Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 33

 
Jilid 33

Memandang ke bawah. Menyapu seluruh balairung.

“Saya, Mahapatih Rake Dyah Halayudha, hari ini juga melanjutkan sabda Raja.

“Yang pertama, seluruh prajurit tanpa kecuali, seluruh senopati tanpa kecuali, akan didaftar, akan dicatat kembali. Untuk menandatangani lajang penguatan, surat kekuatan, yang menyatakan kesetiaan kepada Keraton, kepada Raja, dan kepada Mahapatih Halayudha sebagai pemegang kendali tata pemerintahan. Barang siapa menolak, dengan sendirinya berhenti sebagai prajurit. Hak, pangkat, dan derajatnya sebagai prajurit ditiadakan sampai turunan ketiga.

“Yang kedua, para prajurit dan senopati tidak dibenarkan melakukan sesuatu tanpa perintah dari atasannya. Semua tindakan, semua gerakan, berada dalam satu komando. Prajurit mengabdi kepada Keraton, bukan kepada ksatria atau brahmana, atau golongan yang lain.

“Yang ketiga, semua kegiatan tata krama perdagangan ditentukan dan diatur dari Keraton. Dalam hal ini diawasi langsung oleh Mahapatih atau yang ditunjuk. Tidak dibenarkan mengirimkan sendiri beras, palawija, emas, intan, tembaga, ke negeri seberang tanpa izin resmi. Tidak diperkenankan mengadakan pembuatan senjata, perlengkapan prajurit secara sendiri-sendiri. Semua ditentukan oleh Mahapatih.

“Yang keempat, semua tumbuhan yang tumbuh di wilayah Keraton, semua ikan dan binatang di Kali Brantas dan sungai lain, semua isi kandungan bumi dan air hingga ke Laut Selatan, adalah milik Keraton sepenuhnya. Kalian semua tanpa kecuali hanya diperkenankan untuk nggaduh, untuk menyewa, merawat, tanpa berarti memiliki. Semua senjata, kekayaan, harus dilaporkan untuk ditentukan apakah perlu membayar upeti atau tidak.

“Yang kelima, semua ketertiban dan keamanan menjadi tujuan kita bersama. Barang siapa melawan, menahan, menghalangi, apalagi membuat onar, akan dihabisi tanpa ampun. Untuk mencegah terjadinya keributan, prajurit yang ditunjuk akan mengawasi kembali semua perguruan silat, semua perkumpulan, dan tempat-tempat untuk berlatih kanuragan dan ilmu kidungan. Untuk ini, saya akan membentuk prajurit khusus guna melaksanakan tugas pengawasan dan menjaga agar tata tentrem kerta raharja.”

Prajurit Kosala

MALAM itu juga, Mahapatih Halayudha mengumumkan dibentuknya prajurit khusus yang diberi nama Satuan Prajurit Kosala. Para prajurit yang dipilih dan masuk dalam Barisan Kosala mempunyai wewenang untuk menangkap dan memeriksa siapa saja yang dianggap mencurigakan, tanpa pemberitahuan lebih dulu. Siapa saja dalam hal ini bukan hanya masyarakat, melainkan juga para prajurit atau senopati beserta keluarganya. Barisan Kosala bisa diartikan barisan yang menjaga kebaikan, kesejahteraan, ketenteraman, dan ketertiban. Kosala atau juga kausala mengandung pengertian itu.

Yang sedikit mengherankan ialah malam itu Mahapatih Halayudha menunjuk Senopati Bango Tontong untuk menjadi pimpinan Barisan Kosala.

Mengherankan, karena selama ini Senopati Bango Tontong tidak termasuk yang pantas menduduki jabatan tersebut. Bukan karena dianggap tidak mampu, akan tetapi Senopati Bango Tontong termasuk yang paling keras dicurigai. Terutama sejak pemberontakan Lumajang bisa ditumpas.

Dugaan yang keras adalah bahwa Senopati Bango Tontong yang berdiri di belakang semua pembocoran rahasia. Sehingga lebih tepat untuk dilengser, diturunkan pangkatnya atau dilepaskan semua jabatannya, atau bahkan dihukum mati.

Tak ada yang menduga justru sebaliknya yang terjadi. Dalam perhitungan beberapa senopati, rasanya tak mungkin Mahapatih Dyah Halayudha tidak mengendus hal ini.

Tak ada yang menduga. Bahkan Senopati Bango Tontong sendiri tak percaya pada apa yang didengarnya. Daun telinganya seperti melebar, mencoba menangkap kata-kata dengan lebih baik. Selama ini dirinya memang cukup dekat hubungannya dengan Mahapatih, dan bisa mengetahui sebagian besar gerak-geriknya. Ditambah dengan pengetahuannya yang luas, rangkaian tindakan Mahapatih bisa diduga ke mana arahnya.

“Senopati Bango Tontong, terimalah tanggung jawab sebagai pemimpin Barisan Kosala.”

Senopati Bango Tontong merayap. Benar-benar seperti merayap ke depan. Bersujud di kaki Mahapatih Halayudha.

“Laksanakan tugasmu, mulai malam ini juga.” Senopati Bango Tontong menyembah dalam.

Halayudha mengangguk, mengusap kepala Bango Tontong, dan membubarkan pertemuan.

“Malam ini, semua makanan, semua minuman, semua kegembiraan, bisa dinikmati. Sebagai tanda syukur kepada Dewa.”

Malam itu, segala jenis hiburan dipertontonkan dengan meriah. Tumpukan buah-buahan, sayuran, jajaran hewan ternak, bisa disantap secara leluasa.

Kegembiraan yang berbeda tajam dari para sentana dalem, keluarga Raja, yang menjadi waswas karena masih menduga-duga apa yang sebenarnya akan terjadi dengan pergantian pemimpin.

Dugaan-dugaan yang sesungguhnya tidak perlu ada. Karena sudah jelas, bahwa Mahapatih Halayudha, melalui Senopati Bango Tontong, sudah menunjukkan kegiatannya ketika matahari terbit.

Pasukan Kosala yang terdiri atas barisan inti yang selama ini menyertai Mahapatih Halayudha ke Lumajang, langsung dikumpulkan. Diberi kenaikan pangkat satu tingkat, semuanya tanpa kecuali.

“Tugas yang pertama adalah mencari dua putri calon permaisuri. “Tugas pertama dan satu-satunya.

“Kalian prajurit pilihan, sehingga tak ada alasan untuk tidak bisa melaksanakan perintah.”

Senopati Bango Tontong memerintahkan agar semua rumah, semua tempat, semua gundukan tanah di wilayah Keraton diperiksa. Kalau perlu bukan hanya masuk dan menggeledah isi rumah, akan tetapi membongkar tanah pekarangan atau atap. Yang mungkin bisa dijadikan persembunyian.

Untuk membedakan dari prajurit yang lain, Barisan Kosala mengenakan cawat. Dan hanya Barisan Kosala yang boleh mengenakan cawat.

Kehadiran dan gerakan Barisan Kosala dalam waktu singkat menjadi sesuatu yang menakutkan. Siapa saja tanpa kecuali tak berani menentang, tak berani membantah. Dan merasakan betapa barisan ini masuk ke dalam rumah, mengaduk dan mengeduk apa saja. Sehingga akhirnya masyarakat tidak berani mengatakan nama Barisan Kosala. Sebagai gantinya dalam bahasa percakapan pelan, mereka menyebutnya sebagai Barisan Kopina, atau Barisan Cawat.

Disebut dengan nama apa pun, Barisan Kosala langsung terasa kehadirannya. Upaya mengejar dua putri yang hilang bisa menjadi alasan untuk melakukan apa saja.

Bahkan Senopati Bango Tontong sendiri melakukan pembersihan dalam tubuh keprajuritan. Prajurit yang dulunya ikut memata-matai Senopati Halayudha, kini bisa diringkus.

Halayudha merasa puas menunjuk Senopati Bango Tontong sebagai perpanjangan tangannya. Pilihan yang tidak keliru. Senopati berkaki panjang, kurus, kecil, hingga disebut sebagai burung bangau tontong ini, orang yang tepat untuk melaksanakan perintahnya. Halayudha tahu bahwa pemimpin telik sandi yang dikirim dari Lumajang dulu adalah Senopati Bango Tontong. Karena selama ini, Halayudha tak banyak berbicara dengan senopati yang lain. Sehingga tak banyak pula yang mengetahui mengenai rencana sesungguhnya ke Lumajang.

Saat itu dengan gampang ia bisa saja menyeret dan menghukum mati. Tapi Halayudha justru tidak mau melakukan itu.

Ia menghitung secara terbalik dari kebiasaan umum.

Senopati Bango Tontong diberi jabatan yang tidak tanggung-tanggung. Dengan kekuasaan baru, Bango Tontong akan menyikat kawan-kawannya dulu. Dengan mudah bisa membaca siapa yang dulu mengikuti langkahnya.

Hal lainnya, Bango Tontong akan merasa tertolong nyawanya, terangkat kehormatannya. Dengan pengampunan tersembunyi ini, Bango Tontong justru akan berubah menjadi pembantu yang sangat loyal kepadanya.

Nyatanya begitu.

Dibandingkan pembantu utamanya yang lain, Bango Tontong luar biasa sigap dan mengikuti semua kata dan perintahnya.

Dalam waktu kurang dari sepekan, kelima perintahnya telah membuahkan hasil. Pengaturan perdagangan, pembenahan tata niaga, dan terutama sekali pengawasan, bisa berjalan dengan sangat baik.

Hanya saja, masalah utama masih tetap mengganjal. Yaitu hilangnya Tunggadewi dan Rajadewi.

“Bango Tontong, aku tahu siapa kamu,” kata Halayudha ketika memanggil Senopati Bango Tontong ke dalam dalem kepatihan. “Aku tahu ketika aku berangkat ke Lumajang, kamu hanya menyertai sampai Panjarakan, karena kamu kembali ke Keraton.

“Apakah betul kamu tidak mengetahui apa-apa mengenai hilangnya dua putri calon permaisuri?” “Duh, Mahapatih Rake Dyah Halayudha yang mulia.

“Hamba ini sudah bisa hidup kembali dengan pangkat dan derajat yang sangat mulia, apakah mungkin hamba menyembunyikan sesuatu dari Paduka?”

“Itu bukan jawaban.

“Aku suka menggunakan kata-kata seperti itu.” Halayudha mendesis.

Apa yang dilihat pada Bango Tontong seperti pada dirinya sendiri, dalam bentuk yang kerdil. Tapi tetap menunjukkan persamaan mengenai bagaimana menyusun kata-kata merendah, dengan wajah menunduk ke bawah.

“Kemungkinan yang utama adalah masuknya orang luar yang secara sengaja atau tidak telah mengacaukan keamanan.

“Tidakkah kamu membaui itu?”

“Hamba kembali ke Keraton ketika penculikan sudah terjadi. Paduka Mahapatih mengetahui hal itu.

“Akan tetapi hamba mencoba melihat apa yang terjadi. Dari korban prajurit jaga kaputren saat itu, rasa-rasanya ada tokoh luar yang sangat telengas yang menyerbu masuk.”

“Bango Tontong, kamu sudah mengetahui prajurit yang terbunuh di Simping. Juga yang mati di Lodaya. Adakah persamaan korbannya dengan itu?”

“Hamba tak berani memastikan, Paduka Mahapatih.

“Kalau diperhitungkan jumlah Barisan Api, ada kemungkinan salah satu dari yang bisa lolos. Karena kalau tidak salah jumlahnya seharusnya tiga belas. Akan tetapi yang tersisa, kalau tidak keliru, baru dua belas.”

Halayudha memandang tak berkedip.

Meskipun hatinya mencatat bahwa Bango Tontong mempunyai penyelidikan yang dalam dan mengetahui secara cermat.

“Akan tetapi, para korban tidak menunjukkan luka yang sama. Para prajurit jaga kaputren yang menjadi korban seperti terkena sabetan senjata tajam… yang sangat tajam. Bekas goresan dan tusukannya sangat panjang sekali. Ada yang sepanjang tubuh, dari ubun-ubun hingga ke kaki.”

“Aku mendengar laporan tentang hal itu.” “Hamba tadinya menduga bahwa penculik dan Tuan Putri masih berada di sekitar Keraton. Bersembunyi di suatu tempat. Akan tetapi nyatanya tak ada bayangannya. Bahkan jalan menuju gua bawah tanah Keraton tertutup rapat.”

Halayudha makin sadar bahwa selama ini mata, telinga, dan hidung Bango Tontong terbuka lebar- lebar.

Tentu saja Halayudha mengetahui bahwa jalan menuju gua bawah tanah Keraton tertutup. Karena ia sendiri yang memerintahkan!

“Jadi, menurut dugaanmu siapa?”

Prajurit Menghamba Satu

SENOPATI BANGO TONTONG menjawab dengan suara perlahan. “Paduka Mahapatih yang melakukan.”

“Aku?”

“Perhitungan hamba begitu. “Seharusnya memang begitu.”

Wajah Halayudha sedikit pun tidak berubah.

“Yang lebih penting, aku ingin mengetahui alasan dugaanmu.”

“Yang paling berkepentingan dengan dua putri calon permaisuri adalah Paduka Mahapatih. Hilang atau adanya kembali, menenggelamkan atau mengangkat nama Paduka di mata Raja.

“Dengan menghilangkan sebentar dan mengembalikan, Raja makin percaya kepada Mahapatih. Suatu perhitungan yang sederhana.

“Sama sederhananya dengan menyelusup masuk ke kaputren, dan sengaja membunuh prajurit untuk mengaburkan jejak. Tapi justru membuka petunjuk karena luka di tubuh para korban menunjukkan tusukan menyilang yang ganas. Ilmu yang hanya dimiliki oleh Paman Sepuh. Cara yang pernah Paduka tempuh ketika membunuh Toikromo.”

“Kamu cukup mengerti banyak hal, Bango Tontong.” “Seperti juga yang menimpa Praba Raga Karana.” Kali ini wajah Halayudha berubah dingin.

Tangannya mengepal.

“Apa yang kamu ketahui tentang Permaisuri Praba?”

“Ada seseorang yang membuatnya tak bisa mengutarakan apa yang terkandung dalam pikirannya. Ada yang membuntu. Seseorang itu hanya mungkin Paduka Mahapatih yang melakukan.

“Bagaimana caranya atau dengan cara apa, hamba tak mengetahui.”

“Kalau kamu mengetahui hal ini, kenapa tidak kamu laporkan kepada Raja?”

“Hamba harus melewati beberapa pemimpin untuk sowan Raja. Itu tidak memungkinkan. Belum tentu akan didengar, atau bahkan Paduka Mahapatih lebih dulu mengetahui dan melenyapkan hamba.”

“Kamu laporkan kepada Nambi?” Senopati Bango Tontong mengangguk. “Kenapa?”

“Hamba ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik Paduka. Itulah yang hamba lakukan. Sepenuh kemampuan, sepenuh kekuatan yang bisa. Karena hamba adalah prajurit yang mengabdi kepada satu tuan. Hamba lakukan sepenuhnya.”

“Ehem, dengan kata lain kamu ingin mengatakan hanya menghamba kepadaku?” “Kalau Paduka Mahapatih menerima.”

“Banyak persamaan di antara kita, Bango Tontong. Kamu cepat tanggap dan mengerti, bahwa kalau aku menemukan dan atau merasa kamu mempermainkan bayangan lain, aku akan memenggal kepalamu.

“Itu cara terbaik mengabdi kepadaku.

“Kuakui kamu bisa membaca situasi dan berterus terang tanpa malu-malu. Kamu mengakui busuk, buruk, culas, tapi tidak pada tuanmu. “Untuk sementara aku bisa menerima.” “Maaf, Paduka tak memiliki pilihan lain.

“Hamba adalah satu-satunya yang bisa diajak bicara sekarang ini. Yang lainnya merasa segan, takut, dan barangkali menutup telinga.”

“Bango Tontong, sebagai mahapatih aku tidak suka bicaramu yang kasar.” “Hamba mohon ampun, Paduka Mahapatih.”

“Asal tidak kamu ulang.

“Sekarang jelaskan, kenapa aku yang menculik dua putri calon permaisuri?” “Hamba sudah menyampaikan.

“Kalau bukan Paduka, harusnya Paduka.”

“Bagus juga perhitunganmu. Kalau kamu mengatakan sebelumnya, aku sudah melakukan. “Tapi kalau bukan aku, siapa yang lainnya?”

“Jagat ini terlalu luas.

“Akan tetapi yang bisa melakukan terbatas. Penculik dua putri calon permaisuri, pastilah yang mempunyai hubungan dengan, paling tidak, Permaisuri Rajapatni.”

“Upasara Wulung?”

“Besar kemungkinannya ksatria yang gagah dan sakti itu.

“Akan tetapi kali ini bukan. Upasara Wulung tidak akan menculik apalagi melakukan pembantaian.” “Gendhuk Tri juga bukan?”

“Maaf, dugaan Paduka sudah mendekati.

“Penculiknya pasti juga wanita. Yang merasa dekat dengan Permaisuri Rajapatni, sekaligus Upasara Wulung.”

“Nyai Demang, ilmunya tak…” Halayudha tersenyum.

“Ratu Ayu Azeri Baijani?” “Tepat dugaan Paduka.

“Dengan dugaan ini, rasanya masih ada kesempatan untuk memojokkan atau menarik muncul ke permukaan.”

“Apakah luka para prajurit jaga itu karena sabetan Galih Kangkam? Bisa dimengerti. Bisa dimengerti. “Bango Tontong, tak perlu memancing.

“Aku tahu ke mana Ratu Ayu menyembunyikan mereka.” “Desa Simping.”

“Bagus.

“Tidak jelek perhitunganmu.

“Mengapa tidak segera kamu arahkan ke sana?” “Menunggu saat yang baik.

“Kalau dua putri calon permaisuri berada di Simping, untuk sementara dalam keadaan aman. Tak kurang suatu apa. Hanya soal waktu untuk bisa menemukan kembali.

“Akan tetapi dengan menunggu sesaat, hamba bisa melihat air mana yang berombak. Air kegembiraan mana yang bergejolak, sehingga mudah dibaca mereka ini dari kelompok yang kurang mendukung Raja.”

“Ternyata begitu banyak?”

“Benar dugaan Paduka Mahapatih.

“Banyak yang kurang menerima pernikahan Raja.” “Perhitungan yang menarik.

“Tapi aku tak akan ambil tindakan apa-apa. Yang kurang menyukai Raja bisa menjadi bala bantuan bagiku di belakang hari. Bisa menjadi musuh di hari ini.

“Sekarang terlalu gampang menghancurkan mereka.

“Bango Tontong, siapkan prajurit. Aku sendiri akan menuju Simping.” “Apakah Paduka akan membawa panji-panji kepatihan?” “Aku tidak memerlukan pertimbanganmu.

“Di sana hanya akan kutemui Ratu Ayu, yang rasanya bisa kupersembahkan kepada Raja. Biar semua daya asmara dan kemampuan berahi menemukan kepuasannya.

“Saat yang baik untuk melakukan persiapan.”

“Maaf, Paduka melupakan bahwa masih ada ksatria yang tersembunyi yang bisa mendadak muncul.” “Upasara lagi yang kamu takuti?”

“Maaf, maaf beribu ampun.

“Sekarang ini masih ada Kiai Sambartaka yang tak keruan di mana sarangnya. Yang masih tersembunyi dan menunggu kesempatan baik untuk melampiaskan dendam dari tanah Hindia.

“Masih ada pula Eyang Puspamurti yang sulit diduga arahnya. Di samping para ksatria dari Perguruan Awan yang bisa menyulitkan.”

“Apa hebatnya mereka?

“Aku bisa menghadapi satu demi satu.” “Paduka bisa mengalahkan satu demi satu. “Tapi akan sulit kalau mereka bersatu.” “Perhitunganmu berlebihan, Bango Tontong.

“Tak ada yang bisa menjadikan alasan Kiai Sambartaka, Ratu Ayu, dan para ksatria Perguruan Awan bakal berjuang bersama.”

“Yang berlebihan bisa terjadi, Paduka lebih bisa memperhitungkan hal ini. “Paduka bisa menarik keluar semuanya tanpa berada dalam bahaya.

“Sebab kini, tanpa terasa, Paduka dan hamba berada di tempat yang terang. Lebih banyak yang melihat ke arah kita daripada kita melihat ke arah mereka. Sehingga akan lebih sempurna jika kita melangkah ke utara, tapi mereka menduga ke selatan.

“Cukup dengan membawa Permaisuri Rajapatni kemari, dua putrinya akan menyertai. Paling tidak diketahui di mana berada.”

Halayudha menggigit bibirnya.

Tak diduganya bahwa Bango Tontong memiliki ketajaman naluri untuk bersiasat lebih tinggi dari yang diduganya. Bango Tontong ternyata lebih julig, lebih licin, dan menyimpan kekuatan yang selama ini tak terbaca.

Rasanya hampir semua peta kekuatan di Keraton dikuasai dengan baik. Semua data dan peristiwa dipegang kuat, dan menumbuhkan kekuatan untuk mengatasi.

Pembantu seperti Bango Tontong bisa menjadi bahaya di belakang hari. Dan Bango Tontong agaknya juga menyadari hal ini.

Sehingga Halayudha perlu setingkat lebih hati-hati.

Dalam banyak hal. Karena dugaan dan perhitungannya yang selama ini dianggap melebihi yang lain, ternyata bukan miliknya sendiri. Seorang senopati tak terdengar namanya seperti Bango Tontong bisa juga membuat perhitungan.

Ini berarti permainan di atas permainan.

Berpura-pura di atas kepura-puraan. Bagaimana mengendalikan seorang seperti Bango Tontong, yang perangainya aneh, tapi banyak miripnya dengan dirinya?

Pukulan Graksa, Pukulan Petit

ANEH, karena Bango Tontong mengakui dirinya hanya mengabdi pada satu tuan. Menghamba buta pada satu orang. Mengakui culas, tetapi ternyata masih menyembunyikan puluhan keculasan yang lain.

Seorang yang sebenarnya menarik.

Senopati yang selama ini menghamba kepada Mahapatih Nambi, dan kemudian bisa beralih total. Karena pokok pendiriannya ialah mengabdi satu orang, siapa pun orangnya!

Karena sadar kakinya buruk dan kurus tinggi, dirinya memakai nama Bango Tontong. Secara terang- terangan dan menantang, bahkan memakai pengenal para prajuritnya dengan mengenakan cawat. Yang berarti memperlihatkan seluruh bentuk kaki. Ganjil.

Tapi kalimatnya bukan tak masuk akal.

Itu sebabnya Halayudha menyetujui Bango Tontong menjadi utusan resmi ke Sanggar Pamujan di Simping. Untuk memanggil Permaisuri Rajapatni. Sekaligus mengetahui nasib dua putrinya.

Pendapatnya yang lain yang segera masuk ke dalam pikiran Halayudha ialah disebutnya nama Eyang Puspamurti.

Tokoh sakti yang dikatakan angin-anginan ini bagi Halayudha masih tanda tanya. Posisinya bisa beralih dalam waktu sekejap. Lebih dari itu, ilmunya ternyata juga tak mudah diduga. Dengan disertai tiga muridnya, bisa-bisa di kemudian hari menjadi bencana yang merepotkan. Terutama secara pribadi! Karena merekalah yang mengetahui rahasia tubuhnya!

Halayudha tak bisa berbuat seperti Bango Tontong dengan jalan memamerkan kekurangannya!

Halayudha tidak gegabah dengan mencari tahu di mana Eyang Puspamurti. Justru sebaliknya, ia memakai pendekatan gula menarik semut.

Dengan cara itulah Halayudha mengumumkan bahwa Keraton saat ini sedang membutuhkan prajurit- prajurit baru. Kesempatan ini terbuka luas bagi siapa pun yang berminat, dan hari itu juga akan mendapat pangkat. Tak ada syarat berat yang mengikat, selain tidak tersangkut dengan keluarga yang pernah memberontak.

Tindakan yang diambil Halayudha juga mempunyai tujuan lain. Dengan masuknya para prajurit baru, tidak bisa tidak mereka ini masih polos dan akan mengikuti apa yang sedang berlangsung. Tanpa dibebani peristiwa masa lampau.

Perhitungan Halayudha tidak meleset.

Pada hari kelima, Eyang Puspamurti sendiri muncul dengan Mada Senggek, serta Kwowogen. Halayudha sudah menyiapkan agar mereka berempat diterima dan ditempatkan di suatu pondokan yang telah disediakan.

Pondokan yang terpisah dari yang lain, di mana Halayudha bisa mengetahui apa yang berlangsung tanpa mengganggu yang lain.

Halayudha juga memerintahkan untuk memenuhi segala kebutuhan Eyang Puspamurti tanpa kecuali, tanpa perlu menanyakan lebih dulu dan minta persetujuan yang lainnya.

Segala kebutuhan makanan, minuman, perlengkapan persenjataan diberikan tanpa batas. “Mada, kini sudah terkabul keinginanmu menjadi prajurit.

“Apa lagi yang akan kamu lakukan?”

“Eyang, selama  ini  saya bertiga hanya  menjadi  prajurit yang makan  enak, tidur nyenyak tanpa melakukan apa-apa. Apakah ini tidak berlebihan?”

“Saya tidak peduli dengan itu.

“Kalian bertiga adalah muridku. Umurku tidak panjang lagi. Sebelum aku mati, aku ingin kalian bertiga benar-benar mewarisi ilmuku.

“Sebab zaman telah bergerak sangat cepat. “Perhatikan baik-baik. Kalian masih ingat Barisan Api?” “Eyang sudah menceritakan selaksa kali.”

“Berarti masih kurang satu kali.

“Barisan Api yang hanya selintas itu membuka kemungkinan yang luar biasa. Mereka bisa melipatgandakan tenaga dalam secara luar biasa. Saya masih belum bisa memecahkan, meskipun dengan cara Upasara Wulung kita akan bisa mengalahkan.

“Sekarang tentang jurus Upasara Wulung.

“Saya yang mempelajari pukulan satu jurus, tetapi justru Upasara yang bisa memainkan.” “Eyang…”

“Kamu harus dengar baik-baik. “Umurku tak bersisa lama.

“Saya akan menunjukkan bahwa kalian bisa memainkan pukulan seperti yang dimainkan Upasara.” Eyang Puspamurti menyeret ketiga muridnya.

Halayudha menjilat bibirnya sendiri. “Dalam Kidungan Pamungkas, kekuatan mahamanusia itu tak terbatas sampai titik takhta. Berarti bisa apa saja, selain menjadi raja.”

“Eyang…” “Eyang…” “Eyang…”

“Pada Barisan Api, semua kehendak, semua kemauan diubah menjadi tenaga. Tenaga luar. Sedemikian bersatunya mereka, sehingga tenaga selusin bisa menjadi satu tenaga.

“Yang berarti memindahkan kekuatan dari satu orang atau lebih kepada diri kita. “Lihat baik-baik.

“Tangan kanan ini akan menyatukan semua tenaga yang ada dalam tubuh kita. Alirkan semua kekuatan ke ujung tangan kanan. Nah, begitu.

“Semua kekuatan.

“Semua hawa panas dalam tubuh. “Semua kemauan.

“Semua semua. “Nah, bagus.

“Gerakkan sesukamu.” Dug-dug-dug.

Tiga pukulan menyerang bersamaan, meskipun Kwowogen menunjukkan kecepatan yang lebih.

Halayudha mengakui bahwa murid didikan Eyang Puspamurti menghasilkan kemajuan yang pesat. Apalagi kalau diingat bahwa mereka bertiga bukan yang berawal dari tradisi persilatan. Terasa benar tenaga yang terlontar, dibandingkan ketika Halayudha bertemu mereka pertama kalinya.

“Ini bagus, tapi jelek.

“Itu pukulan manusia, tapi bukan mahamanusia.

“Itu pukulan Mada, Senggek atau siapa namamu, atau Kwo. Saya tidak memukul. Padahal tenaga itu bisa kita satukan. Tanpa kita berpegangan tangan. Tanpa ketahuan kita menempel satu sama lain.

“Sepenuhnya bisa terjadi dengan sendirinya. “Mari kita jajal.

“Lupakan dirimu, juga saya. Kita akan berkumpul menyatu seperti air, seperti awan, seperti angin, seperti petir. Menjadi kuat dan bertenaga karena bersama. Karena bersatu.

“Petir…”

Eyang Puspamurti mengambil napas dalam. Tangan kanannya bergerak, melingkar, sebelum meninju ke depan. Bersamaan dengan gerakan ketiga muridnya.

Dug.

Satu entakan keras.

Menghantam dinding kayu di ujung yang bergoyang!

“Ini jurus pertama. Kita namai Pukulan Petir atau Pukulan Graksa.” Halayudha menggaruk belakang telinganya.

Cara pengajaran Eyang Puspamurti sangat sederhana. Baik kata-kata penjelasannya maupun gerakan bersama yang dilakukan. Ingatan Halayudha tak bisa lain kepada dirinya sendiri. Yang demikian sengsara dan hina sebelum memperoleh ilmu.

Kalau saja dirinya dilatih oleh guru seperti Eyang Puspamurti…

Tapi yang membuat Halayudha menggaruk tengkuknya sambil menghela napas, terutama karena kemampuan Eyang Puspamurti menyatukan tenaga dalam. Keempat tenaga yang berlainan, menjadi satu pukulan.

Memang hasil pertama tidak terlalu mengejutkan.

Akan tetapi segera bisa terbaca dalam latihan pukulan berikutnya bisa menjadi ganas. Apalagi jika sudah dikuasai. Dengan pendekatan itu pula bukan tidak mungkin tenaga dalam yang dimiliki seluruh prajurit yang ada di sekitarnya bisa ditarik masuk.

Dimainkan seperti satu orang saja.

Ini yang menyebabkan tengkuk Halayudha serasa menjadi gatal tiba-tiba. Kalau perkembangan berikutnya memakai pendekatan ini dan menunjukkan hasilnya, sebelum pergantian tahun mereka telah menjadi prajurit yang sakti.

Halayudha tidak menyembunyikan kekagumannya. Tangannya bertepuk sehingga Eyang Puspamurti menoleh ke arahnya. Ketiga muridnya segera bersila dan menyembah.

“Pukulan Petir yang menyambar bumi.

50

By admin • Oct 31st, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, AA - Senopati Pamungkas II

“Hanya arahnya yang tidak jelas. Petir tidak menyambar secara ngawur, melainkan tubuh yang paling tinggi. Pukulan tadi kurang mengarah ke kepala, lebih tepat ke arah dada.”

“Rasanya aku pernah melihatmu. “Apakah kamu juga prajurit di sini?”

“Aku Mahapatih Rake Dyah Halayudha, Eyang.

“Aku yang bertanggung jawab memberi pangkat, derajat, dan makanan serta minuman. Yang memilih dan menghentikan prajurit.”

“Aku ingat. Mestinya kamu ini siapa.

“Tapi kenapa kamu ikutan? Siapa yang menyuruhmu?”

Memindah Sukma

HALAYUDHA berdiri dengan gagah.

“Sebagai prajurit, kalian semua harus tahu tata krama keprajuritan. Karena akulah yang memimpin, akulah yang bertanya. Kalau tidak ditanya, tidak diperkenankan sama sekali bertanya. Semua pertanyaan dan perkataan dariku harus dijawab dengan sendika dawuh. 

“Jelas?”

Mada, Senggek, serta Kwowogen, menyembah bersamaan dan mengatakan apa yang diperintahkan Halayudha. Eyang Puspamurti merasa bingung, menoleh kiri-kanan, menepuk jidatnya sendiri, akan tetapi akhirnya menyembah juga.

“Sendika dawuh, Mahapatih….” Halayudha melipat tangannya di dada. Udara tipis mendesis dari celah bibirnya.

Satu pijakan kemenangan yang menjungkir-balikkan kekuatan Eyang Puspamurti. Tokoh sakti yang tingkahnya ganjil ini sebenarnya tingkat kesadarannya masih tinggi. Tidak seaneh Dewa Maut yang linglung.

Hanya saja kini posisinya sangat repot. Posisi yang dipasang oleh Halayudha.

Dengan menerima keempatnya sekaligus sebagai prajurit, berarti meletakkan mereka sebagai bawahannya. Dasar serta sikap prajurit yang mengiya kepada atasan tak bisa ditentang.

Itulah yang terjadi sekarang.

Kalau Eyang Puspamurti tadinya sedikit ragu, karena masih sangsi harus bersikap memusuhi atau mengiya. Hanya ketika melirik kiri-kanan dan melihat ketiga muridnya sudah mengiya, tak ada jalan lain baginya.

Eyang Puspamurti tak ingin mengecewakan murid-muridnya. “Aku masih menghormatimu, dengan menyebut Eyang.

“Karena kebesaran namamu, karena kamu ksatria. Akan tetapi karena aku yang bertanggung jawab untuk penerimaan seluruh prajurit, aku tak akan membeda-bedakan.

“Rasanya Eyang bisa mengerti.” “Ya, Mahapatih.

“Tapi…”

“Tak ada tapi. “Aku suka melihat Eyang melatih prajurit baru. Aku memberi kesempatan seluas-luasnya. Kalau bisa aku membantu Eyang.

“Sebagai prajurit, Eyang harus menjawab pertanyaanku.” “Ya, Mahapatih…”

“Pukulan Petir yang baru Eyang ciptakan mempunyai persamaan dengan kekuatan Barisan Api. “Di mana persamaan itu?”

“Mahapatih, dalam soal ilmu silat…” “Dalam tata krama keprajuritan…” “Baik, baik.

“Persamaannya dalam menyatukan kekuatan. Menyatukan tujuan. Menyamakan diri sebagai mahamanusia.”

“Begitu gampang?” “Mahamanusia itu sederhana.

“Seperti kodratnya, terjadi dengan sendirinya. Yang membedakan hanyalah bahwa Pukulan Graksa ini menjadi satu pukulan, dan empat pukulan. Penyatuan kekuatan dari tarikan napas, ketiga tenaga dalam di perut naik ke tengah dada.”

“Apakah itu memakai tenaga dalam atau tenaga sukma?” Mata Eyang Puspamurti berkejap-kejap.

“Tenaga sukma?”

“Dalam Kidungan Pamungkas disebut-sebut mengenai sukma. Tenaga sukma, dalam wujudnya menjadi Ngrogoh Sukma Sejati, Merogoh Sukma Sejati. Mahamanusia berkuasa atas sukma….”

Eyang Puspamurti menggeleng. “Mahapatih bisa keliru.

“Itu bukan Kidungan Pamungkas. Itu Kidungan Paminggir. Sedangkan tata krama keprajuritan dan raja dalam Kidungan Para Raja.

“Tetapi aneh juga.

“Kenapa bisa berbeda tapi sama?

“Ya, ada kaitannya dan saling menerangkan. Sukma sejati bisa menjadi kekuatan, karena ia kekuatan itu sendiri. Saya biasanya hafal….”

Eyang Puspamurti bersungut.

Tubuhnya bergerak perlahan, membungkuk. Kedua tangannya terlipat di depan, pundaknya menutup. Tubuhnya seperti tergerak oleh embusan angin.

Halayudha duduk di sampingnya.

Sukma sejati, keluarlah tinggalkan tubuh

sebab tubuh itu wadah

sebab tubuh itu hanya wadah

sukma sejati, kamulah kekuatan bukan kaki, bukan hati

bukan tangan, bukan pikiran

sukma sejati akan menyatu dengan alam dengan kehidupan

sebab sukma sejati dalam mengatasi kematian

sukma sejati, keluarlah tubuhmu mengalah jadilah kehendakmu kehendakmu yang sejati

jadilah maumu mau yang sejati sukma sejati

bukan sukma, bukan nyawa bukan kemauan, bukan doa

sukma sejati roh segala roh inti segala inti

nyawa segala nyawa ada segala ada kidung segala kidung

sukma sejati sejatinya sukma kekal abadi selamanya…

Tubuh Eyang Puspamurti gemetar. Senggek yang mengikuti seperti terengah-engah. Mendadak tubuhnya mengejang hebat, tangannya meraup tanah.

Menelannya. Mada terkesiap.

Kwowogen berusaha menahan. Akan tetapi di luar dugaannya, kaki Senggek menendang keras. Tak ampun lagi Kwowogen jatuh terbanting.

“Jangan main-main. “Jangan mau dipermainkan. “Kalian dalam bahaya.

“Aku dalam bahaya.”

Teriakan Senggek demikian keras hingga semua prajurit mendengar apa yang dikatakan. Ketika mereka bergerak mendekat, Senggek langsung menerjang.

Pertarungan yang segera terjadi menandai awal keributan. Senggek tak bisa dikendalikan. Terus menyerang kiri-kanan. Tubuhnya terluka oleh tusukan dan sabetan, akan tetapi terus menerjang.

Bahkan Mada yang mendekat dilabrak.

Terpaksa membela diri. Kwowogen ikut bergabung. Keduanya memutar tubuh, menekuk tangan, sambil berputar.

Pukulan Petir. Menyambar keras.

Tubuh Senggek, yang tadi mengikuti gerakan Mada dan Kwowogen, memakai gerakan untuk memukul kepalanya sendiri.

Apa yang terjadi sangat mengerikan.

Kepala Senggek seperti terbelah. Meninggalkan warna hitam di sekujur tubuh. Halayudha menutup kedua tangan ke wajah.

Hatinya tergetar dahsyat. Bukan kengerian wajah yang terbelah serta berubah menjadi hitam seakan hangus yang membuatnya menutupi wajah. Melainkan guncangan yang lain.

Guncangan yang membuka mata batinnya.

Bahwa ilmu yang disebut sebagai Ngrogoh Sukma Sejati ternyata sederhana akan tetapi juga maha sulit. Apa yang dilihatnya menunjukkan bukti jelas. Senggek tak mampu mengikuti getaran sukma Eyang Puspamurti. Atau bisa juga diartikan mampu mengikuti. Sehingga kekuatan sukmanya bisa keluar. Namun pada saat itu, kekuatan tersebut justru menemukan adanya bahaya, yaitu kehadiran Halayudha. Ketegangan antara mengikuti kekuatan sukma dan kekuatan rasa bertarung. Karena belum menguasai sepenuhnya, Senggek menjadi tak terkendali. Mengamuk seperti kesurupan tenaga lain.

Padahal itu tenaga sukmanya sendiri.

Hal kedua yang tak kalah ngerinya ialah ketika Mada dan Kwowogen mencoba menahan serangan dengan Pukulan Petir. Pada saat itu, Senggek juga melakukan gerakan yang sama. Hanya sasarannya kepalanya sendiri. Dengan tiga tenaga menyatu, kepala Senggek remuk karenanya.

Seketika itu juga.

Titipan Asmara, Percakapan Sukma

TANGAN Halayudha masih menutupi wajahnya.

Di balik tangan, mata Halayudha masih tertutup. Akan tetapi seperti bisa melihat semuanya dengan terang. Bahwa ada kekuatan baru yang bisa dicabut ke luar, bisa menjadi sesuatu yang bahkan tak pernah bisa diperkirakan akan sampai ke mana.

Kekuatan sukma.

Kalau selama ini sumber utama kekuatan adalah tenaga dalam, betapapun juga masih bisa diperhitungkan kemajuan dan babakan yang bisa dicapai. Semakin kuat dan tahan serta tekun berlatih, semakin bertambah tenaga dalamnya. Perkembangan ini bisa diperkirakan dari lamanya bertapa atau melatih. Meskipun ada unsur kemajuan seseorang berbeda dari yang lainnya, akan tetapi tetap bisa diperkirakan.

Hal yang sangat berbeda dari itu adalah penggunaan kekuatan sukma. Perkembangannya bisa sangat luar biasa, karena ternyata melewati babakan yang selama ini dikenal. Bisa menjadi loncatan tak terkendali ke suatu wilayah yang belum bisa diramal kapan berhentinya dan pada bagian yang mana.

Halayudha mengenal dari dua kejadian penting.

Pertama, pertemuannya dengan Dewa Maut yang bisa merogoh sukma dan menjadikan dirinya orang lain. Dengan kekuatan sukma yang menurut Dewa Maut berintikan kepada katresnan atau cinta kasih, sukmanya bisa menembus batasan ruang dan waktu. Bisa menjelma menjadi orang lain.

Kedua, pertemuannya dengan Eyang Puspamurti dan ketiga muridnya. Kekuatan sukma kali ini mendapatkan bentuknya sebagai kekuatan jasmani, yang bisa disatukan menjadi satu pukulan. Bukan sekadar satu rasa, tetapi satu sukma.

Bahaya penggunaan kekuatan sukma ternyata juga mengerikan. Pada Dewa Maut, berakhir dengan kematiannya sendiri. Pada Senggek, berakhir dengan kematian yang mengerikan.

Semua ini isyarat adanya kekuatan yang hebat akan tetapi sekaligus juga bahaya yang gawat, tanpa disadari oleh yang bersangkutan.

Halayudha menurunkan tangannya setelah mengusap wajah. “Eyang, mari kita masuk ke kepatihan.

“Di sana kita bisa berlatih dengan lebih tenang.” “Jagat, jagat telah berubah.

“Sudah datang saat di mana mahamanusia lahir.” “Eyang, mari…”

“Kamu benar, Mahapatih.

“Kidungan Paminggir ajaran Eyang Sepuh adalah bagian yang disempurnakan Sri Baginda Raja dalam Kidungan Para Raja, yang disatukan dalam Kidungan Pamungkas oleh Mpu Raganata. Ketiganya sebenarnya satu.

“Kamu benar. Ketiganya berbicara tentang mahamanusia. “Sungguh luar biasa.

“Selama ini aku hanya melihat dari satu sumber. Dan meniadakan yang lain. Padahal ketiganya sama. Sosok yang sama. Yang pernah berada dalam puncak kejayaan kekuatan sukma. Sri Baginda Raja akan terus dikenang dan ada di sepanjang segala zaman, karena apa yang telah dilakukan sebagai raja gung binatara, raja besar. Eyang Sepuh memakai kekuatan sukma untuk moksa, untuk hidup bersatu antara raga dan jiwa. Mpu Raganata, yang lebih sakti dari keduanya, dengan menggabungkan, menyatukan perbedaan yang ada. Mpu Raganata hadir ketika menyingkirkan diri. Sukmanya melebur.

“Sungguh luar biasa.

“Eyang Sepuh meniupkan kekuatan, membesut awal persilatan dengan Kitab Bumi menjadi sumber ilmu kanuragan. Sri Baginda Raja meniupkan kebesaran seorang raja. Dan Mpu Raganata sejak semula menjadi pamong, yang mengabdi kepada Sri Baginda Raja, tetapi juga pamong pemikiran para pendeta. Sejak semula sudah disingkirkan Sri Baginda Raja, akan tetapi selalu menyertai dan berada di sampingnya. Sejak semula diemohi para ksatria dan dijauhi para pendeta, akan tetapi tetap menjadi bagian dari mereka.

“Mpu Raganata yang weruh sadurunging winarah, mengetahui sebelum mengalami, mengerti sebelum terjadi, adalah raja sekaligus pendeta sekaligus ksatria, yang tidak ketiga-tiganya.

“Hebat, sungguh hebat.

“Tidak salah aku memilih Kidungan Pamungkas, sebagai kitab terakhir sebagai bacaan ajaran utama. “Luar biasa.”

Halayudha maju setindak.

“Eyang lupa, bahwa Eyang adalah titisan Mpu Raganata.” “Aku?

“Aku ini, Mahapatih?” Halayudha mengangguk.

“Ya, sesungguhnya begitu, Eyang Puspamurti.

“Dengan kekuatan sukma Eyang, pertemuan dan penyatuan dengan Mpu Raganata bukan hal yang mustahil.

“Mari kita berlatih, mencari pertemuan di kepatihan.” “Ya, Mahapatih.”

Tangan Eyang Puspamurti memberi tanda kepada Mada dan Kwowogen, lalu berjalan di samping Halayudha, setengah langkah di belakangnya. Wajahnya menunduk, kedua tangannya rapat di dada.

“Kamu cukup cerdas dan pintar, Mahapatih.

“Dari mana Mahapatih mengetahui kekuatan sukma?”

“Dari bibit kawit yang bernama katresnan, cinta kasih. Yang menggerakkan Eyang menerima murid- murid dan mengajarinya secara penuh. Tanpa katresnan, untuk apa Eyang Puspamurti melakukan itu semua kalau selama ini cukup aman berada dalam Keraton? Untuk apa Eyang rela menjadi prajurit?

“Untuk apa sebagai Mahapatih saya mengurusi langsung prajurit yang baru? “Untuk apa mengabdi kepada Keraton, dan bersedia hanya sebagai mahapatih?” Eyang Puspamurti menggeleng, sambil mengelus rambutnya.

“Katresnan. Memang.

“Tapi omonganmu ngawur. Katresnanmu berbau busuk mengandung pamrih, mengandung permintaan dan pemaksaan, bukan keikhlasan.

“Dari pertama kamu sudah busuk.

“Aku bisa membedakan busuk dan bau dengan tidak busuk dan bau harum. Dengan keluhuran. “Mpu Raganata sudah sampai tingkatan menyatukan itu.”

Keduanya melangkah sampai ke dalam kepatihan. Menuju samping pendapa, di bawah naungan pohon sawo. Mada dan Kwowogen duduk agak di belakang. Menunduk, menunggu, mendengarkan.

“Mari, Eyang, kita pergunakan kekuatan sukma untuk menyatu dengan Mpu Raganata.” Halayudha bersemadi.

Tangannya memegang tangan Eyang Puspamurti, sambil membisikkan kidungan yang menjadi mantra Dewa Maut. Yang merupakan gabungan dari lirik ketiga kitab yang dibacanya tidak secara berurutan.

Tubuh Eyang Puspamurti bergerak. Bergetar.

Pandangan matanya tajam, membuat Halayudha menarik kembali tangannya. “Kamukah Mpu Raganata?

“Bukan, bukan. Kamu kosong, karena kamu tak mau memperlihatkan sukmamu. Aku adalah Halayudha yang ingin mengetahui kekuatan sukma sejati dengan memakai sukma orang lain. Aku bisa mencapai karena dasar ilmuku tak jauh dari itu. Ajaran Paman Sepuh, Gajah Mahabengis. Mendapat keterbukaan, menjadi tinarbuka karena Dewa Maut yang memiliki dasar katresnan, ajaran welas asih.

“Akulah Halayudha. “Dan kamu siapa? “Siapa?”

Halayudha tak bisa segera menyahut. Sewaktu bersama Dewa Maut, Dewa Maut sendiri yang menganggap Halayudha adalah Dewa Maut. Kini Halayudha ingin menjawab Eyang Puspamurti. Tapi bibirnya kelu.

“Kamu anak Dewi Renuka? Kamu anak lelaki yang membunuh ibu yang mengandung mu sembilan bulan sepuluh hari? Siapa yang kamu cari? Yang paling jahat, paling hina, paling berdosa, paling celaka, yang kalah yang bersenjatakan luku?

“Jadi kamu tak punya nama, selain disebut Tenggala Seta?”

Halayudha terbatuk keras. Dadanya menjadi sakit. Ada irisan menyamping yang membelah tubuhnya dari atas ke bawah. Pengalaman demi pengalaman berhubungan dengan kekuatan sukma sejati, membuatnya terseok-seok.

Jelas bahwa Eyang Puspamurti tak mengetahui segala apa yang ada hubungannya dengan yang dialami. Karena selama ini bersembunyi di dalam Keraton. Sama mustahilnya mendengar kalimat percakapannya dengan Dewa Maut.

Akan tetapi sekali meneropong, langsung mengetahui bahwa ada nama Dewi Renuka. Lebih jauh lagi, bahkan menyebutkan nama Tenggala Seta, atau bisa berarti bajak atau luku berwarna putih. Tidak luar biasa andai saja kata tenggala, yang jahat, yang hina, yang berdosa, yang celaka, dan yang kalah, mempunyai kata yang berarti sama, yaitu halo.

Tak mungkin kebetulan bisa terjadi beberapa kali. Bukan hanya persamaan nama melainkan juga kata seta, yang mengingatkan akan ucapan Dewi Renuka ketika pertama kali mengajak bermain asmara dengannya. “O, ternyata putih, tidak seperti tubuhmu.” Itu yang dulu diucapkan oleh Dewi Renuka. Dan hanya bisikan lirih itu, tanpa kata lain.

Sambaran Pukulan Petir tak akan mengguncangkan Halayudha seperti sekarang ini. Justru di saat berada dalam kondisi puncak kekuasaan, dirinya dilempar kembali ke dalam masa lalu.

“Apakah kamu putraku?” “Aku tak tahu.

“Namaku Tenggala Seta. Aku adalah titipan asmara yang tercipta karenanya.” “Di mana kamu sekarang, Tenggala Seta?

“Di mana… di mana ibumu?” Eyang Puspamurti terbatuk.

Tubuhnya bergoyang. Dengan satu helaan napas, wajahnya kembali seperti sediakala. “Mada, Kwowogen, perhatikan baik-baik.

“Setiap kali adalah ajaran. Aku sedang melatih untuk mengetahui kekuatan sukma. Tetapi aku sendiri tak sepenuhnya bisa mengetahui apa yang terjadi.

“Kamu perhatikan baik-baik.” “Eyang…”

“Eyang…”

“Usiaku tak panjang lagi. Aku harus menyelam hingga tuntas, agar kamu mengetahui semua yang harus kamu ketahui.

“Mahapatih, sampai di mana kita?” Halayudha menutup bibirnya.

“Sampai Tenggala Seta berada di mana? “Ibunya ada di mana?”

Pandangan Eyang Puspamurti berkejap-kejap. “Siapa nama yang tak pernah kudengar itu? Apa urusanmu dengan ibunya?

“Kwowogen, kamu cepat pintar dan kuat, tapi jangan terlalu memperhatikan hal yang tak berguna. Aku minta kamu memperhatikan ajaranku, bukan orang lain.”

Halayudha berusaha menguasai diri.

Satu hal yang membuatnya sedikit lega. Eyang Puspamurti bisa merogoh sukma, akan tetapi peristiwa yang dialami tidak mengendap dalam ingatannya. Ini agak berbeda dengan Dewa Maut yang bisa mengendalikan kemampuan sukma.

Sementara Kwowogen dan Mada mendengar akan tetapi tak mengetahui hubungan yang ada, dan malah surut kembali karena disalahkan.

“Terima kasih, Eyang.

“Sejauh kemampuan yang ada, titipan asmara akan saya rawat sebagaimana kodrat yang ada.”

“Bukan kepadaku, kepada dirimu sendiri,” getaran suara Eyang Puspamurti berbeda kembali. Seolah ada kekuatan lain yang masuk dan menguasai dirinya, atau kekuatannya sendiri yang keluar dan menguasai sekitarnya.

Kedua tangannya terentang. Mada dan Kwowogen mendekat. Bersentuhan telapak tangan.

Halayudha mendekat, menyatukan tangan, sehingga membentuk lingkaran. Mula-mula tidak dirasakan sesuatu yang luar biasa, akan tetapi perlahan pikirannya terseret kidungan Eyang Puspamurti, yang bisa diikuti, karena ujung kata-katanya bisa dikenali, meskipun berasal dari tiga kitab yang digabung.

Sukma sejati

bukan nyawa, sebab nyawa bisa pergi sukma sejati

roh suci

jadi bersama jagat sukma sejati

adalah sang pencipta yang menjelma

yang tercipta bersama jagat menguasai isinya….

Sukma Sejati, Sukma Kekal Abadi

HALAYUDHA merasa getaran tangannya tidak bisa seirama dengan yang lainnya. Merasa bahwa dirinya tidak bisa masuk sepenuhnya, mengalir dan menyatu.

Akan tetapi bisa mengikuti irama dan isi kidungan.

Yang dinamai sukma sejati bukan sukma sejati

karena sukma sejati itulah arti

tak disamai roh, nyawa, budi, sebab sukma sejati kekal abadi dalam telur sukma sejati

adalah kulit, putih dan kuning nya dalam buah sukma sejati

adalah kulit, buah dan bijinya dalam kehidupan

adalah lahir, nasib dan matinya setiap kali tumimbal lahir setiap kali ada kembali

seperti jagat, seperti matahari seperti Dewa, seperti udara sukma sejati

ada selalu

padamu, padaku, pada apa saja sukma sejati itu wahyu

yang selalu diwahyukan kembali itu arti kekal abadi

mengatasi lahir, nasib dan mati

pembaruan kehidupan, nasib dan kematian dalam sukma sejati

selalu sekali

selamanya….

Halayudha menarik telapak tangannya. Menghela napas. Membiarkan ketiga yang lain membentuk lingkaran. Baginya lebih dari cukup untuk mengenali, untuk bisa berada dalam pencarian dan penjelasan sukma sejati. Ia tak ingin masuk lebih dalam, seperti Eyang Puspamurti, seperti Dewa Maut, yang belum terbaca akan bermuara ke mana.

Halayudha menjauh dengan jalan berjongkok. Sekitar lima tombak dari tempat Eyang Puspamurti, Halayudha berdiri dan memerintahkan para prajurit untuk menjaga dan melayani Eyang Puspamurti, Mada, serta Kwowogen.

Perintahnya yang kemudian adalah meminta daftar para prajurit yang baru. Halayudha tidak mengatakan ia mencari nama Tenggala Seta, karena hal itu akan dilakukan sendiri.

Sesuatu yang menurut perkiraannya masuk akal. Meskipun agak terlambat, usia Tenggala Seta tak jauh berbeda dari Mada atau Kwowogen. Yang kalau tidak mempunyai pekerjaan tetap selama ini, melihat kemungkinan terbaik untuk masuk menjadi prajurit.

Sebenarnya Halayudha setengah percaya setengah tidak terhadap apa yang didengar dari Eyang Puspamurti. Akan tetapi ia tak bisa menyembunyikan rasa hubungan darah yang mendesak secara tiba-tiba.

Selama ini Halayudha merasa hidupnya sendirian. Sangat sendirian, tanpa sanak saudara, tanpa teman dekat sekalipun. Dan kini tiba-tiba ada suara yang mengatakan bahwa bukan tidak mungkin dirinya mempunyai darah keturunan secara langsung.

Panggilan yang ganjil yang belum didengar selama ini. Keinginan untuk menemukan kembali akar yang telah menjadi buah dan berkembang.

Namun semua itu tidak mempengaruhi penampilannya.

Halayudha tetap Halayudha yang kini adalah Mahapatih Keraton Majapahit.

Melangkah masuk ke ruangan, Halayudha sudah menjadi apa yang diimpikan. Melangkah dengan gagah, mendengarkan laporan, dan memberikan perintah.

Yang membuatnya sedikit mengerutkan kening adalah laporan dari Senopati Bango Tontong yang mengatakan bahwa Permaisuri Rajapatni sudah meninggalkan Simping.

Tidak ketahuan berada di mana.

Sehingga tidak bisa memenuhi permintaan Mahapatih Halayudha. “Dan kamu percaya begitu saja, Bango Tontong?”

“Begitulah hamba, Paduka Mahapatih. “Karena yang mengatakan adalah Permaisuri Indreswari sendiri yang berkenan menemui hamba dan menanyakan mengenai putranya, Raja Jayanegara.

“Yang barangkali akan membuat Paduka tertarik ialah bahwa sebelum kepergian Permaisuri Rajapatni, Ksatria Upasara Wulung datang ke Simping. Permaisuri Indreswari melihat sendiri, karena Upasara Wulung tidak datang secara sesideman atau sembunyi-sembunyi. Upasara Wulung datang menghadap Baginda.

“Permaisuri Indreswari melihatnya sebagai ancaman bagi Raja.

“Paduka Permaisuri Indreswari tidak diperkenankan hadir dalam pertemuan tersebut.” Halayudha menarik udara keras lewat hidungnya.

“Ulet nyawa Upasara Wulung.

“Aku jadi ingin mengetahui sampai di mana Dewa selalu melindunginya dalam saat seperti sekarang ini.

“Hmmm, di jagat ini susah menemukan lawan setanding seperti dia. “Tapi itu soal lain.

“Bagaimana dengan perhitunganmu bahwa dua putri calon permaisuri diculik oleh Ratu Ayu?” “Tidak meleset sedikit pun, Paduka.

“Putri Tunggadewi dan Rajadewi berada di Simping, menempati kamar yang tadinya dihuni Permaisuri Rajapatni.

“Mengenai Ratu Ayu Azeri Baijani…”

Senopati Bango Tontong agaknya sengaja menggantung kata-katanya. Halayudha yang mengetahui cara-cara seperti itu menjadi gondok. Akan tetapi bukannya memperlihatkan wajah murka, sebaliknya Halayudha sedikit memiringkan kepalanya. Seolah benar-benar sangat tertarik kepada apa yang akan dikatakan Senopati Bango Tontong.

Halayudha tahu bagaimana menempatkan dirinya untuk berpura-pura hanyut.

“Mengenai Ratu Ayu, hamba mempunyai pikiran untuk mengadu persoalan dengan Permaisuri Rajapatni. Saat ini hamba sedang mengundangnya ke Keraton.

“Maaf, Paduka Mahapatih.

“Kelancangan hamba hanyalah untuk kebesaran Mahapatih.” “Apa ada gunanya?”

“Kalaupun tidak, sekurangnya bisa memanaskan api kecemburuan dan pertarungan.

“Ratu Ayu nekat melakukan penculikan ke kaputren, semata-mata karena merasa dirinya istri Upasara Wulung. Bagian dari kegiatan Raja Turkana. Apa yang tidak disukai Upasara, tidak akan disukai pula oleh Ratu Ayu.

“Itu alasan Ratu Ayu menculik dua putri calon permaisuri.

Akan tetapi sekarang pastilah sangat kecewa. Karena Raja Turkana yang sangat dibela dan dihormati, muncul di Simping untuk menemui Permaisuri Rajapatni.

“Bibit ini bisa dipanaskan. “Bisa membakar.”

“Apa ada gunanya?”

“Upasara Wulung disebut sebagai lelananging jagat, dan selama ini terbukti ilmu silatnya belum ada yang menandingi, apalagi mengalahkan.

“Keunggulannya yang menjulang ke langit tidak diimbangi dengan masalah asmara. Justru sebaliknya, Upasara Wulung menjadi tidak menentu sikapnya kalau dibelit persoalan asmara.

“Inilah alasan hamba.” “Apa ada gunanya?”

“Gunanya untuk menyudutkan Upasara Wulung dalam situasi di mana ia mengambil sikap yang sembarangan. Misalnya menghancurkan ilmunya, tenaga dalamnya, atau justru melarikan diri, bersembunyi di Perguruan Awan.

“Dengan demikian akan berguna, karena Mahapatih tidak perlu turun tangan untuk mengatasi.” “Ada gunanya memelihara kamu.”

“Maaf, Mahapatih, akan lebih berguna lagi jika Mahapatih tidak memecah kekuasaan yang ada dengan Senopati Krewes.” “Jabung Krewes aku adakan karena aku harus berjaga dari siasatmu yang licik. “Bango Tontong, aku mengakui kamu pintar. Itu sebabnya aku berjaga-jaga.

“Aku tahu Jabung Krewes tidak menghamba kepadaku, tetapi ia lebih tidak menghamba kepadamu. Ia memiliki tradisi sendiri untuk mengabdi.”

“Kalau Paduka Mahapatih tidak mempercayai hamba sepenuhnya, hamba pun…” “Kamu tidak bisa memaksaku.

“Tetapi aku akan menarik Senopati Jabung Krewes ke dalam.” Senopati Bango Tontong menyembah hormat.

Samar terlihat sunggingan senyuman Mahapatih Halayudha. Benar dugaannya dan tepat strateginya, dengan memajang dan menarik kembali Senopati Jabung Krewes.

Permainan Menyembunyikan Giwang

DENGAN ditariknya Jabung Krewes dari pengawasan lapangan atas Barisan Kosala, sebenarnya terjadi permainan menarik yang diam-diam antara para pemimpin. Terutama tarik-menarik kekuatan antara Mahapatih Halayudha dan Senopati Bango Tontong. Tarik-ulur terlibat di permukaan, tetapi juga menunjukkan adanya pertentangan di bawah.

Halayudha mempunyai perhitungan bahwa Bango Tontong tak bisa dilepaskan begitu saja. Ia dipajang untuk memimpin Barisan Kosala yang mempunyai kekuasaan leluasa, dan ternyata terlalu cerdik untuk bisa mempergunakan kedudukannya. Untuk bisa tetap mengawasi Bango Tontong, Halayudha sengaja memasang Jabung Krewes.

Dan ternyata Jabung Krewes bisa menjalankan peranannya. Bango Tontong tak bisa leluasa seolah tanpa batas dalam bergerak. Sekurangnya untuk mempertanggungjawabkan. Bango Tontong bisa memeriksa, menggeledah setiap rumah, menahan semua orang, akan tetapi ada yang mengawasi sejauh mana tindakannya sebagai penjaga ketertiban dan keamanan tidak disalahgunakan. Jabung Krewes mampu menjadi pengawas, dan ini merepotkan Bango Tontong.

Sehingga Bango Tontong mengajukan usul agar Jabung Krewes ditarik mundur. Usul yang lebih dikenal Halayudha sebagai senggara macan, atau auman harimau, untuk menakuti, untuk menggertak.

Halayudha bukan tokoh yang bisa digertak. Ancaman itu terlalu kecil baginya. Ia bisa balik menggertak dan menunjukkan kekuasaannya. Akan tetapi, itu tidak dilakukan. Justru sebaliknya, Halayudha menarik mundur Jabung Krewes. Seolah memenuhi tuntutan Bango Tontong-itu pun dengan cara seolah tak sepenuhnya rela. Yang diharapkan Halayudha dengan sikap semacam itu, Bango Tontong merasa mendapat angin, seolah bisa menekankan keinginannya. Bisa memaksakan kehendaknya. Pada saat seperti itu biasanya ia menjadi sembrono, kurang berhati-hati. Sehingga bisa terbaca semua isi hatinya.

Itu perhitungan Halayudha menarik mundur Jabung Krewes. Lain lagi perhitungan Bango Tontong.

Ternyata ia mempunyai langkah terencana yang tidak diduga Halayudha. Bango Tontong menyimpan langkah tersendiri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar