Senopati Pamungkas Buku - I Jilid 02

Jilid 02

Upasara hanya keluar dari tempat latihannya setahun sekali. Untuk menjajal ilmunya. Dengan para prajurit yang lain. Baik satu lawan satu, ataupun dikeroyok. Dengan lawan perwira yang biasa-biasa, sampai dengan yang pilihan. Dan setiap 33 hari sekali, Ngabehi Pandu menemuinya untuk menurunkan ilmunya. Memberikan pelajaran satu-dua jurus baru. Selebihnya mengulang yang lama.

Meskipun boleh dibilang gila silat, Upasara jemu sekali. Itu sebabnya tanpa membantah ia mengatakan sanggup. Apalagi dikawal langsung oleh Ngabehi Pandu, Dan Wilanda—satu-satunya perwira Keraton yang mengenal Perguruan Nirada. Upasara boleh dibilang tak menemukan lawan yang setanding di Keraton. Akan tetapi begitu terjun ke gelanggang, ia menyadari bahwa apa yang dimiliki selama ini masih tingkat awal sekali. Boleh dikatakan, sekali pun ia belum pernah menang. Malah boleh dikata kalah. Beberapa kali, malahan ditolong oleh gurunya sendiri untuk menyelamatkan nyawa.

Sebenarnya Upasara tak perlu menggetuni dirinya sendiri. Boleh dikatakan lawan yang ditemui adalah jagoan kelas tinggi. Dewa Maut dengan Padmamuka misalnya, adalah jagoan yang tersohor. Bukan nama sembarangan. Apalagi kini sekali masuk, ia berada di Perguruan Awan yang mempunyai pengaruh begitu luas.

Namun, mudah diduga, Upasara tidak merasa puas.

Justru sebaliknya sangat mendongkol. Darahnya serasa masih berdesir panas. Makanya, ketika yang lainnya mempergunakan kesempatan untuk beristirahat dan bersemadi, Upasara melihat sekeliling. Menemukan kudanya yang mati kaku. Lagi-lagi korban racun Dewa Maut. Kalau beberapa saat lalu disaksikannya sendiri kuda itu lari pontang-panting menabrak cabang dan ranting tanpa peduli, kini sudah mati kering. Mata kuda itu membelalak, badannya kaku kejang. Dari bibirnya seperti keluar ringkik yang tak selesai. Dan tak ada air liur meleleh—itulah sebabnya Upasara menyebut sebagai mati kering.

Berjalan beberapa tindak lagi, tiba-tiba Upasara mendengar suara-suara. Dengan sigap ia meloncat ke atas pohon untuk mengawasi keadaan sekitar. Tak begitu sulit memanjat pohon sampai ke ujung tanpa menimbulkan suara.

Hanya saja, begitu sampai di ujung Upasara terperanjat sekali. Ia tak pernah menduga bahwa di bagian lain dari tempatnya bertempur, kini sedang terjadi sesuatu yang lebih besar. Bagaimana mungkin ia bisa tak mengetahui?

Memang apa yang dilihat Upasara cukup membuat heran.

Di sebuah lapangan yang rada luas, tapi masih tetap dikelilingi pohon tinggi, berdiri sepuluh perwira Keraton. Dalam keadaan siap siaga dengan tombak dan tameng. Agak jauh di belakang mereka ada seorang pemimpin yang naik kuda. Kuda hitam mulus. Sekelebatan, Upasara bisa mengenalinya sebagai Senopati Suro, Kepala pasukan Keraton. Mana mungkin bisa sampai kemari lebih dulu, pikir Upasara. Rasanya, Ngabehi Pandu memberitahukan bahwa ini tugas rahasia dari Keraton. Boleh dikata tak ada yang tahu. Tapi nyatanya, jelas omong kosong, Karena Senopati Suro sudah mengerahkan sepuluh pengawalnya yang terbaik. Agak di belakang ada sebuah tandu tertutup. Upasara tidak bisa memastikan siapa yang ada di dalamnya.

Tapi ini pasti hebat. Ia sendiri berkuda siang-malam. Boleh dikatakan tanpa berhenti untuk makan atau mandi. Eh, toh ada rombongan lain yang juga dari Keraton serta memakai tandu. Apa bukan luar biasa?

"Kami datang dengan baik-baik. Tetapi kalau tuan rumah tak mau menyambut, jangan salahkan kami yang berlaku kurang ajar," Senopati Suro menyepit perut kuda hitamnya. Yang seperti busur panah melesat ke depan.

Baru kini Upasara bisa melihat jelas. Ternyata di lapangan itu ada beberapa kelompok. Selain pasukan Senopati Suro juga ada tiga kelompok lain. Salah satu kelompok berjalan dengan seenaknya maju ke tengah.

"Aha, kalau negara sudah ikut campur, urusan ini bakalan ramai. Ramai sekali. Tetapi untuk apa berkaok-kaok seperti itu. Semut bisa takut lihat kuda gagah, tetapi manusia bukanlah semut. Tak bisa ditakuti seperti anak kecil. Hai, penunggang kuda yang gagah, apa maksudmu berteriak seperti itu?",

Upasara melengak. Benar-benar aneh dunia silat ini. Kalau di Keraton segalanya serba teratur, serba penuh tata krama, tapi kayaknya di sini tak ada aturan apa-apa. Boleh main tegur sekenanya.

Siapa kira seorang yang setengah baya, berpakaian penduduk biasa, berani menggertak seorang senopati?

"Maaf, kami tak ada urusan dengan kalian. Kami ingin bertemu tuan rumah." "Astaga, sebagai sesama tetamu kenapa mesti berbuat kasar? Kami juga tetamu

yang justru datang lebih dulu. Kenapa yang datang belakangan minta dilayani lebih

dulu? Apa karena ia senopati Keraton sehingga bisa dan boleh berbuat semaunya? "Aku tak bisa melihat cara-cara seperti ini. Kalian harus antre dengan baik."

Dua prajurit yang di depan bereaksi. Akan tetapi Senopati Suro memberi tanda untuk bersikap tenang.

"Saya datang kemari ngemban dawuh, mengemban sabda raja, tidak ada waktu untuk bermain-main. Maaf, bisa kita lanjutkan pada kesempatan yang lain.

"Kami bukan tak kenal dengan Tiga Pengelana Gunung Semeru yang terhormat. Kami bukan tak gatal untuk menjajal nama besar, akan tetapi sekarang bukan saatnya."

Lelaki yang disebut sebagai anggota Tiga Pengelana Gunung Semeru tertawa

lebar.

"Siapa minta dilayani? Siapa minta bermain? Saya hanya bilang kalau mau bertemu dengan tuan rumah, harap pakai aturan yang benar. Kita datang lebih dulu. Bukan begitu?"

Pertanyaannya entah ditujukan kepada siapa. Karena tak ada yang menjawab dan tak ada yang bereaksi.

Di atas pohon, Upasara merasa bergirang hati. Ia mengetahui dari Wilanda tentang tokoh-tokoh dunia silat. Tiga Pengelana Gunung Semeru termasuk yang disegani. Terutama jika ketiganya maju secara bersamaan membentuk Barisan Trisula. Mereka ini terdiri atas tiga orang yang selalu pergi bersama-sama. Malah menurut beberapa sumber ketiganya masih saudara kandung. Nama mereka tak terlalu sulit, karena merupakan urutan persaudaraan. Yaitu Kakang Mbarep—si sulung, Panengah—yang kedua, serta Wuragil—yang paling berangasan sifatnya. Namun seperti pendekar yang lain, selama ini meskipun namanya pengelana, mereka sudah sejak lima tahun terakhir tak ada kabar beritanya. Karena memusatkan diri di Gunung Semeru. Boleh dikatakan, meskipun ketiganya termasuk jagoan, akan tetapi karena lebih banyak berkutat dengan diri sendiri, pengaruhnya tak begitu terasa. Bahkan dalam kurun waktu terakhir ini boleh dikata tak ada yang membicarakan lagi.

Tetapi bagi Upasara lain soalnya. Ia sedang kesengsem untuk bermain silat. Apalagi dari Ngabehi Pandu ia pernah mendengar tentang Barisan Trisula yang termasuk disegani. Makanya ia ingin agar terjadi bentrokan segera dengan Senopati Suro. Namun yang terakhir ini nampaknya masih bisa menahan diri.

"Kalau yang tua tak tahu aturan, kapan lagi bisa mati dengan tenang?"

Ini baru kejutan. Kalau yang mengatakan itu seorang jago masih masuk akal. Tapi sekali ini semua yang hadir dibuat melengak. Karena yang mengatakan adalah seorang bocah yang masih bau ingus. Benar-benar bau ingus, karena di bagian bawah hidung nampak kotoran. Pakaiannya kelewat dekil. Kalau tidak betul-betul diperhatikan, agak susah membedakan dia lelaki atau perempuan. Hanya kain kembennya yang menutup sebagian dada yang memperlihatkan ciri-ciri kewanitaannya.

"Oho, ada kuntilanak mana membiarkan anaknya keluyuran seperti ini?" Suara Wuragil belum selesai, ketika si gadis kecil mengayunkan tangannya. Lembut, indah, bagai seorang sedang menari. Hanya saja Wuragil cepat menghindar dan balik menyerang. Semua yang hadir rada bercekat. Bukan karena apa, tapi karena Wuragil ternyata sangat telengas. Sekali gebrak tangannya mencowel bagian dada.

Ini jelas kurang ajar.

Walaupun tak ada aturan tertulis, semua pendekar atau jago silat tak begitu mudah mengumbar serangan yang menjijikkan. Boleh dikatakan tak bakal menyerang bagian yang melanggar kesusilaan. Maka termasuk aneh kalau Tiga Pengelana Gunung Semeru, yang selama ini punya nama baik, bisa melakukan hal yang rendah.

Tapi si gadis cilik ternyata juga bukan sembarangan, Tangan kirinya menangkis dengan keras. "Sudah tua masih jorok. Sungguh, mati tak pantas, hidup pun tak pantas." Wuragil sengaja tidak menarik tangannya.

Plak. Plak.

Sekali dua tangan saling beradu. Plak kedua sungguh mengherankan. Pipi Wuragil kena ditampar! Tak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang jagoan bisa kena gampar dalam sekali gebrak? Mana lagi lawannya anak kecil? Dalam satu gebrak di depan banyak tokoh kelas satu.

Cuh.

Kali ini benar-benar sial bagi Wuragil. Sudah kena gampar masih diludahi lagi.

Yang kedua juga tak sempat menghindar. Sehingga baju atasnya jadi basah. "Aha, harum kan baunya?"

Ledekan ini juga lebih menyakitkan. Kakang Mbarep dan Panengah yang sejak tadi berdiam diri mengawasi, langsung meloncat maju dan memasang kuda-kuda. Barisan Trisula. Namun jelas, mereka sendiri jadi kagok. Biar bagaimanapun agak repot kalau ketiganya harus mengeroyok seorang anak kecil. Menyerang jadi malu, bertahan bisa terus-menerus diperolok.

"Ayo, aku mau jajal barisan kalian. Trisula yang kalian banggakan itu macam mana. Apa cukup untuk menggaruk punggung atau tidak. Kalau ternyata tidak bisa, kalian harus turun dari Gunung Semeru. Mengotori tempat. Gunakan barisan kalian untuk meluku sawah. 

"Ayo, jangan sampai aku menampar kalian satu per satu.

"Hebat dan panas kalimat si gadis cilik. Dilihat dari usianya, baru sekitar sepuluh tahun. Sebanyak apa pun pengalamannya, pastilah tetap luar biasa bisa mengenali Tiga Pengelana. Apalagi mengenali Barisan Trisula. Dan sekaligus meledek sebagai barisan untuk menggaruk punggung atau meluku sawah. Memang pada zaman itu ada alat yang digunakan untuk menggaruk punggung yang gatal. Biasanya digunakan oleh para bangsawan. Dibuat dari tanduk. Ujungnya bergigi seperti sisir. Maka cukup keterlaluan mengumpamakan dengan alat penggaruk punggung. Sama tidak lucunya dengan mengumpamakan sebagai luku—alat untuk membalik tanah seperti bajak. Kalau Upasara terheran-heran, jago yang lain yang lebih jeli bisa melihat bahwa si gadis cilik kepandaiannya tidak terlalu tinggi. Biar bagaimana seusia itu tenaga dalamnya belum bisa menandingi Wuragil. Bahwa tadi berani bentrok tangan itu soal lain. Soal keberanian semata. Bahwa si gadis cilik tidak mengaduh atau memperlihatkan rasa nyeri, itu juga karena bandel saja. Dan soal tamparan di pipi, karena Wuragil sama sekali tak memperhitungkan bahwa setelah bentrok tangan, si gadis cilik ingusan masih meneruskan serangannya. Kini kalau terjadi duel benaran, bisa-bisa si gadis cilik jadi sungsang-sumbel. Tapi dasar si gadis cilik masih belum tahu tingginya langit dalamnya lautan, ia menantang dengan tenang saja.

Melihat yang ditantang berdiam diri, si gadis cilik tertawa bercekakakan. "Kalau cuma tiga orang gunung yang kepandaiannya sebegini, buat apa

mencari tuan rumah? Eyang Sepuh tak perlu menemui sendiri. Dengan modal dengkul begini, bagaimana bisa menyambut Tamu dari Seberang? Lebih baik kalian cepat pulang kampung di gunung bertanam jagung."

Wuragil tak bisa menahan diri. Pertama kali karena disinggung modal dengkul. Ini sindiran yang mengena. Memang Barisan Trisula mengandalkan daya tahan dan daya serang bagian kaki. Jadi boleh dikata memang bermodalkan dengkul alias lutut. Tapi dari caranya menyebutkan, si gadis cilik bisa memojokkan. Kedua, secara langsung si gadis cilik ini sudah menyebut nama Eyang Sepuh. Bahkan dengan suara sama entengnya meneriakkan Tamu dari Seberang.

"Adik Cilik, maafkan. " Suara Kakang Mbarep atau Pembarep masih terdengar

menggambarkan kesabaran. "Kami memang kurang pantas dan berlaku kurang ajar pada adik cilik. Kami ingin sowan Eyang Sepuh, adakah beliau bersedia menerima kami?"

"Adik Cilik, Adik Cilik! Memangnya aku tak punya nama?" "Maafkan, siapa nama Adik Cilik?"

"Jagattri namaku. Nah, panggil yang baik." "Baik, Jagattri. "

"Enak saja memanggil seperti itu. Memangnya aku sudah setua kalian semua.

Panggil aku Gendhuk Tri." "Gendhuk Tri...," suaranya tetap kalem. Bahkan terdengar akrab. Sebutan gendhuk, anak perempuan kecil, adalah sebutan yang akrab.

"Baik. Apa yang akan kautanyakan, Pembarep? Kau sudah mau mengubah cara memanggilmu. Aku akan menjawab dengan jujur. Tadi kautanyakan apakah Eyang Sepuh bersedia menerima kalian atau tidak. Bagaimana kalau jawabannya mau?"

"Kami akan sowan?"

"Kalau dikatakan tidak mau?"

"Kami akan segera angkat kaki dari sini."

"Tak percuma kalian mendapat gelar yang bagus. Ternyata masih ada yang berharga dari manusia gunung ini. Aku akan menjawab dengan jujur. Eyang Sepuh tak bisa menerima kalian semua. Juga tak bisa menerima siapa pun. Silakan angkat kaki seperti janji kalian."

"Anak ingusan, kau tahu apa tentang Eyang Sepuh? Siapa sudi mendengarkan omonganmu yang tak becus?"

"Wuragil ini mestinya tak usah dilahirkan di dunia, Untuk apa kalau cuma Mengotori Gunung Semeru?"

Wuragil mengangkat tangannya, Pembarep menggelengkan kepalanya. Dalam gusarnya Wuragil membuang tenaga ke samping. Pohon di mana Upasara berlindung jadi bergoyang-goyang keras. Daunnya rontok. Terpaksa Upasara melorot turun.

"Sejak kapan Eyang Sepuh tak menerima tetamu?"

"Tak ada yang memastikan. Tetapi memang agak lama."

"Apakah Eyang Sepuh pergi bersama dengan Tamu dari Seberang?"

"Siapa yang tahu? Siapa tahu Eyang Sepuh pergi bersama Tamu dari Seberang atau tidak? Siapa tahu Tamu dari Seberang itu bakal datang atau tidak? Kenapa kalian semua mempersoalkan ini? Apa istimewanya Tamu dari Seberang sehingga kalian semua berbondong-bondong datang ke tempat sunyi ini? Kukira tadinya kalian para ksatria dan pendekar ternama. Tak tahunya seperti anak-anak yang mudah dibohongi. Percuma nama besar kalian semua." Baru saja Gendhuk Tri menutup mulutnya, terdengar ringkik kuda tinggi. Senopati Suro melayang dan sekali gebrak ia mencoba meringkus tubuh si gadis kecil. Jarak antara Senopati Suro dan Gendhuk Tri cukup lumayan jauhnya. Tak bisa dijangkau dengan satu loncatan. Tetapi Senopati Suro meminjam tenaga kuda hitam. Dengan sendirinya cukup untuk menjambret Gendhuk Tri. Apalagi caranya ialah dengan meluncurkan badan seolah tiduran. Dan sekali cengkeram, akan sulitlah untuk dilepaskan. Kalaupun menangkis, ia pasti sudah akan terlibat dalam pertempuran jarak pendek, karena Senopati Suro sudah berada di depannya. Kalau menghindar juga menghadapi hal yang sama. Karena begitu Senopati Suro bergerak, Senopati Joyo, Senopati Lebur, sudah mengurung. Sementara Senopati Pangastuti sudah bersiaga untuk maju ke tempat mana memerlukan bantuan.

Tiga Pengelana Gunung Semeru mengeluarkan seruan tertahan. Mereka boleh dibilang jago dalam soal baris-berbaris, dalam serangan bersama. Akan tetapi melihat kesigapan dan kecepatan bergerak, rasanya para perwira Keraton Singasari ini tak akan kalah gesit. Padahal kalau dilihat dari awal tadi, seperti tak ada persiapan khusus. Bahkan sepertinya, Senopati Surolah yang menjadi pemimpin utama, sementara yang lain seperti prajurit biasa. Namun dalam seketika, si pemimpin atau yang dipimpin menjadi satu.

Kalau Gendhuk Tri mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi, rasanya masih sulit melepaskan cengkeraman.

Dalam sekejap terjadi beberapa perubahan besar.

Gendhuk Tri dengan cara yang aneh meloloskan diri. Cara yang disebut aneh, karena Gendhuk Tri secara tiba-tiba menjatuhkan dirinya ke tanah, bergulung seperti bayi masih dalam kandungan. Tubuhnya memang termasuk ukuran pendek, apalagi menjatuhkan diri secara seketika. Bukan dengan merendahkan diri atau duduk, tetapi benar-benar berbaring. Mana ada jurus menghindar model begini?

Serentak dengan gerakan itu tadi, sesosok tubuh menyerbu ke tengah, Mudah diperhatikan karena sosok itu tinggi, besar, dan semua pakaiannya berwarna hitam. Dengan gerakan kaku, tapi gerakan tubuhnya memperlihatkan kekuatan, ia langsung menggempur ke arah Senopati Suro, Senopati Joyo langsung menyambut dari kiri. Di tangannya ada kelewang pendek sementara Senopati Lebur mengayunkan gadanya. Seakan benar-benar ingin menggebuk hancur. Tak dinyana, lelaki berpakaian hitam itu tak berusaha menghindar, tak menangkis. Ia maju begitu saja. Karena memang tak bermaksud membunuh, Senopati Joyo mengurangi tenaganya. Ia hanya ingin sekadar melukai kulit saja. Dan Senopati Lebur juga mengalihkan ayunan gadanya. Di tempat persembunyiannya Upasara terpekik. Sebagai orang Keraton, Upasara paham betul kelebihan masing-masing perwira. Dengan senjata andalannya, Senopati Joyo memang termasuk luar biasa. Makanya, walaupun bukan sampai mati ngenas, luka yang diakibatkannya takkan bisa dianggap enteng. Tapi ajaib. Ketika kelewang itu menyentuh bagian lengan, seperti menumbuk besi. Keras. Senopati Joyo kaget. Tapi terlambat. Lelaki berpakaian hitam itu sudah nyelonong ke depan, langsung mengangkat Gendhuk Tri, mengempit di pinggang kanan, dan berlalu.

Baru kini Upasara bisa memperhatikan dengan saksama. Lelaki itu berwajah keras. Seluruh wajahnya hampir ditutupi dengan rambut. Ikat kepalanya pun seperti tertutup rambut. Hingga kepalanya nampak aneh. Sorot matanya tajam dan keras. Tidak menunjukkan wajah bersahabat.

"Mau ke mana, Pu'un Tua?" Tiba-tiba terdengar seruan halus.

Seorang nenek yang seluruh rambutnya berwarna putih, berdiri genit menghalang. Sikapnya sangat bertentangan dengan usianya. Nenek tua berambut putih ini tidak membawa senjata apa-apa. Hanya selendang warna-warni yang nampak aneh sekali. Aneh karena tidak cocok dengan usianya,

Yang paling gusar adalah Dewa Maut. Baginya, Padmamuka yang dipanggil Tole, adalah segalanya. Apa yang dikatakan Padmamuka akan dituruti dengan serta- merta.

Memang sebenarnya ada hubungan yang aneh antara Dewa Maut dan Padmamuka. Hubungan ini bukan rahasia lagi di kalangan dunia persilatan. Dewa Maut konon tadinya adalah pendekar biasa, tidak mempunyai sifat yang aneh. Sampai kemudian karena mengalami peristiwa yang menghancurkan cintanya. ia bersumpah tak akan mau menginjakkan kakinya di daratan lagi. Seumur-umur hidupnya dilewati sendirian di atas perahu yang hilir-mudik di Kali Brantas. Sampai suatu ketika bertemu dengan Padmamuka. Seorang yang tersisih dari dunia karena tubuhnya yang tetap kecil dan pendek. Entah bagaimana ceritanya, Padmamuka diambil sebagai murid atau anak angkat atau cucu angkat. Diajari ilmu silat. Sedemikian kerasnya Dewa Maut mengajari sehingga lambat laun wajah si bocah aneh ini menjadi merah, dan dipanggil Padmamuka. Mungkin sekali karena pengaruh ilmu racun yang diperdalam oleh Dewa Maut.

Sejak pertemuan yang tak banyak diketahui itu Dewa Maut dan Padmamuka selalu bersama-sama. Paling hanya bertemu orang luar kalau ada nelayan yang lewat sungai. Untuk dirampas barang yang dibawanya atau diambil nyawanya. Begitulah selalu, sehingga timbul dugaan bahwa hubungan mereka berdua bukan sekadar hubungan guru dengan murid. Tetapi lebih jauh dari itu. Mengingat keduanya manusia yang segi biologisnya normal tapi sikap hidupnya suka melanggar aturan. Apalagi keduanya tersisih dari masyarakat ramai—baik karena kemauan sendiri maupun karena situasi.

Maka hubungan yang aneh-tapi-mesra antara keduanya juga tercermin dalam sikap sehari-hari secara agak berlebihan. Cara mereka menggendong satu sama lain, cara mereka memperhatikan satu sama lain.

Bisa dibayangkan kini, ketika Padmamuka menjerit, betapa murkanya Dewa Maut. Dalam keadaan seperti itu, sudah bisa ditebak. Dengan mengeluarkan teriakan keras, Dewa Maut memutar kedua tangannya ke atas dan serentak dengan itu, dari seluruh bagian tubuhnya meluncur senjata rahasia beracun. Duri-duri beracun yang sangat diandalkan.

Upasara, untung saja, sudah mengetahui keganasan Dewa Maut. Ia memakai cara yang dipergunakan Ngabehi Pandu. Meloloskan kainnya secara seketika, dan memutar bagai payung. Bagai kitiran hidup, Upasara bergerak menyongsong ke arah serbuan duri beracun. Gendhuk Tri dengan demikian juga terlindungi. Jagaddhita mengeluarkan pekik keras,

"Keji!"

Sambil meloncat tinggi. Senopati Suro, Joyo, Lebur, dan Pangastuti juga berjaga dengan senjata masing-masing untuk melindungi diri secara sempurna. Tiga Pengelana Gunung Semeru pun serentak saling merapatkan diri, dan mengatur pertahanan dengan gerak bertahan. Pu'un yang sejak tadi hanya berdiri kaku dan mendongak juga mengeluarkan seruan keras sambil jumpalitan. Kalau tokoh yang terkenal dengan ilmu kebal pun harus menyingkir dengan cara seperti itu, bisa dimengerti bahwa yang disebarkan oleh Dewa Maut sangat mengerikan.

Kalau di antara mereka yang ada di tengah lapangan bisa mempertahankan diri, tidak demikian halnya dengan yang menjaga tandu. Para prajurit ini, walau bukan prajurit sembarangan. akan tetapi tak cukup bersiaga untuk diserang dengan cara hina seperti ini Lima prajurit langsung mengaduh, berteriak keras, sebelum akhirnya menjadi kejang. Mata masih melotot membayangkan rasa sakit yang tak tertahankan sebelum ajal sampai.

Tidak berhenti di sini, Dewa Maut meloncat maju. menebarkan sisa-sisa racun durinya. Sambil menjerit bagai serigala terluka. Dewa Maut berusaha membunuh Upasara dalam sekali gebrak. Tirai yang menutup tandu terkuak sedikit dan sebatang anak panah meluncur lurus ke arah mata Dewa Maut. Di tengah udara, Dewa Maut menampik anak panah dan terus menerjang. Tapi begitu anak panah pertama berhasil ditebas, anak panah kedua menyusul. Dewa Maut menghindar ke samping, satu pukulan keras dilemparkan ke arah tandu.

Senopati Suro mengangkat kedua tangannya secara serentak memapak tangan keras Dewa Maut. Tiga Senopati yang lain juga tak tinggal diam melihat junjungannya diserang. Dalam sekejap Dewa Maut berada dalam kepungan para senopati.

"Senamata Karmuka, kenapa kau tak ikut keluar melihat suasana? Udara di dalam tandu terlalu sumpek, bukan?" Jagaddhita bersuara pelan. Arah suaranya ditujukan ke bagian dalam tandu.

"Di dalam lebih enak. Kenapa kau tak masuk saja?"

"Ah, itu undangan bagus sekali. Hanya saja aku takut kau akan mati berdiri melihat diriku. Aku tak pantas menakut-nakuti pada saat sekarang ini."

Meskipun sedang dikerubut, Dewa Maut mendengar percakapan antara Jagaddhita dan yang sedang berada di dalam tandu. Ekor matanya melirik ke arah tandu. Kalau ada kesempatan sedikit saja, ia akan menggedor ke dalam tandu untuk memaksa penghuninya keluar.

Adat Dewa Maut memang lain dari kebanyakan orang. Ada kecongkakan yang mendarah daging. Ia tak bisa diperlakukan sebagaimana orang biasa. Selalu ingin lebih dihormati. karena merasa paling jago. Maka darahnya menjadi mendidih mengetahui ada orang yang enak-enak berada dalam tandu. Seolah memandang kelewat remeh padanya.

Bahwa nama besar Senamata Karmuka cukup dikenal. Dewa Maut tak mengingkari. Semua penduduk Singasari mengenal nama besarnya. Bagaimana tidak, kalau ia adalah laksamana perang. atau panglima perang. Senamata berarti panglima perang. Sedang Karmuka berarti busur. karena laksamana yang satu ini terkenal mahir dalam memanah.

Hanya saja ketika menangkis tadi, Dewa Maut merasa keahlian dan gelar besar lawan seperti dilebih-lebihkan. Jagaddhita memang jeli sekali melihat anak panah meluncur, ia bisa langsung menebak. Dan melihat cara pembicaraan keduanya, memang terlihat keakraban.

Sementara itu, Padmamuka masih berbaring di tanah. Darah mengucur keras dan pundaknya. Keris Upasara masih menancap. Agaknya Padmamuka tak berani menarik keris itu. Melihat kejadian ini, Gendhuk Tri merasa tidak sampai hati. Ia bergerak maju untuk mengobati.

"Hmmm. soal luka kecil begini saja bikin ribut. Mari sini aku tolong. "Gendhuk Tri maju dua tindak. Pu'un yang mengawasi bersiap diri.

"Ikut aku," katanya keras sambil menyambar Gendhuk Tri. Kali ini serangan Pu'un cukup kuat menutup kemungkinan larinya Gendhuk Tri. Bahkan andai berbaring seperti tadi pun, akan tetap tertangkap. Kesepuluh jari mekar bersamaan. Bagai cakar harimau. Gendhuk Tri menebas dengan kedua tangannya, hanya sekali ini ia tak berkutik. Langsung kena tangkap pergelangannya dan ditarik, untuk digendong lagi. Pembarep yang melihat ini turun tangan. Namun kasep. Gendhuk Tri sudah digendong, dan Pu'un meloncat pergi. Wuragil mengayunkan pedang sambil meloncat, mencoba menghadang. Tebasan pedangnya dipapak dengan jotosan keras. Dan aneh sekali, pedang Wuragil terlepas dari tangan! Bahkan kaki Pu'un langsung menyambar dada. Wuragil hanya punya satu jalan. Berjumpalitan ke atas.

...kenapa harus bersedih hati

waktu bayi temanmu adalah bidadari...

Gesit loncatan Jagaddhita, dan juga indah. Akan tetapi Pu'un telah meloncat lebih dulu. Jadi jarak antara keduanya tetap terentang jauh. Agaknya ini tak jadi soal benar bagi nenek berambut putih. Kalau ia bertekad mengejar, sampai ke ujung laut pun akan terus dikejar. Kalau buruannya masuk jurang atau mendaki gunung, ia akan terus mengikuti. Sampai bisa dekat dan untuk terus melanjutkan pertempuran. Sampai salah satu benar-benar tak berdaya.

Pu'un yang satu ini agaknya juga menyadari kenekatan lawan. Maka ia mengerahkan tenaganya. Larinya kencang dan sebentar kemudian meninggalkan lapangan. Tepat di arah jalan masuk ke gerombolan hutan, tiba-tiba muncul seseorang yang juga menggendong orang lain di pundaknya.

Itu adalah Jaghana yang sedang menggendong Wilanda. Dua-duanya nampak kaget dengan kemunculan yang mendadak. Bedanya, Pu'un merasa yang menghadang ini juga lawannya, maka langsung melakukan serangan. Cakar macannya kembali ke arah tengkorak lawan. Kepala Jaghana yang licin gundul seakan mau dikelupas kulitnya. Jaghana memiringkan sedikit kepalanya, dan giginya membuka. Kali ini cakar harimau dilawan dengan gigitan

Sebenarnya ini juga pemandangan yang menarik. Seorang berpakaian serbahitam dengan rambut awut-awutan sambil menggendong gadis cilik di pundaknya, melawan seorang gundul bersih yang juga menggendong seorang tua. Dilihat sekelebatan seperti orang tua yang sedang bercanda. Hanya saja kalau diperhatikan benar, ada semacam ketegangan yang menggigit. Gadis cilik yang dipanggul Pu'un meskipun nampak tersenyum geli, pandangan matanya kosong. Kesadarannya telah hilang. Tadi dalam mencengkeram, Pu'un sekaligus melapalkan mantera dengan mengusap wajah Gendhuk Tri. Yang kontan seperti kena sihir. Makanya ia tertawa-tawa aneh di atas panggulan Pu'un. Sementara Wilanda tak bisa banyak bergerak karena racun dalam tubuhnya masih terasakan. Kalau tenaga dalam dan penolongan padanya tidak dilakukan segera, nasib Wilanda tak berbeda dengan prajurit pilihan yang lain. Mati seketika.

Membarengi dengan gigitan, Jaghana menyapu kaki lawan. Justru saat ini Pu'un juga mengayunkan kaki untuk menebas dengkul lawan.

Ini juga tak mengherankan. Ada beberapa persamaan mengenai asal-usul antara Perguruan Awan dan ilmu yang dimiliki Pu'un. Juga mengenai pengembangannya dititikberatkan pada gerakan kaki. Mencari kuda-kuda, memperkuat pertahanan, ataupun menyerang, hampir semua berasal dari gerakan kaki. Sebenarnya ini memang ciri khas ilmu silat daerah pedalaman. Agak berbeda sedikit dari yang berkembang di daerah pegunungan. Di sini gerak meloncat lebih mendapat tekanan. Mungkin juga karena alam dan situasi di mana ilmu dan gerakan itu lahir mempengaruhi secara langsung. Di daerah pegunungan loncatan lebih banyak dilakukan. Dilihat dari titik ini, bisa dimengerti kenapa Wuragil tadi bisa terus-menerus diungguli lawan. Keistimewaan gerakan loncat tidak diperlihatkan. Apalagi memang gerakan mereka lebih banyak menuntut permainan bersama.

Dua kaki saling beradu keras. Jaghana mundur selangkah, tapi juga memapak tendangan lawan dengan kaki yang sama. Dalam sekejap terjadi delapan kali pertemuan dua kaki. Sama keras, seakan beradu tulang. Dalam delapan kali beradu, Jaghana bergeser mundur lima kali. Pu'un hanya tiga kali. Itu pun dengan perhitungan satu langkah digunakan untuk menyamping. Dari situ bisa ditakar bahwa untuk adu keras lawan keras, Pu'un lebih unggul. Setidaknya dalam situasi seperti itu. Wilanda yang berada dalam rangkulan Jaghana merasa tidak enak. Diam-diam ia mengerahkan tenaganya. Walau rasa sakit kembali menjalar, ia tak peduli. Dengan satu sentakan, ia melepaskan diri dari rangkulan dan melemparkan dirinya menjauh. Wilanda, dalam keadaan terluka parah pun, masih unggul dalam soal ilmu meringankan tubuh. Sehingga loncatannya masih jauh juga. Hanya saja Pu'un tidak mengira kalau Wilanda membuang diri. Ia justru berjaga. Begitu melihat bayangan melesat, disangkanya mau menerjang dirinya. Ia angkat tangan kanan tinggi-tinggi dan langsung mencengkeram bagian pundak. Langsung dilempar ke atas untuk terbanting keras di tanah. Pu'un memang sengaja mengerahkan delapan bagian dari tenaganya. Hatinya bercekat ketika berhasil mencengkeram tubuh lawan. Rasanya tidak ada perlawanan sama sekali. Akan tetapi untuk menarik pulang tenaga dalamnya, bukan hal yang mudah. Bisa-bisa malah melukai dirinya sendiri. Pu'un hanya mengurangi sepersepuluh tenaganya. Akan tetapi jelas bantingan itu masih cukup untuk meremukkan tulang-tulang Wilanda. Jaghana sama sekali juga tidak mengira bahwa Wilanda akan berbuat nekat. Perbuatan itu semata-mata dilakukan karena ia tak ingin merepotkan orang lain. Jaghana terharu. Sama sekali ia tak menyangka, bahwa jiwa luhur yang diturunkan sebagai sikap dasar dari Eyang Sepuh, ternyata tak pernah berkurang dalam diri bekas murid Perguruan Awan.

Saking terpananya, Jaghana tak menyangka bahwa Pu'un telah berhasil membetot dan mencengkeramnya.

Saat itu yang sedang melayang di udara adalah Jagaddhita. Ia sejak tadi mengejar Pu'un sambil terus rengeng-rengeng. Hanya saja Jagaddhita tak curiga sedikit pun bahwa Wilanda dalam keadaan sakit berat. Ketika melihat larinya Pu'un berhasil dihadang dan disibukkan, Jagaddhita tak menyangka sama sekali kalau ternyata yang sedang dibanting itu nyawanya sudah di ujung bibir. Dan ia memang bertujuan untuk menyelamatkan Gendhuk Tri. Maka begitu melihat Pu'un rada bebas dan berusaha lari, Jagaddhita langsung menyambar alis lawan. Kalau sentuhan itu dilorotkan sedikit saja, mata lawan bisa bolong karenanya. Kalaupun mencoba mengegos, telinga lawan bisa terpuntir karenanya. Bukan cuma daun telinganya yang bakal somplak atau lepas, tapi seluruh sarafnya bakal putus. Kalaupun ia mengegos mundur, rangkaian berikutnya sudah tersedia, yang akan makin menyulitkan kedudukannya. Inilah rahasia keunggulan silat Jagaddhita. Jenis penyerangan yang rumit dan penuh dengan variasi. Agaknya juga sengaja diciptakan khusus untuk dimainkan oleh Jagaddhita. Disesuaikan dengan kelembutan gaya tarian. Yang dalam setiap gerak mengandung seribu perubahan. Penyesuaian ini sangat banyak artinya. Seperti yang dialami sendiri oleh Upasara Wulung. Dasar gerakan Banteng Ketaton diciptakan Ngabehi Pandu untuk Upasara Wulung yang memiliki semangat dan daya serangan kuat. Makanya, seperti menjadi gerakan yang istimewa. Pu'un juga mengetahui kelebihan ini. Sekarang biar bagaimanapun, ia sendiri repot dengan Gendhuk Tri yang dipanggulnya. Nampaknya Pu'un cukup cerdik. Dalam keadaan terjepit ia menggunakan akalnya. Daripada makin keteter, Pu'un memutar tubuhnya sambil menekuk lututnya. Itu berarti kalau Jagaddhita tak mengubah atau tak menarik elusannya, yang menjadi sasaran adalah Gendhuk Tri sendiri. Dalam perhitungan Pu'un, Jagaddhita tak bakal melukai Gendhuk Tri sendiri. Toh dari sekian banyak orang, semua mempunyai dendam dan urusan dengan Gendhuk Tri, hanya Jagaddhita yang melindungi.

Tapi justru perhitungannya meleset!

Jagaddhita ternyata jauh lebih cerdik dari Pu'un. Ia tak mengubah dan mengurangi tenaganya. Ujung jarinya yang lentik terus melaju. Anginnya mendesir menuju ubun-ubun Gendhuk Tri yang kini terputar ke arahnya. Dan Gendhuk Tri sendiri dalam keadaan setengah sadar setengah tidak, tak menyadari bahaya besar. Ia tetap tertawa kosong.

Perhitungan Jagaddhita sebenarnya sama dengan perhitungan Pu'un. Hanya saja ia menarik kesimpulan yang berbeda. Ia juga memperhitungkan bahwa Gendhuk Tri menjadi incaran karena Gendhuk Tri mengisyaratkan tahu mengenai Eyang Sepuh serta Tamu dari Seberang. Pu'un pastilah menghendaki Gendhuk Tri dalam keadaan hidup. Dengan sendirinya ia akan berusaha melindungi. Itulah kesimpulan Jagaddhita sehingga ia tak menarik serangannya. Pada saat Pu'un menyadari hal ini, penahanannya sudah terbuka. Hanya ada dua kemungkinan. Pu'un mengorbankan Gendhuk Tri, atau untuk sementara mengalah. Dan Jagaddhita bisa membaca bahwa kesimpulan terakhirlah yang dipilih Pu'un. Jauh-jauh ia datang dari ujung barat, pasti tak ingin pulang dengan tangan kosong. Justru karena sekarang ada kesempatan.

Cerdik benar Jagaddhita membaca jalan pikiran lawan. Menebak dengan tepat dan memperoleh manfaat.

Sementara di pihak lain, Dewa Maut masih disibukkan dengan serangan bersama para senopati. Terutama desakan kuat dari Senopati Suro yang paling tangguh. Dalam keadaan murka, lebih banyak tenaganya terkuras. Kalau tadi ingin segera menyerbu ke dalam tandu, sekarang harus memusatkan konsentrasi pada lawan yang mengerubuti. Bahwa ia berada dalam posisi yang unggul, Dewa Maut sangat yakin mengenai hal ini. Akan tetapi bahwa ia tak bisa menyelesaikan dengan segera, ia mulai menyadari. Ia harus mengerahkan tenaga ekstra. Kalau pertempuran ini tak segera diselesaikan, berarti tenaganya akan makin terkuras. Padahal lawan lain yang bakal dihadapi cukup tangguh. Selain Upasara Wulung yang menjadi sumber dendamnya, juga masih ada tokoh yang berada dalam tandu yang misterius. Belum lagi tokoh lain, yang ia tak tahu berdiri di pihak mana. Dewa Maut mengeraskan hatinya. Kedua tangannya bergulung bagai kitiran dengan sangat, sangat cepat. Berusaha menerobos lingkaran penyerangan. Senopati Suro merasa arus berbalik dalam serangan itu. Ia merasakan keras dan makin berat. Ini yang dinamakan Sampan Membalik Arus. satu jurus simpanan yang diandalkan.

Kekuatan utama jurus ini adalah menggabungkan tenaga sendiri dengan tenaga lawan yang datang, untuk digulung dalam satu kumparan dan dipindahkan ke arah lawan. Makin besar daya serangan lawan. daya serang balik juga besar. Tetapi jika lawan berusaha mengurangi tenaganya. ia akan segera tergencet.

Dewa Maut menggerakkan tangannya lebih cepat. Getaran udara yang menekan menjadi semakin berat. Yang pertama kali terganggu adalah pernapasan Senopati Suro, Tekanan ini bila terus berkelanjutan. Senopati Suro akan kehilangan penguasaan diri. Gerakannya sekadar meluncur dari latihan atau hafalan yang ada dan lebih banyak menutup diri. Bukan lagi memainkan gerakan sesuai dengan situasi yang ada. Bukan menyerang bagian yang lemah dan memanfaatkan kekurangan lawan. Ini memang saat-saat yang kritis.

Bagaimanapun Dewa Maut masih setingkat lebih tinggi. Di samping itu, gerakan dan jurusnya termasuk berbeda dari yang berkembang di darat. Dewa Maut lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di atas sampan. Dengan sendirinya situasi lingkungan sangat besar pengaruhnya. Maka dalam beberapa hal. variasi dan jurusnya sulit ditebak.

Pada saat berhasil menebak pun, sudah sangat kepepet.

Ini semua masih harus ditambahkan bahwa Dewa Maut mampu memanfaatkan situasi. Bukan sekadar menguasai jurus yang dimainkan, tetapi bisa membaca. Biarpun ia jauh lebih lihai, cukup repot juga kalau melayani empat senopati yang mempunyai kepandaian hampir sama. Jalan satu-satunya adalah mendesak salah satu hingga benar-benar keteter. Dan itulah yang dilakukan oleh Dewa Maut.

"Tole. aku beresi satu demi satu."

Ketika itu, Pu'un yang mencelos luar biasa. Ia tak nyana bahwa Jagaddhita sama sekali tak menarik tangannya. Terpaksa ia meloncat ke depan—karena punggungnya menghadap ke Jagaddhita—seperti pohon rubuh. Dan Gendhuk Tri yang berada di pundaknya, dilontarkan ke atas. Tak terlalu sulit bagi Jagaddhita untuk meraih Gendhuk Tri lewat selendangnya. Sekali tarik, tubuh Gendhuk Tri berubah arah. Dengan satu putaran pendek, Gendhuk Tri mendekat ke arah Jagaddhita dan langsung dipeluk dengan enak. Jagaddhita mengucapkan mantera pendek, lalu mengusap wajah Gendhuk Tri. Namun ternyata pengaruh sihir Pu'un. tak hilang begitu saja. Dua kali Jagaddhita mengusap, tapi hasilnya sia-sia. Gendhuk Tri masih bengong saja dan matanya nyalang kosong.

Sementara di tempat lain, terjadi hal yang tak terduga. Ketika terayun tadi, tubuh Wilanda seperti bakal terempas keras. Sejak tadi Tiga Pengelana Gunung Semeru seperti penonton saja. Sejak Wuragil dipecundangi Gendhuk Tri, mereka jadi serba salah.

Tapi Pembarep memang memiliki sifat seorang ksatria tulen. Melihat seseorang menderita dan mendapat perlakuan tidak adil, hatinya tergerak. Hanya saja ia tak bisa menolong dengan tangannya sendiri karena ia belum yakin siapa yang ditolong, termasuk lawan atau kawan. Maka dengan menyalurkan tenaga dalam, ia menepuk pundak Panengah. Panengah sendiri, sejak tadi sudah bersiap. Maka begitu mendapat dorongan, langsung menjejakkan kaki dengan kuat ke tanah, dan sedetik berikutnya tubuhnya melayang, menyongsong tubuh Wilanda. Karena jaraknya yang tak memungkinkan bisa menangkap dengan sempurna, Panengah melemparkan tubuh Wilanda ke angkasa kembali. Dengan satu gerakan lembut, Pembarep menangkap tanpa menggeser kakinya.

Baru sekarang Upasara yakin bahwa mereka yang berkumpul di lapangan ini, masing-masing memiliki kelebihan utama. Meskipun hanya satu gebrakan. apa yang ditunjukkan oleh Pembarep dan Panengah cukup hebat. Kerja sama yang sangat terpadu. Seolah hanya satu kehendak saja.

Pembarep merasa tubuhnya menerima rasa hangat yang aneh. Datang dan pergi, dan tercium bau amis. Baru ia sadar bahwa tubuh yang digendongnya menderita keracunan yang ganas.

"Dewa Maut, kami mohon obat pemunah untuk saudara ini." suaranya tetap kalem dan lembut ketika menurunkan tubuh Wilanda. Wuragil-lah yang lebih dulu menyerang ke arah Dewa Maut.

"Kakang Mbarep, biar Adik yang mengambil sendiri."

Panengah juga langsung menyusun serangan dari arah yang berlainan. Dewa Maut yang tengah mencecar Senopati Suro jadi terdesak untuk sementara. Kalau tadi ia berpikir sudah bisa menaklukkan Senopati Suro, kini jadi lain. Pinggangnya jadi sasaran telak. Tangan kirinya diadu dengan tangan Wuragil sambil membalikkan tangan lawan ke arah serangan Pembarep. Dengan memindahkan tenaga, tekanan ke arah Senopati Suro jadi berkurang banyak. Dengan sigap Senopati Suro membebaskan diri dari tekanan, menghirup udara sangat banyak di dadanya, memusatkan perhatiannya, dan balas menyerang.

Sebenarnya walau Dewa Maut berilmu tinggi, ia tak mungkin menghadapi keroyokan empat senopati dan dua pengelana dari Semeru secara sekaligus. Justru karena kedua kelompok lawan yang dihadapi bisa menyusun serangan berantai yang rapi. Dan terutama sekali susah ditembus. Hanya karena dua kesatuan, jadi untuk sementara Dewa Maut masih bisa bertahan. Kalau tadi ia berniat menyerang ke dalam tandu, kini pusat perhatiannya dialihkan untuk menghadapi lawan sambil melihat suasana

Dan di lain pihak, Upasara mendekati Padmamuka. Ia merasa salah. karena kerisnya mengenai Padmamuka. Dalam hatinya. Upasara mempunyai penilaian yang berbeda antara Padmamuka dan Dewa Maut. Meskipun keduanya terkenal sama-sama jahat, tapi tetap berbeda kadarnya. Mungkin kalau Upasara tahu latar belakangnya jadi lebih yakin. Bahwa Dewa Maut mengalami kekecewaan yang besar dalam hidupnya karena orang lain. Sementara Padmamuka, sejak lahir ia sudah merasakan ketidakadilan dunia pada dirinya. Cacat tubuhnya terbawa sejak lahir. Kalau hubungannya sangat erat dengan Dewa Maut, itu karena Dewa Maut-lah yang sangat memperhatikan dirinya.

Namun tanpa mengetahui latar belakang ini pun. Upasara bisa menimbang sendiri. Bahwa sejak penampilan pertama. ia mendapat kesan bahwa Padmamuka menampilkan sikap yang memelas. Di balik wajahnya yang kemerahan, di balik senyum bayinya. seperti menyembunyikan suatu penderitaan.

"Mari, saya bantu untuk melepaskan."

Padmamuka memandang Upasara. Seperti menimbang-nimbang. Tapi sorot mata pemuda itu begitu polos. Mata itu menunduk mendekat. Dengan menotok jalan darah di punggung, Upasara berusaha menghentikan muncratnya darah dan sekaligus mengurangi rasa sakit. Baru kemudian, mencabut kerisnya dengan satu tarikan. Padmamuka mengeluarkan erangan pendek. Upasara mengeluarkan sesuatu dari gembolannya. Sejenis bubuk isika, yang diramu dari sejenis rumputan sebangsa ilalang. Upasara menaburkan bubuk isika ke luka Padmamuka. 

"Sebentar akan mengering." Bahwa seorang jago silat membawa jenis obat-obatan bukan hal yang aneh. Apalagi perjalanan ini sudah direncanakan, sehingga Upasara sudah mempersiapkan segala keperluannya. Yang agak aneh adalah sikap Upasara. Tadi baru saja bertempur soal mati-hidup. Sekarang malah membantu lawan dengan pengobatan.

Cara berpikir begini bukannya tidak masuk di akal Dewa Maut. Sejak melihat Upasara mendekat dan mencabut keris, mendengar Padmamuka mengaduh, dan Upasara menaburkan bubuk, Dewa Maut berubah pikirannya-Pastilah itu sebangsa obat pengurang rasa sakit. Maka dengan serta-merta Dewa Maut kembali mempraktekkan loncatan simpanan. Seperti orang yang terjun ke sungai. Tubuhnya meluncur setengah membelok bagai bentuk buah pisang.

Upasara sama sekali tidak menduga. Tidak menduga bakal diserang, dan tidak menduga serangan lawan bisa sampai ke arahnya. Jaraknya masih jauh, namun sentilan tangan mengeluarkan desis tipis. Tak ada waktu buat menghindar. Satu- satunya cara adalah menenggelamkan kepalanya. Tapi serangan lawan tertuju ke arah pundaknya.

Upasara menahan rasa sakit dengan mengatupkan gerahamnya. Ia tak mau mengeluarkan rintihan atau aduhan. Mencoba menghindar beberapa tindak, seluruh tubuhnya bagian kiri terasa kaku. Langkahnya limbung. Dan ternyata Dewa Maut tidak terhenti dengan satu serangan. Begitu menjejak tanah. sudah langsung mengirim serangan beruntun. Upasara membalik. Satu tangan terangkat untuk menerima pukulan dari Dewa Maut. Memang bukan tandingannya. Bahkan dalam keadaan paling siap pun Upasara bukan tandingan Dewa Maut. Karena ini soal mengadu tenaga dalam. Yang bisa melukai dari dalam. Jika tidak hati-hati, akibatnya bisa fatal. Cacat seumur hidup. Dan bagi kaum persilatan, adalah sesuatu yang paling mengerikan kalau tak bisa bermain silat lagi.

Upasara memang tak bisa memilih jalan lain. Kecuali kalau ia melemparkan tubuhnya dengan pancalan kaki satu, dan itu akibatnya bisa terguling-guling. Itu pun pasti akan terkejar lagi. Tapi mana mungkin Upasara memilih cara menghindar bergulingan seperti anjing kena pukul? Kalah atau menang tak jadi soal benar. Mati atau hidup itu soal kedua. Yang penting kehormatan tetap terjaga. Jiwa ksatria Upasara lebih kuat.

Sambil mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya ia himpun tenaganya. Tangannya terlepas dan terayun lurus. Dewa Maut tersenyum dalam hati. Bibirnya menyeringai. Sejak pertama tadi ia memang mengincar Upasara. Kini kesempatan untuk melumatkannya.

Namun sebelum ia melanjutkan pukulan, Dewa Maut menggeser tubuhnya, sebelah tangannya digerakkan ke belakang dan berteriak gusar. Sebatang anak panah kena disampok keras olehnya. Sementara satu tangan lagi beradu keras dengan Upasara.

Dewa Maut hanya mempergunakan empat persepuluh tenaganva untuk diadu, namun enam persepuluh untuk menyampok anak panah yang menjurus ke arah tenggorokannya. Karena menyampok panah lebih diperhatikan daripada pukulan Upasara.

Akibatnya sungguh tak terduga!

Anak panah itu ternyata tak sehebat yang ia duga. Bisa disampok dengan mudah. Sementara benturan tenaga keras menumbuk dari tangan Upasara. Jotosan tangan Upasara sangat keras dan menyentak. Itu barangkali bedanya dengan tenaga dalam mereka yang telah berpengalaman. Pada tingkat Dewa Maut, penyaluran tenaga dalam tidaklah menyentak seperti yang dilakukan Upasara. Biasanya bergelombang yang makin lama makin besar. Karena kalau mengerahkan sepenuh tenaga. dan lawan lebih dahsyat, bisa habis-habisan. Betul-betul bakal terluka dalam. Rontok semua isi dada dan perutnya.

Bagi Upasara, serangan ini pukulan terakhir. Karena tak mungkin bisa menghindar dan tak mungkin menyusun serangan berikutnya.

Dada Upasara merasa sesak sekali. Panas luar biasa. Pandangannya jadi kabur. Tumpuan kekuatan dengan satu bagian yang kaku tak mampu menyangga tubuhnya. Upasara bagai tertekuk. Ditahankan hatinya untuk bisa berdiri, tapi tetap tak mampu. Tubuhnya terguling.

Yang diderita Dewa Maut tak kurang parahnya. Gempuran tenaga dalam Upasara mampu menerobos ke ulu hatinya. Terasa sangat nek. Setelah bertempur sekian lama, tenaga Dewa Maut terkuras cukup banyak. Kim hanya dengan tenaga kurang dari separuh yang dipergunakan. bisa jebol pertahanannya.

"Kalian semua setan busuk. Main keroyokan kayak anjing kampung." Belum selesai omelannya, bibirnya berwarna merah karena darah. Sementara itu dari tandu keluar seorang lelaki yang tinggi. Pakaian kebangsawanannya begitu indah dan menawan. Wajahnya tak begitu kelihatan karena memakai irah-irahan. atau hiasan berbentuk mahkota.

"Menghadapi sesama anjing kampung. apa pedulinya main keroyok atau tidak."

"Percuma kau bernama panglima besar. Percuma kau laksamana Keraton Singasari, kalau beraninya menyerang dari belakang." Dewa Maut menghapus cairan merah dari mulutnya. Sebagian rambutnya yang putih terkena semburan.

"Sekarang ini semuanya ada di sini, biar mereka menyaksikan siapa yang jantan dan siapa yang busuk. Ayo majulah, Panglima."

"Kau tahu, aku tak peduli tata krama. Bagiku membunuhmu saat sakit atau jaya apa bedanya? Kau tahu apa bedanya aku dianggap panglima besar atau manusia busuk? Kau tahu itu. Semua tahu itu. Senamata Karmuka bukan orang gagah. Senamata Karmuka orang busuk yang menjadi kentut Baginda Raja. Penjilat besar, itulah gelarku sebenarnya. Nan, kau masih belum puas. Ayo maki sekali lagi."

"Pantas Keraton jadi sumpek. Isinya cuma cecunguk macam begini. Hah. Sungguh tidak nyana. Tadinya aku mengira penjilat besar adalah nama main-main. Hanya karena tidak berani dikirim ke mana-mana dan lebih suka menjadi kentut, makanya gelar itu kauterima. Tak tahunya memang begitu."

"Sudah cukup puas? Kalau sudah, aku akan membunuhmu, agar kau mati dengan sedikit rasa lega."

Kini boleh dikata semua pertempuran berhenti. Tinggal Senamata Karmuka yang sedang mendesak Dewa Maut. Semua perhatian tertuju ke arah mereka berdua. Termasuk Jagaddhita yang merasa bingung karena Gendhuk Tri masih belum juga bebas dari pengaruh sihir Pu'un.

Kalau orang lain dicaci seperti itu, pastilah sudah murka. Akan tetapi Senamata Karmuka biasa. Tertawa juga tidak, murka juga tidak. Kalem saja. Gelar penjilat besar, kentut besar, sudah lama jadi bahan pembicaraan. Bukan hanya di kalangan Keraton, tetapi juga meluas ke masyarakat Singasari.

Cemooh itu terdengar sejak Baginda Raja Sri Kertanegara banyak mengirimkan pasukan ke luar Jawa. Iringan demi iringan diberangkatkan. Para senopati dikirim ke berbagai penjuru tanah Jawa dan ke negeri seberang. Para senopati yang tingkatnya seperti Senamata, boleh dikatakan semua sudah dikirim ke luar Keraton. Akan tetapi Senamata Karmuka ini lain. Boleh dikatakan ia tak pernah meninggalkan Keraton. Ketika terjadi pemberontakan besar, Senamata Karmuka lebih suka berjaga dalam batas dinding Keraton. Kalau para pemberontak lari ke luar, itu bukan urusannya lagi. Bahwa Baginda Raja yang gemar mengirim ekspedisi tidak mengirimkan Senamata Karmuka, itulah awal dugaan adanya penjilatan besar. Cemoohan seperti kentut, karena sebenarnya justru untuk meledek. Kentut pun setelah keluar akan menjauh terbawa angin. Sementara Senamata masih saja ada di sekitar Keraton.

Kalau sekarang ini Senamata Karmuka sampai berada di Perguruan Awan, ini boleh dikatakan sudah luar biasa. Apalagi disertai dengan empat senopati yang lain. Pastilah ada peristiwa yang dianggap penting sekali dan segi keselamatan negara.

"Ayo keluarkan semua yang ingin kaukatakan. Aku masih memberi kesempatan sampai hubungan dua. Dua saja, tidak tiga.

Dewa Maut menyurut dua tindak.

Mengumpulkan tenaga dalam. Memusatkan konsentrasi. Tapi ternyata susah dikendalikan. Buyar entah terserap ke mana. Sebagian perhatiannya terserap ke rasa sakit.

"Bangsat tua." "Dua..."

"Ayo bunuh aku. Biar dunia menyaksikan..." "Satu..."

Senamata Karmuka mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Seperti mau menepuk nyamuk. Tapi semua sadar bahwa tepukan itu bisa mencabut nyawa.

"Tunggu, Kisanak..." Terdengar suara lembut. Jaghana maju ke depan sedikit, memberi hormat dengan menganggukkan kepala. "Kalau saya boleh mengajukan suatu usul, dan kalau Kisanak masih mempunyai waktu untuk mendengarkan..."

"Apa urusannya orang itu denganmu?" "Semua manusia adalah saudara kandung. Semua titah Dewa Yang Menguasai. Lebih dari itu, Niriti adalah tamu saya. Seperti juga kalian semua yang terhormat. Sungguh tak enak hati saya melihat tetamu harus mati di sini. Maaf, Kisanak, saya Cuma orang dusun yang kurang mengerti tata krama."

"Hmmm, jadi kau dari Perguruan Awan?"

"Saya tak berani mengatakan ini. Saya hidup di dusun ini. Nama saya Jaghana." Lagi-lagi Jaghana memberi hormat dengan menganggukkan kepalanya.

Senamata Karmuka mendongakkan kepalanya.

"Seumur hidupku belum pernah aku mengabulkan permohonan orang lain yang bertentangan dengan kemauanku sendiri. Lalu untuk apa sekarang aku harus berbuat lain?"

Nada suaranya tetap menggambarkan kecongkakan yang luar biasa. Caranya mengangkat wajah benar-benar menggambarkan pribadi yang tinggi hati.

"Kematian, seperti juga kelahiran adalah milik Penguasa Tunggal. Kita adalah hambanya yang kecil dan hina, sama sekali tak berkuasa untuk campur tangan."

"Hmmm. Baguslah itu, Kisanak. Aku memang hanya bisa berbuat hina dan kecil. Membunuh manusia yang telah melukai orang lain yang sedang ditolong. Katakan apakah ini juga campur tangan kehendak Dewa yang kausebut-sebut?"

"Saya minta maaf untuk itu. Kesalahan adalah sifat manusia, kekeliruan bisa kecil bisa besar. Bisa sekali bisa berulang kali. Akan tetapi, jika kita merasakan udara pagi, berarti kita sadar."

"Itu juga bagus. Tapi aku tetap mau membunuhnya. Kecuali kalau dengan satu serangan ia bisa membalas, ini sudah nasib baiknya. Kalau dalam satu serangan ini bahkan bisa melempar racun tikusnya, itulah nasib baikku. Apakah aku tidak cukup adil?"

"Kisanak... Maukah Kisanak membantu saya? Saya mempunyai satu masalah yang tak pernah bisa saya selesaikan. Mohon Kisanak memberi petunjuk.*'

Tiba-tiba saja Jaghana bersila di tanah. Helaan napasnya tertahan di dada. Matanya tertutup rapat. Satu tangan terangkat ke atas, sedang tangan kiri tetap di alas lutut. Hanya tangan kanan itu yang sedikit tergetar, selebihnya seluruh anggota badan seperti kosong tak berisi.

Pu'un melongo. Ia tak menyangka sama sekali sikap Jaghana menjadi demikian hormat. Dan caranya memberi hormat sama persis dengan yang biasa dilakukannya. Tanpa terasa Pu'un pun mengambil sikap yang sama.

"...Kisanak," suara Jaghana tetap lembut, namun semua yang ada di lapangan bisa mendengar jelas dan empuk. "Ada satu keluarga yang semua matanya buta. Seorang suami dengan istrinya, dan dua mertua perempuan. Yang satu ibu si suami, yang satu ibu si istri. Pada suatu hari mereka berjalan bersama. Si suami buta ini menemukan barang di jalan. Barang terbungkus itu ketika dibuka isinya adalah tujuh buah mata. Maka si suami pun memakai dua, si istri memakai dua. Satu diberikan pada mertuanya, satu lagi diberikan pada ibunya sendiri. Dan masalahnya tinggal satu mata. Kisanak, kepada siapa seharusnya mata itu diberikan? Kepada ibunya sendiri, ataukah kepada mertuanya?"

Yang hadir melengak.

"Kenapa jumlahnya cuma tujuh?" Wuragil berteriak gusar. Jagaddhita, walau merasakan keanehan, akan tetapi tidak mengeluarkan pertanyaan. Ini memang semacam teka-teki yang biasanya menjadi bagian dari tanya-jawab keagamaan. Konon, cara menanyakan dan cara menjawabnya dengan sikap seperti yang ditunjukkan oleh Jaghana dan Pu'un. Sebenarnya juga, ketika Upasara Wulung menangkap lemparan keris dengan dua tangan tadi, sudah membuat Pu'un heran setengah mati. Itu persis juga dengan gerakan Tepukan Satu Tangan. Gerakan murni yang diajarkan dengan tanya-jawab seperti ini. Seperti sekarang ini, hanya menengadahkan satu tangan saja.

Kalau Pu'un terheran-heran, bisa dimengerti. Karena ia jarang bahkan tak pernah berkelana. Jarang bersua dengan lawan yang ilmu silatnya bermacam-macam— namun rasa herannya justru berlipat manakala merasa ilmu silatnya yang murni ada yang menyamai secara persis. Padahal ini merupakan gerak dasar.

Lain dengan Jagaddhita. Sejak lepas dari Keraton, Jagaddhita selalu berkelana. Ia juga mendapatkan guru yang bersifat aneh, tapi sangat luas pengetahuannya. Baru sekarang ia ingat salah satu bagian yang dulu diceritakan. Mengenai ilmu Tepukan Satu Tangan. Menurut si empunya cerita, ilmu itu datang dari Jambu Dwipa atau tanah India. Akan tetapi mengalami proses perkembangan yang sangat berbeda; baik di tanah Kaisar Matahari, Jepang, atau di negara turunan dewa, Cina. Di kedua negara itu perkembangannya menjadi sangat jauh berbeda. Walau kemungkinan pada akarnya masih bisa ditemukan persamaan. Jagaddhita masih ingat kalimat gurunya, "Angin ada di mana-mana. Dhita. Di bukit di sawah, di laut, di dalam gua. Di luar tubuh dan di dalam tubuh. Tetapi keberadaannya menjadi berbeda-beda. Angin bisa sejuk. bisa membuat badan sakit, dan bisa menjadi badai. Itulah intisari Tepukan Satu Tangan. Ilmu itu sedemikian sederhananya, sehingga semua orang yang paling bodoh pun bisa mengerti artinya. Tapi juga sedemikian sulitnya, sehingga semua orang yang paling pandai pun tak mampu menguasai sepenuhnya. Sejak lama para empu di jagat raya ini gandrung mempelajari.

"Di negeri mana pun, di keraton mana pun, terjadi perebutan dalam mencari keaslian ilmu itu. Dan tak ada yang mengetahui. Yang menemukan merasa tak berhak mengatakan. Yang tidak menemukan merasa berhak menyalahkan dan mencaci bahwa itu semua kabar bohong. Yang menemukan ujungnya saja, merasa berhak berteriak bahwa dialah yang telah menguasai.

"susah, susah."

"Rama Guru, kalau itu ajaran silat. kenapa para raja di semua negeri ikut ribut mencarinya? Ataukah ada wahyu sejati?"

"Susah, susah."

"Siapa yang bisa menjawab? Siapa yang membawa kabar? Siapa sebenarnya Tamu dari Seberang itu? Tak ada yang tahu pasti. Hanya kabar burungnya tersiar bahwa dalam suatu kurun masa tertentu, murid tunggal Tamu dari Seberang ini muncul. Tamu dari Seberang ini semacam Ratu Adil yang ditunggu masyarakat.

"Kalau pihak Keraton—tidak di India, tidak di Jepang, tidak di Cina— mempersoalkan, itu karena dianggap Tamu dan Seberang bakal memberikan wahyu."

"Rama Guru, apakah kita semua menjadi bodoh? Kenapa percaya wahyu itu berasal dari seseorang dan bukan dari Penguasa Tunggal jagat raya ini? Apakah..."

"Ah... kau tak tahu apa-apa. Bagaimana mungkin kau mengatakan dirimu sebagai selir terkasih Kertanegara kalau tidak tahu bahwa raja itu pun mempersoalkan Tamu dan Seberang? Dhita..."

Saat itu sebenarnya Dhita sudah sedikit berdamai dengan Rama Gurunya yang masih selalu menyembunyikan identitas sebenarnya. Berdamai setelah mengetahui bahwa Rama Guru memang menyebut nama raja junjungannya dengan enteng saja. Dan memanggil nama Jagaddhita seperti Baginda Raja dulu memanggilnya. "Bahkan raja yang kaujunjung setinggi langit itu pun pasti selalu memasang kuping dengan teliti, kapan Tamu dari Seberang datang. Ia tak mau kehilangan takhtanya.

"Ia mau Tamu dari Seberang datang padanya. Ia yang paling berkuasa pun masih ragu. Setidaknya masih perlu berjaga-jaga.

"Dhita, kaukatakan dirimu selir terkasih, masa tidak tahu sejarah yang diceritakan, bahwa dulu Tamu dari Seberang telah datang ke tanah Jawa, menemui seorang bromocorah bernama Ken Arok?"

"Kalau mengenai Baginda Raja Ken Arok pendiri Keraton, semua juga mengetahui tanpa perlu mendengar langsung dari Baginda Raja."

"Lalu apa bedanya kalau semua juga percaya? Apa bedanya Raja dengan rakyat jelata dalam hal ini? Yang mengancam Keraton bukanlah Tamu dari Seberang, tetapi Penghuni dari Dalam. Itu yang rajamu tidak mau melihat!"

Kalau sudah berbicara mengenai hal ini, Rama Guru menjadi murka luar biasa. Bisa selama berminggu-minggu tak mengeluarkan suara lagi. Dan kemudian menghilang entah ke mana. Lalu muncul lagi, dan memberikan pelajaran kepada Jagaddhita. Di antara pelajaran yang diberikan itu disinggung juga mengenai pertanyaan seperti yang diutarakan Jaghana.

Maka kini dengan cukup berdebar-debar Jagaddhita menunggu jawaban Senamata Karmuka.

Senamata Karmuka menatap ke arah langit. Seakan silaunya matahari tak menjadi penghalang. Lalu, dengan suara rendah, sambil menahan napas, Senamata Karmuka bersuara pelan, sangat pelan.

"Suwung"

Terdengar helaan napas bersamaan. Napas berat dari Jaghana dan Pu'un secara bersamaan. Keduanya dengan cara bersamaan memberi hormat kepada Senamata dan lalu berdiri kembali.

Kini, giliran Upasara yang merasa bingung. Ini agak aneh. Jaghana menahan gempuran terakhir pada Dewa Maut dari Senamata, lalu mengeluarkan teka-teki. Dan Senamata menjawab dengan kata: suwung. Lalu terdengar helaan napas berat secara bersamaan, dan Jaghana serta Pu'un seperti menyilakan Senamata melakukan kehendak matinya.

Aneh karena Upasara tidak melihat bahwa Senamata bisa menjawab teka-teki mata ketujuh harus diberikan kepada siapa.

Suwung itu bisa berani kosong, hampa, sunyi, sepi, Lalu apa hubungannya dengan teka-teki yang dilontarkan?

"Kisanak yang bernama hebat Dewa Maut, saya tak bisa menghalangi atau menahan lagi. Barangkali begitulah takdir yang harus dijalani." Dewa Maut meludah ke tanah.

"Ini baru namanya sandiwara yang paling buruk. Kalian mau main keroyok, silakan. Kalian mau membunuhku, lakukan saja. Kenapa pakai sandiwara teka-teki segala macam? Kau kira aku Dewa Maut akan menyembah kalian untuk memperpanjang umur?"

"Barangkali Senamata yang budiman akan mengampuni Kisanak, kalau Kisanak mau mengobati Dimas Upasara."

Upasara memang masih merasa sebagian tubuhnya kaku. Bagian sebelah kiri susah digerakkan. Beberapa kali dicoba dengan meneroboskan hawa dan pusar, tapi seperti menembus dinding batu yang keras.

"Untuk apa? Bocah itu telah melukai cucuku dan aku melukainya. Siapa yang masih utang?"

"Omong kosong. Aku justru telah menolongnya." teriak Upasara gusar. "Akan tetapi jangan harap kau bisa menyentuh kulitku untuk menyembuhkan. Dengan sekali tiup Pamanda Pandu akan menyelesaikan ini semua. Sekarang pun, kalau kau maju, aku siap meladenimu. Jangan hanya karena sekali gempur, kau sudah mengaku kalah. Niriti atau Dewa Maut hanyalah nama kosong belaka. Sebelum ini kudengar kabar, kau tak bakal meninggalkan lawan tanpa membunuh. Tapi sepagi ini saja sudah dua pertempuran yang kautinggalkan seperti tikus kampung. Masihkah kau punya hati lelaki untuk tetapi memakai gelarmu?"

"Bocah ingusan, omonganmu besar. Tak layak kau jadi murid Ngabehi Pandu yang bisanya cuma membisu. Kalah atau menang dalam pertempuran bukan hal yang aneh. Kau akan segera mengalami juga. Tetapi kau sungguh kurang ajar mengatakan aku omong kosong. "Kau merasa jago dengan mengobati Padmamuka. Itu tandanya kau masih ingusan. Darah diri tole-ku yang paling cakep berbeda dengan darah kalian semua. Karena ia melatih ilmu khusus mengenai bisa dan racun ikan sungai. Sehingga ketika bubuk rumput kauberikan, itu ibarat racun dalam tubuhnya. Kerismu melukai, itu tak menimbulkan soal. Hanya caramu mencabut yang sembrono menyebabkan ia teracuni, dan parah.

"Nah, sekarang kau bilang aku omong kosong?"

Upasara melengak. Ia tak menyangka bahwa tubuh Padmamuka berbeda dengan kebanyakan orang. Dalam tubuh yang hampir seluruhnya beracun, obat malah menjadi racun baginya.

Hilang dan rasa kejutnya. Upasara menunduk. Ia mengacungkan jempolnya dengan hormat.

"Maafkan kekeliruan saya. Padmamuka." Padmamuka meringgis.

"Memang pintar murid Pandu bisu ini. Bicaranya..."

Belum selesai bicara, Dewa Maut sudah diserang. Bagi Upasara tak bisa orang merendahkan Ngabehi Pandu begitu saja. Apalagi dengan menyebut bisu segala macam. Meskipun tenaganya belum disalurkan sempurna. Upasara tak bisa menahan diri.

Dewa Maut juga tidak menduga sama sekali kalau dalam keadaan seperti itu. Upasara berusaha menyerang. Cari mati juga bukan begitu caranya, pikirnya sekilas. Anak muda ini benar-benar berangasan, tak bisa diinjak bayang-bayangnya.

Senamata yang lebih dulu bergerak. Tangan kirinya meraup pundak kiri Upasara dan membetotnya.

"Kalau sudah kubilang aku yang akan membunuhnya, kau jangan turut campur."

Pundak Upasara seperti tersengat. Ia kaget. Berusaha untuk mengumpulkankan tenaga sebagai reaksi spontan. Akan tetapi terobosan tenaga Senamata begitu keras. Dan sorot mata keras Senamata seperti tak ingin dibantah. Upasara memang cerdas. Ia segera menangkap maksud Senamata. Kau jangan turut campur, dengan cepat diartikan bahwa ia tak usah melawan tenaga yang masuk. Benar saja. Rembesan tenaga Senamata bisa leluasa, dan dalam beberapa kejap saja rasa kaku di bagian tubuh sebelah kiri berkurang.

Senamata mengibaskan tangannya. Upasara terdorong ke belakang agak jauh, terpaksa berjumpalitan. Benar juga. Bahkan dalam mendorong pun Senamata memakai perhitungan yang pasti. Sehingga Upasara terpaksa berjumpalitan dan ini membuat darahnya mengalir lebih cepat. Diam-diam Upasara berterima kasih dalam hati.

Senamata sendiri setelah selesai mendorong Upasara, tangannya meraih busur beserta anak panahnya sekaligus dari seorang prajurit. Dengan ketenangan yang dimiliki, kepala Dewa Maut yang dibidik. Sebelum lawan sadar, anak panah itu sudah melesat.

Wuragil berseru tertahan. Ia tak menyangka bahwa kekejaman Senamata yang didengar selama ini benar-benar ada buktinya. Masakan seorang tokoh seperti Senamata, seorang laksamana, tega membunuh lawan yang terluka dengan membidik?

Berbeda dengan Wuragil, Pembarep mengawasi jalannya panah dengan waspada. Benar juga perhitungannya. Panah hanya beberapa senti di atas kepala Dewa Maut, dan langsung lurus ke arah semak. Disusul anak panah kedua dan ketiga.

Dari balik semak terdengar teriakan merintih. Seperti ada orang yang terluka. Disusul teriakan keras, dan tiga bayangan meloncat ke tengah lapangan. Yang lebih menarik ternyata bukan tiga bayangan itu saja. Melainkan munculnya puluhan prajurit dari balik setiap semak. Ternyata sekitar lapangan telah dikepung. Di kejauhan terdengar sangkakala ditiup keras, lalu terdengar sorak-sorai yang luar biasa gegap-gempitanya. Dari arah timur malah muncul umbul-umbul, bendera yang sengaja dikibarkan tinggi-tinggi.

Jagaddhita bisa melihat jelas, akan tetapi seperti tak percaya. Di antara rombongan yang membawa bendera itu, ada bendera dengan warna dasar kuning dan simbol lingkaran seekor harimau muda. Itu berarti tanda pengenal seorang pangeran. Simbol umbul-umbul dengan gambar harimau adalah gambar resmi Keraton Singasari. Bila pinggiran dilapisi warna emas, itu berarti Baginda Raja sendiri. Akan tetapi siapa yang datang ini? Siapa yang mengerahkan begitu banyak pasukan ini? Memang selama ini dalam Keraton banyak sekali jumlah pangeran. Namun dari sekian banyak ini, tidak semua pangeran berhak mengibarkan umbul-umbul sendiri.

Hanya beberapa nama saja yang diizinkan mengibarkan dan memiliki umbul-umbul seperti itu. Yaitu pangeran yang telah mendapat didikan siasat perang dan mempunyai daerah tertentu sebagai daerah kekuasaannya. Dulu pun, Baginda Raja Sri Kertanegara memiliki. Karena saat menjadi pangeran pati atau putra mahkota, Baginda Raja telah memiliki wilayah sendiri, yaitu Daha. Sehingga beliau berhak memakai umbul-umbul bergambar harimau. Sampai dengan ketika dinobatkan sebagai raja, Sri Kertanegara masih menggunakan simbol harimau.

Jagaddhita menduga ada sesuatu yang tidak beres. Kalau mereka prajurit dari Keraton, pastilah Senamata Karmuka mengetahui hal ini. Setidaknya tahu rencana pengepungan ini. Nah, kalau ini bukan rombongan dari Keraton Singasari, lalu dari mana? Dan apa maksudnya datang dengan barisan lengkap dengan peralatan perang seperti ini?

Pembarep menghela napas. Kedua tangannya bergerak. dan Panengah serta Wuragil mendekat ke arahnya. Pu'un yang sejak tadi berdiam diri, juga mengambil posisi Dewa Maut mendekat ke arah Padmamuka tanpa ada yang memedulikan.

Senamata Karmuka mendongak ke langit. Pandangannya tertuju ke atas, akan tetapi suaranya ke arah samping, perlahan.

"Jaga dirimu baik-baik. Kejadian ini tak bisa diramalkan. Jangan pedulikan orang lain. Ingat, jaga diri baik-baik."

Upasara menunduk hormat "Terima kasih, Pakde,..."

Sementara itu kepungan sudah makin rapat. Ternyata bukan hanya puluhan, akan tetapi sudah ratusan. Benar-benar luar biasa. Tempat yang begitu sunyi tiba-tiba menjadi medan laga yang paling menentukan.

Senamata Karmuka mendekat kembali ke arah tandu. Senopati Suro, Joyo, Lebur, Pangastuti bersiap-siap melindungi, dengan sisa beberapa prajurit yang masih ada. Dari semua yang ada di lapangan, hanya Jaghana dan Wilanda yang bergeming. Yang satu seperti tidak peduli. yang lainnya sedang sakit

Tiga orang meloncat pertama tadi, berdiri tegak. Mengawasi sekeliling. Dilihat dari pakaian yang dikenakan. jelas ketiganya bukan prajurit sembarangan. Dilihat dari cara meloncat yang enteng dan sangat pegas. Ilmu mereka juga tidak sembarangan.

Jagaddhita mengenali mereka sebagai Kawung Sen, Kawung Benggol, dan Kawung Ketip. Ketiganya dikenal sebagai pemimpin Kelana Bhayangkara. Nama ketiga pendekar ini pernah mencuat ketika terjadi pemberontakan Cayaraja yang terkenal. Ketiga bhayangkara Inilah yang berhasil menembus Keraton Singasari yang terkenal dijaga rapih. Dalam pemberontakan berdarah yang habis-habisan itulah ketiganva tak bisa dikalahkan. Hanya karena ampunan Baginda Raja, ketiga kawung dibiarkan bebas.

Mereka meninggalkan Keraton setelah pemberontakan berhasil dipadamkan. Akan tetapi korban dari pihak Keraton tidak sedikit. Banyak senopati yang terbaik gugur.

Sejak pemberontakan itu ketiga kawung ini menghilang dari peredaran.

Siapa sangka sekarang muncul lagi dengan membawa sekian banyak prajurit yang siap perang?

"Atas nama Raja Muda Gelang-Gelang, harap kalian semua berlutut menerima titah."

Kini baru Jagaddhita sadar. Bahwa rombongan pasukan yang datang mengepung adalah prajurit dari Gelang-Gelang, yang dipimpin Raja Muda Jayakatwang. Jagaddhita selama ini mendengar kabar angin bahwa Raja Muda Gelang-Gelang sedang menghimpun kekuatan besar. Akan tetapi selama ini ketaatan dan kesetiaan kepada Keraton Singasari tak pernah diragukan oleh Baginda Raja sendiri.

Jagaddhita sedikit tenang hatinya, namun kewaspadaannya dipertinggi. Ia menarik Gendhuk Tri yang masih terbengong-bengong. Bahkan kemudian meloloskan selendangnya dan memakainya sendiri.

"Hanya ada satu matahari yang menerangi bumi ini. Hanya ada satu raja yang berhak memerintah. Maafkan, kalau Prajurit Suro tidak memenuhi peran." "Selama masih ada pengampunan, gunakan kesempatan. Kalau sudah terlambat tak bisa diulang lagi." Terdengar suara nyaring, cempreng sangat tinggi. Dalam barisan muncul seorang lelaki, ada benjolan di bagian punggung. Hidungnya juga tertekuk. Sepasang matanya kecil bagai biji gabah. Pakaiannya luar biasa indah. Di belakangnya seorang prajurit siap memayungi: Tangan kanannya diangkat ke atas.

Ketiga kawung itu mundur ke belakang. Lalu gerakan tangan itu berubah menjadi lingkaran pendek. Serentak dengan itu, barisan prajurit yang mengepung membentuk barisan lagi. Barisan yang tadinya bergerombol, dalam sekejap sudah berbaris lapis. Berkeliling, lalu di bagian belakangnya berjajar rapi susun sepuluh. Membentuk seperti kalajengking. Barisan belakang ini merupakan ekor kalajengking. Yang setiap saat, sesuai dengan aba-aba, akan berubah menjadi bala bantuan di mana diperlukan. Benar-benar ekor yang berbisa.

"Apakah kalian mau menjajal sengatan kalajengking sebelum bertekuk lutut?" "Ular busuk, siasat perang itu hanya untuk menakut-nakuti anak kecil. Kau

mencurinya dari Keraton, untuk apa kau pamerkan kemari?"

"Senopati Suro kau masih jadi prajurit biasa yang menjaga kamar tidur? Sayang, sayang sekali. Kepandaianmu tidak terlalu menonjol akan tetapi kesetiaanmu bolehlah. Hanya sayang. Orang seperti kamu itu pantas menjadi Senamata. Aku tawarkan pangkat itu padamu"

Senopati Suro tertawa bergelak. Nyaring dan keras suaranya. Terbawa oleh gusar yang bergolak.

"Ular busuk, kau kira kau ini siapa? Menawari pangkat segala macam.

Kau kira setiap orang bisa seperti kamu ini, mengangkat dirinya sendiri dan kemudian memamerkannya?"

Upasara kini merasa seluruh tubuhnya kembali seperti semula. Dengan istirahat beberapa saat ia bisa menghimpun tenaganya. Ia merasa siap. Hanya saja kini ia merasa tidak ingin bertindak sembrono. Setidaknya nasihat Senamata tadi berhasil mengerem keinginannya untuk langsung menyerbu ke lapangan.

Sebenarnya ini saat yang paling ditunggu oleh Upasara. Selama ini ia hanya mendengar tokoh yang sekarang dijumpai secara langsung. Dari penuturan Ngabehi Pandu, gurunya, tokoh ini disebut-sebut sebagai gabungan dari jago silat yang sakti, akal licik dan culas, ahli siasat perang, pandai berbicara, dan berkuasa.

Nama sebenarnya tak bisa dipastikan yang mana. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai Pujangga Pamungkas. Artinya pujangga terakhir, atau pujangga yang menyelesaikan segalanya. Oleh Senopati Suro tadi dikatakan sebagai ular busuk. Ular raksasa yang busuk, dalam bahasa kuno disebut sebagai bujangga. Ini nama ejekan untuk pujangga. Tetapi ia juga dipanggil sebagai Lembu Ugrawe. Lembu, sebagai orang yang masih keturunan raja. Ugrawe, jelas adalah sebutan yang sangat berlebihan. Ugra artinya puncak, ujung, dahsyat, menakutkan. Sedang we artinya matahari. Sehingga sebutan puncak matahari bagi dirinya sendiri kedengarannya sangat berlebihan. Ia juga menyebut dirinya sendiri sebagai Panji Wacanapati, alias turunan bangsawan tinggi yang ahli berbicara.

Namun siapa pun nama dan gelarnya, ia termasuk tokoh yang disegani karena ilmu silatnya yang diberi nama Sindhung Aliwawar. alias Angin Topan. Menurut Ngabehi Pandu, selama ini belum ada tokoh yang mampu mengimbangi Sindhung Aliwawar. "Mungkin hanya Eyang Sepuh yang bisa mengimbangi. Tapi Eyang Sepuh sudah lama menyembunyikan dirinya di Perguruan Awan dan tidak berniat turun ke dunia lagi. Sehingga sulit untuk ditentukan siapa yang lebih unggul."

Apa yang berkelebat dalam bayangan Upasara tak jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan Jagaddhita. Ia pun mendengar nama besar ilmu Sindhung Aliwawar hanya dari penuturan Rama Guru.

"Dibandingkan dengan Rama Guru, ilmu siapa lebih hebat?"

"Ilmu siapa saja sama hebatnya. Tapi manusia busuk itu memang tak bisa diperkirakan. Rama Gurumu ini pernah bertempur dengannya. Akan tetapi itu sudah lama berlalu. Dulu saja masih sulit ditentukan pemenangnya; Apalagi sekarang. Katanya ilmunya maju pesat. Entah apa maunya Dewa Penguasa jagat ini, sehingga ada manusia seperti itu diciptakan di dunia."

Baru sekarang Jagaddhita melihat sendiri, tokoh congkak yang paling banyak disebut-sebut.

"Aku memang mengangkat diriku sendiri, Prajurit Kecil Suro. Karena siapa lagi yang. mampu memberi gelar padaku? "Hari ini kalian semua berkumpul di sini, sehingga mudah untuk menyelesaikannya. Tak usah mencari jauh-jauh. Apakah kalian mau berlutut dan minta pengampunan dari Raja Muda Gelang-Gelang, atau memilih mati?

"Aha. rupanya kau yang menyebar kabar bahwa akan ada Tamu dari Seberang di Perguruan Awan ini. Aha, akal licik." Jagaddhita berseru heran, dan menyadari bahwa mereka yang datang ini masuk dalam perangkap yang dipasang Panji Wacanapati.

"Akal licik apa, kalau kalian semua termakan? Untuk menangkap tikus busuk juga diperlukan umpan kecil yang busuk. Untuk mendatangkan seorang wesya, kan tidak perlu memakai umpan seorang pendeta?"

Jagaddhita mengeluarkan suara tertahan.

Selendang sampai bergetar. Ia tak nyana bakal dimaki sebagai wesya atau sundal. di arena begitu luas. Seumur-umur ia selalu membanggakan diri sebagai selir Baginda Raja. Itu adalah kehormatan terbesar yang membuat hidupnya berarti. Mana mungkin sekarang ia dianggap sebagai sundal begitu saja?

"Hehehe, kau marah kupanggil sebagai wesya? Kalau bukan, siapa anak kecil itu? Bisakah kautunjukkan siapa bapaknya? Hehehe, mungkin kau pun tidak mengenali lagi siapa bapaknya. Bahkan kau pasti tidak berani mengakui bahwa akulah bapak anak kecil itu."

Kawung Benggol meloncat ke samping. Ia bersiap kalau Jagaddhita langsung menyerang.

"Untuk apa aku meladeni ucapanmu yang memang busuk itu?"

"Kalau kau bisa menjawab siapa bapak anak itu, aku akan mengampunimu. Mengingat kemesraan yang pernah kauberikan padaku."

"Oho, rupanya Bapak Ugrawe masih ingat kejadian Syiwaratri yang lalu. Sungguh suatu kenangan yang manis."

Jagaddhita benar-benar kepepet hingga tak bisa menjawab sepatah kata pun. Bagi yang mengenal Ugrawe, mungkin menduga bahwa ucapannya main-main belaka. Meskipun juga tidak sepenuhnya bohong. Tetapi Kawung Benggol seperti memberi tekanan bahwa ada suatu peristiwa asmara terjadi pada Syiwaratri. Syiwaratri, atau malam Syiwa, adalah malam hari bulan purnama, tanggal empat belas, yang dianggap malam kudus bagi Dewa Syiwa. Melihat Jagaddhita berkumat-kamit tapi tak bisa mengeluarkan kalimat, Kawung Benggol makin keras tawanya.

"Baiklah, kalau kau sendiri tak menentukan siapa bapak anak kecil ini. Tapi untuk yang masih berada dalam kandunganmu itu, aku bersedia mengakui. Setidaknya bisa kudidik menjadi prajurit kelak."

Ugrawe mendengus ringan.

Lupakan sejenak urusan hawa nafsu. Sekarang saat membicarakan negara." Lalu kembali mendongak ke udara. "Aku telah mengundang kalian semua datang kemari. Kecuali yang berada dalam tandu, semua yang ada di sun bisa memperoleh pengampunan.

"Jika kalian semua mau berlutut dan menghaturkan sembah kepada Raja Muda Gelang-Gelang yang sebentar lagi memerintah di tanah Jawa ini, kalian bisa memperoleh kedudukan.

"Kalau menolak, tanah ini akan diratakan." Pembarep menggeser kakinya.

"Nama besar yang selama ini terdengar di penjuru angin. bukan nama kosong belaka. Hari ini sungguh suatu kehormatan besar saya bisa bertemu. Entah saya harus menyebut gelar yang mana. "

"Kakang Mbarep. kau terlalu merendah diri. Aku tahu kaulah yang menguasai Gunung Semeru. Kalau kau ingin bicara, katakan apa maumu. Aku sudi memberi ampunan kepada semua saja, kecuali yang berada di dalam tandu. Kentut satu itu tak ada gunanya."

Senopati Suro menggeram keras. Menerjang bersama kuda hitamnya, dibarengi teriakan nyaring. Senopati Joyo, Lebur, dan Pangastuti pun serentak bergerak. Adalah suatu hinaan yang luar biasa kepada Baginda Raja yang tak bisa diterima oleh mereka. Bahwa Senamata Karmuka dibilang kentut atau lebih dari itu, tak akan menjadi soal. Akan tetapi sebutan itu sebenarnya ada embel-embelnya. Senamata Karmuka dikenal sebagai laksamana yang setia kepada Baginda Raja. Selalu berada di dekat Baginda Raja. Sehingga dikatakan sebagai kentut. Tapi ini juga diartikan oleh mereka yang tidak menyukai Baginda Raja untuk mengatakan Baginda Raja adalah kotoran. Hubungan "kentut dengan kotoran", adalah hubungan yang sangat dekat. Maka bisa dimengerti kalau Senopati Suro murka.

Kali ini, empat senopati tangguh maju secara serentak. Dari empat penjuru langsung mengurung. Kawung Benggol yang sudah bersiaga, langsung memapak Senopati Suro. Tidak kepalang tanggung. Kawung Benggol meloncat ke atas punggung kuda. Satu tangan menjitak ke arah kepala. satu tangan merebut kendali kuda. Meski ilmunya tidak termasuk kelas satu, Senopati Suro juga bukan jagoan yang baru lahir. Apalagi bersatu di atas kuda hitam yang sudah merupakan bagian dari tubuhnya. dengan mendadak saja Senopati Suro menyepit perut kuda dan menarik keras tali kekangnya. Kuda hitam yang tengah meluncur, tiba-tiba berhenti mendadak. Kedua kaki depan terangkat ke atas. Dan Kawung Benggol yang sudah berada di atas harus berhadapan dengan tendangan kuda. Meliuk dan samping, Kawung Benggol memutar gerakan tubuhnya. Kim dua tangan langsung mencekik ke arah Senopati Suro. Tapi senopati yang punya banyak pengalaman ini menjatuhkan tubuhnya ke samping. Dengan cepat berputar di bawah perut kuda! Lewat bagian bawah! Dengan tetap menyepit perut kuda, kaki Senopati Suro menjadi poros untuk berputar.

Dengan sangat cepat sudah muncul lagi. Dan tubuh Kawung Benggol yang menubruk ruang kosong bisa dipukul dari belakang. Sebenarnya itu juga tidak perlu. Karena justru Senopati Lebur sudah mengayunkan gadanya dari samping.. Tak ampun lagi Kawung Benggol harus menangkis dengan dua tangan kosong.

Di pihak lain, Kawung Ketip berteriak gusar dan mengayunkan rantainya, sementara Kawung Sen yang bersenjatakan jala juga menerjang dengan jala tertebar. Dalam sekejap saja pertempuran sudah berlangsung seru. Kalau pada terjangan pertama, Senopati Suro boleh dibilang unggul, kini mereka berempat harus memusatkan perhatian seluruhnya; Itu pun belum mencapai ke arah Ugrawe.

"Baik. Kalau kalian memilih pertempuran."

"Tunggu," teriak Jagaddhita nyaring. Ia langsung meloncat menghadang Ugrawe yang siap memberi aba-aba untuk serangan total. Jagaddhita mencoba menghadang. Salah satu cara hanyalah dengan mendesak Ugrawe. Karena ia berpikir bahwa posisi lawan jauh lebih menguntungkan. Sedangkan Ugrawe sendiri, masih teka-teki siapa yang bisa menghadapi dengan imbang. Barangkali hanya Senamata Karmuka yang bisa menghadapi. Itu pun belum tentu bisa menang. Kalaupun bisa, diperlukan pertempuran yang lama dengan kemungkinan besar dua-duanya luka parah. Sementara pihak lawan terdiri atas banyak sekali pasukan. Seratus bisa dibikin binasa, yang lain masih ada. Sedangkan di pihaknya sendiri, mereka' tidak merupakan kesatuan dengan tujuan yang sama. Sementara beberapa orang sudah terluka. Dewa Maut, Padmamuka, Wilanda tak bisa berbuat apa-apa. Pu'un juga tak bisa diharap. Belum dihitung bahwa Gendhuk Tri bisa membahayakan dirinya sendiri.

"Kau mau bergabung bersama kami?"

"Tentu, kalau kau bisa mengalahkan kami secara ksatria."

"Hehe, kau kira aku begitu bodoh? Di sini jelas sekali aku menang pasukan. Dengan mengandalkan mereka ini saja, kalian semua bakal bisa diringkus. Untuk apa aku pedulikan tata krama? Untuk apa perlu mengalahkan kalian seorang demi seorang?"

"Licik. Kau sengaja memancing kami datang ke Perguruan Nirada ini, dan menunggu kami bertempur. "

"Licik itu apa? Mulia itu apa? Aku ingin mengembalikan takhta kepada yang berhak. Kenapa kau tidak menyebut Ken Arok licik? Kenapa kamu tidak mengatakan Ken Arok menurunkan raja-raja perampok di tanah Jawa ini?

"Hanya rakyat kecil yang tak tahu apa-apa mempersoalkan licik atau mulia. Hanya mereka yang tak tahu yang bisa menuntut macam-macam. Aku sudah berbaik hati untuk mengampuni. Akan tetapi kalian memilih jalan bunuh diri. Aku hormati pendirian kalian. Keraton yang akan kubangun nanti tidak membutuhkan pendekar- pendekar seperti kalian.

"Makanya, sekarang ini juga, yang ada di sini dan tak menganggap raja kepada Raja Muda Gelang-Gelang, akan kubasmi."

Ugrawe menarik suara dari hidung dengan keras. Lalu tangannya bergerak, meraup bendera kecil di tangan salah satu prajurit. Cara meraupnya tanpa meninggalkan tempat. Hanya mengandalkan tenaga mengisap. Dan prajurit yang memegang bendera seperti terperanjat, tapi tahu-tahu apa yang dipegang sudah lepas dari tangannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar