Jilid 08
Tak tertahan lagi Thian-ih manggut-manggut, tapi lantas tanyanya lagi dengan suara serak: “Lalu siapakah ibuku! Siapa pula sibaju perak itu?"
Airmuka Hun-tai Siancu berubah membeku, sahutnya: “Tentang ibumu, dia masih hidup didunia ini "
Betapa besar rasa kangen dan haus Thian-ih akan kasih sayang seorang ibunda, dengan gugup ia bertanya: “Dimana dia? Dimana dia sekarang?"
Hun-tai Siancu menyahut tersenggak: “Aku tidak tahu!'' timbul bayangan gelap dan rasa kehampaan dalam wajahnya, jawaban itu sungguh membuat hancur hati Thian-ih. Tidak tertahan lagi pecahlah tangisnya tergerung-gerung seperti anak kecil, karena tangis ini maka dia tidak perhatikan perobahan air muka Hun-tai Siancu tadi.
Selanjutnya Hun-tai Siancu berkata lagi dengan suara lantang: “Si baju perak adalah teman akrab ayahmu yang pandai rias itu. Dia she To bernama Yong. Namanya tidak tenar dan tanpa julukan dikalangan Kangouw. Sebabnya karena dia menyamar dengan wajah yang serupa dengan ayahmu, membekal sebilah pedang emas, mengenakan baju perak lagi. Maka khalayak ramai hanya mengetahui adanya satu begal tunggal besar, ada si maling terbang yang mencuri digudang harta istana, ilmu silatnya aneh dan tinggi, sepak terjangnya luar biasa dan jejaknya tidak menentu sehingga mengelabui mata semua orang. Inilah kelihayan dari To Yong serta ayahmu yang dapat bekerja sama secara rapi sekali!
Betapa besar dan tenar nama si Budha hidup Thio Thian-ki, ketenaran namanya, kekayaannya serta semua-semua itu, boleh dikata semua karena mengandal bantuan besar teman karibnya itu, mereka sudah merupakan dwi-tunggal yang sudah tidak mungkin dapat berpisah lagi. Dulu ibumu pernah mentertawakan To Yong sebagai duplikat ayahmu. Sejak ayahmu menikah dia hidup tenang dan bahagia, maka To Yong juga lantas mengekang diri hidup menyendiri dengan aman dan tentram. Waktu ayahmu menceburkan diri lagi kedalam kalangan Kangouw menimbulkan gelombang keganasan, maka To Yong juga lantas ikut gatal tangan, dia membantu ayahmu melakukan kejahatan, bertindak secara semena-mena.
Yang mengherankan To Yong ini hanya menyimpan benda-benda berharga saja, sekian tahun lamanya entah sudah berapa banyak simpanan harta benda dari hasil operasinya itu. Tapi sedikitpun ia tidak kikir dan ingin mencari hidup mewah apa segala, tanpa menikah pula. Hanya selalu ia mengikuti jejak ayahmu, sewaktu beroperasi begitu menghadapi bahaya atau kejaran musuh lantas dia muncul memancing pengejarnya ke tempat lain sehingga ayahmu dapat lolos dan pulang dengan selamat. Kadangkala dia tinggal di Thio-keh-cheng dengan wajah ayahmu untuk menutupi mata telinga keluarga dan masyarakat sekitarnya. Berapa tahun sudah betapa setia kawan dia terhadap ayahmu itu, agaknya takkan luntur selama-lamanya, hubungan erat lahir batin mereka lebih dalam dan lebih tebal dari hubungan ayah ibumu serta ibu tirimu yang kau anggap sebagai enso itu.”
Tutur Siancu selanjutnya: “Sekarang mulai kututurkan keadaan waktu ayahmu meninggal dipuncak Gun-u-leng itu. Sejak kematian ayahmu, To Yong berubah menjadi orang lain, agaknya dia terpukul batinnya, sepak terjangnya mendjadi kalang kabut dan tidak genah lagi. Hanya satu jelas dapat dinilai, bahwa selama ini dia tetap masih melindungi kau secara sembunyi-sembunyi. Besar hasratnya mengangkat namamu dikalangan Kangouw, supaya hidupmu senang dan bahagia. Memangnya pembawaannya dia seorang cerdik cendekia, seorang tokoh misterius, sejak yang terakhir dia bekerja sama dengan ayahmu, yaitu menculik nona Li Hong-gi putri Li Tihu di Kilam, karena melihat nona Li sudah remaja cantik lagi, dia berusaha hendak menjodohkan nona Li itu kepada kau. To Yong dapat memaklumi isi dan hasrat ayahmu itu, dan dia juga sangat setuju. Siapa tahu setelah meninggalkan Ki-lam, ditengah jalan dia dicegat musuh-musuhnya, yaitu komplotan enam orang berkedok itu, karena memanggul Li Hong-gi maka ayahmu tidak leluasa bergerak dan turun tangan, To Yonglah yang memancing mereka sehingga ayahmu dapat melarikan diri dengan selamat. Tapi dasar memang sudah nasib dipuncak Gun-u-leng dipegunungan Ci-bong dalam daerah Shoatang itu, ayahmu disergap dan dibokong oleh para musuhnya. Keenam orang berkedok itu seorang diantaranya adalah ayah dari kelima orang lainnya. Kelima pemuda itu pernah bersumpah hendak membunuh ayahmu, karena adik kandung perempuan mereka telah dinodai dan dibunuh oleh ayahmu.
Waktu To Yong menyusul tiba ayahmu sudah keburu mati, sedang Hong-gi diantar pulang oleh keenam orang berkedok itu. Murid satu-satunya ayahmu juga jatuh pingsan dipinggir jenazah ayahmu. Disamping Hi Si-ing tertinggal sehelai surat pernyataan yang mencatat lengkap kejahatan yang telah diperbuat oleh ayahmu serta nama-nama enam orang berkedok serta asal-usulnya permusuhan mereka ini.
Melihat kematian ayahmu yang mengenaskan ini To Yong menjadi murka sekali dan tenggelam kedalam kedukaan serta putus asa.
Setelah Hi Si-ing siuman baru diketahui bahwa ternyata sipemuda ini juga telah mengetahui kedok penyamaran suhunya bahwa orang yang telah membimbingnya selama ini kiranya adalah pencuri terbang dan duplikat seorang bekal tunggal yang disegani itu, secara diam-diam ia juga tengah menguntit jejak Suhunya itu sampai di pegunungan Ci-bong itu. Jikalau dia sudah sampai sedemikian jauh mengetahui semua rahasia ini, demi melindungi dan menjaga nama baik si Budha hidup Thio Thian-ki yang kenamaan sebagai hartawan budiman terpaksa dia dicekoki dengan racun sehingga kehilangan kesadaran dan pikirannya menjadi tidak normal seperti orang gila.
Pada saat itulah mendadak didengarnya ada derap langkah orang yang mendatangi dari luar sana, cepat-cepat To Yong menyembunyikan diri, orang yang datang ini ternyata adalah Ban-keh-seng-hud Ciu Hou. Melihat kematian Thio Thian ki yang mengenaskan serta Hi Si-ing menjadi gila, tersipu-sipu ia turun gunung ke markas besar So-keh-pang minta bantuan. Dan yang paling celaka adalah dia juga telah membaca surat peringatan itu. Maka karena takut dia menguarkan atau menceritakan rahasia Thio Thian-ki kepada orang lain, secara diam-diam To Yong mengawasi dan menggertaknya hendak mengambil jiwanya.
Waktu Ciu Hou turun gunung minta bala bantuan, To Yong menggusur Hi Si-ing ke puncak belakang yang curam itu untuk disembunyikan. Sekembalinya ia melihat Ciu Hou bersama So Tiong kakak beradik tengah mengemasi jenazah ayahmu, sudah tentu dia tidak leluasa keluar mengunjukkan diri. Melihat kebaktian serta kesetiaan Ciu Hou tidak menceritakan rahasia yang telah dibacanya itu, baru To Yong merasa lega.
Secara diam-diam ia menguntit pengiriman jenazah engkohmu sampai di Thio-keh-cheng, waktu semua tamu yang melawat tengah berkumpul, timbullah pikiran iseng hendak meracun seluruh hadirin itu. Dibakarnya kamar belakang diatas loteng itu, ketika semua orang berlari keluar ikut menolong dan memadamkan kebakaran, kesempatan ini digunakannya menyebar racun kedalam poci-poci arak yang telah disajikan untuk para tamu-tamu itu. Tak lupa dia me- nyelinap juga masuk kedalam ruang layon mengambil pedang emas milik ayahmu itu, karena bentuk penyamarannya yang serupa benar dengan ayahmu sehingga kau ketakutan, disangkanya engkohmu yang telah meninggal itu hidup kembali. Hakikatnya dia tiada niat hendak mencelakai kau, maka setelah mengambil pedang mas itu secara diam-diam ia lalu mengundurkan diri.
Para tamu yang datang melawat kebanyakan adalah kaum persilatan dari kalangan hitam. Sejak kematian ayahmu sifat To Yong berubah agak sesat, timbullah perasaan bencinya terhadap orang-orang jahat yang sudah penuh berlepotan darah ini. Begitu menghilang dari ruang layon dia menjenguk dulu keruang tamu,dilihatnya tipu daya yang diaturnya dengan racun berbisanya ternyata terbongkar oleh kecerdikan Ciu Hou, hanya Siu Tat-in dari salah seorang Hek-san-siang-ing saja yang menemui ajalnya, hatinya semakin geram dan menyumpah-nyumpah kepada Ciu Hou, diam-diam ia ambil keputusan hendak membuat onar dan kegaduhan.
Tapi waktu kau bersama Siu Kheng-in dan Kiau-si Hengte berangkat ke pegunungan Ci-bong mendadak ia merobah lagi niatnya. Yg paling dikuatirkan adalah kau mengetahui rahasia ayahmu sendiri, maka dia tidak ingin melihat kau dapat menemukan jejak keenam orang berkedok itu.
Sengaja ia muncul di hotel itu menemui kau mengatur sebuah cerita pembualan untuk menipu kau supaya kau menuntut balas kepada So Tiong. Disamping itu dia juga berhasrat hendak menjodohkan kau dengan So Hoan sebagai istrimu, sebab jejak Li Hong-gi tidak diketahui. Sedang kau juga sudah menanjak dewasa cukup besar untuk berumah tangga. To Yong sangat simpatik terhadap So Hoan, maka dengan ceritanya itu dia mengharap perjodohan ini bisa terangkap. Siapa tahu, akalan yang dia atur itu menjadi suatu pikiran yang kontras dalam pemikiranmu, sepihak kau harus menuntut balas kepada So Tiong, di lain pihak orang juga menganjurkan mengambil adik orang sebagai isteri ini benar-benar janggal dan sangat meng- gelikan.
Semua sepak terjang ini adalah karena timbul rasa pertanggungan jawabnya akan keselamatanmu dan melindungi kau sejak kematian ayahmu itu serta untuk menutupi dosa serta rahasia ayahmu itu. Demi kebahagiaanmu maka dia telah berbuat sedemikian nyeleweng dan sesumbar. Karena dia telah tahu kalau kau sudah merasa curiga, maka dia tidak berani menyinggung-nyinggung lagi soal itu, cepat-cepat ia minta diri untuk mengundurkan diri.
Sepanjang jalan dengan racunnya yang jahat dia meracuni Siu Khing-in, memanah Kiau Keng sampai menemui ajalnya dan semua kejahatan ini dia timpahkan kepundak So Tiong sehingga lebih tebal keyakinanmu bahwa So Tiong merupakan biang keladi dari serentetan pembunuhan yang telah terjadi ini!
Sesampai di markas besar So-keh-pang, untung kau berlaku cermat, sabar dan tidak sembrono. Secara diam-diam sekali lagi To Yong turun tangan membokong Kiau Sim dengan senjata rahasia beracunnya sehingga kau tidak lagi mencurigai tapi ini sudah kenyataan bahwa memang So Tiong-lah yg menjadi gara-gara. Segera kau turun tangan menempur So Tiong. Untung si kelabang terbang So Tiong selalu mundur dan mengalah, pula berkat kecermatan So Hoan yang menemukan jejak To Yong lantas dia bersama kau mengejar sampai dipuncak Gun-u-ieng itu.
Melihat bahwa tipu muslihatnya telah gagal, sebetulnya siang-siang To Yong sudah meninggalkan tempat itu, maka kau berkesempatan mendapat penjelasan dari So Hoan akan kesalah paham ini. Sampai yang terakhir kalian menemukan tempat persembunyian Hi Si-ing, semua kejadian ini sebetulnya berada diluar perhitungan To Yong sendiri.
Tatkala itulah dapat diketahui oleh To Yong bahwa Li Hong-gi telah diantar pulang ke Ki-lam oleh keenam orang berkedok itu. Diam-diam ia mengejar keenam orang berkedok itu lalu dengan tipu dayanya ia berhasil mengurung mereka disuatu tempat yang sangat terahasia. Begitu jejaknya muncul di Ki-lam, kuatir akan keselamatan putrinya segera Li-tihu kirim surat minta bantuan kepada Lim Han, tak terduga kau sendiri juga ikut terpancing dalam kericuhan yang panjang ini.
Malam itu To Yong kembangkan tindak tanduknya yang serba misterius itu, terlebih dulu ia muncul diatas genteng menemui kau serta bergebrak beberapa jurus, waktu itu dia mengenakan kedok muka yang seram menakutkan, disaat kau kememek dan kesima dia lantas menghilang sambil perdengarkan suara panjangnya.
Tapi dilain kejap sebenarnya ia sudah menyamar menjadi Lim Han terus naik keloteng menghadiahkan secawan arak Pek-jit-kui kepada Li Hong-gi. Untung secepat itu kau dapat membongkar muslihatnya itu lantas mengerahkan bala bantuan untuk mengepung dan menangkapnya. Memang saat itu To Yong masih berada diatas loteng belum ada kesempatan untuk meloloskan diri, terpaksa dia menyamar lagi menjadi wajah ayahmu lalu tiduran diatas ranjang. Karena ia bergegas bangun sehingga kau kaget sampai jatuh pingsan, maka dia peroleh kesempatan untuk melarikan diri.
Kedua butir mutiara mestika yang dipersembahkan oleh To Yong untuk diikut sertakan dalam penguburan Li Hong-gi adalah barang curian dari gudang harta istana raja, sekali ini kedua benda mestika itu menunjukkan kasiatnya yg betul-betul ampuh dan mandraguna. Dia sudah pasti dan tahu betul bahwa penguburan akan kematian Li Hong-gi ini pasti tiada akan terjadi apa-apa diluar perhitungannya, tepat pada seratus hari kemudian diusahakan menculiknya keluar dari kuburan untuk merangkapkan perjodohan kalian.
Dalam waktu senggang sambil menanti datangnya hari keseratus itu, dia mulai lagi membuat kegemparan mengejar-ngejar jejak Ciu Hou, satu-satunya orang yang mengetahui segala seluk beluk semua rentetan kejadian ini. Ciu Hou terus melarikan diri menuju barat, sepanjang jalan To Yong sebarkan lagi obat racunnya menyebar maut. Kematian Thi-tha-thian-ong, Cin-tiong-sam-hiat adalah buah karyanya, sebaliknya dia tidak membunuh Ciu Hou, keruan Ciu Hou semakin mencak-mencak serasa seujung duri selalu mengancam dipunggungnya setiap saat dapat menancap diatas tubuhnya mengambil jiwanya, gugup dan takut selalu merangsang jiwanya, lebih celaka lagi, dimana ia tiba selalu membawa bencana, dan ini telah didengar orang dimana-mana, sampai akhirnya tiada seorangpun yang berani menerima kedatangannya. Terpaksa Ciu Hou harus pontang-panting melarikan diri, hampir saja dia menjadi gila. Sebaliknya To Yong sendiri merasa senang dan terhibur melihat permainan sandiwara ini ternyata sangat sukses.
Tidak mengherankan tokoh-tokoh macam Liong-gwa-hou-tiang dan tujuh Tongcu dari Kam-liang tiada yang mau menerima kedatangannya, maklum siapa yang mau mengantar jiwa sendiri ke lobang maut dan mati secara konyol. Waktu lewat di Ciu-cwan, sipendeta pemabukan Kim Khe-sian berusaha mengejar dan melindunginya sebagai pernyataan kesetiaannya terhadap sesama kawan yang tengah mengalami penderitaan. Tapi karena dia sendiri juga bukan orang dari kaum lurus, meskipun dia mengandal akan kekebalan badannya dan tidak takut akan racun, tapi akhirnya toh dia tidak kuasa menangkis jurus mematikan yang dilancarkan To Yong dengan selentikan kata-katanya sehingga menggugah penyakit bisul yang selama ini selalu mengeram dalam sanubarinya. Akhirnya dia membunuh diri menceburkan diri kedalam jurang.
Kematian Kim Khe-sian merupakan babak terakhir dari permainan sandiwara yg menegangkan itu, untuk selanjutnya Ciu Hou kena teringkus oleh To Yong dan disekap pada suatu tempat tanpa membunuhnya. Tapi sengaja dia tinggalkan baju luar Ciu Hou serta anak kunci untuk membuka tutup peti mati Li Hong-gi.
Dipihak lain, beberapa hari kemudian setelah kematian Li Hong-gi, Li-tihu baru mengetahui bahwa kasiat dari kedua butir mutiara itu ternyata dapat melindungi keutuhan tubuh putrinya, sering dia masuk kedalam kuburan besar itu untuk menengok wajah putri tunggalnya itu. Rahasia kasiat kedua butir mutiara yang mandraguna ini segera bocor dan dapat didengar oleh para gembong-gembong silat dari kalangan hitam. Maka beramai-ramai Liong-gwa-hou-tiang dan Kam-liang-Tongcu serta Mo-san-sam-kui segera menggrebek tiba berusaha mencuri kedua benda pusaka itu.
To Yong juga tahu bahwa kau sendiri agaknya juga tertarik akan kericuhan yang bakal terjadi ini, karena kuatir akan keselamatanmu buru-buru dia juga menyusul Ke Ki-lam. Malam itu terlebih dulu kau bunuh Setan tanpa bayangan Loh Cau salah satu dari Mo-san-sam-kui. Akhirnya setan hitam putih dari Mo-san-sam-kui juga saling cakar dengan tujuh Tongcu dari Kam-liang pay, kedua belah pihak sama-sama menjadi korban akan ketamakannya masing-masing, tinggal si walet terbang Lo Ci-peng seorang yang masih ketinggalan hidup, tapi tak urung akhirnya dia juga terpanah dan dipukul mampus oleh Liong-gwa-hou-tiang Li Ti. Disaat itulah secara kebetulan Nyo Hway-giok kembali datang ketanah pekuburan, kau lepaskan senjata rahasia untuk memperingati dia serta membantu dia membunuh Li Ti. Semua kejadian ini disaksikan oleh To Yong secara diam-diam dengan tegas.
Siang-siang To Yong memperhitungkan bahwa saat Hong-gi bakal sadar sudah tiba sengaja ia menimbulkan kegaduhan diluar kuburan untuk memancing Nyo Hway-giok keluar, lalu melibatnja sehingga tiada kesempatan untuk kembali kedalam kuburan menolong Li Hong-gi.
Dan saat itulah karena terpaksa kau memberi pertolongan. Sewaktu Nyo Hway-giok kembali kedalam kuburan, To Yong juga ikut menyelundup masuk. Nyo Hway-giok menyaksikan kau tengah memeluk Hong-gi serta sedang memberikan pertolongan. Tahu dia bahwa kesalahan ini telah terjadi dan tak mungkin dapat ditarik kembali, mungkin memang sudah takdir Tuhan akan perjodohan ini. Tapi sewaktu pikiranmu tenggelam dalam buaian cinta dan hampir tersesat hendak melakukan sesuatu yang hampir melanggar kesusilaan, tak tertahan lagi ia menghela napas. Untung benar karena helaan napas inilah telah menggugah kesadaranmu. Melihat kelurusan jiwamu yang suci murni itu diam-diam Nyo Hway-giok memuji dan kagum terhadap kau, diam-diam ia juga merasa senang dan bahagia bahwa sandaran hidup Li Hong-gi dikelak kemudian hari ternyata telah ada orang yang dapat memikulnya, maka secara diam-diam ia mengundurkan diri dari kuburan itu.
Setelah mengatur segala rencana yg berhasil lancar itu, To Yong masih terus menguntit kalian menuju keutara bahwa kau masih menjaga kesopanan adat istiadat kuno tidak mau menerima uluran cinta Li Hong-gi benar-benar membuatnya kuatir sekali, tapi ia sendiri tidak tahu dengan cara bagaimana dapat membujuk dan merangkap perjodohan ini, maka ia terus menguntit sampai dikota raja.
Kedua butir mutiara itu memang sudah kau kembalikan kepada Lim Han, namun karena To Yong melihat kau ongkang-ongkang saja berdiam dirumah menikmati hidup enak dan tak mau berkelana lagi di Kangouw, sengaja dia hendak mencari perkara, maka ia curi lagi kedua mutiara itu terus diporotkan dikedua anting-anting Hong-gi. Sudah tentu mutiara yang dipersembahkan kepada atasan Lim Han itu adalah palsu, setelah diperiksa kenyataan bahwa kedua butir mutiara itu memang palsu kontan dia dijebloskan kedalam penjara.
Sebagai kerabat dan bawahannya segera sipena berapi Siu Hoa pimpin anak buahnya menggrebek kerumahmu, waktu dia lancarkan tiga jurus berantai dari ilmu goloknya, semestinya kau ingin menyudahi saja pertempuran itu dengan caramu sendiri. Tapi pada saat itulah To Yong sambitkan senjata rahasianya, begitu pergelangan Siu Hoa tersambit jarum berbisa itu kontan tangannya menjadi linu dan kaku tak dapat bergerak, tak mungkin lagi dia dapat merobah permainan goloknya, tubuhnya kontan menubruk maju memapak ke ujung jarimu malah. Seketika ia roboh tertutuk dadanya pada jalan darah yang mematikan.
Karena kematian Siu Hoa ini maka kau dituduh membunuh petugas dan berani membangkang dari penangkapan. Terpaksa kau harus lari, dan berkelana lagi di Kangouw. Ini juga merupakan maksud dari pada To Yong. Didaerah sekitar Hong-kiam-san-cheng kalian bentrok lagi dengan golok tujuh bintang Kiu San yang telah mengejar tiba, waktu kau terdesak dan hampir kalah, sekali lagi To Yong membantu dengan sambitan senjata rahasianya membunuh Kiu San, tapi sekali ini dia sengaja mengunjuk jejaknya, sedang kau sendiri memang sudah siang-siang waspada begitu melihat bayangannya segera kau mengudak mati-matian hendak menangkapnya. To Yong tahu bahwa kau tidak membekal sepeser uangpun jua, maka sepanjang jalan dia mengatur segala keperluanmu dan memancingmu sampai disini! Dan kelanjutan dari semua peristiwa itu kau sendiri sekarang sudah jelas. Tapi pengalamanmu yang terakhir disini ini To Yong tidak tahu, sebab setelah memancingmu naik keatas gunung lantas dia tinggal pergi lagi entah kemana."
Dengan panjang lebar Hun-tai Siancu menutur riwayat dan sepak terjang sibaju perak alias To Yong. Thian-ih mendengarkan sampai terlongong-longong, terasa olehnya sahabat karib ayahnya ini, segala sesuatu yang dilakukan rada simpang siur dan serba kontras. Secara diam-diam ia mempermainkan dirinya, sehingga dirinya harus luntang-lantung dikejar petugas hukum dengan perasaan was-was dan ketakutan. Kalau dikata tujuannya ini hanyalah untuk menutupi dosa-dosa perbuatan jahat ayahnya ini masih dapat dimaklumi dan dimaafkan. Tapi kalau mau dikatakan demi melanjutkan cita-cita ayahnya yang belum terkabul, secara sembunyi melindungi keselamatannya, dengan cara perlindungan yang demikian, benar-benar membuat orang tidak berani menerima kebaikan semacam itu.
Apalagi sejak kedatangannya ke Hun-tai-san, dia harus mengalami siksaan dan penderitaan oleh siksaan Pak-ko-seng dan Ban Ai-ling, sampai akhirnya dirinya dibuang kepulau elang betapa bahaya jiwanya waktu itu. Jikalau To Yong benar-benar menguatirkan dan menjaga keselamatannya, mengapa terus tinggal pergi begitu saja. Pikir punya pikir ia tenggelam dalam kenangannya.
Agaknya Hun-tai Siancu juga sudah menebak akan isi hatinya ini, segera ia memberikan penjelasan: “Tadi sudah kukatakan, To Yung ini seorang cerdik dan pandai, Gin-kang, senjata rahasia merupakan kepandaian yang paling dia banggakan, terutama dalam cara menggunakan rayu dan ilmu riasnya boleh dikata dia raja diatas raja, seorang ahli diantara ahli. Hanya sejak kematian ayahmu mungkin karena terpukul batinnya, lantas sepak terjangnya sedikit tidak genah dan serba berlawanan dengan segi-segi kehidupan umumnya."
Thian-ih harus memeras keringat memikirkan yang sudah lalu dan menerawangi yang akan datang, teringat olehnya sibaju perak disepanjang perjalanan menuju kepegunungan Ci-bong tempo hari, dengan arak beracun berusaha meracun mereka beramai, dengan panah beracun membunuh Siu Kheng-In salah satu dari Hek-san-siang-in. Waktu itu mereka berempat tapi mengapa dalam gardu itu hanya disediakan tiga cawan. Jelas sekali memang inilah cara pengaturan dari sibaju perak yang tepat dan lihay sekali. Diketahui sebagai tuan rumah, meskipun dahaga juga harus menyilahkan dulu para kawannya minum lebih dulu.
Dengan perhitungan yang tepat ini pasti selamatlah jiwa Thian-ih. Sampai Thian-ih sendiri menduga pasti tatkala itu To Yong tengah sembunyi ditempat sekitar gardu itu, untuk menjaga segala kemungkinan jikalau Thian-ih salah bertindak ingin minum arak beracun itu, sudah tentu dia akan segera turun tangan mencegah dari tempat sembunyinya.
Umpamanya dalam pembokongan terhadap Kiau Keng yang mati konyol itu. Mengapa bukan Thian-ih sendiri yang diarah, setelah peristiwa itu ia sendiri pernah bergebrak langsung dengan To Yong, jelas sekali kalau kepandaian sendiri bukan tandingan orang, tapi mengapa dia tidak turunkan tangan jahatnya. Semua kejadian ini kalau dianggap urusan sepele, tapi semua ini dapat membuktikan kata-kata Hun-tai Siancu itu memang betul. To Yong alias sibaju perak memang benar-benar tengah melindungi dirinya secara diam-diam. Thian-ih berpikir dan semakin tenggelam dalam menerawangi semua pengalaman yang telah dialaminya.
Sekonyong-konyong dia teringat lagi, asal mula To Yong memancing dirinya kemari, serta menceritakan semua peristiwa itu kepada Hun-tai Siancu secara jelas sekali. Dari sini dapatlah diperkirakan bahwa Hun-tai Siancu dihadapannya ini pasti salah seorang sahabat ayahnya serta To Yong itu, paling tidak hubungan mereka sangat erat satu sama lain. Bukan mustahil dia adalah seorang angkatan tua yang berhubungan erat pula dengan dirinya sendiri, apakah mungkin dia adalah..................
Berpikir sampai disini dia sudah tak kuat lagi menahan sabar, bergegas ia bangkit berdiri serta tanyanya: “Siancu! Harap kau suka memberi tahu, apakah hubunganmu dengan ayah serta To Yong itu?"
Hun-tai Siancu agak terperanjat, tapi sekilas itu dia dapat menenangkan perasaannya, sahutnya tawar: “Tidak lebih aku hanya seorang sahabat biasa saja dan mereka. ”
Terunjuk rasa kecewa diwajah Than-ih, tanyanya lagi mendesak: “Siancu, dimanakah ibu sekarang berada? Mohon diberitahu alamatnya !"
Terlintas rasa sedih dan hampa di airmuka Hun-tai Siancu, sahutnya pelan-pelan: “Tentang ibumu, aku hanya tahu bahwa dia masih hidup didunia fana ini, tapi dimana dia sekarang ber- tempat tinggal itulah aku tidak tahu!"
Hati Thian-ih semakin sedih dan masgul, menunduk kepala ia bungkam seribu basa, sungguh hatinya merasa sesal dan berduka bahwa selama dua puluhan tahun ini ayah kandung sendiri dianggapnya sebagai kakak kandung, sekarang dia telah meninggal, sudah jelas kalau ibu kandungnya masih hidup didunia fana ini namun kemana pula dirinya harus mencarinya. Rasa sayang dan cinta ibunda adalah sedemikian besar melekat dalam sanubarinya, betapa takkan membuat hatinya duka karena sejak kecil dia belum pernah meresapi cinta ibunda yang agung.
Kedua mata Hun-tai Siancu berkedip-kedip menahan airmata. Diam-diam ia sudah dapat menyilami perasaan Thian-ih, maka sambil tersenyum manis segera ia membujuk: “Thian-ih, aku mengenal ibumu, dia adalah seorang pendekar perempuan. Usianya masih belum menanjak pertengahan. Meskipun saatnya belum tiba kau dapat menemui beliau, tapi bolehlah kau melegakan hati, pasti dia masih sehat walafiat tanpa kurang suatu apa!"
Kata Thian-ih: “Kalau dia orang tua masih sehat dan segar, mengapa setelah ayah meninggal sedemikian tega dia membiarkan aku keluntang keluntung kemana-mana menderita dalam rantau, sedikitpun dia tidak hiraukan keselamatanku serta sayang padaku? Apakah dia memang tidak mengakui bahwa aku adalah keturunannya ?”
Nada ucapannya Thian-ih mengandung kedongkolan, segera Hun-tai Siancu membujuk: “Thian-ih, jangan kau salah paham terhadap ibumu. Ibumu adalah sahabat karibku berkumpul selama beberapa tahun, sifat dan perasaannya sedikit banyak aku dapat menyilaminya. Pasti ada sesuatu hal yg menyebabkan dia untuk sementara waktu ini tidak dapat berkumpul dengan kau. Tapi dapat kupastikan bahwa dia tentu juga sangat terkenang akan kau. Menurut dugaanku pasti kelak dia akan datang mencari kau dan kau tidak perlu kuatir atau timbul perasaan tidak puas dan jengkel terhadap ibumu."
Thian-ih bungkam.
Berhenti sebentar Hun-tai Siancu lantas melanjutkan: “Sekarang jejak To Yong sudah terbongkar, dia dikejar dan dikepung untuk ditangkap, dan karena tempat pendaman harta benda hasil rampokannya hanya dia seorang yang tahu, tidaklah heran para gembong-gembong silat dari aliran hitam banyak pula yang ingin meringkusnya untuk mengangkangi harta benda itu. Dibawah gencetan dan kejaran dari berbagai musuh-musuhnya, sekarang dia terkurung dipuncak Gun-u-leng di-pegunungan Ci-bong-san, terutama yang harus kita perhatikan adalah dia sekarang sedang terserang penyakit demam, tenaganya lemah dan "
Thian-ih tetap membisu, tahu dia bahwa kelanjutan dan perkataan Hun-tai Siancu yg tidak terucapkan itu maksudnya adalah ingin menyuruh dirinya pergi kesana menolong To Yong. Terhadap sibaju perak yg selama ini mempermainkan dirinya itu, Thian-ih benar-benar membencinya sampai ketulang sungsumnya, bersumpah hendak meringkusnya. Siapa duga sekarang dirinya menerima tugas harus menolongnya dari mara bahaya malah, ini benar-benar susah diduga sebelumnya. Hatinya menjadi bimbang dan gundah, untuk sesaat mulutnya tersumbat tak tahu apa yang harus dikatakan?
Pelan-pelan Hun-tai Siancu menjelaskan dengan sabar: “Thian-ih, To Yong adalah sahabat karib ayahmu, sejak kematian ayahmu meskipun sepak terjangnya agak brandalan, tapi kalau mau dikata sikapnya terhadap kau, semua adalah keluar dari ketulusan hatinya ingin melindungi keselamatanmu. Sekarang dia tengah menghadapi kesukaran, pula kau sudah mengetahui duduk perkaranya dengan jelas tidak dapat tidak kau harus pergi menolongnya. Apalagi kau harus ingat keenam orang berkedok hitam yang membunuh ayahmu itu kini telah dikurung oleh To Yong disuatu tempat terahasia hanya dia seorang tahu dimana tempat itu. Dan juga tentang jejak Ban-keh-seng-hun Ciu Hou hanya dia seorang pula yang mengetahui. Dengan kepandaianmu sekarang yang telah maju pesat berapa kali lipat, betapapun banyak musuh-musuh yang mengepung To Yung itu, kalau kau dapat bekerja melihat gelagat pasti kau dapat menolongnya keluar "
Nada perkataan Hun-tai Siancu halus dan lemah lembut, namun seolah-olah mengandung kekuatan besar yang berwibawa, sampai Thian-ih merasa tak enak untuk berkukuh menolak maksud hati orang, tergeraklah hatinya, airmukanya juga pelan-pelan berubah tenang dan wajar. Hun-tai Siancu melihat akan perubahan sikap ini, dengan riang segera ia berkata lagi: “Setelah kau tolong To Yong, kau boleh segera menanyakan jejak keenam orang berkedok dan Ciu Hou, dapatlah kau pergi menyelesaikan permusuhanmu dengan mereka. Untuk selanjutnya, aku dapat menyilami perasaanmu, kalau sudah begitu mendalam cintamu terhadap Hong-gi, aku juga sangat setuju, nanti setelah segala urusan sudah beres, boleh kau pergi mencari dia dan membawanya kemari "
Petuah halus dari nada seorang angkatan tua terhadap keluarganya yang lebih muda. Namun Thian-ih tidak merasakan hal ini dan tidak merasa heran. Dia sangat setuju untuk membawa Li Hong-gi ke Hun-tai-san ini, memang kelak mereka harus hidup bahagia dipuncak gunung ini mendampingi Hun-tai Siancu. Entahlah mengapa, Thian-ih merasa sangat dekat dan hangat untuk berdekatan dengan teman ayahnya ini, berat rasanya untuk tinggal pergi jauh. Tapi Thian-ih yang cerdik juga dapat merasakan Hun-tai Siancu tadi rada mengandung sedikit penyesalan, itu terang karena persoalan Cia In-hun. Menurut maksudnya semula memang hendak menjodohkan dirinya dengan Cia In-hun. Kalau memikirkan hal ini jantung Thian-ih lantas berdebur dengan kerasnya.
Terdengar Hun-tai Siancu menghela napas panjang, tanpa melihat airmuka orang Thian-ih sudah tahu bahwa dia orang tua merasa kasihan terhadap dirinya yang banyak terlibat ikatan cinta. Pesan terakhir Hun-tai Siancu diucapkan dengan halus sekali: “Thian-ih, kau harus istirahat dan segera berangkat. Ingat! Jagalah dirimu baik-baik, bekerjalah dengan tenang dengan kepala dingin, jangan sembrono dan keliwat takabur. Setelah urusan beres jangan lupa pula kau bawa Hong-gi kemari !" Besok pagi matahari baru muncul dari peraduannya Thian-ih sudah melangkah dalam perjalanan menuju ke-utara. Menurut keterangan Hun-tai Siancu, To Yong terkepung dipegunungan Ci-bong dalam wilayah Shoatang. Para pengepungnya adalah para jagoan dari istana raja serta gembong-gembong silat dari aliran hitam yang ingin mengincar harta benda simpanan To Yong serta Thio Thian-ki dari hasil kerjanya dulu. Selain itu ada juga beberapa orang musuh-musuh bebuyutan dari To Yong dan Thian-ki dulu, demi mendengar sibaju perak sudah terkepung mereka lantas meluruk datang hendak menuntut balas.
Thian-ih tidak berani berayal, untuk tidak menimbulkan curiga orang dia melalui jalan pegunungan yang sepi supaya dapat kembangkan ilmu ringan tubuhnya menempuh perjalanan jauh ini. Hari itu, Thian-ih sudah dekat dengan sekitar pegunungan Ci-bong, mendadak ditengah jalan Thian-ih menghadapi suatu kejadian aneh.
Dilihatnya serombongan barisan berkuda yang berjumlah 40-an. Semua laki-laki tegap diatas kuda mengenakan pakaian sepan, kepalanya dibelebet kain, pinggangnya mengenakan ikat yang serupa, keadaan mereka ini sangat aneh dan lain dari yang lain. Dipinggang mereka masing-masing menyoren senjata, agaknya mereka tengah mengiringi dan melindungi sebuah kereta, iring-iringan berjalan pelan-pelan. Yang terdepan kadangkala meniup terompet yang terbuat dari keong, suaranya mendengung tinggi menyedihkan, mereka tak peduli bahwa iringan mereka ini menimbulkan perhatian orang-orang disepanjang jalan. Wajah mereka serius. Sekian lama Thian-ih mengawasi, tak tahu dia, mereka dari golongan mana. Diam-diam ia merasa heran dan curiga.
Diamat-amati kereta didepan rombongan itu, bentuk kereta ini rada aneh lain dari pada kereta umumnya yang sering terlihat di jalanan umum, bukan saja kayunya bercat putih, tendanya putih dan keledai yang menarik juga berbulu putih lagi, agaknya inilah sebuah kereta kematian. Oleh karena itu lantas terpikirkan oleh Thian-ih mungkin inilah rombongan pengantar jenazah yang hendak dikubur.
Belum lagi hilang perasaan heran Thian-ih, dia dikejutkan lagi dengan kejadian aneh yang dilihatnya. Waktu angin menghembus agak keras kerai kereta sedikit tersingkap keatas, sekilas saja Thian-ih melihat didalam kereta itu duduk seorang gadis rupawan, tangannya mengemban sebuah Leng-pay yang terbuat dari kayu. Meskipun hanya sekilas pandang saja tapi hampir saja Thian-ih berseru kejut, karena gadis itu mengenakan pakaian berkabung dengan ikat pinggang dari tali rami. Wajahnya yang halus putih itu tengah dirundung kesedihan, sikapnya yang agung dan wajahnya yang jelita itu benar-benar mirip dengan jantung hati Thian-ih sendiri yaitu Li Hong-gi.
Tergetar hati Thian-ih, cepat-cepat ia berlari mendekat kereta itu, baru saja ia hendak menyingkap tenda kereta, para pengawal yang berpakaian ketat dipinggir kereta itu segera maju menghalangi, tanpa banyak kata lagi mereka terus ayun pecut dari atas kuda menghajar kearah Thian-ih.
Betapa tinggi kepandaian Thian-ih sekarang, masa mandah saja dihajar orang, dibawah kepungan tujuh delapan utas pecut musuh, Thian-ih unjukkan kegesitan tubuhnya, meskipun angin menderu-deru tapi tiada satupun yang mengenai baju Thian-ih. Tak tertahan lagi segera mereka membentak-bentak: “Keparat, menggelindinglah terima kematian!"
Dialog perkataannya jelas sekali bahwa mereka dari luar perbatasan utara. Sekali lompat Thian-ih meloloskan diri dari kepungan terus mendekati kereta, sekali ulur tangan ia tangkap salah seekor keledai terus menekannya sampai kereta itu berhenti. Saking kaget dan tersentak berhenti hampir saja kusir kereta terjungkal dari tempat duduknya.
Sambil berkelit dari bacokan dan babatan berbagai senjata orang-orang itu, Thian-ih berteriak lantang: “Hong-gi, Hong-gi, akulah Thian-ih "
Mendadak kerai kereta disingkap dari dalam, terdengar gadis itu membentak: “Berhenti !" begitu pandangan mereka saling bentrok, sorot mata masing-masing lantas mengunjuk rasa heran dan melongo. Kecantikan gadis ini memang tidak kalah dengan Hong-gi, wajahnya juga demikian sama, tapi setelah ditegasi terasa kedua sorot matanya lebih tajam dan letak ujung matanya agak lebih meninggi, selain cantik terasa agung dan gagah. Terang kalau gadis ini bukan Hong-gi yang lemah lembut dan sangat dirindukan itu. Terang kali ini Thian-ih sudah salah sangka.
Kayu leng-pay (tempat abu leluhur) yang dipegang gadis itu diatasnya bertuliskan huruf-huruf yang bersinar kemilau di mana tertulis: “Tempat perabuan nyonya Binisi."
Thian-ih terperanjat, tahu dia bahwa kesalahan dipihaknya cepat-cepat ia merangkap tangan sambil membungkuk tubuh, katanya: “Cayhe salah mengenal nona, akan kecerobohan mana harap nona suka memaafkan "
Habis berkata lantas ia putar tubuh hendak tinggal pergi. Salah seorang dari para pengawal itu segera maju membentak: “Kentut, kau sudah mengejutkan nona kami, selain kau tinggalkan batok kepalamu, kalau tidak jangan harap kau bisa pergi ” serempak teman-temannya
ikut berteriak sambil menghunus senjata terus maju mengepung.
Thian-ih menjadi geli, sungguh kurang ajar orang-orang ini masa kepalanya harus ditinggalkan baru dirinya boleh pergi, bukankah omongan yang paling menggelikan. Orang macam apakah gadis dalam kereta ini, sedemikian agung dan berwibawa, sedikit mengejutkan saja lantas hendak membunuh orang.
Melihat Thian-ih berdiri tegak dengan sikap menantang, segera dua laki-laki mengayun senjatanya menerjang maju dari dua samping. Thian-ih sudah bersiap hendak menghajar kedua orang itu, tapi baru saja serangan golok mereka sampai ditengah jalan, gadis dalam kereta itu segera berseru nyaring: "Tahan!"
Kedua orang itu bagai mendengar perintah raja, tapi karena sulit untuk menarik balik senjatanya mereka mengayun golok kesamping sampai membacok hancur batu di pinggir jalan. Meskipun kaget dan takut para laki-laki itu semua berdiri tegap tak berani bergerak, seolah-olah sangat penurut kepada gadis dalam kereta itu.
Thian-ih merasa heran, seorang gadis rupawan membawa leng-pay memimpin serombongan puluhan laki-laki berkuda melakukan perjalanan jauh. Terang kalau mereka dari luar perbatasan, untuk apakah mereka datang kemari?
Gadis dalam kereta itu terdengar menggumam: "Thian-ih...........Thian-ih "
Ternyata dia tengah menerawangi nama pemuda yang baru saja memperkenalkan diri, lalu terdengar juga ia menyebut nama Hong-gi. Dilihat dari air mukanya terunjuk rasa ria tapi juga rada curiga. Suaranya sedemikian merdu sangat enak dalam pendengaran. Bukan saja bentuk wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Li Hong-gi, sampai suaranya juga rada mirip. Tanpa merasa Thian-ih terlongong-longong memandangi wajah yang ayu jelita ini. Mendadak gadis itu bertanya: “Apakah aku mirip dengan dia?"
Tak terkendali Thian-ih manggut-manggut. Lantas terlihat olehnya wajah nan ayu jelita itu tersenyum simpul bak sebuah bunga mekar, agaknya hatinya senang, gerak gerik kelincahan serta tingkah polahnya ternyata juga mirip benar dengan Li Hong-gi.
Terdengar ia berkata lagi: “Pernah kudengar katanya dia adalah seorang gadis paling cantik dalam pedalaman sini, aku............masa aku dapat dibandingkan dia "
Kiranya gadis jelita ini juga sudah pernah dengar nama harum Li Hong-gi, timbul rasa bangga dan terhibur dalam benak Thian-ih.
Perkataannya sekarang rada ragu-ragu: “Dia apa hubunganmu dengan dia?"
Sekarang Thian-ih sendiri menjadi malu-malu dan kikuk, sahutnya: “Dia dia adalah
adikku."
Kontan gadis dalam kereta itu angkat alis, sorot matanya memancar tajam mengandung teguran, katanya: “Kau menipuku ! Keluarga Li tidak mempunyai putra "
Thian-ih terhenyak, mulutnya menjadi sukar berkata, sahutnya tergagap: “Dia adalah
............adik misanku."
Saking malu karena berbohong wajahnya merah jengah dan terasa hangat membara.
Sorot mata sigadis masih menatapnya, tapi sekarang Thian-ih merasa bahwa sorot pandangan itu telah berubah lemah dan tenang seakan air sungai mengalir. Tak tertahan lagi timbul rasa simpatik dalam benak Thian-ih, tanyanya rada kikuk: “Siapakah nama harum Nona? Dapatkah memberitahu?" sambil berkata ia angkat kepala, dilihatnya si nona mengunjuk rasa senang dan baru saja mulutnya hendak bicara mendadak sikapnya berubah lagi menjadi sedemikian murung, wajahnya muram dan masgul.
Agaknya dia merasa senang karena pertanyaan Thian-ih tadi, ingin ia memberi tahu nama harumnya sendiri. Tapi akhirnya ia telan kembali dan tak jadi dikatakan, sedikit menggeleng ia berkata agak lirih: “Aku....aku ai! Lebih baik kau tidak tahu saja!"
Bertambah tebal keheranan Thian-ih, naga-naganya dia mempunyai isi hati yang tersembunyi hingga menyedihkan hatinya, setelah menunggu sejenak, lantas terdengar ia berkata lagi : “Kau...... kau pergilah ...... kita kelak kita berjumpa lagi bila ada jodoh!"
Thian-ih membungkuk, waktu ia angkat kepala lagi terlihat sepasang mata orang memancarkan penuh rasa berat, tanpa merasa jantungnya berdenyut lebih keras. Baru saja ia angkat langkah, tiba-tiba seorang laki-laki maju merintangi sambil berkata gugup: “Nona, orang ini sudah melihat perabuan Hujin, mana boleh tinggal pergi begitu saja dengan masih hidup ”
Gadis dalam kereta itu segera membentak keras: “Jangan kau kurangajar, meskipun ibuku tidak senang melihat orang asing, tapi orang ini tidak sengaja, lepaskan dia pergi.” para pengawalnya itu serempak mengiakan terus mundur memberi jalan kepada Thian-ih.
Berjalan agak jauh segera Thian-ih kembangkan Gin-kangnya berlari secepat terbang, sekejap saja rombongan orang-orang aneh itu sudah tertinggal jauh dibelakangnya. Waktu ia tiba di markas besar So-keh-pang hari sudah magrib. Thian-ih berpikir, kejadian To Yung terkepung diatas puncak Gun-u-ling itu pasti pihak So-keh-pang sudah mendapat kabar. Namun aku hanya akan menolong secara sembunyi-sembunyi saja, tentu kurang leluasa unjukkan diri menemui So Tiong kakak beradik. Setelah dipikirkan, dia ambil putusan untuk nanti malam saja secara diam-diam menyelundup ke markas besar itu untuk mencari kabar. Lantas dicarinya sebuah pohon besar yang rindang, diatas pohon itulah ia istirahat makan rangsum kering.
Malam itu sangat pekat, secara gampang saja Thian-ih menyelundup masuk sampai diatas rumah kediaman So Tiong. Dulu ia pernah datang kemari maka keadaan sekelilingnya ia sudah apal betul. Teringat olehnya adegan pertempuran tempo hari dimana waktu makan minum mendadak Kiau Sim terpanah mampus oleh panah beracun yang disambitkan oleh To Yong, tapi dirinya salah sangka menuduh So Tiong dan turun tangan hendak membunuh si kelabang terbang So Tiong. Meskipun pundaknya terbacok luka tapi So Tiong menahan sakit berusaha memberi penjelasan serta mencegah anak buahnya mengeroyok dirinya.
Terbayang pula adegan dipuncak Gun-u-ling dulu itu, dimana ia dan So Hoan duduk berdamping bermesraan saling memberi penjelasan akan kesalahan paham ini. Mendadak ia tersentak sadar bahwa cintanya sudah tercurahkan kepada Li Hong-gi seorang, mana boleh hatinya bercabang lagi memikirkan yang bukan-bukan? Begitulah sekian lama ia termangu diatas genteng, pekik seekor burung malam yang lewat diatas kepalanya menyadarkan ia dari lamunannya.
Setelah melihat situasi sekelilingnya langsung ia melesat keruang tengah disebelah depan sana. Disini ia bergelantungan membalik badan mengintip kedalam ruang besar itu. Terlihat olehnya keadaan ruang besar itu terang benderang seperti siang hari, ternyata So-si Hengte tengah adakan perjamuan, sedemikian banyak para tamu yang hadir sampai memenuhi seluruh ruangan. Sebagian besar diantara para tamu sudah dikenal oleh Thian-ih. Diantara mereka terdapat Co Lan-pui dari puncak Thian-gwa-hong di gunung Pasan; Sip Yan-hun dan Sip-yan-hong kakak beradik dari Ciong-lam-san; si tangan penembus awan Su Liat-bong; Kalajengking Him Lim; Chiu-yap Siangjin; Keng-thian-sin Pui Siek; si tombak sakti Khu Gi-kong, Siauw-un-ho Lu Cau dan lain-lain. So Tiong dengan adiknya duduk dipaling atas dan melayani para tamunya makan minum. Sedemikian riang dan gembira mereka berkumpul dalam perjamuan ini, sampai suaranya ribut dan gaduh.
Diantara para tamu itu, sitangan penembus awan Yu Liat-bong, si kalajengking Him Lim, Chiu-yap Siangjin dan Keng-thian-sin Pui Siek atau malaikat penunggak langit ini adalah jagoan kelas satu dari kesatuan Bhayangkara di istana raja. Mereka sejajar dalam urutan sepuluh jagoan besar dari istana raja bersama Lim Han serta Siu Hoa dan Kiu San yang sudah mati itu. Kedatangan mereka berempat itu terang adalah hendak menangkap To Yong mengejar harta negara yang telah tercuri itu untuk menolong Lim Han keluar dari penjara. Dengan kehadiran mereka ini lebih tidak leluasa bagi Thian-ih untuk mengunjukkan diri. Dirinya sudah dituduh sebagai pembunuh petugas hukum dan membangkang penangkapan petugas, kedatangannya ini juga secara diam-diam hendak menolong To Yong keluar dari kepungan, jikalau jejaknya sampai konangan oleh mereka, dosanya tentu akan lebih besar lagi. Diam-diam hatinya gelisah.
Terdengar Co Lan-pui tengah berkata didalam sana: “Meskipun kita menanti dan berjaga disini, tapi juga tidak boleh lalai, kita harus menjaga sibaju perak itu jangan sampai dia sempat meloloskan diri!" Sikelabang terbang So Tiong segera bangkit dari tempat duduknya menuang arak serta serunya sambil tertawa: “Bolehlah saudara Co melegakan hati, sibaju perak itu kalau terjatuh ditangan Lo Ka Siangjin serta Sia-si bersaudara pasti takkan mampu melarikan diri. Bukankah tujuan Lo Ka Siangjin beramai hendak memerasnya supaya dia mempersembahkan harta yang dipendamnya, sudah tentu mereka takkan melukai seujung jiwanya. Apalagi dipuncak sana masih ada Ong Sian-bing bersama Bi Su ikut menjaga, sedikit ada hal-hal yang mencurigakan segera mereka membunyikan pertanda, terang sudah sulit dia meloloskan diri dari kepungan yang ketat ini."
Untuk memperebutkan mutiara mestika itu dulu Thian-ih sudah pernah menempur mereka dikota raja. Tak terduga sekarang mereka telah mendahului selangkah didepannya, bukan saja telah mengurung To Yong dalam genggamannya, agaknya memang To Yong sudah terperangkap disarang harimau, untuk melarikan diri dari kepungan ini memang sulit sekali.
Ong Sian-bing itu berjuluk Kim-to-bu-tek sigolok emas tanpa tandingan. Sedang Bi Su berjuluk Tong-long-chiu si-tangan Walang Kadung, mereka juga termasuk tokoh kenamaan dari sepuluh jagoan istana raja. Diantara mereka bersepuluh dua sudah mati dan satu dipenjarakan, sisanya yang tujuh orang kini sudah tiba enam orang. Boleh dikata bahwa pihak kerajaan sudah mengerahkan seluruh kekuatannya, naga-naganya besar tekad mereka untuk meringkus sibaju perak ini.
Agaknya Sip Yan-hong memang sudah mendalam cintanya terhadap Thian-ih, secara iseng ia tanyakan kepada pihak tuan rumah, bicara perihal kelakuan Thio Thian-ih. Tak tertahan lagi salah seorang jagoan dari Istana yaitu Keng-thian-chiu Pui Siek lantas pentang bacot memaki kalang kabut. “Thio Thian-ih sibocah ingusan yang dipelihara anjing itu, sungguh membuat kita menderita, kali ini entah dia sembunyi dimana, jikalau dapat kutemukan, tentu kuhancurleburkan tubuhnya itu."
Karena makian kotornya ini, kontan menimbulkan rasa tak senang dua orang, mereka bukan lain adalah Sip Yan-hong dan So Hoan, tanpa berjanji lagi mereka berjingkrak bangun, dengan murka mereka tuding Pui Siek dan menanyakan mengapa tanpa hujan tanpa angin mulutnya mengudal perkataan kotor memaki Thio-jichengcu.
Dituding dan disemprot dihadapan sekian banyak orang, sudah tentu Keng-thian-chiu sangat dongkol dan berjingkrak gusar pula, tapi menghadapi kaum wanita betapapun dia sungkan turun tangan. Dilihatnya kedua perempuan ini mendelik gusar sambil bercekak pinggang, Pui Siek menjadi kememek, ia memberi penjelasan dengan suara yang tidak genah. Mendengar beberapa patah kata kasar dari penjelasannya ini, So Hoan dan Sip Yan-hong semakin murka, tidak kepalang tanggung mereka sudah menerjang maju hendak melabraknya. Untung kelabang terbang So Tiong bersama Sip Yap-hun keburu menarik dan mencegah mereka. Dipihak lain Yu Liat-bong juga lantas menekan Pui Siek untuk duduk kembali. Segera ia memberi penjelasan kepada semua orang akan duduk perkara sebenarnya.
Mendengar bahwa ternyata Thian-ih berani membunuh petugas hukum serta membangkang dari penangkapan, semua orang menjadi heran serta menaruh perhatian, terutama Sip Yan-hong dan So Hoan, mendengar Thian-ih melakukan perjalanan jauh membawa seorang perempuan, lebih besar lagi perhatian mereka, dengan seksama mereka bertanya sampai mendetail. Dengan sabar dan tekun Yu Liat-bong memberi penjelasan.
Setelah penjelasannya habis, semua orang tunduk bungkam, yang paling besar perobahan sikapnya adalah So Hoan dan Sip Yan-hong berdua. Thian-ih melihat tegas perubahan ini dari tempat sembunyinya, tanpa merasa ia menyesal akan libatan tali asmara yang selalu melibatnya ini, bagaimana kelak dirinya harus menebus hutang cinta ini?
Sekarang ganti Keng-thian-sin Pui Siek yang mendapat angin, ia mengumbar kedongkolan hatinya, secara tegas dan terang-terangan ia tuduh Sip Yan-hun kakak beradik sengaja hendak membela dan melindungi Thian-ih. Sip Yan-hun lebih berpengalaman dan tahu melihat gelagat lekas-lekas ia bangkit memberi penjelasan, dikatakan bahwa kedatangan mereka berdua hanyalah hendak menanyakan kepada sibaju perak dimana jejak Ban-keh-seng-hud Ciu Hou, ditandaskan bahwa mereka tiada niat buruk atau tamak akan harta.
Sebelum terang tanah terdengarlah suara terompet bersahutan diluar markas besar So-keh-pang, segera semua penghuni dalam So-keh-pang termasuk yang sedang makan minum itu berbondong-bondong keluar. Terlihat oleh mereka serombongan barisan berkuda yang berjumlah empat puluhan tengah mendatangi dari kejauhan depan sana. Semua laki-laki penunggang kuda itu berbadan besar tinggi dan tegap-tegap, kepalanya dibelebet kain, menyoren senjata dengan ikat pinggang yang seragam. Mereka mengiring sebuah kereta lang- sung menuju kearah puncak Gun-u-ling. Beberapa ekor yang berjalan didepan saban-saban meniup terompet keongnya. Suaranya melengking tinggi menyedihkan.
Semua heran dan berjaga-jaga, terutama para anak buah So-keh-pang tanpa diperintah lagi segera mereka siapkan busur dan panah siap menunggu perintah dari So Tiong. Tapi barisan itu tetap maju kedepan seolah-olah tidak melihat kehadiran pihak So-keh-pang, pelan-pelan barisan mereka sudah maju mendekat pintu gerbang.
Dasar berangasan Keng-thian sin Pui Siek tidak kuat menahan sabar lagi, sambil menggenggam secomot senjata rahasia serta senjata tunggalnya yang berupa gada tembaga berbentuk manusia berkaki satu segera hendak menerjang maju. Tersipu-sipu Chiu-yap Siangjin yang berdiri disampingnya menariknya kembali, lalu dengan matanya ia memberi isyarat kepada Co Lam-pui tokoh dari gunung Pa-san itu, katanya: “Maksud kedatangan rombongan ini belum diketahui, saudara Co, harap kau suka capekan diri bertanya kepada mereka.”
Tanpa diminta lagi segera Co Lan-pui melompat kedepan, suaranya lantang menyapa para pendatang ini. Betul juga rombongan barisan berkuda itu segera berhenti. Co Lan-pui langsung mendekati kereta, dimana tenda kereta tersingkap, semua orang melihat Co Lan-pui tengah bercakap-cakap dengan orang didalam kereta itu, tak lama kemudian Co Lan-pui lantas berlari balik, tangannya diulapkan menyuruh para anggota So-keh-pang itu menyingkir memberi jalan.
Rombongan berkuda ini segera melanjutkan perjalanan langsung kearah puncak Gun-u-ling, yaitu daerah terlarang bagi golongan So-keh-pang. Setelah sampai dibawah gunung karena jalanan sempit, terpaksa semua turun dari atas kuda dan berbondong mengiring gadis dalam kereta itu naik keatas. Gadis itu mengenakan pakaian berkabung, berikat pinggang tali rami, tangannya tetap mengemban kayu Leng-pay yang bertuliskan huruf berwarna kuning kemilau.
Jauh didepan rombongan orang-orang yang tengah memanjat keatas ini, terlihatlah segulung bayangan tengah terbang seenteng asap melesat ke puncak juga. Itulah Thian-ih adanya, siang-siang ia sudah menduga pasti kedatangan gadis dari luar perbatasan ini juga akan menuntut balas kepada To Yong. Tanpa ayal lagi segera ia melesat naik ke atas lebih dulu. Sepanjang jalan keatas ini dijaga ketat oleh anak buah So-keh-pang, entah yang terang atau pos-pos gelap tak terhitung banyaknya. Sekaranglah saatnya Thian-ih menunjukkan hasil gemblengan Ing-mo selama berada di pulau elang tempo hari, mengandal ilmu ringan tubuhnya yang lincah dan tangkas seenteng burung terbang, tanpa melalui jalanan pegunungan, tapi dia terbang berloncatan dari puncak pohon ke puncak pohon, dikembangkannya Ginkang Cengcoreng menutul air tubuhnya meluncur secepat anak panah. Orang-orang dibawah hanya mendengar suara keresekan dari daun-daun pohon yang bergoyang, mana mereka tahu bahwa ada orang tengah menyelundup naik ke puncak dari atas kepala.
Gedung besar bekas terbakar itu dikepung ketat juga. Terlihat oleh Thian-ih Kim-to-bu-tek Ong Sian-bing serta si Walang kadung Bi Su juga diantara pengepung-pengepung itu. Sedemikian ketat kepungan dan penjagaan ini seumpama ada orang hendak melarikan diri dari gedung itu pasti takkan lolos.
Tampak pintu besar gedung bobrok itu terpentang lebar, keadaan didalam sangat gelap dan sangat sunyi. Agaknya kedua belah pihak sedang dalam keadaan gencatan senjata.
Thian-ih mendekam di tempat sembunyinya, ingin benar segera ia masuk kedalam gedung itu untuk menyelidiki, tapi untuk terbang masuk kesana menempuh bahaya dibawah begitu banyak pasang mata sungguh tidak mudah, tengah ia bimbang dan bingung cara bagaimana harus bertindak, terdengarlah suara trompet keong dari bawah puncak sana dan semakin mendekat. Para penjaga diatas menjadi gempar dan berjaga-jaga. Ong Sian-bing dan Bi Su segera memberi aba-aba menyuruh anak buahnya siap bersiaga di tempat masing-masing. Tak lama kemudian seorang chengteng berlari secepat terbang naik ke atas, agaknya dia datang menyampaikan pemberitahuan dari pihak So-keh-pang. Thian-ih mendengar jelas dari tempat persembunyiannya.
Agaknya diminta Ong Sian-bing jangan merintangi rombongan pendatang ini. Juga diberitakan bahwa sikelabang terbang Go Tiong dan para sahabat yg lain segera akan menyusul tiba.
Suara bunyi keong semakin dekat, rombongan terdepan dari barisan aneh itu sudah tiba diatas, dan dilain saat tampak pula gadis yang mengemban kayu perabuan leluhurnya itu.
Setelah semua berada didepan gedung bobrok itu, mereka beristirahat sejenak, lalu salah seorang dari laki-laki berpakaian ketat itu maju kedepan pintu dan berseru lantang menghadap kedalam gedung: “Diminta Kim-kiam-gih-i-khek keluar menjawab beberapa pertanyaan." Beruntun ia berkaok-kaok beberapa kali, tanpa mendapat layanan dari dalam gedung.
Siwalang kadung Bi Su maju memberi keterangan bahwa sibaju perak itu kini sudah terjatuh dalam cengkraman Lo Ka Siangjin beserta begundalnya. Mereka tengah mengompres dan memaksa keterangan sibaju perak tentang barang-barang yang telah dicurinya dari istana raja, mereka tidak sudi bekerja sama dengan kesatuan Bhayangkara, maka sampai saat itu setelah saling gempur beberapa kali untuk sementara waktu ini diadakan gencatan senjata.
Terlihat gadis berpakaian berkabung itu membisiki apa-apa ditelinga laki-laki itu, lantas dia maju lagi kedepan pintu dan berteriak lagi: "Lo Ka Siangjin dari Hud-kong-si di Ban-siu-san harap keluar."
“Siapa kalian?" terdengar jawaban keras dari dalam.
“Kita datang dari luar perbatasan," sahut laki-laki berpakaian ketat itu. Setelah ditunggu tak terlihat orang keluar dari dalam gedung, sekilas laki-laki itu berpaling kearah gadis berpakaian duka itu, gadis itu sedikit manggut-manggut agaknya mengijinkan. Mendadak laki-laki itu lantas bersenandung: “Gelang emas menjagoi seluruh jagat, lidah ular melingkari kain ungu, ikat kepala membelit leher, pedang melintang langit cerah cemerlang "
Nada senandungnya itu sangat aneh, tiada yang hadir mengerti makna dari senandungnya itu. Hanya terlihat Golok emas tanpa tandingan Ong Sian-bing dan siwalang kadung Bi Su begitu selesai mendengar senandung itu lantas melangkah maju dan berdiri tegak, wajahnya mengunjuk rasa kaget dan takut-takut. Thian-ih mengeram di tempat sembunyi, hatinya heran bertanya-tanya.
Terlihat sebuah bayangan muncul diambang pintu besar, orang ini berwajah merah laksana darah, sorot matanya berkilat-kilat, badannya mengenakan jubah panjang menjinjing tongkat besar, dia bukan lain adalah Pendeta buas dari Tibet yang bernama Lo Ka Siangjin.
Dibelakang Lo Ka Siangjin mengintil dua orang, Thian-ih kenal kedua orang ini, mereka bukan lain adalah Sun Kay-ka dan Pau Kok-tam.
Sambil mengetukkan tongkat besarnya Lo Ka Siangjin membentak keras: “Mana gelang emas dan lidah ular itu?"
Segera gadis serba putih itu beringsut maju sambil mengemban kayu perabuan itu, dari dalam kantongnya dikeluarkan sebuah benda terus dikenakan di jarinya, dibawah cahaya matahari terlihat benda itu gemeredep, lalu sahutnya: “Gelang emas disini."
Walaupun jarak sembunyi Thian-ih agak jauh, tapi dia masih dapat melihat jelas benda diatas jarinya itu mirip benar dengan gelang dan cincin milik Pak-ko-seng dan Ban Ai-ling itu, tanpa merasa tergerak hatinya. Pikirnya; apakah perkumpulan gelap yang dikatakan oleh Ing-mo itu ada sangkut pautnya dengan gadis ini?
Dimana sinar kemilau dari cincin emas itu berkelebat, kontan tubuh Lo Ka Siangjin seperti mengkeret menjadi kecil, tampangnya yang buas dan sikapnya yang garang tadi seketika kuncup, tampak ia maju selangkah sambil membungkuk tubuh memberi hormat ujarnya: “Apakah nona juga she Lo?"
“Memang aku she Lo!" sahut gadis itu dingin.
“Kalau begitu," tanya Lo Ka Siangjin lebih lanjut. “jadi nona adalah putri Nisi Hujin!"
Gadis itu sedikit manggut, suara Lo Ka Siangjin semakin merendah dan hormat sekali, tanyanya : “Apakah ibumu dalam keadaan baik-baik saja?”
Badan sigadis sedikit tergetar, suaranya murung rada sedih: “Ibu sudah meninggal "
Mendadak Lo Ka Siangjin melangkah mundur, dilihatnya memang sigadis mengenakan pakaian berkabung. Begitu mengetukkan tongkat besarnya mulutnya mendesis entah apa yang digumamkan, rasa takut dan hormatnya tadi seketika hilang dan berganti pula dengan wajahnya semula yang garang seram dan menyeringai bengis.
Gadis berkabung itu berkata: “Musuh besar yang mencelakai ibu adalah sibaju perak yang telah terjatuh kedalam tangan kalian itu " Sampai disini tahulah Lo Ka Siangjin apa maksud kedatangan gadis berkabung ini. Maka segera jengeknya dingin: “Nona, kunasehati cepat-cepat saja kau pulang keluar perbatasan sana! Bahaya yang kau hadapi dikalangan Kang-ouw sangat besar, apalagi kau seorang perempuan muda masa kuat menanggulangi tugas berat ini " nadanya seakan-akan ia memperhatikan
keselamatan si nona, namun hakikatnya sikapnya sangat congkak dan mengandung ejekan dan memandang rendah! Jauh berbeda dengan sikap hormatnya tadi.
Tiba-tiba sigadis berkata lantang: “Tidak! Hari ini juga aku harus membawa musuh besar itu kembali. Lekas kalian serahkan kepadaku....'' enak saja ia berkata seakan-akan ia bicara terhadap anak buahnya.
Lo Ka Siangjin menyeringai seram, jengeknya: “Nona Lo. Aku bermaksud baik. Kalau kau ingin menuntut balas serahkan saja biar aku yang melakukan, kelak pasti kubunuh musuh besarmu ini, kau pulanglah dengan lega hati."
Sigadis membantah tegas dan keras: “Tidak bisa! Hari ini aku harus membunuhnya dengan tanganku sendiri, kalau kalian tidak mau serahkan, aku bisa masuk membekuknya sendiri."
Alis gombyok Lo Ka Siangjin berkerut dalam, mendadak ia tertawa gelak-gelak, lalu ujarnya dingin: “Nona, ketahuilah bahwa ibumu sudah mangkat. Janganlah kau bekerja secara sembrono. Kau ingin masuk membekuk orang! Tempat ini jangan kau samakan diluar perbatasan sana, jangan kau berlagak disini "
Gadis berkabung itu menjadi marah, bentaknya: “Lo Ka, berani kau merintangi aku?"
Lo Ka Siangjin terkekeh-kekeh: “Nona! Kau harus tahu diri dan melihat gelagat. Sibaju perak itu sekarang berada dibawah cengkramanku, kita tengah memperbincangkan soal dagang mana boleh begitu saja kita serahkan kepadamu, dan lagi sedemikian banyak orang yang datang hendak minta sibaju perak itu ''
Sejenak ia merandek, sorot matanya menyapu pandang ke sekelilingnya, dilihatnya So-si Hengmoay dan sekalian kesatuan Bhayangkara juga hadir disitu, wajah merah membara dari Lo Ka Siangjin segera menampilkan rasa puas dan bangga. Katanya selanjutnya: “Tapi, orangnya tergenggam di tanganku, jikalau kamu berani main keroyok mengandal jumlah yang banyak, tidak ragu lagi dia akan kita bunuh, supaya semua orang menangkap angin dan bertangan kosong!” Ancaman Lo Ka Siangjin ini ternyata membawa pengaruh yang sangat besar. Tujuan utama para jagoan dari istana itu hanyalah untuk mengejar balik harta benda yang tercuri itu, tempat penyimpanan barang-barang itu hanya sibaju perak seorang saja yang tahu, sudah tentu pihak Bhayangkara tidak ingin dia mati. Sedang Sip Yap-hun dan adiknya serta Co Lan-pui hanya ingin minta keterangan tentang keselamatan Ciu Hou pihak ketiga ini juga tidak mengharap dia mati. Oleh karena itu untuk sementara kedua belah pihak masih mengukuhi pendapatnya masing-masing sampai tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya masih ragu-ragu hingga tertunda sampai sekian lama.
Gadis berkabung itu maju selangkah sambil menghardik, “Lo Ka! Aku tidak peduli akan segala alasanmu itu, jikalau benar-benar kau tidak serahkan dia, segera aku turun tangan!"
Puluhan pengiringnya segera mengiakan serempak sambil merubung maju. Lo Ka Sianjin menjadi serba susah, katanya dingin sambil mengetukkan tongkatnya: “Baiklah, asal kau dapat mengalahkan tongkat ditanganku ini, sibaju perak segera kuserahkan kepadamu." Belum habis ucapannya mendadak gadis berkabung itu sudah mencabut pedangnya, sebelah tangannya masih tetap mengemban kayu perabuan itu, mendadak tubuhnya berkelebat terus merangsak kearah Lo Ka Siangjin. Sedemikian lincah dan enteng sekali gerak geriknya itu seumpama asap saja, diam-diam semua orang memuji dan kagum dalam hati. Demikian juga Lo Ka Siangjin sendiri merasa terancam bahaya, tongkatnya diputar untuk menangkis serta melindungi bagian atas tubuhnya. Benar juga tenaga kekuatan jurus serangan pedang ini menindih turun dari atas, "trang" pedang dan tongkat saling beradu.
Sebetulnya Thian-ih hendak menggunakan kesempatan ini menyelundup masuk kedalam gedung, apa mau situasi pertempuran ini betul-betul menarik perhatiannya, cara bertempur gadis jelita itu betul-betul mengejutkan hatinya. Dimana terlihat dengan sebelah tangannya saja sigadis mengerahkan tenaganya keatas pedang menindih tongkat besar Lo Ka Siangjin, bukan saja dia tidak tergetar mundur malah pedang itu lempang menindih turun sehingga tongkat sebesar mangkok milik Lo Ka Siangjin itu semakin tertindih turun merendah.
Terpaksa Lo Ka Siangjin menyekal tongkatnya dengan kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk bertahan, paling-aling juga hanya kuat bertahan saja tanpa dapat mengangkat kembali. Pedang sigadis itu entah terbuat dari bahan apa agaknya bukan terbuat dari besi, di bawah sorot sinar matahari berkilauan menyilaukan mata, saking besar tenaga yang terkerahkan sampai pedang itu mengeluarkan suara mendengung. Sedemikian jauh dia masih kuat bertahan berada diatas angin.
Semua penonton menjadi melongo dan kagum, karena belum pernah dilihatnya cara bertempur semacam ini, apalagi seorang gadis muda jelita ternyata mempunyai kepandaian serta Lwekang begitu tinggi, ini benar-benar janggal namun kenyataan.
Sekonyong-konyong sigadis menggerakkan pedangnya meluncur menyelusuri batang tongkat lawan terus meluncur keatas membabat lambung, jurus Chui-gin-sia-te ini benar-benar sangat cepat dan ganas sekali, hampir saja semua orang berteriak kejut. Betapapun Lo Ka Siangjin memang lihay dan tinggi kepandaiannya, dalam saat-saat gawat terancam bahaya itu kakinya menggeser kesamping terus menendang pergelangan tangan sigadis. Tepat waktu sigadis berkelit tongkatnya itu juga lantas terangkat keatas terus menyodok balik, sehingga ia dapat mengembalikan kedudukan yang seimbang.
Tapi gerak pedang sigadis benar-benar hebat, dimana sinar pedang berkelebat secepat itu tahu-tahu sudah menutul dekat didepan muka Lo Ka Siangjin, betapa cepat samberan pedang ini laksana kilat saja dan perbawanya seumpama geledek menggelegar. "Trang", sekali lagi tongkat besar Lo Ka Sianjin kena tertindih turun, tampak pedang sigadis itu memancarkan warna kebiru-biruan sungguh tajam dan menyilaukan mata.
Dengan jurus Heng-to-kim-liang (melintangkan belandar emas) tongkat Lo Ka Siangjin disanggah miring keatas terus didorong maju. Sigadis merobah permainan pedangnya menangkis dan membabat miring. Tapi permainan tongkat besar Lo Ka ternyata cukup lihay juga dari dorong dirubah menjadi tutukan, tapi bukan keatas sebaliknya menukik kebawah terus menyerang bagian bawah badan si gadis. Tujuan serangan Lo Ka ini cukup keji dan kotor. Diam-diam Thian-ih mengumpat ditempat persembunyiannya melihat permainan licik pendeta jahat itu. Sementara itu, tampak badan sigadis mendadak berputar-putar secepat kitiran, terpaut serambut saja tongkat besar lawan menyerempet lewat disamping tubuhnya.
Mulut Thian-ih berkecek memuji, diam-diam ia membatin, agaknya Ginkang dan Lwekang si gadis ini masih berada diatas kemampuannya. Setelah bertempur sekian lama bukan saja dirinya terdesak terus malah tongkat besarnya itu juga sudah pating suwel (gumpil), hal ini cukup memalukan dan dari malu hatinya semakin geram, segera tongkat besarnya itu diputar sekencang kitiran sehingga angin menderu-deru sangat derasnya mengurung seluruh tubuh sigadis. Akan tetapi memang ginkang sigadis sudah mencapai taraf yang sempurna betul, dimana terlihat diantara samberan tongkat besar itu ia selulup timbul dan berloncatan dengan gesit dan tangkasnya, sinar pedangnya yang kebiru-biruan itu juga kadang-kadang melesat keluar dan berkelebat menyilaukan mata semua penonton.
Sekonyong-konyong Lo Ka Siangjin menggerung keras, dengan nekad ia menyerang dengan jurus yang mematikan. Namun sebat sekali sigadis melompat mundur menghindar, sebelum Lo Ka sempat berganti napas, sigadis sudah merangsak maju dan menggempurnya semakin hebat.
Dilain pihak Sun Kay-ka dan Pau Kok-tam juga sudah melihat keadaan Lo Ka yang terdesak hebat itu, berbareng mereka melompat keluar pintu, ingin mereka turun gelanggang membantu, tapi terasa oleh mereka betapa cepat jurus-jurus serangan pedang sigadis itu, tiada lobang kesempatan bagi mereka dapat ikut menyeburkan diri. Bukan mustahil mereka sendiri nanti yang bakal menjadi korban dengan konyol, karena kekuatiran ini sekian lama mereka menjadi ragu-ragu dan takut.
Mendadak sinar biru melesat tiba, tampak Lo Ka cepat-cepat mengkeretkan kepala gundulnya terus mundur, untung dia masih dapat terhindar dari serangan ini, tapi secepat itu sigadis sudah menggerakkan tangan kirinya dimana kayu perabuan itu dibaling-alingkan didepan matanya, huruf kuning kemilau diatas kayu itu seketika menyilaukan mata Lo Ka Siangjin, sedetik saja ia pejamkan mata lantas terasa sambar tajam pedang telah mengancam pundaknya “cras" lalu disusul pekik dan gerung kesakitan yang keras sekali sampai menggetarkan bumi rasanya. Seperti banteng ketaton Lo Ka mengayun tongkat besarnya menyerang kedepan, darah mengalir deras dari pundaknya yang terluka.
Sambil mendelik segera Lo Ka berteriak keras: “Teman-teman! Siap gorok leher bocah itu." Terdengar suara beberapa orang mengiakan didalam gedung bobrok itu.
Cepat-cepat sigadis menghentikan aksinya, dia tahu pendeta jahat ini dalam keadaan terdesak pasti dapat melakukan apa saja yang diingini, kalau ia terlalu mendesaknya sampai mereka membunuh sibaju perak, maka tiada harapan lagi dirinya dapat membunuh musuh besar itu. Bukan saja begitu, yang terpenting adalah tentang rahasia itu juga tidak dapat dikeruk keterangannya. Karena pertimbangan ini pedangnya diturunkan.
Melihat ancamannya termakan, Lo Ka bergelak tertawa, mata julingnya menyapu garang kesekelilingnya.
Segera sitangan penembus awan Yu Liat-bong tampil ke depan dan membentak: "Lo Ka, kau bajingan ini, berani kau menahan pesakitan negara, apa kau tidak takut melanggar hukum ?”
Karena menahan sakit sampai wajah merahnya itu menjadi pucat kebiru-biruan, Lo Ka menghardik juga dengan geramnya: “Orang she Yu, kau sangka bapak pendeta ini takut kena perkara? Gertakanmu ini hanya dapat menakuti bocah kecil ! Sekarang kenyataan sibaju perak berada di cengkramanku, aku ingin mengapakan dia terserah kepadaku. Kalau kalian merasa ungkulan mari maju kemari, biar aku adu jiwa dengan kalian." Golok emas tanpa tandingan Ong Sian-bing menjadi gusar, bentaknya: “Lo Ka, kau sudah siap belum, bagaimana juga hari ini kita harus meringkus pelarian itu, kau berani menahan dan memeras pelarian yg kita cari, apa kau juga minta dihukum sekalian, pergilah pikir-pikir biar masak, jangan kau nanti menyesal setelah kasep "
Lo Ka Siangjin bergelak tertawa, ujarnya: “Ong Sian-bing, tidak perlu kita banyak pikir, kalau berani berbuat berani bertanggung jawab, gertak sambalmu ini hanya dapat menakuti anak kecil. Selalu aku menanti kalian didalam rumah, maaf aku tidak bisa melayani kalian lebih lama lagi !" bersama Sun Kay-ka dan Pau Kok-tam mereka terus masuk kedalam gedung bobrok itu.
Sebetulnya Thian-ih hendak ikut menyelundup masuk berbareng dengan Lo Ka bertiga ini, serta dilihatnya mereka mengundurkan diri dengan seenaknya saja, niatnya menjadi batal, karena tiada kesempatan, terpaksa hanya berloncat ke lain tempat mencari kedudukan yang lebih enak dibelakang gedung untuk bertindak lebih lanjut.
Gedung bobrok yang dibangun dipuncak Gun-u-ling ini besar sekali, namun sebagian besar sudah roboh bekas terbakar. Disebelah pojokan Thian-ih menemukan sebuah lobang2 tembok yang sudah ambruk, samar-samar didengarnya disebelah dalam ada suara orang berjaga. Sedang diluar tembok ada beberapa chengteng pihak So-keh-pang yang mengawasi untuk menyusup masuk kedalam dibawah pengawasan mereka serta sekaligus harus dapat membekuk orang yang menjaga disebelah dalam tembok adalah bukan pekerjaan gampang.
Begitulah terpaksa Thian-ih harus mengulur waktu sampai tengah hari. Orang-orang yang mengepung diluar gedung agaknya sudah bersiap-siap hendak mulai menyerbu. Dikejauhan sebelah sana terlihat Chiu-yap Siangjin sudah memberikan aba-aba, si-walang kadung Bi Su dan sitombak sakti Kho Ge-liong juga tengah mendatangi. Thian-ih menjadi gelisah, karena gugupnya ini terlintaslah suatu akal dalam benaknya. Cepat-cepat ia tanggalkan jubah luarnya, terus dicarinya dua dahan pohon yang disilangkan lalu jubahnya disampirkan diatas kedua dahan yang bersilang itu, terus dilontarkan ketengah udara. Seolah-olah sebuah bayangan orang yang melompat tinggi ditengah udara.
Siwalang kadung Bi Su dan tombak sakti Kho Ge-liong mengira ada orang dalam gedung yang berusaha melarikan diri, sebat sekali mereka segera melompat memapak maju. Dalam kesempatan secepat kilat inilah Thian-ih melompat tinggi menempuh bahaya. Sewaktu perhatian semua orang tertuju pada bayangan baju luarnya itu, secepat kilat ia meluncur masuk ke lobang tembok itu. Dibelakang lobang tembok ini ada sembunyi dua orang, mereka juga tengah longak-longok tertarik oleh kejadian diluar, tak kira mendadak sebuah bayangan berkelebat didepan mata mereka lantas terasa badannya kaku dan linu tanpa dapat bergerak lagi.
Cepat-cepat Thian-ih menyeret mereka ke tempat gelap, agaknya mereka adalah anak buah Lo Ka Siangjin yang mengenakan jubah pendeta juga, lekas-lekas Thian-ih melucuti pakaian salah satu orang terus dipakai. Baru selesai ganti pakaian, tak jauh dari tempat sembunyinya ini terdengar seorang berteriak memaki: “Kemana kedua bocah gentayangan itu? Disini kosong melompong tiada orang jaga, kalau musuh bolos masuk mana dapat diketahui?" Diam-diam Thian-ih melongok keluar, dilihatnya orang yang bicara ini adalah Kiu Keng-po adanya.
Setelah marah-marah Kiu Keng-po memanggil beberapa orang untuk mengganti jaga disini. Thian-ih menjadi lega hati, secara sembunyi-sembunyi segera ia mulai bergerak. Bangunan gedung ini memang besar dan rumit sekali bangunannya, banyak gang-gang dan lekak-lukuk yang dapat menyesatkan, keadaannya gelap dan lembab lagi, meskipun saat itu tengah hari bolong tapi dalam gedung harus menyumat obor atau lilin besar. Mengandal jubah pendeta samarannya ini Thian-ih agak leluasa bergerak mondar mandir kian kemari dalam gedung. Tampak kelompok demi kelompok sedikitnya terdiri tiga orang berjaga disetiap lobang tembok yang telah gugur. Karena menyangka Thian-ih adalah anak buah Lo Ka maka mereka diam saja tanpa menanyakan asal-usulnya. Selama berjalan-jalan itu Thian-ih melihat Lo-han-kun Sia Hwi-i dan Sia Hwi-kong. Agaknya luka berat yang diderita oleh Sia Hwi-kong waktu bertempur dipegunungan berbatu tempo hari masih belum sembuh seluruhnya, gerak-geriknya kelihatan agak lamban.
Samar-samar masih teringat oleh Thian-ih gang-gang atau jalanan lika-liku dalam gedung itu, akhirnya dia tiba juga diruang depan. Disini terlihat Pau Kok-tam memimpin serombongan orang mengeram dibelakang pintu, tak kelihatan adanya tawanan diantara mereka. Thian-ih semakin gelisah, dimanakah To Yong disekap oleh mereka? Betapapun aku harus sudah menolongnya keluar dari sini sebelum rombongan diluar menyerbu masuk.
Memutar kesebuah lorong tiba-tiba pandangannya menjadi terang, tampak beberapa pendeta dan laki-laki tegap tengah berkeliling menjaga seorang berpakaian baju perak, pinggang sibaju perak masih menyoreng pedang emasnya itu, orangnya tergantung diatas tembok dengan menundukkan kepala, wajahnya tidak kelihatan jelas, agaknya dia jatuh pingsan.
Thian-ih tidak berani sembarangan bergerak, sembunyi di tempat gelap dia berpikir cara bagaimana dia harus menolongnya. Dilihatnya dada sibaju perak itu masih bergerak naik turun, jelas bahwa dia masih hidup, dibawah sinar pelita tampak air mukanya berwarna kuning, kabarnya memang To Yong tengah jatuh sakit sehingga kena tertawan oleh musuh, agaknya berita itu memang kenyataan.
Dilihat keadaannya yang lemah itu, agaknya penyakitnya rada berat, Thian-ih harus memeras keringat mencari akal cara bagaimana untuk menolongnya. Sekonyong-konyong tergerak hatinya. Pedang emas adalah warisan keluarganya yang turun temurun, merupakan sebilah pedang pusaka yang tajam luar biasa. Kenapa setelah To Yong tertawan pedang itu masih tersoreng dipinggangnya ? Kalau toh Lo Ka takut sibaju perak ini terjatuh ditangan para satuan Bhayangkari serta dijebloskan kedalam penjara, mengapa pula masih membiarkan dia tetap mengenakan baju peraknya itu yang paling gampang dikenal orang? Secara teliti Thian-ih menerawangi keadaan yang dihadapi ini, akhirnya dia menaruh kecurigaan.
Terdengar suara teriakan gemuruh diluar gedung, situasi dalam gedung menjadi tegang. Thian-ih menambah kewaspadaan, terdengar suara Lo Ka Siangjin membentak-bentak memberi perintah, cepat-cepat Thian-ih mengintil dibelakangnya.
Lo Ka menyerukan para anak buahnya bersiap menyambut segala serbuan, lalu terdengar langkahnya memasuki sebuah ruangan samping. Thian-ih membayangi terus dibelakangnya. Terdengar ia berseru kedalam ruangan: “Awas! Begitu mereka menyerbu masuk, segera kau bawa tawanan itu lari.''
Seorang tertawa dalam ruangan, sahutnya: “Siangjin tak usah kuatir, bangsat ini sudah terbelenggu kedua tangan dan kakinya, kunci ini seumpama pedang pusaka juga belum tentu dapat membukanya, apalagi dia tengah terserang penyakit, betapapun aku masih kuat mengekangnya "
“Jangan kau terlalu takabur !” terdengar seruan Lo Ka Siangjin, nadanya berat dan serius. “Para penyerbu itu ada termasuk putri Binisi Hujin dari luar perbatasan, pedang ditangannya itu tajam bukan olah-olah, bagaimana juga kau harus hati-hati jangan sekali-kali kau lepaskan tawanan ini sampai direbut oleh musuh.''
Terdengar orang dalam ruangan itu mengiakan berulang-ulang. Lantas terlihat Lo Ka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Thian-ih mendekam ditempat gelap, terasa suara dalam ruangan itu sudah sangat dikenalnya, begitu Lo Ka pergi jauh segera ia menggeremet maju dan mengintip kedalam.
Sekali pandang kontan hatinya mengeluh dan girang juga. Ruangan yang tidak begitu besar ini diterangi sebatang lilin, lapat-lapat terlihat dipojokan sana meringkuk tubuh seseorang, kaki-tangannya terbelenggu kencang dengan rantai dan kunci yang terbuat dari baja. Disampingnya duduk seorang yang melintangkan pedang didepan dada tawanannya, wajahnya mengunjuk senyum sinis dan menyeringai kejam. Thian-ih kenal orang ini karena dia bukan lain adalah murid Pak Ko-seng yg bernama Ban Ai-ling itu. Sungguh diluar tahunya bahwa bajingan tengik ini dapat melarikan diri sampai disini, tak heran ia sangat kenal suaranya. Walaupun tidak melihat tegas muka orang yang meringkuk itu, tapi Thian-ih kenal dan percaya betul bahwa orang itu pasti To Yong adanya. Hatinya menjadi lega, dari tempat sembunyinya itu diam-diam ia berpikir mencari akal cara bagaimana untuk menolongnya dari belenggu musuh ini.
Memang pengaturan tipu muslihat Lo Ka Siangjin ini harus dipuji. Disamping memancang seorang duplikat sibaju perak diatas dinding, sedang sibaju perak asli sudah terbelenggu dalam ruangan ini dibawah pengawalan ketat Ban Ai-ling. Begitu orang-orang luar menyerbu masuk, dalam keadaan pertempuran yang kacau balau, dengan secara diam-diam mereka dapat lebih leluasa menyelundupkan sibaju perak asli ini keluar dari gedung bobrok ini.
Tapi Thian-ih yang sudah tahu tipu muslihat ini dengan tenang saja sembunyi ditempatnya tinggal tunggu kesempatan untuk turun tangan menolong orang. Mendadak diluar sana terdengar suara panah bersuitan, suara teriak bertempur juga lantas timbul dimana-mana. Sedang dari sebelah dalam gedung segera menghamburkan senjata rahasia keluar menyambut serbuan musuh, seketika terdengar teriakan dan pekik kesakitan bagi yang terluka dan mati konyol. Sigap sekali Ban Ai-ling menjinjing tawanannya. Tapi Thian-ih segera mengayun tangannya menyambitkan senjata rahasia, sasarannya ternyata sangat tepat sekali. Terdengar Ban Ai-ling berpekik dan meraung keras, sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Bergegas Thian-ih memburu masuk, dimana pedang pusaka pemberian Ing-mo itu berkilat, borgol dan belenggu ditangan kaki sibaju perak jatuh berkerontangan. Legalah hatinya.
Pekik raungan Ban Ai-ling yang keras itu mengejutkan semua orang dalam gedung itu. Pertama-tama Lo Ka Siangjin paling prihatin segera memburu tiba, dibelakangnya terlihat gadis berpakaian berkabung dari luar perbatasan itu mengejar kencang dibelakangnya. Timbul akal dalam otak Thian-ih, cepat-cepat tangannya diayun menyambitkan senjata rahasia untuk memadamkan lilin dalam ruangan itu. Kontan ruangan itu menjadi gelap gulita.
Karena ruangan mendadak menjadi gelap, kuatir dirinya terbokong, Lok Ka dan sigadis berkabung itu lantas menghentikan langkahnya sambil mepet dinding tak bergerak.
Cepat-cepat Thian-ih menggagap kebawah tapi yang terjamah ternyata tempat kosong, keruan bukan kepalang kejut hatinya. Ternyata sibaju perak yang terserang penyakit dan Ban Ai-ling yang menggeletak ditanah tadi sudah menghilang entah kemana. Mungkinkah To Yung