Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 51

Jilid 51

Gerakan dan gertakan yang berani.

Justru karena Ngwang unggul dalam permainan udara, Halayudha mengajak permainan atas dengan memeluk. Kemungkinan gagal lebih besar. Namun mana mungkin Halayudha asal serang tanpa perhitungan, begitulah Nyai Demang berpikir.

Sebaliknya, Jaghana memuji kemantapan Halayudha mengambil sikap menghadapi jurus- jurus Ngwang. Mantap, penuh percaya diri menggebrak, walaupun sadar bahwa Ngwang memiliki keunggulan permainan atas. Sedangkan dirinya sendiri., ketika menghadapi Ngwang, terpaksa mengubah gerakannya, yang justru berarti kekalahan.

Halayudha bermain tajam.

Karena mengetahui bahwa Ngwang tak bisa segera memperoleh kemenangan dari posisinya yang kelihatan unggul. Justru sebaliknya kedudukannya terancam. Menang beberapa pukulan tidak banyak artinya kalau Halayudha bisa memasukkan pukulan yang telak. Dan agaknya jalan itu yang ditempuh Halayudha. Membiarkan lawan merangsek masuk.

Mengetahui keunggulannya tak berarti banyak, Ngwang mengubah siasatnya.

Tubuhnya bagai selembar kain tipis, melenggok, menebas, meruncing, dari segala arah. Dalam sekejap tubuh Halayudha seperti terkepung tubuh Ngwang dari berbagai arah dengan berbagai jenis serangan.

Halayudha menarik tangannya, mengumpulkan di depan dada. Kakinya menggenjot tanah, meloncat sambil membalik, dengan tenaga kaki keras menyamplok lawan. Keras sekali karena kesiuran anginnya tajam sampai di tempat Nyai Demang.

Ngwang yang biasa mengambil keuntungan dari serangan lawan, sebaliknya malah mundur menjauh. Tidak balik menyerang.

Halayudha mengejar dengan satu loncatan tinggi. Kaki kirinya terjulur bersamaan dengan kepalan tangan kirinya yang sejajar. Sementara tangan kanannya tertekuk, seperti juga kaki kanannya. Gerakan meloncat yang disertai teriakan keras mengguntur. Tubuhnya menyambar bagai kilat.

Ngwang membuang tubuhnya jungkir-balik. Tujuh kali.

Tujuh kali lagi tubuhnya berputaran, dengan gerakan yang selama ini tidak pernah terlihat.

Yaitu dengan tangan dan kaki menyentuh tanah ketika membalikkan tubuh dalam bentuk lingkaran.

Nyai Demang mengetahui bahwa jurus yang dimainkan Halayudha adalah jurus yang menjadi andalan para jago silat Tartar yang bersifat naga. Benar-benar keberanian yang rada nekat. Kalau tadi bertahan memainkan ajaran Kitab Bumi, sekarang justru memainkan jurus-jurus dari mana Ngwang berasal.

Sebaliknya, Ngwang juga memainkan sumber jurus yang sama. Berjumpalitan seperti naga. Nyai Demang cukup mengetahui karena sejak pertama mengenali dasar-dasar silat dari

Tartar. Sedangkan Halayudha bukan hanya mengenali tetapi juga mempelajari dengan baik.

Maka bisa memainkan untuk mendesak.

Hanya Jaghana yang merasa bahwa Halayudha terlalu nekat menggempur dengan gaya bersilat yang menjadi keunggulan lawan. Karena Ngwang bisa memancing sampai tingkat tertentu, dan kemudian menguncinya.

Hal yang terlihat ketika berjumpalitan, Halayudha merangsek maju. Ruang gerak berada di mana Ngwang memainkan perannya. Langkah-langkah yang tersusun mengikuti irama yang dimainkan Ngwang, meskipun ia kelihatan terdesak. Dan Halayudha memang terus mendesak, dengan gerakan sangat cepat.

Tangan beradu tangan. Siku beradu siku. Kaki beradu kaki. Pukulan saling bertukar hanya dalam jarak beberapa jari di sebelah kiri, kanan, samping, atas dari sasaran. Tangan Halayudha bergerak maju-mundur dengan cepat, sementara Ngwang lebih cepat lagi.

Benar saja.

Dalam pandangan Nyai Demang, Halayudha mulai kalah sebat. Ngwang berhasil menyarangkan beberapa pukulan kecil. Pukulan yang mempengaruhi gerak maju Halayudha. Dan tak bisa leluasa mundur, karena kuda-kudanya telah terpantek dalam keliling yang sepenuhnya dikuasai Ngwang.

Posisi yang menyulitkan bagi Halayudha. Bisanya hanya mencoba bertahan. Karena gerakannya tak cukup berarti dalam penyerangan. Karena memang tidak mungkin.

Halayudha menggerung keras.

Mulai sadar bahwa lawan bisa menguasai keadaan, sementara dirinya berada dalam gerak mati. Yaitu gerakan satu-satunya yang bisa dilakukan, untuk mencegah keadaan lebih buruk. Gerakan satu-satunya karena Ngwang tidak memberi kesempatan gerakan yang lain.

Nyai Demang kaget ketika Jaghana mengeluarkan seruan tertahan. Apakah Jaghana menguatirkan Halayudha?

Bisa jadi. Akan tetapi seruan tertahan itu ternyata dikarenakan ia melihat tubuh Upasara bergoyangan. Sementara tubuh Jagattri berkelojotan. Reaksi pertama adalah Nyai Demang berusaha menubruk, akan tetapi sebelah tangannya tertahan Jaghana. Bahkan sengaja ditarik keras.

Tubuh Upasara makin berkelojotan. Kepalanya beberapa kali tertarik ke atas, tubuhnya seperti disendal-sendal tali dari dalam. Sebelum terdengar teriakan keras.

Tubuh Upasara membal ke atas dan berdebum di tanah.

Ketika berusaha bangkit, Nyai Demang melihat darah menetes dari tepi mata, dari sudut bibir, dari telinga.

“Anakmas…”

Cekalan tangan Jaghana makin keras. “Paman…”

“Sabar, Nyai…” Suara Jaghana lirih, lembut, tapi terdengar sangat getir. “Kuasa tenaga tanah air tak mampu menembus.

“Sabar, Nyai….”

Bagaimana mungkin bisa sabar melihat adegan yang mengerikan di depan matanya, adegan fatal bagi Jagattri dan sekaligus Upasara?

Menyerap Tanpa Mengisap

LAIN yang dialami Upasara, lain pula yang dilakoni Halayudha. Meskipun tempat mereka terpisahkan tak lebih dari seratus tombak, akan tetapi perubahan yang terjadi sangat berbeda.

Nyai Demang seperti mengisap udara kering melihat penderitaan Upasara. Sewaktu pandangannya menoleh ke arah Jagattri, sedikit terhibur. Karena tubuh Jagattri bergerak, dan bangkit, duduk, bersuara perlahan. “Kakang…”

Upasara berusaha mendekat. Nyai Demang berkaca-kaca matanya. Tak kuat melihat Upasara yang gagah perkasa tampak seperti terbongkok, dan bagian belakang kainnya basah.

Darah?

Cekalan di tangan Nyai Demang dilepaskan, dan Nyai Demang bagai terbang menubruk

Jagattri.

“Anakku…”

Gendhuk Tri mengangguk. Tubuhnya seperti masih gemetar. “Saya tidak apa-apa, Nyai.

“Kakang… Kakang Upasara…” Upasara duduk terdiam.

Jaghana bersila di sebelahnya.

Tidak berusaha menyalurkan tenaga dalam, tidak berusaha membantu atau melakukan sesuatu. Hanya bersila di sebelahnya. Hanya itu yang bisa dilakukan.

Apa yang bergolak dalam tubuh Upasara tak sepenuhnya diketahui, walau yakin Upasara terkena pukulan dalam. Itulah yang tadi dikatakan Jaghana sebagai “kuasa tanah air”. Tenaga dalam Upasara yang dicoba untuk mengobati ternyata telah gagal. Dan akibatnya kini terlihat jelas.

Sebaliknya, Gendhuk Tri yang kini bisa duduk, dan kemudian berdiri menghampiri tempat Upasara, hanya bisa memandang. Nyai Demang tampak kebingungan.

“Saya tidak apa-apa, Nyai. “Sejak semula saya tak apa-apa. “Selain…”

Gendhuk Tri tak melanjutkan, karena merasa kurang enak menjelaskan panjang-lebar apa yang terjadi dengan dirinya. Kalau sejak tadi berdiam diri, bukan berarti tidak sadarkan diri. Gendhuk Tri merasa sama sehat seperti sebelumnya, kecuali tiba-tiba saja tenaganya seperti mengganjal tak bisa dikerahkan. Pada saat kumat seperti itu, rasanya bernapas pun terasa berat.

Kalau ia berdiam diri, karena Upasara menghendaki demikian agar bisa lebih lancar memasukkan tenaga dalamnya. Untuk menguras bercak-bercak hitam, untuk menyingkirkan. Proses itu terus berlangsung. Juga dalam perjalanan ketika digendong.

Gendhuk Tri merasakan itu sejak dikalahkan Halayudha, dan makin menjadi-jadi ketika Halayudha berusaha memadukan tenaga bumi dengan tenaga air.

Hal yang sama yang dilakukan oleh Upasara. Hanya cara pengerahannya sangat jauh berbeda. Upasara memakai perhitungan agar Gendhuk Tri tak lebih parah.

Pada awalnya Gendhuk Tri merasa segar. Tenaga panas, dingin, hangat yang bergantian membuatnya enak, seakan tenaganya pulih seperti sediakala. Itu saat Upasara berhasil menggiring bercak-bercak ke suatu titik di bagian tubuh.

Agaknya itu pula yang menyebabkan Upasara mengempos tenaga dalamnya. Ketika yakin bisa masuk menerobos, Upasara mengerahkan sepenuhnya.

Ternyata kandas.

Tenaga dalam itu membalik, seperti merobek pembuluh nadi dan napasnya. Sehingga Upasara terpental dan berdarah.

Jadi kalau Gendhuk Tri mengatakan “tidak ada apa-apa”, memang begitulah kenyataannya. Artinya tidak lebih parah atau lebih sehat dari sebelumnya. Sedangkan Upasara sekarang ini jelas terluka parah. Seberapa dalam lukanya belum bisa diketahui.

Sementara yang dialami Halayudha lain lagi.

Sewaktu ruang geraknya tertutup dan berada dalam langkah mati, Halayudha menyatukan tenaganya. Saat Ngwang merasa unggul dan melancarkan serangan yang menentukan, Halayudha mencuri dengan serangan kecil.

Tapi besar artinya.

Halayudha memasukkan kedua tangannya ke daerah serangan, menggenggam pakaian Ngwang, dan dengan tenaga sentakan yang keras, membanting lumat tubuh Ngwang. Yang terbang melewati tubuh Halayudha. Pendita Ngwang sama sekali tak menduga bahwa dalam situasi begitu terjepit, Halayudha masih bisa memainkan jurus yang sama sekali tak terduga.

Jurus bantingan melalui tubuh!

Yang sangat diagungkan di negeri Jepun.

Ngwang mengetahui kekuatan tenaga bantingan, seketika pada saat Halayudha menjambret pakaiannya. Ngwang mengetahui Halayudha mempunyai kembangan dan jenis jurus yang serba aneh, akan tetapi tak memperhitungkan bisa berubah cepat.

Dari gerakan murni Kitab Bumi, berubah menjadi gerakan naga, dan mendadak berubah lagi dengan membanting lawan.

Bagi Ngwang, sulit menerima kenyataan bahwa di jagat ini ada tokoh yang menguasai berbagai jenis ilmu silat secara menyeluruh.

Padahal, sebenarnya ini memang keunggulan Halayudha dibandingkan para ksatria lain.

Bahkan Upasara pun mengagumi keragaman ilmu yang dikuasai.

Agak sulit diterima oleh Ngwang bahwa Halayudha secara langsung benar-benar mempelajari berbagai kembangan ilmu yang ada. Belajar langsung dari kitab-kitab utama, dari tokoh-tokoh yang memuncaki ilmu-ilmu tersebut. Baik dari negeri Tartar, negeri Jepun, maupun dari negerinya sendiri.

Halayudha sangat kerasukan bila sudah mempelajari ilmu silat. Sejak pertama kali mengenalnya.

Kehausan itu tak pernah bisa ditandingi atau disamai oleh yang lain.

Maka sergapan yang mendadak itulah yang membalik jalannya pertarungan. Ngwang bisa ditarik dan dibanting lumat. Tubuhnya melayang ke atas, dan amblas rata dengan tanah. Remuk tulang-kulit serta otot-uratnya. Kalau terjadi pada tokoh biasa.

Ngwang jauh berbeda. Tubuhnya memang terbanting, akan tetapi tidak remuk rata. Melainkan membal ke atas dan turun kembali beberapa kali, makin lama makin perlahan.

Sekali lagi tenaga keras Halayudha ditawarkan dengan benturan tubuh yang bisa membal.

Seperti ketika dipukul, tubuh Ngwang bisa mundur dan kemudian maju kembali.

Tenaga mulur-mungkret, yang bisa mengembang dan memendek, telah menyelamatkannya dari kematian.

“Cara yang bagus untuk menyelamatkan diri, Ngwang. “Tapi aku tak peduli.

“Aku lebih suka cara yang dipergunakan Jaghana tadi. “Eh, di mana kamu, gundul pelontos?”

Halayudha benar-benar tidak memperhatikan Ngwang. Perhatiannya sudah beralih ke Jaghana. Dan berjalan mendekati.

“Sedang apa kamu?

“Kalau Ingsun bertanya, tak ada alasan berdiam diri. Dan bunyi pertanyaanku adalah: Bagaimana kamu bisa meniru dengan cara yang cepat?”

Jaghana menoleh.

Pandangan matanya penuh welas asih. Penuh kesabaran dan jiwa besar. “Seperti yang Mahapatih lakukan.” Halayudha menggeleng.

“Tidak bisa. Tidak sama.

“Memindahkan tenaga dalam bukan soal sulit. Dengan hantam kromo seperti jurus Banjir Bandang Segara Asat, aku bisa memindahkan tenaga dalam lawan ke dalam tubuhku.

“Tapi yang kamu lakukan berbeda. Tenaga dalam  lawan masih ada dan tak terganggu, sedangkan dirimu bisa menguasai.”

“Itu yang dinamakan menyerap tanpa mengisap.

“Itu yang seperti Mahapatih lakukan ketika menggunakan tenaga air. Air bisa memantulkan bayangan, tanpa merebut bayangan itu sendiri. Air memiliki, tanpa merusak.

“Kalau kita memakai tenaga keras, yang terjadi adalah perubahan bentuk. Yang terjadi adalah pemindahan.” Halayudha mengangguk. “Aku mengerti.

“Tapi bagaimana kamu bisa mengisap lebih cepat?”

“Itu hanya sikap batin kita. Semakin ikhlas menerima, semakin tuntas. Semakin banyak yang dipertimbangkan, semakin rumit.”

Halayudha tampak berpikir keras. Jidatnya berkerut, matanya menyipit.

“Bisa kuterima keteranganmu, Paman Jaghana.

“Aha, kamu Jaghana. Ingsun pernah mendengar namamu.

“Tapi Ngwang, atau siapa itu, sejak kapan aku mendengar namamu?”

Pendita Ngwang yang berada agak   di kejauhan, merangkapkan kedua tangannya.

Mengangguk dalam.

“Saya tidak mempunyai nama sebesar Mahapatih.” “Aku ini raja.

“Ingsun sebutanku.

“Sekarang giliran kamu aku tanyai. Yang lainnya tetap di tempat.” Halayudha berdiri dengan gagah.

Bertolak pinggang.

“Ingsun bertanya kepadamu, Pendita Ngwang.

“Ilmu membal yang kamu lakukan itu, apakah kamu curi dari ajaran kami? Kalau ya, berasal dari kitab mana, kidungan keberapa?”

Senopati Luwak

PERTANYAAN Halayudha ataupun juga gerak-geriknya memang mengundang tanda tanya. Jangan kata Pendita Ngwang yang masih ragu apakah benar Halayudha adalah raja tanah Jawa, bahkan yang merasa mengenal juga masih heran.

Termasuk Senopati Kuti. Ketika Senopati Tanca menyatakan penolakan terbuka untuk datang ke Keraton, dan Jurang Grawah ingin memakai kekerasan, Senopati Kuti berpaling kepada Halayudha.

Tokoh sakti ini, meskipun angin-anginan tak menentu, lejitan pikirannya jelas terbaca. “Jangan tanya Ingsun.

“Apa urusannya dengan membiarkan atau menggebuk Tanca? Tak ada bedanya. Aku pernah menjadi mahapatih, dan aku tahu bagaimana harus bertindak. Saat ini biarkan saja, kalau kamu bisa menahan kesombonganmu. Sebab di belakang hari, manusia macam itu bisa melaksanakan dendamnya seorang diri.

“Kalau terganggu, sikat saja.

“Jangan suka menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri.

“Aku sekarang sedang melacak Mada. Dan aku tahu ia berada di mana. Bahkan sedang apa aku tahu.”

Halayudha meninggalkan Keraton begitu saja.

Ngeloyor tanpa permisi tanpa perlu bilang kepada siapa pun. Memang tak perlu, dan tak ada yang pantas atau perlu diberitahu.

Halayudha mengikuti krenteg, suara dan kehendak batinnya. Ia berjalan membelok ke kiri, menerobos jalanan, hanya mengandalkan rasa untuk mengetahui di mana Mada berada.

Boleh dibilang kebetulan atau tidak, nyatanya Halayudha muncul di tempat Mada berada.

Hanya saat itu Mada telah bergegas meninggalkan, sementara perhatian Halayudha tertuju kepada masalah lain.

Barangkali kalau Halayudha menajamkan kekuatan batinnya, masih bisa melacak. Karena Mada tidak pergi terlalu jauh. Selain memutar arah sedikit ke arah selatan. Menuju suatu desa yang paling tidak sudah dikenali, karena pernah dilewati. Mada segera mengatur barisannya.

Ia berangkat sendirian, masuk ke satu rumah yang agak terpencil di sudut. Tanpa bertanya apa-apa, Mada langsung membekuk dan menotok penghuni rumah, mengumpulkan di bagian belakang. Barulah kemudian mengajak Raja serta pengikutnya masuk rumah.

“Untuk sementara kita berlindung di sini.

“Tak boleh ada yang melakukan sesuatu tanpa perintah dariku.” “Termasuk Ingsun, Mada?”

“Demikian sebaiknya, Sinuwun…”

“Kadang Ingsun bertanya dalam hati, kamu ini siapa, prajurit mana, apa makanmu, berapa rangkap nyawamu sehingga berani memerintah Raja Besar.”

“Semua hamba lakukan demi keselamatan Ingkang Sinuwun.”

Mada tak menerangkan bahwa sebenarnya hatinya merasa kurang enak untuk menotok dan mengumpulkan penghuni rumah. Hanya ia merasa tidak mempunyai pilihan lain.

Raja masih ingin bersabda, ketika Mada menggerakkan kedua tangannya, meminta semuanya berdiam. Ia bahkan meminta Raja naik ke blandar, bagian tiang atas rumah. Secara agak paksa. Baru kemudian memerintahkan ketiga prajurit bersiaga di balik pintu. Ia sendiri duduk sambil membetulkan sabit.

Benar dugaannya. Terdengar suara langkah kaki yang serentak, dan rumah persembunyian telah dikepung. Pintu depan disentakkan, ditarik ke arah kanan.

Membuka lebar.

Mada memandang dengan sorot mata terkejut.

Berpura-pura atau tidak, yang dilihat memang membuat kaget. Karena para prajurit telah berjejer dengan tombak terhunus. Juga dari arah belakang.

“Kamu terlalu tenang duduk di situ, Bekel Mada.”

Suara yang mau tak mau membuat Mada menolehkan kepalanya.

Dari arah belakang berjalan mendekat seorang yang tinggi besar, dada berbulu lebat. “Kamu tak menyembah padaku?”

“Maaf, hamba tak mengetahui nama besar Paduka.” “Patih Singasari hanya satu.

“Apakah namamu demikian besar, sehingga silau oleh dirimu sendiri, dan tak mau melihat kerikil kecil?”

Mada menyembah. “Maaf, seribu ampun.

“Mohon dilimpahkan hukuman yang setimpal.

78

“Hamba tak mengenali nama besar Patih Arya Wangkong, yang menjaga Keraton Petilasan, beserta seluruh isinya.

“Mohon ampun.”

Patih Wangkong bersungut. Pandangan matanya menerawang ke seluruh ruang. Dalam beberapa kejap kemudian, para prajuritnya sudah menghadapkan penghuni rumah, melucuti ketiga prajurit.

“Kamu tak akan lolos.

“Sejak ada kabar berita bahwa Raja meloloskan diri, seluruh desa telah dikepung rapat. Kamu tak akan meloloskan diri di depanku.

“Sekarang semuanya telah terbuka. “Katakan, di mana Raja Jayanegara?!” “Bunuhlah hamba, Patih perkasa.

“Hamba tak bisa menunaikan tugas dengan baik. Raja sesembahan…”

Belum selesai kalimat Mada, Patih Wangkong menggerung keras. Kedua kakinya bergerak cepat. Mada hanya sempat mengangkat tangannya untuk melindungi wajah yang tersodok keras. Tubuhnya terguling. Tujuh tombak tertuju ke seluruh tubuhnya, termasuk leher, hanya dalam jarak satu jari dari kulit. “Kamu benar-benar tak mengenalku.

“Katakan di mana Raja Jayanegara?!”

“Kalau hamba bisa menyertai Raja, apakah mungkin hamba sendirian bersama para prajurit di sini? Patih mengetahui sendiri, hamba masuk kemari tanpa Raja sesembahan.

“Kami berpisah, terpaksa dipisahkan, karena serbuan Senopati Jurang Grawah.” “Kamu pantas dihukum mati karena melupakan tugas.

“Kenapa kamu malah menyembunyikan diri di sini?”

“Hamba ingin menyelamatkan nyawa yang hanya selembar ini, Patih yang perkasa.

“Karena semua prajurit yang meloloskan diri telah tertangkap, karena Keraton Tua atau Keraton Daha dan Keraton Petilasan Singasari telah mengakui takhta yang baru.”

Patih Wangkong menggerakkan kakinya dengan sebat. Cepat, keras, mengandung tenaga. Menginjak leher Mada.

“Katakan di mana?”

Mada memejamkan mata. Betapapun hebat ilmunya, rasanya tak akan sanggup melawan. Tujuh tombak tak bakal bisa dielakkan, apalagi telapak kaki yang sudah menyentuh jakunnya.

Patih Wangkong mendengus. Tubuhnya berbalik, menyeret salah satu prajurit kawal. Menarik paksa. “Kamu juga bungkam?”

Hanya sekejap sebagai batas waktu. Patih Wangkong menggerakkan telapak tangannya. Bunyi plak yang keras, dan prajurit itu terkulai.

Begitu tangan Patih Wangkong melepaskan pegangan, tubuh itu ambruk di tanah.

Patih Wangkong menyambar prajurit kedua dan ketiga sekaligus. Masing-masing dipegangi lehernya dengan keras. Ini berarti, satu sentakan kuat akan membuat dua kepala beradu keras. Dengan tangan yang kukuh seperti yang dimiliki Patih Wangkong, batok kepala terasa lembek.

“Masih tak mau bicara?”

“Lebih baik mengorbankan diri, daripada mengatakan kepada pengikut Senopati Kuti.” “Bangsat!”

Patih Wangkong membalik. Kini menarik Mada.

“Aku bunuh kamu karena lalai dalam menjalankan tugas. Bukan karena Kuti atau segala luwak.” Mada menahan getaran di dadanya.

Dengan menyebut luwak, bisa diketahui perasaan Patih Wangkong yang sebenarnya. Terutama karena sikap Patih Keraton Singasari ini sedemikian terbukanya.

Sebutan luwak, sebenarnya berarti musang. Akan tetapi dalam pembicaraan tertentu luwak dianggap binatang yang licik, yang culas, yang mencuri makanan di malam hari. Tidak gagah perkasa seperti singa, harimau, atau banteng.

Mada bisa menangkap getaran kebencian Patih Wangkong. “Menyembahlah.

“Kalau masih ingin diampuni segala dosa yang paling hina.”

Suara Mada dibarengi dengan tubuhnya sendiri merunduk turun, sambil menyembah dan bersila.

Patih Wangkong dan pengikutnya baru sadar ketika Raja Jayanegara meloncat turun dari atas. Segera semuanya menunduk dan menyembah rata dengan tanah.

“Kalau kalian memang masih ingin ngabekti, jangan membuang waktu terlalu lama.” “Sendika dawuh, Ingkang Sinuwun-”

Raja mengangguk. “Kita menuju Singasari.”

Mada mengertakkan giginya.

“Maaf, maaf sekali, Raja sesembahan. “Rasa-rasanya…”

Patih Wangkong menyembah. Adatnya yang keras membuatnya berani memotong ucapan Mada. “Kamu berani meragukan kesetiaan Pangeran Kertawardhana?”

Siasat Pengakuan

KERAS adatnya, lancang gerakannya, seketika tindakannya. Seakan tak ada pengendalian sama sekali atas apa yang diucapkan atau dilakukan. Begitulah Patih Wangkong. Begitu merasa Mada berbicara sembarangan dan merendahkan junjungannya, Patih Wangkong langsung menuding ke biji mata Mada.

Yang dengan gagah menampik keras. Tenaga keras.

Tangan Patih Wangkong terpuntir. “Bangsat!”

“Jaga mulutmu di depan Raja.”

Baru kemudian Patih Wangkong sadar dan menahan diri. Meskipun wajahnya menjadi merah menahan geram.

“Raja Sesembahan tidak akan meninggalkan tempat ini. Apalagi mengungsi ke Keraton Petilasan Singasari.

“Patih Wangkong, saya menyampaikan hormat akan kesetiaan Patih serta Pangeran Anom Angon Kertawardhana yang mulia. Saya berbesar hati karena kesetiaan dan pengabdian kalian semua.

“Tapi Raja menghendaki kalian berangkat kembali ke Keraton Petilasan Singasari. Kumpulkan seluruh prajurit yang setia, pimpin menuju Keraton, bersama Pangeran Kertawardhana.

“Bersikaplah seolah akan mengakui takhta Senopati Kuti yang berhati luwak. Di sana saya akan menghubungi Patih.”

“Apakah itu berarti kamu tidak percaya kesetiaan dan pengabdian kami?” “Itu akan terbukti semuanya di Keraton.

“Apakah Patih benar-benar mengakui takhta yang sekarang, atau menyiapkan diri untuk menyerbu.” “Sejak kapan kamu begitu ketus, Mada?”

“Sejak saya mendapat tugas dari Raja.

“Sejak Patih melangkah kemari, sejak sebelum Patih bertanya, saya sudah merasakan kesetiaan Patih Wangkong yang teguh perkasa. Tapi semua itu hanya perasaan.

“Dalam tindakan yang gawat, kita tak bisa mengandalkan perasaan, tidak hanya mendengarkan suara hati, agar tidak makan hati di belakang hari.

“Saya harus meyakinkan diri, bahwa Patih Wangkong yang perkasa bukan sedang mencari Raja karena perintah Senopati Kuti. Saya bersedia membayar dengan nyawa untuk menguji itu.

“Saya percaya sepenuhnya kepada Patih Wangkong yang perkasa, yang gagah berani. Tapi andai ada prajurit yang bertindak sembrono, gagal lah semua rencana kita. Andai ada prajurit yang ingin mendapat pangkat dan derajat tinggi dengan menjual kabar ini, gagal lah menegakkan kebenaran dan kejayaan Keraton.”

Patih Wangkong mengangguk.

“Baik. Siasat pengakuan ini akan saya lakukan.

“Hanya aku tak menyangka kamu bisa sekeji Raja Muda Gelang-Gelang.” “Siasatnya bisa sama.

“Tujuannya berbeda.”

Raja menggerakkan tangannya.

“Ingsun merestui apa yang dikatakan Mada.” “Sendika dawuh, Sinuwun?

Patih Wangkong dan pengikutnya menyembah hormat, kemudian mundur dengan berjalan jongkok. Mada mengawasi hingga bayangan mereka hilang, baru kemudian masuk kembali.

“Apa rencanamu selanjutnya, Mada?” “Mohon ampun, seribu ampun.

“Hamba ingin kita berpindah ke selatan. Menunggu saat baik untuk kembali ke Keraton.” “Saat baik yang bagaimana?”

“Ampun, Raja Sesembahan. “Saat baik ialah kalau Pangeran Anom Wengker serta seluruh prajurit Daha juga melakukan hal yang sama. Dengan demikian tak ada lagi yang akan mendukung Senopati Kuti.

“Pengerahan prajurit Daha dan Singasari sangat besar artinya bagi dukungan pengabdian kepada Raja yang Besar. Seluruh penduduk akan mengetahui dan menjadi saksi bahwa nama harum dan besar dan berwibawa Raja yang Sejati tetap besar tiada tandingannya.”

“Bagaimana kamu bisa memastikan Daha juga akan datang ke Keraton?” “Hamba sendiri yang akan berangkat ke sana.”

Raja mengangguk.

“Lakukan apa yang kamu rasa benar.” “Sembah bagi Raja.”

Mada kemudian memerintahkan kedua prajurit kawal yang tak diragukan pengabdiannya untuk segera berangkat. Ia meminta maaf kepada pemilik rumah, dan meminta mengubur prajurit yang gugur dengan baik-baik.

Suatu hari kelak jika ada hari baik, Mada berjanji akan kembali untuk mengadakan penghormatan kepada prajurit yang gugur dalam menjalankan tugas.

Semua dilakukan dengan cepat.

Sebelum seluruh kalimatnya bisa dimengerti oleh pendengarnya yang masih duduk keheranan dan ketakutan, Mada telah pergi meninggalkan.

Bergabung dengan Raja dan menuju Desa Badander. Untuk sementara bisa mengistirahatkan Raja di tempat yang aman. Mada sendiri kemudian mengatur siasat. Dan melakukan sendiri.

Yang pertama disebarkan ialah berita bahwa Raja telah mangkat. Kabar ngayawara, tanpa sumber resmi, ini mudah sekali berkembang di masyarakat. Dengan demikian membuat mereka gelisah. Mada tinggal mengarahkan agar penduduk seluruhnya berduyun-duyun menuju alun-alun Keraton, sambil membuka pakaian bagian atas. Hanya selembar bagian bawah sebagai penutup. Kemudian berjemur di alun-alun.

Siasat dede atau menjemur diri ini sangat tepat dilakukan. Dengan menjemur diri akan menarik perhatian penduduk yang lain. Mereka yang ingin mengetahui apa yang terjadi akan ikut dede.

Cara ini dilakukan penduduk jika ada peristiwa yang merisaukan, dan mereka ingin meminta penjelasan resmi dari Raja. Dalam hal ini, peristiwa yang merisaukan itu adalah berita mangkatnya Raja Jayanegara.

Dengan berada di alun-alun, kumpulan manusia itu tak bisa dibedakan, mana yang prajurit. Dengan bertelanjang dada, lebih sulit lagi dikenali. Dengan cara ini, Mada ingin melancarkan serangan mendadak.

Untuk mengadakan pendekatan ke Daha, tak terlalu gampang. Sebab Patih Arya Tilam tampaknya serba curiga, penuh prasangka, dan jalan pikirannya tidak sesederhana jalan pikiran Patih Wangkong. Agak sulit bagi Mada membujuk dan mengatakan maksud yang sebenarnya.

Satu-satunya jalan adalah memakai nama Putri Tunggadewi serta Putri Raja Dewi yang meminta bantuan pembebasan. Mada memakai bukti cundhuk yang sebenarnya berasal dari tanduk biasa. Jalan pikirannya, ini satu-satunya benda yang mungkin tak bisa dibuktikan seketika benar dan tidaknya.

Perhitungan Mada yang kemudian ialah, kalaupun Pangeran Muda Wengker tidak membantu sepenuhnya, ia tidak berada di pihak lawan. Paling tidak, ragu atau menunggu.

Dalam hal ini Mada sulit memastikan bagaimana sikap Pangeran Muda Wengker, karena yang terakhir ini tak memberikan jawaban yang jelas.

Demikian pula jawaban yang diberikan Patih Tilam.

“Bagaimana saya bisa mempercayai kamu ini utusan putri Keraton, kalau selama ini kami tak pernah mendengar kabar dan tak pernah berhubungan?”

“Patih Tilam yang bijak.

“Dengan mengutus hamba, Putri memilih prajurit yang dekat dengan Raja.” “Bagaimana saya bisa percaya kalau bayangan Raja tak terlihat?”

“Maaf, Patih Tilam.

“Kalau Raja sendiri yang berkenan meminta, apakah artinya pengabdian itu? Semua akan jelas dan terang benderang. Itu artinya bukan menunjukkan kesetiaan, akan tetapi menjalankan tugas. Justru pada situasi seperti inilah kesetiaan itu diperlihatkan.” “Bagaimana saya bisa percaya kalau kamu bukan utusan Senopati Kuti yang berpura-pura menguji kami?”

“Kalau Senopati Kuti, hanya perlu mengirim utusan. Barang lima prajurit, dan Patih Tilam mengakui takhta yang baru.”

“Oh, itu caranya memojokkan kami?

“Dengan mengungkap bahwa pengakuan takhta adalah pengkhianatan? Iya? Begitu, prajurit kecil Mada?”

“Waktu saya tidak banyak, Patih yang arif.

“Hamba hanya melaporkan apa yang terjadi, sesuai dengan gambaran sebenarnya kepada Raja.”

Yang tidak diketahui Mada ialah bahwa Patih Tilam sangat berhati-hati dalam bertindak. Boleh dikatakan bertolak belakang dibandingkan Patih Wangkong. Patih Tilam selalu bisa membuat orang yang berhadapan dengannya menduga-duga apa yang sebenarnya dilakukan, dan apa yang sebenarnya disembunyikan.

Karena ketika utusan Senopati Kuti datang memeriksa, Patih Tilam menyerahkan lima prajurit sebagai pengganti prajurit bhayangkara. Patih Tilam kemudian mengirim utusan untuk mengakui Senopati Kuti sebagai penguasa Keraton. Tapi Patih Tilam pula yang berdiam-diam memerintahkan para prajuritnya berjaga di sekitar Keraton.

Sebagai penasihat rohani Pangeran Muda Wengker, tindakan Patih Tilam sulit diduga. Meskipun kelihatan berbantah dengan Mada, Patih Tilam pula yang memohon Pangeran Muda Wengker segera berangkat ke Keraton.

“Saya sendiri akan membuktikan kesetiaan dengan mengalirkan darah saya di Keraton. Demi asma Pangeran Muda.”

Beda Buah dengan Bijinya

MADA mempersiapkan dengan sepenuh kemampuannya. Langkah terakhir yang akan ditempuh ialah menuju Perguruan Awan, untuk minta restu dan bantuan dari Jaghana.

Dengan hadirnya Jaghana, Mada merasa aman luar-dalam untuk merebut Keraton dari tangan Senopati Kuti.

Akan tetapi Perguruan Awan terlalu luas tanpa batas, dan tak bisa menemui penghuninya dengan gampang.

Apalagi saat itu telah terjadi perubahan.

Ketika Halayudha menghardik Ngwang dengan menanyakan ilmu membal, dengan menuduh Ngwang mencuri ilmu, Upasara masih dalam keadaan terluka.

Nyai Demang berdiri setengah melindungi, demikian juga Gendhuk Tri. Sementara Jaghana masih bersila di samping Upasara.

“Sudah jelas Ngwang mencuri dari Kitab Klungsu. Kenapa masih perlu ditanya segala?” Halayudha mengejapkan matanya.

Suara Gendhuk Tri yang diucapkan dengan penuh kesungguhan, membuatnya terbengong-bengong. “Kitab Klungsu?

“Rasanya aku belum pernah mendengar.”

“Mana mungkin mendengar kalau selama ini kitab itu hanya boleh dikidungkan dalam hati?” Nyai Demang menghela napas lega.

Gendhuk Tri yang sekarang ini ternyata masih Gendhuk Tri yang dulu. Yang bicara seenaknya, yang menyerang sana, mengacau sini, yang membolak-balik dan membelokkan jalan pikiran orang. Gendhuk Tri yang dulu, yang nakal, yang menggoda, yang menikmati kebingungan orang lain.

Dengan mengatakan Kitab Klungsu, jelas Gendhuk Tri hanya main-main. Sebab Nyai Demang sendiri belum pernah mendengar adanya kitab klungsu, atau buku mengenai biji asam. Bahkan dari caranya menjawab pertanyaan Halayudha, sebenarnya Gendhuk Tri sangat keterlaluan mempermainkan.

Sewaktu Halayudha mengatakan belum pernah “mendengar”, oleh Gendhuk Tri diartikan mendengar dalam artian wadak. Sehingga dijawab tak mungkin mendengarkan karena cara membacanya di dalam hati.

Akan tetapi justru jawaban yang tak masuk akal ini membuat Halayudha tertarik. Hingga kedua tangannya menggaruk-garuk kepalanya.

“Bagaimana mungkin? “Maukah kamu mengidungkan bagiku?” “Ilmu itu tidak untuk dikidungkan.” “Celaka.

“Bagaimana kalau kamu tulis dan aku membaca dalam hati?” “Baik, aku akan melakukan untukmu.

“Karena kamu pernah menolongku, meskipun nyatanya malah membuat aku menderita.” Halayudha menyeringai.

“Mana mungkin?

“Upasara tetap tak bisa menghalau bercak dalam tubuhmu. Aku bisa kalau kamu tidak membandel. Tenaga air dalam tubuhmu itu aneh. Adakalanya menolak tenaga bumi, adakalanya menerima.

“Ngwang saja terbengong-bengong. Ia bisa mengatakan adanya tenaga im dan tenaga yang. Tapi juga tetap tak mengerti kenapa bisa bertabrakan.

“Upasara sendiri keok. Katanya ia memadukan tenaga menjadi tenaga tanah air. Tapi sekarang malah merenung seperti anak kecil kehilangan mainan. Seperti anak muda kehilangan asmara.

“Betul tidak?” “Betul.”

Mendadak Halayudha menjentikkan ibu jari dan jari telunjuk. Suaranya menggema, bergaung keras sekali. Bahkan pohon-pohon dalam jarak sepuluh tombak seperti terguncang.

“Rasanya aku mengerti pemecahannya.

“Tapi nanti saja. Setelah kamu memberitahu isi Kitab Klungsu.”

Sewaktu Halayudha menjentikkan jarinya, tangan Jaghana mendekap tangan Upasara. Mengeluarkan getaran hangat, yang disambut Upasara.

Ngwang memperhatikan dengan saksama.

Setiap gerakan yang paling kecil pun tak lolos dari pengamatannya. Gendhuk Tri menorehkan jarinya di tanah.

Klungsu itu biji asam Klungsu itu bukan asam Sebab klungsu itu berat Tapi ringan

Kalau dibanting akan melenting Buah asam rasanya asam Kalau dibanting menjadi pecah Itulah beda biji dengan buah….

Halayudha memegangi kepalanya. Rambutnya semakin awut-awutan. Kalimat yang dituliskan Gendhuk Tri dieja, dibaca berulang-ulang. Beberapa kali jidatnya ditepuk.

“Aku tak menangkap maknanya. “Jangan-jangan kamu sudah gendheng.”

Halayudha menggebrak. Dengan menggerakkan kakinya, seluruh tulisan terhapus, sementara gerakan itu tak berhenti di situ. Kedua kakinya terjulur keras, menyambar Gendhuk Tri. Memotong habis.

Gendhuk Tri mengangkat tubuhnya, menghindari sabetan kaki. Serta-merta Halayudha menarik kembali kakinya, Gendhuk Tri bersiaga.

“Nah, itu ajaran Kitab Air.

“Jelas sekali. Di mana ada tempat rendah, air mengalir. Begitu seranganku ditarik atau lewat, kamu berdiri di situ. Coba ulangi kalau tidak percaya.”

Halayudha kembali mengulang.

Menebas kaki Gendhuk Tri. Dalam putaran yang menyeruak, menggulung jarak setombak tepat di kaki Gendhuk Tri. Yang mau tak mau terpaksa jungkir-balik ke atas.

Halayudha menggerakkan kedua tangannya ke arah kanan. Satu telunjuknya menuding. “Di sana.” Gendhuk Tri berusaha menolak tarikan tubuh ke arah tempat yang dituding Halayudha. Namun tenaga Halayudha ternyata sangat kuat.

Sehingga tubuhnya mendarat pada tempat yang telah disebutkan. “Ya, kan?

“Air mengalir kalau ada tempat rendah. Kalau ada tempat yang lebih dingin. Tanah bisa lebih bertahan, walau di sebelahnya ada jurang.

“Itu bedanya.

“Itu yang mau disatukan Upasara. “Sebetulnya bisa juga.

“Mada mestinya tahu. Ah, di mana dia sekarang? “Tapi apa peduliku dengan anak kecil itu?

“Aneh, bayangannya selalu jelas.

“Aku tak mau terpengaruh. Aku ingin tahu tentang ilmu membal tadi.”

Kalimat yang tidak keruan ujung-pangkalnya itu dibarengi dengan gerakan mendadak. Tubuh Ngwang dirangkul kencang, dan berusaha dibanting keras.

Kalau kena.

Karena Ngwang tidak membiarkan begitu saja. Begitu ada angin menyambar, serta-merta tubuhnya terangkat dari tanah. Dalam gerakan yang ringan sekali.

Melayang.

Halayudha memakai kedua tangan sebagai tumpuan, dan tubuhnya melejit ke atas. Dibarengi dengan teriakan keras, kedua tangannya menyambar Ngwang.

“Tahan!”

Teriakan Jaghana terlambat.

Pada saat itu Ngwang membuka lebar kedua kaki dan tangannya! Halayudha tak sempat menghindar. Dada dan perutnya terkena pukulan telak.

Tubuhnya terbanting!

Tendangan dan sekaligus pukulan yang masuk bersih. Tubuh Halayudha sampai ngejengklak, dengan kepala ke arah belakang seakan lehernya tak bisa menyangga lagi.

Ngwang membalik.

Kali ini jurus yang sama dimainkan untuk menerjang Gendhuk Tri! Menyambar keras.

Nyai Demang mengibarkan selendangnya. Berusaha menahan sekuatnya. Ternyata arah serangan Ngwang tidak ke arah Gendhuk Tri, karena mendadak membelok ke arah Upasara!

Tubuh yang bisa meliuk bagai kapas tertiup angin, atau bahkan bagai angin itu sendiri, meruncing ke arah Upasara.

Tidak langsung menyerang, melainkan berputar bagai gasing. Kencang.

Ngwang memang tidak langsung menyerang, melainkan membuat Upasara mengikuti gerakan yang ada. Memuntir sedemikian rupa, seolah memasukkan Upasara yang terluka ke dalam putaran beliung. Pusaran angin!

Gendhuk Tri menyadari bahaya besar.

Seperti juga Halayudha, Gendhuk Tri tidak menyangka sama sekali bahwa tenaga angin Ngwang masih lebih banyak yang tersimpan. Selama ini ia hanya memperlihatkan sebagian kecil saja. Baru bagian luarnya.

Pertarungan Angin-Air

PUTARAN tubuh Ngwang membelit, menelikung sempit. Hanya dalam lima putaran, tubuh Upasara seperti tak bisa dikendalikan. Ketika Ngwang meloncat tinggi, Upasara seakan terseret. Ikut terbawa. Bahkan sewaktu Ngwang sudah berdiri tegak, tubuh Upasara masih berputar bagai gasing.

Tanpa berpikir panjang, Gendhuk Tri mengentak keras. Ujung selendang dan kedua tangannya yang terbuka lebar, menyambar masuk.

Dalam putaran yang kencang dan sempit, Gendhuk Tri tak bisa menemukan sela-sela yang pas. Akan tetapi ketajaman tenaganya yang diselusupkan mampu menyelinap. Meskipun itu bisa diartikan bahaya yang lain. Sebab dengan demikian pukulan Gendhuk Tri bisa mengenai tubuh Upasara. Akan tetapi risiko apa pun akan ditanggung, daripada berdiri bengong.

Ngwang tetap memutar tubuh Upasara dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menampik pukulan Gendhuk Tri. Kesiuran angin lembut berubah bagai sentakan badai. Sekejap saja berubah tekanannya.

Namun bukan Gendhuk Tri kalau terjegal dengan serangan mendadak. Justru dengan itu Gendhuk Tri bangkit menerjang. Keras dihadapi dengan keras. Pukulan Ngwang disambut sama keras dengan meloncatkan tubuh ke atas, sementara kakinya menyaduk ulu hati Ngwang. 

Ngwang melihat peluang menang di atas. Satu tangan tertekuk, berubah bagai patuk burung elang yang menyambar ubun-ubun Gendhuk Tri.

“Cuma sebegini.”

Gendhuk Tri masih bisa mengeluarkan seruan ejekan, sebelum membuat berat tubuhnya melorot ke bawah. Tangan Ngwang menghantam angin, sementara dadanya termakan serbuan lawan yang mendadak bertambah sangat cepat.

Tak banyak pilihan bagi Ngwang.

Selain menurunkan tubuh Upasara, sebagai penangkis.

Kali ini Gendhuk Tri memperlihatkan keunggulannya. Menyerobot masuk,

Gendhuk Tri bukannya meneruskan tendangan ke arah lawan, melainkan masuk melalui selangkangan Ngwang. Yang kalaupun tidak berdiri di atas tanah, tetap bisa dilewati. Baru kemudian muncul membalik di belakang Ngwang. Langsung menyambar daun telinga. Memuntir habis.

Bagi yang tidak biasa menghadapi, apa yang diperlihatkan Gendhuk Tri memang serba tidak biasa. Menerobos lewat selangkangan saja bukan ukuran permainan silat yang lazim. Apalagi kemudian memuntir daun telinga.

Justru yang tak terduga itu merupakan keunggulan Gendhuk Tri. Perpaduan antara kenakalan dan permainan. Karena sebenarnya Gendhuk Tri bisa menyerang bagian kepala yang lebih menentukan meraih kemenangan.

Nyatanya justru dengan cara “main-main”, Gendhuk Tri dulu mampu mengecoh Ugrawe atau juga Halayudha. Sekarang justru yang sama berhasil untuk menjebak Ngwang.

Yang merasa sangat kesakitan.

Meringis sambil memutar tubuh. Tubuh Upasara dilepaskan, dan kini sepenuhnya siap bertarung menghadapi Gendhuk Tri.

Darah mengucur dari kedua telinga Ngwang yang seperti tinggal tertempeli daging tipis. Dalam keadaan yang murka, Ngwang mengeluarkan suara tak menentu. Bagai angin ribut, kaki dan tangannya meloncat dan terentang.

Tendangan dan jotosan maut.

Gendhuk Tri menjejakkan tubuh. Gesit melejit. Melalui tubuh Ngwang yang menerjang lurus. Sedemikian cepatnya sehingga Ngwang seperti menangkap angin. Juga merasa dingin bagian ubun- ubunnya karena tersenggol ibu jari kaki Gendhuk Tri.

“Mulut kotor macam ini mau mengisap ibu jari kakiku?”

Ngwang mengeluarkan suitan keras. Jelas bisa ditandai bahwa kini sepenuhnya murka. Tenaga dalam yang tersimpan selama ini meluncur keras. Setiap kali bersuit suaranya sangat nyaring, dan udara yang keluar dari bibirnya membentuk garis.

Yang anehnya, Gendhuk Tri tak bisa menembus. Atau berusaha menghindari.

Hal yang terpaksa dilakukan Gendhuk Tri mengingat tercium bau amis keras yang membuat kulitnya terasa gatal-gatal panas menyengat. Sesuatu yang mengingatkan akan adanya racun keras.

Dengan posisi seperti ini, dengan makin banyak suitan, yang berarti lingkaran atau juga garis putih, Gendhuk Tri terdesak. Kini mulai repot dan terdesak. Sabetan selendangnya juga kandas, tak mampu membuyarkan asap tipis yang membeku.

Bahkan kemudian asap tipis lurus itu meruncing. Dengan satu kedutan keras, asap tipis lurus itu berubah bagai panah pendek. Menusuk dari berbagai arah.

Ngwang menjeritkan pekik kemenangan. Gendhuk Tri berdiri. Tak meloncat, tak menghindar. Kedua tangannya mengembang. Kakinya setengah mengangkang. Kepalanya mengibas keras, sehingga rambutnya terurai, dan menyampok asap tipis yang menusuk. Sedangkan yang meruncing ke arah tubuh yang lain dibiarkan saja.

Pameran tenaga dalam yang luar biasa. Dengan kemampuan mengerahkan tenaga dalam berdasarkan kekuatan air, Gendhuk Tri berusaha meredam serangan lawan.

Pekik kemenangan Ngwang berubah menjadi pekik yang berbeda nadanya. Sama sekali tak menduga bahwa Gendhuk Tri mampu menenggelamkan serangannya. Tiupan beliung yang mampu memutar tubuh Upasara, ternyata bisa dimentahkan Gendhuk Tri.

Yang tetap berdiri tegak.

Nyai Demang bersorak girang dalam hati. Adalah di luar dugaannya bahwa Gendhuk Tri bukan hanya mampu bertahan, akan tetapi mampu memperlihatkan keunggulan. Bisa menandingi, dan sewaktu tangan Gendhuk Tri membekuk, Ngwang yang meloncat mundur.

Meskipun tidak paham sepenuhnya pertarungan kekuatan air dengan kekuatan angin, Nyai Demang bisa mengikuti, bahwa setelah badai yang ditiupkan Ngwang tak mempan, posisinya jadi berbalik. Angin badai hanya menggerakkan air di permukaan.

Pujian Nyai Demang makin meninggi. Sehingga merasa bahwa sesungguhnya ilmu Gendhuk Tri telah melesat sangat jauh. Bahkan mengungguli Halayudha.

Ada benarnya, ada tidak benarnya.

Ada benarnya bahwa ilmu Gendhuk Tri telah berkembang sangat pesat. Akan tetapi kalau diukur lebih tinggi dari Halayudha masih perlu dibuktikan. Karena kekalahan Halayudha terutama sekali karena tak menyangka adanya serangan tak terduga.

Demikian pula halnya dengan Ngwang.

Cara Gendhuk Tri mengatasi tiupan angin tajam, membuyarkan pemusatan pikiran, justru karena mengira lawan bisa diatasi seketika. Pada titik peluang yang kritis itulah Gendhuk Tri balik menghantam.

Jago dari mana pun, dalam tingkat apa pun, dalam keadaan tertindih seperti itu, akan sulit bangkit seketika. Dan lawan yang mengetahui akan mempergunakan sekuat tenaga. Sebelum Ngwang bisa memperbaiki kuda-kudanya, sebelum bisa kembali ke semangatnya.

Tekukan tangan Gendhuk Tri mengeluarkan bunyi keras. Ketika tangan itu terangkat ke atas, menebarkan suara keras. Bagai kena tebas, Ngwang terjungkal.

Gendhuk Tri meloncat dan menerkam dari atas.

Ngwang berusaha menggelindingkan tubuhnya. Bergulingan sekenanya. Benar-benar terbalik.

Ngwang yang unggul pada permainan atas dengan ilmu meringankan tubuh yang tiada tara, kini dipaksa bergulingan. Sementara Gendhuk Tri justru menyambar dari atas. Bagai burung elang mempermainkan anak ayam.

Ngwang benar-benar terdesak.

Dengan paksa Ngwang melepaskan pakaiannya, dan melemparkan ke arah lain, untuk memancing perpindahan tenaga Gendhuk Tri.

Yang hanya dengan sekali sampok, membuat pakaian itu terbang bagai buntalan pakaian basah.

Ngwang membungkus dirinya. Kepalanya dimasukkan ke dalam tekukan antara kaki. Tubuhnya benar-benar tertutup, ketika menggelinding.

Gendhuk Tri berusaha meloncat. Untuk menerkam! Atau menendang. Atau apa saja.

Hanya saja, mendadak tenaganya menjadi macet. Ada ganjalan berat, terutama di bawah pusarnya. Sedemikian ngilunya sehingga tak mampu berdiri.

Ingatannya masih bisa jalan, bahwa bercak-bercak hitam yang terlihat di kulit itulah yang mengganjal lancarnya pengerahan tenaga dalam. Bahwa pemaksaan tenaga yang berlebih menyebabkan bercak hitam menyebar kembali. Ketika berada di tempat di mana pusat kekuatan akan tersalur, membuntu. Benturan itulah yang mendadak menghentikan gerak Gendhuk Tri.

Nyai Demang benar-benar melongo.

Mulutnya terbuka tapi tak mengeluarkan suara.

Ngwang melihat kesempatan untuk menggulung tubuh sambil berdiri. Telanjang dada, mengawasi sekitarnya dengan senyum kemenangan. Nyai Demang tak bisa bernapas dengan baik.

Halayudha masih terbaring. Upasara demikian juga. Kini Gendhuk Tri. Jaghana malah tenggelam dalam semadinya. Tinggal dirinya yang seperti diimpit mimpi buruk.

Matanya bercahaya ketika melihat sosok bayangan masuk ke dalam arena. Tapi hatinya kemudian jadi lebih dingin dan membeku, manakala sadar bahwa yang muncul adalah Pangeran Hiang.

Yang memegang Kangkam Galih. Pedang tipis hitam dicekal erat.

Yang membuat Nyai Demang beku adalah sorot mata Pangeran Hiang yang dingin, ganjil, seolah tak mengenali Nyai Demang!

Asmara Tanah air

YANG lebih mengerikan lagi, ada bau tubuh yang menusuk hidung, tercium dari jarak jauh. Bau tubuh yang membuat Nyai Demang merasa terganggu pernapasannya.

Ngwang membungkuk, rata dengan tanah.

Nyai Demang masih menangkap perkataannya. Ngwang seolah mengatakan bahwa selangkah lagi takhta Tartar akan menjulang sampai langit tingkat tujuh. Hanya dengan satu tebasan pedang atau tiupan beliung darinya.

Pangeran Hiang memandang dingin. “Pangeran…”

Nyai Demang berusaha meneriakkan nama yang menyekat erat di tenggorokannya. Semakin kuat memaksa diri, yang terjadi seperti kejadian yang pernah dialami. Kesadarannya berangsur tenggelam.

Makin dalam.

Sehingga tidak mengetahui bahwa tubuh Halayudha sudah menggeliat. Bisa duduk dan terlongong- longong memandangi sekitarnya.

Jaghana masih bersila.

Upasara merangkak bangkit. Mendekati tubuh Gendhuk Tri. “Adik Tri…”

“Kakang…”

Jari tangan Upasara yang gemetar memegang tangan Gendhuk Tri. Gendhuk Tri balas meremas. “Kita telah menghancurkan diri kita sendiri. Telah menyia-nyiakan….”

Upasara menggeleng. “Kakang tidak apa-apa.

“Kakang menemukan kemungkinan penyembuhan bercak hitam Adik Tri.” Gendhuk Tri tersenyum.

Tubuhnya sedikit bergoyang. “Kita terlambat, Kakang.”

“Kita tidak terlambat, Adik Tri….”

Ngwang melangkah maju setindak. Matanya melirik tajam ke arah Jaghana yang masih bersemadi. Telinganya mendengar suara lirih, semacam kidungan, semacam bisikan, semacam senandung, semacam angin, semacam getar.

Tanah air menyatu bagai daya asmara tanah air meluas tanpa batas

hanya daya asmara yang kekal abadi seperti tanah air yang menyamai yang menandingi

bukan takhta, bukan Keraton

tanah air adalah pembarep dan pamungkas tanah air awal sekaligus akhir

tanah air tanah sekaligus air yang mengatasi mati bukan candi

yang mengatasi hidup

bukan mati yang mengatasi segalanya bukan dewa tetapi daya asmara

asmara tanah air, asmara paminggir, asmara pamungkas asmara para raja

Ngwang menduga Jaghana yang menembangkan kidung. Tapi suara lirih itu juga terdengar dari arah Upasara Wulung. Atau juga getaran bibir Gendhuk Tri.

79

By admin • Mar 15th, 2009 • Category: AA - Senopati Pamungkas II

Halayudha mendadak bangkit berdiri. Mengubah gerakan tangan dan kakinya. Kepalanya miring mencoba menangkap kidungan yang sayup.

Tanah air tak mengenal batas semua laut bisa dikuras semua gunung bisa dipangkas seluas pandangan

Sri Baginda Raja Kertanegara

tanah air bukan takhta yang bisa diwariskan tanah air bukan harta

yang bisa dibagi, dikurangi, dicurangi tanah air bukan pribadi

sebab semua bisa memiliki tanpa menimbulkan iri, risi

tanah air adalah ibu

yang menyusui, yang mengasihi tanah air adalah daya asmara sejati yang menggerakkan berahi



Apa pun yang terjadi, Ngwang tak mau memberikan kesempatan. Karena melihat bahwa kidungan samar itu bisa membuat Halayudha bangkit berdiri. Seakan mendapat tiupan sukma kehidupan.

Padahal, tubuh Halayudha memang berbeda. Simpanan kekuatannya bisa memulihkan kesadarannya.

Ngwang tak mau memberi peluang perubahan yang bisa membalikkan suasana sekarang ini. Tubuhnya terangkat dari tanah. Dengan satu gerakan sangat gesit, merampas Kangkam Galih dari tangan Pangeran Sang Hiang.

Halayudha tersedak.

Ia meloncat ke depan akan tetapi tubuhnya masih sempoyongan. Jangan kata menubruk maju, untuk bisa tegak di tempatnya saja kelihatannya masih belum bisa sempurna.

Yang bergerak pertama adalah Jaghana.

Yang tetap bersila, menunduk, tapi beralih tempatnya. Berada di antara Gendhuk Tri dan Upasara Wulung!

Tempat di mana tusukan Kangkam Galih tertuju. Ngwang memang tidak menusuk langsung ke arah Upasara ataupun Gendhuk Tri. Karena masih merasa perlu berjaga-jaga jika kedua lawan yang luar biasa ini mampu mengeluarkan serangan mendadak. Ngwang tak ingin terjebak, di saat-saat di mana kemenangan sudah berada di tangan.

Makanya tusukannya tertuju ke arah tangan Upasara Wulung yang bergenggaman dengan Gendhuk Tri.

“Tusuk!”

Teriakan Pangeran Hiang melecut Ngwang yang untuk sesaat seperti menahan laju Kangkam Galih! Ujung pedang hitam tipis yang mampu menetas besi bagai memotong batang pisang itu tak tertahan lagi.

Jaghana yang mencekal erat tangan Upasara Wulung dan Gendhuk Tri tersenyum. Matanya yang jernih, suci, seakan memancarkan sinar. Meskipun Kangkam Galih amblas di dadanya yang selalu licin telanjang.

Sewaktu Kangkam Galih ditarik dengan sodetan, yang tertinggal adalah luka yang menganga. Bersih.

Tak ada darah menetes.

Hanya lapisan daging yang terbelah, tulang iga yang patah.

Kepergian orang suci. Kembalinya orang yang diterima Dewa Maha Pencipta.

Persinggahan Abadi

TUBUH Jaghana telentang. Dari dada sampai perut menganga luka, dengan sobekan melintang. Tapi siapa pun yang melihatnya tidak ngeri, tidak jijik. Bukan karena tak ada darah yang muncrat atau tumpah. Melainkan karena ada kekuatan yang tiba-tiba menyertai kepergiannya.

Awan memayungi matahari. Ujung-ujung daun rumput dan semua tumbuhan bergerak sangat perlahan, disentuh angin lembut. Bau wangi menyebar, tersimpan lama bagi siapa pun yang mengisap udara saat itu.

Alam terasa sangat damai. Tenang. Lestari.

Tak tergetar sedikit pun sisa-sisa kebencian atau ketegangan. Meskipun Ngwang masih memegang erat Kangkam Galih, yang anehnya juga tak mengucurkan atau basah oleh darah.

“Om.”

Suara yang salah nada.

Sumbang. Mengganggu ketenteraman.

Karena ketenangan lebih menggetarkan. Lebih mendalam rasa yang terendapkan. Meskipun bukannya tanpa pergolakan. Justru Pangeran Hiang yang tampak berubah wajahnya. Ada bayangan Gemuka yang muncul kembali. Gemuka yang gagah perkasa, yang jemawa tanpa tanding, mati dengan cara mengenaskan. Dengan seluruh tubuhnya yang seolah memuncratkan darah penderitaan dan kesengsaraan. Akhir yang alot berkelojotan.

Sementara Jaghana justru sebaliknya.

Tanpa darah, bahkan menyebarkan bau harum bunga melati.

Halayudha mengelus rambutnya dari pangkal hingga ujung. Puluhan kali matanya menyaksikan kematian, baik dengan tangannya sendiri secara langsung ataupun tidak. Baik yang didengar ataupun yang samar-samar dialami. Tokoh-tokoh yang paling hebat, ia saksikan kematiannya. Baik Ratu Ayu Bawah Langit yang mengenaskan, gurunya sendiri yang pernah ditumpuki batu, ataupun bahkan anaknya sendiri. Ia mendengar bahwa tokoh yang paling dipuja selamanya, Sri Baginda Raja Kertanegara, juga meninggal dunia dengan cara mengenaskan. Baginda Sanggrama Wijaya sendiri pun demikian, kurang-lebihnya. Bahkan empu sakti dan berjiwa luhur, Mpu Raganata, tak selembut dan sedamai seperti apa yang sekarang disaksikannya.

Dibandingkan dengan tokoh-tokoh utama yang sakti, Eyang Kebo Berune, Puspamurti, Kiai Sambartaka, Kama Kangkam, atau para pemimpin keprajuritan, tak ada yang menyamai keabadian yang begitu menyentuh. Bahkan tidak dialami Eyang Sepuh, yang masih kembali dari moksa.

Dari segala macam ilmu yang didalami secara tuntas, untuk pertama kalinya Halayudha menemukan kesempurnaan perjalanan keabadian pada diri Jaghana. Dewa pun belum tentu bisa kembali ke asalnya dengan kasampurnan yang sejati.

Persinggahan abadi yang indah. Yang meninggalkan makna penuh bahwa kematian bisa berarti ketulusan, kesucian yang abadi. Kekal sepanjang masa.

Getaran yang sama, rumasuk dalam jiwa Upasara maupun Gendhuk Tri. Dalam keadaan luka di dalam, dalam keadaan tersendat, keduanya merasa ditunjukkan kepada tempat yang sangat membahagiakan, tanpa keraguan.

Nyai Demang yang terkena kekuatan sirep bau minyak atau bau tubuh Pangeran Hiang sampai terbangun. Pengaruh harum sirep seakan pudar lebih cepat. Nyai Demang duduk bersila dalam keheningan sambil mengucapkan segala doa dan mantra dari mata batinnya.

Siapa pun yang mengenal Jaghana, hanya mempunyai kata-kata pujian untuk mengenangnya. Tak pernah ada kesan atau rasa, di mana Jaghana sengaja berbuat jahat atau curang atau nakal untuk kepentingannya sendiri.

Sewaktu berusia dua puluhan tahun, ketika pertama kali Upasara terjun ke gelanggang persilatan dari penempaan yang dahsyat di Ksatria Pingitan, Jaghana yang sederhana telah mempengaruhi jiwanya. Walaupun saat pertama bertemu, Upasara belum bisa menerima seorang yang tidak mengenakan pakaian selain kain gombal penutup bagian tubuhnya yang penting. Kepalanya dibiarkan pelontos, tubuhnya gemuk, bibirnya selalu tersenyum dengan sorot mata sebening embun pagi hari. Pemakaian nama Jaghana adalah bentuk pengejawantahan, bentuk nyata yang membumi. Perjalanan hidup Upasara selanjutnya membuatnya mengenal Jaghana lebih dalam. Juga ketika Jaghana menerima pilihan Eyang Sepuh, bahwa Upasara Wulung yang lebih pantas memimpin Perguruan Awan.

Jaghana, murid angkatan pertama yang mengabdi sepenuhnya pada ajaran Perguruan Awan, menerimanya dengan rasa bahagia. Sikap menerima dengan penghormatan yang tulus mulus, tidak hanya terwujud dalam jurus-jurus ilmu silatnya, melainkan tercermin dari seluruh tindakannya.

Nyai Demang juga merasakan hal yang sama, meskipun dari sudut yang lain. Di antara sekian lelaki yang mengenalnya, hanya Jaghana yang tidak pernah setitik pun berbuat tidak senonoh. Sekelebat bayangan dibagi selaksa pun tak pernah dirasakan. Baginda begitu ingin mencicipi. Bahkan Dewa Maut sempat tergoda dan berbuat di luar kemauannya. Upasara sendiri pernah tertarik dengannya.

Tapi tidak bagi Jaghana.

Sebutan paman kepadanya adalah dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Bahkan ketika mengobati Nyai Demang dengan cara yang tidak biasanya, kesan kurang ajar itu tidak ada. Walau tidak berarti dingin.

Segala puja dan puji. Segala doa dan mantra untuk seorang yang tak pernah berniat menonjolkan diri, tak pernah menginjak rumput, atau bahkan mengambil buah yang tak ditanamnya sendiri.

Seekor semut, seekor nyamuk, seekor cacing, bahkan mungkin angin tak pernah merasa dirugikan oleh Jaghana.

Kalau ada pertanyaan yang membersit adalah kenapa Dewa Yang Mahadewa berkenan memanggilnya sekarang? Kenapa bukan aku, Nyai Demang, yang merasa melakukan banyak penyimpangan dalam hidup? Kenapa bukan aku, Halayudha, yang menumpuk dosa lebih tinggi dari gunung? Kenapa bukan aku, Gendhuk Tri, yang membuat keonaran? Kenapa bukan aku, Upasara Wulung, yang menjadi ragu di saat yang menentukan dan menyengsarakan batin wanita yang dikasihi? Kenapa bukan aku, batu, yang merasa tanpa guna. Kenapa bukan aku, daun, yang sudah kering?

Barangkali dalam bentuk lain, pertanyaan itu juga tergema dalam sanubari Pangeran Hiang. Yang masih terkesima, seakan tak menyadari sepenuhnya bahwa pedang yang tadi digenggam yang menghentikan kehidupan Jaghana.

Ngwang maju setindak.

Untuk meyakinkan pandangannya. Untuk membuktikan bahwa matanya tidak menemukan setetes darah.

Matanya berkejap-kejap memandang ke langit. Bibirnya berkomat-kamit. Lalu, dalam satu tarikan napas, kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih.

Memandang sekitarnya.

Siap melakukan serangan yang berikutnya. Pedang tipis hitam yang telah mengantarkan tokoh-tokoh utama selama ini, seakan masih mencium kematian. Bergetar.

“Pangeran…”

Suara Nyai Demang terdengar serak.

“Tak ada yang mengemis kebaikan. Tak ada artinya persaudaraan.” Suara Halayudha terdengar lantang dan nyaring. Cepat sekali ia memotong ucapan Nyai Demang yang ingin mengembalikan ingatan Pangeran Hiang.

“Majulah kalian berdua. Ingsun akan menghadapi sebagaimana halnya Raja Tanah Jawa. “Kalau kalian tak mau mendahului, jangan salahkan Ingsun”

Kaki kiri Halayudha terentang maju.

Ngwang melayang. Kangkam Galih di tangannya menyabet perkasa, seakan kesiuran anginnya yang tajam mampu memapras ranting dan dedahanan. Akan tetapi agaknya Halayudha tidak gentar. Ia merangsek maju. Menyusup di bawah sabetan pedang, jari tangan kirinya yang terbuka meraup.

Menyerang dada sebelah kiri. Sambil berputar. Sehingga dalam satu gerakan, seakan tangan kanannya siap mencengkeram tengkuk Ngwang.

Ngwang yang berusaha menarik sedikit pedangnya, membuat Halayudha jungkir-balik menyelamatkan diri. Dua serangannya terpaksa ditarik kembali, juga putaran tubuhnya ke arah kanan, menjadi ke arah kiri. Berbalik ke tempatnya semula, dengan dua kaki secara keras menyapu.

Ngwang hanya menurunkan pedang ke bawah. Arahnya lurus bagai tongkat.

Halayudha melejit ke atas. Dua tangannya yang perkasa mengeluarkan tenaga pukulan memberondong, memancarkan hawa panas yang menyengat keras. Kesembilan jarinya menusuk- nusuk tajam, kadang menggoresi.

Hanya dengan cara itulah Halayudha mampu merepotkan Ngwang. Tapi selebihnya, semua serangannya kandas atau bahkan sangat menyulitkan dirinya. Hanya dengan menarik pedang untuk melindungi, tak ada terobosan serangan. Bahkan jika Ngwang memakai pedang untuk mengurung diri, dan sesekali melancarkan serangan, Halayudha akan makin terdesak.

Pertarungan yang tidak seimbang.

Pertarungan pincang, berat sebelah. Ngwang dengan pedang saktinya meredam habis serangan Halayudha. Keunggulan kembangan jurus dan permainan silat Halayudha menjadi kandas setiap kali Ngwang mengajak adu senjata. Kalah kekuatan dan posisi ini menyebabkan Halayudha dikuras kemampuannya, karena harus memilih serangan yang bisa mengacaukan lawan.

Ngwang seperti menikmati keunggulannya. Tak merasa perlu buru-buru menyikat lawan.

Malah sebaliknya, menunggu kesempatan yang baik. Karena tak ada yang perlu dipertaruhkan lagi.

Krekalasa Warna

HANYA soal waktu. Kesalahan yang paling buruk pun tak akan banyak mempengaruhi hasil pertarungan. Keadaan Halayudha lebih buruk dari Jaghana.

Meskipun demikian, Halayudha tidak kelihatan kehilangan semangat. Dengan terpontang- panting, dengan jungkir-balik untuk menyelamatkan nyawanya, daya serangnya yang kecil-kecilan masih bisa membuat Ngwang menahan nafsu kemenangan.

Untuk pertama kalinya, Halayudha dipaksa berada dalam keadaan mati-hidup yang tak bisa dihindari dengan kelicikan atau keculasan. Sekarang ini ilmu silatnya benar-benar diuji sepenuhnya.

Ngwang menggertak maju. Sabetan Kangkam Galih kini menerabas, menggunting jalan mundur Halayudha. Kegesitan yang pesat bisa diimbangi dengan ilmu mengentengkan tubuh yang belum ada tandingannya. Satu-satunya halangan bagi Ngwang hanyalah tidak terbiasa memainkan pedang tipis, sehingga mengganggu kelincahan geraknya. Namun kekurangan itu terisi dan terimbangi oleh kesaktian pedangnya.

“Om.”

Cegatan tusukan lambung langsung menyodet ke atas. Serangan yang mematikan karena Halayudha tak mungkin meloncat mundur atau bergeser ke kanan atau ke kiri. Kalaupun mencoba mengerahkan kemampuan tenaga air seperti Gendhuk Tri, Ngwang hanya tinggal memutar pergelangan tangannya.

Ujung pedangnya bisa menukik ke bawah. Halayudha tak akan bisa meloloskan diri!

Kalau sebelumnya Gendhuk Tri mampu menundukkan Ngwang, tidak berarti Gendhuk Tri mampu mengungguli Halayudha. Ilmu silat Gendhuk Tri menjadi unggul karena kekuatan tenaga air memang tak terduga. Dan saat itu Ngwang tidak seperti sekarang ini. Menggenggam erat Kangkam Galih.

Pegangan tangan Gendhuk Tri mengeras di jari-jari Upasara Wulung. Meskipun dipenuhi dendam pribadi, Gendhuk Tri tak tega melihat keadaan Halayudha.

Yang memilih meluncur ke bawah. Ujung Kangkam Galih beralih ke bawah. Jres!

Pedang itu menebas ke dalam tanah. Amblas sampai gagangnya. Sehingga Ngwang yang melayang di atas tanah tertarik ke bawah. Tubuhnya terseret kekuatan pedang sakti. Dengan kekuatan menyentak dan di luar dugaannya sendiri.

Perhitungan Ngwang atau siapa pun, tetap tak menyangka bahwa Kangkam Galih benar- benar sakti. Digerakkan dengan tenaga keras atau kuat, kesaktiannya berlipat. Sehingga pengubahan tenaga menusuk menjadi menghunjam, terus menusuk.

Tanah keras terlalu empuk bagi Kangkam Galih.

Akibatnya amblas terus ke dalam. Tubuh Ngwang tersedot ke bawah oleh kekuatan ayunan tikamannya.

Apa pun akibatnya, tubuh Halayudha tak mungkin lolos. Secepat apa pun ia bergerak, hunjaman tetap lebih cepat.

Tak mungkin memiringkan tubuh menghindari serangan. Itu akan mengurangi kecepatannya bergerak. Sebelum bisa miring, Kangkam Galih berhasil memanggangnya.

Begitulah perhitungan yang bisa terjadi. Nyatanya tidak.

Nyatanya tubuh Ngwang yang terjungkal, melayang di angkasa. Dada Nyai Demang seakan meledak.

Ada yang ingin diteriakkan, tapi mampat.

Dugaannya yang pertama adalah Pangeran Hiang yang turun tangan. Karena begitu tubuh Ngwang terjungkal bagai orang yang terpeleset dan tak mampu menguasai keseimbangan, ada bayangan yang begitu dekat berkelebat. Merenggangkan kaki berupa tendangan, dengan gerakan nggajul. Menendang dengan ujung jari kaki ke arah atas. Entah bagian tubuh mana yang terkena gajulan, sehingga arah terjungkalnya Ngwang jadi berubah. Dari terjerembap ke tanah menjadi melayang lagi ke angkasa.

Saat itu memang tubuh Pangeran Hiang berkelebat. Sebat, bagai kilat.

Tak terlalu berlebihan jika Pangeran Hiang dalam saat-saat kritis terobek nuraninya dan turun

tangan.

Namun jalan pikiran Nyai Demang mempertanyakan. Untuk apa Pangeran Hiang menendang

Ngwang, kalau jelas lawan sudah telanjur dikalahkan? Kalau Pangeran Hiang menahan Ngwang saat menghabisi Upasara Wulung, Gendhuk Tri, atau dirinya, Nyai Demang bisa menerima.

Tapi kalau Halayudha? Rasanya sulit diterima.

Dan lagi, rasanya Halayudha masih berkelebat.

Memang masih. Dengan sangat luar biasa Halayudha menyambar gagang Kangkam Galih, dengan tubuh masih meluncur, menyabetkan Kangkam Galih.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar