Jilid 04
Ia sendiri membuka pintu pagar yang sudah diikat dengan rantai besi dan ternyata ia tidak kuat membukanya, akan tetapi lima orang yang telah terbangun semangat mereka oleh pelopor ini segera maju membantunya. Pintu pagar itu didorong dan ditarik secara berbareng sehingga dengan mengeluarkan suara keras pintu pagar itu jebol dan roboh. Suara ambruknya pintu pagar yang gaduh ini seakan-akan menambah semangat kawan-kawan lainnya, sehingga mereka ini memasuki pekarangan gedung itu tidak melalui pintu pagar, melainkan mereka memanjat dan meloncati pagar itu, maka secara serempak sambil bersorak-sorak dan senjata mereka diangkat keatas kepala, mereka berlari melewati pekarangan dan menyerbu gedung itu. Pintu gedung yang besar terbuat dari papan tebal itu mereka gedor dan dibuka secara paksa, begitu juga daun-daun jendelanya mereka dobrak. Dan sebelum mereka berhasil membuat jalan untuk memasuki kedalam gedung itu tiba-tiba pintu jendela itu terbuka dari dalam disusul lima bayangan menyambar keluar dan pada detik itu juga terdengarlah jeritan dari lima orang penyerbu, tahu-tahu ini sudah roboh mandi darah. Ternyata yang menyambar keluar itu adalah lima orang tukang pukul dan setelah melihat betapa dalam segebrakan saja lima orang kawan mereka dibikin roboh oleh kawanan anjing pemakan najis situan tanah itu, mereka jadi marah sekali dan lalu mengeroyoknya. Akan tetapi kepandaian dari lima orang tukang pukul itu terlalu hebat bagi mereka, maka pada detik berikutnya kembali lima orang kawan mereka menjerit ngeri dan roboh.
Namun kawanan penyerbu itu tidak gentar dibuatnya, dengan gigih dan sambil berteriak-teriak untuk menambah semangat mereka terus mengadakan perlawanan secara gagah berani, agaknya mereka sudah menjadi nekad dan rela sekalipun mereka tewas dalam pertempuran ini, mereka maka maju terus pantang mundur.
Pada saat itu, tiba-tiba dari arah belakang pula penyerbu itu terdengar sorak-sorai dari serombongan orang yang entah darimana datangnya, tahu-tahu mereka sudah muncul dan senjata-senjata mereka lalu membabat tubuh-tubuh dari kawanan para penyerbu itu. Ternyata serombongan orang yang baru datang ini bukan lain adalah seregu bala tentara yang dipimpin oleh sikomandan gendut bopeng Be Kunbu itu. Jelaslah bahwa Ceng Lobin telah dapat menduga datangnya penyerbuan ini, maka untuk menyambutnya ia sudah mengatur begundal-begundalnya sedemikian rupa. Lima tukang pukulnya sudah memapaki penyerbu itu secara langsung dari depan dan segera bala tentara sewaan yang dipimpin oleh Be Kunbu yang sudah banyak pengalaman bertempur, mengepung dari belakang sehingga dengan demikian, benar-benar kawanan penyerbu itu jadi tergencet dan dalam waktu sebentar saja tidak kurang dari tiga puluh orang kawan-kawan mereka sudah terkapar ditanah tewas atau menderita luka parah. Kini Ceng Lobin menampakkan dirinya yang gemuk itu diambang pintu gedungnya dan hartawan laknat ini ketawa bekakkan ketika dilihatnya kawanan pemberontak begitu mudah dibabat dan dijungkalkan oleh senjata-senjata ditangan para cecunguk sewaannya.
“Hahaha ... ! Bagus! Babat semua! Bikin mampus semua bangsat-bangsat pemberontak membahayakan negara ini! Hayo, kirim keneraka semua! Hahaha ... !” Demikian Ceng Lobin gembar-gembor sambil terus ketawa bekakakan seakan- akan pertempuran yang terjadi didepan matanya itu merupakan pesta pora yang menggembirakan hatinya.
Akan tetapi kemudian ketawa iblisnya siperut gede ini tiba- tiba terhenti ketika dilihatnya sesosok bayangan putih yang gesit sekali gerakannya tahu-tahu berkelebatan kian-kemari diantara kegaduhan pertempuran itu. Setiap kali bayangan putih itu berkelebat, menjerit dan robohlah seorang perajurit dan sepuluh kali bayangan putih itu bergerak dalam waktu yang cepat, tahu-tahu seregu perajurit itu sudah terjungkal semuanya. Ceng Lobin tidak percaya kepada penglihatan matanya sendiri dan ia menganggap bahwa bayangan putih yang hebat dan luar biasa gerakannya itu hanya terjadi karena khayalannya sendiri, maka dengan mulut ternganga dibukanya kedua matanya lebar-lebar untuk melihatnya lebih tegas dan ketika itu, bayangan putih tadi sudah berkelebat pula membuat tiga kali gerakan berturut-turut dan akibatnya benar-benar membuat tuan tanah ini kaget bukan main, karena dilihatnya tiga orang tukang pukulnya sudah terjungkal mampus.
“Setan ... ! Ada setan putih disiang hari bisik Ceng Lobin dengan muka pucat dan ia jadi begitu ketakutan, maka cepat ia memutar tubuh gemuknya dan tubuh yang bundar itu seperti menggelundung ketika ia lari terbirit-birit kedalam gedungnya.
Pembaca kiranya sudah dapat menebak bahwa bayangan putih yang bergerak hebat luar biasa cepatnya yang datang membantu kawanan penyerbu, yang dalam waktu sedemikian cepat telah merobohkan sepuluh orang perajurit berikut tiga orang tukang pukul secara begitu mudah dan yang membuat tuan tanah merasa ketakutan setengah mampus, bukan lain ialah Han Hayhauw adanya.
Pemuda itu tiba ditempat itu sungguh tepat pada waktunya, kalau tidak, atau terlambat sedikit saja, agaknya benar-benarlah kawanan penyerbu itu akan tewas semuanya. Han Hayhauw segera dapat memilih mana kawan dan lawan, maka dengan secara cepat dan tepat ia segera turun tangan. Ia mengerahkan ginkangnya yang benar-benar hebat sehingga tubuhnya gesit berkelebatan seperti gaya seekor naga putih mengamuk. Dengan ujung tongkatnya ia membagikan totokan kepada sepuluh orang prajurit itu dan ia bekerja begitu cepat, hal ini bukan ia hendak memamerkan kepandaiannya akan tetapi ia bekerja memburu waktu supaya korban yang jatuh dipihak penyerbu tidak lebih banyak lagi.
Betapapun juga Hayhauw tidak mempunyai hati kejam terhadap perajurit penjajah itu sehingga ia tidak berlaku telongas, melainkan ia hanya menyerang dengan totokan saja tanpa membahayakan jiwa mereka. Akan tetapi kalau terlalu dan para tukang pukul yang ia ketahui kekejaman mereka sering menganiaya para penduduk yang sampai saat ini masih diingatnya. Hayhauw marah sekali dan itulah sebabnya maka ketika ia menyerang tiga tukang pukul tadi, ia melancarkan serangan yang mematikan.
Sementara itu terjadilah perubahan dipihak para penyerbu, kalau tadinya ia sudah terdesak demikian hebat dan melihat dalam waktu sebentar saja kawan-kawan mereka sudah banyak yang roboh, menyebabkan hati mereka amat cemas dan bingung sehingga semangat juang mereka jadi mengendur sendirinya. Akan tetapi, setelah melihat betapa kawan-kawan mereka dalam waktu yang hampir bersamaan roboh berjungkalan tanpa mereka ketahui apa sebabnya oleh karena gerakan Hayhauw cepat luar biasa sehingga tak sempat terlihat oleh mereka, maka sebelum maklum apa yang telah terjadi, namun sudah barang tentu peristiwa ini membuat hati mereka menjadi girang dan semangat mereka yang tadi sudah mengendur tiba-tiba bangkit pula. Maka dengan penuh kegemasan dan marah mereka segera mencincang dan menggebuki tubuh-tubuh lawan yang sudah tak berdaya itu.
Be Kunbu merasa heran sekali ketika melihat betapa anak buahnya berjungkalan dan kini dibikin pergedel oleh para penyerbu itu, namun karena sikomandan ini mempunyai penglihatan tajam segera dapat melihat seorang pemuda berpakaian putih yang ketika itu sedang merobohkan tiga orang tukang pukul tadi. Sambil mengerang nyaring seperti harimau saking murkanya komandan ini lalu menubruk dan golok besarnya dibabatkan ketubuh pemuda baju putih itu.
Tatkala mana Han Hayhauw baru saja merobohkan tiga orang tukang pukul lainnya yang agaknya mereka ini marah sekali melihat kematian tiga orang kawannya, sudah menghampiri dan menyerang dari kanan kiri. Hayhauw memiliki kewaspadaan serta pendengaran luar biasa tajamnya, maklum bahwa selain dua tukang pukul menyerang dari kedua sampingnya, juga ia maklum pula bahwa terdapat lagi seorang yang menyerarg dari arah belakang. Pemuda yang memiliki kecerdikan sejak kecil ini sudah menyediakan akal sempurna untuk menghadapi tiga serangan yang datangnya dalam waktu bersamaan ini, sambil berseru keras tiba-tiba tubuh anak muda ini mencelat ke udara dan karena ini, membuat ketiga penyerangnya tadi yang mempunyai arah sasaran yang sama jadi menyerang tempat kosong dan bahkan senjata mereka saling beradu dengan dahsyat sekali. Karuan saja Be Kunbu dan dua orang tukang pukul itu kaget bukan main, baiknya mereka cepat menarik senjata masing-masing dan kalau tidak, sangat mungkin tubuh mereka menjadi arah sasaran senjata kawan sendiri.
Ketika itu tubuh Hayhauw yang mumbul keudara sudah membikin gerakan jungkir balik (poksay) dan dengan kedua kaki diatas dan kepala dibawah, seiring tubuhnya meluncur turun, tongkatnya mengirim serangan kearah kepala ketiga orang itu secara sekaligus. Benar-benar serangan dari anak muda itu begitu cepat, dahsyat dan mematikan. Inilah serangan yang disebut gerak tipu Soan-hong sauw-siat atau Angin taufan menyapu salju. Ketiga orang yang diserangnya itu tatkala mana sebenarnya masih belum hilang dari rasa kaget mereka, dan kini mendadak terdengar suara keras seperti benda dipukul dan tahu-tahu seorang tukang pukul terjungkal dengan kepala pecah serta hampir bersamaan dengan itu, Be Kunbu menjerit ngeri, tubuhnya yang gemuk bulat terhuyung-huyung sebentar dan lalu jatuh tersungkur disertai suara berdebum keras. Ternyata kepala tukang pukul tadi telah pecah dihantam tongkat Hayhauw, Be Kunbu dapat menyelamatkan kepalanya karena komandan ini cepat berkelit akan tetapi justru karena kelitannya ini, ujung tongkat ditangan Hayhauw jadi menyodok pundaknya sehingga tulang pundak itu patah dan remuk.
Kedua tubuh yang baru saja roboh karena serangan Hayhauw itu lalu dijadikan rebutan kawanan penyerbu yang kini benar benar sudah pulih semangat mereka, tubuh tukang pukul yang sudah tidak bernyawa lagi karena kepalanya pecah kembali dihujani senjata dan gebukan oleh mereka. Demikian pula tubuh Be Kunbu yang gemuk itu di bak-bik-buk, secara gencar sehingga sikomandan yang sebenarnya hanya pingsan itu, akhirnya sampai ajalnya. Be Kunbu mati bukan saja dicacah dan digebuki oleh para penyerbu yang merasa dendam kepadanya, juga tubuh gendut yang kini sudah menjadi mayat itu menjadi basah dihujani ludah oleh para pembencinya.
Hanya tukang pukul seorang lagi saja dapat menyelamatkan diri dari serangan Hayhauw. Tukang pukul ini memang adalah menjadi komandan dari keempat orang tukang pukul yang sudah mampus tadi sehingga tentu saja kepandaiannya lebih tinggi dari pada kawan-kawannya. Akan tetapi betapapun tinggi kepandaian yang dimilikinya, ketika dilihat kehebatan pemuda baju putih itu yang telah membikin semua kawannya mampus, hati tukang pukul itu otomatis merasa jerih dan timbullah watak pengecutnya. Maka ketika dilihatnya tongkat sipemuda yang setelah menyodok pundak Be Kunbu tadi menyambar langsung kearah dadanya, ia sama sekali tak berani menggunakan senjatanya menangkis, melainkan cepat ia membuat gerakan Ouw liong coan siut (Naga hitam membalikkan tubuh), tubuhnya berjumpalitan kebelakang tiga kali jungkiran dan setelah itu ia berlari cepat memasuki kedalam gedung majikannya.
Ketika itu Han Hayhauw sudah berdiri pula diatas tanah dan melihat tukang pukul itu melarikan diri, ia segera membentak "Anjing tuan tanah! Kau hendak minggat kemanakah?" Tangan kirinya dengan jari-jari terbuka bergerak kearah punggung tukang pukul itu.
Sebenarnya tukang pukul itu sudah merasa lega hati dapat menjauhkan diri dari pemuda lihay itu dan melarikan diri mencari selamat akan tetapi sebelum ia sempat masuk kedalam gedung majikannya, dimana tiba-tiba ia merasakan punggungnya didorong oleh suatu tenaga amat dahsyat sehingga tubuhnya mental kedepan dan menumbuk dinding tembok gedung itu. Setelah mana tubuh orang ini lalu mental lagi kebelakang dan kemudian terguling dalam keadaan terlentang tak berkutik. Ternyata nyawanya telah melayang menyusul nyawa kawan-kawannya. Serempak tubuh ini menjadi sasaran kemarahan dari para penyerbu pula. Sementara kawan-kawan yang lainnya pula, setelah melihat tiada musuh yang masih hidup lalu menyerang masuk kedalam gedung sambil berteriak-teriak.
“Sisetan she Ceng tadi kulihat masuk kesini !”
“Cari sampai dapat !”
“Bunuh mampus saja manusia laknat penindas itu.” “Jangan dibunuh! Hukum picis saja ”
Demikian sambil berteriak-teriak hiruk pikuk mereka menyerbu dalam gedung itu. Setiap ruangan atau kamar digeledah. Lemari-lemari mereka robohkan, tempat tidur – tempat tidur mereka obrak abrik dan gulingkan untuk mencari tuan tanah itu. Dan setelah segala perabot rumah tangga yang serba indah dan mewah didalam gedung itu menjadi porak poranda, akhirnya Ceng Lobin dapat mereka temukan juga dari tempat prsembunyiannya yaitu sebuah kamar rahasia bawah tanah.
Sebelum tempat persembunyian Ceng Lobin mereka temukan mereka sudah sama menyangka bahwa sihartawan laknat itu sudah kabur, melalui pintu belakang dan beberapa orang sudah mengejarnya kesana. Akan tetapi ketika salah seorang menggentak gentakkan kakinya di atas lantai, dan lantai itu ternyata berbunyi menandakan bahwa dibawah kosong, ia menjadi curiga dan begitulah bersama kawan kawannya, dengan menggunakan linggis, cangkul, martil, dan lain-lainnya lagi lantai itu dibongkar dan kemudian ternyata dibawah situlah situan tanah didapatkan. Beberapa orang segera terjun kebawah dan menubruk tuan tanah itu. Bukan main rasa takut Ceng Lobin melihat kemarahan rakyat jelata ini cepat bertekuk lutut sambil meratap setengah menangis minta ampun, tubuhnya yang gendut menggigil bagaikan diserang demam mendadak.
Akan tetapi para penyerbu yang benar benar sudah merasa marah dan gemas itu sama sekali tak menggubris segala ratap tangis dari manusia yang sudah bertahun tahun mereka benci itu. Sebuah kemplangan dari sebatang alu mengetok kepala bundar itu dan situan tanah menjerit kesakitan. Lain lain serangan menyusul pula disertai sumpah serapah dan hujan ludah dari mereka.
“Seret dia keluar ...” Seseorang diantara mereka terdengar memberi komando dan demikianlah kaki tangan dan tubuh situan tanah yang sebesar kerbau kebiri direjeng oleh beberapa orang dan mereka tidak sempat berpikir lagi untuk mencari jalan keluar, melainkan mereka mencari jalan yang paling mudah saja, yaitu secara beramai-ramai tubuh Ceng Lobin mereka ayun ambingkan dan setelah berseru.
“Satu, dua, tiga ...!” maka tubuh situan tanah itu mereka lemparkan keatas dan persis melalui lobang lantai yang mereka bongkar tadi, tubuh itu mumbul keudara seperti sebuah balon besar ditiup angin. Ceng Lobin menjerit jerit seperti seekor babi disembelih dan suara jeritan ini segera berhenti tatkala tubuhnya terbanting diatas lantai dan suaranya berdebuk keras.
Beberapa orang yang tidak turut masuk kedalam lubang lantai tadi dan mereka sengaja menanti disitu segera merejengi kaki dan tangan situan tanah yang sudah diam tak berkutik lagi itu. Tubuh Ceng Lobin lalu mereka seret dibawa keluar sambil bersorak-sorak tanda bahwa hati mereka puas dan gembira. Dan ketika mereka sampai diluar gedung, untuk sejenak mereka jadi melupakan apa yang akan mereka lakukan terhadap tubuh tuan tanah sebagai pelampias kemarahan dan kegemasan hati mereka. Mereka berdiri terpaku sambil mata mereka terbelalak lebar karena apa yang mereka lihat benar-benar membuat mereka tercengang tak kepalang sehingga mereka jadi demikian terkesima.
Apakah yang mereka lihat di pekarangan gedung dimana tadi ia bertempur itu? Bagi penglihatan mereka hanya berupa dua bayangan putih dan hitam berkelebat kian kemari mengaburkan pandangan mata mereka, seakan-akan dua ekor naga putih dan hitam sedang bertarung hebat.
Apakah yang terjadi sebenarnya ditempat itu? Baiklah kita kembali melihat keadaan Han Hayhauw, yang telah merobohkan ketiga lawannya yang terakhir tadi, pemuda ini hendak ikut masuk bersama para penyerbu kedalam gedung situan tanah, ia akan mencari seorang manusia yang dianggap menjadi musuh besarnya, yaitu Ceng Kunhi yang selalu diingatnya, bermata juling, berwajah buruk seperti muka setan. Akan tetapi baru saja sepasang kakinya bergerak hendak segera memasuki gedung itu, tiba-tiba mendengar suara bentakan menggeladak dari arah belakangnya.
“Bedebah! Siapakah yang berani membuat kekacauan digedung ini ?!”
Han Hayhauw membatalkan maksudnya seraya cepat memutar tubuh dan ia dapatkan dihadapannya berdiri sambil bertolak pinggang seorang hwesio bertubuh tinggi kekar yang entah dari mana datangnya. Wajah hwesio itu nampak amat bengis dengan kumis dan jenggotnya yang hitam panjang seperti Kwan Kong atau seorang tokoh dalam cerita Sam Kok, sungguh berlawanan dengan kepalanya yang gundul klimis. Sikapnya amat garang dan matanya yang melotot menatap Hayhauw yang diam-diam menelitinya. Dipinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya dihiasi ukir- ukiran indah sekali dan yang sangat menarik perhatian anak muda ini, ialah bahwa hwesio itu mengenakan jubah warna hitam.
Hwesio yang belum dikenal oleh Hayhauw ini bukan lain ialah To Tek Hosiang yang pernah mewariskan ilmu pedangnya kepada Ceng Kunhi dikota Cintok. To Tek Hosiang adalah seorang hwesio keluaran dari Siauwlimpay dan oleh karena ia telah melakukan penyelewengan, maka oleh cabang- persilatan tersebut ia diusir dan bahkan tidak diakui pula sebagai anggota Siauwlimpay. Hwesio yang diusir ini lalu minggat setelah mencuri Im-yang-kiam, sebatang pedang yang menjadi barang pusaka Siauwlimpay pada masa itu dan dibawanya serta dijadikan genggaman dalam petualangannya dimana ia banyak melakukan kejahatan-kejahatan yang merugikan rakyat jelata, terutama menculik dan memperkosa gadis-gadis atau wanita-wanita muda selalu menjadi kegemarannya. Hal ini tentu saja menyebabkan sesepuh Siauwlimpay yang pada masa itu dipegang oleh Tianjin Hosiang menjadi sangat marah sekali dan segera menyuruh beberapa orang anak muridnya pergi mencari dan menghukum hwesio durjana itu, selain untuk membersihkan nama Siauwlimpay, juga untuk mengambil kembali pedang pusaka Im-yang-kiam. Tidak saja para hwesio murid dari Tianjin Hosiang pergi mencarinya, bahkan mereka ini minta bantuan para hwesio rekan-rekan mereka diberbagai tempat, akan tetapi oleh karena To Tek Hosiang selain berkepandaian tinggi juga sangat licin sehingga sangat sulit untuk ditangkap dan demikianlah sampai sebegitu lama Hwesio murtad ini selalu bebas melakukan perbuatan-perbuatan terkutuk.
Dan ketika To Tek Hosiang merantau kekota Cintok, ia telah berkenalan dengan seorang hartawan bernama Lo Binkong dan tentu saja dari perkenalan ini sihwesio buronan tidak sedikit mendapat keuntungan berupa uang sebagai keeratan persahabatan dari hartawan she Lo itu. Dan pada ketika itulah Ceng Kunhi yang sudah menjadi menantu Lo Binkong, berguru kepada To Tek Hosiang. Sungguhpun Ceng Kunhi berguru kepada hwesio ini hanya tak lebih setahun, tetapi berkat ilmu silat To Tek Hosiang yang tinggi, maka ia sudah dapat mewarisi ilmu pedang yang cukup dibuat andalan.
Setelah Lo Binkong pindah kekota Thaygoan dimana ia menjabat pangkat gubernur dan Ceng Kunhipun mengikutinya dan kemudian seperti sudah diceritakan dibagian depan, berkat bantuan mertuanya, putera tunggal dari tuan tanah Ceng Lobin yang menjadi “raja” didusun Ho leng cun itu telah menjadi panglima muda pasukan Garuda.
To Tek Hosiang sering pula berangasan kepada mereka sambil menambahkan pelajaran kepada Ceng Kunhi sehingga ilmu pedang yang dimiliki oleh panglima muda ini makin matang.
Kemudian sampailah kepada hal yang menyebabkan To Tek Hosiang pada hari itu datang didusun Holengcun. Bahwasanya Ceng Kunhi yang melihat keadaan akhir-akhir ini makin genting, pemberontakan timbul, diantara menentang pemerintah kerajaan Mongol berbareng para tuan tanahpun ikut terancam, putera yang mempunyai rasa bakti terhadap orang tuannya ini, merasa kuatir akan keselamatan ayahnya maka ia lalu minta pertolongan To Tek Hosiang untuk pergi kedusun Holengcun disertai pesan bahwa ayahnya itu sebaiknya pindah dengan segera kekota Thaygoan.
“Suhu perlukah aku menitah pasukan bala tentara untuk mengawasi suhu dalam perjalanan menjemput ayah ini?” tanya Ceng Kunhi minta pendapat gurunya.
To Tek Hosiang yang berwatak sombong menjadi kurang senang mendengar pertanyaan muridnya ini. Sambil mempelembungkan dada hwesio ini menjawab “Kunhi, apakah kau tidak percaya kepada kepandaian gurumu ini maka hanya untuk menjemput ayahmu saja mesti dikawani bala tentara segala?” Ceng Kunhi maklum akan watak gurunya dan betapapun juga ia memang sudah percaya akan kepandaian hwesio itu sehingga kepindahan ayahnya dari dusun kekota Thaygoan tidak perlu terlalu dikuwatirkan apalagi kalau ingat bahwa selain gurunya yang akan menjamin keselamatan ayahnya juga masih terdapat lima orang tukang pukul yang mengawalnya lima orang tukang pukul yang sudah maklum amat jagoan itu.
Begitulah To Tek Hosiang pergi seorang diri kedusun Holengcun dan tentu saja setelah ia menerima sejumlah uang untuk ongkos jalan dari muridnya itu. Dari kota Thaygoan kedusun Holengcun jauh juga dan kalau ditempuh dengan jalan kaki biasa harus memakan waktu kurang lebih sepuluh hari. Akan tetapi oleh karena To Tek Hosiang melakukan perjalanan secara tergesa-gesa dan tentu harus mengerahkan ilmu lari cepat yang sangat tinggi maka dalam empat hari saja ia sudah tiba ditempat tujuannya. Ia tidak terlalu sulit untuk mencari dusun, holengcun oleh karena semenjak Ceng Kunhi menjadi muridnya Hwesio ini sudah pernah mampir satu kali dan memperkenalkan diri sebagai guru dari sipanglima muda kepada tuan tanah Ceng Lobin. Tentu saja hasil dari perkenalan ini ia menerima hadiah yang memadati kantong jubah hitamnya.
Adapun ketika To Tek Hosiang tiba digedung tuan tanah Ceng Lobin bukan main kagetnya hati hwesio ini tatkala dilihatnya bahwa dipekarangan gedung itu banyak tubuh- tubuh menggeletak terkapar dan diantaranya ia lihat pula terdapat pula beberapa orang prajurit kerajaan. Sementara telinganya mendengar suara sorak-sorak gaduh dari dalam gedung yang pintu dan jedelanya sudah rusak berantakan itu. To Tek Hosiang segera dapat menarik kesimpulan bahwa gerombolan pemberontakan yang menyerbu gedung sahabatnya ini. Pada saat itu ia melihat seorang pemuda yang berpakaian serba putih hendak berlari memasuki gedung ia menduga bahwa pemuda itu pasti yang memimpin pemberontakan ini maka ia segera mengejar dan membentak seperti tadi.
Biarpun Han Hayhauw belum mengenalnya akan tetapi melihat sikap galak dan marah dari hwesio berjubah hitam itu ia segera dapat menduga bahwa orang ini pasti adalah seorang antek dari pemerintah penjajah maka tanpa memberi hormat pemuda gagah ini lalu memberikan jawaban yang wajar dengan suara tegas.
“Yang membikin kekacauan disini adalah rakyat jelata yang menuntut balas terhadap kejahatan situan tanah.”
Kedua mata To Tek Hosiang terputar tanda bahwa hatinya marah. “Dan kau adalah pemimpin dari gerombolan anjing- anjing pemberontak yang menimbulkan keributan ini”
“Aku bukan pemimpin! Akan tetapi aku selaku bangsa Han dan rakyat yang selama hidupnya ditindas oleh kaum bangsawan merasa wajib turut serta dalam pergerakan ini?”
“Jawabanmu sungguh gagah, anak muda” kata To Tek Hosiang sambil senyum mengejek. “Akan tetapi sadarkah engkau, bahwa kekacauan yang kau dan kawan kawanmu perbuat ini berarti suatu pelanggaran besar terhadap peraturan negara?”
Han Hayhauw mengeluarkan suara dari hidung balas mengejek. “Huhh! Peraturan negara penjajah? bah ... ! Peraturan gila, peraturan yang selalu mendatangkan kecelakaan bagi rakyat jelata. Peraturan yang mengeluarkan segala pajak gila yang mencekik leher rakyat, peraturan yang melindugi kedudukkan kaum bangsawan dan tuan tanah. Aku, atas nama kawan-kawanku dan segenap rakyat jelata memang menyadari bahwa gerakan aksi perjuangan ini adalah melanggar peraturan pemerintah penjajah, bahkan dengan jalan ini kami hendak menjebol peraturan lapuk dari pemerintah penjajah yang sudah berada diambang pintu keambrukan ini.” Kembali, To Tek Hosiang memperlihatkan senyum mengejek. “Aku puji kelancanganmu berpidato, anak muda tetapi dapatkah dibenarkan perbuatan mengacau, menggedor rumah orang seperti perbuatan perampok ini?”
“Betapa tidak! tentu saja dibenarkan karena perbuatan kami ini sesuai dengan irama perjuangan untuk mengusir penjajah laknat mengganyang kaum bangsawan dan mengikis habis semua srigala berkulit kambing yang menjadi antek- anteknya penjajah. Kamu boleh mengatakan perbuatan kami ini seperti perampok sebagaimana kamipun dapat mengatakan bahwa perbuatan sipenjajah berikut semua antek anteknya juga seperti perampok, bahkan lebih jahat dari perbuatan perampok.”
To Tek Hosiang yg hidupnya lebih banyak mendekati kaum bangsawan dan bahkan gubernur Lo Binkong sudah menjadi sahabatnya, muridnya sudah menjadi panglima muda "pasukan garuda" dan sudah menerima kebaikan hati tuan tanah Ceng Lobin, sedangkan betapa penderitaan rakyat jelata sama sekali tidak pernah ia pusingkan. Maka sudah barang tentu pendirian hwesio ini lebih banyak condong terhadap mereka dan bahkan ia merasa wajib membela mereka. Ketika mendengar betapa lancang dan blak-blakannya ucapan sianak muda dihadapaanya itu dadanya ia rasakan panas sekali sehingga ia segera membetak.
“Bangsat kecil ternyata kau adalah seorang pemberontak yang berbahaya terimalah hukuman!” tahu-tahu hwesio ini sudah mencabut pedangnya dan secara cepat sekali ia mengirim serangan kepada Hayhauw.
Hayhauw cukup waspada dan memang anak muda ini sudah bersiap siaga akan kemungkinan yang dihadapinya. Cepat ia menggerakkan tongkat ditangannya menangkis sehingga seketika itu terdengar suara nyaring dari beradunya kedua senjata itu dan akibat dari tangkisannya ini, pedang ditangan si hwesio mental kembali dan To Tek Hosiang meloncat mundur karena kaget. Telapak tangannya yang memegang gagang pedang terasa sakit dan pedas bahkan seluruh lengan kanannya ia rasakan tergetar dan kesemutan. Cepat ia memeriksa pedangnya dan ternyata tidak rusak, lalu pandangannya dialihkan kepada sianak muda yang tidak disangkanya memiliki tenaga sangat hebat itu.
“Sabar, jangan menggerakkan pedang dulu, hwesio setengah tua! Aku ingin bertanya, kau siapa dan mempunyai hak apa sehingga kau bertindak seakan-akan mau menjadi hakim sendiri?”
“Sudah tentu aku berhak menjadi hakim sendiri terhadap cecunguk pemberontak! Apalagi kau. To Tek Hosiang yang menjadi guru Ceng Kunhi, melihat kejahatan dan kawan- kawanmu perbuat terhadap ayah dari muridku ini, sudah seharusnya aku bertindak sebagai hakim!” Setelah berkata demikian, karena benar-benar sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi, To Tek Hosiang mengirim serangan pula dengan gerak cepat.
Han Hayhauw cepat berkelit dan sambil berkelit ini ia masih sempat berkata.
“To Tek Hosiang, kalau kau berbangsa Mongol tidak heran menentang pergerakan kami ini. Akan tetapi nyatanya kau bangsa Han yang menentang perjuangan bangsanya sendiri, kau adalah bangsa Han munafik! Dan justru manusia-manusia munafik macam kau inilah harus digilas oleh roda perjuangan! Bagus, kau datang sendiri mengantarkan nyawa.”
Bukan saja dada menjadi panas, bahkan saking marahnya mendengar makian anak muda itu To Tek Hosiang merasakan seluruh isi perutnya menjadi panas pula. Maka setelah serangan yang pertama tadi hanya menyambar angin karena anak muda itu berkelit, ia lalu melancarkan serangan susulan, ujung pedangnya ditunjukkan kedada Hayhauw. Dari beradunya pedang dengan tongkatnya tadi Han Hayhauw maklum bahwa hwesio ini memiliki tenaga Iwekang yang tak boleh dipandang ringan. Begitu pula sambaran pedang yang baru saja dikelitnya, yang mengeluarkan suara bersiut, membuat ia tambah maklum bahwa ilmu pedang si hwesio bukan ilmu pedang sembarangan. Dan kini melihat tusukan pedang kedadanya, ia cepat berkelit pula sambil melompat kekanan. Sikapnya sangat tenang dan anak muda ini cukup maklum dengan ketangguhan lawan sehingga mesti menghadapi dengan waspada dan hati-hati. Akan tetapi gerakan To Tek Hosiang benar-benar cepat, biarpun serangan yang ditujukan kearah dada lawan mudanya itu dapat dielakkan, namun pedangnya terus diputarkan sedemikian cepat dan tahu-tahu pedang itu mengirim serangan langsung kebawah dan hendak membabat sepasang kaki Hayhauw. Dan pemuda itupun tidak mau kalah aksi, ia memperlihatkan juga ketangkasan dan kecepatannya. Dengan satu gerakan ringan ia berhasil melompat keatas untuk menghindarkan sepasang kakinya dari babatan pedang dan sebelum kakinya turun kembali ia membarengi dengan sambaran tongkatnya yang disapukan kearah iga lawan dalam gerak tipu sinar kilat menyambar pagoda.
To Tek Hosiang juga cepat berkelit lalu menyerang lagi. Hwesio ini memiliki ilmu pedang dari cabang Siauwlim yang luar biasa sekali kuat dan ganasnya. Selama dalam petualangannya ia belum pernah dikalahkan orang dan setelah ia bertempur selama tiga puluh jurus dan selalu ia lancarkan serangan-serangan yang serba mematikan terhadap anak muda yang kini dihadapinya maka bukan kepalang herannya ketika ia melihat betapa pemuda ini dapat menghadapinya dengan baik bahkan dapat mengimbangi serangan- serangannya.
Pertempuran ini berjalan sangat cepat oleh karena keduanya sama mempergunakan ginkang sehingga gerakan mereka sama gesit dan cepat seperti kelincahan dua ekor naga bertempur. Dikala itulah orang-orang yang menyeret tubuh tuan tanah Ceng Lobin keluar dari dalam gedung dan mereka terpaku kesima menyaksikan hebatnya pertempuran ini.
Kalau hendak diukur kepandaiannya antara Han Hayhauw dan To Tek Hosiang memang sukar dipastikan maka yang lebih unggul oleh karena cabang persilatan mereka memang berlainan. Masing-masing mempunyai gerak tipu sediri dan memiliki keistimewaan masing-masing pula. Tentu saja Han Hayhauw yang baru turun gunung kalah pengalaman dan kalah latihan. Sebaliknya jelas nampak dari gerakan tubuh mereka bahwa anak muda itu masih menang, dalam hal ginkang sedangkan tenaga dalam mereka agaknya seimbang. Seru dan sangat menegangkan berlangsungnya pertempuran ini. Yang seorang adalah pemuda gagah perkasa yang berjuang melawan penjajah dan yang seorang lagi adalah penjilat penjajah sehingga biarpun mereka baru saja bertemu akan tetapi sudah terang terhadap lawannya sama menganggap musuh besar maka tak mengherankan kalau mereka ini bertempur mati-matian. Pada satu saat To Tek Hosiang tampak terdesak mundur dan pada lain saatnya pula kelihatan Han Hayhauw yang dirangket lawannya. Baiknya pekarangan gedung itu cukup luas sehingga mereka dapat bertempur dengan leluasa, meskipun tubuh-tubuh yang masih berkaparan sebagai kurban dari pertarungan tadi kadang- kadang mengganggu langkah-langkah kaki mereka. Bahkan pada suatu kali tubuh To Tek Hosiang jatuh terjungkal karena kakinya menyandung tubuh yang tergeletak dibawahnya dan saking kagetnya pedangnya terlepas dari tangannya akibat benturan tongkat Hayhauw. To Tek Hosiang cepat mempergunakan gerak tipu Lay-luta-cun atau Keledai malas bergulingan, tubuhnya bergulingan sedemikian rupa diatas tanah karena ia menyangka bahwa lawannya akan mengirim serangan selagi kedudukan dirinya amat sulit dan berbahaya. Akan tetapi nyatanya ia kecele sendiri. Hayhauw cukup gagah tidak mau mengirim serangan selagi lawannya dalam posisi sulit, sungguhpun peristiwa mana benar-benar merupakan kesempatan baik baginya. Hal ini disebabkan Hayhauw sangat mematuhi nasehat suhunya bahwa apabila kedudukan lawan dalam keadaan sulit dan lemah yang bukan disebabkan langsung oleh serangannya, tidak boleh diserang. Oleh karena demikian ucapan suhunya yang selalu diingatnya itu, menjatuhkan serangan maut terhadap lawan yang tak berdaya, adalah bukan perbuatan orang gagah. Itulah sebabnya ketika Hayhauw melihat betapa terjungkalnya tubuh To Tek Hosiang, bukan dikarenakan serangannya, justru karena tersandung, maka ia tidak mau menyerangnya.
“Ambillah kembali pedangmu, mari pertempuran kita lanjutkan!” katanya sambil berdiri dan tongkatnya dilintangkan didepan dada, memberi kesempatan kepada lawannya untuk bangun dari bergulingan dan mengambil pedangnya yang menggeletak itu.
Diam-diam To Tek Hosiang merasa kagum akan kegagahan anak muda lawannya itu, tetapi berbareng hatinya merasa penasaran sekali oleh karena dengan demikian ia merasa dipandang rendah oleh lawannya. Cepat ia memungut pedangnya dan begitulah selanjutnya, mereka meneruskan pertempuran yang seru dan mati-matian.
Setelah pertempuran itu berlangsung sampai seratus jurus, To Tek Hosiang mau tak mau harus mengakui keunggulan lawannya yang masih muda itu Hwesio ini sudah merasakan tenaganya makin lemah, tubuhnya sudah mandi keringat yang membasahi jubah hitamnya dan napasnya sudah ngos- ngosan. Sebaliknya Hayhauw masih segar bugar dan serangan-serangannya makin gencar dan rapat sungguhpun peluhnya sudah mulai keluar membasahi keningnya. Betapapun Hayhauw tak dapat mungkir bahwa inilah pertempuran terhebat yang pernah ia alami dan To Tek Hosiang adalah lawan terhebat baginya sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Biarpun sudah merasa bahwa makin lama makin lemah dan kewalahan menghadapi serangan-serangan lawan yang makin gencar, akan tetapi hal ini justru membuat sihwesio makin merasa penasaran. Sepanjang pengalamannya, belum pernah ia bertempur sampai melewati seratus jurus dan justru ia sendiri yang kewalahan. Ah, sungguh memalukan sekali kalau tak dapat mengalahkan sigembong gerombolan pemberontak yang masih ligat ini, pikirnya. Begitulah To Tek Hosiang memainkan pedang ditangan makin nekad sambil mengeluarkan jurus-jurus yang sangat lihay dan ketika sampai kepada jurus yang seratus tiga puluh, tatkala mana ia sudah merasa lelah sekali, ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang paling diandalkan, yaitu tingkat tertinggi dari Siauwlim- kiamhoat yang dipelajarinya. Sambil menggereng keras seperti harimau murka To Tek Hosiang melancarkan serangan yang benar-benar hebat dan mengerikan, dalam segebrakan pedangnya membuat empat macam gerak tipu sekaligus. Mula-mula pedangnya disabetkan kearah kaki dengan gerakan dari kanan kekiri dan menyusul dari kiri pedangnya menyambar dengan gerakan nyerong keatas pada detik berikutnya pedang itu disabetkan ke kiri secara mendatar dan paling akhir, setelah pedang itu ditarik kembali, tiba-tiba dengan cepat kilat, sambil majukan kakinya dan lompatan kedepan, pedang itu meluncur kedepan menusuk bagian ulu hati lawan.
Serangan yang luarbiasa hebat dan cepatnya ini ialah yang disebut gerak tipu Naga sakti - mengarungi - lautan. Kalau yang menghadapi serangan ini adalah seorang yang kurang tinggi tingkat ilmu silatnya dan tidak mempunyai ketabahan hati, sulitlah baginya untuk menyelamatkan diri, sedikitnya ia menjadi korban salah satu dari keempat jurus tendangan beruntun itu. Tiga macam serangan yang terdahulu sebenarnya hanya berupa tipu daya untuk mengacaukan perhatian lawan, sedangkan yang paling berbahaya adalah serangan yang terakhir, serangan yang dilakukan diluar dugaan lawan yang hanya menjaga tiga macam serangan duluan yang memang nampaknya lebih berbahaya.
Akan tetapi, biarpun pengalaman Han Hayhauw masih mentah, baiknya ia cukup matang dalam gemblengan sehingga selain ilmu tongkatnya amat tangguh untuk menghadapi serangan-serangan lawan, juga ia selalu berlagu hati-hati dan tidak mau memandang rendah terhadap setiap gerakan lawannya. Maka ketika ia melihat betapa serangan pedang To Tek Hosiang menyerampang kakinya ia berhasil memunahkannya dengan sedikit loncatan lalu ia mendoyongkan tubuhnya kesebelah kiri sehingga sabetan pedang yang menyerong keatas hanya berlalu seperti garis miring persis disisi tubuhnya yang didoyongkan. Kemudian tatkala pedang lawan itu datang pula hendak menebas lehernya, pedang itu hanya bersiut menyambar angin dan ujungnya persis lewat sejauh sejengkal didepan tenggorokan setelah ia membuat gerakan menjengkang kebelakang sambil kakinya mundur dua tindak. Disebabkan Hayhauw mundur dua tindak inilah maka To Tek Hosiang ketika mengirim tusukan pedangnya yang mematikan kearah ulu hati lawannya, ia mesti membarengi melompat dua langkah kedepan untuk mengejar. Akan tetapi ketika itu Hayhauw ternyata sudah menjaga dadanya dengan tongkatnya dalam gerak tipu Sianjin-yauw-san (Sang Dewa mengebatkan kipas). Tongkatnva yang dipegang secara tegak digoyang-goyangkan kekanan kiri sehingga benar-benar ia seperti mengipasi dirinya dengan tongkat itu dan pedang To Tek Hosiang jadi terpukul kesamping. Pada saat itulah pemuda ini melihat kesempatan baik dan tahu-tahu ujung tongkatnya menyodok dada To Tek Hosiang.
Bukan main kagetnya hwesio itu setelah mendapat kenyataan bahwa serangan-serangannya dapat dipunahkan oleh lawannya begitu mudah, padahal ia tadi sudah merasa pasti bahwa gerak tipu yang dikeluarkannya itu akan membikin lawannya roboh. Malah kini tahu-tahu tongkat anak muda itu menyodok dadanya sehingga ia merasa kaget dan gugup, meskipun ia sempat miringkan tubuhnya namun ujung tongkat itu masih saja membentur iganya. To Tek Hosiang mengerang menahan sakit dan tubuhnya sempoyongan kebelakang. Hayhauw cepat memburu dan hendak menghabiskan riwayat hwesio munafik itu, akan tetapi bukan main rasa kagetnya hati anak muda ini ketika tiba-tiba sekali dan diluar dugaannya hwesio itu membalikkan tubuh dan tangan kirinya bergerak dari mana menyambar senjata rahasia mengarah kepada dirinya. Hayhauw cepat menjatuhkan diri sehingga senjata rahasia yang disambitkan oleh hwesio secara curang itu berdesingan lewat diatas tubuh nya. Cepat ia bangkit kembali, saking gemasnya ia memaki.
“Hwesio keparat, kau curang !”
“Dalam pertempuran menghadapi musuh tiada hal yang dapat disebut adil atau curang. Yang terutama siapa yang merobohkan lawan dialah yang menang!” To Tek Hosiang membantah dan tangan kirinya setelah merogoh saku, tiba- tiba menyambitkan pula tiga batang piauw (senjata rahasia) kearah Hayhauw.
Kalau menurut peraturan dunia persilatan setiap membuka serangan terhadap lawan, apalagi menyambitkan senjata rahasia yang terhitung senjata gelap, harus memberi peringatan terlebih dulu agar supaya pihak lawan bersedia, inilah perbuatan jantan dari seorang gagah. Tidak seperti hwesio ini yang baik membuka serangan dengan pedangnya maupun menyambitkan senjata rahasia itu tanpa memberi peringatan apapun seakan-akan ia hendak menjatuhkan lawannya secara membokong, hal ini dianggap oleh orang- orang kangouw sebagai satu perbuatan curang dan pengecut, memanglah hwesio ini adalah seorang hwesio berakhlak bejat, sehingga kecurangan dan kelicikanlah yang paling diutamakan.
Tiga batang piauw yang dilepaskan secara licik oleh hwesio itu kini mengarah kepada tiga sasaran yang mematikan terhadap Hayhauw dan pemuda ini dapat mematahkan serangan itu dengan gaya dan sikap yang mengagumkan. Serangan yang diluar dugaan seperti tadi ia dapat memunahkannya dengan mudah, apalagi sekarang serangan itu terlihat oleh matanya. Sambaran piauw yang mengarah bagian tenggorokkannya ia tangkis dengan tongkatnya sehingga senjata rahasia itu terpukul menceng, juga piauw yang menyambar kearah selangkangannya telah dibikin terpental keudara oleh tendangan kakinya dan piauw yang ketiga, yang diarahkan kedadanya, setelah ia menggeserkan tubuhnya sedikit kesebelah kanan ia mengulur tangan kirinya dan piauw itu ditangkapnya. Dengan piauw ini segera ia sambitkan kembali terhadap pemiliknya dengan gerakan tangan kirinya seperti mendorong kedepan sambil berseru.
“Terimalah kembali senjata milikmu ini!” Hwesio itu tidak mau kalah aksi. Senjata piauw yang disambitkan kembali oleh lawannya itu ia terima dengan jepitan dua jari tangan kirinya sambil ketawa mengejek dan agaknya ia hendak menyambitkan kembali kepada lawannya, akan tetapi tiba tiba hwesio ini menjerit bersamaan dengan tubuhnya yang tinggi kekar itu terpental kebelakang seperti dilemparkan tenaga raksasa dan menghantam pagar. Bersamaan dengan gaduhnya suara pagar yang ambrol dan bobol itu tubuh hwesio secara dahsyat sekali terbanting diatas tanah dalam keadaan terlentang. Han Hayhauw cepat memburu dan ketika ia melihat dari dekat betapa dari lubang telinga, hidung dan mulut hwesio itu mengalirkan darah dan tubuhnya tidak berkutik menandakan bahwa lawannya tak bernyawa lagi, sambil menyusut keringat pemuda ini menarik napas lega. Ternyata To Tek Hosian telah salah sangka, tadi ia hanya mengira bahwa bergeraknya tangan kiri Hayhauw hanya untuk menyambitkan senjata piauw saja, tidak tahunya justru sambil bergerak menyambitkan piauw itu, sekaligus Hayhauw melancarkan pukulan Pha-ciok-seng-hun-ciang yang menghantam dada To TeK Hosiang sehingga tak ampun lagi tubuh hwesio itu terpental dan menabrak pagar dan seketika itu juga jiwanya melayang.
Sesungguhnya kalau Hayhauw menghendaki sejak tadi ia sudah dapat merobohkan lawannya dengan pukulan ampuh ini. Akan tetapi oleh karena ia tidak mau berlaku curang, maka ia hanya mengandalkan ilmu tongkatnya saja untuk menghadapi lawannya. Dan akhirnya, setelah ia mendapat kenyataan betapa curang dan licik adanya perbuatan hwesio itu, maka sebagai balasan ia secara terpaksa sekali melancarkan ilmu pukulan simpanannya itu.
Terdengarlah suara sorak-sorak gembira dan puas melihat kemenangan anak muda ini dan Hayhauw seakan-akan baru sadar bahwa ia barusan bertempur mati-matian justru adalah untuk membela dan membantu kawanan penyerbu yang kini bersorak itu.
Sambil mengebut-ngebutkan debu yang mengotori baju putihnya, pemuda ini lalu berjalan menghampiri mereka dan mereka yang dihampiri itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dihadapannva sambil memberi hormat.
“Inkong! Kami yang rendah banyak menghaturkan banyak terimakasih atas pertolongan Inkong karena kalau tidak ada Inkong yang mulia sudah pasti sekarang kami sudah menjadi setan-setan penasaran!” Terdengarlah perkataan salah seorang dari mereka. Orang ini sudah tua dan berlutut paling dekat didepan Han Hayhauw.
Han Hayhauw cepat membangunkan orang tua itu sambil berkata “Paman, Berdirilah! Jangan banyak peradatan terhadapku dan jangan menyebutku Inkong (tuan penolong) segala macam.”
Orang itu berdiri setengah membungkuk dihadapan Hayhauw dan matanya bersinar-sinar ketika menatap penolongnya. Ketika itu Hayhauw melihat orang-orang dibelakang orang tua itu masih tetap berlutut sehingga anak muda yang tak dapat menerima penghormatan demikian besar dari mereka ini cepat berkata.
“Saudara-saudaraku, kuminta kalian berdiri. Aku bukan dewa maka tak perlu kalian bersikap seperti itu.”
Seiring dengan berdirinya mereka berangsur-angsur orang tua tadi dengan sikapnya tetap menghormat, terdengar berkata.
“Inkong, betapa kami takkan menganggap Inkong sebagai dewa, karena sesungguhnya Inkong adalah dewa penolong kami ...”
“Paman, sekali lagi kuminta kau jangan menyebut Inkong!” Hayhauw cepat menukas. “Sebut saja namaku Han Hayhauw dan anggaplah bahwa aku ini anak atau keponakanmu dan juga sebagai saudara atau kawan bagi semua saudara- saudara yang hadir disini, oleh karena sebenarnya aku sendiri justru adalah anak disini juga.”
Mendengar pernyataan ini semua sama tercengang heran. Terutama orang tua tadi, memandang dan menyidik-nyidik wajah Hayhauw sambil menyerong-nyerongkan mata tuanya yang sudah kurang awas itu. Dan kerena terbata-bata tatkala menegasi.
“Inkong ... Inkong ... oh, kau ... ini bernama Han Hayhauw? Bukankah kau putra dari Han ...” ia lalu memandang kelangit sambil keningnya yang sudah keriput dikerut-kerutkan. Agaknya orang tua ini berpikir keras untuk mengingat-ingat akan nama dari keluarga Han yang sudah dilupakan. “Ayahku adalah Han Cubeng yang sudah meninggal delapan tahun yang lalu, mungkin paman mengenalnya,” Hayhauw menerangkan.
Tiba tiba orang tua itu menubruk dan memeluk Hayhauw sambil berkata dengan suara yang dipenuhi keharuan hati.
“Oh, Thian Yang Maha Kuasa ... ! jadi ... jadi kau ini putra mendiang Han Cubeng ... ?! Kau ... kau sianak yang telah menghilang ... ?”
Mata orang tua itu tampak berlinang-linang dan suaranya melebihi kegembiraan suara Hayhauw tatkala ia memberi penjelasan.
“Aku situa bangka ini adalah Ong Tiam dan sebenarnya ... kalau tidak ada kesialan yang menggagalkan, aku dengan orang tuamu adalah pernah cinkhe (besan) ...”
Luka dihati Han Hayhauw yang belum sembuh seakan-akan mengeluarkan darah lagi tatkala mendengar ucapan orang tua itu. Seketika itu terbayanglah diruang matanya betapa ayahnya dipukul dan ditendang oleh Ceng Kunhi sehingga ayahnya mati. Dan ia masih ingat benar bahwa ketika kehilangan cicinya, banyak orang membantu mencarinya dan ketika mayat cicinya dibawa oleh mereka itu, salah seorang diantara mereka ialah orang tua yang kini memeluknya ini yaitu orang tua, ayah dari calon cihunya Ong Huli.
“Maafkanlah aku paman, kalau sejak tadi aku berlaku kurang hormat terhadap paman,” ujar Hayhauw dan serta merta anak muda ini berlutut dihadapan orang tua bekas calon mertua cicinya itu. Kini orang tua ayah dari Ong Huli itulah yang menjadi kerepotan membangunkan anak muda ini sementara kawan-kawan dari orang tua she Ong yang patriotik itu tatkala mana sudah datang! dan merubungi Hayhauw dan mereka ternyata adalah teman-teman Hayhauw bermain sama-sama masih kecil. “Hayhauw, sungguh kami sama sekali tak menyangka bahwa kami akan dapat bertemu kembali denganmu pada hari ini dan ternyata sekarang kau begini gagah perkasa, benar benar kami sangat bersyukur. Hauw, kata orang tua itu dengan suara lirih yang selanjutnya bertanya tentang kemana menghilangnya. Hayhauw menceritakan bahwa ia beruntung sekali telah diangkat murid oleh Tiong Sin Tojin dan anak muda ini selanjutnya menyatakan apa yang menjadi tekad hatinya datang kekampung halamannya “Aku hendak membuat perhitungan terhadap sikeparat Ceng Kunhi. Adakah paman dan kalian, tadi dapat membekuk batang leher sisetan juling itu?” tanyanya kemudian matanya yang bersinar tajam ditatapkan terhadap mereka yang merubunginya seakan-akan minta kepastian.
Ong Tiam menghela napas tatkala memberi keterangannya. “Sayang dia telah pindah.”
“Pindah kemana ... ?” tukas Hayhauw tak sabar karena saking kecewa hatinya mendengar bahwa musuh besarnya telah pindah.
Ong Tiam menelan liur tatkala melanjutkan bicaranya yang terputus itu. “Sejak dia pindah kekota Cintok dia tinggal bersama mertuanya Lo Binkong. Kemudian kudengar kabar bahwa Lo binkong menjadi congtok atau gubernur dikota Thaygoan dan Ceng Kunhi menjadi panglima muda dalam pasukan garuda dan bertugas dikota tersebut juga ...”
“Keparat, jahanam ... !” geram hati Hayhauw tak terkatakan. Giginya berkeratukan kedua tangannya dikepalkan dan matanya seperti mengeluarkan sinar api tatkala dilirikkan, kearah dimana mayat To Tek Hosiang terkapar. Sebelum bertempur tadi ia mendengar pengakuan dari pendeta munafik itu bahwa Ceng Kunhi menjadi muridnya. Kalau ternyata dia kabur ... aku mesti cepat pergi ke Taygoan pada saat ini juga.
“Nanti dulu Hayhauw, kuminta kau jangan begitu tergesa- gesa.” Ong Tiam berkata dengan suara sabar. “Betapapun juga kami masih perlu bantuan darimu. Bagaimanakah pendapat dan saranmu mengenai manusia kejam yang telah kami bekuk itu dan harta yang ditinggalkannya?”
Han Hayhauw tak segera menjawab kini, ia berpaling dan menatap kearah ambang pintu gedung dengan sorot mata penuh kebencian, dimana terdapat tubuh Ceng Lobin menggeletak seperti kerbau mati. Hatinya yang dipenuhi rasa dendam membuat ia seakan-akan tak sadar akan apa yang diucapkannya.
“Pendapatku mengenai perjuangan kalian ini sangat kusetujui dan aku benarkan. Tentang manusia laknat she Ceng itu, kalau belum mati harus dibikin mati dan tentang harta haram peninggalannya bakar saja sekalian berikut rumahnya.”
Terdengarlah teriak-teriakan sambutan dari kawan kawan Ong Tiam.
“Yah, benar! Bakar saja harta haram berikut gedungnya sebagai pembalasan kita !”
“Mayat situan tanah itu hanyutkan saja ke sungai ”
“Juga mayat sihwesio munafik pembela penjajah dan kaum bangsawan itu !”
“Juga bangkai para antek anteknya yang biadap mereka melebihi iblis kita jadikan saja umpan buaya disungai !”
“Jangan! Bangkai-bangkai mereka semua jangan dilempar kesungai lebih baik dibakar saja sekalian dengan rumahnya
...”
Begitu hiruk pikuk teriakan teriakan mereka yang mencerminkan betapa besarnya rasa marah dan dendam dihati mereka dan ucapan luapan mereka itu agaknya benar- benar akan dilaksanakan demi kepuasan hati mereka kalau saja mereka tidak mendapat saran dari Hayhauw lebih lanjut. “Saudara saudaraku, aku maklum betapa kegemasan kalian terhadap mereka yang menjadi musuh kita paling dekat ini. Akan tetapi hendaknya kita sadar bahwa kita jangan ingkar dan sifat-sifat perikemanusiaan adalah sifat-sifat dari mereka selagi hidup untuk mana kita telah menjatuhkan hukuman yang setimpal terhadap mereka yaitu membunuhi mereka sebagai penghenti perkembangan-perkembangan sifat buruk hidup mereka, hukuman yang kita jatuhkan ini sudah lebih daripada cukup. Adapun tubuh-tubuh mereka hanya merupakan jasat kasar yang tak berdosa sehingga tak layaklah kalau kita melampiaskan rasa benci, marah dan dendam kita terhadap jasad-jasad itu. Kembalikanlah jasad-jasad itu kepada asalnya, asal tanah harus kembalikan kepada tanah.”
Semua orang yang mendengar kata-kata anak muda itu pada melongo, mereka seperti sekelompok anak murid yang menerima pelajaran dari guru ahli filsafat. Pada hal Han Hayhauw mengucapkan perkataan itu tak lebih hanya meniru ujar-ujar gurunya ketika memberikan gemblengan batin.
“Benar-benar kau adalah seorang muda yg selain gagah perkasa juga bijaksana dan mulia Hayhauw” Ong Tiam memuji dengan sejujurnya
Han Hayhauw cepat mengelakkan pujian ini sambil berkata. “Maaf tak dapat lama-lama aku beserta kalian. Aku hendak segera pergi ke Taygoan. Selamat berjuang dan semoga perjuangan kita rakyat jembel yang selama hidupnya selalu tertindas ini mencapai sukses besar.”
“Hayhauw, tidak dapatkah kau menunda kepergianmu barang sehari dua hari?” Ong Tiam cepat menjelak tatkala melihat pemuda itu sudah mulai melangkahkan kakinya.
“Terimakasih paman biarlah kelak kalau perjuangan kita sudah selesai dan bila hajat masih dikandung badan aku pasti kembali kekampung halamanku ini jawab Hayhauw” dan baru kinilah mereka lihat anak muda itu tersenyum. Hayhauw memberi hormat terhadap mereka terutama kepada Ong Tiam dan mereka ini walaupun dengan perasaan berat terpaksa melepaskan kepergian pahlawan mereka sambil balas menghormat pula. Lalu Hayhauw membalikkan tubuh, akan pergi pemuda ini tiba-tiba membalik pula menghadap kepada mereka dan bertanya kepada Ong Tiam.
“Paman, hampir aku lupa bertanya, bagaimana khabar dengan Ong Huli koko yang dahulu ditarik kerjapaksa itu ?” Ternyata pemuda ini masih ingat akan nasib calon suami cicinya.
Orangtua itu seperti diingatkan lagi kepada puteranya, sehingga ia menghela napas dalam sambil menggelengkan kepala dan katanya lemah “Seperti juga yang lain-lain, dia hanya sering datang dalam impianku ...”
“'Baiklah paman, aku sekalian hendak membuat perhitungan bagi sakit hatimu dan juga bagi kalian yang pernah dibikin sakit hati oleh sisetan bermata juling itu!”
Dan semua orang jadi melongo karena mereka tak sempat melihat bagaimana anak muda itu pergi. Yang tampak oleh mereka hanya berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu anak muda itu sudah menghilang dari penglihatan mereka.
Sepeninggalnya Hayhauw, mereka ini lalu sibuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka maupun yang sudah tewas, demikian juga kurban-kurban dari lawan sesuai dengan pesan Hayhauw, mereka urus sebagaimana mestinya dan ketika mereka mengusung mayat To Tek Hosiang, Ong Tiam mengambil pedang bekas senjata hwesio itu dan ia merasa tertarik akan kebagusan dan ketajaman pedang tersebut
“Pedang bagus, pedang bagus”, kata Ong Tiam sambil memperhatikan pedang yang dibolak-balikkan ditangannya, sementara kawan-kawannyapun merubung dan mengaguminya. “Sayang pedang sebagus ini tiada berguna bagi kita lantaran kita tak dapat mempergunakannya. Kalau saja pedang ini menjadi senjata Hayhauw, tentu akan cocok. Sayang sekali dia tidak membawanya.”
“Kalau begitu baiklah pedang itu serahkan saja kepadaku, paman!”
Kata-kata ini membuat semua orang menoleh kepada orang yang mengucapkannya dan sekali lagi mereka melongo karena tahu Hayhauw yang tadi sudah pergi secara gaib, kini telah berada disitu lagi secara gaib pula.
Ong Tiam yang sudah maklum akan keluarbiasaan anak muda itu lalu mengangsurkan pedang itu berikut sarungnya kepada Hayhauw sambil berkata.
“Bagus, kau telah kembali lagi. Nah, bawalah pedang ini”.
Hayhauw yang memang kembali lagi sengaja hendak membawa pedang bekas senjata To Tek Hosiang yang sudah diketahuinya adalah sebilah pedang pusaka terbukti bahwa pedang itu tidak rusak sedikitpun setelah berkali-kali dibentur oleh tongkatnya tadi. Ia telah lupa untuk membawanya dan sekarang ia sengaja datang lagi untuk mengambilnya, maka segera diterimanya pedang itu diangsurkan kepadanya segera diterimanya dengan sikap hormat sambil mengucapkan terimakasih.
“Mudah-mudahan pedang ini setelah berada ditanganku akan mendatangkan manfaat”.
“Pedang yang bagus berada ditangan seorang yang pandai tentu akan mendatangkan manfaat ...” Ong Tiam menggarami dan orang tua ini seperti berkata kepada diri sendiri karena sebelum ucapannya habis, Hayhauw ternyata sudah menghilang pula.
“Hebat ...” terdengar seorang diantara mereka berseru memuji kehebatan Hayhauw itu.
“Dia tentu telah menjadi pendekar sakti!” “Lebih tepat ia dinamakan pendekar gaib, karena datang dan perginya dia sangat gaib ... !”
“Semoga Thian Yang Maha Kuasa akan selalu melindungi dia dalam perjuangannya!” kata-kata yang berupa doa-restu ini keluar dari mulut Ong Tiam.
ooooooooOdwOoooooooo
Pedang Im-yang-kiam disarung dipinggang dan tongkatnya tetap dipegang dalam tangan kanannya erat-erat, Han Hayhauw berlari cepat meninggalkan dusun Ho-leng-cun, hati anak muda ini merasa bangga karena sedikitnya ia telah membantu perjuangan teman-teman sekampung halamannya. Dan Hayhauw tentu akan merasa lebih bangga lagi kalau saja ia mengetahui bahwa ia telah memberikan bantuan besar terhadap Siauwlimpay dengan dibunuhnya To Tek Hosiang yang kini pedangnya dibawanya itu.
Hayhauw ingin cepat-cepat sampai dikota Thaygoan untuk mencari Ceng Kunhi yang sudah didengarnya bahwa musuh besarnya itu yang sekarang telah menjadi panglima muda dalam pasukan penjajah.
“Keparat! Waktu dulu saja setan juling itu sudah begitu ugal-ugalan, apalagi sekarang setelah menjadi tentara dan berpangkat tinggi pula, tentu sepak terjangnya terhadap rakyat jelata akan lebih biadap ... !” demikian Hayhauw mengutuk didalam hatinya yang dipenuhi rasa kecemasan tak terhingga membuat sepasang kakinya berlari semakin cepat menuju kekota Thaygoan.
Berkat gemblengan Tiong Sin Tojin yang luar biasa membuat Hayhauw memiliki kekuatan seperti kuda, ia dapat terus berlari cepat dua hari dua malam tanpa pernah berhenti sehingga kini ia sudah menempuh perjalanan lebih dari separuhnya. Akan tetapi betapapun kekuatan yang dimiliki Hayhauw, setelah berlari secara “non stop” selama dua hari dua malam akhirnya pada hari yang ketiga ia merasakan tubuhnya sangat lelah dan perutnya terasa lapar sehingga ia mesti berhenti untuk mengaso dan mencari makanan untuk mengisi perutnya.
Begitulah ketika ia memasuki sebuah hutan, setelah ia duduk sebentar diatas pohon tua yang sudah roboh, anak muda ini lalu mencari buah buahan dihutan ini untuk pengisi perutnya. Hayhauw sejak kecil sudah terlalu biasa menahan perut lapar dan bahkan selama tinggal di Ngotaysan oleh gurunya ia dilatih supaya tidak terlalu memanjakan perutnya, maka setelah ia makan beberapa butir buah-buahan sudah cukup membuat kesegaran tubuhnya pulih kembali dan perutnya dapat ditahan takkan minta diisi selama dua hari.
Setelah perutnya kenyang oleh buah-buahan yang dimakannya, ia duduk pula dibatang pohon tadi, ia memberi kesempatan kepada alat pencernakan didalam perutnya untuk menggiling lumatkan makanan yang barusan ditelannya. Hal ini Hayhauw mentaati perintah dari suhunya bahwa apabila sehabis perut diisi, situbuh tak boleh melakukan pergerakan berat dan sebaiknya duduk beristirahat sebentar agar alat pencernakan dapat bekerja dengan sempurna dan kalau alat pencernakan tak dapat bekerja secara sempurna disebabkan karena pergerakan tubuh terlalu banyak memakan tenaga, maka akan menimbulkan rasa sakit perut. Inilah sebabnya Hayhauw tak cepat berlari lagi melanjutkan perjalanannya dengan segera, melainkan ia duduk dibatang pohon yang sudah tumbang itu sambil memperhatikan kebagusan pedang dan sarung senjata bekas gegaman hwesio yang dibolak balikkan oleh kedua tangannya. Sarung pedang itu terbuat dari kayu tua berwarna hitam dan ukirannya berbentuk seekor naga dengan mulutnya yang terbuka lebar merupakan mulut dan sarung pedang itu. Ukir-ukirannya indah dan halus tanda bahwa sipembuatnva adalah seorang ahli. Adapun pedangnya terbuat dari pada baja murni dan bersinar kehijau-kehijauan serta mengeluarkan hawa dingin menandakan bahwa senjata ini adalah pedang mustika yang sangat ampuh. Gagangnya terbuat dari bahan yang sejenis dengan sarungnya dan terukir indah berbentuk kepala naga. Dibawah gagang ini, yaitu dipermukaan batang hulu pedang terdapat ukiran berupa tiga huruf dan karena Hayhauw mendapat sedikit pelajaran pula dari suhunya dalam hal tulis dan baca sungguhpun secara terbatas namun cukup membuat anakmuda ini tidak terlalu buta huruf, maka ia dapat membacanya tiga huruf itu yang berbunyi Im-yang-kian.
Adapun yang membuat Hayhauw merasa tertarik akan pedang ini sehingga setelah ia pergi dan segera kembali kedusun Ho-leng-cun untuk mengambilnya, bukan saja ia sudah maklum bahwa pedang ini bukan sembarang pedang akan tetapi ia ingin mempelajari ilmu tongkat dengan mempergunakan pedang yang bagus itu dan memanglah ilmu tongkat dan ilmu pedang dalam semua pergerakkannya banyak persamaan.
Hayhauw lalu bangkit dari batang pohon yang didudukinya dan berdiri tegak sambil pedang itu dipegang dalam tangan kanannya. Tangan yang biasa menggenggam tongkat besi yang berat kini Hayhauw merasakan pedang itu terlampau ringan baginya. Ketika itu ia hendak mulai mempelajari ilmu tongkat dengan mempergunakan pedang itu sebagai pengganti tongkatnya dan kelak kalau ternyata pedang lebih cocok dan lebih praktis, untuk selanjutnya ia akan mengganti senjata tongkatnya dangan pedang itu.
Akan tetapi tiba-tiba Hayhauw seperti mendapat bisikan dari hati kecilnya yang menyebabkan ia batal untuk belajar silat dengan pedang yang sudah betada ditangannya itu dan maksud akan mengganti tongkat dengan pedang seperti yang barusan ia inginkan, segera dibuangnya jauh-jauh. Bisikan dari hatinya tadi membuat Hayhauw sadar bahwa kalau ia mengganti tongkat dengan pedang, sama halnya ia mendurhakai gurunya. Bukankah gurunya mewariskan kepandaian kepadanya berupa ilmu tongkat dan bukan ilmu pedang. Bahkan senjata tongkat gurunya itu diberikan pula kepadanya, sehingga tongkat tersebut biarpun hanya berupa besi tua akan tetapi baginya sama artinya dengan senjata pusaka. Sedangkan pedang itu, biarpun bagus dan jelas adalah senjata mestika, akan tetapi diperolehnya berasal dari seoreng hwesio munafik penjilat penjajah, maka siapa tahu kalau pedang itu mempunyai riwayat hitam?
Itulah sebabnya maka Hayhauw segera membatalkan maksud yang hampir saja membuat ia seakan-akan menghianati gurunya. Lalu pedang itu dimasukkan kembali kedalam sarungnya dan disoren kedalam sarungnya dan segera disoren dipinggangnya. Setelah ia mengambil dan menggenggam kembali tongkat pemberian gurunya, ia berjalan perlahan untuk segera mulai neneruskan perjalanannya pula. Tangan kirinya secara tak disengaja menggenggam gagang pedangnya, ia tak tahu apa gunanya membawa pedang itu kini, tetapi kalau pedang yang sebagus ini dibuang begitu saja. terang ia merasa amat sayang.
Hutan yang dilaluinya itu amat sunyi dan teduh Han Hayhauw berjalan perlahan sambil kepalanya ditundukkan, otaknya tak luput dari memikirkan akan kegunaan apakah dengan pedang yang dibawanya itu, ia menyesal, mengapa ia telah sengaja membawa pedang yang kini tak lain hanya tambah merepotkannya ini. Mungkin karena otaknya terlalu memikirkan pedang itu, tiba-tiba saja anak muda ini jadi teringat kepada seorang yang bersenjata pedang yang pernah dijumpainya pada malam gelap didusun Bok-li-cun beberapa hari yang lalu, orang yang bersenjata pedang yang selalu mendebarkan dada bila diingatnya kembali dan membuat ia selalu bertanya-tanya didalam hati, siapakah gadis gagah dan cantik yang sudah menggait jantungnya ... ? Kini ia kembali teringat pula kepada dara itu, ah, kalau saja pedang yang sebagus ini diberikan kepadanya, tentu ia akan lebih gagah, lebih cantik dan aku ... lebih cinta kepadanya. “Ah, barangkali aku sudah menjadi gila!” Hayhauw memaki kepada diri sendiri sambil tangan kirinya dipukulkan kekeningnya dan ia lalu mempercepat tindakan kakinya. Akan tetapi makin celaka, makin cepat ia berjalan tambah jelaslah bayangan gadis itu seolah-olah menghadang didepan matanya. Bahkan kini perasaannya seolah-olah ia melihat wajah gadis itu muncul dimana-mana, ditempat-tempat yang dilaluinya. Wajah yang jelita dan gagah itu terbayang disela- sela daun-daun yang hijau dan diantara kembang merah indah.
“Celaka! Benar-benar aku sudah mabuk kepayang!” Sekali lagi Hayhauw memaki dirinya dan untuk melepaskan diri dari bayangan yang selalu menggoda hatinya dan yang seolah-olah menghadang didepannya itu, ia segera berlari cepat seperti terbang. Dan ketika ia sudah diluar dari hutan itu dan berada disebuah jalanan kecil, ia menghentikan larinya ketika didepannya dihadang, bukan oleh bayangan gadis yang sudah membuatnya mabuk kepayang, tapi kini benar-benar dihadang oleh tiga orang hwesio yang mengenakan jubah serba putih dan senjata yang kelihatan tersembul dibelakang punggung mereka sama pula. Yaitu senjata pedang. Hanya umur mereka yang berlainan, yang seorang setengah tua, yang kedua sedikit lebih muda dan yang ketiga masih sangat muda kira- kira hampir sepantar dengan Han Hayhauw.
“Sahabat yang didepan, kalau kau ingin melanjutkan perjalananmu dengan selamat, serahkan pedang yang tergantung dipinggangmu kepada kami!” Hwesio yang paling muda itu mengeluarkan ancaman sambil maju kedepan mendekati Hayhauw.
Han Hayhauw mengerutkan kening tanda bahwa hati anak muda ini merasa kurang senang mendengar perkataan dan sikap hwesio muda yang dianggapnya kurang sopan itu. “Hwesio muda, ada sangkut paut apakah antara aku denganmu maka begitu bertemu seakan-akan kau mengajak berkelahi?!” ia membalas dengan nada ketus.
-o0odwookzo0o-