Jilid 09 (Tamat)
hanya pura-pura terserang penyakit, terus melarikan diri begitu mendapat kesempatan ini? Ataukah Ban Ai-ling yang masih kuat menyeret lari tawanannya setelah terluka parah. Thian-ih tidak sempat berpikir lebih lama lagi, pertempuran dalam gedung bobrok itu kacau balau, susul menyusul terdengar teriakan dan pekik kesakitan yang jatuh menjadi korban.
Dalam keadaan yang mendesak ini Thian-ih merasa dirinya berdiri di tengah ruangan di tempat yang tidak menguntungkan dirinya, maka gesit sekali ia melesat kesamping di tempat pojokan, sungguh diluar perhitungannya, begitu ia bergerak pedang pusaka ditangannya seketika memancarkan kilat kebiru-biruan ditengah kegelapan. Cepat-cepat Thian-ih memasukkan kedalam sarungnya. Baru saja hatinya merasa lega mendadak disampingnya berkelebat percikan api, menerangi wajah Lo Ka Siangjin yang berwarna merah darah itu, jarak mereka tidak lebih dari tiga kaki. Keduanya terperanjat dan berseru kaget terus melompat mundur.
Ternyata hanya sepercik kilatan api itu saja Lo Ka Siangjin sudah melihat jelas bahwa Ban Ai-ling dan si baju perak sudah menghilang jejaknya, tahu dia bahwa tempat ini tidak perlu dipertahankan terlalu lama lagi, maka sambil menggerung seram dia ayunkan tongkat bajanya terus menerjang kearah pintu.
Sementara itu, dalam kilatan api itu juga sigadis berkabung telah melihat terang pula, belum lagi tubuh besar Lo Ka Siangjin menerjang tiba sampai di pintu, pedang panjangnya sudah melibat dengan serangan yang mematikan. Dilain pihak Thian-ih sudah sembunyi di pojokan, dilihatnya sinar pedang sigadis berkelebatan menyambar-nyambar, perbawanya sungguh hebat sekali sampai Lo Ka Siangjin terdesak di pinggir pintu, pertempuran sementara berjalan seru sulit ditentukan siapa bakal menang dan asor.
Tak lama kemudian terdengar gadis berkabung itu membentak sekali, terlihat sinar kebiru-biruan pedangnya menyapu miring tongkat baja Lo Ka yang besar dan berat itu. Lo Ka mendehem keras, agaknya berusaha sekuat tenaga hendak menyampok pedang lawan yang menindih kuat itu. Tapi seakan-akan pedang sigadis sudah lengket dengan tongkat bajanya, pedang itu ikut bergerak naik turun mengikuti gerakan tongkat besarnya itu, saban-saban sinar kebiruan berkelebat sedemikian lincah dan elok sekali dipandang mata dalam kegelapan itu.
Diam-diam Thian-ih merasa kagum dan memuji dalam hati, usia gadis ini belum cukup duapuluh tahun namun sudah berkepandaian sedemikian tinggi, merupakan tokoh silat nomor wahid di kalangan Kangouw. Tapi entah dia keluaran dari aliran atau golongan mana. Siapa pula Nisi Hujin yang diperbincangkan itu?"
Lo Ka mengobat-abitkan tongkatnya semakin gencar, namun sedemikian jauh usahanya sia-sia karena pedang sigadis tak dapat dipentalkan copot, malah lambat-laun tenaganya terkuras habis dan gerak geriknya semakin lamban. Sungguh gusar dan gelisah Lo Ka bukan main, mulutnya berkaok-kaok dan memaki serta mengumpat kalang kabut. Thian-ih tertawa geli ditempat sembunyinya melihat kelakuannya itu.
Sekonyong-konyong terlihat badan Lo Ka Siangjin yang tinggi besar itu mencelat tinggi keatas, si gadis berkabung juga selincah tupai telah membayangi tiba, pedangnya itu membabak miring diatas pundaknya, tepat mengenai luka di atas pundak Lo Ka yang belum sembuh itu, saking kesakitan ia meraung sekuatnya. Mendadak ia menyeruduk tiba sambil menyodokkan tongkat besarnya itu ke arah sigadis. Melihat kenekadan orang, sedikit bergerak saja sigadis sudah menyingkir kesamping sehingga Lo Ka menubruk tempat kosong dan terus menyelonong keluar pintu. Dimana sinar kilat pedang bergerak, baru saja sigadis siap mengejar keluar, tiba-tiba terdengar Lo Ka mengumpat caci dengan kerasnya. Terang di depan sana dia dicegat orang lagi dan terlibat dalam pertempuran pula. Langkah sigadis lantas berhenti diambang pintu.
Sebetulnya Thian-ih hendak lari keluar, karena sigadis menghadang di ambang pintu diam-diam ia mengeluh, belum lagi bergerak, tahu-tahu sigadis melompat maju kedepannya, dimana ujung pedangnya bergerak, sinar kebiruan berkilat dengan tepat mengarah dadanya.
Terpaksa Thian-ih menggerakkan tangan menyampok, angin pukulannya masih sempat menangkis dan memunahkan serangan lawan, terasa olehnya kekuatan tenaga sigadis cukup besar.
Terdengar sigadis berseru kejut dan heran, gerak pedangnya mendadak berubah membalik keatas dengan jurus Hun-hoa-fu-liu (membagi kembang mengebut dahan liu) sinar pedang berkelebatan sangat aneh dan cepat serta tangkas sekali.
Sudah tiada kesempatan bagi Thian-ih untuk melolos pedang sendiri, kali ini dia tidak berani menangkis dengan pukulan tangannya. Tahu dia bahwa kepandaian ilmu pedang si gadis sudah mencapai kesempurnaannya, jurus pertama tadi lawan sudah menjajal kekuatan Lwekangnya, maka cepat-cepat ia menggeser kedudukan sambil menyedot hawa mengkeretkan dada untuk meluputkan diri dari serangan jurus kedua ini.
Belum lagi ia menghela napas lega, sinar terang kekuning-kuningan diatas kayu perabuan ditangan kiri sigadis tahu-tahu berkelebat di depan matanya, tanpa merasa Thian-ih memandang kearah sinar itu, matanya menjadi silau, dan pada saat itulah jurus pedang lawan dari gertakan berubah menjadi serangan sungguh, dengan jurus Tok-siong-theng-kheng (kelabang beracun terbang ke angkasa) tahu-tahu ujung pedangnya sudah mengancam dimuka Thian-ih. Thian-ih berseru kejut terus melompat tinggi ke atas sambil mementang kedua tangan dengan gaya seperti elang hendak menubruk mangsanya. Tanpa disadari dalam menghadapi bahaya ini secara reflek ia keluarkan kepandaian pelajaran dari Ing-mo. Dimana kekuatan terjangannya ini melanda sigadis berkabung sampai sempoyongan mundur.
Jurus ciptaan Ing-mo ini memang betul-betul hebat perbawanya, sedikit saja kaki sigadis terhuyung mundur, kesempatan ini cukup buat Thian-ih menempatkan diri mepet dinding lagi. Hakikatnya tiada niat ia mencelakai sigadis rupawan yang mirip Hong-gi ini.
Pada saat mana suara gaduh di sebelah luar sana mendadak sirap dan menjadi sunyi lalu terdengar seorang berteriak nyaring: “Nona Lo! Orangnya sudah ketemu! dimana kau?"
Sejenak sigadis berdiam diri diambang pintu. Dalam kegelapan itu Thian-ih merasa bahwa orang tengah memandang kearah dirinya. Untung hanya sebentar saja lantas sinar pedang menghilang, sigadis terus memutar tubuh lari keluar.
Thian-ih menghela napas panjang. Terdengar seseorang berkata diluar sana: “Satupun tiada yang lolos, semua sudah dibereskan. Pesakitan ini juga sudah kita temukan, mari kita kembali dulu ke markas besar So-ke-pang!" Itulah suara sitangan penembus awan Yu Liat-bong.
Lalu terdengar juga si kelabang terbang So Tiong bicara: “Nona Lo! Dimana kau tadi? Kau melukai sigundul Lo Ka dan mengusirnya keluar! Tapi mengapa kau sendiri malah masih tinggal di dalam sana?" merandek sejenak, tidak mendapat jawaban dari sigadis lantas ia menyambung lagi, “Apa kau juga terluka?" Terdengar suara sigadis merdu nyaring: “Tidak apa-apa. Aku memeriksa sebelah dalam sana, kudengar kalian sudah menemukan orang, baru aku bergegas keluar."
Memangnya Thian-ih tengah kuatir dia akan membawa orang banyak untuk menempur dirinya, sungguh diluar dugaannya jawaban sigadis ternyata demikian, legalah hatinya. Tak lama kemudian suara So Tiong tengah memberi perintah kepada para chengtengnya untuk mengurus semua kawan-kawannya yang terluka atau yang sudah meninggal. Terdengar semua orang ribut setengah harian. Akhirnya Thian-ih harus berfikir, cepat atau lambat pasti mereka akan mencari kemari, dirinya harus segera meninggalkan tempat ini. Baru saja ia hendak bergerak, derap langkah orang banyak sudah tiba diambang pintu, cepat-cepat ia merapatkan tubuhnya ke dinding, bersiap siaga bila perlu segera turun tangan dan menerjang keluar.
Tiba-tiba terdengar suara sigadis berkata: “So-kongcu, ruang ini sudah kuperiksa, tiada apa-apa didalam sana." Derap langkah So Tiong dan lain-lain terus maju lewat depan pintu sambil menjinjing obor tinggi-tinggi.
Derap langkah itu semakin jauh dan akhirnya suasana menjadi tenang kembali, agaknya semua orang sudah meninggalkan gedung bobrok ini. Waktu Thian-ih keluar dari ruangan gelap itu, memang seisi gedung itu keluar semua tanpa ketinggalan seorang. Di tempat gelap sebelah sana mendadak terdengar suara orang memanggil: “Thian-ih, lekas kemari ikut aku!" lalu terlihat sebuah bayangan bergerak di pojok sana.
“Siapa kau?" bentak Thian-ih.
Jawaban orang ditempat gelap itu bernada girang: “Aku adalah orang yang kau tolong tadi!" sekali berkelebat, menyusuri dinding terus berlari cepat kearah kanan sana. Terpaksa Thian-ih angkat langkah mengejar dengan kencang, akhirnya mereka sampai di belakang kebon gedung bobrok itu. Ditengah kebon terdapat sebuah perigi. Orang itu menggape tangan ditepi perigi terus melompat turun kedalam.
Thian-ih mengejar sampai di pinggir perigi, didapatinya itulah perigi yang sudah mati tanpa air, dengan membesarkan nyali iapun terus loncat kedalam, perigi ini sedalam tiga empat tombak, begitu kakinya menginjak tanah lantas terasa pergelangan tangannya dicengkram orang. Ternyata dasar perigi ini adalah sebuah lorong panjang dibawah tanah, keadaan disini sangat gelap sampai lima jari sendiri juga tidak kelihatan, orang itu menarik Thian-ih terus berlari-lari kedepan.
Thian-ih minta orang melepaskan tangannya, tapi orang itu tidak ambil peduli, katanya: “Sekarang pasti Yu Liat-bong dan kawan-kawannya sudah tahu bahwa yang mereka ringkus itu adalah barang tiruan, sebentar lagi pasti mereka akan putar balik kemari untuk mengadakan penggeledahan besar-besaran. Biarkan mereka ribut dan bekerja banting tulang, kita mengumpat disini dengan nyaman dan tentram!"
“Kalau mereka juga masuk kemari mencari kita bagaimana?"
“Tutup dasar perigi ini adalah buatan seorang ahli bangunan yang kenamaan, ditambah variasi yang dapat mengelabui pandangan orang, kurasa siapapun takkan dapat menemukan tempat ini. Seumpama tahu bila tidak tahu cara membuka pintu rahasia itu, seribu tenaga kerbau juga jangan harap dapat membuka tutup pintu rahasia." Lorong bawah tanah itu memang jauh dan panjang sekali, sekian lama mereka berjalan berlika-liku tiada hentinya. Mendadak didepan sana terlihat sinar terang, agaknya seperti ujung lorong ini sudah sampai. Tiba-tiba orang itu berhenti, waktu Thian-ih melihat lebih tegas ternyata sinar terang itu bukan ujung dari lorong itu, tetapi adalah sebuah kamar batu dalam lorong itu. Diatas dinding kamar batu itu terporotkan beberapa butir mutiara besar yang berkemilauan memancarkan cahaya terang seperti disiang hari.
Lantai dalam ruangan ini ditaburi permadani yang tebal dan mahal, dimana-mana terlihat peti2 besi, lemari pakaian, minuman dan makanan, buku serta segala keperluan hidup semuanya serba lengkap. Diatas dinding sebelah kiri tergantung pedang emas milik Thio Thian-ki semasa hidupnya serta jubah dan pakaian peraknya.
Perasaan gusar dan sirik Thian-ih masih belum hilang seluruhnya, mendadak ia bertanya: “Kau ini To Yong bukan? Apakah penyakitmu sudah sembuh?"
Wajah To Yong mengunjuk senyum simpul, sahutnya tertawa: “Mana aku terserang penyakit apa segala? Aku hanya ngapusi mereka saja. Kau tahu aku paling ahli dalam bidang ilmu rias, sudah tentu pura-pura sakit dengan wajah pucat sedikit adalah segampang membalikkan tangan bagi aku." melihat Thian-ih bungkam, lalu ia menambahkan, "Thian-ih, kalau kau suka belajar ilmu riasku ini biar kuturunkan kepadamu "
Thian-ih jadi berpikir, aku harus mengandal kepandaian silat yang kupelajari untuk malang melintang dan mengangkat nama didunia persilatan, buat apa mempelajari ilmu rias yang pranti mengelabui orang secara licik begitu. Dalam batin ia berkata begitu tapi lahirnya dia sungkan berkata, untuk menghilangkan rasa canggung ini ia berkata tawar: “Terima kasih banyak, untuk itu kelak kita bicarakan lagi !"
To Yong juga tidak ambil dihati akan sikap dingin Thian-ih ini, dia suruh Thian-ih duduk, diambilkan makanan dan minuman, sambil makan minum ia berkata sambil menunjuk mutiara-mutiara besar diatas dinding itu: “Jumlah mutiara diatas dinding itu semua tigapuluh enam butir. Enam diantaranya adalah Ya-bing-cu, sedang yang lain juga merupakan mutiara mahal tak ternilai dari lautan timur sana. Waktu aku membangun dan memajang ruangan ini, meski pun udaranya segar, serta makan minum tidak kekurangan, tapi hanya disinari oleh pelita atau api lilin belaka. Sejak aku mencuri mutiara-mutiara itu dari keraton " melihat
Thian-ih mengkerutkan kening, agaknya kurang sabar mendengar ceritanya itu, cepat-cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan, katanya: “Thian-ih! Coba kau ceritakan pengalamanmu setelah berada di Hun-tai-san!"
Terpaksa Thian-ih bercerita. Serta mendengar bahwa ditengah jalan Thian-ih bertemu dengan putri tunggal Nisi Hujin, To Yong berjingkrak kaget, serunya: “Wah celaka kalau dia juga datang. Untung aku tidak bersua dengan dia, kalau sampai ketemu, wah tentu berabe dan panjang buntutnya!"
Thian-ih mulai merasa simpatik terhadap gadis berkabung yang berwajah mirip Hong-gi itu, melihat sikap gelisah To Yong itu, segera ia tanya: “Siapakah dia? Siapa pula Nisi Hujin itu? Dengan membekal kayu keperabuan dia mencari kau, ada dendam dan sakit hati apa lagi diantara kalian?"
Nada To Yong rada jengkel, sahutnya: “Justru bukan aku yang bermusuhan dengan mereka? Adalah bapakmu yang bangor itulah yang menimbulkan bencana ini." Thian-ih minta penjelasan. Dalam ruang bawah tanah itu keadaan terang benderang disinari cahaya mutiara mestika, seperti di siang hari bolong. To Yong memboyong keluar arak simpanannya, mulailah mereka makan minum sekenyangnya, lalu mulailah To Yong bercerita akan pengalamannya pada masa yang lalu.
Ternyata pada empat ratusan tahun yang lalu, pada saat bangsa Mongol menyerbu masuk kedaratan tengah ini, timbul banyak pemberontakan dibanyak tempat, diantaranya Pek-lian-kau (perkumpulan agama teratai putih) angkat senjata di kota Pian-seng. Dengan kedok malaikat teratai putih sebagai perisai, Ketua Pek-lian-kau memikat banyak rakyat jelata untuk menyanjung dirinya, dalam waktu singkat saja pengikutnya yang fanatik menjadi ribuan banyak, semua mengenakan ikat kepala warna merah, dimana-mana menimbulkan huru-hara dan bencana. Akhirnya pimpinan tertinggi mereka yaitu Han San-tong tertawan oleh musuh. Maka para pengikutnya yang setia dipelopori oleh Lau Hok-to mengangkat anak Han San-tong yang bernama Han Lim-ji sebagai gantinya dengan nama junjungan Siau-bing-ong. Mendirikan negeri Song dengan tahun Liong-hong, kota Hou-ciu sebagai ibukota.
Sejak Han Lim-ji menampuk pimpinan kekuatan Pek-lian-kau semakin berkembang biak dan tersebar kemana-mana seumpama jamur dimusim semi, setelah malang melintang dan berkuasa penuh selama tigabelas tahun akhirnya kekuatannya mulai runtuh dan pecah belah.
Pada permulaan dinasti Bing pada tahun Thian-khi, seorang bernama Ong Sun dari kota So-ciu di Ciatkang angkat senjata mengangkat diri sebagai tokoh pemberontak. Tatkala itu nama Pek-lian-kau sudah tidak murni lagi, banyak pengikutnya yang telah mendirikan lain-lain perkumpulan atau agama lain, dan pada saat itu yang paling terkenal adalah Hui-siang-kau. Demikian juga kekuasaan Ong Sun tidak lama, sejak ia tertawan musuh lantas disusul Djih Hong-hu ikut muncul, kekuatannya lebih besar dan kokoh, namun akhirnya juga menemui nasib yang sama. Namun demikian sejak saat itu, dalam kalangan masyarakat sering timbul kegaduhan serta kekacauan dari anasir-anasir sisa-sisa pengikut Pek-lian-kau itu.
Kira-kira ratusan tahun yang lalu, cabang aliran dari Pek-lian-kau itu mendadak bersemi diluar perbatasan, barisan yang baru terbentuk ini mengenakan ikat kepala putih sebagai pengenal dengan ikat pinggang ungu, dan mengenakan juga pertanda khas yaitu gelang atau cincin ular emas yang menjulurkan lidahnya. Perkumpulan ini menamakan dirinya sebagai Kim-hoan-kau (perkumpulan gelang emas). Menurut kabarnya secara turun temurun Kim-hoan-kau ini mempunyai ilmu simpanan aneh yang khusus diturunkan kepada pimpinannya saja. Bukan saja disiplin mereka sangat keras, juga tindak tanduk mereka sangat ganas dan keji. Maka belum lama sejak berdirinya perkumpulan ini, pengikutnya bertambah banyak, kekuatannya semakin melebar masuk ke-dalam perbatasan.
Disaat mereka membangun dan memperkokoh kedudukan, dan sudah bersiap hendak mengadakan aksinya, tiba-tiba tersiap kabar angin dikalangan Kangouw bahwa para pengikut Kim hoan-kau yang berada didaerah Tionggoan banyak yang ditarik balik keutara. Kabarnya dalam sarang mereka yang berada diluar perbatasan sana telah terjadi perobahan besar. Sejak itu Kim-hoan-kau lantas lenyap dan bubar tanpa bekas. Dan sebab musabab dari pembubaran ini katanya adalah karena ada beberapa tokoh silat dari angkatan pendekar kelas wahid telah meluruk datang dan mengobrak-abrik markas besar mereka. Dibawah pandangan sekian banyak para pengikutnya, sang ketua telah dikutungi kepalanya dan dibawa pergi.
Tapi rumput yang tidak dicabut sampai ke-akar-akarnya akan bersemi lagi setelah kena hujan. Demikianlah pada lima belas tahun yang lampau, tersiar kabar bahwa diluar perbatasan sana telah berdiri lagi suatu perkumpulan rahasia yang mungkin didirikan oleh sisa-sisa pengikut Kim-hoan-kau dulu.
Waktu itu Thio Thian-ki sudah mengasingkan diri di Thio-keh-cheng, entah mengapa tiba-tiba timbul niat isengnya mengajak To Yong pergi keluar perbatasan sana untuk menyirapi akan kebenaran kabar angin itu.
Setelah mengalami berbagai rintangan dan bahaya akhirnya dapat diselidiki dengan benar bahwa perkumpulan rahasia itu memang merupakan duplikat dari Kim-hoan-kau itu. Akan tetapi tepat pada kedatangan mereka ini, Kim-hoan kau sendiri juga tengah mengalami bencana diantara hidup atau mati.
Bahwasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa kaum Pek-lian-kau merupakan duri berbisa dipandangan masyarakat umum terutama bagi kaum persilatan dipandang sebagai aliran sesat. Maka bagi mata pendengaran kaum pendekar dimana ada bersemi suatu aliran yang bersumber dari aliran agama sesat ini begitu diketahui segeralah pasti ditumpas dan dilenyapkan dari muka bumi ini. Demikian juga kali ini, begitu mendengar bakal bersemi atau tumbuhnya lagi suatu perkumpulan rahasia yang bersumber dari aliran agama sesat ini, kaum pendekar segera menggerebeg datang untuk menumpasnya. Baru saja kepalanya tongol-tonggol hendak keluar segera dapat disirapi oleh para pendekar dari Tionggoan, segera diutus tokoh-tokoh silat tingkat tinggi untuk membubarkan atau menumpasnya habis.
Tatkala itu orang yang diutus datang hanya dua orang, mereka adalah dua orang muda-mudi. Begitu sampai di sarang Kim-hoan-kau langsung mereka menantang kepada ketua Kim-hoan-kau waktu itu yaitu Lo Liong. Lo Liong ini adalah suami Nisi Hujin itu, bukan saja seorang yang cekatan yang pandai berpikir dan bekerja, ilmu silatnya juga lihay dan aneh.
Namun sukarlah dijajaki betapa tingginya ilmu kepandaian muda mudi yang menantangnya ini. Hanya diketahui bahwa mereka berdua datang dari arah barat, yaitu gunung Thian-san. Karena tidak mengetahui asal-usul kedua musuhnya ini, secara serampangan saja Lo Liong serta Nisi Hujin lantas menanggapi tantangan mereka. Belum lagi sepuluh jurus mereka bertempur, Lo Liong sudah terluka berat dan rebah di tanah. Nisi Hujin menjadi nekad dan menempur mereka mati-matian dibantu para tokoh-tokoh silat dari Kim-hoan-kau. Namun hebat memang kedua muda mudi ini, bukan saja tidak gentar, mereka malah berkelahi semakin ganas seperti banteng ketaton, setiap kepalan atau pedangnya bergerak pasti musuh-musuhnya kena dirobohkan. Setelah bertempur setengah harian, banyak korban dari pihak Kim-hoan-kau berjatuhan, hampir seluruh gembong silat lihay dari Kim-hoan-kau mampus atau terluka berat. Sampai Nisi Hujin sendiri juga bertempur sampai titik terakhir dan rebah kehabisan tenaga.
Sebetulnya pendekar muda pria itu sudah angkat pedangnya tinggi, sekali bacok saja pasti tamatlah riwayat Nisi Hujin ini. Tapi serta dilihatnya Nisi Hujin ini adalah seorang perempuan yang cantik jelita berkulit putih halus, hatinya menjadi tidak tega turun tangan, timbul belas kasihan dalam benaknya, pedang berkilau di tangannya sekian lama susah diturunkan.
Harus diketahui bahwa pemudi yang menyertai pendekar muda itu ternyata adalah calon istrinya. Bahwasanya sifat perempuan memang rada dengki dan suka cemburu, berpikiran sempit lagi. Terutama dalam bidang asmara reaksinya paling tajam. Waktu itu dia melihat tegas sikap bakal suaminya itu, dia beranggapan bahwa tunangannya ini menaruh hati terhadap Nisi Hujin, keruan timbul rasa jelus dan cemburu dalam benaknya, saking tak tahan lagi mendadak ia menyentil pedang ditangannya, "creng", waktu pedang itu jatuh meluncur tepat sekali memapas robek sebagian jubah panjang didepan dada pendekar muda itu. Ini suatu pertanda putusnya hubungan tunangan mereka. Waktu pendekar muda itu angkat kepala dilihatnya calon istrinya itu sudah berlari pergi secepat terbang tanpa menoleh kembali dan entah kemana.
Sebetulnya kepandaian muda mudi ini seimbang dan susah dibedakan siapa lebih tinggi atau rendah. Melihat orang tinggal pergi dengan penuh perasaan dengki dan cemburu, tahu dia bahwa sedikit kesalahan tindak tanduknya itu telah menimbulkan kesalahpahaman. Dijemputnya pedang pusaka bakal istrinya terus diselentik nyaring sambil bersuit panjang dan keras memekakkan telinga. Sedemikian nyaring suitannya itu seolah-olah menembus angkasa sampai mengejutkan burung dan margasatwa di alas pegunungan. Setelah ditunggu sejenak tidak mendengar sesuatu reaksi apa, dia insaf bahwa calon istrinya itu memang sudah bertekad bulat memutuskan pertunangan ini, tiada harapan untuk rujuk kembali, apa boleh buat digulungnya pedang pusaka emasnya diikat pinggangnya, terus mengempit tubuh Lo Liong dibawa pergi dengan cepat.
Peristiwa ini terjadi pada dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu semua pengikut Kim-hoan-kau kebetulan berkumpul, tapi betapapun banyak jumlah mereka juga tidak berguna, karena kepandaian pendekar itu sudah mencapai kesempurnaannya seumpama dewa malaikat. Meskipun terang-terangan dia menggondol pergi ketua mereka Lo Liong, tapi tiada seorangpun yang berani maju merintangi.
Sejak saat itu, nama Kim-hoan-kau tenggelam lagi dan tak terdengar pula jejaknya. Waktu Thio Thian-ki dan To Yung memburu tiba, sisa-sisa terpendam dari kaum Kim-hoan-kau itu menyembunyikan diri di alas pegunungan Tiang-pek-san, mereka masih menjunjung Nisi Hujin sebagai pimpinan.
Lima tahun sudah berlalu sejak Lo Liong digondol pergi oleh Pendekar muda itu, namun tiada terdengar kabar beritanya. Nisi Hujin merupakan kaum cendekiawan serta gagah dari kalangan wanita, dibawah perintahnya, dia kekang para anak buahnya untuk berdikari di alas pegunungan yang terpencil dari khalayak ramai. Meskipun markasnya itu tidak begitu besar dan luas, namun semua dapat diaturnya dengan rapi dan beres. Mengingat pengalaman yang sudah berulang kali terjadi terutama mereka lebih waspada menjaga diri dan takut gangguan luar, maka sedapat mungkin mereka merahasiakan sekali tempat persembunyian ini.
Lima tahun lamanya Nisi Hujin menggembleng diri mempelajari pelajaran peninggalan para cakal bakal pendiri Kim-hoan-kau yang serba unik dan aneh serta keji lagi. Setiap detik selalu diingatnya untuk menuntut balas. Tapi sejak peristiwa itu, sepasang muda mudi itu juga terus menghilang jejaknya, meskipun sudah beberapa orang anak buah Kim-hoan-kau menyelundup kedalam perbatasan untuk menyelidiki, semua kembali dengan nihil. Seolah-olah kedua pendekar muda itu sudah mengasingkan diri atau mungkin juga sudah meninggal dunia.
Dengan bekal sepasang pedang pusaka yang ditinggalkan oleh sepasang pendekar muda mudi itu, selalu Nisi hujin membekal diatas tubuhnya untuk melatih semua anak buahnya, dalam waktu singkat saja ilmu silat mereka maju pesat sekali. Disamping itu tidak lupa ia tetap mengutus para penyelidiknya menyelundup kedalam perbatasan untuk menyirapi segala kemungkinan yang harus dicurigai. Sebentar saja lima tahun telah silam, wanita bercita-cita tinggi dan berpambek besar ini masih kuat menahan kesabaran dirinya, besar harapannya bahwa sang suami masih belum meninggal dunia dan ada kemungkinan dapat pulang kembali. Kim-hoan-kau akan bersemi lebih subur dan mengembangkan sayapnya lebih lebar, dan yang terpenting adalah menuntut balas kepada sepasang pendekar muda mudi itu. Lima tahun lamanya, bukan saja kabar berita Lo Liong tidak terdengar, sepasang pendekar muda mudi itu juga telah menghilang jejaknya. Sementara itu, kekuatan Kim-hoan-kau di alas pegunungan Tiang-pek-san tiap hari bertambah kuat dan segar kembali. Ketenaran nama Nisi Hujin mulai tersebar dan menggetarkan dunia persilatan. Terbalik dari maksud Nisi Hujin semula, dia berharap dengan ketenaran namanya serta bangunnya kembali Kim-hoan-kau ini akan memancing keluar kedua musuh besarnya itu, maka mulai dia mengencerkan belenggu atau disiplin perkumpulannya, keruan secepat jamur menjalar dimusim semi, Kim-hoan-kau telah melebarkan sayapnya ke dalam perbatasannya, para tokoh-tokoh silat dari daerah Tiong-goan juga sudah mendengar selentingan kabar ini.
Lima belas tahun yang lalu nilai atau mutu kepandaian silat tokoh-tokoh di daerah Tionggoan ini rada mundur dan rendah, mereka yang benar-benar lihay rata2 pergi mengasingkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Oleh karena itu, Kim-hoan-kau yang dipimpin Nisi Hujin ini semakin mendapat angin, sebaliknya kalangan persilatan Tionggoan semakin kuncup dan segan mendengar bahwa kepandaian Nisi Hujin katanya bagaimana lihay dan ganas, tiada seorangpun yang berani menempuh bahaya atau mempelopori memimpin tokoh-tokoh silat kenamaan untuk menumpasnya. Semakin hari nama kebesaran Nisi Hujin bagai geledek di siang hari bolong, keganasan dan kekejaman anak buahnya juga semakin menjadi-jadi. Dari kabar mulut ke mulut ini dikatakan betapa hebat dan tinggi kepandaian Nisi Hujin itu, sampai akhirnya menimbulkan minat Thio Thian-ki untuk belajar kenal.
Begitulah bersama To Yung, Thio Thian-ki dapat menyelundup ke daerah Tiang-pek-san mengandal ilmu rias To Yung itu, mereka menyamar sebagai anak buah Kim-hoan-kau. Secara kebetulan kedatangan mereka hari itu adalah pembukaan hari raya, semua anak buahnya berbondong-bondong berkumpul di depan berhala besar untuk menyembah kewibawaan Nisi Hujin. Thian-ki juga ikut bergerombol diantara orang banyak, dilihatnya betapa cantik rupawan Nisi Hujin itu, merupakan perempuan yang paling cantik yang pernah dilihatnya selama ini. Justru kelemahan Thian-ki adalah suka iseng dan bangor, begitu melihat Nisi Hujin ini serasa seluruh tulang-ulangnya copot semua badannya menjadi lemas seperti hampir lumer, kedua matanya terlongong-longong memandang kearah Nisi Hujin, kedua kakinya itu seperti terpaku diatas tanah tak mau tinggal pergi.
Melihat sikap linglung kawannya ini segera To Yung menyeretnya pergi. Sesampai di tempat sunyi, Thian-ki bilang bahwa hatinya sekarang telah terpincut benar kepada Nisi Hujin itu, betapa juga aku harus dapat memetiknya sebagai istri. To Yung sendiri juga memaklumi akan watak Thian-ki, sesuatu barang yang hendak dijamahnya bagaimana juga harus dapat dilaksanakan. Hanya sekarang mereka menghadapi Nisi Hujin yang kenamaan dan agung, apakah sedemikian gampang dapat terlaksana?
Untuk beberapa hari lamanya, Thian-ki menjadi lesu dan tiada selera makan minum serta tak dapat tidur, sepanjang hari bertopang dagu melamun, sampai badan menjadi kurus.
Sementara itu, To Yung terus menyamar menjadi umat Kim-hoan-kau itu, hari demi hari semakin luas pergaulannya sampai para pengiring dan pelindung terpercaya dari Nisi Hujin juga sudah dikenalnya dengan baik, dari mulut mereka ia menyirapi dan mencari tahu tentang segala keadaan hidupnya sehari-hari. Akhirnya diketahui bahwa sejak lima tahun yang lalu setelah suaminya terluka dan diculik pergi oleh musuh, hatinya menjadi keras dan teguh dalam tindak tanduknya. Keadaan hidupnya sehari-hari juga sangat sederhana dan keras dalam disiplin, meskipun usianya masih muda tapi dia seorang perempuan lurus dan teguh imannya tidak pernah bertindak nyeleweng sebagai perempuan cabul umumnya, sekian tahun sudah dia dapat mensucikan diri, titik kelemahan inilah yang tengah diincar tapi ternyata kurang tepat untuk dapat melaksanakan rencananya.
Dasar To Yung ini berpikiran panjang dan otaknya encer, akhirnya terpikirkan olehnya suatu tipu muslihat yang rada keji tapi juga harus menempuh bahaya dengan segala risiko yang besar. Yaitu dia mengubah wajah dan bentuk Thio Thian-ki menjadi Kim-hoan Kaucu Lo Liong yang telah hilang itu, Lo Liong pulang dari rantau untuk berkumpul kembali dengan Nisi Hujin.
Maka mulailah To Yung mempersiapkan segala pekerjaan, dari berbagai tempat dan mulut-mulut anak buah Kim-hoan-kau yang berusia agak lanjut dia mencari bahan-bahan yang diperlukan mengenai riwayat hidup Lo Liong serta Nisi Hujin, hobby serta kesenangan hidup mereka berdua, bagaimana cara Kim-hoan-kau bangkit kembali, serta undang-undang dan peraturan Kim-hoan-kau, sampai siapa-apa yang menjadi sanak famili Lo Liong, anak buah kepercayaannya serta segala tetek bengek yang terkecil juga telah dicari tahu. Lalu secara tekun dia membantu Thian-ki untuk mengingat dan mengapalkan diluar kepala.
Maka mulailah To Yung merias Thian-ki menjadi Lo Liong mencontoh gambarnya semasa hidup. Kira-kira satu setengah bulan kemudian baru segala persiapan rencana ini dapat terlaksana. Kini Thian-ki sudah berganti rupa persis benar dengan bentuk dan rupa Kim-hoan-kau Kaucu Lo Liong semasa hidup dulu.
Setelah Thian-ki meninggalkan daerah Tiang-pek-san, beberapa hari kemudian To Yung mulai menyebar kabar angin didaerah kekuasaan Kim-hoan-kau itu. Dikatakan bahwa Kaucu ternyata belum meninggal dunia sejak tertawan dulu. Sekarang sudah terdengar kabarnya di dalam perbatasan bahwa dia orang tua tengah menuju kemari pulang ke markas besar. Hanya selama beberapa tahun ini disekap oleh pendekar muda itu dialas pegunungan yang sunyi serta mendapat siksaan yang berat, sehingga otaknya sedikit bebal dan lemah urat syaraf, banyak kejadian atau pengalaman yang lampau sudah banyak terlupakan olehnya.
Berita ini segera mengemparkan seluruh daerah kekuasaan Kim-hoan-kau itu. Kejut dan girang Nisi Hujin bukan main, segera ia utus rombongan para umatnya untuk pergi menyirapi kebenaran berita ini. Betul juga, tak lama kemudian ia mendapat laporan bahwa Kim-hoan-kau Kaucu Lo Liong sudah ketemu di markas besar lama Kim-hoan-kau dulu yang terletak di sekitar sungai Jong-no. Betapa girang Nisi Hujin sulit dilukiskan dengan kata-kata, cepat-cepat ia pim- pin semua anak buahnya pergi menyambut kedatangan sang Kaucu, waktu memasuki daerah Tiang-pek-san sepanjang jalan semua umat dan pemeluk agama Kim-hoan-kau ini menyambut dengan meriahnya. To Yung juga tercampur baur diantara sekian banyak orang itu. Melihat keadaan dan sikap Thian-ki yang girang-girang linglung seperti orang kehilangan ingatan, diam-diam ia memuji akan permainan sandiwara yang pura-pura ini.
Setelah sang Kaucu kembali, betapa besar sayang dan cinta kasih Nisi Hujin terhadap suaminya ini, dengan tekun dan sabar ia layani semua keperluan serta memberikan obat-obatan yang mahal-mahal. Terkabullah angan-angan Thio Thian-ki, hidup dalam kesenangan dan pelukan perempuan ayu nan jelita, ia nikmati segala kemewahan dan hidup bahagia. Dengan kedudukannya sebagai Kaucu mudah saja ia memilih sepuluh orang sebagai pengawal pribadinya. To Yung adalah kepala pimpinan sepuluh orang itu. Setiap saat ia selalu mendampingi di samping Kaucu palsu ini, setiap kesempatan digunakan untuk berunding dan mengatur rencana dan tipu daya.
Mimpi juga Nisi Hujin tidak menyangka akan tipu muslihat yang jahat dan keji ini, dia anggap bahwa Thio Thian-ki adalah suaminya dulu yang tulen, sedikitpun ia tidak sadar bahwa dirinya sudah terjebak kedalam pelukan pemuda bangor dan cabul ini. Mendapat pelayanan yang luar biasa dan hidup dalam kesenangan yang berlimpah-limpah ini Thian-ki menjadi lupa daratan, sudah berulang kali To Yung membujuknya untuk kembali ke selatan, namun Thian-ki berkukuh tidak mau. Apa boleh buat, To Yung kuatir kalau Kim-hoan Kaucu tulen benar-benar belum mati dan kebetulan kembali, tulen dan palsu segera akan konangan, saat itu untuk lari juga tidak mungkin lagi. Maka wanti-wanti ia berpesan kepada Thian-ki untuk selalu waspada dan hati-hati. Seorang diri lantas ia sering keluar mencari dan menyelidik, besar harapannya bisa mendapat kabar akan jejak Lo Liong itu, supaya segera dapat membunuhnya untuk menutup mulutnya.
Dalam pencariannya itu secara kebetulan ia sampai di daerah sekitar markas besar lama Kim-hoan-kau yang terletak di hulu sungai Jong-ho itu. Dimana ditemui Kim-hoan-kau Kaucu Lo Liong yang tulen benar-benar telah pulang. Hanya orang ini cacad sebuah kakinya, wajahnya juga sudah terbakar hangus sangat jelek rupa, para anak buahnya disekte selatan sini sudah tidak kenal lagi pada ketuanya yang lama ini, dianggapnya dia seorang jahat dan gila pikiran, berani memalsu dan mengakui sebagai suami Nisi Hujin. Ini benar-benar suatu penghinaan besar, tanpa banyak cingcong lagi, beramai-ramai mereka meringkus dan membelenggunya siap hendak dikirim ke Tiang-pek-san dan diserahkan langsung kepada Kaucu untuk dijatuhi hukuman yang setimpal.
Kedatangan To Yung tepat pada saatnya, diam-diam ia bersyukur dalam hati. Malam-malam waktu para penjaga kurang siaga dengan kepandaiannya yang lihay itu, ia tolong keluar orang itu. Pura-pura menjadi seorang pendekar kelana yang suka menolong yang lemah. Keruan orang itu girang bukan main, saking terima kasih segera ia menutur semua peristiwa yang telah dialami sekian tahun ini kepada To Yung.
Sejak tertawan oleh pendekar muda dulu ternyata Lo Liong dikurung dalam sebuah gua diatas sebuah puncak yang terletak diperbatasan Sucwan. Dua ekor burung bangau besar selalu menjaga di luar gua memberi makan dan minum serta mengawasi segala gerak geriknya. Begitu hari demi hari dilewatkan dengan perasaan sunyi diatas puncak pegunungan, lambat laun lukanya mulai sembuh, hanya luka di paha kirinya oleh tabasan pedang itu sangat parah, mekipun sang bangau telah menyarikan daun-daun dan rumput obat-obatan, tapi hasilnya nihil, malah daging sekitar lukanya itu membusuk dan merambat semakin besar, bangau besar itu pula yang mencucuki daging yang sudah membusuk itu sampai kelihatan tulang putihnya, dan karena tiada harapan sembuh lantas pahanya itu dipotong dan cacatlah kakinya untuk selama-lamanya.
Setelah dia biasa menggunakan tongkat, terasa juga bahwa Lwekangnya sudah mulai pulih seperti sedia kala, diam-diam ia mencari daya untuk melarikan diri. Tapi penjagaan kedua bangau besar itu sangat ketat, belum pernah Lo Liong diberi kesempatan untuk bergerak secara bebas. Tenaganya juga besar luar biasa, terbangnya juga pesat sekali, tahu dia bahwa betapapun dirinya bukan tandingan kedua burung besar ini, maka sekian lama dia tidak berani menempuh bahaya.
Lima tahun kemudian terjadi pada suatu hari cerah, dari dalam gua kediamannya Lo Liong melihat kedua bangau itu tengah bercanda gurau ditengah udara, mendadak dilihatnya dari arah langit sebelah barat sana terbang mendatangi seekor bangau yang lebih besar lagi, begitu melihat bangau yang mendatangi ini, kedua ekor bangau itu seakan-akan ketemu dengan sanak familinya, bercewotan dan memekik-mekik dengan riangnya terus terbang menyambut.
Kedatangan bangau besar itu agaknya menyampaikan berita apa, sekian lama ketiga ekor itu berkaok-kaok seperti sedang bicara, lalu hinggap diatas tanah terus bergulingan dan berloncatan dipuncak pegunungan batu cadas sehingga bulu-bulunya brodol dan badannya penuh luka-luka. Agaknya mereka mendapat suatu kabar jelek apa, saking duka dan sedih lantas mereka menyiksa diri dengan melukai seluruh badan sendiri.
Lo Liong membatin dalam gua, mungkin bangau besar itu datang membawa kabar bahwa majikan muda mereka itu telah wafat, maka ketiganya menjadi berduka begitu rupa, ternyata benar juga dugaannya, tak lama kemudian ketiganya lantas terbang tinggi ketengah udara sambil berpekik panjang terus terjun keras meluncurkan tubuhnya menumbuk batu-batu gunung untuk bunuh diri.
Meskipun sejak saat itu Lo Liong mendapatkan kebebasannya, tapi serta melihat betapa gagah perwiranya ketiga ekor binatang itu, hatinya kebat kebit dan terpesona sekian lama, timbul rasa kagum dan sayang dalam hatinya, seketika hilang perasaan dengki dan benci terhadap kedua ekor bangau yang selama lima tahun ini sedemikian ketat menyiksa dirinya, lalu dia meronta dan berusaha turun gunung untuk pulang keluar perbatasan. Karena kekurangan sangu dan kakinya cacat lagi, maka keadaannya sangat mengenaskan, sepanjang jalan dia minta-minta dan kenyang menderita, setelah susah payah akhirnya sampai juga diluar perbatasan.
Siang berganti malam, malam berganti pagi, tiada sesuatu yang abadi dalam dunia ini. Selama lima tahun keadaan dimana-mana sudah banyak berobah. Sesampainya dihulu sungai Jongho ternyata bahwa markas besar Kim-hoan-kau telah berpindah tempat, anak buahnya yang menjaga tempat lama ini juga sudah tidak mengenal Ketua lamanya lagi. Malah secara semena-mena menuduh dan menghinanya sedemikian rupa.
Setelah mendengar ceritanya yang panjang lebar ini, diam-diam To Yung juga merasa kagum dan salut dalam hati, kebesaran tekad dan keteguhan hati orang ini susah dicari bandingannya. Tapi betapapun juga demi keselamatan Thian-ki, terpaksa dia harus turun tangan membunuhnya. Maka To Yung pura-pura merasa simpatik dan kasihan, dengan rela hati dia menyanggupi untuk melindungi dan mengantarnya ke pegunungan Tiang-pek-san. Lo Liong sangat berterima kasih, dianggapnya To Yung sebagai sahabat kekal dalam rantau yang penuh derita dan siksaan
Ditengah jalan terpaksa To Yung menguatkan hati turun tangan, dia suguhkan secawan arak yang telah dicampuri obat yang dapat membuat kehilangan kesadaran dan menjadi gila, dilihatnya Kim-hoan Kaucu Lo Liong menghabiskan secawan arak itu, secepat arak obat itu bekerja kontan dia jatuh pingsan. Karena menyesal dan terketuk hatinya sebelum tinggal pergi To Yung tinggalkan uang perak disampingnya, terus langsung kembali ke Tiang-pek-san.
Secara rahasia ia beritahukan pengalaman ini terhadap Thian-ki, dibujuknya Thian-ki supaya segera mencari alasan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi Thian-ki benar-benar sudah terpincut pada Nisi Hujin dan mabuk kesenangan mana mau dia pergi begitu saja meninggalkan kesenangan hidup yang berlimpah-limpah ini. Apalagi diketahui bahwa Kaucu yang asli kini telah dicekoki arak beracun dan menjadi gila, lebih besar dan lega hatinya, diutarakan bahwa dia akan terus hidup di Tiang-pek-san ini tanpa kembali lagi ke Sam-no Thio-keh-ceng. Begitulah tahu-tahu setengah bulan telah berlalu tak terasa sejak kedatangan mereka tempo hari, hitung-hitung mereka sudah selama setengah tahun berada di pe- gunungan Tiang-pek-san itu.
Sejak meracuni Lo Liong sehingga menjadi gila, hidup To Yung menjadi kurang tentram, selalu terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Hari itu Thian-ki mengusulkan supaya beramai-ramai mereka pergi berburu binatang, Nisi Hujin sangat penurut terhadap segala permintaan suaminya ini, segera ia perintahkan anak buahnya mempersiapkan segala keperluan. Tak lama kemudian rombongan mereka sudah berderap langkah ditengah pegunungan yang hijau permai. Segera anak buah Kim-hoan-kau disebar keempat penjuru lalu menabuh gembreng dan memukul tambur untuk mengejutkan binatang dalam hutan. Sekonyong-konyong dari semak belukar sebelah dalam hutan sana menggelundungi suatu benda. Thian-ki sudah pentang busur hendak memanah. Tapi pandangan Nisi Hujin lebih tajam, buru-buru ia berseru mencegah: “Tahan, itu manusia!"
Semua orang terkejut dan menatap tegas, memang yang menggelundung keluar itu adalah orang yang berjambang baut lebat dengan rambut awut-awutan, pakaiannya compang-camping kotor dan kumal, sebelah kakinya cacat lagi, badannya penuh luka-luka lecet dan bekas-bekas gigitan yang masih merembeskan darah. Terlihat orang itu merangkak bangun dan berdiri tegak ditengah hutan, sepasang matanya mendelong mengawasi wajah Nisi Hujin. Sekali pandang saja lantas To Yung bercekat hatinya, jantungnya serasa hendak meloncat keluar karena manusia seperti setan ini bukan lain adalah Kim-hoan Kaucu asli Lo Liong adanya.
Sudah tiada kesempatan untuk berpikir panjang lagi, cepat-cepat To Yung merogoh keluar segenggam senjata rahasia berbisa, belum sempat ia taburkan senjatanya, terdengar Lo Liang berteriak sambil mendelik: “Siau Yan, Siau Yan!" Lalu terlihat tubuhnya tersendat kebelakang kena sambitan sebatang senjata rahasia kecil lembut, meskipun hanya bertonggak diatas sebelah kakinya saja Lo Liong masih kuat dan berusaha tetap berdiri, mulutnya tertutup kencang sampai bibirnya tergigit pecah dan mengeluarkan darah, agaknya tengah menahan kesakitan yang tak terhingga.
Sekonyong-konyong Nisi Hujin berteriak nyaring: “Pohon beringin berdiri tegak !” disebelah sana Lo Liong segera menyambut: “Burung betet mengeluh sedih!''
To Yung dan Thian-ki sudah berfirasat akan situasi yang tidak menguntungkan ini. To Yung insaf bahwa mereka telah saling mengenal menggunakan sandi kata-kata rahasia hubungan mereka sebagai suami istri dulu, saking gugup, baru saja ia hendak turun tangan membunuh Lo Liong itu, keburu terdengar Lo Liong sudah menggembor keras terus menyemburkan darah segar, badannya juga lantas terbanting keras.
Sedang Nisi Hujin berdiri termangu, wajahnya membeku pucat tanpa ekspresi. Berdetak keras jantung Thian-ki dan To Yung, diam-diam mereka mengeluh dalam hati. Tiba-tiba dilihatnya kedua mata Nisi Hujin berputar, wajahnya yang pucat itu segera pulih lagi berseri girang, lalu sambil mengulum senyum ia perintahkan anak buahnya mengurus baik-baik jenazah orang ini, serta digeledah kantong bajunya, kalau ada sesuatu barang harus segera dipersembahkan. Sampai detik itu baru To Yung merasa lega, pikirnya betapapun cerdiknya juga sudah terlambat satu tindak dibelakangku, segala benda atau barang milik Lo Liong itu sudah kukuras isinya, sekarang dia telah mati, bagaimana juga sukar dapat membuktikan bahwa dia adalah Kim-hoan Kaucu yang asli.
Setelah kembali, diam-diam Thian-ki menambah kewaspadaan. Malam itu sebelum tidur seperti biasanya Nisi Hujin duduk berhadapan sambil minum-minum dan ngobrol panjang lebar. Tapi keadaan malam ini berlainan, sedikitpun Thian-ki tak berani lalai dan ceroboh, setetes arakpun dia tidak minum. Sikap dan tingkah laku Nisi Hujin seperti biasa mengerjakan segala keperluan Thian-ki. Setelah agak larut malam Thian-ki bersiap-siap hendak tidur, diam-diam ia memaki diri sendiri terlalu tegang dan banyak syak-wasangka. Karena hatinya merasa was-was dan kuatir meski sudah rebah diatas ranjang tapi dia tidak bisa pulas, namun dia pura-pura sudah tidur nyenyak untuk menanti dan berjaga-jaga.
Tampak dengan kalemnya Nisi Hujin menurunkan sanggulnya lalu sambil membekal tusuk kundenya itu dia menghampiri kepinggir ranjang terus duduk dipinggiran, panggilnya lirih: “A-hong! Apa kau sudah tidur?" Thian-Ki sengaja pura-pura sudah pulas, setelah berulang kali memanggil tanpa penyahutan, tampak wajah Nisi Hujin berubah bengis dan geram, dirogohnya sebilah cundrik dari balik bajunya terus ditusukkan sekuatnya kearah dada Thian-ki, perobahan yang mendadak ini sudah dalam perhitungan Thian-ki, sebat sekali ia menangkis dengan kedua tangannya. “Bret” kemul dan gulingnya sampai terobek panjang, tangkas sekali Thian-ki terus berguling turun dari atas ranjang. Dilihatnya Nisi Hujin sudah berganti rupa, wajahnya pucat membesi, kedua matanya tergenang airmata, cundrik ditangannya itu berkilat-kilat terus menubruk maju lagi. Karena kepepet serta bertangan kosong, lagi tiada tempat lowong untuk berkelit terpaksa Thian-ki pasrah nasib kepada Tuhan. Dalam keadaan gawat itulah mendadak sebilah pedang meluncur tiba menangkis cundrik Nisi Hujin itu. Dan tahu-tahu dalam ruangan situ sudah bertambah satu orang berkedok yang mengenakan baju perak membekal sebilah pedang emas. Dengan suara berat orang ini membentak kepada Thian-ki supaya segera melarikan diri.
Begitulah dari dalam kamar ketiga orang itu terus kejar mengejar dan bertempur seru sampai diluar. Tiba-tiba Nisi Hujin melejit tinggi ketengah udara, pedang panjang di tangan kirinya itu menaburkan kembang bersinar merabu kearah To Yung, sedang tangan kanan meluncur mencengkram kearah Thian-ki dengan jari-jarinya yang keras bagai cakar garuda mengarah batoknya.
Siang-siang To Yung sudah tahu bahwa Nisi Hujin mempunyai simpanan ilmu silat yang aneh lihay dan kejam. Terutama ada semacam ilmu pukulan yang dinamakan Koh-eh-jiau, pukulan dilancarkan dari tengah udara, angin pukulannya saja dapat menggetarkan badan orang sehingga dalam badan orang itu hancur dan segera tamat riwayatnya tanpa dapat tertolong lagi. Demikian juga saat ini dilihatnya Nisi Hujin ada tanda-tanda hendak melancarkan ilmu pukulan yang mematikan itu, meskipun masih terapung ditengah udara, tapi perbawa angin pukulannya sangat besar, seketika Thian-ki terkurung dan terkekang dalam pukulannya itu. Tujuan To Yung adalah lebih penting menolong jiwa sahabat kentalnya itu, maka tanpa banyak pikir lagi segera disambitkan senjata rahasianya.
Seketika terlihat Nisi Hujin meliukkan badan di tengah udara, lantas meluncur sambil sempoyongan, tanpa banyak bicara lagi terus putar tubuh lari dengan pesatnya. Terlihat pakaian putihnya itu berkibar-kibar dibawah penerangan sinar bulan purnama, Thian-ki bagai baru sadar dari lamunannya, tanyanya kejut kepada To Yung : “Apa dia terkena senjata rahasia?”
To Yung menunduk tanpa bicara hanya sedikit manggut, Thian-ki membanting kaki, serunya: “Celaka, mari lekas kejar, mungkin masih sempat memberi obat pemunah kepadanya."
Secepat angin Thian-ki dan To Yung berlari-lari kembali ke markas besar Kim-hoan-kau, suasana malam yang kelam ini sunyi senyap, secara diam-diam mereka mendorong pintu memasuki kamar tidur Nisi Hujin. Terlihat diatas belandar tinggi-tinggi bergelantungan seseorang….
Terasa sesal pedih dan kepiluan merangsang sanubari Thian-ki, saking tak tahan lagi terasa pandangannya menjadi gelap terus terbanting pingsan. Situasi di markas besar Kim hoan kau menjadi kacau balau sejak meninggalnya Nisi Hujin dengan cara menggantung diri itu. Malam itu juga To Yung menolong Thian-ki terus melarikan diri sejauh mungkin.
Untuk selanjutnya mereka berdua tidak berani tinggal terlalu lama diluar perbatasan sana, seperti dikejar setan mereka terus kembali ke dataran tengah, dimana waktu itu mereka lewat kota raja. Karena Thian-ki selalu murung dan bersedih, diusulkan oleh To Yung secara iseng, secara diam-diam menyelundup ke istana raja untuk tamasya. Benar juga usul ini mendapat sambutan hangat dari Thian-ki, seketika timbul semangat barunya, mengandal ilmu ringan tubuh mereka yang sempurna malam-malam dengan mudah saja mereka selulup timbul di keraton raja itu.
Tujuan To Yung semula hanyalah untuk menghibur hati Thian-ki yang terluka akan kematian Nisi Hujin itu, menyelundup ke istana raja ini hanya untuk menghibur diri melihat-lihat dan menambah pengalaman. Tak terduga disini mereka menimbulkan perkara lagi.
Kiranya sewaktu luntang-luntung dalam kraton itu, mereka melewati sebuah bangunan gedung besar dan tertutup rapat, lain dari bangunan gedung umumnya yang berada dalam lingkungan istana kerajaan itu. Dimana dilihatnya serombongan thaykam (dorna) mengiring seorang pejabat yang berpakaian dinas tengah lewat. Menggunakan kesempatan inilah To Yung dan Thian-ki semakin jauh beranjak kedalam istana raja itu dengan menyelundup diantara rombongan ini. Siapa tahu setelah belok sana putar sini, sekian lama mereka berjalan rombongan itu membawa To Yung dan Thian-ki ke suatu tempat, yaitu sebuah bangunan gudang.
Waktu pintu gerbang gudang ini dibuka seketika pandangan mereka terbelalak, keadaan dalam gudang sedemikian mewah dengan segala harta benda yang tak ternilai harganya, ada mutiara, ada jamrut dan banyak lagi yang menyilaukan mata.
Ternyata bahwa upeti dari berbagai daerah dan negara tetangga selama beberapa tahun serta hasil pajak dan harta benda yang dikuras dari rakyat jelata semua disimpan dalam gudang harta kerajaan ini. Setiap benda ada ditempeli kartu keterangan. Sudah tentu Thian-ki dan To Yung menjadi gatal tangan dan ketarik benar untuk mengambilnya. Tak tertahan lagi tanpa berjanji mereka terus melesat masuk dan menyembunyikan diri didalam sana. Untung para rombongan ini hanya mengambil serenceng mainan mutiara yang besar-besar dimasukkan kedalam sebuah kotak kumala terus bergegas mengundurkan diri.
Begitu mereka keluar Thian-ki dan To Yung segera meloncat keluar, sedemikian besar gudang ini, tapi penuh dengan segala barang dan benda berharga yang tak terhitung banyak dan nilainya, sehingga tanpa terpasang pelita keadaan gudang itu sudah terang benderang dengan penerangan segala cahaya barang-barang pusaka itu. Thian-ki sampai berjingkrak-jingkrak seperti orang gila yang ketiban rejeki nomplok, setiap benda yang dijamah dan disentuhnya terasa sayang dan tiada yang tidak disenanginya.
Tengah mereka kegilaan itulah mendadak terdengar suara berdentum keras. To Yung masih dapat mengendalikan diri, seketika ia sadar bahwa itulah suara pintu gerbang gudang itu tertutup, cepat-cepat ia memperingati Thian-ki terus berlari kearah pintu. Tapi sudah terlambat karena pintu gerbang yang besar terbuat dari pintu baja tebal itu sudah tertutup rapat dan dikunci dari luar. Betapapun tinggi Lwekangnya juga jangan harap dapat keluar dari gudang harta ini.
Keruan kejut dan takut mereka berdua bukan buatan, tanpa peduli lagi akan semua harta pusaka yang menyilaukan mata itu, bergegas mereka berlarian kian kemari mencari jalan keluar. Setengah harian mereka berputar-putar, hanya ditemui dipinggir sebelah sana ada sebuah jendela yang dirajeki besi baja besar tak mungkin dapat digeser atau diputuskan. Saking lesu dan kecapaian akhirnya mereka meloso duduk dilantai, harapan satu-satunya adalah kalau ada orang masuk lagi mengambil atau menyimpan harta kemari baru ada kesempatan melarikan diri.
Tak tersangka semalam sudah lewat, pintu besi itu masih terkunci rapat. Begitulah nanti punya nanti sampai hari kedua waktu hari sudah hampir magrib, Thian-ki tidak kuat lagi dia bergelantungan diatas jendela menanti orang lewat, terpaksa mereka harus coba-coba menempuh bahaya.
Ternyata harapan mereka ini tidak tersia-sia, harap punya harap terlihat seorang dayang tengah berjalan pelan-pelan mendatangi. Tak peduli segala akibatnya lagi segera Thian-ki berseru memanggil: “Cici! Cici!" dayang itu menjadi heran dan takut serta celingukan, dilihatnya sekelilingnya tiada bayangan seseorang, terang dia curiga akan salah pendengarannya atau mungkin disangka diganggu genderwo.
Maka Thian-ki lantas berseru lagi lebih keras: “Disini ! Hai aku diatas jendela !"
Sekarang dayang itu mendengar tegas, berputar tubuh kepalanya mendongak memandang ke arah tempat Thian-ki. Kontan Thian-ki berseru memuji dalam hati, Eh, molek benar dayang ini, masih muda lagi paling banyak berusia tujuh-delapan belas, bertubuh langsing dan montok menggiurkan.
Semula dayang itu mengunjuk kejut dan heran, sorot matanya rada-rada takut. Tapi dilain saat Thian-ki melihat bola matanya itu berputar-putar entah tengah memikirkan apa. Besar juga nyali dayang kecil ini. Apakah yang tengah dipikirkannya? Demikian batin Thian-ki. Mungkin dia tengah berpikir perlukah dia memanggil orang lain. Thian-ki menjadi gelisah diam-diam dijemputnya sebutir mutiara lalu dipersiapkan, begitu melihat dia lari segera akan disambitnya dan merobohkannya.
Namun setelah ditunggu sejenak, agaknya dayang itu sudah bertekad bulat, bukan pergi malah datang menghampiri dibawah jendela, bukan takut dan kuatir sebaliknya wajahnya mengulum senyum riang. Tak terkendali Thian-ki menjadi tegang sendiri, jantungnya berdebur keras. Setelah dekat dibawah jendela, dilihat sekelilingnya tiada seorang pun, lalu dia membesarkan hati maju semakin mendekat, kini jarak mereka sudah dekat hanya teraling rajek besi diatas jendela itu, lapat-lapat terendus oleh Thian-ki bau wangi di sanggul kepalanya, serta melihat lebih tegas betapa cantik jelita dayang ini.
Watak Thian-ki memang bergajul dan bangor, terlupakan olehnya bahwa dirinya tengah terkurung ditempat bahaya, dengan termangu-mangu ia pandang wajah nan elok ini, sampai lupa untuk bicara.
Dayang itu tertawa manis, katanya: “Kau ingin aku menolongmu keluar bukan?"
Melihat orang begitu pintar dan cerdik, girang hati Thian-ki, sahutnya cepat: “Ya, ya benar. Aku yang rendah Thio Thian-ki dengan seorang kawan kesalahan masuk ketempat terlarang ini, harap cici suka mengulur tangan menolong kami keluar, sungguh tak terhingga terima kasih kami ! Harap tanya siapakah nama harum cici?" Dayang itu tertawa lagi, katanya: “Aku she Kim bernama Lee-ing, tidak sukar aku menolongmu keluar, tapi kau harus memenuhi permintaanku dulu."
Sungguh tak duga bahwa orang bisa mengajukan syarat, cepat ia menyahut: “Bagus, bagus sekali. Asal cici dapat menolongku keluar dari sini, apapun syaratnya, pasti aku dan sahabatku itu akan melulusi !"
Kim Lee-ing memberi tahu kepada Thian-ki bahwa dia sebenarnya berasal dari luar perbatasan di utara. Di rumahnya masih ada ayah bundanya serta beberapa kakaknya. Ayah dan kakaknya itu pandai bermain silat. Dua tahun yang lalu kebetulan waktu ayah dan para kakaknya itu keluar, tiba-tiba Lee-ing diculik oleh orang jahat terus dibawa masuk ke pedalaman sini, dijual kepada seorang pedagang besar dijadikan pelayan. Kebetulan tahun itu gadis keluarga har- tawan itu kena terpilih oleh petugas kerajaan harus dimasukkan ke istana menjadi dayang di kraton, karena berat ditinggalkan anak gadisnya, akhirnya Lee-inglah yang menjadi korban untuk menggantikan gadis majikannya, sejak saat itu dua tahun sudah berselang dirinya menjadi dayang di kraton ini, ayah serta keluarganya diluar perbatasan itu masih belum mengetahui akan jejaknya ini. Syarat yang diajukan ialah supaya Thian-ki suka mengirim kabar kepada ayahnya, dengan kepandaian silat ayah dan para saudaranya yang lihay itu, dia percaya dirinya pasti dapat ditolong keluar dari kraton yang membelenggu hidupnya ini.
Tanpa banyak pikir lagi segera Thian-ki menyanggupi. Lee-ing berjingkrak girang, terus berlari pergi. Dengan gelisah dan kurang tentram Thian-ki dan To Yung menanti. Sampai hari menjelang tengah malam, baru terlihat Kim Lee-ing mendatangi, dari balik lengan bajunya dikeluarkan sebilah cundrik yang tipis bagai kertas, sekali iris saja jeruji besi sebesar ibu jari kaki itu dengan gampang kena diputuskan seperti memotong tahu, terbukalah luang untuk keluar melarikan diri.
Tersipu-sipu To Yung dan Thian-ki mengemasi dua buntalan besar, dipilihnya benda-benda yang paling mahal dan indah, lalu dengan kedua buntalan besarnya itu mereka bolos keluar dari lobang jendela itu. Malam-malam itu juga mereka kempit pula Kim Lee-ing terus dibawa keluar istana, dengan kepandaian Ginkang yang sempurna itu mudah saja mereka melarikan diri dari lingkungan kraton yang terjaga ketat itu.
Mereka insaf bahwa pihak kerajaan pasti akan tahu bahwa gudang harta kerajaan kebobolan dan pasti akan mengadakan penggeledahan besar-besaran, maka mereka bertiga lantas cepat-cepat tinggalkan kota raja. Terlebih dulu mereka pendam barang-barang curian dari gudang harta istana raja itu di ruang bawah tanah dibawah puncak Gun-u-leng bekas markas besar So-keh-pang dulu. Lalu memenuhi permintaan Kim Lee-ing mengantarnya keluar perbatasan.
Kim Lee-ing pernah berkata bahwa ayah serta para engkohnya adalah tokoh-tokoh silat kenamaan diluar perbatasan, tinggi ilmu kepandaiannya. Thian-ki bertanya tentang nama serta asal usul perguruan ayah serta engkohnya itu, tapi Kim Lee-ing mandah tertawa saja.
Waktu sampai diluar perbatasan, mereka menginap pada suatu rumah makan, disana Thian-ki terlalu banyak minum arak sehingga mabuk, dibawah penerangan cahaya pelita, terasa dalam pandangan Thian-ki betapa cantik moleknya Kim Lee-ing, timbullah nafsu birahi hendak memperkosa si gadis suci ini. Siapa tahu Kim Lee-ing adalah gadis suci keturunan dari keluarga lurus, meskipun cantik tapi hatinya tabah dan bersikap dingin terhadap rayuan Thian-ki, saking tak tahan lagi Thian-ki melolos pedang hendak memaksanya, karena tak sudi ternoda akhirnya dia gigit lidah sendiri untuk bunuh diri. Bersama To Yung, Thian-ki baringkan tubuh Kim Lee-ing dibawah ranjang terus tersipu-sipu tinggal lari supaya tidak meninggalkan jejak dan takut diketahui orang. Siapa duga baru saja mereka keluar dari penginapan itu, ditengah jalan mereka berpapasan dengan enam laki-laki berseragam hitam. Satu diantaranya begitu melihat Thian-ki segera berseru kejut: “Yah, bukankah tuan ini adanya?"
Seorang tua diantara mereka segera maju menyapa: "Tuan penolong yang berbudi. Lohu adalah Hek-liong Kim Thay dari luar perbatasan, inilah lima orang putra2ku. Kami mendapat kabar bahwa tuan penolong katanya berada disini. Maka aku orang tua yang bodoh segera membawa kelima putraku ini berkunjung kemari untuk menyatakan banyak-banyak terima kasih akan pertolongan tuan terhadap putri bungsu kami itu !” habis berkata terus membungkuk tubuh.
Bermula Thian-ki berdiri terlongong-longong saking kaget, dasar cerdik dan banyak akal, segera ia menduga bahwa mereka adalah ayah serta para engkoh dari Kim Lee-ing itu yang telah menyambut datang. Lama sudah ia pernah dengan kebesaran nama Hek-liong (naga hitam) Kim Thay sebagai tokoh silat yang paling disegani diluar perbatasan utara. Orangnya jujur bersikap gagah perwira, tapi sepak terjangnya sukar diselami, kadang-kadang lurus tapi juga suka nyeleweng. Senjata tombak pendek bercabang serta senjata rahasia aneh itulah yang telah mengangkat nama serta disegani kaum persilatan! Karena ilmu silatnya yang lihay itu, banyak tokoh-tokoh silat dari aliran hitam atau putih banyak yang gentar dan segan menghadapi gembong kenamaan ini.
Diam-diam Thian-ki mengeluh dalam hati, mengapa tidak sebelum peristiwa ini terjadi dia mengetahui bahwa Kim Lee-ing ternyata adalah putri tunggalnya, sekarang kesalahan besar telah terjadi cara bagaimana baiknya?
Dalam keadaan yang terdesak dan serba susah ini, terdengar Naga Hitam Kim Thay berkata lagi: “Putriku Lee-ing telah tertolong oleh tuan, betapa besar budi kebaikan ini, kita ayah beranak takkan melupakan selama-lamanya. Harap sukalah memberi tahu dimanakah kiranya sekarang putriku itu berada?"
Bukan menjawab dengan kata-kata mendadak Thian-ki malah rangkapkan kedua jari tangan kanannya secepat kilat dan tiba-tiba meluncur menutuk tenggorokan Kim Thay.
Kejadian yang mendadak akan serangan keji ini sungguh mengejutkan kelima putra Kim Thay itu, mereka berteriak kejut dan sampai kesima. Di saat kedua jari Thian-ki hampir menyentuh badan orang, tiba-tiba timbul rasa penyesalan dalam benak Thian-ki, maka dari serangan tutukan ia ganti menjadi tamparan, hanya terpaut serambut saja tangannya menyerempet liwat. Sementara itu, untuk menghindar diri Naga hitam Kim Thay doyongkan atas tubuhnya ke belakang, dengan susah payah ia lolos dari lobang jarum ini, namun demikian angin tamparan Thian-ki yang tajam itu cukup membuat tenggorokannya tersumbat sementara dan terasa kulitnya pedas.
Tanpa memberi kesempatan mereka bergerak turun tangan, sekali berkelebat Thian-ki kembangkan ilmu ringan tubuhnya yang lincah dan aneh itu, sekejap mata saja tahu-tahu bayangannya sudah menghilang dari pandangan orang banyak. Demikian juga seenteng asap mengembang To Yung juga melesat pergi mengintil dibelakang Thian-ki. Mereka terus lari kembali ke Thio-keh-cheng, disini mereka mengeram dan sembunyi sekian lamanya.
Sampai permulaan tahun yang lalu, saking iseng terkenang oleh Thian-ki dan To Yung akan barang-barang yang mereka simpan dan sembunyikan dibawah tanah dibawah gedung bobrok keluarga So-keh-pang itu, sore hari itu mereka sampai di Ki-lam, secara kebetulan dilihatnya putri Li-tihu yang bernama Li Hong-gi diajak ibunya pergi sembahyang di kelenteng. Sudah lama Thian-ki mendengar akan kecantikan Li Hong-gi, sekali pandang lantas ia mengakui bahwa kecantikan Li Hong-gi memang melebihi keelokan Nisi Hujin, kontan berkobar lagi sifat-sifat bangornya yang sudah sekian lama ini terpendam.
Malam hari itu Thian-ki lantas menyusup kedalam gedung kediaman Li-tihu. Dibawah cahaya pelita dilihatnya betapa eloknya Li Hong-gi ini, berusia muda masih perawan lagi. Teringat akan usia sendiri yang sudah mulai menanjak pertengahan, seketika timbul suatu perasaan dan angan-angan aneh dalam benaknya.
Teringat olehnya bahwa putra tunggalnya Thian-ih sekarang sudah menanjak dewasa, usianya juga sembabat dengan gadis remaja ini. Jodoh Thian-ih kelak mana mungkin bisa memperoleh isteri yang rupawan dan agung seperti Li Hong-gi ini. Terbalik dengan sepak terjang kebiasaannya, tak tega dia memetik kuncup bunga yang sedang mekar ini, terasa rendah dan kerdil dirinya ini bila dibanding dengan sang putri yang kecantikannya melebihi bidadari ini. Seumpama kodok buduk merindukan rembulan, tak berani lagi ia menambah dosa untuk menodai badan Li Hong-gi yang suci bersih.
Usia Thian-ih putra tunggal yang diakui sebagai adiknya itu sudah hampir dua puluh, tiba saatnya untuk dicarikan jodoh, apa pula jeleknya kuculik Li Hong-gi ini untuk kujodohkan kepada anakku itu? Demikianlah setelah ia bertekad mengambil keputusan malam itu juga dia culik Li Hong-gi dari gedung Li-tihu terus dibawa ke puncak Gun-u-ling.
Mungkin memang sudah takdir Tuhan bahwa perbuatan dosa serta kejahatannya yang sudah bertumpuk-tumpuk sekian banyak ini harus dia tebus dengan kematiannya. Hari itu sungguh jelek nasibnya, malam itu dia berpisah dengan To Yung dan seorang diri melakukan pekerjaannya. Li Hong-gi dimasukkan ke dalam sebuah kantongan besar terus dipanggulnya sampai gedung bobrok markas besar So-keh-pang dulu, tujuannya adalah membawanya masuk untuk disembunyikan di ruang bawah didalam perigi itu.
Diluar tahunya sejak kematian putrinya dendam dan geram sekali Naga hitam Kim Thay dan kelima putranya itu, dengan tekun mereka menyirapi dan mencari tahu jejak Thian-ki. Malam itu siang-siang mereka sudah menunggu dan mengatur rencana untuk menanti kedatangannya. Demikian juga Hi Si-ing murid tunggal Thian-ki ternyata juga telah menyusul tiba di puncak Gun-u-ling itu karena dia mencurigai sepak terjang gurunya yang nyeleweng itu.
Seorang diri akhirnya Thian-ki tidak kuat bertahan dikeroyok enam orang, dia mati konyol dibawah tangan keenam orang berkedok hitam itu, saking benci dan dendam mereka terhadap Thian-ki, sengaja dengan senjata mereka yang aneh itu mereka mencacah hancur seluruh tubuh Thian-ki, serta meninggalkan catatan yang menerangkan segala hal-ihwal tentang peristiwa yang telah terjadi ini.
Itulah cerita panjang yang dituturkan To Yung kepada Thian-ih di dalam ruang bawah tanah itu. Tak lupa diterangkan juga oleh To Yung akan sepak terjangnya sejak kematian Thian-ki semua adalah demi kebaikannya. Persis benar dengan keterangan yang diberikan oleh Hun-tai Siancu kepada Thian-ih tempo hari.
Setelah cerita To Yung habis, mereka duduk berhadapan, merenung dan termangu, To Yung tahu bahwa pikiran Thian-ih sedang kacau, maka dia bungkam tak bicara lagi. Diambilnya lagi arak simpanannya untuk diminum dan dihabiskan sendiri.
Selang sejenak dilihatnya Thian-ih masih terpekur dalam pikirannya, kedua pipinya merah membara, timbullah rasa kasih sayangnya terhadap putra sahabatnya ini. Harus diketahui bahwa hubungan To Yung dan Thian-ki sedemikian akrab melebihi persahabatan orang lain. Perhatian To Yung terhadap Thian-ki memang lain dari yang lain. Kalau dikata To Yung menjadi bayangan atau duplikat Thian-ki memang tidak berkelebihan.
Sekarang Seng-po-sat Thio Thian-ki sibudha hidup sudah mati, maka To Yung lantas mengalihkan perhatiannya terhadap Thian-ki kepada Thian-ih, dipikulnya tanggung jawab keselamatan Thian-ih keatas pundaknya sendiri.
Terdengar To Yung berkata halus: “Thian-ih, semua pengalaman dan kejadian yang lalu sudah kututurkan kepadamu, kau tidak menyalahkan aku bukan?! Hatiku gelisah dan pikiran kacau balau perasaan beku lagi, seolah-olah hidupku ini tiada sandaran lagi, besar tekadku untuk menyelimuti dosa serta kejahatan yang telah diperbuat oleh ayahmu. Bersama itu aku ingin kau sukses, luntang lantung kian kemari mengatur tipu daya serta membunuh orang, perbuatan itu tak mungkin tercegah dan kenyataan sudah berlarut, memang harus kuakui bahwa tindak tandukku itu agak kelewat batas " berhenti sebentar, lalu sambungnya
lagi: "Tapi, apapun yang telah kulakukan itu adalah untuk kebaikanmu, untuk kebaikanmu " suara To Yung sampai gemetar sember.
Thian-ih lantas berpikir; persis benar akan keterangan Hun-tai Siancu, meskipun sepak terjang To Yung ini rada nyeleweng, hakikatnya memang untuk kebaikan dirinya. Sudah tentu tak enak hatinya untuk membencinya selalu, karena pikirannya ini hatinya menjadi sedikit lega dan air mukanya juga mulai tenang lagi.
To Yung tahu bahwa Thian-ih sekarang sudah dapat memaklumi isi hatinya, tiba-tiba bangkit semangatnya, katanya tertawa: “Sekarang semua sudah beres ! Kau sudah tahu semua duduk perkara ini. Kini ilmu silatmu juga sudah maju pesat setelah digembleng, biarlah kuajarkan juga ilmu riasku serta Ginkangku kepada kau. Tentang pelajaran senjata rahasia yang mengandung bisa itu terserah kau mau mempelajari. Mengandal kepandaianmu sekarang cukup sebagai bekal untuk malang melintang di dunia persilatan, kau harus mewarisi tanggung jawab dan cita-cita ayahmu sebelum ajal, kau harus muncul di Kangouw dengan baju perak serta pedang emasnya itu, lakukanlah dharma bakti bagi sesama manusia untuk kesejahteraan masyarakat umumnya."
Sungguh tak kira sedemikian besar simpatik dan penghargaannya terhadap perasaan. Thian-ih tunduk diam tanpa mengeluarkan suara.
Kata To Yung lagi: “Hong-gi sangat mencintai kau, entah dimana dia sekarang berada. Namun bagaimana juga aku akan membantu kau mencarinya sampai ketemu, kau juga tidak perlu sungkan dan rikuh-rikuh lagi. Secepatnya kalian harus segera melangsungkan perjodohan ini, supaya lega dan terhibur hatiku. Semua harta benda dalam ruangan ini kuserahkan kepadamu sebagai mas kawin kalian kelak supaya dapat hidup bahagia dan sentosa!"
Melihat orang tetap membisu, To Yung juga membisu sebentar, lalu berkata pula memancing: “Apakah kau masih berminat hendak menuntut balas bagi ayahmu? Keenam orang berkedok itu adalah si Naga hitam Kim Thay serta anak-anaknya yang sangat kenamaan di luar perbatasan sana. Sekarang kalau kau berminat menuntut balas, segampang kau membalikkan tangan." Thian-ih melengak tanyanya: "Apa maksudmu ini?" Melihat pancingannya berhasil membuat Thian-ih buka mulut, girang hati To Yung, ujarnya sambil tertawa: “Keenam orang ayah beranak itu begitu kebentur ditanganku, ternyata sedemikian tidak berguna, sedikit aku menipu saja, lantas aku dapat mengurung mereka bersama. Sekarang kalau kau berniat membunuh mereka, seumpama kau menangkap kura-kura dalam belanga, gampang sekali tanpa ada perlawanan. Dan aku tanggung pasti mereka pasrah saja kau penggal kepalanya." setelah berkata ia bergelak tertawa.
Saking heran dan tidak mengerti, Thian-ih bertanya: “Dalam hal ini aku masih belum dapat ambil keputusan, apakah aku harus menuntut balas terhadap mereka !"
“Benar!" seru To Yung sambil bertepuk tangan. “Pendapatku sama dengan kau, meskipun mereka ayah beranak telah membunuh ayahmu, tujuannya adalah menuntut balas akan kematian Kim Lee-ing yang tidak berdosa itu. Betapa juga tindakan mereka adalah benar dan harus dimaklumi. Dan yang terpenting dan harus dipuji, mereka mengantar pulang Li Hong-gi ke Kilam tanpa kurang suatu apa. Maka............waktu aku mengatur jebakan mengurung mereka, untuk membunuh mereka juga hanya sekali kerja saja. Tapi selamanya setiap tindak-tandukku tentu kuperhitungkan sebelumnya. Seperti kau, aku ragu-ragu haruskah aku turun tangan, sekian lamanya aku tidak kuasa ambil keputusan, begitulah sampai berlarut hingga sekarang."
Thian-ih berpikir, omongannya ini memang dapat dipercaya. Menurut cerita Hun-tai Siancu bahwa meskipun dia terlalu sumbar menyebar maut sehingga menimbulkan banyak kematian, namun yang dibunuh olehnya itu rata-rata adalah gembong silat jahat yang memang sudah setimpal dengan perbuatannya. Berpikir sampai disini tiba-tiba teringat olehnya akan Ciu Hou, segera ia bertanya gugup: "Paman To, dimana Ban-keh-seng-hud Ciu Hou sekarang?"
Panggilan 'paman To' ini membuat hati To Yung syur girang bukan kepalang, wajahnya berseri ria, sahutnya: “Thian-ih, kau tidak usah kuatir, aku tidak membunuhnya. Karena kuatir dia menceritakan kejelekan ayahmu kepada umum, maka kugebah dia dengan berbagai ancaman yang menakutkan itu, sehingga dia tidak enak makan, tidak bisa tidur, selalu dalam kekuatiran. Ciu Hou betul-betul seorang baik, sampai sekarang belum pernah dia mengatakan tentang rahasia-sia itu. Maka aku tidak bisa membunuhnya, tapi kukurung dia di suatu tempat yang terahasia."
Kata Thian-ih: “Apa dikurung bersama Kim Thay ayah beranak?"
To Yung manggut-manggut, katanya: “Tidak salah. Mereka kukurung disatu tempat, di gunung Bu-ciok-san yang terletak tidak jauh dari Sam-ho. Dulu bersama ayahmu aku pernah menemukan sebuah lembah yang terbentuk oleh alam, maka kali ini aku tipu Kim Thay dan putra-putranya masuk kedalam lembah itu. Demikian juga kuantar Ban-keh-seng-hud Ciu Hou masuk kesana, lalu pintu masuk kelembah itu kututup dengan batu-batu gunung, biarlah mereka hidup berdikari dalam lembah yang serba ada itu."
Thian-ih heran, tanyanya: “Kalau dalam lembah itu sedemikian subur serba ada dengan segala hasil makanan, pastilah mereka masih dapat hidup disana. Lalu bila aku ke sana dan turun tangan dalam keroyokan keenam orang itu masakan aku dapat menang. Sebaliknya Paman bilang bahwa untuk membunuh mereka segampang membalikkan tangan, bagaimana keterangan ini?”
To Yung memberi penjelasan: “Thian-ih, kau hanya tahu satu tidak tahu yang lain. Lembah yang kukatakan itu belum pernah dijamah oleh jejak manusia, keadaannya juga sangat aneh, terutama sumber air yang mengalir di sana, meskipun bening dan jernih sekali sampai dapat melihat dasarnya, malah berbau wangi lagi. Tapi sekali orang meneguknya kaki tangan lantas terasa lemas tak bertenaga, sampai kerjaan yang rada berat juga tidak mampu dilakukan lagi, apalagi bergebrak dengan orang. Ketujuh orang itu kukurung didalam lembah itu, kalau sampai sekarang mereka masih hidup, betapapun mereka harus minum air jernih itu. Kalau toh kaki tangan mereka tidak bertenaga lagi, masa masih kuat melawan kau yang bertenaga baru. Tapi setelah kupikir-pikir, baik juga kau pergi kesana melepas mereka keluar. Terutama Ciu Hou memang harus dilepas, yang terang kau sekarang sudah mengetahui segala seluk beluk pangkal peristiwa itu. Kalau kau bertemu dengan dia tolong kau beri penjelasan kepadanya tentang kedudukanku yang serba sulit betapa pun minta dimaafkan. Tentang Kim Thay dan putra-putranya terserah kepada kau mau bunuh atau melepasnya."
Thian-ih berkeputusan hendak menuju kelembah di gunung Bu-ciok-san itu untuk menolong Ciu Hou. Lalu bagaimana dia harus membereskan Kim Thay serta putra-putranya ? Dia belum dapat ambil kepastian, biarlah kesana dulu dan bekerja mengikuti situasi dan keadaan setempat. Begitulah mereka berhadapan makan minum sambil ngobrol panjang lebar, malam itu mereka menginap dan tidur di ruang bawah tanah itu.
Besok pagi To Yung membangunkan Thian-ih, katanya: “Aku sudah menyelidiki keluar, para kesatuan Bhayangkari dan So Tiong kakak beradik serta yang lain-lain sudah mengundurkan diri, sekarang diatas bukit ini tiada seorangpun jua. Inilah kesempatan terbaik bagi kau turun gunung."
Teringat oleh Thian-ih akan gadis berkabung itu, tanyanya: "Paman To, bagaimana dengan nona she Lo itu?"
To Yung menyahut: "Entah sudah pergi atau mertamu di So-keh-pang. Gadis ayu itu adalah putri tunggal Lo Liong dengan Nisi Hujin. Dulu waktu aku dan ayahmu berada di Kim-hoan-kau, dia masih gadis kecil mungil. Sekarang telah dewasa dan sedemikian besar. Dia berkabung atas kematian ibunya itu, kedatangannya ini juga untuk mencari sibaju perak terang yang dituju adalah aku dan ayahmu. Mungkin samar-samar dia sudah dapat meraba sebab-musabab kematian ibunya itu tersangkut paut dengan kita berdua, namun menurut dugaanku dia masih belum tahu jelas menyeluruh. Mengapa ayah duplikatnya itu mendadak hilang, lantas ibunya bunuh diri. Tidaklah heran kalau dia berdaya hendak memeriksa peristiwa ini."
Berhenti sejenak lalu katanya lagi: “Kali ini Lo Ka Siangjin dan kamrat-kamratnya itu mungkin sudah terbasmi habis. Tapi To Yung atau sibaju perak palsu yang kena tertawan oleh mereka itu pasti akhirnya ketahuan, ini hanya soal waktu saja, saat itu tentu akan menimbulkan keributan besar! Lebih baik kau lekas-lekas meninggalkan tempat ini, siapa tahu mereka akan balik keatas sini melakukan pemeriksaan lagi." sekilas ia melirik kearah Thian-ih, lalu ujarnya menggoda: “Thian-ih kenapa kau ini terkenang dan kepincut pada gadis she Lo itu bukan? Dulu bapakmu jatuh cinta pada ibunya, hahaha !"
Cepat-cepat Thian-ih membantah: “Mana aku ada niat begitu, harap paman To jangan terlalu banyak sangka."
To Yung tersenyum saja tanpa berkata-kata lagi.
Mendadak teringat oleh Thian-ih tentang keterangan Hun-tai Siancu bahwa ibu kandungnya katanya masih hidup dan sehat walafiat, maka cepat-cepat ia bertanya: "Paman To, dimanakah sekarang ibu berada?"
To Yung tertegun, matanya memantulkan rasa kejut dan ragu-ragu, menatap tajam kearah Thian-ih. Melihat Thio Thian-ih menanti jawabannya dengan penuh harap dan cemas, To Yung menggeleng. Thian-ih menjadi gelisah, tahu dia bahwa pasti masih ada rahasia apa lagi di belakang ini, maka desaknya lagi: “Paman To, lekas beritahu, dimana ibu berada?"
To Yung tetap geleng kepala, katanya: “Tidak bisa! Aku tahu belum saatnya sekarang aku memberitahu rahasia ini."
Saking gugup Thian-ih menarik lengan To Yung, desaknya: “Mengapa? Apakah ibuku tidak mau menemui aku atau tidak mau mengakui aku sebagai anaknya lagi?"
To Yung berkata sabar: “Bukan begitu! Aku tahu bahwa dia sangat memperhatikan kau, sangat sayang kepadamu. Tapi sekarang belum saatnya mengakui kau karena terbentur oleh sesuatu yang harus dirahasiakan, kalau belum tiba saatnya, bagaimana juga belum dapat kujelaskan kepadamu."
Sikap Thian-ih menjadi lesu dan kecewa, To Yung merasa tidak tega, maka bujuknya: "Thian-ih, sekarang tugasmu harus pergi ke Bu-ciok-san dulu, lakukanlah apa yang harus kau kerjakan. Akan tiba satu hari kalian ibu dan anak bertemu dan berkumpul kembali. Dan lagi aku malah berani pastikan bahwa saat itu tidak lama lagi. Meskipun ibumu belum dapat mengakui kau, tapi diam-diam beliau memperhatikan dirimu, baik-baiklah kau pergi melaksanakan tugasmu itu. Setelah segala urusanmu selesai kita bertemu di Hun-tai-san."
Dari atas dinding To Yung mengambil sebuah kantongan kulit, dikatakan bahwa isinya adalah bahan-bahan obat untuk rias. Lalu secara singkat To Yung memberi pelajaran tentang merias diri secara sekadarnya yang paling gampang lalu menyerahkan kantongan kulit itu. Dipesannya wanti-wanti kalau menghadapi bahaya dan sulit meloloskan diri, tiada halangan mengandal obat-obatan itu merias diri untuk menyelamatkan diri. Thian-ih tidak enak menampik kebaikan yang diberikan ini, dia menerima sambil mengucapkan banyak terima kasih. Setelah hari menjelang petang, secara diam-diam mereka berdua keluar dari ruang dibawah dalam perigi itu terus berpisah dibawah gunung.
Waktu lewat di So-keh-pang, jauh-jauh terlihat keadaan markas besar itu terang benderang, diduganya bahwa para petugas dari istana raja itu pasti masih berada disana, untuk menghemat waktu dan supaya tidak menimbulkan banyak kesukaran, ia lewati saja perkampungan besar itu terus berlari-lari kencang.
Betapa juga So Tiong yang gagah perwira dan berpambek kesatria, serta So Hoan si gadis lincah yang simpatik itu akan selalu terkenang dalam sanubari Thian-ih. Apalagi bila teringat pengalaman malam didalam gedung bobrok duduk berdekatan bersama So Hoan tempo hari itu, seolah-olah baru saja terjadi belum lama ini, sampai Thian-ih merasa seperti hatinya dikili-kili.
Demikian juga putri Nisi Hujin itu, walaupun mengenakan pakaian berkabung yang sederhana, namun tidak mengurangi kecantikannya. Malam itu didalam gedung bobrok dipuncak Gun-u-ling itu sengaja dia melindungi Thian-ih, bagaimana mungkin dia bakal dapat melupakan ini. Pikir punya pikir, lantas terbayang dan terkenang akan Li Hong-gi, terasakan olehnya bagaimana juga dia tidak boleh menyia-nyiakan kebaikan serta cinta kasih Hong-gi terhadap dirinya, secepatnya aku harus menolong Ciu Hou keluar, lalu kembali ke Hun-tai dan bersama To Yung pergi mencarinya.
Waktu terang tanah, Thian-ih menyewa sebuah kereta keledai untuk menggantikan kedua kakinya. Segera kereta keledai itu berlari kencang menuju ke keresidenan Sam-ho yang terletak dipropensi Ho-pak.
Perjalanan cukup jauh ini memakan waktu beberapa hari. Siang hari itu Thian-ih tiba di Sam-ho, tiada kesempatan bagi Thian-ih untuk pulang tilik keluarga. Setelah mencari tahu letak gunung Bu-ciok-san, cepat-cepat ia beranjak kesana.
Sampai di Bu-ciok san Thian-ih harus berputar kayun menjelajah kesana-kemari mencari lembah Kambing yang diceritakan oleh To Yung itu. Setengah harian sudah tanpa mendapat hasil, yang ditemui adalah alas pegunungan atau batu-batu cadas yang meninggi dan menjulang menembus angkasa. Saking kewalahan akhirnya ia turun gunung mencari perkampungan dan tanya pada para petani atau penebang kayu. Tapi semua yang ditanya pasti menggeleng kepala dengan ketakutan, serta menjawab tidak tahu. Apa boleh buat akhirnya Thian-ih gunakan uang peraknya untuk menyogok, baru akhirnya ia mendapat keterangannya letak Lembah Kambing yang dicarinya itu.
Waktu Thian-ih sampai tempat yang dituju memang betul pintu masuk kedalam lembah sana tersumbat oleh sebuah batu gunung yang sangat besar. Thian-ih harus kerahkan seluruh tenaganya untuk menggeser batu besar itu. Setelah batu dapat disingkirkan Thian-ih lantas menyelinap masuk, pandangannya menjadi terang dan nyaman, dihadapannya terbentang sebuah dataran rendah yang subur menghijau, disekelilingnya dipagari dinding batu gunung yang tinggi, sehingga lembah ini menyerupai sebuah baskom besar. Di kejauhan sana serombongan kambing tengah asyik makan rumput di pinggiran sungai. Membelakangi dinding batu sebelah kiri adalah rumpun sebuah hutan kayu siong, sedemikian subur dan lebat daun-daunnya bak secarik gambar diatas kertas.
Dalam lembah tidak kelihatan adanya jejak manusia, secara diam-diam Thian-ih menggeremet maju terus melesat masuk kedalam hutan. Terdengar disini burung berkicau bersahutan dengan ramainya, bau harum kembang merangsang hidung, tanpa terasa badan lantas segar dan bersemangat. Waktu ia angkat kepala hampir saja ia berseru kaget, terlihat ditengah hutan sana dibangun sebuah gubuk yang terbuat anyaman daon kering. Didepan pekarangan rumah tampak duduk dua orang tengah bercakap-cakap, salah seorang diantaranya adalah Ban-keh-seng-hud Ciu Hou, sedang seorang yang lain adalah seorang kakek yang berjambang lebat, dapatlah diduga bahwa kakek tua ini pasti si Naga hitam Kim Thay itu.
Sesaat sulit bagi Thian-ih mengambil keputusan cara bagaimana ia harus mulai bekerja, sekali berkelebat ia sembunyi dibalik pohon dibelakang mereka. Terdengar mereka tengah bercakap-cakap dengan suara lirih, dan lesu serta tak bertenaga. Kata Kim Thay: “Saudara Ciu, sibaju perak itu sungguh kejam dan licik, dia menipu dan mengurung kita ditempat semacam ini, sampai ilmu kepandaian juga lenyap tak berguna lagi, hidup merana dengan tanpa tenaga begini sungguh menyiksa dan mengenaskan."
Ban-keh-seng-hud Ciu Hou menghela napas, sahutnya, “Persoalan lain sih aku tidak perduli, hanya menurut peruntunganku, saat ini sudah menjelang bulan empat. Ketahuilah bahwa pada bulan empat yang akan datang ini dikalangan Kangouw bakal terbit gelombang keonaran besar yang dahsyat. Peristiwa ini sudah lama bersemi dan tinggal tunggu waktu saja. Bagaimana juga aku harus cepat-cepat dapat pergi kesana untuk mencegah bencana yang bakal terjadi ini. Karena ini hanyalah suatu kesalah pahaman saja, sampai kedua belah pihak harus naik pitam dan harus bertempur mati-matian, latar belakang duduk peristiwa ini hanya aku seorang yang mengetahui. Kalau aku dapat menyusul tiba tepat pada waktunya mungkin masih dapat mencegah timbulnya bencana besar itu.”
Terdengar Kim Thay sinaga hitam dari luar perbatasan itu menghiburnya: “Saudara Ciu. Sekarang kenyataan kau terkurung disini, lebih baik kau tidak memikirkan segala urusan tetek bengek yang tidak mungkin kau dapat campur tangan lagi. Coba ingin kutanya julukanmu sebagai si Budha hidup penolong berlaksa keluarga, entah sudah berapa banyak umat manusia yang telah kau tolong jiwanya, akhirnya kau sendiri harus mengalami siksaan lahir batin disini. Ini menandakan bahwa Tuhan tidak bermata dan kurang adil. Lebih baik kita tidak usah repot-repot dan menguatirkan segala urusan orang lain. Anak Sin, ambil makanan kemari!''
Terdengar seseorang mengiakan dari dalam gubuk reyot itu lantas terlihat seorang pemuda berjalan keluar sambil membawa daging, buah-buahan serta air minum. Derap langkahnya sangat berat, padahal daging dan buah-buahan serta minuman yang dibawanya itu tidak begitu banyak, tapi agaknya sudah menghabiskan seluruh tenaganya. Segera terlihat pula se- orang pemuda memburu maju membantu membawakan buah-buahan itu.
Melihat keadaan ini, diam-diam Thian-ih terperanjat, sungguh lihay benar air jernih dalam lembah kambing ini. Kedua pemuda itu terang adalah putra-putra Kim Thay. Menurut To Yung bahwa kaki tangan mereka sudah lemas tak bertenaga memang bukan bualan belaka.
Tampak Kim Thay angkat cangkirnya terus ditenggak habis, ujarnya sambil tertawa getir: “Walaupun sudah tahu bahwa air ini rada aneh, tapi kita bertujuh terpaksa harus meminumnya juga. Tuhan oh Tuhan! Kasihanilah hambamu ini. Sibaju perak yang durjana itu, kenapa tidak jatuhkan tangan jahatnya sekalian menamatkan hidup kita?"
Tak tertahan Ciu Hou menghela napas panjang, ujarnya: “Seumpama harus mati sih aku tidak takut. Tapi aku kuatir akan kejadian yang bakal terjadi dipertengahan bulan empat itu, karena kedua belah pihak adalah sama sahabatku yang paling akrab. Bagaimana mungkin aku dapat berpeluk tangan dan berlega hati."
Kim Thay bertanya: “Siapakah sahabatmu itu?" “Dia bukan lain adalah Hun-tai Siancu Ui Eng "
Thian-ih berjingkat kaget mendengar keterangan ini. Tak terkira olehnya bahwa Hun-tai Siancu ternyata sudah berjanji dengan orang hendak bertempur menentukan mati hidup. Kenapa aku tidak mengetahui tentang hal ini. Kejadian ini sungguh luar biasa, maka Thian-ih pusatkan perhatiannya mendengarkan penjelasan Ciu Hou selanjutnya.
Kiranya Hun-tai Siancu Ui Eng adalah sahabat Ciu Hou sejak masih kanak-anak, waktu masih muda mereka adalah tetangga, tak jauh dari kediaman mereka masih terdapat sebuah keluarga yang mempunyai putra sebaya dengan mereka, pemuda itu adalah Ki-san Tay-hiap Ki Bing yang kenamaan itu. Mereka bertiga sering bermain bersama, diam-diam Ciu Hou dan Ki Bing sama-sama mencintai Ui Eng. Tapi Ki Bing lebih tampan dan gagah, maka Ciu Hou tahu diri dan mundur teratur, diam-diam ia pujikan dan berdoa akan terangkapnya perjodohan mereka. Tapi puluhan tahun kemudian setelah mereka bertiga menanjak dewasa, mereka mulai berkelana di kalangan Kangouw. Setelah berpisah Ki Bing masih berusaha mengejar-ngejar Ui Eng. Tapi entah mengapa Ui Eng masih belum mau menikah dengan dia. Beberapa tahun berselang, pada suatu hari tiba-tiba Ki Bing datang mencari Ciu Hou,melihat wajah temannya ini rada pucat dan kurus, Ciu Hou bertanya kenapa. Ki Bing menerangkan bukan saja Ui Eng sudah tidak menghargai persahabatan mereka yang berlangsung puluhan tahun itu, sekarang malah mencintai seorang begal tunggal yang banyak dosanya. Dia bertanya dan minta pendapat Ciu Hou bagaimana. Ciu Hou merasa dalam hal ini Ui Eng yang bersalah, betapapun Ciu Hou masih merasa simpatik dan sangat memperhatikan keadaannya, pendek kata besar harapannya bahwa Ui Eng bisa menikah dengan Ki Bing. Sekarang setelah mendengar dia tersesat malah kepincut dengan seorang penjahat besar, hatinya menjadi kuatir, bersama Ki Bing mereka mencari Ui Eng untuk membujuknya.
Waktu sampai ditempat tujuan karena hari sudah berlarut malam, maka mereka ambil putusan untuk bicara besok pagi saja. Tak kira malam itu juga sipenjahat besar yang dicintai Ui Eng itu mendadak berkunjung datang. Diatas mukanya ada bekas goresan luka bacokan senjata yang dalam dan masih merembeskan darah segar. Malah kelima jari tangan kirinya juga terpapas buntung. Dia berkata, bahwa semua luka-lukanya itu diderita karena pengorbanannya sebagai imbalan cinta kasihnya terhadap Ui Eng, maka dia sengaja melukai diri sendiri sebagai tanda betapa dalam dan suci cintanya terhadap sang kekasih. Sebaliknya dia tanya kepada Ki Bing, kalau Ki Bing juga mencintai Ui Eng, mengapa tidak berani menunjukkan pengorbanannya untuk membuktikan cintanya? Tatkala itu Ki Bing kena dibikin gusar, tanpa banyak omong lagi segera ia lolos pedang terus menabas buntung tangan kiri sendiri. Kontan darah segar memancur deras dari lengannya, saking kesakitan dia kelengar. Untung masih ada Ciu Hou yang segera menolong dan memberi bantuan, baru jiwanya itu dapat diselamatkan. Sedang si penjahat besar itu mandah menjengek dingin terus tinggal pergi.
Hari kedua bersama Ciu Hou, Ki Bing menahan sakit menemui Ui Eng. Secara terang-terangan dihadapan Ui Eng ia nyatakan cintanya dengan menabas buntung lengan kirinya ini sebagai bukti akan ketulusan cintanya itu, ditandaskan lagi bahwa rasa cintanya tidak akan kalah mendalam dan suci dari sipenjahat besar yang banyak dosa dan kotor itu. Ciu Hou juga ikut membujuk dari samping, dia mengharap mereka berdua bisa rukun menjadi suami-istri. Tak duga Ui Eng menyangkal keras bahwa dia ada maksud dengan Ki Bing, juga diterangkan bahwa dia belum pernah mengadu cara kompetisi semacam itu untuk memperebutkan cinta mereka. Ditandaskan pula bahwa dia sudah bertekad hendak menikah dengan sipenjahat besar itu. Dikatakan bahwa perasaan serta hubungannya dengan Ki Bing tidak lebih sebagai persaudaraan belaka lain tidak.
Gara-gara Ki Bing sendiri yang terlalu gampang mengobral cinta sehingga bisa terjadi kesalah pahaman ini.
Saking gusar Ki Bing sampai kelengar jatuh pingsan sekali lagi Ciu Hou harus menolong dan mengusungnya pulang. Sejak saat itu, dari rasa cinta berbalik ia merasa dendam terhadap Ui Eng. Setelah Ui Eng menikah dengan penjahat besar itu, lalu Ki Bing mengasingkan diri ke Ki-san, disini ia memperdalam kepandaian dengan tekun belajar dan menggembleng diri. Ia sesumbar bahwa tangannya buntung karena dipermainkan oleh Ui Eng ia bersumpah hendak mengutungi sebelah lengan Ui Eng juga baru bisa terlampias rasa dendamnya ini. Seumpama air dan api permusuhan kedua belah pihak semakin mendalam, akhirnya diputuskan pada pertengahan bulan empat ini akan diadakan adu kepandaian di Hun-tai-san untuk menyelesaikan pertikaian ini.
Beberapa lama berselang sejak peristiwa itu terjadi, secara kebetulan Ciu Hou malah dapat membongkar kejadian salah paham ini. Tak lain adalah karena si penjahat besar itu yang membuat gara-gara. Dia pandai ilmu rias, luka di mukanya serta buntungnya kelima jarinya itu adalah palsu dan pura-pura belaka. Terang gamblang bahwa Ki Bing telah kena dikibuli sampai mengorbankan sebuah lengannya secara sia-sia. Sebaliknya dia masih salah paham dan menuduh bahwa semua ini adalah permainan Ui Eng melulu, lalu mendendam dan ingin menuntut balas.
Tapi pernikahan Hun-tai Siancu Ui Eng dengan sipenjahat besar itu juga tidak membawa akibat yang baik, karena sifat sipenjahat sukar dirubah, tanpa bekerja dan luntang-luntung menanam dosa, tak mau mendengar nasehat Ui Eng lagi, saking putus asa akhirnya Ui Eng putuskan hu- bungan suami-istri dan tinggal pergi mengasingkan diri. Memang sejak ditinggal pergi sang istri penjahat besar itu terketuk hatinya, ia sadar akan dosanya dan berusaha memperbaiki, untuk suatu masa yang tidak panjang dia memang dapat mengendalikan diri, tapi watak manusia memang sukar dikendalikan, akhirnya dia melakukan pula kejahatan2 yang sampai mengakhiri jiwanya.
Sampai disitu cerita Ciu Hou, mendadak Kim Thay bertanya: “Saudara Ciu! Menurut ceritamu itu aku dapat menebak sebagian, bukankah orang dalam ceritamu itu adalah yang kita bunuh "
Cepat-cepat Ciu Hou goyangkan kedua tangannya, serunya gugup: “Saudara Kim, kita sebagai kaum kesatria harus mengutamakan kebijaksanaan dan cinta kasih serta berani menghadapi kebenaran. Sekarang orang itu sudah mati, kejelekannya dimasa yang lalu lebih baik jangan diungkat-ungkat lagi, sudahlah tak usah membicarakan soal itu lagi."
Kim Thay juga tidak bilang apa lagi, ia menunduk sambil menghela napas panjang.
Dilain pihak, Thian-ih sampai mengalirkan keringat dingin mencuri dengar dari tempat sembunyinya. Bukankah cerita yang diperbincangkan itu adalah pengalaman ayahnya yang menggunakan kepandaian ilmu rias paman To untuk mengelabui dan menipu Ki-san Tayhiap sehingga dendam dan bermusuhan dengan Hun-tai Siancu Ui Eng.
Terang dalam pertikaian dulu itu Thio Thian-ki telah menggunakan cara yang licik untuk menipu Ki Bing sampai dia bisa mempersunting Hun-tai Siancu. Haya! Bukankah Hun-tai Siancu Ui Eng adalah ibu kandung Thian-ih sendiri, setelah direnungkan dan dianalisa secara menyeluruh akhirnya Thian-ih sadar akan seluruhnya.
Benar, untuk menghadapi tantangan Ki-san Tayhiap Ki Bing, pertempuran seru yang sulit menentukan siapa bakal menang dan asor ini, ada kemungkinan dia sendiri yang bakal tertimpa bencana, untuk tidak membuat Thian-ih sedih sengaja dia tidak atau belum mau mengakui hubungan sebagal ibu beranak ini. Berpikir sampai disini terasa hatinya mendelu dadanya terasa seperti dipukul godam. Sekarang hanya satu ingatan merangsang dalam otaknya; aku harus segera kembali ke Hun-tai-san untuk bertemu dengan ibu.
Sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak: “Ayah, paman Ciu, lekas kalian kemari, lihatlah pintu lembah ini sudah terbuka !"
Tampak diambang pintu lembah sana para putra Kim Thay berlari merubung maju sambil berjingkrak-jingkrak. Kim Thay menggenggam tangan Ciu Hou, lapat-lapat terlihat kedua matanya mengalirkan airmata kegirangan, bibirnya juga bergerak-gerak, suaranya terdengar gemetar dan sumbang: “Saudara Ciu, akhirnya kita akan hidup bebas pula. Tapi entahlah apakah sibaju perak sendiri yang telah datang?" “Selain dia tiada orang lain yang mengetahui lembah kambing ini siapa lagi yang mau kesini?'' demikian kata Ciu Hou. “Mungkin dia mulai insaf dan menyesal maka mau melepas kita. Saudara Kim ada beberapa patah kata ingin kusampaikan. Setelah kalian keluar dan setelah kepandaian kalian pulih, permusuhan dengan sibaju perak itu rasanya juga harus dihapus sampai disini saja, tak usah kau mengejar jejak pembunuh itu lagi, urusan bunuh membunuh pasti tiada akhirnya dan kedua belah pihak pasti akan jatuh korban secara sia-sia, apakah faedahnya?"
Naga hitam Kim Thay manggut-manggut, sahutnya: “Saudara Ciu, memang aku bermaksud demikian, ai, pengalaman hidup dalam lembah Kambing ini selama hidup ini takkan dapat kulupakan. Sekarang aku merasa semua sudah berubah, tidak seperti dulu watak ingin menang sendiri sudah padam dalam dadaku. Sejak saat ini kita sekeluarga terhitung lunas bermusuhan dengan pihak sibaju perak. Kelak asal dia tidak mencari perkara kepada kita, kita tidak akan menempurnya!"
Ditempat sembunyinya Thian-ih mengangguk-angguk dan bersyukur dalam hati, ia berkeputusan untuk tidak mengunjukkan diri saja biar mereka keluar lembah dan pulang sen- diri-sendiri.
Setelah sampai diluar lembah, dari kejauhan Thian-ih melihat ketujuh orang itu ambil perpisahan, seorang diri Ciu Hou putar keselatan menuju ke Kanglam. Sedang Naga hitam membawa anaknya menuju keutara.
Tahu bahwa tenaga Ciu Hou belum pulih dan kuatir dia berjalan lambat, setelah sampai dijalan raya, Thian-ih lantas menyewa sebuah kereta terus dibedal kedepan waktu lewat dipinggir Ciu Hou tanpa banyak kata terus disambarnya saja tubuhnya lantas diseret masuk kedalam tenda kereta. Memang tenaga Ciu Hou belum pulih begitu diseret masuk kedalam kereta kejutnya bukan main, sedikitpun dia tidak mampu membela diri, setelah melihat Thian-ih baru dia merasa lega dan bersyukur. Didalam kereta inilah mereka menerangkan segala-galanya, dipesannya kusir kereta untuk menjalankan keretanya secepat mungkin. Didalam kereta itulah Thian-ih membantu penyembuhan Ciu Hou dengan tenaga dalamnya. Karena perjalanan jauh entah sudah berapa kali mereka ganti kareta, meskipun begitu juga telah banyak membuang waktu, waktu mereka hampir tiba di Hun-tai-san sudah tepat jatuh pada pertengahan bulan empat. Keruan gugup dan gelisah mereka berdua bukan main. Entahlah apakah Ki-san Tayhiap Ki Bing betul-betul menepati janjinya meluruk ke Hun-tai-san tidak. Untung hari itu seluruh tenaga dan Lwekang Ciu Hou sudah pulih kembali, tanpa menunggang kereta lagi segera mereka kembangkan Ginkang dan berlari secepat terbang.
Jantung Thian-ih serasa sudah hampir melonjak keluar dari rongga dada. Setelah melewati jembatan tali gantung itu, lantas Ban-keh-seng-hud Ciu Hou merasakan firasat jelek. Dipesannya Thian-ih supaya tidak menerjang masuk secara gegabah, mungkin saat itu Hun-tai Siancu dengan Ki-san Tayhiap sudah saling gebrak, kedua belah pihak adalah tokoh silat kelas wahid, waktu berhadapan mengadu kepandaian sekali-kali pantang diganggu atau direcoki sehingga kaget. Maka sambil berjinjit kaki berdua mereka memasuki Hun-tiong-khek, dari luar samar-samar telah terdengar suara beradunya senjata tajam serta terlihat berkelebatnya sinar pedang yang berkeredepan.
Saking gelisah Thian-ih bersiap menerjang masuk hendak membantu ibunya, untung Ban-keh-seng-hud Ciu Hou keburu mencegahnya, katanya dengan nada berat: "Thian-ih, jangan sembrono, bila ibumu melihat kau sedikit meleng atau terpencar perhatiannya mungkin akan mengalami bencana, betapapun kita harus hati-hati bertindak. " Sambil berkata-kata lirih itu mereka sudah tiba diambang pintu Hun-tiong-khek, tampak seorang perempuan dengan membekal sebilah pedang panjang berpakaian serba putih berdiri tegak membelakangi pintu, dia bukan lain adalah murid Hun-tai Siancu Cia In-hun adanya.
Tampak wajah Cia In-hun pucat pasi, air mata berlinang di kelopak matanya, begitu melihat kedatangan Thian-ih bersama Ciu Hou segera ia datang menghampiri lalu memberitahu dengan suara tertekan: “Sudah bertempur selama dua hari tiada yang kalah atau menang, babak pertama mengadu Lwekang, lalu ilmu pukulan dan Ginkang, sekarang sedang menjajal senjata rahasia dan babak terakhir nanti adalah mengadu ilmu pedang. Aku sangat kuatir, tidak berani bersuara juga tidak bisa turun tangan membantu. Terpaksa aku menonton saja disini seorang diri, sekarang kalian telah tiba cobalah cari daya upaya untuk melerai mereka!"
Sementara itu Thian-ih dan Ciu Hou sudah melihat di tengah pelataran Hun-tiong-khek sana Hun-tai Siancu tampak mengenakan pakaian ringkas yang agak pendek, tangannya membekal pedang dan tengah menempur seorang laki-laki pertengahan umur dengan serunya.
Memang Kit-san Tayhiap Ki Bing buntung sebelah lengan kirinya, lengan bajunya yang panjang melambai-lambai tertiup angin, sedang tangan kanan menyekal sebilah pedang yang berkilauan menyilaukan mata.
Tatkala mana dalam gelanggang tengah bertempur dengan sengitnya, masing-masing memusatkan segala daya upaya serta semangat dan perhatiannya untuk mengalahkan musuh, sedikitpun mereka tidak hiraukan siapa-apa yang telah datang ke tempat gelanggang pertempuran ini.
Terlihat Hun-tai Siancu mengacungkan batang pedangnya keatas, dibarengi dengan sinar pedang yang berkilauan itu beruntun ia menusuk beberapa kali, jurus serangan semacam ini sungguh sangat ganas dan aneh serta cepat luar biasa. Tapi kepandaian Ki-san Tayhiap Ki Bing ternyata juga bukan olah-olah hebatnya, meskipun hanya berlengan satu, tapi pedang ditangan kanannya itu bergerak sedemikian lincah dan hebat juga, tampak dengan jurus Tok-pi-hoa-san (lengan tunggal membelah gunung Hoa) pedangnya membacok turun dari atas, namun sampai ditengah jalan mendadak ia rubah pula dengan jurus Tong-cu-pai-hud (anak kecil menyembah Budha), gerakan dari atas kebawah lalu menyontek ke atas lagi ini sekaligus telah memunahkan serentetan serangan Hun-tai Siancu yang hebat itu, maka terdengarlah berdentingnya suara senjata beradu sehingga memercikkan lelatu api, dari gerak adu kekuatan dan kelincahan ini jelas sekali bahwa Lwekang dan kepandaian silat kedua belah pihak sama-sama kuat dan setanding, sukar ditentukan siapa menang dan asor.
Begitulah gebrak selanjutnya terus terjadi serang menyerang dengan serunya, sekejap mata saja dua puluhan jurus telah lewat. Terlihat sinar dan hawa pedang telah berkelebatan menyambar-nyambar membumbung tinggi, lapat-lapat terdengar suara guntur diantara deru angin yang keras, nyata bahwa pertempuran kali ini sudah mencapai puncak yang paling dahsyat dan susah dipisahkan lagi. Sekonyong-konyong terlihat sinar pedang Hun-tai Siancu melesat tiba memotong dengan sebuah gerak bundaran terus langsung menusuk ke arah dada.
Ki Bing berkelit miring sambil melangkah maju setindak, terpaut serambut saja pedang lawan hampir mengenai tubuhnya. Bertepatan dengan inilah Hun-tai Siancu melesat lewat dari sampingnya, mendadak menggunakan ketika badan mereka berdekatan ini, kedudukan kakinya ia robah melintang miring terus sengaja menumbuk tubuh lawan. Betapapun Ki Bing tidak mengira kalau lawan dapat bergerak begitu lincah, kedudukan kakinya menjadi sedikit goyah, dimana sebelah kakinya terhuyung maju ke kanan tinggal kaki kiri yang menumpang seluruh tubuh, ia berusaha membalikkan ujung pedangnya untuk menyodok ke belakang.
Tapi menggunakan kesempatan sedikit goyah kedudukan kakinya itu Hun-tai Siancu sudah kembangkan ilmu pedangnya sampai berpetakan sekuntum bunga pedang terus memapas kearah lengan kanan yang menyelonong ke belakang ini. Lengan kiri Ki Bing sudah buntung jadi lengan baju kirinya itu kosong dan melambai-lambai, sedikitpun tiada kesempatan untuk membantu mengganti posisi atau menggunakan tenaga. Apalagi gerak jurus tangan kanan ini juga telah dilancarkan penuh dan sukar ditarik pulang atau dirubah lagi, dalam keadaan yang gawat itulah, terlihat betapa lihay dan kenyataan bahwa Ki-san Tayhiap yang kenamaan sebagai tokoh silat kelas wahid bukanlah omong kosong belaka. Dalam menghadapi bahaya sedikitpun dia tidak menjadi gugup, ujung pedangnya mendadak menyelonong tiba terus membacok miring memapas ke belakang batok kepala Hun-tai Siancu. Tepat sekali memotong ikat kepala diatas sanggul Hun-tai Siancu, dimana angin pegunungan menghembus keras, seketika rambut panjang Hun-tai Siancu jatuh terurai dan melambai-lambai.
Meskipun agak terkejut Hun-tai Siancu tidak menjadi gugup, gerak pedang menjadi sedikit lambat terus menyontek miring keatas, "bret" pedangnya juga berhasil memapas ujung jubah Ki Bing.
Tanpa berjanji lagi mereka berdua lantas loncat mundur kebelakang. Saat inilah yang memang dinantikan oleh Ciu Hou dan Thian-ih, tapi belum sempat mereka berteriak, gerak langkah Ki-san Tayhiap ternyata begitu enteng bagaikan air mengalir dan awan mengembang, secepat kakinya menyentuh tanah tubuhnya terus menubruk tiba lagi, pedang panjangnya membacok miring melancarkan sebuah tipu aneh yang lain dari yang lain. Dimana mata pedangnya memapas lewat dari pinggir kuping Hun-tai Siancu mendadak merobah arah terus menukik membacok turun. Belum sempat Ciu Hou berseru kejut buru-buru telah ditelannya kembali kuatir mengganggu pemusatan pikiran Hun-tai Siancu.
Terdengar Hun-tai Siancu membentak keras tubuhnya terjengkang kebelakang, lalu segesit tupai badannya meloncat keatas tepat pada waktunya ia menghindar diri dari serangan Ki Bing itu. Sungguh berbahaya dan sangat menguatirkan sekali. Sampai Ciu Hou dan lain-lain yang menonton dipinggiran mengalirkan keringat dingin.
Begitulah setelah badan Hun-tai Siancu terapung ditengah udara waktu meluncur turun bak sekuntum bunga teratai, tanpa bersuara pedang panjangnya berkelebat berkilauan melindungi badan. Mendadak Ki Bing menyedot hawa dalam-dalam lalu menghardik keras, seluruh tenaganya dikerahkan diatas batang pedang terus diacungkan keatas. Saat mana badan Hun-tai Siancu tengah meluncur turun dan belum sempat menginjak tanah, terpaksa dia harus tekankan pedangnya untuk menangkis. Sekali ini, karena Ki Bing berada diatas tanah datar gampang meminjam tenaga, kedudukannya lebih kuat, maka begitu kedua pedang saling beradu, kontan pedang panjang Hun-tai Siancu kena terpental miring, posisinya sangat berbahaya.
Belum sempat Thian-ih berseru kejut, situasi pertempuran ditengah gelanggang telah berobah lagi. Maklum bahwa dalam hal Ginkang Hun-tai Siancu sudah mencapai kesempurnaannya, badannya seenteng kapas selemas dahan pohon liu membarengi dengan meliuknya tubuh diatas udara itu, sebelah kaki kanannya menendang mengarah mata kiri Ki Bing. Ki Bing terkejut dan mengegos dengan gugup, namun tendangan susulan dari kaki kiri Hun-tai Siancu juga telah merangsang tiba secepat kilat. "Blang'' dengan tepat menendang pundak Ki Bing, sehingga ia terguling beberapa langkah keluar.
Enteng sekali Hun-tai Siancu melayang turun dan hinggap ditanah, serunya: “Apakah perlu bertanding lagi?"
Belum lagi Ki Bing menyahut, tiba-tiba Ban-keh-seng-hud Ciu Hou keburu berteriak: “Stop. Jangan diteruskan dan dengar penjelasanku.''
Ki-san Tayhiap Ki Bing melengak melihat kehadiran Ciu Hou ini. Sementara itu Hun-tai Siancu juga sudah melihat Thian-ih, seketika sepasang matanya memantulkan rasa kasih sayang yang mesra, teriaknya penuh perasaan sampai suaranya tersendat: “Anak Ih, kau sudah pulang?"
Thian-ih segera maju sambil menyahut: “Ya, anak telah kembali, Bu, tuan ini "
Belum Hun-tai Siancu menjawab, Ciu Hou telah berkata: “Thian-ih, dia inilah Ki-san Tayhiap Ki Bing, lekas kau maju menghadap pada angkatan yang lebih tua."
Thian-ih tertegun, ia ragu-ragu karena Ki Bing tadi bertempur melawan ibunya. Tapi disamping sana Hun-tai Siancu lantas membentak: “Anak Ih, betapa juga dia seorang angkatan tua yang gagah perwira, lekas menghadap pada paman Ki, jangan karena tadi dia telah bertempur dengan ibumu lantas kau lupakan adat kesopanan. Ketahuilah meskipun tadi kita bertempur sebagai musuh, tapi dia juga salah seorang sahabatku."
Mendengar ucapan ibunya ini terpaksa Thian-ih maju memberi hormat serta sapanya: “Selamat bertemu paman Ki !"
Ki Bing melenggong, tanyanya pada Hun-tai Siancu, “Jadi dia adalah putra dari perampok besar itu?"
Ciu Hou segera menyelak : “Ki Bing, kau tak boleh berkata demikian, dia terima perintah ibunya untuk menghormat padamu, sebab kau adalah sahabat Hun-tai Siancu, mana bisa kau alihkan persoalan lain dalam hal ini. Apalagi kesalah pahaman kalian itu sudah tiba saatnya dibereskan. Biarlah kuberitahu padamu, aku paling jelas mengenai peristiwa itu. Dulu waktu kau mengutungi sebelah tanganmu itu, hakikatnya memang Hun-tai Siancu tidak tahu menahu, semua ini adalah gara-gara ayahnya Thio Thian-ki itu yang mengatur tipu daya." bicara sampai disini ia menuding kearah Thian ih, lalu sambungnya: “Tapi sekarang Thio Thian-ki sudah meninggal, tidak seharusnya kau timpakan dosa-dosa almarhum kepada mereka yang masih hidup. Bukan saja tidak seharusnya kau salah paham terhadap Hun-tai Siancu, dendam sakit hatimu terhadap Thio Thian-ki juga harus dihapus !” Bicara sampai disini lantas Ciu Hou bercerita tentang bagaimana dengan tipu muslihatnya Thio Thian-ki telah mengejar-ngejar dan sampai berhasil mempersunting Hun-tai Siancu.
Baru sekarang Ki Bing tersadar dan tahu jelas duduk perkaranya, lekas-lekas ia angkat tangan dan berkata kepada Hun tai Siancu: “Sekarang Ciu Hou sudah menjelaskan segala-galanya, sungguh aku sangat menyesal banyak tahun ini aku telah salahkan kau secara semena-mena betapapun kau harus memaafkan kecerobohanku ini?"
Hun-tai Siancu tersenyum, sahutnya: “Bukan saja aku harus memaafkan kau, aku juga harus minta maaf kepadamu. Mengapa tidak, bagaimana juga Thio Thian-ki adalah suamiku, walaupun yang mengatur tipu muslihat mencelakai kau adalah dia, sebagai istri apa yang telah dibuat oleh suamiku aku harus mintakan maaf untuknya.'' lalu ia membungkuk tubuh memberi hormat sedalam-dalamnya kepada Ki Bing.
Segala peristiwa dalam dunia ini paling ditakuti kalau salah paham semakin dalam, sekarang kesalah pahaman itu sudah dapat diatasi dan sudah dijelaskan duduk perkaranya. Secara gamblang dan berbesar jiwa, Hun-tai Siancu mau memintakan maaf akan dosa-dosa Thio Thian-ki almarhum, maka lega dan lapanglah perasaan Ki Bing, apalagi selama ini memang dia sangat menghargai Hun-tai Siancu, maka segera ia membalas hormat juga, ujarnya: "Hun-tai Siancu, kau juga tidak perlu minta maaf, yang harus disesalkan adalah kebodohanku, sampai sedemikian gampang aku kena pancing dan dipermainkan oleh Thio Thian-ki. Tapi kau sendiri juga telah kena dikelabui, seumpama kau tidak menikah dengan dia, kau takkan hidup kesepian mengasingkan diri di-puncak pegunungan sini menyia-nyiakan masa remajamu yang sangat berharga !"
Hun-tai Siancu tersenyum getir, katanya: “Meskipun kita suami istri tidak dapat hidup rukun dan bahagia sampai dihari tua, tapi pertemuan kita ibu beranak ini sudah cukup menambal kesenangan hidupku dihari tua ini."
Melihat Hun-tai Siancu masih mengukuhi pendapatnya dulu, Ki Bing menghela napas, katanya: “Betapapun kita ini sahabat lama, pengalaman hidup masing-masing menyerupai impian belaka. Untuk selanjutnya biarlah nama Ki-san Tayhiap ini terpendam ditelan masa, aku tidak akan muncul didunia ramai. Silakan, silakan!"
Ciu Hou segera maju menarik Ki Bing, katanya dengan nada berat: “Tidak peduli perjodohanmu dengan Hun-tai Siancu telah dirusak dan dikacaukan oleh Thio Thian-ki. Tapi sekarang kalian sudah saling memaklumi dan saling maaf, persahabatan lama harus dipulihkan dan dijalin kembali. Jadi sekarang setelah mereka ibu beranak dapat berkumpul kembali, pertemuan yang menggembirakan ini harus dirayakan, mana bisa kau mau tinggal pergi begitu saja. Sedikitnya kau harus menginap beberapa hari disini, jangan kata lain persoalan, aku Ciu Hou terhitung kenalan kentalmu, apalagi setelah sekembalimu ini kau hendak memendam diri kapan kita dapat bertemu kembali, betapapun kau harus menunggu dan berkumpul gembira beberapa hari disini."
Hun-tai Siancu juga lantas ikut bicara sambil tersenyum simpul: “Ki Bing, ucapan Ciu Hou memang benar, tinggallah beberapa hari disini, aku harus mengundang kau menikmati arak kegirangan.''
Ki Bing tertegun heran, tanyanya: “Apa kau mengundang aku minum arak kegirangan, siapa yang bakal menikah?”
“Minum arak kegirangan anakku ini!" kata Hun-tai Siancu sambil menuding Thian-ih.
Ucapan Hun-tai Siancu ini bukan saja membuat Ki Bing tertegun, Thian-ih sendiri juga melengak kaget, katanya: “Ibu, aku sudah bersumpah sehidup semati dengan Li Hong-gi, lalu siapakah yang bakal kau ambil sebagai menantu?” habis berkata ia melirik kearah Cia In-hun.
Menurut dugaan Thian-ih, pastilah Hun-tai Siancu menjodohkan Cia In-hun kepadanya. Siapa tahu diluar sangkanya terdengar Hun-tai Siancu tertawa terkekeh-kekeh, ujarnya: “Anak Ih, maksud hatimu masa aku tidak dapat menyelaminya!"
“Ketahuilah bahwa paman To telah bersusah payah mewakili kau mengundang datang Nona Li kemari, juga murid tunggal ayahmu itu sudah diajak kemari pula !" demikian Hun-tai Siancu memberi keterangan. Lalu ia berpaling ke-arah Cia In-hun dan berkata lagi: “Silakan mereka keluar untuk menghadap pada Ki dan Ciu dua locianpwe."
Tak lama kemudian pandangan Thian-ih terasa terang terbelalak, tampak dengan langkah yang gemulai selemas dahan pohon liu Li Hong-gi berjalan keluar sambil menunduk malu-malu. Di belakangnya ikut keluar Hi Si-ing, tapi sekarang berwajah terang tidak seperti orang gila lagi. Tak tertahan lagi segera ia mengajukan pertanyaan: “Apakah ibu yang menyembuhkan penyakit Hi Si-ing itu?"
Hun-tai Siancu menggeleng kepala, sahutnya: “Masa aku ada kemampuan itu, paman To-mu itu yang menyembuhkan!"
Segera Thian-ih bertanya lagi: “Lalu dimana sekarang paman To, belum lama anak berpisah dengan dia, masakan sudah begitu banyak urusan yang telah dikerjakan!"
Hun-tai Siancu tersenyum geli, ujarnya: “Selamanya memang dia bekerja secara misterius, ini tidak perlu diherankan lagi. Sekarang dia tengah menuju ke Bo-toh mewakili aku mengundang Nisi kecil kemari, menurut perhitungan dalam jangka tiga hari ini pasti mereka sudah tiba di- sini."
Segera terbayang dalam benak Thian-ih akan gadis berkabung yang membawa kayu perabuan itu. Sebab wajahnya seperti pinang dibelah dua mirip betul dengan Li Hong-gi, maka tanyanya lagi: “Bu, buat apa kau undang dia kemari, bukankah dia " sampai disini ia ragu-ragu
untuk melanjutkan kata-katanya.
Lagi-lagi Hun-tai Siancu terkekeh tawa, ujarnya: “Ada sesuatu hal yang tidak kau ketahui, justru karena perbuatan ayahmu semasa hidup itu, aku sebagai istrinya harus berusaha untuk menyelesaikan dan menghimpas semua dosa yang tertunggak selama ini, supaya tidak terlalu berlarut dan mempengaruhi angkatan muda yang akan datang. Walaupun Nisi Kecil itu jauh-jauh meluruk datang kemari hendak menuntut balas terhadap ayahmu, namun terhadap kau dia pernah mengulurkan tangan melindungi jiwamu, apalagi anak ini juga harus dikasihani, aku berhasrat mengambilnya sebagai putri angkatku, untuk menuntunnya kearah jalan yang benar supaya tidak menimbulkan bibit bencana bagi masyarakat."
Mendengar penjelasan cara penyelesaian ini, sungguh girang Thian-ih bukan kepalang, serunya riang: “Bu, cara penyelesaian begini adalah yang paling tepat, hanya aku kuatir Nisi kecil terlalu mengukuhi akan dendam sakit hatinya, dan tidak mau menurut."
Hun-tai Siancu tersenyum welas asih, katanya: “Aku menghadapinya dengan kejujuran hanya dengan kejujuranlah dapat menundukkan orang, kupikir Nisi kecil itu sangat pintar tentu dia dapat membedakan antara buruk dan baik, kau tunggu dan lihatlah perkembangannya."
Sikap Hun-tai Siancu yang halus dan welas asih penuh pengertian ini bukan saja membuat Thian-ih tunduk, para hadirin yang lain juga merasa terharu akan kebaikan hatinya. Terutama Ki-san Tayhiap Ki Bing lebih menyesal dan terketuk sanubarinya akan sepak terjangnya tadi yang berangasan, maka segera ia berkata dengan penuh ketekadan: “Hun-tai Siancu, kita adalah sahabat lama, selama ini aku belum pernah menghadapimu secara terhormat. Sekarang biarlah aku membayar hutang-hutangku itu bagaimana?"
Hun-tai Siancu tersenyum, sahutnya: “Hakikatnya kau tidak membuat kesalahan apa-apa terhadap aku, kalau terjadi pertempuran tadi itu karena kesalah pahaman, tidak perlu kau menghukum dirimu sendiri."
“Sungguh aku bersyukur akan jiwamu yang besar dan bijaksana ini." demikian kata Ki Bing, "Tapi hari pernikahan Thian-ih sudah diambang pintu, biarlah aku yang menjadi orang tua bersenang-senang, mengundang para sahabat dunia persilatan yang sealiran untuk ikut merayakan pernikahan ini, bagaimana pendapatmu."
Ciu Hou segera ikut bicara: “Pernikahan Thian-ih ini adalah urusan besar memang seharusnya dirayakan secara besar-besaran. Supaya semua sahabat di dunia persilatan mengetahui meskipun Thian-ki dulu bejat dan banyak dosanya, tapi anak istrinya adalah dari aliran lurus yang gagah perwira, dapat membedakan antara benar dan buruk, sekaligus kita dapat mencuci pandangan dan pendengaran umum."
Pertandingan silat antara Hun-tai Siancu dan Ki-san Tayhiap Ki Bing ini merupakan pertandingan silat tingkat tinggi yang jarang terjadi selama puluhan tahun akhir-akhir ini hidup atau mati dapat ditentukan dalam satu gebrakan saja dan susah diduga. Cia In-hun sendiri selama ini sangat menguatirkan keadaan Hun-tai Siancu. Sekarang setelah damai dan suasana diliputi persahabatan yang akrab keadaan menjadi tenang dan menyegarkan badan. Terutama terlihat Thian-ih dan Li Hong-gi duduk di pinggiran sana penuh mesra kasih. Hati kecilnya menjadi girang-girang duka. Girang karena gurunya sudah rujuk kembali dengan musuh besar serta sahabatnya, juga duka karena sampai saat itu hari depannya masih terkatung-katung, sebelum ini besar harapannya dirinya bisa menikah dengan Thio Thian-ih. Tapi sekarang tambatan hatinya itu sudah bakal menjadi menantu keluarga Li, tiada harapan lagi bagi dirinya dalam soal perjodohan ini, tak tertahan lagi air mata mengalir deras saking duka.
Mendadak terdengar Hun-tai Siancu berseru keras: "In-hun, kau tidak perlu berduka hari depanmu gurumu sudah mengaturnya dengan sempurna." lalu dia panggil Hi Si-ing dan Cia In-hun menghadap berdiri berendeng di hadapannya, katanya penuh perasaan: "Hi Si-ing adalah murid tunggal suamiku almarhum, sedang In-hun adalah murid tunggalku pula, usia kalian sembabat, yang pria gagah tampan, yang perempuan ayu jelita, merupakan pasangan yang setimpal dan cocok, kukira perjodohan ini dapat dirangkapkan."
Mendengar dirinya bakal mempersunting istri demikian cantik, sungguh girang Hi Si-ing bukan kepalang seperti putus lotre beberapa juta, cepat-cepat ia berlutut menyembah kepada Hun-tai Siancu nyatakan terima kasih sebesar-besarnya.
Sekilas Cia In-hun melirik ke arah Si-ing, meskipun tidak setampan dan segagah Thian-ih, tapi juga seorang pemuda yang cukup ganteng dan mengenal cinta kasih. Diam-diam ia membatin: rasanya juga tidak sia-sia aku menikah dengan dia, maka ia juga berlutut dan menyembah di hadapan Hun-tai Siancu menyatakan terima kasih akan karunia ini. Suasana menjadi tambah semarak dan riang gembira. Terutama Hi Si-ing yang paling girang dapat mempersunting seorang istri yang cantik rupawan. Malam itu Hun-tai Siancu mengadakan perjamuan sekedar merayakan kabar gembira ini.
Hari kedua, Ki Bing menulis puluhan undangan yang segera disebar mengundang tokoh-tokoh silat yang kenamaan di berbagai tempat. Tiga hari kemudian, dibawah gunung Hun-tai-san mendatangi sebuah kereta gandeng yang reyat-reyot mendaki ke atas puncak, orang yang berjalan di depan kereta ternyata bukan lain adalah To Yung adanya. Kebetulan Cia In-hun dengan calon suaminya Hi Si-ing sedang iseng dan tamasya melihat-lihat pemandangan dan mencari angin, dari kejauhan segera mereka berteriak memanggil: “Paman To." Hi Si-ing juga segera berlari menghampiri. Waktu sudah dekat begitu ia melihat di atas kereta duduk seorang gadis yang cantik bak bidadari berwajah mirip benar dengan Li Hong-gi, ia menjadi kesengsam dan heran serta garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, tanyanya keheranan kepada Cia In-hun: “Bukankah nona Li tadi berada dirumah? Bagaimana bisa dia datang dari bawah gunung ?"
Belum lagi Cia In-hun menjawab, terdengar To Yung sudah bergelak tertawa terpingkal-pingkal, katanya: “Si-ing, coba kau lihat tegas, siapakah dia?"
Dengan cermat dan seksama Si-ing dan In-hun melihat lebih tegas lagi, namun masih belum dapat membedakan, siapakah dia sebetulnya. Tapi dari gerak gerik To Yung yang melucu itu sedikit banyak mereka sudah dapat menduga bahwa gadis diatas kereta ini pasti bukan Li Hong-gi adanya.
Melihat kedua muda muda ini berdiri melongo saja, baru To Yung memberi penjelasan: “Dia adalah Nisi kecil itu. Lekas kalian laporkan kedatangannya kepada Hun-tai Siancu, katakan bahwa aku berhasil mengundang Nisi kecil kemari!"
“O, kiranya Nisi kecil." Cia In-hun berjingkrak girang terus putar tubuh lari sekencang-kencangnya bergandeng tangan dengan Hi Si-ing, memberi laporan kepada Hun-tai Siancu.
Tak lama kemudian semua orang sudah sampai di Hun-tiong-khek. Pertama-tama Thian-ih yang menyambut diluar pintu. Begitu melihat kehadiran Thian-ih ini, kontan Nisi kecil tertegun dan berdiri melongo. To Yung tertawa besar, serunya: “Aku tidak ngapusi kau bukan!"
Nisi kecil membalasnya dengan senyuman manis terus loncat turun dari atas kereta untuk bertemu dengan Thian-ih. Setelah memberi hormat segera Thian-ih berkata: “Ibuku sudah menanti dikamar belakang, masih ada lagi Ciu Hou dan Ki Bing dua Locianpwe juga berharap bertemu dengan kau." lalu dia berjalan didepan membawa Nisi kecil keruang belakang.
Dalam pada itu Hun-tai Siancu, Ki Bing dan Ciu Hou juga sedang berjalan keluar menyambut, terutama Hun-tai Siancu dengan kasih sayang segera ia genggam kedua tangan Nisi kecil serta katanya welas asih: “Nak, perjalanan yang jauh ini tentu melelahkan sekali."
Waktu Nisi kecil masih berada di Bo-toh, To Yung sudah menjelaskan asal-usul serta serangkaian usahanya yang melerai permusuhan dendam sakit hati yang ditanam oleh suaminya, maka begitu mendengar ucapan Hun-tai Siancu yang halus penuh kasih sayang, seketika ia teringat akan ayah bundanya, tak tertahan lagi airmata mengalir deras.
Hun-tai Siancu menghela napas panjang, lalu katanya berpaling kearah To Yung: “Apakah kau sudah jelaskan maksud hatiku kepadanya?"
“Aku sudah menjelaskan kepada Nisi kecil," sahut To Yung, "Dan lagi dia sudah tahu bahwa Thian-ih ternyata adalah putra tunggalmu."
Sebelah tangan Hun-tai Siancu menyekal pergelangan tangan Nisi kecil sedangkan tangan yang lain menyekap lengan Thian-ih, katanya kepada Nisi kecil dengan suara haru tersendat: “Balas membalas tentu tiada akhirnya, dendam sakit hati dari angkatan tua biarlah dibawa ke liang kubur oleh mereka, kalian dari angkatan muda biarlah angkat saudara di hadapanku saja. Nisi kecil, aku dapat menganggapmu sebagai putri kandungku sendiri. Apalagi aliran agamamu diluar perbatasan itu hakikatnya bukan bersumber dari aliran yang lurus, kembalilah ke jalan benar dan pelajarilah ilmu sejati dari golongan lurus."
Nisi kecil manggut-manggut sambil berlinang air mata, sahutnya: "Dapat berjumpa dengan kau orang tua, benar-benar merupakan keberuntungan Siau-li (aku) yang besar. Seakan menyingkap kabut, aku melihat langit yang terang, besar benar rejekiku ini."
Sungguh girang Hun-tai Siancu hari ini, susah dilukiskan dengan kata-kata, segera ia duduk di kursi kebesarannya menerima sembah sujud dari Nisi kecil. Sejak saat itu ia ketambahan seorang putri angkat. Demikian juga segera Thian-ih bersama Li Hong-gi maju memberi selamat kepada Nisi kecil. Baru sekarang Nisi kecil berkesempatan melihat wajah Li Hong-gi yang benar-benar mirip dengan wajahnya. Maka dia membatin dalam hati; tak heran Thian-ih pernah kesalahan mengira aku adalah calon istrinya ini.
Beberapa hari kemudian, para tokoh-tokoh silat kenamaan yang diundang sudah berduyun-duyun berkunjung keatas Hun-tai-san, untuk mengikuti perjamuan pernikahan Thian-ih dengan Li Hong-gi serta Hi Si-ing dengan Cia In-hun.
Kalau semua hadirin bergembira makan minum dengan riangnya, adalah So Hoan di sebelah sana tiada selera menyikat hidangan didepannya. Kiranya sejak pertemuan pertama kali dulu serta pengalamannya didalam gedung bobrok diatas Gun-u-ling itu, siang-siang hatinya sudah tertambat oleh Thian-ih, diam-diam ia sudah berkeputusan dalam hati untuk menikah dengan dia. Tapi sekarang pemuda pujaannya menjadi suami Li Hong-gi, bahwasanya hati perempuan rada dengki dan jelus, belum perjamuan selesai dengan alasan mabuk arak diam-diam ia tinggalkan perjamuan. Setelah perjamuan bubar baru diketahui dia tengah menangis di belakang pohon diluar sana, menangis karena cintanya tidak terbalas. Terpaksa So Tiong harus membujuknya dengan susah payah.
Beberapa hari kemudian sejak pernikahan itu, Thian-ih menghadap ibunya dan mengutarakan maksudnya hendak mengembalikan kedua butir mutiara yang dicuri oleh To Yung dari gudang harta di istana raja itu, langsung diserahkan kepada petugas Bhayangkara di kotaraja serta dijelaskan duduk perkara sebenarnya. Maka sejak hari itu setelah semua perkara dapat dibereskan, karena terbukti tidak bersalah Lim Han dilepas keluar dari penjara.
Karena dengan rela hati Thian-ih mau menyerahkan kembali barang-barang pusaka, atas kebijaksanaan sang Raja segera Thian-ih dianugrahi sebuah pangkat Bhayangkari kelas satu tituler, serta memberikan piagam penghargaan.
TAMAT