Eps 24 : Topeng Pemasung Jiwa


Kawasan Bukit Samber Wetan terletak di utara kadipaten Salatigo. Menjelang pagi suasana terasa sunyi.

Udara dingin mencucuk dibalut kepekatan kabut putih tebal.

Disatu tempat dalam keremangan yang diterangi cahaya bulan di ketinggian langit, seorang kakek bertelanjang dada bertubuh hijau ditumbuhi lumut hentikan larinya.

Kakek ini tidak sendiri.

Diatas bahu si tua yang usianya lebih dari tujuh puluh tahun itu membelintang sosok seorang gadis berpakaian cokelat berambut panjang menjuntai.

Orang tua ini dikenal dengan nama Ki Lumut Adayana.

Melihat keadaan sekitarnya sudah cukup aman, tidak menunggu lama dia mengambil beberapa ranting berdaun lebar dan meletakkannya diatas rerumputan.

Lalu turunkan gadis dalam panggulan di rumput berlapis daun. Rambut panjang menjuntai yang menutupi wajah di singkapkan.

Ki Lumut berdecak kagum ketika melihat betapa wajah gadis itu ternyata cantik luar biasa. "Gadis cantik! Aku menemukan dia sudah tidak sadarkan diri diantara mayat-mayat yang

bergelimpangan. Dari pakaian serta simbol yang tersemat di dada pakaian sebelah kiri, jelas dia adalah kepala pengawal kadipaten Salatigo. Dan orang tua berbelangkon yang tewas mengenaskan tadi pastilah adipati Salatigo yang bernama Cakra Ablyasa. Siapa yang telah membantai mereka? Apakah mungkin dilakukan oleh pembunuh berdarah dingin yang dijuluki Perawan Bayangan Rembulan? Kalau memang dia, mengapa gadis ini dibiarkan hidup?" Membatin si kakek.

Sekali lagi dia tatap gadis didepannya, Tanpa pikir panjang Ki Lumut segera angkat tangan kanannya dan meletakkannya sejengkal diatas tubuh gadis itu.

Dengan cepat dia salurkan hawa sakti ke telapak tangan, Tanpa menyentuh, tangan disapukan ke sekujur tubuh si gadis mulai dari kepala hingga ke kaki.

Tiga kali tangan si kakek bolak-balik melintas diatas tubuh gadis cantik yang tidak lain adalah Bunga Jelita adanya atau juga dikenal dengan sebutan Bunga kembang Selatan.

Tangan lalu ditarik dan diletakkan diatas lutut

"Gadis ini sepertinya baru saja kena pukulan dibagian tengkuknya. Pukulan itu tidak berbahaya hanya membuatnya menjadi tidak sadarkan diri."

Ki Lumut segera miringkan tubuh Bunga, lalu melakukan usapan dengan tenaga dalam pada bagian tengkuk sang dara.

Bunga Jelita tiha-tiba sadar dari pingsannya.

Begitu melihat ada orang tidak dikenal berada dekat dengan dirinya dalam kejut tangannya bergerak

Plak!

"Waduh sudah ditolong malah menggonggong.Mengapa memukul aku!"

Seru Ki Lumut yang jatuh terjengkang sambil usapi pipinya yang berubah hijau kemerahan. Bunga Jelita mendengus.

Cepat dia melompat bangkit.

Namun karena gerakannya tergesa-gesa maka tubuhnya terhuyung sedangkan bagian kepala terasa sakit bukan main.

"Jangan! Jangan memukul lagi! Aku bukan orang jahat! Aku baru saja menolongmu."

Jelas Ki Lumut yang sudah berdir ­ namun tak berani dekat dekat dengan Bunga Jelita. Sang dara tatap si kakek.

Sejenak dia tertegun, namun segera memperhatikan keadaan diselelilingnya.

Dia tidak melihat pengawal yang tewas juga sang paman atau kuda-kuda tunggangan kadipaten. "Dimana pamanku, adipati Cakra Ablyasa?!"

Tanya sang dara disertai tatap mata curiga.

"Paman adipati? Apakah yang berbelangkon dan berpakaian lurik itu?" Tanya Ki Lumut pula.

"Ya."

Jawab Bunga ketus. Ki Lumut gelengkan kepala sedangkan wajahnya menunjukan rasa prihatin. "Pamanmu telah tewas. Para pengawal, seorang nenek gemuk dan kakek bercelurit juga telah tewas. Mereka berada disuatu tempat tidak jauh dari sini."

Terang Ki Lumut lagi hingga membuat sang dara jatuh terduduk sambil menangis tersedu sedu. "Paman.... Huk huk huk! Maafkan aku yang tidak dapat melindungimu. Seharusnya aku yang

berkorban nyawa.!"

Kata sang dara ditengah sedu sedan dengan perasaan penuh sesal.

"Anak dara. Menurutku seharusnya memang orang lahir duluan matinya juga harus duluan. Karena kau masih sangat muda, cantik pula. Jangan mati dulu sebelum ketemu jodoh dan merasakan sorga dunia! Ha ha ha!"

Gurau Ki Lumut.

Ucapan si kakek yang dimaksudkan untuk menghibur dara yang sedang bersedih justru membuat Bunga Jelita menjadi sangat marah.

"Tua bangka kurang ajar bertubuh aneh! Jaga mulutmu! Jika mengurus diri sendiri saja tak mampu jangan suka usil. Lihatlah tubuhmu yang ditumbuhi lumut menjijikan itu!"

Bentak Bunga sambil seka air mata yang membasahi kedua pipinya. Dia hendak bangkit.

Mata yang masih merah mendelik, namun entah mengapa dia urungkan niat dan memilih duduk ditempatnya.

Didamprat begitu rupa Ki Lumut bukannya tersinggung malah tertawa cengengesan. Selesai tertawa Ki Lumut membuka mulut,

"Aku memang sudah begini dari sananya. Tubuh ini lumutan bukan karena tidak pernah mandi.

Ceritakan gerangan apa yang telah terjadi pada dirimu, adipati dan juga para pengikutmu?" Tanya Ki Lumut kemudian.

"Siapa kau? Aku tidak akan bicara sedikitpun pada orang yang tidak kukenal."

Sahut Bunga jelita ketus

"Ohoooo, tua bangka sepertiku tak bakal menggigit, dara cantik. Aku bernama Ki Lumut Adayana.

Kau sendiri siapa?" Tanya si kakek.

Sebelum menemukan Bunga dalam keadaan pingsan sebenarnya dia tengah dalam perjalanan mencari keberadaan Ki Jangkung Reksa Menggala.

Seperti telah dikisahkan dalam episode sebelumnya.

Ki Jangkung Reksa Menggala yang dianggap mengetahui tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat telah diculik oleh anak buah sang ratu Siluman Buaya Putih.

Para pengikut Ratu buaya itu kemudian raib dari kejaran Ki Lumut.

Dalam perjalanan yang cukup melelahkan sampailah Ki Lumut dikawasan Hutan Progo tempat dimana Perawan Bayangan Rembulan yang bernama Nila Seroja terlibat perkelahian sengit dengan pasukan adipati Salatigo.  

Nila Seroja membunuh dua sahabat adipati, para pengawal dan adipati itu sendiri.

Walau Bunga Jelita sang keponakan adipati yang juga pemimpin pasukan berniat membunuhnya, tapi anehnya Nila Seroja tidak mau membunuh Bunga Jelita.

"Aku Bunga Jelita. Aku pemimpin pasukan kadipaten.!" Jawab sang dara sambil mendengus.

"Nama yang cantik secantik orangnya. Tidak hanya cantik, tapi kau juga gadis hebat. Masih muda namun sudah dipercaya memimpin pasukan."

Puji Ki Lumut polos. Setelah memperhatikan Bunga sejenak, Ki Lumut kemudian melanjutkan. "Aku turut sedih dengan apa yang dialami pamanmu dan orang-orangnya. Kalau boleh tahu siapa

yang telah melakukan semua kekejian itu??"

"Perawan Bayangan Rembulan. Apakah kakek pernah mendengar tentang dia?"

Tanya sang dara sambil tatap wajah orang tua didepannya lekat lekat

"Pembunuh yang satu itu, siapa yang tidak mengenalnya. Dia kerap muncul disaat munculnya bulan dilangit. Bila bulan tidak muncul diapun menghilang. Mungkin saja Perawan Bayangan Rembulan mengidap kelainan atau menderita suatu penyakit. Bulan datang penyakit datang. Tapi, eh bukankah setiap perempuan selalu mengalami datang bulan.?"

"Kalau benar mengapa?" Tukas si gadis ketus.

"Oh tidak! aku hanya bertanya saja."

Ujar si kakek sambil mengusapi rambutnya yang dipenuhi lumut

"Satu lagi pertanyaanku.Perawan Bayangan Rembulan biasanya selalu membunuh orang yang dibencinya. Tapi mengapa kau dibiarkan hidup? Aku hanya melihat bekas pukulan ditengkukmu. Dan pukulan itu jelas tidak mematikan."

"Aku juga heran kek. Mengapa dia tidak menghabisi aku. Dia hanya mengatakan aku tidak terlibat persekongkolan dengan orang yang dibencinya."

"Memang yang dibencinya itu siapa?"

Tanya Ki Lumut terheran-heran tapi juga ingin tahu.

"Dia sedang mencari orang yang bernama Ki Demang Sapu Lengga. Dimasa kecil Ki Demang bermaksud membunuhnya. Tapi sepertinya persoalan yang sebenarnya lebih dari itu."

"Jika demikian mengapa dia menghabisi pamanmu adipati Cakra Abiyasa?"

Tanya Ki Lumut

"Ki Demang adalah pamanku juga sahabat kakek dan nenek yang dibunuhnya."

Menerangkan Bunga Jelita, sementara wajah cantiknya tidak menunjukkan rasa kesal atau marah lagi pada si kakek. Ki Lumut manggut-manggut. Setelah terdiam beberapa jenak si kakek teringat pada kakek bersenjata arit dan nenek gemuk yang ditemuinya dalam keadaan mengenaskan.

Dia tatap gadis yang kini sudah duduk didepannya itu. Sambil mengusap wajahnya orang tua itu ajukan pertanyaan.

"Bunga Jelita sahabatku! Siapa sebenarnya kakek dan nenek gendut itu?"

"Kakek tua lumutan. Pertama ingin kutegaskan bahwa aku bukan sahabatmu. Aku hanya mengenal namamu tapi tidak tahu siapa kau. Sedangkan mengenai kakek yang tewas itu bernama Ki Bagus Lara Arang, salah satu tokoh yang berdiam di kawasan timur tanah Dwipa. Sedangkan nenek gemuk itu bermama Limbuk Ayu dari Kiara Condong. Keduanya sahabat pamanku juga sahabat Ki Demang."

Jawab Bunga Jelita sambil tatap Ki Lumut. Si kakek menyeringai lalu segera berkata,

"Jika kau tak mau bersahabat dengan tua bangka lumutan ini, tidak mengapa.Tapi dua orang yang kau sebutkan itu, aku pernah mendengar tentang mereka. Hanya saja yang mengherankan mengapa pamanmu bersahabat dengan kedua orang tua itu, padahal mereka bukaniah orang yang berhati jujur dan berwatak ksatria."

Bunga Jelita gelengkan kepala sambil menghela nafas dalam-dalam.

"Entahlah, aku sendiri tidak mengerti mengapa paman bersahabat dengan mereka." "Kedua orang yang tewas bersama pamanku itu adalah manusia penjilat yang hanya ingin

mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Sedangkan Ki Demang Sapu Lengga adalah tua bangka hidung belang. Aku telah mengetahui riwayat kejahatannya. Diam-diam Ki Demang mempunyai niat dan maksud buruk kepadaku!"

"Oh mengerikan sekali. Betapa tidak tahu dirinya tua bangka itu. Lalu sekarang dia berada dimana?"

"Dia dibawa oleh Ratu Siluman Buaya Putih."

Jawab Bunga Jelita seadanya. Jawaban itu membuat Ki Lumut terkesima dan tatap wajah gadis didepannya dangan sorot mata tidak percaya.

"Astaga! Ratu Siluman Buaya Putih membawa Ki Demang. Mengapa ratu dari sekalian buaya itu menculik seorang kakek?"

"Menculik? Ki Demang bukan diculik, tetapi dia dibawa pergi secara sukarela dan atas ijin paman adipati."

"Begitu? Bukankah Ratu Buaya tidak akan segan-segan melakukan pembunuhan? Mengapa sepertinya dia tidak menunjukkan sikap bermusuhan dengan orang kadipaten Salatigo?"

"Mengenai itu saya tidak tahu, kek. Apa ada teman atau kerabatmu yang diculik oleh ratu buaya?" Tanya Bunga lagi.

Ki Lumut anggukkan kepala.

Diapun lalu menceritakan lenyapnya Ki Jangkung Reksa Menggala, Salah satu tokoh dari padepokan Tiga Guru yang harus dilindunginya.

Seperti telah diceritakan Ki Jangkung Reksa Menggala dibawa lari oleh pengawal ratu buaya. "Memang Ki Jangkung bukan sanak bukan pula kadangku. Aku harus melindunginya karena

amanat yang diberikan oleh seseorang."

Jelas Ki Lumut kemudian. Sengaja dia tidak mau mengatakan yang memberinya perintah itu adalah penguasa Pohon Hijau, tempat dimana si kakek pernah melakukan tapa selama berpuluh-puluh tahun yang membuat tubuhnya ditumbuhi lumut.

"Perintah itu diberikan oleh siapa.? Apakah orang tua itu bernama Resi Cadas Angin?"

Gumam gadis jelita itu

"Oh bukan. Aku tidak boleh mengatakannya aku takut kwalat." Kata Ki Lumut sambil ujukkan wajah ketakutan.

"Oh apa benar begitu, kek."

"Memang benar. Tapi sudahlah jangan berbicara lagi tentang amanat yang harus kujalankan.

Saat ini pamanmu telah terbunuh. Kau sendiri mau kemana gadis cantik?" Pertanyaan itu membuat Bunga Jelita terdiam sejenak.

Pamannya tewas, kadipaten Salatigo sudah tidak mempunyai pemimpin lagi.

Hanya dia yang memiliki hubungan darah satusatunya dengan adipati, karena adipati memang tidak punya keturunan.

Jadi dia yang harus menggantikan kedudukan sang paman.

Jauh sebelumnya Adipati sendiri pernah berpesan padanya kelak bila adipati tiada, Bunga harus menggantikannya menjadi pimpinan kadipaten.

Amanat memang penting, namun sang dara rupanya tidak begitu berhasrat menjadi orang nomor satu di Salatigo.

Saat ini setelah pertemuannya yang pertama dengan Raja Gendeng 313, ingatan sang dara berkulit putih bersih ini kembali tertuju pada sang pendekar. Selain sangat terkesan dengan kehebatan serta ketampanan Raja, Bunga Jelita juga menganggap bahwa orang yang dapat membantu menyelesaikan semua masalah yang menimpanya adalah Raja.

"Dimana pemuda gondrong itu sekarang berada?!" Membatin Bunga dengan resah.

Melihat sang dara hanya diam tercenung tidak kunjung menjawab pertanyaan, Ki Lumut hilang kesabarannya dan segera menyeletuk.

"Ditanya tidak menjawab, kau sedang kesambet setan apa?" Ucapan si kakek menyadarkan gadis itu dan membuatnya kaget

"Eh maaf kek. Aku bukan mengabaikan pertanyaanmu. Aku tidak mungkin kembali ke kadipaten sebelum Perawan Bayangan Rembulan dan Ratu Buaya Putih lenyap dari dunia ini."

"Ho ho ho! Aku sudah menduga kau pasti mendendam pada Perawan setan itu. Lalu mengapa kau juga bermusuhan dengan Ratu Buaya?"

"Aku tidak punya silang sengketa dengan Ratu Buaya. Tapi dia dan Nila Seroja, gadis yang dijuluki Perawan Bayangan Rembulan sama jahatnya. Yang satu menebar maut dimalam hari sedangkan satunya lagi melakukan pembunuhan disiang hari."

"Jika itu tujuanmu kita bisa saling membantu. Tapi tunggu dulu...!" "Eh.. ada apa kek?"

Sambil tersenym cengengesan dan mengusapi rambutnya yang hijau ditumbuhi lumut si kakek membuka mulut,

"Aku tahu kau memendam sebuah ganjalan dihati.Dan itu tidak ada hubungannya dengan Perawan Bayangan Rembulan atau pun Ratu Buaya. Dari matamu dapat kulihat kau sedang memikirkan seseorang. Dan keresahan itu terpancar lewat tatap matamu.Apakah kau sedang memikirkan seorang pemuda? Pemuda mana yang beruntung menarik hatimu itu?"

Tanya Ki Lumut disertai tawa tergelak.

Walau terkejut tak menyangka Ki Lumut dapat membaca apa yang ada dalam benaknya. Bunga merasa kagum dan juga menjadi tersipu malu.Dengan wajah merah dan palingkan wajah kejurusan lain, Bunga berkata,

"Kakek lumutan Tidak kupungkiri aku memang tengah memikirkan seseorang. Apakah kau pernah mendengar tentang seseorang pemuda sakti berambut gondrong bernama Raja dan lebih dikenal dengan sebutan Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313?"

Pertanyaan Bunga membuat Ki Lumut tidak kuasa menahan gelak tawa. Sambil terpingkal pingkal dan dekap perutnya Ki Lumut berujar,

"Seorang Raja tapi Gendeng? Yang kutahu jika menjadi raja sampai pikun tetap bertengger di atas tahta, tapi kali ini raja sampai gendeng bergelar Raja Gendeng 313. Sungguh sebuah nama edan sebutan yang aneh. Di dalam tapa dan semediku, aku memang pernah melihat kehadiran pemuda itu. Pesan dari alam gaib memberi tahu Raja Gendeng 313 akan banyak memberi bantuan pada kita semua. Tapi kemana kita harus mencari manusia aneh itu?"

Tanya Ki Lumut seakan ditujukan padanya sendiri. "Kemana kita mencari?"

Si gadis mengulang ucapan Ki Lumut. Sambil menghela nafas Bunga menjawab.

"Mungkin saja dia juga sedang berusaha menemukan Perawan Bayangan Rembulan dan mahluk pengiring yang selalu menyertainya."

"Bagaimana bila dia lebih dulu mencari Ratu Buaya."

Tukas Ki Lumut

"Apapun yang dia lakukan tentunya dengan maksud dan tujuan untuk menumpas kejahatan." Ujar Bunga pula.

"Kalau demikian kita harus mencari keberadaan Perawan Bayangan Rembulan dan Ratu Buaya." "Kita harus saling membantu, apakah itu yang kakek maksudkan?"

Tanya Bunga sambil tatap kakek serba hijau didepannya.

"Dengan saling membantu kita bisa melewat semua kesulitan ini. Dan syukur-syukur jika kau juga mau membantuku mencarikan jodoh. Dan tentu saja tua bangka ini sangat berterima kasih."

"He he he!"

Gurau Ki Lumut diiringi tawa.

Wajah cantik didepannya nampak cemberut. Tidak disangka sangka Bunga berkata,

"Kakek sudah sangat tua, sudah lumutan malah. Apa mungkin orang setua dirimu masih bisa mendapatkan seorang istri?"

"Mengapa tidak. Yang tuakan dari pusar ke atas, sedangkan dari perut ke bawah masih tujuh belas tahun. He he he.... Jodohku tidak perlu cantik atau yang muda. Yang sudah tua atau yang nenek nenek pun tidak jadi mengapa yang penting masih ada nafasnya dan tahan lama. Ha ha ha!"

Ki Lumut lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal. Wajah Bunga tambah memerah.

"Tua bangka edan. Sudah bau tanah bukannya memikirkan liang kubur. Sebaliknya malah bicara ngaco tidak karuan!"

Dengus sang dara cemberut. Ki Lumut hentikan tawanya. "Ya sudah. Tak usah diambil hati. Aku cuma bergurau." Ucapnya.

Si kakek lalu menatap ke ufuk langit sebelah timur. Mentari pagi telah muncul disana pancarkan cahayanya yang kuning hangat.

"Nampaknya kita harus berangkat sekarang." Suara Bunga memecah keheningan.

"Mari kita lanjutkan perjalanan. Kau didepan aku dibelakang."

Sambut Ki Lumut membuat Bunga kerutkan kening pandangi Ki Lumut penuh heran. "Mengapa harus begitu?"

Tanya Bunga tidak mengerti.

"Kalau kau yang didepanku pasti aku bisa mencium wangi tubuhmu. Jika aku yang didepan. Aku khawatir kau jatuh pingsan karena mencium bau ketiakku!" "Kakek gelo. Kau ini ada-ada saja."

Gerutu Bunga tak kuasa menahan tawa. Sambil tertawa-tawa kedua orang inipun tinggalkan kaki bukit Samber Wetan.

*****

Setelah Ki Demang Sapu Lengga menyadari tidak dapat menandingi ilmu kesaktian Ratu Siluman Buaya Putih, maka dia hanya duduk diatas lantai berlapiskan batu pualam putih yang dingin.

Wajah orang tua itu tertunduk diam.

Rambut putihnya yang biasanya bergelung terlihat acak-acakan menutupi sebagian wajah.

Tak jauh didepannya sejarak dua tombak dari tempat dimana Ki Demang berada, Sang ratu buaya, gadis cantik berpakaian merah yang asalnya adalah seorang bidadari bernama Selaka Merah, duduk angkuh dikursi kebesarannya.

Sambil tatap orang yang berada didepannya, gadis ini kemudian berkata,

"Manusia pecundang bernama Demang Sapu Lengga, waktuku tidak banyak. Kini saatnya kau harus membantu mencari Bunga Anggrek Mayat secepatnya, sebelum Perawan Bayangan Rembulan mendahuluiku."

Ki Demang angkat wajahnya yang tertunduk. Rambut yang menutupi wajah disingkapkan.

Sambil menatap sepasang kaki mulus dibalik gaun tipis itu. Ki Demang menjawab. "Ratu Buaya. Mengapa kau sangat ingin mendapatkan bunga langka itu."

"Bunga Anggrek Mayat sangat penting artinya bagiku. Wangsit dari alam gaib mengatakan bahwa bunga itu dapat melenyapkan kutukan dewa yang berlaku atas diriku. Aku ini sabenarnya adalah seorang bidadari. Bila kutukan itu musnah maka aku bisa kembali menjadi bidadari. Jangan sangka aku senang menjadi ratu dari segala hewan pemakan bangkai itu!"

"Andai saja kau mau jadi kekasihku dengan sukarela akan kutunjukkan tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat. Kau takut apabila Anggrek Mayat jatuh ke tangan Perawan Bayangan Rembulan, sedangkan aku takut gadis itu membunuhku."

Batin Ki Demang.

Walau hati berkata demikian, namun mulut berucap lain.

"Ratu Buaya Putih. Sesungguhnya aku ingin membantu tetapi aku sendiri sudah lupa dimana tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat."

Mendengar jawaban Ki Demang. Wajah cantik sang ratu bersemu merah. Dia lalu menoleh ke arah sebelah kiri ruangan. Disana ada sebuah pintu yang dalam keadaan terbuka.

"Bawa tawanan kita masuk ke ruangan. Aku ingin tahu siapa sebenarnya yang berdusta!" Dalam keheningan suara Ratu Buaya menyentak bergema. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

Di depan pintu muncul dua orang laki-laki berkulit hijau bertelanjang dada tubuh basah keringatan.

Seperti diketahui kedua laki-laki itu adalah dua diantara Lima Penjaga Terpilih. Sebelumnya kulit mereka tidak berwarna hijau.

Tapi ketika mereka ditugaskan untuk mencari Ki Jangkung Reksa Menggala. Mereka harus berhadapan dengan seorang kakek sakti bernama Ki Lumut Adayana.

Setelah terlibat pertarungan sengit dengan Ki Lumut, mereka berusaha untuk meloloskan diri dengan membawa kakek yang menjadi incaran.

Tapi Ki Lumut berhasil menghantam mereka dengan pukulan sakti Lumut Bersarang Dibadan

.Walau tidak sampai mengalami nasib celaka namun tiga diantara Lima Penjaga Terpilih terkena pukulan sakti Ki Lumut.

Akibatnya tubuh mereka ditumbuhi lumut ganas yang bisa merenggut nyawa mereka. Sayang upaya sang ratu untuk menyembuhkan pengawalnya tidak membuahkan hasil. Kembali ke ruangan tempat dimana sang ratu berada.

Dua pengawal yang datang ternyata tidak sendiri.

Mereka menggiring seorang kakek berpakaian putih bertubuh tinggi. Dialah orangnya yang bernama Ki Jangkung Reksa Menggala.

Begitu berada didepan pintu ruangan, Ratu Buaya Putih tiba-tiba berseru memerintah.

"Duduk! Perhatikan baik-baik, apakah engkau mengenal siapa adanya orang yang duduk di atas lantai itu?"

Ucap sang dara sambil menunjuk Ki Demang Sapu Lengga.

Kakek berwajah cekung bermata menjorok dalam, berdagu kokoh segera jatuhkan diri. Setelah duduk menjelepok diatas lantai orang tua ini layangkan pandang ke arah Ki Demang. Dengan suara datar tidak bersemangat K Jangkung menjawab.

"Aku mengenalnya. Dia pernah menjadi sahabatku. Dulu! Namun itu telah lama berlalu."

Ki Demang terkejut. Cepat dia palingkan kepala ke arah Ki Jangkung. Setelah memperhatikan wajah Ki Jangkung, Ki Demang tercengang.

"Ki Jangkung Reksa Menggala, bagaimana kau bisa berada di tempat celaka ini?" Desisnya seakan tidak percaya.

Ki Jangkung tersenyum.

Tapi wajahnya dingin dan biasa saja. Melihat adanya Ki Demang, Ki Jangkung merasakan bahwa bakal terjadi malapetaka.

"Peruntungan bisa mendatangkan kebahagiaan juga kegembiraan sesaat. Peringai buruk dimasa lalu dapat menimbulkan kesulitan dan berbagai kesengsaraan dalam kehidupan dimasa kini. Berada ditempat ini bukanlah menjadi kehendakku."

Jawab Ki Jangkung. Sambil melirik ke arah bekas sahabatnya, Ki Jangkung menyindir.

"Kau sendiri Sebagai manusia segala hebat, segala bisa dan segala pikat, bagaimana bisa sampai terjeblos di tempat yang asing ini?"

"Ki Jangkung, kau tak usah mengurusi diriku. Dan juga tidak perlu menyindirku. Sabagai ketua Padepokan Tiga Guru aku ingin tahu bagimana dengan nasib dua saudaramu yang lain?"

"Kau tidak perlu mejawab. Karena saat ini dua saudaramu Ragil Ijo dan Ki Jalung Upas sudah mati ditangan Perawan Bayangan Rembulan. Ha ha ha!"

Dengus Ki Demang Sapu Lengga diringi gelak tawa. Ki Jangkung merasa darahnya mendidih. Mulut terkatub, pelipis bergerak-gerak.

Cukup lama dan jauh sebelumnya dia telah memikirkan apa penyebabnya dari segala malapetaka yang terjadi.

Perawan Bayangan Rembulan!

Siapapun dia namun Ki Jangkung tetap yakin kemurkaan gadis pembunuh itu berpangkal dari segala perbuatan yang dilakukan oleh Ki Demang Sapu Lengga dimasa lalu

"Tua bangka jahanam! Dulu kita memang bersahabat, tapi segala perbuatanmu yang telah mempermainkan banyak wanita dan sikap kesewenang-wenangan membuat aku muak. Aku bukan manusia suci, namun aku berbuat banyak kejahatan karena bersebab dari dirimu!"

Bentak orang tua itu murka.

Andai saja ilmu kesaktian yang dimilikinya ternyata tidak lenyap setelah dia dibawa masuk kekawasan ratu buaya yang terletak dibalik dasar sungai Glagah Wangi, ingin rasanya Ki Jangkung menghabisi kakek menyebalkan tersebut saat itu juga. Sementara mendengar ucapan bekas sahabatnya, Ki Demang Sapu Lenggapun mengumbar gelak tawa.

Setelah mendengar pembicaraan kedua kakek, Sang ratu buaya menyadari bahwa kedua orang itu kini sudah tidak bersahabat lagi, malah terkesan bermusuhan, menyalahkan satu sama lain.

"Cukup!"

Hardik Ratu Buaya membuat Ki Demang kaget.

Tawanya lenyap dan keluarkan suara seperti orang yang tersedak sesuatu dari tenggorokannya.

Sambil telan ludah basahi tenggorokannya yang kering Ki Demang tatap gadis yang duduk diatas singgasana kebesarannya itu

"Kalian dengar!"

Ratu Buaya lanjutkan ucapan.

"Hidup kalian berdua sepenuhnya tergantung pada kemurahan hatiku.Ki Jangkung harap jawab pertanyaanku.Sebagaimana pengakuanmu sebelumnya, kau mengatakan Ki Demang Sapu Lengga mengetahui dimana tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat?"

"Maafkan aku sang ratu. Aku tidak mengatakan Ki Demang mengetahui tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat. Aku mengatakan dia tahu dimana tempat berdiamnya Puteri Manjangan Putih. Gadis itu yang lebih tahu tempat tumbuhnya bunga yang ratu cari."

Jawab Ki Jangkung. "Dia berdusta!"

Bentak Ki Demang lantang.

Orang tua ini hendak bangkit berdiri siap menyerang Ki Jangkung. Tapi Ratu Buaya cepat lambaikan tangan ke arahnya.

Sesiur angin sejuk menerjang Ki Demang, membuat si kakek terdorong keras lalu Jatuh terduduk dibelakang tempat dimana tadinya dia berada.

"Ratu...dia..."

Dalam kemarahan karena niatnya untuk menghajar Ki Jangkung tak kesampaian, Ki Demang ajukan protes.

Plak!

Satu tamparan jarak jauh tanpa menyentuh menghantam mulut si kakek.

Ki Demang meraung keras sambil tekab mulutnya yang mengucurkan darah. Di tempatnya berdiri Ratu Buaya tersenyum dingin.

"Jangan melakukan tindakan apapun diluar perintahku! Kau dengar Ki Demang!"

Tukas sang ratu. Walau hati memendam kemarahan luar biasa atas apa yang telah dilakukan Ratu Buaya. Dengan terpaksa Ki Demang menganggukkan kepala.

"Aku mendengar!" Jawab Ki Demang. "Bagus."

Ratu Buaya kembali berpaling pada Ki Jangkung. Pada orang tua ini dia bertanya kembali seolah ingin kepastian.

"Jadi dia sebenarnya tidak tahu tempat tumbuhnya Bunga Anggrek Mayat. Dia hanya mengetahui tempat berdiamnya Puteri Manjangan Putih yaitu orang yang paling mengetahui dimana bunga yang kucari itu bertumbuh."

"Benar. Dan aku tidak berdusta!"

Jawaban Ki Jangkung ini membuat sang dara kembali tatap wajah Ki Demang. Ratu tidak begitu yakin dengan jawabannya.

"Sekarang aku harap kalian mau bicara jujur karena bila masih ada yang berdusta, maka aku pasti akan membunuh kalian...!"

Ucap Ratu Buaya Putih. Semasa masih menjadi bidadari gadis ini memang merupakan gadis baik-baik. Kutukan jatuh atas dirinya karena dia terlalu sering melanggar larangan.

Dan setelah menerima kutukan segala tingkah lakunya menjadi berubah dan semua perbuatannya tidak berbeda dengan buaya.

Ki Demang terdiam dan berpikir sejenak.

Andai dia terus menyangkal Ratu Buaya bisa membunuhnya.

Sementara dia sendiri masih ingin hidup lebih lama walau usianya kini sudah cukup sepuh. Tapi bila dia menjawab dengan sebenarnya.

Apakah dia masih punya muka bertemu dengan Puteri Manjangan Putih, mahluk yang berdiam di Puri Istana Satu di Alam gaib?

Untuk diketahui, Ki Demang Sapu Lengga adalah salah satu orang yang pernah menjalin hubungan baik dengan Puteri Manjangan Putih.

Dari hubungan persahabatan itu Puteri Manjangan Putih memberikan sebuah ilmu langka yaitu ilmu penakluk atau ilmu pelet yang dikenal dengan nama Segala Rindu.

IImu penakluk hati Segala Rindu kesaktiannya jauh lebih dahsyat dari ilmu sejenis bernama Buluh Perindu.

Siapa saja yang menjadi sasaran ilmu tersebut maka akan tergila-gila, lupa diri, kehilangan rasa malu pada orang yang menggunakan ilmu tersebut.

Ki Demang menggunakan ilmu tersebut untuk berbuat maksiat, memperturutkan hawa nafsu dan memperdayakan ratusan wanita terutama gadis perawan yang berwajah cantik.

Padahal ini merupakan pelanggaran besar.

"Ki Demang. Waktu bagimu untuk berpikir sudah habis. Bila kau tidak segera menjawab, ajalmu ada didepan mata."

"Eh..bb... baiklah."

Ki Demang seka keringat dingin yang membasahi wajahnya.

"Aku memang tahu dimana tempat kediaman Puteri Manjangan Putih." "Hmm, begitu?"

Ratu Buaya mengurai senyum.

"Jadi kau bersedia mengantarku kesana?"

Ki Demang tertegun. Mata melirik ke arah Ki Jangkung. Kebencian mempengaruhinya. Dengan licik dia berkata.

"Aku tidak keberatan memenuhi permintaanmu ratu asalkan kau mau mengabulkan permintaanku!"

"Kau tawananku. Kau tidak berhak mengajukan tawaran apapunt" "Jika demikian aku lebih suka dibunuh!" "Apa yang ada dalam benak jahanam satu itu." Pikir Ki Jangkung curiga juga cemas.

Sang Ratu manggut-manggut. "Katakan apa  permintaanmu!"

Sambil tersenyum Ki Demang menjawab.

"Aku bersedia mengantarmu tapi aku minta kau bunuh lebih dulu Ki Jangkung Reksa Menggala.

Aku ingin melihat kematiannya sekarang juga!"

Walau telah menduga, tak urung Ki Jangkung merasa terkejut juga mendengar ucapan Ki Demang.

"Jahanam culas. Manusia licik. Semoga kelak kau dibakar oleh api neraka!" Geram Ki jangkung.

Mendengar makian bekas sahabatnya Ki Demang malah mengumbar gelak tawa. "Kau ingin melihatnya mati. Kululuskan permintaanmu sekarang juga!"

Berkata demikian, Ratu buaya melesat ke arah Ki Jangkung.

Gerakan cepat ini membuat si kakek tidak sempat menghindar selamatkan diri.

Tahu-tahu lima jemari tangan Ratu Buaya telah menempel lengket dikepala Ki Jangkung. Seiring dengan itu Ki Jangkung tiba-tiba merasa kehilangan seluruh tenaga kasar yang dia miliki. Ratu Buaya kerahkan tenaga dalam ke lima jemari tangannya.

Tangan bergetar.

Jemari tangan itu memancarkan cahaya purih berkilau disertai panas mengerikan lalu tiba tiba diangkat ke atas dan dihantamkan, tepat diatas batok kepala

Prak!

Ki Jangkung Reksa menggala menjerit setinggi langit seiring dengan pecahnya batok kepala. Darah keluar berhamburan namun segera lenyap begitu jatuh dilantai.

Si kakek ambruk menggelepar di lantai lalu diam selama-lamanya.

Melihat kematian Ki Jangkung walau atas keinginannya tak urung Ki Demang bergidik ngeri. Bagaimana bila hal itu berjadi pada dirinya?

"Permintaanmu telah kukabulkan Sekarang juga antar aku menemui Puteri Manjangan Putih" Tegas Ratu Buaya.

Ki Demang anggukkan kepala sambil mengusap tengkunya yang dingin.

*****

Atas petunjuk Tetua Pengasuh, penjaga utama yang berdiam di alam gaib, gadis berpakaian hitam dilapisi jalinan daun hijau itu dengan mudah menemukan tempat keberadaan Puteri Manjangan Putih yang berdiam di Istana Satu alam gaib.

Ketika hari berganti malam, si gadis yang bukan lain adalah Nila Seroja yang juga dikenal dengan sebutan Perawan Bayangan Rembulan telah sampai dibawah sebatang pohon raksasa berdaun lebat dan berbatang merah laksana darah.

Di bawah pohon itu Nila Seroja tertegun.

Sepasang mata yang terlindung topeng tipis kecoklatan menatap kesegenap penjuru arah.

Dia tidak menemukan tanda-tanda baik berupa dinding maupun pintu menuju ke istana misterius

itu.

Padahal Nila Seroja sudah terbiasa keluar masuk menjelajahi dunia tidak kasat mata, jadi

baginya antara alam gaib dan alam nyata hampir tidak ada bedanya.

"Bila Istana Satu memang berada disekitar sini seharusnya aku sudah melihat tanda-tandanya yang berhubungan dengan tempat itu. Lalu mengapa aku tidak melihatnya. Tidak terlihat tabir pelindung ataupun dinding pembatas dunia nyata dan dunia gaib. Haruskah aku kembali menemui Tetua Pengasuh Sapta Buana?"

Membatin sang dara dalam hati.

Baru saja dia berpikir demikian, tiba-tiba saja dikejauhan terdengar suara raung dan lolongan menggidikkan.

Tiba-tiba angin menderu, pepohonan disekitar pohon merah darah bergoyang keras.

Anehnya walau pepohonan disekitarnya bergoyang namun pohon besar tempat dimana Nila Seroja berdiri tidak bergerak.

Ini mengundang rasa heran dihati sang pembunuh berdarah dingin itu. "Yang lain bergoyang sedangkan yang satu ini tidak. Mengapa?"

Pikir Nila Seroja sambil dongakan kepala memperhatikan reranting, daun juga cabang pohon disebelah atas.

Tidak mau berpikir lama, gadis ini segera menarik nafas dalam-dalam.

Kemudian seperti suara raungan dan lolongan tadi terdengar kini diapun keluarkan suara yang sama.

Belum lagi suaranya lenyap, kali ini dari dalam diri Nila Seroja terdengar suara menderu dahsyat. Deru angin yang keluar dari sekujur tubuh gadis itu menyambar kesegenap penjuru arah.

"Cepat datang menyusul ke sini! Jangan terlambat?!" Serunya tak jelas ditujukan pada siapa.

Yang pasti hanya beberapa kejaban kemudian di tempat itu muncul tiga mahluk besar berbulu hitam yang tidak lain adalah tig anjing pengiring yang selama ini kerap membantu Nila Seroja melakukan segala kejahatannya.

Melihat kehadiran ketiga mahluk itu wajah dibalik topeng tersenyum dingin. "Mengapa kalian datang terlambat!"

Tegur Nila Seroja dengan sikap tidak senang. Tiga mahluk gaib yang bernama Rengga Buana, Cakra Buana dan Sekti Buana itu tundukkan kepala sebagai tanda permintaan maaf.

Seperti diketahui, mahluk-mahluk ini walau wujudnya seperti anjing namun sebenarrnya mereka dapat bicara selayaknya manusia.

Mahluk yang bernama Rengga Buana,mewakili dua temannya melangkah maju. Dengan lidah terjulur Rengga Buana berkata.

"Gadis yang mulia asuhan kami. Ketahuilah, keterlambatan kami bukanlah disengaja. Di tempat kediaman kita alam kehidupan Yang Terlupakan baru saja kedatangan tamu. Tamu itu membuat kekacauan yang sangat meresahkan kita semua."

"Dia menanyakan keberadaanmu" Sekti Buana Topeng menimpali.

"Kami berusaha menghabisinya, tapi tidak mudah!"

Terang Cakra Buana pula. Kemudian Rengga Buana segera menceritakan siapa pemuda itu dan bagaimana dia dengan mudah dapat menembus pintu alam gaib. Setelah mendengar semua penjelasan pengiring yang juga pengasuhnya, Nila Seroja kemudian berkata,

"Pemuda yang bernama Raja berjuluk Raja Gendeng 313 itu memang bisa menjadi ancaman bagi kita. Aku sendiri belum pernah mendengar namanya. Walau dia sangat berbahaya, aku ingin sekali bertemu untuk menghabisinya."

"Tapi kekuatan topeng serta kesaktian yang ku miliki rasanya masih kurang. Aku harus bisa mendapatkan Bunga Anggrek Mayat secepat mungkin dan memakannya.Dengan begitu kesaktianku bakal lebih hebat dari sekarang."

"Karena itu kita harus menemukan jalan menuju ke Istana Satu alam gaib." Ujar Sekti Buana.

"Bagaimana dengan tetua Pengasuhku. Mengapa beliau tidak ikut serta bersama kalian bertiga?" Tiga mahluk saling pandang.

"Tetua pengasuh tidak mungkin membiarkan kawasan kita kosong tanpa pemimpin, gadis yang mulia. Beliau tidak pernah meninggalkan tempat kediamannya sejak dulu. Semua urusan diserahkan dan dipercayakan pada kami."

Terang Cakra Buana.

"Kami akan membantu menyelesaikan semua masalahmu. Apapun persoalan serta hambatannya harap dibicarakan dengan kami."

Ujar Cakra Buana pula. Walau agak kecewa karena pengasuh utama tidak ikut untuk melaksanakan semua rencana, namun Nila Seroja segera menelan segenap rasa kecewanya dengan berkata kepada ketiga mahluk yang berada disampingnya.

"Pohon darah. Seperti yang kalian lihat kita telah berada dibawahnya. Konon jalan menuju ke Istana Satu ada disekitar pohon ini. Aku telah menggunakan kekuatan dan penglihatan batin yang paling tinggi untuk mengetahui keberadaan jalan atau pintu menuju ke Istana alam gaib tempat berdiamnya puteri Manjangan Putih. Tapi sejauh itu aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan jalan yang menuju kesana."

Kata Nila Seroja tampak kesal.

Tiga mahluk saling melempar pandang, lalu perhatian mereka tertuju ke arah satu-satunya pohon aneh yang bila ditoreh itu mengeluarkan cairan seperti darah.

Mahluk yang bernama Rengga Buana kemudian melangkah maju dekati pohon. Sejarak dua langkah dari pohon gerakan kakinya terhenti.

Ketika Rengga Buana mendekati pohon itu, ada desir angin aneh menerpa mulut, moncong juga tubuhnya dibagian belakang.

"Pohon ini, memang dari sinilah asal semua jalan menuju ke Istana Satu Alam Gaib. Aku harus merubah wujudku menjadi manusia."

Membatin Rengga Buana dalam hati. Disaksikan oleh dua teman dan gadis yang berada dibelakangnya, Rengga Buana kemudian julurkan dua kaki depan. Sambil menundukkan kepala hingga sejajar dengan kedua kaki depan Rengga Buana keluarkan suara lengkingan lirih. 

Kepala digoyang tiga kali. Gerakan itu dikuti dengan gerakan tubuh dibagian belakang. Wuus!

Dees!

Seketika itu juga sosok anjing hitam besar bermata merah lenyap. Sebagai gantinya didepan Nila Seroja dan dua anjing lainnya, berdiri tegak seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian serba hitam barwajah angker dipenuhi cambang bawuk lebat.

Melihat temannya telah bersalin rupa, Sekti Buana pun tak dapat menahan diri dan segera ajukan pertanyaan,

"Apakah kami berdua harus menjadi sepertimu juga?" Rengga Buana anggukkan kepala.

"Pintu Alam gaib menuju ke Istana Satu ada di pohon ini. Kita Toreh pohon ini, lalu bubuhi ujung jari tangan dengan darah masing-masing. Maka merahnya darah akan mengantar kita ke Istana yang dituju!"

Terang Laki-laki itu.

Selanjutnya kepada Nila Seroja dia memberi isyarat agar sang dara mendekat. Tanpa bicara gadis ini segera mendatangi.

Sementara itu ditempatnya berdiri dua mahluk segera lakukan apa yang baru saja dilakukan Rengga Buana.

Dua kaki dijulur lurus ke depan. Kepala ditundukkan hingga menyentuh kaki depan sebelah atas. Dari mulut masing-masing keluar suara menggereng.

Dees!

Sama seperti terjadi pada Rengga Buana, kedua mahluk itupun akhirnya berubah wujud menjadi dua laki-laki berkulit hitam bertelanjang dada dengan sekujur tubuh ditumbuhi bulu-bulu halus lebat.

Tidak menunggu lama Cakra dan Sekti Buana segera bergabung dengan mereka. Empat orang ini lalu acungkan jari telunjuk ke depan.

Empat mulut berkemak-kemik membaca mantra.

Setelah itu masing-masing mulut meniup kebagian ujung jemari. Tes!

Dari setiap ujung jari telunjuk keluar cairan merah yang tak lain adalah darah mereka sendiri.

Dengan dikuti oleh Nila Seroja dan dua orang lainnya Rengga Buana torehkan jari telunjuk tangan kiri ke batang pohon didepannya.

Goresan ujung jari tangan yang disertai pengerahan tenaga menimbulkan guratan panjang.

Dari batang pohon mengalir deras cairan seperti getah namun berwarna merah laksana darah disertai tebaran bau amis yang menusuk

"Satukan jari yang berdarah ke arah cairan yang keluar dari kulit pohon darah!" Rengga Buana berseru memberi aba-aba.

Tanpa berbicara lagi Nila Seroja, Cakra dan Sekti Buana segera mendekatkan jemari tangan yang memancarkan darah ke batang pohon yang mengeluarkan cairan merah.

Begitu darah dari jemari masing-masing bersentuhan dengan cairan batang pohon, terdengar suara letupan sebanyak tiga kali berturut-turut

Des! Dees! Dees! Byaar!

Empat pasang mata kini sama layangkan pandang ke arah pohon besar didepannya. Mereka sama terkejut walau sebelumnya telah menduga.

Di depan mereka tepat ditengah batang pohon muncul sebuah pintu dilapisi tabir putih diselimuti kabut menebar aroma harum bunga semerbak

"Ini adalah pintu gaib menuju Istana Satu tempat kediaman puteri Manjangan Putih.Mari kita segera menuju kesana. Kita harus cepat! Aku tidak mau Ratu Buaya Putih mendahului kita!"

Kata Nila Seroja.

Wajah dibalik topeng itu membayangkan rasa khawatir yang mendalam. Ketiga laki-laki itu anggukkan kepala. Mereka segera melangkah didepan dengan sikap melindungi Nila Seroja. Sekejab kemudian, Pintu alam gaib lenyap dengan sendirinya.

Sementara itu diluar sepengetahuan Perawan Bayangan Rembulan dan tiga mahluk pengasuhnya.

Tak jauh dikegelapan tepat dibalik semak belukar, satu sosok tubuh yang mendekam di tempat itu diam-diam terus mengawasi.

Dia yang datang lebih awal tentu saja melihat semua yang dilakukan oleh Rengga Buana dan Nila Seroja.

Sosok itu berupa seorang nenek berusia tujuh puluh tahun berambut disanggul, dia terlihat cantik selayaknya perempuan berusia empat puluh tahun.

Dia sengaja tidak mengambil tindakan apa apa walau Perawan Bayangan Rembulan dan para pengawalnya ada didepan mata.

Nenek cantik ini yang bukan lain adalah Nini Buyut Amukan atau lebih dikenal dengan sebutan Si Jubah Terbang ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis pembunuh dibawah pohon darah itu.

Sebelum pertemuannya dengan Resi Cadas Angin, di Lembah Batu pijar nenek tua ini menyadari bahwa cepat atau lambat keberadaan Bunga Anggrek Mayat bakal menjadi rebutan Ratu Siluman Buaya Putih dan juga Perawan Bayangan Rembulan.

Ratu buaya menginginkan bunga itu untuk melenyapkan kutukan yang membuatnya sengsara seumur hidup.

Sedangkan Perawan Bayangan Rembulan berusaha keras mendapatkan Bunga Anggrek Mayat untuk memperhebat ilmu kesaktian yang dia miliki.

Si nenek sadar.

Bunga Anggrek Mayat yang konon hanya berbunga setiap bulan purnama itu memang mempunyai banyak khasiat.

Menurut ceritanya Bunga Anggrek Mayat adalah satu satunya bunga kayangan yang pernah tumbuh dibumi.

Kini setelah mengetahui Nila Seroja dan para pengasuhnya berhasil menemukan dan menembus pintu gaib menuju ke Istana Satu tempat kediaman Puteri Manjangan Putih, maka Nini Buyut Amukan akan menyusul rombongan kecil itu untuk membantu melindungi Puteri Manjangan Putih.

Tetapi dia mendengar sang puteri mempunyai ilmu kesaktian yang sangat luar biasa.

Selagi si nenek berpikir apakah akan menyusul atau tidak, tiba-tiba saja dibawah keremangan cahaya bulan yang timbul tenggelam dipermainkan awan putih terdengar suara siulan dan senandung.

Suara senandung orang yang berrnyanyi itu tidak karuan ujung pangkalnya.

Kadang suaranya keras mendayu-dayu lalu tiba-tiba berubah perlahan disertai dengan ocehan tidak karuan. Nini Buyut Amukan gelengkan kepala sambil menggaruk rambutnya yang rapi terawat. Setelah itu dia meletakkan kedua tangan dipangkuan sementara mulutnya berucap.

"Malam malam begini ada orang menyanyi. Suaranya jelek sember bahkan kalah merdu dengan suara kentutku. Siapa dia? Apakah mungkin suara dedemit penunggu hutan?"

Baru saja Nini Buyut berucap demikian tiba-tiba dari jalan setapak tempat dimana suara orang bersenandung datang muncul seorang pemuda berambut gondrong sebahu berpakaian kelabu.

Di punggung pemuda itu tergantung sebilah pedang berangka dan berhulu emas.

Sementara dibagian hulu pedang terukir gambar burung Rajawali sedangkan rangka pedangnya berukir gambar seekor naga bercorak putih.

Melihat kilauan pedang serta ukiran pedang. Nini Buyut Amukan merasa jantungnya berdebardebar dan darahnya berdesir kencang.

"Baru sekali ini aku melihat pemuda gondrong bersuara seperti burung pelatuk tersedak. Dari ciri ciri pakaian serta pedang yang tergantung dipunggungnya, mungkinkah dia orangnya yang

disebut-sebut oleh Resi Cadas Angin sahabatku sebagai penolong yang membawa berkah. Kalau kulihat, kuamat-amati, tampangnya memang gagah tapi tingkah lakunya seperti orang gendeng alias gila. Kemudian..."

Nini Buyut Amukan diam sejenak. Setelah sempat berpikir sambil ketuk-ketuk keningnya Nini Buyut kembali lanjutkan ucapan.

"Aku akan menunggu, apa yang hendak dilakukan pemuda gendeng itu. Tidak perlu tergesa-gesa.

Siapa tahu dia termasuk kaki tangan Perawan Bayangan Rembulan."

Si nenek lalu manggut-manggut membenarkan pendapatnya sendiri. Nini Buyut Amukan kemudian kembali terdiam.

Sepasang mata dipentang, mengawasi setiap gerak gerik pemuda yang kini berdiri tidak jauh dari pohon Darah.

Si gondrong yang bukan lain adalah Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313 mula-mula menatap keadaan disekelilingnya.

"Sunyi-sunyi sekali. Rasanya seperti berada ditempat orang mati. Tak ada siapa-siapa, hanya pepohonan saja. Pohonnya besar-besar namun pohon yang satu Itu mengapa berwarna merah."

Kata Raja seorang diri.

Sekali lagi Raja matanya menatap ke arah pohon Darah penuh kagum "Hei sobatku! Bukankah ketiga mahluk itu melarikan diri ke arah sini?" Tanya pemuda itu ditujukan pada dua mahluk penghuni hulu pedangnya.

Desir angin berhembus. Ditelinga kanannya tiba-tiba terdengar suara mengiang.

"Mereka memang melarikan diri kesini. Mahluk mahluk itu bahkan dapat saya rasakan baru saja berada ditempat ini gusti. Saya juga dapat merasakan tanda-tanda kehadiran seorang wanita. Dari bau tubuh yang ditinggalkan kemungkinan besar perempuan itu adalah Perawan Bayangan Rembulan atau Nila Seroja..."

Mendengar suara mengiang yang disampaikan Jiwa Pedang, Raja tersenyum sambil menggarukgaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Kau rupanya sudah pandai mengendus membaui seperti anjing mencari jejak. Jiwa Pedang Hebat!"

Raja memuji namun mulut mencibir.

"Kalau benar-benar gadis itu dan tiga mahluk pengiringnya ada disini. Kira-kira saat ini mereka ada dimana?"

Belum sempat Jiwa Pedang menjawab. Tiba tiba terdengar suara mengiang ditelinga kiri Raja.

Dan kali ini suaranya adalah suara perempuan.

"Gusti, maafkan saya bila dianggap lancang bicara.." "Kau mau bicara apa, Sinta.?"

Tanya Raja pada Jiwa Perempuan yang namanya adalah Sinta Dewi.

Seperti telah sama diketahui, mahluk alam roh yang satu ini belum lama bergabung dengan Raja dan tinggal menetap di hulu pedang bersama Jiwa Pedang

"Menurut pendapat saya, orang-orang yang kita cari tidak pergi kemana-mana. Mereka ada didalam atau disekitar pohon ini."

Jelas Sinta. Raja terdiam.

Ada rasa heran membayang diwajahnya.

"Maksudmu Nila Seroja dan para pengasuhnya masuk kedalam pohon? Memangnya mereka setan sehingga bisa keluar masuk ke dalam batang pohon. Kau jangan mengada-ada, Sinta!"

Dengus Raja tidak percaya.

"Saya tidak berdusta, gusti, Saya mengatakan yang sebenarnya..." "Gusti"

Kata Jiwa Pedang.

"Tiga mahluk pengasuh itu memang bukan setan, tapi juga bukan yang dibeset dalamnya ketan atau palut. Saya dapat merasakan gadis pembunuh dan pengiringnya baru saja menggunakan pohon untuk menuju ke Istana Satu Alam gaib."

Menerangkan Jiwa Pedang.

"Heh, memangnya di dalam pohon ada jalan? Kau jangan bicara ngaco Jiwa Pedang. Penjelasanmu itu bisa membuatku tambah sinting."

Gerutu Raja sambil geleng-geleng kepala.

"Saya tidak bicara dusta, dan Sinta juga tidak berbohong. Yang ada di depan gusti ini namanya Pohon Darah. Pohon ini getahnya berwarna merah seperti darah. Dibalik pohon tersembunyi pintu rahasia alam gaib menuju Istana Satu alam gaib tempat berdiam Puteri Manjangan Putih!"

"Oh jadi pintu gaib menuju Istana Satu ada pohon ini. Orang-orang itu sudah memasukinya. Aku tidak mengerti mengapa Perawan Bayangan Rembulan menuju ke Istana Satu. Apa yang dicarinya?"

Tanya Raja.

"Mereka mencari Puteri Manjangan Putih. Konon hanya sang puteri saja yang tahu tempat bertumbuhnya Bunga Anggrek Mayat."

Terang Sinta

"Bunga Anggrek Mayat. Guruku dulu pernah mengatakan bunga yang satu itu adalah tanaman yang sangat langka, namun memiliki segudang khasiat dan kesaktian, Bunga itu bisa mendatangkan manfaat sesuai dengan keinginan orang yang memakannya. Jika manusia seperti Nila Seroja menginginkannya, berarti dia mencari Bunga Anggrek Mayat untuk menambah kekuatan yang dimilikinya.Sekarang saja dengan memakai Topeng Pemasung Jiwa diwajahnya dia sudah menjadi momok paling berbahaya dan paling keji yang pernah ada di rimba persilatan."

"Jika Bunga Anggrek Mayat sampai jatuh ke tangannya, rimba persilatan bisa dilanda malapetaka paling dahsyat."

Pikir Raja merasa sangat khawatir. "Gusti, kita harus menyusul mereka!"

Lagi-lagi terdengar suara mengiang ditelinga kanannya.

"Menyusul mereka? Bagaimana caranya, apakah harus melubangi pohon ini untuk masuk ke dalam mencari pintu gaib yang kalian maksudkan?"

Bertanya Raja disertai seringai. "Tentu saja tidak demikian gusti."

Sela Sinta sang jiwa perempuan yang menurut pengakuannya adalah seorang gadis cantik jelita namun kerap berbuat iseng dan kadang menjengkelkan

"Lalu bagaimana? Apakah kalian tahu caranya?"

Tanya pemuda itu sinis. Dalam alamnya yang tak dapat dilihat ditembus pandangan mata biasa, Jiwa Pedang dan Sinta yang ketika itu berdiri mengambang diatas tanah tidak jauh dari hadapan sang pendekar saling pandang

"Bagaimana kau tahu caranya tidak?"

Tanya Sinta ditujukan pada Jiwa Pedang. Walau tidak dapat melihat namun Raja dapat mendengar pembicaraan antara kedua mahluk alam roh itu.

"Aku memang belum tahu, tapi aku akan segera mencari tahu." Jawab Jiwa Pedang.

"Kau sendiri bagaimana?" "Aku lebih tahu bagaimana caranya membuka pakaianku terutama pakaian yang ada disebelah dalam. Hik hik hik!"

Jawab Sinta pula diiringi tawa tergelak-gelak.

Mendengar itu Raja merasa geli, namun dia sengaja menahan tawanya dan membentak. "Sinta... jangan bicara ngaco tak karuan disaat seperti ini. Aku memang orang yang suka

bergurau tapi gurauan konyol seperti itu tidak perlu ditunjukkan didepanku!" Dengus Raja. Jauh didalam hati dia berkata,

"Mahluk sinting satu ini selalu bicara seenak perutnya sendiri. Aku jadi ragu apakah dia masih perawan atau sudah kena dikerjai oleh bekas junjuingannya"

Sementara itu Jiwa Pedang yang kadang berseberangan pendapat dengan Sinta tiba-tiba berkata,

"Kegilaanmu sudah kelewatan gadis pemangsa segala yang bau. Jangan bicara melantur lagi.

Salah-salah aku bisa menampar mulut embermu pulang pergi." Lalu pada Raja dia berkata,

"Gusti. Ijinkan saya sebentar meneliti keadaan pohon Darah. Saya ingin mencari tahu rahasia apa yang tersembunyi dibalik pohon ini."

"Kau boleh melakukannya. Harap lebih hati-hati bersikap." Pesan Raja.

Jiwa Pedang anggukkan kepala.

Selain Sinta tentu saja sang pendekar tidak dapat melihatnya. Jiwa Pedang kemudian memutar tubuh halusnya.

Dengan gerakan ringan namun cepat dia berkelebat masuk ke dalam pohon Darah lalu lenyap dari pandangan Sinta.

Ditempat dimana si nenek mendekam.

Dia melihat segala gerak-gerik Raja yang dianggapnya aneh.

Tentu saja ini menjadi tanda tanya dihati Nini Buyut Amukan. Nenek cantik ini diam-diam membatin.

"Pemuda gendeng itu, dia bicara dengan siapa? Selain dirinya tidak kelihatan ada orang lain bersamanya. Betul betul gelo. Aku belum pernah melihat ada orang yang seaneh itu.Bicara sendiri, senyum-senyum dan tertawa sendiri. Apa dia gila sungguhan?"

Sekali lagi Nini Buyut Amukan layangkan pandang ke arah pohon Darah. Si nenek melihat Raja masih berdiri disana.

"Kudengar tadi dia menyuruh seseorang, entah siapa untuk melakukan penyelidikan. Dia pasti tengah mencari tahu pintu gaib menuju Istana Satu. Tapi aku sudah tahu walau cuma secara kebetulan saja! Biarlah, jika pemuda itu memang waras tidak sinting atau sedeng, aku akan memberi tahu caranya membuka pintu gaib yang tersembunyi di pohon itu."

Setelah berucap demikian Nini Buyut Amukanpun bangkit berdiri. Tak lama kemudian dia keluar dari tempat persembunyiannya, dan menghampiri Raja.

Sementara itu sang pendekar sendiri tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menunggu kembalinya Jiwa Pedang.

Sesiur angin lembut berhembus menerpa wajahnya. Tahu Jiwa Pedang telah berada di depannya Raja langsung ajukan pertanyaan.

"Bagaimana, apakah kau telah menemukan cara membuka pintu tabir yang menghubungkan ke Istana Satu?"

Sebagai jawaban Raja mendengar suara mengiang ditelinga kanannya.

"Gusti raja, saya dapat merasakan Pintu gaib memang berada didalam pohon. Tapi rasanya sulit bagi saya untuk membuka pintu itu."

"Jadi jalan menuju Istana Satu tidak dapat dibuka. Kalau demikian usaha kita untuk membantu menyelamatkan puteri Manjangan Putih dari kebinasaan menemui jalan buntu."

"Perawan Bayangan Rembulan....gadis pembunuh itu dengan leluasa bakal mendapatkan bunga yang menjadi incarannya."

Kata Raja agak kecewa.

Baru saja sang pendekar bicara seperti itu.

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa dibelakangnya. Secepat kilat sang pendekar memutar tubuh.

Menatap ke depan dia melihat seorang nenek berjubah hitam berdandan rapi berwajah cantik.

Jubah itu sangat mirip dengan sayap kelelawar, melebar pada kedua lengan hingga menyentuh tanah.

Merasa tidak mengenal siapa adanya nenek yang satu ini. Sambil bertolak pinggang Raja ajukan pertanyaan,

"Nenek cantik berpakaian hitam aneh mirip sayap kampret. Siapakah dirimu?. Mengapa berada disini malam-malam begini?"

Pertanyaan Raja membuat Nini Buyut Amukan hentikan tawanya.

"Pemuda edan! Kau sendiri siapa? Bicara seorang diri layaknya orang sakit ingatan. Sebetulnya kau ini waras atau gila?!"

Damprat Nini Buyut Amukan terkesan galak dan sengit.

Raja senyum-senyum tapi kemudian tak kuasa menahan tawa.

"Saya tidak gila, mungkin cuma miring sedikit nek. Apa nenek melihat saya bicara sendiri? Rasanya saya tidak sendiri, barusan. Cuma berbincang bincang dengan angin saja! Ha ha ha!"

Kata pemuda itu sambil tertawa lagi. Dan kenyataannya Nini Buyut Amukan memang tidak dapat melihat dua mahluk alam roh yang selalu bersama Raja.

"Benar-benar tidak waras. Angin diajak bicara. Jadi kau baru saja menyuruh angin untuk menyelidik?"

Tanya Nini Buyut sambil tatap wajah pemuda didepannya. Raja tersenyum, walau dalam hati terkejut tidak menyangka nenek itu mendengar apa yang dia ucapkan.

"Begitulah nek. Aku suka bicara dengan angin. Tapi buat apa dipersoalkan? Oh ya kau belum menjawab pertanyaanku nek."

Tiba-tiba Nini Buyut Amukan delikkan matanya

"Kurang ajar! Kau sendiri belum menjawab pertanyaanku!"

Dengus si nenek sambil tunjukkan wajah cemberut "Oh ya, aku lupa."

Raja terdiam sebentar.

Setelah pandangi nenek cantik itu dia melanjutkan,

"Aku yang bodoh ini bernama Raja.Orang biasa menyebutku Sang Maha Sakti Raja Gendeng 313...!"

"Oalaa...pantas.Jadi kau orangnya yang memiliki julukan aneh itu.Kau raja dari semua orang gendeng, orang gila. Atau kau....Jangan-jangan kau memang raja sungguhan atau setidaknya raja para monyet! Hik hik hik!"

"Ah mungkin saja aku raja monyet sedangkan kau nenek moyangnya para monyet!" Gurau Raja diselingi tawa mengekeh.

Nini Buyut Amukan tiba-tiba hentikan tawa. Walau ucapan sang pendekar dianggap keterlaluan namun dia suka dengan gaya bicara sang pendekar yang ceplas-ceplos.

"Raja Gendeng 313. Ketahuilah aku Nini Buyut Amukan bukan manusia sembarangan. Kau tengah berhadapan dengan salah seorang sesepuh rimba persilatan. !"

Belum sempat si nenek selesaikan ucapan. Raja tiba-tiba menyela,

"Nini Buyut Amukan. Memangnya kau doyan mengamuk nek?" "Diam. Biarkan aku selesai bicara!"

Bentak sang Nini meradang. Bentakan itu membuat Raja katubkan bibirnya rapat-rapat. Dalam hati sebenarnya dia tertawa geli melihat dandanan nenek cantik itu.

"Begini. Aku tahu, aku sudah mendengar kau berniat hendak menuju ke Istana Satu tempat kediaman puteri Manjangan Putih. Entah dengan siapa kau bicara aku tidak peduli. Yang jelas kau pasti tidak tahu bagaimana caranya menemukan pintu alam gaib yang tersembunyi di pohon Darah itu. Apakah yang kukatakan betul?" Tanya Nini Buyut Amukan. "Betul nek."

"Kau mengetahui orang yang kau cari masuk ke alam gaib melalui pohon ini?" "Kau betul lagi nek, kau hebat!"

Seru Raja lalu berjingkrak kegirangan.

"Pemuda sialan! Apakah tidak ada kata lain yang bisa kau ucapkan terkecuali kata betul?"

Damprat Nini Buyut Amukan dengan mata mendelik "Eeng...ada nek, betul itu sama dengan benarkan nek." Sahut sang pendekar polos.

"Betul-betul goblok. Apakah kau bisanya cuma bergurau?"

"Aku nek...tentu saja bisa bersikap macam macam. Aku memang ingin menyusul Perawan Bayangan Rembulan yang sedang menuju ke Istana Satu."

Jawab pemuda itu polos.

Si nenek manggut-manggut.

"Kepalamu mengangguk, bibir tersenyum apakah berarti kau tahu caranya nek?" Tanya Raja penasaran.

"Mengapa tidak? Aku berada disini sejak matahari belum tenggelam. Semula aku tidak pernah menduga pintu gaib menuju ke Istana Satu ada dipohon Darah ini."

Menerangkan si nenek

"Aku belajar dari mereka dan mereka tidak tahu aku berada disekitar pohon ini."

Dia pun kemudian menceritakan apa yang dilihatnya begitu Perawan Bayangan Rembulan sampai ditempat itu.

"Oh jadi pohon harus digores hingga mengeluarkan getahnya yang berwarna merah darah.

Kemudian dari jemari tangan kita juga harus dikeluarkan darah dan menyatukannya dengan getah pohon itu?"

Kata Raja. "Ya."

"Hanya itu saja nek. Gampang sekali tapi apakah tidak ada mantra-mantra tertentu yang diucapkan?"

Tanya Raja Gendeng 313 dalam keraguan. "Telingaku ini, kau lihat telingaku?"

Si nenek lalu sibakkan rambut yang menutup kedua daun telinganya.

"Wah daun telingamu ternyata lebar dan panjang seperti telinga gajah ya nek." Seru pemuda itu sambil berdecak kagum.

"Tidak percuma aku memiliki daun telinga seperti ini. Aku bisa mendengar suara orang bicara dari jarak ribuan tombak."

Terang Nini Buyut Amukan bangga.

"Lalu apakah kau mendengar Perawan Bayangan Rembulan mengucapkan sesuatu ketika hendak membuka pintu gaib menuju Istana Satu?"

Nini Buyut mengangguk

"Aku mendengar pengasuh Perawan Bayangan Rembulan memang membaca semacam mantra.

Dan aku ingat apa kata-kata yang diucapkannya."

"Bagus nek. Sekarang kita bisa membuka pintu alam gaib. Kau boleh tunjukkan caranya padaku!" Pinta Raja.

"Ikuti aku! Jangan berbuat atau melakukan tindakan yang tidak aku perintahkan. Jika kau melanggar perintahku, jangan menyesal bila nanti kau malah kesasar ke neraka."

Pesan Nini Buyut berbau ancaman.

"Neraka juga tidak mengapa. Kabarnya di neraka banyak gadis dan janda-janda cantik nek!" Gurau Raja sambil tersenyum.

"Oh pantas. Pemuda sepertimu ternyata mempunyai selera yang rendah!" Dengus Nini Buyut acuh.

Sama seperti yang dilakukan oleh Rengga Buana.

Nini Buyut Amukan menghampiri pohon yang berada didepannya. Tenaga dalam segera dia salurkan kebagian kedua belah tangannya. Jari telunjuk tangan kanan kemudian dia kibaskan ke udara.

Tees!

Seketika itu juga dibagian ujung jemari si nenek mengucur darah merah segar.

Melihat apa yang dilakukan si nenek, Raja Gendeng 313 juga melakukan hal yang sama. Tenaga dalam disalurkan,ujung jari telunjuk sebelah kanan ditiupnya satu kali.

"Darahnya sudah keluar nek, butuhnya banyak atau sedikit?" Tanya pemuda itu.

Si nenek tidak menjawab, sebaliknya mulut terlihat komat-kamit mengingatkan Raja pada burung yang baru saja selesai buang hajat.

Selesai membaca mantra dengan gerakan cepat luar biasa kini Nini Buyut Amukan segera gunakan kuku jari tangan kiri.

Ret! Craak!

Kulit batang pohon terkelupas membentuk alur panjang.

Segera cairan merah bau amis menebar memenuhi udara membuat perut sang pendekar bergelung mual. Begitu cairan merah mengalir dari pohon, si nenek pun segera kibaskan telunjuknya yang berdarah.  

Tindakan ini segera pula dilakukan oleh Raja. Butir-butir darah melesat menderu di udara, lalu menghantam tepat dimana cairan merah dipohon mengalir.

Begitu darah dan cairan pohon bersentuhan.

Seketika itu pula dari pohon Darah memancar cahaya merah benderang.

Cahaya merah melebar hingga membentuk sebuah pintu dipenuhi kabut putih tebal disertai menebarnya bau aroma harum semerbak.

"Pintu menuju ke Istana Satu terbuka. Sekarang saatnya bagi kita menemui puteri Manjangan Putih! Mudah-mudahan kita tidak keduluan Perawan Bayangan Rembulan dan para pengasuhnya!"

"Ayolah nek. Aku juga sudah tidak sabar ingin melihat bagaimana wajah puteri Manjangan Putih dan juga wajah Nila Seroja."

Nini Buyut Amukan hanya mendengus.Dengan langkah lebar dan langkahkan kaki memasuki pintu gaib itu.

Tidak mau ketinggalan Raja segera menyusul dibelakangnya. Sekejab saja kedua orang itu lenyap dari pandangan.

Seiring dengan lenyapnya nenek dan Raja Gendeng, pintu merah dipenuhi kabut itupun ikut lenyap.

*****

Sapta Buana adalah salah satu mahluk alam gaib yang wujudnya berupa sosok anjing hitam besar.

Di alam gaib atau Alam Kehidupan Yang Terlupakan dia adalah penguasa kawasan dan yang paling bertanggung jawab atas keselamatan hidupnya Perawan Bayangan Rembulan.

Mahluk ini lebih banyak berdiam diri ditempatnya dan jarang bepergian bersama Nila Seroja. Sejak kemunculan Raja yang berhasil memasuki wilayah kekuasaannya dia menjadi gelisah. Kini setelah Raja pergi.

Mahluk yang wujud aslinya adalah seorang kakek bertubuh kurus kering berwajah tengkorak tidak dapat lagi duduk tenang di atas singgasananya yang terdiri dari susunan tulang belulang.

"Dia seorang pendekar yang mampu mengetahui dan bahkan bisa memasuki pintu Alam gaib. Pasti pemuda berwajah tampan dan bertingkah aneh itu adalah pendekar sakti, dan kesaktiannya memang lebih hebat dibandingkan tokoh-tokoh rimba persilatan yang pernah kukenal."

Berkata Sapta Buana didalam hatinya.

"Aku telah merasakan kehebatannya. Jika bukan karena ilmu Tiupan Pandang yang kumiliki, tidak tertutup kemungkinan aku mengalami cidera hebat atau malah kehilangan nyawa.Tapi...dia tidak sendiri. Dia datang ditempat ini bersama mahluk mahluk yang tak dapat kulihat.Mungkin saja itu mahluk-mahluk halus. Mahluk gaib yang tingkatannya jauh berada diatasku."

Sapta Buana diam sejurus lamanya. Sambil memutar otak dia mengusap janggutnya yang meranggas seperti ijuk.

"Untuk memperoleh Bunga Anggrek Mayat yang dapat meningkatkan kesaktian Nila Seroja, kurasa tidak cukup menyerahkan tugas itu hanya kepada tiga mahluk pengiringku."

Berkata demikian si kakek berwajah tengkorak layangkan pandang ke arah sebuah topeng berwarna hitam yang tergantung di dinding tulang.

Orang tua ini kemudian berdiri dan berjalan menuju ke arah dinding dimana topeng berada. Sebelum tangannya terjulur menggapai topeng. Sapta Buana mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Tangan yang menyapu wajah lalu didekatkan pada topeng.

"Topeng Kematian. Siapa saja yang memakai topeng ini perilakunya berubah. Dia akan menjadi pembunuh yang paling hebat. Tapi topeng ini hanya mempunyai kesaktian terbatas. Topeng Kematian berbeda dengan Topeng Pemasung Jiwa. Topeng yang satu itu jauh lebih hebat. Orang yang memakai Topeng Pemasung Jiwa seluruh jiwa, raga, pikiran dan hatinya tak dapat berpaling dari tujuannya yang semula. Aku tidak perlu khawatir dengan keselamatan Nila Seroja. Kalaupun dia terbunuh Topeng Pemasung Jiwa bakal menghidupkannya kembali."

Kata Sapta Buana.

"Yang menjadi masalah saat ini, apakah aku perlu turun tangan membantu gadis itu mendapatkan Bunga yang dia inginkan sebab bukan hanya gadis asuhanku saja yang menginginkan Bunga Anggrek Mayat."

"Ratu Siluman Buaya Putih juga berhasrat pada bunga itu. Untuk apa Ratu Buaya menginginkan Bunga Anggrek Mayat? Apakah untuk menambah kekuatan, memperhebat ilmu atau. melenyapkan

kutukannya."

"Alasan yang ketiga lebih memungkinkan. Ratu Buaya yang aslinya adalah bidadari telah dikutuk para dewa. Jadi dia sangat ingin melenyapkan kutukan atas dirinya itu. Hemm, Ratu Buaya Putih bukan mahluk sembarangan. Aku tidak boleh diam saja dan membiarkan gadis asuhanku menemui banyak hambatan.Aku harus menggunakan Topeng Kematian, lalu tinggalkan tempat ini secepatnya!"

Setelah memutuskan demikian Sapta Buana raih topeng didepannya. Tidak menunggu lama topeng segera dikenakan diwajahnya.

Begitu bagian dalam topeng menyentuh wajah, seketika itu juga muncul kilatan cahaya merah, hitam dan biru pekat memenuhi seluruh penjuru topeng.

Sapta Buana menjerit keras karena terasa sakit yang luar biasa. Pancaran cahaya terus berlangsung.

Topeng hitam bergetar hebat bergerak menyesuaikan diri dengan bentuk wajah tengkorak si kakek, lalu melekat dan menyatu dengan wajah si orang tua.

Getaran lenyap seiring dengan meredupnya tiga cahaya yang memancar dari benda itu. Tanpa bicara orang tua ini kemudian melangkah menuju ke pintu.

Angin dingin berhembus ketika si kakek sampai dipendopo depan. Tiga kali Sapta Buana keluarkan suara raungan panjang.

Sejenak dia menunggu.Dikejauhan terdengar ratusan suara lolongan yang lain sebagai jawaban. Tidak sampai sekedipan mata ditempat orang ini berdiri telah dipenuhi mahluk-mahluk berbulu hitam yang tidak lain adalah ratusan anjing penjaga. Kawanan anjing segera jatuhkan diri, julurkan

kaki kedepan sebagai tanda penghormatan.

"Aku akan pergi dalam waktu yang tidak bisa kutentukan. Kalian harus menjaga kawasan yang menjadi kekuasaanku. Jangan biarkan seekor kecoak pun mengganggu ketenteraman tempat ini. Bila dalam dua pekan aku tidak kembali, berarti sesuatu yang buruk telah terjadi atas diriku. Sebagai gantinya siapa yang paling kuat diantara kalian dialah yang berhak menggantikan kedudukanku!"

Pesan Sapta Buana.

Kawanan anjing penjaga dongakkan kepala dan keluarkan suara lolongan sedih. Ratusan mahluk yang mengelilingi si kakek geleng kepala.

Agaknya mereka merasa sedih juga kaget mendengar ucapan pemimpinnya. Tapi Sapta Buana bersikap tidak perduli.

Sekejab dia angkat dua tangan dan menjunjungnya diatas kepala. Begitu kedua tangan bergerak turun lalu dikibaskan kesamping.

Seketika itu juga sosoknya berubah menjadi sosok seekor anjing hitam besar luar biasa, bermata dan berlidah merah sedangkan gigi-giginya runcing tajam dengan ukuran yang sangat besar.

Sapta Buana keluarkan suara melolong.

Sekali hentakkan kaki belakangnya seketika itu juga tubuhnya melesat melambung tinggi di udara.

Sapta Buana lenyap, kawanan anjing penjaga itu pun berkumpul bergerombol membentuk pertahanan.

*****

Dikeremangan temaram cahaya bulan.

Ki Lumut Adayana dan Bunga Jelita terus berlari menuju sebelah timur kali Opak. Sambil berlari sesekali Ki Lumut dongakkan kepala menatap bulan di langit.

"Aku harap bulan segera berlalu. Bila gelap dan bulan tidak muncul dilangit maka Perawan Bayangan Rembulan akan berhenti melakukan pembunuhan!" Kata Ki Lumut sambil berlari.

"Mengapa gadis itu hanya melakukan pembunuhan disaat munculnya bulan. Empat belas hari bulan bertengger diatas sana selama itu korban terus berjatuhan!"

Tukas dara jelita itu dengan nafas memburu. Patut diakui, dalam berlari Bunga memang agak tertinggal dibandingkan si kakek. Buktinya setelah hampir setengah harian berlari, tidak teriihat tanda-tanda si kakek kelelahan.

"Aku pernah memikirkan keanehan ini. Kemudian aku memperoleh kesimpulan bahwa kehadiran bulan sangat erat hubungannya dengan emosi emosi di dalam jiwa Nila Seroja. Aku yakin gadis itu sebenarnya gadis yang baik, tapi jiwanya berada dalam cengkeraman sebuah kekuatan jahat."

Terang Ki Lumut sambil menoleh kebelakang.

"Kekuatan jahat itu apakah datang dari para pengasuhnya ataukah dari Topeng yang selalu melekat diwajahnya?"

Bertanya Bunga.

Begitu sang dara cantik menyebut Topeng, serta merta Ki Lumut hentikan larinya. Dia berbalik menghadang Bunga membuat si gadis hentikan larinya.

"Barusan kau bicara apa?"

Tanya Ki Lumut ingin lebih memastikan.

"Apa maksudmu kek? Kulihat matamu terbelalak, mulut ternganga. Aku baru saja mengatakan bahwa gadis itu memang memakai topeng."

"Topeng...!" Gumam Ki Lumut.

Keningnya berkerut berusaha mengingat-ingat.

"Kau pernah mendengar tentang sebuah benda langka berupa topeng. Dan Topeng yang kumaksudkan bernama Topeng Pemasung Jiwa?"

"Aku pernah mendengar, namun belum pernah melihatnya. Menurut kabar dari pamanku siapapun yang memakai Topeng Pemasung Jiwa, maka hati, pikiran, jiwa dan raga orang yang memakainya berada dalam pasungan topeng itu. Dia menjadi budak dan topeng menjadi tuannya. Topeng pemasung jiwa bukanlah topeng biasa tapi merupakan benda sakti yang sangat berbahaya. Siapapun yang mengenakan topeng itu hatinya menjadi buta. Dia bisa membunuh siapa saja bahkan tega menghabisi orang tuanya sendiri."

"Dan kudengar itu telah dilakukan oleh Nila Seroja."

Sambut Ki Lumut

"Tidak kek. Kunti Seroja, ibu Nila Seroja dibunuh oleh tiga mahluk pengiring. Wujud mahluk alam gaib itu berupa tiga anjing besar berwarna hitam."

Terang Bunga Jelita. "Ah ternyata kau mengetahui lebih banyak dibandingkan diriku!" Kata Ki Lumut tersenyum sambil menggaruk kepala.

"Tidak semuanya saya tahu kek.Misalnya mengapa Nila Seroja terus menerus melakukan pembantaian itu juga aku tidak tahu."

Terus terang Bunga mengakui.

"Aku juga tidak dapat menduga apakah gadis itu sengaja membunuh untuk melampiaskan dendam kesumatnya dari masa lalu. Jika dia memang menyimpan dendam, mengapa begitu banyak orang yang menjadi korbannya? Sebenarnya berapa banyak manusia yang pernah melakukan kesalahan kepadanya?"

"Aku ini bukan orang pintar, tapi juga tidak tolol-tolol amat. Mungkin saja Nila Seroja menyimpan dendam pada seseorang. Tapi karena jiwa dan raganya berada dalam pengaruh Topeng Pemasung jiwa. Dia tidak dapat lagi membedakan mana yang salah dan mana yang benar."

"Lalu menurutmu bagaimana kek. Apa yang harus kita lakukan?" Tanya gadis itu kemudian.

Ki Lumut Adayana terdiam, kening kakek ini berkerut. Mulutnya komat-kamit bukannya sedang membaca mantra melainkan sedang berpikir. Sekejab kemudian diapun berkata,

"Aku telah mengetahui tentang riwayat hidup Nila Seroja. Dia terlahir akibat hubungan cinta hitam..."

Mendengar ucapan Ki Lumut, Bunga Jelita terperangah dan buru-buru menyela. "Tunggu kek. Kau mengatakan Nila Seroja terlahir karena cinta hitam?"

"Apa maksudmu? Apakah ada cinta yang hitam? Setahuku yang namanya cinta ya cinta suci, cinta karena nafsu, cinta karena melihat bentuk tubuh yang indah, ada juga cinta sejati."

Mendengar ucapan polos Bunga, Ki Lumut tersenyum. "Pengetahuanmu tentang cinta ternyata sedikit sekali. Kasihan." Ujar Ki Lumut dengan mulut terpencong.

"Cinta itu banyak macam dan ragamnya. Ada yang namanya cinta sesaat. Cinta seperti itu biasanya habis bercinta segera saling melupakan. Kemudian cinta kilat. Kalau yang ini sangat berbahaya karena begitu sedang bercinta langsung disambar petir. Ada pula cinta monyet. Kalau cinta monyet bercintanya dikebun yang banyak monyetnya. Lalu ada lagi cinta harta, cinta kedudukan dan ada pula cinta macan."

Urai Ki Lumut sambil tergelak

"Kau ngawur kek, ngaco. Tapi aku baru mendengar istilah cinta macan. Apakah ada artinya kek?" "Tentu saja ada.Cinta macan itu tidak lama berkenalan pasangannya langsung diterkam. Nah ada

lagi yang namanya cinta diam-diam, Kalau cinta diam-diam itu artinya tidak diketahui kapan menjalin cintanya tahu-tahu perempuannya sudah hamil besar. Ha ha ha." "Itu namanya banyak kerja dari pada bicara. Hik hik." Bunga Jelita tertawa terkekeh.

Beberapa saat lamanya keheningan malam dipecahkan oleh tawa kedua orang ini. "Masih ada lagi, yaitu namanya cinta tidak tahu diri...!"

Kata Ki Lumut ditengah gelak tawa. Tapi Ki Lumut tidak melanjutkan ucapannya karena Bunga cepat mengangkat tangan dan tempelkan jari tangan ke bibirnya yang merah ranum dan indah.

"Sudah kek, kau tambah ngaco tak karuan."

Sentak Bunga Jelita sambil pegangi perutnya yang terasa kaku akibat banyak tertawa. "Mengapa dilarang. Ki Lumut guru cinta sejati ini belum selesai mengurai semua istilah cinta..!" Bunga gelengkan kepala.

"Aku bilang tidak mau mendengarnya lagi. Masih banyak yang harus kita lakukan. Dan apakah kau tidak ingat bahwa saat ini dirimu juga sedang melakukan tugas."

"Tugas! Tugas apa?"

Bertanya si kakek yang mudah lupa itu sambil tatap wajah gadis didepannya.

"Dasar kakek pikun. Bukankah ketika bertemu denganku kau mengatakan ditugaskan oleh seseorang untuk membantu Ki Jangkung Reksa Menggala?"

Kata Bunga mengingatkan membuat Ki Lumut terperangah dan tepuk keningnya yang hijau dipenuhi lumut tebal.

"Ya ampun aku sampai lupa. Memang benar itu tugas yang harus kulakukan. Kalau demikian sekarang ini kita harus bisa menemukan Ratu Siluman Buaya Putih. Kita harus mencari tempat berdiamnya mahluk yang satu itu..."

"Tidak kek. Setiap siluman blasanya berdiam ditempat tersembunyi.Mungkin juga dibawah tanah.

Ratu Buaya kemungkinan juga berdiam dibawah air sungai. Mencari dan menemukan tempat tinggalnya jelas sesuatu yang tidak mudah. Tapi cepat atau lambat Ratu Buaya pasti akan keluar dari istana kebesarannya."

"Bagaimana kau bisa berkata begitu?"

"Aku ingat dengan Ki Demang Sapu Lengga." Kata gadis itu dengan mata menerawang.

"Ratu Buaya tidak mungkin menjemput dan membawa Ki Demang, jika tidak ada sesuatu yang sangat penting ingin diketahuinya."

Ucapan Bunga mengingatkan Ki Lumut pada riwayat bunga langka yang konon memiliki berbagai khasiat dan kesaktian.

"Mungkinkah Ratu Buaya juga ingin mendapatkan Bunga Anggrek Mayat?"

Gumam si kakek membuat Bunga Jelita terkejut sekaligus tatap wajah hijau si kakek "Bunga Anggrek Mayat. Apakah keberadaan bunga itu bukan cuma sebuah legenda, kek." "Kalau bunganya memang ada, berarti benar Ratu Buaya menginginkannya.Karena menurut yang aku dengar Ki Demang memang mengetahui tempat kediaman Puteri Manjangan Putih."

"Puteri Manjangan Putih. Apa hubungan puteri dari istana gaib itu dengan Bunga Anggrek Mayat?"

Tanya Ki Lumut Adayana tidak mengerti.

"Menurut pamanku, Puteri Manjangan Putih paling tahu dimana Bunga Anggrek Mayat itu tumbuh"

"Berarti Ratu Buaya Putih saat ini membawa Ki Demang kesana."

"Mungkin saja kek. Tapi kita tidak pernah mengetahui dimana jalan menuju ke Istana Satu tempat berdiamnya puteri Manjangan Putih itu."

"Hmm, ternyata cukup sulit." Ujar Ki Lumut bingung.

Dalam kebingungannya kakek itu mondar mandir didepan sang dara selayaknya orang yang kehilangan sesuatu. Dan tiba-tiba Ki Lumut hentikan langkah serta tunjukkan wajah gembira sambil berseru.

"Aha, mengapa tolol. Aku bisa minta bantuan Penguasa Pohon Sejati." "Pohon sejati, mahluk seperti apakah?"

Tanya Bunga tidak mengerti.

"Sudah kau diam saja. Aku harus memusatkan pikiran untuk melakukan tali sambung rasa..." Tapi baru saja Ki Lumut berkata demikian, Bunga Jelita tiba-tiba melihat ada cahaya hitam, biru,

merah melesat di ufuk langit sebelah barat.

Tiga Cahaya itu diikuti satu sosok anjing besar berekor panjang. "Lihat!"

Seru Bunga sambil menunjuk ke arah dimana sosok aneh itu melayang. Ki Lumut ikutan menatap ke arah yang ditunjuk.

"Cahaya dan anjing terbang diketinggian menuju ke arah barat. Mahluk itu. Sekarang aku ingat.

Mahluk dalam rupa seperti itu adalah penguasa sebuah kawasan Alam Kehidupan Yang Terlupakan. Hemm...gawat...!"

Si kakek terlihat cemas.

Wajahnya membayangkan rasa khawatir dan tampak tegang. "Ada apa kek? Sepertinya kau berubah kalut?"

"Ya, aku cemas sebab bukan hanya Ratu Buaya saja yang menginginkan Bunga Anggrek Mayat.

Tapi Nila Seroja juga ternyata mengincar Bunga Anggrek Mayat." "Mengapa kau beranggapan demikian?"

Tanya Bunga tambah tidak mengerti. "Sosok anjing hutan yang terbang melayang dengan tiga cahaya memimpin didepannya itu adalah mahluk pengasuh sekaligus mahluk yang paling berperan dengan segala kejahatan yang dilakukan oleh Perawan Bayangan Rembulan."

"Apakah mungkin saat ini mahluk itu sedang menuju ke Istana Satu?" "Mungkin saja."

Jawab Ki Lumut tanpa ragu Bunga Jelita kembali menatap ke arah barat. Mahluk dan cahaya yang menyertainya terilihat bergerak menjauh.

"Kalau demikian kita harus mengejarnya kek. Mahluk itu hampir tidak kelihatan. Sebelum kita kehilangan jejak cepat lakukan sesuatu."

Tukas Bunga Jelita panik.

Dia takut tak dapat mengikut sang mahluk yang semakin menjauh dari pandangan. Ki Lumut tersenyum.

Sambil menghadap ke arah barat si kakek busungkan dadanya lalu hirup nafas dalam-dalam. Nafas yang dihirup ditahan didalam dada, setelah itu dihembuskannya kembali.

"Aku sudah menyimpan bau tubuhnya di dalam alur nafasku. Tidak perlu khawatir, kita pasti bisa menemukan keberadaannya. Walau dia bersembunyi di liang kubur aku pasti dapat menjejakinya.

Sekarang kita pergi. Kau boleh bergelayut dipunggungku!"

Kata Ki Lumut. Dari balik kantong perbekalannya yang lumutan, si kakek keluarkan sepasang terompah butut.

Terompah segera dipasang dikedua belah kaki. Melihat ini Bunga tidak dapat menahan diri untuk bertanya.

"Buat apa terompah itu."

"Ikuti saja apa yang kuperintahkan tadi. Kau boleh bergelayut dipunggungku. Pegang yang erat jangan sampai terlepas. Kita akan menyusul mahluk itu dengan bantuan terompah saktiku ini."

Bunga Jelita terlihat ragu. Tapi hatinya penasaran.

Apa benar Terompah jelek yang dipakai Ki Lumut mempunyai kekuatan yang mengagumkan. Sang dara akhirnya menyingkirkan jauh-jauh keraguan hatinya.

Dia maju selangkah lalu ulurkan kedua tangan dibahu si kakek.

Baru saja dua tangan berpegang erat. Ki Lumut ayunkan kaki kanannya Wuus!

Seperti kilat terompah sakti itu membawa mereka melesat diketinggian lalu melesat deras menyusul sang mahluk yang sudah tidak terlihat Lagi.

****** Berbekal petunjuk yang diberikan Ki Demang Sapu Lengga, gadis berpakaian merah berambut panjang dengan mahkota kecil bersimbol buaya warna putih akhirnya sampai di Pohon Darah.

Ketika itu matahari belum muncul, keadaan terang-terang tanah.

Sang ratu yang sengaja datang hanya ditemani Ki Demang segera menarik orang tua itu.

Karena leher Ki Demang dibelenggu rantai besi maka ketika rantai dibetot Ki Demang pun jatuh tersungkur didepan kaki Ratu Buaya

"Kita sudah sampai ditempat tujuan, mengapa Ratu masih juga memperlakukan saya seperti anjing piaraan."

Tanya Ki Demang.

Suaranya datar dan parau tetapi dilubuk hati Ki Demang tiada henti menyumpah. Dendam kesumatnya pada gadis bidadari yang satu ini bukan kepalang.

Dia bahkan bersumpah, kapanpun dia mempunyai kesempatan untuk menghabisi Ratu Buaya pasti akan dilakukannya.

Ratu Buaya menyeringai memperlihatkan gigi giginya yang runcing putih tidak beraturan. "Kau telah kalah dan tidak akan pernah mampu menandingi kesaktianku."

"Segala kesombongan dan ilmu pemikat yang kau banggakan tidak laku didepanku. Dimataku kau jauh lebih hina dari anjing peliharaan. Tapi kalau kau mau berbakti dengan setulus hati membantu mendapatkan Bunga Anggrek Mayat mungkin aku akan berubah pikiran. Bisa saja aku berbalik menjadi mencintaimu dan memperlakukanmu selayaknya pangeranku!"

Ujar gadis cantik itu.

Dan ucapan ini tentu hanya dusta belaka. Sang Ratu sendiri sudah punya rencana.

Begitu mendapatkan Bunga Anggrek Mayat dia akan membunuh Ki Demang Sapu Lengga. Sementara itu Ki Demang sendiri tidak mudah termakan oleh janji-janji Ratu buaya begitu saja,

karena orang tua ini telah kenyang pengalaman dan banyak gadis cantik yang telah menjadi korban kebejatannya.

Niatnya semula ingin minta perlindungan pada Ratu Buaya dari kejahatan Perawan Bayangan Rembulan telah lama pupus.

Apa lagi dia sekarang sudah menjadi tawanan sang Ratu, Ki Demang jelas-jelas tidak punya pilihan.

Dia hanya menunggu kesempatan terbaik.

Kesempatan untuk meloloskan diri atau menghabisi Ratu Buaya Putih. "Sekarang apa yang ratu inginkan?"

Tanya Ki Demang sambil bangkit berdiri.

"Kau sudah tahu masih bertanya. Dimana jalan menuju ke Istana Satu?" "Jalan menuju ke istana itu ada di pohon Darah didepan Ratu!"

Terang Ki Demang dengan wajah dingin. Ratu Buaya menatap ke arah pohon berukuran luar biasa besarnya yang seluruh batang, cabang hingga daunnya berwarna merah.

"Pohon ini. Apakah kau sudah gila.!" Sentak Ratu Buaya kalap.

"Sebagai mahluk siluman Buaya Putih ternyata jalan pikiranmu sangat sempit. Jalan menuju pintu gaib itu bisa ada dimana saja, Dan pohon Darah ini adalah salah satunya, janganlah takut aku akan menipumu, karena aku sekarang adalah tawananmu!"

Kata Ki Demang penuh sindiran

"Aku tahu letak pintu alam gaib bisa dimana saja. Tapi aku juga tidak lupa bahwa kau ini manusia licik. Sekarang cepat mendekat kemari. Karena kau yang tahu cara membuka pintu gaib itu maka kaulah yang harus melakukannya!"

Perintah yang tidak disangka-sangka itu membuat Ki Demang kaget.

"Aku tidak mungkin melakukannya. Aku sudah tidak punya muka lagi bertemu dengan puteri Manjangan Putih!"

Ujar si orang tua. Ratu Buaya tersenyum.

"Segala masalahmu dengan puteri Manjangan Putih itu menjadi urusan dan tanggung jawabmu sendiri. Jika kau tidak mau melakukannya maka aku akan menghabisimu sekarang juga!"

Kata Ratu Buaya mengancam.

Selama malang melintang di rimba persilatan dan berpetualang mendapatkan gadis-gadis yang cantik, Ki Demang tidak pernah mengenal istilah takut mati.

Dia terlalu yakin dengan kehebatan yang dimiliki.

Namun setelah menjadi tawanan dan merasa tidak berdaya barulah dia menyadari betapa hidup adalah sesuatu yang sangat berharga.

Nilainya tinggi melebiihi kesenangan dan harta benda. Ki Demang pun menjadi cemas.

Bagaimana bila Ratu buaya benar-benar membuktikan ancamannya?

Dengan perasaan berat dan kemarahan dihati dia segera mendekat ke pohon Darah itu.

Sebelum tangan yang bebas bergerak dijulur siap membuka jalan pintu tabir dia menoleh menatap Ratu Buaya yang berdiri disebelah kirinya lalu ajukan pertanyaan,

"Apakah sekarang?"

"Kalau tidak sekarang kapan lagi!"

"Aku tidak mau keduluan Perawan Bayangan Rembulan!" Bentak Ratu Buaya ketus. Ki Demang tersenyum mengejek

"Mudah-mudahan gadis itu sudah ada disana dan telah mendapatkan Bunga Anggrek Mayat sehingga selamanya kau tidak dapat bebas dari kutukan para dewa!"

Buku!

Satu jotosan keras mendarat dibahu Ki Demang, membuat kakek ini jatuh terpelanting, namun segera bangkit lagi tanpa menghiraukan rasa sakit dibahunya yang serasa remuk

"Lakukan sekarang, kalau tidak aku segera menghabisimu!"

Lagi-lagi Ratu Buaya mengancam. Si kakek terdiam, namun dia segera lakukan Juga apa yang diperintahkan.

Dengan cepat sambil salurkan tenaga dalamnya yang tersendat diujung jari telunjuk kiri. Dia segera menggores batang pohon Darah.

Selanjutnya tangan kanan dia lukai dengan sekali gigitan. Jari telunjuk itu berdarah.

Melihat apa yang dilakukan Ki Demang, Ratu Buaya juga segera ingin ikut melakukannya. Dan Ki Demang masih berbaik hati dengan berkata,

"Jika kau ingin masuk kesana Ratu, kau memang juga harus menabur darahmu pada batang pohon Darah yang kutoreh. Kalau tidak kau bakal tertinggal disini dan aku yang masuk ke Istana Satu sendirian."

"Jika itu sampai terjadi kau bisa menunggu ditempat ini sampai tua, karena Puteri Manjangan Putih pasti bisa memaafkan dan melindungi diriku dari orang sepertimu!"

"Tua bangka tidak tahu diri, terima kasih kau telah mengingatkan." Dengus sang ratu.

Diapun lalu pancarkan darahnya ke bagian cairan pohon yang meleleh bekas torehan, Begitu getah pohon bersentuhan dengan darah.

Seketika itu pula terjadi suatu keanehan yang luar biasa.

Cahaya merah terang benderang memancar dari batang pohon itu membentuk sebuah alur pintu seukuran tubuh manusia dewasa.

Di balik pintu yang muncul secara aneh mengepul kabut tebal berwarna putih berkilau.

Bau harum menebar bersama munculnya pintu dan kabut

"Pintu gaib, jalan menuju ke Istana Satu telah terbuka.Sekarang terserah padamu!" Ujar Ki Demang.

Ratu Buaya sempat merasa ragu.

Bagaimana kalau semua yang dilihatnya adalah jebakan.

Maka tanpa bicara didorongnya Ki Demang menuju pintu gaib itu.

Setelah si kakek melangkah masuk, Ratu Buaya pun segera mengikutinya. Dalam sekedipan mata kedua orang ini pun lenyap.

Pintu alam gaib yang muncul dibatang pohon seketika raib. Bekas torehan pada batang pohon juga menghilang.

Sementara setelah melewati pintu gaib di pohon Darah.

Ratu Buaya kini dihadapkan pada sebuah jalan yang dipenuhi dengan berbagai jenis bunga indah yang sedang bermekaran.

Aroma semerbak wangi bunga itulah yang sempat tercium oleh Ratu Buaya ketika dia masih berada di depan pintu gaib.

"Dimana beradanya Istana Satu?"

Bertanya Ratu Buaya sambil menatap jalan dan hamparan tanah luas.

"Istana Satu berada di sebuah lembah. Bila kita terus berjalan mengikuti jalan ini, Nanti kita akan temukan tangga berbatu dipenuhi undakan menuju lembah yang kumaksud."

"Lembah? Aku tidak melihat adanya lembah!"

Sahut Ratu sambil layangkan pandang ke beberapa sudut penjuru. "Makanya jangan banyak tanya. Ikuti saja aku!"

Tukas Ki Demang yang memimpin di depan dengan perasaan sebal. Tanpa bicara lagi Ratu Buaya terus mengikuti Ki Demang.

Setelah cukup lama berjalan keduanya melewati tikungan jalan yang dilapisi bebatuan indah.

Batu-batu itu tidak lain adalah batu sapir yang bila berada di kehidupan manusia pastilah menjadi rebutan banyak orang.

Dari tikungan jalan yang terlindung lamping tebing dipenuhi bunga yang tumbuh merambat bergelantungan.

Lembah yang dimaksudkan Ki Demang terlihat jelas.

Sebagai orang yang pernah mendatangi tempat ini, Ki Demang tentu saja sangat memahami keadaan dilembah itu.

Tapi melihat keadaan lembah yang sekarang ini tak urung Ki Demang jadi tertegun.

Tidak seperti sebelumnya, Lembah ini tampak diselimuti kabut putih, hijau, biru juga hitam. "Lembah yang indah, sayang dipenuhi kabut aneh."

Menggumam Ratu Buaya Putih. "Apa nama lembah ini?"

Dalam cemas dan kekhawatiran Ki Demang masih bersedia menjawab pertanyaan sang ratu "Lembah Kebahagiaan! "

"Lembah kebahagiaan, nama yang indah kedengarannya. Tapi nanti bila kedatanganku tidak disambut dan keinginanku tidak dituruti. Barangkali lembah ini akan berganti nama menjadi nama yang tak kalah bagus yaitu Lembah Kesengsaraan." Habis berkata begitu Ratu Buaya tertawa tergelak menertawakan gurauannya sendiri.

Walau tidak menjawab, namun Ki Demang yang pernah merasa berhutang nyawa pada puteri Manjangan Putih jadi gemas dan geregetan.

Ki Demang terus mengayunkan langkah, kini dia dengan diikuti Ratu Buaya menuruni jalan bertangga menuju lembah.

Di tengah jalan sebelum mencapai dasar lembah, sementara ujung lembah masih berada dikejauhan dibawah sana, Ki Demang Sapu Lengga mulai gelisah.

Melihat tingkah Ki Demang selayaknya orang yang bingung, Ratu Buaya malah sebaliknya merasa curiga.

"Harap kau tidak melakukan sesuatu yang membuat kita celaka!"

Ratu Buaya mengingatkan.Digenggamnya ujung rantai panjang yang menghubungkan ke leher kakek itu.

Ki Demang merasakan ada aliran hawa panas luar biasa pada rantai yang menjirat lehernya "Ratu apa yang hendak kau lakukan? Kau mau menghabisi aku sekarang juga? Jika tidak datang

bersama apa kau kira Puteri Manjangan Putih mau menunjukkan dimana Bunga Anggrek Mayat berada?"

Dalam kemarahan Ki Demang menyeringai.

"Aku tidak harus membunuhmu. Tapi sedikit peringatan cukup bagimu agar kau tidak bersikap gegabah terhadapku."

Sahut Ratu Buaya ketus Kemudian perlahan-lahan dia menarik balik tenaga sakti yang disalurkannya dari rantai besi putih.

Ki Demang tertawa dingin. Dia melangkah lagi.

Sambil melangkah Ki Demang membuka mulut

"Lembah Kebahagiaan sepanjang yang kuketahui tidak pernah berkabut seperti ini.Apalagi kabutnya sampai membentuk beberapa alur warna."

Ucapan Ki Demang membuat Ratu Buaya terkejut.

"Apakah kehadiran kabut ini punya makna dan arti tertentu?" Bertanya sang ratu. Tanpa menoleh orang tua itu anggukkan kepala.

"Puteri pernah bercerita padaku. Bila lembah ini dipenuhi kabut apalagi kabutnya berwarma warni.Maka puteri tengah menghadapi persoalan besar. Biasanya persoalan itu datang dari luar. Dan sekarang firasatku mengatakan seseorang telah datang mendahului kita, ratu. Kau dan aku datang terlambat. Mungkin saja Perawan Bayangan Rembulan, sainganmu itu telah datang ke tempat ini lebih awal!"

"Jahanam keparat! Bagaimana bangsat itu bisa menembus memasuki wilayah ini!" Teriak Ratu Buaya meradang. "Aku tidak tahu!"

"Setan alas! Kau banyak bicara tapi lebih banyak tidak tahunya. Lekas ikuti aku. Apapun yang terjadi Bunga Anggrek Mayat harus kudapatkan, mengerti!"

Sambil berkata demikian Ratu Buaya hentakkan kakinya. Sekejab saja tubuhnya sudah berkelebat melewati Ki Demang.

Karena ujung rantai yang satu ada dalam genggaman gadis itu maka ketika Ratu Buaya melesat di udara seketika itu pula leher Ki Demang ikut terbetot.

Tidak ingin kepalanya tanggal terbetot rantai yang melingkar dilehernya, si orang tua terpaksa mengikuti Ratu Buaya sambil lontarkan caci maki sumpah serapah.

*****

Satu sosok putih besar melayang seolah terjatuh dari langit.

Hanya dalam waktu sekejab saja sosok itu jejakkan kaki dalam keadaan setengah berlutut dan menghadap ke arah pohon Darah.

Sosok berpenampilan serba putih, berkumis, berjanggut dan bersorban putih yang tak lain adalah Resi Cadas Angin lalu bangkit berdiri.

Setelah berdiri tegak sang Resi membuka matanya yang selama perjalanan selalu dalam keadaan terpejam.

Sesepuh penghuni Lembah Batu Pijar ini pun lalu layangkan pandang ke arah mana pohon berwarna merah tegak berdiri.

Setengah tak percaya dia menatap pohon itu. Dari mulutnya terdengar kata pujian,

"Kuasa dewa meliputi segalanya. Petunjuk telah menuntunku menemukan pohon ini. Terima kasih dewa, terima kasih pemilik langit dan bumi!"

Setelah mengucap demikian dengan wajah sedikit berseri Resi Cadas Angin dekati pohon.

Namun baru dua langkah dia mencapai pohon itu, dari arah pohon ada serangkum hawa dingin aneh menyambar tubuhnya.

Resi Cadas Angin terhuyung, namun tidak sampai jatuh.

Sambil mengucapkan doa-doa perlindungan, si kakek salurkan tenaga sakti kesekujur tubuhnya. Sekali lagi dari mulutnya terdengar ucapan.

"Wahai Pohon Darah, apapun kuasamu. Aku dan kau tetaplah mahluk ciptaan yang Maha Kuasa.

Aku datang bukan dengan membekal maksud jahat. Tujuanku adalah membuat dunia persilatan tenteram dan damai. Aku bukannya orang yang suka membuat kekacauan justru aku akan meredakan segala kekacawan yang terjadi. Jika kau mengerti ucapanku wahai pohon, biarkan aku mencari dan melakukan sesuatu terhadapmu. Berilah jalan yang mudah bagi tua bangka ini karena sesungguhnya saat ini keselamatan puteri Manjangan Putih dipertaruhkan!"

Setelah berkata demikian Resi Cadas Angin diam, lalu ulurkan tangannya ke batang pohon. Tidak terasa lagi ada hawa aneh menyambar

"Terima kasih."

Ucapnya ditujukan pada pohon.

Resi Cadas Angin kembali maju dua langkah.

Setelah berhadapan dengan pohon yang ukurannya empat pelukan orang dewasa, tangannya diangkat. Tangan itu didekatkan ke mulut, lalu dia meniup sebanyak tiga kali.

Asap tipis kelabu mengepul dari telapak tangan Resi Cadas Angin.

Tidak menunggu lama tangan kemudian disapukan ke batang pohon dengan gerakan mengusap dari atas ke bawah juga sebanyak tiga kali.

Seteleh itu kakek ini melangkah mundur sejauh dua tindak.

Tangan yang dipergunakan untuk mengusap kembali dipentang, dua mata yang teduh menatap telapak tangan dengan seksama.

Resi Cadas Angin tiba-tiba berjingkrak kaget. Dari mulutnya terdengar seruan pula.

"Ada tiga bercak, berupa tanda merah muncul ditanganku. Ini berarti sudah tiga kali pohon Darah didatangi orang. Berapapun banyaknya orang-orang itu mereka jelas-jelas telah berhasil menembus dan memasuki pintu gaib jalan masuk ke Istana Satu Celaka! Puteri Manjangan Putih dalam bahaya"

Kata si kakek kalut.

"Aku harus segera menuju kesana. Mudah-mudahan kedatanganku belum terlambat."

Baru saja sang Resi berkata seperti itu tiba-tiba dalam kegelapan diketinggian pucuk pohon terdengar suara raungan disusul munculnya cahaya merah, kuning, biru kehitaman.

Munculnya cahaya berbentuk seraut wajah itu disertai dengan bagian tubuh yang lain. Walau sosok bercahaya masih berada diatas ketinggian, namun Resi Cadas Angin sudah dapat melihat mahluk apa gerangan yang tengah bergerak turun menuju ke arahnya.

"Anjing Hitam. Yang datang adalah Tetua dari Alam Kehidupan Terlupakan. Ratusan tahun dia tidak pernah muncul ke dunia kehidupan manusia."

"Apa perlunya dia menyambangi tempat ini!"

Batin Resi Cadas Angin dengan hati bertanya tanya.

Selagi hati dan pikiran Resi Cadas Angin dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Pada saat itu pula disebelah atas terdengar suara lolongan panjang.

Sebagai orang yang sangat berpengalaman dan sedikit banyak mengetahui bahasa binatang, Resi Cadas Angin maklum suara lolong yang didengarnya mempunyai makna tidak bersahabat. Dugaan itu segera diikuti dengan gerakan matanya menatap ke atas.

Kekhawatiran Resi Cadas Angin ternyata tidak berlebihan.

Dari ketinggian mahluk berupa anjing besar itu ternyata melesat ke arahnya. Dua kaki disebelah depan diayun.

Kuku-kuku siap mencakar, sedangkan mulut lebar dengan gigi-gigi yang runcing tajam besar siap mencabik

"Mahluk kurang ajar! Aku mengenal siapa dirimu! Hiaa..."

Dengan kecepatan laksana kilat, si kakek hantamkan tangannya ke atas melepas pukulan sakti Tameng Bumi Menghalau Badai.

Bersamaan dengan gerakan tangan ke atas Resi Cadas Angin langsung melompat ke samping selamatkan diri.

Serangkum cahaya merah menyala berbentuk bundar disertai tebaran hawa dingin luar biasa menderu ke atas menyongsong datangnya sang mahluk yang siap menerkam.

Melihat si kakek melepaskan salah satu pukulan saktinya, sang mahluk yang bukan lain adalah penguasa kawasan Alam Kehidupan Yang terlupakan keluarkan suara menggerung.

Dalam kejutnya dia segera batalkan serangan, Dua kaki depan yang seharusnya mencabik bahu dan wajah Resi Cadas Angin kini dia dorong ke bawah.

Dua larik angin dahsyat bergulung-gulung melesat ke bawah.

Dua pukulan sakti saling bentur diudara menimbulkan ledakan keras berdentum dan guncangan keras.

Kepulan asap tebal dan serpihan bunga api bertabur memenuhi udara membuat keremangan disekitarnya berubah menjadi terang benderang.

Resi Cadas Angin yang lolos dari maut menyeringai.

Ketika memandang ke depan dia melihat sang mahluk jungkir balik tak karuan namun dapat jejakkan empat kakinya dua tombak di depan sang Resi. Kepulan asap lenyap.

Disana sini api yang bertebaran membakar dedaunan kering membuat suasana redup berubah jadi benderang.

Resi Cadas Angin menatap ke depan.

Keningnya berkerut ketika melihat kepala dan moncong anjing disebelah depan terlindung topeng hitam.

"Dia memakai topeng, tapi Topeng itu bukan Topeng Pemasung Jiwa sebagaimana yang membuatku resah selama ini."

Membatin si kakek.

Sang anjing menyalak garang. Sejauh itu sambil tetap bersikap waspada, Resi Cadas Angin tiba-tiba saja berucap.

"Mahluk hitam yang berjalan dengan empat kaki. Aku tahu siapa dirimu. Bukankah kau adalah Sapta Buana, penguasa kehidupan yang tak terlihat yang bernama Alam Kehidupan Yang Terlupakan. Mengapa kau lebih suka menampilkan diri dalam wujud mahluk yang menjijikkan dari pada menjadi dirimu sendiri!"

Pertanyaan itu membuat sang mahluk tersurut mundur.

Dia kaget tidak menyangka, kakek berambut putih ternyata mengetahui sekaligus mengenal siapa dirinya.

Sang mahluk pun kemudian jatuhkan diri.

Ketika kaki depan dan perutnya menyentuh tanah, seketika itu juga sosoknya raib menjelma menjadi seorang kakek berbadan kurus namun tinggi, berambut panjang hitam tidak terurus dan memiliki wajah mirip tengkorak

"Sudah kuduga, ternyata memang dirimu yang berada dihadapanku. Apa kabarmu kenalan lama. Kau sudah tidak betah lagi berada di alammu, lalu berkeliaran di dunia alam kehidupan manusia?"

Sindir Resi Cadas Angin disertai senyuman ramah. Si kakek yang memang Sapta Buana mendengus.

Sepasang mata yang kemerahan berada dalam cekungan rongga hitam menatap sang Resi dengan sorot dingin.

Ketika si kakek menjawab, suaranya yang serak parau terdengar angker menyeramkan "Aku tidak suka kau menyebutku kenalan lama, wahai Resi aneh."

"Pertemuan ini tidak pernah kuharapkan." "Aku juga berpikir demikian!"

Jawab Resi Cadas Angin.

"Lalu mengapa kau berada disini?"

Tanya Sapta Buana ketus. Resi Cadas Angin tersenyum.

"Pertanyaan itu lebih tepat kau alamatkan untuk dirimu sendiri. Dunia yang fana ini memang alam kehidupan manusia. Sedangkan kau selayaknya berada dialam gaib, karena memang disanalah tempatmu!"

Tegas si kakek.Ucapan si Resi membuat kakek wajah tengkorak membisu. Namun dia tidak mau membuang waktu. Tidak ada pilihan lain, Sapta Buana memutuskan untuk berterus terang.

"Berdebat denganmu tidak akan ada habis-habisnya.Tapi...baiklah kali ini aku mau mengatakan dengan sejujurnya bahwa kedatanganku ke tempat ini adalah untuk menyusul anak asuhanku bernama Nila Seroja."

Begitu kakek muka tengkorak menyebut nama gadis asuhannya, Resi Cadas Angin segera ingat dengan Kunti Seroja, perempuan malang yang telah terbunuh oleh tiga mahluk pengiring Perawan Bayangan Rembulan.

"Kau sepertinya terkejut aku menyebut nama gadis itu. Apakah kau mengenalnya?"

Pertanyaan Sapta Buana seolah membuka jalan bagi Resi Cadas Angin untuk mengungkapkan segenap ganjalan hatinya. Maka tanpa ragu lagi dia berkata,

"Nila Seroja, dia adalah gadis yang dilahirkan oleh seorang perempuan muda bernama Kunti Seroja. Anak itu terlahir bukan atas kehendak ibunya."

Kata Resi Cadas Angin sambil memperhatikan betapa wajah kakek tengkorak tampak berubah kelam.

"Dan anak yang kau asuh itu, dia terlahir dari hubungan Cinta Hitam. Sapta Buana tahukah kau maksud dari cinta hitam?"

Tanya Resi Cadas Angin. Karena kakek muka jerangkong tidak kunjung memberi jawaban, si kakek pun lanjutkan ucapan.

"Cinta hitam adalah cinta yang tidak pernah tumbuh dihati gadis yang menjadi pilihan lelaki yang menginginkannya. Gadis itu bersedia diajak bercinta karena pengaruh ilmu pemikat bernama Segala Rindu. Jadi jelasnya Kunti Seroja dinodai dengan cara yang halus secara berulang kali. Tahukah kau wahai Sapta Buana. Ibu gadis dalam asuhanmu bahkan sampai akhir hayatnya tidak pernah tahu bagaimana wajah laki-laki yang telah menidurinya dan memberinya seorang anak."

"Apapun yang kau katakan itu, jelas bukan aku pelakunya. Kau tahu itu!" Dengus si kakek jerangkong sinis.

Resi Cadas Angin tersenyum.

"Memang! Aku yakin memang bukan kau pelakunya. Pelaku yang sesungguhnya masih bebas berkeliaran disana. Tapi suatu saat kebenaran akhirrnya bakal terungkap juga. Cepat atau lambat laki-laki jahanam itu akan kutemukan. Tapi, Sapta Buana, satu yang sangat kusesali darimu...!"

Si Kakek jerangkong menyeringai. Ucapan Resi Cadas membuatnya merasa tersinggung. "Kau menganggap aku terlibat dalam semua urusan gila itu?"

Sapta Buana mengerang. Resi Cadas Angin menggeleng.

"Aku tidak mengatakan kau terlibat dalam urusan asmara gila. Tapi jelas kau telah mengambil Nila Seroja ketika Ki Demang Sapu Lengga hendak membunuhnya. Kau telah menumbuhkan rasa benci dalam diri gadis itu. Kau juga mengajarkan ilmu sesat, meracuni otaknya dengan pikiran jahat. Satu lagi yang tidak kalah pentingnya. Kau sengaja memasung jiwanya dengan memberinya topeng iblis bernama Topeng Pemasung Jiwa. Aku tahu Sapta, siapa saja yang memakai topeng itu.

Selamanya dia bakal menjadi budak topeng. Dia bakal melakukan kejahatan sampai akhir hayatnya. Aku merasa perihatin. Dan kau pastilah tertawa dialam kehidupanmu "

"Tawamu diatas penderitaan darah serta air mata orang-orang yang tidak berdosa!"

Mata Sapta Buana merah berkilat, pelipisnya yang terbalut kulit tipis bergerak-gerak. Dia marah karena kata-kata Resi Cadas Angin dianggapnya terlalu lancang dan menusuk kedalam relung kalbu.

Dengan suara menggembor dia menjawab.

"Resi Cadas Angin, lagak bicaramu seperti seorang pemuka agama. Kau tidak perlu mengingatkan aku dengan segala khotbah busukmu. Aku tidak punya waktu untuk melayani manusia sepertimu!"

Berucap demikian Sapta Buana segera balikkan badan bersiap membuka pintu gaib penghubung ke Istana Satu.

Diluar dugaan Resi Cadas Angin cepat melompat dan tahu-tahu telah berdiri antara dirinya dan pohon Darah.

Tindakan sang Resi karuan saja membuat Sapta Buana tambah marah. "Tua bangka tolol, kau hendak berbuat apa?!"

Hardik kakek muka jerangkong.

"Aku yakin Perawan Bayangan Rembulan telah memasuki gerbang ini dan sekarang sedang menuju ke Istana Satu. Kau hendak menyusulnya bukan? Tapi aku tidak mungkin mengijinkannya."

Ucapan Resi Cadas Angin membuat Sapta Buana jadi hilang kesabarannya. "Aku tidak bisa membiarkanmu berbuat seperti ini!"

"Jika demikian berarti salah seorang dari kita harus ada yang mati!" Sambut Resi Cadas Angin dingin.

Ucapan Resi Cadas Angin disambut tawa dingin oleh Sapta Buana.

Belum lagi gelak tawa kakek muka tengkorak lenyap, tiba-tiba saja dia kibaskan tangan kirinya ke depan.

Sementara tangan kanannya menderu mengarah ke bagian wajah.

Mendahului jotosan dan tamparan yang dikenal dengan nama Lambaian Iblis Tinju Setan membersit pula serangkum hawa panas dan hawa dingin.

Siapapun lawan yang terkena salah satu serangan itu, maka luka yang ditimbulkannya bisa membuat tubuh menjadi busuk.

Lawan bakal mati perlahan-lahan setelah seluruh tubuhnya leleh menjadi bubur. Resi Cadas Angin sangat maklum keganasan serangan kakek muka tengkorak. Namun dia juga termasuk tokoh sakti hebat.

Begitu kibasan tangan yang disusul jotosan menderu mengincar rusuk dan pelipisnya, dia menarik kaki kebelakang sekaligus sentakkan kepala menghindar dari jangkauan lawan.

Berbarengan dengan gerakan yang dilakukannya itu, dua tangan sang Resi yang telah dialiri tenaga dalam segera didorongkan ke depan menangkis kedua serangan ganas dengan menggunakan pukulan Perisai Dewa Menghalau Hujan.

Kehebatan serangan si kakek bukan cuma berguna untuk menangkis atau menghalau tapi juga sanggup melancarkan serangan balik dengan kecepatan serta kekuatan berlipat ganda. Dua tangan bergerak menangkis.

Cahaya putih menyilaukan mata memancar dari kedua tinju si kakek hingga ke sumsum tulang Sapta Buana.

Walau sempat terguncang namun kakek muka tengkorak ini tetap lanjutkan serangan sambil lipat gandakan tenaga dalamnya.

Benturan hebat tidak terhindarkan lagi Duuk!

Plak!

Kedua kakek sama keluarkan keluhan tertahan.

Seperti didorong oleh satu kekuatan luar biasa besar yang tidak terilihat. keduanya terpental ke belakang. Sapta Buana sempat terhuyung Walau tidak sampai terjatuh namun kedua kakinya nampak goyah. Lima tombak didepannya Resi Cadas Angin merasa lengannya yang beradu keras dengan tangan lawan serasa panas seperti terbakar.

Lengan yang terlindung lengan pakaian putihnya menggembung. Tapi Resi Cadas tidak kekurangan sesuatu apa.

Hanya wajahnya yang bersih sedikit pucat dan nafas mengengah.

"Kau cukup tangguh! Tapi jangan gembira dulu karena apa yang kau lihat hanya awal dari sebuah malapetaka yang bakal menimpa dirimu!"

Dengus Sapta Buana dingin namun hatinya penasaran tidak menyangka lawan dapat mematahkan serangannya.

"Aku tidak mau banyak bicara, Sapta...Gunakan seluruh ilmu yang menjadi andalanmu!"

Jawab Resi Cadas Angin tanpa maksud mengagulkan diri. Ucapan sang Resi dianggap sebagai sebuah penghinaan. Tidaklah heran sambil menggeram dan salurkan tenaga sakti kebagian tangan dan kaki Sapta Buana tiba-tiba jatuhkan diri. Begitu lutut dan kedua sikunya bersentuhan dengan tanah, muka tengkorak ini melompat.

Wuut!

Secepat kilat tubuhnya melesat ke arah Resi Cadas. Sang Resi terkesiap ketika melihat lawannya telah berada sejengkal didepannya. Dua tangan Sapta Buana menghantam sedangkan kedua kaki juga lakukan tendangan menggeledek.

Diserang dengan kecepatan seperti itu, Resi Cadas Angin yang sudah bersikap waspada masih sempat melompat kesamping sambil dorongkan kedua tangan dan kaki lawan. Sayang gerakan menangkis yang dilakukan oleh Resi Cadas Angin terlambat dibandingkan datangnya serangan. Tanpa ampun satu pukulan keras mendarat didada si kakek, sementara tendangan kaki kiri lawan mendera perutnya.

Tidak ubahnya seperti pohon besar ditebang, Resi Cadas Angin tergelimpang roboh. Dadanya serasa remuk, perut seakan hancur. Sambil menahan sakit luar biasa kakek ini segera menghimpun hawa sakti dan menyalurkannya kebagian dada dan perut. Dalam waktu sekejab Resi Cadas Angin segera pulih. Namun wajahnya terlihat pucat keringatan.

Selagi Sang Resi berusaha bangkit berdiri, lawan kembali menyerbu ke arahnya sambil berucap. "Resi Cadas Angin.Mungkin saja kau bisa lolos dari serangan Kodok Iblis Memukul Awan.Tapi kau

tidak bakal lolos dari Sayatan Pedang Iblis Menebar Maut!"

Demi mendengar teriakan Sapta Buana, Resi Cadas Angin segera memutar tubuh. Dalam keadaan duduk bersila dia menatap ke depan.

Kakek ini melihat dari sepuluh kuku jemari tangan lawan serta merta muncul selarik cahaya hitam bertepi merah berbentuk pedang yang memiliki ketajaman dikedua sisinya.

Sepuluh cahaya berbentuk pedang ketika melesat di udara segera berpencar tidak beraturan dan terus melesat mengincar sepuluh titik mematikan di tubuh si kakek.

Sang Resi katubkan bibirnya.

Dua tangan segera diangkat tinggi dijunjung diatas kepala. Sekejab kemudian kedua tangan diturunkan didepan dada.

Dua tangan yang terangkat selayaknya orang yang memberi penghormatan lalu didorongnya ke depan.

Satu pemandangan indah mengagumkan terpentang didepan Sapta Buana.

Dia melihat dua tangan yang didorong kedepan tiba-tiba berubah membesar dua puluh kali lipat dari ukuran yang sebenarnya.

Dari telapak tangan itu memancarkan keluar cahaya kuning berkilau melesat bertubi-tubi dengan hawa dingin sejuk.

Hawa dingin kemudian menghantam sepuluh pedang jejadian yang melesat dari kuku-kuku jemari Sapta Buana.

Dreeet! Krek! Byar!

Benturan antara sepuluh cahaya berbentuk pedang dengan cahaya emas dan hawa sejuk yang dipancarkan kedua tangan Resi Cadas Angin tidak dapat dihindari.

Terdengar suara benda berpatahan. Pijaran api bertabur kemana-mana.

Sapta Buana yang tadinya dalam posisi mengambang terpental sejauh lima tombak.

Walau dia terjatuh dengan dua kaki terlebih dulu menjejak tanah namun tubuhnya sempat limbung sementara sepuluh ujung jemarinya serasa remuk dan beku.

Ketika Sapta Buana tatap kedua tangannya, kakek tengkorak ini seketika belalakkan mata. Dia melihat betapa sepuluh kuku jemarinya yang runcing tajam hancur bergugusan.

Sementara jari itu berwarna kebiruan

"Keparat kurang ajar! Ilmu apa yang dipergunakan tua bangka satu itu?"

Geram Sapta Buana penasaran. Dia lalu tatap ke depan. Si kakek melihat pertapa kedua tangan Resi masih pancarkan cahaya kuning sementara kedua mata sang Resi dalam keadaan terpejam selayaknya seorang petapa sedang bersemedi

"Resi Cadas...!"

Teriak kakek muka tengkorak.

Didepannya sang Resi membuka mata, menatap ke arah kakek itu dengan sorot mata tajam namun teduh.

"Aku tidak tuli, mengapa kau berteriak?" Sambut Resi berwibawa.

"Kau sanggup mematahkan seranganku, bahkan jemariku membeku, kuku-kukuku hancur bergugusan, Bagaimana kau bisa menghancurkan Sepuluh Pedang Iblis milikku. Ilmu apa yang kau miliki?"

Tanya Sapta Buana penasaran.

"Ilmu Sepuluh Pedang Iblis adalah ilmu yang sangat ganas dan keji. Dan untuk mengatasinya aku terpaksa menggunakan jurus sakti Tapak Dewa. Jika kau tahu diri, sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sebaiknya batalkan niatmu menuju Istana Satu dan menyingkir yang jauh dari sini!"

Saran si kakek.

"Jurus Sakti Tapak Dewa. Bila dia menguasai jurus itu berarti Resi ini juga memiliki ilmu pukulan sakti Tangan Dewa Turun Ke Bumi! Dua ilmu yang benar-benar langka."

Membatin Sapta Buana terkejut.

Dia yang mengetahui kehebatan riwayat jurus dan pukulan langka itu sempat dibuat bimbang. Namun ketika Sapta Buana teringat pada Topeng hitam yang dikenal dengan Topeng Pembunuh.

Seketka itu juga rasa percaya dirinya pulih kembali.

Segera saja si kakek mengambil Topeng yang tersimpan dibalik pakaiannya. Topeng itu lalu dikenakan.

Begitu topeng berwarna hitam angker melekat manyatu dengan wajah tengkoraknya tiba-tiba topeng pancarkan cahaya hitam, merah, biru berkilauan.

Bentuk asli topeng segera lenyap menyatu dengan wajah Sapta Buana.

Melihat seraut wajah angker menggidikkan yang terus menerus pancarkan kilatan-kilatan cahaya, Resi Cadas Angin segera menyadari Sapta Buana telah dirasuki oleh kekuatan jahat yang bersemayam dalam diri topeng.

Dan yang lebih mengerikan lagi, pengaruh dan kekuatan topeng bisa membuatnya dua kali lebih tangguh dari sebelumnya.

"Aku akan membunuhmu, Resi. Berkat topeng ini aku bisa menggunakan senjata apa saja. Dan senjata-senjata yang kubutuhkan kini telah bertebaran memenuhi udara. Ha ha ha!"

Kata Sapta Buana diiringi gelak tawa. Resi Cadas tersenyum.

Dia memperhatikan udara disekelilingnya.

Namun dia tidak melihat satupun senjata yang dimaksudkan Sapta Buana.

Resi menjadi maklum, senjata yang disebutkan lawan pasti tak terlihat kasat mata namun memang ada disekitarnya

"Tangan Dewa Turun Ke Bumi. Seumur hidup, rasanya baru kali ini aku harus menggunakan ilmu pamungkas ini. Tapi karena kedahsyatan ilmu pukulan sakti itu.Aku juga harus melihat keadaan dulu. Kalau tidak terpaksa aku akan gunakan ilmu yang lain!"

Pikir Resi Cadas Angin penuh pertimbangan.

"Resi, kau akan kujajal dengan Pedang Mata Setan!"

Berteriak demikian, Sapta Buana segera lambaikan tangannya ke udara.

Hanya sekejab ditangan kakek muka tengkorak ini tahu-tahu telah tergenggam sebilah pedang berukuran besar dengan ujung lebih lebar dari pangkalnya.

Ditangan Sapta Buana pedang berwarna hitam itu memancarkan cahaya redup angker.

Dan ketika pedang diputar sebat terdengar suara bergaung aneh disertai tebaran hawa panas luar biasa.

Tanpa banyak bicara lagi Sapta Buana menyerbu ke depan sambil tusukkan pedang ke perut lawan,Resi Cadas liukkan tubuhnya.

Dengan jurus Walet Emas menari, si kakek bergerak lincah loloskan diri dari setiap sergapan senjata Sapta Buana.

Berkali-kali serangan pedang tak mengenai sasaran, Sapta Buana menjadi penasaran hingga dia pun melipat gandakan tenaga dalam dan mempercepat gerakan tubuh sambil menyerang tubuh lawan disebelah bawah dengan tendangan beruntun.

Resi Cadas terpaksa melompat mundur, lalu dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh orang tua ini kembali merangsak ke depan.

Tangan kiri mencari sasaran dibagian rusuk, sedangkan tinju tangan kanan menderu menghantam wajah lawannya.

Sayang selagi tinju menderu mengincar wajah.

Dari wajah lawan yang terlindung topeng menyambar cahaya berwarna warni ke arah tangan si kakek.

Kaget karena tak menyangka topeng dapat menyerangnya, Resi Cadas buru-buru batalkan serangan.  

Sambaran cahaya luput mengenai sasaran namun masih sempat menyambar sorban putih disebelah atas hingga sorban hangus mengepulkan asap.

Si kakek segera lepaskan sorban dan coba padamkan api yang membakar sorban ini. Kesempatan sesaat ini dipergunakan Sapta Buana untuk kibaskan pedang ke bahu lawannya. Angin dingin menyertai berkelebatnya senjata itu.

Melihat serangan datang siap membelah bahunya, Resi Cadas melompat ke samping.

Dia berhasil selamatkan sorban dari kobaran api tetapi tak urung pakaian disebelah dada robek besar disambar ujung pedang.

Melihat lawan hanya mengalami luka goresan.

Sapta Buana segera memutar tubuh dan kini dia bacokkan pedang kekepala lawan yang tidak lagi terlindung sorban.

Resi Cadas Angin menggeram.

Sambil salurkan tenaga dalam ke ujung sorban dalam genggaman dia kebutkan sorban putih ke arah pedang.

Beet! Ret!

Seketika ujung sorban melibat pedang.

Begitu disentakkan pedang terlepas dari tangan Sapta Buana. Melihat senjatanya terlepas, Sapta Buana kembali menggapai udara.

Tiba-tiba saja ditangan Sapta Buana telah tergenggam senjata lainnya berupa cambuk dan celurit besar.

"Cambuk Pelenyap Raga dan Celurit Pemenggal Kepala!" Desis Resi Cadas Angin dalam hati.

"Bagalmana dua senjata laknat itu bisa berada di tangannya?"

Pikir si kakek yang mengetahui riwayat kedua senjata itu. Tapi tidak ada kesempatan bagi Resi Cadas Angin untuk berpikir lebih lama.

Dia melihat cambuk sudah diayun membelah udara sedangkan celurit besar telah pula menyambar ganas ke tubuhnya dengan mengikuti ayunan cambuk

"Wuuus!"

Hantaman cambuk menghantam pohon besar dibelakang Resi Cadas Angin. Terdengar ledakan dahsyat disertai suara bergemuruh ambruknya pohon.

Baru saja luput dari serangan pertama, celurit menderu kekepala si kakek.

Tidak ada cara lain, si kakek pun terpaksa jatuhkan diri sama rata dengan tanah.

Dia selamat namun rambut panjang si kakek yang berwarna putih laksana perak terbabat putus. Tanpa menghiraukan rambutnya yang bertebaran diudara Resi Cadas Angin bergulingan menjauh. Tapi lecutan ujung cambuk bermata tajam seperti sengat kalajengking terus mengejarnya.

Di tangan Sapta Buana cambuk itu berubah seolah ular ganas yang hidup. Secepat apapun Resi Cadas berusaha selamatkan diri.

Tak urung ujung cambuk tetap menyengat kaki kirinya. "Uarkh..."

Si kakek menjerit kesakitan.

Tusukan ujung cambuk serasa bara panas yang ditusuk ke daging. Si kakek limbung, darah mengucur dan ini membuat lawan tambah bersemangat untuk menghabisinya.

Dengan sekali lompat tahu-tahu Sapta Buana telah berada dua langkah di depan lawannya. Resi Cadas Angin menggembor murka, namun segera lambungkan tubuhnya ke udara membuat tebasan celurit ke punggung maupun sabetan cambuk hanya menghantam angin.

"Pengecut sialan! Bisamu Cuma melompat lompat seperti monyet buduk!"

Seru Sapta Buana sambil dongakkan kepala ke atas. Seringai penuh kemenangan yang menghias wajah Sapta Buana mendadak lenyap ketika melihat betapa diatas sana Resi Cadas Angin dengan kaki diatas dan kepala menghadap kesebelah bawah telah melesat ke arahnya.

Yang membuat Sapta Buana terkejut.

Dua tangan lawan yang dipentang lurus telah berubah membesar seukuran badan gajah. Dan tangan itu kini pancarkan cahaya putih perak.

"Dia menggunakan pukulan sakti Tangan Dewa Turun Ke Bumi, kepa...!"

Belum sempat Sapta Buana selesaikan ucapan, Dan selagi kakek Ini dibuat terkesima dengan mulut ternganga. Dua tangan yang berubah menjadi luar biasa besar itu telah menghantam tubuh dan kepalanya.

Brees! Greek!

Hantaman pukulan Tangan Dewa Turun Ke Bumi membuat tubuh Sapta Buana remuk dan amblas sedalam pinggang orang dewasa. Ditanah terdapat cap bekas telapak tangan dan sepuluh jemari Resi Cadas Angin yang besar luar biasa.

Resi Cadas Angin segera jejakkan kaki. Dua tangan yang terbenam segera ditarik lepas. Dalam keadaan seperti itu ukuran tangan lima puluh kali lebih besar dari tubuh sang Resi.

Namun setelah si kakek kibaskan kedua tangannya dalam seketika ukuran tangan kembali ke bentuk semula. Resi Cadas Angin menghela nafas sambil seka wajahnya yang bermandikan keringat.

Sejenak kemudian dia julurkan kepala, menatap ke arah dua lubang menganga bekas telapak tangannya sendiri.

Dia melihat tubuh Sapta Buana yang gepeng terdapat pada salah satu lubang itu. "Semoga kau tidak pernah muncul lagi di dunia ini!" Kata Resi Cadas.

Setelah berucap demikian.

Si kakek segera dekati pohon Darah.

Orang tua satu ini ternyata sudah tahu bagaimana caranya memasuki dan menemukan tabir pintu gaib yang menghubungkan ke Istana Satu. Resi Cadas Angin menggurat batang pohon hingga mengeluarkan cairan merah seperti darah.

Setelah itu dia melukai telunjuknya sendiri. Ketika darah menetes dari telunjuknya.

Dia segera taburkan darah ke atas cairan yang keluar dari guratan di pohon. Cees!

Byar!

Sekonyong-konyong didepan Resi muncul cahaya merah berupa pintu seukuran tubuhnya.

Ditengah pintu ada kabut putih memenuhi segenap sudut. Setelah mengucapkan sesuatu dia pun melangkah melewati pintu itu.

Si kakek raib, pintu gaib itu juga ikut lenyap. Sepeninggalnya Resi Cadas Angin.

Di dalam lubang bekas telapak tangan kiri si kakek, tubuh remuk Sapta Buana tiba-tiba bergerak-gerak.

Dimulai dari tangan, kaki juga sekujur badan.

Kemudian terdengar suara keluhan disertai munculnya pancaran cahaya warna warni dari topeng yang ikut melesak bersama wajah orang tua itu. Pancaran cahaya menyapu sekujur tubuh yang tidak utuh itu.

Tebaran asap berbau amis memenuhi penjuru lubang.

Tebaran asap disusul dengan berkeretekan bersambungnya tulang-belulang membentuk wujud yang utuh.

Tubuh yang remuk segera utuh seperti semula lalu menggeliat bangkit.

Selayaknya orang yang baru bangun dari tidur yang lelap, Sapta Buana membuka matanya. Sejenak dia tertegun, memandang kesekelilingnya yang sunyi.

Penasaran dia memandang kesekeliling karena tidak dilihatnya lagi Resi Cadas Angin. Dari mulutnya menyembur sumpah serapah dan caci maki.

"Tua bangka itu tidak bisa membuatku mampus! Berkat Topeng Pembunuh itu aku bisa pulih dan hidup lagi. Manusia tolol, andai dia tahu harus melucuti topeng hitam lebih dulu maka mungkin aku sudah tidak bisa bangkit dan hidup kembali!"

Sapta Buana keluar dari lubang. "Aku butuh waktu untuk memulihkan diri dengan kembali pulang ke Alam Kehidupan Yang Terlupakan!"

Setelah berkata demikian Sapta Buana hentakkan kedua kakinya. Seketika itu pula tubuhnya melesat diketinggian.

Dalam perjalanan pulang dia bersumpah akan membuat perhitungan dengan Resi Cadas Angin.

*****

Udara sejuk serta aroma harum semerbak dari bunga-bunga yang sedang bermekaran menyambut kehadiran Nila Seroja di lembah itu.

Setelah melewati tengah malam, cahaya bulan empat belas hari mulai bergeser dilangit sebelah barat.

Nila Seroja alias Perawan Bayangan Rembulan yang berjalan paling depan dengan diringi tiga mahluk pengasuhnya tiba-tiba hentikan langkah.

Memandang ke depan ke arah kejauhan, gadis ini melihat sebuah lembah hijau.

Di tengah lembah terdapat sebuah bangunan kokoh yang bentuk dan bangunannya mirip dengan candi Prambanan.

Di menara bangunan itu ada kerlip cahaya terang yang berkedap kedip laksana kunang kunang.

Di bagian lain bangunan tepat disudut sebelah timur terlihat pula cahaya benderang.

Nila Seroja menduga kemungkinan cahaya itu datang dari sebuah kamar yang ditempati oleh puteri yang mereka cari.

"Satu-satunya bangunan yang terlihat di kawasan ini hanyalah yang berada di lembah itu!" "Mungkinkah bangunan yang kita lihat adalah Istana Satu tempat berdiamnya puteri Manjangan

Putih?"

Bertanya Sekti Buana salah satu mahluk berwujud anjing.

"Aku tidak bisa memastikan, mungkin saja benar itu adalah Istana Satu!" Sahut Nila Seroja.

"Jika demikian kita bisa kesana sekarang juga. Kita tidak perlu menelusuri jalan menuju lembah.

Kita menggunakan cara biasa!" Kata Rengga Buna.

Sang dara mengangguk.

Dua mahluk lainnya mengangguk pula.

Tanpa banyak bicara Nila Seroja memutar tubuh tiga kali dikuti oleh pengiringnya. Wuuus!

Empat sosok tubuh berubah menjadi pusaran angin. Secepat kilat empat pusaran angin melesat diudara.

Hanya dalam waktu sekedipan mata pusaran angin itu telah sampai dilhalaman bangunan megah yang bukan lain adalah Istana Satu.

Pusaran angin berhenti.

Empat sosok tubuh jejakkan kakinya masing masing. Suasana sunyi dan lengang terlihat diseluruh penjuru bangunan.

Tidak adanya penjaga menimbulkan tanda tanya dihati Nila Seroja. "Istana seluas ini mustahil tidak ada penjaganya!"

Ucap gadis itu heran.

"Lihatlah, ada tulisan besar di gerbang pintu Istana. Tulisan itu berbunyi Istana Kebahagiaan' Hmm, pantas. Tidak ada kejahatan ditempat yang diberkahi dengan kebahagiaan. Aku tidak heran mengapa tidak ada pengawal dan penjaga berada disekitar sini!"

Ujar Sekti Buana.

"Jika demikian, dimana Puteri Manjangan Putih berada? Mungkinkah dia bersembunyi didalam istananya. Ataukah dia memang tidak tahu ada tamu datang menyambangi?"

Ujar gadis yang tidak pernah menanggalkan topengnya itu.

"Hus!, kita bukan tamu Nila. Kita hanya orang yang tidak diundang. Kita datang kemari untuk mengambil Bunga Anggrek Mayat, pemilik tempat bakal marah bila tahu kita ini adalah

mahluk-mahluk yang suka memaksakan kehendak." Gurau Rengga Buana. Sang dara mendengus.

Gurawan sang pengasuh sama sekali tidak digubrisnya. Nila Seroja kemudian bahkan berucap ditujukan pada Cakra Buana,

"Aku mau salah satu dari kalian segera melakukan penggeledahan. Dan yang kupercaya untuk melakukan semua itu adalah Cakra Buana."

"Walau kedudukanku lebih tinggi darimu, namun aku selalu menjunjung dan menghormati keputusanmu. Perintah segera dilaksanakan. Yang lain harap berjaga-jaga dari segala kemungkinan terburuk!"

Berkata Cakra Buana lalu segera merubah wujudnya menjadi seorang kakek bertubuh jangkung berkulit kecoklatan dipenuhi bulu lebat. Sebelum melesat memasuki pintu yang tertutup Cakra Buana gerakkan tangan di udara.

Sekejab kemudian ditangan kakek itu telah tergenggam sebilah tombak berbentuk aneh. Mata tombak melengkung seperti bulan sabit.

Gagangnya berwarna hitam.

Dibagian pangkal dan ujungnya masing-masing terdapat satu mata tombak. Cakra Buana melirik pada gadis disampinginya. Nila Seroja anggukkan kepala sebagai tanda merestui. Namun belum lagi kakek itu bergeser dari tempatnya, tiba-tiba saja terdengar suara denting alunan kecapi dari dalam istana. Mula-mula suara alunan kecapi demikian merdu, tapi semakin lama suara itu semakin meninggi tidak beraturan membuat kepala serasa mau pecah dan telinga seakan tuli.

Sadar orang menggempur mereka dengan alunan kecapi.

Nila Seroja, Cakra Buana dan dua pengiring lainnya segera kerahkan tenaga dalam untuk melindungi telinga mereka dari pengaruh getaran aneh dari suara itu.

Seiring dengan makin meningginya suara yang terdengar, Rengga dan Sekti Buana terpaksa merubah wujud menjadi dua orang kakek pula.

Kemudian sambil menyumbat lubang telinga masing masing keempat orang ini gabungkan kekuatan dan berbarengan keluarkan teriakan melengking.

Istana Kebahagiaan terguncang hebat laksana dilanda topan prahara. Udara dipenuhi oleh debu dan pasir yang berterbangan.

Daun-daun dan reranting pohon hancur berguguran.

Kedua kaki Nila Seroja amblas sedalam mata kaki akibat beradu keras dengan tenaga dalam yang datang dari kecapi. Ketiga kakek yang wujud asalnya anjing itu menyadari mereka bisa mendapat celaka akibat bentrok tenaga sakti, segera lipat gandakan tenaga dalamnya.

Mereka tidak lagi menghiraukan kaki mereka yang amblas ke tanah hingga sedalam lutut. Sekali lagi mereka berteriak.

"Hiaaaaa...!

Karena teriakan itu keluar dari empat mulut sekaligus, maka akibatnya sungguh luar biasa. Angin laksana topan menderu dahsyat menghantam Istana Satu atau Istana Kebahagiaan sehingga membuat bangunan serba putih terguncang namun tidak mengalami kerusakan berarti.

Di udara suara teriakan dan suara denting kecapi saling tindih menindih. Agaknya karena dikeroyok oleh empat orang sekaligus, tiba-tiba terdengar suara senar-senar yang putus.

Tang! ting! tung!

Denting suara kecapi lenyap. Empat orang yang ada dihalaman terhuyung namun segera menarik kaki masing-masing yang terpendam di tanah. Tiga kakek pengiring Nila Seraja mengusap dada masing-masing yang mendenyut sakit.

Menatap ke bawah mereka sama belalakkan mata ketika mendapati celana mereka robek seperti dicabik.

Jelas pakaian itu hancur akibat pengaruh getaran suara kecapi. Hanya Nila Seroja yang tetap berdiri tegak. Pakalan yang melekat ditubuhnya tidak rusak. Bahkan daun hijau yang dijalin rapi sebagai penghias pakaian hitamnya tetap utuh.

"Seorang puteri bagaimana mungkin memiliki ilmu tenaga dalam sedahsyat iitu. Jangan-jangan ada orang didalam sana yang membantunya!"

Kata Nila Seroja curiga.

Sadar betapa kekuatan lawan tak dapat dijajaki, Nila Seroja lalu memberi isyarat pada ketiga pengiringnya untuk melakukan pemeriksaan di dalam istana.

Belum lagi orang-orang ini bergerak, tiba-tiba dari balik gedung megah dan indah yang dipenuhi ukiran itu terdengar suara orang berkata.

"Banyak petaka terjadi di dunia bukan bersebab dari amarah dewa. Kebencian dan kemarahan selalu menimbulkan dendam kesumat. Hawa nafsu sesat membuat orang bertindak membabi buta. Istana Satu, Istana Kebahagiaan hanya patut disambangi oleh orang-orang lugu berlaku jujur berhati bersih. Dunia dipenuhi banyak orang pintar tetapi sedikit orang yang berhati jujur. Kalian para penebar maut yang suka menumpahkan darah orang lain. Tidak mungkin mendapatkan apa yang kalian cari, karena yang bersih tidak bisa bercampur dengan yang kotor. Bunga Anggrek Mayat menyimpan sejuta khasiat. Namun bunga itu sesungguhnya menjadi pelajaran bagi insan yang hidup. Pelajaran yang tersirat, mengapa orang datang dan pergi ke dunia ini? Dan kemana pulangnya sang jiwa setelah badan menjadi seonggok jasad yang tidak berguna. Aku tidak punya kuasa atas bunga yang kalian cari. Aku bahkan tidak punya kekuasaan sedikitpun atas diriku sendiri. Walau aku tahu dimana tempat bertumbuhnya sang bunga keramat, aku tidak layak memberi tahu kepada

mahluk-mahluk serakah seperti kalian!"

Suara yang mereka dengar tiba-tiba lenyap. Nila Seroja menatap wajah ketiga pengiringnya.

"Suara yang kita dengar adalah suara wanita. Mungkinkah yang baru bicara adalah puteri Manjangan Putih?"

"Sekalipun setan yang baru saja bicara. Dia harus kita seret keluar dari istana itu." Geram Rengga Buana.

Kakek itu kemudian memberi isyarat pada kedua temannya. Cakra Buana dan Sekti Buana segera anggukkan kepala.

Sambil menghunus pedang dan golok besar dan dipimpin Rengga Buana yang bersenjatakan tombak mereka berkelebat menuju ke pintu istana.

Pintu istana yang berukuran besar berwarna kecoklatan itu pun mereka dobrak. Terdengar suara berderak disertai berderitnya pintu yang terbuka.

Dari suara derit pintu mereka menyadari pintu jarang dipergunakan keluar masuk oleh penghuninya.

Tiga kakek tertegun. Dibalik pintu yang menganga lebar ternyata suasananya gelap temaram.

Satu-satunya cahaya yang menerangi ruangan itu berasal dari balik ruangan tengah yang luas dan sejuk.

"Masuk!"

Tak sabar Nila Seroja memberi aba aba.

Mendapat perintah demikian ketiga kakek ini pun dengan senjata terhunus segera menyerbu masuk ke dalam ruangan. Selagi mereka menggeledah semua ruangan dibagian bawah, tiba-tiba saja menderu segulung angin ganas menghantam ke arah mereka disertai berkelebatnya satu sosok bayangan berpakaian serba hitam. Sosok hitam yang berkelebat dan muncul dari balik kegelapan disudut ruangan langsung merampas senjata ditangan ketiga orang tua.

Menggunakan senjata rampasan dengan ganas sosok hitam yang bergerak laksana bayangan menyerang mereka.

Sekti, Cakra dan Rengga berusaha menangkis sekaligus membalas serangan itu, namun semua perlawanan mereka sia-sia. Satu demi satu ketiga kakek dibuat terpelanting. Suara bergedebukan di ruangan dalam istana serta guncangan akibat benturan dan pukulan yang terjadi membuat Nila Seroja yang berada di luar istana terheran-heran.

"Hei, apa yang terjadi didalam! Apakah puteri Manjangan Putih telah ditemukan dan berhasil diringkus?"

Tanya sang dara kepada ketiga kakek yang berada didalam istana.

Sebagai jawaban terdengar suara bergemuruh seperti air bah menderu menembus pintu. Debu tebal bercampur bau harum semerbak mengepul tinggi membuat pemandangan dipintu depan menjadi gelap.

Nila Seroja yang mencium aroma aneh segera melompat mundur. Sedangkan dari mulut terlontar seruan kaget.

"Asap Pelenyap Ilmu Pelenyap Kesadaran!"

Dalam kejut tidak menyangka pengiringnya bakal mendapat sambutan yang berbahaya, sang dara berseru.

"Kalian semua yang berada di dalam lekas keluar!" Terlambat!

Karena belum lagi teriakan gadis ini lenyap.

Dari balik pintu yang dipenuhi tebaran asap harum berlesatan tiga sosok tubuh.

Ketiga sosok yang tak lain adalah ketiga kakek pengiring itu jatuh bergedebukan dalam keadaan tidak sadarkan diri sementara tubuh mereka dipenuhi luka lebam dan luka goresan senjata mereka sendiri.

"Para pengiringku!" Pekik Nila Seroja yang menyangka ketiga pengikutnya tewas.

Gadis ini jatuhkan diri, berlutut didepan ketiga kakek yang dalam keadaan tertumpuk tumpang tindih

"Siapa yang melakukan semua ini!"

Teriaknya lagi sambil menatap ke pintu istana yang terbuka.

Sebagai jawaban tiba-tiba saja pintu besar bergerak dengan sendirinya lalu menutup dengan satu hempasan yang keras.

Nila Seroja menggeram.

Dalam kemarahan dia segera memeriksa urat nadi dipergelangan tangan para pengiringnya.

Ternyata nadi mereka masih berdenyut walau sangat lemah

"Aku harus menolong mereka terlebih dulu. Dan siapapun orang yang telah mencelakai kakek-kakek ini, dia sangat layak untuk dibunuh!"

Sambil berkata demikdaan Nila Seroja melakukan usapan pada ketiga sosok kakek yang tak sadarkan diri

Wuus!

Sekali tangan bergerak ketiga sosok kakek bersama sang dara lenyap dari halaman istana. Entah kemana Nila Seroja membawa para pengiringnya yang terluka.

Yang jelas dia bertekat sebelum mendapatkan Bunga Anggrek Mayat dia tidak akan meninggalkan Istana Kebahagiaan.

TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar