Jilid 10

Tan Ceng Po goyang-goyang tangannya.

"Sahabatku, kau keterlaluan!" ia berkata, "Tugas yang kau berikan kepadaku ada terlalu hebat! Aku bicara menuruti keadaan, karena aku percaya Bancie sanchung sudah terjaga kuat. Tapi sekarang kau serahkan dusunmu padaku, bagaimana aku bisa menerima itu?

Coba ini terjadi pada empatpuluh tahun berselang, pasti dengan tidak ayal lagi aku menerima dengan kedua tangan! Sekarang usiaku telah lanjut, aku tidak lagi ada sedemikian tolol! Baiklah kau cari lain orang saja "

Hoa Ban Hie tertawa berkakakan.

"Kalau aku katakan kau tua bangka licin, kau tentu tidak puas! Bukankah kau tadi, dengan ucapanmu, hendak bikin darahku naik, supaya aku layani orang yang datang, agar kau bisa menonton, menyaksikan, akan buka matamu, akan tambahkan pengalamanmu? Kau tidak berani omong langsung, kau bicara secara samar- samar! Kau begini licin, kalau aku tidak serahkan tugas kepadamu, kepada siapa lagi? Sahabat bangkotan, kau tenangkan hatimu, si Malaikat Kemelaratan tidak nanti berlaku sampai melewati batas aturan, hingga kebaikan hati sahabatnya hendak disia-siakan! Kau harus tahu, tugas ini tidak sama dengan kewajiban buat pergi memenuhkan janji ke Haytong-kok! Kiongsin Hoa Ban Hie punya juga nama kosong di kalangan Sungai Telaga, jikalau bukannya orang yang tersohor namanya, atau yang biasa saja, tidak nanti dia berani datang kemari untuk banyak tingkah! Kalau orang sampai berani datang, ia mesti sangat tersohor, maka itu, cara bagaimana aku boleh tidak bersiap? Mustahil aku hendak biarkan saja orang, dengan sekali gebrak, bikin rusak Bancie sanchung?"

Tan Ceng Po manggut-manggut, ia tertawa.

"Kau benar!" ia jawab. "Memang, siapa juga, ia mesti kalah! Untuk menghadapi orang pandai, kalau kita tidak siap dengan sempurna, kita bakal meninggalkan bencana hebat bagi belakang hari!"

"Memang! Maka juga di sini, di mana saja, yang aku anggap penting, aku ada taruh penjagaan, malah di tempat yang tidak penting, aku pun tidak lupakan. Kita mesti menjaga agar kita bisa layani dengan baik pada sesuatu orang yang datang kemari — dan kita semua mesti bersatu hati! Umpama kata kita tidak mampu lindungi Bancie sanchung yang kecil, tentu kita tidak usah lagi pergi ke Haytong-kok. Kalau di tempat sendiri sudah jatuh, kenapa kita mesti pergi ke lain tempat, untuk mendapat malu saja?"

"Sahabat karib!" Tan Ceng Po tertawa. "Benar-benar, sejak kenal pada kau, belum pernah aku dapatkan kau ada berhati-hati seperti sekarang ini! Itulah bagus!"

Hoa Ban Hie tidak kata apa-apa, ia melainkan bersenyum.

Kemudian, mereka bicarakan lain-lain urusan. Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong telah ambil putusan, buat urusan coanpang, mereka tidak mau minta bantuan lain- lain orang lagi. Dan mengenai perkara sakit hati dari Yan Toa Nio, nyonya ini dan gadisnya dikasih kemerdekaan untuk menuntut balas, kalau tenaga mereka tidak cukup, barulah mereka hendak dibantu, supaya dengan begitu, muka terang dari ibu dan gadis itu bisa terjamin. Mereka hanya hendak tunggu datangnya Hengyang Hie-in Sian Ie dan Hee In Hong. Tapi kalau undangan Haytong-kok datang terlebih dahulu, terpaksa mereka tidak bisa menanti lagi dan mesti pergi seada-adanya saja.

"Maka itu, biar bagaimana, kita mesti siap, agar kita tidak nampak kegagalan," demikian Tan Ceng Po nyatakan akhirnya.

Hoa Ban Hie bersenyum. "Sebenarnya di Bancie sanchung ini tidak ada yang harus ditakuti," ia kata sambil tertawa. "Aku bukannya orang bangsawan, semua orang di sini ada sama rudinnya seperti aku, malah rumah kita juga ada gubuk-gubuk yang bobrok, semua dibikinnya bukan dengan pakai uang atau ongkos, maka kalau tempat ini ada yang ganggu, tidak ada yang harus dibuat sayang. Hanya, apa yang sukar bagiku, ialah selama aku masuk di kalangan Sungai Telaga, belum pernah aku ganggu lain orang, belum pernah ada orang yang gasak setangkai rumputku atau sepotong balok, karena ini kebiasaan, asal tidak ada gangguan, aku tidak akan jadi kalap. Demikian dalam urusan sekarang, aku dan Pian Siu Hoo boleh saling lihat saja! Umpama kata aku lagi senang, biarnya dia bakar habis Bancie sanchung sampai jadi abu, aku akan hadapkan ia dengan tertawa saja, aku akan tetap pandang ia sebagai sahabat, hanya kapan aku sedang mendongkol, sebatang rumput saja ia patahkan, kendati itu diganti dengan sepotong emas, aku tetap tidak akan mau mengerti! Biarnya dia katakan aku si Malaikat Kemelaratan sudah gila, aku tetap tidak akan kasih ampun padanya! Siapa datang dengan baik kemari, untuk melihat-lihat, kendati aku miskin, tidak nanti aku sia-sia pada mereka, aku akan jadi tuan rumah yang manis budi, hanya bila aku lagi murka, aku lantas tidak kenal siapa juga, satu datang, satu aku bereskan, sebelum aku memberikan hukuman pada semua, belum aku mau berhenti!"

Mendengar tuan rumahnya sedang mengoceh, semua tetamu itu berdiam saja, hanya di dalam hati mereka tertawa geli, sebab Kiongsin benar-benar ada aneh.

Seterusnya, sampai terang tanah, Bancie sanchung ada aman seperti biasanya. Sama sekali tidak ada tertampak orang keluar atau masuk. Kiongsin, dari pagi, telah pergi ke mana tahu. Tapi Tan Ceng Po bisa menduga bahwa si Raja Pengemis sudah atur persiapan. Adalah setelah matahari turun, baru ia muncul di antara sekalian tetamunya. Dan ia telah keluarkan elahan napas lega.

"Aku si tua bangka sudah lima atau enam tahun belum pernah bekerja begini lelah," ia kata. "Inilah yang dibilang, di kolong langit tidak ada urusan yang bikin orang repot hanya orang mencari repot sendiri. Sekarang ada waktunya untuk aku beristirahat. Sebentar malam ada ketikanya bagi aku menyambut dan menjamu sahabat-sahabat baik, buat ini aku ingin lihat mereka punya rejeki mulut, untungnya bagus atau tidak. Aku pikir, siapa mau datang ke Bancie sanchung-ku ini, sekarang ada ketikanya yang paling baik, sebab seliwatnya ini, aku tidak akan terima tetamu lagi, aku tidak akan sambut mereka itu!"

Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong ada orang-orang yang tidak boleh dibuat permainan, toh terhadap Kiongsin Hoa Ban Hie, mereka ada jeri, melainkan Tonglouw Hiejin yang kadang-kadang berani sedikit bersenda gurau, Lim Siauw Chong tidak sama sekali.

Ketika langit mulai gelap, baru kelihatan orang-orang kampung, berdua atau bertiga, tertampak di matanya Tan Ceng Po sekalian, mereka itu agaknya seperti orang- orang yang baru pulang dari pekerjaan. Chungteng pun telah nyalakan api, mereka punya pelita atau lampu ada istimewa, ialah sepotong batu pecahan dipakai sebagai tatakan dua paso kecil dari batu, seputarnya paso sudah pada gugus, isinya ada separuh, dan sumbunya ada kasar, waktu disulut, api itu bersinar tinggi hampir satu kaki.

Bancie sanchung terdiri dari rumah-rumah gubuk, tetapi semuanya bersih luar biasa, dari itu pelita mereka pun ada luar biasa. Diletakkan di depan rumah yang dijadikan sebagai kantoran — di mana sekalian tamu- tamu berdiam—pelita itu memberikan pemandangan tak menyurupi.

Di depan pintu, di sepanjang pinggiran payon dan di kiri kanan pintu dan jendela, dengan masing-masing sepotong bambu ada digantung selembar kertas putih, maka itu, di sinarnya lentera, kertas itu menerbitkan sinar terang umpama siang. Pun di atas setiap rumah, malahan di atas cabang pohon, diikat pada sebatang bambu ada dinyalakan lentera yang serupa. Hanya sampai di depan pohon-pohon cemara yang lebat barulah tidak tertampak lentera itu.

Kantor dari rumah itu, yang dipanggil cun-kongso, hanya ada empat pemuda yang menjadi pengawal, yang lain-lain setelah selesai api dinyalakan, telah mengundurkan diri. Di semua bilangan ada sunyi senyap, melainkan dari dalam cun-kongso sering terdengar suara berisik.

Menghadapi pintu kongso diatur meja dengan delapan buah kursi. Para hadirin terdiri dan enam orang berikut Hoa Ban Hie, ialah Tan Ceng Po, Lim Siauw Chong, Cukat Pok, Yan Toa Nio. Yan Leng In dan tuan rumah. Meski begitu, Tan Ceng Po tidak tanyakan apa-apa, melainkan Cukat Pok yang merasa aneh.

Tidak lama, barang-barang santapan sudah mulai disajikan. Melihat itu, semua orang menjadi kagum. Dandanan sebagai pengemis, semua rombengan atau tambalan, rumah mereka semua gubuk, tetapi barang makanannya semua ada pilihan dari timur dan selatan. Bahan makanan seperti ini, jangan kata orang miskin, sekalipun hartawan tidak semuanya mampu menyajikan.

"Thjungcu mempunyai tamu, kenapa kau tidak mau undang ia keluar?" akhirnya Yan Toa Nio menanya. "Kita tidak berlaku seejie lagi terhadap chungcu, kenapa kau agak sebaliknya? Silakan undang tamu chungcu itu agar kita orang boleh duduk dan bersantap sama-sama!"

Hoa Ban Hie manggut-manggut ketika ia jawab nyonya tamunya itu. "Harap toanio tidak buat pikiran," ia bilang. "Aku si pengemis tua pasti tidak akan berlaku tidak hormat. Kalau tamuku telah berada di sini, mustahil aku tidak lantas undang ia keluar dan duduk bersama- sama kita? Seperti aku telah bilang, aku sediakan barang santapan, siapa yang datang, dialah yang akan merasakan itu. Menurut dugaanku, mestinya akan datang pula dua tamu, dua sahabat kekal ke Bancie sanchung ini, untuk membikin mukaku menjadi terang, tetapi, jika mereka tidak datang, apa dayaku? Silakan duduk, silakan, ini adalah ketika baik bagi kita orang! Selama Bancie sanchung masih utuh, selama itu juga kita orang boleh bersenang-senang, jika nanti dusun ini telah berubah menjadi abu, adalah sukar untuk mengharap kita orang bisa berkumpul pula seperti ini! Maka juga malam ini aku keluarkan semua apa yang aku miliki, dan telah kurbankan uang simpananku untuk barang-barang hidangan ini. Maka siapa yang berlaku sungkan-sungkan, ia seperti sia-siakan maksud baikku! Jangan kau orang tertawakan aku, seumur hidupku, ini adalah yang pertama kali aku undang tamu untuk berjamu! Mari, aku hendak memberi selamat dengan satu cawan!"

Karena yang berkumpul ada orang-orang Sungai Telaga, mereka tidak lagi berlaku sungkan, apalagi tuan- rumah sendiri telah berikan keterangannya dan berlaku merdeka.

Dengan dilayani oleh empat pelayan, mereka sudah lantas mulai minum dan dahar. Cukat Pok merasa aneh, ini ada pengalamannya yang luar biasa, tetapi ia bisa sesuaikan diri.

Bila orang telah minum tiga edaran, Hoa Ban Hie mengawasi lilin yang ditancap di ciaktay.

"Sekarang sudah waktunya, kenapa mereka belum juga datang? Apakah benar-benar mereka hendak main- main dengan aku? Apa benar mereka tidak hendak minum arak? Jika demikian, mereka benar-benar hendak cari susah sendiri! "

Dari pembicaraannya itu, bisa diduga bahwa Hoa Ban Hie ada janji orang. "Cukup, Hoa loosu, jangan kau main-main terlebih lama dengan aku!" Tan Ceng Po lantas menegur. "Siapa sebenarnya yang kau telah undang datang kemari akan hadiri perjamuanmu ini? Harap kau tidak membikin kita semua jadi berlaku kurang hormat terhadap tamu-tamu itu, itulah ada tidak bagus bagi kita orang "

Hoa Ban Hie bersenyum pada sahabatnya itu.

"Kau sudah begini tua, kenapa kau tidak bisa tahan sabar?" ia balikkan. "Akhir-akhirnya kau toh akan melihat juga! Apa kau tidak ingat itu perkataan: asal Co Coh disebut-sebut, Co Coh lantas muncul? Barangkali sahabat-sahabatku itu juga sudah datang! "

Semua orang pasang kuping, tetapi mereka tidak dengar apa-apa, maka mereka duga tuan rumah sedang membanyol atau main gila. Tapi Hoa Ban Hie bicara tidak sambil tertawa atau bersenyum, malahan ia unjuk roman sungguh dengan menunda cawannya yang ia pegang dan pasang kuping.

"Hah, kenapa mereka tidak tahu penghormatan?" tiba- tiba ia berkata seorang diri. "Kenapa mereka tidak mau biarkan kita bikin penyambutan? Tidak, ini tidak bisa terjadi, sebagai tuan rumah aku harus menyambut sendiri!"

Dengan satu gerakan ia telah terpisah dari kursinya, bila ia telah mendek sedikit, segera tubuhnya menyusul melesat ke luar. Menampak demikian, Tan Ceng Po semua menduga bahwa tentu ada orang datang, maka itu mereka pun berbangkit. Dengan beruntun mereka bertindak ke luar sampai di depan cun-kongso. Tapi keadaan Bancie sanchung, kecuali bagian depan dari kongso ini, semua ada gelap dan sunyi, tidak terdengar suara apa-apa. Maka mereka terus pasang kuping, tidak ada satu yang bicara.

Tidak terlalu lama, di jurusan timur selatan ada terdengar suara yang sangat perlahan, hingga sukar membedakan suara itu.

"Dengar," berkata Tan Ceng Po pada kawan- kawannya, "kita rupanya akan menyaksikan si pengemis tua punya kepandaian! Sudah terang ada orang yang telah menerobos masuk ke dalam Bancie sanchung ini, orang itu agaknya sengaja hendak uji kepandaiannya tuan rumah! Lihat saja, kita akan saksikan pertunjukan yang menarik hati!"

"Tetapi, loo-cianpwee, tidak selayaknya untuk menonton saja!" berkata Yan Toa Nio. "Hoa loosu senantiasa omong besar dan seperti tidak keruan, tetapi hatinya ada sangat mulia, perbuatannya harus dibuat kagum! Untuk kami ibu dan anak, ia telah melakukan perjalanan berbahaya ke Haytong-kok, hingga ia telah tanam bibit permusuhan dengan Tiathong-liong Pian Siu Hoo, maka jika Bancie sanchung sampai turun pamor, bagi kita, itu pun ada sangat memalukan. Jika itu sampai terjadi, aku malu sekali.

Marilah kita orang bantu membikin penjagaan! "

"Kau ada berbudi, toanio, kau tidak bisa lupakan orang punya kebaikan, itulah ada kebaikanmu," Lim Siauw Chong berkata, "tetapi di lain pihak, kau telah tidak insyaf bahwa terhadap si pengemis tua, kau harus bersikap lain. Kau harus ingat, kamu berdua, ibu dan anak, baru pertama kali ini ketemu padanya. Sepak terjang orang tua itu ada sangat merdeka dan sembarangan, seperti juga mulutnya bisa mengucapkan segala apa, manis atau pahit. Kau tahu, bisa terjadi, sedang kau bermaksud baik, kebaikanmu akan tidak diterima! Jika itu sampai terjadi, cara bagaimana kau bisa berdiam lebih lama pula di Bancie sanchung ini? Beda adalah kita orang, kita tidak gubris apa yang si pengemis tua bilang, karena kita sudah ketahui tabiatnya yang aneh itu. Sekarang baiklah kita atur begini saja. Toa Nio dengan nona dan Cukat Pok boleh tetap duduk di sini sambil pasang mata, jangan kau orang berlalu dari sini, kita berdua saudara mau pergi akan melongok serta membantu jika itu perlu. Secara begini, kita juga jadi bisa belajar kenal dengan orang yang baru datang itu."

Yan Toa Nio menghargakan Lim Siauw Chong, yang telah bantu padanya dan bersikap manis, maka itu ia tidak mau membantah pembicaraannya, sedang sebenarnya ia ingin sekali ajak anaknya pergi menyusul Kiongsin.

"Baiklah, loo-cianpwee," ia berkata.

Cukat Pok juga ingin keluar, tetapi mendengar ucapannya Lim Siauw Chong dan mengetahui sifatnya Hoa Ban Hie, terpaksa ia tutup mulut, maka bersama- sama Yan Toa Nio dan Yan Leng In, ia diam saja.

Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong sudah lantas gunakan kepandaian mereka akan berlalu dengan cepat dari meja perjamuan, tetapi mereka berlalu dengan berpisahan, ialah yang satu menuju ke barat utara dan yang lainnya ke timur selatan. Tetapi, baru mereka berlalu belasan tombak dari cun-kongso, mereka sudah dapatkan rintangan. Malah Cukat Pok bertiga, telah lihat rintangan itu. Tan Ceng Po loncat naik ke wuwungan rumah waktu ia dirintangkan, dua bayangan telah serang ia sampai hampir-hampir ia menjadi korban, berulang-ulang ia terangkan bahwa ia ada tetamunya tuan rumah, sampai ia sebutkan she dan namanya, tetap orang tidak gubris ia, yang terus tidak dikasih maju, malah ia diserang pergi datang, sama juga ia ada musuh. Tapi karena ia tidak mau mundur dan kepandaiannya ada tinggi, dengan gampang ia bisa pecahkan serangan dan nerobos maju.

Pengalaman dari Lim Siauw Chong ada serupa, ia mesti gunakan kepandaiannya, akan singkirkan rintangan. Sekarang, seperti Tan Ceng Po, ia telah dapat pengalaman.

Dari pengalamannya kedua tetua dari Kiushe Hiekee sekarang terbukti, penduduk Bancie sanchung, romannya saja seperti pengemis, tidak tahunya, mereka semua ada punya kepandaian berarti. Maka itu, mereka diduga bukannya orang-orangnya Hoa Ban Hie sendiri hanya ada orang-orang ternama, yang jadi sahabatnya Hoa Ban Hie, yang datang dengan sengaja menyamar sebagai penduduk dusun, untuk umpatkan romannya yang sejati.

Lim Siauw Chong telah dirintangkan sampai dua kali, tetapi dua-dua kalinya ia tidak mau pecahkan rintangan dengan keluarkan kepandaiannya yang berarti, hanya dengan gunai kesehatan atau kegesitan tubuh, ia bisa egos diri dari perintang-perintang itu.

Menampak rintangan itu, Cukat Pok bertiga Yan Toa Nio dan Yan Leng In jadi semakin tidak berani berlaku sembrono, mereka tidak berani tinggalkan kongso.

Itu waktu empat pelayan telah benahkan segala apa, juga lentera, kecuali itu dua paso pelita, yang tetap berada di tempatnya, malah apinya tetap ada menyala seperti mula-mula.

Supaya bisa melihat keempat penjuru, Cukat Pok ajak Yan Toa Nio dan Yan Leng In loncat naik ke atas rumah di mana mereka mendekam di wuwungan. Mereka pun pasang kuping.

Sebagai permulaan, di jurusan barat utara ada terdengar suara apa-apa, yang saling susul, yang saling berpisahan, sebentar ke utara sekali, sebentar pula ke barat, atau lantas sunyi pula.

"Pengemis tua itu benar-benar liehay," kata Cukat Pok pada Yan Toa Nio. "Aku percaya, orang yang datang itu tidak bakal peroleh hasil suatu apa di dalam Bancie sanchung ini, atau bisa jadi ia bakal rubuh "

"Pengalamanku ada cetek, tetapi menurut pemandanganku, orang yang datang mesti ada satu orang yang liehay sekali," Yan Leng In turut bicara. "Coba loo-cianpwee kasih tahu padaku, suara tadi ada dari pihak tuan rumah atau dari tetamu?"

"Aku percaya itu ada suara dari pihak tetamu, yang mengasih tanda pada kawan-kawannya," sahut Souwposu. "Sebegitu jauh yang aku ketahui, pertandaan di sini adalah suitan, yang gampang buat dikenalkan."

"Apa loo-cianpwee bisa duga dari mana orang ambil jalan masuk?" nona Yan tanya pula. "Penjagaan di sini ada kuat sekali, biar bagaimana, orang tentu akan nampak rintangan. Barusan suara itu ada bergantian tempat, apa bisa jadi, tetamu datang dengan banyak? Kalau ini dugaan benar, kenapa pihak Bancie sanchung tidak kerahkan antero tenaganya? Jika mereka berjumlah sedikit, kenapa mereka bisa bergerak di berbagai-bagai jurusan? Kenapa mesti Kiongsin sendiri yang keluar menyambut? Maka aku percaya betul, musuh mesti ada liehay sekali!"

Cukat Pok manggut, ia mau benarkan dugaan si nona. "Jangan berisik!" kata Yan Toa Nio dengan tiba-tiba.

"Lihat itu di jurusan timur selatan, rupanya itu ada

bergerak-geraknya bayangan orang..."

Adalah di itu waktu, belasan tombak jauhnya di luar kongso, di atas rumah gubuk, tiga bayangan kelihatan nyata bergerak-gerak, tanda dari pertempuran, yang disusul sama suara bentak membentak. Mereka seperti main uber-uberan, hanya tidak dapat dipastikan, mana musuh dan mana pihak Bancie sanchung. Gerakan mereka ada gesit sekali.

Segera terdengar suara tertawa menghina, dua bayangan berdiam di atas rumah, bayangan yang ketiga entah telah pergi ke mana. Maka sekarang ternyata, ada musuh datang menyerang, ia kena dirintangi oleh dua penjaga, lantas ia menghilang. Dua bayangan itu pun turut menghilang.

"Yang mengherankan adalah si pengemis tua yang telah mempunyai pembantu-pembantu yang liehay," kata Cukat Pok pada Yan Toa Nio.

"Kalau orang biasa saja dari kalangan Sungai Telaga, siapa yang bisa datang masuk kemari akan cabut kumis harimau?"

Souwposu belum tutup mulutnya, atau ia berseru, "Eh!" kemudian sambil tepuk pundaknya Yan Toa Nio, ia kata pula, "Lekas lihat, itu di atas rumah besar!" Yan Toa Nio lekas putar tubuhnya, maka ia masih bisa lihat mencelatnya satu bayangan, yang muncul dari belakang rumah. Dengan loncatan Yancu hui-in-ciong atau "Burung walet terbang menembusi mega", Cukat Pok lantas lompat melesat ke jurusan rumah itu.

Yan Toa Nio dan gadisnya lantas mengerti bahwa musuh sudah gunai akal "Seng tong kie see" atau "Bersuara di timur, menyerang di barat." Ialah karena di depan kena dirintangi, ia pergi ke belakang, kelihatannya ia mundur, tidak tahunya ia mundur dengan berpura- pura. Gerakannya musuh itu ada gesit luar biasa.

Yan Toa Nio dan gadisnya sudah lantas bergerak, akan menyusul, dengan berpencaran, maka bersama- sama Cukat Pok, mereka jadi bergerak dalam tiga jurusan. Tapi Cukat Pok yang maju paling cepat.

Musuh rupanya telah dapat lihat ada orang menghampirkan padanya, dari sikapnya, yang pasang diri, ia seperti tidak takuti apa-apa, hanya ketika ia lihat datangnya dua orang lain, tubuhnya bergerak dengan tiba-tiba. Segera terdengar suaranya, katanya, "Sahabat baik, kau telah datang kebelakangan! "

Suara itu terdengarnya jauh, tetapi waktu terdengar perkataannya yang paling belakang, yaitu ". ke

belakangan," mendadak dari jurusan barat utara ada menyamber satu bayangan lain, baru saja bayangan itu injak kakinya di wuwungan, atau ia sudah mencelat pula ke jurusan musuh.

Pihak musuh telah putar tubuhnya ke depan, setelah mana, ia segera layani bayangan yang baru datang itu, hingga keduanya jadi saling menyerang. Belum lama, atau mereka lantas berpencaran, ialah yang satu loncat mundur ke rumah samping dan yang lainnya berdiri di tempat pertempuran dan hanya mundur sedikit.

Cukat Pok bertiga sekarang telah tiba di rumah besar itu, maka mereka bisa lantas kenali Hoa Ban Hie, sedang musuh yang loncat ke rumah samping, telah menyingkir lebih jauh ke belakang dari rumah itu.

Melihat orang mundur, Hoa Ban Hie sudah lantas menegur, "Sahabat baik, kenapa kau berlaku tidak manis? Kau seharusnya melayani aku lagi dua jurus! "

Setelah berkata demikian, ia loncat menyusul.

Yan Toa Nio memberi tanda pada anaknya, ia lantas mundur untuk terus memutar ke depan. Ia ingin bisa cegat musuh itu. Cukat Pok tidak memberi tanda apa- apa, tetapi ia pun telah undurkan diri akan pergi memutar ke depan, hingga gerakannya ada hampir berbareng dengan gerakannya Yan Toa Nio dan Leng In.

Di depan cun-kongso keadaan gelap, kecuali itu dua paso yang merupakan pelita istimewa, yang apinya sekarang ada agak guram, hingga di luar dua tombak, cahaya api itu tidak sampai.

Tempo Yan Toa Nio dan anaknya tiba di jalanan, dari mana mereka lompat naik ke atas rumah gubuk sebelah barat, keduanya tidak dapat tampak pula bayangan musuh. Dan Kiongsin Hoa Ban Hie juga turut lenyap.

Ketika mereka kembali pergi ke belakang cun-kongso, di situ mereka bertemu dengan Cukat Pok yang juga tidak berhasil mencegat musuh. Bertiga mereka malu sendirinya, karena ternyata mereka sudah kalah terhadap musuh punya kegesitan. "Musuh ada liehay luar biasa," berkata Cukat Pok dengan perlahan pada Yan Toa Nio. "Sekarang mari kita coba cari padanya! "

"Jangan," Yan Toa Nio lekas mencegah. "Kita bukannya hendak unjuk kelemahan tetapi kita tidak boleh kosongkan cun-kongso, di sana hanya ada pelayan dan tidak ada yang jaga, jika ada terjadi sesuatu, apakah si Malaikat Kemelaratan tidak akan mentertawakan kita? Maka sudah cukup jika kita melakukan penjagaan saja "

"Begitupun baik," berkata Cukat Pok, yang terus putar tubuhnya atau segera ia menjerit, "toanio, lekas! Kita telah kena dikalahkan! "

Yan Toa Nio dan Yan Leng In segera putar tubuhnya dan mereka pun menjadi kaget.

Dua pelita paso di muka pintu sebelah kiri dari cun- kongso sekarang telah pindah — atau lebih benar: orang telah pindahkan — ke muka pintu sekali.

Cukat Pok masih dapat melihat bayangan orang yang memindahkan paso itu, hanya mukanya tidak tertampak nyata, maka juga, setelah keluarkan jeritannya, ia sudah gunakan antero kebisaannya akan loncat melesat hingga jauhnya tiga tombak lebih, untuk dapat menyusul musuh. Ketika ia telah injak tanah, musuh kebetulan sudah putar tubuh, loncat ke sebelah kanan kongso, naik ke atas rumah jauhnya tiga atau empat tombak.

Dengan perasaan sangat malu, Cukat Pok enjot pula tubuhnya untuk menyusul.

"Sahabat, ke mana kau hendak pergi?" ia berseru. Keduanya sama-sama berloncat, tetapi jika Cukat Pok hanya dapat meloncat tiga tombak lebih jauhnya, orang itu loncat empat tombak, dari situ jadi ternyata bedanya kepandaian mereka berdua.

Dengan tidak buang tempo lagi Cukat Pok gerakkan kedua tangannya akan menyerang, tubuhnya turut lompat maju.

Orang itu mendekkan tubuhnya, kaki kanannya diangkat, dengan gunakan kaki kiri, ia putar tubuhnya dan bangun, dengan demikian pukulannya Souwposu telah lewat, kemudian dengan tangan kiri ia samber orang punya kedua tangan. Ia telah gunakan Tantwie- chiu atau "Pukulan tangan sebelah" untuk membikin patah lengan, gerakannya sangat cepat.

Cukat Pok melihat serangannya gagal dan orang telah barengi menghajar padanya, lekas-lekas ia tarik pulang tangannya sambil tubuhnya mendek, kemudian dengan angkat pundak kiri, tangan kirinya digerakkan, diiringi dengan tangan kanan ia mengarah orang punya paha kiri.

Musuh ada sebat betul. Ia mundur begitu lekas serangannya tidak berhasil, sambil mundur ia perbaiki diri, maka juga dengan sangat cepat ia dapat maju akan menyerang pula. Sekarang ia gunakan kedua tangan dan menjuju dada. Itu adalah ilmu pukulan Hekhouw sin- yauw atau "Harimau hitam lempangkan pinggang".

Untuk menyingkir dari bahaya, Cukat Pok putar tubuhnya sambil memutar, ia bikin tubuhnya berada di samping, dari sini, dengan kaki kiri memasang diri, dengan kaki kanan ia menyapu kaki musuh. Musuh itu ada awas dan gesit, atas datangnya serangan, ia enjot tubuhnya akan berkelit sambil berlompat tinggi, kemudian ia menjatuhkan tubuhnya di sebelah kiri.

Cukat Pok buru-buru memperbaiki diri dan menyerang pula untuk kedua kalinya, tetapi justru itu, Yan Toa Nio dan gadisnya tiba, akan dari kiri dan kanan maju mengepung musuh yang belum dikenal itu, hingga orang itu kena dikerubuti.

Ketika Yan Toa Nio telah datang dekat, musuh kebetulan baru taruh kakinya, ia ketahui musuh ada liehay luar biasa, dari itu, begitu menyerang, ia sudah lantas gunakan Eng-tiauw hoankie-ciang dan tujuannya adalah musuh punya batok kepala.

Dengan tarik mundur tubuhnya, musuh itu selamatkan diri dari serangan yang berbahaya itu dan dari mulutnya telah mengeluarkan bentakan, "Nelayan perempuan, jangan kurang ajar!" Dan berbareng dengan itu, tangan kirinya telah digerakkan untuk serang Yan Toa Nio punya lengan kanan, la telah gunakan tipu silat Kimsit bekwan atau "Benang emas melibat lengan". Ketika tangan itu sampai, mendadak jari-jari tangannya terbuka, melainkan jari telunjuk yang menotok nadinya si nyonya. Dan ini adalah yang dinamakan tipu Kimkong-cie atau "Jarinya Kimkong".

Yan Toa Nio kaget melihat caranya musuh menyerang padanya. Ia kenal baik tipu itu dan tahu cara menangkisnya, tetapi sekarang musuh gunakan ilmu menotok, malah ia kenal ilmu ini, ialah satu bagian dari Itcie Sinkang, salah satu ilmu totok paling liehay dari dunia persilatan dari selatan. Ia pun sekarang jadi ketahui, sama siapa ia sedang berhadapan, karena ia tahu, di pihak musuh ada In Yu Liang yang ada jadi ahli dari ilmu totok itu.

Bukan main kagetnya Yan Toa Nio, karena di saat yang berbahaya itu, ia tidak tahu bagaimana ia harus bertindak, untuk tolong dirinya. Kalau nadinya kena tertotok, celakalah sebelah tangannya itu.

Dalam saat yang berbahaya itu, tiba-tiba dari atas rumah dari cun-kongso — munculnya dari belakang — kelihatan satu bayangan melesat turun, cepatnya luar biasa, dan turunnya di belakang sekali dari In Yu Liang. Bayangan itu segera juga kasih dengar suaranya yang nyaring dan berpengaruh, "Di dusunnya si pengemis aku tidak ijinkan kau banyak tingkah!" Dan suara itu dibarengi sama serangan tipu Kimcee-chiu atau "Tangan cagak emas."

In Yu Liang kaget buat datangnya musuh secara mendadakan itu, apapula ia tahu, musuh ada liehay dan serangannya berbahaya, kalau ia tidak berdaya dengan lebih dahulu batalkan serangannya terhadap Yan Toa Nio, pasti ia celaka. Dengan terpaksa ia tarik pulang tangannya, sambil lompat ke samping, ia putar tubuhnya buat terus tangkis serangan musuh.

Yan Toa Nio telah ketolongan, hatinya bukan main lega. Tapi ia tidak kenal takut, ia tidak mau menyingkir, malah sebaliknya, ia merangsek, akan serang pula musuhnya yang liehay itu. Ia pun tahu, penolongnya, adalah ketua dari Bancie sanchung, Hoa Ban Hie. 

Tatkala itu Cukat Pok dan Yan Leng In telah sampai, dengan tidak banyak omong, berdua mereka maju akan kepung musuh. Tetapi Hoa Chungcu tidak mau main kepung- kepungan.

"Silakan kau orang mundur!" ia kata dengan nyaring. "Jangan kau orang rampas ini satu pahalaku! Sejak aku si pengemis tua datang ke desa ini, belum pernah aku lakukan suatu apa buat gunanya penduduk desa ini, maka sekarang adalah ke-tikanya untuk aku undang tetamuku!"

Selagi ia berkata-kata, ia sudah mulai bertempur sama In Yu Liang.

In Yu Liang ada satu orang tersohor di daerah Samsiang, di selatan dan utara Tiangkang, kecuali ilmu silatnya tinggi, ia juga ditakuti karena kepandaian ilmunya menotok jari Itcie Sinkang. Ia sebenarnya datang ke Bancie sanchung dengan niatan masuk dengan berterang, apa-mau selagi mendekati Bancie sanchung belum setengah lie, ia sudah hadapkan rintangan, hingga ia jadi sengit, hingga ia urungkan maksudnya yang pertama, karena ia percaya bahwa orang telah pandang rendah kepadanya. Begitu ia gunai kepandaiannya, akan terjang sesuatu rintangan, dan rintangan semakin tangguh, ia semakin bernapsu. Dan ia ternyata bisa tobloskan sesuatu penjagaan yang kuat. Kecuali di depan, sampai di mulut desa, ia lihat segala apa ada sunyi, penjagaan seperti tidak ada, hanya setelah ini, baru ia hadapkan pula gangguan. Di sini, setiap lima tombak, ia saban-saban mesti hadapkan rintangan.

Kecuali Cauwsiang huiheng atau Ilmu lari di atas rumput, In Yu Liang juga telah yakin sempurna ilmu Tengpeng touwsui atau "Menyeberangi air dengan naik kapu-kapu." Begitulah, untuk masuk, ia berlari-lari di atas pepohonan. Mula-mula ia putarkan dahulu seluruh desa, hingga ia bisa lihat Bancie sanchung adalah satu desa yang sunyi dan tenang. Ia berlaku hati-hati, karena ia tahu, meskipun tenang, dusun ini mesti ada terjaga kuat. Dengan ini jalan, ia bisa pancing bergeraknya penjaga- penjaga dusun, yang pada umpatkan diri, hingga ia tahu, bagian mana ada penjagaan paling lemah, kemudian dari bagian lemah ini, nerobos masuk. Hanya, mendekati cun- kongso lagi kira-kira duapuluh tombak, ia lantas terpegal oleh penjaga-penjaga yang berkepandaian tinggi, di antaranya ada chungcu dari Bancie sanchung sendiri. Ini ia bisa ketahui dengan lihat saja orang punya gerak- gerakan tubuh.

Dari sebelah barat utara dusun, In Yu Liang nerobos ke utara sekali. Di sini ada setumpuk pepohonan murbei, yang mengurung sebuah rumah. Ia menerjang ke dalam pepohonan itu, ia loncat naik ke atas rumah. Itu waktu, ada musuh yang terus susul ia, hingga mau atau tidak, ia mesti melayani juga. Ia percaya, musuh ini ada salah satu yang tadi pegat ia di sebelah luar. Malah sekarang musuh ini berani desak ia. Tadi, di luar, karena ada cahaya bulan yang sedikit terang, penjaga itu tidak mau rangsek ia, ia hanya diganggu saja.

Di tempat yang gelap, keduanya sudah lantas adu kepandaian. Sesudah bertempur sekian lama, In Yu Liang merasa heran. Ia telah dapatkan penyerang itu bersilat secara sembarangan, tetapi serangannya semua ada berbahaya, gerak-gerakannya pun gesit sekali. Ia tidak mampu terka, musuh ada gunakan ilmu silat kalangan mana. Berbareng mendongkol, iajadi penasaran. Maka akhirnya ia loncat naik ke atas sebuah pohon di sebelah baratnya dan berteriak dengan tegurannya, "Sahabat, kau siapa? Aku In Yu Liang, aku datang untuk berkunjung, kenapa kau tolak padaku? Bukankah di dalam lembah Haytong-kok kita orang sudah berjanji? Kenapa kau langgar janjimu? Apa begini perbuatannya orang dari kalangan Sungai Telaga?"

Meski In Yu Liang menanya dengan baik, penyerangnya tidak pedulikan ia, malah ia tidak disahuti sama sekali, dari itu, karena gusar, ia turun pula akan melayaninya. Ia lantas gunakan ilmu silat Citseng lianhoan-chiu atau "Tujuh bintang saling merantai" akan desak dan hajar tubuh penyerang ini.

Baru saja In Yu Liang keluarkan kepandaiannya itu, atau itu penyerang loncat keluar pepohonan yang lebat, maka ia terus loncat menyusul, la sampai di luar, di sini ia belum sempat taruh kakinya atau dari belakangnya sebuah pohon ada orang serang ia pada dadanya, begitu mendadakan dan hebat serangan ini, hampir-hampir Yu Liang menjadi korban, baiknya ia keburu berkelit, dengan loncat ke belakang sebuah pohon lain, darimana ia terus jalan mutar, untuk membalas menyerang musuh yang sembunyi itu. Ia telah gunakan tenaganya, ia pakai ilmu Kimkauw-cian atau "Gunting ular naga emas". Ia menyerang iga kanan.

Untuk menyingkir dari serangan pembalasan, penyerang itu telah loncat maju ke depan hingga dua tiga tombak jauhnya, dengan demikian kecuali terlepas dari bahaya, ia pun pisahkan diri jauh-jauh dari orang Haytong-kok, hingga In Yu Liang tidak bisa melihat mukanya orang itu.

Masih saja In Yu Liang penasaran, ia enjot tubuhnya akan maju menyusul. Orang itu loncat naik ke atas rumah, dari situ ia lari ke ujung, ketika In Yu Liang susul ia ke atas, ia loncat turun. Masih saja In Yu Liang menyusul, dengan luar biasa cepatnya dan kali ini dibarengi menyerang, hingga ketika tubuhnya mendekati, tangannya juga datang dekat pada badan musuh itu.

Musuh itu tidak putar tubuhnya atau loncat berkelit, malahan ia tidak menoleh ke belakang, hanya justru serangan mau sampai, lagi sekali ia loncat naik ke atas rumah.

In Yu Liang telah serang tempat kosong, justru itu dari ujung rumah ada orang yang keluar dan terus menerjang padanya. Karena mereka berhadapan, terutama dari tubuh orang yang tinggi, In Yu Liang kenalkan chungcu dari Bancie sanchung. Maka sambil loncat ke kiri, dengan tangan kanan ia mendahului menyerang lengannya chungcu itu.

Sambil menggeser kaki ke samping, Hoa Ban Hie menyingkir dari serangan itu, tetapi ia ingin membalas, dan bersiap cepat, dengan kedua tangannya ia menyerang.

In Yu Liang merasa bahwa si pengemis tua ada bertenaga sangat besar, dan serangan itu ada berbahaya, maka ia berlaku hati-hati. Dengan tangan kiri bikin gerakan menangkis, kaki kanannya ia angkat akan loncat terus ke depan, tetapi begitu lekas terlolos dari serangan, ia balik tubuhnya sambil miring, dengan tangan kiri ia menyerang pula, sekarang ke arah pundak kiri lawannya.

Hoa Ban Hie melihat serangannya tidak berhasil, ia pun nampak serangan musuh, tetapi ia tidak menangkis, malahan sambil tarik pulang kedua tangannya, ia loncat ke depan dan terus lari ke belakang satu pohon cemara di mana ia melenyapkan diri.

In Yu Liang mendongkol dan gusar, karena ia merasa yang ia sedang dipermainkan, maka ia angkat kakinya akan loncat ke pohon cemara itu untuk mengejar, tetapi di saat ia hendak enjot tubuhnya, mendadak ia merandek dan berkata, "Chungcu, karena ternyata kau tidak hendak sambut aku, sebagai sahabat yang tidak berharga, baiklah, aku minta perkenan akan undurkan diri! Chungcu, di Haytong-kok saja aku menunggu kedatanganmu, di sana pihak Kangsan-pang sedang asyik menantikan kau orang!"

Setelah berkata demikian, In Yu Liang putar tubuhnya untuk loncat ke pohon murbei, agaknya ia mencari jalanan untuk jalan pulang, gerakannya sebat luar biasa, tetapi belum jauh, setelah pungut beberapa butir batu, ia putar tubuhnya akan balik ke pohon cemara. Itu ada jalanan untuk masuk ke Bancie sanchung. Begitu ia masuk ke tempat lebat, berulang-ulang ia menimpuk dengan batu yang ia bawa, setiap kali menimpuk ia barengi loncat maju. Timpukannya setiap kali lima atau enam tombak jauhnya. Ketika ia tiba di ujung, ia balik lagi.

Dengan jalan ini ia pakai itu akal yang terkenal, "Suara di Timur, serangan di Barat." Ia jalan memutar di pinggiran, dengan tidak ada rintangan, cepat sekali, ia sudah kembali ke pepohonan bambu di sebelah belakang, dari sini ia menghampirkan cun-kongso. Ia dapat rintangan tetapi rintangan itu ia pincuk ke lain jurusan, karena kegesitannya, ia sendiri bisa kembali ke kongso. Di sini ada Cukat Pok bersama Yan Toa Nio dan Yan Leng In, tetapi dengan kecerdikannya, ia bisa bikin tiga orang itu meninggalkan kongso, hingga di luar tahu siapa juga, ia bisa geser itu pelita-pelita paso. Ia merasa girang, karena ia telah peroleh kemenangan, karena ia bisa masuki Bancie sanchung dan melihat segala apa.

Oleh karena ini, melihat digesernya pelita istimewa itu, Yan Toa Nio jadi malu dan gusar, hingga ia sudah menyerang dengan sengit, siapa tahu In Yu Liang benar- benar liehay, ia hampir kena dibikin celaka, baiknya Hoa Ban Hie keburu datang dan menolonginya. Kimkong-cie itu adalah ilmu kepandaian, yang In Yu Liang telah pelajari untuk tiga-puluh tahun lamanya, hingga dapat dimengerti liehaynya. Baiknya Yan Toa Nio insyaf bahaya dan lindungi diri berbareng Hoa Ban Hie bantu ia. Dalam murka, ia menyerang dengan hebat, sampai Cukat Pok dan gadisnya bantu ia kepung jago Samsiang itu.

In Yu Liang telah lakukan perlawanan dengan tunjuk kegesitannya, hingga kendati dikepung oleh tiga jago, ia masih bisa bergerak-gerak dengan leluasa. Entah bagaimana, ia nampaknya tidak mau bertempur lama- lama, ketika satu kali ia tertawa berkakakan, tubuhnya mencelat dalam rupa Yancu coan-thian atau "Burung walet terbang ke langit". Ia loncat tingginya dua tiga tombak, apabila tubuhnya itu turun, ia turun di belakang rumah ujung timur. Dari situ, dengan satu kali lagi enjot diri, ia bikin tubuhnya melesat melewatkan pagar pekarangan. Dan ketika Yan Toa Nio bertiga memburu, ia sudah berada di luar cun-kongso di mana ia melenyapkan diri di tempat gelap, bayangannya pun tidak tertampak lagi.

Yan Toa Nio bertiga tidak mau berlaku sembrono, mereka berhenti berlari dan lalu memasang mata. Belum lama, lantas dari jurusan barat selatan ada terdengar suara suitan, yang berbunyi beruntun-runtun. Itu ada tanda dari pihak Bancie sanchung, kalau ada musuh atau bahaya. Dari mana suara datang paling dahulu, di situ tanda ada bahaya atau ancaman.

Kemudian, suara itu disusul dari empat penjuru, satu tanda bahwa di empat penjuru itu pun orang ada lihat musuh.

Dapat dikatakan hanya sekejap, segera segala apa kembali sunyi seperti sediakala.

Dengan satu tanda, Yan Toa Nio ajak dua kawannya kembali ke cun-kongso. Baru saja mereka sampai di depan pintu, atau dari kejauhan kelihatan melesatnya satu bayangan yang berlari-lari mendatangkan, siapa ternyata adalah Hoa Ban Hie, maka mereka berempat lantas berkumpul.

"Cukat loosu, malam ini bisa dibilang aku telah jatuh di tangannya si orang she In," berkata tuan rumah. "Di dalam Bancie sanchung ia tidak dapat kesempatan akan berbuat banyak, ia ternyata telah tunjuk kepala besar dan kesemberonoannya, karena ia telah berani langgar aturan yang padaku telah diwariskan oleh leluhurku! la telah tidak ingat bahwa dengan kelancangannya ini, ia sudah tinggalkan ancaman bencana yang tidak akan ada habisnya untuk hari depannya! Umpama aku si tua bangka mau kasih ampun padanya tetapi lain orang, tidak nanti!"

Cukat Pok dan Yan Toa Nio ada orang-orang dengan banyak pengalaman, ucapannya si Raja Pengemis, mereka mampu tangkap artinya. Mereka tidak mau menanya, karena itu ada mengenai rahasia dari sesuatu golongan, yang lain golongan tidak boleh sembarangan mendapat tahu atau menyelidikinya.

Adalah Yan Leng In, yang masih hijau, telah tidak sabar akan tidak menanya.

"Loo-cianpwee, tolong kau berikan pelajaran kepadaku," demikian katanya. "Kenapa, untuk gantinya pelita, dipasang itu dua paso kecil? Apakah artinya aturan itu? Di lain tempat aku belum pernah nampak seperti di sini. "

"Kau tidak mengerti, nona?" baliki Hoa Ban Hie, yang lantas tertawa berkakakan. "Sekarang aku belum bisa kasih keterangan, maka baik kau tunggu saja, sang tempo sudah tidak jauh lagi! Asal urusan di Haytong-kok sudah dapat dibereskan, aku nanti kasih tahu padamu kenapa Bancie sanchung gunai barang itu sebagai lampu malam! Aku juga nanti jamu pada kau, nona!"

Yan Toa Nio deliki mata pada gadisnya itu, dengan itu jalan ia tegur si anak, yang banyak mulut, berani sembarangan menanya itu orang tua yang aneh.

Sementara itu, selagi Hoa Ban Hie telah kembali, Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong masih juga belum tertampak.

Hoa Ban Hie tidak gubris lagi itu lampu paso, ia tidak angkat atau kembalikan di tempatnya, terus saja ia masuk ke dalam cun-kongso.

Di dalam, api telah dipasang kembali.

Cukat Pok, Yan Toa Nio dan anaknya ikut masuk ke dalam. "Chungcu, kenapa Tan dan Lim loosu masih belum kembali?" Souwposu tanya tuan rumah. "Apakah yang baru saja datang benar Itcie Sinkang In Yu Liang?"

Hoa Ban Hie manggut. "Oleh karena ia datang sendirian, aku jadi tidak mau terlalu ganggu padanya," ia menyahut, "aku kasih keleluasaan buat ia mundur sendirinya. Tetapi Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong telah tidak mampu kendalikan diri, kedua saudara itu mau ini malam juga membalas kunjungan! Sekarang ini mereka tentu sudah sampai di Haytong-kok."

Mendengar itu, Cukat Pok terperanjat di dalam hatinya.

"Benarlah orang-orang yang tidak boleh dibuat permainan " pikir ia.

"Namanya Itcie Sinkang In Yu Liang termasyhur bukan nama melulu," kemudian ia nyatakan, "gerakan tangan dan tubuhnya, semua ada gesit luar biasa. Rupanya baru saja ia belum keluarkan antero kepandaiannya, maka lain hari, kalau kita orang ketemu pula sama ia, pasti kita orang akan saksikan semua kepandaiannya itu! "

Tetapi si Malaikat Kemelaratan telah keluarkan suara dari hidung.

"Sekali ini, bersama-sama Pian Siu Hoo, ia sudah bosan hidup!" ia kata, dengan lagu suara sengit. "Dengan cara merendah, dengan hadiah istimewa, Pian Siu Hoo sudah undang datang beberapa orang luar biasa dari Kanglam, di dalam lembah Haytong-kok ia hendak bikin pertemuan yang akan menetapi takdirnya! Jikalau dengan bantuannya orang-orang undangan itu Pian Siu Hoo bisa menang di atas angin, tidak saja di Hucun-kang ia hendak menjagoi sendiri, ia pun hendak sebar pengaruhnya sampai di selatan dan utara dari Sungai Besar. Justru karena ia ada punya angan-angan luar biasa itu, aku jadi sebal padanya dan niat berikan pengajaran terhadapnya, segala anak kunyuk!"

Selama mereka bicara, sang tempo telah mengutarakan jam lima, tetapi mereka terus pasang omong, sampai sang fajar telah datang dengan cahaya yang membuyarkan sang gelap gulita.

Yan Toa Nio bertiga ada berhati tidak tetap, karena Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong belum juga kembali dan mereka kuatir ada terjadi suatu apa di Haytong-kok.

Justru itu, dari kejauhan ada terdengar dua kali tanda suitan bambu.

"Bancie sanchung sungguh beruntung!" kata Hoa Ban Hie dengan tiba-tiba. "Lihat, ada tetamu asing yang datang bikin kunjungan kepadaku! Apakah ini tidak luar biasa?

Sambil kata begitu, ia terus pergi ke luar.

Cukat Pok bertiga tidak bisa diam saja, mereka lalu mengikuti, cuma mereka tidak turut sampai ke luar sekali, karena tuan rumah diam saja. Mereka menunggu di thia.

Dari luar lantas terdengar suara riuh dari orang bicara dan tertawa, menurut suara tindakan kaki, mereka mesti ada berlima atau ber-enam.

"Boleh jadi Tan loo-suhu telah kembali," kata Cukat Pok pada Yan Toa Nio. "Coba dengar, apa itu bukan suaranya?" Yan Toa Nio pasang kupingnya, ia kenalkan suaranya Tan Ceng Po. Karena ini, ia lantas bertindak ke luar.

Cukat Pok pun turut bertindak.

Ketika itu orang di luar sudah masuk ke dalam pintu pekarangan, hingga Yan Toa Nio bisa lihat siapa-siapa yang datang, hingga ia jadi keheranan dan kegirangan.

"Cukat loosu, lihat!" ia kata. "Lihat, Sian tayhiap dan Hee loosu juga telah datang!"

Souwposu, yang menyusul bersama Yan Leng In, lihat orang yang diunjuk.

Hoa Ban Hie jalan di muka, di depan ia ada Tan Ceng Po bersama Lim Siauw Chong. Lagi dua orang lain ada Hengyang Hie-in Sian Ie dan Kimtoo Hee Kiu Hong.

Entah bagaimana, dua orang baru itu boleh ketemu sama kedua tetua dari Kiushe Hiekee.

Yan Toa Nio bertiga sudah lantas maju menyambut. Pertemuan itu ada menggirangkan, tetapi sebelumnya bicara banyak, lebih dahulu mereka masuk ke dalam kongso.

"Loo-suhu sekalian," berkata Hoa Ban Hie, "jikalau tidak ada ini dua tua bangka melarat dari Kiushe Hiekee, aku si pengemis tua tidak pernah sangka bahwa kau orang mau bikin terang mukaku dengan kunjungan kau orang ini pada sarangku!"

Hengyang Hie-in urut kumisnya yang panjang, ia tertawa.

"Hoa loosu, aku hendak sangkal ucapanmu ini," ia berkata. "Di dalam Bancie sanchung ini, kau ada punya aturan sendiri, kau biasanya larang orang luar datang menginjak kemari, maka itu, di antara handai taulan, siapa yang beraksi datang untuk langgar aturanmu? Baik aku omong terus terang. Ketika tadi di Haytong-kok aku ketemu sama Tan dan Lim jiewie loosu, aku telah tanyakan mereka berulang-ulang bagaimana kalau kita lancang datang mengunjungi, sebab kalau kita sampai kena ditolak oleh Hoa loosu, kita orang tidak tahu di mana kita orang mesti tempatkan diri."

Hoa Ban Hie tertawa bergelak-gelak.

"Nyatalah kau orang telah pandang aku si pengemis tua sebagai satu makhluk aneh yang tidak boleh didekatkan!" ia berkata. "Sebenarnya, kapannya aku pernah berlaku tidak mengenal persahabatan? Yang benar adalah, karena golonganku ada golongan lain daripada yang lain, aku tidak ingin nanti orang kena pandang hina pada kita, karena itu, aku selalu menjaga saja kepentingan sendiri. Bancie sanchung ada tempat berkumpulnya segala pengemis, tempat semacam ini cara bagaimana bisa dipakai untuk menyambut tetamu- tetamu yang mulia dan terhormat? Tetapi kalau orang benar hendak bikin terang mukanya si pengemis dan hendak memberikan pengajaran kepadaku, cara bagaimana aku berani tidak menyambut dengan segala senang hati? Yang aku tidak sukai adalah mereka yang matanya berada di batok kepala, yang di matanya seperti tidak ada orang lain, hingga Bancie sanchung ini dianggap tempat hina dina! Umpama orang yang tadi malam datang kemari Itcie Sinkang In Yu Liang, di kalangan Sungai Telaga bukannya seorang yang tidak ternama, kalau ia mau datang kemari untuk perlihatkan kepandaiannya, sama sekali tidak ada halangannya, tapi ia nyata ada kandung maksud tidak baik, terang ia mau bikin aku terhina dan malu! Begitulah ia telah geser dua paso pelitaku di depan pintu besar! Ia ada satu jago ulung, ia sebenarnya tidak boleh berpura-pura tolol.

Golongan kita suka terima perlakuan apa saja kecuali kita orang punya aturan leluhur, yang sama sekali tidak boleh dilanggar dan dibikin rusak! In Yu Liang telah unjuki nyali besar, terang ia lagi mencari susah sendiri. Sekarang ini, kalau di Haytong-kok ada In Yu Liang, aku juga pasti berada di sana! Dan aku pasti akan datang ke sana, kendatipun Tiathong-liong Pian Siu Hoo dari Kangsan- pang dan dianya tidak undang aku!"

--ooo0dw0ooo--

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar