Pusaka Tongkat Sakti Jilid 2

Jilid 02

Meskipun tanpa menoleh sehingga seakan-akan bagian belakang tubuhnya bermata serta membiarkan tongkatnya ditangkap lawan malah sengaja malah sengaja tongkat itu dilepaskan dari pegangannya, akan tetapi bersamaan dengan itu ia merendahkan sedikit tubuhnya sambil melangkah setindak kebelakang dan karena perubahan ini maka tangan kiri panglima itu yang semula hendak mencengkram pundak kirinya jadi nyelonong melalui sisi lehernya dan demikian pula tangan kanan sipanglima yang merampas tongkatnya tadi kini berada diatas pundak kanannya. Kulangcha terkejut melihat perubahan ini namun ia tak kurang akal dan segera lengan tangannya ditekankan kebawah dan harus diketahui bahwa tekanan ini disertai pengerahan Iwekang yang tinggi sehingga kalau mencapai pada sasarannya maka tulang dari kedua belah pundak anak muda itu pasti akan patah-patah. Akan tetapi panglima ini ternyata kalah cepat, karena sebelum pundak anak muda itu sampai ditindihnya, Han Hayhauw mengangkat sepasang tangannya dan dengan jari-jari telunjuknya ia membuat kedua tangan lawan yang hendak membahayakan pundak kanan kirinya. Secara jitu sekali jari- jari telunjuk yang seudah terlatih sempurna sehingga menjadi kaku dan keras seperti baja itu dapt menyentuh urat nadi dipergelangan kedua tangan Kulangcha, maka seketika itu juga panglima itu menjerit kesakitan karena urat nadi di pergelangan tangan kanan kirinya telah kena ditotok secara berbareng, yang mengakibatkan sepasang lengannya mendadak menjadi lumpuh sehingga tongkat yang ditangkapnya tadi jadi terlepas cekalannya dan kini sudah berpindah ketangan pemiliknya semula! Gerakan yang dilakukan Han Hayhauw itu ialah yang disebut gerak tipu Khi- si-ang-hok-sauw-thian atau Mengangkat-sepasang-obor- membakar-langit!

Meskipun sepasang lengannya sudah lumpuh sehingga tak berdaya untuk digerakkan, tetapi Kulangcha dalam kemarahannya jadi berlaku nekat secepat kilat ia mengayunkan kakinya dan ditendangkan kearah pinggul anak muda itu. Namun anak muda itu pada saat mana justru sudah maju pula selangkah kedepan sehingga tendangan Kulangcha yang menggeledek itu jadi menghantam angin! Dan nyaris saja panglima ini jatuh tersungkur karena tidak dapat mengatur perseimbangan tubuh disebabkan sepasang lengannya lumpuh. Inilah sebabnya Han Hayhauw yang melihatnya merasa geli hati sehingga ia mentertawainya.

Kalau saja anak muda itu menghendaki selagi Kulangcha dalam keadaan seperti itu, pasti panglima itu dengan mudah dapat dirobohkannya. Akan tetapi ternyata Han Hayhauw tidak bermaksud orang celaka sungguhpun sudah terang lawannya itu hendak mencelakakan dirinya buktinya ia hanya berdiri diam! Melihat dan ketawa.

Sebaliknya Kulangcha diam-diam menyalurkan tenaga dalam sepasang lengannya, mukanya yang pucat menahan rasa sakit dan linu disepasang lengannya, segera berubah warna menjadi merah sangking marah dan malu. Marah terhadap anak muda itu yang tak pernah disangkanya demikian lihai sehingga membuat hatinya merasa sakit dan panas, malu karena peristiwa yang dapat menjatuhkan nama agungnya ini justru disaksikan oleh anak buahnya! Betapa tidak! Ia, Kulangcha terkenal selaku panglima tinggi dalam pasukan garuda dan tingkat kepandainnya paling unggul di Thay goan sehingga ia menjadi Thasu (guru besar) akan tetapi menangkap anak muda berpakaian pengemis macam itu ia tidak becus. Benar-benar memalukan.

Han Hayhauw menertawainya sebentar, pada detik berikutnya anak muda ini lalu membalikkan tubuh dan agaknya hendak meneruskan maksudnya pergi dari situ. Ia melangkah tenang, sementara perwira yang lima orang itu hanya melihat saja dengan muka seperti kelima dan sama sekali tidak berani bergerak untuk coba menghalangi seperti tadi, ternyata anak muda ini membuat hati mereka gentar dan jerih! Hanya para prajurit, yang begitu banyak itu yang sejak tadi mengurung menyerupai benteng tebal, terdengar berteriak-teriak gaduh dan kegaduhan mereka ini sukar ditafsir, entah mereka marah terhadap pemuda itu, entah mereka kecewa melihat pemimpin-pemimpin mereka sudah mati kutu!

Tiba-tiba suara gaduh dari para serdadu itu menjadi kenyap ketika terdengar suara bentakan seperti suara guntur. “Setan cilik! Kau mau kemana?!”

Bentakan ini bukan lain dari Kulangcha yang tatkala mana, berkat ilmunya yang tinggi, sudah dapat memulihkan kembali kesembuhan pada sepasang lengan tangannya. Kemarahan Kulangcha benar-benar sudah memuncak dan untuk memunahkan rasa sakit dan panas dihatinya tak ada lain jalan selain, membunuh anak muda itu. Maka sambil membentak tadi ia melompat mengejar dan tahu-tahu senjata bulan bintangnya sudah berputar ditangan kanan dan kirinya. Han Hayhauw kembali membalikkan tubuh dan menghadapi panglima yang sudah kalap itu! Betapapun juga anak muda in merasakan terkejut melihat betapa hebatnya senjata aneh yang dimainkan oleh kakek panglima itu. Senjata yang berupa bintang segi lima dan bulan purnama itu bergerak luar biasa cepatnya dan berputar kencang sambil mengeluarkan suara mendesing sementara kerincingan yang terpasang disepanjang kedua rangkai rantai yang menjadi gagang senjata tersebut yang ujungnya dipegang oleh tangan kanan kiri Kulangcha menerbitkan suara gemerincing nyaring mengacaukan pendengaran. Memang senjata yang langka dipergunakan orang ini luar biasa sekali lebih-lebih lagi ditangan panglima tinggi ini yang telah melatih diri belasan tahun sepasang senjata ini benar-benar sangat hebat mengerikan. Dalam pertempuran, Kulangcha dapat memainkannya secara istimewa, dengan ujung rantai yang dipegangnya merupakan tali kendali ia dapat mempergunakan senjata bulan seperti itu untuk menahan senjata lawan, sedangkan senjata bintangnya digunakan untuk mengirim serangan dari lain jurusan dan oleh karena kelima ujung dari senjata berbentuk bintang in sangat runcing lagi tajam dan juga sambil berputar kencang, maka bila mengenai tubuh orang pasti akan ambrol seperti digergaji. Demikian pula senjata bundar itu dapatlah tubuh orang bila kena hantamannya!

“Panglima tua, kau selalu mencegah aku pergi! Apakah yang kau inginkan?”, Han Hayhauw balas membentak sambil memasang kuda-kuda dan tongkatnya disiapkan untuk menjaga diri.

“Aku mau mencabut nyawamu. Mengerti?” sahut Kulangcha dan sepasang senjatanya kini benar-benar merupakan renggutan maut. Betapapun juga pemuda itu jadi mendongkol hati dia tidak mau bermusuhan dengan siapapun juga kecuali dengan orang yang dicarinya, akan tetapi panglima tua ini sudah senang hendak membunuhnya, maka ketika ia melihat sepasang senjata aneh itu menyerang dari dua jurusan senjata luar biasa sekali, ia cepat mengelak dengan jalan melompat mundur. Kulangcha memperdengarkan suara ketawa ejekan dan terus menerjang.

Han Hayhauw baru kai ini menemukan orang yang bersenjatakan demikian aneh dan luar biasa, maka ia tidak berani berlaku ceroboh dan untuk melihat betapa perkembangannya permainan sepasang senjata lawan lebih lanjut, terpaksa ia main berkelit dan mundur sambil mempergunakan ginkangnya yang tinggi, sehingga tubuhnya melompat kian kemari sangat lincah dan gesit.

Adapun Kulangcha benar-benar tidak mau memberi kesempatan lagi. Ia terus mendesak dan sepasang senjatanya benar-benar merupakan dua ekor naga mengamuk yang sedang mengejar dan memperebutkan sebuah mutika. Sementara kelima perwira yang tadi sama bengong, kini melihat pemuda itu main mundur saja seakan-akan tak mampu melawan dan nampaknya terus terdesak, mereka jadi pulih semangat sehingga dengan gembira mereka mengurung rapat dan turut mengeroyok pemuda itu!

Pertempuran berjalan puluhan jurus, akan tetapi tetap saja sepasang senjata Kulangcha belum dapat menyentuh tubuh pemuda itu. Sesungguhnya Han Hayhauw sejak tadi tidak bermaksud membuat sengketa dengan para perwira penjajah itu, hal ini dibuktikan sudah berapa kali ia hendak pergi dari situ. Akan tetapi sekarang, melihat betapa Kulangcha benar- benar hendak membunuhnya dan ditambah lagi kelima perwira tadi turut mengeroyok pula, ini benar-benar dirasakan keterlaluan! Biarpun ia tidak merasa takut menghadapi keroyokan itu, namun kalau ia terus main berkelit dan tanpa memperlihatkan kepandaiannya tentu pengeroyokan ini takkan berakhir dalam waktu yang singkat dan lama-lama tentu ia akan merasa lelah sendiri. Oleh karena itu, ia segera mengeluarkan ilmu tongkat dengan sungguh-sungguh, sambil menggertak gigi ia melakukan serangan balasan.

Kulangcha memperdengarkan pula ketawa ejekannya. “Hahaha! Jembel yang tak mau memperkenalkan diri biarpun kau bersayap tak mungkin dapat minggat!”

“Perwira kolot tak tahu diri, pemerintahanmu sudah sekarat kau masih berani membuka mulut besar! Siapa bilang aku tak dapat pergi dari sini? Lihatlah, kini aku hendak pergi dengan mudah!” Han Hayhauw menyahut gemas. Lalu anak muda ini memperlihatkan ketangkasan sambil menggunakan kecerdikannya. Ia berkelit dari rangsakan sepasang senjata Kulangcha sambil melompat mundur dan lalu membalikkan tubuh sehingga kini ia menghadapi dua orang perwira yang tadi mengurung dibelakangnya. Dua perwira itu, ialah Tohula dan So Banpek perwira tingkat dua dan empat segera menggerakkan senjata, masing-masing memapaki anak muda itu yang mereka kira akan berusaha minggat. Akan tetapi mereka ternyata keburu didahului oleh Han Hayhauw yang benar-benar tangkas dan hebat. Tongkat ditangan kanannya memukul golok bengkong senjata So Banpek, kemudian tongkatnya membuat gerakan memutar lalu meluncur kedepan, dan menotok iga perwira tingkat empat yang bertubuh pendek buntek itu. Adapun tangan kirinya dipergunakan untuk mengirim pukulan kearah dada Tohula setelah tombak panjang dari perwira tingkat dua ini dapat dikelitkan dengan hanya menggerakkan sedikit tubuhnya.

Maka pada detik lainnya segera tampak dua perwira itu jatuh terjengkang tanpa sempat mengeluarkan teriakan, sebab dalam saat itu juga mereka telah pingsan. Ternyata So Banpek tanpa sempat membela diri lagi jalan darah giok-liong- hiat dibagian iganya telah kena ditotok secara tepat oleh ujung tongkat pemuda itu. Oleh karena jalan darah tersebut merupakan urat nadi yang mempunyai hubungan langsung dengan alat pernafasan didalam dada, maka sebelum perwira tingkat empat itu jatuh, ia sudah pingsan. Demikian pula halnya yang terjadi dengan Tohula. Biarpun tangan pemuda yang mengirim pukulan itu tidak menyentuh dadanya, namun pukulan tersebut mengandung tenaga yang sangat kuat sehingga perwira tingkat dua bangsa Mongol itu tahu-tahu merasakan dadanya ditumbuk oleh hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya, membuat ia segera kepengapan dan kepala pening, maka tanpa berdaya lagi tubuhnya yang tinggi besar lalu roboh.

Melihat kejadian ini, kembali nyali ketiga perwira lainnya seakan-akan terbang pula, mereka segera melompat mundur sebelum anak muda lihai itu mendekatinya. Betapapun juga mereka masih belum mau celaka, apalagi mati. Hanya Kulangcha saja terus menyerang makin gencar dan bernafsu karena setelah melihat betapa dua orang anak buahnya sudah roboh membuatnya makin murka! Ketika itu senjata bintangnya menyambar kearah kepala Han Hayhauw sehingga anak muda cepat mengelak sambil merendahkan tubuh dan ketika senjata bulan menyusul datang dengan sambaran yang hendak membelah dadanya, ia menyabetkan tongkat besinya dan menangkis.

“Trang . . . !” demikian nyaring suaranya ketika senjata bulan dan tongkat besi itu beradu malah disertai pula bunga api berpijar. Senjata bulan itu mental dan meluncur kembali kearah pemiliknya sedangkan Han Hayhauw cepat melakukan Iwekang kearah lengan tangan kanannya agar tenaga akibat benturan tadi tidak mempengaruhi tangannya.

Kulangcha bukan main kagetnya marasakan reaksi tangkisan dari anak muda yang untuk pertama kalinya melakukan tangkisan ini. Bukan saja ia rasakan kehebatan, tenaga lawan yang masih muda itu bahkan dengan tangkisannya, ini sekaligus dapat mengembalikan senjata bulan itu kearah pemiliknya sehingga kalau Kulangcha kurang mahir dan tidak cepat menggerakkan rantai kendalinya, agaknya senjata bulan tersebut akan makan tuan! Akan tetapi, seperti sudah diterangkan Kulangcha sudah melatih diri belasan tahun untuk memahirkan, permainan sepasang senjatanya yang istimewa ini, sehingga betapapun juga ini merupakan seorang kepandaian tangguh. Maka cepat ia melancarkan serangan pula sambil berseru keras karena marah dan penasaran. Namun kini sepasang senjatanya itu ternyata hanya menyerang tempat kosong dan kemudian ia baru tahu bahwa anak muda itu kini sudah menghilang dari hadapannya! Selagi ia keheranan dan mencari-cari sambil berpaling kekanan kiri dan belakang kalau-kalau anak muda itu menggunakan ginkangnya tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut dari para perajurit dan akhirnya ia mendapat kenyataan bahwa anak muda itu sudah lari keluar dari lingkungan prajurit yang seakan-akan benteng tebal itu! Ia sempat terpesona saking merasa kagum akan kegesitan anak muda itu. Ia tidak sempat melihat anak muda luar biasa itu melakukan gerakan bagaimana, begitu cepat seakan-akan hanya sekilat dan tahu-tahu sudah lolos dari kepungan.

Ternyata selagi melihat kesempatan yang sangat baik yaitu setelah menangkis dan mengembalikan senjata . . . kepada Kulangcha . . . dan selagi panglima tua itu terkejut seraya menguasai senjatanya yang nyaris makan tuan itu, Han Hayhauw telah meloncat tinggi dengan gerakan Si hin kong thian, atau bangau sakti melesat keangkasa. Tubuhnya demikian ringan seakan-akan seekor burung kepinis dan dengan loncatan yang memerlukan ginkang tingkat tinggi ini ia hendak terbang melampui bendungan prajurit yang membentenginya. Dengan jalan inilah ia hendak pergi meniggalkan tempat itu, karena kalau ia pergi dengan menempuh benteng para prajurit biarpun ia sanggup, tapi akan banyak makan waktu dan betapapun juga pasti akan ada prajurit yang menjadi korban tongkatnya belum lagi Kulangcha serta perwira-perwira itu mengejar dan menghalanginya yang tentu merupakan gangguan pula. Maka dengan jalan bangau sakti melesat keangkasa inilah yang dipilihnya, selainjauh lebih mudah menghemat waktu dan tenaga juga amat praktis.

Akan tetap dengan hanya sekali loncatan saja Han Hayhauw tak dapat melampaui benteng prajurit yang tebal itu, setelah tubuhnya berjungkir balik diudara dua kali ia meluncur turun dengan sepasang kakinya terlebih dahulu dan jatuhnya jusru masih ditengah-tengah lapisan para prajurit itu. Para prajurit yang melihat betapa pemuda itu akan jatuh diantara mereka, siap untuk mencincang tubuh anak muda itu! Seorang prajurit yang kebetulan melihat anak muda itu meluncur diatas kepalanya segera ia menggerakkan tombaknya keatas menyambut tubuh anak muda itu dan hendak disatenya. Namun Han Hayhauw benar-benar membuktikan ketahanan, kelihaian dan kehebatan ginkangnya. Sepasang kakinya ditekuk ketika melihat sepasang tombak menyambut dibawahnya dan ketika tubuh makin meluncur kebawah, ia menggerakkan kaki kirinya menendang tombak itu yang segera terpental dan lepas dari tangan pemegangnya, berbareng kaki kanannya menyentuh kepala prajurit tadi sambil menggerakkan tenaga dan berseru keras. Ia menggunakan kepala prajurit itu sebagai batu loncatan, maka pada saat selanjutnya tubuhnya sudah melompat pula keudara dan setelah membuat . . . dua jumpalitan pula, akhirnya anak muda ini lalu turun diatas bumi, ditempat yang lowong, yaitu diluar benteng para prajurit itu! Perlu diketahui, bahwa Han Hayhauw melakukan dua kali loncatan ini hanya berlangsung dalam waktu beberapa detik saja. Betapa hebatnya ilmu meringankan tubuh dari pemuda ini dapat dibayangkan sampai Kulangcha sendiri tak sempat melihatnya.

Kedua kaki Han Hayhauw turun kebumi tanpa menerbitkan suara sedikitpun, seakan-akan begitu ringan tubuhnya bagaikan sehelai daun kering saja. Lalu ia membalikkan tubuh menghadap kearah dari mana yang melompat tadi dan berkata.

“Selamat tinggal bapak-bapak tentara sekalian. Biarlah lain waktu aku akan datang kemari lagi, sekalian menjumpai sikeparat Ceng Kunhi! ” Setelah berkata demikian, kembali ia membalikkan tubuh dan berlari kearah barat, yakni arah dari mana ia datang tadi. Beberapa orang prajurit yang memiliki keberanian mencoba berlari untuk mengejar sambil berteriak-teriak menghamburkan sumpah serapah, akan tetapi mereka ini tertinggal jauh oleh karena anak muda itu sesungguhnya telah menggunakan ilmu lari cepat yang disebut Hui-heng-sut (ilmu lari terbang). Sehingga larinya begitu cepat seakan-akan terbang saja.

Kata-kata Han Hayhauw tadi, sungguhpun diucapkan dengan suara biasa bercakap dengan orang yang berada dekat didepannya, namum dapat mengatasi kehirukpikukan para prajurit dan dapat terdengar jelas oleh Kulangcha yang ketika itu masih diam terpaku seakan-akan terkena pukulan. Maklumlah Kulangcha bahwa anak muda itu menggunakan ilmu Coan-im-jip-bit (mengirim suara dari jarak jauh) semacam ilmu yang harus mengandalkan khinkang tinggi.

Diam-diam Khulangcha mengeluh didalam hatinya.

“Kalau saja semua gerombolan Tiong-gi-pay berkepandaian seperti anak muda itu, sungguh bukan pekerjaan mudah untuk menumpasnya!”

Akan tetapi dalam pada itu dada panglima tua ini masih tetap panas lantaran marah dan penasaran, maka ia lalu menumpahkan kemarahannya ini kepada para anak buah dengan jalan memaki:

“Kalian kantong-kantong nasi tiada guna, percuma saja pemerintah menggaji kalian setiap bulan, untuk memegat larinya seekor tikus kecilpun kalian tak becus! Minggir !”

Setelah memaki dan membentak, panglima tua ini serta merta menggerakkan sepasang kakinya, ia lari mengejar anak muda itu. Para prajurit capat membuyar memberi jalan bagi panglima ini dan ternyata ilmu lari cepat orang mongol ini hebat juga, sebentar saja ia sudah menyusul para prajurit yang larinya setengah pontang-panting itu. Akan tetapi untuk mengejar Han Hayhauw, Kulangcha sudah terlampau jauh ketinggalan. Namun sungguhpun demikian, panglima tua ini terus mengejar.

Sementara itu dari pintu gerbang benteng terdengar derap kaki kuda berlari dan ketika para serdadu memandang ternyata penunggang kuda berbulu hitam itu bukan lain adalah panglima muda mereka, yaitu Ceng Kunhi.

Panglima muda ini usianya kira-kira 25 tahun, bertubuh cukup tegap, namun sayang wajahnya tak dapat disebut tampan. Sebelah matanya agak juling, hidungnya bengkung seperti paruh burung betet, ditambah lagi mulutnya yang selalu terbuka membuat giginya yang longgar kelihatan nongol keluar, sehingga bila mana diadakan kontes ketampanan ia pasti mendapat nomor wahid kalau dihitung yang paling buncit. Sungguhpun demikian, namun panglima muda ini sangat pesolek, biarpun soleknya ini tidak mengurangi kejelekan mukanya. Hanya pakaian seragam kemiliterannya saja yang membuat ia kelihatan gagah, ditambah lagi sebatang pedang yang gagangnya berlapis emas, selalu menggantung dipinggang sebelah kirinya, membuat ia kelihatan tambah garang.

Ketika tiba dibekas pertempuran tadi Ceng Kunhi menarik kendali kudanya, sehingga kuda itu serempak berhenti setelah sepasang kaki depannya terangkat sebentar sambil meringkik kesakitan.

Dengan matanya yang juling sehingga sukar dikatakan kearah mana sesungguhnya ia memandang, panglima muda ini bertanya kepada tiga orang perwira yang tengah menolong dua orang kawannya yang masih pingsan, dengan suara bentakan

“Mana jembel edan yang mencari dan memaki aku tadi?” Salah seorang perwira yang bukan lain adalah Ma Inliang si Tongkat kepala naga cepat menghadap dan memberi hormat, lalu menjawab

“Si jembel gila itu baru saja melarikan diri dan ia dikejar oleh Coat Seng Thaysu Thayciangkun”!

Ternyata Ma Inliang, dalam memberikan keterangan anak muda itu melarikan diri. Hal ini disebabkan kalau ia berterus terang selain merasa malu juga ia khawatir disemprot oleh panglima muda yang sudah terkenal pengobral makian itu.

Ceng Kunhi memperdengarkan suara yang dikeluarkan dari hidung bengkungnya dan mata julingnya memandang kearah para serdadu, yang ribut-ribut dan sebagian dari mereka tampak berlari dijalanan raya menuju kearah barat maklumlah ia bahwa sijembel kurang ajar itu kabur kejurusan tersebut. Segera ia membedal kuda tunggangnya sehingga binatang tunggangan itu berlari gesit kearah barat. Para prajurit yang berlari-lari membuntuti Kulangcha sebentar saja dilaluinya, bahkan ada seorang prajurit, yang tak keburu minggir Ceng Kunhi tidak mencoba membelokkan kudanya melainkan membiarkan saja ketika kudanya menabrak dan menerjang juga prajurit sial itu segera jatuh tersungkur dan menjerit kesakitan, karena selain ia diterjang juga tubuhnya terinjak- injak oleh keempat kaki kuda tersebut! Fakta ini saja sudah mencerminkan watak Ceng Kunhi yang kejam. Memang sesungguhnya, bahwa Ceng Kunhi adalah seorang muda yang memiliki watak kejam, setiap orang yang dicurigai dan ditangkap ia yang selalu menghadap kami. Ia dapat merangket orang sambil tersenyum-senyum, dan membunuh orang tangkapan sambil ketawa bergelak-gelak, sehingga karenanya ia mendapat julukan dari teman-temannya si Malaikat-elmaut-ketawa atau Ciauw-giam-lo. Dan memanglah dalam pasukan Garuda, Ceng Kunhi disamping menduduki pangkat panglima muda, juga merangkap jabatan selaku algojo. Ketika Han Hayhauw mempermainkan Kulangcha dan kelima perwira tadi, seorang serdadu yang melihat bahwa atasannya tak mampu membekuk pengemis lihai itu, segera berlari kedalam benteng dan melapor kepada Ceng Kunhi yang ketika itu justru sedang bersenang-senang dengan salah seorang gundik piaraannya disebuah kamar dalam markas. Ceng Kunhi marah-marah karena kesenangannya diganggu, akan tetapi setelah mendengar penjelasan prajurit pelapor itu bahwa diluar benteng ada seorang pengemis muda mencari dan memaki-makinya serta berkepandaian lihai sekali membuat Kulangcha bersama kelima perwira sangat kewalahan untuk menangkapnya, barulah ia cepat berdandan mengenakan seragamnya dan demikianlah sambil menunggang kuda berbulu hitam kesayangannya ia keluar benteng dan selanjutnya sebagaimana sudah diceritakan diatas, ia terus membalap kudanya kearah barat sambil dihatinya bertanya-tanya.

“Siapakah jembel muda lihai yang tak mau memberitahukan namanya itu?”

Yah, siapakah sebenarnya anak muda yang sudah kita kenal bernama Han Hayhauw itu? Dari mana asal usulnya dan mengapa dalam usianya yang masih semuda itu telah memiliki ilmu sedemikian lihai? Dan mengapa pula dia mencari Ceng Kunhi? Demikian para pembaca yang budiman tentu sudah bertanya-tanya didalam hati sejak munculnya anak muda berpakaian pengemis sambil memukul-mukul batu-batu koral dijalan raya Thaygoan. Maka untuk menyingkap semua itu dan supaya para pembaca mengetahui riwayat Han Hayhauw yang menarik hati baik penulis dengan segala hormat mengajak para pembaca untuk mengikuti kisah yang pernah terjadi kira- kira tujuh atau delapan tahun yang lalu.

oooooOdwOkzOooooo Tidak dapat disangka kaisar pertama dalam yaman ahala Goan, yakni Kubilai Khan, telah berjasa memperindah kota raja yang baru, yaitu Peking. Banyak bangunan-bangunan raksasa berupa istana-istana indah didirikan, terusan-terusan digali antara sungai Yangthe dan sungai Hoangho sehingga air sungai dapat dihubungkan untuk berlalu lintas dan mengangkut keperluan-keperluan melalui jalan air. Selain ini, banyak lagi proyek-proyek raksasa yang dikerjakan terus menerus sampai puluhan tahun dan untuk mengerjakan semua ini, rakyat Tiongkoklah yang diperas dan ditindas, dikerja paksakan melebihi kuda dan kerbau sampai banyak yang tewas didalam pekerjaan itu.

Oleh karena perkerjaan proyek-proyek itu terus menerus dan dilakukan diberbagai daerah maka makin lama makin berkuranglah tenaga-tenaga bekerja pekerja paksa disebabkan banyak yang tewas. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pekerja-pekerja paksa itu Kaisar lalu mengeluarkan perintah kepada penjabat diseluruh daerah, untuk membentuk barisan- barisan “pengumpul tenaga”. Tentu saja barisan-barisan “pengumpul tenaga” tenaga ini adalah tentara mongol yang melakukan. Dan didalam pelaksanaan sebagai tenaga ini, kembali para serdadu penjajah itu mendapat kesempatan yang amat baik untuk memuaskan napsu jahat ataupun mengisi penuh kantong sendiri. Untuk memuaskan nafsu kebinatangannya, mudah saja akal mereka. Melihat gadis cantik yang membuat hati mereka seperti dicubit-cubit, mereka lalu mendatangi orang tua gadis itu dan ditakut-takuti bahwa ayah sigadis akan ditarik kerja paksa, dan tentu saja kalau siayah mau menyerahkan anak gadisnya, maka siayah akan bebas dari perintah kaisar ini. Bagaimana kalau menjumpai wanita cantik tetapi sudah menjadi istri orang? Tiada kesulitan bagi mereka. Suaminyalah yang mereka ancam akan ditarik dan bukan hal yang tidak mungkin apabila si istri ini rela berkorban asalkan suaminya bebas dari perintah kaisar. Kalau terjadi seperti hal ini, bagaimana perasaan hati si suami yang terang-terangan melihat istrinya “rela berkorban” untuk memuaskan nafsu para serdadu iblis itu, sulit untuk diceritakan. Akan tetapi pada jaman itu banyak suami-suami yang tidak berdaya, karena maklum bahwa “kerelaan” istrinya berkurban itu justru adalah untuk menyelamatkan jiwanya dari bahaya malapetaka.

Kalau para serdadu petugas pengumpul petugas ini ingin mengisi saku sepadatnya, mereka datangi para hartawan tuan tanah tuan tanah dan diancam akan ditarik kerja paksa. Hartawan-hartawan itu tentu saja tidak ragu-ragu lagi segera mengambil sejumlah uang atau beberapa potong emas dan diserahkan kepada para petugas itu sebagai uang sogok. Umumnya para hartawan selalu bebas dari segala macam kerja paksa karena memberikan uang roko dan menyerahkannya sambil berkata kusak-kusuk, padahal perintah kaisar itu pada prinsipnya tidak mengenal dispensasi, akan tetapi dalam pelaksanaanya para petugas yang mana tidak suka uang?

Adapun yang paling tak lain ialah rakyat jelatalah! Mereka tak mempunyai sesuatu benda yang dapat dipergunakan sebagai uang sogokan apa yang mereka miliki hanya berupa tenaga yang berada ditubuh mereka yang kurus kering. Mereka tidak berdaya sama sekali bilamana didatangi petugas pengumpul tenaga, mau tak mau mereka mesti mudah diseret dan digiring bagaikan kuda-kuda dan kerbau-kerbau jinak menuju keproyek maut. Dimana terjadi pemboyongan disitu terdengarlah jerit tangis dan suara sesambatan yang menjajah hati seakan-akan sebuah lagu perpisahan untuk selama- lamanya, karena mereka yang pergi tak mungkin akan bisa kembali.

Pada suatu hari gerakan operasi, pengumpulan tenaga semacam itu sampai juga didusun Ho Lengcun. Para petugas terdiri dari tiga puluh tentara yang dipimpin oleh seorang komandan gendut bermuka bopeng. Yang mula-mula didatangi barisan petugas ini ialah rumah gedung Ceng Lobin, seorang tuan tanah yang paling kaya raya didusun itu.

Ceng Lobin menyambut kedatangan barisan petugas itu dengan segala keramahan. Komandan gemuk bopeng itu, yang bernama Be Kunbu segera menyatakan maksud kedatangannya kedusun itu dan Ceng Lobin yang mendengarkannya menganggukan maklum dan meskipun sikomandan itu tanpa menerangkan sesungguhnya situan tanah si Ceng ini sudah maklum sepenuhnya. Dan bagaimana biasa pembicaraan mereka selanjutnya dilakukan sambil berbisik-bisik dan lalu Ceng Lobin dari saku bajunya mengeluarkan sekantong uang yang memang sudah disediakan, diserahkan kepada Be Kunbu yang menerimanya sambil berseri-seri. Dengan demikian bebaslah tuan tanah itu dari wajib kerja paksa. Bahkan, dalam usahanya untuk mencari muka dan menjilat pantat, Ceng Lobin menyatakan kesediaanya mengantar para petugas itu, membantu mengumpulkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan.

Tentu saja sibopeng menjadi girang mendapatkan kebaikan tuan tanah yang berbudi itu.

“Biarlah wan-gwe tidak perlu repot-repot, biarpun kami sesungguhnya perlu bantuan akan tetapi mengingat wan-gwe sangat baik, mana kami berani merepotkan wan gwe lagi?” ujar Be Kunbu pura-pura sheji atau sungkan-sungkan.

“Tidak apa tidak apa. Biarlah aku menyuruh putraku menyertai kalian, selain sebagai petunjuk jalan bagi kalian yang tentunya masih asing di dusun ini, juga aku membuktikan bahwa aku dan anakku dengan jalan membantu usaha kalian berarti membantu negara bukan?”

“Tentu, tentu . . . !” Be Kunbu manggut-manggutkan kepalanya yang bundar seperti bal-karet kemudian berkata lagi mengumpak Wang we sungguh adalah seorang warga negara yang tahu, kewajiban. Begitulah dengan, diantar oleh putra tunggal Ceng Lobin yaitu yang para pembaca sudah mengenalnya ialah Ceng Kunhi yang pada masa itu baru berusia delapan belas tahun dan disertai tiga dari lima orang tukang pukul bayaran tuan tanah Ceng, barisan pengumpul tenaga itu menjelajahi seluruh kampung. Seperti biasa, sebagaimana, gerakan operasi pengumpulan tenaga itu berlangsung maka dusun yang tadinya penuh ketentraman, berubahlah menjadi neraka penuh dengan tangis dan keluh kesah. Terdengar keluh kesah dan elahan nafas kaum laki-laki yang merasa putus asa disertai pekik mengerikan karena takut dari wanita-wanita yang diganggu oleh kebiadapan serdadu-serdadu petugas itu! Demikianlah pula suasana dusun Ho lengcun pada hari itu . . .

Dalam waktu yang sebentar saja, berkat tudingan tangan tuan muda Ceng Kunhi yang merasa dirinya turut adil besar terhadap pembangunan negara, sehingga rumah-rumah petani miskin yang terpencilpun tidak terlewat dan penghuninya baik tua maupun muda dikenakan wajib kerja paksa, sudah dapat dikumpulkan empat puluh lima orang muda. Dan kemudian Ceng Kunhi membawa rombongan itu kerumah gubuk keluarga Han Cubeng, seorang hamba tani miskin yang belum lama baru kematian istrinya dan kini didalam gubuk itu ia hanya berkawan dengan dua orang anaknya. Han Kimlan, adalah putri yang sulung dan pada masa itu sudah berumur enam belas tahun, wajahnya elok, tubuhnya langsing semampai bagaikan lilin diraut. Dan anak Han Cubeng yang kedua, atau dapat juga disebut anak bungsu, adalah anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun dan anak ini sejak kecilnya sudah menunjukkan kecerdikannya yang luar biasa. Wajah bocah ini sangat tampan dan selain memiliki sepasang mata yang bersinar jernih serta tajam mencerminkan kecerdasannya, juga tekukan pada dagunya serta bibirnya yang selali tertutup rapat, menandakan bahwa bocah ini mempunyai keras hati. Pembaca tentu saja sudah dapat menduganya, bahwa bocah yang dimaksudkan bukan lain ialah Han Hayhauw.

Han Cubeng adalah penduduk asli penduduk Holeng-chun. Dulu ia pernah memiliki sebidang tanah sawah warisan yang luasnya kira-kira setengah mauw. Pada waktu musim sawahnya boleh dikata tidak dapat dipungut hasilnya, karena diserang hama belalang. Oleh karena itu Han Cubeng tak dapat membayar pajak kepada pemerintah sedangkan peraturan pajak tersebut sebagaimana sudah diterangkan dibagian mula cerita ini, sama sekali tak ada pengurangan, melainkan harus dibayar penuh oleh siwajib pajak sebagaimana yang sudah ditentukan. Maka untuk menghindarkan tuntutan-tuntutan yang lebih merugikan, Han Cubeng secara terpaksa sekali lalu meminjam uang kepada tuan tanah Ceng Lobin dengan sawah yang setengah mauw itu dijadikannya barang jaminannya, dan uang hasil dari gadaian ini dipergunakan untuk membayar pajak. Sejak itu Han Cubeng mulai merasakan getirnya penghidupan, karena sungguhpun sawahnya dalam musim berikutnya dapat dipungut hasilnya, namun jangankan dapat untuk menebus sawahnya, sedangkan untuk membayar bunganyapun tidak mencukupi disebabkan bunga yang ditentukan oleh tuan tanah itu memang terlalu besar. Sampai akhirnya sawah tersebut dioper alih oleh tuan tanah Ceng Lobin dan Han Cubeng sendiri jadi penggarapnya, dengan mendapat upah yang jumlahnya jauh daripada mencukupi untuk nafkah keluarganya, yaitu selain Han Cubeng sendiri, istri dan kedua orang anaknya. Dan tentu saja untuk menambal kekurangan biaya, Han Cubeng harus memohon kebaikan hati tuan tanah Ceng, yakni pinjam uang. Makin lama nasib keluarga Han ini makin menyedihkan, rudin dan prihatin. Bersama istri dan kedua anaknya ia setiap hari kerja disawah yang kini bukan miliknya lagi.

Bukan Han Cubeng seorang saja yang mengalami nasib seperti demikian, dan bukan terjadi hanya didalam dusun Ho- Leng-cun saja para petani kecil yang semulanya memiliki sekedar tanah sawah kemudian miliknya itu berpindah ketangan tuan tanah, bahkan nasib seperti ini justru terjadi secara merata diseluruh permukaan bumi Tiongkok pada masa itu. Rakyat jelata jadi makin rudin dan tertindas, sebaliknya kaum tuan tanah, hartawan-kedekut dan segala antek-antek penjajah makin gendut saja perut dan saku bajunya. Hampir seluruh sawa-sawah menjadi milik para kaum tuan tanah dan sebangsanya, sedangkan para rakyat jelata menjadi penggarap sawah mereka, menjadi hamba, menjadi budak.

Makin lama makin sukarlah keadaan Han Cubeng beserta anak istrinya. Hutang sudah hampir menggunung terhadap tuan tanah Ceng, bukan saja hutang pokok yang berkali-kali ia lakukan peminjaman itu sudah demikian besar, melainkan bunganyalah yang justru jauh lebih besar dari pada pokok pinjaman, sementara barang-barang yang kiranya laku dijual lama habis dan kini yang tinggal menjadi miliknya hanya berupa sepetak tanah darat diatas mana berdiri gubuk kecil tempat meneduh itulah namun agaknya biar masih hendak menguji keuletan manusia didunia dan percobaan-percobaan berat diturunkan pada manusia, untuk diderita lebih jauh oleh makhluk-makhluk yang dijelmakan kedunia tanpa mereka kehendaki sendiri, itu. Demikianlah yang dialami oleh Han Cubeng bahwa pada suatu hari istrinya sepulangnya dari sawah, telah jatuh sakit dan penyakit ini agaknya sangat berat sehingga dalam dua hari saja, ia tak dapat bangun dari bale- bale pembaringan. Bagi Han Cubeng tak ada lain jalan untuk mendapatkan uang guna mengobati istrinya itu kecuali mohon pertolongan kepada majikannya yakni tuan tanah Ceng.

Begitulah ketika Han Cubeng dengan terbungkuk-bungkuk memasuki pintu pekarangan depan gedung Geng Wangwe yang besar dan mewah, ia segera ditegor oleh seorang tukang pukul yang menjaga pekarangan tersebut yang menanyakan apa maksud kedatangannya. “Hamba mohon bertemu dengan tuan besar tolong siaseng (tuan) menyampaikannya,” jawab Han Cubeng yang merendahkan diri, sedemikian rupa terhadap tukang pukul itu karena mengharapkan pertolongan darinya.

“Tuan besar sedang beristirahat tak dapat diganggu. Lain waktu saja kau datang kemari lagi!” Tukang pukul itu memberi keterangan dengan suara ketus.

Han Cubeng menghela nafas putus asa lalu ujarnya pula. “Kalau begitu, bolehkah hamba minta bertemu dengan tuan muda?”

Sebelum tukang pukul judes itu memberi kesanggupan, persis pada saat mana tuan muda yang Han Cubeng maksudkan, yakni Ceng Kunhi, kelihatan keluar dari rumah gedungnya sehingga Han Cubeng cepat membungkukkan diri memberi hormat, sambil mengucapkan salam. “Selamat siang, tuan muda yang hamba hormati…..”

Ceng Kunhi memang sudah mengenal orang tua ini, maka dengan tindakan kaki ogah-ogahan ia menghampirinya dan tanpa membalas penghormatan dan salam dari orang tua itu, ia bertanya. “Han lonunghu (petani tua Han), ada keperluan apa?”

Sambil tetap menghormat walaupun mulutnya terasa berat karena merasa malu untuk menyatakan maksudnya, dan lebih merasa malu lagi kalau ia ingat betapa sudah berkali-kali baik tuan besar maupun tuan muda ini menagihnya sambil memakin-maki, namun karena terdorong dari kebutuhan yang memaksa, ia menjawab dengan irama kata tergagap-gagap.

“Tuan muda, maafkan hamba ini . . . Maksud hamba menghadap kepada tuan muda, tak lain ialah . . . ialah . . . mohon pertolongan diberi lagi pinjaman uang . . .”

Ceng Kunhi mengerutkan kening sehingga wajahnya yang kurang menarik itu kelihatan makin buruk. Dan terdengar menggerutu. “Hm. Tak lain, pinjam uang, pinjam uang lagi!”

Han Cubeng menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajahnya yang membayangkan perasaan hatinya yang perih.

“Habis kalau hamba tak ditolong oleh tuan besar dan tuan muda, kepada siapa lagi hamba mesti minta pertolongan?” katanya perlahan karena hatinya benar-benar perih, istilah “pertolongan” yang diucapkannya itu sudah cukup dimakluminya bahwa sama halnya dengan arti mengulurkan leher supaya dicekik lebih keras.

“Masih ingatkah engkau, bahwa hutang-hutangmu yang dahulupun belum kau bayar? Tapi kini engkau mau pinjam lagi, sungguh engkau tak tahu malu!”

Han Cubeng hampir saja tak kuat menahan air mata yang menitik dari matanya ketika mendengar uacapan tuan muda ini. Akan tetapi ketika ingat betapa istrinya sakit dan perlu uang untuk membeli obat dan juga membeli makanan bagi pengisi perut keluarganya nanti sore ia berusaha menekan perasaan hatinya dan memaksakan diri berkata.

“Tuan muda, bukan hamba tak ingat kebaikan tuan besar dan tuan muda sendiri yang telah memberi kelonggaran mengenai hutang-hutang hamba itu, mudah-mudahan saja hamba memperoleh rejeki dan hamba bisa membayar budi kebaikan tuan besar dan tuan muda yang sesungguhnya sangat memberatkan hamba sekeluarga.

Ceng Kunhi menggelengkan kepala. “Sulit sulit! Bukan kami tak menaruh kasihan terhadapmu, Han Lonunghu, tetapi kalau terus-terusan memberi pinjaman uang tanpa dibayar-bayar, benar-benar sulit”.

Han Cubeng sudah merasa putus asa, akan tetapi demi kebutuhannya membuat ia memaksa merendahkan diri lebih rendah lagi dan mengulurkan leher supaya dicekik lebih keras lagi. “Tuan muda, bila tuan muda menghendaki, hamba akan menjual tanah berikut gubuk milik hamba untuk membayar hutang-hutang hamba. Hamba rasa dapat melunasinya dan malah mungkin masih ada sisa kelebihannya. Biarlah gubuk hamba itu untuk dijadikan barang jaminan untuk sementara, asal . . . uang untuk membeli obat dan makanan untuk . . . terus terang saja, kedua anak hamba sejak pagi tadi masih belum makan”.

Sekali lagi Ceng Kunhi kelihatan mengerutkan kening. Agaknya ia sedang berpikir keras. Sejenak kemudian ia bertanya, dan aneh sekali, irama katanya tidak seketus tadi.

“Kalau engkau masih mempunyai barang yang dapat dijadikan peganganku, sekalipun hanya berupa gubuk, baiklah aku bersedia menolongmu. Hanya saja, aku ingin tahu dulu berapa jiwa yang menjadi tanggunganmu?”

“Empat jiwa, tuan muda. Yaitu hamba, istri hamba yang sudah dua hari ini sakit dan perlu segera diobati, serta dua anakku, yaitu seorang anak perempuan bernama Kimlan yang masih gadis dan anak lelaki bernama Hayhauw yang baru berusia sepuluh tahun”.

Putra tuan tanah itu mengangguk-angguk dan lebih aneh lagi kini ia kelihatan berseri-seri.

“Berapakah yang sekarang kau butuhkan, Han Lonunghu?”

Suara pertanyaan tuan muda terdengar demikian ramah bagi telinga Han Cubeng, seakan-akan ia benar-benar menaruh kasihan terhadap orang tua miskin itu. Perasaan hati perih dan putus asa tadi segera lenyap seketika, maka sahutnya.

“Tidak banyak . . . tidak banyak, tuan muda. Hanya . . . hanya lima tail perak . . .”

Putra tuan tanah segera merogoh kantong dan dari mana ia mengambil uang dan setelah dihitung-hitung, lalu diberikan kepada Han Cubeng yang segera menerimanya dengan hati lega.

“Terimakasih, tuan muda. Terimakasih . . .” katanya sambil membungkuk-bungkuk.

“Nanti sore, aku akan pergi kerumahmu. Aku akan melihat-lihat keadaan rumah dan tanah yang kau jadikan barang jaminan itu. Mengerti?”

“Silahkan, silahkan. Hamba akan menanti kedatangan tuan muda dengan segala kehormatan” sahut Han Cubeng dan setelah berkali-kali mengucapkan terimakasih, ia lalu berpamit sambil berkali-kali membungkuk memberi hormat.

Uang lima tail perak itu dikepalnya erat-erat karena takut tercecer jatuh diperjalanan. Ia berjalan setengah berlari, akan tetapi sebelum ia menuju kegubuknya ia mampir dulu kerumah tukang obat dimana ia membeli obat untuk istrinya serta tak lupa pula sekalian membeli sekati gandum. Akan tetapi, alangkah hancur dan luluhnya perasaan hati orang tua malang ini ketika tiba digubuknya, ia dapatkan istrinya sudah tak bernyawa lagi, ramai ditangisi Kimlan dan Hayhauw . . .

Lemaslah seluruh tubuh Han Cubeng, sepasang kakinya seakan-akan tak kuat lagi menahan beban tubuhnya yang sebenarnya sudah kurus kering itu. Ia jatuh duduk diatas lantai tanah tak jauh dari bale-bale pembaringan raga istrinya. Obat dan sekati gandum yang dibelinya tadi, yang dibawanya dalam genggaman tangannya, jatuh berserakan. Untuk seketika lamanya orang tua ini bengong dan terpaku, dan perlahan-lahan kedua belah pipinya yang cekung itu tampak basah oleh air mata . . .

Ketika Han Cubeng sudah dapat menguasai perasaan hatinya, orang tua ini kembali merasa terbentur kepada kesulitan, kesulitan akan keuangan yang dibutuhkan lebih besar lagi, untuk membiayai penguburan jenazah istrinya . . . Tuan muda Ceng Kunhi mendatangi gubuk tempat tinggal keluarga Han itu dengan dikawal dua orang tukang pukulnya. Betapapun juga anak muda ini merasa mencelos juga hatinya ketika kedatangannya disambut oleh keluarga miskin ini dengan isak tangis.

“Tuan muda, alangkah malangnya nasib hamba ini . . .” kata Han Cubeng yang maksudnya hendak menyambut tamunya itu, akan tetapi ia tak mampu melanjutkan kata- katanya karena kedukaan hatinya membuat ia sangat sedih sehingga selanjutnya yang terdengar hanya suara tangisnya, yang agguguk. Orang tua ini duduk bersimpuh dihadapan tuan muda itu, tangisnya benar memilukan. Disisi kanan kirinya duduk bersimpuh pula Kimlan dan Hayhauw, yang juga menangis tak kalah sedihnya. Mereka duduk bersimpuh diatas lantai tanah oleh karena didalam rumah keluarga yang malang itu ternyata sudah tidak terdapat alat-alat rumah tangga yang dapat dijadikan tempat duduk, kecuali sebuah bale-bale bambu yang mana diatas membujur kaku mayat istri Han Cubeng.

Ceng Kunhi menyaksikan suasana yang penuh kedukaan itu sambil berdiri terpaku dan membisu. Dan yang paling menarik perhatian dari tuan tanah ini, bukan kemiskinan atau kedukaan yang terdapat dalam gubuk itu, melainkan yang paling menarik perhatiannya, yang membuat sepasang mata dijulingkan menatap lama-lama ialah nona Han Kinlam. Biarpun anak dara itu hanya mengenakan baju tambalan, kulit tubuh dan mukanya agak hitam karena setiap hari bekerja disawah dibawah teriknya sinar matahari dan biarpun pada saat itu kelopak dari sepasang matanya agak bengkak disebabkan terlalu banyak menangis, akan tetapi kecantikannya yang asli dan wajah masih tampak nyata. Entah yang menarik hati tuan muda Ceng Kunhi dan justru karena inilah pula yang membuat ia memerlukan datang kemari, katanya saja hendak melihat tanah dan gubuk yang dijadikan barang jaminan dari uang yang Han Cubeng pinjam tadi, padahal sebenarnya ia ingin melihat anak dara itu yang tadi didengarnya dari keterangan Han Cubeng sendiri.

Kemudian putra tuan tanah ini melirik dengan mata julingnya kearah dua pengawal yang berdiri dikanan kirinya dan lirikan yang penuh arti dapat dimaklumi oleh dua tukang pukul itu sehingga mereka mengangguk sambil menyengir kuda.

“Han lonunghu, aku tutut berduka cita sedalam-dalamnya atas kematian istrimu ini,” kata Ceng kunhi kemudian dan setelah ia merogoh saku bajunya yang mewah dan terbuat dari kain sutra mahal, ia lalu mengeluarkan uang sejumlah dua puluh tail perak yang segera disodorkan kepada Han Cubeng ia berkata juga. “Han lonunghu, terimalah sumbanganku ini untuk keperluan mengurus mayat istrimu. Rawat dan kuburlah baik-baik sebagaimana mestinya dan kalau masih kekurangan, kau boleh datang kerumahku dan akan kutambah lagi”.

Dengan matanya yang merah karena tangis untuk sejenak Han Cubeng hanya melihat ketelapak tangan tuan muda yang menyodorkan uang itu, sikapnya ragu-ragu tatkala ia berkata.

“Tuan muda, biarpun sesungguhnya sangat membutuhkan uang untuk mengurus penguburan mayat istriku, akan tetapi bagaimana hamba berani menerima kebaikan tuan muda yang lebih besar lagi, karena tanah sekeping dan gubuk butuh yang hamba pertanggungkan tadi, mana bisa cukup untuk . . .”

“Ah, sudah. Kau tak usah pusingkan hal itu Han lonunghu!” Ceng kunhi menukas perkataan orang tua yang belum habis itu. “Segala urusan ada dibelakang, untukmu tentu saja aku dapat mempertimbangkan baik-baik. Nah, terimalah” ia mengangsurkan uang ditelapak tangannya lebih maju sehingga begitu dekat didepan hidung Han Cubeng.

Orang tua sedang berduka sehingga pada saat mana ia tak sempat mempergunakan otaknya, untuk mengadakan pertimbangan. Yang terpikir hanya uanglah yang justru sangat dibutuhkan yang otomatis membuat ia segera menerima uang itu dengan kedua telapak tangannya yang gemetar. Dan dari sela-sela bibirnya yang juga gemetar berulang-ulang mendesiskan ucapan

“Terimakasih . . . terimakasih . . . terimakasih . . .”

Tak lama kemudian Ceng Kunhi bersama dua orang tukang pukulnya segera meninggalkan tempat dan tentu saja setelah mata juling dari tuan muda ini memandang pula tajam-tajam kepada Kimlan.

Sudah lazim dan sering terjadi didunia ini apabila seseorang dalam keadaan terdesak oleh kebutuhan uang tiba-tiba saja ada orang yang menyodorkan bantuan, bukan mustahil kalau ia segera menerimanya tanpa banyak pikir lagi. Tanpa memperdulikan bahwa orang yang memberikan bantuan itu macam apa dan tanpa berpikir bagaimana kelak untuk membayarnya. Yang terpikir hanya penolongnya itu benar- benar adalah seorang baik hati . . . ! Demikianlah halnya yang dialami Han Cubeng sungguhpun orang tua ini merasa heran akan kebaikan tuan muda itu yang jauh berbeda dari keadaan dan wataknya yang biasa akan tetapi dengan begitu saja ia lalu menganggap bahwa tuan muda itu benar-benar adalah sangat berbudi dan baik hati. Keadaan yang menekan hati dan pikiran membuat ia lupa bahwa Ceng Kunhi adalah keturunan dari keluarga bangsawan berupa tuan tanah pemeras, dan penindas rakyat jelata yang tak mungkin akan memberikan pertolongan begitu saja kalau dalam perhitungan tak akan mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda atau kalau tidak ada maksud tertentu yang dikandung dalam hati iblisnya.

Dapatlah diceritakan dengan singkat, bahwa Han Cubeng dapat mengubur jenazah istrinya dengan disertai upacara- upacara, adat sebagaimana mestinya dengan mendapat bantuan dari para tetangga-tetangganya. Tiga hari kemudian setelah itu pada suatu senja Han Cubeng didatangi oleh seorang tukang pukul yang menyampaikan panggilan dari tuan muda Ceng Kunhi kepadanya. Segera Han Cubeng dapat, menerka bahwa panggilan ini pasti, bertalian dengan uang yang dipinjamkan, sungguhpun pikirannya bingung namun betapapun juga mesti pergi menghadap kepada tuan muda itu.

Han Kimlan dan Han Hayhauw menanti ayahnya itu dengan hati agak cemas oleh karena sampai waktu hampir magrib dan cuaca remang-remang mulai menggelap, orang tua itu masih belum kelihatan pulang. Kimlan merasakan hatinya berdebar aneh, seakan-akan dara ini sudah mendapat bisikan firasat buruk. Akan tetapi kedua kakak beradik ini merasa berlega hati tatkala kemudian, setelah cuaca gelap melingkupi bumi Han Cubeng datang.

“Ayah baru datang . . . ?” sapa Kimlan menyambut. “Mengapa ayah pergi begitu lama . . . ?” kata-kata ini

diucapkan oleh Han Hayhauw sehingga pertanyaan lebih mendekatnya tegoran dan penyesalan.

Namun Han Cubeng seakan-akan tidak memperdulikan sambutan dan teguran dari putra dan putrinya itu melainkan ia langsung saja memasuki rumah gubuknya yang hanya diterangi oleh sinar lampu pelita yang kelap kelip, kemudian ia membantingkan pantatnya berduduk dibale-bale sehingga bale-bale itu mengeluarkan suara berderak hampir ambruk! Air mukanya begitu kusut dan pucat, sepasang matanya mendelong mengawasi sebuah sudut gubuk yang gelap gulita. Sikap orang tua ini benar-benar membuat kedua anaknya tercengang, terutama Kimlan yang sudah dapat berpikir dia seperti sudah dapat menduga apa yang dialami oleh ayahnya selama berkunjung digedung tuan tanah itu, sehingga dara ini cepat menubruk pangkuan orang tua itu dan suaranya lirih tatkala bertanya.

“Ayah, apakah yang terjadi kepadamu? Mungkinkah putra tuan tanah itu menuntut pembayaran hutang dari kita dengan kekejaman?” Perlahan-lahan Han Cubeng menoleh dan memandang kepada putrinya, dan suaranya terdengar parau tatkala berkata setelah terlebih dahulu menghela nafas panjang.

“Dugaanmu sangat tepat, Lanji (anak Lan). Memanglah hutang kita ditagih dengan cara kejam, sungguh tak kusangka sama sekali bahwa kebaikan yang kita terima tempo hari harus ditebus dengan suatu pengorbanan . . . ”

Pengorbanan? Pengorbanan apakah yang ayah maksudkan? Katakanlah . . . tanya Kimlan mendesak dan hati dara ini sudah demikian, gelisah.

“Tuan muda akan membebaskan segala hutang-hutang kita, akan dikembalikan lagi sawah kita dan kita akan diangkat dari lembah kerudinan ini asal . . . aku suka menyerahkan dirimu kepadanya . . . “

“Apa . . . ? Kimlan setengah terpekik dan sepasang matanya yang jeli membelalak terhadap ayahnya. Tapi bagaimana putusanmu yang kau berikan . . . ?

Ayah itu menghela nafas sekali lagi. Aku sedah menjelaskan kepadanya, bahwa kau sudah ditunangkan sambil kuterangkan pula bahwa tunanganmu itu ialah Ong Huli. Akan tetapi tuan muda itu tidak mau mengerti alasan ini dan secara sinis sekali ia menyatakan bahwa pertunanganmu dapat dibatalkan, dan terhadap tunanganmu katanya ia sendiri yang bertanggung jawab akan membereskannya. Ah, benar- benar sulit bagiku memberi putusan kepadanya. Untuk menyetujuinya kau sudah bertunangan dengan Ong Huli, sekali pun belum, aku Han Cu Beng biarpun miskin akan tetapi masih mempunyai rasa harga diri sehingga mana sudi menyerahkan putriku sebagai pembayar hutang! Untuk hal celaka ini, tuan muda memberi kelonggaran selama tiga hari .

. . “

Hampir tidak terdengar lagi oleh Kimlan kata-kata ayahnya itu. Pikirannya tidak karuan sedih bingung dan takut menjadi satu serasa mengaduk-aduk dibenaknya kesedihan ditinggal mati oleh ibunya masih menyesaki rongga dadanya kini tiba- tiba ditambah lagi lain macam kesedihan membuat rongga dadanya semakin sesak gengap. Jangankan ia sudah bertunangan, sekalipun belum, mana sudi menyerahkan kehormatan dirinya kepada tuan muda Ceng Kunhi yang mempunyai bentuk wajah kulit untuk dipandang dan pula jangankan hanya untuk dijadikan alat pelepas nafsu sebagai mana pernah dialami oleh gadis-gadis lain yang pernah didengar dan diketahuinya sehingga benar-benar seperti nasib tebu yang manis sepah dibuang meskipun ia dikawin dan dijadikan istri resmi ia tidak sudi! Namun kalau terang- terangan, ia menolak sudah dapat membayangkan, apa yang bakal dilakukan oleh tuan tanah itu sebagai akibatnya. Itulah sebabnya maka ia menjadi demikian sedih bingung dan takut sehingga apa yang ia mampu lakukan selanjutnya tak lain kecuali menangis tersedu-sedu diatas pangkuan ayahnya. Rambut kepala gadis itu dielus-elus oleh ayahnya sambil berkali-kali menghela nafas. Adapun Han Hayhauw sibocah yang baru berumur sepuluh tahun itu yang sejak tadi tinggal membisu dan mendengar perkataan-perkataan ayah dan cicinya sehingga sedikitnya ia maklum juga tentang kesulitan yang mereka hadapi, akan tetapi biarpun ia memiliki otak cerdas, namun kecerdasan ini tak dapat dipergunakan untuk mencampuri masalah yang menjadi persoalan orang tua, dan dewasa. Bocah ini hanya dapat menurut bersedih dan bingung, bahkan hatinya merasa sangat marah sekali terhadap tuan muda Ceng Kunhi yang dianggapnya menjadi gara-gara dari segala kejadian celaka ini.

Sungguhpun mereka diberi kelonggaran selama tiga hari, akan tetapi apa yang mereka dapat perbuat dari kekuasaan tuan muda itu? Kimlan mesti menyerah diri untuk memuaskan nafsu hati tuan muda itu? Jelas dara ini tidak mau, juga ayahnya tidak menyetujuinya. Habis bagaimana . . . ? Ah, betapapun juga akibatnya sama memenuhi keinginan tuan muda, itu bagi Kimlan berarti menghadapi peristiwa yang lebih mengerikan dari pada maut dan sebaliknya jika ia menolak maka sudah dapat dibayangkan akibat yang lebih celaka, minggat jangan harap, karena selain tak bisa lolos dari jaringan pengawasan pihak tuan muda itu yang sudah mengerahkan mata-matanya dan mempersiapkan tukang pukul! Juga dimana-mana tempat, terdapat tuan tanah yang sama jahatnya dengan tuan besar Ceng Lobin dan tuan muda seperti Ceng Kunhi, yang mengandalkan pengaruh kekayaannya berbuat sewenang-wenang.

Akan tetapi baru saja berselang satu hari dari apa yang disebut kelonggaran dari tuan muda bagi keluarga Han Cubeng itu tiba-tiba Ceng Kunhi sudah muncul bersama seorang komandan gendut bermuka bopeng, tiga orang tukang pukul berikut sejumlah serdadu yang mengirim sejumlah penduduk dusun yang sebagaimana sudah diceritakan bahwa hari itu terjadi operasi pengumpulan tenaga dan tuan muda Ceng itu giat sekali membatu sebagai petunjuk. Tentu jadi Ceng Kunhi sebelum mendatangi gubuk Han Cubeng terlebih dahulu ia sudah menangkap Ong Heli tunangan Kimlan dengan istilah kena ditarik kerja bakti dan pemuda dusun she Ong itu terdapat diantara mereka yang digiring dan dikawal oleh serdadu-serdadu itu, sehingga mereka beda seperti tawanan.

Han Cubeng sudah mengetahui bahwa pada hari itu diadakan gerakan pengumpulan tenaga untuk kerja paksa dan kedatangan tuan muda bersama rombongan komandan gendut bopeng itu sudah dimakluminya sebagai penukar baginya maka ia sengaja beserta Kimlan dan Hayhauw menyambut kedatangan orang yang kusen itu didepan gubuknya sambil memberi hormat sedalam-dalamnya.

“Selamat siang tuan muda dan para ciangkun sekalian”. Han Cubeng memberi salam sambil menjura dan penghormatan sedemikian terhormat dari orang tua ini membuat Ceng Kunhi hilang kegalakannya. Ia mengangguk- angguk sambil bibirnya tersenyum manis, dan mata julingnya mebidik kearah Kimlan yang menunduk ketakutan. Sementara Be Kunbu menyengir bangga karena ia disebut ciangkun (perwira) oleh orang tua itu dan sebagaimana biasa selaku petugas yang mentaati perintah kaisar dan ini melihat seorang anak dara yang menimbulkan nafsu birahinya, berdiri dibelakang orang tua itu, lalu si gendut bopeng ini mengeluarkan gertakan sambil berkata kepada tuan muda yang giat membantunya.

“Ceng kongcu (tuan muda Ceng), orang kampung ini biarpun sudah agak tua, akan tetapi tenaganya masih cukup kuat buat membangun negara, maka baik ditarik saja”.

“Memang demikian semestinya”, kata Ceng Kunhi. Akan tetapi demi persahabatan kita, aku minta bahwa terhadap orang tua ini kau mengadakan pengecualiaan oleh karena selain ia penggarap sawah kami yang paling rajin, yang terutama sekali ia adalah calon mertuaku.

“Keparat . . . !” hati Han Cubeng memaki ketika mendengar ucapan situan muda yang tidak tahu malu itu. Kimlan menutupi muka dengan telapak tangannya, hatinya yang sedih pikirannya yang bingung ditambah rasa sebal mendengar ucapan si mata keranjang yang sangat menusuk perasaan itu, membuat anak dara ini seketika itu juga jadi menangis.

Be Kunbu si komandan itu ketawa bergelak “Ceng kongcu, kionghi, kionghi (selamat, selamat). Jangan lupa aku mesti kau undang untuk menenggak arak kebahagiaan. Ha-ha-ha . .

. !”

“Pasti, pasti !” saut si tuan muda sambil nyengir dan

membusungkan dada.

“Tidak! Hal ini masih belum dapat dikatakan pasti, sebab, sebagaimana pernah kuterangkan bahwa putriku ini sudah ditunangkan!” Han Cubeng menukas dengan berani karena hati orang tua ini merasa amat muak melihat lagak tengik dari sikongcu hidung belang itu.

“Mengapa tidak pasti?” mata Ceng Kunhi menyureng memandang kepada calon mertuanya dan amat lucu sekali ketika ia memandang demikian, manik-manik matanya yang tak normal terkumpul disudut kelopak mata sehingga mengepit pangkal hidungnya. “Pemuda kampung she Ong itu akan diberangkatkan hari ini juga menuju pembangunan raksasa, dengan begini berarti pertunangan dengan putrimu menjadi batal dengan sendirinya? Dan dengan begini pula bukanlah berarti menerima gagasanku. Ha-ha-ha . . . !” Ceng Kunhi ketawa penuh kemenangan.

Kagetlah hati Han Cubeng dan Kimlan, mendengar ini dara yang merasakan nasibnya malang itu lalu membukakan telapak tangan yang tadi menutupi mukanya dan matanya yang sayu mencari-cari kalau diantara rombongan tawanan itu benar-benar terdapat tunangannya. Dari rombongan mana terlihat seorang pemuda melompat dan berlari hendak menuju kearah tuan muda, pemuda ini adalah Ong Huli, tunangan Kimlan yang menjadi nekat karena dirinya ditarik kerja paksa atas tudingan jari telunjuk putra tuan tanah itu kini ia baru sadar bahwa situan muda keparat itu hendak merampas gadis tunangannya. Betapa marahnya hati pemuda ini dapatlah dibayangkan, sehingga ia melupakan kelemahan dirinya, maka segera nekat sekali ia berlari hendak menyerang tuan muda itu. Akan tetapi jauh sebelum maksudnya tercapai, ia telah dihadang oleh seorang serdadu yang mengirim tamparan disertai tendangan. Oleh karena Ong Huli tidak mengerti ilmu silat karena tiada dannya itu hanya mengandalkan kemarahan hati sehingga ia membabi buta, maka tak ampun lagi tabokan serdadu itu mampir dipipi kirinya dan tendangan menghantam dibagian lambungnya. Ong Huli terbanting dan roboh, kepalanya sangat pening dan lambungnya ia rasakan sakit bukan main sehingga ia sudah ditanah sambil merintih-rintih. Melihat ini Kimlan menjerit dan tiba-tiba tubuhnya terkulai roboh dalam keadaan diri tak sadar. Han Hayhauw cepat memeluk tubuh cicinya dengan maksud mencegah tubuh dara malang itu jangan sampai terbanting ditanah, akan tetapi tenaga bocah yang baru berumur sepuluh tahun ini ternyata tak kuat menahan daya berat tubuh cicinya yang terkulai itu, sehingga bocah ini turut jatuh dan tubuhnya tertindih oleh tubuh Kimlan yang pingsan itu.

“Tuan muda! Inilah yang kemarin kau sebutkan pertanggungan jawab untuk membereskan pertunangan yang sudah mengikat putriku itu! Hm, kau sungguh keji” kata Han Cubeng yang tiba-tiba timbul keberanian hatinya sehingga ia berani mengucapkan kata-kata berupa makian terhadap tuan muda itu. Memanglah seseorang kalau saking duka bingung takut serta merasa dirinya benar-benar terpepet, maka ada kalanya timbullah keberaniannya.

Biasanya Ceng Kunhi jangankan dimaki, sedangkan kalau mendapatkan peristiwa yang hanya tidak menyenangkan hatinya saja sudah cukup membuatnya marah sekali dan ia segera dan ia segera menyuruh tukang pukul tukang pukulnya yang selalu mengawalnya memberi hajaran terhadap orang itu. Akan tetapi, kini aneh sekali dimaki oleh orang tua ia hanya ketawa dan lalu ia berkata dengan nada sinis:

“Orang tua she Han kau jangan salah tumpa dan berlaku bodoh dengan sesungguhnya hendak kuangkat kau dan anak- anakmu dari lembah kemiskinan, tetapi mengapa bukannya kau berterimakasih malah memakiku keji? Ah, benar-benar kau orang tua tak tahu diuntung. Pendeknya, waktu yang kuberikan masih ada dua hari dan selama mana berpikirlah baik-baik. Aku tunggu kabar baik darimu, tanpa banyak alasan.”

Setelah mengucapkan perkataan yang bersifat mengancam ini, akhirnya tuan muda itu mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Si komandan gendut bopeng dan tiga tukang pukul berjalan mengiringi si tuan muda dari belakang mereka, terdengarlah suara bentakan-bentakan dan makian-makian dari para serdadu yang mencegah para orang- orang sial yang kena ditarik kerja paksa itu. Adapun Ong Huli yang masih meringkuk ditanah, segera dipaksa bangun dan lengannya ditarik oleh seorang serdadu sehingga dalam keadaan yang sangat terpaksa pemuda itu dapat juga bangun berdiri. Akan tetapi segera ia teruyung-huyung akan jatuh lagi hanya baiknya dua orang senasibnya segera merangkul dan memapahnya, sehingga ia dapat ikut serta dalam rombongan orang-orang sial itu yang berjalan maju perlahan-lahan, diiringi bentakan-bentakan dan makian-makian serta suara lecutan cambuk dari para serdadu yang mengawal dan memboyong mereka.

Han Cubeng masih berdiri mematung. Sepasang matanya seakan-akan mengeluarkan sinar api ketika pandangannya mengikuti kepergian situan muda pembawa celaka itu, akan tetapi mata orang tua ini kemudian berubah menjadi sayu dan perlahan-lahan menitikkan air mata kesedihan ketika melihat kawan-kawan sekampung dan terutama melihat calon menantunya diboyong dan akan dikirim kedaerah proyek pembangunan raksasa, dimana malaikat elmaut selalu mananti. Orang tua ini kemudian seperti baru sadar ketika ia mendengar suara panggilan Han Hayhauw yang ketika itu masih terlentang ditanah dan memeluki cicinya yang pingsan. Cepat Han Cubeng memangku tubuh putrinya dan dibawanya kedalam gubuknya lalu diletakkan diatas bale-bale pembaringan.

“Ayah kenapa dan bagaimana cici ini?” Han Hayhauw bertanya dengan penuh kekuatiran.

”Tidak apa, ia hanya pingsan karena tak tahan menguasai penderitaan hatinya” sahut si ayah sambil berusaha menyadarkan putrinya.

Bocah itu menarik nafas lega dan berkata lagi. “Ayah serdadu-serdadu tadi sangat jahat, aku lihat calon Cihu tadi ditempling dan ditendangnya. Calon Cihu Ong bersama kawan-kawannya akan dibawa kemana oleh serdadu- serdadu itu ayah?”

Han Cubeng maklum bahwa bocah yang baru sepuluh tahun umurnya itu belum dapat mengerti akan situasi dan nasib rakyat jelata dari suatu negara yang dijajah, maka secara singkat ayah ini menerangkan bahwa mereka yang diboyong tadi, termasuk calon cihu sibocah, ditarik kerja paksa sambil dijelaskan pula betapa mereka yang diboyong itu tak mungkin dapat kembali lagi. Akhirnya ayah itu menambahkan.

“Serdadu-serdadu itu memang jahat, akan tetapi jauh lebih jahat lagi situan muda she Ceng itu, selain ia penjilat pantat penjajah sehingga banyak bangsa sendiri menjadi korban dihadiahkan terhadap kepentingan pemerintah penjajah yang lazim, juga seperti kau sendiri tahu dan lihat, dengan mempergunakan pengaruh kekayaannya, betapa dia menimpakan kesulitan kepada kita.”

Han Hayhauw bediam untuk seketika lamanya sambil sepasang matanya yang bersinar tajam itu berkedip-kedip. Agaknya bocah ini diam-diam sedang memahami dan menganalisa kata-kata ayahnya dan sejak itu tumbuhlah rasa dendam terhadap si tuan muda she Ceng dilubuk hati bocah ini.

Pada hari itu barisan operasi pengumpulan tenaga yang bergerak didusun Ho-leng-chun berhasil mengumpulkan tak kurang dari seratus orang pekerja paksa dan pada sore hari itu mereka diberangkatkan. Seperti biasa pula, akibat dari operasi biadab ini disusul dengan mengambangnya mayat- mayat wanita yang membunuh diri karena tak kuasa menanggung rasa malu setelah dirinya ternoda oleh gangguan-gangguan orang-orang berhati iblis itu, menggantungnya mayat orang-orang lelaki yang putus asa dan lain-lain pandangan yang mengerikan pula. Hanya wanita- wanita yang kebetulan menjadi putri atau istri para hartawan yang banyak mempunyai uang sogok sajalah yang selamat tidak terganggu. Adapun nona Han Kimlan yang tinggal selamat dan tidak terganggu merupakan hak pengecualiaan. Oleh karena ia mendapatkan hak dispensasi istimewa dari tuan muda Ceng Kunhi sungguhpun keadaan ini hanya berlaku untuk sementara waktu. Yaitu dua hari . . .

Adapun pada keesokan harinya, kebingungan Han Cubeng makin bertambah-tambah. Sejak pagi hari ia kehilangan Kimlan, tadinya ia menyangka bahwa anaknya itu pergi kesungai mencuci pakaian seperti biasa, akan tetapi sampai menjelang waktu tengah hari yang dinanti belum juga muncul, ayah ini sudah mulai menaruh curiga kalau-kalau . . . . . . . .

-o0odwo0o-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar