Jilid 40

HATlNYA jadi menaruh rasa kuatir terhadap keselamatan dari si perempuan berbaju hijau itu.

"Sutit!" tak terasa lagi ia berhenti dan menegur.

Sambil tersenyum Liem Tou putar badannya, si perempuan tunggal Touw Hong yang melihat sikapnya amat tenang dan mantap sedikitpun tidak menunjukkan perasaan gugup di dalam hati jadi malu sendiri. Maksud semula untuk memberitahukan peristiwa bertempurnya Cing jie dengan Boen Ing pun dengan sendirinya dibatalkan.

"Susiok; ada urusan apa?" tanya Liem Tou perlahan. "Aaakh... tidak ada apa-apa" jawab si perempuan tunggal

sehabis termenung sebentar. "Aku hanya merasa kini kau benar-benar sudah berubah."

Terlihatlah Liem Tou angkat bahu lalu menghela napas panjang.

"Heeeii... sebetulnya aku tidak berubah; aku cuma merasa tindakanku tempo hari terlalu gegabah dan menggelikan, rasa ingin menang dan menonjol terlalu berlebihan," katanya tertawa.

"Dan selama setahun ini walaupun sutit hidup di tengah kesunyian serta tak berkawan tetapi rasanya hatiku jadi semakin tenang dan semakin tawar, kegembiraan terasa jauh lebih melekat di hati.

"Jika pedang semakin diasah jadi semakin tajam. Kalau begitu di dalam ilmu silat, Sutit pun telah memperoleh kemajuan yang sangat pesat sekali . . . bukan begitu?" sambung perempuan itu mengambil kesempatan tersebut. "Cukup ditinjau dari ketiga langkahmu tadi aku sudah merasa bilamana dugaanku sedikit pun tidak meleset."

Sekali lagi Liem Tou tersenyum.

Di dalam soal ilmu silat, sutit merasa sudah salah belajar! Sejak tahun yang lalu sutit menguji tangan di hadapan para jago-jago di gunung Cing Shia dan selama ini tidak pernah membicarakan soal ilmu silat lagi. Susiok! Apakah soal ini kau tidak tahu?"

"Sungguh?" teriak si perempuan tunggal Touw Hong sangat terperanjat sehabis mendengar perkataan itu. "Kenapa kau harus berbuat demikian? Tahukah kau bahwa jago-jago Bu lim yang bermunculan pada saat ini kebanyakan bersifat kejam dan keji. Bilamana kau berbuat begitu, bukankah memberi peluang yang sangat bagus buat mereka?"

"Heei ... perhitungan manusia selamanya tidak akan menangkan perhitungan Thian, bila mana Thian menyuruh aku orang mendapat kesusahan sekalipun terbang ke langit pun tiada gunanya...!" kata pemuda itu sambil menggeleng.

Perkataan dari Liem Tou ini begitu diucapkan keluar, hati si perempuan tunggal Touw Hong jadi semakin terperanjat lagi; Ia sama sekali tidak menyangka kalau Liem Tou bisa berubah jadi begini, yang terlalu pasrah pada nasib.

Terang-terangan ia sudah tahu keadaannya sangat berbahaya dan setiap saat nyawanya terancam, sebaliknya dia malah sengaja berbuat begini, bilamana sampai waktunya ia benar-benar tak turun tangan, bagaimanakah keadaannya pada saat itu?"

Waktu itu mereka berdua semakin berjalan semakin jauh; mendadak setelah mengitari sebuah lekukan gunung di hadapannya terbentanglah sebuah sungai dengan aliran air yang amat deras sekali.

Di hadapan sungai itu tampaklah puncak gunung yang terbentang menembus awan.

"Susiok!" ujar Liem Tou sambil menuding di hadapannya. "Tahukah kau tempat apakah itu?"

Saat ini si perempan tunggal Touw Hong mana punya hati untuk menjawab pertanyaan tersebut, makanya ia hanya menggeleng saja

"Tempat itulah gunung Ha Mo san, di mana sejak kecil aku hidup di sana sampai menjadi dewasa," kata pemuda itu sambil tanpa sebab menghentikan langkahnya. Sehabis berkata ia lantas duduk di atas rumput dekat sungai, matanya memandang ke tepi seberang dengan termangu-mangu.

"Cantik atau tidak disanalah desaku, kasih atau tidak mereka adalah tetanggaku ..... heee ! Sudah setahun

lamanya aku tidak mengunjungi kuburan ayahku," gumamnya sendiri.

Melihat pemuda itu duduk, si perempuan tunggal Touw Hong pun mau tak mau terpaksa turut duduk pula, apalagi setelah mendengar gumamannya ini, tak terasa hatinya pun ikut murung.

Tak kuasa lagi akhirnya perempuan itu menghela napas panjang, sinar matanya dengan termangu-mangu memandang ke aliran air sungai yang tiada putusnya ...

Waktu ini keadaan mereka berdua mirip sekali dengan sepasang kekasih yang sedang memadu cinta, masing masing terjerumus kedalam kesunyian yang mencekam, sehingga membuat siapa yang melihat pun tak menyangka kalau mereka berdua sebenarnya adalah Susiok sutit!

MENDADAK suara pekikan burung yang amat memekikkan telinga menyadarkan kembali si perempuan tunggal dari lamunannya, dia teringat pula akan Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling yang telah berangkat kemari untuk menuntut balas. Dalam hati ia merasa peristiwa ini harus dikhabarkan kepada pemuda tersebut karena itu tiba-tiba saja ia menoleh dan katanya;

"Sutit! Aku ingin menanyakan satu persoalan kepadamu.

Pernahkah kau mendengar kalau di dalam Bu lim telah didirikan sebuah partai baru yang bernama 'Sin Beng Kauw'?"

"Apa itu Sin Beng Kauw?" tanya pemuda tersebut melengak. "Nama ini sungguh kukoay sekali, aku belum pernah mendengarnya." "Kalau begitu terhadap 'Ay Lauw It Tiauw, Sun Ci Si sekalian tentunya kau masih ingat bukan? Masih ada lagi seorang yang she Pouw bernama Pouw Siauw Ling, dan orang ini tentunya kau masih ingat bukan? Masih ada lagi Boen Ing dan Giok Cing dua orang gadis cantik, siapakah mereka?"

Mendengar nama-nama yang disebutnya itu, Liem Tou hanya mengangguk-angguk, lama sekali baru ujarnya:

"Apakah beberapa orang ini ada hubungannya dengan Sin Beng Kauw tersebut?"

"Sun Ci Si telah menjabat sebagai Sin Beng Kauw cu dengan julukan Boe Beng Tok su. Hal ini tentunya disebabkan karena ia berhasil mempelajari ilmu dari 'Pek Lok Toh itu! dan Pouw Siauw Ling adalah salah satu dari Cong Tan Siancu mereka. Sebaliknya kedua orang gadis cantik itu aku hanya menjumpainya secara tidak sengaja di tengah jalan, siapakah mereka, aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya dengar kalau mereka berempat datang kemari khusus untuk mengikuti perayaan perkawinanmu, tetapi di antara mereka, ada tiga orang yang membawa maksud tidak baik!"

Selama ini Liem Tou masih membungkam terus, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Sehingga kembali terdengar si perempuan tunggal Touw Hong melanjutkan kata-katanya:

"Kepandaian silat dari keempat orang itu bilamana dibicarakan dalam Bu lim boleh dikata merupakan jago-jago nomor wahid dan yang paling nenakutkan di antaranya adalah tindakan mereka yang kejam dan telengas karena perbuatan apa pun bisa mereka lakukan. Sutit, aku rasa lebih baik kau orang mengadakan sedikit persiapan."

"Ouuw, sungguh-sungguh ada urusan begitu?" seru Liem Tou tertahan. Dia berpikir sebentar kemudian katanya lagi: "Sutit adalah seorang manusia yang telah mengunci tangan, aku harus berbuat apa untuk mengadakan persiapan? Apakah hanya dikarenakan mereka sedang mencari balas maka aku terpaksa melanggar sumpah untuk menghadapi mereka? Hal ini tak bisa sutit lakukan."

"Kalau begitu apakah Sutit hendak pasrah saja untuk mereka bunuh..."

Berbicara sampai di sini mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara gerakan yang amat perlahan.

Si perempuan tunggal Touw Hong jadi sangat terkejut, tak terasa lagi ia segera melejit ke tengah udara.

"Sutit, hati-hatilah! Ada orang!" bentaknya keras.

Tetapi sewaktu ia menoleh kebelakang; tak tertahan lagi perempuan itu sudah jadi tertawa cekikikan sendiri, kiranya beberapa kaki dari mereka berdirilah dengan tenang sang kerbau tunggangan Liem Tou.

"Hii... hii... hii... tidak kusangka binatang ini pun pintar mengejutkan orang!"

Dan ia bertindak maju dengan perlahan untuk mengelus tubuh kerbau tersebut.

"Sutit! Apakah selama ini kerbau ini pun mengikuti terus dirimu?" tanya gadis tersebut sembari mengelus tubuh kerbau itu.

"Ehmmmm ...!"

Si perempuan tunggal segera menoleh; tampaklah saat ini Liem Tou masih tetap duduk di pinggir sungai, hanya saja tubuhnya sama sekali tidak bergerak, kepalanya pun tidak menoleh. Si perempuan tunggal jadi melengak dibuatnya; ia merasa semakin terperanjat lagi dengan perubahan sifat dari pemuda tersebut.

Perlahan-lahan ia kembali ke tempat semula dan duduk di sisi Liem Tou yang saat ini wajah pemuda itu amat tenang tetapi murung, agaknya dalam hatinya sedang memikirkan suatu urusan.

Pantulan cahaya sang surya di pagi hari memantulkan sinar keperak-perakan di atas gulungan riak sungai yang mengalir tiada putusnya . . .

"Sutit! Kau lag1 memikirkan apa? Apakah kau sedang memikirkan cara cara untuk menghadapi Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling?" tanya gadis tersebut perlahan.

"Aku tidak berpikir untuk menghadapi siapa pun."

Hampir-hampir membuat si perempuan tunggal Touw Hong merasa tak percaya pada pendengarannya sendiri; bagaimana mungkin perkataan tersebut bisa diucapkan oleh seorang pemuda seperti Liem Tou??

Selagi hatinya dibuat kebingungan itulah, Liem Tou melanjutkan kembali kata-katanya: "Susiok! Kau merasa urusan ini apakah merasa sangat penting sekali?"

Semangat si perempuan tunggal Touw Hong kontan berkobar kembali.

"Hal ini belum tentu!" sahutnya segera. "Dengan kepandaian silat yang dimiliki sutit saat ini aku rasa Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling masih belum kuat untuk menerima satu pukulanmu, sedangkan Sin Beng Kauw adalah satu perkumpulan yang baru saja muncul, pengaruhnya pun belum luas. Sekalipun anggota mereka sebagian besar merupakan bekas anak buah dari 'Chiet Ci Jouw Tou' atau Si hweesio gundul tujuh jari, tetapi kepandaian silat mereka biasa saja; sama sekali bukan orang yang menonjol, mereka tidak bakal kuat untuk melawan sutit!"

Liem Tou berpikir sebentar kemudian baru ujarnya: "Kalau begitu cukup hanya dengan kekuatan supek serta

susioksaja tentu sudah lebih dari cukup untuk membasmi mereka bukan?"

Si perempuan tunggal Touw Hong sama sekali tidak menyangka kalau Liem Tou bisa berkata demikian. Dia percaya dengan kekuatannya sendiri masih bisa menahan serangan dari Pouw Siauw Ling serta Boe Beng Tok su, demikian pula dengan suhengnya. Tetapi siapa yang hendak menahan serangan dari si perempuan berbaju putih serta keenam orang siangcu dari Sin Beng Kauw? Setelah berpikir bolak-balik, akhirnya tak terpikir juga satu keputusan, sehingga ia menggeleng.

"Urusan ini tak bisa diduga sebelumnya, tetapi kalau memangnya mereka berani datang menyerang, kita pun harus melawan."

Liem Tou segera mengangguk, mendadak ia meloncat ke tengah udara dan lempar satu senyuman kepada Si perempuan tunggal.

"Kalau begitu, harap susiok cepat-cepat datang ke perkampungan Ie Hee Cung! Urusan ini ada kemungkinan sudah berada di dalam hitungan siepoa dari suhuku, mungkin juga kini dia lagi mengadakan persiapan-persiapan."

"Kini Susiok telah memberi peringatan kepadaku. Sutit merasa sangat berterima kasih sekali, nanti bila sampai waktunya, aku bisa muncul sendiri di atas gunung."

Selesai berkata, ia menjura kemudian meloncat ke atas punggung kerbaunya dan berlalu dari sana.

Si perempuan tunggal Touw Hong sama sekeli tidak mengetahui peristiwa Liem Tou yang angkat Thiat Sie poa sebagai suhunya; karena itu lama sekali ia berdiri di sana dengan termangu-mangu dan kebingungan karena belum sempat dia bertanya lebih jelas lagi, Liem Tou telah pergi jauh.

Kembali si perempuan tunggal berdiri beberapa saat lamanya di pinggir sungai. Ketika melihat cuaca semakin terang lagi, ia pun lantas kerahkan tenaga dalamnya untuk menyeberangi sungai tersebut. Siapa tahu saat itulah tiba-tiba punggungnya terasa dibokong orang, si perempuan tunggal yang sama sekali tidak mengadakan persiapan, hatinya jadi terperanjat, tubuhnya buru-buru menyingkir ke samping.

Siapa sangka kembali tampak bayangan biru berkelebat datang, tidak menanti pikiran kedua berkelebat di dalam benaknya tahu-tahu ia sudah tertotok jalan darahnya.

Hawa murni tersumbat membuat kekuatan tubuhnya buyar, tak kuasa lagi tubuhnya rubuh ke belakang.

Tetapi orang yang berada di belakangnya itu dengan cepat menyambar dan merangkul pinggangnya erat-erat.

Melihat dirinya tertotok, gadis itu cuma bisa menghela napas, dan matanya dengan segera melirik sekejap ke arah orang itu.

Tampaklah dia bukan lain adalah seorang sastrawan berusia pertengahan, mempunyai wajah yang keren! Hanya ia tidak tahu siapakah orang itu.

Dan orang itu sambil membopong tubuh gadis tersebut lantas berseru ke arah belakang."Tiat Bok leng, coba kemarilah! Kenalkah kau dengan perempuan ini? Siapa dia?"

Dari belakang muncullah seorang ke seluruh jarinya telah putus. Dia bukan lain adalah Thiat Bok Taysu yang ditolong oleh Thian Pian siauw cu.

"Eehmm ... agaknya perempuan ini sangat kukenal dan pernah bertemu di suatu tempat," sahutnya setelah memandang sekejap ke arah si perempuan tunggal. "Hanya saja saat ini aku sudah lupa. Maksud siauwcu hendak kau apakan dia?"

Dengan telitinya Thian Pian Siauw cu memandang ke arah perempuan tersebut lalu berpikir.

"Kirim dia pulang saja!" sahutnya kemudian.

Dan tangan digape, seokor burung rajawali dengan cepat melayang turun ke bawah.

Kali ini burung itu tidak memperdengarkan suara pekikan yang nyaring, sebaliknya dengan amat tenangnya ia berdiri di sisi tubuh Thian Pian Siauw cu.

Lalu dengan perlahan Thian Pian Siauwcu meletakkan tubuh si perempuan tunggal ke atas punggung burung rajawalinya. Setelah itu tangannya diulapkan.

"Antar dia pulang ke rumab, kemudian cepat-cepatlah datang kemari," perintahnya.

Burung rajawali itupun berkaok-kaok kemudian pentangkan sayap lalu terbang meninggalkan tempat tersebut.

Menanti sang burung rajawali telah lenyap dari pandangan, Thian Pian Siauwcu baru menoleh ke arah Thiat Bok Taysu.

"Thiat Bok heng!" tegurnya. "Aku dengan Liem Tou si bangsat cilik itu masih ada perjanjian tiga tahun; kini baru lewat setahun dan bilamana aku melanggar janji dan kini datang menuntut balas kepadanya maka tindakanku ini bukankah merupakan suatu tindakan yang melanggar peraturan Bu lim? Maka bila sampai waktunya Thiat Bok heng harus turun tangan sendiri, sehingga paling-paling aku cuma bisa memberi bantuan secara diam-diam saja.

"Soal ini sudah tentu!" sahut Thiat Bok Tay su mengangguk. "Saat ini juga kita segera berangkat ke atas gunung Cing Shia dan mengambil kesempatan yang sangat baik untuk membasmi beberapa orang pembantu mereka, masih untung saja tindakan kita kali ini dilakukan sangat rahasia sekali; sehingga mereka sama sekali tidak mengadakan persiapan, dan kesempatan yang lebih baik lagi tidak bakal muncul."

Thian Pian Siauwcu termenung berpikir sebentar kemudian dia baru menjawab.

"Bilamana kita berbuat demikian rasanya tindakan kita kurang cemerlang, tetapi urusan sudah jadi begini, aku rasa baiklah kita bertindak sesuai dengan perkataan dari Thiat Bok heng! Ayoh jalan."

Selesai berkata, pertama-tama ia yang berlalu untuk melewati sungai kematian, menaiki tebing maut dan terakhir menyeberangi jembatan Pencabut nyawa dari gunung Ha Mo san. Mereka berbelok dulu ke sebuah puncak di dekat Cing Shia dan bila mana pagi hari mereka bersembunyi, sedang malam hari bekerja.

Thiat Bok Thaysu yang melihat Thian Pian Siauwcu telah berangkat dia pun segera mengikuti dari belakangnya.

Terlihatlah dua sosok bayangan manusia dengan kecepatan laksana sambaran kilat berkelebat ke depan, hanya di dalam sekejap saja telah lenyap dari pandangan.

Kita baiik pada Liem Tou yang melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kerbau dan menggembol pedang, tidak lama kemudian haripun sudah terang tanah.

Saat ini pikiran dari pemuda iru lagi kosong melompong sehingga pertemuannya kemarin malam dengan si perempuan tunggal telah membuat pemuda ini mengerti tentang keadaan Bu lim pada saat ini.

Hatinya yang semula tenang bagaikan permukaan air telaga ilu. kini kelihatan mulai berombak, apalagi setelah mengetahui kalau ada orang yang hendak mencari balas dengan dirinya maka kini ia mulai merasa tidak tenang.

Sejak dirinya mempelajari ilmu semedi "Ting Sim Lok", baru untuk pertama kalinya ini hatinya terasa kacau.

Dengan mengikuti aliran air sungai ia semakin berjalan semakin jauh dan tidak lama kemudian sampailah dia di sebelah gunung yang amat sunyi.

Permukaan sungai pun semakin lama semakin kecil dan ia tahu sebentar lagi dirinya bakal tiba pada sumbernya, karena itu dalam hati ia mulai berpikir:

"Bagaimanapun besok pagi baru tanggal lima belas bulan delapan, biarlah ini hari aku mengikuti aliran sungai untuk mengetahui sumbernya. Aku ingin tahu air tersebut berasal dari mana...!?"

Berpikir akan hal itu, pikirannyapun kembali lebih tenang lagi karena dia tidak lagi memikirkan persoalan dunia kangouw yang dapat mengkalutkan pikirannya itu.

Akhirnya setelah lewat beberapa saat lagi hatinya pun mulai jadi tenang kembali ...!

Dan dengan mengikuti aliran sungai ini pemuda tersebut sudah menghabiskan waktu setengah harian lamanya tetapi sumber air itu pun belum juga ditemukan sehingga pikirannya kembali berputar.

"Sudah lama aku tidak merasakan larinya sang kerbau, biarlah ini hari, aku mencoba bagaimanakah kecepatan dari larinya kerbau ku ini."

Berpikir sampai di situ mendadak ia membentak keras: "Engkoh kerbau, mari kita lari cepat!"

Pada saat ini kerbau tersebut tidak perlu lagi diperintah dengan kode kode mulut seperti 'Jan Heng Cor, Beng, Tong, Pian, Hua, Si'. Karena pergaulannya yang sangat lama dengan Liem Tou sehingga membuat sang kerbau telah mengerti maksud dari perkataannya apalagi di bawah bimbingan Liem Tou, kerbau itupun telah memperoleh dasar ilmu Iwekang yang amat kuat.

Ketika mendengar majikannya memerintah untuk berlari cepat, maka dengan girangnja lantas dongakkan kepala dan mendengus panjang, suaranya nyaring laksana pekikan naga sehingga menggetarkan seluruh tubuh.

Di antara sepakan kaki yang menimbulkan suara nyaring bagaikan sambaran kilat kerbau itu berlari keras ke arah depan.

Pada mulanya sawaktu berlari keempat buah kakinya yang menginjak batu batu gunung masih meninggalkan suara yang nyaring, tetapi akhirnya semakin berlari semakin cepat dan suara yang nyaring pun semakin lama semakin lenyap, saat ini keadaannya mirip dengan jagoan yang sedang berlari dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh.

Liem Tou hanya merasakan bayangan gunung lewat dengan cepatnya, pandangan mata serasa jadi kabur dibuatnya.

Sesudah mengitari sebuah gunung kembali sebuah bukit dilewati, hanya di dalam waktu yang singkat itu saja ia sudah berada seratus li di luar daerah gunung Cing Shia. Di tempat manakah ia berada saat itu, sang pemuda sendiri tidak tahu.

Liem Tou sendiri tak suka menggubris akan persoalan tersebut, dan hanya dengan melakukan perjalanan cepat dia menerjang terus ke arah depan.

Tidak lama kemudian di hadapannya muncul kembali sebuah bukit yang amat tinggi. Di balik bukit itu secara samar- samar berkumandang keluar suara kentungan yang berat tetapi rendah ..." "Tung, tung, tung ...!" Suara tersebut berbunyi tiada hentinya seperti di atas bukit ada orang menebang kayu.

Liem Tou buru-buru menarik tali les kerbaunya lalu memutar haluan masuk ke dalam bukit itu.

Mendadak di hadapannya muncullah sebuah lembah yang tertutup kabut yang amat tebal, kiranya suara kentungan yang berat dan rendah itu justru berasal dari balik lembah tersebut.

Ketajaman mata dari Liem Tou pada saat ini benar-benar luar biasa sekali, tapi kini tak sanggup untuk menembusi kabut yang sangat tebal di sekeliling lembah tersebut, hal ini benar- benar membuat pemuda itu tak dapat pula melihat dengan jelas bagaimanakah keadaan dari lembah tersebut...

Buru-buru ia menahan larinya sang kerbau dan dalam hati berpikir keras.

"Suara apakah itu? Bilamana didengar dari terpautnya suara satu kentungan dengan kentungan yang kedua tidak mirip dengan suara dari binatang buas ...!"

Setelah termenung berpikir beberapa saat akhirnya ia meloncat turun dari punggung kerbau; dan kemudian sambil menuntun sang kerbau ia melanjutkan perjalanannya masuk ke balik kabut.

Pemandangan pada jarak dua kaki masih tak berhasil ditembusi dengan ketajaman matanya, dan bilamana di tempat yang seperti ini dibokong oleh musuh secara mendadak; mungkin sukar baginya untuk menghindari.

Setelah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya, akhirnya ia bisa mendengar juga suara aliran air yang amat nyaring sedangkan suara kentongan itu pun kedengaran semakin nyaring.

Pada saat itulah tiba-tiba ... "Liem Tou! Liem Tou! Kau sudah datang! Kau sudah datang!" kiranya suara seseorang yang sedang memanggil namanya berkumandang keluar dari balik kabut.

Suara tersebut tinggi melengking, hampir-hampir boleh dikata tidak mirip lagi dengan suara manusia.

Liem Tou yang mendengar suara panggilan tersebut dalam hati menjadi bergidik sehingga membuat bulu romanya pada berdiri semua.

"Siapa kau?" tanyanya sambil menghentikan langkahnya. "Siapa yang sedang memanggil namaku?"

Berturut-turut pemuda itu mengulangi beberapa kali pertanyaan itu.

"Jangan takut! Jangan takut! Cepat masuk! Cepat masuk!" kembali suara tadi berkumandang keluar.

Peristiwa ini sungguh aneh sekali; apakah aku telah bertemu dengan setan?" pikir Liem Tou diam-diam.

Tak kuasa lagi ia dongakkan kepalanya ke atas, maksudnya hendak melihat di atas kepalanya apakah ada sinar sang surya.

Tetapi apa yang dilihatnya pada saat ini hanyalah kabut yang amat tebal, empat penjuru keadaannya sama dan sama sekali tidak tampak sinar sang surya yang menembus ke dalam.

Hatinya mulai ragu-ragu, tetapi akhirnya ia melanjutkan juga langkahnya ke depan.

Cuma saja langkahnya pada saat ini sangat berhati-hati sekali sembari bergerak maju sinar matanya tidak meninggalkan keadaan di kanan kiri.

Kembali ia berjalan beberapa saat lamanya, di tengah perjalanan kembali suara aneh itu sekali lagi berkumandang keluar dan keadaannya seperti juga pada semula tidak kekurangan sepatah kata pun.

Sejak semula Liem Tou sudah merasa kalau perkataan itu tidak mungkin berasal dari suara manusia, ada juga kemungkinan bahwa suara tersebut adalah suara dari semacam burung, sehingga nyalinya semakin besar langkahnya pun semakin dipercepat.

Hanya di dalam beberapa kali lompatan saja ia sudah jauh di dalam lembah tersebut.

Saat ini dihadapannya secara samar-samar terasa ada cahaya keperak-perakan yang berkelebat keluar bersamaan itu pula di samping cahaya keperak perakan itu secara tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam yang hanya di dalam sekejap saja telah lenyap pula dari pandangan.

Tetapi dengan ketajaman dari pandangan mata Liem Tou ia bisa membedakan kalau bayangan tersebut bukan lain adalah bayangan manusia.

"Siapa?" bentaknya secara mendadak. Tangan kanannya yang sedang mencekal tali kerbau segera dilepaskan dan tubuhnya laksana anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur ke arah depan.

Kiranya ia bisa melihat cahaya keperak-perakan serta bayangan hitam tadi dikarenakan lingkungan kabut tebal telah tiba pada ujungnya.

Dengan luncurannya ini maka tubuhnyapun segera lolos keluar dari pengaruh kabut dan munculnya di dasar lembah.

Sebuah air terjun setinggi ratusan kaki sedang memuntahkan airnya dengan amat dahsyat pada dinding gunung di kedua sisinya merupakan sepasang dinding tebing yang amat tinggi. Tempat itu amat sunyi dan sama sekali tak terlihat sesosok bayangan manusia pun.  Dan tampaklah dua ekor burung beo berterbangan di atas air terjun tersebut karena suara bentakan Liem Tou tadi.

"Liem Tou! kau pergi! kau pergi!" teriak salah seekor burung tersebut.

"Jangan takut! jangan takut! cepat masuk! cepat masuk!" sambung yang lain.

Melihat kecerdikan dari burung burung beo itu, Liem Tou segera merasa kalau burung-burung itu tentu sudah memperoleh didikan yang amat keras dari seseorang, karena itu ia sama sekali tidak menggubrisnya.

Sembari matanya menyapu ke sekeliling lembah tersebut, hatinya berpikir keras.

"Ooo, suatu tempat persembunyian yang sangat bagus sekali."

Ketika teringat akan suara kentungan yang didengarnya tadi, matanya segera dengan amat teliti memeriksa keadaan di sana.

Tampaklah di tengah muntahan air terjun tersebut tertancaplah sebuah tabung bambu, salah satu ujungnya tersayat jadi selembar bambu yang tipis kini telah melengkung kena terjangan air atas itu

Tetapi kekuatan air sama sekali tidak dapat membuat lembaran bambu itu melengkuug terus, begitu melengkung bambu itu memental kembali dan menghantam dinding bukit, sehingga suara tung... tung... tung... tadi itu segera bermunculan karena benturan bambu yang memantul menghantam dinding tersebut.

Melihat akan hal itu, Liem Tou jadi paham sehingga tak terasa sudah tertawa.

Walaupun begitu terhadap suara jeritan dan teriakan dari burung burung beo itu hatinya masih ragu-ragu; pikirnya: "Apa mungkin ada orang yang telah menduga kedatanganku di sini?" Kecuali suhuku Thiat Sie Sianseng, ada siapa lagi yang memiliki kepandaian ini? Dan apakah maksudnya berbuat demikian? Sungguh aneh sekali perbuatan ini!"

Hatinya benar-benar kebingungan dibuatnya, pada saat itulah kembali sinar matanya terbentur dengan beberapa kata yang terukir di atas dinding batu.

"Tempat dikuburnya Liem Tou."

Beberapa huruf amat besar sekali dan memantulkan cahaya terang dan ketika melihat tulisan tersebut, Liem Tou jadi amat terperanjat, keringat dingin pun mulai mengucur keluar dengan derasnya.

Matanya terbelalak lebar-lebar sedang mulutnya melongo- longo, lama sekali pemuda itu tak dapat mengucapkan sepatah katapun.

"Bagaimana mungkin aku Liem Tou bisa dikuburkan disini?" hatinya diam-diam menggerutu.

Mendadak ia teringat kembali dengan bayangan hitam yang ditemui tadi, hatinya mulai merasa ragu-ragu dan curiga karena dahulusi rajawali dari gunung Ay Lauw san, Sun Ci Si pun sering menggunakan pakaian yang serba hitam.

Dengan sinar mata yang amat tajam Liem Tou mulai menyapu sekeliling tempat itu untuk mencari bayangan hitam tersebut.

Pada saat itulah di sisi dinding tebing pemuda itu menemukan sebuah rumah terbuat dari rumput kering, dan pintunya terbuat dari bambu tapi tertutup rapat-rapat.

Buru-buru ia menggape ke arah kerbaunya, menanti sang kerbau sudah berada di sisinya ia baru berseru memberi perintah: "Gouw ko, hajar pintu tersebut."

Sang kerbau mendengus perlahan, kepalanya ditundukkan kemudian dengan dahsyatnya menerjang pintu bambu tersebut.

Karena terjangan tersebut, kedua belah pintu itu segera terhajar hancur berantakan.

Kini Liem Tou merasa amat terkejut ketika sinar matanya dialihkan ke arah balik pintu.

Kiranya di dalam ruangan tersebut kecuali sebuah peti mati hitam, sama sekali tidaklah nampak benda lainnya.

Liem Tou segera menggeserkan badannya ke depan dan berhenti pada jarak lima kaki dan peti mati tersebut, kemudian dengan sangat telitinya memperhatikan peti mati yang terbuka separuh itu. Hal ini membuktikan kalau peti mati itu musih kosong, hanya saja di atas peti mati itu terukirlah beberapa kata yang sama: "Jenazah dari Liem Tou". Pada saat ini Liem Tou benar-benar amat gusar, bilamana mengikuti sifatnya pada setahun yang lalu, mungkin sekali ia pasti akan menghajar hancur peti mati itu.

Tetapi setelah pikirannya berputar beberapa saat, ia tersenyum pahit.

Lama sekali Liem Tou berdiri di hadapan peti mati itu untuk menanti; tetapi gerakan apa pun tidak kedengaran sehingga hatinya pun mulai merasa tawar.

Tiba-tiba tubuhnya segera berputar dan bermaksud untuk meninggalkan tempat tersebut, tetapi pada saat itulah mendadak terdengar suara seorang perempuan berkumandang keluar;

"Liem Tou, ingat! Semuanya ini adalah suhumu yang mengaturkan buat dirimu!" Liem Tou yang mendengar suara itu berasal dari balik tumbuhan rotan di atas dinding tebing dengan cepat putar badannya menghadap ke sana. Saat ini hatinya benar-benar merasa panas karena merasa dirinya dipermainkan.

Sebenarnya mengikuti nafsu di dalam hati kepingin sekali menerjang ke arah sana tetapi terakhir ia masih bisa menahan diri juga.

"Siapa yang sedang berbicara dengan cayhe, harap sebutkan nama besarmu!" serunya sambil menjura ke arah dinding tersebut.

"Soal ini kau tidak perlu tahu!" jawab perempuan itu dengan amat tawar. "Setahun kemudian kau bakal mengetahui sendiri asalkan saja kau jangan lupa tempat ini benar-benar tempat kuburmu. Terhadap orang lain mungkin kau tidak percaya tapi kesemuanya ini adalah jerih payah suhumu Thiat Sie cianpwee selama tiga hari tiga malam. Kau harus mempercayai perhitungan ini."

Liem Tou yang secara mendadak mendengar perkataan tersebutsegera merasakan tubuhnya tergetar amat keras, setelah menjerit tertahan ia lantas berseru:

"Apakah sungguh-sungguh ada kejadian ini? Kapan suhuku tiba di tempat ini? Kalau memangnya kau tahu kalau Thiat Sie Sianseng adalah suhu dari aku Liem Tou, maka pada tahun yang lalu sewaktu aku angkat guru di gunung Cing shia ini, tentunya kau pun hadir di sana bukan? Kenapa sekarang kau tidak suka menemui diriku?"

"Soal ini adalah urusanku, yang jelas ini hari aku tidak ingin menemui dirimu."

Liem Tou tak dapat berbuat apa-apa lagi terhadap perkataan perempuan itu, ia setengah percaya setengah tidak. Setelah termenung sebentar akhirnya ia berpikir: Bilamana suhu benar-benar mengetahui saat kematianku, kenapa tidak sejak semula memberitahukan kepadaku?

Sebaliknya mempersiapkan sebuah peti mati dan diletakkan di dalam lembah yang berkabut tebal ini? Bukankah kejadian ini sukar untuk mempercayai???"

Berpikir akan hal ini Liem Tou segera gelengkan kepalanya. "Urusan ini benar-benar membuat orang sukar untuk

percaya. Lalu tahukah kau orang saat ini suhuku ada dimana?"

katanya. "Aku mau pergi mencari dirinya dan menanyakan apakah urusan ini sungguh sungguh atau tidak. Bilamana sungguh-sungguh, aku segera akan berbaring di dalam peti mati itu untuk menuggu saat kematian. Bolehkah kau orang memberitahukan hal ini kepadaku?"

Mendadak perempuan iiu tertawa merdu.

"Liem Tou, kau jangan bersikap ketolol-tololan, ayo cepat letakkan pedangmu itu ke dalam peti mati dan segera meninggalkan tempat ini."

"Kenapa aku harus meninggalkan pedang ini? tanya sang pemuda melengak.

"Di kolong langit mana ada bakal temanten yang menggendong pedang? Cepat pergi! Sejak semula kedua orang calon isterimu sudah menanti kedatanganmu dengan tidak sabar."

Liem Tou yang mendengar perempuan itu mengetahui seluruh urusannya bagaikan melihat jarinya sendiri, dalam hati mulaimenaruh rasa curiga, dia mengerti kalau perempuan ini tentu sangat mengenali dirinya. Cuma saja saat itu tak terpikirkan olehnya siapakah sebenarnya perempuan itu.

Liem Tou yang mengetahui perempuan itu sama sekali tidak bermaksud jahat terhadap dirnya terpaksa meloloskan pedangnya dan balik ke sisi peti untuk meletakkan pedang itu ke dalamnya? Sekeluarnya dari ruangan itu ia lantas meloncat naik ke atas punggung kerbau dan merangkap tangannya mejura ke arah dinding tersebut.

"Cayhe akan melakukan petunjukmu, kalau memangnya kau tidak suka menyebutkan namamu, tentunya suka memberitahukan bukan nama tempat ini serta letaknya?"

"Tempat ini bernama Uh Kok atau lembah maut," jawab perempuan tersebut. "Setahun empat musim selalu tertutup oleh kabut yang sangat tebal, letaknya seratus lie di Timur laut gunung Cing shia, asalkan kau dapat melihat sebuah puncak bukit yang sangat runcing, itulah tempatnya.

Liem Tou mengingat ingat terus perkataan tersebut, setelah mengucapkan terima kasih kepada perempuan tersebut dengan melarikan kerbaunya ia meninggalsan lembah kabut itu.

Senja kembali menjelang, ia sama sekali tidak beristirahat terus menjalankan kerbaunya perlahan-lahan, hatinya sedang berpikir bilamana dirinya pasti mati, lalu apa gunanya kali ini harus kembali ke gunung Cing Shia? kenapa harus mendatangkan kerepotan bagi Enci Ie serta adik Wan?

Ketika gunung Cing Shia sudah muncul di hadapannya, pemuda itu mencari sebuah batu gunung untuk beristirahat, tak terasa lagi ia sudah bersemedi dengan mengikuti ajaran ilmu menenangkan hati "Ting Sim Lok", pikirannya segera dikosongkan selang aliran hawa murni disalurkan dari pusar ke seluruh tubuh; akhirnya semakin lama pikirannya semakin bersih dan berada di dalam keadaan lupa diri.

Keesokan harinya dengan badan yang segar dan tenaga baru, Liem Tou berjalan ke tepi sungai untuk membenahi rambutnya yang kusut, ketika melihat pakaian yang dikenakannya telah robek-robek semua; tak kuasa lagi ia sudah bergumam; "Bilamana enci Ie serta adik Wan melihat rupaku yang demikian dekil; entah bagaimana perasaannya?"

Tak terasa lagi ia sudah tertawa.

Tiba-tiba ia teringat kembali atas diri Boe Beng Tok su serta Pouw Siauw Ling berdua, gumamnya kembali:

"Aku sudah menutup tangan di hadapan para jago Bu lim, bilamana mereka datang mencari balas, biarlah aku tidak menggubris mereka. Asalkan tindakan mereka keterlaluan, aku rasa orang-orang di kolong langit pasti akan mewakili aku untuk menyelesaikan urusan ini."

Berpikir akan hal ini, iapun lantas menuntun kerbaunya ke dalam air untuk disikat punggungnya, setelah itu dengan menunggang di atas punggung kerbau, pemuda itu baru melanjutkan perjalanannya kembali untuk melewati tiga buah rintangan bahaya menuju ke gunung Ha Mo san.

Dari tempat kejauhan dia sudah dapat melihat di tengah seberang sungai kemarin telah berdiri berpuluh orang yang menyambut kedatangannya.

Orang yang berdiri paling depan bukan lain adalah si telapak naga Lie Kian Poo vang telah menjabat sebagai Cung cu Ie Hee Cung pada saat ini.

Di sisinya berdirilah si cangkul pualam Lie Sang sedang di belakang orang itu bukan lain adalah jago-jago Bu lim kenamaan.

Pada saat ini Liem Tou mulai mencari suhunya Si Thiat Sie poa di antara orang-orang itu tetapi kecuali si pengemis pemabok serta si siucay buntung sama sekali tak nampak bayangan tubuhnya itu.

Hatinya jadi semakin tergetar keras, ia sama sekali tak mengerti apa sebabnya Thiat Sie Sianseng tidak kelihatan. Pada waktu itulah di antara orang-orang itu terdengarlah salah seorang sudah berteriak keras:

"Liem Tou telah balik kembali ke perkampungan Ie Hee Cung untuk menyelesaikan perkawinannya ini hari, setelah melewati sungai kematian sebelum naik ke tebing maut harus memperlihatkan jurus lihai agar kami bisa membuka mata kami semua."

Liem Tou segera alihkan pandangan matanya ke arah suara tadi dan tampaklah orang yang baru saja berteriak itu bukan lain adalah seorang hweesio muda.

Liem Tou sama sekali tidak kenal dengan orang itu, tetapi dikarenakan ia berdiri di slsi Ciat Siauw Thaysu itu ciangbunjien dari Siauw lim Pay maka hatinya lantas menduga kalau hweesio itu tentunya anak murid Siauw lim Pay yang mengikuti ciangbunjiennya.

Liem Tou sama sekali tidak memberikan jawaban atas perkataan hweesio cilik itu, buru-buru ia meloncat turun dari punggung kerbaunya, dan jatuhkan diri berlutut.

"Liem Tou menghunjuk hormat buat supek!" serunya lantang.

Dia berhenti sebentar untuk kemudian sambungrya lagi: "Dengan mengikuti peraturan, setelah tiga tahun kini Liem

Tou minta ijin untuk kembali ke gunung, harap Cung cu suka memberi ijin."

"Kembalinya Liem Tou ke gunung setelah tiga tahun mengembara di dalam Bu lim memang sesuai dengan peraturan perkampungan,"sahut Lie Kian Poo si telapak naga itu dengan suara lantang. "Cayhe pun tidak bisa menolak tetapi di dalam tiga tahun ini kau secara diam-diam sudah beberapa kali mencuri naik ke gunung, hal ini melanggar peraturan dan harus dihukum." Mendengar perkataan tersebut, Liem Tou merasa hatinya bergidik dan pikirnya diam-diam:

"Apakah ia masih tetap tidak memperkenankan aku kembali ke gunung? Kini aku adalah seorang manusia yang telah mengunci tangan dan bila mana suruh aku melewati tiga rintangan kembali, hal ini sungguh menyusahkan sekali."

Berpikir sampai di situ iapun lantas menjura ke arah Lie Cungcu, "Liem Tou tahu kesalahan dan kini siap menerima hukuman dari Cung cu."

"Ha... ha... ha... Liem Tou, kau tidak usah gupup setengah mati," goda si telapak naga Lie Kian Poo sambil tertawa terbahak-bahak. "Mengingat engkau masih ada memiliki dendam sakit hati sehingga kau ingin mencuri kembali ke perkampungan adalah suatu peristiwa yang terjadi karena terpaksa, kau kini dengarlah baik baik?"

"Terima perintah!"

"Liem Tou!" seru Lie Kian poo melanjutkan kata-katanya: "Asalkan kau bisa melewati ketiga buah rintangan ini maka kau akan kami terima sebagai anggota perkampungan, kedudukan cung cu akan aku serahkan padamu."

Buru-buru Liem Tou menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. "Perintah Cung cu aku tidak membantah tetapi kedudukan Cung cu aku tidak berani untuk menerimanya."

"Liem Tou, ini pun termasuk peraturan dari perkampungan, apakah kau berani melanggar?" bentak Lie Kian Poo dengan gusar.

"Tidak berani, tidak berani."

Waktu itulah si telapak naga Lie Kian Poo baru tertawa terbahak-bahak; tangannya diulapkan, mendadak berpuluh- puluh orang bersama-sama mengundurkan diri ke atas jembatan pencabut nyawa. Liem Tou tahu semua orang itu lagi menanti dirinya mengeluarkan ilmu meringankan tubuh yang paling lihay untuk menyeberangi sungai tersebut, tak terasa lagi ia sudah dongakkan kepalanya lalu tertawa.

Tetapi pada saat kepalanya didongakkan ke atas itulah tiba-tiba matanya dapat menangkap sesosok bayangan hitam berkelebat lenyap di atas purcak Ha Mo san, bersamaan itu pula secara samar-samar tampak seekor burung rajawali munculkan dirinya di tengah udara kemudian lenyap pula di balik awan.

Air muka Liem Tou segera berubah hebat, sepintas napsu membunuhnya berkelebat di dalam benaknya.

Kini kecuali teringat akan perkataan dari si perempuan tunggal kemarin malam, pemuda itu teringat pula akan seseorang.

Kedua orang itu ada perjanjian tiga tahun dengan dirinya, dan peristiwa itupun terjadi sebelum dirinya mengunci tangan, kini mereka berdua kembali munculkan dirinya untuk melanggar janji, hal ini bagaimana mungkin tidak membuat hatinya merasa sangat terperanjat?

Tetapi setelah pikirannya berputar kembali, hati pun jadi lebih tenang.

"Sungguh memalukan!" gumamnya diam-diam.

"Kini mereka berdua pun sudah menunjukkan dirinya tapi kenapa aku tidak boleh turun tangan?"

Tak terasa lagi ia menarik napas dingin, sambil menghela napas panjang, gumamnya lagi:

"Urusan sudah jadi begini, masih ada cara apa lagi?"

Dengan termangu-mangu ia memandang ke tepian seberang, tampaklah berpuluh-puluh orang itu lagi menantikan ia untuk menyeberangi ketiga rintangan tersebut. Dia pun tahu setelah ketiga rintangan tersebut dilewati maka semua orang tentu akan mengarak dirinya ke dalam ruangan besar.

Sekonyong konyong ... di samping telinganya berkumandanglah suara seorang perempuan.

"Liem Tou, kau jangan pergi, dengarkanlah perkataanku, kau jangan pergi, aku adalah Siauw Giok Cing!"

Setelah membedakan arahnya, Liem Tou lantas tahu kalau suara tersebut berasal dari atas gunung Ha Mo san, kemarin malam pemuda ini telah melihat dirinya sedang bertempur dengan Boen Ing di tepian sungai karenanya setelah mendengar perkataan tersebut ia sama sekali tidak jadi heran.

Setelah termenung beberapa saat lamanya, terakhir dia pun menjawab dengan ilmu menyampaikan suara.

"Nona Cing, apa maksudmu datang ke gunung Cing Shia ini? Dan kenapa aku tidak boleh pergi kesana?"

"Kau tidak usah kemari, disini banyak sekali orang yang membawa maksud tidak baik khusus hendak mencari balas terhadap dirimu. Terus terang aku beritahukan kepadamu, Boen Ing serta Oei Pok pun sudah berdatangan semua.

Kelihatannya mereka berdua bukan lah musuh besarmu! Agaknya Oei Poh sudah menaruh rasa menyesal sedang Boen Ing pun tidak bakal mencelakai dirimu, karena dia menginginkan yang hidup, tetapi... masih banyak sekali musuh musuhmu yang aku tidak kenal, jika ditinjau dari wajahnya, rata-rata mereka sangat buas dan kejam."

"Mereka kini bersembunyi dimana? Bagaimana mungkin kau bisa mengetahuinya dengan begitu jelas?" tanya Liem Tou.

"Mereka bersembunyi di ruangan tengah, ada pula yang telah menyamar dan bercampur baur dengan rakyat kampung. Aku lihat lebih baik janganlah kau pergi!" Bagaimanakah lihaynya Cing jie, Liem Tou sudah mengetahuinya dengan amat jelas. Di dalam dunia kangouw pada saat ini, orang yang bisa melawan dirinya boleh dikata amat sedikit sekali.

Kini, kalau ditinjau dari perkataan yang diperingatkan olehnya, Liem Tou merasa keadaan memang sangat berbahaya sekali, maka tak terasa lagi hatinya mulai goyah kacau tak karuan.

Ketika ia mendongakkan kembali kepalanya tampaklah orang-orang yang berada di seberang sana telah lama menanti, bahkan ada pula yang sudah menggape-gape ke arahnya.

Liem Tou yang melihat supeknya, si cangkul pualam Lie Sang pun sedang menggape-gape ke arahnya, tak terasa lagi ia menghela napas panjang.

"Supek . . supek!" batinnya, "Kau suruh aku berbuat bagaimana baiknya?? Keadaan yang demikian bahaya dan penuh diliputi nafsu membunuh, apakah masih belum kau rasakan?"

Pada saat Liem Tou sedang berpikir untuk mengambil keputusan,kembali terdengar Cing jie mengirim suara: "Jangan kau pergi! Lebih baik kau kembali ke lembah mati hidup sana!"

Mendengar perkataan tersebut air mukanya segera berubah, karena secara tiba-tiba ia merasa peringatan dari Cingjie ini ternyata terkandung maksud-maksud tertentu.

Ia merasa bilamana dia menerima ajakan tersebut, hal ini benar-benar sangat memalukan sekali, bagaimana nanti dirinya bisa bertanggung jawab di hadapan enci Ie serta adik Wan-nya?

Teringat akan hal tersebut, rasa murungnya kontan tersapu lenyap dari benaknya, di tengah suara tertawa tergelaknya yang amat nyaring ia meloncat naik ke atas punggung kerbau kemudian teriaknya keras;

"Sungai kematian, tebing maut, jembatan pencabut nyawa... haa... haa..."

Bersamaan ini pula ia menggerakkan tenaga murninya ke seluruh tubuh kemudian menembusi tubuh sang kerbau.

Agaknya kerbau itu pun mengerti maksud hati dari majikannya karena di tengah suara dengusan yang rendah, empat kakinya menyepak ke belakang lalu menyusup ke tengah sungai.

Orang-orang yang ada di seberang sana melihat Liem Tou hendak menyeberang tiga buah rintangan tersebut dengan menunggang kerbau, seketika itu juga suasana jadi gempar. Mereka sama sekali tak percaya kalau kerbau tersebut bisa memiliki kepandaian yang demikian dahsyatnya sehingga dapat melewati ketiga rintangan tersebut tanpa menempel pada permukaan tanah.

Tetapi peristiwa itupun terjadi di luar dugaan mereka, karena di dalam anggapan mereka kerbau itu sewaktu tiba di air sungai tentu akan menggunakan ilmu di air untuk berenang ke seberang dan hal ini tentu tidak mengherankan.

Siapa sangka, begitu kerbau tersebut terjun ke permukaan sungai keempat kakinya laksana terbang telah melayang di atas permukaan air dengan begitu tenang dan gesitnya di atas sungai sama sekali tak tampak percikan air barang sedikit pun.

Peristiwa yang berbeda dari keadaan pada umumnya ini kontan membuat para jago dibuat berdiri termangu-mangu dengan mata terbelalak dan mulut melongo, beberapa saat kemudian suara teriakan serta pujian baru meledak membelah bumi.

Di tengah suara tepukan tangan serta pujian yang amat gemuruh itulah Liem Tou dengan menunggang kerbaunya telah berhasil melewati sungai kematian diikuti kemudian dengan meloncat naik ke atas tebing maut.

Gerakannya amat gesit laksana burung walet, begitu melayang ke tanah pun tanpa mengeluarkan sedikit suarapun sehingga hal Ini benar-benar luar biasa sekali.

Kini tinggal jambatan Pencabut nyawa saja yang belum dilewati. Liem Tou yang kena disoraki dengan begitu meriah, rasa ingin pamer lantas saja meliputi hatinya, "Heee... heee... biarlah aku perlihatkan sedikit kelihayanku di hadapan kalian," pikirnya di hati.

Mendadak sepasang tangannya ditekan ke atas punggung kerbaunya, kemudian secara diam-diam mengalirkan hawa murninya sesuai dengan cara pengerahan tenaga menurut kitab pusaka "To Kong Pit Liok."

"Bangun!" bentaknya keras.

Semua orang seketika itu sedang memikirkan hendak menggunakan cara apa Liem Tou menyeberangi jembatan pencabut nyawa itu, pada waktu itulah sekonyong-konyong sang kerbau menyodorkan badannya ke tengah udara dan melayang sejauh dua puluh kaki.

Bilamana dibicarakan memang sungguh sukar dipercaya, ketika di tengah udara keempat kaki kerbau itu pun mendayung keras sehingga sang kerbau kembali berkelebat sejauh dua kaki lagi.

Para jago hampir-hampir tidak mau mempercayai pada mata mereka sendiri, karena ada yang mulai mengucak-ucak matanya, ada pula yang mengira pandangannya jadi kabur.

Karena memang Liem Tou ada maksud hendak memperlihatkan kelihaiannya, maka di tengah perjalanan mendadak sepasang tangan nya direntangkan untuk memunahkan tenaga pada tubuh sang kerbau sehingga tak kuasa lagi tubuh mereka berdua bersama-sama meluncur turun ke bawah jembatan pencabut nyawa.

Daya luncur amat cepat sekali, hanya dalam sekejap saja mereka telah jatuh sedalam puluhan kaki ke bawah.

Semua orang yang melihat perubahan terjadi begitu cepat jadi pada menjerit kaget, ada pula yang siap-siap turun tangan memberi pertolongan, siapa sangka justeru Liem Tou sengaja untuk berdemonstrasi.

Tubuhnya mencelat turun dari punggung sang kerbau dan bersembunyi di bawah lambung kerbaunya, sepasang tangannya menekan ke perut kerbau itu lalu mengangkatnya ke atas.

Bersamaan itu pula telapak kirinya sedikit menyapu kaki belakang kerbau itu lalu didorongkan keluar.

Di tengah suara dengusan suara yang sangat berat kerbau itu laksana seekor macan yang baru saja turun dari gunung menubruk ke tepian seberang.

Saat inilah hati semua orang baru merasa lega dan pada menghembuskan napas lega. Di Waktu itulah Liem Tou sambil menuntun kerbaunya bersama-sama jatuh ke tepiau diiringi suara pujian yang riuh rendah.

Si telapak naga Lie Kian Poo dengan langkah yang tegak, buru-buru menyambut kedatangannya.

"Akhirnya kau kembali juga ke gunung, aku atas nama rakyat perkampungan Ie Hee san Cung menyambut kadatangaamu."

Lie Loo jie pun maju selangkan ke depan dan memeluk sepasang pundak si pemuda dengan penuh mesra.

Tiba tiba Liem Tou mengundurkan dirinya satu langkah ke belakang kemudian bertanya; "Supek. kenapa susiok tidak kelihatan?" "Susiok yang mana?" tanya Lie Loo jie melengak. "Bukankah Sisiucay buntung serta pengemis pemabok ada di sini?"

Liem Tou segera menggeleng. "Yang aku maksudkan adalah Hong susiok; kemarin malam aku masih bertemu muka dengan dirinya, dia bilang malam itu juga hendak berangkat kemari untuk bertemu dengan supek; bagaimana mungkin dia orang belum tiba di sini?"

"Dia sama sekali tidak datang," sahut Lie Loo jie keheran- heranan. "Akupun sedang memikirkan jejaknya! Bilamana dia memang sudah tiba di gunung Cing Shia, hal ini jauh lebih baik lagi."

Liem Tou yang mendengar si perempuan tunggal Touw Hong belum juga tiba di sana, wajahnya yang semula tenang dengan secara tiba-tiba diliputi kemurungan.

Lie Loo jie yang melihat kejadian ini segera bertanya: "Sutit!! Jika ditinjau dari wajahmu, agaknya kau ada pikiran

di hati; ini hari adalah hari baik bagimu, Ie jie serta Wan jie

pun sedang menanti kedatanganmu; sebetulnya kau ada urusan apa.. ?"

Liem Tou kembali menggeleng.

"Supek! Kenapa suhuku juga tidak kelihatan muncul di sini .

. . ?" balik tanyanya.

Tampak Lie Leo jie termenung sebentar, akhirnya ia menyahut dengan suara rendah.

"Jika dibicarakan sungguh aneh sekali; selama beberapa hari ini wajah suhumu selalu murung dan bersedih hati. Dan sejak kemarin malam ia duduk bersila di depan ruangan Chie Ing Tong dan memukul pulang pergi biji-biji caturnya tanpa berhenti, jikalau ditanyai maka ia hanya menggeleng saja tanpa menjawab!!" "Aaaakh . . . !" seru Liem Tou tertahan, paras mukanya seketika itu juga berubah jadi pucat pasi. "Apakah selama ini tak sepatah kata pun yang diucapkan?"

Mendadak sepasang mata Lie Loo jie berkilat, lalu mengangguk.

"Ada kalanya ia membuka suara, hanya saja yang diucapkan terbatas pada tata kata "Nasib! Nasib! Nasib!" siapa pun juga tidak tahu apa artinya."

"Nasib! nasib!" gumam pemuda itu beberapa saat lamanya. Mendadak dengan suara keras teriaknya:

"Supek, Liem Tou hanya membawa bencana saja, aku tidak ingin kawin!"

Teriakan dari Liem Tou yang secara tiba-tiba ini seketika itu juga membuat Lie Loo-jie jadi sangat terkejut, ia tidak menanyai terlebih dulu, sebab dari perkataan sang pemuda sebaliknya malah menoleh ke arah puluhan orang jago kang ouw yang menyambut kedatangan Liem Tou itu.

Dan ketiga itu mereka dengan pandangan terperanjat lagi memandangi pemuda tersebut.

Si telapak naga Lie Kian Poo yang melihat sikap Lie Loo jie amat kikuk mendadak maju dua langkah ke depan dan mencekal pergelangan tangan Liem Tou erat-erat, kemudian menariknya ke samping.

"Loo jie, bagaimanapun juga kau masih muda, bagaimana mungkin di hadapan orang banyak bicara begitu?" tegurnya dengan suara rendah. "Bilamana kau bersikap demikian, bukankah memaksa supekmu tidak sanggup untuk turun dari punggung kerbau? Yang kau maksudkan sebagai bencana itu apa?"

Liem Tou yang melihat beberapa perkataannya tadi segera menimbulkan kegemparan bagi semua jago, hatinya menyesal.Sebetulnya orang-orang itu tidak mengetahui bagaimanakah tegangnya suasana pada saat ini, karenanya sikap mereka jadi kaget.

Sebaliknya Liem Tou sudah mengetahui hal tersebut dengan jelas sekali, sudah tahu bakal celaka bilamana diteruskan dan sama sekali tidak mendatangkan kebaikan buat dirinya, apalagi terhadap Lie Loo jie, Lie Siauw Ie serta si gadis cantik pengangon kambing dan juga para jago-jago yang menghadiri perkawinan itu pun tidak ada kebaikannya!

Sehingga karena satu persoalan yang kecil dapat berubah jadi peristiwa yang nengerikan, bukankah dengan demikian Liem Tou akan menjadi seorang manusia yang sangat berdosa??

Dengan termangu-mangu ia memandang ke arah si telapak naga Lie Kian Poo, sedang di dalam hati ia berpikir:

"Bagaimana aku orang bisa memberitahukan keadaan yang sesungguhnya dari perkampungan Ie Hee San Cung ini?

Bilamana aku beritahu pada saat ini merekapun belum tentu suka mempercayai!"

Mendadak di dalam benaknya berkelebat kembali pemandangan yang dilihatnya kemarin malam sewaktu ada di dalam lembah kabut, tak kuasa lagi pemuda itu jadi menghela napas panjang.

"Peristiwa ini sudah ditentukan oleh Thian, dan tidak mungkin bisa ditentang dengan tenaga manusia. Karena itulah yang dinamakan Nasib! . . . " pikirnya di hati.

"Urusan ini pun sudah berada di dalam perhitungan suhu, kalau memangnya demikian kenapa aku Liem Tou harus menentang nasib??"

Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya.

Mendadak ia jatuhkan diri berlutut di hadapan si telapak naga Lie Kian poo, ujarnya: "Karena salah berbicara, Boanpwee telah membuat dosa, harap Lie cung cu suka mengampuni dosa-dosa tersebut!"

Setelah menjura ia bungkam diri dan menyingkir ke samping.

Tetapi saat itulah rasa berdesir mulai berkecamuk di hatinya, seluruh tubuhnya gemetar amat keras, masih untung saja tenaga dalamnya amat lihai sehingga sekali tekan hatinya sudah dapat tenang kembali.

Ketika itulah sekonyong-konyong dari dalam perkampungan berkumandang datang suara suitan yang amat keras sekali.

Semua orang yang mendengar suara itu pada saling bertukar pandangan dengan kebingungan, karena mereka pun tidak mengetahui siapakah yang telah bersuit panjang itu.

Tetapi Lie Loo jie yang mendengar suara tersebut lantas menoleh ke arah Liem Tou dan tertawa.

"Suhumu sedang memanggil kedua orang susiokmu!" katanya.

Perkataan itu sedikitpun tidak salah, sebentar kemudian terdengarlah si siucay buntung serta si pengemis pemabuk membentak berbareng:

"Liem Tou! Sebentar kemudian kau bakal jadi pengantin, maka itu jalanlah perlahan-lahan, kami dua orang susiokmu yang jelek ini biar berangkat dulu; sampai waktunya kau jangan lupa untuk hormati kami berdua dengan beberapa cawan arak!"

Tidak menanti jawaban dari Liem Tou lagi, tubuhnya sedikit merendah lalu menggenjotkan tubuhnya ke tengah udara dan tampaklah dua gulung asap berkelebat ke depan hanya sebentar kemudian mereka telah berlari menuju ke dalam perkampungan.

Di dalam benak Liem Tou segera terlintas satu ingatan. "Susiok, tunggu sebentar!" tiba-tiba teriaknya. Sesosok bayangan hijau dengan cepatnya berkelebat ke depan, sebelum para jago mengetahui dengan cara apa ia bergerak, tubuhnya tahu-tahu sudah ada pada beberapa kaki jauhnya untuk kemudian bersama-sama dengan Si siucay buntung serta si pengemis pemabok menuju ke dalam perkampungan.

Menanti hampir tiba di kampung tersebut maka dari kejauhan terlihatlah ruangan Ci-Ing Tong sudah dihiasi dengan lampu dan kertas warna-warni yang sangat indah.

Pintu ruangan Ci Ing Tong terpentang lebar-lebar di atas liutai terteralah beratus-ratus kaki permadani merah, hal ini menambah keindahan serta kesemerbakan tempat tersebut.

Di kedua belah sisi ruangan itu berkerumun beribu-ribu orang rakyat kampung yang sedang menantikan berlangsungnya perkawinan yang paling meriah tersebut.

Tetapi yang paling aneh adalah lima langkah di balik pintu ruangan Ci Ing Tong, duduk lah Thiat Sie Sianseng dalam keadaan bersedakep, sepasang matanya terpejam rapat-rapat. Sebaliknya sie poa itu, terletak di pangkuannya. Kiranya saat ini ia telah berhenti menghitung.

Ketika Liem Tou bersama-sama dengan si siucay buntung serta si pengemis pemabok tiba di hadapan ruangan Ci Ing Tong itu, mendadak rakyat kampung yang ada di kedua belah samping berseru dengan gegap gempita untuk menyampaikan selamat.

Sambil tersenyum pemuda itu buru-buru membalas hormat kemudian tubuhnya herkelebat dan jatuhkan dirinya berlutut di hadapan suhunya Thiat Sie Sianseng.

"Tecu Liem Tou menghunjuk hormat buat suhu Orang tua!" serunya. Siucay buntung serta pengemis pemabok yang tiba di sisi Thiat Sie sianseng pun bersama-sama bertanya dengan suara yang amat keras. "Hey sie poa rongsokan! Ada urusan apa sehingga kau orang memanggil dengan nada begitu cemas? Apakah sie poa rongsokanmu itu kembali menemukan berita yang mengejutkan manusia dan mengerikan setan-setan?"

Dengan perlahan Thiat Sie sianseng membuka matanya, saat itu sepasang matanya sudah berubah jadi merah padam bahkan memandang ke arah Liem Tou dengan penuh cucuran air mata.

Melihat kejadian itu Liem Tou semakin terkejut lagi.

"Suhu, kau kenapa?" tanyanya dengan penuh kesedihan. Terlihatlah Thiat Sie sianseng hanya menggeleng,

kemudian menghela napas panjang.

"Angin gelap bertiup dari empat penjuru dan sinar lilin berubah jadi asap yang padam! Potongan pedang adalah sisa magrib, kesedihan membuat air mata serta darah bercucuran. Siapa yang bisa membebaskan diri dari kesusahan ini?" gumamnya seorang diri. Gunung lembah laksana bayangan, pepohonan lebat bagaikan mega, mereka saling bertumpuk bagaikan kalap, menghadap ke langit menangis tersedu-sedu

... dua satu turun lima, bertemu dua masuk satu. Cahaya terang Tionggoan diliputi dengan hawa pedang, yang tertinggal hanyalah jejak sang kerbau."

Liem Tou yang mendengar itu pada saat ini ia bergumam membaca syair sehingga teringat pula perkataan dari Thiat Si sianseng tempo hari yang mengatakan dirinya bakal menemui kesusahan, tak terasa lagi hatinya semakin bergidik.

"Suhu, suhu . . . ! Bilamana demikian adanya apakah kesusahan tecu telah hampir tiba?" tanyanya berulang kali. 

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar