Senopati Pamungkas Buku - II Jilid 25

Jilid 25

“Menjadikan dirinya.”

“Mengubah ilmu menjadi ngelmu. Sehingga tak kelihatan lagi memainkannya, atau memilikinya.” “Paman belum menjawab.”

“Tidak selalu harus ada jawaban.”

Kembali percakapan seperti tak menemukan ujung-pangkal. Tapi kembali lagi Upasara menemukan jawaban samar yang kembali akan berwujud sebagai pertanyaan.

Jawaban yang juga sekaligus pertanyaan yang selalu terjelma dalam diri Dewa Maut. Dalam sikapnya sehari-hari, dalam omongannya yang melantur.

Dalam tindak-tanduknya ketika menanam biji mangga, biji jambu, memakan buahnya, menggiring ikan di kubangan yang dibuatnya, berdiri tegak lurus menjadi pohon, menjadi rumput, berendam dan bercakap dengan penghuni air dalam bahasa yang tak dimengerti Upasara. Kalau tadinya Upasara mengira Dewa Maut benar-benar kehilangan akal, sekarang muncul pengakuan baru. Dewa Maut tetap Dewa Maut yang kehilangan akal, yang seolah bertindak tidak waras. Akan tetapi ketidakwarasan kali ini mempunyai makna dalam pandangan Upasara.

Menjadi ikan, pohon, udara adalah bagian dari laku yang dipilih secara total dalam diri Dewa Maut. Sedemikian menyatu pendekatan itu, sehingga sukma sejati bisa mengikuti apa yang diinginkan. Yang sedikit menggembirakan hati Upasara ialah kenyataan bahwa pencapaian yang diperoleh Dewa Maut menemukan bentuknya yang padu sewaktu Upasara datang. Kalau selama ini seakan larut tidak keruan ujung-pangkalnya, sekarang lebih bisa diarahkan. Hanya arahan yang dipilih Dewa Maut adalah arahan yang tidak terarah.

Menyadari hal ini Upasara tidak memaksa Dewa Maut berlatih tenaga dalam, atau bermain silat.

Upasara melakukan sendiri, sedangkan Dewa Maut memilih apa yang menjadi dorongan batinnya.

Datang dan pergi.

Bercerita sendiri. Mengidung.

Masuk Keraton dan kembali lagi.

Menyampaikan kabar yang didengar. Kalau maunya begitu.

Pada Awalnya Krenteg

KALAU saja seketika itu Dewa Maut bercerita, akan berbeda jalan hidup perjalanan Permaisuri Rajapatni.

Akan tetapi, Dewa Maut tidak bercerita seketika.

Beberapa saat kemudian, barulah Dewa Maut menuturkan bahwa sewaktu ia masuk ke Keraton, ia mendengar bahwa Permaisuri Rajapatni akan melihat kembali kuburan Upasara Wulung. Makanya ia menuliskan ucapan selamat datang, salam pambagya.

Tulisan di pohon itu memang terbaca oleh Gendhuk Tri dan Ratu Ayu Bawah Langit, akan tetapi lebih banyak menyisakan pertanyaan tokoh mana dan apa maksudnya menuliskan di kulit pohon serta dedaunan.

“Paman membuat banyak orang bingung. Bagaimana mungkin Paman membiarkan Permaisuri, Gendhuk Tri, Ratu Ayu, Nyai Demang, atau yang lainnya membawa-bawa tulang-tulang saya, padahal Paman mengetahui sendiri saya masih hidup?”

“Dari mana kamu tahu mereka bingung?”

“Mereka berombongan datang untuk meyakinkan itu tulang saya.” “Dari mana perasaan bingung?”

Upasara mengangguk lembut. “Kenapa harus bingung?

“Mati atau tidak, itu tidak membuat bingung. Bingung atau tidak, itu tidak membuat mati. “Kenapa kamu tidak ikut keluar gua?”

“Kalau saya tahu dicari, saya akan keluar.”

“Dari mana kamu tahu dicari kalau tidak keluar gua?”

Belum sempat Upasara membenarkan kalimat Dewa Maut, yang berkata sudah mengucapkan kalimat lain.

“Tanpa keluar gua, kamu bisa tahu.

“Itu yang dinamakan Ngrogoh Sukma Sejati. Biarkan sukma berjalan leluasa, tanpa terikat raga.

Raga kita ini tidak mati ditinggalkan nyawa. Nyawa ini tetap ada, tanpa memakai raga.

“Pada awalnya adalah krenteg. Adalah niat. Adalah keinginan. Adalah ada. Adanya krenteg, atau karep, atau kehendak, karena diadakan.

“Kenapa kamu tidak mengadakan?” “Paman, saya tidak mengetahui….” “Kenapa kamu tidak mengetahui? “Tahu itu ada.”

“Kalau Paman tahu, apa yang mereka lalukan?” “Untuk apa?”

“Untuk mengetahui.”

“Kamu sendiri bisa. Sukma kita ini bisa melakukan segala apa dengan sendirinya. Kenapa meminta aku?”

Lagi-lagi sebelum Upasara mengangguk atau berkata Dewa Maut menyambung, “Hidup itu adanya di kemauan.

“Krenteging urip, kemauan untuk hidup. Lalu kemauan untuk merasakan asmara, untuk kangen, untuk menang, untuk kalah, untuk melatih silat seperti kamu.

“Aku tak ingin bercerita saat itu. “Titik.”

“Terima kasih, Paman.”

“Sejak kapan kamu memanggil Paman?” Ucapan Dewa Maut sangat keras, seolah baru pertama kali disebut dengan panggilan yang keliru.

“Bagaimana kamu memanggil dirimu sendiri, Paman?”

Upasara makin menyadari bahwa latihan pernapasan dengan konsentrasi seperti yang dilakukan Dewa Maut, tidak sepenuhnya dikuasai.

Dewa Maut bukan hanya mampu memperlihatkan bagaimana mengatur sukmanya sehingga seakan mengetahui sesuatu di tempat yang berbeda jauh, akan tetapi juga terus menggelutinya. Sementara Upasara, setiap kali berusaha ke arah itu, masih terasa ada jarak. Sehingga seolah memandang atau membayangkan sesuatu. Dan bukannya larut seperti yang dilakukan Dewa Maut.

“Tidak apa.

“Sukmamu tak mau itu.”

Hanya kemudian sekali Dewa Maut kelihatan gemetar. Telapak tangannya berkeringat. “Kita segera pergi. Raja dalam bahaya.”

Itulah gugahan pertama Upasara meninggalkan gua bawah Keraton. Keduanya melalui lorong yang agaknya dibuat sendiri oleh Dewa Maut- yang setiap kali keluar atau masuk gua barangkali membuat jalan baru.

Sampai di luar, keduanya melayang bersama. Dalam pengertian sebenarnya. Karena keduanya seperti terbang. Dewa Maut berada di pundak Upasara sampai satu jarak tertentu, lalu disambung dengan Dewa Maut menyunggi Upasara, mendudukkan Upasara di pundaknya.

Yang luar biasa bagi Upasara ialah bahwa seolah keduanya mempunyai tenaga dalam dan tenaga meringankan tubuh yang seimbang. Padahal jelas sekali bahwa semua ini dilakukan dengan kekuatan Upasara.

Akan tetapi ketika Dewa Maut menyunggi, yang terlihat adalah bahwa Upasara tengah beristirahat. Begitulah sesungguhnya yang terasakan oleh Upasara.

Kalau saja Upasara mengetahui bagaimana Gendhuk Tri memainkan tenaga dalam yang menggunakan sifat air ketika menarik tubuh Senopati Sina sementara tubuhnya sendiri melayang ke bawah, kesamaan itu makin jelas.

Dengan cara ganti-berganti seperti yang dilakukan Dewa Maut dan Upasara Wulung, keduanya tak memerlukan istirahat yang sebenarnya.

Itulah yang bisa membuat keduanya datang pada saat yang tepat.

Bahwa kemudian Dewa Maut berlarian seperti anak-anak ketika menuju ke arah Gendhuk Tri, dan tak mau dipanggil Dewa Maut, itu seperti kembali ke asal-mula.

“Hati-hati…,” suara lirih Mpu Sina menyadarkan bahwa kini pasukan Jalu mulai membentuk barisan.

“Ya, perlu hati-hati sedikit,” kata Eyang Puspamurti. “Dengar baik-baik, Mada, apa yang kukatakan tadi. Barisan ini luar biasa. Tenaga yang terlihat seperti sepuluh ekor kuda. Yang tak terlihat barangkali lebih kuat lagi. Itu menarik, bagaimana mungkin bisa melatih otot keras begitu?”

Upasara menggeser ke kiri.

Dengan cara begitu, ia menutup serangan yang tertuju ke arah Gendhuk Tri, Dewa Maut, maupun Mpu Sina.

Hanya Halayudha yang masih menunggu, tanpa menggeser kakinya. Suara halus Mpu Sina maupun penjelasan Eyang Puspamurti sangat tepat sekali. Sebagai jago silat, Halayudha cukup bisa membaca kemampuan lawan. Bahwa mereka terkenal kuat tenaganya dan dasar permainan silatnya menggulat lawan, sudah lama didengar. Bahwa dengan begitu ada latihan tertentu, juga bukan hal baru. Yang menjadi sedikit tanda tanya ialah, seperti yang diutarakan Eyang Puspamurti: Bagaimana cara melatihnya?

Karena otot di seluruh tubuh barisan Jalu mendadak menegang dan mengeluarkan bunyi keras. Dengan gerakan serentak, barisan Jalu mengepung, menubruk, dan menggelut.

Eyang Puspamurti mengeluarkan tawa serentak, tangannya terulur ke depan. Maju memapak. Demikian juga Halayudha yang memakai kedua tangan untuk menahan. Sementara Upasara hanya mengubah gerakan kakinya lebih ke kiri lagi. Kedua tangannya bergerak. Satu menolak ke depan, satu lagi berjaga melindungi Dewa Maut.

Hebat serangan Barisan Api ini.

Dalam gebrakan pertama mampu membuat lawan terdesak. Halayudha mundur dua tindak, karena benturan pukulannya seakan membalik, sementara gelutan lawan sudah menyepit pinggangnya.

Tawa Eyang Puspamurti lenyap dan diganti dengan kekaguman. Tanpa mundur atau maju, jurusnya diulangi lagi.

Upasara menekuk tangannya.

Sikunya berhasil menyodok ulu hati lawan. Keras. Sehingga salah satu Jalu tertahan. Akan tetapi karena kini hampir semua mengepung ke arahnya, mau tak mau menjadi repot juga.

“Hiak!”

Aba-aba Jalugeni membuat barisan mengepung rapat. Merangsek maju. Tanpa memedulikan gerakan lawan.

“Hiak!”

Bukan pertarungan yang memuaskan mata. Bukan pameran kelihaian dan keindahan jurus. Bagi yang menyaksikan di pinggir, kesangsian lama menyeruak kembali.

Apa yang mereka saksikan tak berbeda dari sebelumnya.

Kalau tadinya hanya barisan ular hijau, semut, dan kumbang yang terus merangsek maju, kini adalah barisan manusia. Yang dengan gerak kaku, keras, terus melabrak.

Mengetahui situasi kurang menguntungkan, Halayudha yang lebih dulu mundur. Bukan hanya karena lawan seperti terbuat dari batu dan besi, akan tetapi Halayudha ingin berada dalam ruang yang tidak memungkinkan untuk dikeroyok. Satu lawan satu masih memberinya napas.

Eyang Puspamurti yang menghadapi tiga lawan, memutar tubuh mengulang jurusnya. “Hiak!”

Kali ini barisan makin merapat. Dan tak tertahan lagi. Satu kali kena bekuk, nasib yang sama dengan Gendhuk Tri atau Mpu Sina akan terjadi. Padahal jalan untuk mundur dan menghindar tertutup.

“Hiak! Hiak! Hiak!”

Bahkan kini Eyang Puspamurti mulai berkelit tanpa bisa berteriak memberitahu Mada.

Tangan Gendhuk Tri terkepal keras ketika Dewa Maut menusuk telapak kakinya. Keras sekali. “Mati aku.”

Dlamakan Menatap Bumi

KERAS tusukan Dewa Maut, keras juga teriakan Gendhuk Tri.

Seumur-umur baru sekarang ini Gendhuk Tri berteriak kesakitan, baik di depan umum maupun kala sendiri. Penderitaan macam apa pun tak akan membuatnya mengeluarkan jeritan. Apalagi mengaduh. Lebih lagi mengeluarkan kata: “Mati aku!”

Selain sengatan rasa sakit yang memilukan, perasaan Gendhuk Tri terutama sekali juga karena tak menduga sama sekali. Selama ini Dewa Maut sangat baik kepadanya. Kelewat amat sangat berlebihan baiknya. Selembar rambut Gendhuk Tri rontok, bisa membuat Dewa Maut berjingkrakan. Segala apa permintaan Gendhuk Tri, atau yang dianggap permintaan, akan dituruti tanpa kecuali. Bahaya apa pun akan ditempuh, dengan cara berlebihan pula menempuhnya.

Maka cukup mengejutkan apa yang dilakukan kali ini.

Sesaat tadi masih berteriak Toleee… Toleee dengan suara menyayat karena penuh perasaan.

Kemudian mendekat dan menusuk telapak kaki.

Meskipun selama ini Dewa Maut menganggap Gendhuk Tri sebagai kekasihnya yang utama, akan tetapi itu semua hanya terbatas dalam tingkah laku serta kata-kata. Dalam pengertian sebenarnya, Dewa Maut tak berani menyentuh kulit tubuh Gendhuk Tri. Kekagetan Gendhuk Tri lebih tak terduga lagi, karena saat itu seluruh perhatiannya sedang tertuju kepada Upasara.

“Kalau sakit, itu sakti.”

Telunjuk jari Dewa Maut bergerak lagi. Menusuk ke arah telapak kaki bagian pinggir.

Tubuh Gendhuk Tri menggeliat, perutnya tertarik  ke atas, kejang. Seluruh tubuhnya kaku.

Wajahnya pucat pasi. Tangannya mencari pegangan.

Memegang tangan Jaghana.

Seolah mencari kekuatan yang bisa menjadi pegangan dari rasa sakit yang tak tertahankan. Jeritannya berubah menjadi rintihan memelas. Air mata Gendhuk Tri membasahi wajahnya, bersamaan dengan keringat yang seolah dijebol paksa dari semua permukaan tubuhnya.

“Itu pasti teriakan wanita.

“Kamu sedang melahirkan, Tole?” Dewa Maut mengangguk-angguk. “Anakmu laki atau wanita?”

Saat itu kekuatan Gendhuk Tri lepas. Tubuhnya lemas. Tangannya yang basah seolah lepas dari pegangan tangan Jaghana. Akan tetapi Jaghana masih menggenggam.

Dan aneh.

Dari tangan Jaghana mengalir hawa hangat yang menenteramkan, yang membuat napasnya tidak memburu.

Jaghana bukannya tidak mengetahui apa yang dilakukan Dewa Maut. Dengan menusuk telapak kaki, sebenarnya Dewa Maut sedang melakukan Tusuk Driji Dlamakan Bumi, atau Tusuk Jari Telapak Bumi. Yaitu yang dikenal sebagai cabang ilmu pengobatan pijat tubuh, yang tengah berkembang.

Tusukan jari ke dlamakan, yang pertama adalah untuk mengetahui bagian-bagian tubuh mana yang tidak berfungsi sebagaimana adanya.

Ilmu pengobatan ini berkembang dari dasar bahwa dlamakan atau telapak kaki adalah bagian yang paling akrab berhubungan dengan bumi. Telapak kaki selalu menghadap ke bumi, selalu menyentuh, selalu bersinggungan.

Dengan sendirinya, di situlah selalu kepekaan itu berawal. Anggapan yang sama dengan kenapa buah pepaya selalu lebih manis di bagian ujung yang menghadap ke arah bumi.

Pada telapak kaki itu terdapat berbagai susunan saraf rasa, yang menyalur ke arah semua bagian tubuh. Dari telapak kaki pula diketahui adanya sesuatu yang tidak beres. Dengan menyentuh sedikit saja akan terasakan rasa sakit yang luar biasa. Sebaliknya, jika tidak ada yang sakit tusukan itu tak lebih dari sentuhan jari biasa.

Jaghana mengetahui dasar-dasarnya, akan tetapi memang tidak secara khusus mendalami.

Sebab syarat utama dalam mempelajari Tusuk Driji Dlamakan Bumi adalah sifat welas asih. Sifat untuk menolong sesama. Siapa saja yang mempelajari ilmu itu secara mendalam, harus bersedia menolong siapa pun yang menderita. Apalagi kalau orang itu datang dan minta pertolongan darinya. Tidak peduli siapa pun yang datang, lawan utamanya sekalipun.

Syarat utama yang lain ialah, dasar ilmu pengobatan itu adalah rila legawa, atau ikhlas sepenuhnya. Tidak boleh meminta pemberian apa pun. Bahkan tidak boleh menerima pemberian yang berhubungan dengan perbuatannya.

Persyaratan itulah yang belum sepenuhnya bisa dijalani oleh Jaghana saat itu. Akan tetapi dasar-dasar yang dilakukan Dewa Maut bisa diketahui.

Yang membuat Jaghana heran bukan bagaimana mungkin Dewa Maut mempelajari hal itu, melainkan tusukan sekali itu untuk mengetahui semuanya.

Ini termasuk luar biasa.

Karena secara sekaligus hampir semua saraf diperiksa. Padahal satu saraf yang berhubungan dengan hati, darah, kalau tubuh sedang kurang sehat, bisa menimbulkan rasa sakit.

Ini sekaligus.

Bisa terbayangkan kalau Gendhuk Tri sampai mengejang dan kemudian seperti kehilangan tenaga. Kalimat Dewa Maut yang menyebut tentang “melahirkan”, menyadarkan Jaghana bahwa Dewa Maut memakai pengobatan menyeluruh. Tusukan utama menyeluruh tadi bukannya tanpa perhitungan.

Dengan mengibaratkan melahirkan, Dewa Maut memang menyerang semua saraf yang biasanya bekerja lebih saat melahirkan.

Itu sebabnya ketika Gendhuk Tri melemas, tangan Jaghana langsung menggenggam. Memberi kekuatan.

Hawa hangat itu pula yang membuat Gendhuk Tri merasa lega, dan dengan sedikit terhuyung ia bisa kembali berdiri. Kembali berdiri!

Pada saat yang berlangsung sangat cepat itu, Dewa Maut kembali menghunjamkan dua telunjuknya ke arah dua tepalak kaki Jaghana. Yang membelalak sesaat, mengerang, dan tubuhnya bergerak tertarik ke atas.

Bisa duduk.

Di kejauhan, Nyai Demang tak bisa menyaksikan secara jelas. Apalagi kondisi tubuhnya menurun. Namun ini semua tidak menghalangi rasa kagumnya kepada Dewa Maut.

Bagi Nyai Demang, Dewa Maut bukan sekadar sesama ksatria, bukan hanya pernah bersama- sama menghabiskan waktu di Perguruan Awan, dan atau juga di gua bawah Keraton. Pada peristiwa yang terakhir inilah Nyai Demang menjadi jengah, malu, dan mengutuk dirinya sendiri.

Saat itu boleh dikatakan dirinya sudah habis, tak mempunyai tenaga dalam, dan susah menemukan kesadarannya kembali. Saat itulah Dewa Maut menunjukkan jalan keluar, membimbing dengan sentuhan tangan.

Yang berkelanjutan.

Peristiwa itu seperti terjadi dengan sendirinya. Terjadi dalam gelap.

Saat itulah perasaan dan penilaian Nyai Demang berubah pada diri Dewa Maut.

Tadinya perasaan itu disangka hanya muncul dalam lamunan. Hanya kemungkinan dari khayalnya yang mengembara.

Nyai Demang berusaha bertahan untuk tetap sadar. Akan tetapi perlahan-lahan rasa kantuk menguasai, menyeret, dan menenggelamkan. Tak jauh berbeda dari yang dialami dulu.

Bedanya, sekarang Dewa Maut berada di atas perahu yang menjadi ajang pertarungan. Yang membuatnya limbung karena sabetan udara dari berbagai arah.

Untunglah Jaghana mengetahui keadaan Dewa Maut yang sesungguhnya. Walaupun muncul seperti dewa penolong, akan tetapi sebenarnya Dewa Maut tetap Dewa Maut yang kehilangan tenaga dalamnya. Sehingga sabetan angin dari jago silat bisa menyebabkan terhuyung-huyung.

Gendhuk Tri juga bisa membaca situasi dengan sangat cepat. Begitu tubuhnya bisa berdiri, sudah langsung bersiaga.

“Dewa Maut, masih ada satu lagi. Mpu Sina.” “Aku tahu, Tole.

“Tapi di mana jariku?”

Gendhuk Tri tak sempat tersenyum. Bahkan tarikan bibirnya belum membentuk karena Jaluagni sudah menyapu dengan guntingan kaki keras sekali. Jaghana bersiaga, dan mendadak tubuhnya menggulung di lantai. Menggelinding ke arah lawan.

Satu gebrakan yang menerobos ke arah lawan.

Kalau sebelumnya Barisan Jalu selalu merangsek maju dan menutup jalan, kini kena terobos. Bahwa dengan itu berarti Jaghana membahayakan dirinya sendiri, itu dengan sendirinya. “Haik! Haik! Haik!”

“Haik apa?

“Itu bagus. Bukan haik.

“Mada, lihat dan dengar apa yang kukatakan sebelumnya….”

Eyang Puspamurti menepukkan kedua tangan. Tanpa ragu melangkah maju, memapak serangan Jaluagni dengan jurus yang sama. Belitan ke arah tubuhnya tak dipedulikan lagi.

“Haik!”

Jaluagni justru melangkah mundur. “Haik!” Sekarang Eyang Puspamurti yang berteriak. Maju.

Kobaran Api Mengganas

MAHAPATIH NAMBI, meskipun berada di luar medan pertarungan, mengikuti jalannya pertempuran dengan saksama. Kecemasan dan rasa tenang silih berganti, tanpa lena sedikit pun untuk mempersiapkan barisan yang bisa menyerbu sewaktu-waktu.

Untuk membebaskan Raja dan para permaisuri. Akan tetapi yang disaksikan masih terus berubah.

Sesaat sebelumnya Barisan Api terlalu tangguh untuk dilawan para pendekar utama Keraton. Bahkan dibuat tak bergerak. Dalam titik berikutnya sewaktu Jaghana, Mpu Sina, dan Gendhuk Tri bisa terbebaskan, situasinya langsung berubah.

Gelundungan tubuh Jaghana yang tidak memperhitungkan keselamatan dirinya berhasil memecah arah serangan. Kini mulai terlihat bahwa Barisan Api tersurut mundur.

Yang sedikit masih tersisa adalah kecemasan bahwa situasi masih bisa berubah lagi. Kalau diingat bahwa Barisan Api mempunyai senjata rahasia yang serba mencengangkan. Baik berupa barisan binatang berbisa maupun senjata lain.

Hal kedua yang juga mencemaskan ialah bagaimana cara yang paling aman buat menyelamatkan Baginda yang entah berada di bagian mana.

Sementara itu bahaya utama masih terlihat di depan mata. Kalau dua belas Barisan Api saja sudah sedemikian sulit, bagaimana menghadapi Pangeran Hiang dan Putri Koreyea?

Pertarungan perhitungan membuat Mahapatih Nambi serba kikuk. Memerintahkan menyerang, belum tentu menguntungkan. Menunggu, rasanya seperti berpangku tangan saja.

Sebenarnya keraguan Mahapatih sedikit-banyak menguntungkan. Karena justru sesaat kemudian apa yang terlihat di perahu seperti terbalik.

Kini justru Barisan Api yang merangsek maju.

Bahkan terdengar teriakan keras. Bersamaan dengan itu tiga tubuh melayang ke dalam sungai. Mahapatih Nambi tak perlu memberi isyarat, karena prajurit yang berjaga selama ini segera menolong.

Yang terlempar pertama kali adalah Mpu Sina. Senopati tua yang gagah perkasa ini memang belum berada dalam kondisinya semula. Akan tetapi bahwa dalam sekejap bisa terlempar sambil memuntahkan darah, bisa sebagai bukti ganasnya pertarungan. Tubuh kedua adalah Gendhuk Tri yang seakan dibanting keras, bersamaan dengan Dewa Maut yang mengeluarkan seruan tak bisa diartikan.

Jaghana yang pertama menyadari kekuatan lawan berubah seketika. Sewaktu didesak mundur, barisan dengan teriakan haik memang menyudut. Apalagi ketika Eyang Puspamurti mendahului menyerang. Akan tetapi ternyata hanya dalam satu putaran, Barisan Api ini maju kembali.

Lebih tegar, lebih gagah, dengan kekuatan berlipat ganda.

Sehingga pukulan Eyang Puspamurti yang bisa membuat lawan surut, kini berbalik. Eyang Puspamurti-lah yang meloncat dua langkah. Mundur.

Seakan tak percaya apa yang terjadi.

Benturan tenaganya membalik keras, menghantam dirinya.

Bisa dimengerti kalau dalam kondisi yang masih sulit, Mpu Sina terlempar lebih dulu. Demikian juga halnya dengan Gendhuk Tri dan Dewa Maut.

Barisan Api tidak berhenti di situ. Seakan ingin membuktikan tak ada yang hidup lagi setelah menginjak kapal. Dua Jalu melayang ke atas.

Dan menakjubkan.

Kalau tadi hanya dikenal dengan tenaga kasat dan kuat, gerakan kaki yang menyapu keras, ternyata cara mereka mengentengkan tubuh tidak main-main. Bagai dilepas dari busur, dua Jalu terlempar ke atas. Meraup ke arah tubuh yang loyo di tengah udara.

Upasara menggenjot kakinya.

Tubuhnya melayang gesit di udara. Satu tangan terentang mendorong Mpu Sina, Gendhuk Tri, dan Dewa Maut, satu tangan lain menjajal tekanan yang datang. Sesaat Upasara merasa dadanya ditekan lempengan besi dari dua sisi. Upasara mengurung dirinya dengan menarik tangannya ke dalam, dan sekali lagi sikunya terangkat ke depan.

Salah satu Jalu mengerang hebat. Tubuhnya amblas ke sungai. Akan tetapi Jalu yang kedua berhasil menjotos pinggang Upasara, sehingga tanpa ampun lagi tubuhnya ikut terbenam.

Eyang Puspamurti bahkan berteriak karena kagetnya.

Jaghana yang cemas menjadi terpecah perhatiannya. Satu pukulan keras mengenai pundaknya.

Tubuhnya yang bundar licin seakan kempes tanpa tenaga.

Kekagetan Eyang Puspamurti terutama karena Upasara berhasil dijotos oleh lawan. Kena telak bagian pinggang.

Upasara sendiri sudah mengira pukulan Jalu kedua akan mengenai tubuhnya. Tak bisa lain, karena lebih baik menyelamatkan Gendhuk Tri serta Dewa Maut dan Mpu Sina. Daripada jatuh korban lebih banyak lagi. Satu sodokan sikunya yang keras merupakan bukti keunggulannya.

Akan tetapi Halayudha sendiri bisa menghitung. Jika satu mengenai satu tapi harus berkorban, jumlah lawan lebih besar. Dan yang mengherankan ialah kekuatan lawan bisa mendadak berlipat.

Kalau tadinya sudah diperhitungkan sangat kuat, ternyata masih berlipat lagi. Inilah yang tak bisa dimengerti Halayudha.

Dalam beberapa jurus permulaan, Halayudha bisa memperkirakan kekuatan lawan. Seberapa jauh tenaga dalam dan jenis permainan silatnya. Caranya mengukur lawan tak terlalu meleset. Meskipun Barisan Api ini kuat menggeliat, sebenarnya gerakan mereka sangat kaku. Lebih banyak mengandalkan jotosan keras dan terus merangsek maju untuk bisa melibat habis.

Halayudha melihat celah-celah, bahwa jika dirinya cukup gesit dan memainkan ilmunya dengan baik, masih bisa balas menyerang atau sekurangnya bertahan. Satu-dua pukulan yang mengancam akan membuat mereka mundur sendiri.

Ternyata dugaannya meleset.

Sewaktu Barisan Api bisa digempur memang mundur. Tapi ketika maju kembali, tenaganya berlipat ganda. Seolah berubah sama sekali. Bahkan gerakannya lebih lincah, lebih memperlihatkan kembangan untuk menyerang kanan-kiri, atas-bawah, dan tidak hanya searah. 

Ini yang tak bisa dimengerti.

Meskipun Halayudha bukannya tidak mengetahui bahwa sejak mereka meneriakkan haik keras, Barisan Api ini saling mengadukan kepalan tangan, dan seketika maju dengan lebih yakin.

Ilmu macam apa lagi?

Bahwa mereka mempergunakan cara merambatkan tenaga dalam seperti merambatnya api, bisa diperhitungkan. Baik dari penamaan, maupun gerakan yang diperlihatkan.

Dan sebagaimana api, yang padam akan menyala kembali begitu bersinggungan dengan api yang menyala.

Yang mengherankan ialah kekuatan mereka menjadi lebih. Sifat ilmu silatnya pun berubah.

Itu sebabnya sejak pertama Halayudha tidak menerobos maju atau membiarkan dirinya dikepung. Halayudha memilih satu Jalu, dan berusaha terus mengimbangi. Tidak mendesak mundur, agar tak bisa memperoleh tenaga tambahan, tetapi juga tidak segera menghabisi. Karena ini berarti membuka dirinya untuk lawan yang baru.

Apa yang dilakukan hanya mengulur waktu untuk melihat situasi.

Maka bisa diperkirakan apa yang ada di dalam benaknya sewaktu melihat Upasara Wulung kena jotos pinggangnya. Selama ini, terasa atau tidak, diakui atau tidak, pemunculan Upasara membangkitkan semangat. Kemampuan dan ketangguhan ksatria lelananging jagat ini tak diragukan lagi.

Akan tetapi bahwa pada gempuran kedua yang belum memakan sepuluh jurus sudah jatuh, betul-betul di luar dugaannya.

Berarti Barisan Api yang dihadapi lebih ganas dari perhitungan. Terutama dari segi merembetkan kekuatan!

Itu sebabnya Halayudha menepi dan dengan satu putaran meloncat ke sungai. Gerakan tubuhnya memperlihatkan seolah ia pun bisa dipecundangi lawan.

Siapa pun yang menyaksikan tak bisa menebak tipu muslihat Halayudha. Mahapatih Nambi tak sempat menangkap gerakan-gerakan yang dimainkan Halayudha. Karena tingkat permainan Halayudha sudah mendekati kesempurnaan. Sementara Eyang Puspamurti tak mempunyai pikiran sedikit pun untuk menduga tingkah laku Halayudha.

Dan kalau Mahapatih Nambi tidak mampu menangkap akal bulus Halayudha, apalagi para prajurit.

Yang sedikit heran adalah Jalu yang menjadi lawannya. Karena tak menduga akan ditinggal begitu saja.

Sebagai gantinya, sasarannya adalah Eyang Puspamurti. Yang mendadak mengerahkan tenaganya melayang ke atas. Hinggap pada tiang.

38

By admin • Aug 11th, 2008 • Category: 1. Silat Jawa, AA - Senopati Pamungkas II

Akan tetapi Barisan Api mengejar ke atas.

Bisa lebih gawat. Justru karena berada di tiang kapal tidak memungkinkan bergerak leluasa.

Apalagi kini diserang dari bawah yang merayap dengan cekatan.

Benar-benar situasi yang sulit. Rumit.

Tak ada bala bantuan yang bisa menyelamatkan.

Saat itu dari pohon Mada sudah meloncat turun dan berlari kencang ke arah perahu. Tidak memedulikan kiri dan kanan atau larangan sebelumnya.

Meskipun demikian, jaraknya kelewat jauh.

Gerakan Satu Jurus

EYANG PUSPAMURTI hanya bisa terus naik hingga ke ujung.

Dari tempat itulah matanya melihat tubuh Upasara melesat ke atas dari sungai. Seakan muncul begitu saja, menyobek air bengawan.

Seperti ketika datang bersama Dewa Maut, Upasara menginjakkan kakinya di perahu dengan gerakan yang sangat indah.

Seluruh tubuhnya yang basah hingga ke ujung rambut malah menambah kesan kegagahannya.

Apalagi di mulutnya tersungging senyuman.

Upasara Wulung memang kena pukulan di pinggangnya. Tubuhnya memang amblas ke dalam air. Akan tetapi saat itu juga mumbul kembali ke atas dengan menjejakkan kakinya ke dasar sungai. Ketika salah satu Jalu yang terkena sodokan sikunya ikut tercebur, tak terlalu sulit bagi Upasara untuk menggunakan sebagai tenaga loncatan.

Kini berdiri gagah menghadapi sepuluh Jalu. “Haik!”

Serempak mereka maju menerjang.

Upasara tidak mundur. Tidak maju. Hanya memiringkan tubuhnya ke arah kanan. Tangan kirinya yang tertekuk, menutupi dagunya, sementara tangan kanannya seakan bersiap melontarkan pukulan tiba-tiba.

Kedua kakinya yang diserampang sama sekali tak dipedulikan.

Eyang Puspamurti melihat jelas Barisan Api yang memepet habis. Dua Jalu yang berada di depan menyerang bersamaan.

Terjadi pengulangan adegan seperti semula.

Siku tangan kiri Upasara yang dipasang menyodok keras, dan satu Jalu terlempar jatuh seketika. Jalu yang kedua dibiarkan melepaskan pukulan. Tangan kanan Upasara ternyata tetap berjaga-jaga.

“Duk!” Terdengar suara keras.

Pundak Upasara seperti terkena bantingan gunung. Tapi Upasara justru melangkah maju.

“Hindari tangan kiri. “Haik!”

Terdengar aba-aba yang mendadak mengubah Barisan Api. Kini menyerang dari sisi kanan.

Upasara tak mengubah gerakannya menjadi maju atau mundur.

Hanya kini tubuhnya miring ke arah sebelah kiri. Siku kanannya yang dipakai untuk menerobos pukulan lawan yang begitu dekat.

“Hek!”

Kembali satu Jalu terjengkang sambil memegangi dadanya. Tubuhnya menggeliat dalam kelojotan yang meregang. Dalam dua putaran bergulung tubuh itu berhenti dengan sendirinya.

Dalam dua gerakan, dua Jalu terbungkam.

Tapi seperti semula, pukulan lain berhasil masuk. Kembali pinggang Upasara menjadi sasaran empuk.

Tubuhnya limbung dua langkah. Akan tetapi maju kembali.

Wajahnya tetap menyunggingkan senyuman. “Haik!”

Kini delapan Jalu seperti menyerbu bersama. Upasara tidak bergerak, tidak mundur, tidak maju.

Juga tidak memiringkan tubuh. Kali ini kedua sikunya terarah ke depan tegak lurus.

Dua jeritan terdengar.

Dua Jalu kembali terkapar.

Meskipun tubuh Upasara sendiri terkena belitan lawan dan terbanting keras. Sedemikian kerasnya sehingga perahu seakan diraup oleh gelombang pasang.

Akan tetapi begitu tubuhnya terbanting, tubuh itu kembali berdiri dengan gagah. Siap menghadapi enam Jalu yang menggerung keras.

“Ladlahom, Dewa Yang Maha dewa, wuah-wuah-wuaaah…

“Mada, kamu perhatikan baik-baik, kan? Inilah yang disebut Jurus Satu Jurus, Gerakan Satu Jurus yang seumur hidup kupelajari sampai titisan kesepuluh.

“Wuah tahtitah. “Wer uweruwer.

“Bagaimana mungkin aku yang mempelajari sampai mati dan hidup kembali tak pernah mengetahui?”

Bersamaan dengan itu tubuh Eyang Puspamurti melayang ke bawah. Langsung berada di depan Upasara.

Berlutut. “Mahamanusia…”

Adalah Puspamurti yang sejak masih senopati secara tuntas mempelajari Kitab Paminggir, kitab yang dikenal dengan sebutan mahamanusia. Kitab yang dalam pemahamannya mengajarkan ilmu satu jurus. Jurus yang selalu sama.

Adalah Puspamurti yang kemudian menjadi tua dan disebut dengan panggilan Eyang, merasa satu-satunya yang mewarisi dan memahami kidungan dari Kitab Paminggir.

Bukan tanpa alasan.

Karena sejak semula dirinya belum pernah menemukan tokoh mana pun yang memainkan satu jurus seperti dirinya. Bahkan dari segi ajaran saja, Eyang Puspamurti ini tidak yakin ada yang pernah mendalami kitab yang menurut pendapatnya merupakan kitabnya segala kitab.

Perjumpaan dengan Eyang Kebo Berune juga menyadarkan bahwa ilmu yang dimainkan tokoh dari Berune itu tetap bukan ajaran murni dari kitab yang selama ini menjadi napasnya.

Siapa sangka kalau sekarang justru diperlihatkan oleh Upasara dan berhasil? Halayudha yang berada di pinggir dan menjadi penonton, melebarkan matanya, mengecilkan sesaat.

Seluruh kemampuannya dikerahkan untuk menangkap gambaran yang berlangsung di depan matanya.

Memang benar sejak mencuat dari bengawan, Upasara hanya memainkan satu jurus. Bahkan jurus yang paling sederhana. Meskipun jitu sekali. Menyodok lawan dengan menggunakan siku, karena Barisan Api yang mengepungnya tidak memberi ruang gerak sama sekali. Dibandingkan dengan pukulan, siku jelas tidak terlalu meminta ruang gerak.

Untuk tingkat Upasara, pengerahan tenaga ke siku semudah memindahkan pandangan bola matanya.

Memang benar gerakan Upasara hanya miring ke kanan, lalu ke kiri, lalu berdiri lurus. Ketiga gerakan itu tetap mempergunakan siku untuk menyodok.

Dan menemui sasaran.

Akan tetapi bukankah Barisan Api juga berhasil mengenainya? Sangat tidak mungkin tidak mempunyai akibat apa-apa. Karena dari gebrakan pertama justru Upasara menjadi limbung langkahnya. Tubuhnya terhuyung. Dalam gebrakan kedua tubuhnya bisa diulat lawan dan dibanting.

Ilmu yang mana pun juga, tak mungkin memberikan kekuatan kebal seperti pada tubuh Upasara yang dilihat sekarang ini.

Kalau jegalan kaki lawan tak mengguncangkan, Halayudha sepenuhnya bisa mengerti. Dasar ilmu silat Upasara adalah kuat pada bagian kuda-kuda. Tak ubahnya dengan kaki banteng. Baik untuk menyerang tiba-tiba ataupun bertahan.

Akan tetapi kalau tubuh yang terkena pukulan?

Dua kali Halayudha menggeleng karena tak bisa menangkap apa yang tengah terjadi. Sebenarnya itulah yang terlihat oleh Eyang Puspamurti.

Yang serta-merta melayang ke bawah dan berlutut di depan Upasara Wulung.

Pemandangan menarik, di mana seorang kakek secara tiba-tiba berlutut dan menghaturkan sembah kepada seorang lelaki yang lebih pantas menjadi cucunya.

Padahal sementara itu Barisan Api masih bersiaga. Masih separuh dari jumlah yang ada.

Masih bisa membakar!

Bagi Eyang Puspamurti, kejadian yang baru saja berlangsung sangat jelas, sangat gamblang. Upasara memainkan gerakan satu jurus, seperti yang diajarkan dalam kidungan. Seperti dirinya melakukan selama ini.

Bedanya, Upasara memakai satu jurus, dan setiap kali berhasil menjatuhkan lawan. Pertanyaan yang menggeluti hati Halayudha, bagi Eyang Puspamurti adalah jawaban.

Justru dengan membiarkan bagian tubuhnya diserang, jurusnya bisa masuk. Bisa menjatuhkan! Kalaupun diulang lagi hasilnya sama.

Kalau dua menyerang, dua pula yang jatuh. Kalau sekarang menyerang serempak di depan, lutut Upasara bisa pula menjatuhkan lawan.

Kuncinya justru pada kesempatan lawan memukul. Dengan terkena pukulan yang berat, Upasara tergoyang.

Akan tetapi justru saat itu tenaga untuk memainkan jurus satu-satunya menjadi berisi kembali. Kembali ada.

Kembali ke mula.

Kalau tidak membiarkan dirinya terkena, yang terjadi adalah pengeluaran tenaga terus-menerus, yang artinya seperti menguras diri.

Kalau Eyang Puspamurti sampai berlutut, karena selama ini tidak mendapatkan pencerahan bagaimana memainkan gerakan satu jurus dalam situasi seperti sekarang ini.

Eyang Puspamurti memainkan seperti yang selama ini dilakukan. Memainkan satu jurus, memulai lagi dengan jurus yang sama. Yang membedakan ialah pengumpulan tenaga dalam.

Tumbal Empan Papan PADA Upasara Wulung, pukulan lawan itu justru diharapkan. Secara sengaja Upasara “mematikan” diri, menyerahkan bagian tubuhnya untuk terkena pukulan lawan.

Dengan tenaga dalam yang dimiliki, pukulan atau bantingan ataupun gelutan Barisan Api tidak benar-benar membunuhnya. Melainkan menghancurkan kekuatan menyerang saat itu.

Dengan demikian pada penyerangan berikutnya, kekuatannya pulih seperti sediakala.

Bekas pukulan lawan melukai, akan tetapi tidak mempengaruhi karena tidak menguras tenaga dalamnya.

Yang sebenarnya luar biasa ialah bahwa Upasara Wulung memainkan secara tepat.

Bahwa penyerahan tubuh itu berawal dari ajaran tumbal, atau pengorbanan diri seperti yang diajarkan dalam Tumbal Bantala Parwa, agaknya tak sulit dipahami. Akan tetapi bahwa secara sangat cepat dan tepat Upasara memakai gerakan itu untuk melawan Barisan Api, sungguh mengagumkan bagi Eyang Puspamurti.

Tadi jelas bahwa Barisan Api menggunakan cara penggandaan tenaga dengan bersinggungan diri. Setiap kali bersinggungan tiga kali, kekuatan mereka berubah. Karena gerakan mereka kaku, lurus, dan searah, kemungkinannya kecil mereka akan terus merangsek maju. Hanya saat daya tarik serangan lawan, baik yang menggesek udara atau pukulan keras, mampu membelokkan gerakan mereka, ketika itulah mereka bersinggungan.

Akan tetapi jika diikuti terus gerakan mereka, kemungkinan bersinggungan menjadi kecil. Caranya ialah dengan mengikuti gerakan mereka, bukan melawannya.

Kemungkinan pertama itulah yang dijajal oleh Upasara, ketika tubuhnya melayang di udara dan pinggangnya kena jotosan. Kepalan yang begitu keras membuat tubuhnya amblas ke bengawan.

Akan tetapi paling tidak satu Jalu telah terkena.

Sementara satu Jalu menjadi korban, dirinya masih bisa bangkit lagi. Dan itulah yang dilakukan.

Gendhuk Tri merasa bisa menyeimbangkan tenaga dalamnya dengan Mpu Sina sewaktu keduanya melayang jatuh. Pilihan yang tepat untuk melakukan gerakan itu, tak jauh berbeda dengan pilihan Upasara untuk memainkan hanya satu jurus.

Namun Gendhuk Tri tetap mengagumi Upasara, yang memang memiliki tenaga dalam berlebih, dan kerelaan untuk berkorban yang sangat besar, dan empan papan, tepat dengan yang dihadapi.

Kesediaan berkorban saja tak cukup. Harus disertai wawasan pilihan yang tepat. Seperti yang dilakukan Upasara. “Sumangga, Eyang….”

Upasara menggapai dengan tangan kanan. Mengajak Eyang Puspamurti berdiri. Ia sendiri kembali tegak menghadapi kepungan.

“Memadamkan api seperti sekarang ini tak perlu banyak waktu. “Mada, kamu di mana?

“Jangan ke mana-mana. Ini bagian yang menarik. Aku yang ingin mengajari kalian, malah diajari habis-habisan.

“Tapi tak apalah.

“Kalau aku sampai berteriak ladlahom, karena apa yang diperlihatkan Upasara memang ladlahom.

“Tunggu, kenapa jadi diam semua?” Keenam Jalu berdiri tegak.

Kedua tangan tersilang di dada. Upasara mendesis.

“Silakan mulai….” Tak ada reaksi.

Upasara tersenyum.

“Pangeran Hiang, apakah Pangeran menghendaki saya yang mulai?” Tak ada suara jawaban. Tak ada angin.

Hanya Eyang Puspamurti yang mendengar sesuatu yang tidak biasa. Semacam getaran udara yang menjadi lain gemanya di telinga.

Eyang Puspamurti hanya bisa menebak-nebak, bahwa Upasara tengah mendengarkan percakapan antara Pangeran Hiang dan enam anggota Barisan Api.

Hal yang sangat mungkin sekali.

Sewaktu Upasara bisa menghancurkan gebrakan tadi, ia mulai dengan bertahan. Sekarang, dijajal bagaimana kemungkinannya jika ia yang mulai!

Suatu tantangan ksatria.

Kini bukan lagi sekadar mengadu mati-hidup, akan tetapi juga memperlihatkan tingkat kelihaian.

Mengadu mutu ilmu silat.

Upasara mulai dengan persiapan. Kedua kakinya sedikit mengangkang seperti posisi orang naik kuda. Kedua tangannya membuka, siku rapat dengan pinggang, tangan berada di depan. Perlahan pundaknya berputar dari belakang ke depan, seirama dengan tarikan udara dari hidung naik ke dahi, tersimpan di kepala bagian belakang dan turun lewat bagian belakang, untuk kemudian terkumpul di pusar.

Seperti pemula.

Akan tetapi siapa pun bisa merasakan getaran tenaganya yang menggelombang. Dan sesaat tangannya membuka ke depan, sambaran tenaga dalam bagai dimuntahkan dari endapan.

Bersamaan dengan itu, enam Jalu bergerak. Membuat putaran. Semua berputar.

Upasara menyedot udara di hidungnya. Dengan satu tarikan tangan kanan, bagian yang berada di depan dibetot dari lingkaran. Pada saat yang sama, kakinya bergerak menyapu.

Begitu cepat sehingga satu Jalu lagi terangkat tubuhnya dan tergeser. Upasara menempatkan dirinya dalam lingkaran.

Dan memutari lantai perahu dengan cepat. Cepat. Cepat. Makin cepat. Barisan Api seolah diputar pada porosnya.

Mengikuti irama perputaran bumi yang semakin lama semakin cepat. Eyang Puspamurti mundur dua-tiga tindak.

Kini disaksikannya lagi, bagaimana dengan cepat Upasara membaca kekuatan lawan.

Ketika ia harus bergerak lebih dulu, Upasara memilih Jalu yang di depan. Sesuatu yang tidak gampang untuk menentukan, mengingat mereka berada dalam lingkaran. Pada saat yang sama, dirinya menggantikan posisi itu, sehingga berada dalam lingkaran yang sama. 

Dari sinilah Upasara memaksakan kecepatan.

Hal yang juga dirasakan oleh Halayudha. Baginya, ksatria yang seperti tidak tambah usianya itu menyimpan berbagai tanda tanya yang tak bisa dijawab.

Dalam segi ilmu silat, Halayudha merasa dirinya tidak kalah. Juga dalam mempelajari kitab-kitab atau ajaran ilmu silat berbagai aliran. Bahkan Halayudha merasa dirinya sedikit lebih unggul. Dalam hal kemampuan menyelamatkan diri, Halayudha merasa tujuh belas kali lebih hebat.

Akan tetapi selalu terbukti, bahwa Upasara Wulung lebih unggul.

Apa yang diperlihatkan Upasara Wulung bisa dimengerti, dan dirinya bisa melakukan. Akan tetapi selalu Upasara yang melakukan pertama.

Seperti sekarang ini.

Dengan masuk ke lingkaran, dan ikut berputar, Upasara bukan hanya bisa mendikte apa keinginannya secara mutlak, akan tetapi sekaligus juga bisa memakai tenaga lawan untuk bertubrukan.

Inilah yang membedakan dirinya dengan Upasara.

Barisan Api kini sepenuhnya sudah terjebak. Salah satu dari mereka tak bisa melambatkan jalannya. Tak bisa mempercepat atau keluar dari barisan. Justru karena sejak semula gerakan mereka boleh dikatakan sama persis. Kalau ada yang berbeda, mereka dengan sendirinya akan bertubrukan.

Saling tabrak. Ini bisa celaka. Dan inilah situasi yang ada.

Ketika Jaghana, Gendhuk Tri, Halayudha, Mpu Sina menyerbu ke perahu, mereka mempunyai tekad yang sama. Maju menyerbu untuk “membalikkan perahu”. Akan tetapi tetap memakai gerakan dan jurus yang berbeda. Ada untungnya karena tak bisa dipatahkan seketika, akan tetapi ternyata juga lebih mudah dipatahkan.

Pusaran semakin cepat.

Makin cepat lagi.

Pada putaran kesekian, Upasara mendadak berhenti dan merentangkan kedua tangannya lurus. Ke arah kiri dan kanan.

Menyamping.

Tubuhnya sedikit menurun karena kakinya memantapkan kuda-kuda. Apa yang terjadi bisa diduga.

Keenam Barisan Api bertabrakan. Dari dua sisi. Tubuh mereka saling menabrak, ke depan, kembali ke belakang, ke depan lagi. Baik di antara mereka, atau dua Jalu yang langsung bertabrakan dengan telapak tangan Upasara.

Semua tadi hanya terjadi dalam satu jurus. Bahkan satu gerakan.

Memancing dalam putaran dan mengempaskan.

Dibarengi suara peletakan keras, keenam Jalu bergoyang-goyang sebelum akhirnya roboh.

Secara bersamaan.

Percakapan Debu dengan Kapas

TEPUK tangan dan sorak-sorai membahana.

Sepanjang bengawan berubah seketika. Wajah-wajah yang suram, tubuh yang tanpa semangat, berbalik seketika.

Samar atau jelas, semua yang melihat ke tengah perahu menyaksikan keperkasaan Upasara Wulung. Yang mempermainkan Barisan Api, yang tadinya begitu ditakuti. Yang semua dibikin rontok dalam seketika.

Hanya Upasara yang kini berdiri sendirian. Tanpa lawan.

Dari pinggir bengawan, ketika sorak-sorai makin meninggi, terdengar pekikan nyaring. Gendhuk Tri meloncat jungkir-balik, tubuhnya memutar di udara, dan ujung kakinya menyentuh salah satu rakit, langsung meloncat kembali.

“Awas, Kakang…”

Gerakan Gendhuk Tri sangat indah. Tubuhnya yang berisi memperlihatkan garis kewanitaannya. Apalagi selendangnya yang warna-warni sebagian menyerap, dan sebagian lagi memantulkan cahaya. Dengan tubuh berjumpalitan, memberikan pemandangan yang sangat menarik. Terlebih lagi karena rambutnya terurai dan mengembang di udara.

Agaknya Gendhuk Tri melompat ke tengah perahu tanpa rencana sebelumnya. Mata batinnya yang mengatakan Upasara Wulung berada dalam bahaya.

Nyatanya begitu.

Ketika Gendhuk Tri melompat ke tengah udara tadi, Upasara merasa perahu bergoyang keras.

Dan bersamaan dengan itu terdengar bunyi krak yang panjang.

Tiang utama yang tegak lurus secara kokoh dengan langit, mendadak roboh. Tepat ke arah di mana Upasara berdiri.

Seperti memperlihatkan perhitungan yang sangat matang, dan batangan kayu lebih dari sepemelukan itu bisa diatur gerakannya.

Jangan kata tubuh manusia yang terdiri atas darah dan daging, barang keras pun akan hancur berantakan tertimpa benda seberat itu.

Hanya karena bentuknya sangat besar, desiran anginnya menyadarkan orang akan adanya sesuatu. Sehingga bisa bersiap-siap menghindar. Bagi Upasara, hanya dengan mengingsut sedikit terhindar dari gempuran. Akan tetapi ternyata bukan itu bahaya yang sesungguhnya.

Tiang itu rebah, jatuh, dan begitu sampai di bawah bisa berputar pada porosnya. Sedemikian besar tenaga untuk memutar, sehingga perahu bergoyang keras.

Kalaupun bisa menghindar, Upasara bakal tersapu!

Tak mungkin menghindar ke arah samping mana pun. Karena hampir semua tempat diputari, bakal terkena sapuan raksasa.

Satu-satunya kemungkinan hanyalah merebahkan diri, rata dengan lantai. Seperti Barisan Api yang menggeletak.

Itu pun terlambat!

Karena papan perahu yang biasanya bisa melesak ke dalam sekarang justru sebaliknya. Dalam gerakan yang bersamaan jatuhnya tiang dan kemudian berputar, lantai perahu justru terangkat naik.

Inilah rumit.

Segala apa dalam perahu Siung Naga sudah diperhitungkan dengan sangat teliti. Sehingga setiap gerakan dan kemungkinan bisa diperhitungkan dengan teliti.

Gendhuk Tri yang melayang di udara hanya bisa menutup matanya. Peringatannya seakan sia- sia. Karena kini tiang utama itu sudah bergerak cepat menyapu.

Mungkinkah Upasara bisa meloncat tinggi? Mengambil pijakan dari lantai yang meninggi? Yang harus dilakukan pada saat yang tepat?

Agaknya hanya gerakan meloncat tinggi, melewati sapuan tiang utama, yang bisa menyelamatkan.

Tapi itu juga berarti bahaya lain sudah menunggu.

Karena bersamaan dengan itu pula tebaran tombak pendek melepas dari berbagai sudut perahu. Kalau sebelumnya saja sudah demikian banyak, sekali ini lebih lagi. Tak ada tempat yang tersisa. Seseorang yang berada di perahu akan merasakan bahwa tiba-tiba cahaya matahari tertutup.

Bersitan tombak pendek atau panah yang tidak mengenai sasaran melintas ke sekitar. Bahkan sampai di pinggir sungai. Suatu pertanda memang dilepaskan dengan tenaga penuh. Tenaga manusia atau tenaga alat yang sudah dipersiapkan untuk itu.

Gendhuk Tri tak mampu meneruskan loncatan, karena sambaran senjata bertebaran ke arahnya. Terpaksa ia menggulung diri dan menutupi dengan selendangnya, dengan memberatkan tubuhnya yang melorot ke bawah.

Gendhuk Tri adalah Gendhuk Tri.

Begitu kakinya menyentuh batang kayu di bawah, langsung membal kembali ke atas. Berjumpalitan ke perahu.

Ke perahu!

Sumber bencana yang mengerikan. Yang membuat para prajurit yang berjaga di pinggir mundur karena hujan panah. Sebagian malah terluka. Terkena tembus amblas dari dada hingga punggung.

Bunyi gemeretak keras mengisi suasana karena tiang utama masih terus berputar. Kini justru Gendhuk Tri yang masuk ke bahaya besar.

Tempat di mana pun kakinya hinggap, akan kena sapuan tiang. Kalaupun bisa menarik kembali tubuhnya, hal itu sudah terlambat.

Bibir Mahapatih tergetar hebat sekali. Giginya beradu. Dalam situasi yang kritis panggilan jiwanya sebagai prajurit muncul. Kedua tangannya terangkat ke udara, memberi aba-aba untuk segera menyerbu ke perahu.

Apa pun yang terjadi nantinya, sekarang panggilan itu bergema. Perhitungan keprajuritan mengatakan bahwa inilah pertempuran yang terakhir. Untuk sia-sia atau sebisanya menahan perahu.

Kalau saja tangan itu bergerak turun, para prajurit akan menyerbu ke dalam. Bagai iringan semut yang tak memedulikan nyawanya.

Semangat dan ketegasan Mahapatih Nambi bergema di dada semua prajurit.

Diam-diam, sambil berbaring, Mpu Sina tersenyum dalam wajah memucat. Ada kebanggaan yang bersemi. Yang bisa dibawa sebagai kenangan terakhir yang membahagiakan. Kalau saja tangan Mahapatih bergerak turun! Tapi tangan itu tertahan.

Karena melihat satu titik hitam di tiang yang memutar. Titik yang menyerupai sosok manusia.

Dalam kejapan berikutnya, Mahapatih yakin bahwa itu adalah Upasara Wulung!

Yang menggantung, memeluk tiang utama.

Keyakinannya menjadi jelas karena kemudian tubuh Gendhuk Tri juga berada di tempat yang sama.

Menakjubkan.

Dada Mahapatih bergerak naik-turun. Tangannya yang terbuka dan berada di udara gemetar. Upasara bisa lolos.

Bisa lolos dengan sempurna.

Mahapatih tak mampu menggambarkan kekuatan apa yang dimiliki Upasara sehingga bisa luput dari maut yang begitu mengerikan.

Sebenarnya Upasara tidak melakukan sesuatu yang luar biasa.

Ketika mengetahui bahaya besar tak terhindar, nalurinya mengatakan bahwa justru pada pusat bahaya itulah adanya keselamatan.

Itu berarti tiang.

Dan Upasara tidak merunduk atau meloncat.

Merunduk belum tentu selamat, meloncat kena sambaran anak panah. Upasara berdiam diri, mengosongkan tenaga perlawanan yang ada dalam dirinya. Kekuatan tenaga bumi lepas sama sekali, menjadi bagian debu. Yang ringan, yang melaju bersama tiang.

Upasara seolah memeluk tiang. Dan ikut berputar.

Gerakannya sangat lembut sehingga tiang itu tidak menubruk ke arahnya. Tenaga benturan itu menjadi kosong. Karena kemudian Upasara mencoba menyatukan dengan putaran.

Dan sewaktu melihat Gendhuk Tri nekat menerjang, Upasara tinggal mengulurkan tangan.

Meraup tangan Gendhuk Tri. Yang tubuhnya ringan bagai kapas.

Menempel di tiang. Memeluk tiang.

Seperti pasangan yang berpelukan dan terhalang oleh tiang.

Sorot mata Gendhuk Tri bertatapan dengan sorot mata Upasara. Keduanya saling pandang, berangkulan, kemudian secara serentak pula saling melepaskan diri.

Itulah ketika tiang mendadak tegak lurus dengan langit.

Yang menimbulkan  suara sangat  keras.  Guncangan sangat  kuat,  sehingga kali ini perahu terseret arus!

Perahu bergerak.

Kedua tangan Mahapatih turun mendadak.

Para prajurit segera mengejar ke arah perahu. Bagian tepi kiri-kanan bagai digerakkan dengan kekuatan raksasa. Semuanya bergerak. Serentak.

Prajurit yang menahan segala jenis rakit, dengan batang kayu untuk menghalangi perahu menuju ke laut, bersiaga penuh.

Kini medan pertarungan bergeser beberapa ratus tombak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar