Pendekar Tanpa Tandingan Jilid 05

 
Jilid 05

Karena anak itu memang sedang memusatkan segenap perhatian dan tenaganya menghadapi si lutung dan kedatangan harimau putih itu di luar dugaannya, maka tak ampun lagi anak itu menjadi korban terkaman kuku-kuku dari ke dua kaki depan harimau itu yang mencengkeram dan menembus batang lehernya, sehingga ia terguling roboh dan setelah berkelonjotan, akhirnya ia tak bergerak lagi, mati!

“Bedebah!!” hweesio itu membentak marah ketika melihat betapa murid kesayangannya itu telah tak mampu berkutik lagi.

Memang ia tadi berlaku agak lengah sehingga kedatangan harimau putih yang luar biasa cepatnya dan yang menyebabkan muridnya mati seketika juga, mendatangkan rasa kaget bukan main. Kejadian yang di luar dugaannya itu tentu saja membuat dia marah sekali.

Sambil mengeluarkan bentakan nyaring seperti nada halilintar saking murkanya, ia menggerakkan ke dua lengan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke depan, yakni tangan kanan ditujukan kepada harimau putih dan tangan kirinya ke arah si lutung. Biarpun hweesio melakukan serangan pukulan dari tempat yang agak jauh, akan tetapi ternyata mendatangkan akibat yang luar biasa hebatnya. Kedua belah telapak tangan yang digerakkan seperti mendorong itu, telah mengeluarkan hawa pukulan yang sangat kuat sehingga harimau putih dan lutung itu yang berjarak tidak kurang dari tiga tombak, telah kena dihantam oleh hawa pukulan ini!

Biasanya, lutung dan harimau itu dapat berlaku cerdik, akan tetapi kini menghadapi hawa pukulan dari hweesio itu ternyata mereka tak berdaya sama sekali dan tubuh mereka jadi terlempar sejauh lima kaki.

Harimau putih mengerang nyaring dan si lutung mengeluarkan suara melengking bagaikan pekikan kesakitan, dan suara dari kedua ekor binatang itu lalu lenyap dari pendengaran ketika tubuh mereka yang terlempar itu bertumbukan dengan batu karang secara dahsyat sekali sehingga pada saat itu juga kedua binatang kesayangan pertapa gunung Hoa-san itu telah tidak bernyawa lagi.

Betapa tinggi ilmu kepandaian dan betapa hebat tenaga dalam dari hweesio gendut ini, dapatlah dibayangkan!

“Huh! Satu nyawa muridku biarpun telah ditebus dengan dua nyawa binatang peliharaan penghuni gunung ini, aku masih belum puas! Aku baru akan merasa puas setelah bertemu dan bertanding dengan majikan dari kedua binatang alas yang sudah mampus itu!” kata hweesio itu seorang diri menyatakan kemengkalan hatinya.

Kemudian hweesio ini melangkah maju untuk menghampiri tubuh muridnya yang sudah menggeletak dan tewas itu, akan tetapi ia segera menahan tindakan kakinya ketika telinganya mendengar bentakan nyaring dari atas bukit.

“Hei! Orang gundul, mengapa kau membunuh kedua kawanku itu? Dan apakah maksudmu datang kemari?!”

Pembaca tentu sudah maklum, bahwa bentakan dan pertanyaan ini diucapkan oleh Bun Liong yang ketika itu sudah sampai di sana atas titah suhunya. Anak ini bukan main terkejut, sedih dan marahnya demi dilihatnya harimau putih dan lutung sakti yang selama ini menjadi kawannya, telah mati.

Hweesio gendut itu memandang ke depan dan terlihatlah olehnya seorang anak lelaki yang tengah berdiri di atas sebuah batu karang sambil bertolak pinggang.

“He, bocah setan! Anak siapakah engkau ini maka berani kurangajar terhadap aku si Ceng-kin-ciu (Tangan Seribu Kati) Ci Lun Hosiang?!” Hweesio itu balas bertanya dengan marah karena anak itu dianggapnya sangar kurangajar berani menyebutnya orang gundul.

Bun Liong tidak mengenal nama Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang, dan oleh karena anak ini memang berhati jujur dan polos, maka ia membantah makian “bocah setan” dari si hweesio itu dengan memberi jawaban terus terang.

“Aku bukan bocah setan dan kalau kau ingin mengetahui siapa aku ini, baiklah kuterangkan. Aku bernama Souw Bun Liong putera tunggal dari Souw Cian Ho……”

“Apa?! Kau putera dari Souw Cian Ho?!” tukas Ci Lun Hosiang tiba- tiba sebelum anak itu menjawab habis. “Bukankah Souw Cian Ho dahulu pernah membuka perusahaan piauw-kiok di kota See-an?”

“Tidak salah!” Bun Liong mengaku terus terang karena hweesio ini ternyata mengenal juga nama ayahnya. Diam-diam hatinya merasa bangga karena ayahnya semasa menjadi piauwsu pernah tenar namanya dan menggemparkan dunia liok-lim.

“Bagus! Memang aku sudah lama sekali ingin bertemu dengan ayahmu dan sekarang, setelah aku secara kebetulan sekali bertemu denganmu, maka kiranya kau dapat memberi keterangan di manakah tempat tinggal ayahmu dan mengapa kau sendiri berada di sini?”

Karena Bun Liong masih sangat muda dan belum mengetahui bahwa orang-orang di kalangan kang-ouw disamping banyak yang menjadi pendekar-pendekar gagah, tetapi tidak sedikit pula yang menjadi penjahat-penjahat berkedok sebagai orang alim, yang penuh siasat keji dan licin. Maka terhadap hweesio ini Bun Liong sedikitpun tidak curiga sehingga secara jujur ia memberi keterangan sejelasnya:

“Ayahku tinggal di dusun Lo-kee-cun dan aku berada di sini karena sedang berguru pada seorang pertapa sakti di puncak gunung Hoa-san.”

Ci Lun Hosiang menggerak-gerakkan biji matanya yang besar dan bundar. “Terima kasih atas keteranganmu, anak baik! Dan sekarang marilah aku hendak menjumpai gurumu!” Sehabis mengucapkan kata-kata ini, Ci Lun Hosiang tiba-tiba menggerakkan sepasang kakinya dan tubuhnya yang gemuk seperti melesat menaiki bukit.

Bun Liong mencoba menghadangnya setelah dengan sebuah lompatan mendahului si hweesio. “Nanti dulu! Kau tidak boleh sembarangan naik bukit sebelum kau nyatakan dulu apa maksud kedatanganmu, karena suhu tidak mau diganggu ketenangannya oleh sembarang orang!”

Ci Lun Hosiang menghentikan langkah kakinya di depan anak yang berdiri menghadangnya, “Maksudku tidak lebih hanya ingin bertemu dengan gurumu, maka kau bocah yang tidak mempunyai sangkut paut denganku tidak perlu banyak rewel dan minggirlah!” katanya dan lengan bajunya yang lebar itu dikebutkan ke arah dada Bun Liong.

Bun Liong sudah maklum bahwa hweesio berkepandaian tinggi terbukti betapa mudahnya ia membunuh Sin-houw dan Sin-wan seperti yang dilihatnya tadi. Tapi oleh karena anak ini masih belum berpengalaman dan terlalu mengandalkan sedikit kepandaian yang pernah dipelajarinya sehingga lakunya tak ubahnya seperti seekor anak kerbau yang baru tumbuh tanduk, maka sambil meneguhkan kuda-kuda pada kakinya, dengan berani sekali disambutnya kebutan lengan baju hweesio, dengan dada terbuka!

Akan tetapi, bukan main kagetnya anak ini sebab kebutan lengan baju itu ternyata mendatangkan hawa pukulan yang dapat menggempur kedudukan kuda-kudanya, sehingga tanpa ampun lagi tubuhnya jatuh terjengkang! Untung hweesio itu tidak bermaksud mencelakakan dirinya dan kebutan lengan baju itu hanya menjengkangkan dirinya belaka tanpa mengakibatkan luka sedikitpun. Sungguhpun serangan itu tidak berbahaya, namun karena jatuh terjengkang dan terbanting di atas batu karang, anak ini merasa sakit-sakit juga.

Ci Lun Hosiang ketawa terkekeh dan kembali ia menggerakkan sepasang kakinya, berlari menaiki bukit.

Bun Liong cepat bangkit dan berlari mengejar di belakang hweesio itu. “Hei! Orang gundul, kau tidak boleh mengganggu suhu!” teriaknya sambil menggertak gigi karena hati anak ini sudah mulai gemas terhadap hweesio itu.

Kembali Ci Lun Hosiang menghentikan larinya dan berdiri tertegun, hal ini bukan disebabkan oleh teriakan Bun Liong yang mengejar di belakangnya itu, akan tetapi disebabkan di depannya tiba-tiba dan tanpa terlihat sebelumnya, telah berdiri seorang kakek berjubah kuning yang tidak lain adalah Bu Beng Lojin yang langsung menegurnya dengan suara yang berpengaruh sekali:

“Penghuni dari kelenteng manakah gerangan yang membikin ribut- ribut di tempat ini?!” Ketika itu Bun Liong sudah sampai di situ dan anak ini menjadi besar hati melihat gurunya telah muncul dan menegur si gundul itu.

“Suhu, orang ini telah membunuh Sin-houw dan Sin-wan dan juga memukul teecu, harap suhu sudi turun tangan mengadilinya!” Bun Liong berkata mengadu sambil berdiri di sisi kakek itu.

“Diam, Liong! Hal itu semua sudah kuketahui,” sahut Bu Beng Lojin yang sangat mencintai murid tunggalnya itu dan mata kakek ini memandang kepada Ci Lun Hosiang yang ketika itu sedang menjura terhadapnya sambil berkata:

“Ong Kim Su, akhirnya pinceng dapat menemukan tempat persembunyianmu setelah lama sekali pinceng mencari-carinya!”

Bu Beng mengerutkan dahinya yang sudah keriput dan matanya tetap mengawasi tamunya dengan tajam sambil balas menjura, lalu tanyanya: “Beng-yu (sahabat), maafkanlah aku yang sudah lamur ini, sehingga aku tak dapat segera mengenalmu. Sebenarnya siapa dan dari manakah beng-yu ini?”

Hweesio itu tertawa bergelak, nada suaranya keras dan nyaring sehingga bergema dan suara ketawa ini sangat menggetarkan hati Bun Liong. Demikian ganjil dan menyeramkan bagi pendengarannya sehingga bulu kuduknya meremang! “Ha, ha, ha!!! Agaknya memang kau sudah terlalu tua, sehingga matamu sudah lamur dan ingatanmu pikun, Kim Su!” kata si hweesio kemudian. “Kalau benar-benar kau masih belum mengenal siapa pinceng dan ingin tahu maksud kedatanganku, baiklah pinceng akan memberi penjelasan kepadamu!”

Setelah berkata demikian, hweesio ini lalu menengok ke arah sebuah batu karang besar yang menonjol di belakangnya yang segera dihampirinya. Lalu dengan jari telunjuk kanannya ia mencorat coret batu karang itu.

Dan ternyata selain untuk memberi jawaban bagi si tuan rumah dengan tulisan itu, juga hweesio ini sekaligus memperlihatkan tenaga lweekangnya dapat menulis dengan hanya mempergunakan jari telunjuknya pada batu karang yang keras itu dan pada batu karang terlihat huruf-huruf bekas guratan-guratan dari jari telunjuk itu.

“Nah, Kim Su, dengan membaca tulisan ini, kini kau pasti dapat mengenalku dan juga mengetahui maksud kedatanganku!” kata hweesio itu, setelah selesai menulis dan menunjuk batu.

Huruf-huruf yang seakan-akan terpahat di batu karang itu ternyata berbunyi: “Aku Coa Ci Lun Datang Untuk Melunaskan Perhitungan Lama.”

Tulisan ini terlihat jelas dan terbaca oleh Bu Beng Lojin maupun oleh Bun Liong.

Anak ini bukan main kagumnya dan diam-diam ia meleletkan lidah sambil membayangkan betapa tinggi kepandaian hweesio itu yang dalam anggapannya memiliki jari telunjuk setajam pahat hingga dapat membuat tulisan pada batu karang yang keras itu! Akan tetapi lain halnya dengan Bu Beng Lojin, demontrasi tenaga lweekang dari si hweesio sama sekali tidak mengherankan baginya. Kakek ini memicingkan sepasang matanya sampai lama sekali. Dan akhirnya berkata:

“Ah, huruf-huruf itu terlalu kecil bagi mataku yang benar-benar sudah lamur ini dan lagi batu karang terlalu jauh dariku, sedangkan aku yang sudah setua dan loyo ini merasa malas untuk mendekatinya. Oleh karena itu, maka tolong beng-yu bawa batu ke dekatku sini.”

Bun Liong merasa heran sekali akan sikap dan kata-kata gurunya itu, akan tetapi sebaliknya hweesio segera dapat menangkap maksud dari Bu Beng Lojin. “Baik, baiklah akan kudekatkan batu ini sampai di depan matamu supaya mata lamurmu itu dapat membaca tulisanku. Nah, sambutlah!”

Ci Lun Hosiang lalu berdiri di balik batu karang yang menonjol setinggi dadanya itu dan dengan menggunakan kedua tangannya mendorong batu karang ke arah Bu Beng Lojin yang berdiri dalam jarak sejauh tiga tombak.

Bukan main hebatnya tenaga dorongan ini. Batu karang itu dengan mengeluarkan bunyi berdetakan patah bagian bawahnya dan bagian atasnya yang besar dan beratnya paling sedikit delapanratus kati itu terlempar dan melayang ke arah Bu Beng Lojin secara dahsyat sekali!

Bun Liong kaget dan ketakutan. Anak ini cepat melompat menjauhi gurunya karena merasa khawatir akan tertimpa batu karang yang dapat membikin gepeng tubuhnya dengan berseru nyaring ia memberi peringatan kepada gurunya:

“Suhu, awas!!!”

Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa kakek itu sama sekali tidak mau mengelak, seakan-akan hendak membiarkan batu karang sebesar tubuh kerbau datang menimpa dan menggepengkan tubuhnya yang kurus kering dan tua renta itu! Akan tetapi sedetik kemudian Bun Liong menjadi bengong karena kagumnya ketika melihat betapa suhunya itu dengan tenang dan amat mudah kelihatannya, mengulur kedua tangannya ke depan dan menyanggap batu karang itu bagaikan menyanggap suatu barang yang ringan saja!

Untuk sejenak Bu Beng Lojin seperti membaca tulisan di batu karang seperti seorang yang tengah membaca tulisan dari sejilid buku yang dipegang dengan kedua tangannya. Akhirnya batu karang tersebut dilepaskan dari pegangannya dan jatuh di depannya dengan ringan seakan-akan batu yang besar dan berat itu diletakkan di situ oleh tenaga yang mujijat!

Kakek itu menghela napas dan berkata sambil memandang kepada hweesio gemuk: “Dengan melihat bentuk tubuhmu dan mendengar suara dan ketawamu, sejak tadipun aku sudah menduga, bahwa kau adalah Coa Ci Lun. Kemudian aku bertambah yakin ketika menyaksikan kau mendorong batu karang ini dengan mempergunakan tenaga Ceng-kin-ciu.

“Yang membuat aku tidak dapat segera mengenalmu, ialah karena kau kini telah salin rupa, yakni kepalamu gundul pelontos seperti batu giok (kumala) yang baru digosok! Inilah yang menyebabkan aku pangling dan kalau aku boleh bertanya, sejak kapankah kau menjadi hweesio, Ci Lun…….?”

“Hahaha! Ternyata kau masih pandai berputar lidah seperti masa dulu, Kim Su!” balas Ci Lun Hosiang sambil bertindak mendekati.

“Karena kau memang sudah lama sekali menyembunyikan diri maka tentu saja kau tidak mengetahui perobahan hidupku, akan tetapi karena hal ini tidak penting maka tak perlu kujelaskan. Dan yang penting, sekarang kau tentu sudah mengetahui maksud kedatangan pinceng ini, bukan?”

Bu Beng Lojin kembali menghela napas. “Ah, Ci Lun, ternyata kau masih keras hati dan keras kepala seperti masa dahulu. Biarpun sudah lama sekali aku mengundurkan diri dari dunia ramai dan berdiam di sini sambil menanti umurku digerogoti keloyoan, kau tetap memiliki semangat muda mencari aku sehingga hari ini kau jumpai di sini. Benar-benar kupuji kejantananmu, kawan!”

“Nah, sekarang marilah kita menyelesaikan perhitungan lama atau tegasnya, aku ingin menebus kekalahanku masa dahulu. Bersiaplah, Kim Su!”

Sekali lagi. kakek yang ditantang itu menghela napas. Dan seraya mengelus-elus jenggotnya, ia berkata dengan sabar: “Ci Lun, rupanya sejak peristiwa dahulu kau memperdalam kepandaianmu sehingga kini kulihat tenaga lweekang yang kau pergunakan mendorong batu karang tadi sedemikian hebat dan kulihat tubuhmu makin tua makin sehat dan makin gemuk saja! Sedangkan aku makin tua makin loyo dan sebenarnya aku sudah tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi. Akan tetapi karena kau menaruh perhatian sedemikian besar terhadapku, maka betapapun juga selaku tuan rumah aku harus manghargai kunjungan tamunya.”

“Nah, bagus! Maka terimalah penebusan kekalahanku!” seru Ci Lun Hosiang dan setelah ucapannya yang terakhir lenyap dari pendengaran, hweesio gundul yang bertubuh bundar ini lalu menubruk maju sambil kedua tangan dipentang seperti seorang hendak menubruk dan menangkap seekor ayam yang minggat dari kurungan!

Bu Beng Lojin maklum bahwa biarpun serangan si gendut itu kelihatannya seperti sembarangan saja, tetapi hebatnya bukan main oleh karena kedua tangan yang mula-mula dipentangkan dan kemudian digerakkan ke arahnya itu mendatangkan hawa pukulan yang sukar diukur kekuatannya, maka kakek ini cepat menggelak ke kiri sambil berkata: “Kuterima dan layani penebusan kekalahanmu yang kau maksudkan ini, akan tetapi jangan menyesal kalau sekarang ini kau mendapat kekalahan untuk kedua kalinya!”

Setelah mengelak, hawa pukulan dari Ci Lun Hosiang itu menyambar di samping tubuhnya bagaikan angin taufan yang dahsyat sekali dan menghantam sebatang pohon yang-liu di belakang kakek itu. Dan bagaikan disamber petir pohon tersebut, tumbang dengan mengeluarkan suara gedubrakan!

Tanpa membuang waktu, secepat setelah berkelit, Bu Beng Lojin balas menyerang, juga dengan kedua tangannya seperti melakukan dorongan ke arah tubuh si hweesio gendut itu.

Ci Lun Hosiang pun maklum bahwa serangan yang berdasarkan pengerahan lweekang dan khikang dari kakek itu tidak boleh dianggap enteng. Maka ia dapat mengelak dan hawa pukulan dari Bu Beng Lojin menggempur batu karang yang berhuruf tadi sehingga mencelat jauh dan kemudian menggelundung ke bawah lereng dengan menimbulkan suara hiruk pikuk karena menerjang dan menimpa batu-batu karang lainnya serta menumbangkan pohon-pohon yang kebetulan menghalanginya! Demikianlah seterusnya, dua ahli silat tinggi itu bertempur sengit dan biarpun cara mereka bertempur itu tampaknya hanya seperti saling dorong saja, namun sesungguhnya mereka bertempur mati- matian. Hawa pukulan-pukulan mereka yang dapat menumbangkan pohon dan menerbangkan batu karang dapatlah dibayangkan betapa berbahayanya kalau misalnya mengenai tubuh mereka!

Bun Liong menonton dari tempat yang agak jauh dengan dada berdebar tegang. Anak ini baru untuk pertama kalinya menyaksikan pertempuran yang terjadi antara dua orang ahli silat tinggi.

Makin sengit gurunya dan hweesio gendut itu bertempur, Bun Liong merasakan matanya menjadi kabur dan kepalanya pening dan apa yang terlihat selanjutnya, hanya dua bayangan yang berputar-putaran bagaikan menjadi satu bagaikan dua ekor burung raksasa yang saling menerkam!

Bukan main hebatnya pertempuran itu. Tubuh Bu Beng Lojin bergerak dan melompat ke sana ke mari selincah gerakan binatang kijang, hawa pukulan-pukulan yang dilancarkan dari kedua telapak tangannya sangat kuat dan dahsyat. Sedangkan Ci Lun Hosiang, biarpun bertubuh bundar dan kelihatannya berat, ternyata dapat bergerak amat gesit dan tangkas dan serangan-serangan hawa pukulannya tak kalah hebat dari lawannya! Beberapa tombak di sekeliling mereka seakan-akan diserang angin taufan yang mengamuk dan berputar-putaran sehingga daun-daun pohon rontok berhamburan serta beberapa batang pohon menjadi jebol dan tumbang disertai mengebulnya debu dari batu karang yang menjadi hancur berantakan!

Pertempuran ke dua ahli silat yang sudah sangat tinggi ilmu kepandaiannya itu, Bun Liong tidak dapat mengetahui sudah mencapai berapa puluh jurus, dan tahu-tahuia mendengar suara suhunya yang berseru:

“Kena……!!”

Bun Liong tiba-tiba melihat tubuh si gundul itu terlempar jauh sekali dan menggelundung ke bawah lereng bagaikan sebuah gentong arak yang dilemparkan dari atas puncak! Tubuh bundar yang menggelundung ke bawah lereng itu akhirnya terhenti ketika menabrak sebuah batu karang dan terdengar suara benturan yang keras sekali! Bun Liong bersorak gembira atas kemenangan suhunya. Dan anak ini merasa pasti bahwa tubuh si gundul yang dihajar oleh hawa pukulan dari gurunya dan jatuh menggelundung ke bawah lereng serta ditambah lagi menabrak dan membentur batu karang itu, takkan mampu bergerak lagi dan terus mampus!

Akan tetapi bukan main herannya anak ini ketika melihat bahwa si gemuk yang membentur batu karang itu tidak mampus, bukan kepala gundulnya yang pecah, melainkan batu karang itu yang menjadi hancur berantakan! Kemudian keheranan anak ini makin bertambah pula demi dilihatnya tubuh gemuk yang tadi disangkanya takkan mampu bergerak lagi itu, ternyata kini dapat bangkit dan bahkan berdiri.

Sambil memandang ke atas di mana Bu Beng Lojin berdiri, hweesio itu ketawa bergelak seraya katanya nyaring:

“Ha, ha, ha! Kim Su, benar-benar kau hebat sekali dan pinceng mengaku kalah untuk ke dua kalinya! Biarlah pada lain waktu kita bertemu dan mengadakan perhitungan lagi!”

Setelah berkata demikian ia lalu lari cepat menuruni lereng dan menghampiri tempat di mana tubuh muridnya, harimau putih dan lutung sakti itu berada, semuanya saling geletak tanpa nyawa lagi. Sekali ia mendokel dengan kakinya, mayat muridnya terlempar ke atas lalu disamber dengan tangan kirinya, dikempit di bawah ketiaknya dan terus dibawa lari sehingga akhirnya hweesio yang luar biasa itu menghilang di antara hutan belukar di bawah lereng!

Bu Beng Lojin mengebut-ngebutkan jubahnya yang penuh debu dan Bun Liong mendengar kakek kosen ini berkata:

“Makin tua ternyata makin gagah dan makin lihay, dan entah berapa banyaknya ia pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang tak patut dipuji selama ini…..”

“Suhu, siapakah sebenarnya dia itu dan apa sebabnya dia datang kemari mengadakan perhitungan dengan suhu?” Bun Liong bertanya dengan perasaan tertarik dan ingin tahu akan hal ihwal si hweesio yang berkepandaian tinggi dan bertubuh luar biasa kuatnya itu.

Kakek itu menghela napas. “Nanti akan kuceritakan dan hal ini memang sewajarnya kau ketahui, Liong. Dan sekarang ambillah cangkul di sisi pondok dan kuburlah mayat Sin-houw dan Sin-wan terlebih dulu.”

Bun Liong berlari ke puncak untuk mengambil cangkul dan kemudian dengan dibantu oleh suhunya, dia menggali dua buah lubang di tempat yang tidak berbatu karang dan bangkai lutung dan harimau putih itu dikuburnya baik-baik. Sangat pilu dan sedih hati Bun Liong ketika mengubur bangkai kedua binatang yang pernah menjadi kawan baiknya selama empat tahun itu dan makin kuatlah keyakinan anak ini bahwa hweesio terokmok tadi bukan manusia baik!

Kemudian, setelah guru dan murid ini kembali ke puncak dan duduk-duduk di dalam pondok, baru Bun Liong mengetahui dari cerita gurunya. Bahwa Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang adalah seorang tokoh besar berasal dari Tibet dan datang merantau ke daratan Tiongkok dengan membawa kepandaiannya yang sangat lihay sekali terutama ilmu pukulan dari Tangan Seribu Katinya yang dapat menghancurkan batu karang itu!

Orang-orang takut dan segan kepadanya karena selain ilmu silatnya tinggi dan lihay, juga tabiatnya buruk dan sukar dilayani. Sungguh sayang bahwa kepandaian tinggi yang dipunyainya itu tidak digunakan untuk kebaikan-kebaikan terhadap sesama manusia, akan tetapi justeru sebaliknya dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi itu, ia melakukan perbuatan-perbuatan yang mengotori dunia! Selama menjadi perantau di daratan Tiongkok, si Tangan Seribu Kati ini banyak sekali mengangkat murid, dan murid-murid hasil gemblengannya sebagian besar menempuh penghidupan dalam kalangan hek-to atau menjadi penjahat!

Pada suatu masa, si Tangan Seribu Kati ini bertemu dengan seorang tokoh dari Lu-liang-pay, yakni seorang pendekar berkepandaian tinggi bernama Ong Kim Su yang mempunyai nama julukan Bu-tek-sin-kun (Kepalan Dewa Tanpa Tandingan) atau tegasnya Bu Beng Lojin di waktu muda dan jauh sebelum menjadi pertapa di gunung Hoa-san ini.

Karena haluan mereka berlawanan, pertemuan itu mengakibatkan permusuhan. Maka bertempurlah mereka dan akhirnya si Tangan Seribu Kati harus mengakui keunggulan si Kepalan Dewa Tanpa Tandingan!

“Demikianlah, muridku, sejak itu aku dan dia tidak pernah bertemu lagi dan tahu-tahu hari ini ia datang kemari dengan kepala gundul dan tubuh ditutupi jubah orang alim. Hanya mujur sekali bagiku bahwa kali inipun aku berhasil mengalahkannya!

“Ah, dasar dia seorang berwatak buruk, aku yakin bahwa dia sengaja mengubah dirinya menjadi hweesio dan di dunia ini tidak sedikit orang-orang jahat yang berpura-pura menjadi orang suci!” demikian Bu Beng Lojin mengakhiri penuturannya.

“Suhu, orang jahat semacam dia sudah sepatutnya dibikin mampus saja agar dunia tidak makin kotor dibuatnya dan juga supaya lain kali tidak merongrong suhu lagi, tetapi mengapa tadi suhu tidak membunuhnya saja dan bahkan membiarkan dia lari dengan menaruh dendam terhadap suhu?” tanya Bun Liong karena menurut pendapatnya tindakan gurunya terhadap si gundul tadi kurang tepat.

Bu Beng Lojin menarik napas panjang dan kakek ini agaknya mengetahui isi hati muridnya.

“Bun Liong, kau belum tahu banyak tentang peraturan-peraturan di dunia kang-ouw. Ketahuilah, membunuh seseorang walaupun orang itu penjahat besar yang wajib diganyang, akan tetapi kalau dia sudah mengaku kalah dari suatu perkelahian, seperti halnya si Gendut Ci Lun, pendeta palsu tadi, bagi si pemenang tidak boleh menurunkan tangan maut. Karena membunuh seorang lawan yang sudah menyatakan takluk dan mengakui kekalahannya sendiri, bukanlah perbuatan seorang gagah, melainkan perbuatan seorang kejam dan keji!  “Memang, tadipun aku melancarkan serangan yang mematikan dengan maksud menyingkirkan manusia jahat itu dari dunia, akan tetapi ternyata dia mempunyai lweekang yang sudah sempurna dan agaknya memiliki ilmu kebal yang luar biasa kuatnya, sehingga seranganku yang tepat menghantam dadanya tidak membuat ia mati. Dengan demikian berarti dia masih dapat melakukan kejahatan yang entah bagaimana lagi,” kakek ini kembali menarik napas seakan-akan menyesal karena pukulannya terhadap lawannya tadi masih kurang ampuh.

Setelah hening sejenak, kakek itu bertanya kepada muridnya yang duduk dihadapannya sambil menundukkan kepala.

“Liong, tadi kulihat dadamu diserang oleh pukulan lengan baju si gendut itu, tidakkah dadamu terasa sakit?”

Bun Liong mengangkat kepalanya, memandang kakek itu dan menjawab sejujurnya: “Tidak suhu……!”

“Syukurlah! Agaknya dia sengaja tidak mau mencelakakanmu. Akan tetapi lain kali kau jangan gagabah, karena kalau serangan macam tadi disertai pengerahan lweekang sepenuhnya dan pada dadamu masih belum mempunyai daya tahan dari tenaga dalam yang sempurna, maka  kalau  tidak tewas, sedikitnya di dalam dadamu akan menderita luka hebat, lain halnya kalau kelak tenaga dalammu sudah tinggi dan mempunyai daya tahan yang sangat kuat……”

Bu Beng Lojin menghentikan kata-kata nasehat bagi muridnya itu, dan tiba-tiba keningnya dikerutkan seperti ada sesuatu yang diingatnya. Kemudian, sambil menatap muridnya, kakek ini bertanya pula: “Liong, tadi kudengar bahwa si Ci Lun menanyakan ayahmu dan kau telah menjawabnya terus-terang, bukan?”

“Benar, suhu,” sahut Bun Liong dan anak ini seperti mendapat firasat kurang baik ketika melihat sinar mata gurunya seperti mengandung penyesalan, maka tanyanya segera: “Mengapa suhu, mungkinkah si gundul mempunyai maksud kurang baik terhadap orang tua teecu……?”

“Agaknya begitulah, muridku. Namun betapapun juga kuharapkan kekhawatiranku itu tidaklah terjadi dan mudah-mudahan ayahmu dilindungi Thian Yang Maha Esa!”

Hati Bun Liong merasa agak lega mendengar sabda kakek sakti yang terakhir itu. Dan demikianlah sejak saat itu, yaitu sejak mereka didatangi oleh si Tangan Seribu Kati Ci Lun Hosiang, makin hebatlah Bun Liong digembleng oleh gurunya. Beberapa tahun kemudian kepandaian Bun Liong bertambah hebat, ilmu silat Sin-wan Pek-houw Kun-hoat yang oleh gurunya dikombinasikan dengan ilmu silat dari cabang persilatan Lu-lian- pay dipelajarinya sehingga matang dan sempurna. Juga kepandaian yang menjadi andalan Bu Beng Lojin yakni ilmu pukulan yang disebut Lui-lek-ciang (Tangan Bertenaga Geledek) yang dapat menghancurkan batu karang itu, diwarisinya dengan baik.

Bahkan, akhirnya Bun Liong menerima pula pelajaran tambahan berupa ilmu silat bersenjata, hanya senjata ini bukan merupakan senjata tajam seperti pedang, tombak atau lain macamnya lagi, melainkan berupa seuntai tali yang terbuat daripada serat rotan gunung yang dililit benang emas, sehingga tali yang alot dan kuat ini merupakan sebuah pecut dan dapat dijadikan senjata yang tak kalah ampuh dan lihaynya daripada segala macam senjata tajam!

Ternyata disamping ilmu silat tanpa senjata yang lihay sekali dan ilmu pukulan Lui-lek-ciang yang biarpun hanya berupa hawa pukulannya saja dapat menghancurkan batu karang itu, juga Bu Beng Lojin memiliki ilmu cambuk yang diberi nama Shan-kong- joan-pian (Cambuk Lemas BerSinar Kilat) yang luar biasa hebatnya! Bun Liong menerima pelajaran ilmu silat bersenjatakan cambuk dengan sangat sukar sekali. Karena pecut itu hanya berbentuk seuntai tali yang lemas dan berbeda dengan senjata pedang maupun barang lainnya yang kaku serta bersifat keras, maka pada hekekatnya mempelajari ilmu silat bersenjatakan pecut ini lebih sukar dan sulit!

Mula-mula Bun Liong mempelajari cambuk berupa seuntai tali yang pendek saja dan yang harus ia gerakkan dengan lweekang sehingga tali pendek bisa menjadi lemas atau kaku menurut aliran tenaga dalamnya dan digunakan sesuai dengan keadaan. Kemudian, ia mulai mendapat pelajaran ilmu cambuk Shan-kong- joan-pian yang amat sulit gerakannya.

Tali yang panjangnya sampai dua tombak dapat dimainkan sesuka hatinya, dapat digunakan untuk membetot, menangkis, membelit, menotok jalan darah dan merampas senjata lawan. Juga, cambuk ini dapat digunakan seperempat atau setengahnya saja, hingga dapat digunakan sesuka hati pemegangnya, mau panjang atau pendek hanya tinggal mengatur cara memegangnya saja disesuaikan dengan jarak lawan yang dihadapi!

Juga waktu berlatih ilmu cambuk ini dengan gurunya, tidak jarang Bun Liong menjadi bulan-bulanan dari cambuk suhunya. Oleh karena dengan cambuk di tangan kanan dan tangan kirinya serta melancarkan serangan-serangan hawa pukulan Lui-lek-ciang, Bu Beng Lojin menyerang muridnya yang harus mengandalkan kegesitan tubuh dan gin-kang untuk mengelak!

Mula-mula seluruh tubuh Bun Liong matang biru kena cambukan. Akan tetapi lambat laun ia menjadi paham betapa caranya harus menghadapinya sehingga dalam serentetan serangan yang tidak kurang dari limapuluh jurus, hanya dua atau tiga kali saja terkena pecutan cambuk suhunya!

Bahkan akhirnya sekali, Bun Liong berhasil melakukan serangan balasan terhadap suhunya sehingga biarpun tubuh kakek kosen itu tidak menjadi matang biru, namun kain jubah yang dikenakannya tak urung menjadi robek-robek dibuatnya. Dan melihat kemajuan yang dicapai oleh anak ini tentu saja hati kakek itu sangat gembira dan bangga!

Musim salju baru tiba. Bunga salju kecil-kecil ringan bagaikan kapas melayang-layang bertebaran memenuhi segala benda dipermukaan bumi. Di sana-sini tampak benda-benda seakan- akan diselimuti kapas sehingga pemandangan sangat menyedapkan mata.

Memang, pada awal musim salju segala nampak indah, segala benda nampak keputih-putihan bagaikan ditaburi bedak yang ditebarkan dari angkasa raya. Akan tetapi segala keindahan itu mendatangkan rasa jemu bagi orang oleh karena disamping itu, hawa dingin terasa menusuk tulang.

Dinginnya hawa udara di musim salju memang sangat menusuk, terutama di puncak gunung Hoa-san yang tinggi. Semua pohon di hutan yang terdapat di lereng gunung itu, yang tadinya kehijauan tertutup salju, daun-daun telah rontok dan cabang-cabang yang gundul tampak putih-putih seperti dicat!

Burung-burung yang biasanya ramai berkicau berloncat-loncatan dari satu cabang ke cabang yang lain dan binatang-binatang hutan yang biasanya banyak terdapat dan berkeliaran di dalam hutan, dalam musim salju itu tidak kelihatan. Agaknya dalam hawa yang sedingin itu mereka lebih baik mengundurkan diri dan beristirahat di dalam sarang-sarang mereka yang hangat!

Keadaan di gunung Hoa-san pada pagi hari itu seakan-akan mati dan sunyi, agaknya tiada mahluk hidup yang berani keluar dari sarangnya pada saat hawa udara sedingin itu. Akan tetapi tidak demikian di dekat puncak gunung itu!

Sesosok bayangan orang tampak bergerak bagaikan melayang- layang meluncur menuruni lereng sebelah utara dengan cepat sekali, melompati batu-batu karang yang terjal, meloncati lembah- lembah kecil yang curam dan menerjangi hutan-hutan yang bersalju.

Sesosok bayangan itu adalah Souw Bun Liong yang sudah mendapat izin dari gurunya sesudah delapan tahun lamanya bermukim di puncak Hoa-san, untuk turun gunung dan kembali ke dusunnya, menjumpai ayah ibunya yang sudah sekian lamanya dirindukannya. Dan kemudian mempergunakan ilmu kepandaiannya yang pernah dipelajarinya selama delapan tahun di bawah gemblengan Bu Beng Lojin di puncak Hoa-san itu demi kebaikan sesama manusia!

Souw Bun Liong kini telah menjadi dewasa. Usianya telah mencapai duapuluh tahun dan ia merupakan seorang pemuda yang amat sederhana baik pakaian pemberian suhunya maupun sikapnya, akan tetapi tidak mengurangi kecakapan wajahnya dan kegagahan sikapnya. Wajahnya yang tampan membayangkan keagungan watak dan kehalusan budi, sedangkan bibirnya yang selalu tersenyum- senyum mencerminkan adatnya, yang sabar dan peramah dan sinar matanya yang tajam menunjukkan sifat ksatrya yang gagah berani.

Dengan bibirnya yang selalu tersenyum karena gembira sekali akan segera berjumpa dengan ayah ibunya. Sepasang kaki Bun Liong seakan-akan tidak menginjak tanah ketika dengan cepatnya ia menuruni lereng itu untuk menuju ke dusun Lo-kee-cun.

Seakan-akan ia terbang saja ketika ia melompati jurang yang menghadang di tengah perjalanannya. Sedangkan di dalam telinganya, masih mendengung dan mengiang kata-kata pesan, petuah serta nasehat dan doa restu dari suhunya beberapa saat sebelum ia meninggalkan puncak gunung Hoa-san!

“Liong, muridku yang kukasihi. Hari ini kuperkenankan kau turun gunung oleh karena selain aku tidak dapat mengajarkan apa-apa lagi kepadamu lantaran semua ilmu yang ada padaku telah kau pelajari sampai habis, juga kuserahkan tugas yang sangat berat di atas pundakmu yang kecil ini. “Sesampainya kau di dusunmu nanti, maka kau akan melihat betapa keruh dan kacaunya keadaan dusunmu dan sekitarnya. Yaitu kekeruhan dan kekacauan yang berupa huru-hara dan geger yang ditimbulkan oleh manusia sendiri sehingga orang lemah menjadi bingung dan kesengsaraan merajalela di antara rakyat jelata.

“Oleh karena ini, muridku, aku percaya bahwa dengan mempergunakan kepandaian yang telah kuwariskan kepadamu, kau akan dapat berbuat sebagaimana mestinya, yakni membela pihak yang lemah dan benar dan mengganyang segolongan manusia yang menuntut penghidupan sewenang-wenang dan melanggar segi-segi kesopanan dan prikemanusiaan!

“Inilah pesanku dan kuyakinkan kau dapat membuka malamu lebar-lebar untuk melihat dunia dan kehidupan, buka telingamu baik-baik untuk menangkap segala suara yang patut kau dengar. Jadilah seorang bijaksana yang dapat menguasai diri, dengan pengertian apabila menghadapi sesuatu hal jangan terlalu menurutkan suara hati yang dikuasai nafsu, melainkan harus bertindak atas dasar pertimbangan otak yang penuh kesadaran.

“Muridku, aku yakin bahwa kau akan dapat menyesuaikan dirimu di dalam pergaulan masyarakat ramai. Akan tetapi di samping rasa yakinku ini, aku rasa perlu juga memberi nasehat kepadamu bahwa kau hendaknya selalu ingat akan dua buah hal yang akan menghalangi kemajuanmu.

“Pertama-tama. Biarpun persoalan yang dihadapi itu sukar dan rumit, janganlah cepat berputus asa karena rasa cepat putus asa ini merupakan penyakit yang akan melemahkan semangat dan memperkecil kemauan.

“Kedua, seperti berulangkali pernah kukatakan bahwa jangan sekali-kali kau dihinggapi sifat sombong dan menganggap diri sendiri paling pandai. Oleh karena sifat yang tak baik inipun merupakan suatu penyakit yang dapat menyeretmu ke dalam jurang kesesatan dan seorang yang suka menyombongkan kepandaiannya pada hakekatnya menelanjangi kebodohannya sendiri!

“Cepat berputus asa, sifat sombong dan terlalu suka menuruti nafsu hati adalah pantangan terbesar, terutama bagi seorang yang masih sangat muda seperti engkau ini yang akan mulai berenang di lautan penghidupan yang bergelombang dan berbatu-batu karang itu. “Nah, muridku, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk pergi turun gunung. Sampaikan salam dan maaf kepada orang tuamu karena aku telah menahanmu di puncak ini selama delapan tahun tanpa setahu dan seizin mereka terlebih dahulu. Terjunkanlah dirimu di antara gelombang kehidupan dengan perasaan tanggung jawab.

“Jadilah seorang kesatria yang selalu mengulurkan tangan menolong sesama manusia yang ditimpa penderitaan. Semoga segala tugas yang kuserahkan di atas pundakmu itu membawa hasil yang gemilang, supaya jerih payahmu selama delapan tahun mempelajari segala kebodohanku tidak akan sia-sia. Dan aku sebagai gurumu, tidak akan kecewa mempunyai seorang murid yang dapat melaksanakan kewajiban dengan sempurna…….!”

Demikianlah, dengan membawa pesan dan petuah dari kakek sakti pertapa di puncak Hoa-san itu sebagai bekal hidupnya, Bun Liong telah turun gunung. Ia mempergunakan ilmu lari cepatnya disertai dengan gin-kangnya yang tinggi berlari menuruni lereng sehingga sepasang kakinya seakan-akan tidak menginjak tanah yang bersalju itu ketika ia menempuh perjalanan akan menuju ke dusun Lo-kee-cun. Hatinya berdebar-debar, karena pemuda ini yakin bahwa kedua orangtuanya pasti akan terkejut dan gembira melihat kedatangannya dengan membawa kepandaian yang sangat tinggi ini. Maka dipercepatlah larinya.

Ketika mulai memasuki dusun Lo-kee-cun, Bun Liong mendapatkan dusun ini dalam keadaan sunyi dan hal ini tidak begitu mengherankan, oleh karena pada musim salju bagi penduduk dusun umumnya, mereka lebih suka berdiam di rumah sambil berdiang menghangatkan tubuh.

Demikian pula ketika pemuda ini tiba di depan pintu rumahnya, ia melihat daun pintu rumah yang sudah delapan tahun lamanya ditinggalkannya itu, tertutup rapat dan suasana di dalamnya, juga sepi jempling! Dicobanya mendorong daun pintu itu dan ternyata tidak dikunci sehingga dengan mudah dapat dibukanya dengan menimbulkan suara menggerit.

“Siapakah yang masuk…….?” terdengar teguran seorang wanita dari dapur dan Bun Liong mengenal bahwa itu adalah teguran ibunya, maka segera ia masuk dan menghampirinya.

Didapatkannya ibunya sedang duduk berdiang di depan tungku yang apinya membara, ia telah tua dan kurus. Tanpa beranjak dari tempat duduknya, nyonya itu memandang kepada Bun Liong yang kini sudah berdiri di hadapannya. Wajah nyonya itu membayangkan keraguan hatinya dan nyonya itu menatap dengan tajam.

Memang, nyonya ini sejak ditinggalkan oleh putera tunggalnya delapan tahun yang lalu, sudah terlalu sering ditipu oleh pendengarannya sendiri dan seringkali dipermainkan oleh pandangan matanya sendiri. Sering kali ia mendengar suara orang memanggil seperti suara puteranya dan melihat bayangan anak laki-laki yang dikira puteranya pula.

Dan kali inipun, ketika dilihatnya seorang pemuda sederhana yang berwajah seperti pernah dikenalnya. Nyonya ini merasa sangsi karena ia tidak mau ditipu lagi oleh pandangan matanya, kalau saja tidak segera mendengar suara pemuda itu yang meyakinkannya:

“Mama! Ini Bun Liong datang…….!” suara pemuda itu menggetar dan kedua matanya berkaca-kaca ketika menubruk kaki ibunya dan berlutut.

“Liong-ji, Liong-ji…… benarkah kau……?” Akhirnya nyonya Souw menjerit dan menangis sambil merangkul pundak puteranya. Didekapnya, kepala putera tunggalnya itu ke dadanya dengan penuh rasa terharu dan gembira. Dielus-elusnya rambut puteranya dengan penuh kasih sayang seperti dulu ketika anaknya masih kecil.

Sampai lama ibu dan anak ini tidak dapat berkata-kata, hanya saling peluk dengan air mata berlinang-linang. Kemudian Bun Liong dapat mententramkan hatinya lebih dulu dan dengan hati- hati sekali ia melepaskan diri dari pelukan ibunya, lalu berkata menghibur,

“Mama……. jangan kau bersedih, bukankah kini anak sudah kembali kepangkuanmu?”

Dengan perlahan Bun Liong membimbing tangan ibunya, mereka masuk ke ruangan tengah dan mereka duduk di sebuah bangku panjang yang sudah agak reyot.

Bun Liong memandang ruangan itu dengan seksama dan terlihatlah dengan jelas bahwa isi rumahnya kini jauh berbeda dengan dulu. Alat perlengkapan rumah tangga seperti meja, kursi, lemari dan lain-lainnya yang dulu mengisi ruangan ini, kini tidak tampak lagi sehingga ruangan tengah yang luas ini kosong! Melihat keadaan rumahnya, yang demikian miskin itu, Bun Liong sangat sedih. Tiba-tiba matanya terbelalak, wajahnya pucat ketika dengan jelas dilihatnya sebuah meja abu yang terletak di dekat dinding, karena adanya meja abu di situ berarti bahwa ayahnya telah meninggal.

“Mama…… meja abu siapakah itu…….?” tanyanya dan hatinya segera yakin bahwa ayahnya telah tiada lagi, karena pertanyaan ini membuat ibunya menangis dengan sedih hingga sukarlah baginya untuk mengeluarkan kata-kata.

“Mama, kalau benar terkaanku bahwa adanya meja abu itu suatu bukti bahwa ayah telah meninggal dunia, tak perlu dibuat sedih karena mati atau hidup kita tetap tidak berdaya terhadap kemauan dan kekuasaan Thian!” kata Bun Liong yang telah dapat mengatasi perasaan hatinya berkat gemblengan suhunya sehingga batinnya kuat.

“Kau benar, Liong-ji……” sahut ibunya dengan tersedu sedan dan nyonya ini berusaha menghentikan tangisnya. “Memanglah, ayahmu telah meninggal…….!”

Sungguhpun jawaban ibunya itu membuatnya ingin menangis, akan tetapi karena batinnya sudah kuat, maka Bun Liong dapat bersikap tenang. Ia segera menghampiri meja abu itu dan berdiri di depannya. Diambilnya tiga batang hio yang tersedia di atas meja itu dan disulutnya. Lalu dengan penuh khidmat, ia bersembahyang dan terdengar mengacapkan kata-kata dengan perlahan:

“Ayah, kini Liong telah kembali……. Ampunilah anakmu yang tidak berbakti ini…….”

Setelah tiga batang hio itu ditancapkan di tempat abu, dan setelah bersoja dan ber kui sebanyak tujuh kali, Bun Liong kembali ke dekat ibunya dan bertanya:

“Mama, sudah berapa lamakah ayah meninggal dan apakah yang menyebabkannya? Mungkinkah ayah meninggal karena mendapat kecelakaan ketika berburu semasa anak diambil oleh pertapa sakti di puncak Hoa-san delapan tahun yang lalu? Dan…… mengapa pula keadaan rumah kita sampai menjadi miskin begini…….?”

Nyonya Souw Cian Ho menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan puteranya yang beruntung itu.

“Liong-ji, kira-kira empat tahun yang lalu telah terjadi suatu peristiwa yang membuat hatiku amat penasaran sekali. Semenjak kudengar dari ayahmu bahwa kau telah diculik oleh seekor lutung dan pengejaran ayahmu dihalang-halangi oleh seekor harimau putih, maka yakinlah kami bahwa engkau telah sengaja diambil untuk dijadikan murid oleh orang berkepandaian tinggi. Sebab lazimnya orang-orang pandai di dunia kang-ouw kalau hendak mengambil murid sering melakukan penculikan.

“Oleh karena ini, meskipun kehilanganmu di tengah hutan belukar itu sungguh menyedihkan dan menggelisahkan hati kami, namun kami tidak terlalu cemas dan selalu mengharap bahwa dugaan kami tidak salah.

“Kini kau kembali dan mengatakan bahwa kau telah diambil menjadi murid oleh pertapa sakti di puncak Hoa-san, maka dugaan kami telah menjadi kenyataan yang benar!”

Nyonya itu menghentikan kata-katanya, napasnya terengah-engah berat, agaknya perkataan yang terlalu banyak diucapkannya itu membuatnya sangat cape.

“Mama, kau sakit……?” tanya Bun Liong sambil mengawasi ibunya yang kelihatannya lebih tua daripada umurnya yang sebenarnya.

“Benar, Liong-jie, aku menderita sakit sesak napas sejak peristiwa yang menimpa ayahmu itu terjadi, yaitu kira-kira empat tahun yang lalu.” Mulanya Bun Liong mengira bahwa kematian ayahnya itu disebabkan oleh kecelakaan ketika ia dibawa lari oleh si Lutung Sakti, tapi ibunya mengatakan bahwa ayahnya meninggal baru kira-kira empat tahun yang lalu.

Pemuda yang memang cerdas sejak kecilnya ini segera dapat menduga bahwa peristiwa yang membuat ibunya penasaran itu tentu berhubungan dengan kematian ayahnya.

“Mama, ceritakanlah segera peristiwa apakah yang menyebabkan ayah secepat itu meninggal dunia!”

Nyonya Souw Cian Ho sebenarnya sudah merasa terlalu engap untuk bercerita banyak-banyak lagi karena penyakit sesak napasnya itu, akan tetapi oleh karena kini anaknya telah kembali dan menjadi seorang pemuda gagah, maka sudah sewajibnyalah ia menceritakannya karena anaknya wajib pula mengetahuinya.

“Liong-jie, sebelum aku bercerita, katakanlah dulu apakah benar- benar kau membawa pulang kepandaian tinggi? Jawablah sejujurnya, anakku!” tanya ibu itu, dengan nada kata berat yang dipaksakan di antara keengapan yang menyesaki rongga dadanya.

Dari pertanyaan ibunya ini, maklumlah Bun Liong bahwa ayahnya telah dibunuh oleh seseorang dan ibunya mengharapkan supaya ia menuntut balas. Suaranya tenang dan sabar tapi cukup meyakinkan tatkala ia menjawab:

“Mama, kepandaian seseorang sukar diukur batas tingginya, akan tetapi biarpun kepandaian yang anak bawa ini tak dapat disombongkan, namun segala ilmu kepandaian yang telah diwariskan dari suhu ini, tidak dapat dikatakan terlalu rendah! Katakanlah, mama, siapakah orangnya, dan apakah yang telah mendatangkan malapetaka ini?”

Wajah nyonya itu tampak berseri-seri dan matanya bersinar terang. Ditatapnya tubuh anaknya yang tegap dan kekar itu, sepasang lengan tangannya yang meskipun biasa saja besarnya itu, namun ototnya yang menonjol membuktikan bahwa di dalamnya tersimpan tenaga yang kuat.

Pakaian Bun Liong tipis dan sederhana, tapi nampaknya tidak merasa dingin, padahal hawa udara sedemikian dinginnya sehingga orang mesti mengenakan baju tebal dan berdiang di depan tungku.

Maka maklum dan yakinlah nyonya itu bahwa anaknya benar- benar telah menjadi seorang pemuda yang gagah! Hati orang tua itu menjadi lega dan bangga, dan ia menceritakan peristiwa yang menyebabkan suaminya meninggal dunia itu…….

<>

Sebagaimana pernah diterangkan di bagian depan dari cerita ini, bahwa Souw Cian Ho, yakni ayah Souw Bun Liong, adalah seorang bekas piauw-su. Oleh karena memang kepandaiannya cukup tinggi, maka setelah berkali-kali para perampok yang mengganggu dan hendak merampas barang kawalannya di tengah perjalanan selalu roboh di tangannya, maka namanya menjadi terkenal dan tidak ada orang jahat yang berani mengganggu barang yang dikawalnya.

Disamping kepandaiannya yang cukup tinggi Souw Cian Ho adalah seorang yang penuh belas kasihan. Biarpun terhadap penjahat, hatinya tidak tega untuk membunuh sehingga sebagian besar para perampok yang pernah mengganggunya di tengah perjalanan, sedapat mungkin dirobohkannya dengan luka ringan saja. Kemudian memberi peringatan keras, bahkan tidak jarang ia memberi uang bekal pengobatan kepada penjahat yang dirobohkannya itu. Akan tetapi, apabila ia menghadapi seorang penjahat yang tinggi ilmu silatnya, terpaksa ia menurunkan tangan maut. Menghadapi lawan berat yang tidak banyak selisih tingkat kepandaiannya, amat sukar unnuk mengalahkannya dengan hanya melukai ringan saja.

Maka dalam hal ini, pertempuran sudah berobah sifatnya, sudah merupakan adu nyawa, saling mendahului merobohkan lawan dengan pukulan atau serangan yang berbahaya. Kalau ia ragu- ragu untuk merobohkan lawannya, sebaliknya ia sendirilah yang akan dirobohkan. Maka terpaksa ia harus menurunkan tangan maut sehingga lawannya itu roboh dan binasa!

Akan tetapi para penjahat yang pernah dirobohkannya sehingga tewas, hanya sedikit saja. Di antara sekian banyak penjahat yang pernah dikalahkannya tanpa ditewaskan, terdapat seorang perampok tunggal yang berkepandaian tinggi, namanya Lauw Can Tong. Terpaksa ia merobohkannya dengan pedangnya yang mengakibatkan perampok itu melarikan diri dalam keadaan dalam keadaan luka hebat, dadanya ditembus oleh pedang Souw Cian Ho.

Souw Cian Ho tidak pernah menyangka bahwa Lauw Can Tong itu akhirnya menemui ajalnya setelah bertemu dan menceritakan kekalahan kepada gurunya dan minta supaya sang guru membalaskan kekalahannya itu. Adapun guru dari perampok she Lauw itu tidak lain dari Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang……!”

Ci Lun Hosiang berjanji kepada muridnya akan membalaskan kekalahan ini. Dan begitulah pendeta gadungan yang berwatak buruk ini lalu merantau selain untuk mencari Souw Cian Ho, juga ia mencari musuh pribadi yang pernah mengalahkannya, yakni Bu- tek-sin-kun Ong Kim Su yang pembaca sudah mengenalnya sebagai pertapa sakti dengan nama samaran Bu Beng Lojin.

Ci Lun Hosiang mendatangi kota See-an karena dari Can Tong ia mendengar bahwa Souw Cian Ho tinggal di kota tersebut, tetapi di situ ia tidak menjumpai musuh muridnya yang dicarinya itu karena sebenarnya Souw Cian Ho dan keluarganya sudah pindah ke daerah kota Tong-koan, yakni di dusun Lo-kee-cun.

Kemudian, sebagaimana pembaca sudah ketahui, Ci Lun Hosiang pergi ke gunung Hoa-san sambil membawa seorang anak murid barunya yang bermuka bopeng, yang sebenarnya bocah jembel yang dijumpainya di tengah perjalanannya. Dan sebelum hweesio gendut ini bertemu dengan Bu Beng Lojin, pembaca tentu masih ingat bahwa hweesio ini telah membunuh lutung sakti dan harimau putih karena ke dua binatang tersebut telah menyebabkan murid barunya itu mati konyol dan kemudian ia bertemu dengan Bun Liong.

Dan dari Bun Liong yang tidak menaruh syak wasangka apapun juga terhadap hweesio gundul teromok ini, maka Ci Lun Hosiang mengetahui tempat tinggal Souw Cian Ho yang tengah dicari- carinya itu. Dan akhirnya, setelah untuk kedua kalinya hweesio ini dikalahkan oleh Bu-tek-sin-kun Ong Kim Su alias Bu Beng Lojin. Ci Lun Hosiang mengubur muridnya yang mati konyol itu di dalam hutan kemudian langsung menuju ke dusun Lo-kee-cun dan menemukan rumah orang yang dicarinya.

Hari sudah sore ketika Ci Lun Hosiang sampai ke rumah Souw Cian Ho dan di ambang pintu yang terbuka lebar, hweesio ini berseru nyaring: “O-mi-to-hud……!”

Ketika itu Souw Cian Ho dan isterinya sedang makan di ruangan tengah. Mendengar seruan tersebut, segera bekas piauw-su ini meninggalkan meja makannya dan berjalan ke depan, menjumpai hweesio gendut yang berdiri di ambang pintu rumahnya itu.

“Maaf, pinceng numpang tanya, benarkah rumah ini tempat tinggal Souw Cian Ho yang berasal dari kota See-an?” hweesio itu bertanya dengan sikap sopan yang kelihatannya sangat kaku, yaitu sopan yang dibuat-buat.

Souw Cian Ho menjura, “Tak salah dan orang yang toa-suhu maksudkan adalah siauwtee ini. Maaf dan kalau boleh siauwtee mengetahui, ada keperluan apakah maka toa-suhu mencari siauwtee?” Souw Cian Ho bertanya karena memang hweesio terokmok yang berdiri diambang pintu itu belum pernah dikenalnya.

Ci Lun Hosiang menyeringai bagaikan seekor kuda yang makan dedak yang terlalu kasar bagi mulutnya dan kepalanya yang gundul kelimis itu mengangguk-angguk seperti batok gayung yang sudah loncer dari gagangnya.

“Bagus, bagus, dan sangat kebetulan sekali,” ujarnya dan setelah angguk-anggukkan kepalanya itu berhenti, katanya pula: “Terus terang saja kedatangan pinceng kemari adalah untuk meminta derma……”

Souw Cian Ho sudah biasa menjumpai hweesio yang meminta uang derma, dan ia sendiri termasuk salah seorang yang tangannya selalu “terbuka” dalam hal ini, maka lalu tanyanya ramah: “Baik, baik, dan toa-suhu ini dari kelenteng mana?” tanpa menanti hweesio itu memberi keterangan sebagaimana biasanya si pemungut derma lakukan, Souw Cian Ho merogoh saku bajunya dan mengambil mata uang sebesar satu tail yang kemudian disodorkan kepada hweesio itu.

Dengan telapak tangannya yang besar dan gemuk Ci Lun Hosiang menerima mata uang itu dan sekali remas saja, hancurlah mata uang yang terbuat dari logam dan hancurannya disebarkan ke muka Souw Cian Ho.

Sebagai orang yang banyak pengalaman, Souw Cian Ho maklum bahwa kedatangan pendeta gendut yang berkepandaian tinggi ini membawa maksud yang tidak baik. Dan makin jelaslah ketika mendengar hweesio itu berkata:

“Cian Ho, pinceng datang bukan minta derma berupa mata uang, melainkan pinceng minta kepalamu!”

Merahlah wajah si tuan rumah karena marah, tapi ia masih dapat menahan marahnya ketika bertanya, “Toa-suhu, ada hubungan apakah antara aku dengan kau? Kita belum pernah hertemu, apalagi bermusuhan, maka dengan alasan apakah kau minta kepalaku?!” “Hehe!” Ci Lun Hosiang ketawa mengejek. “Memang kau belum pernah bertemu dan memang antara pinceng dan kau tidak mempunyai sangkut paut langsung. Akan tetapi dengarlah!

“Seorang muridku, bernama Lauw Can Tong telah dibunuh olehmu, dan karena ini maka untuk menebus kerugian pihakku, pinceng hendak menagih hutang jiwa kepadamu!

“Nah, kalau benar-benar kau mempunyai kepandaian, ambillah senjatamu dan sebelum tiba ajalmu untuk menemani arwah muridku di neraka, kuberi kesempatan kau melawanku supaya kau tidak mampus dengan hati penasaran!”

Souw Cian Ho tidak ingat lagi akan nama Lauw Can Tong karena memang sudah banyak penjahat yang pernah dirobohkannya sehingga mana mungkin dapat diingatnya nama seorang demi seorang, namun karena hweesio mengatakan bahwa seorang muridnya telah ditewaskan olehnya, maka disamping rasa marah, ia menjadi heran juga.

“Toa-suhu, jangan mengobral kesombongan dulu,” katanya sambil tetap menahan amarah. “Kalau benar seorang muridmu telah ditewaskan oleh ujung pedangku, maka sudah pasti muridmu seorang perampok, dan kalau hal ini toa-suhu anggap sebagai hutang piutang sehingga kau datang menagihnya, aku bersedia menanggung segala resikonya. Cuma yang kuherankan, baru sekarang kudengar bahwa ada seorang pendeta yang mempunyai murid perampok, maka pendeta apakah adanya toa-suhu ini?”

“Bangsat kecil! Kau berani kurang ajar terhadap aku si Tangan Seribu Kati Ci Lun Hosiang?!” bentak si hweesio dengan marah karena ucapan Souw Cian Ho yang terakhir itu benar-benar merupakan sindiran yang amat tajam baginya.

Baik semasa aktif menjadi piauw-su, apalagi setelah mengundurkan diri dan tinggal di dusun Lo-kee-cun ini, Souw Cian Ho memang belum pernah mendengar nama hweesio gadungan yang berasal dari Tibet ini, maka sedikitpun ia tidak merasa terkejut. Bahkan mendapat kesimpulan bahwa kalau seorang hweesio mempunyai murid berupa perampok, maka sudah pasti pendeta ini hweesio yang jahat dan kalau tidak demikian, setidak- tidaknya sudah pasti manusia gendut ini seorang penjahat besar yang berpura-pura menjadi hweesio! 

“Eh, toa-suhu! Mengapa kau memakiku dan mengatakan aku kurang ajar terhadapmu? Sepatutnya, kalau benar-benar toa-suhu ini seorang pendeta suci, niscaya akan dapat menimbang secara bijaksana bahwa perkataanku tadi sangat beralasan! Tapi anehnya, justeru toa-suhu menjadi marah dan karena ini, maka teranglah bagiku bahwa kalau muridmu termasuk golongan burung gagak, maka kau sebagai gurunya sudah terang termasuk burung hantu!”

Merahlah wajah Ci Lun Hosiang mendengar kata-kata balasan yang sangat berani itu, karena hatinya bukan main marahnya. “Bedebah! Kau mempunyai kepandaian apa maka berani demikian kurang ajar terhadapku? Dasar kau memang harus membayar hutang jiwa muridku! Nah, mampuslah kau!”

Sambil membentak demikian, Ci Lun Hosiang mengibaskan lengan bajunya ke arah dada Souw Cian Ho dan bekas piauw-su ini cepat mengelak karena tahu akan lihaynya kibasan lengan baju si hweesio ini. Sambil mengelak sehingga dada nya terluput dari samberan angin dari lengan baju yang cukup berbahaya itu.

Souw Cian Ho menyambar pedangnya yang tergantung di dinding dan dengan menggunakan senjata yang telah banyak merobohkan orang-orang jahat ini, ia balas menyerang. Maka pada saat berikutnya, keduanya bertempur!

Akan tetapi, karena pertempuran terjadi di dalam ruangan depan yang tidak begitu lebar, maka Souw Cian Ho tidak dapat secara leluasa menggerakkan pedangnya sehingga hal ini benar-benar sangat merugikan baginya. Sebaliknya, karena Ci Lun Hosiang bertempur dengan tangan kosong saja dan lagipula karena memang si gundul ini berkepandaian jauh lebih tinggi daripada lawannya, maka ruangan itu sedikitpun tidak mengurangi kebebasan pergerakannya dan ia dapat bertempur dengan leluasa!

Pertempuran ini meskipun kelihatannya berjalan sengit. Akan tetapi pada hakekatnya sangat pincang dan berat sebelah. Karena kalau Souw Cian Ho memainkan pedangnya dengan tipu-tipu yang terlihay dan menghadapi si gundul teromok itu dengan nekad, maka Ci Lun Hosiang yang ternyata memandang lawannya sangat rendah sekali itu menghadapi pedang di tangan lawannya sambil ketawa-tawa mengejek!

Sementara Kho In Hoa atau isteri Souw Cian Ho yang mendengar pertengkaran antara suaminya dan seorang tamu yang tak dikenal di ruangan depan lalu meninggalkan meja makannya dan kini berdiri di pinggir ruangan itu menyaksikan pertempuran dengan hati gelisah dan khawatir. Ia maklum bahwa suaminya menghadapi lawan yang sangat berat dan yang memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi sehingga suaminya berada dalam bahaya. Akan tetapi, nyonya yang tidak mengerti ilmu silat ini tak dapat berbuat apa-apa selain mengepal kedua tangannya dengan hati cemas.

Baru bertempur belasan jurus saja, Cian Ho sudah terdesak hebat dan kemudian tiba-tiba terdengar Ci Lun Hosiang ketawa bergelak dan Kho In Hoa melihat pedang suaminya telah terampas oleh libatan ujung lengan baju si hweesio hingga senjata itu terlontar ke lantai. Kemudian terdengar jeritan ngeri dan tubuh Souw Cian Ho itu terlempar dengan keras sekali, kepalanya membentur tembok dinding rumah. Dari kedua lubang hidung serta mulut bekas piauw- su yang malang ini keluar darah, lalu tubuhnya terjungkal dan roboh tertelungkup tak bergerak lagi!

Souw Cian Ho, bekas piauw-su yang gagah perkasa dan yang pernah merobohkan banyak penjahat, telah meninggal dalam keadaan yang amat mengerikan dan mengecewakan di bawah tangan Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang si pendeta gadungan yang berwatak buruk dan jahat!

Si Tangan Seribu Kati ketawa bergelak. “Nah, punahlah hutangmu dan puaslah arwah muridku dengan pembayaranmu orang she Souw!” katanya sambil melangkah hendak luar dari rumah itu. “Bangsat keji, rasakan pembalasanku!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring Kho In Hoa, nyonya Souw Cian Ho, melompat maju sambil mempergunakan pedang bekas suaminya yang telah diambilnya dari lantai, disabetnya ke arah punggung hweesio itu!

Tapi Ci Lun Hosiang dengan tenang sekali dan tanpa menoleh ke belakang, seakan-akan di belakang kepalanya yang gundul itu bermata, tangan kanannya diulurnya ke belakang dan dengan gerakan ini secara mudah sekali ia telah dapat merampas senjata nyonya itu. Setelah itu, hweesio ini membalikkan tubuhnya dan memandang nyonya Souw sambil menyengir.

“Souw-hujin (nyonya Souw)! Apakah yang harus engkau dendamkan dalam hal hutang-piutang ini? Suamimu mempunyai hutang jiwa muridku, maka sudah selayaknya aku kini datang dan membereskan soal itu!” katanya sambil jari-jari tangannya mematahkan pedang yang dirampasnya tadi dan setelah melemparkan senjata yang sudah menjadi dua potong itu ke lantai, hweesio gadungan ini meninggalkan tempat itu.

Karena tidak mampu berbuat apa-apa untuk melampiaskan penasaran dan dendam hatinya, Nyonya Souw menangis dan menubruk tubuh suaminya yang sudah menjadi mayat! Betapa sakit dan sedihnya hati nyonya ini sukar dilukiskan! Setelah empat tahun lamanya ia kehilangan putera tunggalnya sehingga ia hampir setengah gila, kini kehilangan suaminya. Peristiwa ini benar-benar telah menyiksa batin Kho In Hoa!

Semenjak peristiwa itu Kho In Hoa yang sudah menjadi janda ini, benar-benar menyedihkan. Ia menderita sakit sesak napas yang disebabkan karena ia terlalu menderita batin. Harta benda peninggalan mendiang suaminya dan juga barang-barang perabotan rumah tangga makin lama makin habis, dijual untuk mengongkosi hidupnya sehari-hari yang sebatang kara!

Tubuh nyonya janda ini menjadi kurus kering karena setiap hari dilanda siksaan batin dan penyakit sesak napasnya makin lama makin berat. Ia kelihatan tua, padahal usianya belum mencapai empatpuluh tahun.

Baiknya nyonya janda ini mempunyai iman yang cukup teguh sehingga biarpun hidupnya menderita lahir batin, ia tetap ingin berumur panjang karena masih terus mengharap-harap puteranya yang hilang itu akan kembali pulang, sungguhpun harapannya setipis kulit bawang!

◄Y► “Bun Liong, anakku, terima kasih kuucapkan atas keadilan Thian yang maha Kuasa telah melindungimu sehingga hari ini benar- benar kau kembali pulang! Baiknya kau lekas kembali, nak, kalau tidak, kiranya ibumu takkan tahan lebih lama lagi menderita hidup seperti ini, tiada tali tempat bergantung, tiada dahan tempat berpijak……” Demikian, Kho In Hoa atau ibu Bun Liong mengakhiri ceritanya.

“Ah, mama, yang membuat si hweesio gadungan itu mengetahui tempat tinggal ayah, sebenarnya adalah kecerobohanku juga,” kata Bun Liong setelah menarik napas dalam karena teringat bahwa dari dia sendirilah hweesio itu memperoleh petunjuk tentang tempat tinggal orang tuanya, dan apa yang dikhawatirkan oleh suhunya dulu, kini ternyata telah terjadi!

Nyonya itu memandang puteranya dengan perasaan heran:

“Jadi kau pernah bertemu dengan pendeta pembunuh ayahmu itu, nak? Di mana kau pernah bertemu dengannya dan di mana saja kau berada selama delapan tahun Liong?”

Kini giliran Bun Liong menceritakan semua pengalamannya dari awal sampai akhir dan nyonya itu menjadi girang dan bangga mendengar betapa puteranya telah menjadi murid dari seorang pertapa sakti di gunung Hoa-san.

“Syukurlah, kalau kau benar-benar telah mendapat gemblengan dari seorang sakti nak. Dengan demikian kuyakin dengan pasti bahwa sakit hati ayahmu akan terbalas!”

“Mudah-mudahan Thian memberkati kita, mama. Dan kalau sekiranya mama mengijinkan, saat inipun aku akan pergi mencari manusia laknat itu,” kata Bun Liong sambil mengepalkan kedua tinjunya karena perbuatan si Tangan Seribu Kati Ci Lun Hosiang yang riwayatnya sudah ia ketahui dari penuturan suhunya itu benar-benar membuat hati mudanya menjadi sakit, gemas dan marah!

“Apa?! Kau akan pergi lagi meninggalkanku?” kata nyonya itu setengah berseru dan cepat memegang lengan anaknya tanda bahwa benar-benar ibu ini sangat takut akan segera ditinggalkan lagi oleh putera kesayangannya yang baru saja muncul setelah delapan tahun meninggalkannya.

“Bun Liong……. apakah kau tidak kasihan kepada ibumu yang sudah disiksa penderitaan lahir batin selama ditinggalkan olehmu ini? Kau tentu dapat membayangkan betapa perasaan hatiku selama ini.

“Dan sekarang, baru saja kau datang sudah menyatakan hendak pergi lagi berarti kesenangan yang baru hari ini kurasakan, akan musnah pula. Liong, janganlah kau pergi lagi meninggalkan ibumu kalau saja kau merasa kasihan kepadaku dan kalau kau tidak menghendaki ibumu yang sudah seropoh ini cepat mati……!”

Bun Liong terharu dan cepat ia memeluk lutut ibunya sambil menyatakan penyesalannya bahwa tadi ia berkata terburu-buru. Bun Liong sudah cukup besar dan sudah cukup mengerti betapa perasaan hati ibunya. Tentu saja ibunya akan sangat keberatan kalau ia pergi meninggalkannya lagi. Biarpun hatinya amat marah terhadap hweesio gadungan yang jahat itu dan yang kini entah berada di mana.

Demikianlah sejak hari itu, Bun Liong berkumpul dengan ibunya dan Kho In Hoa tidak merasa kesepian lagi dalam hidupnya yang sangat prihatin itu. Matahari kini bersinar lagi sesudah ia berkumpul dengan puteranya dan kalau tadinya keadaan nyonya ini amat menyedihkan, hidup kesepian dan hampir putus harapan, kedatangan Bun Liong merupakan obat penawar yang mustajab dan mulailah terlihat senyum di wajah nyonya ini.

Dan sungguh ajaib, biarpun tidak diobati, penyakit sesak napas yang diderita oleh nyonya ini setelah kedatangan Bun Liong, tidak pernah menyerangnya lagi, sungguh pun belum dapat dikatakan menjadi sembuh sama sekali. Karena tak tega melihat puteranya tidak mempunyai pakaian, maka nyonya itu membeli kain dari tetangganya yang baik budi dengan harga murah. Kain itu hanya kain kasar saja dan berwarna biru, lalu dibuatnya pakaian untuk Bun Liong dan hanya dikenakan apabila pemuda ini pergi keluar rumah, sedangkan kalau tidak berpergian Bun Liong cukup mengenakan pakaian mendiang ayahnya yang disimpan oleh ibunya.

Kurang lebih dua pekan kemudian setelah Bun Liong kembali ke rumahnya dan hidup di antara masyarakat ramai sesudah delapan tahun lamanya hidup terasing di gunung Hoa-san, maka pemuda ini mendapat kenyataan bahwa betapa buruknya keadaan kota Tong-koan, termasuk dusun tempat tinggalnya sendiri, yaitu sering diranjah dan diganggu oleh kawanan penjahat yang terdiri dari dua komplotan. Yaitu gerombolan perampok yang bermarkas di hutan sebelah selatan kota dan gerombolan bajak sungai Huang-ho dari sebelah utara kota Tong-koan. Pada suatu hari Bun Liong pergi berjalan-jalan ke kota, maka terlihatlah olehnya betapa keadaan kota itu sangat menyedihkan, demikian sunyi, lengang, sehingga merupakan kota yang mati. Melihat situasi yang menyedihkan ini, teringatlah Bun Liong akan kata-kata suhunya ketika ia mau turun gunung, bahwa sesampainya di dusun tempat tinggalnya ia akan melihat kekeruhan dan kekacauan yang berupa huru hara dan geger yang ditimbulkan oleh manusia sendiri sehingga orang lemah menjadi bingung dan kesengsaraan merajalela di antara rakyat jelata.

“Oleh karena ini, muridku, aku percaya bahwa dengan mempergunakan kepandaian yang telah kuwariskan kepadamu, kau akan dapat berbuat sebagaimana mestinya, yakni membela orang-orang yang lemah dan benar dan mengganyang segolongan manusia yang menuntut penghidupan sewenang-wenang dan melanggar segi-segi kesopanan dan prikemanusiaan!”

Teringat akan pesan suhunya, kini mengertilah Bun Liong bahwa ia harus menanggulangi situasi yang tidak wajar ini, yaitu harus dapat memberantas gerombolan-gerombolan penjahat itu! Namun Bun Liong masih bingung, betapa ia harus berbuat terhadap gerombolan yang jahat dan berjumlah banyak itu? Apalagi setelah ia mendengar, bahwa operasi gerombolan perampok selalu dipimpin oleh si Srigala Hitam Ciam Tang yang terkenal akan kekejaman dan kelihayan ilmu silatnya, serta dari komplotan bajak sungai dipimpin oleh Bu Kiam bersama dengan Bong Pi yang terkenal dengan julukannya Huang-ho-ji-go (Sepasang Buaya Sungai Kuning) yang terkenal pula dengan kehebatannya ilmu pedang mereka. Makin bingunglah Bun Liong karena kalau hanya mengandalkan tenaga sendiri, bagaimana ia akan dapat berbuat seperti yang ditugaskan oleh suhunya?

Kebingungan bukan karena Bun Liong merasa takut, akan tetapi pemuda yang pada dasarnya mempunyai kecerdasan ini berpendapat bahwa dalam segala hal yang dihadapi harus disertai kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana layak dilakukan oleh orang waspada dan berbudi akal. Menghadapi segala hal dengan serampangan dan serudukan bagaikan kerbau gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak termasuk kegagahan, melainkan kebodohan dari orang yang kurang pikir! Oleh karena itulah, maka untuk sementara Bun Liong tidak dapat berbuat sesuatunya terhadap dua komplotan gerombolan penjahat itu.

Kemudian, hati pemuda itu menjadi gembira ketika mendengar bahwa di kota Tong-koan diselenggarakan pibu untuk membentuk barisan keamanan yang bertujuan mengganyang komplotan penjahat itu. Pada hari pibu itu diselenggarakan ia turut menonton dan ia menyaksikan betapa pemilihan untuk ketua Pauw-an-tui itu dilakukan sehingga kemudian muncullah Ciam Tang si Srigala Hitam yang berlagak sombong dan jumawa sekali. Karena agaknya tiada orang lagi yang berani menghadapinya setelah ia mengalahkan Can kauw-su yang nyaris saja mendapat celaka karena kekejaman Ciam Tang kalau saja tidak ditolong oleh Bun Liong yang menyambitkan sebutir batu kecil ke arah kaki si Srigala Hitam itu!

Setelah melihat betapa Ciam Tang marah-marah dan menantang kepada si penyambit kakinya, dan mendapat kenyataan pula bahwa tiada orang yang berani muncul ke atas panggung lui-tay untuk menghadapi si Srigala Hitam yang terkenal kelihayannya dan justeru karena melihat Ciam Tang ini berlagak seakan-akan hendak merebut kedudukan pang-cu Pauw-an-tui, sedangkan keadaan sesungguhnya manusia jahat ini justeru mesti diganyang berikut komplotannya, maka bangkitlah semangat Bun Liong dan ia segera melompat ke atas lui-tay dan dapat mengalahkan Ciam Tang dengan mudah setelah dipermainkannya.

Setelah itu, betapa Bun Liong menghadapi pula Huang-ho-ji-go Bu Kiam dan Bong Pi sehingga akhirnya pemuda ini dengan resmi diangkat menjadi ketua Pauw-an-tui dan mendapat julukan Tong- koan Ho-han. Hal ini sudah dikisahkan dengan jelas di bagian depan dari cerita ini……..

Seperti sudah diketahui bahwa sebubarnya pibu ketika sedang berjalan hendak pulang, Souw Bun Liong bertemu dengan nyonya Ho Kim Teng bersama puterinya, yakni dara berbaju putih yang cantik jelita bernama Ho Yang Hoa, yang bagaimana sudah dituturkan bahwa kedua ibu dan anak ini ternyata kenalan lama dan bahkan dengan suami nyonya tersebut, yakni Ho Kim Teng. Orang tua Bun Liong pernah saling mengangkat saudara dan bahkan pula semasa Bun Liong dan nona itu semasa masih kecil, keluarga Ho dan Souw itu telah mempertunangkan anak-anak mereka.

Kemudian, atas ajakan Bun Liong, kedua wanita yang terlunta- lunta datang dari kota See-an itu lalu bersama-sama pergi ke dusun Lo-kee-cun, untuk menjumpai nyonya janda Souw Cian Ho, yakni ibu dari Bun Liong yang pembaca sudah mengenalnya bernama Kho In Hoa. “Liong, kepandaianmu sungguh tinggi. Ilmu silat dari cabang manakah yang kau pelajari dan siapakah gurumu?” demikian sambil berjalan nyonya itu bertanya.

Dan Bun Liong memberi keterangan secara terus terang dan sederhana sekali sambil bersikap merendah sehingga nyonya Ho yang mendengarnya, setelah melihat betapa tinggi kelihayan, ketampanan dan kesederhanaan sikap dari “calon mantu”nya diam-diam di dalam hatinya merasa girang dan bangga.

Berbeda dengan ibunya, kalau nyonya itu banyak juga bertanya tentang ini-itu kepada Bun Liong, adapun nona Ho Yang Hoa sendiri tidak banyak bicara. Dara ini berjalan sambil menunduk sehingga hal ini banyak memberi kesempatan pada Bun Liong untuk mencuri pandang dari kecantikan yang dimiliki oleh dara yang pada sepuluh tahun yang lalu pernah menjadi teman bermainannya dan ditarik-tarik rambut kuncirnya.

Bun Liong adalah seorang pemuda yang sudah dewasa dan sudah lazimnya pemuda seperti dia hatinya merasa tertarik sekali akan kecantikan wajah wanita. Apalagi ia baru saja turun gunung dimana ia hanya hidup bersama gurunya saja sampai delapan tahun di tempat yang sepi dan terasing dari pergaulan manusia. Kini ia bertemu dengan bekas kawan bermainnya sewaktu kecil yang kini memiliki tubuh ramping padat. Sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung, mulutnya kecil mungil dengan bibir bagaikan gendewa dipentang dan berwarna merah membasah.

Diam-diam Bun Liong merasakan dadanya berdebar aneh dan ia merasa suka sekali kepada gadis itu sehingga selama dalam perjalanan menuju ke rumahnya, entah sudah berapa puluh kali ia melirik dan mengagumi wajah si nona itu. Dan apabila sesekali mata Bun Liong yang menjadi sedemikian nakal itu bertemu dengan sepasang mata indah dari nona itu yang entah sengaja atau tidak mengerling juga kepadanya, maka makin berdebarlah dadanya……

Nona Ho Yang Hoa sendiri biarpun berjalan sambil menunduk, ia tahu benar bahwa dirinya sedang dikagumi oleh bekas kawan bermainnya yang kini ternyata telah menjadi seorang pemuda gagah dan tampan. Semenjak ia bersama ibunya meninggalkan kota See-an dan pergi merantau, gadis ini sudah terlalu banyak dan terlalu sering mengalami hal ini, dipandang dengan kagum dan penuh gairah oleh mata pria. Baginya hal semacam ini sudah lumrah dan boleh dikatakan sudah menjadi kemauan alam! Di dalam kamus hatinya, nona yang sudah banyak merantau ini sudah mencatat bahwa memang begitulah sifat mata kaum pria, dan kalau ada mata yang tidak mengikuti dan mengagumi kecantikan wajah wanita, baik terang-terangan maupun sembunyi- sembunyi, maka bukan mata prialah itu! Biasanya hati Yang Hoa suka muak dan mendongkol apabila melihat mata pria yang selalu mengikutinya.

Sekarang, wajah dan dirinya selalu dilirik-lirik saja oleh pemuda yang sudah dikenalnya semenjak masih sama-sama kecil itu, tapi sedikitpun hatinya tidak merasa muak atau mendongkol, bahkan sebaliknya, hati dara ini menjadi senang! Hal ini tak usah diherankan, karena Yang Hoa pernah mendengar pernyataan bahwa semenjak kecil ia sudah dipertunangkan dengan pemuda ini!

Oleh karena itu, maka tentu saja dilirik-lirik sedemikian sering oleh pemuda itu, hatinya merasa suka dan senang dan gadis manakah yang takkan merasa senang kalau dirinya dikagumi oleh pemuda yang sudah diketahui menjadi tunangannya. Apalagi pemuda itu demikian tampan dan gagah serta ilmu silatnya begitu tinggi sebagaimana pernah dilihatnya di atas panggung lui-tay tadi yang membuat hatinya merasa kagum! Adapun ibu Bun Liong sementara itu, sebelum puteranya datang ke rumahnya, sudah mendengar dari para tetangganya yang telah menonton penyelenggaraan pibu itu, bahwa puteranya pada hari itu telah berhasil menempati kedudukan tinggi, yaitu terpilih menjadi ketua Pauw-an-tui dan mendapat nama julukan Tong- koan Ho-han, maka bukan main gembira dan bangganya hati nyonya yang prihatin ini.

“Tak percumalah anakku menghilang sampai delapan tahun lamanya, kalau kini ternyata telah membuktikan kepandaian yang dimilikinya. Dan tidak sia-sialah cita-citaku karena kini benar-benar puteraku telah membuktikan kepandaian yang dibawanya dari gunung Hoa-san, mudah-mudahan dendam ayahnya bakal terba1as…….” kata nyonya itu di dalam hatinya sambil tak lupa mengucapkan syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan berkah pada putera tunggalnya.

Demikianlah, ketika Kho In Hoa melihat puteranya telah pulang bersama nyonya Ho dan puterinya, ibu itu menyambut puteranya dengan pelukan, yang erat sebagai perluapan rasa bangganya, dan kemudian menyambut tamu yang datang bersama puteranya itu yang segera dapat dikenalinya. Ia tercengang dan heran karena tidak disangkanya bahwa setelah sekian lamanya berpisah, kini tiba-tiba berjumpa kembali dalam keadaan yang benar-benar membuat nyonya janda ini bertanya-tanya dalam benaknya,

“Angin apakah yang membawamu datang ke mari dari See-an, adik Eng?” kata In Hoa sambil tangannya memegang erat lengan nyonya Ho sebagai pernyataan rasa kangennya.

Kemudian ia memandang kepada nona Yang Hoa yang tatkala itu tengah memberi hormat kepadanya dengan bersoja. Melihat raut muka yang cantik jelita itu, sekilas saja In Hoa lantas teringat bahwa nona itu adalah puteri dari tamunya dan sekaligus teringat pula bahwa nona ini ketika masih kecil telah dipertunangkan dengan puteranya.

Maka In Hoa lantas melepaskan lengan nyonya Ho dari pegangannya dan tanpa menanti jawaban yang diajukannya tadi dari nyonya itu, In Hoa lalu memegang ke dua pundak dara itu dan wajah yang jelita itu ditatapnya baik-baik dengan penuh kekaguman sambil bertanya: “Benarkah engkau ini Yang Hoa?”

“Tak salah, cici,” kata nyonya Ho mewakili penyahutan puterinya yang tak sempat menjawab sendiri karena nona itu menjadi tunduk kemalu-maluan ketika dipandang sedemikian rupa seakan-akan wajahnya sedang dinilai oleh orang tua yang ia ketahui sebagai calon mertuanya.

“Benar-benar keadaan dan rupamu setelah menjadi dewasa membuatku sangat pangling, Yang Hoa,” ujar nyonya janda Souw sambil sekali lagi menatap wajah yang cantik dari dara itu.

“Kau demikian cantik jelita melebihi ibumu sewaktu muda.”

Pujian langsung dan yang diucapkan dengan sejujurnya ini, membuat Yang Hoa makin malu sehingga gadis ini makin menunduk saja seakan-akan menyembunyikan warna merah yang menjalari mukanya dan bibirnya menyunggingkan sekulum senyum tersipu-sipu.

Li Lan Eng atau nyonya Ho Kim Teng atau juga ibu dari Yang Hoa kembali terdengar berkata mewakili puterinya yang “keripuhan” itu, “Sebaiknya puteramu sendiripun demikian tampan dan gagah perkasa, berkepandaian tinggi dan bahkan telah menjadi ketua Pauw-an-tui serta mendapat julukan Tong-koan Ho-han, satu hal yang benar-benar patut dibanggakan dan untuk ini aku turut bersyukur serta gembira dan mengucapkan selamat.

“Kalau saja puteramu tadi di atas lui-tay tidak memperkenalkan diri yang kebetulan sekali terdengar olehku, benar-benar aku takkan dapat mengenalnya karena sangat pangling. Ah, enci Hoa, benar- benar kau harus merasa beruntung dan bangga mempunyai putera seperti anakmu ini…….!”

Kini Bun Liong yang wajahnya menjadi merah. Pemuda ini maklum bahwa ucapan tamunya ini sebagai imbalan kata-kata ibunya sehingga diam-diam ia merasa “tidak enak hati” mendengar pujian dari seorang nyonya yang anak gadisnya sangat ia kagum dan sukai. Akan tetapi Bun Liong dapat segera mencari jalan keluar dari suasana yang membuat jantungnya berguncang dan menyebabkan sikapnya menjadi agak kikuk ini, tatkala kemudian ia berkata kepada ibunya:

“Ah, Mama ini bagaimana sih, menerima tamu yang datang dari tempat jauh dibiarkan berdiri seperti patung saja!”

Teguran dari Bun Liong ini segera menyadarkan In Hoa sehingga nyonya ini sambil tertawa-tawa mengajak tamu kenalan lamanya itu memasuki rumah dan kemudian mereka berempat telah duduk di ruang tengah dalam rumah itu.

Ketika nyonya tamu melihat keadaan rumah yang sedemikian miskin dan melihat pula meja abu dari mendiang Souw Cian Ho, ia menanyakan hal ikhwal Souw Cian Ho dan menyatakan herannya karena rumah tangga Souw yang dahulu diketahuinya mewah itu, kini nampak demikian miskin dan prihatin!

Pertanyaan ini dijawab oleh nyonya rumah dengan menarik napas yang dalam terlebih dulu, kemudian diceritakannya segala peristiwa yang menimpanya dengan singkat tetapi cukup jelas sehingga nyonya bersama puterinya yang mendengarkannya menjadi terharu.

Akhirnya hati kedua ibu dan anak gadis ini menjadi marah dan penasaran sekali ketika mendengar bahwa Souw Cian Ho mati dibunuh oleh Ceng-kin-ciu Ci Lun Hosiang. Meskipun mereka belum pernah bertemu dengan si gundul terokmok itu, namun pernah mendengar bahwa si Tangan Seribu Kati itu adalah seorang pendeta gadungan yang hidupnya menyeleweng dari jalan yang benar.

“Baiknya, si Liong, yang telah menghilang selama delapan tahun ini akhirnya kembali juga, dan inilah yang membuat aku merasa betah lagi hidup di muka bumi yang penuh segala macam peristiwa adik Eng…..,” ujar Kho In Hoa mengakhiri ceritanya.

“Ah, enci Hoa, ternyata nasib kita ini banyak persamaannya,” kata Lan Eng sambil menghela napas panjang dan tiba-tiba air muka nyonya ini tampak muram serta kedua matanya agak berkaca- kaca.

Kata-kata nyonya itu membuat nyonya janda Souw tercengang, “Apa adik Eng, kau bilang nasib kita banyak persamaannya? Apakah suamimu juga sama nasibnya dengan suamiku…….?!”

“Tak salah dugaanmu, enci,” Lan Eng membenarkan, “dan justeru hal itulah yang membuat kami berdua merantau dan terlunta-lunta begini rupa, semata-mata untuk mencapai dua maksud. Pertama untuk mencari pembunuh mendiang suamiku, dan kedua sengaja kami datang kemari untuk melayat kalian dan kebetulan sekali kami bertemu dengan Bun Liong sehingga kami tak perlu susah-susah lagi mencari rumahmu.”

“Bibi,” Bun Liong yang sejak tadi membisu kini tiba-tiba berkata karena hati pemuda ini ingin segera mendengar peristiwa yang menimpa keluarga Ho yang dikatakan membuat nasib mereka banyak persamaannya itu. “Ceritakanlah sebab apa dan oleh siapakah paman Ho dibunuh? Barangkali saja aku dapat membantu mencari si pembunuh yang kalian sedang cari itu dan juga barangkali saja kepandaianku yang tak berarti ini sedikit banyak dapat berguna untuk membantu maksud kalian.” Li Lan Eng memandang kepada Bun Liong dengan sinar mata berseri. Nyonya ini memang sejak melihat Bun Liong berlomba yuda di atas panggung lui-tay tadi sudah merasa kagum dan suka sekali terhadap pemuda itu yang biarpun memiliki kepandaian tinggi, namun sikapnya sangat sederhana dan selalu merendahkan diri. Dan kini Bun Liong menyatakan kesediaannya untuk membantu mencari dan membalas sakit hati terhadap pembunuh mendiang suaminya dengan kata-kata yang merendah pula, makin mendalamlah rasa suka Lan Eng terhadap anak muda calon menantunya itu.

“Terimakasih atas perhatian dan kesediaanmu Liong!” kata nyonya itu kemudian. “Dan biarpun pembalasan dendam ini pada hakekatnya ingin kami kerjakan sendiri dengan arti kata kami tidak mau menyusahkan orang lain yang hendak membantunya, akan tetapi mengingat kau sendiri bukan orang luar lantaran mendiang ayahmu dan suamiku sudah saling mengangkat saudara sehingga tentu saja kau telah kuanggap sebagai keponakanku, maka sudah barang tentu kami tidak berani menampik bantuanmu.

“Apalagi setelah kini kudapatkan kenyataan bahwa kau memiliki kepandaian tinggi, tentu saja bantuanmu itu sangat kubutuhkan karena terus terang saja kuakui bahwa kepandaian yang kami pelajari dalam waktu yang pendek ini, masih terasa belum cukup kuat untuk mengatasi tingkat kepandaian yang dimiliki oleh musuh kami itu.” Kemudian, nyonya ini menuturkan peristiwa duka yang dialaminya.

Sebagaimana sudah diceritakan di bagian depan bahwa mendiang Souw Cian Ho semasa tinggal di See-an membuka perusahaan piauw-kiok (pengantar dan pengawal barang) dan mengadakan kerjasama dengan kawannya Ho Kim Teng, kemudian mereka mengangkat saudara. Akhirnya perusahaan tersebut diserahkan kepada Ho Kim Teng, karena Souw Cian Ho dan keluarganya pindah ke kampung halamannya, dusun Lo-kee-cun di wilayah Tong-koan.

Sepeninggal Souw Cian Ho perusahaan piauw-kiok yang dipegang Ho Kim Teng tetap berjalan lancar sebagaimana biasanya sehingga kemudian Ho Kim Teng mendapatkan seorang pembantu sebagai piauw-su, seorang ahli silat dari cabang Bu-tong bernama Cio Leng Hwat. Piauw-su itu seorang duda karena menurut katanya isterinya telah meninggal dunia dan ia hidup hanya dengan seorang puteranya yang ketika itu baru berusia duabelas tahun. Setelah menjadi pegawai Ho Kim Teng, orang she Cio dengan puteranya itu, lalu menetap di kota See-an, menyewa sebuah rumah kecil yang letaknya tidak berapa jauh dari tempat tinggal majikannya.

Pada suatu hari, Ho Kim Teng menerima pekerjaan dari seorang hartawan untuk mengantarkan barang-barang emas intan yang tidak ternilai harganya ke kota Han-tiong-si, sebuah kota yang letaknya jauh sekali di sebelah selatan propinsi Siam-say.

Demikianlah, pada hari itu Ho Kim Teng sendiri berangkat memimpin pengantaran barang berharga tersebut, dibantu oleh Cio Leng Hwat dan beberapa orang pembantu lainnya lagi yang rata-rata mempunyai kepandaian silat yang lumayan. Juga putera Cio Leng Hwat yang pernah menerima latihan ilmu silat dari ayahnya dan yang selalu tidak mau ditinggalkan oleh ayahnya apabila pergi mengantar barang, turut serta dalam rombongan itu.

Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali bahwa pengawalan barang berharga kali itu adalah pekerjaan yang terakhir bagi Ho Kim Teng. Oleh karena di tengah perjalanan ketika melalui sebuah hutan liar, rombongan piauw-su itu telah dicegat oleh seorang perampok tunggal yang berkepandaian tinggi!

Dengan sikap garang perampok tunggal yang berusia kira-kira tigapuluh lima tahun itu melintangkan goloknya dan menghadang rombongan Ho Kim Teng sambil mengancam bahwa barang kawalan itu harus diserahkan kepadanya.

Ho Kim Teng tentu saja marah sekali dan memandang ringan terhadap perampok tunggal itu. Ia lalu meloncat dari kuda tunggangannya sambil menghunus siang-kiam (sepasang pedang)nya karena ia memang ahli dalam memainkan sepasang senjata tersebut.

Tanpa banyak cakap lagi ia langsung menyerang perampok itu dan alangkah kagetnya Ho Kim Teng setelah mengetahui bahwa ilmu golok penjahat itu benar-benar tinggi dan hebat. Dan setelah bertempur sampai belasan jurus, sepasang pedang Ho Kim Teng selalu tertindih oleh golok itu dan ia sudah mulai terdesak.

Sebagai seorang yang paham ilmu silat, Ho Kim Teng segera dapat mengenal bahwa ilmu golok yang dimainkan oleh penjahat itu adalah ilmu golok dari cabang Bu-tong-pay dan karena maklum bahwa ia takkan dapat menandingi kelihayan lawannya yang benar-benar tinggi dan hebat itu, maka ia segera berteriak minta bantuan pada kawan-kawannya! Serempak Cio Leng Hwat dan para piauw-su maju dan dengan menggunakan senjata masing- masing mereka membantu majikan mereka dan mengeroyok perampok tunggal yang berkepandaian lihay itu. Akan tetapi, benar-benar perampok itu sangat hebat. Melihat dirinya dikeroyok, ia tertawa bergelak dengan nada menghina dan goloknya diputar sedemikian rupa dan sebentar saja tiga orang piauw-su menjerit dan roboh. Mereka berlumuran darah terkena sabetan golok yang menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk itu!

Sedangkan beberapa orang piauw-su yang belum terluka setelah melihat tiga orang kawannya roboh, bagaikan telah berjanji mereka serempak mundur dari kalangan pertempuran dan lari menyembunyikan diri di antara semak belukar. Agaknya bagi mereka keselamatan diri sendiri lebih penting daripada rasa kesetiaan terhadap majikannya!

Dua orang, piauw-su lainnya dan putera Cio Leng Hwat yang tidak ikut mengeroyok karena selain merasa kepandaian mereka terlalu rendah, juga mereka merasa berkewajiban menjaga barang kawalannya yang ditaruh di atas punggung keledai yang tali kekangnya mereka pegang erat-erat. Wajah mereka sangat pucat dan seluruh tubuh mereka menggigil bagaikan mendadak diserang demam, menandakan bahwa mereka sangat ketakutan padahal kaki mereka setapakpun tidak berkisar dari tempat mereka berdiri! Mereka belum pernah mengalami peristiwa sehebat ini, berjumpa dengan seorang perampok yang demikian lihay dan ganas dan yang membuat majikan mereka terdesak hebat. Padahal majikan itu dikenalnya sebagai piauw-thauw yang berilmu siang-kiam tinggi dan sepanjang pengalaman sebagai piauw-su belum pernah terkalahkan!

Kini yang masih membantu Ho Kim Teng hanya tinggal Cio Leng Hwat saja. Dengan toyanya yang panjang dan berat Cio Leng Hwat secara gagah sekali dapat menandingi golok lawan sehingga biarpun tak dapat segera mendesak perampok itu, sedikitnya Ho Kim Teng tidak terlalu kewalahan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar