Bagian 1 : Sarang Perjudian

Setiap orang yang punya hubungan luas pasti tahu bahwa di dalam dunia persilatan terdapat sebuah Sarang Perjudian yang misterius, pemilik Sarang Perjudian adalah seorang lo-sianseng dan seorang lotaytay (nyonya tua), jejak mereka sangat misterius tapi memiliki pengaruh serta kekuatan yang luar biasa hebatnya, bahkan mereka memiliki tabiat yang luar biasa, rasa ingin tahu yang besar serta jiwa nyerempet bahaya seperti anak muda.

Oleh karena itulah bukan saja mereka mau menerima pelbagai taruhan yang aneh-aneh, bahkan mau menerima barang taruhan bentuk apa pun. Di antara semua barang taruhan itu tentu saja tak bisa lepas dari uang emas dan perak, uang dalam jumlah yang luar biasa besarnya, bahkan terkadang jumlah itu sukar dipercaya dengan akal sehat.

Taruhan yang mereka terima kali ini adalah uang emas berjumlah limaratus laksa tahil emas mumi.

Sementara pertaruhan yang mereka selenggarakan berupa sebuah pertarungan mati hidup, duel maut antara dua jago pedang yang paling tersohor di kolong langit waktu itu.

Sedemikian hebohnya berita pertarungan ini, nyaris melebihi hebohnya pertarungan mati hidup antara Pek-in shiacu (pemilik Benteng Awan Putih) Yap Koh-seng melawan Sebun Jui-soat tempo hari.

Menyangkut duel yang akan diselenggarakan kali ini, mereka telah siapkan bahan serta keterangan yang sangat detil. Keterangan mendetil tersebut kini sudah terpampang di atas sebuah meja kecil berbentuk ornamen kerajaan yang terpampang di depan mata mereka saat ini.

Di atas lembaran surat keterangan itu tertulis:

Tanggal pertarungan : Bulan empat tanggal lima belas, Cu-si (jam 12 malam). Tempat : Loteng Hong-hok-lo.

Barang taruhan : Lima ratus laksa tahil emas murni. Sistim pertarungan : Satu lawan satu.

Peserta duel : Si Ti-ing melawan Liu Cengho. Senjata yang digunakan : Pedang.

Bab 1 : Pedang Si Toa-sianseng

Pedang ini dibuat berdasarkan patron serta aturan ketat yang diwariskan oleh Kam-ciang Bok Shia serta Si hujin di masa lalu, baik ukuran panjang pedang, luas gagang pedang serta liukan mata pedang bahkan sampai bahan serta ornamen pada sarung pedang pun dibuat berdasarkan catatan kuno yang ada, semuanya berbau antik, kuno, mantap, tersembunyi, persis seperti watak pemiliknya.

Si Toa-sianseng bernama Koan-jin, alias Ti-ing, berperawakan enam depa sembilan inci, kurus jangkung persis sebuah pit, biarpun umurnya sudah mencapai limapuluh empat tahun namun pinggangnya tetap ramping tak nampak selapis lemak pun.

Pakaian yang dikenakan amat sederhana dan bersahaja, jenggot maupun kuku tangan semuanya terawat rapi dan bersih, kecuali sepasang matanya yang memancarkan sinar tajam, boleh dibilang bagian yang lain tidak nampak menonjol atau menarik perhatian orang, ibarat sebuah mestika yang tersimpan rapat dalam kotak besi, semuanya berbau misterius dan penuh kerahasiaan.

Tempat ini adalah sebuah pesanggrahan kecil di belakang kebun perkampungan Bu-hok sanceng, hari menunjukkan bulan empat tanggal delapan. Matahari di ujung musim semi terasa hangat dan nyaman, sinar yang cerah memancar di atas sebuah 'lian' kecil yang tergantung di tepi meja, gaya tulisan di atas 'lian' itu tampak lembut, halus penuh gaya seni yang indah.

Bunga bersemi di tanah asing, mendatangkansuasanamabuk. Tulisan menghadirkan hawa mabuk, kenapa tiada manusiayang mabuk?

Kecuali Si Toa-sianseng, dalam bilik pesanggrahan itu hadir pula dua orang manusia, seorang lelaki setengah umur berkepala botak bagai seekor burung elang yang sedang berpangku tangan berdiri di depan jendela dan seorang kakek berbaju kuning yang berdandan setengah pendeta setengah preman, sedang mengamati sarung pedang di tepi meja dengan terpesona.

Terdengar kakek baju kuning itu bertanya kepada Si Toa- sianseng dengan suara yang rendah tapi berat:

"Sudah berapa lama pedang ini tak pernah dicabut dari sarung-nya?

"Tigabelas tahun," sahut Si Toa-sianseng sambil tetap membuang sorot matanya keluar jendela, mengawasi selapis awan putih yang sedang melayang di kejauhan sana, "kalau bicara lebih tegasnya, seharusnya sudah tigabelas tahun lebih tiga bulan sebelas hari!" 

Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya dengan suara amat lamban:

"Kau semestinya juga tahu, pedang yang seharian kugunakan bukanlah pedang tersebut." "Ya, aku tahu," kakek berbaju kuning itu mengangguk, "pedang itu adalah pedang pembunuh,

sekali dicabut keluar dari sarungnya pasti akan ketemu darah, dalam pertarungan di Ing-tong tempo hari, dengan andalkan pedang ini kau telah basmi banyak iblis dan okpa, pembantaian yang membuat namamu menggetarkan sungai telaga, semestinya kejadian itu sudah selisih tigabelas tahun dari sekarang bukan?"

Si Toa-sianseng tertawa getir.

"Yang ada hanya ceceran darah yang terburai bagai bulu merah, entah kopiah kebesaran siapa saja yang sudah ternoda?" katanya hambar.

"Bukan kopiahmu sendiri?"

"Milikku?" kembali Si Toa-sianseng menghela napas panjang, "semenjak pertarungan hari itu, aku hanya kepingin tidak menggunakan pedang itu lagi sepanjang sisa hidupku."

"Bagaimana dengan kali ini?"

"Kali ini? Ya, tampaknya aku sudah tak punya pilihan lain." "Kenapa?"

"Liu Ceng-ho tidak memandang sebelah mata terhadap semua manusia di dunia ini, menganggap nyawa manusia bagai sampah, bila aku tidak mencabut pedang ini, ia tetap akan mencabut nyawaku," Si Toa-sianseng tertawa getir, "bila aku coba menghindar, kemungkinan besar tempat ini akan berlumuran darah segar milik orang lain."

"Konon dia sudah berangkat sejak bulan tiga tanggal delapanbelas, tapi heran, kenapa hingga hari ini masih belum memasuki wilayah Ouwpak?"

"Benar," Si Toa-sianseng tertawa getir, "Liu hoya memang seseorang yang luar biasa teliti dan cermat, dia termasuk orang yang banyak memilih, selama hidup ia tak pernah mau menunggang kuda apalagi keledai, bila menempuh perjalanan darat dia selalu menggunakan tandu yang dilapisi permadani tebal, bahkan sepanjang jalan selalu ada orang yang berangkat duluan untuk mengatur segala keperluannya termasuk tempat makan dan penginapan."

"Jadi ia tak pernah melakukan perjalanan dengan terburu buru?" "Tidak pernah!"

"Tampaknya dia benar-benar termasuk orang yang cerdas dan teliti," kakek berbaju kuning itu turut tertawa getir, "paling tidak dia paham, terlepas dia hendak membunuh atau dibunuh, semuanya memang tak perlu dilakukan secara tergesa-gesa."

Bab 2 : Angin Musim Semi Menggoyang Liu Ceng-ho

Liu Ceng-ho memang tak perlu tergesa-gesa, tandunya berjalan sangat lambat, dia memang tak perlu terburu napsu. Yang dia punyai adalah waktu, dia tahu dalam keadaan dan kondisi macam apa pun musuhnya pasti akan menunggu kedatangannya.

Yang paling penting baginya adalah dia punya keyakinan untuk memenangkan pertempuran kali ini, selewat tengah malam bulan empat tanggal limabelas, Si Ti-ing pasti sudah mampus di ujung pedangnya.

Siapa pun orangnya, asal bertemu dengannya maka dapat dipastikan mereka akan memperhatikan berapa kejap pedang yang digembol-nya, bahkan asal telah melihatnya sekejap, sepanjang hidup mereka tak pernah akan melupakan pedang itu.

Dalam hal ini, dia pribadi sama sekali tak berbeda dengan senjatanya.

Pedang miliknya memang jauh berbeda dengan pedang kebanyakan, dari mata pedangnya, tubuh pedangnya hingga gagang pedangnya, ukuran panjang maupun berat senjatanya sama sekali melanggar kebiasaan para empu pembuat pedang di masa-masa lalu.

Pedang itu mempunyai ukuran panjang empat depa sembilan inci tujuh hun dengan berat tigapuluh tiga kati tiga Bang tiga chee, mata pedang terbuat dari emas putih dengan kotak pedang terbuat dari emas murni, di atas kotak itu bertaburkan intan mutiara dan batu kemala yang nilainya mencapai di atas limabelas laksa tahil perak, indah, mewah, megah tanpa tandingan, belum lagi pedangnya keluar dari sarung, daya pengaruh yang dipancarkan sudah cukup membetot sukma siapa pun yang melihatnya.

Yang lebih penting lagi adalah manusia macam apakah yang pantas dan mampu menggunakan sebilah senjata pedang sehebat itu? Berapa besar kekuatan lengan dan pergelangan tangannya hingga mampu memainkan senjata seberat itu? Manusia macam apakah Liu Ceng-hoini?

Setiap bulan tiga dan bulan empat, di kala sinar matahari musim semi sangat hangat dan aneka bunga bermekaran, Liu Ceng-ho selalu akan mengundang seorang jago pedang kenamaan untuk menjaj al kepandaian ilmu pedang yang dimilikinya.

"Di saat musin dingin yang membekukan badan atau di kala musim panas yang menggerahkan tubuh, seyogianya berdiam diri ketimbang banyak bergerak," katanya, "tapi di kala sinar matahari hangat, di saat hembusan angin semilir, itulah saat yang paling tepat untuk membunuh orang."

Ketika aneka bunga bersemi di tanah asing, di saat pedang emas sudah keluar dari sarungnya, jago-jago pedang kenamaan yang pernah menggemparkan sungai telaga suatu ketika akan terkapar bermandikan darah di atas tanah, darah yang meleleh keluar tak beda jauh dengan darah manusia biasa, dalam waktu singkat akan segera mengering dan menggumpal

Nama besar mereka pun ikut ternoda, ternoda darah segar.

Tidak banyak orang yang pernah berjumpa dengannya, terlebih mereka yang pernah melihat dia mencabut keluar pedangnya.

"Biarpun waktu yang dibutuhkan untuk mencabut pedang membunuh lawan hanya berlangsung cepat dan singkat, tapi merupakan satu pekerjaan yang sakral," katanya, "perbuatan sakral semacam ini tidak diperuntukkan sebagai sebuah tontonan, apalagi dipertontonkan kepada orang lain."

Manusia macam dia sudah tentu bukan untuk dipertontonkan kepada orang lain, untungnya ada juga saatnya dia ditonton orang.

Delapan orang lelaki kekar berbahu lebar berpinggang ramping telah memperlambat langkah kakinya sebelum akhirnya berhenti di ujung jembatan merah tepat di depan sebuah gedung bertingkat, tempat itu adalah sebuah pintu gerbang rumah penginapan yang tampak belum lama dikapur hingga nampak sangat bersih.

Duapuluh empat orang pemuda kekar yang sejak awal sudah menanti kedatangannya di situ serentak menyebarkan diri ke dua sisi jalan, di atas permukaan tanah nampak karpet merah telah digelar rapi.

Budak-budak Persia dengan tinggi badan sembilan depa yang semuanya menggembol pedang, berjalan di belakang tandu, mereka semua mengenakan celana berwarna merah darah dengan sepatu berwarna kuning emas, dadanya yang telanjang tapi nampak sangat berotot kelihatan berkilauan bagai sinar mutiara karena cucuran butir-butir keringat, sebuah keleningan emas sebesar mangkuk tergantung di telinga kiri mereka sehingga ketika terhembus angin musim semi, terdengar suara dentingan yang nyaring.

Akhirnya orang yang berada dalam tandu muncul juga di depan mata. Suara keleningan berdenting makin nyaring, lagi-lagi ada angin berhembus lewat, tampaknya orang itu pun seakan ikut bergoyang karena hembusan angin itu.

"Diakah Liu Ceng-ho?" "Benar."

"Manusia macam mikah yang mampu menggunakan pedang emas raksasa seberat tigapuluh tiga kati untuk membantai kawanan jago dari dunia persilatan satu demi satu?"

"Benar!"

Hari itu adalah bulan empat tanggal duabelas, akhirnya hari itu, menjelang senja tiba, Liu Ceng- ho telah tiba di kota Han-yang.

Bab 3 : Dewa Rejeki Datang Berkunjung

Data dan catatan mengenai Liu Ceng-ho yang terkumpul dalam "Sarang Perjudian," terbagi menjadi beberapa bagian penting.

Dia adalah keturunan keluarga kenamaan, leluhurnya pernah berjasa besar dalam medan laga, karenanya dia pun berhak menyandang gelar kehormatan sebagai seorang bangsawan yang menjadi kebanggaannya selama ini.

Gelar "Ceng-ho" yang digunakan selain bermaksud sebagai sebuah gaya dalam penampilan, secara tidak langsung dia ingin menunjukkan kepada orang luar bahwa gelar bangsawan yang disandangnya adalah gelar kebangsawanan "Ho", satu tingkat dari gelar kebangsawanan kelas dua pada jaman itu.

Tinggi badannya hanya lima depa tiga inci, berat badannya cuma empatpuluh delapan kilo, bahkan raut mukanya sangat lembut dan halus persis wajah seorang wanita remaja, cara berpakaiannya rapi, sangat memilih dan selalu perlente. Makan enak, arak wangi, perempuan cantik dan pakaian mewah merupakan kegemaran utamanya, sayang dia jarang sekali membersihkan badan alias mandi.

Ilmu pedang yang dilatihnya adalah ilmu pedang 'Pek-lek-lui-teng-cap-sah-si' (Tigabelas Gerakan Sambaran Halilintar Gelegar Guntur) yang merupakan penggabungan dari 'khi' (hawa murni), 'si' (gaya) dan 'lek' (tenaga), selain keras dan garang, daya hancurnya luar biasa dan tiada keduanya di kolong langit, namun di hari-hari biasa dia nampak begitu lemah lembut hingga sekilas orang mengira dia tak punya kekuatan untuk memindahkan sebuah bangku sekalipun.

Dia selalu berpenampilan lembut terpelajar dan romantis, selama hidup dia tak pernah mau mencampuri urusan yang menyangkut uang dan harta, tapi kegemaran yang paling utama adalah emas murni.

"Hanya emas murni yang kekal abadi dan tak pernah berubah," katanya, "tiada benda lain di dunia ini yang lebih nyata, lebih menjamin dan lebih terpercaya ketimbang emas murni."

Selama hidup dia pun tak pernah membunuh makhluk hidup, bahkan seekor semut pun dia enggan untuk menginjaknya hingga mati.

"Aku hanya membunuh manusia, jelasnya tiada pekerjaan lain yang lebih sakral, lebih suci daripada membunuh manusia."

Si Toa-sianseng mendapat pula satu bagian data catatan yang sama tentang lawannya. Tapi siapa pun itu orangnya, bila sudah memeriksa isi data tersebut tentu akan berpendapat bahwa perangai dan watak orang itu selain ruwet bahkan penuh mengandung pertentangan batin.

"Jenis orang ini terbentuk dari campuran dua makhluk dengan watak dan perangai yang berbeda," kata kakek berjubah kuning itu sambil tersenyum setelah menghela napas panjang, "cuma sayang pembentukan dari campuran ini tidak sempurna hingga tampak kurang bagus."

"Konon kondisi badannya selain lemah dan penyakitan, dia pun takut melihat sinar matahari, bentuk sepasang kakinya beda, satu panjang dan satu pendek hingga selama hidup ia jarang sekari berjalan kaki."

"Tapi dia sanggup mainkan pedang raksasa seberat tigapuluh tiga kati dan membunuh lawannya dalam sekejap mata," kata Si Toa-"sianseng setelah termenung sejenak, "bila ia tak memiliki tenaga alam yang luar biasa besarnya serta latihan yang tekun dan gigih, mana mungkin dia bisa melakukan hal tersebut?" Apa yang dikatakan memang benar.

Duel antara dua jago hanya ditentukan dalam sekejap mata, sedikit salah perhitungan mati hidup segera akan ditentukan dan hal ini merupakan satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri.

"Terlepas dari semuanya ini, batas kemampuan tubuh yang dibawa sejak lahir memang tak mungkin bisa dirubah atau ditingkatkan dengan cara apa pun," kakek berbaju kuning itu bicara dengan penuh keyakinan, "memakai pedang berat dengan kondisi fisik tubuhnya macam dia, biarpun dia hebat dalam perubahan gerakan, sedikit banyak di balik kelincahan pasti terselip suatu keadaan yang setengah dipaksakan, otomatis pasti akan timbul titik kelemahan atau peluang bagi lawannya untuk menyerang."

Setelah tertawa dan berhenti sejenak, kembali terusnya:

"Umu pedang Po-im-cai-seng kiu-kiu pwe-cap-it-kiam (Delapan-puluh Satu Jurus Ilmu Pedang Penembus Awan Pemetik Bintang)-mu yang memiliki pertahanan serapat jaring laba-laba, memiliki perubahan tak terhingga dan memiliki pertahanan yang begitu kuat hingga tetesan air pun sulit menembusi justru merupakan ilmu pedang tandingannya yang paling jitu."

Lelaki setengah umur yang kekar dan berkepala botak seperti paruh elang itu tiba-tiba tertawa. "Beradu kecerdasan tak akan mengalahkan si Rambut Emas, mengetahui pedang itulah si Tu

berbaju kuning," katanya sambil tertawa, "kalau sampai Tu sianseng saja berkata begitu, tak heran kalau pihak Sarang Perjudian berani memasang taruhan sampai lima-ratus laksa tahil emas murni."

"Limaratus laksa tahil emas murni?" seru Si Ti-ing terkesiap, "siapa yang pasang taruhan itu?

Dan bertaruh untuk siapa?"

"Dewa Rejeki yang pasang taruhan itu, dia bertaruh untuk si Pinggang Ramping."

Yang dimaksud sebagai' si Pinggang Ramping'adalah Liu Ceng-ho, sementara 'Dewa Rejeki' adalah sebuah organisasi yang luar biasa besarnya, sebuah organisasi yang dibentuk oleh kumpulan para tuan tanah serta para tauke perusahaan keuangan di wilayah San-say, mereka punya uang, punya pengaruh, perdagangan apa pun dikerjakan, keuntungan dari mana pun dikumpulkan.

"Aku rasa kali ini si Dewa Rejeki salah perhitungan," kata si Elang Botak tiba-tiba, "Pihak Sarang Perjudian berani menerima taruhan ini tentu saja karena mereka anggap sudah pasti menang dan yakin akan menang, seakan si pihak bandar judi sudah menyimpan kartu as.

Mencl.ul.ik si Elang Benak membalikkan badan, dengan sepasang matanya yang lebih tajam dari mata elang ditatapnya kakek berbaju kuning Tu lekat-lekat, kemudian katanya:

"Tu sianseng, sejak awal tentunya kau sudah tahu dengan pasti bukan kartu apa yang berada di tanganmu?"

"Aku?" Tu sianseng tertawa hambar, "selama tahun-tahun terakhir, di tanganku sudah tak ada pedang, juga tak memegang kartu, aku sudah menjadi seorang tua yang tak berguna!"

Elang Botak segera tertawa tergelak.

"Hahaha benar, benar, tepat sekali, tepat sekali, kalau di dalam gengaman seseorang telah

dipenuhi pelbagai emas, kemala, mutiara dan batu pualam, mana mungkin dia masih berminat memegang barang lain?"

Setelah menghentikan tertawanya, ia melanjutkan:

"Tu sianseng, walaupun asal-usul ketiga orang bandar dari Sarang Perjudian amat misterius dan rahasia, tapi bagiku, paling tidak aku sudah mengetahui salah satu di antaranya, karena selama berapa tahun belakangan, setiap kali ada pertaruhan, sianseng tua yang bukan saja tahu akan pedang bahkan tahu juga tentang asal usul manusia itu selalu muncul di sekitar tempat kejadian."

"Lo-sianseng itu adalah aku?" "Rasanya sih begitu."

Kakek Tu berbaju kuning itu segera tertawa lebar, berbinar sorot matanya, diawasinya si Elang Botak itu tajam-tajam.

"Bagaimana dengan kau sendiri?" balik tanyanya, "apakah kau juga termasuk salah satu dari Dewa Rejeki?"

Sekali lagi si Elang Botak tertawa keras. "Kalau aku adalah Dewa Rejeki, biar kepalaku harus dipotong pun aku tak akan memasang taruhanku untuk si makhluk pipi putih berpinggang lembut itu."

Setelah berhenti sebentar, pelan-pelan terusnya: "Yang kuketahui sekarang, dalam kuil Dewa Rejeki sudah kedatangan orang."

Yang datang ada tiga orang, ketiga orang itu tak satu pun yang berdandan dan bertampang sebagai Dewa Rejeki.

Tempat ini adalah kebun belakang, kebun belakang berupa sebuah tanah perbukitan, suasana serba merah menyelimuti seluruh tanah perbukitan itu, bunga yang mekar entah berupa bunga persik? Atau bunga flamboyan? Atau bunga anyelir?

Biarpun guguran bunga memenuhi permukaan tanah, namun merahnya bunga di tanah perbukitan itu bagaikan gincu yang dioleskan semalam, masih tersisa di waj ah para nona muda.

Ketiga orang itu berjalan turun dari atas perbukitan itu, pintu kecil di belakang tembok tidak terkunci, perkampungan Bu-hok-sanceng memang bukan tempat yang terlarang untuk didatangi.

Mereka berjalan masuk ke balik aneka bunga di belakang kebun atas tanah perbukitan yang memerah, kemudian menembusi guguran bunga yang melapisi permukaan tanah, berjalan menelusuri sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu hijau.

Dua orang di antaranya telah berusia pertengahan, berperawakan sedang, berpakaian sedang, berwajah sedang dan ukuran pinggang sepuluh inci lebih besar ketimbang ukuran pada sepuluh tahun berselang.

Baju yang dikenakan adalah jubah sempit berwarna hijau dengan pakaian berwarna biru sebatas bahu, bentuknya mirip sekali dengan sebuah rompi yang terbuat dari besi.

Potongan baju serta dandanan mereka sangat bersahaja, asal kau telusuri jalan raya dalam sebuah kota besar dan masuk ke dalam toko yang mana pun di kota tersebut, maka kalian sudah dapat melihat orang dengan dandanan persis seperti itu duduk di belakang meja kasir sambil memukul sempoa.

Mereka menggandeng seorang kakek yang sudah sangat tua, kakek

itu luar biasa sekali tuanya, rasanya tidak gampang untuk bertemu dengan seorang kakek yang setua itu masih tetap hidup di dunia ini.

Sebetulnya kakek itu memiliki perawakan badan yang sangat tinggi, tapi sekarang sudah menyusut dan mengering bagaikan segumpal ebi kering, rambutnya yang semula putih beruban kini sudah rontok hingga nyaris ludas, wajahnya yang kuning penuh dengan keriput, ia mengenakan sebuah jubah besar berwarna merah yang bermotif bunga, selain halus bahannya, potongan serta jahitannya pun amat rajin dan rapi.

Tiba-tiba paras muka si Elang Botak berkerut kencang, sorot mata yang terpancar dari balik mata Si Ti-ing pun berubah sedikit aneh, jauh berbeda dengan sorot matanya di hari-hari biasa.

Mereka belum pernah berjumpa dengan kakek itu, tapi lamat-lamat terasa seperti pernah bertemu, perasaan itu seakan seperti seseorang yang mendadak bertemu dengan seekor makhluk purba yang pernah didengarnya dari cerita dongeng, walaupun tahu kalau dia sudah tak sanggup lagi melukai orang, tapi kau tetap merasakan satu tenaga tekanan yang begitu besar dan tak terlukiskan dengan kata.

Kakek Tu berjubah kuning telah maju menyambut, sikapnya sopan dan amat menaruh hormat, biarpun dia sendiri pun selalu dihormati sebagai seorang kakek terhormat, namun setelah berada di hadapan kakek berjubah merah itu, keadaannya tak ubahnya seperti seorang murid yang bertemu dengan gurunya, dengan sikap yang santun ia menjura dalam-dalam seraya menanyakan keadaan orang.

Sambil terbatuk-batuk tiada hentinya, kakek berjubah merah itu gelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku tidak baik, sedikit pun tidak baik, bahkan kalau ada nona cilik yang sengaja telanjang bulat di depanku pun aku sama sekali tidak tertarik. Hidup sebagai manusia sudah sangat tidak menarik, apa lagi yang kau anggap baik?"

Sekali lagi dia gelengkan kepala sambil menghela napas dan terbatuk-batuk.

"Padahal kau tak perlu menanyakan keadaanku, karena aku pun tak ingin menanyakan keadaanmu, aku tahu kau tak ingin bertemu aku dan aku pun tak ingin bertemu kau..."

Sesudah berhenti sejenak, tiba-tiba tanyanya: "Apakah di sini ada yang bermarga Si?" "Ada!"

"Kau adalah Si Ti-ing?" "Benar!"

"Bagus sekali, aku memang khusus kemari untuk melihat kau."

Kakek berjubah merah itu segera mengamati Si Ti-ing dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, kemudian dari ujung kaki kembali ke ujung kepala, sesaat kemudian ia mulai terbatuk-batuk sambil menghela napas.

"Padahal kau tak ada yang bagus dan menarik, tapi mereka bilang ilmu pedangmu sangat bagus, bahkan bisa dibandingkan dengan kehebatan Yap Koh-seng di masa lalu," kembali dia menghela napas panjang, "ilmu pedang yang dimiliki Sebun Jui-soat sangat tangguh dan tiada tandingannya, dapat bertarung sejajar dengan kemampuan Yap Koh-seng sudah dianggap luar biasa, maka mereka memaksaku untuk datang melihatmu dan aku pun tidak tahan untuk tak datang kemari."

"Mereka?" tiba-tiba si Elang Botak menyela, sambil menuding ke arah dua orang lelaki itu, terusnya, "apakah mereka adalah kalian?"

"Benar," salah seorang di antaranya menjawab sambil tertawa, ramah sekali tertawanya, "mereka adalah kami berdua."

"Jadi kalian adalah Dewa Rejeki?"

Sekali lagi si Elang Botak tertawa keras, seakan sedang menjawab pertanyaan sendiri, gumamnya:

"Tentu saja kalian adalah Dewa Rejeki, kalau bukan Dewa Rejeki, bagaimana mungkin bisa menghadirkan Toa Ang-bau si kakek berjubah merah?"

Entah di mana saja dan kapan saja, nama "Toa Ang-bau" memang cukup mengejutkan hati siapa pun.

"Toa-Ang-bau?" Si Ti-ing bergumam dengan perasaan terkesiap, "Siau-hun siau-cing-ie, Toh- mia Toa-ang-bau (Pembetot Sukma si Baju Hijau, Pencabut Nyawa si Jubah Merah)?"

"Rasanya memang begitu," kakek itu picingkan matanya seraya bergumam pula, "Si kecil Yan baju hijau, si besar Li jubah merah, yang laki tampan yang perempuan cantik, serigala memang selalu berkomplot dengan sang harimau."

Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:

"Sayang semuanya itu sudah merupakan kejadian masa lampau, saat ini si pembetot sukma siau-Yan sudah tua lagi jelek, siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan kabur terbirit-birit, sedang si pencabut nyawa Toa-Li juga telah berubah menjadi seorang pendekar yang hanya mampu mencabut nyawa satu orang."

"Nyawa siapa?" "Nyawa sendiri."

Tanya jawab ini tentu saja dilakukan oleh dia sendiri, karena dia merasa permainan ini sangat menarik hati.

Oleh karena itu dia bertanya sendiri, menjawab sendiri lalu tertawa sendiri, menanti dia merasa tertawanya sudah cukup, barulah ujarnya:

"Oleh karena itu kedatanganku kali ini tak lebih cuma ingin melihat."

"Melihat bunga? Tidak bagus dilihat, melihat orang? Lebih tak bagus dilihat. Melihat pedang?" si Elang Botak ternyata meniru juga untuk bertanya sendiri dan menjawab sendiri, "pedang pun tidak bagus dilihat."

"Oya?"

"Pedang itu dipakai untuk membunuh, bukan untuk ditonton," kali ini yang berebut menjawab adalah Si Ti-ing, "pedang pun tak ingin bertemu orang, yang diingini hanya bertemu darah."

Ia berjalan ke depan, berhadapan dengan Li Ang-bau lalu terusnya: "Bila pedang tajam yang pernah dipakai untuk membunuh diloloskan dan sarungnya, maka dia ingin membunuh lagi, bahkan pemiliknya pun tak sanggup untuk mengendalikan, aku percaya cianpwee pasti dapat merasakan pula perasaan semacam itu bukan?"

Angin berhembus sepoi menggoyangkan bebungaan, bunga bergoyang bunga berguguran, berapa banyakkah bunga yang telah berguguran hari ini? Lewat lama kemudian Li Ang-bau baru mengangguk perlahan.

"Ya benar, memang begitu keadaannya," ia berkata, "pedang yang tajam memang sering mempunyai roh, begitu juga dengan orang yang biasa menggunakan pedang, bila manusia dan pedang telah menyatu, bila perasaan dan pedang telah menyatu, maka di saat menggunakan maka semua gerakan akan berjalan sangat lancar, dapat mengembangkan seluruh tenaga terpendam yang dimiliki orang maupun pedang itu."

"Benar, memang begitu."

"Oleh karena itu bila pedang itu sendiri sudah memiliki hawa pembunuhan, orang yang menggenggam pedang pun akan tergerak napsu membunuhnya," Li Ang-bau bicara lebih jauh, "bila napsu membunuh telah muncul, maka di saat melancarkan serangan dia tak akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk lolos dan kematian."

"Benar," lambat laun sikap Si Ti-ing berubah jadi makin serius, makin menaruh hormat, "jika napsu membunuh telah timbul, kedua belah pihak tak boleh lagi memberi kesempatan kepada lawannya, karena itu pertarungan antara dua jago tangguh, antara hidup dan mati sering hanya ditentukan dalam sekejap mata, bila orang yang biasa menggunakan pedang tewas di ujung pedang, maka dia akan mati dengan perasaan amat tenteram."

"Bagus, sebuah ucapan yang sangat bagus," puji Li Ang-bau sambil manggut-manggut, "seandainya usiaku tigapuluh tahun lebih muda, jika kau tak punya janji dengan siapa pun, aku pasti akan sangat gembira dan terhibur bila hari ini kita bisa bertarung, tapi sayang sekarang..."

Dia menghela napas panjang, lama kemudian baru ujarnya: "Sekarang aku hanya ingin melihat niat pedang (Ie-kiam) yang ada di dalam dadamu, sudah tak ingin lagi melihat napsu membunuh yang ada di ujung pedangmu." "Kalau begitu bagus sekali."

Kembali angin berhembus lewat menggoyangkan bebungaan, kembali bunga berguguran melapisi permukaan tanah, berapa pun guguran bunga yang akan mengotori langit dan bumi, semuanya itu sesungguhnya merupakan sebuah kejadian yang sangat alami.

Bunga gugur manusia mati, langit dan bumi memang tak pernah punya perasaan!

Langit dan bumi memang tak pernah punya perasaan, bila ada perasaan, mungkin sejak dulu langit sudah gundul dan tanah sudah menua.

Perlahan-lahan Li Ang-bau bangkit berdiri, menggunakan sebuah tangannya yang kurus kering berpegangan pada bahu orang yang berada di sisinya, lalu dengan tangan yang lain memetik setangkai ranting bunga, entah bunga persik? Atau bunga anyelir? Atau bunga flamboyan?

Tiada bunga yang tak rontok, tiada manusia yang tidak akan tua. Tapi ketika ranting bunga itu berada di tangan kakek itu, segala sesuatunya tiba-tiba saja berubah.

Bab 4 Rasanya Mati

Tangan kiri Li Ang-bau sudah meninggalkan bahu orang itu, dengan ibu jari menggenggam jari kelingking dan jari manis, ia tunjukkan sebuah gerakan jurus pedang, kaki kiri maju setengah langkah diikuti tungkai kaki menghadap ujung kaki kanan, ranting bunga di tangannya diangkat sejajar dada, ujung ranting di arahkan ke dada Si Ti-ing.

Pada saat yang amat singkat itulah, ranting bunga yang sudah layu itu seakan mendapat kekuatan sihir yang luar biasa, tiba-tiba berubah seperti memiliki hawa kehidupan yang luar biasa.

Kakek berjubah merah yang tua, layu seakan hampir mati itu seolah-olah dalam waktu yang amat singkat telah memiliki sumber kehidupan yang luar biasa, dan balik sorot mata tuanya yang sedikit sipit seakan memancar keluar cahaya yang berbinar, badan yang layu, kusut dan sedikit bongkok pun lambat laun berdiri tegak kembali, paras muka yang semula kuning lambat laun memancarkan cahaya berkilat, peredaran darahnya yang semula mengering dan mulai layu kini mulai mengalir kembali dengan lancarnya.

Sebuah kehidupan memang merupakan suatu kejadian yang aneh dan penuh misteri, tak ada yang bisa menjelaskan kenapa seseorang dapat mengalami perubahan yang begitu luar biasa hanya dalam waktu yang amat singkat?

Inikah keistimewaan yang dimiliki seorang jago pedang? ........Seperti seorang pemimpin yang sudah lama kehilangan kekuasaan, tiba-tiba memperoleh kembali seluruh kekuasaannya, atau seperti seorang gadis yang putus cinta tiba-tiba menjumpai kekasih yang telah lama meninggalkan dirinya muncul kembali di depan mata, atau seperti seorang ibu yang tiba tiba melihat putranya yang hilang bertahun-tahun kembali lagi ke pangkuannya......

Ketika seseorang yang sedang menghadapi keputusasaan dan tiba-tiba mendapatkan kembali pengharapannya, apakah dia akan selalu bersihap seperti ini?

Ternyata sebuah kehidupan memang dipenuhi kemukjizatan, membuat orang terharu, membuat orang terkagum.

Sebaliknya, keadaan dari Si Ti-ing justru lambat laun bertambah layu, kusut dan melemah. Mengikuti bertambah kuatnya cahaya terang yang memancar keluar dari tubuh Li Ang-bau,

keadaan dirinya justru satu tingkat lebih layu dan kusut daripada keadaan semula.

Segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat dan tak terlihat dengan kasat mata seakan menindih badannya bagai tindihan bukit berkarangg, "Blaaammm" kakinya yang menginjak di batuan hijau tiba-tiba menghancurkan sekeping batuan, lambat laun kakinya ikut tenggelam ke bawah tanah.

Yang lebih aneh lagi ternyata paras mukanya nampak begitu tenang dan tenteram, walaupun tidak melakukan perlawanan maupun melancarkan serangan balasan, badannya juga sama sekali tidak mundur.

Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba kembali terjadi sebuah perubahan yang sangat aneh.

Sisa-sisa bunga yang semula tampak mulai bersemi di atas ranting itu, tiba-tiba berguguran ke tanah, sewaktu mencapai permukaan tanah, kelopak bunga itu segera layu dan mati, kelopak bunga yang tadinya berwarna merah segar, ternyata dalam waktu sekejap telah berubah jadi hitam pekat.

Li Ang-bau membentak nyaring, ranting bunga yang berada dalam genggamannya melesat ke depan dan tiba-tiba terpotong menjadi beberapa bagian di udara dan rontok ke tanah.

Cahaya terang yang berkilauan tadi, dalam waktu singkat bagaikan sebuah meteor yang melesat lewat, lenyap tak berbekas seakan-akan menguap ke udara.

Li Ang-bau mulai tersengal-sengal napasnya, kemudian setelah terbatuk-batuk, ia menghela napas panjang.

"Bagus, bagus sekali," menggunakan semacam sinar mata yang aneh dia awasi Si Ti-ing, "bila sesuatu benda berada dalam posisi berlebihan, akan terjadilah pembelokan, bila suatu keadaan telah mencapai puncaknya, sebentar lagi akan terjadi perlemahan, dengan tidak berubah kau hadapi perubahan, menghindari pucuk ketajaman di saat mencapai puncak dan menggunakan tidak bertempur menjadi bertempur, dengan tenang menghadapi perubahan, hebat, kau sungguh hebat."

Setelah menghela napas, kembah ujarnya:

"Sungguh tak disangka kau telah memahami inti sari dari strategi perang yang kau rangkum dalam ilmu pedangmu, kini kau sudah seorang jenderal, bukan lagi seorang prajurit keroco."

Bukan saja makna sebenarnya dari ilmu pedang sama persis dengan ilmu strategi perang, apa pun yang kau kerjakan, bila sudah mencapai pada puncaknya maka teori dan alasannya tetap sama.

Tiba-tiba si Elang Botak menghela napas.

"Aku tidak mengerti," katanya, "aku benar-benar tidak mengerti, kedua orang Jay-sin-ya (Dewa Rejeki) itu sebenarnya lagi apa?"

Tampaknya dia tahu orang lain tak akan mengerti apa yang sedang diucapkan, maka segera ia terangkan sendiri:

"Bukan satu pekerjaaan yang gampang untuk mengundang Toa Ang-bau mau meninggalkan sarangnya, kalian telah mengundangnya datang kemari, tujuannya tak lain hanya minta kepadanya untuk melihat bagaimana hebatnya ilmu pedang yang diniiliki Si Toa-sianseng, kalian ingin tahu apakah taruhan yang telah kalian pasang sudah benar sasarannya atau tidak, tapi setelah dilihat sekarang, apa lagi yang bisa kalian perbuat? Memangnya kalian dapat menarik kembali uang taruhan itu?" Paras muka kedua orang dewa rejeki itu sama persis seperti lukisan dewa rejeki yang tiap tahun akan muncul di rumah orang banyak, muka gemuk dengan senyuman menghiasi bibir, sama sekali tak nampak reaksi maupun perubahan mimik mukanya.

Sementara itu Li Ang-bau telah berseru pula:

"Aku pun tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti." "Kau pun ada yang tidak dipahami?"

"Yang tidak kupahami adalah dirimu," kata Li Ang-bau, kemudian kepada Si Ti-ing tanyanya, "kau tahu siapakah dia?"

"Tidak, aku tidak tahu." "Dia bukan sahabatmu?"

"Bukan, dia datang bersama Tu sianseng, semestinya sahabat dari Tu sianseng."

"Kau keliru besar," tukas Li Ang-bau cepat, "dia pun bukan sahabatnya siau-Tu. Di dunia ini memang terdapat sekawanan manusia y.ing sangat istimewa, mereka seakan tidak memiliki apa pun, biar sahabat pun rasanya mereka tak punya."

Ia menengok ke arah si Elang Botak, kerutan alis matanya nampak lebih dalam, begitu dalam seperti goresan dari pisau.

"Aku tahu kau adalah manusia dari jenis itu, itulah sebabnya aku merasa keheranan, kenapa kau bisa datang ke sini," kata si kakek berjubah merah itu lagi, "di mana ada orang hampir mampus, ke sanalah si burung pemakan bangkai akan terbang, sayangnya di sini tak ada orang yang hampir mati."

Si Elang Botak segera tertawa, tertawa sangat keras.

"Setan tua berjubah merah, kali ini jawabanmu keliru besar," serunya sambil tertawa nyaring, "di mana ada orang bakal mati, hanya si burung pemakan bangkai yang tahu, mati pun mempunyai sejenis bau yang khas, dan hanya seekor burung pemakan bangkai yang dapat mengendusnya."

Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya:

"Hey setan tua berjubah merah, urusan macam begini tak mungkin kau pahami, masih terlalu banyak urusan di dunia ini yang tidak kau pahami."

Gelak tertawanya kembali menggetarkan bebungaan sehingga sebagian rontok ke tanah, sementara tubuhnya mengikuti guguran kelopak bunga itu sudah melesat pergi meninggalkan tempat itu, ketika ia pergi, tubuhnya persis seperti seekor kelelawar hitam yang terbang dan melesat ke angkasa.

Tak ada yang berusaha menghalangi kepergiannya, dalam hati mereka hanya bertanya kepada diri sendiri:

.........Bagaimana sih rasanya mati? Bagaimana pula baunya?

Siapa di antara mereka yang bakal mati?

Bab 5 : Burung Pemakan Bangkai

Langit sudah bertambah gelap, seekor kereta kuda yang tertutup rapat oleh selembar kain terpal berwarna hitam sedang berjalan menelusuri jalan setapak yang sepi dan hening.

Dengan mata setengah terpicing kakek berjubah merah itu bersandar di sudut ruangan kereta, dua orang dewa rejeki dengan wajahnya yang bulat gemuk persis dua lembar lukisan yang ditempel di pintu gerbang rumah, duduk berjajar persis di hadapannya.

Aldiirnya salah seorang di antara mereka buka suara, katanya:

"Kelihatannya orang itu sangat tidak sopan terhadap kau orang tua."

"Bukan cuma tidak sopan, bahkan amat sangat tidak sopan," ternyata kakek berjubah merah itu tidak menunjukkan rasa gusar, dia menjawab dengan suara hambar, "terhadap siapa pun, orang itu tak pernah sopan, di dalam pandangannya, seorang manusia yang masih hidup tak ada bedanya dengan seseorang yang sudah mampus."

"Sebenarnya siapa sih orang itu?"

Kakek berjubah merah itu termenung, lewat lama sekali dia baru menjawab perlahan: "Ada seseorang, ketika berusia sebelas tahun ia telah membunuh mati lima orang lelaki kekar dengan menggunakan sebilah pisau penjagal kambing, ketika berusia tigabelas tahun, dia mencukur rambutnya menjadi seorang pendeta di kuil Siau-lim-sie, belum genap dua tahun, gara- gara seorang wanita dia diusir keluar dari kuil, bukan begitu saja bahkan dia dicambuk oleh pendeta bagian pengadilan dengan cambuk berduri, nyaris dia mati konyol di tengah gunung."

"Dia tidak mampus, konon hal ini disebabkan ada tujuh-delapan-belas ekor serigala yang secara bergilir menjilati mulut luhanya, serigala-serigala itu menjilati selama tujuh hari tujuh malam sehingga akhirnya berhasil menyelamatkan jiwanya."

"Selama dua-tiga tahun berikut dia hidup di gunung itu bersama serombongan serigala, ketika mencapai usia tujuhbelas tahun dia bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi, mula-mula sebagai petugas di istal kuda yang kerjanya memandikan kuda dan membersihkan tahi, kemudian dia naik pangkat jadi petugas angkat barang, ketika mencapai usia delapanbelas tahun dia sudah jadi seorang piausu, ketika berusia sembilanbelas tahun dia bikin bangkrut perusahaan piaukiok itu."

"Kemudian selama beberapa tahun berikut pekerjaaan apa pun pernah dia lakukan, ketika berusia duapuluh empat-lima tahunan dia ikut sebuah perahu dagang berlayar ke negeri Hok-sang (Jepang), ketika tiga tahun kemudian kembali ke daratan, dia sudah berubah menjadi seorang saudagar yang kaya-raya."

Setelah menghela napas panjang, kembali kakek berjubah merah itu berkata:

"Menurut kalian, manusia semacam ini termasuk orang yang punya kepandaian atau tidak?" Tak seorang pun yang ada dalam ruang kereta itu menjawab.

Kembali berapa saat berlalu dalam keheningan, tiba-tiba kereta kuda berhenti berjalan, berhenti di depan sebuah rumah kayu, di luar jendela kereta cahaya lentera tampak bergoyang terhembus angin, empat orang dengan menggotong sebuah tandu menanti di luar. 

Kakek itu perlahan-lahan duduk, perlahan-lahan bertanya:

"Kalian minta aku pergi menengok ke perkampungan Bu-hok sanceng, sekarang bukankah aku sudah pergi melihat?"

"Benar."

"Kalian berjanji akan memberi aku barang, mana barangnya?" "Dalam tiga hari pasti sudah tiba."

"Bagus, bagus sekali."

Perlahan-lahan kakek itu turun dari kereta dan bergumam, "Padahal aku sendiri pun tidak habis mengerti, kenapa kalian paksa aku untuk pergi melihat? Sekarang kalian sudah tahu kalau si kelinci yang sekujur badannya berbau aneh bakal kalah, apa pula yang bisa kalian perbuat? Uang taruhan yang sudah disetor, siapa pula yang mampu untuk menariknya kembali?"

Cahaya lampu telah menjauh, tandu telah digotong pergi, dua orang itu masih berdiri saling berhadapan, kau memandang aku dan aku memandang kau, dilihat dari balik kegelapan, mereka sudah tak mirip lagi dengan dua dewa rejeki yang tiap tahun menempel di muka pintu, keadaan mereka saat ini lebih mirip dengan dua orang mati, dua orang yang mati karena kalah taruhan.

Ke mana perginya si burung pemakan bangkai itu?

Bab 6 : Jurus Andalan Dewa Rejeki

Limaratus laksa tahil emas murni memang sanggup membuat seorang manusia hidup mendadak mati karena kalah taruhan, bahkan kadangkala bisa membuat manusia yang berkereta- kereta banyaknya mati gantung diri.

Limaratus laksa tahil emas mumi, sebuah jumlah yang luar biasa, biar dia seorang Dewa Rejeki pun tak akan sanggup untuk memikul kekalahan ini, untung saja Dewa Rejeki memang jarang kalah bertaruh.

Bagaimana dengan kali ini?

Setan tua berjubah merah ini memang tulen seorang setan tua, tapi kali ini, si setan tua pun tidak habis mengerti kenapa mereka bersedia mengeluarkan biaya sebanyak ratusan laksa tahil perak untuk mengundangnya, apakah mereka kuatir uangnya keburu berjamur? Dewa rejeki yang barusan bicara adalah dewa yang usianya sedikit lebih tua, kurang lebih berumur empatpuluh tujuh-delapan tahunan, tampangnya begitu polos dan blo'on melebihi tampang sebiji buah pepaya, tapi sekarang tampangnya justru lebih minp sebiji ketela yang baru saja dicongkel keluar dari dalam tanah.

Dia bermarga Thio, ada yang memanggilnya Thio Lo-ngo, ada yang memanggil Ngo tauke, Ngo ciangkwee, Ngo toako, ada juga yang memanggilnya Ngo Toa-lang.

Rekannya berusia sedikit lebih muda, berperawakan badan lebih pendek dan lebih gemuk, kalau dibilang dia mirip ketela, maka orang ini lebih mirip sebiji ketela yang sudah digencet sampai gepeng. Dia pun dan marga Thio, menempati urutan ke delapan.

"Padahal setan tua itu seharusnya tahu, kalau dewa rejeki mulai bertransaksi maka dia pun punya sedikit jurus andalan, kalau tidak, dia bukan lagi seorang dewa rejeki tapi setan royal."

Dua orang itu tertawa bersama, tertawa tergelak, tiba-tiba saja dua biji ketela berubah jadi dua ekor rase, rase gemuk yang bulat lagi pandai berguling.

Dalam keadaan begini, mereka masih mempunyai jurus andalan apa lagi?

Suasana di dalam rumah kayu itu ternyata ramai sekali, bangunan yang jauh dari dusun, tak bersebelahan dengan bangunan apa pun itu ternyata adalah sebuah arena perjudian yang sangat besar.

Dalam ruangan penuh dengan manusia yang sedang berjudi, kebanyakan merupakan orang- orang yang tak ingin identitasnya diketahui orang; paling tidak agar orang tak tahu kalau mereka termasuk orang-orang yang gemar berjudi.

Di bagian belakang ruang utama masih terdapat sebuah kamar kecil, di tengah kamar tersedia sebuah balai besar yang terbuat dari kayu cendana, di atas balai cendana itu terdapat dua buah meja pendek, di atas meja bukan saja tersedia teh dan arak, terdapat juga manisan, buah, ikan asap, daging masak kecap, usus goreng tie-to, ayam goreng, ham, kuping babi, kulit babi, bakpao isi, lumpia, mantau, siau-lung-pau serta aneka ragam makanan kecil, pokoknya hidangan yang tersedia di situ sangat komplit.

Tampak seseorang sedang duduk di atas balai, duduk sambil makan tiada hentinya, hidangan macam apa pun asal sudah masuk ke dalam mulutnya, dalam sekejap mata telah hilang lenyap tak berbekas, orang itu mempunyai wajah dengan selembar mulut yang amat besar, seakan-akan mulut itu memang sudah disiapkan sejak lahir untuk makan sebanyak-banyaknya.

Yang lebih aneh lagi, orang yang begitu suka dan pandai bersantap ini justru memiliki perawakan badan yang kurus kering, sedemikian kurusnya nyaris tinggal kulit pembungkus tulang.

Dengan susah payah aldiirnya Thio Ngo dan Thio Pat berhasil melampaui kumpulan manusia yang sedang berdesakan di ruang tengah, mereka berdin di sisi orang kurus itu dengan sikap yang sangat menghormat.

Setelah bertemu orang ini, kedua ekor rase itu seolah-olah telah berubah lagi menjadi dua biji ketela.

Dengan susah payah mereka menanti hingga orang itu menyelesaikan untuk sementara acara makannya, lalu dengan sikap yang sangat hormat mereka menjura seraya memanggil:

"Ji-ko!"

Yang dipanggil Ji-ko (kakak kedua) sama sekali tak berpaling, melirik sekejap pun tidak, dia masih berbaring kemalas-malasan di atas balai cendana sambil tanyanya dengan ogah-ogahan:

Toa tauke berdua, boleh aku bertanya kepada kalian, kak ini kau semua memasang taruhan sebesar limaratus laksa tahil emas atas si makhluk kecil itu, sebetulnya semua ini atas ide siapa?"

"Ideku," jawab Thio Pat cepat-cepat, "aku pernah melihat Liu Ceng-ho turun tangan, dia memang hebat dan luar biasa, malah paling tidak sudah ada tiga orang jago pedang yang setara ilmu pedangnya dengan Si Ti-ing tewas di tangannya. Sejak awal aku sudah menganalisa hal ini secara teliti dan yakin taruhan kali ini pasti kita yang menang, karena itu setelah berunding dengan sam-ko, ngo-ko dan lak-ko, aku putuskan untuk memasang taruhan ini."

"Dengan persetujuan empat orang toa-tauke, tentu saja kau boleh memasang taruhan itu," ujar Ji-ko hambar, "apakah sekarang kau masih menganggap bahwa taruhan itu sudah benar pada sasaran?"

Thio Pat segera tutup mulutnya tak berani menjawab, apalagi Thio Ngo, dia lebih tak berani buka suara. Ji-ko kembali menghela napas panjang:

"Hai, Thio Pat wahai Thio Pat! Aku benar-benar tak habis mengerti, kenapa kau mesti she-Thio?

Kenapa tidak she-Ong saja?" Dengan kemalas-malasan dia bangun dan duduk, terusnya: "Tahukah kau, sekarang ini berapa pasaran taruhan di luar sana atas pertempuran tersebut?"

"Mungkin satu banding tiga, semua pegang Si Ti-ing kalah, bahkan dalam pasaran tak ada yang berani pegang Liu Ceng-ho kalah."

Thio Pat berbicara sangat tenang, semua masalah dibeberkan dengan jelas dan teliti bahkan dengan lagak seakan tak bersalah, seolah-olah semua urusan sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya. Kontan saja Ji-ko mencak-mencak kegusaran, teriaknya: "Bagus, bagus sekali, rupanya kau pun sudah tahu, tak kusangka ternyata kau pun tahu."

"Aku bukan cuma tahu, bahkan secara khusus telah mengundang Li Ang-bau untuk meyakinkan, ternyata dia pun tak mau memasang taruhan atas Liu Ceng-ho."

"Biarpun telur busuk tua itu bukan manusia baik-baik, tapi kalau dalam soal ini, dia tak bakal salah menilai," mendadak Ji-ko melompat bangun lagi sambil bertanya, "telur busuk tua itu rakus lagi tamak, dengan cara apa kau berhasil mengundangnya?"

"Tentu saja dengan memberi sedikit hadiah." "Sedikit hadiah itu berapa nilainya?"

"Enam orang bocah perempuan berusia empatbelas tahun, enam-puluh lembar daun emas serta enam ekor babi putih yang diberi susu manusia bercampur obat-obatan."

Tidak menunggu sampai Ji-ko naik darah lagi, buru-buru Thio Pat menambahkan: "Sebenarnya kita tak rugi memberi hadiah seperti itu, sebab aku telah berjanji hadiah itu akan

kukirim setelah dia selesai melakukan penilaian, dengan begitu kita pun tahu jalan mana yang paling cocok ditempuh."

"Hingga sekarang masih ada berapa jalan lagi yang bisa kau tempuh?" tanya Ji-ko lagi sambil menahan rasa mendongkolnya.

"Paling tidak masih ada dua jalan, kesatu adalah mendapat keuntungan, jalan kedua adalah cari kembalian modal."

"Setelah keadaan berkembang jadi begini, kau masih mengharapkan keuntungan? Masih bisa balik modal?"

"Biarpun tak bisa mengharapkan kemenangan, paling tidak masih bisa kembali modal," sahut Thio Pat cepat, "bila Li Ang-bau memprediksikan kemenangan Liu Ceng-ho atas Si Ti-ing dalam pertempuran ini, maka aku tinggal menghitung jumlah emas yang berhasil kita menangkan, jika dia memprediksikan Si Ti-ing menang dan Liu Ceng-ho kalah, maka aku akan mencari akal untuk balik modal."

"Bagaimana caramu untuk balik modal? Memangnya kau masih bisa menarik balik uang taruhan yang telah dipasang?"

"Tentu saja tak dapat."

Memang tak ada orang yang bisa menarik kembali uang taruhan yang telah dipasang, Thio Pat berkata lebih jauh:

"Tetapi aku toh bisa memasang taruhan lagi dengan memegang Si Ti-ing, jumlah taruhannya sama limaratus laksa tahil emas murni, biar kalah di taruhan pertama, paling tidak bisa menang pada taruhan yang kedua, sehingga modal pokok pun tetap bisa balik, siapa tahu malah bisa untung sedikit-dikit."

"Ehmm, usulmu memang cukup bagus dan bisa diandalkan," Ji-ko manggut-manggut, "cuma saja masih ada sedikit persoalan."

"Persoalan apa?"

"Setelah situasi berubah jadi begini, siapa yang sudi bertaruh limaratus laksa tahil emas lagi denganmu?"

"Aku percaya pasti dapat menemukan orang-orang itu." "Orang-orang macam apa?" "Mereka yang suka bertaruh tapi takut kalah," jawab Thio Pat, "sebelum memasang taruhan,

biasanya orang-orang itu pasti akan menyelidiki terlebih dulu detil dari orang yang bertarung, bahkan penyelidikan mereka pasti mencakup hal-hal yang paling kecil."

"Memangnya orang-orang macam begini bersedia untuk bertaruh denganmu?" "Sebenarnya sih tidak mau, tapi sekarang aku percaya mereka pasti mau." "Kenapa?"

"Karena ulah seseorang dan marga Si yang dijuluki orang Si Pousat, dan sekarang dia sedang berjudi pay-kiu di arena luar sana."

Si Ho, berusia limapuluh satu tahun, belum lagi berusia sepuluh tahun sudah bergabung dengan keluarga Si dan menjadi kacung bukunya Si toa-sauya, ketika toa-sauya naik pangkat jadi Toa-sianseng, si kacung buku pun naik pangkat jadi seorang congkoan.

Di hari-hari biasa dia selalu mengenakan baju kasar berwarna biru, tak suka makan besar, tak suka main pelacur, tidak minum arak, tidak membual tidak berjudi, penyakit jelek sedikit pun tidak dimiliki, oleh karena itulah orang menjulukinya Si Pousat (Malaikat Si).

Dandanan dari Si Pousat saat ini persis seperti seorang saudagar yang kaya mendadak, hanya saja dia sudah kalah berjudi hingga peluh membasahi seluruh jidatnya, matanya memerah dan kelihatan agak sedikit lesu.

Dalam waktu singkat dia sudah diundang masuk, Thio Pat segera membantunya memperkenalkan diri

"Dia adalah Si congkoan, selama dua tahun terakhir menjadi tamu langganan tempat ini, boleh dibilang setiap malam dia pasti datang, orangnya supel dan royal, kalau berjudi pun sangat berani, hanya sayang nasibnya sedikit kurang beruntung sehingga sedikit banyak sudah menyumbang ke kita, aku telah membantunya untuk memberesi semua utang piutangnya dengan tempat ini, tentu saja sebagai imbalannya kami pun minta bantuan Si congkoan untuk membantu kami menyelesaikan sedikit urusan kecil.''

"Aaah, betul, itu sih hanya urusan yang sangat gampang, urusan sangat kecil," Si Ho segera menyahut sambil tertawa paksa.

Banyak orang pintar berpendapat, dan urusan kecillah akan ditemukan pintu besar, pintu yang ada di balik urusan besar rasanya dapat diketahui oleh siapa saja.

Bab 7 : Siapa yang Jadi Burung Tolol?

Pekerjaan yang diminta Thio Pat untuk dikerjakan Si Ho memang benar-benar sebuah pekerjaan kecil.

Dia serahkan sebuah resep obat untuk Si Ho dan memintanya untuk membeli obat esok pagi di toko obat terbesar di dalam kota, bila selesai mengambil obat, dia harus mengunci diri di dalam kamar untuk memasak obat itu.

Bila obat telah matang, buang cairan obat itu ke dalam lubang jamban, dan mengganti isi mangkuk dengan semangkuk kuah jinsom, kuah jinsom itu adalah sarapan buat Si toa-sianseng.

Setelah itu dia harus membuang ampas obat yang telah dimasak ke dalam selokan yang ada di dalam dapur, bila semua telah dikerjakan maka tugas pun selesai.

"Setelah aku melakukan tugas ini selama dua hari secara beruntun, apa yang diduga Thio Pat- ya ternyata tepat sekali," lapor Si Ho kemudian, "benar juga, ternyata ada segerombol manusia yang kasak-kusuk menyelinap masuk ke dalam, secara sembunyi-sembunyi berkeliling dalam kamarku, lalu mengambil ampas obat yang kubuang ke dalam selokan bahkan pergi ke toko obat Khing-ho-tong untuk mencari tahu obat-obatan apa saja yang telah kutebus di situ."

"Lantas bahan obat obatan apa saja yang kau tebus dari toko obat itu?"

"Tak lebih cuma sebangsa Gou-hong, Thian-jit, Coa-tan serta bahan-bahan obat sejenis yang khusus digunakan untuk mengobati penyakit lever akut, bahkan harganya pun mahal sekali."

"Ooh, mengerti aku sekarang," kata Ji-ko kemudian, sambil berpaling ke arah Thio Pat katanya lebih lanjut, "apakah kau hendak meninggalkan kesan seolah-olah Si Lo-toa sudah terjangkit penyakit lever, bahkan penyakitnya sudah mencapai taraf yang menguatirkan?"

"Benar!"

"Si Ti-ing sangat berpengalaman dalam pelbagai pertempuran, sewaktu muda dia pun royal minum arak dan main perempuan, diserang dari luar dan dalam, bila sampai terkena penyakit lever, dapat dipastikan sakitnya pasti sangat parah dan sukar diobati lagi"

"Bukan saja tak bisa diobati, bahkan paling pantang menggunakan tenaga berlebihan, padahal pertarungan antara dua jago yang dipertarungkan justru tenaga dalam," kata Thio Pat perlahan, "jika hawa mumi sampai digerakkan, bila sampai menggoncangkan hati dan isi perut, tak usah pihak musuh turun tangan pun dia pasti akan mati secara mengenaskan."

"Ketika orang-orang itu berhasil mendapat berita tersebut, tentu saja mereka akan memasang Liu Ceng-ho menang, bahkan aku yakin para penjudi itu pasti tergopoh-gopoh memasang taruhannya, seakan kuatir kalau rahasia itu keburu bocor."

"Dalam keadaan begini, aku pun terpaksa menerima taruhan mereka itu, agar mereka mengira aku betul-betul seorang pecundang yang amat goblok," Thio Pat menerangkan lebih lanjut, "dengan begitu modal taruhan kita pun bisa diselamatkan, bukankah kejadian ini patut kita rayakan dengan gembira?"

Kembali dia tertawa bagaikan seekor rase:

"Maka aku pun lagi-lagi mengeluarkan uang sebesar limaratus laksa tahil emas dan diserahkan ke pihak Sarang Perjudian, aku minta mereka selesaikan urusan selanjutnya. Aku rasa mungkin sekarang sudah ada beritanya."

"Tahukah kau orang-orang itu siapa saja?"

"Paling banter mereka adalah penjudi-penjudi yang kemaruk harta, berpikiran picik yang suka bertaruh tapi takut kalah, manusia-manusia bangsa kurcaci, bangsa siaujin yang senangnya kasak- kusuk seperti bandit cilik."

Setelah berhenti sejenak dan tertawa, tambahnya:

"Biarpun kita berhasil mengeruk sedikit uang rejeki mereka, rasanya siapa pun tak akan bersedih hati karena kerugian orang-orang itu.

Dalam pada itu Ji-ko kembali sudah menyikat habis sepotongusus asap, sepotong tie-to, sepotong daging masak kecap serta empat biji pia yang ditaburi wijen.

Setiap kali mendengar berita yang memuaskan hati, dia memang selalu akan makan lebih rakus lagi.

"Biarpun caramu sedikit rendah, licik dan memalukan, tak bisa dipungkiri memang sebuah ide yang brilian," kembali Ji-ko mencomot sepotong ayam goreng, "untuk menghadapi ayam goreng seperti ini, terpaksa kita harus sikat sampai habis, untuk menghadapi orang-orang semacam itu, kita pun harus membuat mereka kalah bertaruh sampai mampus."

Tiba-tiba dari luar ruangan terdengar seseorang tertawa tergelak: "Hahaha kalau ada ayam

goreng, tolong jangan disikat sampai habis, paling tidak kau harus sisakan sepotong paha ayam untukku, hati-hati, makan seorang diri bisa membuat perutmu sakit."

Di tengah gelak tertawa nyaring, seorang lelaki kekar berjubah lebar, bersepatu rumput, kepalanya botak seperti elang, matanya tajam seperti mata rajawali, menerobos masuk dari depan pintu.

Orang-orang yang berusaha menghalangi jalan perginya, entah kenapa, asal maju menghadang, tahu-tahu tubuh mereka sudah men-

celat jauh sekali, ada yang menumbuk di atas dinding, ada pula yang terlempar keluar melalui daun jendela.

Ji-ko hanya memandangnya sekejap, ternyata ia benar-benar merobek sepotong paha ayam goreng dan melemparkan ke depan.

"Nih, ambil!"

Paha ayam dengan membawa deruan angin yang tajam dan kuat, seperti sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, melesat ke depan dengan kecepatan tinggi.

Jangan dilihat orang ini tinggal kulit pembungkus tulang, kurusnya setengah mati sehingga mirip cacing penyakitan, tenaga serangannya ternyata luar biasa hebatnya, bahkan mengandung kekuatan hampir beberapa ratus kati.

Si Elang Botak seakan tidak tahu akan hal ini, paha ayam tersebut seakan dihantar ke hadapannya oleh seorang nenek tua dengan menggunakan sepasang sumpit, dia menerimanya dengan sangat mudah dan ringan bahkan langsung mulai digigit.

Sambil mengunyah daging, gumamnya:

"Thio Pat-ya, ternyata kau memang hebat, tak disangka kau punya jurus pamungkas juga. Di waktu biasa aku lihat kau selalu saja kerja merugi, tak tahunya kau lagi menyaru sebagai babi untuk menelan seekor harimau, tak aneh jika setiap kali Dewa Rejeki mulai bicara soal transaksi, kau yang selalu dikirim untuk melakukan negosiasi." "Tapi sayang, kebetulan kau pun ada kalanya tidak she-Thio ataupun she-Ong," jengek Ji-ko sambil tertawa dingin.

"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya si Elang Botak, "kau she apa?" "Kwan!"

"Kwan Ji?" kembali Elang Botak bertanya, "Kwan Ji dari wilayah Kwan-say?" "Betul, itulah aku!"

Tiba-tiba si Elang Botak tertawa terbahak-bahak:

"Hahaha tidak nyana Kwan Ji dari wilayah Kwan-say pun seorang Dewa Rejeki!"

Kwanji ikut tertawa keras:

"Aku Kwanji sejak muda memang seorang bandit, seluruh kolong langit telah kujelajahi, semua harta kekayaan seakan sudah jadi barang dalam kantongku, kalau aku bukan Dewa Rejeki, siapa yang akan jadi Dewa Rejeki?"

Lalu kepada si Elang Botak itu tanyanya lagi:

"Bagaimana dengan kau? Apa nama margamu?" "Pok!"

"Pok? Pok Ing?" agak berubah paras muka Kwanji. "Benar!"

Mendadak Kwanji melompat bangun dan duduk, sinar tajam memancar keluar dari balik matanya, sorot mata itu sangat tajam, tajam bagai sembilu dan menatap wajahnya tanpa berkedip.

"Sudah lama kau tinggal di luar perbatasan, mau apa datang kemari?"

"Kalau aku mau datang, aku akan datang. Kalau aku mau pergi, aku pun pergi, siapa pun tak berhak mengurusi aku."

"Kak ini mau apa kau datang kemari?"

"Datang menyampaikan warta gembira," kembali Pok Ing tersenyum, "limaratus laksa tahil emas yang kalian pasang sebagai taruhan kedua di Sarang Perjudian sudah ada yang menerimanya, pasaran taruhan sekarang adalah tiga lawan satu, jika Si Ti-ing tidak mampus, anggap saja kalian yang menang, kalian masih bisa untung seratus laksa tahil emas."

Berseri wajah Thio Pat mendengar berita ini, tak bisa membendung rasa gembiranya ia segera bertanya:

"Siapa yang begitu berani menerima tantangan dalam pertaruhan ini?" "Aku!"

Bab 8 : Pedang Emas Bangau Kuning

Tengah malam bulan empat tanggal limabelas, bulan purnama, rembulan yang bulat besar dan memancarkan sinar terang tergantung di atas awang-awang.

Suasana di bawah loteng Hong-hok-lo (Loteng Bangau Kuning) bagai bermandikan cahaya lentera, bukan saja orang berjubel di sepanjang pantai, perahu layar pun banyak berjajar di sepanjang tepi sungai, sebagian besar di antaranya tentu saja orang-orang persilatan.

Namun di antara sekian banyak orang yang hadir, ada juga para penjaja kaki lima yang menjual makanan kecil, air teh dan arak, ada pula perempuan-perempuan yang berdandan menor, berbaju warna-warni dan berlagak seperti perempuan gedongan, perempuan dari keluarga kaya, mereka tak lain adalah "perempuan-perempuan pedagang," maksudnya perempuan yang dagangannya tak lain adalah menjajakan diri.

Orang-orang semacam ini pun ikut memasang taruhan, biar taruhan mereka tidak terlalu besar, asal ada yang dipertaruhkan, orang pasti akan tertarik dan ikut meramaikannya.

Tentu saja di antara mereka ada juga yang khusus datang untuk menonton keramaian, atau khusus berdagang, ada juga yang datang untuk menonton bagaimana akhir dari duel maut antara dua jago pedang yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan ini.

Sayang sekeliling rumah makan Bangau Kuning-Hong-hok-lo dijaga dengan super ketatnya, pada hakekatnya tak seorang pun yang diperbolehkan berlalu-lalang di seputar sana. Penjagaan super ketat ini terpaksa dilakukan karena jauh sebelum pertarungan dimulai, Liu Ceng-ho telah mengutarakan syaratnya, pedangnya bukan untuk ditonton orang banyak, ilmu pedangnya juga bukan untuk dipertontonkan kepada orang banyak, dia mencabut pedangnya dan melancarkan serangan karena untuk menentukan siapa menang siapa kalah, siapa hidup siapa mati.

Cu-si (jam 12 malam) sudah lewat, ternyata Liu Ceng-ho belum juga menampakkan diri. Dia memang punya kebiasaan datang terlambat, dia tak pernah mau menunggu orang lain,

selamanya dia lebih suka orang lain yang menunggu kedatangannya.

Sebuah perahu pesiar yang indah, mewah dan megah akhirnya bersandar di dermaga, aneka bunga yang harum semerbak nampak menghiasi seluruh ruang perahu, bunyi seruling dan dentingan tali kecapi masih mendendangkan lagu yang merdu merayu.

Akhirnya Liu Ceng-ho muncul juga, dia mengenakan baju sutera yang tipis dengan sebuah ikat pinggang berwarna kuning emas, wajahnya yang pucat pias di bawah pantulan cahaya lentera mirip sekali dengan wajah sesosok mayat. Tapi dia justru merasa bangga karena hal ini, baginya, begitulah warna dan tampilan dari seorang bangsawan terhormat,

Mana mungkin seseorang yang harus banting tulang bekerja keras sambil peras keringat habis- habisan memiliki selembar wajah yang putih pucat dan halus macam dia?

Bau harum semerbak terendus dari seluruh tubuhnya, memang banyak saudagar kaya dan Persia seringkah menghadiahkan aneka parfum yang harum semerbak dan mahal harganya untuk dia, tak heran kalau dia beranggapan tidak mandi sepanjang tahun pun tidak menjadi soal, karena memang begitulah ciri khas dari seorang bangsawan.

Semua perhatian dari setiap orang yang berdiri di tepi telaga telah tertuju kepadanya, semua orang memperhatikan pedang emasnya yang luar biasa besarnya, tak ada lagi yang mau memerhatikan perawakan badannya yang tinggi ramping semampai persis seperti tubuh seorang gadis muda itu.

Seluruh ruangan rumah makan Hong-hok-lo bermandikan cahaya lentera, tak disangkal Si Toa- sianseng pasti sudah datang lebih dahulu, dia sedang menunggu kehadirannya, menunggu memang gampang membuat hatinya panik, kalau sudah panik pikiran dan perasaan hatinya pasti kalut.

Sebelum pertarungan berlangsung, membiarkan musuhnya menunggu hampir setengah jam lamanya termasuk salah satu taktik perang yang dimilikinya.

Dia memang selalu merasa puas atas semua pengaturan serta persiapan yang telah dia lakukan untuk diri sendiri.

Tiba-tiba terdengar ada orang dalam kerumunan berteriak keras:

"Pertarungan antara Sebun Jui-soat melawan Yap Koh-seng yang berlangsung dalam Istana Terlarang pun mengijinkan orang lain untuk ikut menonton, mengapa kau melarang kami untuk ikut menonton pertarungan kalian?"

"Aku bukan Sebun Jui-soat, Si Toa-sianseng juga bukan Yap Koh-seng," jawaban Liu Ceng-ho amat santai dan ringan, "perubahan ilmu pedang yang mereka miliki banyak tak terhingga, pertarungan mereka pun berlangsung dalam suasana penuh perubahan dan kejadian tak terduga. Beda dengan pertarungan kami berdua, pertarungan kami hanya sebuah pertarungan untuk menentukan siapa hidup siapa mati, siapa menang siapa kalah. Mungkin semua kejadian hanya berlangsung sekejap mata."

"Kau yakin dapat meraih kemenangan dalam sekejap mata?"

Liu Ceng-ho merenung sejenak, kemudian baru sahutnya hambar:

"Tidak ada kata yakin di dalam menentukan suatu kemenangan atau kekalahan, hidup atau mati. Kadangkala nampaknya sudah menang padahal kalah, ada kalanya biar mati padahal masih hidup, walaupun ada sementara orang masih hidup segar bugar, padahal tak ada bedanya dengan mati."

Setelah berhenti sejenak, pelan-pelan tambahnya:

"Aku percaya banyak sekali orang yang berada di sini demikian keadaannya."

Akhirnya Lhi Ceng-ho naik ke atas loteng rumah makan Bangau Kuriing, berhadapan dengan Si Ti-ing. Kali ini adalah kak pertama mereka saling bersua, tapi, mungkin juga akan merupakan pertemuan yang terakhir kali.

Kedua orang itu saling bertatap muka, sampai lama sekali sebelum buka suara, di saat pertama kak bersua dan juga merupakan terakhir kak bertemu, dua orang jago pedang yang amat tersohor di kolong langit itu hanya mengucapkan sepatah kata:

"Silahkan!"

Napas yang menentukan mati hidup segera akan diputuskan, serangan mematikan yang akan mencabut nyawa segera akan dilepaskan, dalam keadaan begini, apa artinya banyak bicara?

Bab 9 : Siapa sang Pemenang?

Di bawah loteng rumah makan Hong-hok-lo, beribu kepala mendongak ke atas. Dalam waktu yang relatif singkat, setiap orang yang hadir di situ seakan menaruh perhatian yang sangat besar atas mati hidup dua orang jago yang sedang beradu ilmu dan menentukan siapa menang siapa kalah itu.

Tiba-tiba suara deruan angin membelah ruangan loteng Hong-hok-lo, diikuti cahaya lentera bergoyang tiada hentinya.

Segulung desingan angin tajam mengiringi sekilas cahaya emas melesat keluar menembusi jendela, cepat bagai sebuah bianglala panjang yang melewati tepi sungai, jatuh di tengah air nun jauh di sana.

Percikan bunga air memancar ke empat penjuru, semua orang terkesiap, semua orang terbelalak.

"Pedang emas itu pasti milik Liu Ceng-ho, pasti niiliknya!''

Kini pedang emas telah lepas tangan, terbang keluar dari rumah makan Bangau Kuning, jangan-jangan Liu Ceng-ho menderita kekalahan dalam pertarungan ini?

Percikan bunga air di tengah sungai beserta riak-riaknya dengan cepat telah tenang kembali, cahaya lentera dalam ruangan yang berkedip-kedip, lambat laun menjadi terang benderang kembali.

Permukaan air maupun suasana di atas loteng terasa hening, sepi, seakan-akan tak pernah terjadi peristiwa apa pun di sana.

Entah berapa lama sudah lewat. "Kreeek!" daun jendela terbuka dan muncul sesosok bayangan manusia, tubuhnya ramping dan tinggi semampai, wajahnya pucat, tapi sepasang matanya berkilauan bagai bintang kejora.

.........Biarpun pedang emasnya telah berubah bagai seekor bangau kuning yang terbang ke udara, ternyata orangnya masih sehat walafiat.

Ke mana perginya Si Ti-ing? Tubuh Si Ti-ing sudah roboh terkapar, golok dalam genggamannya masih utuh, paras mukanya tenang bahkan tenteram, pakaian yang dikenakan tidak nampak kusut, hanya di atas tengkuk bagian belakang telah bertambah dengan sebuah bekas jari tangan berwarna hitam pekat.

Kesimpulan bersama yang dikeluarkan Pok Ing dan kakek Tu berjubah kuning adalah: "Si Toa-sianseng telah berangkat duluan!"

Biarpun pertarungan telah berakhir, orang yang bisa naik ke atas loteng pun hanya beberapa orang, tentu saja ucapan tersebut ditujukan untuk Kwanji.

Dengan lantang dan gagah Kwanji segera berkata:

"Si Ti-ing telah mati berarti kami kalah, limaratus laksa tahil emas menjadi milikmu.'' Tapi kemudian tak tahan ia bertanya lagi:

"Waktu itu, kenapa kau berani bertaruh kalau dia bakal mati? Kukira kau bakalan kalah total."

Pok Ing tidak langsung menjawab, dia hanya berkata perlahan: "Mati pun mempunyai semacam bau yang istimewa, hanya burung pemakan bangkai yang dapat mengendusnya."

Tiba-tiba kakek Tu berjubah kuning menyela:

"Padahal matinya Si Ti-ing hanya meminjam pedang dari Liu Ceng-ho untuk 'membebaskan tentara'nya!" "Pembebasan tentara" hanya sebuah istilah dari ajaran To yang berarti semacam cara untuk menjadi seorang dewa.

"Ya, sebenarnya sejak awal dia sudah mengidap sejenis penyakit yang tak mungkin disembuhkan lagi," kakek Tu berjubah kuning melanjutkan, "sebagai seorang jago pedang, hanya mati di ujung pedang lawan merupakan cara penyelesaian yang paling tepat, sebagaimana dalam 'pembebasan tentara', mengharapkan kebajikan mendapat kebajikan, oleh sebab itulah dia mati dalam keadaan yang sangat tenang dan hatiku pun ikut tenteram."

"Penyakit yang tak mungkin disembuhkan?" tanya Kwan Ji, "bagian mana yang sakit?" "Hatinya!"

"Jadi dia telah mengidap penyakit lever yang tak bisa disembuhkan?"

"Benar, oleh sebab itu Si Ho tidak mengkhianatinya, dan itu pula sebabnya Si Ho masih dapat hidup."

Perlahan-lahan Kwan Ji membalikkan badannya, memandang Thio Pat dengan mata melotot.

Thio Pat memaksakan diri untuk tertawa, walaupun tak berani bersuara, namun maksudnya sangat jelas:

"Bagaimanapun juga, kita toh tetap menangkan taruhan ini."

Si Ti-ing telah mati, Liu Ceng-ho peroleh kemenangan, tentu saja pihak Dewa Rejeki telah menangkan taruhan ini, tapi anehnya, Pok Ing justru masih bertanya kepada Liu Ceng-ho:

"Dalam pertarungan tadi, sebenarnya kau menang atau kalah?" "Kau maksudkan pertarungan yang mana?"

"Maksudku pertarungan pedang."

Taruhan yang ditetapkan pihak Sarang Perjudian dan Dewa Rejeki memang kemenangan dalam pertarungan pedang.

Ternyata jawaban dari Liu Ceng-ho sama sekali di luar dugaan, membuat semua orang tercengang.

"Kalau bicara soal pertarungan pedang, tentu saja aku yang kalah. Pedang emasku dipaksa untuk meluncur lepas dan genggaman dan melesat keluar dan ruangan, jadi bicara soal pertarungan pedang aku berada di pihak yang kalah," katanya, "tapi kalau bicara soal pertarungan mati hidup, akulah pemenangnya."

Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya dengan nada sedih:

"Yang kalian pertaruhkan adalah pedangku, sedang yang kupertaruhkan adalah mati hidupku.

Si Ti-ing menggunakan tubuhnya menggantikan pedang, dengan pedang meraih kemenangan, sementara aku menggunakan perubahan dari pedangku untuk menggerakkan perubahan dari gerak tubuhku, tubuhku ringan dan pedangku gencar, getaran pedang membuat aku mengubah jurus seranganku hingga tak terhingga, ketika pedangku terlepas dan genggaman, pikiran lawan pasti akan agak teledor, tenaga dalam yang terpancar pun ikut tersumbat, saat itulah kesempatan yang sangat baik bagiku untuk menghabisi nyawanya."

Kesimpulan terakhir yang dia buat adalah:

"Oleh sebab itu, orang lain menggunakan tubuhnya menggantikan pedang, dengan pedang menguasai lawan, sementara aku menggunakan pedang menggantikan diriku, dengan diriku membunuh musuh. Asal musuh mati dan aku tetap hidup, menang kalah dalam ilmu pedang tidak jadi masalah bagiku, karena dalam sebuah pertempuran, yang kupertaruhkan adalah mati hidupku."

"Oleh karena itu kalau bicara soal pertandingan pedang, kau berada di pihak yang kalah?" "Benar!"

Bulan purnama masih bersinar terang, Liu Ceng-ho sudah melesat keluar melalui jendela, bersalto beberapa kali di tengah udara dengan gerakan yang aneh tapi indah, seaneh dan seindah jurus pedangnya sebagai seorang jago pedang kenamaan.

Manusia dan pedang telah lenyap tak berbekas, irama musik masih mengalun memecahkan keheningan, malam terasa semakin larut.

Di dalam ruang loteng Hong-hok-lo, kini tinggal dua orang yang masih tersisa, yang satu adalah Kwan Ji, yang lain adalah Pok Ing, satu sebagai pemenang dan yang lain sebagai sang pecundang.

Dua orang dengan enam buah guci arak.... Kini rembulan sudah tenggelam, arak pun telah mengering, dengan mata setengah kabur Kwan Ji mulai bergumam:

"Pok Ing, ingat baik-baik, suatu hari nanti aku pasti akan mengunggulimu."

Tapi Pok Ing sudah tak nampak, yang terdengar hanya gelak tertawa latah yang bergema dari balik gelombang embun pagi:

"Hahaha mati hidup menang kalah ditentukan dalam sekejap mata, siapa yang jadi

pemenang? Aku sendiri pun bukan, pemenang sesungguhnya di jagad raya ini sudah pada mampus!"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar