tua. Meskipun ada juga yang ragu2 akan hal itu, tapi satu hal yang mereka tidak boleh ragu2 bahwa wayang kulit tadi adalah hasil ciptaan nenek moyang kami. Dalam wayang kulit itulah kanda Hang Sakti akan menjumpai se- gala2nya mulai dari irama gamelan, tembang, sampai kepada ilmu tata negara, keluhuran budi, peperangan dan lain sebagainya. Sedang masing2 sifat dan watak tokoh2 dalam wayang kulit akan tergambar jelas pada bentuk2nya. Misalnya untuk tokoh yang berjiwa pemberani dan tegas digambarkan dengan kepala lurus ke depan agak tengah sedang untuk yang berjiwa ksatrya, pendiam dan lurus budinya, kepalanya tergambar tunduk. Begitulah seterusnya, nanti kanda Hang Sakti akan dapat melihatnya. —

Benarlah kata2 Mahesa Wulung itu sebab ketika tiba saatnya pertunjukan wayang kulit. Hang Sakti hampir2 tak berkedip menyaksikannya, betul2 ia terpesona. Apalagi ki dalang sangat lincah melakukan ceritanya, kisah Sang Bima yang difitnah oleh pihak Korawa untuk mencari tirta amerta yang me- nurut Durna terletak di tengah samodera maha luas dengan maksud agar Sang Bima binasa disana ditelan oleh naga atau gelombang setinggi gunung. Namun akhirnya Bima ditolong oleh seorang dewa bernama Dewa Ruci dan selamatlah dia.

Waktu malam bertambah larut, dan orang2 pun makin tenggelam dalam jalinan ceritera wayang kulit itu, berkelebatlah delapan bayangan orang dari arah utara, mengendap2 bergerak sangat hati2 mendekat sebuah kapal yang berlabuh paling utara. Seorang diantaranya melemparkan sebilah obor menyala ke atas geladak perahu dan api sebentar saja menjilat2 ganas dengan hebatnya. Ketika mereka mendekati perahu kedua, tiba2 dua bayangan berkelebat melayang dan menyerang mereka.

Kedua orang itu adalah Gagak Bangah dan Egrang yang masing2 bersenjata selendang dan sebilah dayung perahu. Bagai terbangun dari tidurnya orang kelabakan melihat sebuah perahu terbakar menyala2. Untunglah itu hanya sebuah perahu ukuran kecil saja. Lebih terkejut lagi bila mereka melihat delapan orang terlibat dalam satu pertempuran tak jauh dari perahu yang terbakar itu melawan dua orang.

— Egrang! Kau mengkhianati kami! Keparat! — teriak Tambangan memaki2 ketika dilihatnya kini bahwa Egrang bersama Gagak Bangah menyerangnya

— Aku kini orang merdeka dan melek. Aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat!! — bentak Egrang sambil memutar dayungnya. Seorang anak buah Tambangan tak sempat menghindar dan terbabat ujung dayung pada dadanya hingga rebah ketanah dengan luka menganga mengerikan

Hampir semua orang berloncatan kearah lingkaran pertempuran diujung Utara kalau tidak keburu Mahesa Wulung mencegah mereka dengan teriakan mengguntur berlambaran aji "Bayu Rasa"-nya.

— Kawan2! Tenanglah! Tinggallah ditempatmu masing2 biar aku yang menyelesaikan! — Begitu habis berteriak, tubuh Mahesa Wulung melesat ke utara seperti mengambang diatas tanah saking cepat gerakannya. Itulah ilmu "lari diatas rumput" atau disebut "sapi ngin" membuat seseorang berlari tanpa membikin rumput bergoyang sebenarnya ilmu lari itu biasa saja, seperti yang dipelajarinya dari Panem- bahan Tanah Putih. Hanya saja karena dilambari aji "Bayu Rasa" maka kekuatan lari itu menjadi berlipat ganda dan membuat tubuh enteng seperti kapas.

Ketujuh orang yang menyerang Gagak Bangah dan Egrang bergerak sangat ganas laksana tujuh ekor harimau kelaparan mengamuk. Tapi yang dikepung bergerak pulia tak kurang hebatnya seperti dua ekor banteng yang ketaton, mampu memukul hancur setiap serangan2 lawan. Belum lagi lama mereka bertempur, meluncurlah sesosok bayangan ke tengah arena pertempuran itu yang mengenakan kain penutup hidung dan mulutnya berwarna biru muda dengan gambar Makara kuning emas. Orang itu memutar cambuknya yang menyala biru kehijauan.

— Barong Makara! - teriak salah seorang diantara mereka sampai keenam kawannya yang lain pada terlongoh keheranan. Ternyata Barong Makara yan disangka mati itu kini muncul kembali. Nama itu cukup menghantui mereka dilautan.

Lima kali putaran cambuknya, Barong Makar telah menjatuhkan seorang lagi dari keenam anak buah Tambangan.

Tambangan menjadi penasaran melihat pedangnya kena terampas oleh libatan selendang Gagak Bangah. Cepat ia mecabut sepucuk pistol lalu ditembakkan ke arah Gagak Bangah. Melihat itu cepat Gagak Bangah mengendap. Bersamaan pestol berdentam, ia memiringkan tubuh ke kiri sambil mengibaskan selendangnya ke udara Taar! terdengar suara itu akibat peluru pistol yang melayang kena tersampok oleh selendangnya hingga butiran timah itu melesat jatuh ke tanah.

— Hebat kau Gagak Bangah! — terdengar teriakan memuji dari balik topeng Barong Makara.

Mendengar suara Pendekar Barong Makara, Gagak Bangah terperanjat, sebab suara itu adala suara Mahesa Wulung. Bibirnya tersenyum penuh pengertian apalagi bila dilihatnya bahwa Baron Makara bersenjata cambuk "Naga Geni" maka yakinlah bahwa Barong Makara dan Mahesa Wulung adalah satu orangnya. Hanya saja sebagai Pendekar lautan ia lebih dikenal sebagai "Barong Makara".......... Gagak Bangah kembali mendesak Tambangan. Belum lagi bajak laut ini menyiapkan tembakan berikutnya, keburu selendang Gagak Bangah menyambar lalu melihat pistol yang masih tergenggam erat pada tangan Tambangan. Maka tak ampun lagi tangan Tambangan sekaligus terbelit dan terpelintir oleh selendang itu. Belum lagi bajak laut ini menyiapkan tembakan berikutnya keburu selendang Gagak Bangah menyambar lalu melibat pistol yang masih tergenggam.

— Selendang terkutuk - teriak Tambangan keras2 lalu tangan kirinya mencabut pisau belati dari pinggangnya dan berusaha memotong selendang itu, tapi tahu2 tangan kanannya terasa perih sebab Gagak Bangah mulai menghentakkan selendang itu. Dan tubuh Tambangan ikut tertarik, kemudian terlambung ke atas dan terhempas ke tanah dengan suara keras berdebuk disertai teriakan ngeri terlontar dari mulutnya. Tamatlah sudah riwayat Tambangan.

Bersamaan dengan itu dengar pula jeritan berkepanjangan dan kelihatan tubuh Manyung Seta terlontar oleh sabetan cambuk Naga Geninya Barong Makara. Tubuhnya hangus kehitaman bagai dipanggang oleh bara api.

Dengan jatuhnya Tambangan disusul oleh Manyung Seta, cukup membikin jerih keempat bajak laut yang masih tinggal. Cepat2 mereka berusaha kabur, namun seorang lagi kena terpukul ujung selendang Gagak Bangah, lalu jatuh terbanting ketanah tak bernyawa lagi. Ketiga orang lain yang mencoba lari ke utara oleh pasukan2 penjaga pantai berramai2 kena disergapnya

— Ah, terima kasih Gagak Bangah, kau telah menyelamatkan armada kita. Untung yang terbakar itu hanyalah sebuah perahu kecil saja. - ujar Barong Makara sambil menggeser kedok yang menutup mulutnya ke bawah, hingga Gagak Bangah segera dapat mengenai wajah itu.

— Kakang Mahesa Wulung, aku sudah mendengar rencana mereka sejak di Bangsri. Dan ini diperkenalkan, Egrang yang telah membantu kita menggagalkan rencana jahat mereka. — Egrang yang selama ini tinggal diwarungnya saja, merasa gembira dapat berkenalan dengan Mahesa Wulung, satu tokoh yang terkenal hampir di sepanjang pesisir utara Jawa karena keperwiraan dan sepak terjangnya yang selalu membela kebenaran dan keadilan.

Ketika Mahesa Wulung, Gagak Bangah dan Egrang sedang asik berbicara datanglah tergopoh2 Jagayuda bersama Hang Sakti kearah mereka. Ternyata memang keduanyalah yang memimpin penangkapan itu.

— Kakang Mahesa Wulung, ketiwasan kakang! — ujar Jagayuda dengan dada turun naik terengah2. — Saya kuatir bahwa persiapan armada kita untuk menggempur Karimun Jawa ini sia2 saja!

— — Sia-sia, bagaimana maksudmu? — tanya Mahesa Wulung terperanjat - Apakah ini kurang sempurna, atau ....


— Mereka, bajak2 laut itu sudah mengetahui persiapan kita kakang, sehingga Pulau Ireng telah mereka perkuat dengan meriam2 serta pertahanan2 yang kuat. Demikianlah, keterangan yang berhasil kami korek dari ketiga orang yang tadi telah ber- hasil kami tangkap! —

— Hmmm, mereka benar2 memang licin! Tetapi kita tidak boleh menggagalkan penyerbuan ini, sebab akibatnya sangat buruk bagi perajurit2 armada. Mereka pasti kecewa dan turun semangatnya. Sedang buat mereka, bajak2 laut Pulau Ireng, pasti akan tertawa cekekekan bila kita mengurungkan penyerbuan ini. —

— Dinda Mahesa Wulung, lalu apakah rencana kita selanjutnya? — menyela Hang Sakti dalam pembicaraan itu. Ia sangat mencemaskan nasib adiknya Nurlela yang tertawan di Pulau Ireng. Pada waktu itu mereka berlima berdiri tidak jauh dari tonggak2 kayu yang berjajar tempat menambatkan tali2 perahu.

— Begini kanda Hang Sakti, rencana itu harus kita rubah agar penyerbuan ke Pulau Ireng tidak memakan korban terlalu banyak. Besok kita akan berlayar secara diam2 dan mendarat di Karimun Jawa pada waktu malam yang berkabut dengan sebuah perahu. Nah, setelah sampai disana, kita cari pulau yang paling timur agar mereka tidak melihatnya, sebab Pulau Ireng salah satu pulau dari ketujuh pulau gugusan Karimun Jawa terletak paling barat sendiri. Kita akan berusaha membebaskan adik tuan secara diam2 setelah itu barulah mereka kita gempur habis2an dari dalam. Sementara itu, adi Jagayuda dengan kapal2 armada lainnya sudah harus tiba disana dua hari setelah keberangkatan kita dan menggempur mereka dari lautan. Dengan begitu mereka akan kita gempur dari darat dan laun. —

Mendadak, ketenangan itu dipecahkan oleh gerakan Gagak Bangah yang amat tiba2 melecutkan selendangnya kearah tonggak2 kayu tak jauh dari tempat mereka. Hampir semuanya terkejut melihat tambaran selendang jingga yang mematuk kebalik tonggak2 kayu disusul oleh satu jeritan panjang mengerikan "Taaar".

Mereka cepat berlompatan ke balik tonggak2 itu dan satu teriakan kecil saking kagumnya terlompat dari mulut Mahesa Wulung. Hang Sakti, Jagayuda dan Egrang sedang Gagak Bangah sendiri cuma tersenyum2 manis. Ternyata dibalik tonggak-tonggak kayu itu telah menggeletak tak bernyawa seorang yang memakai seragam perajurit armada Demak dengan kepala yang pecah. Mula-mula Mahesa Wulung hampir2 marah melihat perbuatan Gagak Bangah yang seolah-olah kelihatan sangat sembrono itu. Namun setelah ia memeriksa tubuh si korban, Mahesa Wulung cuma menggeleng2kan kepalanya demi dilihatnya gambar tengkorak hitam bersilang dua tulang tergambar jelas pada lengan orang itu. Satu tanda yang selalu terdapat pada setiap anggota gerombolan bajak laut Pulau ireng!

— Ah, kaulah yang lagi-lagi menyelamatkan kita semua, adi Gagak Bangah. Orang itu tidak lain adalah anggota bajak laut Pulau Ireng. —

— Itu tadi hanya secara kebetulan kakang, karena aku merasa ada gerak- gerak suara yang mencurigakan dari balik tonggak2 kayu. Maka aku kecutkan selendangku ini kesana! —

— Hampir saja kita kebocoran lagi, kawan-kawan. Marilah kita kembali kebalai Ksatriaan untuk memperinci rencana penyerbuan itu lebih lanjut. —

Kekacauan yang telah dilakukan oleh tangan2 kotor bajak laut Pulau Ireng sebentar saja dapat diatasi oleh mereka. Perahu yang terbakar habis bagian atasnya telah dipadamkan oleh perajurit armada Demak dan pesta itupun dilanjutkan lagi dengan meriah sampai fajar mengembang diufuk timur. Keesokan harinya, sebuah perahu jung yang sibuk disiapkan untuk berlayar, selesai dalam waktu yang pendek. Tiga orang sebelum naik ke atas perahu, masing-masing Mahesa Wulung, Hang Sakti dan Gagak Bangah berjabat tangan dengan Jagayuda dan Egrang.

— Ingat adi Jagayuda, usahakan kau dan anak buahmu tiba, disana dua hari kemudian, langsung kau gempur pertahanan Bajak laut Pulau Ireng setelah kau lihat panah api yang akan kutembakkan ke angkasa. —

— Baik kakang, kami usahakan sungguh-sungguh! — ujar Jagayuda, — Selamat jalan semoga Tuhan menyertai kalian. —

Ketika perahu Barong Makara mulai bergerak, disepanjang pangkalan berderet, melambai-lambaikan tangan para perajurit armada Demak sebagai ucapan selamat jalan.

Dayung2 bergantian menyibak air laut seperti kaki2 seekor naga yang tengah berenang disamodera. Layar- layarpun mulai penuh dikembangkan berwarna putih kebiruan amat serasi dengan bendera makara kuning emas berdasar biru muda itu, sehingga jung itu meluncur ke arah barat laut dengan lajunya. 2

SEBUAH kapal galli Portugis tampak berlabuh di sebuah teluk di Pulau Ireng, sebuah pulau paling barat dari gugusan kepulauan Karimun Jawa. Matahari hampir tenggelam, sehingga beberapa orang bajak laut segera memasang lampu untuk menerangi ruang itu, yang terdiri dari sebuah rumah kayu menempel pada dinding karang pulau tersebut. Disebelah dalam ruangan itu melebar, menjorok kedalam dinding karang merupakan sebuah goa batu.

Sebuah meja panjang dipahat dari batu karang dan duduk diujungnya si Cucut Merah, disamping kirinya Ki Macan Kuping dan disebelah kanan Todak Ireng pembantu utarna si Cucut Merah.

Diujung meja yang lain, duduk disitu seorang Portugis berseragam perwira lengkap dengan bayu besinya dan disampingnya duduk pula dua orang Portugis.

— Tuan Baron Alfonso, apakah tuan telah memahami isi surat yang telah kami kirim ke Malaka itu? — kata Cucut Merah.

— Yah, bagus, bagus. Hal itupun telah kulaporkan kepada beginda d'Albuqurque di Goa. Hanya sayang bahwa Hang Sakti dapat lolos. Tapi biarlah, adiknya pun berguna bagi kita. Pasti banyak keterangan2 yang dapat kami korek dari dia. Dimana dia sekarang? —

— Sabar, tuan Alfonso. Nurlela akan kami serahkan, setelah kami terima syarat2 yang telah kamu ajukan!

— tukas Cucut Merah.

— Ha, ha, ha, kau tak perlu kuatir, Cucut Merah! Semua syarat- syarat penukaran telah kubawa. Uang emas, senjata, mesiu, kain2 yang indah sebagainya. Tunggulah sebentar lagi akan kau lihat sendiri. — Baron Alfonso bertepuk tiga kali, dari arah pintu, masuklah beberapa orang Portugis membawa peti-peti besar lalu diletakkan didekat meja.

Mata Cucut Merah melotot terbeliak ketika dia membuka salah satu peti yang berisi penuh mata uang emas. Peti yang lain dibuka pula berisi perhiasan emas intan. Alfonso tersenyum melihatnya.

— Terimalah itu sebagai penukar Nurlela dan juga sebagai sumbangan Portugis untuk kawan-kawan bajak laut Pulau Ireng. —

— Hua, ha, ha, ha. Terima kasih. Tuan Alfonso, kau sungguh2 sahabat yang baik! Nah, marilah kita menuju kepenjara. Tuan akan segera menerima Nurlela dari tangan kami. —

— Heee, nanti dulu aku dengat suara gemerisik diatas! — seru Baron Alfonso yang tajam telinga. Sebagai teman seperguan dengan Baron Sekeber di Eropa ia telah banyak pengalaman dan terkenal bertelinga tajam.

— Ah, itu hanya suara tikus-tikus yang berkejaran, tuan Alfredo, — ujar si Cucut Merah menenangkan tamunya. - Biarkan mereka . . . . —

Tapi jika waktu itu mereka melihat keluar, ke atap rumah itu, memang benarlah perasaan Baron Alfonso sebab dua bayangan hitam duduk diatas rumah mendengarkan pembicaraan mereka. Tiba-tiba saja bayangan itu cepat berteriap bersamaan keluarnya Baron Alfonso, Cucut Merah, Ki Macan Kuping dan lain-lainnya dari dalam rumah itu. Mereka berjalan kearah timur, masuk ke dalam goa karang yang terletak dibalik sebuah batu karang bulat menonjol dari

dalam tanah.

Tiba dimulut goa, Baron Alfonso tertegun ragu-ragu melihat jerajak besi yang dipasang disitu sebagai pintunya sedang ditepinya berdiri seorang bertubu pendek kekar dan berambut gondrong menggenggam tombak.

— Mengapa tuan seperti ragu-ragu. Alfonso? — tanya Cucut Merah menyeringai ketika melihat tamunya berwajah bimbang.

— Aku ragu-ragu apakah sarat yang kau janjikan itu, benar-benar dalam keadaan baik tak bercacat? — jawab Baron Alfonso.

— He, heh, heh, apakah tuan tidak percaya dengan Cucut Merah dari Pulau ireng dan juga Ki Macan Kuping dari alas Roban? Mesti dia terkurung dalam goa, Nurlela mendapat perawatan yang baik, sebab dia adalah permata yang tak ternilai harganya. —

— Bukan aku tak percaya, — potong Baron Alfonso — Aku cuma ingin lekas2 melihatnya! —

— Bagus. — kata Cucut Merah lega.

— Hee, Bluntak! — perintahnya - cepat keluarkan dan bawa kemari itu permata dari Malaka. Tapi awas Bluntak, macan betina itu berbahaya! —

Bluntak segera membuka pintu goa itu dan sebentar kemudian ia keluar menggiring seorang gadis dengan tangan yang terikat kebelakang. Begitu tiba diluar,  Nurlela  berhenti  sejenak. Matanya nanar, menyala penuh kebencian ketika memandang orang sekelilingnya. Hal itu tampak jelas karena sinar obor yang dipegang oleh Bluntak menerangi wajah Nurlela, hingga orang pendek bertubuh kekar itu merasa jengkel. Cepat tangan kanannya mendorong punggung   Nurlela   ke depan  dengan kerasnya, sampai gadis ini yang tidak bersedia hampir saja jatuh terjungkal. Namun tanpa diduga tubuh Nurlela berputar dengan cepat dan tahu-tahu kaki kanannya mengirimkan satu tendangan manis ke pinggang kanan Bluntak. Meskipun tendangan itu hanya disertai tenaga sedang saja, namun dasar kaki seorang pendekar maka akibatnya mengagumkan sekali. Tubuh Bluntak terjengkang ke kiri dan tak ampun lagi obor yang dipegan' pada tangan kirinya jatuh tertindih oleh dadanya.

— Aduh, aduh, tobat! Dadaku terbakar, aduh! — teriak kesakitan Bluntak terlontar dari mulutnya diser- tai tubuhnya yang berguling2 ditanah. Melihat Bluntak itu, yang berkesan dalam hati Cucut Merah bukan rasa kasihan tapi malah dianggapnya satu hal yang lucu, menggelikan hingga Cucut Merah tertawa terbahak2. — Ha, ha, ha badanmu kekar, kepalamu besar, tapi otakmu sebesar tahi udang! Ayo lekas bangun kau setan! Suruh temanrnu mengobati! — teriak Cucut Merah.

Dengan geram ia mendekati Nurlela dan begitu tangannya siap melayangkan pukulan ke pipi gadis itu tiba2 Alfonso berseru:

— Tahan! Kalau kau rusakkan mukanya, kita batalkan saja perjanjian tukar menukar ini! —

Cucut Merah menggeram jengkel dan terpaksa ia mengurungkan niatnya.

— Baik, aku tak akan menyakitinya. — Baron Alfonso menarik napas lega dan matanya liar memuakkan menatapi Nurlela dari ujung rambu sampai ke ujung kaki dengan pandangan yang bernapsu.

— Jangan kau pandang begitu Baron Alfonso nanti dia bisa jatuh pingsan,

— ujar Cucut Mera disusul oleh ketawa berderai dari mulut2 mereka.

— Baron Alfonso, tuan jangan tergesa-gesa membawa gadis itu sekarang, — berkata Cucut Merah, kepada tamunya.

— Apa maksudmu Cucut Merah? — sahut Alfonsc curiga.

— Gadis itu akan kami serahkan besok malam pada upacara yang resmi, tuan Baron! —

— Upacara resmi, katamu? — tukas Baron Alfonso setengah heran.

— Ya, besok adalah upacara pendadaran dan pen-rimaan anggota- anggota baru bajak laut Pulau Ireng. Mereka datang dari mana-mana untuk bergabung dengan kita. —

— Hemm, baiklah aku tak berkeberatan soal penerimaan itu! karena kamipun masih punya waktu yang cukup banyak! — ujar Baron Alfonso mengalah.

— Bangsat! Aku tak melupakan perbuatan kalian ini! Tunggulah pembalasanku nanti! — Teriak Nurlela dengan keras sampai suara itu bergaung memantul pada karang2 tebing di sekitarnya.

— Ha, ha, ha, ha, mulutmu besar omongnya, gadis manis! Masih berani mengancam kami heei? — Seru Cucut Merah. — Rupanya kamu harus ditotok lagi jalan darahmu supaya tidak terlalu banyak tingkah! —

Sekali lagi keadaan jadi tegang karena Cucut Merah sudah siap meluncurkan ujung jarinya ke arah leber Nurlela tetapi mendadak tangannya terasa nyeri karena tersampok angin pukulan yang dilancarkan oleh satu bayangan yang meluncur berkelebat dan tahu-tahu berdiri dihadapannya.

— Barong Makara! — terlontar teriakan-teriakan ngeri bercampur kaget dari mulut-mulut mereka berbareng, ketika yang berdiri di hadapan mereka itu tidak lain adalah seorang berbadan tegap berkedok biru dengan gambar Makara kuning emas. Mereka sampai terlongoh-longoh, saking terkejutnya, karena tokoh ini yang telah sekian lama tidak muncul, kini secara tiba-tiba berdiri dihadapan hidungnya.

— Bagus, kalian masih mengenalku, Akulah Barong Makara! — ujar tokoh yang baru datang itu dengan suara yang mantap penuh perbawa - Dan ini perkenalkan temanku yang seorang lagi!


Sekonyong-konyong satu bayangan lagi meluncur dan berdiri tegak didekat Barong Makara. Tokoh ini berpakaian model Malaka.

Hang Sakti meluncur teriakan kagum dari bibir Cucut Merah bersama Ki Macan Kuping. Kedua tokoh inipun dibuat terkejut buat kedua kalinya.

— Haah, apa maksud kalian datang ke daerahku — bentak Cucut Merah untuk menutupi rasa kagetnya.

— Aku akan ambil kembali gadis yang telah kau rampas itu secara damai, sebab kami tak menghendaki kekerasan. —

— Heh, heh, heh, mau enaknya saja mengambil bunga Malaka ini. Dia sudah ditukar dan sekarang jadi milik Baron Alfonso, — kata Cucut Merah sambil melototkan matanya. Baron Alfonso cuma tersenyum-senyum mendengar namanya disebut-sebut, lalu ia mendekatkan mulutnya ketelinga Cucut Merah membisikkan sesuatu. Keduanya sebentar tertawa cekikikan.

— Baiklah, tuan Barong Makara boleh ambil gadis yang telah kubeli ini sal tuan mau memenuhi syarat- syarat kami!" seru Baron Alfonso kepada Barong Makara, — Boleh! Silahkan sebut syarat- syarat itu! — Jawab Barong Makara tegas.

— Karena Nurlela sudah menjadi tawanan kami bersama, maka tuan boleh membawanya pergi setelah tuan bertanding tenaga dan berhasil mengalahkan saya dan juga mengalahkan Cucut Merah!" ujar Baron Alfonso. — Tetapi jika sebaliknya tuan kalah, maka kalian berdua akan menjadi budak kami! —

— Hmm, kalian kepingin mengukur tenaga dengan Barong Makara? Marilah Baron Alfonso, aku sudah bersedia melayanimu! —

Melihat Barong Makara sudah bersiaga. Barong Alfonso kemudian melepas pedangnya dan dicamkan ke tanah. Ia pun mengambil sikap siaga. Badan agak setengah condong ke depan, kaki kiri separo melangkah ke muka sedang kedua tangan terbuka lebar. Inilah sikap gulat yang diandalkan oleh orang-orang Eropah.

Tambahan lagi Baron Alfonson adalah jagoan gulat dari Eropah serta teman seperguruan Baron Sekeber dan Baron Sukmul yang keduanya terkenal pula sebagai tokoh sakti.

Sejurus keduanya berpandangan amat tajam. Masing-masing mencoba menguasai yang lain dengan pandangan mata. Dengan begitu, siapa yang lebih dulu berkedip matanya pastilah ia kalah dan selanjutnya boleh dipastikan bahwa ia bakal ditundukkan lawannya dalam adu tenaga itu.

Baron Alfonso telah terlatih matanya dan di Eropah ilmu itu disebut dengan nama "Hipnotisme", sedang di Jawa terdapat pula ilmu pandangan mata yang disebut "Candra Mawa". Keduanya ilmu itu mempunyai tataran yang sama tapi "Candra Mawa" dalam tingkatan yang lebih tinggi lagi, berkekuatan lebih hebat.

Tidak saja ia mempengaruhi pikiran dan kesadaran seseorang, tetapi sekaligus ia bisa membutakan lawan, bahkan pernah diceritakan kekuatan mata Candra Mawa dapat mengeluarkan sinar panas dan membakar lawannya tak ubah mata dewa Syiwa.

Mata Baron Alfonso liar menatap Barong Makara seakan akan mau melalap lawannya, dengan sekali telan. Hanya sayang lawan yang kini dihadapinya bukanlah sembarangan orang, tetapi adalah murid kinasih gemblengan Panembahan Tanah Putih dari daerah Asemarang, dan sedikit banyak menguasai ilmu Candra Mawa meski dalam tingkatan yang rendah. Maka keduanya mengerahkan segenap tenaga dalamnya sampai keringat menetes dari dahi mereka. Akhirnya Baron Alfonso merasa betapa hebatnya tenaga dalam Barong Makara yang terasa mengalir lewat matanya. Kedua mata itu seolah-olah melontarkan ribuan panah berbisa dan benar-benar tak dapat ditahannya.

Kalau semula ia mengira dapat mengalahkan lawannya, kini harapan itu musnah sama sekali. Matanya tiba-tiba merasa nyeri dan pedih sehingga mau tak mau ia terpaksa harus berkedip dan terpaksa menundukkan kepalanya sebab Baron Alfonso tak kuat menatap pandangan mata Barong Makara!

Orang Portugis itu merasa dikalahkan demikian, cepat memperbaiki dirinya dan secara pelan-pelan iapun berhasil menguasai kesadaran dirinya.

Hmm, benar-benar kau kuat juga pikir Barong Makara sejenak. Tetapi belum selesai ia berpikir begitu, sekonyong-konyong Baron Alfonso menyerudukkan kepala, persis laku kerbau gila ke arahnya. Inilah salah satu siasat ilmu gulat yang diandalkan dan telah berkali-kali berhasil merobohkan musuhnya selain kepalanya telah terlatih untuk gempuran de- mikian, iapun masih memakai topi dari baja. Serangan tiba-tiba ini mengejutkan semua orang, tapi Barong Makara lebih waspada.

Begitu kepala lawan hampir menyeruduk dadanya, cepat ia berkelit kesamping dan kaki kirinya bergerak mengait. Baron Alfonso yang terdorong oleh tenaganya sendiri serta kena kait kakinya, tak ampun lagi tubuhnya jatuh terjungkal dan cekakaran ditanah.

Baron Alfonso merasa malu dijatuhkan lawan hanya dengan kaitan kaki saja, maka cepat-cepat ia berdiri tegak untuk memulai serangannya kembali. Tubuhnya melesat dan tangannya kanan mengirimkan jotosan. Barong Makara kali ini tidak berusah mengelak sebab ia ingin mengukur tenaga lawannya.

Baron Alfonso semula merasa gembira, kalau pukulannya mengenai dada lawan. Namun ia sekali lagi dibuat terheran-heran sebab tangannya seperti membentur dinding yang licin lumutan, dan terpeleset ke kanan. Melihat satu lowongan, Barong Makara ganti memberikan satu pukulan ke dada Baron Alfonso dengan ukuran biasa sebab ia merasa belum ada perlunya menggunakan aji pukulan mautnya "Lebur Waja".

Sekarang ganti Barong Makara terperanjat sebab begitu pukulannya mendarat pada dada Baron Alfonso yang berbaju besi itu, terasa bergetar seperti menghantam bantalan karet. Baron Alfonso tidak jatuh terjerembab tapi hanya mundur tergeser beberapa langkah saja. Cucut Merah melihat pertempura ini cuma tersenyum sebab iapun sudah maklum bahwa Baron Alfonso terbilang jagoan.

Sekali lagi Baron Alfonso menerkam tubuh Barong Makara dan sekaligus memeluk seerat-eratnya pinggang musuhnya itu dengan impitan yang sekeras besi, untuk mematahkan tulang punggung Barong Makara. Kembali Alfonso kecewa kali ini, sebab tubuh lawannya tak ubah dengan tonggak besi baja. Sekali lagi dicobanya, tapi tidak terdengar suara berderak tanda tulang-tulang yang patah, hanya ketawa berderai dari mulut Barong Makara saja yang sampai ke telinga.

Belum lagi mengulang serangannya, tiba-tiba terasa tubuhnya terangkat diatas tanah ketika dua belah tangan Barong Makara mencengkeram lengannya. Kemudian tubuhnya kena dibanting oleh lawannya sampai jatuh terkapar ditanah dan pandangan matanya berputar-putar amat pusing.

— Sudah, sudah, aku merasa kalah! Tapi kau jangan lekas2 gembira sebab Cucut Merah akan menebus kekalahanku ini! — Seru Baron Alfonso sambil menyeringai marah.

Melihat kawannya dikalahkan, cepat Cucut Merah bersiaga kemudian tubuhnya melesat sambil tangannya mengirim pukulan ke arah kepala Barong Makara. Kelihatannya pukulan Cucut Merah benar-benar bakal mendarat di kepala Barong Makara sebab lawannya tidak berusaha mengeiak. Ketika jarak pukulan itu kira2 kurang sejengkal, tubuh Barong Makara secara manis melengos ke samping hingga pukulan tangan Cucut Merah meluncur ke depan. Untunglah ia sudah banyak pengalaman. Begitu terdorong ia cepat membalik dan menyerang lawannya kembali.

Keduanya kini bertempur sangat serunya. Cucut Merah geraknya amat lincah, menerkam dan menghantam sambil meloncat kesana kemari, persis gerak- nya ikan cucut yang haus darah! Tubuhnya hampir sukar ditangkap mata, kecuali yang nampak hanya bayangan yang berkelebatan amat cepat. Barong Makara menghadapi lawannya tidak bingung sedikitpun malahan ia bergerak dengan tenang penuh perhitungan.

Sekali-kali tubuhnya meloncat seperti terbang keudara untuk menghindari terkaman2 lawan. Ketika mereka bertempur hampir dua puluh jurus, sekonyong-konyong Cucut Merah menusukkan jari tangan kanan ke arah ulu hati Barong Makara. Inilah serangan rahasia yang paling berbahaya sebab disertai seluruh tenaga dalam.

Melihat serangan berbahaya, Barong Makara menjejakkan kaki ke tanah dan tubuhnya melenting ke udara sampai tusukan jari Cucut Merah gagal dan hanya mengenai kain Barong Makara yang sekaligus berlobang    selebar mata uang. Barong Makara amat terperanjat melihat akibat tusukan jari lawannya itu, dan kini ia ganti memukul punggung Cucut Merah sambil tubuhnya setengah mengambang di udara. Terdengar teriakan tertahan dari mulut lawannya dan tubuh Cucut Merah terhempas keatas tanah.

— Nah, dua-duanya telah aku kalahkan. Siapa yang belum merasa puas! — berseru Barong Makara. — Dan sekarang gadis ini jadi milikku! —

— Yah, kau memang hebat Gadis itu boleh kau bawa sekarang! — ujar Cucut Merah sambil bangun sempoyongan. Tubuhnya terasa seperti tak bertulang lagi, maka buru-buru ia mengatur napasnya untuk mengembalikan kekuatan tubuhnya.

Tali-tali yang mengikat tangan Nurlela telah dilepaskan oleh Barong Makara dan ia cepat gadis ini menghambur memeluk kakaknya, Hang Sakti.

— Terima kasih, kau telah menyelamatkan adikku, Barong Makara! — ujar Hang Sakti penuh gembira.

— Ah, berterima kasihlah kepada Tuhan Yang Maha Esa sebab Dialah yang telah menyelamatkan kita, balas - Barong Makara. — Ayo, kita tinggalkan tempat terkutuk ini! —

Begitu ketiganya bergerak meninggalkan tempat itu. Cucut Merah menjadi penasaran dan mulutnya bersuit keras. Mereka bersama-sama menyerang ketiga orang itu.

Melihat Ki Macan Kuping, Cucut Merah, Todok Ireng dan Baron Alfonso ditambah lagi bermunculannya orang- orang bajak laut anak buah Cucut Merah dari balik balik karang, Barong Makara melihat bahaya yang luar biasa maka cepat-cepat ia menyambar pinggang Nurlela dan memondongnya sambil kedua- nya seperti melayang, melesat meninggalkan tempat itu. Semua pengejarnya tercengang-cengang dan beberapa yang mencoba menghadangnya, terlanggar untuk kemudian terjengkang jatuh ke tanah sambil melolong-lolong kesakitan.

Bersamaan dengan itu Hang Sakti tak mau ketinggalan, segera melesatkan tubuhnya mengikuti Barong Makara. Tapi sayang, satu bayangan lagi yaitu Ki Macan Kuping cepat mengejarnya dan langsun mengirimkan satu pukulan yang berbisa.

Hang Sakti tak mengira mendapat serangan itu maka tubuhnya runtuh ke tanah ketika gempura tangan Ki Macan Kuping mendarat dibahunya dan jatuh tak sadarkan diri. Barong Makara tak sempat menolong Hang Sakti sebab bisa membahayakan diri Nurlela. Maka untuk sementara ia terpaksa membiarkan tubuh sahabatnya diringkus oleh bajak2 laut itu beramai-ramai, yang selanjutnya dilemparkan ke dalam penjara goa karang.

— Hua, ha, ha, ha, hilang yang perempuan, yang laki-laki kita dapat!

— Ki Macan Kuping berteriak kegirangan. — Nah, tuan Alfonso, dia pasti akan lebih berguna bagi Portugis, Dia boleh kau bawa ke Goa besok, tuan Alfonso! —

— Terima kasih! —

— Hee kawan-kawan! Ayo kirim peronda-peronda untuk mencari jejak Barong Makara! — perintah Cucut Merah keras-keras dan segera anak buahnyapun berlompatan meninggalkan tempat itu.

3

MALAM itu Gagak Bangah mondar- mandir menunggu diatas geladak perahu. Pikirannya sebentar-sebentar mencemas- kan Barong Makara yang telah pergi bersama Hang Sakti ke Pulau Ireng. Beberapa awak kapal bersiaga menanti setiap kemungkinan. Meskipun mereka berlabuh dan bersembunyi disebuah pulau yang paling timur sendiri, tapi hati mereka tak urung merasa cemas juga mengingat daerah itu itu dalam kekuasaan bajak laut Pulau Ireng yang terkenal ganasnya.

Sebuah siutan angin membuat mereka terkejut, dan dalam remang- remang sinar bintang yang bertaburan dilangit, kelihatan sesosok bayangan melesat dan mendarat diatas geladag perahu.

— Kakang Barong Makara! - teriak Gagak Bangah terkejut demi dilihatnya Barong Makara datang dengan memondong seorang gadis jelita. Hati perempuan- nya tiba-tiba berdesir melihat pujaan hatinya memondong seorang gadis. Untunglah Gagak Bangah cepat dapat menguasai perasaannya.

— Kakang Makara,. dimana Hang Sakti? Apa yang telah terjadi, kakang?


— Ehh, ia kena diringkus dan ditawan mereka adi, — ujar Barong Makara penuh keharuan – Sebenarnya itu tak perlu terjadi adi, sebab bajak2 laut itu telah berjanji jika aku dapat mengalahkan dua orang diantara mereka, Nurlela boleh kami bawa pergi dan akhirnya setelah mereka kalah, begitu bertiga kami pergi, si Cucut Merah mengkhianati janjinya dan mengeroyok kami beramai-ramai, sampai dinda Hang Sakti kena tertangkap. — — Kurang ajar! Kalau begitu kapan kita gempur mereka kakang Makara?" ujar Gagak Bangah penuh geram dihatinya.

— Tunggulah, kita serbu mereka besok malam. Kebetulan malam itu mereka akan mengadakan upacara penerimaan anggota-anggota baru bajak laut PuLau Ireng. Nah, sambil diam- diam membebaskan kanda Hang Sakti, kita gempur mereka secara mendadak sehingga mereka akan kocar-kacir dan jika tak ada aral melintang, pastilah besok sore adi Jagayuda beserta armada Demak telah tiba disini dan bersama- sama kita menghancurkan bajak2 itu, — Barong Makara atau yang lebih dikenal oleh Gagak Bangah sebagai Mahesa Wulung berhenti sejenak dengan kata- katanya. — Mereka sungguh-sungguh merupakan gerombolan bajak yang kuat adik Gagak Bangah —.

— Tetapi, bukankah kakang Makara berhasIL mengalahkan dua di antara mereka? — sela Gagak Bangah

— Ya, hanya saja yang bertanding itu tokoh mudanya. Sedang tokoh tuanya yang ternyata pelarian dari Alas Roban dipantai utara Jawa dan disebut Ki Macan Kuping itu tidak ikut bertanding! —

— Ki Macan Kuping?! — seru Gagak Bangah terkejut, karena iapuN pernah bertempur dan dikalahkan oleh Ki Macan Kuping, ketika ia bersama gurunya Ki Surengrono dengan berani melawan gerombolan Alas Roban di Asemarang. Tak lama kemudian, berakhirlah sudah pembicaraan mereka dan malampun semakin bertambah larut, sedang Barong Makara bersama Gagak Bangah telah mempersilahkan Nurlela untuk beristirahat disebuah kamar yang terletak diburitan perahu. Dicakrawala timur, perlahan-lahan muncul sang purnama yang bulat bersinar perak seperti kepalia seorang raksasa gundul yang mengintai mangsanya.

Beberapa saat kemudian sebuah perahu yang berlabuh dibalik karang- karang itu dan terlindung oleh gerombolan pohon-pohon kelapa. Hampir semua awak kapalnya telah tidur kecuali beberapa orang yang mendapat tugas jaga tampak mondar-mandir digeladak.

*******

Matahari bernyala dilangit yang bersepuh warna perak kebiruan siang itu. Tanpa sepotong awanpun tergantung dilangit, kecuali matahari yang memanahkan sinar-sinar panasnya ke karang-karang dan pohon-pohon kelapa serta buih-buih yang terhampar bersama ombak ke pantai bergemerlapan meman- tulkan cahayanya. Barong Makara yang tengah memikir-mikir rencana penyerbuan ke Pulau Ireng dikamarnya dikejutkan oleh masuknya Gagak Bangah dengan dada terengah2 sedang tangannya menggenggam sebuah teropong.

— Kakang Barong Makara, sesuatu sedang mengancam kedudukan kita, kakang. Aku telah lihat tiga perahu sampan yang kecil bergerak ke arah pulau ini dari arah barat, jika mereka tiba disini pastilah mereka bakal melihat kita! —

— Dimana kau lihat mereka, adi? - potong Barong Makara.

— Dari atas bukit karang itu. Masing2 sampan mereka kira berisi empat orang, dengan bersenjata dan pastilah mereka itu pengawal2 ronda bajak laut Pulau Ireng. —

— Wah, ini berbahaya adi Gagak Bangah. Aku akan berusaha mencegah mereka seorang diri agar tidak sampai ke tempat ini. Kau tinggal saja diperahu ini serta siapkan anak buah kita, jika terjadi apa2. Coba, tolong ambilkan terompah kayunya Hang Sakti. Aku akan memakainya untuk mencegat ketiga sampan itu. —

Hampir semua mata terpesona melihat ketangkasan Barong Makara menggunakan terompah kayu papan itu, Disertai ilmu tenaga dalam dan mengentengkan tubuh yang terhimpun dalam aji "Bayu Rasa" ajaran Panembahan Tanah Putih, tubuh Barong Makara meluncur cepat diatas permukaan air laut ketika kedua belah kakinya digerak2kan ke atas dah ke bawah dengan lincahnya. Mungkin jika dilihat dari jauh, pasti orang akan mengira bahwa itu bangsanya setan laut yang berjalan diatas air!

Dengan cepatnya Barong, Makara meluncur ke arah Barat menyongsong tiga sampan berlayar yang masih jauh jaraknya dan terlihat hanya sebagai tiga titik hitam saja. Ketiga sampan itu meluncur kearah timur. Mereka mendapat tugas yang cukup berat karena mereka harus mencari jejak larinya Baron Makara. Sungguh bukan suatu pekerjaan yang gampang untuK itu, tak ubahnya seperti mencari jejak di dalam air.

— Kakang Bluntak, kita hampir mencapai pulau yang penghabisan di sebelah timur itu. Jika sekali ini Barong Makara belum ketangkap, apakah kita kembali ke Pulau Ireng? - tanya seorang yang berkepala gundul kepada teman seperahunya.

— Apa kau bilapg tadi, Belis? Pulang? Rupanya kau sudah tidak sayang sama kepala gundulmu itu. Jika kita sampai pulang tanpa membawa Barong Makara, itu berarti kepalamu dan juga kepalaku akan bercerai dari tubuh! Kau dengar tidak? Ancaman itu telah diucapkan oleh Cucut Merah. —

Orang itu yang bernama Belis, terdiam saja mendengar nama pemimpinnya disebut oleh Bluntak. Memang Cucut Merah terkenal beradat keras dan kejam.

Suasana hening sejenak, suara air laut yang disebabkan oleh haluan perahu berbunyi seperti lagu maut.

— Setan!! Itu ada setan di sebelah timur! - tiba2 Belis berteriak seperti orang gila sambil tangannya serabutan menunjuk ke arah timur, sampai kesebelas orang temannya dari tiap perahu itu terkejut. Memang, dari arah timur tampak sesosok tubuh manusia yang dengan enaknya meluncur di atas air ke arah perahu-perahu mereka.

— Hee, lihat orang itu berkedok mulutnya dengan gambar Makara! - seru salah seorang dari perahu yang lain sambil memasang teropongnya.

— Kalian goblok semua! Itulah dia si Barong Makara! Ayo cepat, siapkan segera panah2mu, tembak dia bersama2 biar mampus! - perintah Bluntak keras2.

Kini jarak mereka semakin dekat dan dekat kemudian nyatalah oleh mereka bahwa orang yang meluncur ke arahnya itu mengenakan terompah kayu pada kakinya. Meskipun mereka mula2 tertegun keheranan, namun akhirnya sadarlah bahwa pada Barong Makara inilah terletak nyawa2 mereka. Bila saja mereka dapat menangkapnya hidup atau mati berarti mereka akan terbebas dari hukuman mati Cucut Merah.

Oleh sebab itu mereka cepat2 memasang dan kemudian menembahkan panah mereka bersama2.

Mulut Bluntak menyeringai puas meskipun keringat dingin mengalir dari lobang2 kulit mukanya. Iapun melihat anak2 panah berdesingan melesat dari busur2 anak buahnya yang sebelas orang itu, terbang kearah Barong Makara. Tetapi mulut Bluntak yang menyeringai gembira itu makin melekar dan melongoh2 keheranan demi dilihatnya anak2 panah yang meluncur itu berantakan ke air kena disampok oleh putaran cambuk Barong Makara yang berjilat-jilat kebiruan.

Belum lagi habis herannya, Barong Makara sudah sampai ke perahu2 mereka dan langsung menyerangnya dengan putaran cambuk Naga Geni. Kini mereka tak sempat lagi melepaskan panah- panahnya kecuali melawan cambuk itu dengan pedang dan tombak. Barong Makara memutar cambuknya begitu cepat sampai yang terlihat hanyalah lingkaran biru yang seolah-olah laksana perisai memagari tubuhnya dari setiap senjata lawan yang menyerang- nya.

Beberapa batang pedang dan tombak yang kena sambar cambuk itu terbetot lepas dari  tangan-tangan  mereka kemudian terpelanting ke udara dan kecebur dalam air. Bluntak dari perahu pertama begitu tercium oleh sabetan cambuk pusaka   Naga Geni mulutnya mengeluarkan jeritan  merana   dan tergeletak diperahu tak bernapas lagi dengan kulit tubuhnya terbakar hangus. Barong  Makara    terus    memutar cambuknya dan melecutkannya kearah mereka hingga satu demi satu bajak2 laut Pulau Ireng itu rebah ke perahu dan tiap-tiap korbannya menjadi hitam hangus ketika   ajalnya  lepas  dari tubuh! Tiga orang yang mencoba lari serta terjun kelaut, tak muncul-muncul

lagi tubuhnya karena tenggelam!

Demikianlah dari kedua belas orang bajak laut itu tak seorangpun yang tinggal hidup. Pertempuran itu sangat hebat serta dalam waktu pendek, seolah-olah seperti dalam dongeng khayal saja Barong Makara kemudian memutar tubuhnya dan meluncur kembali kearah timur, sementara ketiga perahu itu tinggal terapung-apung dipermain- kan ombak kesana-kemari. Hari itu adalah hari pesta bagi ikan-ikan hiu yang banyak berkeliaran ditempat itu dan terkenal doyan daging manusia! Beberapa jung besar dan perahu perahu kecil lainnya berlayar ke arah barat amat lajunya seperti mengejar larinya matahari yang kini telah mendekati cakrawala barat. Sinarnya telah berkurang panas dan berangsur- angsur, bola api itu makin merendah dan merendah. Namun sinarnya yang lemah masih kuasa mengusap bendera2 Sangsaka gula kelapa yang berkibaran ditiup angin timur dipuncak tiang layar perahu2 armada Demak itu.

— Kakang Jagayuda, lihatlah gugusan-gugusan hitam di utara itu! - Egrang menyampaikan teropongnya kepada Jagayuda - Lihatlah dengan teropong ini! —

— Hmm, itulah gugusan pulau pulau Karimun Jawa. Rupanya Tuhan merestui pelayaran kita ini, adi. Tepat hari kedua seperti yang dijanjikan oleh kakang Mahesa Wulung dan kita sampai di sini senja ini. Sebentar malam kita sudah dapat mendekati pulau2 itu serta menunggu isyarat panah api dari kakang Mahesa Wulung, Begitu kita menerima isyarat kita akan gempur Pulau Ireng secara tiba-tiba. —

Begitulah, perahu-perahu armada Demak itu bergerak dalam keremangan sinar bintang yang bertaburan di langit yang kelam, sekelam hati-hati orang gerombolan bajak laut Pulau Ireng pada malam itu tengah berkumpul di sarangnya. Mereka itu dengan khusuknya mengikuti upacara penerimaan anggota2 baru dari gerombolan bajak laut Pulau Ireng, yang kebanyakan dari mereka itu sendiri dan pelarian2 orang hukuman. Maka tak salah jika dikatakan bahwa Pulau Ireng, adalah sarang dari segala kejahatan dan sarang setan2. Memanglah, dihati mereka itu telah diisi oleh setan2 yang setiap kali menggelitik-gelitik pemiliknya untuk dipimpinnya berbuat kejahatan. Meram- pok, membunuh, memfitnah, menyiksa, mengacau negara, dan bila itu semua telah terjadi maka setan-setan yang bersemayam dihati orang-orang laknat itu bersorak-sorak, menari serta terkekeh-kekeh untuk kemudian mengge- litik hati hati mereka lebih keras lagi agar mereka tak puas-puasnya untuk mengulang kejahatannya kembali.

Bila sudah demikian itu, mereka tak ubahnya dengan orang-orang yang sakit parah sukar untuk diobati, karena yang sakit parah bukannya jasmaniah yang tampak, tetapi rokhani dan batin mereka itulah. Sehingga jalan satu-satunya untuk membersihkan hati mereka ialah dengan memanggangnya diapi neraka!

Mereka berdiri mengelilingi sebuah unggun api dan di salah satu sudut, duduklah di tanah beberapa orang yang menabuh genderang-genderang besar dengan kerasnya. Suara itu amat gemuruh iramanya dan oleh angin malam dibawanya kemana-mana, sayup-sayup, timbul-tenggelam menyelusuri ombak sampai kepantai Jawa disebelah selatan sana.

Barang siapa mendengarnya, pasti- lah bulu tengkuk akan berdiri dan meremang saking ngerinya. Orang orang tua dan setiap keluarga yang tinggal dekat pantai, akan segera membawa masuk anak2nya kedalam rumah dan mengunci diri rapat-rapat dan mereka tentu akan memperingatkan anak-anak- nya. - Ayo, jangan keluar2 lagi nak. Dengar itu bunyi lampor dari Pulau Ireng! —

— Kalau kamu masih berani keluar atau menangis dimalam ini biar nanti dibawa oleh mereka! - Dan mereka itu, anak-anak kecil yang masih ingusan akan segera menyerudukkan kepalanya dibawah pelukan orang-orang tuanya, bila sudah mendengar alunan bunyi genderang yang sayup-sayup sampai.!

Dipinggir lingkaran sebelah utara duduk diatas batu-batu yang diatur rapi menghadap ke arah api unggun. Paling tengah duduk si Cucut Merah, Ki Macan Kuping kemudian disebelah kanannya duduk si Todak Ireng sedang disisi kirinya duduk pula Baron Alfonso dan disebelahnya tampaklah seorang utusan dari kawanan bajak laut "Iblis Merah.. dari selat Karimata yang bernama Marangsang. Ia datang disini bersama Baron Alfonso sebagai utusan dalam upacara tersebut.

Wajahnya yang angker dengan hidung besar berkumis tebal membuat siapa saja berkesan bahwa Marangsang orang keras kepala dan kejam. Pada ikat pinggangnya yang lebar itu, ia memakai sebilah keris besar dan berhulu penuh permata, juga sebilah pistol terselip pula disitu.

Irama genderang tiba-tiba berhenti berbareng dengan acungan kedua tangan Cucut Merah yang kini berdiri dengan gagahnya.

— Kawan-kawan! Upacara penerimaan anggota baru bagi bajak laut Pulau Ireng segera dimulai! —Suasana hening sejenak ketika Cucut Mera membuka gulungan kertas yang lebar.

— Sekarang maju ke depan sini, Terawes! Sebagai anggota baru yang pertama!" seru Cucut Merah lantang, dan dari orang-orang yang duduk mengitari api unggun itu berdirilah seorang berperawakan kekar, lalu berjalan ke tengah lingkaran.

Setelah Terawes mengucapkan kata prasetya, Cucut Merah mengambil sebuah tangkai besi yang terpendam ujungnya dalam bara api disebuah tungku disamping Cucut Merah. — Dengan ini kau menjadi keluarga kami, bajak laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa, — Cucut Merah memegang tangan kanan Terawes dan selanjutnya ia menempelkan ujung besi yang membara merah ke tangan Terawes sampai orang ini mengeluarkan teriak kecil tertahan disertai wajah yang tegang menyeringai. Bau kulit terbakar sampai ke hidung-hidung mereka dan kini terlihatlah lukisan tengkorak bersi- lang tulang dilengan kanan Terawes. Meskipun ia masih merasa pedih, tapi dengan bangga Terawes mengamat-amati tanda itu dengan puas!

— Anggota yang kedua ialah Jukung! — Orang ini pun maju ke depan dengan langkahnya yang tegap. Ketika itu, dimana Cucut Merah sibuk menerima orang-orang baru, dua bayangan yang melangkah-langkah amat ringan menyeli- nap disela-sela karang mendekati sebuah goa batu yang berterali besi baja. Menilik gerak yang ringan tak bersuara dapatlah ditebak bahwa mereka adalah jagoan-jagoan silat kelas tinggi!

— Awas berhenti sebentar adi Gagak! Lihat dipintu itu telah dijaga oleh tiga orang bersenjata —

— Kita bereskan saja sekarang kakang Makara! — desak Gagak Bangah tidak sabar lagi. — Betul tapi dengan jalan terang- terangan, tidak mustahil kalau mereka berteriak-teriak dan akibatnya kita akan gagal untuk membebaskan Hang Sakti! — ujar Barong Makara. Belum sampai mereka berkata2 lagi tiba-tiba Barong Makara atau Mahesa Wulung yang terkenal bertelinga tajam itu, dengan cepat menarik tubuh Gagak Bangah, sampai ia terhuyung saking terkejutnya dan tubuhnya membentur dada Barong Makara yang bidang. Gagak Bangah cepat memeluk tubuh Barong Makara, kalau tidak pastilah ia terpelanting ke tanah.

— Maaf adi Gagak Bangah, aku tak bermaksud mengejutkanmu. Dengarlah, suara langkah seseorang menuju kemari. Pasti dia anak buah Cucut Merah. —

Ketika memeluk tubuh Barong Makara yang kekar, hati wanita Pandan Arum yang selama ini dikenal oleh Barong Makara sebagai pemuda Gagak Bangah itu, kembali bergejolak lalu timbul manjanya. Sekali ini ia pura- pura jatuh pingsan sehingga Barong Makara dengan kebingungan cepat menangkap tubuh Gagak Bangah yang merosot ke bawah.

— Adi Gagak Bangah, adi . . . kau tak apa-apa bukan? — Barong Makara sibuk memijit-mijit kening Gagak Bangah dan disaat itu Barong Makara mengira bahwa sahabatnya itu betul- betul jatuh pingsan, maka untuk menyadarkannya ia segera melepas ikat kepala Gagak Bangah agar kepalanya menjadi segar oleh udara yang sejuk.

Dengan mulut ternganga dan rasa terkejut yang bukan main Barong Makara melihat satu kenyataan yang membikin- nya terpesona. Bahkan seandainya di saat itu ada seribu guntur yang meledak di dekatnya, Barong Makara tidak akan menghiraukannya, karena yang dihadapannya kini bukan lagi Gagak Bangah yang tampan, melainkan si Pandan Arum yang jelita berambut hitam panjang.

— Adi Ga . . . ga . . . Gagak . .

— seru Barong Makara tergagap-gagap kebingungan.

— Kakang Mahesa Wulung! — balas Pandam Arum meyakinkan.

— Kakang Mahesa Wulung . . . aku Pandan Arum . . kakang! —

— Oh Pandan Arum . . . jadi kaulah yang selama ini telah menyamar sebagai Gagak Bangah dan telah berkali-kali menyelamatkanku . . . —

— Benar . . . kakang Wulung . . .

— Pandan Arum berkata lirih dan merebahkan kepalanya ke dada Barong Makara. Pandan Arum sungguh merasa bahagia dan penuh kedamaian disaat itu, keinginannya selama ini untuk membuka ikat kepalanya dan berterus terang bahwa sebenarnya ia adalah si Pandan Arum telah tercapai.

Langkah-langkah kaki terdengar semakin dekat. Barong Makara cepat memberi isyarat kepada Pandan Arum dan gadis inipun cepat pula melihat bahaya yang mengancam. Keduanya menyelinap dibalik karang.

— Ssttt, lihat Pandan! Orang itu membawa sebuah guci minuman. Ayo kita sergap dia, sebelum ia tiba digoa penjara! —

Orang itu dengan enaknya menyandang guci dan terus melangkah tanpa curiga sedikitpun akan bahaya yang sudah ada didepan hidungnya. Dan bahaya itu benar-benar datang secara tiba-tiba. Dua bayangan melesat dari samping dan langsung menyerangnya. Yang satu menyerang dengan totokan jalan darah pada bahunya sedang yang seorang lagi dengan sigapnya menyanbut guci minuman yang terpelanting dari tubuh orang itu, ketika ia rebah ke tanah.

— Nah, sekarang biarlah aku yang mengantar minuman ini kepada tiga orang penjaga goa itu kakang! — kata Pandan Arum — Dan mereka akan kubuat tidur pulas sehari penuh! —

Barong Makara cuma tersenyum mendengar kata-kata gadis ini, dan ia kembali dibikin kagum oleh ketrampilannya. Mula-mula Pandan Arum menyanggul rambutnya dan ikat kepalanya dipasang lagi dengan rapinya sehingga kini kembalilah ia sebagai Gagak Bangah yang tampan. Kemudian dipungutnya sebuah kantong dari ikat pinggangnya dan sebutir bulatan hitam diambilnya lalu dimasukkan kedalam guci minuman itu.

— Hati-hati adi Gagak Bangah! — bisik Barong Makara kepada Gagak Bangah. — Beri aku tanda jika ada kesulitan. — Sebentar saja, Gagak Bangah dengan langkah yang lebar-lebar telah tiba didepan pintu goa. Ketiga penjaga itu berseri-seri wajahnya ketika melihat guci minuman yang disandang oleh Gagak Bangah.

— Kawan-kawan! Yang lain-lain pada bergembira menyambut upacara itu, semua bergembira! Nah, ini kubawa untuk kalian seguci minuman tuak, habiskanlah sepuas mungkin. —

— Ha, ha, ha, kau rupanya juga anggota kita yang baru, ya. Aku belum pernah melihatmu, kawan, — sapa salah seorang penjaga yang berahang besar dengan gigi2 emas.  

Yang dihadapi Barong Makara kini bukan lagi Gagak Bangah yang tampan, melainkan si Pandan Arum yang jelita berambut hitam, panjang dan tergerai dibahunya. — Ya, aku memang baru disini, tapi tak ada salahnya bukan jika aku memberi minuman itu untuk anda? —

Tanpa berkata lagi, mereka menerima guci itu serta meminumnya bergantian sangat rakusnya — Wah, segar sekali ini, kawan. Terima kasih

. . . teri ... ma . .. ka . . . sih ..

. . —

Obat pulas tidur Gagak Bangah sungguh cepat kerjanya. Ketiga orang itu setelah minum beberapa teguk, maka satu persatu jatuh terkulai ketanah dan tidur puas.

Dari mulutnya terdengar dengkur yang berirama, Gagak Bangah memungut kunci pintu dari ikat pinggang salah seorang penjaga yang kini tidur pulas itu. Barong Makarapun segera berlari kepintu goa setelah Gagak Bangah memberikan isyarat "aman" kepadanya.

Dengan mudahnya mereka membuka pintu besi, kemudian keduanya cepat- cepat masuk disebelah kamar beralaskan lantai batu karang yang licin, terlihatlah oleh mereka sesosok tubuh yang terkulai dilantai dengan muka dan kulitnya yang pucat pasi.

— Oh, itulah kanda Hang Sakti, — bisik Barong Makara.

— Ya, kasihan dia. Ayo cepat kita tolohg dia, Kakang Makara. — Gagak Bangah mengeluarkan lagi kantongnya dan sebuah bungkusan kecil berisi serbuk putih diambilnya dari dalam.

— Rupanya makanan yang diberikan oleh bajak-bajak laut ini tidak dimakannya, kakang Makara. Lihatlah semuanya masih utuh dan air minumnyapun masih penuh. —

— Beratkah sakitnya itu, adik? — satu pertanyaan cemas terlontar dari bibir Barong Makara, sedang Gagak Bangah yang ditanya itu cuma menggeleng-gelengkan kepala. Ia memijit-mijit kening Hang Sakti seperti yang pernah diajarkan oleh bibinya Nyi Sumekar dari lereng gunung Muria.

— Untunglah ia punya daya tahan yang hebat. Totokan jari Ki Macan memang berbisa, kalau saja kanda Hang Sakti ini orang lumrah saja, pasti ia akan lumpuh selama-lamanya. Aku akan coba menyembuhkannya dengan obat ini. Dan tolong angkatkan kepalanya, kakang. Biar kuminumkan segera obat ini kemulutnya. —

Beberapa saat kemudian setelah meminum obat itu tampak perubahan pada tubuh Hang Sakti. Darah yang mulai mengalir lancar menyebabkan kulit tu- buhnya berangsur-angsur pulih berwarna merah tembaga, kemudian pelan-pelan ia mulai duduk dan berdiri dengan sempurna. Sesaat itu pula ketiganya saling menceriterakan pengalamannya masing-masing. Meskipun sambil bercakap-cakap, telinga Barong Makara yang tajam itu dapat pula mendengar langkah-langkah orang mendekati tempatnya. - Awas ada yang datang! — Seru Barong Makara itu sudah cukup mengagetkan mereka maka ketiga orang itupun bersiaga memasang kuda-kuda, siap menghadapi setiap bahaya. Namun dua bayangan yang mendatang itu lebih dulu menegur mereka. Bayangan yang seorang amat ramping dan yang seorang lagi bertubuh tinggi bersenjata sebilah dayung.

— Kanda Hang Sakti — teriak bayangan yang ramping sambil menghambur dan memeluk Hang Sakti. — Oh kau tak apa-apa kanda. —

— Berkat pertolongan dinda Barong Makara dan Gagak Bangah ini, kanda dapat selamat. Nurlela, bagaimana kau bisa cepat sampai disini? — tanya Hang Sakti kemudian.

— Aku melihat sinar api unggun mereka kanda. Sehingga untuk mencari tempat ini tidaklah terlalu sukar! — kata Nurlela - Juga aku membawa kabar yang baik, yang kita nanti-nantikan! —

— Maksdumu? — sela Hang Sakti tak sabar. — Armada Demak yang dipimpin oleh Jagayuda telah tiba dan sekarang mereka mulai mengepung Pulau Ireng ini! — Wajah-wajah mereka berseri mendengar penuturan Nurlela ini, karena memang hal inilah yang mereka tunggu-tunggu. Gerombolan bajak laut Pulau Ireng memang terlalu banyak jika banyak dihadapi oleh mereka berlima, meskipun kesemuanya terbilang jagoan jagoan silat utama.

— Kangmas Barong Makara, isyarat panah api tanda penggempuran dinantikan oleh kakang Jagayuda! — ujar Egrang memecah kesunyian. — Kapankah kita menyerbu? —

— Ya, sebentar lagi kita gempur mereka. Tapi marilah kita berunding dahulu! — Maka kelima orang itu tampak sibuk mengatur siasat sampai beberapa saat lamanya. Kini Barong Makara tampak memberikan petunjuk-petunjuk.

— Nah, kiranya cukup jelas bukan? Kalian berpencar dan aku akan masuk ke tempat mereka, ke tengah upacara mereka. Jika kalian lihat panah api melesat ke udara, serbulah mereka dengan segera! — Selesai berkata, merekapun berloncatan berpencar dan lenyap dalam kegelapan malam dibatu- batu karang yang bertonjolan bagai kepala2 hantu.

Barong Makara segera dengan mengetrapkan aji "Bayu Rasa" berloncatan amat lincahnya bagai kijang dari batu karang yang satu kekarang yang lain dan setelah mendaki satu tebing karang yang terjal, tibalah ia ditempat upacara itu.

Jauh dimukanya, disebuah tempat yang cukup sukar ditemukan, terlihatlah bajak-bajak laut yang duduk mengelilingi api unggun besar. Rupanya upacara mereka telah selesai, karena beberapa pasangan, bajak laut telah mulai mempertunjukkan permainan silatnya. Satu pasang diantaranya, ialah Telawes melawan Dukung bertanding dengan menggunakan dayung perahu sebagai senjata. Keduanya amat tangguhnya sampai pertandingan berjalan beberapa jurus gebrakan.

Diam-diam tamu dari selat Karimata yapg ber-nama Marangsang itu tersenyum hambar melihat pertandingan silat mereka, karena permainan- permainan itu sudah terlalu biasa baginya. Cucut Merah yang melihat senyum hambar tamunya itu, cukup mengerti akan perasaan-perasaan Marangsang, maka didekatinya tamunya itu.

— Maaf tuan Marangsang. Apakah kami dapat memberikan kehormatan untukmu? — Cucut Merah bertanya sambil duduk disebelah Marangsang.

— Kehormatan, bagaimana maksud tuan? —

— Bolehkah kami mengetahui ketangkasan yang tuan punyai? — Mendapat pertanyaan begitu Marangsang menjadi lebar senyumnya.

— Ya, boleh, boleh. Aku memang sudah menyiapkannya tuan Cucut Merah. Nah, suruhlah salah seorang anak buah tuan untuk melemparkan ayam panggang ini, ke udara. Nanti aku akan memperlihatkan satu permainan kepada tuan! — Kata Marangsang kepada Cucut Merah seraya menyampaikan sebuah ayam panggang utuh. Semua mata terpaku pada ayam panggang yang pindah dari tangan Cucut Merah ke tangan salah seorang perajuritnya. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah yang bakal dipertunjukkan oleh Marangsang dari selat Kalimantan itu.

Barong Makarapun yang bersembunyi diatas tebing karang itu, diam-diam bertanya pula didalam hatinya. Kini anak buah Cucut Merah memegang ayam panggang itu, ketika terdengar dengan aba2 — Lempar! — iapun dengan cekatan melemparkannya ke udara. Bersamaan dengan itu, Marangsang bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti oleh mata dan tiba2 terdengar suara letusan memekakkan telinga, memenuhi udara malam itu. Asap berkepul dari laras pistol yang dipegang oleh tangan kanan Marangsang, berbareng dengan itu dari atas jatuhlah ayam panggang tadi tanpa kepala dan leher lagi! Mulut-mulut mereka, para bajak itu melongo bundar menyaksikan ketangkasan Marangsang menembak dengan pistol. Mereka pada kagum akan kehebatan tembakan yang dapat memutuskan kepaia dan leher ayam panggang tadi. Itupun baru sasaran yang kecil, apa lagi untuk sasaran yang lebih besar seperti manusia mjsalnya, pastilah lebih mudah lagi! Melihat mereka melongo itu, Marangsang ketawa lebar.

— Nah tuan Cucut Merah, itulah pertunjukan yang telah kujanjikan untuk kawan2 dari PuIau Ireng. Sekarang, apakah tuan juga berkenan pula memperlihatkan permainan tuan? —

— Ha, ha, ha, tentu, tentu! Baiklah, akupun ingin bermain-main dengan ayam panggang ini! - ujar Cucut Merah seraya memberikan sebuah ayam panggang kepada seorang anak buahnya.

Begitu terdengar aba2 - lempar - disusul ayam panggang yang melayang ke udara, Cucut Merah bergerak pula mencabut pisau belati dari pinggangnya, kemudian dilemparkannya pula ke udara. Sungguh mengagumkan gerak cepat Cucut Merah. Iapun menyeringai bangga karena lebih2 ketika ayam panggang itu jatuh berdebuk ditanah, ia sudah membayang- kan bahwa dada ayam panggangnya pasti tertembus oleh belati panjangnya dan mulut2 tentu pula pada melongoh kagum. Tapi tiba2 terdengar teriakan gaduh dari anak2 buahnya ketika mereka melihat ayam panggang yang baru jatuh itu. Tidak hanya belati panjang Cucut Merah saja yang tertancap disitu tapi juga sebuah anak panah tertancap tembus disamping belati itu.

Terbeliak lebar mata Cucut Merah melihat anak panah yang menancap disamping belatinya pada dada ayam panggang itu, sampai ia diam2 menggerutu didalam hatinya. - Hmm, setan mana yang berkepandaian seperti ini? —

— Hee, siapa yang membuat lelucon ini! - Cucut Merah berteriak nyaring berkumandang ke batu2 karang yang terjal disusul kemudian satu jawab akan disertai sebuah bayangan yang melayang turun dari atas batu karang.

— Maaf Cucut Merah, akulah yang membuat lelucon itu, karena aku menjadi tertarik oleh permainan kalian! — Ujar bayangan itu yang kini berdiri dengan gagahnya.

— Barong Makara! — teriak ngeri terlontar dari mulut2 bajak laut yang melihat tamunya mengenakan kedok pada mulutnya bergambar Makara kuning emas.

— Apa maksudmu mengganggu upacara ini? - kembali Cucut Merah berteriak jengkel melihat kedatangan Barong Makara yang tiba2 itu

— Jangan marah Cucut Merah, aku kemari ingin turut bermain2 dan sekaligus mengatakan bahwa perbuatanmu selama ini sudah ..cukup banyak dosanya. Oleh sebab itu kau harus kutangkap sekarang juga! —

— Persetan! Kau bilang mau menangkapku? Ha, ha, ha, tak guna kau berceramah dihadapanku, sebab kau yang berdiri disini ini tak ubahnya dengan seekor tikus yang berada ditengah2 kucing ganas dan siap mengganyangmu! —

— Bagus! Kalian boleh mengganyangku bila kalian dapat menandingi panahku ini - jawab Barong Makara sambil memasang sebatang anak panah yang ujungnya terbalut kain dan basah oleh minyak bakar, kemudian dinyalakannya dengan api unggun yang dikelilipgi para bajak laut itu.

— Yah, sekarang lihatlah panah apiku ini baik2? — Selesai berkata, Barong Makara menembakkan panas api itu ke udara yang melesat dengan kencangnya bagai hajilintar yang menyambar. Belum lagi mereka selesai mengagumi papah api itu,; tiba2 terdengar dentuman meriam yang bertubi2 datangnya, Sebentar api berkobar-kobar hebat dari tepi pantai Pulau Ireng

— Terbakar! Kapal2 kita terbakar!

— teriak salah seorang anak buah Cucut Merah yang berlari2 dari arah. selatan

- Hee, kalian sudah terkepung! Ayo menyerah semuanya!" teriak Barong Makara lantang mengejutkan.

— Kurangajar! Ayo, anak2 tangkap setan Barong Makara ini! Mampuskan dia! — seru Cucut Merah kepada anak buahnya. Empat orang bergerak menangkap Barong Makara tetapi belum lagi sampai empat langkah maju, Barong Makara memutar cambuknya yang dilolos dari pinggangnya dan keempat orang bajak laut itu jatuh terbanting ke tanah, mati ketika putaran cambuk Barong Makara menyambar mereka. Semua mata terbalik lebih2 Ki Macan Kuping yang melihat cambuk Naga Geni menyala biru kehijauan ditangan Barong Makara. Maka tak heranlah bila keempat orang itu tewas dengan kulit yang terbakar hangus mengerikan.

Melihat keempat anak buahnya mati dengan sebuah gebrak saja, Cucut Merah segera menyerang Barong Makara dengan sepasang senjata ampuhnya, yaitu penggada pipih berduri berasal dari moncong ikan cucut gergaji. Barong Makara lebih berhati2 kini, meskipun beberapa waktu yang lampau ia pernah mengadu tenaga dengan tangan kosong melawan Cucut Merah, bahkan sekaligus mengalahkannya. Tetapi kini dengan senjata ampuhnya itu Cucut Merah yang sekarang lain dengan yang dulu. Gerakan sepasang senjatanya itu terasa mengeluarkan hawa panas. Kedua orang itu kini terlibat dalam satu pertempuran yang hebat.

Ketika Ki Macan Kuping, Todak Ireng, Baron Alfonso, Marangsang dan beberapa orang lagi bergerak melingkar untuk mengepung Barong Makara, mereka menjadi buyar berpencaran karena beberapa bayangan lagi telah meloncat dari batu2 karang langsung menyerang.

Sekarang terjadilah ditempat itu medan pertempuran yang dahsyat ditambah dengan menyerbunya pasukan armada Demak yang telah mulai mendarat dipulau tersebut.

Ketika Egrang yang bersenjata dayung itu meloncat dari atas batu karang serta menyerang pengepungan2 Barong Makara, ia melihat salah seorang diantaranya yang bersenjata pula sebatang dayung. Sehingga iapun memilih orang ini sebagai lawannya. Orang ini yang tak lain adalah Terawes, menyambut serangan Egrang dengan putaran dayungnya seperti baling2 berdesingan.

Disebelah lain, Hang Sakti yang bersenjata keris besar itu, berhadapan dengan Baron Alfonso yang berpedang. Kedua musuh lama ini bertempur sungguh-sungguh untuk lebih dulu menjatuhkan lawannya.

Tak jauh dari tempat itu pula, Gagak Bangah berhadapan melawan Marangsang. Kali ini Marangsang memperlihatkan permainan kerisnya yang luar biasa, tapi lawannya, yang kelihatan lebih muda ini, cuma bersenjata selembar selendang jingga, bergerak lincah mematuk matuk seperti seekor ular.

Sambil bertempur, mata Gagak Bangah sekali-sekali melirik kearah timur karena disana, pendekar wanita Nurlela bertempur gigih melawan seorang bajak laut yang bersenjata tombak bernama Jukung. - Sedang Ki Macan Kuping belum mendapat pasangan bertempur dan ia dengan sombongnya berjalan seenaknya.

Sekali2 ia menetapkan pedang lebarnya kepada perajurit2 armada Demak yang mencoba menyerangnya. Perajurit-perajurit ini meski bertempur dengan gigihnya, tak urung sia-sia melawan Ki Macan Kuping yang bukan tandingannya. Satu, dua, mereka termakan oleh sabetan pedang Ki Macan Kuping dan berkaparan mati jatuh ketanah.

Jauh disebelah selatan sana, Jagayuda memimpin pendaratan pasukan- pasukan armada Demak dan pedangnya diputar seperti musaran angin menembus pertahanan bajak-bajak laut itu. Sekali-sekali masih terdengar dentuman-dentuman meriam dari perahu- perahu jung armada Demak ke daratan, meruntuhkan pertahanan pertahanan bajak laut Pulau Ireng. Dengan begitu maka pendaratan berjalan lebih lancar lagi. Sepasukan perajurit Demak yang terlatih berjajar rapih dengan senapan senapan ditangannya.

Serentak mereka memasang, kemudian menembakkan senapannya bersama-sama seperti bunyi petir dan peluru timah beterbangan diikuti kilatan-kilatan api yang menyembur dari laras laras bedil. Bagai batang- batang pohon pisang yang ditebas oleh parang, maka seketika itu juga berjatuhanlah bajak-bajak laut Pulau Ireng ke tanah dengan tak bernyawa lagi. Susunan pertahanan pantai banjak-bajak laut itu berhasil dijebol juga pada akhirnya. Mereka langsung menyerbu ke tengah pulau, ke pusat pertahanan bajak laut Pulau Ireng.

Sungguh tak dinyana dalam hidupnya bahwa Egrang seorang tukang kedai minuman yang selama itu ditindas oleh orang-orang bajak laut Pulau Ireng kini telah bangkit dan bersama ksatrya2 armada Demak bertempur menumpas mereka.

Lawan yang dihadapinya sungguh seimbang lebih2 mereka menggunakan senjata yang sama, maka pertempuran itu berjalan amat serunya menghabiskan belasan jurus. Lawan Egrang lebih menitik beratkan tenaga jasmaninya dalam serangan2nya sedang Egrang disamping tenaga jasmani juga siasat dan tipu daya dipergunakan sebaik2nya. Suatu ketika, Egrang memnutar dayungnya ke arah bawah membabat kaki Terawes, sementara dalam hati ia berharap bahwa lawannya akan meloncat tinggi untuk menghindari lawannya.

Cepat sekali harapannya, Terawes benar2 menggenjotkan tubuhnya keatas dan  bagai    daun  yang   kering   ia mengambang    diudara.    Maka   selagi Terawes dalam keadaan begitu Egrang mempergencar      serangannya,   sampai lawannya terkatung cekakaran di udara. Terawes  mengutuk    sejadinya  lalu melontarkan tubuhnya ke belakang siap mendarat ditanah. Tapi Egrang terus mendesaknya dengan putaran dayungnya dan begitu     kaki  Terawes  mendarat ditanah,    Egrang     melihat   satu pertahanan lawan yang lowong maka ia membabatkan     Dayungnya   kearah   dan "Breet!".   Suara sobekan  terdengar disusul tubuh Terawes terhuyung dengan mengerang. Bagai tak percaya ia meraba perutnya tapi kali ini ia tidak mimpi. Darah segar mengucur dari luka perutnya yang menganga ngeri akibat dari sabetan ujung dayung Egrang yang pipih   setajam   pedang.   Sesaat pandangannya     gelap     dan   kemudian tubuhnya ambruk ke tanah tak bernyawa. Satu kejadian disusul oleh kejadian lain yang lumrah dalam setiap pertempuran. Egrang yang belum lama menikmati kemenangannya atas Terawes, tiba2 ia merasa kesiur angin deras dari arah samping. Secepatnya ia mencoba mengelak dengan tangkisan dayungnya, tapi terlambat sudah! Todak Ireng yang bersenjata tongkat besi telah menyerangnya dan Egrang merasakan ujung tongkat besi itu menggempur pinggangnya bagai hantaman dinding baja dan Egrang jatuh terpelanting ke tanah dengan nafas yang kempis2.

Melihat lawannya jatuh, Todak Ireng segera mengangkat tongkat besinya tinggi2 untuk segera dihunjamkan ketubuh Egrang. Egrang memejamkan mata dan pasrah kematiannya ke tanganTuhan Yang Maha Besar. Meski ia bakal mati, iapun rela karena matinya dalam pertempuran menegakkan keadilan dan kebenaran. Tetapi terdengar suara, — Trangng! — dan Egrang membuka mata. Ternyata serangan dari Todak Ireng yang ganas itu telah digagalkan oleh sabetan pedang Jagayuda hingga Todak Ireng terpaksa menangkisnya dengan tongkat besinya. Dengan begitu Egrang yang sudah luka parah itu terbebas dari maut. Kini sambil memaki-maki Todak Ireng menda- pat lawan yang kelewat tangguh meski tongkat besinya ganas menusuk dalam kecepatan yang luar biasa, tetapi Jagayuda memutar tubuhnya dengan rapat, tanpa sedikitpun yang bisa ditembus lawannya.

Di tempat lain, melihat Egrang terjatuh luka parah itu, Gagak Bangah lebih memperhebat serangannya, karena ia ingin cepat-cepat menjatuhkan lawannya dan segera menolong Egrang. Ia merasa menanggung jiwa Egrang dan keselamatannya. Suatu ketika tusukan keris Marangsang dapat dihindarkan dan tahu-tahu ia melecutkan selendangnya ke arah keris lawan, sekaligus melibatnya dan seperti belitan seekor ular keris itu tak berhasil ditarik oleh Marangsang.

Tanpa terduga, Gagak Bangah menghentakkan selendangnya itu dengan mengerahkan segenap tenaga simpanannya. Marangsang yang tidak mengira gerakan Gagak Bangah, tanpa ampun tubuhnya terpental ke udara mengikuti arah tarikan selendang Gagak Bangah kemudian tubuhnya berdebuk keras jatuh keatas batu-batu karang. Marangsang meringis-ringis kesakitan dan sambil merangkak-rangkak ia menjauh dari Gagak Bangah.

Sementara itu Ki Macan Kuping yang belum mendapat lawan melihat Gagak Bangah menjatuhkan Marangsang maka ia cepat-cepat melesat ke arah pemuda ini langsung membacokkan pedang lebarnya ke arah kepala Gagak Bangah. Untungnya pemuda ini tak kurang waspadanya, begitu sambaran pedang Ki Macan Kuping hampir singgah dikepalanya tiba-tiba ia mundur selangkah ke belakang hingga pedang itu membacok udara kosong.

Diam-diam ia merasa kagum melihat serangan mautnya bisa mudah dihindarkan oleh lawan. Selagi ia memperbaiki sikapnya, tahu-tahu tangan kanannya serasa disamber geledeg sakitnya seperti sengatan seribu kala berbisa.

Tidak lain itulah akibat pukulan ujung selendang jingga Gagak Bangah yang menyambar lengan kanannya.

Pedangnya tak kuasa lagi digenggam, dan jatuh ke tanah. Seribu kali ia mengutuk dalam hati melihat tangan kanannya begitu mudah dilumpuhkan oleh ujung selembar selendang saja. Tetapi dasar ia tokoh jagoan silat kelas utama, meskipun keahliannya diabdikan untuk kejahatan. Maka begitu pedangnya jatuh ke tanah dan tangan kanannya lumpuh, maka secepatnya itu pula ia meliukkan badannya ke bawah dan tahu-tahu tangan kirinya menyambar pedangnya yang jatuh ditanah sekaligus diputarnya bagai pusaran angin prahara mengerikan.

Ternyata tangan kirinya sama baiknya dalam memainkan pedang, malah boleh dikatakan tangan yang kiri itu sedikit lebih baik dari yang kanan. Memang hebat Ki Macan Kuping ini, dan inilah pula yang membikin Gagak Bangah tergetar hatinya. Ketika tangan kanannya lumpuh. Ki Macan Kuping menyalurkan segenap tenaga dalam dan tenaga cadangannya ke tangannya sebelah kiri, hingga tak usah heran jika yang kiri itu kelihatan lebih hidup.

Gagak Bangah sedikit demi sedikit merasa terdesak oleh putaran pedang Ki Macan Kuping. Namun ia tetap bekerja dengan keras. baginya lebih baik mati dimedan laga dari pada lari.

Barong Makara melirik ke arah Gagak Bangah yang makin kerepotan menghadapi Ki Macan Kuping. Rasanya ia ingin membagi dirinya menjadi dua agar disamping ia bertempur melawan Cucut Merah, dapat pula ia menolong kekasihnya, si Pandan Arum yang tidak lain adalah Gagak Bangah sendiri.

Cucut Merah simata tajam dapat mengetahui pikiran serta perhatian Barong Makara terbagi sebagian kepada Gagak Bangah maka ia mempergunakan kesempatan yang sekiias itu sebaik- baiknya. Sepasang senjata ampuhnya disabetkan berbareng. Satu mendatar ke arah perut Barong Makara, yang kanan tegak lurus dari atas ke bawah siap membelah kepala. Boleh dipastikan jika bukan Barong Makara yang mendapat serangan demikian pastilah orangnya akan tewas seketika diujung duri-duri beracun dari senjata Cucut Merah itu. Serangan itu memang mengejutkan datangnya, namun Barong Makara tak kehilangan akal ia surut kebelakang dua langkah, kemudian ia memutar cambuknya miring kekanan untuk menyongsong serangan Cucut Merah. Akibatnya hebat luar biasa! Ketika Barong Makara meloncat ke belakang dua langkah itu, senjata Cucut Merah hanya sempat menggores baju lawannya, namun itupun bagi Barong Makara sudah merupakan keadaan yang luar biasa.

Biarpun ia tak terluka kulitnya oleh senjata Cucut Merah, tetapi pengaruh racun bisa dari senjata berduri terasa pengaruhnya pada kulit lengan, panas kesemutan! Itulah sebabnya ia memutar cambuknya miring ke kanan untuk memusatkan serangan balasannya.

Cucut Merah menyilangkan kedua senjata itu ke muka untuk membendung putaran cambuk Naga Geninya Barong Makara. Sayang gerak cambuk itu amat lincah seperti ular, biarpun ditangkis, ia tetap meluncur dan menerobos pertahanan Cucut Merah untuk kemudian menerjang dada. Seketika Cucut Merah terpelanting ke belakang dan jatuh terkapar ditanah. Ia mencoba berjongkok dan mengatur jalan napasnya yang sudah sengol-sengol sementara dadanya menjadi merah hitam hangus seperti daging satai! Usahanya tadi sia-sia belaka yang terjadi bukan keadaannya yang bertambah baik, malahan dari dadanya terasa ada sesuatu yang bergolak ingin keluar. Cucut Merah tak dapat lagi bertahan, tubuhnya kembali jatuh terkapar dengan mata terbelalak, sedang mulutnya melontakkan darah kental merah hitam warnanya dan sesaat kemudian ia menghembuskan napasnya yang terakhir! Begitulah kepala bajak laut dari Pulau Ireng itu akhirnya menemui ajalnya juga.

Sementara ini Hang Sakti tetap gigih menyerang Baron Alfonso yang berbaju besi itu. Sebuah babatan pedang orang Portugis ini yang mengarah kepala Hang Sakti dapat dielakkan dengan manis dan keris besar Hang Saksi menangkis pedang itu sampai kedua senjata itu seperti melengket menjadi satu karena masing2 menekankan tenaga dalam ke arah senjatanya.

Kali ini pendekar Malaka itu berpikir cemerlang, keris yang melekat dengan pedang lawan itu diputar ke kanan sehingga mau tidak mau pedang Baron Alfonso juga terpaksa ikut terputar. Kemudian secara tiba-tiba Hang Sakti menghentakkan kerisnya keatas sampai berakibat hebat. Pedang pendekar Portugis itu terbetot dan terpental ke atas sampai Baron Alfonso sendiri hampir-hampir tak percaya menyaksikannya.

Ketika itu, disaat Baron Alfonso melongo mengikuti pedangnya melayang keudara, Hang Sakti mengirimkan tusukan kerisnya ke arah ketiak lawan yang tidak terlindung oleh baju logamnya dan ditunjamkan terus ke dalam sampai masuk separo lebih. Teriak ngeri keluar dari mulut Baron Alfonso disusul tubuhnya yang menggeliat disertai darah merah segar menyemprot dari lukanya. Setelah terhuyung-huyung Baron Alfonso rebah ketanah, mati.

Berbareng rubuhnya Baron Alfonso, disebelah timur terdengar pula jeritan maut. Jukung termakan lehernya oleh sabatan pedang Nurlela. Pendekar wanita dari Malaka ini, tak kalah lincahnya dengan Hang Sakti kakak kandungnya.

Meski begitu disaat-saat terakhir sebelum roboh, Jukung masih sempat menggerakkan tombaknya hingga ujungnya menggores lengan kiri Nurlela sampai gadis ini terpekik kecil. Melihat adiknya terluka itu, Hang Sakti meloncat dan menolong adiknya dengan segera sebab tubuh Nurlela itu terasa menjadi dingin serta menggigil. Memang tombak Jukung itu tak boleh dianggap ringan. Hati kecil Gagak Bangah ikut terpekik melihat Nurlela termakan racun tombak si Jukung. Tapi iapun kini juga berjuang mati-matian karena makin terdesak oleh Ki Macan Kuping. Disaat yang paling berbahaya dari serangan pedang Ki Macan Kuping, mendadak satu bayangan berkelebat langsung menyongsong serangannya dan untuk ini Ki Macan Kuping terpaksa menarik kembali pedangnya disertai maki-makian terhambur dari mulutnya.

— Barong Makara! Kurang ajar, kau lancang mencampuri urusanku, setan! — teriak Ki Macan Kuping marah. — Dasar pengecut, mengapa kau tutup wajahmu itu ha? Ayo, lepaskan kedokmu, biar aku menatapmu sepuasnya sebelum kau mampus oleh pedangku ini! —

— Hemm, baik Ki Macan Kuping! Kau sekarang boleh melihat wajahku, tapi ingat! Musuh yang telah melihat wajahku yang sebenarnya, harus mati disaat itu juga. Nah. inilah wajahku yang kau inginkan! — Barong Makara pelan-pelan menarik kedok yang menutup hidung dan mulutnya ke bawah sampai wajahnya kelihatan penuh.

Ki Macan Kuping semula sudah merasa gelisah apalagi setelah Barong Makara rnemperlihatkan wajahnya, satu teriakan heran bercampur ngeri menyembur dari mulutnya, bagai orang yang melihat hantu kubur. - Mahesa Wulung?! Kau . . .?! —

— Ya, akulah Mahesa Wulung yang akan membalaskan kematian kakang Gangsiran. Kau telah membunuhnya di Alas Roban dengan jarum bisamu secara curang. Sekarang bersiaplah buat bertempur mati-matian! — Selesai ucapannya, Barong Makara memutar cambuk Naga Geninya lebih dahsyat sampai menimbulkan kesiur angin yang panas.

Demikian juga Ki Macan Kuping memperhebat sabetan pedangnya. Baginya saat inilah yang dianggap paling penting dari hidupnya, kalau saja ia berhasil merobohkan Barong Makara, ada harapan besar bahwa hidupnya dapat diselamatkan. Baru beberapa jurus bertempur, Ki Macan Kuping sudah merasakan kehebatan Barong Makara atau yang lebih dikenalnya sebagai Mahesa Wulung. Tak mengira bahwa orang armada itu sudah mempunyai kesaktian yang tinggi, maka tak heran bahwa Cucut Merah sahabatnya yang biasa malang melintang dilautan Jawa, begitu mudah dirobohkan oleh Barong Makara. Keduanya terus bertempur, siasat lawan siasat, ketrampilan lawan kegesitan sampai akhirnya terasa bahwa Ki Macan Kuping makin terdesak. Sebuah tebasan pedang  kearah kaki Barong Makara dilancarkan tiba2, hanya saja Ki Macan Kuping salah hitung karena serangan itu dengan mudah dielakkah oleh Barong Makara yang menggenjotkan tubuhnya ke atas .. . dan sabetan pedang itu lewat dibawah kaki nya satu tombak jaraknya! Bagai gerak burung camar meniti ombak, tubuh Barong Makara melayang turun seraya memutar cambuknya ke arah bawah dan Ki Macan Kuping tak sempat lagi menghindar sekali ini! Ujung cambuk pusaka Negara Negi menyambar kepala  Ki Macan Kuping  berbareng teriakan ngeri mengumandang diudara malam mengejutkan siapa saja, terutama Gagak Bangah yang  dengan  cemas menyaksikan  pertempuran itu  sejak

jurus yang pertama.

Pedang lebar terlepas dari tangan kiri Ki Macan Kuping, begitu pula kedua matanya menjadi merah seperti terbakar serta kepalanya merah hangus pula. Tak lama kemudian sesudah darah kental mengalir dari hidung dan telinga, Ki Macah Kuping tersungkur ke tanah tak bernapas lagi. Sementara itu pertempuran terus berkecamuk hebat.

Pasukan2 armada Demak tambah bersemangat melihat tokoh2 utama gerombolan bajak laut Pulau Ireng telah dirobohkan mati sedang sebaliknya para bajak laut itu bertambah kecut hati dan hilang semangatnya, maka tak lama kemudian sebagian dari mereka telah membuang senjatanya lalu menyerah kepada pasukan2 Demak.

Sebagian yang masih membandel dengan mudah ditumpas tanpa ampun. Melihat kejadian tersebut, Todak Ireng merasa tak ada harapan lagi untuk menang dalam pertempuran itu, cepat ia memutar tubuhnya ke belakang dan mengambil langkah seribu. Jagayuda yang tak mengira bahwa musuhnya itu berhati pengecut, tidak akan membiarkan Todak Ireng lari begitu saja.

Dengan memusatkan segenap tenaganya, pedang yang ditangan itu dilemparkannya ke arah Todak Ireng, merupakan seleret sinar putih memburu sasarannya dengan jitu. Tubuh Todak Ireng menggeliat dan terhenti larinya dan dari mulutnya keluar jerit merana, karena dipunggungnya terhunjam tembus sebilah pedang hasil lemparan Jagayuda. Berdebuk tubuh Todak Ireng terhempas ketanah, mati.

Pertempuran sesaat mereka kemudian berakhir dengan kemenangan dipihak armada Demak. Perajurit2 sibuk menolong yang luka2 dengan seksama. Di sana-sini tampak mayat bergelimpangan amat mengharukan.

Disela kesibukan itu, tampak dua usungan diangkat oleh perajurit2 Demak. Mereka itu ialah Egrang yang luka parah dan yang seorang lagi ialah Nurlela, pendekar wanita Lengan kirinya terluka mengujurkan darah, kelihatannya sepele saja tapi dari wajahnya yang pucat pasi itu, dapatlah ditebak bahwa ia terkena racun berbisa. Gagak Bangah berjalan disisi usungan Nurlela untuk menjaganya.

Yang luka2 semua telah diangkut ke perahu2 dan dirawat dengan teliti. Malam itu semua lampu di perahu2 armada Demak dinyalakan, menimbulkan pemandangan yang indah, berkelip2 seperti api kunang2. Jagayuda sibuk memberi petunjuk2 kepada perwra2 laut lainnya.

— Nah, jelas bukan? Menjelang subuh kita berlayar, kembali ke Jepara dan enam perahu jung itu beserta awak kapalnya untuk sementara tetap tinggal di Karimun Jawa sini, sampai tempat ini bersih sama sekali dari kaki tangan bajak laut Pulau Ireng. —

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh Barong Makara yanng berlari2 ke pantai

- Hee, kakang Makara, ada yang telah terjadi? - teriak Jagayuda heran, begitu pura para perwira lainnya tak kalah herannya.

— Ayo, adi Jagayuda dan kawan2 ikuti aku ke pantai, cepat2! kepantai

- Mereka segera berlarian ke pantai dan tampaklah disinar terang bulan sebuah sampan kecil telah berdayung jauh ditengah laut berisi tiga orang.

- Hai siapa itu yang bersampan disana!

- teriak Jagayuda.

— Haa, ha, ha, akulah Marangsang dari selat Karimata! Awas kalian jangan bertepuk dada terlalu bangga! Aku belum mampus oleh kalian. Tunggulah, suatu ketika kita bertemu lagi dan aku balas semua kekalahan! Ha, ha, ha, ha,! - Bayangan perahu makin mengecil, menjauh dan lenyap disebelah barat.

— Hmm, itulah Marangsang dari kawanan bajak Iblis Merah! Aku tadi sedang berjalan2 dan melihat tiga bayangan mengendap2 dipantai dan rupanya itulah mereka! - ujar Barong Makara - Tapi biarlah, kita masih punya pekerjaan yang lebih penting. Mari, siap-siaplah untuk pelayaran subuh nanti. —

Merekapun kembali ke perahu masing2.

Ketika langit ditimur diusap oleh warna merah lembayung iring2an perahu armada Demak berlayar meninggalkan Karimun Jawa menunggu ke tenggara, untuk kembali kepangkalan armada di Jepara. Disebuah, kamar didalam perahu jung Barong Makara, disebuah tempat tidur berbaringlah Egrang dengan pinggangnya dibalut oleh kain putih. Ia tersenyum-senyum ketika memandang sekeliling, Barong Makara, Jagayudo, Gagak Bangah, Hang Sakti, Nurlela berdiri merebungnya.

— Ach, aku telah sembuh kini. Ijinkan aku mengucapkan terima kasih kepada tuan2 sekalian, lebih2 kepada tuan Gagak Bangah yang telah banyak menolongku. Sungguh bahagia jika bersaudara dengan tuan Gagak Bangah, gagah dan juga pandai mengobati orang sakit. Dan seandainya aku seorang gadis cantik, pastilah aku bersedia menjadi kekasihnya. - Mendengar kelakar Egrang itu semua tersenyum lebar. Gagak Bangah sendiri cuma tertunduk malu ke bawah. Nurlela yang kini berbaju lengan pendek dan terbalut lengan kirinya memgawasi Gagak Bangah dengan pandangan penuh arti. Sejak semula ia sudah menaruh hati kepada pemuda berwajah tampan dan halus itu.

Dan justru inilah yang benar2 dikuatirkan oleh Gagak Bangah sendiri, betapa ia bisa menerima pandangan mata Nurlela yang penuh gairah itu. - Adik Nurlela, bolehkah aku bersahabat dengamu lebih erat lagi? - tanya Gagak Bangah seraya mendekati gadis ini yang tersipu2 saking senangnya. Hatinya berdebar2 cepat.

— Aku tak berkeberatan kanda . .

— ujar Nurlela pelan. — Dan mulai saat ini, adik kuangkat sebagai saudaraku! — kata Gagak Bangah selanjutnya, - Sebagai saudara sekandung. —

— Mengapa begitu kanda? - Nurlela bertanya tak sabar, sebab ia berharap untuk lebih erat lagi bersahabat dengan Gagak Bangah. Bukan sebagai saudara saja, tapi lebih dari itu, ia ingin menjadi kekasihnya tempat menambatkan hidupnya didunia ini.

— Maaf adik Nurlela tak bisa lebih lama lagi aku merahasiakan diriku ini. Ketahuilah, saya sebenar- nya adalah adik seperguruan dengan kanda Barong Makara dari Asemarang. Namaku adalah Panda Arum - Gagak Bangah menyelesaikan kata2nya sambil membuka ikat kepalanya dan terurailah rambutnya yang hitam berombak kecil itu dibahunya amat indah.

Semua mulut melongo kagum melihat hal ini, seperti mimpi rasanya, kecuali Barong Makara atau biasa disebut Mahesa Wulung yang tersenyum2 geli. Mereka terpesona bahwa selama ini pemuda tampan yang dikenal sebagai Gagak Bangah ini tidak lain adalah seorang gadis cantik. Nurlela menjadi terharu bercampur rasa rindu memandang gadis dimukanya itu, kemudian ia memeluk Pandan Arum sepuasnya. Begitupun Pandan Arum memeluk erat Nurlela sambil berkata lirih. — Maukah adik menjadi saudaraku?-

— Ya, ya ... ! aku senang menjadi saudaramu yunda Pandam Arum - ujar Nurlela. Semua mata terpaku melihat adegan yang gembira bercampur haru ini. Sesaat kemudian Pandan Arum menceriterakan semua kisahnya, sejak awal ketika ia dititipi seruling oleh Panembahan Tanah Putih yang harus diserahkan kepada Mahesa Wulung di Demak.

Suasana diruang itu menjadi lebih semarak dengan ceritera Pandan Arum yang penuh suka dan duka. Meski dia seorang wanita, besar pula peranannya dalam penumpasan bajak laut Pulau Ireng dari Karimun Jawa. Dalam hati masing-masing terucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah membimbing mereka dalam menyelesaikan tugasnya. Kini mereka benar benar menikmati perjalanan pulang ke Jepara dan iring-iringan perahu armada Demak itu melaju ke tenggara dibawah naungan sinar purnama fajar yang mulai mengembang diufuk timur.

TAMAT
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar