Jilid 07

Tak lama kemudian sambil melihat cuaca segera Pak-ko-seng membuka suara: “Anak Ling cepat kau cari sendiri, waktu dia datang kan ada jejak kakinya, sekarang hujan sudah reda, pasti jejak kakinya masih jelas terlihat ''

Baru sekarang Ban Ai-ling sadar, serunya kegirangan: “Suhu pikiranmu ini tepat sekali. Kalau dia bersembunyi dalam gua disekitar sini. Haahha "

"Cekluk" dia menelan ludah. Pak-ko-Seng seorang tua bangkotan yang licik dan banyak akalnya, katanya tertawa: “Kalau dia masih berada dalam gua, saat ini hari kebetulan akan terang tanah, mungkin dia masih belum bangun, sangat tepat kepergianmu ini !" sejenak berhenti lalu pesannya lagi: “Tapi kau harus hati-hati, terlebih dulu kau harus tutuk jalan darahnya, jangan sampai dia melarikan diri, kalau Hun-tai Siancu itu sampai marah, wah tambah berabe nanti !"

Ban Ai-ling menyeringai tawa: “Suhu, ucapanmu tepat sekali. Baiklah aku akan berbuat menurut petunjukmu. Kalau nasi sudah menjadi bubur, tidak takut gurunya itu tidak melulusi.”

Secepat terbang segera Ban Ai-ling berlari keluar. Segera Pak-ko-seng menjinjing Thian-ih, sekali meraba-aba ditubuhnya, kontan rasa kesakitan tadi segera lenyap. Tapi badannya masih sangat lemah tak bertenaga. Sekali lempar tubuh Thian-ih terbang tinggi dan sebelum menyentuh tanah, mendadak Pak-ko-seng berteriak kejut, terus menyambar tubuhnya lagi terus dibawa lari kearah puncak secepat angin.

Dalam pada itu Ban Ai-ling sudah memasuki gua dimana tempat Cia In-hun tengah tidur nyenyak, sambil menyeringai iblis segera ia peluk tubuh yang tidur celentang itu.

Sekonyong-konyong Cia In-hun melompat bangun dan "Blang" dengan telak pukulannya mengenai pundaknya. Keruan Ban Ai-ling menjerit kesakitan, dan terperanjat sekali. Tanpa berani berpaling lagi segera Cia In-hun menerobos keluar terus lari sekencang-kencangnya.

Luka Ban Ai-ling tidak berat, tapi nafsu birahinya masih menyala-nyala, sungguh sesalnya bukan buatan, mengapa tadi tidak menutuknya lebih dulu, dengan sempoyongan segera ia mengejar keluar. Mendadak terdengar dari kejauhan sana teriak orang sedang memanggil-manggil: “In-hun! In-hun! Thian-ih! Dimana kalian?"

Mendengar suara Hun-tai Siancu ini bagai kelinci mendengar guntur, cepat-cepat Ban Ai-ling menyelinap masuk kembali kedalam gua. Sejenak kemudian dia merasa dengan sembunyi ditempat ini bukan tempat yang aman, siapa tahu kalau Cia In-hun sudah bertemu dengan Hun-tai Siancu dan tahu kalau dirinya berada dalam gua ini bukankah mereka akan segera meluruk kesini ! Cia In-hun saja susah dilawan apalagi bersama gurunya. Maka sambil menahan kesakitan dia menggeremet keluar. Untung bayangan Hun-tai Siancu dan Cia In-hun tidak terlihat, bergegas ia lari terbirit-birit ke puncak kanan dibelakang Hun-tai-san, yaitu rumah batu kediaman gurunya itu.

Melihat kelakuan muridnya yang serba runyam ini, segera Pak-ko-seng menanyakan pengalamannya, dengan tergagap Ban Ai-ling menuturkan. Pak-ko-seng berjingkrak murka, makinya: “Goblok, sudah kusuruh kau menutuk jalan darahnya. Apa kau sudah linglung?"

Ban Ai-ling mewek-mewek, sahutnya: “Ya, Suhu memang aku sudah linglung.”

Melihat tingkah muridnya ini, Pak-ko-seng menjadi jengkel dan geli lagi, katanya: “Tidak lekas kau bawa orang she Thio itu masuk kedalam lorong bawah tanah! Apa lagi yang kau tunggu berdiri disitu?"

Ban Ai-ling mengiakan sambil membungkuk-bungkuk tubuh, tersipu-sipu ia berlari masuk kedalam kamar terus jinjing tubuh Thian-ih, setelah menekan knop pintu rahasia terus masuk kedalam lorong bawah tanah yang peranti dibuat berbuat mesum mereka guru dan murid.

Dalam kamar bawah tanah itu Ban Ai-ling lampiaskan kedongkolan hatinya sambil menggebuki dan menendangi tubuh Thian-ih sampat babak belur, dimaki kalang kabut lagi. Karena jalan darah tertutuk dan tidak mampu bergerak, Thian-ih mandah saja dirinya disiksa. Dari mulut orang yang mengomel panjang pendek, Thian-ih menarik kesimpulan bahwa Cia In-hun tentu belum sampai ternoda, legalah hatinya, diketahui pula kalau mereka guru murid tentu tak lama lagi akan menyusul tiba, timbullah setitik harapan dalam benaknya.

Tak lama kemudian Thian-ih mendengar suara Pak-ko-seng tertawa diatas: “Kukira siapa? Ternyata tetangga agung datang bertandang, mengapa sepagi ini? Ada urusan apakah? Lho nona Cia, kenapa kau terpeleset jatuh ? Sampai pakaianmu kotor dan robek?”

Terdengar suara Hun-tai Siancu berkata dingin: “Muridku ini bukan jatuh, adalah karena terbokong oleh bangsat rendah yang kurang ajar. Mana muridmu itu ? Kuminta panggil dia keluar!"

“Muridku, Ban Ai-ling maksudmu ? Dua hari yang lalu dia pergi ke Tang-hay, kira-kira sepuluh hari lagi baru pulang.”

Sekarang nada perkataan Hun-tai Siancu mengandung kemarahan, semprotnya: “Pak-ko Toyu, ucapan seorang kalangan kita selamanya mengutamakan kepercayaan dan kenyataan. Terang gamblang jejak kaki muridmu menghilang sampai disini. Kalau kau mengatakan tidak ada, apakah kau tidak terlalu menghina orang!"

Pak-ko-seng juga berkata keras: “Aneh, dia benar-benar tidak ada, kalau tidak percaya silakan kau geledah!"

“Tamuku di Hun-tiong-khek bernama Thio Thian-ih kemaren malam mendadak hilang, kukira dia sekarang berada dirumah batu itu, harap lepaskan dia keluar."

“Hahaha, Siancu, kau ini main kelakar sama aku! Tamumu hilang kenapa minta ganti kepadaku, kan aku bukan penyamun atau bangsa penculik. Kapan aku pernah kenal orang yang bernama Thio Thian-ih apa segala. Ini bukan guyon-guyon !"

Sayangnya Thian-ih tidak bisa bersuara, ingin menggunakan kepalanya untuk membentur dinding supaya bersuara, tapi seluruh badan lemas lunglai tiada sedikit tenagapun. Terdengar olehnya suara Siancu mulai mengancam: “Pak-ko-seng, kalau kau tidak serahkan mereka berdua, aku pasti tidak akan berhenti.”

“Kalau kau tidak percaya, suruh aku bagaimana? Silakan kau periksa saja, rumah batu ini terbagi tiga kamar, jauh lebih kecil dan sempit dari Hun-tiong-khek kediamanmu itu. Kau tidak percaya cobalah kau geledah sendiri !”

"Sreng" terdengar suara pedang dilolos dari sarungnya, lantas terdengar lagi Siancu berkata penuh tekad: “In-hun, menghadapi orang macam ini jangan terlalu percaya, biar aku awasi dia, kau masuk memeriksa."

Dikejap lain lantas terdengar derap langkah Cia In-hun melangkah kian kemari diatas. Saking tegang Ban Ai-ling berkeringat basah kuyup. Agak lama berselang baru terdengar suara Cia In-hun penuh kemarahan dan putus asa, “Suhu, tidak ada.”

Terdengar gelak tawa pak-ko-seng, serunya: “Bagaimana? Kataku kalian ini terlalu banyak curiga, mengandal nama dan ketenaranku, masa aku bisa mencelakai tamumu? Dan lagi kalau kelakuan muridku tidak genah, pasti aku tidak lepaskan dia, apalagi sampai menggoda dan kurangajar terhadap nona Cia, pasti akan kubekuk dan kutelikung diserahkan pada Siancu. Tapi bukan mustahil nona Cia sendiri yang salah lihat orang, mungkin tamu kalian yang bernama Thio Thian-ih itu yang berbuat kurangajar terus melarikan diri hahaha. Siancu,

coba katakan betul tidak rekaanku ini?''

Derap langkah Hun-tai Siancu dengan Cia In-hun semakin menjauh dan hilang. Terdengar Pak-ko-seng masih mengoceh: “Aku tidak salahkan kalian. Kita kan tetangga saling bantu adalah jamak. Baiklah, begitu anak Ling kembali pasti aku akan gusur dia dan menanyakan dihadapan kalian.... baiklah......selamat bertemu "

Mendadak Ban Ai-ling melompat bangun sambil menghela napas panjang-panjang. Sebaliknya Thian-ih merasa pilu sedih dan putus harapan. Ruang bawah tanah ini meski hanya berpaut selapis batu dinding, sedemikian dekat tapi Hun-tai Siancu dan Cia In-hun tak dapat menemukan tempat itu.

Nanti punya nanti akhirnya Pak-ko-seng turun ke ruang bawah tanah ini, katanya sambil mengerutkan kening: “Sungguh sukar menghadapi mereka, untung tempat ini sangat bagus bangunannya, sedikitpun tidak kelihatan bekas-bekasnya."

“Suhu," kata Ban Ai-ling, “Thio Thian-ih ini harus diapakan, dibunuh saja bagaimana atau dibuang kedalam jurang?”

Pak-ko-seng merenung sebentar lalu katanya: “Semua cara itu kurang sempurna. Meskipun mungkin Hun-tai Siancu tidak mengetahui, tapi jangan sampai menimbulkan kecurigaan! Cara yang terbaik adalah menggunakan golok orang lain untuk membunuhnya. Benar, anak Ling, kau bawa dia ke-pulau Elang saja, biar Iblis elang itu yang membunuhnya, ini jadi tidak menyangkut pada kita, bukankah cara ini paling baik dan sempurna?"

“Akal bagus !" teriak Ban Ai-ling memuji muslihat gurunya, “Suhu, apa sekarang juga berangkat?"

“Bocah goblok yang tidak tahu urusan," omel Pak-ko-seng merengut, “Kau sangka Hun-tai Siancu dan muridnya sudah pergi? Hm, mereka tengah sembunyi disekitar rumah batu kita ini! Kita harus mengulur waktu sampai mereka benar-benar sudah pergi baru berangkat. Apalagi sejak saat ini kau jangan terburu-buru pulang, sementara waktu kau sembunyi ditempat Susiokmu. Setelah pertikaian ini padam baru kau boleh kembali. Selanjutnya baru kita pikirkan lagi cara untuk menundukkan mereka guru dan murid, tidak perlu terburu nafsu.”

Dua hari sudah berlalu, Thian-ih terkurung dalam ruang bawah tanah itu, badan lemas tak bertenaga, dalam keadaan perut lapar dan dahaga kesehatannya semakin jelek pikirannya jadi kurang waras diantara sadar tak sadar. Sampai hari ketiga, Pak-ko-seng memasukkannya kedalam sebuah kantongan besar, dipanggul diatas pundaknya terus dibawa lari secepat terbang. Yang terasa hanya angin menderu dipinggir telinga, entah sudah berapa jauh jalan ditempuh, akhirnya mereka tiba dipinggir laut dimana Ban Ai-ling mengendalikan sebuah perahu tengah menanti. Pak-ko-seng mengeluarkan Thian-ih lalu membebaskan tutukan jalan darahnya serta memberi makan dan minum. Setelah itu jalan darah pelemasnya ditutuk lagi supaya dia meringkuk lemas diatas perahu. Lalu dia berpesan kepada Ban Ai-ling: “Setelah sampai dipulau Elang baru kau bebaskan tutukannya. Iblis Elang itu paling suka mendapat seorang pemuda lincah yang pandai silat! Ingat jangan lupa pesanku ini!" Ban Ai-ling mulai mengayuh perahunya menuju ke tengah lautan. Kira-kira setengah harian kemudian dari jauh terlihat sebuah pulau muncul dihadapan mereka. Dengan hati-hati Ban Ai-ling melabuhkan perahunya dipinggiran terus menggendong Thian-ih kedaratan, setelah membuka jalan darahnya, seperti dikejar setan saja, dia terus lari terbirit-birit naik ke atas perahunya lalu mengayuhnya cepat.

Walaupun jalan darah sudah bebas tapi untuk sementara waktu darah masih belum normal berjalan jadi tubuh juga susah bergerak dalam sementara waktu. Hanya derita yang dialami selama ini akan siksaan Pak-ko-seng dan muridnya yang membuatnya sangat menderita maka untuk sementara waktu ia masih lemas lunglai rebah diatas tanah.

Tak lama kemudian diatas angkasa mendadak muncul sebuah benda melayang-layang diatas kepalanya, sebentar lagi lantas berdatangan lagi beberapa ekor, lambat laun terbang semakin rendah semua mengelilingi Thian-ih, sikapnya garang seperti hendak menyambar turun. Sekilas pandang saja lantas Thian-ih paham asal usul nama dari pulau ini. Elang-elang raksasa yang terbang diatas kepalanya ini sebesar meja, patuknya tajam luar biasa, cakarnya runcing dan keras bagai tembaga. Mereka tengah menanti hendak merobek-robek tubuh Thian-ih untuk dimakan. Cepat-cepat Thian-ih harus mengerahkan hawa murni memulihkan tenaga, sebelum dirinya diserang tenaga harus sudah pulih dan melarikan diri.

Gerombolan burung elang ini semakin lama semakin banyak, tatkala itu tiba tengah hari, saking banyak elang bergerombol sampai sayapnya itu menutupi sinar matahari, sehingga Thian-ih merasa seperti disaat magrib.

Tiba-tiba salah seekor elang yang terbang rendah menukik turun, agaknya dia sudah tak sabar menunggu lagi, cakar dan patuknya berbareng menyerang kearah Thian-ih. Maka elang-elang lain kuatir ketinggalan tak mendapat hidangan lezat beramai-ramai lantas menerjang turun sambil memekik-mekik ! Mendadak Thian-ih loncat bangun, "Wut, wut", dua kali pukulannya dilancarkan. Tujuh delapan elang yang menerjang terdepan sekaligus terjungkal jatuh kena angin pukulannya, sambil memekik-mekik elang-elang yang lain segera terbang tinggi.

Menggunakan kesempatan ini segera Thian-ih angkat langkah terus berlari kencang menyusup kedalam rimba. Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan panjang dibelakangnya, lantas terlihat sebuah bayangan hitam besar tengah mengejar bagai terbang. Bayangan ini seperti elang juga, membuntuti dibelakang Thian-ih sejauh dua tiga rombak. Thian-ih sudah lari terbirit-birit sekencangnya, tapi masih belum dapat menghindarkan kejaran bayangan hitam itu, selalu mengikuti dibelakangnya berjarak dua tiga tombak. Begitu Thian-ih mengendorkan larinya, dia juga terbang lamban. Seakan-akan memang sengaja hendak mempermainkan Thian-ih. Waktu ia berpaling dilihatnya jelas bahwa bayangan hitam itu juga manusia adanya, tapi bayangan itu agaknya malu-malu kucing, begitu dipandang dia lantas memungkur hanya kelihatan punggungnya saja. Tampak dia mengenakan jubah hitam, rambutnya panjang terurai, kakinya telanjang, bentuk yang aneh ini seperti setan ditengah alas pegunungan.

Hati Thian-ih kebat-kebit, melihat orang tidak bergerak, dengan membesarkan hati segera ia menggeremet maju hendak melihat tegas, sampai jarak mereka tinggal tiga empat kaki, mendadak orang aneh itu kebutkan lengan panjangnya kebelakang. Kontan Thian-ih merasa seperti dadanya dipukul godam, badannya terus roboh terkapar.

Orang aneh itu mendadak pentang kedua tangannya terus loncat keudara terbang seperti burung elang, kedua lengan panjangnya itu menari-nari ditengah udara seperti dua sayap besar, Thian-ih merasa setiap kali lengannya itu bergerak lantas tubuhnya disambar angin tajam sampai seluruh badan terasa seperti disayat-sayat, sakitnya bukan kepalang. Terdengar pula suara tawa orang aneh itu laksana tangisan setan gentayangan, lambat laun lantas teringat oleh Thian-ih, bukan mustahil orang inilah yang dimaksudkan sebagal iblis elang yang diperbincang oleh Pak-ko-seng guru dan murid itu. Dilihat bentuknya yang jelek seram pasti hatinya kejam dan telengas. Orang yang terjatuh di tangan manusia macam ini pasti tiada harapan untuk hidup. Saking putus harapan tiba-tiba ia berteriak memaki: “Ing-mo (iblis elang)! Lekas bunuhlah aku!"

Mendadak orang aneh itu malah menghentikan aksinya, terdengar suaranya melengking bertanya: “Apa kau bilang? Tadi kau panggil aku apa?"

Lantas dia menggumam dan berkata sendiri: “Ing-mo ! Baik juga nama ini !"

Harus diketahui selama bertahun-tahun dia hidup seorang diri diatas pulau kosong hanya berkawan dengan elang melulu, hakikatnya dia tidak mempunyai nama. Bagi dunia ramai yg mengetahui adanya seorang tokoh lihay diatas pulau ini, maka lantas memberikan nama sebagai Ing-mo tapi dia sendiri bahwasanya belum pernah mendengar akan nama julukan ini.

Ing-mo mendadak bersuit panjang, suaranya tinggi menusuk hati seperti tangisan gendruwo, terlihat dia menari-nari sambil menggerakkan kedua tangannya saking kegirangan sambil berteriak-teriak: “Aku sudah punya nama ! Haha, Ing-mo, mereka menganggap aku sebagai Iblis ! Haha para iblis menganggap seorang orang tulen, dinamakan iblis. Haha, geli sungguh menggelikan !"

Sejenak berhenti, lantas dia menggumam lagi: “Dari sini dapat kusimpulkan kalau para iblis itu takut pada aku, hahaha, sungguh girang aku, sungguh girang aku." seperti bocah kecil yang diberi permen oleh ibunya dia mencak-mencak dan meloncat-loncat. Mendadak ia mengerakkan kedua lengan panjangnya itu berloncatan ke tengah udara, sambil menyerang dengan angin kebutannya itu. Saking tidak tahan menderita pukulan yang hampir menghancurkan seluruh tulang belulangnya, Thian-ih memaki dengan gusar: “Iblis durjana, kau ini setan jahat. Kenapa tidak segera kau bunuh aku? Aku tidak bermusuhan dengan kau, mengapa kau siksa aku sedemikian rupa ?”

Ing-mo menyeringai tawa seram, ujarnya: “Siapa berkata kita tidak bermusuhan, semua orang kuanggap mempunyai dendam dengan aku. Justru aku tidak senang segera membunuhmu, pelan-pelan akan kusiksa kau sehingga kau menderita supaya lambat laun mati sendiri."

Thian-ih menjadi gusar, semprotnya: “Kenapa semua orang mempunyai dendam kepada kau, selamanya aku tidak kenal kau bagaimana bisa dikatakan bermusuhan denganmu !"

Sahut Ing-mo : “Sebab di dunia ini tiada seorang baik, semua orang jahat ! Maka aku anggap mereka semua adalah musuhku !"

Saking tak tahan lagi Thian-ih berteriak memaki: “Kentut ! Kalau kau bermusuhan dengan semua insan di seluruh dunia ini, mengapa kau mengeram dan sembunyi diri diatas pulau kosong ini. Naiklah ke daratan besar sana untuk membunuh orang. Beranimu sembunyi di atas sarangmu ini menghadapi orang tak berdaya dan menyiksanya sampai mati. Terhitung orang gagah macam apa kau ini?"

Dengan makiannya yang pedas ini sangka Thian-ih pasti iblis elang ini akan berjingkrak gusar, diluar dugaannya, sebaliknya si iblis ini malah menghentikan serangannya. Sudah berapa tahun lamanya dia tidak pernah dimaki orang, karena semua orang yang terjatuh dalam cengkeramannya, selalu menyembah-nyembah iblis keji ini.

Begitu Ing-mo tertegun diam, segera Thian-ih berusaha lompat bangun sambil mengerahkan seluruh sisa tenaganya, makinya sambil menuding Ing-mo: “Kau ini iblis jahat, kukira dulu kau pernah dianiaya orang, maka anggapannya bahwa semua orang didunia ini adalah jahat. Kau lampiaskan rasa rindu dendammu kepada mereka yg tak berdosa dan kalah ilmu silatnya dibanding kau ! Masa kau tidak tahu betapa besar dunia ini, berapa ribu berapa laksa manusia hidup di mayapada ini. Sudah tentu ada yang jahat tapi juga ada yang jujur dan baik. Seumpama rumput atau pohon-pohon ada yang tinggi dan ada yang rendah, kembang saja ada perbedaan bagus dan jeleknya, masakan pengertian yang sepele ini tidak terpikirkan olehmu. Dan kau karena pernah teraniaya oleh sementara orang jahat lantas kau menuduh dan mencap semua manusia hidup ini adalah jahat dan terkutuk. Pandangan semacam ini sangat cupat dan sangat kerdil pengetahuanmu. Apalagi apa kau tidak pernah dengar sebuah kata “tepo seliro", artinya kalau kau tidak mau orang lain menyakiti kau, maka kau sendiri jangan menyakiti orang lain? Kalau orang jahat sudah menyiksa kau, kau sendiri tidak rela mati, lalu kenapa kau menyiksa orang lain malah sampai membunuhnya ! Dengan sepak terjangmu ini tidaklah berkelebihan kalau orang memberi julukan Iblis kepadamu. Perbuatan jahat yang membunuh orang seperti kucing membunuh tikus ini, benar-benar membuat muak dan jijik saja, pasti kau dikutuk oleh Tuhan.

Mungkin semua korban yang telah kau bunuh itu tiada satupun yang pernah menyadarkan pikiran cupatmu ini, itu karena mereka takut mati, maka mereka minta ampun, menyanjung puja kepadamu, mereka tidak berani mengorek borokmu yang jelek. Tapi aku lain, walau pun ilmu silatku rendah, seumpama harus mati aku tidak akan mengerutkan kening. Tapi sebelum ajal aku harus melampiaskan penasaranku dengan membuka kedok kesalahanmu dan dosamu yang bertumpuk-tumpuk. Dan yang terakhir biarlah aku adu jiwa dengan kau !"

Ing-mo jatuh terduduk diatas tanah tanpa bergerak dan bersuara. Sekarang Thian-ih melihat tegas wajahnya yang jelek sekali, rambut panjang menutupi seluruh mukanya, timbul rasa benci dan murka. Teriaknya keras: "Iblis terkutuk, sambutlah pukulanku ini !"

Seluruh tenaganya dikerahkan terus menggenjot sekuatnya. "Blang" terdengar benturan dahsyat seperti geledek menggelegar, pukulannya itu dengan telak mengenai tubuh Ing-mo, tapi sedikitpun tubuhnya itu tidak bergeming seakan tidak terjadi suatu apa. Thian-ih bertambah gusar dan penasaran, bentaknya lagi: “Biar aku adu jiwa dengan kau. Sebagai penuntut balas bagi mereka yang telah ajal dengan penasaran ditanganmu !"

“Menuntut balas ! Menuntut balas ! Kau juga bisa menuntut balas?" sambil menggumam Ing-mo perlahan-lahan bangkit berdiri.

Tanpa hiraukan segala akibatnya lagi, Thian-ih rangkap kedua jarinya terus menutuk kearah dada orang, jalan darah yang diarah adalah Kio-koan-hiat salah satu jalan darah besar yang mematikan. Tapi si iblis ini seumpama tidak merasa apa-apa. Sebaliknya Thian-ih yang menyerang dengan kekuatan seluruh tenaga itu seolah-olah membentur dinding baja saja kerasnya sampai kedua jarinya kesakitan hampir patah. Entah ilmu macam apakah yang telah dilatih sempurna oleh iblis jahat ini. Badannya kebal segala serangan.

Sambil memijat-mijat kedua jarinya Thian-ih memaki lagi penuh kebencian: “Bangsat terkutuk, sayang kepandaianku cetek. Baiklah silakan kau bunuh aku. Kalau kau seorang gagah, maka kuharap kau bisa memberi kelonggaran kepadaku, supaya aku bisa secepatnya mangkat. Kalau tidak aku sendiri bisa mati, tak rela aku kau siksa !"

Kini terdengar iblis itu berkata pelan: “Kau jangan ribut, berilah waktu untuk aku berpikir dulu

!"

Habis berkata dia bertopang dagu dan tenggelam dalam pikirannya.

Thian-ih menjadi terheran-heran, apa mungkin iblis ini mulai sadar akan kesalahannya setelah dimaki kalang kabut ini. Dengan seksama ia awasi wajah orang, tampak hidungnya tinggal separo, giginya prongos bibirnya dower, kedua kupingnya juga hilang, kulit mukanya seperti hangus terbakar bersemu merah melepuh malah sebagian sudah ada yang membusuk tampak tulang putihnya. Sekilas pandang seperti mayat hidup yang menakutkan.

Selebar mukanya yang masih utuh tinggal sepasang matanya saja yang bundar besar berkilat, alisnya panjang kelopak matanya berkedip-kedip, dari gerakan inilah orang akan mengetahui bahwa dia adalah seorang manusia. Malah dapat dibayangkan bahwa beberapa tahun yang lalu wajahnya itu dan seluruh tubuhnya pasti juga seperti kedua matanya itu indahnya.

Thian-ih menanti sebentar, mendadak dilihatnya Ing-mo mengalirkan airmata, wajahnya kelihatan berkerut-kerut agaknya tengah menahan penderitaan hatinya, lambat laun dia mulai sesenggukan suaranya semakin keras dan akhirnya menangis tergerung-gerung, suaranya penuh mengandung penyesalan yang tak terhingga.

Melihat orang menangis sedemikian sedih, rasa dongkol dan gusar Thian-ih rada terlampias, maka katanya: “Hai, apa yang kau tangisi? Sudah menyesal? Menyesal juga tidak perlu nangis! Sudahlah berhenti saja!''

Kata Ing-mo sambil masih sesenggukan: “Bocah bagus, hatiku sedih sekali, kuminta kau pukul aku mau tidak? Kau gebuklah sekuat tenagamu, pasti aku tidak membalas!" sepasang matanya penuh mengandung pengharapan dan permintaan memandang kearah Thian-ih.

Thian-ih heran, kini hatinya mulai lega dan simpatik terhadap orang, namun dia masih tidak mau turun tangan, Ing-mo menjadi gugup, serunya: “Aku memang benar-benar sedih sekali. Seorang yang telah berbuat salah sudah jamak harus menerima hukuman, sudilah kau memberi sedekah kepadaku ? Jikalau aku terhukum olehmu itu berarti aku sudah menebus dosa-dosaku, ini akan membuat hatiku senang! Lekas, lekaslah kau pukul. Pukulan atau tendangan tutukan juga boleh, membagi urat mencopot tulang juga boleh deh, asal kau mau turun tangan, cepat, cepat!" teriaknya tak sabar lagi.

Thian-ih sudah angkat tangan hendak menampar muka orang, namun serta melihat bentuk wajahnya yang tidak sempurna itu, matanya juga memancarkan sorot penyesalan, lurus setia dan penuh harapan, hatinya menjadi berpikir: “Ai, wajahnya ini, entah siapa yang begitu tega merusak sampai jadi begitu rupa. Meskipun buruk dan menyeramkan, tapi dalam pandanganku sekarang adalah sedemikian jujur bijaksana dan indah sekali, masa aku tega hendak menyakiti badanmu lagi." tangan yang diangkat tinggi jadi tak kuasa bergerak.

Ing-mo masih meminta dengan suara yang memilukan: “Lekas, ayo cepat pukul aku. Aduh tolong! Hatiku sedih sekali!" sambil berteriak-teriak tiba-tiba ia lompat berdiri terus menerjang kearah Thian-ih seperti orang gila.

Mendadak tangan Thian-ih itu diayun menepuk kearah pundaknya. Kali ini agaknya Ing-mo sudah kehilangan tenaganya, Thian-ih hanya menggunakan empat lima bagian tenaganya, tapi Ing-mo sudah tergetar roboh bergulingan ditanah.

“Bagus sekali, mari sekali lagi !" demikian teriak Ing-mo girang.

Thian-ih memukul lagi tubuh yang sedang merangkak bangun itu. Tahu dia kalau pikiran orang sedang berbalik, bagi orang yang sesal kemudian besar harapannya badannya sendiri ditimpa penderitaan yang semakin besar. Maka dijemputnya sebuah dahan pohon terus dihantamkan di-tempat-tempat yang tidak membahayakan.

Sebetulnya Thian-ih tidak tega turun tangan, tapi terpikir olehnya: “Kalau aku memikirkan perbuatan jahatnya, pasti aku dapat memukul semakin gemes." memejamkan mata dia bayangkan orang-orang yang telah menjadi korban diatas pulau Ing-yu-to ini, dengan menggerakkan kedua lengan baju dia menerjang berulang-ulang sampai orang yang tidak berdosa merasakan kesakitan seperti diiris-iris pisau tajam, saking menderita akhirnya mati dengan mengenaskan. Karena terbayang adegan yang menggiriskan bulu roma ini, hatinya menjadi geram, dahan pohon ditangannya lantas memukul semakin keras.

Agaknya daging diatas tubuh Ing-mo sangat kekar dan kuat sekali, dipukul dan dihajar sedemikian rupa oleh Thian-ih tidak mau menyingkir hanya berteriak-teriak saja, malah menganjurkan memukul semakin keras, akhirnya mulutnya menggumam: “Aku bersalah! Aku bersalah! Selanjutnya aku tidak berani lagi! Tidak berani lagi!"

Diumpamakan oleh Thian-ih kalau orang yang tengah dihajar ini adalah Pak-ko-seng dan Ban Ai-ling, maka pukulan dahan pohonnya semakin gencar dan berat, sampai kedua tangannya merasa linu baru dia berhenti. Sementara itu Ing-mo rebah diam tak bergerak lagi, teriakan seraknya juga sudah berhenti, Thian-ih seperti baru sadar dari impiannya. Agaknya saking bernafsu sampai dia tidak perhatikan bahwa pukulannya terlalu berat, dilihatnya baju orang robek-robek, seluruh tubuhnya jalur2 dan mengeluarkan darah, melihat orang rebah tak bergerak agaknya jatuh pingsan, hatinya menjadi menyesal sekali.

Cepat-cepat Thian-ih memayang tubuh orang. Baru saja tangannya menyentuh badan orang, hidungnya lantas diserang bau apek dari amisnya bau burung yang memualkan. Tapi Thian-ih sedang dirundung sesal tak terhingga, sudah terlupakan olehnya apa itu kotor dan buruk rupa apa segala. Dipeluknya tubuh orang erat-erat sehingga wajah orang yang jelek seram itu tertampak didepan matanya. Dicarinya sebuah sungai dan digayungnya air yang jernih itu kemulut orang sambil memanggil-manggil: “Cianpwe ! Cianpwe. Sadarlah!" 

Sepasang mata Ing-mo yang indah itu pelan-pelan terbuka. Segera Thian-ih berkata: “Cianpwe, harap kau maafkan aku, aku memukulmu sampai terluka begini rupa!"

Ing-mo terlongong memandangi wajah Thian-ih, entah karena terharu atau terketuk hatinya, airmata mengalir lagi semakin deras sampai sesenggukan, kurang lebih sepeminuman teh kemudian baru berhenti menangis. Dengan lemah lembut Thian-ih membujuk supaya orang beristirahat. Sampai belakangan meskipun sudah menghentikan tangisnya tapi Ing-mo masih tersengguk-sengguk. Katanya: “Bocah bagus, apa betul kau tidak jijik melihat tampangku yang buruk serta tidak mual mengendus bauku yang amis ini dan rela menjadi sahabat sejatiku?"

Tanpa berpikir lagi segera Thian-ih menjawab: “Sudah tentu, jikalau Cianpwe sudi melihat mukaku, ingin sekali aku bersahabat dengan Cianpwe." Saking girang Ing-mo sampai berjingkrak bangun, serunya sambil bertepuk tangan: “Bagus sekali! Kulihat kau ini bukan orang jahat. Dulu memang aku punya banyak teman, tapi akhirnya mereka semua menjual dan mencelakai aku, menjebakku dengan muslihat keji. Saking ketakutan membuat aku sejak saat itu tidak berani lagi mempercayai sesama orang, aku tidak sudi bersahabat dengan manusia. Sejak aku tinggal dipulau ini aku berkawan dengan burung-burung elang. Tapi sayang burung-burung ini tidak bisa bicara, tiada seorangpun disini yang bisa kuajak bicara. Hatiku betul-betul terasa pepat dan pikiranku juga menjadi cupat. Sekarang kau telah menjadi sahabatku, ini baik sekali, aku dapat bicara banyak dengan kau. Oo, sungguh aku girang sekali, aku senang sekali!" seperti seorang bocah kecil dia mulai meloncat dan menari-nari.

Kata Thian-ih: “Aku yang rendah bernama Thio Thian-ih, siapakah nama Cianpwe yang mulia?''

Ing-mo tertawa: “Bukankah aku bernama Ing-mo? Kau panggil aku lng-mo saja! Dan aku panggil kau saudara kecil, selanjutnya kau juga jangan panggil aku Cianpwe apa segala! Mendengar panggilanku itu hatiku jeri dan takut, sebab dulu pernah ada orang begitu memanggil aku, tapi akhirnya mereka mengatur tipu daya dibelakangku dan mencelakai aku."

Terlihat oleh Thian-ih waktu dia berkata-kata ini, kedua matanya memancarkan sorot kebencian yang menyala-nyala, tapi secepat itu telah lenyap lagi, katanya lagi: “Saudara kecil, mari kita pulang! Ke tempat kediamanku."

Setelah keluar dari hutan rimba ini, mereka sampai dibawah sebuah dinding batu yang tinggi, diatas dinding batu ini entah ada berapa banyak burung-burung elang besar kecil yang hinggap di-batu-batu. Sedemikian banyak dan besar-besar burung-burung elang ini, yang terkecil juga sebesar meja bundar, ada yang sedang bertengger dengan gagahnya, ada pula yang sedang menyisiki bulu. Begitu melihat kehadiran Thian-ih ini, ada beberapa ekor yang segera terbang terus menerjang turun. Cepat-cepat Ing-mo mengulapkan tangan sambil membentak: “Hayo pergi semua, ini saudara kecilku. Bukan hidangan lezat kalian tahu! Kalian hanya boleh makan daging manusia-sia jahat, tapi jangan sekali-kali kalian berani menyentuh seujung rambut saudara kecilku ini ya !”

Seperti dapat mendengar arti kata-kata Ing-mo ini, burung-burung elang itu segera terbang kembali sambil cecowetan. Sesudah melewati deretan dinding batu ini mereka sampai lagi didepan sebuah rimba, tapi yang cukup mengherankan didalam hutan ini tidak kelihatan ada jenis burung lain yang terbang lewat, karena heran Thian-ih bertanya: “Apakah di atas pulau ini hanya terdapat burung-burung elang saja tiada jenis burung lain?"

“Sudah tentu tidak ada," sahut Ing-mo, “Jangan kata tiada lain jenis burung, sampai lain mahluk hidup saja juga tiada selain aku ini. Seluruh penghuni pulau ini adalah elang melulu maka dinamakan Ing-yu-to (pulau elang)."

Thian-ih berpikir: mungkin mahluk-mahluk hidup yang lain sudah ditelan habis oleh elang-elang itu saking kelaparan, dipikir-pikir terasa merinding seluruh badannya.

Ing-mo bertempat tinggal dalam sebuah gua yang cukup besar, keadaan dalam gua ini sangat sederhana sekali, selain persediaan air minum, makanannya adalah ikan asin dan buah-buahan saja. Dua ekor elang besar bertengger didepan gua, seakan-akan kedua ekor burung elang ini adalah penjaga setianya. Bentuk tubuh kedua ekor elang ini lebih kecil sedikit dibanding yang lain tapi bulunya berwarna biru mengkilap, sikapnya sangat angker dan gagah. Melihat kedatangan Thian-ih, tidak seperti burung-burung liar lainnya yang terus menyerang dengan sembrono, mereka hanya memandang kearah Thian-ih dengan pandangan mengancam. Thian-ih membatin, tidak heran kalau orang sering mengatakan bahwa mata burung elang sangat tajam dan awas sekali, baru aku mau percaya setelah melihat sendiri hari ini.

Sambil mengelus-elus bulu kedua ekor burung itu berkatalah Ing-mo: “Ini adalah Toa-lan dan Ji-lan. Kedua ekor ini juga adalah sahabatku yang sangat setia, hanya sayang mereka tidak bisa bicara seperti manusia."

Thian-ih ikut menyelinap kedalam gua, untung keadaan disini masih agak bersih. Ing-mo keluarkan ikan asin dan buah-buahan untuk Thian-ih makan, katanya memberi penjelasan: “Diatas pulau ini, aku hidup seperti burung-burung elang itu, tiada sesuatu barang lain yang dapat dimakan, terpaksa hanya makan ikan-ikan dilaut saja, ini takkan habis dimakan untuk selama-lamanya. Hanya kalau mereka menelannya saja secara mentah-mentah, sebaliknya aku bisa menyimpan dan menjemurnya menjadi gereh, sesudah biasa makan ikan asin tidak menjadi soal lagi. Saudara kecil, coba kau cicipi !"

Thian-ih mengunyah ikan asin dan buah-buahan itu bersama, terasa memang lumayan juga.

Melihat orang makan dengan lahapnya, Ing-mo menjadi senang hati, ujarnya: “Saudara kecil, kenapa kau bisa sampai berada diatas pulau ini?''

Maka berceritalah Thian-ih tentang bagaimana dirinya telah disiksa dan dipermainkan oleh Pak-ko-seng guru dan murid. Sambil mendengarkan Ing-mo mengertak gigi, begitu Thian-ih habis bercerita mendadak ia berjingkrak bangun dan berkata kepada Thian-ih: “Saudara kecil, orang macam ini tak boleh hidup terlalu lama di dunia ini. Kau berdiam disini biar kuringkus mereka guru dan murid kemari !"

Lalu ia bersuit memanggil Toa-lan dan Ji-lan masuk, dengan ocehan bahasa burung ia bicara, tiba-tiba salah seekor burung elang itu terbang keluar, tak lama kemudian kembali lagi bersama seekor burung elang besar sekali, terus mendekam diluar gua. Kata Ing-mo: “Saudara kecil, kau tunggu disini, aku pergi sebentar dan segera kembali."

Begitu melompat ke punggung elang besar itu bersama Toa-lan terus terbang menjulang tinggi ketengah angkasa, tinggal Ji-lan menunggu dan menjaga diluar gua.

Malam itu Thian-ih menginap di dalam gua kediaman Ing-mo ini. Hari kedua pagi-pagi benar terdengar elang-elang diluar gua sana ribut berteriak-teriak. Buru-buru ia berlari keluar untuk melihat, tampak Ing-mo dengan menunggang elang besar beserta Toa-lan tengah mendatangi dari kejauhan sana. Setelah semakin dekat terlihat diatas burung elang besar itu kini tambah lagi satu orang. Begitu mendekati diatas deretan dinding batu curam itu, mendadak Ing-mo mendorong dan menjatuhkan orang itu dari atas udara. Kontan orang itu melayang turun dengan cepat dan lurus, agaknya kepandaian silat orang itu tidak lemah, begitu hampir menyentuh tanah segera ia mengatur posisi badannya sedemikian rupa sehingga gaya jatuhnya sangat indah bagai seekor burung besar, tanpa bersuara tubuhnya terus meluncur masuk ke-dalam hutan sebelah kiri sana.

Karena jarak agak jauh, Thian-ih tidak melihat tegas, apakah itu Pak-ko-seng ataukah muridnya Ban Ai-ling? Dalam kejap lain Ing-mo sudah melayang turun menunggang elangnya itu, sekali ulur tangan ia seret Thian-ih ke atas punggung elang itu serta ujarnya tertawa: "Sayang terlambat selangkah, hanya menangkap guru jahatnya itu, sedang muridnya entah pergi kemana ! Tapi aku sudah perintah bala elangku untuk mencari ke seluruh pelosok pesisir laut ini ! Sekarang saudara kecil, kau ikut bersama aku menonton dari atas udara, bagaimana cara anak-anak piaraanku ini mempermainkan guru bajingan itu."

Sekejap saja elang besar itu sudah terbang melayang-layang diatas rimba. Tampak Pak-ko-seng tengah berlari lintang pukang, menerobos hutan menuju ke pinggir laut. Begitu tiba di pesisir yang dilihat hanyalah ombak berderai tanpa terdapat sebuah perahupun juga. Terpaksa mengerahkan tenaga dengan ilmu ringan tubuhnya yang hebat ia berlari di permukaan air terus menuju ke tengah lautan teduh.

Melihat ketangkasan orang berlari diatas permukaan air laut itu, diam-diam Thian-ih merasa kagum dan memuji, Pak-ko-seng ini benar-benar seorang tokoh hebat yang berkepandaian tinggi, hanya sayang ia berhati culas dan kejam serta banyak akal liciknya, banyak berbuat kejahatan. Sekarang kalau membiarkan dia lari begitu saja sungguh kurang bijaksana sekali, maka dengan gugup ia bertanya kepada Ing-mo: “Apa kau tidak melihat ia melarikan diri?"

Ing-mo tertawa ewa, ujarnya: “Tidak lama lagi dia akan kembali sendiri. Letak pulau elang ini sangat jauh dari daratan besar, jikalau tiada perahu, takkan mungkin dia kuat menyebrang lautan sedemikian besar dan luas. Betapa pun lihay dan tinggi ilmu Khikang dan Ginkangnya juga tidak berguna lagi. Nanti kalau dia tidak rela tenggelam menjadi hidangan lezat ikan-ikan di laut, pasti dia akan kembali sendiri keatas pulau ini."

Sejenak kemudian ia menambahkan lagi: “Hakikatnya seumpama ia tidak menjadi hidangan ikan dilaut, nanti juga dia akan konyol menjadi makanan ke perut burung-burung elangku. Kita lihat saja kematian yang mana yang dia pilih nanti. Saudara kecil maukah kau bertaruh dengan aku, menurut dugaanku, dia pasti kembali lagi untuk terima kematiannya."

Belum lagi Thian-ih sempat menjawab, benar juga Pak-ko-seng yang berlari-lari di permukaan laut itu telah belok kembali, Ing-mo terkekeh girang, serunya sambil bertepuk tangan: “Tidak salah bukan! Tidak salah bukan ! Lihatlah betapa tepat dugaanku, agaknya burung-burungku bakal mendapat makanan daging yang enak sekali. Cobalah biar dia istirahat sebentar untuk mengumpulkan semangat, biar nanti bertempur melawan anak-anak piaraanku itu."

Meskipun Pak-ko-seng sudah tahu bahwa pulau ini adalah Pulau elang, tapi agaknya sedikitpun dia tidak gentar dan masih bersikap tenang, istirahat diatas sebuah batu cadas besar dan tinggi, ia celingak-celinguk kian kemari.

Saat mana Ing-mo beserta Thian-ih menunggang elang besar itu hinggap diatas sebuah pohon raksasa dan sembunyi diantara rimbunnya dedaonan, sehingga tidak terlihat oleh Pak-ko-seng. Setelah dinantikan sebentar lantas Ing-mo berkata: “Biarlah dia merasakan dulu serbuan pertama dari elang-elang piaraanku itu." lalu ia bersuit panjang suaranya mengalun tinggi ketengah angkasa. Pak-ko-seng yang tengah berbaring diatas batu cadas itu juga sudah mendengar, dia tahu suitan ini pertanda apa, saking kejut segera ia bergegas bangun. Tak lama kemudian serombongan elang-elang besar berbaris terbang menuju ke pinggir laut.

Kata Ing-mo memberi penjelasan: “Rombongan elang pertama ini belum pernah kulatih, merekalah yang kau hadapi waktu kau datang kemaren, cobalah kita lihat apakah mereka kuat menghadapi bajingan tengik itu?"

Rombongan elang pertama ini kira-kira berjumlah dua puluh terbang diatas kepala Pak-ko-seng mereka melayang berputar-putar. Sekonyong-konyong salah seekor mempelopori menukik turun terus mematuk dan mencengkeram kearah Pak-ko-seng.

Pak-ko-seng menggerung gusar sambil mengerjakan kedua tangannya memukul serabutan menyambut serbuan elang-elang dari udara. Betapa dahsyat tenaga pukulannya ini, kontan beberapa ekor yang terdepan tersapu jatuh terkena angin pukulannya. Tapi yang lain ternyata tidak gentar masih terjun bergantian menyerang, seperti pasukan berani mati saja agaknya. Sekarang Pak-ko-seng menjerit panjang, suaranya bergema seperti auman naga meninggi menusuk telinga, sambil melancarkan pukulan-pukulannya sampai angin pukulannya berputar menjulang tinggi ketengah angkasa, semua elang yang keterjang pasti roboh menggape-gape ditanah tanpa mampu terbang kembali.

Dalam sekejap mata saja, disekitar Pak-ko-seng sudah penuh bertumpuk puluhan mayat-mayat burung elang, lainnya yang masih ketinggalan hidup segera terbang meninggi melarikan diri. Agaknya Pak-ko-seng sangat bangga dan senang melihat kemenangannya ini, sekali lagi ia bersuit nyaring seolah-olah menantang penghuni dari majikan pulau ini. Bahwa pasukan burung elangmu ini cuma sebegitu saja tak berguna, masa dapat melawan gembong silat macamku ini. Demikian ia berlagak sambil bertolak pinggang mondar-mandir dengan angkuhnya.

Ing-mo menggumam: “Bajingan ini sudah menghadapi kematian masih berani banyak lagak. Kalau aku dapat meringkusnya kemari masa tak dapat menamatkan riwayatnya. Biarlah diberi kesempatan untuk istirahat dan menghimpun tenaga kembali! Nanti biar dia merasakan serbuan gelombang kedua!"

Menunggu sebentar mendadak ia bersuit lagi memberi aba-aba, puluhan ekor elang berwarna bulu abu-abu segera terbang mendatangi dengan formasi seperti huruf 'V', sedemikian rapi sekali formasi barisan ini. Tahu menghadapi serangan yang lebih berbahaya segera Pak-ko-seng loncat turun ketanah berpasir, disini ia menanti. Dilihatnya barisan elang gelombang kedua ini lain dari semula tadi. Begitu tiba mereka langsung menukik turun tapi bukan menyerang ternyata malah berdiri berjajar dengan formasi yang sama, mereka mengepung Pak-ko-seng dalam sebuah barisan sambil mementang sayap masing-masing.

Sikap Pak-ko-seng masih sangat tenang tanpa gentar atau takut. Dengan waspada ia berdiri menanti serbuan musuh. Tiba-tiba salah seekor elang yang terbesar memekik keras, serentak semua elang-elang itu lancarkan serbuan berbareng, begitu pentang sayap terus terbang menyerbu kearah Pak-ko-seng. Entah patuk atau cakarnya tajam luar biasa semua meluncur keatas tubuhnya, sedikit ayal saja pasti seluruh tubuhnya akan dedel-dowel. Betapapun Pak-ko-seng tidak mengira bahwa burung elang yang dihadapi ini juga pandai mengatur barisan, keruan kejutnya bukan kepalang, secepat kitiran tubuhnya berputar sambil mengayun pukulannya untuk melindungi badan, dimana angin pukulannya menyambar dengan dahsyatnya burung-burung elang itu seperti menumbuk tembok segera melesat mundur dan berdiri seperti kedudukan semula.

Kiranya elang-elang ini sudah terlatih sempurna, maju mundur sangat cekatan dan tangkas sekali. Meskipun pukulan Pak-ko-seng sangat lihay, namun sekali ini seekorpun tiada yang terluka oleh pukulannya. Begitulah sekian lama mereka berdiri berhadapan menanti kesempatan. Mulailah rombongan elang itu melancarkan serangan gelombang kedua, waktu terbang sampai diatas kepala Pak-ko-seng, sekarang Pak-ko-seng ganti siasat bertempur, dari menyerang dia lebih banyak menjaga diri, saban-saban dengan pukulannya ia membokong dan menyergap secara licik, harapannya dengan menjatuhkan salah seekor diantaranya pasti membuat gusar dan takut yang lain. Tapi kiranya perhitungannya ini meleset. Justru sifat elang-elang ini sangat pendiam dan liar, betapapun mereka tidak mengenal takut, cara penyerangannya juga teratur, mundur maju ada perhitungan, tidak kalah pandai dari barisan ilmu manusia umumnya. Meskipun akhirnya ada beberapa ekor yang terpukul jatuh dan mati, ini berbalik membuat yang lain lebih leluasa lagi untuk mendesak lebih dekat. Bagaimana juga kedua tangannya itu takkan mampu menangkis dan memukul serbuan serentak dari berbagai penjuru, maka terlihat pundaknya sudah mulai mengalirkan darah, kulitnya sudah tercakar robek.

Kini elang-elang itu kembali dalam kedudukan formasi semula, gebrak selanjutnya Pak-ko-seng selalu meleset dalam perhitungannya, tubuhnya sudah banyak terluka, malah kedua matanya juga hampir tercolok buta, maka untuk gebrak selanjutnya dia tak berani takabur lagi, dengan seksama dan prihatin ia memperhatikan cara pemecahan barisan elang.

Kecerdikan dan kepandaian serta pengalaman Pak-ko-seng memang tidak memalukan sebagai tokoh silat yang kenamaan, akhirnya terpecahkan juga olehnya cara mematahkan serbuan barisan elang ini. Terpikir olehnya pasti ada satu diantara burung-burung elang itu yang memegang komando dengan aba-abanya, dengan penemuannya ini sekejap saja lantas dapat terbongkar olehnya, memang jelas sekali bahwa elang terbesar yang berada ditengah itulah yang memegang komando, setiap kali sayapnya bergerak, maka elang-elang yang lain bergerak maju mundur menurut aba-abanya itu. Maka secara diam ia menanti kesempatan. Mendadak tubuhnya melejit maju terus menubruk kearah elang besar itu dengan gesit dan tangkas sekali. Agaknya elang besar ini tidak menyangka dan tak bersiaga, dengan telak ia kena tertangkap hidup-hidup, begitu jurus Tay-sui-pi-chiu (bantingan keras) dilancarkan, kontan burung elang besar itu terbanting hancur diatas pasir.

Ing-mo menggumam diatas pohon: “Cukup hebat. Tak kira orang jahat ini juga dapat memecahkan barisanku, hebat, cukup hebat!''

Sekali mulutnya menjebir dan bersuara nyaring, dia panggil dan tarik mundur pasukan elangnya ini. Menggunakan kesempatan keributan serta kekurang waspadaan para elang yang bersiap terbang kembali itu, Pak-ko-seng lancarkan pula pukulan-pukulannya, kontan ada beberapa ekor lagi kena terpukul jatuh dan mati.

Pak-ko-seng ini benar-benar bersifat buas dan liar. Mungkin karena sudah kelaparan, sekali sambar ia sobek seekor burung elang yang terluka dan belum mati terus dihisap darahnya dan digeragoti dagingnya mentah-mentah.

Seolah-olah dia sudah tahu bahwa Ing-mo tengah sembunyi dan memberi komando kepada pasukan elangnya itu, maka setelah kenyang makan daging mentah, dia banting dan lontarkan tulang belulang burung elang kedalam hutan serta teriaknya menantang: “Ing-mo! Apa gunanya kau kerahkan pasukan burung elangmu yang tak berguna ini menghadapi aku? Kalau kau seorang laki-laki dan berani mari keluar langsung hadapi aku!''

Ing-mo menggumam: “Jikalau aku perintahkan burung elangku untuk menyiksamu, seumpama kau tidak mati terpatuk atau tercakar juga pasti mati kelelahan. Mengandal kepandaianmu yang tidak berarti ini, salah satu Toa-lan atau Ji-lan saja cukup dapat mematuk buta kedua matamu itu. Baiklah, memang aku sudah lama belum pernah berkelahi sungguh-sungguh sekali ini kukabulkan permintaanmu."

Lantas dengan ringan sekali tanpa mengeluarkan suara ia terbang turun keatas tanah. Pak-ko-seng merasa pandangannya sedikit kabur, tahu-tahu dihadapannya sudah berdiri seorang yang bukan lain adalah Ing-mo sendiri yang berbentuk seperti setan alas. Keruan kejutnya bukan main. Maka sambil membesarkan hatinya segera ia membentak: “Ing-mo! Menggunakan kesempatan aku tidak bersiaga kau membokong dan menutuk jalan darahku serta menculik aku keatas pulau ini. Kau perintahkan elang-elang piaraanmu yang tidak berguna itu untuk mempermainkan aku, apa maksud sebenarnya?"

Tanpa menjawab pertanyaan orang mendadak Ing-mo bersuit panjang, suaranya melengking tinggi seperti tangisan setan gentayangan, membuat pendengarnya giris dan merinding.

Pak-ko-seng juga merinding dan kuncup nyalinya serta katanya lagi jeri: “Ing-loheng, selamanya kita belum saling bermusuhan, kenapa kau hendak mencelakai aku. Lekaslah kau kirim aku pulang, nanti aku akan antar banyak makanan untuk kau, ya, banyak makanan yang lezat dan enak rasanya, berapa banyak yang kau minta pasti kupenuhi!"

Sedikitpun Ing-mo tidak terpincut akan bujuk rayu yang manis ini. Kini Pak-ko-seng ganti siasat dengan sedikit mengancam: “Jikalau kau tidak antar aku pulang, ketahuilah, para kawanku dan muridku pasti akan datang kemari mencari perhitungan dengan kau, pasti kau bukan tandingan mereka.”

Ing-mo tetap membisu, hanya menyeringai iblis dengan suara kekehnya yang menakutkan. Lama kelamaan Pak-ko-seng menjadi takut sendiri, begitu putar tubuh dia bersiap hendak lari, tapi gerak tubuh Ing-mo lebih gesit dan lebih cepat, sekali berkelebat tahu-tahu dia sudah menghadang dihadapannya. Terlihat secepat kilat tubuh mereka saling bentur dan terangkap menjadi satu, lantas mendadak terpental mundur lagi. Kalau Ing-mo masih berdiri tegak tanpa bergerak, adalah Pak-ko-seng terhuyung mundur sambil kedua tangannya mendekap dadanya terus lari terbirit-birit masuk kedalam hutan.

Ing-mo segan mengejar, sekali melejit tubuhnya meluncur keatas pohon lagi, sambil mengusap-usap kedua tangannya, ia berkata: “Kukira betapa besar kemampuannya. Tak kukira ternyata ya sebegitu saja. Tadi hanya beradu sekali pukulan, dia lantas lari terbirit-birit ketakutan, sungguh tidak berguna."

Mereka menunggang burung elang besar itu lagi terbang ketengah angkasa, mengejar keutara, dimana Pak-ko-seng melarikan diri. Agaknya luka yang diderita Pak-ko-seng tidak ringan, saking ketakutan ia lari lintang pukang seperti dikejar setan sampai jatuh bangun dan muntah darah, kadang kala hanya mendengar pekik suara elang saja lantas kuncup nyalinya terus lari menyelinap masuk kedalam gerombolan pohon menyembunyikan diri.

Thian-ih adalah seorang pemuda yang berhati jujur dan bijaksana, lama kelamaan dia tidak tega melihat penderitaan orang. Tapi segera Ing-mo memperingatkan padanya; “Ingatlah akan perbuatan jahatnya selama ini, apa yang dialami sekarang ini hanya sekadar pembalasan saja.”

Sekonyong-konyong terdengar Pak-ko-seng menjerit ngeri di-bawah sana, kiranya karena kurang hati-hati kakinya terjeblos masuk ke dalam rawa.

Ing-mo malah berseru kegirangan: “Rawa-rawa dalam hutan itu adalah paling hebat, betapapun tinggi kepandaianmu sekali kau terjeblos masuk kedalam rawa itu, semakin ber- gerak tubuhmu tenggelam semakin dalam, dan tak tertolong lagi !"

Memang terlihat berulang kali Pak-ko-seng melompat-lompat didalam rawa itu, sekuat tenaga ia berusaha ingin melompat keatas daratan, tapi usahanya selalu sia-sia, sampai yg terakhir tubuhnya dapat melompat keluar setinggi tiga kaki sambil berteriak nyaring minta tolong, tapi tubuhnya meluncur jatuh lagi kedalam rawa.

Thian-ih tidak tega, ingin dia melompat turun menolong, tapi dicegah dan dirintangi oleh Ing-mo, katanya: “Saudara kecil, jangan sekali-kali kau turun kesana! Sekali kau pergi, kau takkan kembali juga!"

Memang Pak-ko-seng saat itu sudah semakin tenggelam, semakin besar tenaga geraknya tubuhnya semakin amblas dan daya sedot kebawah juga semakin besar, waktu tinggal kepalanya saja ia masih coba berteriak dengan suara serak: “Ing-mo, Ing-loheng, tolong !"

Waktu Thian-ih melirik kearah Ing-mo, tampak muka Ing-mo tetap wajar dan kaku tanpa ada perobahan sikapnya, malah sepasang matanya memancarkan sorot pandangan menghina dan memandang rendah, dan yang paling jelas agaknya merasa sangat puas.

Tubuh Pak-ko-seng sudah semakin menghilang, tapi mendadak ia meronta keatas sambil mengayunkan sebelah tangannya melontarkan sebuah entah benda apa keatas daratan. Lalu tubuhnya hilang ditelan kedalam lumpur, hanya terlihat kedua tangannya yang masih menggape-gape.

Ing-mo turun memeriksa bersama Thian-ih, setelah terbukti bahwa Pak-ko-seng betul-betul menemui ajalnya ditelan kedalam rawa baru mereka jemput benda yang dilontarkan tadi. Ternyata itulah serenteng gelang emas, bentuk pembuatannya sangat istimewa. Mendadak Thian-ih teringat, cincin seperti bentuk ini agaknya sudah pernah dilihatnya di jari tangan Ban Ai-ling. Dengan seksama Ing-mo memeriksa dan menimang-nimang gelang mas itu, wajahnya membeku, tapi matanya memancarkan sikap keheranan, katanya: “Ternyata begitu ! Bajingan ini ternyata adalah.................." sampai disitu ia merandek dan menelan kata-kata selanjutnya, Thian-ih menanyakan apa yang telah ditemukan diatas gelang itu, maka sambil menyerahkan gelang mas itu kepada Thian-ih Ing-mo memberi pesan: “Ini adalah sebuah benda tanda pengenal suatu perkumpulan rahasia. Pak-ko-seng ini mungkin ada hubungan dengan sesuatu perkumpulan gelap itu, kau bawa dan simpanlah benda ini, hati-hati kelak mungkin ada gunanya untuk kepentinganmu !"

Ternyata itulah serenteng gelang-elang emas yang panjang setengah kaki, setiap gelang berbentuk sama terbuat dari mas murni, diatas gelang-elang itu terukir seekor ular kecil, kepala ular sedikit mendongak, mata ular terporotkan sebutir berlian kecil yang berkelap-kelip, mulutnya terbuka dan menjulurkan lidahnya yang berwarna merah darah, ukirannya sangat bagus dan hidup.

Thian-ih tidak tahu pertanda dari aliran atau golongan apakah ular kecil itu, waktu ditanyakan kepada Ing-mo, dia ganda tertawa dan menjawab: “Kelak akan tahu sendiri."

Waktu tiba kembali didalam gua, hubungan Thian-ih dengan Ing-mo sudah semakin intim dan akrab sekali. Thian-ih menceritakan semua pengalamannya selama ini, dengan seksama Ing-mo mendengarkan. Setelah selesai ceritanya Thian-ih bertanya, apakah Ing-mo tahu asal-usul kelima orang berkedok hitam itu. Sekali ini Ing-mo bersikap terbuka, sambil menunjuk gelang mas ditangan Thian-ih, ia berkata, mungkin kelima orang itu ada hubungan erat dengan perkumpulan rahasia itu. Tapi Ing-mo sendiri juga tidak begitu jelas mengenai perkumpulan gelap itu, apa yang diterangkan masih belum cukup memuaskan. Lalu ditanyakan juga kesan-kesannya terhadap sibaju perak itu. Sekian lama Ing-mo merenung lalu mengutarakan pendapatnya, dia sangat menyetujui akan pandangan Hun-tai Siancu. Dibujuknya Thian-ih supaya jangan terburu nafsu hendak menuntut balas, lama kelamaan peristiwa itu tentu akan terbongkar sendirinya.

Dari hari kehari hubungan mereka semakin mendalam, karena merasa simpatik dan untuk membantu Thian-ih selekasnya dapat menunaikan tugas beratnya, maka Ing-mo turunkan seluruh kepandaian silatnya kepada Thian-ih. Secara tekun dan tidak mengenal lelah siang dan malam Thian-ih menggembleng diri, dicapainya kemajuan yang amat pesat.

Tapi setelah berselang sekian lama, penyakit mala rindu Thian-ih mulai kambuh lagi, selalu terbayang dua wajah di kelopak matanya, ini membuat hatinya risau dan gundah tidak tentram. Secara terus terang dia utarakan isi hatinya kepada Ing-mo bahwa dia sangat merindukan Li Hong-gi dan juga ingin bertemu dengan Hun-tai Siancu. Terhadap Li Hong-gi karena mereka sudah ada hubungan asmara. Tapi terhadap Hun-tai Siancu dia tidak kuasa menerangkan cuma terasa olehnya bahwa sikap Hun-tai Siancu terlalu manis terhadap dirinya, besar harapannya ingin selalu mendampingi di sisinya.

Ing-mo membujuk sambil tertawa, bahwa Toa-lan atau Ji-lan salah satu burung elang pribadinya itu dapat mengirimkan surat ke alamat yang dituju. Dikatakan pula nanti setelah Thian-ih selesai dan sempurna betul mempelajari ilmu silatnya Toa-lan dapat mengantarkannya kembali ke daratan besar.

Maka segera ditulisnya sepucuk surat dan suruh Toa-lan mengantarkan ke tempat Hun-tai Siancu dipuncak Hun-tiong-khek di gunung Hun-tai-san. Hari kedua balasan surat telah tiba. Itulah tulisan tangan Hun-tai Siancu sendiri. Dituturkan dalam surat itu sejak kehilangan Thian-ih, Hun-tai Siancu dan Cia In-hun sangat gugup dan kuatir, mereka sudah menggeledah seluruh pelosok alas pegunungan Hun-tai itu tanpa menemukan jejaknya dan akhir-akhir ini didapatinya Pak-ko-seng juga mendadak menghilang tak keruan paran, ditempat kediamannya ditemui jejak2 cakar burung elang, menurut dugaannya ini pasti hasil karya dari majikan pulau elang. Maka mereka lantas menduga kemungkinan besar Pak-ko-seng telah membuang diri Thian-ih ke pulau elang. Sebetulnya mereka sudah bersiap hendak berangkat dan mencari kemari, tak terduga Toa-lan keburu tiba membawa surat, sungguh mereka girang bukan main.

Dengan nada seorang tua kepada anak muda ia berpesan kepada Thian-ih, supaya menyampaikan salam hormatnya kepada Ing-mo pribadi. Dipesan juga supaya Thian-ih belajar lebih giat supaya tidak mengecewakan harapan dari Ing-mo yang telah sudi menurunkan kepandaiannya kepada dirinya. Dimana setelah semua pelajarannya selesai diharap selekasnya kembali ke Hun-tai untuk berkumpul kembali."

Begitulah untuk selanjutnya Thian-ih tinggal terus diatas pulau elang memperdalam ilmu kepandaiannya dibawah bimbingan Ing-mo.

Untuk sementara mari kita ikuti perjalanan Li Hong-gi bersama Kwi Tong-ing, dengan menunggang kuda mereka langsung menuju ke markas besar Ho-bwe-pang yang terletak di Tam-yang-ouw. Sepanjang jalan ini sikap Kwi Tong-ing agak malu-malu kucing dan kikuk, sebaliknya sikap Li Hong-gi sangat terbuka dan wajar, selalu dia dulu yang mengajak bicara. Hanya setiap kali hendak menginap di hotel selalu Kwi Tong-ing yang maju kedepan bicara dengan manager hotel. Sepanjang jalan ini tak ubah seperti kakak beradik saja hubungan mereka. Meskipun Kwi Tong-ing terlahir dari kalangan persilatan tapi dia tidak memandang rendah Li Hong-gi yang lemah. Sejak kecil ia sudah ikut ayahnya berkelana di kalangan Kangouw, apa yang pernah dilihatnya tidak sedikit, perjalanan menuju ke Tam-yang ini entah sudah berapa kali pernah dilalui. Maka sekali ini dialah yang menjadi petunjuk jalan, dia melayani segaia keperluan Hong-gi sedemikian rupa sehingga Hong-gi merasa tak enak sendiri. Diam-diam ia membatin cara bagaimana kelak dia memberi penjelasan, hanya bagaimana juga belum saatnya membongkar kedok penyamarannya, maka setiap tindak tanduknya dibikin hati-hati, untung tidak konangan dan mencurigakan.

Hari itu mereka sampai juga di Tam-yang, markas besar Ho-bwe-pang sudah kelihatan dari kejauhan. Itulah sebuah perkampungan besar yang dibangun sangat megah dan angker sekali. Dibangun membelakangi danau. Diatas kuda Li Hong-gi meninggikan lehernya melongok-longok kedepan, tak tertahan lagi segera Tong ing bertanya: “Kongcu, apa kau sudah kenal Pangcu Ho-bwe-pang?"

Hong-gi menggeleng kepala. Tong-ing menjadi heran, tanyanya lagi: "Kongcu, kalau kau tidak kenal Kun-suseng Liok Pek-ing, lalu apa tujuanmu kemari?"

“Aku mau mencari Thio Toako, dia pernah berjanji bersama aku datang kesini, kukira saat ini dia sudah sampai lebih dulu."

Kwi Tong-ing menjadi mangkel, pelajar lemah ini sungguh menyebalkan, selalu bicara mengenai Thio-toakonya melulu.

Dalam hati ia mengomel panjang-pendek, tapi lahirnya tetap bersikap manis, sekian lama mereka bungkam, lalu katanya lagi: “Baiklah, kita masuk lebih dulu, aku kenal baik dengan Kun-suseng nanti kita tanyakan kepada dia !"

Hong-gi mandah mengintil saja dibelakang Tong-ing, maka Tong-ing sebagai pelopor maju kedepan pintu markas besar Ho-bwe-pang minta dilaporkan kedatangan mereka. Ingin bertemu dengan Kun-suseng Liok Pek-ing Liok-pangcu.

Dengan seksama para penjaga didepan pintu itu mengamat-amati dan menanyakan asal-usul Tong-ing. Terpaksa Tong-ing sebutkan nama julukan ayahnya serta julukannya sendiri.

Nama julukan Thi-pi-kim-liong ayah beranak ternyata benar-benar sangat tenar dan disegani, serentak para penjaga didepan pintu gerbang itu beramai-ramai maju unjuk hormat, segera ada yang berlari masuk memberi lapor. Tak lama kemudian Liok Pek-ing sendiri keluar menyambut. Setelah memperkenalkan Hong-gi, Tong-ing lantas bicara secara langsung:"Li-kongcu ini sudah berjanji dengan Thio Thian-ih untuk datang menyambangi Pangcu disini, harap tanya apakah Thio Thian-ih sudah datang kemari?"

Liok Pek-ing melengak, sahutnya: “Thio-chengcu belum pernah datang kemari. Silakan kalian istirahat dulu dalam perkampungan kita sambil menunggu kedatangannya!"

Takut kedok penyamarannya nanti menunjukkan belangnya, segera Hong-gi turut bicara: “Terima kasih akan kebaikan Pangcu, ada lebih leluasa kita menginap dihotel saja !" habis berkata dia lantas unjuk hormat dan minta diri.

Jauh-jauh datang kemarkas Ho-bwe-pang, setelah sampai berkata hanya berapa kecap saja lantas minta diri. Ini membuat Tong-ing uring-uringan, namun sedemikian jauh dia masih telan saja kejengkelan hatinya, dengan sabar ia turuti semua kehendak Hong-gi. Begitulah dia menurut saja menginap di hotel.

Telaga Tam-yang cukup luas, pemandangan disini sangat indah menakjupkan. Tapi Hong-gi tiada selera menikmati pemandangan yang molek ini, setiap hari selalu mengeram diri dalam kamar, tiga lima hari sekali bersama Tong-ing mencari Liok Pek-ing menanyakan kabar Thio Thian-ih, tapi selalu mereka kecele dan kembali dengan hampa ke hotel. Entah sudah berapa kali mereka pulang pergi menanyakan kepada Liok Pek-ing, tanpa merasa tahu-tahu dua bulan sudah berselang, bukan saja Tong-ing sudah sebal dan tak kerasan lagi, Hong-gi sendiri juga bersikap lesu tak bersemangat. Maka untuk terakhir mereka datang menyambangi Liok Pek-ing mereka meninggalkan sepucuk surat untuk Thian-ih, dipesan juga kepada Liok Pek-ing, jikalau Thio Thian-ih datang diminta dia mengirim orang mengantar surat ke Hong-kiam-san-cheng. Liok Pek-ing melulusi untuk membantu. Hari itu juga mereka segera kembali menuju ke utara, siang dan malam mereka terus mengebut kembali ke Hong-kiam-san-cheng untuk menunggu kabar. Dalam pada itu Thian-ih tengah asyik dan tekun mempelajari kepandaian silat Ing-mo yang rumit dan sukar dimengerti itu, tapi semakin diselami terasa semakin dalam mengaduk sumber inti sari pelajaran murni ilmu silat. Keruan dalam singkat saja kepandaiannya maju pesat sampai berlipat ganda mencapai kesempurnaannya, seakan sibuta melihat matahari kembali. Lama kelamaan Thian-ih sudah mencakup seluruh inti rahasia pelajaran segala macam ilmu silat. Dengan mendapat petunjuk langsung dari Ing-mo ditambah bakatnya memang bagus sekali, tekun belajar menyelami dengan seksama lagi, maka dalam jangka pendek beberapa bulan saja dia sudah mencakup seluruh pelajaran silat Ing-mo yang tidak atau belum pernah diturunkan kepada orang lain.

Keadaan Thian-ih sekarang sudah jauh berbeda waktu pertama kali dia datang dulu. Bila teringat apa yang telah dipelajarinya dari Kiam-bun, hanya bekal yang tidak berarti itu dirinya berani berkelana dan malang melintang di Kang-ouw, seumpama kunang-kunang kecil tak berguna. Teringat pula akan ucapan Hun-tai Siancu, bahwa Kiam-bun-it-ho tidak sepenuh hati memberi pelajaran silat kepadanya, ternyata bahwa ucapan itu sangat tepat dan terasakan dalam kenyataan.

Selama Thian-ih tinggal dipulau elang, burung-burung elang piaraan Ing-mo sering disuruh berkirim surat pulang pergi ke Hun-tai-san. Hari itu seekor burung elang membawa sepucuk surat kilat dari Hun-tai Siancu, dalam surat itu diterangkan bahwa: “Sibaju perak berpedang emas sudah diketahui jejaknya, diharap selekasnya kembali ke Hun-tai untuk, berunding!" Sudah tentu Thian-ih berjingkrak girang, sudah tibalah saatnya untuk sekian kalinya berkecimpung di kalangan Kangouw menyusuri jejak musuh besar itu, untuk menyelesaikan permusuhan yang telah berlarut itu dengan bekal kepandaian yang telah dipelajarinya di Hun-tai dan di pulau elang ini.

Ing-mo sendiri sudah tiada minat berkelana di dunia ramai, maka dia hadiahkan sebilah pedang yang dinamakan Siang-sim-jin-kiam, pedang pusaka pelindung pulau elang itu. Tak lupa ia serahkan juga rentengan gelang mas peninggalan Pak-ko-seng itu kepada Thian-ih. Dipesannya supaya menyimpannya baik-baik, suatu ketika mungkin ada manfaatnya di kalangan Kangouw. Sekadarnya saja Ing-mo menerangkan bahwa gelang rentengan ini adalah pertanda khas dari suatu perkumpulan rahasia yang puluhan tahun yang lalu sudah ditumpas hancur lebur. Jarang sekali orang-orang Kangow yang mengetahui riwayat hidup dari organisasi gelap ini. Sekali ini entah bagaimana pertanda khas mereka bisa terdapat di badan Pak-ko-seng, dikuatirkan kalau perkumpulan rahasia yang telah ditumpas dulu sudah mulai bersemi dan berkembang secara rahasia lagi. Ing-mo sendiri hanya sekelumit saja mengetahui seluk beluk mereka. Dulu mereka kenamaan dan disegani karena sering mengganas dan mempergunakan cara-cara keji dan berbisa menghadapi lawannya. Mungkin dulu akarnya belum dicabut sampai habis dan sekarang mulai bersemi kembali, maka kalau tidak secepatnya diberantas, dikuatirkan dalam waktu dekat ini pasti akan timbul huru-hara yang menggemparkan di kalangan Kangouw, maka dipesan kepada Thian-ih untuk waspada dan hati-hati. Disarankan juga supaya segera menghimpun kaum pendekar dan orang-orang gagah di seluruh dunia persilatan untuk secepatnya turun tangan, menyergap dan memberantas secara menyeluruh sebelum mereka bersayap. Thian-ih manggut berulang-ulang sambil mengiakan. Teringat bakal meninggalkan pulau elang ini, lantas terkenang kepada Li Hong-gi, hatinya sudah bergejolak dan susah tertahan lagi, siang-siang pikirannya sudah melayang jauh entah kemana. Melihat orang termangu dan tidak sabaran lagi, Ing-mo tersenyum geli segera ia perintahkan burung elangnya untuk mengantar pemberangkatan Thian-ih ke Hun-tai-san.

Sebelum berpisah mereka berjabatan tangan dan berpelukan, berat untuk berpisah, kata Ing-mo sambil mengalirkan air mata: “Saudara kecil, sejak berkumpul kita sangat cocok satu sama lain, aku tidak mau menjadi gurumu, tapi aku rela menjadi sahabatmu. Perpisahan hari ini entah kapan baru dapat berjumpa dan berkumpul kembali. Kudoakan setelah keberangkatanmu ini kau dapat secepatnya menyelesaikan tugas2 beratmu, lakukan segala dharma bakti bagi sesama umat manusia. Janganlah kau sia-siakan pengharapanku dan Hun-tai Siancu ! Dan lagi, kuharap pada saat hari bahagiamu nanti jangan kau lupakan Sahabat tuamu ini. Kalau mengijinkan datanglah kalian ke pulau elang yang terputus dari dunia ramai ini, berdiamlah disini beberapa hari untuk berkumpul. Aku benar-benar menunggu dan jangan terlambat datang, jikalau sampai aku sudah mangkat tinggal tulang belulangku saja seumpama kau banyak isi hati yang ingin diutarakan kepadaku menyesal juga sudah terlambat "

Thian-ih sendiri juga sampai terharu dan mengalirkan air mata, tangannya menggenggam erat2 lengan Ing-mo, sekian lama mereka berhadapan dan bertangisan. Thian-ih berjanji untuk tidak melupakan pesan dan permintaannya itu.

Menunggang burung elang lebih cepat dari naik perahu, kira-kira tiga jam saja, tiba-tiba burung elang besar itu memekik nyaring terus menukik turun, ternyata mereka sudah sampai di belakang puncak Hun-tai-san. Baru saja ia membetulkan pakaiannya dan melangkah ke depan beberapa langkah, terdengar sebuah seruan nyaring merdu dari depan sana: “Engkoh Thian-ih! Engkoh Thian-ih!"

Laksana sekuntum bunga putih yang indah dan harum semerbak sekejap saja didepannya tahu-tahu sudah berdiri seorang gadis jelita yang mengenakan pakaian serba putih, wajahnya yang halus putih itu bersemu merah jambu kemaluan, sepasang matanya cemerlang sebening air memancarkan rasa girang yang tak tertahan, ujung mulutnya menyungging senyum manis. Keadaan ini bak sekuntum bunga segar, sesuci dan seagung bunga teratai.

Diam-diam Thian-ih terkejut dan melengak, baru beberapa bulan saja mereka berpisah, gadis pingitan ini ternyata bertambah molek dan jelita, melihat orang tengah menghampiri dan menatap dirinya, cepat-cepat ia membungkuk diri memberi hormat dan menyapa: “Adik In-hun!"

Cia In-hun tersenyum lebar bak sekuntum bunga mekar, katanya: “Siang-siang sudah kuperhitungkan pasti hari ini kau datang. Kukatakan burung elang itu sangat cepat berkirim surat. Siancu tidak percaya, sekarang sudah kenyataan dan dugaanku sangat tepat!" Begitu sinar mata saling bentrok, seketika terketuk hati kecil Thian-ih, jantungnya berdebur keras. Pandangan penuh arti dari orang gadis ini, masa tidak dapat diselami olehnya. Hanya sayang, hatinya ini sekarang sudah menjadi milik Li Hong-gi. Selama beberapa bulan tinggal dipulau elang betapa rindunya kepada gadis jelita itu, sungguh ia sangat menyesal akan sikap dingin dan kelakuannya yang tidak genah dulu itu. Kini setelah kembali sudah tentu ia harus mencari dan bertemu kembali dengan Hong-gi, untuk selanjutnya mereka pasti hidup berdampingan dengan rukun dan tentram sampai dihari tua.

Memang Cia In-hun sudah jatuh cinta pada pandangan pertama tempo hari. Akan tetapi terpaksa Thian-ih tidak bisa menerima rasa cintanya ini. Seumpama hutang budi atau hutang apa saja pada orang lain mudah untuk membalasnya, tapi hutang cinta inilah yang sukar dibendung. Maka cepat-cepat Thian-ih palingkan muka tidak berani beradu pandang lagi.

Sebaliknya Cia In-hun sendiri juga lantas bersikap kikuk dan malu-malu. Dia mengintil dibelakang Thian-ih sambil membungkam diri. Tak lama kemudian mereka sudah tiba di Hun-tiong-khek.

Seketika timbul suatu perasaan aneh yang menyentak sanubarinya, ria dan gembira, itulah karena segera ia bakal berjumpa kembali dengan Hun-tai Siancu, orang yang paling dirindukan selama ini. Begitu menyingkap kerai segera tampak Hun-tai Siancu tengah duduk semadi diatas kasuran bundar, maka dengan rasa hormat segera ia berlutut dan menyembah.

Hun-tai Siancu mengulur tangan membimbing bangun, terasa pandangan sepasang matanya itu memancarkan kasih sayang dan lemah lembut yang melapangkan dadanya. Tapi masih terasakan juga oleh Thian-ih pandangan kehampaan itu masih terkandung dalam sorot matanya. Tapi sudah jauh berbeda dibanding tempo hari, itu terjadi hanya sekilas saja seperti percikan api, lantas diselimuti oleh rasa girang.

Hun-tai Siancu menanyakan keadaan Thian-ih selama berpisah ini. Thian-ih duduk disampingnya dan menutur ringkas dan jelas. Mendengar kepandaian Thian-ih sudah maju pe- sat dan bersahabat lagi dengan Ing-mo, malah dihadiahi pula sebilah pedang pusaka, wajah Siancu mengunjuk rasa senang dan gembira. Setelah seluruh cerita selesai, Thian-ih bertanya: “Dimanakah sibaju perak itu sekarang? Ingin aku segera mencarinya untuk memecahkan semua teka-teki yang selama ini selalu mengikat diriku."

Sekilas Hun-tai Siancu mengunjuk perasaan hampa itu lagi. Kali ini Thian-ih melihatnya dengan jelas sekali. Tahu dia bahwa pasti ada latar belakang apa yang menyebabkan tapi tak enak ia mendesak lagi. Nanti pasti Siancu sendiri akan menjelaskan, maka dengan menekan perasaan, ia menanti dengan sabar.

Sekian lama menunggu baru Siancu mulai membuka kata perlahan-lahan: “Sekarang dia tengah menghadapi kesukaran, karena terkepung dan dikurung didalam suatu tempat oleh beberapa jagoan Bhayangkara dan beberapa tokoh kaum persilatan, jiwanya terancam elmaut dalam waktu dekat ini "

Thian-ih terperanjat, tanyanya dengan nada berat: “Kalau begitu jika sekarang aku pergi membuat perhitungan dengan dia berarti aku mengambil keuntungan disaat orang sedang kepepet !" dia menerka dalam hati bahwa Hun-tai Siancu ini rada simpatik terhadap sibaju perak itu, sudah tentu dia tidak merelakan Thian-ih pergi mendesak orang. Maka sekarang ia membuka kata lebih dulu untuk menunjukkan bahwa dia sungkan untuk membangkang maksud Hun-tai Siancu. Tapi setelah terucapkan tak urung Thian-ih merasa menyesal, pikirnya seumpama sibaju perak mati dalam pengeroyokan musuh, dan dirinya telah kehilangan kesempatan yang baik ini, bukankah teka-teki itu takkan terpecahkan selamanya.

Tengah dia sangsi dan bimbang, sungguh tak terduga Hun-tai Siancu malah mengucapkan perkataan yg lebih mengejutkan lagi: “Ya, tepat sekali. Bukan saja aku tidak ijinkan kau menggrebeknya disaat ia kepepet. Malah kuminta kepada kau besok pagi segera berangkat kesana mengandal kepandaian yang telah kau pelajari baru-baru ini dan ketajaman pedang pusaka pemberian Ing-mo itu untuk menolongnya keluar "

Saking kejut Thian-ih sampai melonjak bangun. Hampir dia menyangka kupingnya salah dengar. Siapa takkan kaget bahwa Hun-tai Siancu ternyata mengutus dirinya pergi menolong musuh yang selama ini telah mempermainkan dirinya. Tugas secara timbal balik ini bukankah sangat menggelikan.

Tapi sikap Hun-tai Siancu tetap tenang dan kalem. Thian ih disuruh mengundurkan diri membersihkan badan dan menangsel perut, serta tambahnya sebelum Thian-ih keluar pintu: “Thian-ih! Kau bersabar lagi sebentar, nanti akan kuterangkan alasanku.....” meskipun suaranya lemah lembut, namun seolah-olah mengandung wibawa besar yang tidak boleh tidak harus dipatuhi. Terpaksa Thian-ih mengiakan.

Membekal rasa curiga dan tak habis mengerti Thian-ih mengundurkan diri, setelah mandi dan ganti pakaian, Cia In-hun telah menyediakan makanan untuknya. Keadaan di Hun-tiong-khek masih sedemikian tenang dan sunyi, otak Thian-ih berputar dan melayang-layang, mereka hubungan antara Hun-tai Siancu dengan sibaju perak itu, namun semakin pikir semakin kacau balau, tak kuasa ia menelorkan jawabannya sendiri. Malamnya waktu yang diharap-harapkan akhirnya tiba juga. Hun-tai Siancu memanggilnya menghadap dan menceritakan suatu kisah lama.

Dulu ada seorang pemuda pengangguran yang mengandal sedikit kepandaian silatnya banyak melakukan kejahatan dan malang melintang dldunia persilatan seorang diri. Betapa besar dan banyak kejahatan yang telah diperbuatnya sampai pihak pemerintah telah mengutus banyak polisi untuk menangkapnya, tapi selalu dia dapat lolos. Apakah sebabnya? Ternyata ia punya seorang sahabat kental yang pandai menyamar dan ilmu rias, sering mereka menyamar jadi satu orang dan muncul pada dua tempat yang berlainan dalam waktu yang bersamaan untuk mengelabui kelayak ramai dan selalu beruntung dapat meloloskan diri. Banyak tahun kemudian, mengandal kecerdikannya serta kepandaian penyamarannya itu mereka masih bekerja langgeng selalu lolos dari pengejaran petugas hukum.

Ternyata bahwa diantara mereka sudah ada kata sepakat, hasil harta benda yang telah mereka rampok, sipemuda rela menerima sebagian kecil saja dan sebagal gantinya setiap wanita yang mereka tangkap harus diserahkan padanya untuk bersenang-senang. Kalau yang satu gila harta sedang yang lain mata keranjang. Entah sudah berapa lama, dan berapa banyak kejahatan yang telah mereka lakukan.

Pada suatu ketika sewaktu sipemuda itu melakukan perampokan dan mendapat hasil besar, tengah ia kegirangan dan berusaha melarikan diri dari kejaran polisi, mendadak ia merasa bahwa dibelakangnya ada seseorang tengah membuntuti maka mereka lantas mengadu kepandaian ringan tubuh, ternyata bahwa ilmu sipemuda jauh ketinggalan kalau dibanding kepandaian pengejarnya. Tahu dia bahwa kaum pendekar dari kalangan persilatan telah datang menggrebek, cepat-cepat ia minta bantuan teman akrabnya itu untuk menyamar dan berusaha lari dengan kedok penyamaran barunya itu. Siapa tahu betapa tajam dan luas pengetahuan sipengejar itu ternyata akhirnya ia kecandak dan terbongkar kedoknya, temannya itu berhasil melarikan diri sedang dia sendiri terpaksa harus angkat senjata melawan mati-matian.

Itu terjadi pada suatu malam terang bulan, dalam pertempuran itu sipemuda mendapati bahwa pengejarnya itu ternyata adalah seorang pendekar wanita, karena tidak ungkulan melawan musuhnya saking malu dan gusar segera ia angkat pedang hendak menggorok leher membunuh diri. Pendekar wanita itu cukup cerdik dan bijaksana, dia tidak tega melihat kematiannya itu, lalu menolongnya malah, dan untuk selanjutnya mereka tenggelam dalam buaian asmara, mungkin memang sudah takdir Thian akhirnya mereka menikah.

Pendekar wanita itu keluaran dari aliran lurus yang mempunyai nama harum dan disegani, kepandaiannya tinggi dan sudah malang melintang di Kangouw sekian lama, sekali ini dengan merendah diri dan rela hati ia menikah dengan seorang perampok besar, maka dia membujuk pada sipemuda yaitu suaminya supaya mencuci tangan menghentikan perbuatan kotor yang terkutuk itu, untuk selanjutnya kembali kejalan lurus dan hidup yang sebenarnya. Saking mencintai istrinya, bermula memang dia sangat penurut hidup tentram dalam rumah membaca buku sambil memperdalam ilmu silatnya, untuk sekian lama mereka hidup berdampingan dengan rukun dan bahagia. Akan tetapi, gunung dapat dirobohkan sungai dapat dibendung, namun watak orang sudah berdarah daging susah dirobah. Ini terjadi setelah mereka menikah beberapa bulan kemudian, karena sudah bunting sehingga penjagaan pendekar wanita terhadap suaminya agak kendor, maka timbullah tangan gatalnya untuk mengulangi perbuatan jahatnya seperti yang sudah-sudah. Didunia Kangouw dia menimbulkan huru-hara lebih hebat dan menggemparkan dari yang pernah diperbuatnya dulu.

Setelah melakukan beberapa kali pekerjaan besar tanpa modal, waktu ia kembali membawa dosa serta hasil kejahatannya itu, istrinya sudah melahirkan seorang putra. Begitu tahu suaminya masih nyeleweng dan susah diperbaiki lagi tak mungkin dapat ditolong pula saking pedih dan duka, dia lantas tinggal pergi dan putuskan hubungan suami-istri, bersumpah untuk tidak akan berjumpa lagi selama-lamanya.

Ternyata sipemuda itu masih belum insaf dan masih terus melakukan dagang tanpa modal itu, putranya dititipkan pada salah seorang familinya, sedang dia masih beroperasi kemana-mana, membunuh merampok dan memperkosa. Agaknya hati nuraninya masih belum tersesat terlalu dalam, disaat-saat ia melakukan kejahatannya, bila teringat akan anak dan istri sungguh ia sangat menyesal dan berusaha untuk cuci tangan serta berusaha memperbaiki hidupnya yang sentausa dan sejahtera. Tapi betapa juga perbuatan jahat yang diperbuatnya sudah bertumpuk-tumpuk, kadung dia insaf akan hasil perbuatan jahatnya yang tak halal itu, untuk cuci tangan juga sudah terlambat dan tak mungkin lagi.

Akhirnya waktu anaknya berusia sepuluh tahun, terketuklah hatinya, timbullah ikatan batin dan perasaan sayang yang mendalam terhadap putranya itu. Selanjutnya ia tekun mendidik dan mengajar putra satu-satunya itu sampai dia meninggal dunia. Hal ini memang harus dihargai dan dipuji.

Tahun itu dia merampok didaerah Liong-he dan mendapat hasil yang besar, sejak itu ia cuci tangan dan menyembunyikan diri, menikah lagi dan mendirikan perkampungan, dari seorang perampok besar kini dia berganti rupa menjadi seorang hartawan yang kaya raya. Putranya itu sudah besar dan dipanggil kembali dari penitipannya untuk mengelabui mata kuping masyarakat sekelilingnya serta para sahabatnya dia mengakui bahwa putranya itu adalah adik kandungnya.

Sejak hari itu dia hidup senang dan serba ada dengan harta bendanya yang tidak halal itu. Usianya masih rada muda baru menanjak pertengahan umur, namun dia tekun dan menghabiskan keringatnya untuk mendidik dan membimbing anaknya, dipanggilnya beberapa guru-guru untuk memberi pelajaran silat dan memperdalam ilmu surat. Pada hari-hari biasa waktu adiknya ini berada didalam rumah, semangatnya lantas timbul dan sikapnya sangat riang gembira hidupnya teratur, namun bila adiknya kembali ketempat perguruannya, si- kapnya lantas berubah pendiam dan jarang tersenyum, kalau tidak membaca buku selalu mengeram diri didalam kamar. Malah terhadap istrinya kedua sendiri juga bersikap acuh tak acuh seperti orang asing yang tidak kenal ditengah jalan. Keadaan semacam ini berlangsung tidak terlalu lama, menurut hematnya semula ini hanya sebagai penebus dosanya dulu dan sebagai ganti saja. Hakikatnya dia masih sangat merindukan istrinya pendekar itu. Maka dia giat membimbing anaknya kejalan yg benar, mengekang dirinya sedemikian rupa dengan mendharmabaktikan harta benda kekayaannya kepada mereka yang membutuhkan, karena kedermawannya itu mulailah namanya disegani dan dihargai sebagai hartawan yang budiman dan pengasih, maka kelayak ramai memberi julukan Budha hidup kepadanya, tujuan dari pada sikap baiknya ini adalah untuk menebus kesalahannya terhadap istrinya tercinta supaya mereka dapat rujuk kembali.

Begitulah dia menunggu dan menunggu, setahun dua tahun, pendekar wanita itu tidak mau melanggar sumpahnya sendiri, penyesalan dan perbuatan baiknya masih belum dapat menggugah sanubarinya, harapan akhirnya menjadi putus asa, dari putus asa pikirannya menjadi lebih menggila, bukan saja dia memeras diri malah dengan kepandaiannya yang tinggi itu dimana-mana ia menimbulkan gelombang keganasan, mencari bahaya untuk menghibur diri.

Akhirnya dia bergabung dan bekerja sama lagi dengan teman karibnya itu menyamar dengan satu wajah yang berlainan. Jikalau adiknya itu tak berada dirumah, karena senggang dan secara iseng-iseng selalu dia keluar rumah membuat perkara, lahirnya saja dia seorang hartawan yang budiman yang suka bertamasya kemana-mana, tapi hakikatnya dia tengah memerankan sebagai seorang tokoh begal tunggal yang sangat ditakuti. Kadangkala mereka bekerja bersama, suatu ketika dia turun tangan seorang diri, sedang temannya itu menyamar menjadi dirinya tinggal dirumah mengenyam kesenangan yang berlimpah-limpah, rahasia ini tiada seorangpun yang mengetahui.

Tahun-tahun belakangan ini nyalinya semakin besar, dengan temannya itu secara sembunyi-sembunyi mereka menyelundup kedalam istana raja, dari gudang harta kekayaan negara mereka mencuri sejumlah besar benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya. Hasil curian ini mereka sembunyikan disuatu tempat yang sangat tersembunyi. Bersama itu karena tekanan batin yang sekian lama ini tidak tersalurkan, pikirannya menjadi berubah dan berkobarlah nafsu birahi yang sekian lama ini tidak tersalurkan, pikirannya menjadi berubah karena kobaran nafsu birahi itu. Pernah satu kali ia kesasar ke suatu tempat dimana ia telah kesalahan tangan membunuh seorang perempuan. Diluar tahunya ternyata keluarga perem- puan itu mempunyai hubungan erat dengan suatu perkumpulan rahasia, segera mereka mengerahkan kaki tangannya untuk mengepung dan meringkusnya. Tapi karena kepandaian ilmu rias temannya itu memang lihay, akhirnya ia dapat lolos dan selamat dari pengejaran itu.

Dalam pelariannya itu dia lewat disuatu kota besar, disini ia melihat seorang perempuan yang cantik luar biasa, timbul minatnya hendak menculiknya, tidak kepalang tanggung dia culik perempuan itu dari rumah bupati, tujuannya semula hendak memaksanya menjadi gundik saja, tapi ditengah jalan ia teringat akan putra tunggalnya yang sudah menanjak dewasa, karena rasa cintanya kepada sang putra, lantas dia ingin menjodohkan perempuan cantik yang diculiknya ini kepada putranya itu. Karena pikiran baiknya ini selamatlah perempuan itu dari bahaya ternoda kesuciannya.

Dalam perjalanan kembali dengan membawa perempuan culikannya itu, ia lewat dipegunungan Ci-bong didaerah Shoatang di puncak Gun-u-ling, malam hari itu dia bersua dengan lawan-lawan berat disana. Ternyata mereka bukan lain adalah musuh-musuh besar dari perkumpulan rahasia yang telah membuntuti jejaknya. Karena teman baiknya yang pandai menyamar itu tiada didampingnya, dia menjadi kewalahan, melawan keroyokan para musuh beratnya itu, akhirnya mati konyol dalam pengeroyokan itu."

Sampai disitu cerita Hun-tai Siancu, Thian-ih sudah dapat memahami sebagian besar makna cerita itu, maka segera tanyanya: “Siancu, bukankah peranan utama dalam ceritamu ini kau maksudkan adalah engkohku ” karena gugup dan menahan emosi suaranya terdengar

berubah sember.

Dengan tenang sepasang mata Hun-tai Siancu yang bening dan berwibawa itu menatap Thian-ih, rasa kasih sayang segera terbayang dimukanya, katanya perlahan-lahan: “Tidak salah, rahasia ini sudah tersembunyi selama duapuluh tahun. Sampai hari ini sudah seharusnya kau ketahui. Pemuda dalam ceritaku itu adalah engkohmu Thio Thian-ki dan juga adalah ayah kandungmu sendiri "

Thian-ih melonjak kaget bagai mendengar geledek di-pinggir kupingnya, dadanya bergejolak dan entah bagaimana perasaan hatinya susah diraba, teriaknya dengan suara serak: “Aku tidak percaya! Tidak percaya "

“Thian-ih!" kata Hun-tai Siancu lemah lembut. “Lihatlah aku......'' suaranya halus dan berwibawa. Sekali pandang lantas Thian-ih merasa sikapnya itu angker dan agung, membuat timbul rasa hormatnya.

Kata Hun-tai Siancu lagi: “Apa kau sudah percaya?"

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar