Pendekar Tanpa Tandingan Jilid 04

 
Jilid 04

Ternyata yang memanggilnya itu adalah seorang wanita setengah tua yang berpakaian seperti seorang perantau. Ia membawa buntalan di punggungnya dan memandang kepada Souw Bun Liong dengan wajah berseri-seri.

Pemuda ini sangat heran karena ia sama sekali belum pernah mengenalnya. Di belakang wanita berdiri seorang dara muda yang cantik, yang mengenakan pakaian serba putih.

Untuk sejenak Bun Liong seperti kesima karena heran dan kagum akan kecantikan dara muda yang sedang tunduk seperti kemalu- maluan itu. Ia heran karena dara muda yang secantik itu berani mengunjukkan dirinya dengan terang-terangan di depan umum, sedangkan para wanita muda di kota Tong-koan yang genting itu umumnya selalu menyembunyikan diri karena takut oleh penjahat!

Bun Liong beranggapan bahwa wanita dan dara jelita itu tentu bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak terlihat membawa senjata diam-diam Bun Liong yakin bahwa mereka pasti orang kang-ouw. Sebab kalau tidak, mereka tak mungkin akan seberani itu memasuki kota.

Setelah hilang kesimanya dan sungguhpun sikapnya agak canggung karena wajah jelita dari dara itu membuat hatinya berdebar-debar, Souw Bun Liong memberi hormat kepada wanita setengah tua itu:

“Pek-bo (Bibi), benarkah yang memanggilku barusan adalah pek- bo?” tanyanya.

“Benar, Souw-sicu,” sahut wanita itu. “Dan maaf atas kelancanganku yang telah berani mengganggumu karena kalau boleh, aku hendak bertanya. Benarkah Souw-sicu yang gagah putera dari Souw Cian Ho?”

Bun Liong diam sejenak seakan-akan merasa ragu, kemudian ia menjawab: “Benar, pek-bo. Dan siapakah pek-bo ini?”

Wanita setengah tua itu makin berseri tanda bahwa hatinya merasa lega dan puas.

“Ah, tentu kau lupa kepada kami karena kami pun, kalau tidak mendengar bahwa yang merebut kedudukan ketua Pauw-an-tui dan mendapat julukan Tong-koan Hohan bernama Souw Bun Liong. Dan kemudian aku mendapat penjelasan darimu sendiri bahwa kau adalah putera dari Souw Cian Ho, pasti takkan mengenalmu lagi.

“Maka untuk menghilangkan keragu-raguanmu supaya kau dapat segera mengenal kami, baiklah kuterangkan bahwa aku ini berasal dari kota besar See-an dan semasa kau masih berusia sepuluh tahun, rumahku sebelah menyebelah dengan rumahmu! Nah, sekarang barangkali kau dapat mengingat kembali suami isteri yang dahulu suka kau sebut dengan panggilan paman dan bibi Ho serta seorang bocah perempuan kawanmu bermain……”

“Yang sering kuganggu rambut kucirnya itu?” Bun Liong segera menyela dengan gembira karena setelah mendengar keterangan dari wanita setengah tua itu, ia jadi ingat dan mengenalnya.

“Nah, sekarang kau mengenali kami, bukan?”

“Benar, bibi. Dan kalau tak salah, bocah perempuan yang cengeng itu adalah nona yang berada di belakang bibi ini, bukan?”

“Benar, dia inilah kawan bermainmu dulu dan namanya tentu kau masih ingat……” “Ho Yang Hoa……” tiba-tiba saja, sehabis menyebut tiga suku kata nama dari dara baju putih itu, Bun Liong menutup mulut dengan telapak tangannya.

Pemuda ini merasa “kelepasan” omong menyebut nama gadis itu. Oleh karena, menurut kegaliban, seorang pemuda seperti dia tidak pantas menyebut nama gadis di depan gadis itu sendiri. Sebab hal ini dianggap kurang sopan atau lancang, dan sangat mungkin akan membuat hati si dara menjadi kurang senang.

Biarpun si gadis dulu semasa masih sama-sama kecil adalah kawan bermain, akan tetapi setelah sekian lama berpisah dan kini masing-masing sudah menjadi dewasa, maka bagi seorang gadis yang umumnya berperasaan halus, sedikitnya tentu akan menganggap Bun Liong kurang sopan. Inilah sebabnya, mengapa pemuda itu segera menutup mulutnya karena ia merasa telah terlalu lancang, dan ia sangat khawatir gadis itu akan marah!

Akan tetapi ternyata nona Ho Yang Hoa tidak marah dan gadis ini hanya melempar kerling tajam terhadap pemuda bekas kawan bermainnya itu. Seperti juga ibunya, agaknya dara ini merasa gembira bertemu dengan pemuda kawan lamanya yang selain berkepandaian tinggi, juga kawan yang dulu nakal dan jail suka mengganggunya kini ternyata telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah.

Kemudian setelah melempar kerling gadis ini kembali menunduk dan menyembunyikan wajahnya yang menjadi agak kemerah- merahan di balik punggung ibunya. Sementara matanya yang mungil dan merah itu tampak menyungging senyuman kecil.

“Ah, maafkanlah kealpaanku, pek-bo,” kata Bun Liong akhirnya setelah dapat menguasai debaran jantungnya karena menerima kerlingan tajam dari gadis itu. “Dan sekarang, setelah aku bertemu dengan kalian di sini maka tidak dapat tidak aku mesti minta kalian supaya kalian mampir di pondokku. Ibuku pasti akan senang sekali berjumpa dengan kalian.”

“Baiklah, Liong. Perjalanan kami dari See-an ini selain untuk kepentingan kami sendiri, juga memang ingin mencari orang tuamu dan sekarang secara kebetulan sekali aku bertemu denganmu. Ini terang sekali keadaan dari Thian Yang Maha Kuasa, yang kasihan kepada kami!”

Demikianlah, pertemuan ketika orang itu dilanjutkan sambil berjalan beriringan menuju ke dusun Lo-kee-cun….. “Pek-bo, kalian datang hanya berdua saja, mengapa tidak bersama pek-hu (paman)?” tanya Bun Liong kemudian karena pemuda ini heran melihat nyonya Ho dan puterinya ini mengadakan perjalanan sejauh itu, yakni dari kota besar See-an ke Tong-koan, hanya berdua saja.

Nyonya Ho yang sejak tadi wajahnya selalu berseri-seri saja, ketika mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Bun Liong itu mendadak berubah menjadi agak murung. Dan setelah menghela napas dalam, menjawab dengan suara perlahan:

“Pamanmu telah meninggal dunia dengan membawa hati yang penasaran, Liong. Karena inilah maka kami jadi terlunta-lunta begini untuk……. ah, sudahlah, nanti saja kuceritakan di rumahmu.”

Bun Liong tidak berani bertanya lebih jauh lagi dan diam-diam hati pemuda ini merasa terkejut dan terharu sekali mendengar Ho Kim Teng, yaitu suami nyonya ini telah meninggal dunia dalam keadaan penasaran. Maka pemuda ini dapat segera menebak bahwa nyonya dan puterinya sedang melakukan perantauan untuk mencari musuh dari mendiang suaminya. Walaupun sudah berpisah selama sepuluh tahun Bun Liong masih ingat benar bahwa semasa mereka sama-sama bertinggal di kota See-an dan bertetangga sebelah menyebelah. Ho Kim Teng adalah seorang kawan karib dari ayahnya dan bahkan mereka pernah mengadakan kerjasama membuka perusahaan pengantar barang (piauw-kiok).

Hubungan antara Ho Kim Teng dan Souw Cian Ho, yakni ayah Bun Liong, sangat erat sekali sehingga mereka telah saling mengangkat saudara. Dan karenanya maka Bun Liong memanggil Ho Kim Teng dengan sebutan paman dan bibi terhadap nyonya Ho.

Terkenang akan eratnya tali persaudaraan antara Ho Kim Teng dan ayahnya, maka tanpa disadarinya Bun Liong jadi teringat kepada ayahnya……..

Kita tunda dulu nyonya janda Ho dan gadisnya yang berjalan mengikuti Souw Bun Liong menuju ke dusun Lo-kee-cun. Dan sekarang baiklah kita mengikuti alam kenangan Bun Liong, yang adalah peran utama dari cerita ini, maka sudah sepantasnya kalau kita mengenalnya lebih dekat. Untuk ini, penulis merasa lebih baik menuturkan secara terperinci, yaitu dimulai dari Souw Cian Ho masih menjadi piauw-su dan betapa Souw Bun Liong mendapat gemblengan dari seorang kakek sakti. Karena dalam hal ini selain banyak terjadi peristiwa- peristiwa yang menarik hati dan menegangkan, juga mempunyai sangkut paut yang sangat penting dengan kelanjutan cerita ini.

Seperti sudah diterangkan Souw Cian Ho pada waktu tinggal di See-an, telah membuka perusahaan piauw-kiok dan kerjasama dengan Ho Kim Teng. Dan sebagai piauwsu tentu saja kedua orang saudara angkat itu mempunyai kepandaian silat tinggi sehingga para perampok yang mengganggu dan hendak merampas barang yang mereka kawal di tengah perjalanan selalu dapat dirobohkan.

Maka tidak sedikitlah para hartawan dan saudagar yang mempercayakan harta benda atau barang mereka yang dikirimkan dari satu ke lain daerah dibawah pengawalan mereka, sehingga perusahaan mereka mendapat nama baik dan maju dengan pesatnya dan dalam berapa tahun saja. Keadaan keuangan mereka boleh dikatakan sudah cukup kuat.

Kebetulan sekali dua saudara angkat ini masing-masing mempunyai anak hanya seorang, yaitu dari keluarga Souw seorang putera yang bernama Souw Bun Liong dan dari pihak Ho Kim Teng, seorang puteri, nona Ho Yang Hoa. Pada waktu itu Bun Liong baru berumur sepuluh tahun dan Yang Hoa dua tahun lebih muda.

Sebagai tetangga, kedua anak bergaul rapat dan kalau ke sekolah selalu bersama-sama. Yang Hoa semenjak kecil telah merupakan seorang anak yang mungil dan manis, sedangkan Bun Liong, selain menunjukkan bahwa kelak ia bakal menjadi seorang pemuda tampan, juga mempunyai sifat nakal dan penggemas, sehingga ia sering mengganggu Yang Hoa, yaitu menarik-narik rambutnya yang dikucir atau pipi gadis kecil yang mungil itu dicubit- cubitnya. Dan kalau nona cilik itu sampai menangis karena kenakalan yang diperbuatnya, maka Bun Liong ketawa-tawa puas dan disebutnya kawannya itu sebagai bocah cengeng!

Di Tiongkok pada masa itu berlaku satu kebiasaan bahwa orangtua mempertunangkan anak-anak mereka yang masih kecil, dan demikian juga dengan Souw Cian Ho dan Ho Kim Teng, yakni mereka telah mempertunangkan Bun Liong dan Yang Hoa!

Kemudian, tibalah saat perpisahan bagi kedua saudara angkat itu, yaitu Souw Cian Ho mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai piauwsu dan ia membawa putera dan isterinya pindah ke kampung asalnya, yaitu dusun Lo-kee-cun yang terletak di sebelah barat kota Tong-koan. Adapun perusahaan piauw-kioknya telah diserah terimakan kepada Ho Kim Teng yang terus melanjutkannya.

Di dusun Lo-kee-cun, sambil melewatkan hari tuanya Souw Cian Ho mengerjakan pertanian di atas tanah yang disewanya dan hasilnya ternyata lumayan juga. Terasalah olehnya betapa tenteram dan menyenangkannya hidup di kampung halaman sendiri sebagai petani, dari pada menjadi piauw-su yang sering berpergian mengantar barang-barang berharga, dan selalu menghadapi pertempuran-pertempuran dengan orang-orang jahat dan perampok yang ingin merampas barang-barang yang berada di bawah penjagaannya itu.

Waktu itu Souw Bun Liong telah berusia duabelas tahun. Semenjak pindah dari See-an, di dusun Lo-kee-cun anak ini tidak bersekolah lagi, maka disamping membantu pekerjaan ayahnya, ia menerima latihan silat dari ayahnya dan ternyata anak ini mempunyai bakat yang sangat baik.

Penduduk dusun Lo-kee-cun, disamping pekerjaan mereka yang tetap setiap hari, mempunyai kesenangan berburu ke dalam hutan di sebelah selatan dusun mereka. Hutan itu sangat liar dan angker sekali, banyak terdapat binatang-binatang seperti babi hutan, kijang dan sebagainya.

Kalau para pemburu sampai ke dalam hutan yang jauh lebih jauh lagi, yaitu di dekat kaki gunung Hoa-san yang puncaknya tampak menjulang tinggi kalau dilihat dari dusun Lo-kee-cun, maka para pemburu sering menemukan harimau!

Bagi yang menggemari berburu adalah suatu hiburan yang sangat menyenangkan. Betapapun angkernya hutan belukar yang mereka masuki dan betapa ganas dan mengerikannya binatang yang mereka kejar dan kepung, seperti harimau namun mereka hadapi dengan bersemangat sambil bersorak-sorak gembira.

Demikianlah dengan Souw Cian Ho, semenjak ia tinggal di dusun ini telah berhasil menangkap tiga ekor harimau, dagingnya dijual kepada pengusaha obat, sedang kulitnya dibuat pajangan dinding rumahnya. Berkat ilmu silatnya yang tinggi dan berkat pengalamannya sebagai piauwsu maka dalam hal berburu Souw Cian Ho lebih berhasil daripada kawan-kawannya!

Begitulah pada suatu hari yang cerah, untuk kesekian kalinya Souw Cian Ho bersama sepuluh orang temannya yang biasa bekerja sama dalam hal berburu, pergi berburu lagi. Dan seperti biasanya Souw Bun Liong tidak pernah ketinggalan.

Akan tetapi hari itu agaknya merupakan hari sial bagi mereka, karena setelah mereka menjelajahi hutan belukar sampai lewat tengah hari, baru tiga ekor kelinci saja yang mereka dapatkan. Sedangkan biasanya, di dalam hutan yang masih jauh dari kaki gunung Hoa-san, sedikitnya mereka sudah memperoleh dua ekor babi hutan atau kijang.

Mereka menyelajah terus dan akhirnya sampai di hutan di kaki gunung Hoa-san yang mereka namakan Hutan sarang macan, karena di situ mereka pernah memperoleh beberapa ekor harimau! Mereka berjalan berindap-indap di antara semak-semak dengan berpencaran dalam jarak yang tidak terlalu jauh, gerak-gerik mereka sangat perlahan dan hati-hati, akan tetapi mereka sangat waspada!

Tiba-tiba Souw Cian Ho yang mengepalai rombongan pemburu itu mendengar pekik terkejut dari puteranya:

“Ayah! Tolong……!!”

Souw Cian Ho maklum bahwa puteranya yang sudah berjalan jauh di depannya itu menghadapi bahaya, karena kalau tidak, maka tidak nanti Bun Liong akan berteriak demikian, suatu teriakan yang di luar kebiasaan! Maka tanpa berpikir lagi Souw Cian Ho segera melompat ke depan dan hanya dengan beberapa kali lompatan saja ia telah sampai ke tempat di mana puteranya berada.

Dan alangkah terkejutnya ia, ketika melihat seekor makhluk yang aneh sekali. Makhluk itu tubuhnya seperti manusia, seluruh tubuhnya berbulu hitam dan tinggi badannya agak jangkung dari manusia biasa.

Matanya mengeluarkan cahaya kilat dan mulutnya yang agak moncong itu tampak bergerak membuka dan menutup sehingga giginya yang putih kelihatan dengan nyata, seakan-akan menyeringai mengejek terhadap Souw Cian Ho yang baru muncul dan memandangnya dengan terkejut dan maka terbelalak keheran-heranan.

Adapun Bun Liong ketika itu sudah pingsan dan berada di dalam pelukan sepasang lengan yang panjang dari makhluk itu. Agaknya makhluk hitam yang ternyata lutung besar itu merasa kaget ketika melihat ada orang yang tiba-tiba muncul di depannya, maka dengan dipindahkannya tubuh anak lelaki itu ke atas pundaknya dan sambil memanggul anak itu, ia membalikkan diri sehingga tampaklah ekornya yang panjang dan melingkar ke atas. Ketika Souw Cian Ho melihat makhluk hitam itu hendak menyingkirkan diri sambil membawa anaknya. Hatinya yang tadi terkejut kini menjadi marah dan terdengar ia mengeluarkan seruan nyaring dan panjang sehingga bergema di udara hutan yang angker dan sepi itu, dan tahu-tahu tubuhnya meloncat melayang dan menubruk punggung makhluk itu dengan menggunakan gerak tipu Macan Lapar Menubruk Kambing.

“Binatang hitam, lepaskan anakku!” bentaknya sambil mengirim serangan dengan kepalan tangannya hendak menghantam kepala makhluk itu, sedangkan tangan kirinya bergerak hendak merampas anaknya.

Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya sebab makhluk itu ternyata mempunyai gerakan yang gesitnya luar biasa. Belakang kepalanya seakan-akan bermata sehingga melihat datangnya serangan, karena ketika kepalan Souw Cian Ho hampir hingga di sasarannya, dengan meloncat kesamping ia hindarkan pukulan itu, sedangkan tangan kanannya bergerak menyampok cengkeraman tangan kiri dari Souw Cian Ho yang hendak merampas anaknya itu!

Ketika lengan tangan, mereka beradu, maka Souw Cian Ho merasa bahwa tenaga makhluk itu tidak kalah besar dan kuatnya dari tenaganya sendiri. Maka bukan main heran dan kagetnya ahli silat bekas piauwsu ini, dan sebelum ia sempat melakukan gerakan yang lebih jauh lagi tiba-tiba tubuhnya terguling dalam keadaan terjengkang!

Ternyata, di luar dugaan Souw Cian Ho, makhluk itu telah mengadakan serangan balasan, yaitu dengan ekornya yang panjang membelit kedua kaki lawan dan dengan sekali gentak saja tubuh Souw Cian Ho jatuh terjengkang! Cepat pada saat itu kesepuluh orang kawannya tadi datang dan mereka segera mengurung makhluk hitam dan secepat kilat pula Souw Cian Ho dapat bangun kembali, dengan marah sekali, ia menghunus pedangnya dan hendak menyerang, makhluk itu!

Akan tetap, tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan suara siulan seperti suara burung tapi lebih keras sehingga mereka yang berada dekat di situ menjadi pekak seketika, dan bersamaan dengan itu tubuhnya melesat keluar dari kepungan ke sepuluh orang pemburu tadi. Gerakan makhluk itu luar biasa cepatnya, ia terus berlari sambil berloncatan lincah sekali menuju ke atas bukit.

Cian Ho dengan mengerahkan gin-kangnya yang baik berlari mengejar dan di belakangnya, ke sepuluh kawannya turut mengejar pula! Namun biarpun Souw Cian Ho mengejar sambil mempergunakan ilmu lari cepatnya, ternyata sebentar saja ia sudah ketinggalan jauh, apalagi ke sepulah orang kawannya yang tidak memiliki kepandaian silat, mereka tertinggal jauh di belakang sambil berlari-lari pontang-panting!

Makhluk hitam atau lutung besar itu terus berlari mendaki bukit dan kemudian lenyap dari penglihatan Souw Cian Ho karena menyelinap di antara pepohonan yang lebat dan rungkut. Walaupun bingung, cepat putus asa dan terus saja lari ke atas bukit yang merupakan kaki gunung Hoa-san itu karena betapapun juga ia sudah nekad akan terus mencari dan bertempur mati-matian dengan makhluk itu untuk membela putera tunggalnya.

Akhirnya ia sampai di tempat yang gelap di atasnya sehingga sinar matahari tidak kuasa menembusnya. Ia menghentikan larinya dan berdiri kebingungan melihat keadaan hutan yang sedemikian menyeramkan itu. Ia tidak tahu ke arah mana harus mengejar sedangkan lutung besar itu jejak kakinya pun yang biasa menjadi pedoman bagi seorang pemburu, sudah tidak kelihatan lagi!

Memang demikian angker keadaan hutan itu. Ia belum pernah berburu sampai ke tempat itu dan agaknya orang lainpun belum. Tetumbuhan liar yang merimbun dan cuaca yang kegelap-gelapan itu membuat Souw Cian Ho bergidik. Keadaan di situ seakan-akan mati, tak tampak sesuatu yang bergerak dan tiada terdengar sesuatu yang berbunyi. Benar-benar hutan itu menyeramkan dan tak mudah diterka rahasia apakah yang terkandung di dalamnya!

Kemudian dada Souw Cian Ho berdebar-debar karena ia melihat serumpun tetumbuhan di depannya bergerak-gerak dan dalam kesunyian yang lengang itu terdengar suara auman yang panjang dan nyaring yang seakan-akan menggetarkan bumi. Dan pada detik berikutnya, secara tiba-tiba saja, dari dalam rumpun itu keluar bayangan yang besar tetapi yang mempunyai gerakan yang ringan sekali menyambar menerkamnya!

Biarpun sedang bingung dan cemas bukan main, namun Souw Cian Ho yang telah banyak pengalaman itu tak kurang waspada. Ia cepat meloncat ke samping sambil berkelit sehingga bayangan putih itu menerkam tempat kosong.

Sehabis itu ia cepat memperbaiki posisi dan menghunus pedang untuk menghadapi segala kemungkinan yang ia maklum serba berbahaya. Dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat bahwa bayangan yang keluar melompat dan menerkamnya tadi ternyata seekor harimau yang sangat besar sekali. Berbeda dengan harimau yang lain atau harimau-harimau yang pernah menjadi korban buruannya. Harimau itu bulunya berwarna putih bersih seperti kapas dan karena binatang itu kini sudah berdiri menghadap kepadanya, maka Souw Can Ho dapat melihat bahwa mata binatang itu mengeluarkan sinar kuning yang berkilauan dan memandang kepadanya sambil mengembang-ngempiskan hidungnya dan memperlihatkan gigi serta taringnya yang tajam!

Ketika itu ke sepuluh orang kawan seperburuan tadi sudah tiba pula di tempat itu secara susul menyusul dan dengan napas terengah-engah. Waktu mereka melihat betapa Souw Cian Ho telah berhadapan dengan seekor harimau yang besar dan aneh bulunya, maka sebagai pemburu yang sudah berpengalaman, mereka cepat mengatur formasi guna mengepung harimau itu.

Akan tetapi, biarpun binatang itu sudah maklum bahwa kini dirinya dikepung oleh sekawanan manusia yang masing-masing membawa senjata, namun sikapnya tenang-tenang saja dan matanya melirik ke arah mereka dengan pandangan seperti acuh tak acuh!

Sebaliknya dengan sikap Souw Cian Ho, karena kini ia melihat kawan-kawannya sudah berada di situ dan sudah mengurung binatang itu, maka ia menjadi besar hati dan tanpa ragu-ragu lagi ia cepat meloncat ke depan sambil menyabetkan pedangnya ke arah leher harimau itu.

Sungguh aneh dan benar-benar mengherankan harimau itu, karena kalau harimau biasa jangankan dikepung dan diserang, baru mencium bau manusia saja ia sudah beringas dan mengunjukkan keganasannya. Akan tetapi harimau putih ini agaknya binatang ajaib, di samping sikapnya yang tenang dan seperti acuh tak acuh itu, juga ketika ia mendadak diserang oleh Souw Cian Ho, ia tidak menjadi gugup dan juga tidak berkelit, tapi ekornya yang panjang tiba-tiba bergerak ke atas kepalanya dan menyampok pedang yang menyabet ke arah lehernya itu.

Souw Cian Ho mengeluarkan seruan tertahan karena kaget, ketika pedangnya beradu dengan ekor harimau itu tangannya tergetar dan senjata itu hampir saja terlepas dari cekalannya karena buntut harimau itu demikian keras seperti sebatang toya saja! Kemudian Souw Cian Ho menggerakkan pedangnya lagi dan menyerang harimau itu, berbareng dengan itu, sepuluh orang kawannya serempak maju sehingga sesaat kemudian binatang tersebut dikeroyok oleh sebelas orang yang menghujamkan senjata mereka dari segala jurusan! Akan tetapi lagi-lagi Souw Cian Ho dan juga kawan-kawannya menjadi heran, harimau dapat melayani serangan mereka secara mengagumkan. Tubuhnya yang besar bergerak kian kemari dengan dan ringan untuk mengelitkan setiap serangan, dan disamping menyampok senjata mereka, juga kedua kaki depannya dapat melakukan tangkisan secara jitu dan baik sekali!

Dalam gerak geriknya, binatang itu seperti yang paham ilmu silat sehingga setiap serangan dari ke sebelas orang pengeroyok itu, selalu dapat dielakan, disampok dan ditangkisnya!

Disamping heran dan kagum, Souw Cian Ho dan kawan-kawannya juga merasa penasaran, maka otomatis mereka mengepung rapat, rangsekan mereka makin hebat dan senjata-senjata mereka berkelebatan bagaikan sebelas sinar halilintar yang menyambar satu sasaran dengan sekaligus!

Setelah sekian lama harimau itu mempertahankan diri sambil mempermainkan para pengeroyoknya, dan ketika melihat gejala- gejala bahwa sekawanan manusia yang “tidak tahu diri” itu menyerangnya makin bernapsu, maka timbullah amarah binatang sakti itu. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara erangan yang bagi telinga para pengeroyoknya terdengar bagaikan suara guntur, dan tubuhnya yang besar itu tiba-tiba berputar bagaikan kincir. Gerakan ini ternyata membawa akibat yang hebat sekali, tahu-tahu sepuluh pengeroyoknya telah jatuh bergulingan dan tubuh mereka terpental sejauh dua tombak! Hanya Souw Cian Ho seoranglah yang tidak, karena dengan menggunakan gin-kangnya ia cepat melompat ke belakang sehingga dirinya terhindar dari “dupakan” harimau ajaib itu!

Dan pada detik berikutnya, sambil berseru keras Souw Cian Ho menghentakkan kedua kakinya ke tanah dan tubuhnya melayang ke depan dengan gerakan Ouw-liong-cut-tong atau Naga Hitam Keluar Dari Guha. Dan tatkala dirinya sudah berada di atas harimau itu, ia berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di atas, dari atas ia meluncur turun sambil menyabetkan pedangnya dengan gerak tipu Ceng-teng-pok-cui atau Binatang Capung Menyamber Air yang diarahkan kepada bagian tengkuk binatang itu.

Souw Cian Ho menggunakan kecerdikkannya karena maklum bahwa binatang itu sangat kosen, ia melakukan serangan dari atas dengan anggapan bahwa pasti serangannya kali ini akan berhasil. Biarpun tidak sampai menewaskan, namun melukai harimau itu ia merasa pasti dapat! Akan tetapi ternyata ia kecele. Hanya dengan menggerakkan kepalanya sedikit saja harimau itu sudah dapat mengelakkan samberan pedang yang mengarah tengkuknya, dan sebelum kaki Souw Cian Ho hinggap ke bumi, ketika tubuhnya melayang turun, tiba-tiba ekor harimau itu bergerak dan dengan mempergunakan ujungnya telah menotok dada.

Souw Cian Ho tidak dapat menggunakan pedangnya untuk menangkis atau berkelit karena kedudukan dirinya justeru sedang sulit, maka tak ampun lagi tubuhnya terbanting ke tanah dengan mengeluarkan suara berdebukan dan dalam keadaan kaku kejang seluruh anggauta badannya!

Ternyata ujung ekor harimau itu telah berhasil menotok jalan darah touw-hing-hiatnya yang membuat seluruh tubuhnya kaku seketika!

Biarpun seluruh tubuhnya dalam keadaan kaku, Souw Cian Ho masih tetap dalam keadaan sadar dan dengan tubuhnya telentang kejang di atas bumi, ia dapat melihat betapa harimau itu dengan tindakan perlahan dan ekornya yang lihay itu bergoyang-goyang, lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu dan memasuki semak belukar yang rungkut dan kegelap-gelapan itu! Kesepuluh orang kawannya yang terpental dan berjatuhan tadi, setelah melihat harimau itu pergi, baru berani bergerak dan berusaha bangun, lalu menghampiri Souw Cian Ho. Mereka heran karena sungguhpun keadaan orang ini sadar, namun seluruh tubuhnya kejang seperti mayat dan tidak bisa berbicara pula, hanya matanya saja yang berkedip-kedip dan biji matanya bergerak-gerak kebingungan.

Mereka maklum bahwa Souw Cian Ho telah tertotok jalan darahnya. Akan tetapi karena mereka tidak paham cara memunahkannya, maka tanpa banyak cakap lagi segera mereka beramai-ramai menggotong tubuh Souw Cian Ho dan dengan berlari terbirit-birit karena merasa khawatir harimau putih tadi akan muncul lagi, mereka kembali ke dusun mereka.

Memang kalau dilihat lucu sekali. Kesepuluh orang itu yang biasanya tangkas dan gagah dan secara beramai-ramai dapat menaklukkan harimau, ternyata hari itu mereka dibikin tidak berdaya oleh seekor harimau putih yang baru sendiri.

Yang terkenal sebagai bekas piauwsu berkepandaian tinggi yang pernah menjatuhkan banyak lawan, dan pernah membinasakan tiga ekor harimau dengan ilmu silatnya yang hebat, kini digotong sedemikian rupa seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan karena jalan darahnya ditotok oleh…… buntut harimau! Sungguh lucu dan menggelikan, akan tetapi patut juga ia dikasihani.

Yang sangat mengherankan mereka ialah, sungguhpun harimau putih tadi demikian lihay, ia tidak ganas sebagaimana harimau biasa. Buktinya, mereka yang didupak dan terpental itu, sedikitpun tidak mendapat luka atau baret akibat cakarannya. Mereka hanya babak belur dan benjut-benjut saja karena ketika mereka terpental jatuh, tubuh mereka membentur tanah, atau batang pohon.

Dengan demikian mereka lalu menganggap bahwa binatang- binatang yang mereka temukan hari itu, yaitu lutung yang dapat merobohkan Souw Cian Ho dalam segebrakan saja dan membawa lari Souw Bun Liong serta harimau putih tadi, bukanlah sembarang binatang, melainkan hewan sakti!

Kekejangan yang diderita oleh Souw Cian Ho akibat totokan ekor harimau putih tadi, kalau tidak ada yang dapat memulihkan jalan darahnya, akan menjadi baik dengan sendirinya setelah selang kira-kira dua jam. Dan demikianlah dengan pemburu bekas piauwsu itu, setelah kurang lebih dua jam lamanya tubuhnya kaku dan digotong oleh kawan-kawannya, maka kemudian tubuhnya dapat bergerak kembali sebagaimana biasa sehingga dalam perjalanan pulang ia tidak perlu digotong lagi. Pengalaman para pemburu tadi menggemparkan segenap penduduk dusun Lo-kee-cun, terutama isteri Souw Cian Ho. Ketika mendengar betapa putera tunggalnya telah hilang dibawa lari oleh seekor lutung besar, nyonya ini menangis sekeras-kerasnya saking sedih dan bingungnya, ia menangis sampai terpingsan- pingsan!

“Isteriku, sudahlah, kau tidak perlu terlalu sedih oleh karena belum tentu Liong-ji mendapat bencana. Apalagi kalau diingat bahwa lutung yang membawanya itu bukan lutung sembarangan dan agaknya mengerti tipu-tipu ilmu silat seperti halnya harimau putih itu, maka sangat mungkin Liong-ji berada dalam asuhan orang sakti atau makhluk gaib penghuni hutan itu. Biarlah, kita berdoa saja supaya, Liong-ji selamat dan cepat kembali.”

Demikian, Souw Cian Ho menghibur isterinya dan biarpun ia sendiri juga sedih dan bingung, tapi karena ia lebih tabah, maka kata-kata yang diucapkannya itu merupakan pelipur hati bagi isterinya. Demikianlah, dari hari ke hari, dari bulan ke bulan dan dari tahun ke tahun, suami isteri itu selalu menanti putera tunggal mereka yang hilang itu, akan tetapi yang tak kunjung datang.

Padahal selama itu, sudah beberapa kali Souw Cian Ho dan kawan-kawannya pergi mencari anak itu, akan tetapi setiap kali mereka tiba di hutan dimana peristiwa itu terjadi, mereka tidak berani terus, melainkan dengan hati kecewa mereka kembali lagi. Karena keadaan hutan yang angker dan seakan-akan mengandung rahasia itu membuat mereka takut dan ngeri untuk memasukinya lebih jauh.

Sekarang marilah kita tengok keadaan Souw Bun Liong si anak yang baru berusia duabelas tahun yang dibawa lari oleh lutung besar itu. Dia hanya pingsan sebentar saja, dan yang menyebabkan pingsannya ini bukan karena kaget atau takut melihat lutung besar yang belum pernah dilihatnya, akan tetapi ia pingsan karena ditotok oleh jari tangan binatang itu di bagian jalan darah pada tengkuknya.

Bun Liong berteriak minta tolong kepada ayahnya ketika tiba-tiba dilihatnya seekor lutung besar melompat dari atas pohon dan langsung menerkamnya. Dan sebelum anak itu berbuat sesuatu, ia telah menjadi tak sadarkan diri oleh karena secepat kilat lutung itu telah menolok jalan darah besar di tengkuknya!

Sesaat kemudian, yaitu setelah si lutung berlari jauh dari pengejaran Souw Cian Ho, Bun Liong siuman kembali dan bukan main terkejutnya ketika ia mengetahui bahwa dirinya berada dalam panggulan lutung besar itu dan tubuhnya dipeluk dengan erat sekali sehingga biarpun ia selalu memberontak berusaha melepaskan diri, namun sia-sia belaka! Binatang itu memanggulnya membawanya lari memasuki hutan-hutan yang liar dan gelap dan perjalanan yang ditempuhnya sangat menanjak.

Kemudian Bun Liong merasakan lutung itu tiba-tiba menghentikan larinya dan ia sangat terkejut karena di hadapan lutung itu terlihat seekor harimau besar dan berbulu putih bersih seperti kapas.

“Celaka!” Bun Liong mengeluh karena dalam sangkaannya, harimau itu pasti akan menerkam si luntung dan dirinya tentu akan menemui bencana pula! Akan tetapi kemudian anak ini menjadi tercengang karena ternyata sangkaannya tadi sama sekali meleset.

Lutung itu menggerak-gerakkan lengan tangannya dan dituding- tudingkan ke arah belakangnya, yaitu ke arah bawah bukit, seperti seorang mandor bisu yang menyuruh pegawainya untuk mengerjakan sesuatu di tempat yang ditunjuknya itu. Dan sebagai “penyahutan” dari harimau putih itu, terdengar erangan perlahan dan dengan sekali lompat ia telah menghilang ke bawah bukit. Tentu saja, Bun Liong tidak tahu bahwa harimau itu kemudian menghalangi ayahnya yang berusaha mengejarnya dan betapa ayah serta kawan-kawannya kena dipermainkan sehingga tidak berdaya!

Secepat harimau putih itu menghilang ke lembah bukit, secepat itu pulalah si lutung berlari lagi mendaki bukit. Gerakan lutung ini demikian ringan dan gesit, jurang-jurang kecil dilompatinya dengan mudah dan kadang-kadang lengan tangan kanannya yang tidak digunakan memeluk tubuh Bun Liong, menjangkau cabang-cabang pohon yang membuatnya menggelantung dan berayun serta melayang-layang, sehingga perjalanannya mendaki bukit menjadi bertambah cepat!

Bun Liong merasa ngeri ketika tubuhnya dibawa berayun dan melayang-layang sedemikian rupa di atas jurang-jurang kecil dan batu-batu karang yang tajam. Sekali saja cabang pohon yang dijadikan “ayunan” oleh lutung itu patah, pasti tubuhnya akan terbawa jatuh ke dalam jurang dan akan hancur menimpa batu- batu karang yang runcing dan tajam itu.

Memanglah, makin ke atas, makin banyak jurang-jurang kecil dan batu-batu karang yang bentuknya beraneka-ragam dan mengerikan. Tetumbuhan liar sudah mulai jarang tanda bahwa tempat itu kini sudah berada di luar atau di atas hutan belukar yang angker tadi.

Kini Bun Liong melihat banyak pohon-pohon yang-liu yang tumbuh di sana sini dengan batang-batang pohonnya yang tinggi dan lemas dan daun-daunnya yang halus dan menghijau bergerak- gerak bagaikan seorang dara luwes sedang menari dengan gerakan-gerakan lengan tangannya yang lemah gemulai di antara tiupan angin gunung yang sejuk dingin dan menimbulkan suara berdesir-desir.

Sebentar saja tempat itu dilaluinya karena lutung pembawa Bun Liong terus saja berlari menuju ke arah puncak yang tertutup awan! Pada saat selanjutnya mereka telah melewati bagian yang tertutup halimun yang putih keruh dan kini mata Bun Liong tidak dapat melihat apa-apa lagi kecuali uap putih yang membuat matanya pedas dan seluruh tubuhnya dingin sekali.

Makin gelisah dan takutlah anak ini karena sama sekali tidak tahu akan dibawa ke mana. Bun Liong hampir saja menangis karena lemasnya, tetapi tidak berdaya, karena pelukan lutung itu sangat erat. Akhirnya ia menyerahkan diri kepada nasib…… Setelah tempat yang diliputi halimun itu dilalui, sampailah mereka di sebuah puncak dan di depan sebuah pondok kecil yang sederhana yang terbuat dari bambu. Lutung itu menurunkan Bun Liong dari panggulannya dan melepaskan pelukannya, sehingga anak itu kini dapat bergerak lagi dengan leluasa, tapi di tempat yang sangat asing baginya!

Ketika Bun Liong turun, hampir ia berteriak saking kagum dan herannya dan untuk seketika ia lupa akan perasaan takut, gelisah dan bingung yang sejak tadi menyiksa hatinya itu. Kini ia melihat suatu pemandangan tamasya alam yang luar biasa indahnya karena kini ia telah berada di puncak gunung Hoa-san!

Memang gunung Hoa-san itu benar-benar indah dan megah. Tidak saja puncaknya menjulang tinggi menembus mega, tapi juga dengan melayangkan pandangan mata ke empat penjuru dari puncaknya seperti kini Bun Liong berbuat, maka akan terbentanglah tamasya alam yang permai dan menarik hati yang jarang terlihat di tempat lain.

Di lereng sebelah timur gunung ini penuh ditumbuhi bunga beraneka macam dan berupa-rupa warna, menimbulkan pemandangan yang indah sekali dan semerbaknya bunga di dalam hembusan angin gunung yang sepoi-sepoi basah itu terasa sangat menyegarkan. Di lereng sebelah barat banyak sekali tetumbuhan yang sangat berkhasiat, baik bunga, daun, batang pohon maupun akarnya yang dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan.

Di lereng sebelah selatan berupa jurang yang sangat curam, di mana banyak terdapat batu-batu karang berbagai bentuk seakan- akan sengaja diukir oleh tangan alam yang perkasa. Sedangkan di sebelah utara pada lereng gunung ini penuh dengan hutan-hutan liar dan pohon yang-liu yang daunnya tampak menghijau dan berbentuk artistik, yaitu lereng dari mana Bun Liong dibawa oleh lutung tadi.

Di sana sini banyak awan-awan putih berkelompok-kelompok bagaikan gundukan-gundukan kapas yang melayang-layang dengan perlahan. Suasana di sekitarnya sunyi sepi, menimbulkan ketenteraman yang sukar dicari bandingannya.

Gunung Hoa-san memang merupakan tempat yang amat baik dan cocok bagi para pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Gunung ini amat terkenal bukan karena keindahan bunga-bunga yang menghias lereng timur saja, atau karena banyaknya tetumbuhan bahan obat-obatan di lereng sebelah barat yang sering didatangi para ahli pengobatan, atau keindahan tamasya alam yang dapat dinikmati di puncak gunung itu, akan tetapi juga karena gunung ini merupakan salah satu sumber semacam cabang ilmu silat yang disebut Hoa-san-pay atau cabang ilmu silat gunung Hoa-san.

Sebagaimana halnya pegunungan-pegunungan yang banyak terdapat di seluruh daratan Tiongkok, seperti gunung, Thian-san, Kun-lun-san, Go-bi-san dan lain-lainnya lagi yang pada umumnya merupakan sumber cabang-cabang ilmu silat yang ternama.

Semenjak puluhan tahun yang lampau, banyak orang-orang sakti yang bertapa di gunung Hoa-san amat tenar namanya sebagai guru besar yang berkepandaian tinggi dan menghasilkan banyak anak murid yang menjadi pendekar gagah perkasa dan malang melintang di kalangan kang-ouw sebagai pembela keadilan dan penegak kebenaran.

Adapun pada waktu cerita ini terjadi, yang bertapa di puncak Hoa- san adalah seorang kakek tua yang menjuluki dirinya dengan nama sebutan Bu Beng Lojin (Orang tua tidak bernama). Sebelum menjadi penghuni dan bertapa di puncak Hoa-san, kakek ini sebenarnya bernama Ong Kim Su, salah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi dan ilmu silatnya adalah warisan dari Lu- liang-pay. Semenjak muda sekali kakek ini sudah malang-melintang di dunia persilatan. Selamanya ia tidak pernah membawa senjata dan setiap pertempuran dihadapinya dengan mengandalkan kepalan tangannya saja.

Dan karena itulah, maka nama julukannya Bu-tek-sin-kun atau si Kepalan Dewa Tanpa Tandingan lebih terkenal dari pada namanya sendiri. Ia pernah menggemparkan kalangan kang-ouw karena kepalan dewa yang tanpa tandingan itu sehingga julukan Bu-tek- sin-kun benar-benar sangat terkenal, dihormati kawan disegani lawan!

Setelah umurnya lanjut, Bu-tek-sin-kun Ong Kim Su mengundurkan diri dari dunia ramai dan bertapa dengan memilih tempat di puncak gunung Hoa-san, karena ia sudah merasa bosan dan jemu akan suasana dunia yang selalu membuat hatinya mengkal dan ruwet. Dan sejak itulah, orang-orang di kalangan kang-ouw kehilangan seorang pendekar gagah yang namanya pernah tenar dan mengharum!

Sebagaimana kebanyakan orang-orang berkepandaian tinggi yang tidak mau dikenal namanya dan seakan-akan merahasiakan keadaan dirinya, maka demikianlah dengan Bu-tek-sin-kun Ong Kim Su, semenjak menjadi pertapa ia menamakan dirinya dengan Bu Beng Lojin.

Kira-kira sudah lima tahun Bu Beng Lojin bertapa di puncak Hoa- san dan pada suatu hari ia berjalan-jalan seorang diri di dalam hutan belukar yang angker dan liar di lereng sebelah utara gunung Hoa-san. Tiba-tiba ia melihat suatu peristiwa yang sangat menarik perhatian dan menggembirakan hatinya, yaitu pertempuran yang dahsyat antara seekor lutung besar dan seekor harimau berbulu putih yang bentuk badannya sangat besar pula.

Entah karena apa tadinya, ke dua binatang yang sama anehnya dan jarang dijumpai telah bertempur begitu hebat, dan apa yang mengagumkan hati Bu Beng Lojin, adalah cara dan gerakan- gerakan bertempur dari kedua binatang itu.

Si lutung demikian lincah dalam gerak geriknya, baik ketika ia berkelit maupun tatkala melakukan serangan dengan menggunakan sepasang lengan tangan dan kedua kakinya yang panjang itu. Sedangkan harimau putih itu, sambil menggereng- gereng marah, menggunakan kuku-kukunya yang tajam untuk menabok si lutung, mulutnya terbuka lebar sehingga gigi-gigi dan siungnya tampak mengerikan sekali. Dengan gerakan terkamannya yang kuat, harimau putih itu menerjang lawannya. Namun si lutung selalu dapat menyelamatkan diri dengan sebat dan lincah sekali dan bahkan ia selalu berusaha membalas menyerang!

Pertempuran antara ke dua binatang itu menimbulkan ilham bagi Bu Beng Lojin yang menyaksikannya, yakni ilham untuk menciptakan semacam ilmu silat baru yang setiap gerak geriknya berdasarkan gerakan-gerakan ke dua ekor binatang itu. Kelincahan dan kegesitan si lutung merupakan gerakan seorang yang sudah mempunyai gin-kang sempurna dan kedahsyatan serta kegarangan harimau putih melambangkan seorang yang bertenaga kuat dan kegagahan yang tiada taranya.

Alangkah baiknya kalau paduan gerakan dari kedua binatang ini kujadikan ilmu silat baru, pikir kakek itu. Dan disamping timbulnya ilham ini, Bu Beng Lojin pun ingat menangkap ke dua binatang yang luar biasa itu, karena selain tertarik akan ke luar biasaannya, juga ia bermaksud hendak memeliharakannya untuk dijadikan teman sehari-hari di tempat pertapaannya!

Begitulah, berkat kelihayan, kesaktian dan dibantu dengan ilmu- ilmu gaib yang dimilikinya, kedua binatang yang berkelahi itu dapat ditangkapnya dengan mudah dan kemudian dibawanya ke puncak gunung. Lutung dan harimau itu menjadi demikian jinak dan patuh sekali kepada kakek itu, tak ubahnya bagaikan seekor kera dan seekor kambing yang sudah lama dipelihara dan mengenal kasih sayang orang yang memeliharanya.

Semenjak ditundukkan oleh kakek itu, ke dua binatang tersebut dapat dikata telah merupakan dua mahluk yang dapat dijadikan binatang permainan. Seringkali lutung dan harimau itu disuruhnya berkelahi dan dalam pada itu, si kakek sering memberi petunjuk- petunjuk betapa mereka harus berkelahi.

Aneh sekali, kedua binatang itu seperti mengerti ucapan si kakek sehingga segala petunjuk-petunjuk itu segera dipahami dan dapat dilaksanakan dengan sempurna!

Setelah lutung dan harimau putih itu ditundukkan, Bu Beng Lojin kini mempunyai dua kawan yang luar biasa. Tetapi yang terutama sekali kakek dapat memetik cara-cara kedua binatang itu bertempur setelah diberinya petunjuk untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, sehingga dengan demikian kakek sakti ini sedikit demi sedikit dapat menyusun ilmu silat baru yang hendak diciptakannya yang kemudian akan dicampur dengan ilmu silat asli yang pernah dimilikinya, yakni ilmu silat dari cabang Lu-liang-pay. Si Lutung dan harimau putih yang semula bermusuhan itu, kini setelah dipelihara, dididik dan menerima “gemblengan” dalam hal ilmu silat dari Bu Beng Lojin yang berpribawa menjadi kawan baik, dapat dijadikan pesuruh yang amat taat dan bahkan dapat juga dikatakan bahwa si Lutung dan si harimau ini menjadi dua murid luar biasa dari seorang sakti seperti Bu Beng Lojin itu!

Kalau Bu Beng Lojin sedang berdiam di dalam pondok bambunya baik tengah melakukan samadhi, maupun sedang menyusun ilmu silat baru yang diciptakannya atau sedang beristirahat, kedua binatang itu tidak pernah jauh dari luar pondoknya. Si lutung duduk di atas cabang pohon Pek yang tumbuh di dekat pondok bambu itu, sedangkan si harimau mendekam di depan pintu pondok.

Kedua binatang yang telah menjadi murid Bu Beng Lojin ini seakan-akan menjaga dan mengawal guru atau majikan mereka yang sedang berada di dalam pondok. Si lutung seakan-akan mengintai dari atas pohon dan si harimau siap menerjang bila ada suatu kemungkinan yang tak diharapkan!

Bertahun-tahun, dengan sabar dan tekun Bu Beng Lojin menyusun dan mempelajari ilmu silat yang diciptakannya sehingga akhirnya menjadi sempurna yang kemudian diberi nama Sin-wan Pek-houw Kun-hoat (Ilmusilat Lutung Sakti dan Harimau Putih). Karena ilmu silat yang diciptakannya ini berdasarkan gerakan-gerakan pertempuran antara si lutung dan si harimau yang kini telah menjadi pesuruh, penjaga dan murid-muridnya itu.

Akan tetapi, ada suatu hal yang sangat mengecewakan oleh Bu Beng Lojin, ialah setelah bertahun-tahun lamanya ia bertapa di puncak Hoa-san dan sudah pula berhasil menciptakan ilmu silat Sin-wan Pek-houw Kun-hoat, ia masih belum berhasil mendapatkan seorang murid guna diwarisi segala kepandaian dan ciptaannya itu. Hal ini lalu dinyatakannya kepada dua “muridnya” itu.

“Sin-wan (Lutung Sakti) dan juga kau Sin-houw (Harimau sakti),” demikian Bu Beng Lojin pada suatu hari berkata kepada dua binatang “murid”nya itu yang telah diberinya nama seperti yang diucapkannya,

“Menurut ilmu palak (nujum) yang pernah kupelajari, sore ini hutan lereng sebelah utara akan didatangi lagi para pemburu dan di antara mereka terdapat seorang anak lelaki kecil. Sin-wan, cobalah kau usahakan menangkap anak itu dan kau bawa kemari sedangkan kau Sin-houw, setelah Sin-wan berhasil memperoleh anak itu, cobalah kau menghalang-halangi mereka yang berusaha mengejar. Tapi ingat, sama sekali kalian tidak boleh mencelakakan mereka. Nah, pergilah!”

Setelah lutung dan harimau itu mendengar titah kakek itu, segera melompat turun bukit. Si lutung berlari lebih dulu dengan mempergunakan “gin-kang”nya yang patut dipuji, sedangkan si harimau turun belakangan dengan lompatan yang cepat dan ringan.

Kalau saja kedua ekor binatang luar biasa dapat berpikir seperti manusia, pasti mereka akan maklum bahwa kakek pertapa itu selain ilmu silatnya mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya, ilmu bathinnya pun sudah sempurna, sehingga ia boleh disebut orang sakti setengah dewa.

Memang kakek itu mempunyai kewaspadaan yang luar biasa, panca inderanya sangat tajam. Segala sesuatu yang dikehendakinya, seperti halnya ingin mengambil seorang anak kecil dari rombongan pemburu itu dapat diketahuinya melalui firasatnya yang jitu tanpa pindah dari tempat dia duduk bersamadhi! Sesudah melihat betapa Sin-wan dan Sin-houw pergi melaksanakan perintahnya dengan taat dan segera, maka sambil tersenyum-senyum Bu Beng Lojin memasuki pondoknya.

Selanjutnya, betapa lutung dan harimau itu menunaikan tugasnya, yaitu si lutung menculik seorang anak kecil yang bernama Bun Liong dan si harimau menghalang-halangi rombongan pemburu maka kini Bun Liong sudah berada di puncak gunung Hoa-san. Anak itu merasa terpesona sekali menyaksikan keindahan tamasya alam yang terbentang di sekelilingnya.

Saking terpesonanya ia seakan-akan lupa di mana dirinya berada. Bun Liong tentu akan berdiri terus di situ, memutar-mutar tubuhnya memandang ke sekeliling puncak kalau saja ketika itu ia tidak mendengar suara pertanyaan dari seseorang.

“Sin-wan, kau sudah kembali dan kau membawa oleh-oleh untukku?”

Bun Liong sadar dari terpesonanya, dan cepat ia membalikkan tubuh, melihat ke arah suara yang terdengar itu. Terlihatlah olehnya seorang kakek bertubuh tinggi kurus mengenakan jubah pertapa berwarna kuning, rambutnya yang sudah putih semua dibiarkan terurai di atas pundaknya dan juga kumis serta jenggotnya yang sewarna dengan rambutnya, tampak panjang dan melambai-lambai di depan dadanya.

Kakek ini tampak keluar dari pintu pondoknya dan dengan tindakan perlahan menghampirinya. Dan menegunkan langkahnya sejenak ketika si lutung tiba-tiba duduk bersimpuh di depannya.

Bun Liong melihat lutung itu menggerak-gerakkan kedua lengan tangannya dan sepuluh buah jarinya yang panjang-panjang berbulu itu bergerak-gerak seperti seorang penari dan sebentar- sebentar menuding ke arah Bun Liong yang berdiri di belakangnya. Sementara si kakek memandangnya dengan penuh perhatian.

Agaknya dengan gerak-gerakan jari tangannya si lutung tengah “menceritakan” betapa ia telah membawa anak itu dan yang dipahami oleh si kakek. Sehabis si lutung “bercerita” orang tua itu lalu memandang kepada Bun Liong, sinar matanya tampak jernih dan tajam, bibirnya yang tertutup kumis yang panjang bagaikan benang-benang perak itu tampak menyunggingkan senyuman.

“Bagus……. bagus,” ujar Bu Beng Lojin seperti menggumam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terpujilah Thian dan sekalian ciptaannya. Sin-wan, kau telah bekerja baik dan tidak salah pilih. Oleh-oleh yang kaubawa untukku ini benar-benar merupakan anugerah Thian yang Maha Pengasih dan Maha Adil…..” Sambil berkata demikian, kakek itu melangkah maju menghampiri Bun Liong.

“Dan, engkau, anak baik, sudah lama sekali kuharap-harapkan perjumpaan ini. Siapa namamu, nak?”

Kakek itu bertanya ketika sudah berdiri berhadapan dengan Bun Liong. Irama katanya terdengar halus dan lemah lembut tetapi mengandung suatu tenaga yang menggetarkan hati Bun Liong yang mendengarnya.

Bun Liong adalah seorang anak yang cerdik, maka sekilas saja maklumlah bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan, bahkan sangat pasti orang tua ini adalah orang sakti seperti yang sering kali diceritakan oleh ayahnya bahwa di dunia banyak sekali orang-orang berkepandaian tinggi yang hidupnya mengasingkan diri sebagai pertapa-pertapa. Dan kakek yang berdiri dihadapannya ini agaknya salah seorang pertapa seperti yang didongengkan ayahnya!

Biarpun Bun Liong sudah berkesan demikian dan betapapun wajah dan sikap kakek ini menimbulkan rasa hormat di lubuk hatinya. Akan tetapi kekerasan hatinya mau tak mau membuatnya merasa kurang senang karena kakek menyuruh lutung peliharaannya membawanya ke situ.

“Kakek, siapakah kakek ini dan mengapa kakek menyatakan bahwa perjumpaan ini sudah lama sekali kakek harapkan, sedangkan hal ini di luar harapanku sama sekali?”

Demikian, dengan suara lantang seperti ia bicara dengan ayah ibunya. Bun Liong balas menanya sambil menatapkan matanya yang bundar bening ditatapkan kepada kakek itu.

Jawaban ini sebenarnya agak lancang dan kurang ajar dan kalau bagi orang lain agaknya akan menimbulkan rasa marah, akan tetapi lain halnya dengan kakek itu yang sudah paham dan dapat menyelami isi hati seorang anak kecil. Bahkan Bu Beng Lojin ketawa senang tatkala menyahut:

“Ha, ha, selain kau berbakat baik, juga kau memiliki kekerasan hati yang luar biasa dan memang hal ini sangat cocok dengan keinginanku. Ketahuilah, aku ini pertapa di gunung dan aku sengaja menyuruh Sin-wan mengambilmu kemari untuk kujadikan muridku.” Bun Liong tak segera berkata, melainkan matanya mengawasi kakek itu dari kepalanya yang berambut putih sampai ke kakinya yang telanjang. Sikapnya seperti sangsi akan kekosenan kakek itu.

Dulu ia senang membayangkan bahwa pertapa-pertapa yang menjadi orang sakti dan bahkan menjadi setengah dewa seperti yang diceritakan ayahnya adalah seorang yang gagah, bertubuh kekar kuat, sebagaimana bentuk tubuh ayahnya yang berkepandaian silat itu, kekar kuat, lengan dan kakinya besar dan berotot, yang selain pernah merobohkan banyak penjahat juga dengan mata kepala sendiri ia pernah menyaksikan bahwa ayahnya itu pernah tiga kali berkelahi dengan harimau dan membuat raja hutan yang galak itu mati!

Adapun kakek yang tua renta dan bertubuh kurus kering dan kelihatannya loyo sekali ini mana mungkin berkepandaian tinggi dan mana bisa menandingi kepandaian ayahnya? Jangankan mampu berkelahi dengan harimau, tubuhnya yang kurus lemah itu sekali saja tertiup angin agaknya akan terguling roboh! Demikian pikir Bun Liong dalam keraguannya.

“Pelajaran apakah yang hendak kau berikan kepadaku, maka aku harus menjadi muridmu, kakek?” tanyanya kemudian. Pertanyaan ini terang sekali sangat sombong, akan tetapi Bu Beng Lojin menerimanya sambil tersenyum ramah dan tatkala menyahut, suaranya wajar saja, tak mencerminkan kemendongkolan hatinya sedikitpun,

“Tergantung dari bakatmu sendiri. Tidak ada guru yang lebih pandai dari pada watak dan bakat sendiri. Guru luar hanya sekedar memberi petunjuk dan bimbingan belaka. Dan pada tubuhmu kulihat bahan baik untuk belajar silat!”

“Belajar silat?” Bun Liong menegaskan sambil mengangkat alisnya dan kemudian sambil menggelengkan kepala ia melanjutkan kata- katanya:

“Tidak perlu, terus terang saja aku tidak perlu menjadi muridmu kalau hanya sekedar belajar silat, karena ayahku sendiri juga seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi dan aku sudah mewarisi kepandaiannya!”

Pertapa itu kembali tersenyum, “Kalau benar demikian, cobalah kau unjukkan ilmu silatmu itu!”

“Kau tak percaya dan mau kubuktikan, kakek? Baiklah. Nah, lihatlah!” kata Bun Liong yang menjadi panas hati juga karena menganggap kakek sangat memandang rendah sekali kepadanya. “Baiklah kudemonstrasikan ilmu pukulanku warisan ayah dan nanti akan kulihat, dapatkah kakek tua renta dan loyo ini melakukan seperti yang kuperbuat?” demikian kata hati anak kecil yang baru berusia duabelas tahun itu.

Bun Liong segera menghampiri sebatang pohon yang besarnya sepelukan sebelah lengan tangannya dan tiba-tiba ia gerakkan tangannya meninju batang pohon itu. Tinjunya yang kecil itu tiba di batang pohon dengan keras sekali hingga batang pohon itu bergoyang-goyang hebat dan tergetar seakan-akan ditumbuk oleh terjangan seekor kerbau mengamuk.

Setelah itu ia peluk batang pohon tersebut dan sambil berseru keras, ia mengerahkan tenaganya menjebol. Benar-benar patut dikagumi kehebatan tenaga anak yang masih kecil ini, dengan mengeluarkan suara keras akar-akar pohon itu terlepas dari tanah dan pohon itu terangkat naik!

Bun Liong lalu melemparkan batang pohon itu sampai tiga tombak jauhnya dan ketika terbanting mengeluarkan suara keras dan batu karang yang tertimpanya hancur! “Bagus! Tenaga kerbaumu memang hebat, tapi pukulanmu itu hanya dapat dipergunakan menghantam benda mati!” kata kakek itu memuji dan menyindir.

Bun Liong memandang kakek dengan mata setengah melotot dan sindiran itu membuat hatinya amat mendongkol. Dan timbullah keinginan untuk menguji tenaga kakek itu.

“Jangan kau mengejek, kakek! Cobalah, dapatkah kau berbuat seperti aku?!”

Pertapa itu kembali tersenyum dan maklum bahwa untuk menundukkan kekerasan hati anak yang disukainya ini, ia harus membuktikan kemampuannya.

“Tentu saja aku bisa, anak bodoh!” ujarnya. “Bahkan aku dapat mencabut sebatang pohon tanpa mengeluarkan tenaga hebat seperti kau. Nah. Lihatlah! Pohon yang sejarak dua tombak dari sini dapat kucabut dari tempatku berdiri ini!”

Bun Liong melihat kepada sebatang pohon yang ditunjuk si kakek dan jaraknya dari si kakek memang ada kira-kira sejauh dua tombak dan ukuran batang pohon itu jauh lebih besar dari pada batang pohon yang ditumbangkannya tadi. Kemudian ia memandang kepada si kakek dengan penuh rasa sangsi bahwa benarkah orang setua renta dan sekurus itu dapat mencabut pohon tanpa menjamahnya sama sekali?

Bu Beng Lojin mendoyongkan tubuhnya ke belakang dan sambil berseru nyaring, tangan kanannya dengan telapak terbuka digerakkan ke arah batang pohon seperti melakukan suatu dorongan. Dan akibat dari pergerakannya ini benar-benar hebat sekali sehingga membuat Bun Liong yang melihatnya menjadi tercengang keheran-heranan.

Ternyata pohon seperti tercabut oleh tenaga gaib yang maha dahsyat, telah jebol dengan akar-akarnya. Dan batang pohon itu lalu melayang seperti terlontar jauh sekali dan akhirnya jatuh ke tanah sambil menerbitkan suara gedubrakan!

“Nah, anak bodoh, kau sudah buktikan sendiri bahwa tidakkah aku lebih pandai dari padamu?” ujar kakek itu kemudian sambil tetap tersenyum dan memandang Bun Liong yang masih bengong terlongong-longong sambil mulut ternganga lebar.

Benar-benar hebat dan sukar dipercaya, ayahku yang kuketahui berkepandaian tinggi pun tidak dapat berbuat seperti kakek ini. Agaknya benar-benar kakek ini seorang sakti setengah dewa, pikirnya. Dan ia mulai yakin bahwa kakek tua renta yang kelihatan loyo itu bukanlah orang sembarangan!

“Anakbodoh, bagaimana pikiranmu, maukah kau menjadi muridku?”

“Akan tetapi, kakek…… Biarpun kau sudah membuktikan kehebatan tenagamu yang benar-benar kukagumi, namun aku ingin melihat dulu ketinggian ilmu silatmu. Adakah ilmu silatmu lebih tinggi dari pada ayahku?”

“Setelah keras hati, kaupun cerdik sekali anak! Sesungguhnya aku tidak berani mengakui bahwa kepandaianku lebih tinggi dari pada ayahmu atau dari pada siapapun, oleh karena amat sukar untuk mengatakan batas tinggi kepandaian seseorang.

“Puncak gunung Hoa-san sudah dapat dikatakan tinggi, akan tetapi masih banyak puncak gunung lain yang lebih tinggi lagi dan biarpun ada sebuah puncak yang paling tinggi di dunia ini. Namun harus diingat bahwa di atas puncak itu terdapat yang lebih tinggi lagi, yaitu cakrawala yang tidak terbatas tingginya.

“Demikianlah daya cipta dan kepandaian seseorang pun sungguh sukar dikatakan batas tingginya! Akan tetapi oleh karena kau ingin membuktikan ilmu silatku, maka baiklah akan kupenuhi keinginanmu asal saja kau perlihatkan dulu kepandaian ilmu silatmu yang kau pernah pelajari dari ayahmu itu.”

“Baiklah!” sahut Bun Liong bersemangat dan karena anak ini memang sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan dari ayahnya, lalu bersilat. Gerak dan langkah kakinya tetap dan kuat serta pukulan-pukulan tangannya mendatangkan angin karena setiap pergerakannya disertai pengerahan tenaga sepenuhnya.

Kakek itu memandangnya dengan penuh perhatian dan setelah Bun Liong berhenti bersilat karena jurus yang didemonstrasikannya itu sudah habis, napas anak kecil ini terengah-engah kecapean!

“Bagus ilmu silatmu, tapi sayang sekali masih mentah dan ada beberapa pukulan serta tendangan yang kau lakukan salah!” kata kakek itu memuji serta mencela.

Mendengar ucapan si kakek, Bun Liong merasa penasaran sekali, “Eh, kakek tua! Kenapa kau berani menyatakan ilmu silatku masih mentah dan apa yang salah dengan pukulan dan tendanganku tadi?!” tegurnya dengan suara tidak senang.

Si kakek memandangnya dengan mata berseri dan mulut tetap memperlihatkan senyuman seperti tadi. “Agaknya kau belajar silat belum dua tahun, bagaimana kepandaianmu tidak dapat dikatakan masih mentah? Dan pukulan serta tendanganmu yang kukatakan ada yang salah tadi, mungkin untuk memukul dan menendang benda tak bergerak akan berhasil baik, tetapi kalau untuk memukul dan menendang makhluk hidup yang dapat bergerak serta melawan tentu takkan berhasil.”

Makin penasaran dan mendongkollah perasaan hati Bun Liong. “Begitukah?! Dan dapatkah kau buktikan omonganmu ini, orang tua?!”

“Kau mau bukti?” sahut si kakek dan kemudian ia memandang lutung yang sejak tadi berada di sampingnya dan berkata: “Eh, Sin- wan, cobalah kau layani anak muda ini bermain-main sebentar dan sebelum kau mendapat perintahku, kau jangan melakukan perlawanan!” 

Si lutung yang agaknya sudah mengerti segala ucapan dari kakek itu serta merta berjalan dan kemudian berdiri berhadapan dengan anak itu. Diam-diam hati Bun Liong terasa agak gentar juga ketika berhadapan dengan lutung yang tadi pernah membuatnya sama sekali tidak berdaya itu. Tapi dalam pada itu, tiba-tiba ia mempunyai anggapan lain bahwa sangat mungkin sekali karena tadi ia terlalu kaget maka tak dapat menghindari totokan dari si lutung yang agaknya paham ilmu silat itu. Adapun sekarang, dalam keadaan sudah siap sedia dan apalagi ia mendengar kakek itu memberi pesan kepada si lutung bahwa jangan melakukan serangan, maka ia akan membuktikan bahwa ilmu pukulan dan tendangannya itu adalah suatu gerakan yang tidak pantas dicela.

“Nah, anak sombong, untuk membuktikan ilmu silat itu tidak berguna, kau akan diuji oleh lutung peliharaanku ini dan dalam tiga jurus saja kalau kau bersilat seperti tadi, pasti kau akan membenarkan celaanku tadi! Nah, seranglah pengujimu dengan geraktipu-geraktipu yang paling kau andalkan!”

Tanpa banyak cakap lagi Bun Liong pasang kuda-kuda lalu berseru keras: “Awas pukulan!”

Ia memberi peringatan karena maklum bahwa lutung ini mengerti bahasa manusia. Kakinya membuat gerakan melompat ke depan dibarengi kepalan tangan kanannya menyambar ke arah kepala lutung itu dan andaikata pukulan ini mengenai sasaran, niscaya kepala lutung itu akan pecah dibuatnya. Tetapi kenyataannya binatang yang pernah menerima gemblengan dari Bu Beng Lojin benar-benar tidak boleh dipandang ringan. Dengan sedikit mengedikkan kepalanya ke kanan, tinju Bun Liong menyambar tempat kosong!

“Jurus kesatu……!” kakek itu berseru sambil ketawa bergelak- gelak gembira sekali.

Tetapi Bun Liong dapat berlaku sebat. Setelah pukulan yang berarti jurus pertama itu tidak berhasil, cepat ia menarik kembali tangan kanannya dan menggirim serangan kilat dengan tangan kirinya yang disodorkan ke arah iga binatang itu.

Kali ini kembali Bun Liong kecele, karena lawannya itu terlalu gesit baginya sehingga serangan yang berarti jurus kedua inipun hanya mengenai angin saja! Dan terdengarlah seruan si kakek yang menghitung jurus itu: “Jurus kedua sudah lalu dan dalam jurus ketiga ini kau harus waspada anak, karena si Sin-wan akan memberi perlawanan terhadapmu!”

Peringatan dari Bu Beng Lojin membuat hati Bun Liong makin merasa penasaran. Mukanya menjadi merah karena malu dan dadanya serasa hendak meledak saking mendongkol dan gemasnya, maka secepat jurus kedua tadi dilalui, secepat itu pula ia susuli dengan jurus ketiga atau jurus terakhir.

Kini ia kerahkan semua tenaga pada kaki kanannya dan kaki ini segera menyambar dengan sebuah tendangan geledek yang ditujukan ke arah lambung si lutung. Akan tetapi jurus ketiga ini benar-benar membuat si anak kecil itu merasa kaget dan malu bukan main dan akhirnya ia benar-benar tunduk kepada kakek itu!

Untuk menghadapi tendangan yang mengandung tenaga yang dapat menumbangkan sebatang pohon itu, ternyata lutung sakti itu bergerak perlahan saja bahkan sangat lucu sekali. Sambil berkelit ke samping menghindarkan tendangan, tangan kirinya menggaruk- garuk kepalanya, agaknya di rambut kepalanya itu banyak kutu- kutu yang membuatnya gatal.

Sementara tangan kirinya itu terus menggaruk-garuki kepalanya, tangan kanannya dengan jari-jari tangan terbuka lebar menyampok dan menangkap kaki Bun Liong yang menyambar di samping tubuhnya. Kaki anak itu dapat ditangkapnya sedemikian cepat lalu ditariknya ke atas terus didorong lagi ke belakang hingga tidak ampun lagi tubuh Bun Liong melayang ke belakang beberapa kaki dan jatuh terjungkal dan bergulingan! “Hahaha! Anak sombong, sekarang sudah kau buktikan bahwa celaanku tadi tidak terlalu salah. Bagaimana pendapat dan pikiranmu, nak?!” kata Bu Beng Lojin setelah tertawa nyaring sambil menghampiri Bun Liong yang ketika itu sedang berusaha hendak bangkit sambil meringis-ringis dan mengaduh-aduh karena tulang pundaknya terasa sakit bukan main.

Sambil merasakan sakitnya, sadar dan yakinlah Bun Liong bahwa kakek itu benar-benar seorang pertapa sakti seperti yang pernah diceritakan ayahnya. Baru lutung peliharaannya saja sudah berkepandaian demikian hebat, apalagi si kakek itu sendiri. Sudah lama Bun Liong bercita-cita menjadi seorang gagah berkepandaian tinggi seperti halnya para pendekar yang sering kali diceritakan ayahnya.

Teringat akan cita-citanya maka tanpa ragu-ragu lagi Bun Liong segera berlutut di depan kakek dan berkata:

“Teecu (murid) bernama Souw Bun Liong mohon maaf yang sebesar-besarnya oleh karena tidak dapat melihat gunung Thay- san yang menjulang tinggi di depan mata. Teecu telah berlaku lancang dan kurang ajar terhadap suhu yang mulia…….” Bu Beng Lojin ketawa riang dan berkata menukas ucapan anak itu: “Hahaha, baru kini kau mau memperkenalkan namamu dan baru kini keangkuhan dan kekerasan hatimu dapat kutundukkan. Jadi benarkah kau bersedia menjadi muridku, Liong?”

Sambil tetap berlutut, Bun Liong mengangguk-anggukkan kepalanya berulang-ulang hingga jidatnya membentur-bentur tanah, seraya katanya: “Teecu bersumpah bahwa sejak saat ini teecu telah menjadi murid suhu dan teecu bersedia melakukan segala perintah suhu.” 

“Bagus! Maka bangunlah engkau, Liong dan marilah masuk ke dalam pondokku,” ujar Bu Beng Lojin akhirnya dengan wajah berseri-seri sambil membangunkan anak kecil yang masih berlutut di bawah dengkulnya itu.

Kakek pertapa yang waspada ini tidak merasa ragu lagi tentang kebaikan murid tunggal yang baru diangkatnya itu. Dan biarpun pada mulanya anak itu berbuat lancang dan bahkan dapat dikata sangat kurangajar sekali dengan kesombongan-kesombongannya.

Namun Bu Beng Lojin maklum dan yakin bahwa Bun Liong adalah seorang anak yang tidak saja berhati keras, tetapi juga wataknya jujur. Dan pada hakekatnya anak itu mempunyai bakat yang baik sekali untuk kelak sesudah mencapai usia dewasa, menjadi seorang gagah!

Memanglah, setelah Bun Liong merasa yakin bahwa kakek itu adalah seorang sakti, segera saja ia membulatkan tekadnya untuk menjadi murid dari pertapa kosen ini dan merasa rela biarpun banyak berkorban, iapun harus berpisah dengan ayah ibu yang mencintai dan memanjakannya entah sampai berapa tahun lamanya……

Demikianlah, mulai saat itu Bun Liong telah menjadi penghuni puncak gunung Hoa-san bersama suhunya, Bu Beng Lojin dan Sin- wan si lutung sakti serta Sin-houw si harimau sakti yang berbulu putih itu. Anak ini digembleng dengan hebat oleh Bu Beng Lojin, karena pertapa yang waspada maklum bahwa kelak tenaga pemuda murid tunggalnya amat dibutuhkan oleh negara dan manusia.

Dia sendiri sudah meninggalkan segala urusan dunia dan tidak mau mencampurinya, maka kini ia hendak mewariskan seluruh ilmu kepandaian yang ada padanya kepada seorang pemuda yang menjadi murid tunggalnya. Tidak saja kepandaian dalam hal ilmu silat, yaitu Sin-wan Pek-houw Kun-hoat ciptaannya itu, bahkan juga ilmu-ilmu batin yang tinggi, pengertian-pengertian yang mendalam tentang manusia dan kehidupannya, telah dituangkan semua oleh pertapa sakti kepada muridnya itu.

Pendeknya, Bun Liong menerima gemblengan lahir batin dari gurunya, yakni gemblengan lahir berupa ilmu silat yang kelak akan membuat ia gagah perkasa sebagai seorang pendekar pembela keadilan dan pengganyang kejahatan.

Sedangkan gemblengan batin ialah dasar-dasar ilmu batin dan pelajaran-pelajaran budi pekerti sehingga secara berangsur- angsur ia mengerti dan terbuka mata batinnya bahwa di antara segala ilmu pengetahuan, yang terpenting adalah prilaku yang baik agar jalan hidup tidak sampai tersesat!

Biarpun kadang-kadang Bun Liong merasa rindu akan kedua orangtuanya akan tetapi hal ini tidak mengurangi kerajinan dan keuletannya menerima dan mempelajari segala pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Bahkan rasa rindunya itu dapat terlupakan sama sekali manakala ia sedang bermain-main dengan lutung dan harimau putih yang kini menjadi kawan-kawan baiknya itu.

Bun Liong mempergunakan kedua binatang luar biasa itu sebagai kawan berlatih silat. Dan oleh karena anak ini pada dasarnya mempunyai bakat yang sangat baik, ditambah lagi otaknya cerdas dan berkemauan keras, maka diam-diam ia dapat menyempurnakan gerakan ilmu silatnya dengan meniru gerakan dari kedua kawannya itu.

Tanpa disadarinya, ilmu silat Sin-wan Pek-houw Kun-hoat menjadi lebih masak dan sempurna karena ia dapat memetik gerakan yang asli dari ke dua binatang itu. Kemajuan yang dicapai oleh Bun Liong sangat pesat, sehingga belum sampai setahun semenjak ia menjadi murid Bu Beng Lojin, kepandaiannya sudah mengatasi si lutung dan si harimau yang semula merupakan tandingan beratnya itu dan hal ini sudah tentu sangat menggembirakan Bu Beng Lojin.

Pada suatu pagi hari dipermulaan musim Chun (Semi), dikala hawa udara sedang sejuknya dan segala tanam-tanaman sedang bersemi serta berkembang, ketika angin gunung sedang berdesir perlahan menghalau halimun tipis ke arah timur seakan-akan menyongsong matahari yang baru muncul, di puncak gunung Hoa- san tampaklah dua sosok tubuh sedang berdiri menghadap ke arah timur, seakan-akan mereka sedang menjemur diri di bawah sinar Sang Batara Surya, yang baru muncul itu. Dua sosok tubuh itu, yang seorang adalah seorang tua mengenakan jubah pertapa warna kuning dan yang seorang lagi seorang anak muda berpakaian baju putih yang agak terlalu besar bagi tubuhnya. Mereka ini adalah Bu Beng Lojin dan Souw Bun Liong, yang pada pagi hari ini mengenakan baju pemberian dari gurunya agaknya baju bekas pakaian gurunya dan agak terlalu kedodoran!

“Liong, muridku. Ingatkah engkau sudah berapa lama kau berdiam bersamaku di puncak gunung Hoa-san ini?” kata si kakek bertanya kepada muridnya.

“Kalau teecu tidak salah ingat, teecu menjadi murid suhu sudah empat kali musim semi, jadi sudah empat tahun, suhu,” Bun Liong menjawab dengan wajah berseri dan mata bercahaya karena mendapat pertanyaan ini dikiranya ia akan diperkenankan pulang ke rumahnya.

“Benar, Liong. Dan selama itu kau hanya berlatih dengan Sin-wan dan Sin-houw saja. Mulai sekarang, karena kepandaianmu kini sudah jauh mengatasi ke dua binatang maka berarti sudah tiba saatnya aku sendiri mengujimu secara langsung. Nah, bersiaplah!” Untuk sejenak Bun Liong berdiri diam seperti patung, hati kecilnya agak kecewa karena dugaannya tadi ternyata meleset. Namun, oleh karena ia menaruh hormat dan patuh terhadap gurunya, dan juga merasa takut sekali, maka ia tekan perasaan hatinya dan mendengar perkataan suhunya yang sudah nyata sekali menantang bertempur itu, anak ini menjadi bengong karena tidak mengerti sikap suhunya yang lain dari biasanya itu.

“Eh, Liong! Mengapa kau diam saja?” tegur kakek itu dan katanya pula setengah membentak: “Ayoh, bersiaplah dan lawanlah aku!”

Bibir Bun Liong bergerak dan terdengarlah ucapannya tergagap- gagap: “Teecu…… ti…… tidak berani melawan suhu.”

“Apa katamu? Siapa bilang melawanku? Ini hanya latihan dan aku sendiri hendak mengujimu, mengerti?!” balas Bu Beng Lojin dan kemudian tanpa menanti anak itu mempersiapkan ancang-ancang, kakek ini dengan secepat kilat menyerang.

Bun Liong sangat kaget dan sadar akan kebodohannya karena merasa bahwa jawabannya salah. Bukankah selama empat tahun ia hanya berlatih dengan Sin-wan dan Sin-houw saja dan gurunya hanya mendidik dan membimbing belaka? Maka sesudah ke dua binatang itu kini tak layak menjadi kawan berlatih lagi lantaran kepandaiannya sudah jauh mengatasinya, bukankah sudah sepatutnya kalau sang guru turun tangan melatih dan menguji?

Setelah maklum akan maksud kakek itu, hatinya menjadi gembira. Maka ketika dilihatnya kakek itu bergerak mengirim serangan, ia segera melompat mundur menghindari serangan itu dan memasang kuda-kuda menjaga serangan seterusnya.

“Jangan sheji-sheji (sungkan), coba lawanlah aku!” kata Bu Beng Lojin yang segera menggeserkan kakinya ke depan mendekati muridnya sambil menyerang dengan gerak tipu sin-wan-tam-jiauw (Lutung sakti mengulur kuku). Dengan berturut-turut ke dua lengannya dengan jari-jari tangan yang merupakan cengkeraman meluncur ke arah mata dan uluhati muridnya.

Menghadapi serangan hebat ini, Bun Liong segera menjatuhkan diri berjungkir balik ke belakang dengan mempergunakan gerak tipu Lutung Sakti Jungkir Balik.

Demikianlah selanjutnya guru itu menguji muridnya dengan melancarkan serangan-serangan hebat dan Bun Liong melayaninya dengan mengerahkan seluruh kepandaian yang pernah dipelajarinya secara baik sekali sehingga gurunya kagum. Selain berkelit untuk menghindarkan serangan-serangan dari gurunya, pemuda itupun tanpa sungkan-sungkan berusaha membalas menyerang, hanya saja semua serangan balasannya selalu dapat dipatahkan oleh gurunya.

Lama-lama Bun Liong hanya dapat melayani sambil mundur saja dan sebenarnya ia sudah merasa kewalahan sekali. Akhirnya ia menarik napas lega ketika Bu Beng Lojin menghentikan serangannya.

“Bagus Liong, sungguhpun kau mewarisi kepandaianku baru seperempatnya saja, namun ternyata kau sudah lumayan. Maka belajarlah kau lebih tekun dan lebih rajin lagi, supaya kau kelak menjadi seorang yang memenuhi harapanku!” ujar kakek itu sambil mengusap-usap jenggotnya. Sementara pada air mukanya tampak sinar kebanggaan akan kemajuan yang telah dicapai oleh murid tunggalnya itu.

“Apa?! Sudah empat tahun lamanya aku belajar silat dan guruku mengatakan bahwa aku baru memiliki kepandaian seperempatnya, maka harus berapa tahun lagikah aku berdiam disini sampai kepandaianku sempurna dan kapankah kiranya aku diperbolehkan pulang……?” Demikian demi mendengar ucapan gurunya tadi diam-diam Bun Liong mengeluh di hatinya dan rasa kangen akan ayah bundanya yang sudah sekian lamanya berpisah, timbul kembali di lubuk hatinya. Akan tetapi oleh karena kepatuhan terhadap gurunya jauh lebih besar dari pada perasaan hatinya, dan pula memang sejak dulu ia mempunyai cita-cita ingin mempunyai kepandaian tinggi, maka emosi yang mencekam perasaan hatinya itu ditindasnya sekuat mungkin dan ia berlutut di depan gurunya sambil berkata:

“Suhu, teecu mohon pelajaran lebih lanjut.”

“Tentu! Aku akan terus menggemblengmu sampai semua kebodohan yang ada padaku kau milikinya, dan syarat penting untuk ini, kau jangan terserang penyakit bosan, karena seorang yang mudah terserang penyakit ini akan sukar mencapai kemajuan.

“Dan juga kau jangan terlalu dipengaruhi oleh perasaan hatimu yang selalu ingin pulang ke rumah, oleh karena hal inipun merupakan penyakit yang akan mengganggu dan menghambat pelajaranmu. Mengertikah engkau, Liong?” “Teecu mengerti, suhu,” sahut Bun Liong sambil menunduk menyembunyikan rasa malunya karena pemuda ini maklum bahwa gurunya yang waspada itu telah dapat membaca isi hatinya.

“Nah, sekarang cobalah kita balap lari dan kau coba mengejarku!” kata kakek kemudian dan sehabisnya berkata itu tubuhnya bergerak dan berlari cepat sekali menuruni lereng sebelah barat di mana banyak sekali terdapat tetumbuhan bahan obat-obatan.

Bun Liong maklum bahwa gurunya hendak menguji kepandaiannya dalam ilmu lari cepat, maka dengan gembira ia segera melompat dan berlari mengikuti gurunya. Dan demikianlah sekejap kemudian mereka hanya merupakan dua sosok bayangan, yang kuning di depan dan yang putih di belakang kejar mengejar menuruni lereng.

Kemudian bayangan kuning itu membelokkan larinya ke arah selatan dan melompat-lompat di antara tonjolan-tonjolan batu-batu karang yang berbagai bentuk itu. Dan hal ini ditiru pula oleh bayangan putih yang bergerak-gerak dan meloncat-loncat dibelakangnya.

Sambil melompat-lompat dengan gerakan yang ringan sekali sehingga bagaikan melayang-layang,  Bu Beng Lojin sebentar- sebentar menengok ke belakang melihat muridnya. Dan kakek ini diam-diam merasa kagum karena biarpun gerak lompat muridnya masih agak kaku sehingga loncatannya masih kelihatan berat, namun anak ini telah dapat meniru contohnya dan seorang yang berkepandaian silat biasa saja, belum tentu dapat melakukannya.

Ternyata, guru itu selain menguji ilmu lari cepat muridnya, juga sekaligus melatih ilmu gin-kang (ilmu meringankan tubuh)! Demikianlah, sambil berlompat-lompatan seperti bayangan kuning melayang-layang bagaikan burung walet dari satu ke lain tonjolan batu karang dan terus menanjak ke puncak gunung, diikuti oleh bayangan putih yang bergerak-gerak laksana seekor kera yang melompat-lompat dan berpindah-pindah berusaha mengejar bayangan kuning yang sudah jauh sekali di depannya.

Akhirnya, bayangan kuning itu, sudah berdiri di puncak gunung dan kakek ini memandang ke arah muridnya yang masih melompat- lompati batu-batu karang di bawahnya. Beberapa saat kemudian Bun Liong sudah tiba di sisi gurunya, sekujur tubuhnya dibasahi peluh dan napasnya tersengal-sengal!

“Cape kau, Liong?” sapa kakek itu dengan tersenyum. Sambil menyeka peluh di dahi dengan lengan bajunya, Bun Liong hanya mengangguk tanpa menjawab, karena napasnya yang memburu membuat dadanya terasa sesak sehingga tak dapat mengucapkan kata-kata.

“Kelelahan yang kau rasa itu adalah disebabkan karena kepandaianmu masih belum matang, maka kelak kalau kepandaianmu sudah sempurna, perasaan yang menyiksamu kini tentu takkan terasa lagi.”

Bun Liong memandang ke wajah gurunya dan ia mendapat kenyataan yang sungguh mengagumkan, tampaknya orang tua itu sedikitpun tidak merasa lelah. Napasnya wajar saja, seakan-akan berlari-lari ke bawah lereng dan melompat-lompati batu-batu karang kembali ke puncak gunung tadi, tidak membuatnya lelah sedikitpun!

Ketika itu di dalam suasana puncak gunung yang selalu sunyi, tiba- tiba terdengar suara auman harimau yang dibarengi suara siulan yang nyaring sekali. Bun Liong maklum bahwa suara yang terdengar dari bawah lereng sebelah utara itu adalah suara-suara dari ke dua ekor binatang yang sangat dicintainya, yaitu si harimau putih dan si lutung sakti. Tetapi suara mereka yang terdengar tidak seperti biasanya, demikian ganjil dan seakan-akan teriakan minta pertolongan.

Bu Beng Lojin mengerutkan dahinya sambil memiringkan kepalanya ke arah datangnya suara yang sudah dikenalnya itu, orang tua ini tengah memasang telinga dan kemudian berkata:

“Liong, rupanya si Sin-wan dan Sin-houw menghadapi bahaya, cobalah kau pergi melihat dan kalau tidak salah terkaanku, rupanya mereka diganggu oleh dua orang pendatang!”

Tanpa menghiraukan dirinya yang masih disiksa oleh perasaan lelah, Bun Liong mentaati titah gurunya dan dengan sekali lompat ia sudah pergi dari sisi gurunya, berlari turun ke arah lereng sebelah utara.

Memang sesungguhnyalah, seperti apa yang diterka oleh Bu Beng Lojin yang waspada itu, bahwasanya pada hari sepagi itu dari lereng utara gunung Hoa-san telah didatangi oleh dua orang pendatang. Yang seorang adalah seorang tua bertubuh seperti potongan gentong arak karena gendutnya. Kepalanya yang besar dan bulat seperti bal karet gundul kelimis dan mengkilat seakan- akan diminyaki dan pakaian yang menutupi tubuh bundarnya adalah pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang penghuni kelenteng sehingga mudah ditebak bahwa orang tua gendut berkepala gundul adalah seorang hweesio.

Adapun orang kedua, adalah seorang anak yang usianya sepantar dengan Bun Liong, bertubuh sangat berlawanan dengan si hweesio yakni kurus kering dan bermuka bopeng! Ke dua orang ini berjalan cepat mendaki bukit dan agaknya mereka hendak menuju ke puncak Hoa-san.

Biarpun tubuhnya demikian gendut dan tampaknya sangat berat sekali, akan tetapi si hweesio ternyata dapat menanjak dengan tindakan kaki yang ringan dan cepat sehingga bocah kurus yang dibawanya supaya tidak ketinggalan dituntunnya dan setengah diseret!

Akan tetapi ketika mereka menanjak sampai di tempat yang banyak berbatu karang dan dimana banyak tumbuh pohon yang- liu, langkah mereka terhenti tiba-tiba oleh karena tanpa mereka ketahui dari mana munculnya, tahu-tahu di depan mereka menghadang seekor lutung yang sangat besar sekali. Binatang itu berdiri di depan mereka sambil mementangkan kedua lengannya ke kanan ke kiri, menghalangi ke dua orang itu naik terus! Sin-wan, lutung itu, memang sudah mendapat perintah dari Bu Beng Lojin untuk menghadang dan melarang setiap orang yang belum pernah dikenalnya naik ke puncak Hoa-san.

“Suhu, rupanya binatang macam inilah yang disebut orang hutan, betulkah?” bocah kurus itu bertanya kepada si hweesio dengan suara setengah berteriak, sambil menuding ke arah hidung yang menghadangnya itu.

Hweesio bundar itu ketawa terkekeh dan tatkala menyahut, suaranya ternyata sangat besar dan parau: “Anak goblok, ini bukan orang hutan, melainkan binatang hutan!”

Kemudian ia membentak kepada lutung itu: “Eh, binatang alas! Minggirlah dan beri aku jalan!” Sambil mengeluarkan bentakan itu, ia menggerakkan lengan kanannya sehingga lengan bajunya yang lebar itu berkebut dan mendatangkan angin yang menyerang ke arah si lutung.

Pada sangka si hweesio, terkena angin pukulan dari lengan bajunya pasti lutung itu akan roboh terguling dan kemudian akan lari menyingkir dari depannya. Akan tetapi sungguh ia merasa heran dan bahkan hatinya terkejut sekali, karena lutung itu ternyata dapat berkelit sehingga dirinya terluput dari hawa pukulan dan sambil berkelit lutung itu malah menggerakkan lengan tangannya menjambret lengan baju yang mengebut itu.

“Breett!” demikian terdengar suara kain robek dan ternyata ujung lengan baju telah dapat direnggut oleh si lutung sehingga sebagian sobekan tercengkeram di dalam tangan binatang itu yang segera melompat ke belakang!

Bukan main kagetnya hati hweesio gendut dan maklumlah ia, bahwa lutung yang telah merobek lengan bajunya itu bukanlah binatang sembarangan.

Sebagai seorang guru silat tinggi melihat betapa cara lutung itu mengelak, sambil menjambret lengan bajunya sehingga robek dan kemudian melompat menjauhkan diri dari padanya seakan-akan untuk menghindari serangan yang tidak terduga, yang kesemuanya dilakukan dengan gerakan-gerakan ilmu silat, maka segera hweesio itu dapat menebak dengan jitu.

“Rupanya si Ong Kim Su (nama asli Bu Beng Lojin) yang kudengar tinggal di puncak Hoa-san, tidak salah. Dan binatang ini agaknya peliharaannya yang terlatih,” gumamnya seperti berkata kepada diri sendiri lalu berkata kepada muridnya, bocah kurus yang bermuka sisa penyakit cacar itu: “Kui Lo, cobalah kau bermain-main sebentar dengan binatang itu dan kalau dapat tangkap dia hidup-hidup!”

“Baik suhu! Teecu pasti takkan mengecewakan suhu,” sahut bocah yang bernama Kui Lo sombong karena ia memandang ringan sekali terhadap lutung itu. Lalu anak itu melompat maju sambil berseru nyaring dan langsung menyerang si lutung.

Binatang peliharaan pertapa sakti di gunung Hoa-san ini lalu menyambutnya sambil mengeluarkan dengusan marah! Belum dua gebrakan Kui Lo dan lutung itu bertempur, tiba-tiba dari balik sebuah batu karang yang besar tampak melompat sesosok bayangan putih besar dan langsung menerkam anak itu yang segera mengeluarkan pekikan yang mengerikan dan tubuhnya terguling, batang lehernya hampir putus!

Ternyata bayangan besar putih itu adalah Sin-houw yang karena mendengar dan kemudian melihat lutung bertempur dengan seorang anak yang sangat asing baginya, menjadi marah sekali. Ia segera menerjang membantu kawannya sehingga tanpa dapat mengelak lagi Kui Lo dapat diterkamnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar