Jilid 15
Agaknya Upasara juga membebaskan Permaisuri secara diam-diam. Tanpa berusaha menemui secara langsung.
Dugaan ini dikaitkan dengan kemarahan Permaisuri yang mengatakan bahwa ternyata Upasara tidak mau menemuinya!
Aneh, dunia ini sungguh!
Mpu Sora merasa tak habis pikir. Upasara membebaskan putri yang pernah dicintai, tapi tak mau menemui. Sementara kini, Nyai Demang justru melampiaskan dendamnya kepada Gayatri. Dendam Nyai Demang tak jauh bedanya dengan kecemburuan Gendhuk Tri!
Yang tak diketahui oleh Mpu Sora ialah bahwa sebenarnya dulu Upasara pernah tertarik kepada Nyai Demang.
Jadi sesungguhnya apa yang terjadi ketika Permaisuri lenyap terculik tadi?
Tenaga Penolak Bumi
SEMENTARA itu, medan pertempuran makin seru.
Para prajurit masih berjaga-jaga karena belum ada isyarat dari Mpu Sora. Yang terakhir ini masih tercenung, seperti juga Nyai Demang yang berdiam diri.
Sebaliknya Mpu Renteng merasa segala ganjalan dalam hatinya makin membengkak. Sebagai senopati yang dipilih menjadi utusan raja, begitu muncul ia terdesak.
Pertama kena sodok Klikamuka dalam gebrakan pertama.
Kini menghadapi sembilan penghadang tak dikenal, kainnya bisa dirobek.
Bukan penampilan yang baik.
Maka kini, dengan mengempos semangatnya, Mpu Renteng menggertak maju. Kainnya berkibaran, sementara kedua tangannya meraup, memagut, dengan gerakan kaki yang enteng, menyerang maju, mendesak.
Tanpa terasa Mpu Renteng telah memainkan jurus Bujangga Kapisa, atau jurus Ular Merah. Tenaga panas menyambar dari kedua belah tangannya. Beberapa kali secara sengaja tangannya memapaki keris lawan. Tangan penyerang dipatuk dengan sentilan tinggi. Ujung jari Mpu Renteng berwarna merah.
Akan tetapi semakin Mpu Renteng merangsek maju, semakin keras ia berbenturan. Sudah beberapa jurus dimainkan, akan tetapi tetap saja tak bisa menerobos maju. Padahal sekali bisa mematahkan serangan, kombinasi sembilan penyerang ini bisa dipatahkan.
Anak-cucu Kiai Sumelang Gandring bisa mengimbangi dengan barisan yang bisa mulur-mungkret, menjulur-mengerut. Sehingga Mpu Renteng seperti ombak yang bisa datang-pergi menurut iramanya sendiri. Senopati Anabrang sendiri mencoba menahan diri untuk tidak terlalu menggertak. Akan tetapi ternyata keadaannya tidak membaik. Justru sebaliknya tekanan makin bertambah. Tekanan mengencang dan mengendor silih berganti. Terpaksa Senopati Anabrang mengerahkan seluruh kemampuannya untuk tidak ditindih.
Mpu Renteng menjadi tidak sabar. Dengan menggerung keras, kain yang ujungnya lepas, mengempas ke depan. Kedua tangannya terentang. Tubuhnya melayang ke tengah barisan!
Bujangga Karakap yang merupakan bagian dari jurus paling berbahaya dimainkan. Karakap adalah nama jenis cecak terbang atau juga disebut kendik. Hanya kali ini Mpu Renteng memainkan dengan tenaga seperti seekor ular terbang.
Langsung ke tengah. Ke pusat lawan.
Ini berarti Mpu Renteng ingin segera menyelesaikan pertarungan. Dengan kemenangan di tangannya karena bisa membuat barisan lawan kocar-kacir. Atau sebaliknya ia terkurung dalam perangkap.
Gerakan tubuh Mpu Renteng menjadi sangat enteng. Melayang rendah, menyambar sekitar.
"Jiwandana Multak!"
Teriakan Nyai Demang mendadak mengubah situasi. Sembilan bayangan bergerak bersama meloncat jauh. Jiwandana Multak adalah siasat perang mengalir ke luar. Ini ternyata berarti seluruh serangan berganti arah.
Menghantam Senopati Anabrang!
Sembilan bayangan berloncatan secara bersamaan, ada yang rendah, ada yang setengah tinggi, ada yang tertinggi. Tanpa terkecuali, semuanya disertai keris terhunus, menusuk Senopati Anabrang.
Kalau Mpu Renteng menemukan tanah kosong, sebaliknya maut menyongsong Senopati Anabrang.
Nyai Demang sungguh luar biasa menganalisa pertempuran! Tidak menyangka bahwa lawan bisa mengubah gempuran dalam sekejap, Senopati Anabrang jadi bertahan. Kedua pedangnya menutup. Namun tusukan sembilan keris dari berbagai sudut membuat tangannya pegal-pegal.
Tanpa terasa satu pedang terlepas. Sabetan kedua, pedang kedua terlepas.
Sembilan bayangan masih terus berloncatan saling berganti tempat, sebelum mengeluarkan teriakan tinggi dan menyerbu masuk! Bukannya Mpu Renteng, alih- alih malah Senopati Anabrang yang terkepung.
Mpu Sora berteriak dingin sambil melayang ke atas. Ia terpaksa meninggalkan sarang penjagaannya atas Permaisuri. Mpu Renteng masih terkesima karena cara bergerak lawan yang bolak-balik dan serba berubah.
Dalam keadaan terjepit, Senopati Anabrang tidak menjadi hilang akal. Walaupun nggragap, Senopati Anabrang merapatkan kedua tangan, mengalirkan tenaga untuk menahan tusukan dengan gerakan Dwara Pala atau gerakan Penjaga Pintu. Dengan demikian, kalaupun terkena serangan, bukanlah serangan yang membahayakan. Karena ia telah menarik seluruh tenaganya untuk berjaga. Tusukan pertama mana yang datang, itu yang akan ditangkis lebih dulu sekuatnya. Senopati Anabrang sadar bahwa di depannya ada sembilan keris. Satu bisa dienyahkan, akan tetapi delapan bilah yang lain bisa amblas menyusup. Akan tetapi jurus ini juga mengandung keampuhan. Kalau satu tertangkis, bisa membuyarkan cublesan yang lain.
Mendadak terdengar teriakan nyaring.
Mpu Renteng hampir tak percaya apa yang dilihatnya. Mpu Sora yang turun terpaku di tempat.
Karena sembilan penyerang yang begitu garang tiba-tiba saja seperti tertolak dengan tenaga dahsyat. Bahkan penyerang pertama terlempar jauh.
Luar biasa.
Dalam sekejap sembilan penyerang dibikin jumpalitan. Barisan menjadi kacau.
Dua penyerang terlempar jauh. Senopati Anabrang sendiri tak menduga bahwa tenaganya bisa membuyarkan lawan. Ketika berupaya memainkan jurus Penjaga Pintu, Senopati Anabrang hanya bisa memperkecil bahaya yang datang. Hanya saja ketika bahaya makin mendekat, ada tenaga bergumpal dalam dadanya yang mendesak, menggerakkan tangannya lebih mantap. Sehingga gerakan jurus Penjaga Pintu menjadi bertenaga. Dan begitu melihat hasilnya, Senopati Anabrang sendiri merasa heran.
Seakan tak percaya apa yang dilakukannya.
"Anabrang, tukang bawa perempuan, sejak kapan kamu mencuri Tenaga Penolak Bumi?"
Ini yang tak diketahui oleh Senopati Anabrang. Ia rela dimaki—apalagi hanya oleh Nyai Demang—sebagai pembawa perempuan dari seberang. Karena memang begitulah adanya. Ia membawa dua putri ayu dari Melayu. Akan tetapi dituduh mencuri tenaga Penolak Bumi membuatnya beringas.
Sebagai ksatria, adalah pantangan besar untuk mempelajari secara mencuri- curi ilmu dari perguruan lain. Itu suatu tindakan yang sangat tercela. Tak ada kehinaan yang lebih nista bagi ksatria kalau sampai ketahuan mencuri ilmu orang lain.
"Perempuan busuk, jaga mulutmu baik-baik. Aku Senopati Anabrang tak nanti mencuri ilmu dari perguruan lain."
"Oho, kamu kira aku ini buta? Jelas sekali kamu menggunakan tenaga Tumbal Bantala. Cara melatih tenaga semacam itu kamu pikir bisa diperoleh di laut? Seekor cacing akan tertawa sampai sakit perut. Kamu bisa membodohi cecurut mana pun, tapi tentu bukan aku.
"Nah, agar hukumanmu bisa diperingan, bagaimana kalau kamu mengaku
saja?"
Senopati Anabrang mengertakkan giginya. Tinjunya terkepal.
"Kalau ingin menjajal ilmu, majulah."
"Oh ya? Untuk apa aku menjajal ilmu curian, kalau aku bisa menemukan yang aslinya? "Hei, kalian yang mengaku anak-cucu Sumelang Gandring" teriak Nyai Demang kepada sembilan penyerang yang kini mulai menyusun barisan lagi. "Kalian sudah tahu sendiri. Sudah menemukan bukti bahwa mereka mempelajari kitab Penolak Bumi.
"Baru saja didemonstrasikan.
"Jadi terserah kalian. Apakah tetap mau mengambil kembali atau menyerah
saja."
Di balik ucapannya, yang sepintas kedengarannya seperti menjelaskan, terasakan api yang membakar! Menyulut ke arah pertarungan yang mati-matian.
Betapa tidak, kalau jauh-jauh mereka mencari Tumbal Bantala Parwa, dan sekarang ditunjukkan ada bukti-bukti, masa ditinggalkan begitu saja?
Mpu Sora mendongak.
"Kisanak dari tlatah kulon, masih banyak waktu untuk menguji kebenaran. Untuk apa memaksa diri? Kami manusia yang mempunyai nama dan tempat tinggal. Kalau tidak sekarang, masih ada waktu lain.
"Jangan memaksa kami menggunakan keunggulan prajurit untuk menindak yang lemah."
Dengan satu tangan memberi aba, prajurit yang ada menyiapkan serangan. "Sora, kalian jelas orang-orang busuk. Setelah ketahuan mencuri cara melatih
pernapasan milik Upasara, kini kalian mau menutupi diri dengan ilmu keroyokan
Majapahit."
"Nyai Demang, kenapa kamu menuduhku mencuri Kitab Penolak Bumi yang belum pernah kulihat dan kusentuh?"
"Anabrang, kamu ksatria palsu. Kau kira kamu mampu melatih sendiri cara pernapasan seperti Tumbal Bantala? Bukankah tenaga itu hanya muncul ketika kamu terdesak? Ketika kamu bersedia menjadi tumbal?" "Nyai Demang, sejauh ini aku berada di seberang. Sekian lama aku tidak menginjak bumi Jawa dari ujung barat sampai timur, dari ujung utara sampai selatan. Bagaimana mungkin aku mempelajarinya? Apalagi mencurinya?
"Pakailah otakmu barang secuil, Nyai!" Delapan Jurus Nujum Bintang
NYAI DEMANG termangu sejenak.
Apa yang dikatakan Senopati Anabrang masuk ke dalam benaknya. Menurut perhitungan, agak kurang masuk akal kalau secara diam-diam Senopati Anabrang mencuri ilmu cara mengatur tenaga dan pernapasan seperti yang tertulis dalam Kitab Penolak Bumi.
Kemungkinan yang lain ialah mempelajari dari Dwidasa Nujum Kartika, kitab lain yang dianggap sangat dekat hubungannya dengan Kitab Penolak Bumi.
Seperti diketahui hampir semua tokoh persilatan mengenal Dwidasa Nujum Kartika, yang lebih dikenal sebagai Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Dalam hal ini menjadi teka-teki, justru karena selama ini dikenal nama awal dwidasa, dua puluh, akan tetapi yang dikenal luas hanya dua belas jurus. Hal ini sudah dianggap ada semacam kekeliruan yang tidak mengganggu.
Namun Nyai Demang mempunyai perkiraan lain, bahwa kemungkinan terbesar ada bagian dari kitab tersebut yang hilang. Nyai Demang pernah memperdebatkan secara sengit dengan Upasara Wulung beberapa waktu yang lalu.
Upasara menganggap bahwa kitab Dwidasa Nujum Kartika memang hanya terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Tak ada jurus yang hilang. Dinamakan dwidasa justru karena delapan jurus sisanya sebenarnya termasuk dalam Tumbal Bantala Parwa, yang nyatanya memang terdiri atas Delapan Jurus Penolak Bumi, atau Delapan Kidung Penolak Bumi.
Delapan Kidung ini merupakan cara-cara mematahkan serangan yang ada dalam Dua Belas Jurus Nujum Bintang, atau serangan sejenis dengan itu.
Ingatan Nyai Demang tergugah mengenali Delapan Jurus Nujum Bintang yang Hilang setelah melihat cara Senopati Anabrang mematahkan serangan sembilan penyerang. Bukan tidak mungkin bahwa selama ini Senopati Anabrang mempelajari Delapan Jurus Nujum Bintang yang Hilang, mengingat kitab-kitab yang menjadi sumber berawal dari masa kejayaan Baginda Raja Sri Kertanegara! Pada zaman itulah semua kitab silat dan ilmu surat dari berbagai sumber di segenap jagat disalin.
Ini lebih masuk akal dibandingkan menuduh Senopati Anabrang mencuri
ilmu!
"Anabrang, kamu boleh berang karena aku mendakwamu mencuri. Akan tetapi sesungguhnya yang baru saja kamu tunjukkan adalah Tenaga Penolak Bumi.
"Aku bisa keliru, akan tetapi di sini ada Sora, ada Renteng, ada sembilan murid Sumelang Gandring yang sejak semula mempelajari kitab tersebut, karena merasa memiliki."
Mendengar kata-kata Nyai Demang yang melunak, Senopati Anabrang jadi berkurang marahnya. Senopati Anabrang mengakui kebenaran kata-kata Nyai Demang, akan tetapi ia sendiri tak bisa memberi penjelasan bagaimana hal itu bisa terjadi.
"Biar lebih jelas, aku akan mengatakan padamu. Pasang kupingmu baik-baik. "Yang kalian hadapi ini para senopati pilihan dari Keraton Pajajaran di tlatah
kulon, yang menjadi murid langsung dari ajaran Kiai Sumelang Gandring.
"Bahkan mereka semua ini memakai nama yang nunggak semi, atau ada kemiripannya dengan Kiai Sumelang Gandring. Mereka bersembilan ini namanya urut: Kartika Gandring, Pusa Gandring, Manggasri Gandring, Sitra Gandring, Manggakala Gandring, Naya Gandring, Palguna Gandring, Wisaka Gandring, serta Jita Gandring. Tak terlalu sulit mengingatnya, karena semua dimulai dari nomor kesatu, Kartika, hingga nomor kesembilan, Jita.
"Kalau semua muncul, tiga yang lainnya adalah Srawana Gandring, Padrawana Gandring, serta Asuji Gandring."
Sampai di sini kesembilan Gandring membungkuk hormat kepada Nyai Demang.
"Entah ke mana yang tiga lainnya.
"Nah, dari dua belas Gandring yang ada menunjukkan persamaan dengan Dua Belas Jurus Nujum Bintang yang kita kenal. Berarti ada hubungan dengan kitab Dwidasa Nujum Kartika, kalau kita mau menerima kenyataan bahwa Kitab Penolak Bumi yang delapan jurus itu sebenarnya bagian dari keseluruhan.
"Anabrang, saya hanya ingin mengatakan bahwa hanya mereka yang merasa berlatih langsung mengenal Tumbal Bantala Parwa. Kalau kesembilan Gandring ini memainkan ilmu tersebut, saya tak akan menuduh mereka mencuri. Akan tetapi kamu yang mempertunjukkan ilmu itu.
"Katakan, apakah tuduhanku mengada-ada?" Mpu Sora menelan ludahnya.
Mpu Renteng tak bisa menahan sorot kekagumannya.
Demikian juga Senopati Anabrang. Justru karena merasa mempunyai pengalaman luas menjelajah sampai tlatah seberang lautan, kekaguman makin tak bisa disembunyikan. Dalam perjalanannya ke tlatah Melayu ia sempat singgah di tlatah kulon. Serta sempat mengenal ilmu silat yang berkembang di daerah itu. Akan tetapi pengetahuannya tidak sampai seperberapanya Nyai Demang.
Justru Nyai Demang yang kelihatan lebih menguasai.
Kekaguman Senopati Anabrang bisa dimengerti, karena tidak mengenal Nyai Demang. Namun Mpu Sora pun mengakui kelebihan Nyai Demang. Kelebihan yang selama ini belum ada tandingannya!
Sebagai ksatria, nama Nyai Demang bukan nama yang harum. Sepak terjangnya bahkan jauh dari sebutan itu sejak dikabarkan main cinta dengan berbagai jago silat. Apalagi sikap dan tindak-tanduk Nyai Demang menunjukkan perilaku yang jauh dari susila.
Sebagai jago silat, kemampuan Nyai Demang tidak terlalu luar biasa. Masih jauh di bawah Galih Kaliki.
Namun yang membuat Nyai Demang sangat disegani ialah karena kemampuan berbahasa yang tiada duanya. Nyai Demang-lah yang menjadi penyalin bahasa pasukan Tartar yang dulu datang. Dengan caranya sendiri, Nyai Demang mampu bercakap-cakap dengan para jago silat dari negeri Tartar. Bahkan bisa membaca kitab- kitab yang mereka bawa. Nyai Demang pula yang mampu berbicara dan berhubungan dengan para jago silat yang datang dari tlatah India. Entah sejauh mana penguasaan bahasa tersebut, akan tetapi nyatanya hanya Nyai Demang yang bisa berbicara langsung kepada mereka yang berasal dari budaya mancanegara.
Itulah sebabnya, kehadiran Nyai Demang dalam dunia persilatan tak bisa disamai oleh siapa pun selama ini!
Maka kalau sekarang Nyai Demang bisa dengan jelas mengatakan siapa sembilan penyerang yang datang, adalah hal yang masuk akal sekali. Kalau kemudian Nyai Demang mempermainkan sembilan Gandring ini dengan mengatakan bahwa Tumbal Bantala Parwa ada di dalam joli, akan dipercaya.
Seperti ketika menyudutkan Senopati Anabrang sekarang ini.
"Nyai Demang yang luas pandangannya, secara jujur saya akui, saya tidak mengerti tuduhan Nyai. Saya sendiri, saya akui secara jujur, merasa mujur bisa memorakporandakan barisan sembilan Gandring ini."
"Mustahil."
Senopati Anabrang ksatria yang jujur. Maka dengan rendah hati ia mengakui ketidaktahuannya. Dengan merendahkan diri, Senopati Anabrang membungkukkan tubuhnya
"Mohon Nyai Demang sudi memberi petunjuk. Kalau ternyata saya bisa dibuktikan mencuri ilmu perguruan lain, saat ini juga saya lebih suka menjadi makanan cacing."
Nyai Demang terbatuk. "Susah, susah.
"Menghadapi manusia-manusia yang kosong ilmu surat, membuat saya harus menggurui."
"Sesungguhnyalah, saya, Senopati Anabrang, mohon petunjuk Nyai Demang."
Mpu Renteng tak menduga bahwa Senopati Anabrang bisa merendahkan diri begitu rata dengan tanah di depan Nyai Demang yang baru saja dicaci sebagai "perempuan busuk". Nyai Demang sendiri tergoda oleh kejujuran tulus yang diperlihatkan Senopati Anabrang. Yang tidak sungkan-sungkan memberi hormat padanya.
"Anggap saja gurumu memberi pengajaran." Senopati Anabrang membungkuk hormat.
"Hei, jangan kelewatan, Anabrang. Mana aku mau menerima murid segagah kamu? Menjadi gurumu bakal rugi! Aku akan dibilang tak punya susila kalau main- main dengan muridnya sendiri."
Mpu Sora bergidik hatinya.
Sungguh keterlaluan cara bicara Nyai Demang. Di depan banyak telinga yang mendengar, di lapangan terbuka, seenaknya ia bicara soal asmara.
"Latihan pernapasan atau cara melatih tenaga dalam yang diajarkan dalam kidungan Tumbal Bantala Parwa lain dengan cara mengatur pernapasan dari berbagai kitab yang ada. Karena intinya adalah pernapasan jika terdesak. Bernapas bukan sesuatu yang seharusnya, bukan keadaan yang wajar. Dalam Kitab Penolak Bumi, bernapas hanya dilakukan kala keadaan sudah mendesak dan tak terhindarkan lagi.
"Cara semacam ini hanya mungkin kalau mempelajari secara langsung. Tak mungkin kalau tidak melatihnya sendiri.
"Kecuali kalau... kalau... ah, tapi itu tak mungkin. Sangat tidak mungkin." Nyai Demang menggelengkan kepalanya. Berulang-ulang.
Mpu Renteng jadi berdebar.
"...kecuali kalau Upasara Wulung memberikan tenaga itu padamu. Dengan risiko ia kehilangan tenaga dalamnya yang murni yang selama ini dilatihnya."
Justru itu kemungkinan satu-satunya!
Kitab Bumi
MPU SORA menahan gumpalan dalam dadanya yang mendadak bergejolak! Ia bisa segera mengerti bahwa Senopati Anabrang secara tidak langsung menerima tenaga dalam murni dari Upasara Wulung. Yaitu saat ia terluka oleh racun Gendhuk Tri. Saat itulah Upasara menolongnya untuk mengusir racun tersebut.
Tenaga dalam yang disalurkan oleh Upasara sebagian untuk mengusir racun.
Akan tetapi sebagian lagi mengendap dalam tenaga murninya sendiri.
Itulah yang keluar tanpa sengaja.
Sehingga sembilan Gandring dengan barisannya bisa buyar!
Mpu Sora merasa dadanya lebih bergolak lagi. Kalau hanya sebagian dari tenaganya yang tersalur saja sudah seperti itu, sesungguhnya Upasara betul-betul menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat!
Yang bisa untuk menandingi seluruh prajurit yang mengepungnya. Bahkan bukan tidak mungkin Upasara bakal mengungguli.
Ini yang hebat.
Sangat masuk akal sekali kalau Baginda Raja menganggap permasalahannya sangat gawat. Sehingga dikerahkan segala daya dan taktik untuk memastikan Upasara di pihak mana. Sehingga Baginda Raja sampai tega mengirimkan Permaisuri. Atau kemudian Mpu Nambi atau utusan yang lain memaksakan Toikromo. Berarti segenap usaha yang paling besar dikerahkan.
Kalau dilihat kemampuan Upasara yang begitu hebat, Baginda Raja memang tak bisa tidak harus memaksa dengan segala cara.
Dan, nyatanya lebih hebat lagi.
Upasara memilih menghancurkan dirinya sendiri.
Ini yang belum diketahui oleh Nyai Demang. Kalau sudah tahu, ia akan bertanya-tanya seperti ini!
"Di antara gunung yang sangat tinggi, ternyata masih ada gunung yang lebih tinggi. Di antara samudra yang sangat luas, ternyata masih ada samudra yang lebih luas lagi. "Sungguh, hari ini saya yang tua terbuka matanya. Dengan tulus saya menghaturkan terima kasih atas petunjuk Nyai Demang."
"Sora... Sora!
"Kamu akan lebih mengagumiku tujuh kali lipat kalau kamu tahu bahwa yang kukatakan hanyalah sekuku hitam dari yang kuketahui. Sebenarnya akulah yang harus diperhitungkan rajamu yang gemar wanita itu, bukan Upasara.
"Akulah yang bisa menentukan dan mengatur semua ksatria yang sebenarnya anak-anak kecil belaka."
Nyai Demang menghela napas.
"Sayang aku tak tertarik menjadi jagoan yang tak terkalahkan. Aku lebih suka menikmati kesenangan duniawi. Kalau aku tidak mengobral asmara yang memperlemah tenaga dalamku, apakah kamu pikir ada yang mampu menandingiku?"
"Nyai Demang, aku mengagumimu. Akan tetapi aku tidak menyesal karenanya. Ini dunia yang kupilih."
Bibir Nyai Demang menyunggingkan senyuman.
"Di seluruh jagat ini siapa yang mengetahui kitab babon dari semua kitab ilmu silat? Bahkan Upasara sendiri tak tahu secara persis.
"Akulah yang mengetahui bahwa kitab babon, induk dari segala kitab itu adalah Bantala Parwa, atau Kitab Penolak Bumi. Kitab ini juga disebut Dwidasa Nujum Kartika. Yang terdiri atas Dua Belas Jurus Nujum Bintang, dan Delapan Jurus Penolak Bumi.
"Kecuali kalau ada yang bisa menunjukkan Delapan Jurus Nujum Bintang yang dapat melengkapi Dwidasa Nujum Kartika. Tapi selama belum ada yang bisa menemukan dan memperlihatkan, pendapatku yang paling tepat.
"Nah, apakah kalian yang mendengar ini mau membantah?" Tak ada jawaban. "Akulah yang paling lengkap membaca semua kitab itu. Dengan begitu akulah yang paling dibutuhkan saat ini, oleh siapa pun yang ingin mencapai puncak tak tertandingi.
"Nah, masih ada yang berani menyanggah?" Senyum Nyai Demang makin lebar.
Akan tetapi mendadak berubah ketika Senopati Anabrang berkata,
"Nyai Demang, sesungguhnya tenaga ini pemberian dari Upasara Wulung, ksatria sejati di jagat ini, Senopati Pamungkas Keraton Majapahit."
Nyai Demang terguncang. Tubuhnya yang montok bergoyang.
Kedua tangannya memegangi kepalanya. "Gusti..."
Tubuhnya makin keras bergoyang bagai kena gelombang. Terhuyung-huyung Nyai Demang seperti mabuk berat. Baru setelah menghela napas beberapa kali, wajahnya sedikit tenang.
"Siapa pun yang membuat Upasara menjadi cacat, aku tak akan pernah mengampuni. Harap kalian ingat baik-baik."
Nyai Demang berbalik. Sembilan Gandring mengikuti.
"Hari ini aku ada urusan gawat. Lebih baik kalian semua enyah dari depanku." Sembilan Gandring berhenti.
Menuruti setiap kata Nyai Demang. Yang mengerahkan kemampuannya berlari menuju Perguruan Awan. Tubuhnya tetap gesit, sehingga belum setengah hari sudah masuk ke dalam wilayah Perguruan Awan.
Tanpa berhenti sekejap pun Nyai Demang terus masuk ke dalam. Bagi orang luar, Perguruan Awan termasuk membingungkan. Karena hutan ini tak ditandai dengan apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk. Akan tetapi Nyai Demang pernah berada di dalam dan sering keluar-masuk. Sehingga bisa mencari beberapa lokasi yang menjadi tempat pertemuan.
Dugaan Nyai Demang tidak meleset.
Jaghana berada di sederetan pepohonan yang akar-akarnya membentuk semacam gua. Tapi Nyai Demang kaget. Pandangannya berkunang-kunang.
Apa yang sekilas disaksikan membuat sukmanya seakan terbang!
Pertama tadi dilihatnya Jaghana sedang duduk bersila. Di sampingnya terbujur tubuh Upasara yang tidak bergerak sedikit pun. Daya hidupnya hanya ditandai dengan napasnya yang kedengaran begitu berat. Ada luka menganga di bagian dada.
Sementara di tempat yang tak ada satu tombak, Gendhuk Tri menggeletak. Di sekitarnya ada bekas-bekas muntahan darah. Wilanda menjaga dengan tubuh tak bergerak. Hanya melirik pasrah ketika melihat Nyai Demang datang.
Yang lebih luar biasa adalah Galih Kaliki.
Seumur hidupnya belum pernah melihat Galih Kaliki tidak berjingkrakan melihat kemunculannya. Sejak pertama kali melihat Nyai Demang, Galih Kaliki sangat kesengsem, sehingga tak ubahnya seperti anak kecil.
Namun sekarang ini pandangannya melotot. Tanpa berubah ketika Nyai Demang mendekat. Nyai Demang tertunduk.
Matanya membasah. Terguguk.
Untuk pertama kali pula Nyai Demang meneteskan air mata dengan perasaan sedikit lega.
"Sudahlah, Nyai..." "Paman Jaghana, katakan apa yang terjadi."
"Seperti yang Nyai lihat, itulah yang terjadi. Marilah kita berdoa kepada Gusti Dewa yang Mahaagung. Agar perkenannya yang terjadi di dunia ini."
Selesai berkata, Jaghana kembali bersemadi. Nyai Demang memandang Wilanda. "Paman Wilanda, apakah Upasara..."
"Anakmas sedang istirahat. Atas kemauannya sendiri. Marilah kita sama-sama menunggu di sini, agar diberi jalan oleh Dewa dari segala Dewa yang kita muliakan."
Nyai Demang makin tak bisa menahan tangisnya.
Wanita ini, yang baru saja berkata bahwa ia menguasai dan pernah membaca babon dari segala kitab yang diperebutkan, tetap seorang wanita yang halus perasaannya. Yang bisa meneteskan air mata dalam jangka waktu lama. Sampai bulan bersinar sempurna.
Sampai matahari kemudian terbit keesokan harinya. Dan terbenam lagi.
Selama itu pula Jaghana terus bersemadi di sampingnya. Demikian juga Wilanda. Hanya Galih Kaliki yang beberapa kali mencoba memusatkan pikirannya, akan tetapi selalu gagal.
"Kita tak bisa membantu apa-apa." "Kakang jangan merasa gagal."
"Nyai, siapa yang bisa dilumatkan kalau akhirnya harus seperti ini? Kita ini kalau salah, salahnya apa? Kalau dosa, dosanya seberapa?"
Nyai Demang sadar. Bahwa yang bisa dilakukan hanyalah menunggu. Tubuh Upasara tak menunjukkan reaksi apa-apa ketika Nyai Demang berusaha mengirim tenaga dalam. Hanya Gendhuk Tri yang membuka mata ketika matahari terbit lagi.
Tubuhnya lemah, bibirnya pucat. "Bagaimana Kakang?"
Kawula Katuban Bala
NYAI DEMANG tergetar hatinya.
Senyumnya mengembang. Bukan senyuman genit menggoda seperti biasanya.
Melainkan senyuman seorang kakak, seorang ibu yang membesarkan hati anaknya.
Nyai Demang tergetar justru karena begitu sadar yang ditanyakan Gendhuk Tri pertama kali adalah Upasara. Dalam keadaan begitu parah, Gendhuk Tri ternyata tetap memikirkan orang lain.
Tangan Nyai Demang mengelus Gendhuk Tri. Hubungan akrab yang selama ini tak pernah terjadi.
Karena secara diam-diam Nyai Demang kurang menyukai Gendhuk Tri, yang dianggap sebagai anak kecil tak tahu adat, dan terus menempel Upasara. Sebaliknya Gendhuk Tri secara terang-terangan juga menyatakan kurang suka kepada Nyai Demang, yang dianggap sebagai wanita yang tak tahu adat, dan terus berusaha menggoda Upasara. Keduanya sama-sama menyadari bukan sahabat yang akrab.
Namun kali ini, untuk pertama kalinya nampak saling melempar senyum.
Saling memandang dengan membagi perasaan duka. Saling menyentuhkan tangan.
Walaupun hanya terjadi dalam sekejap, namun membuat Galih Kaliki dan Wilanda yang menyaksikan tersenyum lega dalam hati.
Sementara Gendhuk Tri kembali menutup matanya dan mengatur pernapasannya, Nyai Demang duduk bersila. Wajahnya menunduk. Rambutnya yang panjang lebat terurai menutupi wajahnya, berkilat karena keringat. Galih Kaliki mendekat, ikut bersila.
Tiada doa yang sia-sia tiada kesia-siaan tanpa dosa tiada dosa yang sia-sia
dosa bukan doa doa bukan sia-sia
jika dikepung gunung saudaramu ada di kampung jika dikepung kampung saudaramu ada di gunung gunung bukan kampung kampung bisa di gunung jika dikepung gunung masih ada saudara
jika masih ada saudara kenapa tidak berdoa berdoa bukanlah dosa doa bukan gunung bukan kampung bukan saudara
kenapa berdoa kalau sia-sia kenapa sia-sia...
Suara Nyai Demang berat mengalun, seolah terdengar dari bagian yang paling dalam yang selama ini tersembunyi. Menekan dan menenggelamkan pikiran-pikiran yang ada. Pikiran yang masih berkecamuk antara kebimbangan, keraguan, dibenamkan dalam-dalam.
Inilah cara menembang kidungan Kawula Katuban Bala, kidungan kelima dalam Kitab Penolak Bumi.
Nyai Demang berhasil mengidungkan sesuai dengan tuntutan yang tersirat dalam lirik-lirik tembang yang tak terlalu sulit dihafalkan. Hanya saja Kitab Penolak Bumi tidak semata-mata untuk dihafalkan, melainkan untuk diresapi. Untuk tenggelam secara penuh.
Karena kalau dibaca selintas Tumbal Bantala Parwa seperti tidak ada apa- apanya. Isinya hanya delapan kidungan yang kata-katanya saling belit-mengait. Hanya dengan kejernihan pikiran, seseorang bisa masuk dan menghayati arti kidungan tersebut.
Kawula Katuban Bala, secara harfiah bisa diartikan sebuah pribadi yang dikelilingi oleh bala, teman, harta benda, bangsawan, dan semua saudara. Dikelilingi dengan rasa cinta dan persahabatan. Akan tetapi justru dalam lirik-liriknya kidungan itu menunjukkan beberapa hal yang bertentangan.
Gunung tak ada di kampung, akan tetapi kampung bisa berada digunung. Orang lain bisa menjadi saudara, akan tetapi saudara juga bisa berarti saudara, bisa berarti doa, bisa berarti sia-sia.
Delapan kidungan yang ada dalam Tumbal Bantala Parwa memang bernadakan suatu kekecewaan yang luar biasa dalamnya. Hampir semua liriknya dimulai dengan penolakan lebih dulu. Dengan pengandaian yang menghancurkan susunan jalan pikiran yang ada. Nalar yang biasa menjadi buyar.
Mengajarkan berdoa, tetapi juga sekaligus menunjukkan bahwa doa bisa berarti sesuatu yang sia-sia. Doa sendiri juga bisa berarti dosa, namun dosa tetap bukan doa.
Nyai Demang bisa menghafal dengan baik, dan memilih kidungan Kawula Katuban Bala untuk menggambarkan suasana yang terjadi. Saat itu Upasara Wulung seperti yang digambarkan dalam tembang. Ia dikelilingi oleh orang lain, akan tetapi mereka semua terikat sebagai saudara. Bukan hanya saudara dalam pengertian saudara seperguruan. Akan tetapi saudara yang berarti berasal dari kelahiran yang sama. Semua yang mengelilingi adalah bala.
Dalam keadaan tanpa sadar terus-menerus, yang bisa dilakukan hanyalah berdoa. Tetapi doa juga mempunyai batas, yang akan menjadi dosa, andai memaksa Upasara yang telah sampai kepada janjinya! Dengan nada yang berat, Nyai Demang memang menyesuaikan dengan tuntutan cara mengatur napas seperti buah yang tumbuh di dalam tanah, dengan akar menembus bagian utara dan timur.
Bagi Jaghana, kidungan dalam Kitab Penolak Bumi adalah penolakan tetapi sekaligus penyerahan. Pengingkaran akan tetapi juga sekaligus rasa pasrah.
Ini memang soal bagaimana memahami, membiarkan pikiran, rasa, mengikuti kidungan tersebut. Kalau kemudian diterjemahkan dalam gerakan silat, kidungan ini bisa menjadi jurus yang bisa saja dinamai jurus Kawula Katuban Bala dengan mengatur kuda-kuda mantap seperti buah dipendam dalam tanah. Meminjam kekuatan lawan yang mengelilingi, karena sebetulnya tenaga lawan yang asing itu adalah tenaganya sendiri, tenaga saudara kandungnya. Bisa dibayangkan jika cara meminjam tenaga lawan ini benar-benar dikuasai. Akan tetapi sekaligus juga diingatkan bahwa tenaga yang dipakai ibaratnya bisa menjadi doa yang ampuh, akan tetapi juga dosa yang memilukan karena berarti digempur dalam tarikan napas yang sama yang dianggap sebagai saudara sehingga bisa dipinjam tenaganya.
Kitab Penolak Bumi sebenarnya kitab yang paling rumit tetapi juga sangat sederhana.
Rumit karena penguasaan kekuatan dan cara mengatur napas serta perasaan serba bertentangan. Antara saudara dan musuh, antara doa dan dosa, antara kampung dan gunung.
Sangat sederhana karena segalanya mudah dijelaskan. Bisa dimengerti tanpa salah, karena sebenarnya tidak berbelok atau perlu ditafsirkan lain. Gunung tetap berarti gunung, dosa tetap berarti dosa, bukan kampung, bukan doa.
Semakin sederhana, semakin bisa mengikuti kata-kata yang ditembangkan Nyai Demang, dan bisa hanyut. Galih Kaliki yang polos lebih cepat naik-turun hanyut terbawa. Sementara Jaghana juga bisa mengikuti karena sejak semula terus berlatih. Hanya Wilanda yang nampak tersengal-sengal. Sementara Gendhuk Tri antara sadar dan tidak berkumak-kumik bibirnya. Nyai Demang terus mengulang, setiap kali baris-baris selesai dibacakan. Kemudian berganti dengan Galih Kaliki, dilanjutkan oleh Jaghana dengan suara yang lebih berat, di samping Wilanda, kumak-kumik Gendhuk Tri, dan akhirnya balik lagi ke Nyai Demang yang kembali mengulang.
Entah berapa ratus kali kidungan diteruskan. Sampai akhirnya semua penghuni menembangkan secara bersama dalam hati. Menyatu dalam rasa.
Termasuk Upasara!
Di hari ketiga Upasara membuka matanya, memandang sekeliling. Nyai Demang menghela napas.
"Kakang?"
Suara Gendhuk Tri gemetar.
Upasara nampak masih sangat lemah.
Hanya menggerakkan kelopak matanya, mungkin bermaksud tersenyum.
Akan tetapi nampak seperti seringai halus.
Wilanda mengumpulkan embun-embun di ujung daun untuk minum Upasara. "Terima kasih, Paman."
Upasara berusaha duduk. "Kamu sudah baik, Adik?"
Gendhuk Tri menghapus air matanya.
"Aku baik-baik saja. Kakang tidak jadi mati?"
"Daun yang kering akan jatuh sendiri ke tanah dan menjadi pupuk. Kalau daun masih hijau dan jatuh, belum bisa menjadi pupuk yang baik. Ia hanya akan mengotori tanah saja.
"Mbakyu Demang, kidungan Mbakyu menyejukkan udara." "Saya akan terus nembang kalau kamu mau mendengarkan."
Upasara meringis. Tangannya berusaha memegangi dadanya yang terluka.
Akan tetapi tangannya begitu lemah tanpa kekuatan. Undangan Bulan Purnama
GENDHUK TRI tertawa lepas.
"Kakang ini sudah lumpuh, jangan macam-macam. Mana yang gatal? Saya yang menggaruk?"
Ketegangan cair. Tak ada yang menekan, walau suasana masih terasa betapa keprihatinan tetap menggantung.
Kenakalan Gendhuk Tri pada hari berikutnya membuat suasana menjadi lebih hidup. Gendhuk Tri sendiri yang mencari madu dan bila Upasara menolak, Gendhuk Tri akan menjejalkan ke bibir.
"Ayo minum. Kalau tidak mau, saya paksa." "Bagaimana kamu bisa memaksa?" tanya Galih Kaliki.
"Gampang saja. Madu ini saya minum dan saya paksa Kakang membuka bibirnya. Kalau tidak, saya akan menggigit lidahnya."
"Bagus. Bagus. Itu cara bagus."
"Bagus, aku juga mau melakukan," kata Nyai Demang.
Terpaksa Upasara mengikuti perintah Gendhuk Tri. Kadang secara sengaja Gendhuk Tri membuat wajah Upasara menjadi nyengir dan lidahnya menjulur.
"Hehehe... aku sengaja mencari madu buah maja. Pasti pahit sekali. Makin pahit makin baik."
"Jangan kurang ajar."
"Eee, mau membela, ya? Kakangmbok mau membela? Kalau begitu Kakangmbok yang mencari madu. Begini-begini juga saya harus mencicipi madu itu lebih dulu." Gendhuk Tri memang mencicipi madu yang akan diberikan kepada Upasara. Dalam waktu lima hari, Gendhuk Tri telah mengenal berbagai jenis madu dan rasanya. Madu jeruk, madu apel, madu maja, madu mangga, madu mawar. Bahkan dari penciumannya saja Gendhuk Tri bisa membedakan dengan baik.
Tapi yang lebih membuat Gendhuk Tri merasa bahagia ialah bahwa kini burung-burung hutan mau bertengger di tubuhnya. Bahkan beberapa ekor kera bermain-main di kepalanya mencari kutu!
Berarti racun dalam tubuh Gendhuk Tri telah terusir.
Gendhuk Tri seperti menemukan keakraban dengan alam. Seperti bangkit dari kematian masa lampau.
Walau tergolong jago silat, pada dasarnya Gendhuk Tri masih tetap seorang anak-anak. Hatinya masih hati anak-anak dengan segala kenakalan dan keinginan seorang anak-anak.
Hal ini merupakan penderitaan sejak racun bersarang di dalam tubuhnya. Dirinya menjadi hantu yang ditakuti. Tak ada yang berani bersentuhan dengannya. Bahkan binatang hutan pun tak berani mendekat. Seekor ular berbisa pun akan menggulung diri bila didekati.
Gendhuk Tri seperti diasingkan.
Akan tetapi sejak pengobatan paksa oleh Upasara, racun dalam tubuhnya berangsur-angsur dimuntahkan, Gendhuk Tri telah kembali normal. Dalam beberapa hari saja, dengan melatih pernapasannya, kekuatannya menjadi normal kembali.
Galih Kaliki pun diam-diam mulai berlatih di bawah petunjuk Nyai Demang yang bisa menghafal sekian banyak kitab yang pernah dibaca. Jaghana ikut memberikan petunjuk cara menafsirkan. Wilanda begitu juga.
Hanya Upasara yang sama sekali tidak tertarik. Ia hanya berlatih berjalan, merawat luka di lambung sampai dada.
"Saya percaya persaudaraan kita tak bakal ternoda karena bisa-tidaknya saya bermain silat. Di sini saya akan tetap diterima, walau tak bisa main silat." "Apa Kakang suka kalau sampai kakek-kakek nanti tetap memerlukan orang lain untuk mengusir nyamuk?"
"Kalau begini, alam tidak mengajari kita mengusir nyamuk." "Nyamuk tidak soal. Kalau harimau?"
"Itu hukum alam. Harimau tidak akan memangsa kalau tidak dalam keadaan lapar. Dan kalau bisa membuat harimau kenyang, kenapa harus menyesal?"
"Kalau bukan harimau, bukan nyamuk, melainkan manusia jahat?"
"Ah, manusia tidak dilahirkan untuk berbuat jahat. Semua ingin berbuat baik, ingin menjadi sempurna."
"Ya, tetapi kan ada juga yang jahat."
"Itu karena belum tahu. Kita tak bisa menghukum orang yang tidak tahu." "Susah bicara sama Kakang. Biar Paman Jaghana saja yang menasihati." Jaghana menundukkan kepalanya.
"Hanya yang arif yang bisa memberi nasihat. Kalau saya memberi nasihat, bisa kualat. Entah dosa macam apa yang harus saya panggul sepanjang sisa hidup ini."
Gendhuk Tri menggelengkan kepalanya.
"Di sini memang lebih banyak manusia yang aneh. Lihat saja. Isinya manusia yang tidak sempurna. Kakang Upasara yang cacat. Yang bahkan berjalan pun tak bisa lurus. Ada Paman Jaghana yang biarpun langit terbalik di bawah dan bumi terbalik di atas, akan mengatakan begitulah kenyataannya. Ada Paman Wilanda yang lebih suka berdiam diri. Ada kuli kasar yang mengangkat tongkat ke mana-mana dan mulai lagi tergila-gila sama Kakangmbok yang tiap hari hanya memperhatikan tubuhnya terus. Mandi bunga mawar, madu dipakai luluran atau sebagai bedak tubuh. Heran, kalau di hutan ini lelakinya hanya segelintir, siapa yang mau dipameri? Kakang Upasara jelas tidak, Paman Jaghana dan Wilanda tak bakal menengok. Hanya Galih Kaliki. Toh nyatanya kalau didekati, malah pura-pura menolak." "Pedas lidahmu. Kamu kira kamu sendiri bukan makhluk aneh? Setiap hari mengomel, menyalahkan ini dan itu, menyesali, tapi nyatanya tak mau pergi barang sepuluh tombak dari sisi Upasara."
"Itu urusanku. Kakangmbok tidak usah ikut campur."
"Itu juga urusanku. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti urusanku."
"Aku memang masih kecil. Masih pantas menjadi cucu. Tetapi untuk menghibur, aku memanggil Kakangmbok. Biar kamu merasa sedikit di atas usiaku. Biar kamu merasa masih muda. Makin tua seseorang, makin senang dikatakan masih muda."
Telak ucapan Gendhuk Tri.
Nyai Demang memang memuja keindahan tubuhnya. Menjaga dan merawat secara sempurna. Maka cukup tersinggung juga oleh sebutan bahwa sebenarnya ia lebih pantas menjadi nenek Gendhuk Tri.
"Jangan kuatir, Kakangmbok. Kakangmbok tetap paling cantik di hutan ini.
Dan akan tetap cantik, pun andai Dewa Maut nanti muncul."
"Eh, ke mana perginya Dewa Maut?" Wilanda mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Kok ditanyakan. Yang menjadi kekasihnya yang lebih tahu. Mungkin sedang cari obat awet muda. Padahal sebenarnya tidak perlu. Sungguh menyenangkan punya kekasih yang sudah tua. Minta apa-apa bakal dituruti."
Selendang di pinggang sebelah kiri melayang. Nyai Demang mengegos ke samping.
Tangannya ganti menampar pipi Gendhuk Tri.
Berbeda dari Nyai Demang, Gendhuk Tri kurang bisa menguasai kemarahannya. Apalagi jika disinggung hubungannya dengan Dewa Maut. Tokoh yang satu ini memang aneh sejak kemunculannya di dunia persilatan. Selama hidupnya dihabiskan di atas perahu Kali Brantas. Malang melintang tiada yang sanggup menandingi. Konon ia hidup bersama seorang lelaki, sejak patah hati dengan putri idamannya. Baru kemudian turun ke darat setelah mendengar ada Tamu dari Seberang. Dan kemudian kerasan karena berteman akrab dengan Padmamuka, si wajah merah yang mengandung racun dalam tubuhnya.
Padmamuka juga tak mempunyai teman dekat karena tubuhnya yang ganjil. Jadilah mereka berdua sahabat yang tak saling meninggalkan. Meskipun banyak kabar yang tidak menyenangkan mengenai hubungan mereka, namun Dewa Maut dan Padmamuka tak peduli. Sampai suatu peristiwa membuat Padmamuka terkubur dalam Gua Lawang Sewu, dan racunnya pindah ke tubuh Gendhuk Tri. Sejak itu Dewa Maut selalu memanggil Gendhuk Tri dengan sebutan Tole, sebutan untuk anak laki-laki yang dulu merupakan panggilan Padmamuka. Hanya karena Dewa Maut hilang akalnya, hal ini tidak menjadi masalah. Gendhuk Tri malah dengan senang hati mempermainkan.
Namun persoalannya menjadi lain kalau itu dipakai sebagai bahan olok-olok oleh Nyai Demang.
Padahal yang dikatakan Nyai Demang tak lebih menyakitkan daripada olok- olok Gendhuk Tri.
Hanya Nyai Demang bisa menguasai kemarahannya. Sementara usia Gendhuk Tri masih dalam tahap usia semengit. Usia yang sangat peka bila dihubungkan dengan soal perjodohan.
Maka Gendhuk Tri langsung menyerang.
"Dari dulu ilmunya tak tambah maju. Masih begitu-begitu saja."
Dua selendang Gendhuk Tri menyambar secara bersamaan. Selendang dari arah kiri dan kanan ini disusul dengan selendang kedua. Empat selendang menyambar atas-bawah, kiri-kanan.
Nyai Demang tertawa dingin.
"Kasihan Mpu Raganata. Beliau mempunyai murid kesasar. Kalau jadi penari akan lebih baik. Meskipun sebagai penari tetap tak menarik hati laki-laki."
Dengan begitu keduanya terlibat dalam latihan yang sama-sama menguntungkan. Nyai Demang bisa mengatakan apa-apa yang diketahui, sementara Gendhuk Tri bisa berlatih keras.
"Ayo belajar baik-baik. Aku tak punya banyak waktu melayani kamu. Sebentar lagi saat bulan purnama aku akan memenuhi undangan." Daya Asmara
KALAU Gendhuk Tri tak terpengaruh dengan ucapan "memenuhi undangan saat bulan purnama", Galih Kaliki jadi kelabakan.
"Undangan ke mana, Nyai?" "Sayang kamu tak boleh ikut." "Aku hanya bertanya."
"Tak boleh tahu."
"Kalau begitu, siapa yang mengundang?"
"Tak tahu malu!" Gendhuk Tri yang berteriak saking jengkelnya. Sebagai gadis yang baru menanjak remaja, ia tak habis pikir bagaimana Galih Kaliki yang telah saling mengangkat saudara dengan Upasara Wulung bisa selalu dipermainkan oleh Nyai Demang. Kadang Gendhuk Tri sangat kasihan kepada Galih Kaliki dan ingin menolongnya, akan tetapi selalu terjadi salah paham.
"Katakan, Nyai, katakan.
"Aku mau melakukan apa saja asal kamu mengatakan. Aku berjanji tak akan ikut bersamamu."
"Baik. Kamu harus melatih Gendhuk kecil ini sebagai syaratnya." "Baik, baik.
"Ke mana dan diundang siapa, Nyai?" "Ke arah selatan diundang oleh setan."
Jelas bahwa Nyai Demang menjawab asal-asalan. Akan tetapi yang membuat Gendhuk Tri lebih jengkel ialah karena Galih Kaliki mengangguk-angguk. Puas seperti anak kecil dituruti permintaannya.
"Boleh bertanya lagi, Nyai?" "Tidak." "Nyai, aku..."
"Aku sudah bilang tidak." "Ya, Nyai."
Karena kesal, Gendhuk Tri segera meninggalkan gelanggang. Kalau sudah begitu, Wilanda atau Jaghana yang akan menghibur. Kadang salah satu, kadang keduanya.
"Itulah daya asmara. Suatu kali kamu akan mengalami sendiri. Atau malah kamu sudah merasakan sekarang ini.
"Daya asmara memang menjadikan dunia ini aneh, tak bisa dimengerti. Sesungguhnya ini hanya salah satu godaan yang diciptakan Dewa yang Menguasai Jagat."
"Paman Jaghana juga mengalami daya asmara?"
"Sejak kecil saya dibesarkan di daerah ini. Daya asmara yang saya miliki ada- lah asmara alam. Mencintai tumbuhan dengan semua penghuni dan anginnya."
"Paman, apakah daya asmara itu yang menguasai Kakang Upasara?"
Jaghana nggragap. Sama sekali tak menduga ada pertanyaan yang membuatnya tersudut.
"Kenapa tiba-tiba kamu tanyakan hal itu?"
"Karena Kakang Upasara seperti orang linglung. Seperti sikap Paman Galih Kaliki."
"Di mana linglungnya?" "Paman tahu sendiri.
"Kita semua masih mempelajari ilmu silat, masih bercakap-cakap tentang hal itu ketika kemudian Kakang muncul lagi dan mengatakan tak ada gunanya menambah permusuhan. Itu dikatakan setelah mendengar kabar bahwa Gayatri diculik.
"Iya kan, Paman?" Jaghana menunduk.
"Paman berjanji tak berdusta. Katakan, Paman." "Saya tidak tahu apa yang terjadi di hati Upasara."
"Apakah Kakang Upasara masih mencintai Gayatri? Masih menyimpan daya asmara?"
"Saya tidak tahu, Gendhuk. Yang saya tahu Anakmas Upasara tidak mau menemui Permaisuri."
"Baik, baik. Kalau Kakang tidak mau menemui secara langsung, akan tetapi membebaskan, apakah itu bukan karena daya asmara? Itu yang saya ingin tahu."
Gendhuk Tri cukup cerdas untuk memojokkan Jaghana. "Rasanya saya makin tidak tahu.
"Kalau benar begitu, kamu juga tak perlu merasa sia-sia. Misalnya kamu terkena daya asmara Anakmas."
"Ngawur!"
Gendhuk Tri berteriak mengguntur.
Suaranya melengking, bercampur antara kejengkelan dan rasa malu.
Tetapi Jaghana justru menyadari bahwa apa yang ditanyakan Gendhuk Tri tadi beralasan. Daya asmara tidak mau bertemu dengan Permaisuri, senada nilainya dengan teriakan "ngawur".
"Kita sesama penghuni Perguruan Awan saling berjanji tidak mendustai dan menyembunyikan perasaan kita, Gendhuk."
"Saya mengatakan apa adanya, Paman." "Betul begitu?"
"Kalau tidak, kenapa?"
Hati Gendhuk Tri mulai goyah. "Tidak ada apa-apa.
"Bagimu dan bagi Anakmas, tak ada halangan untuk terjalinnya daya asmara."
Gendhuk Tri menunduk. Lalu memandang ke arah lain. Menyembunyikan wajahnya yang menjadi merah. Pori-pori semua kulitnya mengembang, darahnya mengalir secara aneh sekali. Seakan berbenturan, tidak seperti biasanya. Dadanya jadi sesak.
"Tidak ada halangan karena tidak menyalahi kehendak alam."
"Tidak, Paman. Hati Kakang telah tertumpah kepada perempuan Keraton yang menjadi istri keempat Baginda."
Jaghana menghela napas. "Kamu salah mengerti."
Gendhuk Tri memandang Jaghana.
"Kamu salah mengerti tentang daya asmara, Gendhuk.
"Di dunia ini diciptakan daya asmara untuk mencintai manusia lain, untuk mencintai alam, untuk mencintai Dewa yang Maha Berdaya Asmara.
"Itulah sebabnya daya asmara adalah daya yang membuat bahagia. Seperti Galih Kaliki. Barangkali kamu menganggap kasihan, menganggap dipermainkan, akan tetapi itu semua tak mengurangi kebahagiaannya. Kalau Anakmas Upasara mempunyai daya asmara kepada Permaisuri atau sebaliknya, itu tak mengurangi kebahagiaan keduanya. Walau tidak bersanding.
"Jangan salah terima, anak manis. Pamanmu hanya ingin menjelaskan bahwa kalau kamu mempunyai daya asmara, kamu seharusnya bergembira. Bisa berbahagia. "Contoh yang saya kemukakan tadi bukan betul-betul Anakmas mempunyai daya asmara dengan Permaisuri Gayatri dan atau sebaliknya."
Dengan penuh kebapakan Jaghana menenteramkan hati Gendhuk Tri. Cara pendekatan yang dengan jitu mendinginkan hati Gendhuk Tri yang mulai membara.
"Adalah janji kita ketika bersama di dalam Perguruan Awan, bahwa kita harus selalu bisa jujur, mengatakan apa adanya."
"Terima kasih, Paman.
"Tetapi jangan tanyakan daya asmara saya dengan Kakang." "Tidak, kalau kamu tidak menghendaki."
Gendhuk Tri menghela napas.
"Paman bisa menjelaskan mengenai daya asmara, apakah berarti Paman dulu pernah mempunyai kekasih?"
"Pamanmu sudah menjawab, anak manis.
"Daya asmara adalah daya yang seharusnya membuat bahagia. Menjadikan kita bahagia melihat kebahagiaan pada yang kita cintai. Kalau tetumbuhan dan isinya di Perguruan Awan ini bahagia, saya juga bahagia."
Gendhuk Tri mengangguk.
"Mengenai hal itu saya tidak ragu, Paman." "Lalu kenapa?"
"Paman selalu memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Selalu berusaha menyenangkan. Apakah kata-kata Paman ini juga untuk menyenangkan dan menghibur belaka?"
"Anak manis, kamu tidak ingin mengatakan bahwa pamanmu yang gundul ini berlaku tidak jujur padamu?" "Sama sekali tidak," Gendhuk Tri cepat memotong. "Mana mungkin saya meragukan Paman? Kakang Upasara saya ragukan, tetapi kalau Paman Jaghana, dalam mimpi pun saya tak berani."
Jaghana menepuk pundak Gendhuk Tri. "Paman, kira-kira ke mana Nyai Demang pergi?"
Di depan Nyai Demang, Gendhuk Tri mungkin akan menyebut Kakangmbok, tetapi tidak ketika membicarakan.
"Itu urusannya sendiri."
"Ya, akan tetapi Kakang kelihatannya lebih banyak bicara kalau ada Nyai Demang."
Jaghana mengakui dalam hati.
"Jangan-jangan Kakang masih menyimpan daya asmara kepada nyai genit itu." "Ah, semua wanita bisa kamu cemburui."
"Saya tidak cemburu!"
Gendhuk Tri sekali lagi tak bisa menyembunyikan desir aneh di pembuluh darahnya. Akan tetapi Jaghana sendiri bertanya-tanya dalam hati. Hanya tidak diutarakan seperti Galih Kaliki atau Gendhuk Tri.
Bukan hanya karena kidungan Nyai Demang menghibur Upasara, akan tetapi terutama karena Nyai Demang memang perlu dikuatirkan. Pemujaan-nya kepada daya asmara yang berlebihan bisa menyeretnya ke dalam berbagai petualangan yang membahayakan.
Apalagi kalau diketahui undangan itu berasal dari Keraton.
Sambutan Kemenangan
SEBELUM Nyai Demang datang ke Keraton, rombongan yang pertama kali datang adalah Mpu Nambi. Yang kemudian disusul oleh Adipati Lawe. Keduanya tidak menduga sama sekali bahwa ketika memasuki wilayah Keraton, para prajurit Keraton berjajar di pinggir jalan masuk. Bahkan terdengar bunyi genderang penyambutan, dan taburan bunga!
Adipati Lawe merasa risi dan jengah sendiri.
Akan tetapi tak bisa lain, selain mempercepat langkah kudanya. Dan di halaman Keraton sambutan lebih meriah. Ada barisan penari yang membasuh kaki Adipati Lawe dan Mpu Nambi.
"Tongkring," kata Adipati Lawe lirih.
"Apakah prajurit Keraton kurang pekerjaan sehingga setiap hari hanya latihan menghamburkan kekayaan negara?"
Adipati Lawe tak peduli kata-katanya membuat yang mendengar merah telinganya. Termasuk Senopati Halayudha yang selalu menyunggingkan senyuman di bibirnya dan di seluruh sikap penampilannya.
"Maafkan, kami hanya menjalankan dawuh Baginda.
"Namun menurut pendapat saya yang masih picik ini, sambutan kemenangan adalah wajar. Bagi Adipati Lawe, memenangkan perang atau menyelesaikan tugas di medan laga adalah hal biasa, tetapi bagi Keraton, ini adalah tiang-tiang yang membuat bangunan Keraton mencuat ke langit.
"Silakan beristirahat. Dalam satu-dua hari ini Baginda Raja berkenan menerima para pahlawan yang pulang dari medan perang."
Lembut kalimatnya, merdu suaranya, akan tetapi Mpu Nambi jadi bergidik.
Pikirannya masih diliputi teka-teki ketika menuju tempat istirahat.
Sebagai pimpinan telik sandi, Mpu Nambi sangat mengetahui seluk-beluk Keraton. Mengetahui dengan gamblang lalu lintas kekuasaan. Tahu dengan pasti di mana posisi Senopati Halayudha.
Senopati Halayudha, walau tidak membawahkan kelompok prajurit yang bisa digerakkan, akan tetapi sangat dekat hubungannya dengan Baginda Raja. Kalau Mpu Nambi ingin menghadap Baginda, selalu bertemu dengan Halayudha lebih dulu. Halayudha kemudian melapor ke Baginda Raja, dan menyampaikan berita apakah Baginda Raja berkenan menerima saat itu atau saat yang lain. Sejauh ini Mpu Nambi mengetahui bahwa Halayudha tak memiliki ilmu silat yang tinggi. Salah satu ilmu andalannya ialah ilmu Bajak Perang, yang kemudian dipakai sebagai namanya. Hala berarti bajak, dan yudha bisa diartikan perang. Mpu Nambi tidak memperhitungkan ketinggian ilmu silat Halayudha, karena selama ini hampir tidak pernah melihatnya berlatih atau memamerkan kelihaiannya. Bahkan semasa penyerangan ke pasukan Tartar atau ketika menggempur Singasari, peranan Halayudha tak terlalu menonjol.
Hanya karena posisinya selalu menjadi bayangan Baginda Raja, diam-diam Mpu Nambi memperhitungkan dan berhati-hati.
Berbeda dari Adipati Lawe yang sama sekali tak menganggap sebagai tokoh yang perlu diperhitungkan.
Bagi Adipati Lawe, kejantanan atau keksatriaan seseorang dinilai dari kemampuan memainkan senjata, membuktikan ilmu silat. Senopati dinilai dari "kerasnya tulang, uletnya kulit", bukan dari senyum dan keramahan.
Sewaktu rombongan Mpu Sora datang bersama Senopati Anabrang, sambutan kemenangan terulang kembali. Dan dengan senyum yang tegar, Halayudha menyambut dan kembali menceritakan bahwa ini semua kehendak Baginda, sebagai abdi ia hanya menjalankan perintah, dan meminta mereka beristirahat, karena Baginda Raja akan mengadakan pasewakan agung, atau pertemuan besar.
"Senopati Sora telah bekerja keras, maka biarlah saya yang mengantar Permaisuri Agung Rajapatni. Silakan, Senopati Sora, Senopati Renteng, beristirahat dengan tenang.
"Demikian juga Senopati Anabrang yang perkasa.
"Saya pribadi memohon maaf jika sambutan ini kurang menyenangkan. Ini tanggung jawab saya yang tidak becus meneruskan dawuh, perintah, Baginda."
Mpu Sora mengangguk.
Bersama Mpu Renteng mereka berdua berpisah dengan Senopati Anabrang yang mendapat tempat istirahat yang berbeda.
"Telah banyak berubah Keraton ini, Kakang." Suara Mpu Renteng membuat Mpu Sora, yang tengah duduk bersila menikmati air putih seperti kebiasaannya selama ini, kembali mengangguk.
'Baginda Raja ingin berbuat baik. Membalas budi dan jasa prajuritnya. Semua mempunyai tugas dan wewenang."
'Kakang Sora, maafkan pikiran saya yang masih dangkal ini. Namun rasanya sambutan ini agak mengada-ada."
Mungkin juga, biar Halayudha mempunyai sesuatu yang dilakukan. Mungkin juga tidak. Zaman ini bukan lagi zaman peperangan. Yang dulu tak mengenal sambutan kemenangan semacam ini."
"Mudah-mudahan begitu, Kakang Sora." "Ada pikiran apa, Kakang Renteng?"
"Saya tak bisa mengurangi sifat buruk saya, selalu curiga. Saya mencium ada bau yang kurang enak. Bau yang kelewat wangi."
"Karena kita biasa mencium bau tanah dan darah selama ini. Tetapi saya juga merasa bahwa Keraton sekarang ditata dengan sangat apik."
"Bukan hanya itu, Kakang.
"Kenapa kita tak diizinkan membawa Permaisuri langsung ke dalam?" Mpu Sora menggeleng.
"Sudahlah, Kakang. Kita tidak usah terlalu memikirkan hal itu. Sekarang bukan zaman peperangan seperti dulu, sehingga kita mengurus sendiri semuanya. Sekarang tugas sudah dibagi-bagi."
"Berarti akan lebih banyak jalan yang harus dilewati." "Berarti makin tertib, makin baik."
"Mudah-mudahan begitu." Pertanyaan yang sama juga tergema dalam sudut hati Senopati Anabrang. Senopati yang pernah menjelajah samudra luas merasa bahwa mulai banyak tatanan yang membuatnya tidak enak. Selama berada dalam tempat peristirahatan, ada yang melayani. Prajurit-prajuritnya juga mendapat pelayanan yang sangat bagus. Ini berarti banyak tenaga yang dipekerjakan. Berarti banyak pengeluaran, sesuatu yang dulu tidak dikehendaki Baginda Raja Sri Kertanegara. Hanya upacara-upacara yang bersifat keagamaan yang dirayakan. Selebihnya, semua dana yang ada disalurkan untuk keprajuritan yang murni. Untuk latihan dan persenjataan.
Hal ini yang justru dipertontonkan oleh Adipati Lawe!
Adipati yang tak sabaran ini melatih para prajuritnya di alun-alun depan gerbang Keraton. Dengan gagah perkasa Adipati Lawe berdiri di atas kuda hitamnya. Memacu mengelilingi alun-alun, sesekali meloncat ke tanah, mumbul ke atas, dan tetap hinggap kembali dengan enteng di punggung kudanya. Kadang dengan satu kaki, kadang dengan tubuh terbalik. Tangannya yang dipakai sebagai tumpuan.
Para prajurit Tuban juga berlatih keras. Menyusun barisan menyerang, bertahan, mengepung. Adipati Lawe sendiri yang menjadi sasaran latihan. Dikeroyok secara beramai-ramai.
Tentu saja ini menjadi tontonan yang menyenangkan bagi masyarakat sekitar. Sorak-sorai terdengar mulai sore hingga malam hari.
Sementara sorak-sorai kekaguman terdengar riuh, Mpu Sora justru merasa kuatir. Menguatirkan bahwa tindakan keponakannya ini seperti memasang layar lebar saat mengetahui bakal ada angin keras bertiup.
Halayudha sendiri sudah mengatakan bahwa Baginda akan mengadakan pasewakan agung. Pertemuan besar ini bisa dipastikan akan membicarakan mengenai jabatan mahapatih yang sampai saat ini masih tetap kosong, karena Upasara Wulung menolak secara halus.
Yang dicemaskan oleh Mpu Sora ialah jika tindakan Adipati Lawe ditafsirkan sebagai demonstrasi keperwiraan agar dipilih menjadi mahapatih!
Dalam situasi yang serba menunggu, segala apa bisa terjadi! Padahal Mpu Sora yakin bahwa keponakannya ini tidak mempunyai ambisi dalam soal pangkat dan derajat—terutama untuk dirinya sendiri. Perkiraan Mpu Sora tidak terlalu meleset.
Senopati Anabrang merasa gusar. Justru karena Adipati Lawe dengan sengaja memamerkan kemampuannya bermain dengan dua pedang. Bukan dengan rantai senjata andalannya.
Selama ini semua mengetahui bahwa permainan sepasang pedang adalah ciri utamanya.
"Kami mengetahui hal itu, Senopati Anabrang yang digdaya," kata Halayudha ketika menemui. "Akan tetapi saya tak bisa melarang atau meminta jangan memperlihatkan itu.
"Saya ini seorang abdi biasa.
"Pangkat senopati yang dianugerahkan Baginda, hanyalah pangkat kehormatan. Bukan karena saya benar-benar seorang senopati perang. Maafkan kalau selama menunggu ini ada peristiwa yang kurang menyenangkan.
"Saya tak bisa lain hanya menunggu dawuh Baginda. Hanya bisa menunggu. "Namun kalau pelayanan selama istirahat ini kurang menyenangkan, itu
tanggung jawab saya. Mohon diberitahu di mana kurangnya, Senopati."
Rerasan Dua Permaisuri
SEBENARNYA di kaputren, tempat para putri, juga terasakan suasana tak menentu.
Sejak diiringkan oleh Senopati Halayudha, Permaisuri Rajapatni berdiam diri. Sediaan bunga tujuh rupa tujuh warna untuk mandi, segala ramuan untuk tubuh dan keramas, sama sekali tak disentuh. Permaisuri Rajapatni mandi seperti biasa, tanpa upacara seperti layaknya.
Lalu duduk merenung di dekat ranjangnya.
Duduk bersila, dengan pandangan menunduk tak mau bertegur sapa.
Padahal sebagaimana kebiasaan, seorang—apalagi—permaisuri selalu menjaga kondisi tubuhnya secara sempurna. Karena ia adalah permaisuri, dan sewaktu-waktu Baginda Raja bisa datang atau memanggilnya. Seorang permaisuri pasti sudah keramas sangat bersih, dengan bau tubuh yang harum. Sudah dalam keadaan paling prima menerima panggilan Baginda Raja untuk berbakti. Dengan keramas dan mandi bunga tujuh rupa tujuh warna, berarti menyiapkan diri kalau nanti memperoleh keturunan adalah keturunan yang terbaik. Yang siapa tahu akan menggantikan takhta Keraton.
Tata cara menjaga kondisi tubuh yang sempurna, dari ujung kuku hingga ujung rambut, sangat diajarkan sejak dini. Sejak seorang anak gadis boleh bertempat tinggal dalam Keraton. Apalagi ini jelas-jelas permaisuri resmi.
Akan tetapi nyatanya, Permaisuri Rajapatni tidak memedulikan semua itu. Bahkan makanan dan minuman sama sekali tak disentuhnya. Seakan siap menerima segala kemurkaan Baginda. Dan atau disingkirkan oleh Baginda, karena tidak melayani dengan baik.
Kabar bahwa Permaisuri Rajapatni bertapa membisu membuat Permaisuri Tribhuana datang menjenguk. Hatinya terguncang sedikit melihat kenekatan adiknya yang bungsu.
Apalagi ketika Gayatri sama sekali tak menoleh atau mendongak.
"Wanita bisa sedih dan bisa gembira, karena ia manusia seperti yang lainnya. Akan tetapi seorang putri, apalagi permaisuri, tidak pantas menunjukkan perasaan seperti itu. Itu adalah sifat wanita biasa."
Tribhuana adalah putri sulung Baginda Raja Sri Kertanegara, yang dipermaisurikan Baginda Raja Sri Kertarajasa sewaktu masih bernama Raden Sanggrama Wijaya.
Berbeda dari adik-adiknya, Tribhuana dikenal sangat cerdas, mengenal intrik dan seluk-beluk Keraton, pandai berbicara sehingga digelari mahalalila. Bukan sekali- dua Baginda meminta pertimbangan masalah politis kepada Tribhuana.
Caranya bertutur kata sangat menyenangkan didengar telinga dan hati. Lebih dari itu semua, pendekatan yang dilakukan sering tepat dan mengena.
"Wanita biasa bisa tertawa hingga kelihatan giginya. Bisa menangis hingga sembap matanya. Bisa sedih hingga kurus, bisa gembrot karena terlalu banyak tidur dan makan enak.
"Wanita yang begini bisa menjadi permaisuri. "Tapi pasti bukan seorang putri yang luhur budinya, putri yang mewarisi darah Baginda Raja Sri Kertanegara."
Disinggung nama ayahanda yang sangat dihormati, hati Gayatri yang keras jadi luntur. Helaan napasnya menandakan menerima kedatangan Tribhuana. Menandakan mau membuka hatinya untuk rerasan, untuk bertukar rasa.
"Nimas Ayu Gayatri adikku, kenapa kamu memilih bersedih dengan cara membunuh diri seperti ini?
"Apakah kamu tak mau melihat mbakyumu ini lagi?
"Apakah nama agung ayah kita tak mempunyai arti lagi bagimu?"
"Mbakyu Ayu Tribhuana yang pandai bertutur kata, mengapa Mbakyu Ayu mengganggu saya?"
"Aduh, Nimas Ayu, untuk apa aku datang kalau hanya untuk mengganggumu? Bagiku lebih senang duduk berharap Baginda datang. Hatiku lebih berbunga mendengar kau berduka.
"Karena dengan demikian, berkuranglah sainganku. Karena, meskipun kamu adik kandungku, kamu juga seteru, sainganku, dalam merebut kasih sayang Baginda.
"Tetapi kita putri Singasari terakhir dan terbesar sepanjang masa. Tak pernah memikirkan kepentingan pribadi dengan menginjak penderitaan orang lain. Pun andai orang lain itu bukan darah bukan daging yang sama.
"Kita dilahirkan sebagai putri Singasari yang agung. Keraton yang menyebarkan umbul-umbul ke seluruh penjuru jagat.
"Kita ditakdirkan menjadi permaisuri Majapahit yang agung. Keraton yang sedang dibangun untuk ketenteraman jagat.
"Dari semua wanita yang ada, hanya kita berempatlah yang dipilih Dewa Mahaagung untuk mengemban tugas mulia ini."
"Semua yang Mbakyu Ayu katakan tak satu patah pun keliru. Namun Mbakyu Ayu tak tahu bahwa..."
Tribhuana memandang bahagia. "Aku tahu, Nimas Ayu.
"Aku bisa mengerti kekecewaan dan keinginanmu yang terpendam. Aku tahu ketika Baginda mengirimkanmu ke Perguruan Awan. Aku tahu apa yang kira-kira terjadi di sana sehingga kamu membisu.
"Aku bisa mengerti dan tidak menyalahkanmu.
"Tetapi aku tak bisa membenarkanmu jika kautunjukkan perasaanmu dengan cara wanita biasa."
Gayatri menunduk. Duka masih memeluk.
"Mbakyu Ayu tidak mengetahui bahwa adikmu ini sudah bertemu Kangmas Upasara. Sudah dibebaskan dari tangan seorang penculik durhaka. Akan tetapi Kangmas Upasara tak mau bertemu denganku. Tak mau mengucapkan sepatah kata, tak mau mendengarkan sepatah kata pun."
"Senopati Pamungkas itu memang lelaki sejati.
"Ia tahu menjaga diri. Menjaga dirimu, Nimas Ayu." "Mbakyu Ayu..."
"Biarlah mbakyumu ini menyelesaikan kalimatnya lebih dulu.
"Upasara Wulung adalah lelaki sejati. Karena ia menang dalam memperebutkan daya asmara darimu.
"Upasara Wulung adalah lelaki sejati. Karena ia menang dalam pertarungan daya asmara dalam dirinya.
"Apa susahnya untuk bertemu, bercakap, dan bersenang denganmu? Tak ada yang menghalangi. Tak ada yang mengetahui.
"Tetapi justru di saat seperti itu, lelaki sejati tak mau menodai kesucianmu. Tak mau menyeretmu ke dalam kubangan yang hina. Ia memenangkan kesucian di atas keserakahan dan kehendak manusia biasa. "Upasara Wulung meluhurkan derajat kewanitaanmu.
"Nimas Ayu, terus terang mbakyumu iri padamu. Kamu memiliki tempat di sudut hatimu bagi seorang lelaki sejati. Yang juga menyediakan sudut hatinya bagi dirimu.
"Bukankah itu sangat membahagiakan?