Jilid 20
Tiba-tiba Wi Lian In menjerit kesakitan. "Aduh . . kakiku sakit benar aduh . . ."
"Waah . . . tentu terkena api sewaktu meloncat tadi, mari sini biar aku periksa sebentar." Dia menarik celana kakinya ke atas, terlihatlah kakinya yang semula berwarna putih laksana salju kini sudah berubah menjadi memerah dengan penuh gelembung-gelembung air yang amat banyak. dalam hati Ti Then merasa sedikit tak tega lalu hiburnya dengan suata perlahan-
"Wah masih untung cuma kulitnya saja yang terluka, sebentar saja akan sembuh dengan sendirinya"
"Lalu bagaimana?" tanya Wi Lian In kemudian dengan nada kuatir. "Omong kosong ,mari sini biar aku yang periksa"
"Tidak usah periksa lagi" Ujar Ti Then sambil tertawa, dia lantas bangkit dan berdiri kembali.
"Saat ini kau juga tidak membawa obat luka terbakar, cuma lihat- lihat saja apa gunanya?? Yang penting kita sekarang harus cepat- cepat meninggalkan tempat ini, nanti setelah sampai di dalam kota kita baru beli obat buat luka- luka terbakar ini."
Waktu itu sang surya sudah memancarkan sinarnya keempat penjuru, dari tempat kejauhan seCara samar-samar terdengar kokokan ayam yang saling sahut menyahut.
Mendengar suara kokokan ayam itu Wi Lian In segera angkat tangannya menuding kearah mana berasalnya suara kokokan ayam tersebut serunya dengan girang.
"Di sebelah sana tentu ada rumah kaum petani, ayoo kita lihat ke sana."
Kedua orang itu segera meninggalkan rumah petani yang kini sudah terbakar musnah itu.
Kurang lebih setelah melakukan perjalanan sejauh setengah li, tak salah lagi mereka sudah menemukan sebuah rumah petani, kaum petani di sana sejak pagi-pagi sudah bangun dari tidurnya dan kini hanya terlihat seorang perempuan sedang menCuoi pakaian didekat sumur. Dengan tanpa sungkan-sungkan lagi Wi Lian In maju menghampiri perempuan itu untuk kasi hormat. Ujarnya: "Toa so permisi."
"Kalian . . . . " teriak perempuan desa itu mendadak dengan pandangan penuh perasaan terperanyat, dia memandang kearah Ti Then berdua kemudian meloncat bangun "Kalian datang dari mana??"
"Kami kakak beradik sedang mencari seorang famili kami, siapa tahu ketika berjalan sampai di sini sudah tersesat,Toa so tolong tanya tempat manakah ini?"
"Ooh, kiranya di sini bernama desa Thay Peng cung," sengaja Wi Lian In memperlihatkan perasaan terperanyat. "Kami kakak beradik sebetuinya mau pergi ke Tiong cing hu, entah kota Tiong cing hu terletak didaerah mana? jaraknya dari sini masih seberapa jauh?"
"Waah jauh sekali. Kota Tiong cing hu terletak di sebelah barat daya harus melakukan perjalanan selama satu hari penuh baru sampai di sana."
"Aaah, masih harus menempuh satu hari perjalanan??. kami kira kota Tiong cing hu sudah dekat dari sini"
"Kota Tiong khing hu adalah sebuah kota besar, sewaktu hamba masih muda pernah pergi satu kali, pergi ke sana waktu itu hamba harus berjalan satu hari penuh baru sampai"
"Famili kami kakak beradik bernama Cuo It sian, mungkin Toa so pernah mendengar nama dari Cuo it sian ini bukan?"
Mendengar disebutnya nama Cuo It sian ini perempuan desa itu menjadi sangat girang sekali.
"Oooh . . . kiranya kalian mau mencari Cuo Lo-ya, kami penduduk dari desa Thay Peng Cun semuanya merupakan lumbung padi milik dia orang tua, sudah tentu kami tahu diri Cuo Lo-ya"
Berbicara sampai di sini sikapnya pun berubah menjadi sangat ramah sekali, sepasang tangannya yang masih basah oleh air Cucian dengan tergesa gesa digosok-gosokkan ke atas celananya kemudian dengan wajah penuh dihiasi oleh senyuman ujarnya:
"Mari ... mari . silahkan kalian berdua masuk ke dalam rumah, tentu kalian berdua belum sarapan pagi bukan "
"Tidak. tidak perlu kami sudah makan." potong Wi Lian In dengan gugup "Terima kasih atas maksud baik dari Toa so, kita harus segera berangkat"
Dengan terburu-buru mereka memberi hormat, kemudian putar badannya melanjutkan perjalanannya. .
sesudah melakukan perjalanan beberapa saat lamanya barulah terdengar Wi Lian In tertawa dingin:
"Heee.. hee .. kelihatannya si pembesar kota Cuo It sian tidak bisa luput dari kecurigaan kita."
Ti Then tidak langsung memberikan tanggapannya, dia termenung berpikir sejenak lalu baru jawabnya.
"Sebelum kita memperoleh bukti yang betul-betul bisa di pegang teguh, lebih baik jangan secara sembarangan menuduh kalau dialah orang manusia berkerudung itu untuk menawan dan menyekap kita. "
"Lalu apa rencanamu dari sekarang untuk menyelidiki urusan ini
??"
"Kembali ke kuil Sam cing Koan dulu"
"Benar" seru Wi Lien In menganguk, "Kita mengupas bajingan- bajingan toosu itu terlebih dulu, jikalau mereka sudah mengaku kalau pemimpin mereka adalah Cuo It sian, kita bisa bawa mereka untuk bertemu dengan Cuo It Sian."
"Aku pikir peristiwa kita dibikin mabok kemungkinan sekali tidak ada sangkut pautnya dengan tosu-tosu dari kuil Sam cing Koan-"
Wi Lian In menjadi melengak "Bagaimana tidak ada sangkut pautnya?? kita dibikin mabok sewaktu berada di dalam kuil, apalagi yang kirim teh itu kepada kita juga toosu-toosu dari kuil tersebut"
"Jikalau yang menjadi otak mereka adalah cuo It Sian, seharusnya mereka tahu bisa jelas dari kuil Hwesio-hwesio sukar untuk melarikan diri dari kuil tosu, mereka tidak mungkin berani memerintahkan toosu-toosu kuil itu untuk memberi obat pemabok ke dalam air teh yang bakal kita minum"
"Kalau begitu, dia sudah kirim orang lain untuk bersekongkol dengan toosu-toosu kuil Sam cing koan ??"
"Kalau misalnya betul-betul begitu" sahut Ti Then kemudian "Maka orang itu seharusnya mem punyai hubungan yang sangat erat sekali dengan tosu-tosu kuil Sam cing Koan, karena itu para toosu baru menyanggupi untuk membantu mereka, aku lihat tidak mungkin. . tidak mungkin"
"Tetapi tidak perduli bagaimana pun juga, peristiwa dibikin maboknya kita oleh toosu-toosu kuil sam Cing Koan adalah peristiwa yang betul-betul sudah terjadi"
"Sekali pun begitu" bantah Ti Then lagi, " Kemungkinan sekali otak dari peristiwa ini datang sendiri lalu kirim orang untuk secara diam-diam bercampur baur dengan toosu-tosu yang lain kemudian secara sembunyi-sembunyi memasukkan obat pemabok itu ke dalam air teh kita."
" Walau pun kemungkinan bisa begitu, tapi. ." "Aku rasa pasti demikian" potong Ti Then cepat.
" Kalau memangnya demikian lalu buat apa kita pergi ke kuil Sam Cing Koan?"
"Pergi mengambil buntalan serta kuda kita"
Saat itulah Wi Lian In baru ingat kalau buntalan serta kuda tunggangan mereka masih ketinggalan di dalam kuil sam Cing Koan- segera dia tertawa. "Ha.. haa.. aku sudah lupa kalau buntalan serta kuda tungggangan kita masih disimpan di dalam kuil sam Cing Koan-.."
Satu jam kemudian mereka berdua sudah tiba di dalam dusun dimana terletak kuil sam Cing Koan, sesudah pergi membeli obat terbakar di sebelah kedai obat barulah mereka menuju kekuil sam Cing Koan-
"Tidak perduli bagaimana pun kita harus memancing-mancing pada mereka dengan pertanyaan-pertanyaan" seru Wi Lian in kemudian sampainya di depan kuil sam Cing Koan itu, "Kemungkinan sekali diantara tosu-tosu yang ada di dalam kuil sekarang ini masih ada yang merupakan komplotan dari orang- orang berkerudung hitam itu."
"Sudah tentu harus ditanyai dulu, tetapi aku percaya kita tidak akan bisa berhasil memperoleh jawaban yang memuaskan hati, mari kita masuk."
Mereka berjalan menaiki tangga di depan pintu kemudian masuk ke dalam ruangan besar yang bernama sam Cing Thlen waktu itulah mereka sudah melihat si penerima tamu . "It Cing" tojin menerima seorang kakek tua itu dari rakyat biasa dan kini baru berbicara, ketika dia orang melihat Ti Then serta Wi Lian In berjalan ke dalam ruangan, air mukanya seketika itu berubah menjadi amat terkejut bercampur gembira, cepat-cepat dia berdiri dan datang menyambut:
"Bukankah kalian berdua adalah sepasang kakak beradik yang kemarin hari menginap di dalam kuil kami??" teriaknya.
"Benar" jawab Ti Then sambil bungkukkan badannya memberi hormat.
"Malam itu sesudah kalian berdua bersantap. kenapa secara tiba- tiba sudah lenyap tanpa bekas?"
"Ha. ha . soal itu kami harus bertanya juga kepada Totiang yang pada malam itu mengirim santapan buat kami berdua." "Ooooh..." teriak It Cing Toojin tertegun, "Apa mungkin sian Tong sudah berlaku kurang hormat kepada kalian dan sudah berbuat salah kepada kalian berdua?"
"Oooh totiang yang malam itu kirim santapan buat kita bersama sian Tong??" tanya Ti Then tersenyum.
"Benar, selama ini dia sangat sopan menghadapi orang lain, tidak disangka kali ini sudah melakukan kesalahan terhadap kalian berdua, waah. dia memang seharusnya dihukum" Ti Then segera tersenyum.
"sian Tong totiang bukannya melakukan kesalahan kepada kami berdua karena sikap serta tindak tanduknya"
" Kalau tidak" teriak It Cing Toojin melengak. "Bagaimana dia sudah berbuat salah kepada kalian berdua"
Ketika Ti Then melihat dalam ruangan itu masih ada orang sedang menyambangi kuil dia tidak mau secara terus terang membeberkan kejadian yang sesungguhnya di depan orang lain sehingga membuat nama baik dari kuil sam Cing Koa bernoda, karenanya itu ujarnya kemudian.
"Dapatkah Tootiang mempersilahkah sian Tootiang untuk ikut kami berbicara di dalam kamar belakang??"
"Baiklah" sahut It Cing Toojin kemudian sambil mengangguk "Buntelan dari sicu berdua masih ada di dalam kamar belakang, silahkan kalian berdua menanti sebentar di dalam kamar belakang, biarlah pinto mencari sian Tong"
Ti Then mengangguk menyetujui, dengan diikuti oleh Wi Lian In mereka berdua berjalan melalui pintu samping ruangan tengah itu menuju kekamar di mana kemarin malam mereka menginap.
Ternyata kedua buah buntalan itu masih tetap terletak di atas pambaringan dengan baiknya, agaknya mereka memang betul-betul tak pernah menggeserkan buntalan itu. Wi Lian In segera membuka buntalannya untuk memeriksa sebentar isinya, setelah itu barulah ujarnya sambil tertawa:
"Kelihatannya mereka betul- betul jujur, buntalanku sama sekali tidak dikutik-kutik oleh mereka"
"Tapi buntalanku pasti sudah diperiksa oleh mereka"
Perkataan ini baru saja di ucapkan terlihatlah It Cing Tojin serta Sian Tong Toojin sudah berjalan masuk ke dalam kamar.
Agaknya It Cing Toojin sudah mendengar apa yang diucapkan oleh Ti Then tadi, sambungnya kemudian.
"Benar, pinto memang pernah membuka buntalan dari sicu untuk diperiksa isinya karena lenyapnya kalian berdua secara tiba-tiba membuat pinto merasa tidak tenang untuk mencari tahu asal usul kalian berdua mau tak mau terpaksa kami mesti membuka buntalan kalian untuk diperiksa, harap sicu berdua tak sampai marah karena hal ini"
"Tidak mengapa, tidak mengapa. . memang seharusnya begitu."
It Cing Tojin lantas menuding ke arah Sian Tong Toojin yang berada di sampingnya, ujarnya:
"Dialah sian Tong yang pada malam itu melayani sicu berdua, dia sudah berbuat salah apa sicu sekalian boleh secara langsung menegur padanya agar pinto pun bisa menyatuhi hukuman kepadanya"
Sepasang mata Ti Then dengan amat tajamnya memandang seluruh tubuh dari Sian Tong Toojin, lama sekali baru terdengar dia tertawa dingin.
"To Tiang sudah mendapatkan perintah dari siapa untuk memasukkan obat pemabok ke dalam air teh kami?"
"Sicu, kau sedang berbicara apa??" tanya sian Tong Toojin termangu- mangu.
" Kenapa Tootiang harus berpura-pura bodoh?" Air muka Sian Too Toojin semakin berubah hebat, dia segera menoleh ke arah It Cing Toojin yang berdiri di sampingnya.
"Susiok" ujarnya dengan perasaan bingung "sicu ini sedang berbicara apa?"
Agaknya It Cing Tojin sudah dibuat terperanyat oleh perkataan tersebut, keringat dingin mengucur keluar dengan derasnya, wajahnya pun berubah pucat pasi serunya lagi sambil memandang kearah diri Ti Then-
"Jadi maksud sicu air teh yang pada malam itu dikirim sian Tong kekamar kalian sudah ditaruhi obat pemabok di dalam?"
"Sedikit pun tak salah." sahut Ti Then dengan amat dingin "setelah kami minum air teh itu tak lama kemudian jatuh tak sadarkan diri, sewaktu sadar kembali ternyata kami sudah dikurung di sebuah ruangan di bawah tanah"
"Hal ini sungguh-sungguh sudah terjadi?" Teriak It Cing Toojin dengan perasaan terkejut.
"Sampai pagi hari inilah kami baru berhasil melarikan diri dari dalam ruangan bawah tanah itu, Tootiang, kau bisa melihat sendiri bukan dari dandanan serta pakaian kami yang kotor dan koyak ini."
"Tetapi siauwte tak pernah melakukan pekerjaan semacam ini." Seru Sian Tong Toojin keras-keras. Ti Then tertawa dingin:
"salah satu dari ketiga orang berkerudung hitam yang menculik dan mengurung kami itu sudah mengaku kepada kami."
"Dia bilang siauw te yang menaruh obat pemabuk itu ke dalam air teh kalian?" Teriak sian Tong Toojin dengan amat gusar.
"Tidak salah"
"Omong kosong." teriak Sian Tong Toojin sambil mencak-mencak saking gemasnya.
"Dia sedang memfitnah aku, sekarang dia ada dimana?? Ayoh kita cari dia untuk diajak beradu muka dengan aku." "Dia sudah aku lukai bagian lehernya kini masih berada di tempat itu."
"Kalau begitu" ujar sian Tong Toojin dengan amat gusarnya "Mari kita bersama-sama pergi cari dia, di hadapan kita semua boleh kalian tanyakan, siauw te mau lihat dia masih berani mengoceh tak karuan tidak"
"Sebetulnya siapakah mereka itu? Kenapa mau menculik kalian berdua?. " tanya It Cing Toojin kemudian-
Ti Then berdiam diri tak menyawab, dia tahu sian Tong Toojin memang benar-benar tidak tersangkut di dalam urusan ini karenanya dia pura-pura tak mendengar.
"Demikian pun baik juga." ujarnya kemudian, "cayhe akan pergi ke sana untuk membawa dia orang datang kemari, aku mau lihat dia yang sedang memfitnah diri Too tiang atau Too tiang yang sedang berbohong bagaimana?"
"Bagus sekali, hal ini memang jauh lehih bagus, kebersihan hati siauw te bagaimana bisa dirusak orang dengan seenaknya, sicu cepat engkau tangkap dia dan bawa ke sini agar semua orang bisa menjadi jelas. Hmm... h mm... kurang ajar... kurang ajar "
Ti Then segera menyinying buntalannya dan diikat pada punggungnya, setelah itu baru tanyanya.
"Kuda tunggangan kami berdua masih di sini bukan?"
"Benar, biar siauw te pergi menuntunnya kemari." selesai berkata dengan tergesa-gesa dia berjalan pergi.
Ti Then segera merangkap tangannya memberi hormat kepada diri It Cing ujarnya.
" Kemungkinan sekali orang berkerudung hitam itu memang dia membohong untuk memfitnah diri sian Tong Tootiang. pokoknya bagaimana keadaan yang sebetulnya biarlah cayhe sesudah membawa dia datang ke sini baru kita periksa lagi dengan lebih teliti" "Baiklah, pinto berani pastikan kalau sian Tong tidak mungkin merupakan seorang yang begitu jahatnya, sicu silahkan pergi tawan orang itu untuk dibawa ke sini"
Mereka bertiga segera berjalan keluar dari kamar, terlihatlah sian Tong tojin sudah menuntun kedua ekor kuda itu menanti di depan pintu.
Ti Then serta Wi Lian In segera menerima kudanya masing- masing dan meloncat naik ke atas, sesudah memberi hormat kembali kepada It Cing Tojin mereka segera melarikan kudanya meninggalkan kuil sam Cing Koan.
Mereka berdua sesudah melarikan kudanya beberapa waktu lamanya baru terlihatlah Ti Then tertawa pahit.
"Coba kau lihat, betul tidak omonganku ?? mereka tentu tidak tahu urusan ini".
"Kenapa tadi kau bilang mau membawa orang berkerudung hitam itu untuk dihadapkan dengan dia orang?, bukankah orang berkerudung hitam itu sudah kau cekik mati sejak tadi-tadi?"
"Jikalau tidak berbohong mana mungkin mereka akan melepaskan kita pergi dengan begitu saja"
"Kini seharusnya kita pergi cari Cuo It sian" "Tidak. tidak ada gunanya cari dia"
Wi Lian In menjadi melengak.
"Tidak pergi cari Cuo It sian lalu seharusnya pergi cari siapa?." "Cari ayahmu.."
Sekali lagi Wi Lian in dibuat melengak oleh jawaban dari Ti Then ini. "Ooooh. . benar ??"
"Sekali pun yang menjadi dalang penculikan kita adalah Cuo It sian tetapi sekarang kita sama sekali tidak punya bukti apa pun, kita bisa mengapa-apakan dirinya, tidak perduli siapa orang yang menjadi dalang di dalam penculikan ini, tujuan mereka adalah hendak menggunakan kita orang sebagai tunggangan untuk memaksa ayahmu menyerahkan barang itu, makanya kita harus mencari ayahmu untuk diajak berunding, asalkan kita berhasil bertemu dengan ayahmu kemudian menanyakan lebih jelas lagi, tidaklah sukar bagi kita untuk mengetahui siapa dalang yang sebenarnya."
"Ehmmm, memang beralasan juga" jawab Wi Lian In kemudian sambil mengangguk "Tetapi entah sekarang Tia sudah tiba diistana Thian Teh Kong belum?"
"Kita berangkat sekarang juga, kemungkinan sekali bisa bertemu dengan beliau"
"Aku punya satu pendapat, bagaimana kalau kits kembali kedesa Thay peng sun untuk melihat-lihat keadaan di sana?"
"Tidak salah" seru Ti Then, segera di teringat akan sesuatu hal kembali, "Mari kita berangkat sekarang juga, kemungkinan sekali di sana kita bisa bertemu dengan pihak lawan"
"Selain itu masih bisa mencari kembali pedang kita, kita mau pergi keistana Thian Teh Kong seharusnya mem punyai pedang yang menggembel dibadan kita."
"Baiklah, ayoh kita cepat berangkat"
Mereka berdua segera melarikan kuda dengan cepat, tidak selang lama kemudian sudah berada kembali di dalam dusun Thay Peng Cung.
Pada jarak kurang lebih ratusan langkah dari depan dusun tersebut mereka meloncat turun dari kuda dengan sangat cepat, memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu.
Terlihatlah keadaan didusun tersebut sebagian besar sudah terbakar musnah, kini hanya tinggal tembok-tembok serta tiang tidak ikut terbakar berdiri serabutan, diatap asap dengan tebalnya tetapi keadaan disekitar tempat itu tidak tampak bayangan manusia pun- Agaknya Wi Lian In merasa keadaan diluaar dugaannya, serunya: "Bagaimana di sini tidak tampak sesosok bayangan manusia pun???"
"Mari kita lihat-lihat ke sana"
Dengan jalan menyelinap mereka berdua dengan bersembunyi- sembunyi jalan mendekati perkam pungan tersebut, sesudah memeriksa disekeliling dusun itu, terasalah oleh mereka kalau disekeliling tempat itu memang betul-betul tidak tampak bayangan musuh, karenanya dengan tenang-tenang baru berani munculkan diri untuk berjalan maju ke depan.
orang berkerudung hitam dibunuh mati Ti Then tadi, kini mayatnya sudah terbakar, panasnya hawa di sana saat ini seluruh kulit badan sudah terkupas bahkan seluruh tubuhnya sudah digenangi dengan air bercampur darah yang amis sekali baunya, keadaan begitu seram dan memaksa orang mau muntah.
"Mayat ini belum pernah dipindah dari tempat semula, kelihatannya mereka belum datang ke sini" ujar Ti Then kemudian-
"Tetapi aneh, seharusnya penduduk disekitar dusun ini tahu kalau ditempat ini terjadi kebakaran tetapi kenapa tidak ada orang yang datang??"
"Api mulai membakar ditengah malam buta, kemungkinan sekali mereka memang tidak melihatnya"
"Lalu satu keluarga dari petani yang mendiami tempat ini sudah pergi kemana?" potong Wi Lian In tiba-tiba.
Ti Then termenung berpikir sebentar kemudian baru jawabnya: "Ada dua kemungkinan, yang pertama sudah dibunuh oleh
mereka, yang kedua sudah pindah dari tempat sini. jikalau sudah pindah lalu.."
"Lalu yang perintah mereka sudah tentu si pembesar kota Cuo It sian" potong Wi Lian In- "Benar" jawab Ti Then mengangguk. "Cuo It Sian merupakan pemilik tanah dari perkam pungan ini, hanya dia seorang saja yang bisa memerintahkan penduduk sini untuk pindah."
"Waaaah. .waaah... celaka, pedang kita sudah tentu rusak karena terbakar"
"Pedang itu tidak mungkin bisa terbakar rusak. ayoh kita lihat- lihat di dalam sana, mungkin pedangnya masih ada."
Demikianlah mereka berdua segera masuk ke dalam rumah itu untuk mencari kembali pedang mereka, sesampainya diruangan yang sudah terbakar hangus di sana di temuinya oleh mereka lima sosok mayat yang sudah terbakar hangus.
"Ooh Thian " teriak Wi Lian In dengan perasaan terperanyat, " Kelima sosok mayat ini apakah mayat dari pemilik rumah ini?"
"Pasti benar" jawab Ti Then dengan wajah serius. "Coba kau lihat diantara kelima sosok mayat adalah mayat bocah . ."
Tak tertahan lagi Wi Lian In menarik napas dingin, dengan gemas teriaknya. "Hmm . . . sungguh kejam hati bajingan-bajingan itu" Ti Then pun mengerutkan alisnya rapat-rapat.
"Yang aneh, sewaktu kemarin malam kita melarikan diri dari ruangan bawah tanah kenapa tidak menemukan mereka-mereka ini?"
" Kemarin malam kita sama sekali tidak masuk ke dalam ruangan tamu ini."
"Tetapi sewaktu terjadi kebakaran seharusnya orang-orang ini berteriak minta tolong . . . ." bantah Ti Then lagi, tapi sebentar kemudian dia sudah menjerit tertahan "HHmm, mereka berlima tentu telah di totok jalan darah bisunya sehingga tak sanggup untuk berteriak minta tolong, Heeey. . sungguh mengerikan"
Wi Lian In tidak berani terlalu banyak melihat lagi, serunya kemudian-
"Mari kita keluar saja." Ti Then melakukan pencarian kembali di antara reruntuhan tembok, tetapi tetap tidak menemukan kembali kedua belah pedang mereka, akhirnya dia mengundurkan diri juga dari ruangan tamu itu untuk mencari diantara reruntuhan ditempat lainnya.
Mereka berdua dengan susah payah mencari setengah harian lamanya tetapi tetap tidak memperoleh hasil, terpaksa dengan hati kesal Ti Then berdua berhenti mencari.
Ti Then mengambil keluar bubuk obat dan membubuhinya pada luka Wi Lian In kemudian membubuhi juga pada kakinya sendiri, setelah itu baru ujarnya:
"Aku lihat di dalam waktu yang sangat singkat tidak mungkin kita memperoleh hasil, kita tak usah menunggu lagi, sekarang juga kita berangkat ke istana Thian Teh Kong."
"Baiklah, aku mau berganti pakaian dulu tolong kau jagakan jikalau ada orang datang cepat-cepat beritahu padaku"
"Jadi maksudmu sewaktu kau berganti pakaian aku tidak usah menutup mataku?" goda Ti Then sambil tertawa.
"cis . . . jangan omong sembarangan aku mau berganti pakaian di belakang runtuhan tembok itu,tapi kau jangan ngintip lho, kalau tidak. . . awas aku pukul kau."
"Kita sekarang sudah jadi suami istri, buat apa kau begitu rikuh- rikuh terhadap aku orang??"
"Bukan suami istri, tapi calon suami istri" bantah Wi Lian In dengan serius, " Kemarin malam aku sudah berbicara sangat jelas, jikalau kita mati maka boleh dianggap kita sudah menjadi suami istri, tetapi kalau tidak mati kita harus undurkan sebutan kita sebagai calon suami istri."
"Omongan apa itu??" seru Ti Then sambil menghela napas panjang-panjang "Aku sungguh menyesal kenapa kemarin malam tidak terbakar mati saja?" Wi Lian In segera tertawa cekikikan, dia melepaskan buntalannya dan berjalan ke balik reruntuhan tembok untuk berganti pakaian-
"Cepat sedikit, aku juga mau berganti"
Wi Lian In yang di balik runtuhan tembok segera menyawab. "Kenapa kau tidak berganti pakaian di sana saja??"
"Waaah tidak bisa .. .tidak bisa, jika ada orang datang aku harus lari kemana??"
"Kau seorang lelaki takut apa lagi?" seru Wi Lian In sambil tertawa geli.
" orang lelaki tidak takut orang lelaki tapi takut dengan orang perempuan, jikalau secara tiba-tiba datang seorang nona dan waktu itu aku sedang telanyang .. waah kemana aku harus lari??"
"Hmmm, kamu orang sedang mimpi yaa?" teriak Wi Lian In sambil tertawa terus.
Ditengah percakapan itulah dia sudah selesai berganti pakaian dan berjalan keluar dari balik runtuhan tembok. Ti Then segera melepaskan buntalannya sendiri.
"Sekarang giliranku, kau jangan mengintip aku ganti pakaian lho" serunya sambil tertawa
Air muka Wi Lian in seketika itu juga berubah menjadi merah padam. "Cis. . siapa yang mau mengintipkan ganti pakaian??"
Sambil tertawa Ti Then berjalan ke balik runtuhan tembok kemudian melepaskan semua pakaiannya yang sudah kotor, siapa tahu baru saja dia memakai celananya mendadak terdengar Wi Lian in yang ada diluar sudah berteriak: "Aduh celaka ada orang datang"
Seketika itu juga Ti Then menjadi kelab akan, tanpa memakai pakaian atasnya lagi dengan badan setengah telanyang dia berlari keluar: "Dimana. . dimana??" tanyanya gugup,
seketika itu juga Wi Lian In tertawa cekikikan sehingga badannya terbungkuk- bungkuk . -ooo00000ooo-
Dua hari kemudian mereka sudah tiba dekat dengan gunung Kim Hud san- dimana terletaknya istana Thian Teh Kong, dari jauh hanya terlihatiah pegunungan yang saling bersambungan menembus awan.
Jika dilihat dari kejauhan puncak Kim Hud san semuanya ada empat buah, lingkar melingkar sambung menyambung laksana naga yang sedang tertidur keadaannya amat megah sekali.
Tak terasa lagi Wi Lian In sudah memuji.
" Gunung Kim Hud San inijauh lebih bagus dari pada gunung Kiam Teng san."
"Aku dengar di atas gunung ada tempat-tempat pesiar yang bagus-bagus dan indah sekali seperti kuil Lian Hia si, si Ci Gi, gua sak Gouw Tong, gua Ku Hud Tong dan lain-lainnya. Katanya dahulu sering banyak pelancong yang berpesiar ke sana. ."
"Lalu sejak si anying langit rase bumi mendirikan istana Thian Teh Kong di sana kaum pelancong jarang yang berani ke sana?"
"Benar." sahut Ti Then mengangguk. "Bukan saja kaum pelancong tidak berani berpesiar ke sana, sampai pada hwesio yang berdiam di dalam kuil di atas gunung pun pada meninggalkan gunung, mereka tidak berdiam menjadi satu dengan kaum perampok."
"Hmmm si anying langit rase bumi sungguh buas sekali."
Maki Wi Lian In dengan gusar. "Mereka tidak pergi ke tempat lain justru datang ke sini merusak pemandangan indah.".
"Bukan begitu saja" tambah Ti Then lagi. "Aku dengar semua kuil yang ada digunung sekarang ini sudah dijadikan sarang perampok oleh mereka."
"Lalu istana Thian Teh Kong didirikan di sebelah mana?" "Mungkin tidak jauh dari si ci Go tetapi tempat yang sejelasnya aku sendiri juga tidak tahu"
"Jarak waktu dengan saat perjanyian masih ada dua hari lamanya, kini kita mau langsung naik ataukah menanti Tia di bawah gunung saja?"
"Siang hari menunggu di bawah gunung"
"Kalau malam naik ke gunung melakukan penyelidikan?" sambung Wi Lian In sambil tersenyum.
"Benar." jawab Ti Then sambil mengangguk
"Si rase bumi Bun Jin Cu kini sudah kehilangan suaminya, dengan kepandaian serta kekuatan anak buahnya dia tidak mungkin berani menantang ayahmu secara terang-terangan, kemungkinan sekali mereka sudah pergi mengundang jago-jago Bu lim lainnya untuk mereka di dalam pertempuran kali ini atau mungkin juga dia sudah mengatur jebakan buat kita agar kita terpancing, karenanya kita harus naik ke atas gunung untuk mengadakan penyelidikan terlebih dahulu."
Wi Lian in segera angkat kepalanya memandang keadaan cuacanya lalu baru ujarnya.
"Sekarang masih ada waktu satu jam baru malam hari menjelang datang, lebih baik kita cari suatu tempat yang baik untuk istirahat."
Ti Then segera pentangkan matanya memandang keadaan sekeliling tempat itu, terlihatlah di sebelah kiri diantara rentetan pegunungan yang melingkar terdapat sebuah hutan yang sangat lebat sekali, serunya kemudian sambil menuding kearah sana. "Mari kita ke sana saja."
sewaktu naik gunung mereka berdua sudah menitipkan kuda tunggangan mereka pada rumah kaum tani disekitar tempat itu, karenanya gerak geriknya mereka sekarang jadi lebih lebih leluasa, hanya di dalam beberapa kali loncatan saja mereka berdua sudah berada di dalam hutan yang lebat itu. "Kita bersembunyi di dalam hutan yang begini lebat, jikalau Tia datang apa dia orang tua bisa melihat kita?" Ujar Wi Lian In kemudian sesampainya di dalam hutan itu.
"Bisa, tempat ini merupakan jalan gunung untuk menuju ke atas gunung."
"Buat sementara orang lain tentu akan menggunakan jalan ini tetapi buat ayahku belum tentu"
Ti Then segera tersenyum.
"Tidak ayahmu pasti bisa menggunakan jalan ini untuk naik gunung."
"Alasanmu."
"Karena ayahmu merupakan seorang yang suka terus terang, jikalau dia naik gunung untuk memenuhi janyi pastilah dia akan secara terang-terangan naik gunung, tidak mungkin dia orang tua mau naik gunung secara sembunyi-sembunyi."
Ketika Wi Lian In mendengar dia orang sedang memuji ayahnya dalam hati lantas merasa sangat gembira sekali, tanpa terasa lagi dia sudah melemparkan satu senyuman manis kepadanya.
"Perkataanmu sedikit pun tidak salah. Tia memang seorang lelaki yang demikian-" Ti Then tersenyum, tambahnya kemudian-
"Tetapi kemungkinan sekali kita tidak bisa bertemu dengan ayahmu jika terus menanti di sini"
"Perkataanmu kenapa begitu plin plan?" seru Wi Lian In melengak.
"Kemungkinan sekali si otak dari penculikan diri kita itu sama sekali tidak tahu kalau kita sudah melarikan diri
Wi Lian In segera merasa perkataannya sedikit pun tidak salah, tak terasa lagi dia mengangguk.
"Ehmm jika memang betul-betul begitu, bilamana Tia sudah mendengar kalau kita tertawan kemungkinan sekali sudah membatalkan datang ke sini untuk memenuhi undangan dari pihak istana Thian Teh Kong"
sinar matanya yang amat indah itu berkedip-kedip sebentar kemudian dengan merasa kuatir tambahnya: "Lalu bagaimana kita sekarang??"
"Biar aku seorang diri naik ke atas gunung untuk memenuhi undangan"
"Lalu aku??"
"Pergi cari ayahmu."
" Kau suruh aku pergi kemana mencarinya?"
"Sebelum si otak penculikan itu mau menggerakkan ayahmu, dia tentu membiarkan ayahmu melihat diri kita terlebih dulu. Karenanya kau harus menuju ke dusun Thay Peng cun sana."
"Tetapi" bantah Wi Lian In lagi "Dengan seorang diri kau naik ke atas gunung untuk memenuhi undangan, apakah kamu orang sudah merasa punya pegangan untuk mengalahkan si rase bumi Bun jin Cu beserta anak buahnya??"
"Jika mereka menyerang satu persatu aku merasa masih punya kekuatan untuk menghalau mereka, bilamana mereka bergerak secara bersama-sama tidak kuat jauh lari dengan kedua belah kakiku ini."
"Tidak" sekali lagi bantah Wi Lian In.
"Malam ini kita masih menyelidiki dulu keadaan istana Thian Teh Kong kemudian baru balik ke sini menunggu Tia, bilamana lusa masih belum datang untuk memenuhi janyi hal itu berarti Tia sudah ikut si penculik itu pergi ke perkam pungan Thay Peng cun itu, kita harus berusaha bertemu dengan sirase bumi Bun jin Cu untuk mengundurkan perjanyian ini, setelah itu bersama-sama pergi mencari Tia."
"Demikian pun baik juga, tetapi malam ini biar aku seorang diri saja yang pergi mengintip. kau lebih baik tunggu saja di sini." " Kenapa ??" seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
"Jika seorang diri saja yang mengintip maka keadaan kita sukar diketatui oleh mereka, jikalau kita harus pergi bersama-sama, bilamana sampai ketemu waahh sulit buat kita untuk menolong dari jebakan si rase bumi Bun Jin Cu."
"Tidak aku juga mau ikut"
"Baik" seru Ti Then setengah mengancam "Bilamana kau tidak mau mendengar omonganku, sesudah kembali kebenteng Pek Kiam Po aku segera minta berhenti dari ayahmu"
Mendengar ancaman itu Wi Lian In jadi gugup,
"Baik . .... baik" serunya cepat. "Aku mendengar omonganmu, aku mendengar omonganmu"
Ti Then segera tersenyum.
" Calon istriku yang paling cantik, sekarang silahkan mengambil keluar rangsum kita, bagaimana kalau kita makan bersama-sama
.??"
Mereka berdua lalu mendahar rangsum tersebut setelah itu saling berpelukan dan bermesraan, lama sekali di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba terdengar Wi Lian In menghela napas panjang. "Haay . . . malam begitu cepat datang."
"Heehh . . . kenapa ???" saru Ti Then melengak.
Wi Lian In segera tersenyum malu, kepalanya ditundukkan rendah-rendah.
"Kau mau berangkat kapan?? "
"Sebentar lagi, dari sini untuk mencapai istana Thian Teh Kong masih ada setengah hari perjalanan-"
Perlahan-lahan Wi Lian In menyatuhkan dirinya kembali ke dalam pelukannya, ujarnya sambil memejamkan sepasang matanya. " Lebih baik kau berangkat pada kentongan pertama saja, si rase bumi Bun Jin Cu tentu sudah mengatur banyak penjagaan di sekeliling istananya, kalau pergi terlalu pagi malah lebih mudah di ketahui oleh mereka"
Perlahan-lahan pada wajahnya terpancarkan suatu sinar kebahagian, sinar tersebut tentu bisa ditemui di wajah setiap nona yang sedang terjerumus di dalam lembah percintaan, karena hal inilah Ti Then segera tahu kenapa dia minta dirinya berangkat sesudah kentongan pertama, dia bukan merasa kuatir atas keselamatan dirinya kalau sampai diketahui oleh anak buahnya si rase bumi Bun Jin cu melainkan dia mengharapkan bisa bergumul dan bermesra-mesraan lebih lama lagi dengin dirinya.
Setiap kali dia menghadapi "Rasa cinta yang demikian tebalnya" ini Ti Then selalu merasa seperti meneguk secawan arak yang manis bercampur rasa pahit, dalam hati dia merasa girang juga merasa murung, karena dalam pikirannya segera terbayang kembali olehnya kalau dia hanya menerima perintah dari seseorang. . dia cuma sebuah patungnya saja.
Tanpa terasa lagi tangannya mulai mengusap wajahnya yang halus itu, sembari merasakan kenikmatan dari perasaan cintanya yang berkobar-kobar ini dalam hatinya merasa perih juga seperti diiris-iris oleh beribu-ribu golok.
Tetapi Wi Lian In sama sekali tidak mengetahui akan hal ini, pada wajahnya terbayang suatu senyuman yang sangat gembira, ujarnya sambil tertawa ringan-"Aku punya usul. ."
"Usul apa?" tanya Ti Then melengak.
"Selesai kita membereskan urusan di sini kita langsung pulang ke dalam Benteng saja, sewaktu kau bertemu dengan si locia itu pelayan tua kau bisa secara diam-diam kasi tanda kepadanya. ." Untuk beberapa waktu lamanya Ti Then dibuat bingung oleh perkataannya yang tidak ada ujung pangkalnya ini. "Beri tanda apa kepada si Lo-cia. . ???"
"Hmm, kau pura-pura bodoh." seru Wi Lian In dengan manyanya, sedang tangannya dengan perlahan mencubit kakinya Ti Then-
"Oooh. ." Ti Then segera paham apa yang sedang dimaksudkan-. "Kau minta aku suruh si Locia mewakili aku pergi meminang dirimu??"
"Si Locia sangat suka kalau kita orang bisa bersatu, dia tentu mau membantu kamu orang."
"Tapi aku tidak bisa omongnya."
"Tidak usah terus terang, secara diam-diam saja kau beri tanda kepadanya"
"Bagaimana caranya?" tanya Ti Then lagi,
"Sewaktu lain kali dia mengungkat kembali hubungan diantara kita berdua, kau bolehlah berkata kepadanya sambil tertawa. "Locia, kau cuma bicara di mukaku terus apa gunanya?, sesudah dia mendengar perkataanmu ini dia toh punya pikiran untuk menjadi mak comblangnya, walau pun dia cuma seorang pelayan saja, tetapi dia sudah turut dengan ayahmu selama puluhan tahun lamanya, perkataannya Tia tidak akan menganggapnya sebagai angin lalu"
"Bilamana ayahmu tidak setuju?" tanya Ti Then sambil tertawa. "Tidak mungkin, bilamana Tia menolak dia orang tua tidak
mungkin bisa membiarkan kita berdua melakukan perjalanan
bersama-sama pada kali ini."
"Bilamana ayahmu bermaksud untuk menjodohkan kau kepadaku, kenapa tidak tunggu saja sampai dia bilang sendiri?"
Wi Lian in tidak bisa berbuat apa-apa lagi, tak terasa lagi sambil tertawa malu dia mencubit kembali kaki Ti Then berulang kali. "Baiklah" serunya dengan gemas. "Sudah. . sudahlah, aku sama sekali tidak memaksa."
"Lian In" seru Ti Then kemudian sambil menghela napas panjang. "Sekali lagi aku mau berbicara aku betul-betul suka padamu tetapi kemungkinan sekali pada satu hari kau bisa mengetahui kalau aku bukanlah seorang yang baik."
Wi Lian In pun ikut menghela napas panjang:
"Andaikata seperti apa yang kau katakan, di kemudian hari kau berbuat tidak baik kepadaku, waktu itu aku mau menerimanya dengan rela hati, bajingan itu selamanya tidak pernah mengatakan begitu, dia selalu bilang kalau dia jadi orang sangat jujur, sangat pendiam sangat berbudi dan bagaimana cintanya kepadaku. ."
Setelah mendengar perkataan ini Ti Then semakin merasa menyesal, dalam hati segera dia mengambil satu keputusan pikirnya.
"Dia begitu cinta dan menaruh hatinya kepadaku, bagaimana aku tega mempermainkan dirinya?? Heey. sudah. .sudahlah, lain kali jikalau majikan patung emas perintahkan aku untuk melakukan pekerjaan yang merugikan mereka ayah beranak. sekali pun harus binasa aku juga tidak melakukannya."
Sesudah mengambil keputusan ini, hatinya pun terasa begitu leganya, mendadak dia ulurkan tangannya mengangkat kepalanya ke atas kemudian kirim sebuah ciuman mesra ke atas bibirnya.
Wi Lian In sama sekali tidak menduga dia bisa berbuat demikian, seketika itu juga dia dibuat kelabakan, tetapi hal ini pun merupakan suatu kejadian yang sangat diinginkan sejak dahulu karenanya dia hanya memberi sedikit perlawanan kemudian berdiam diri membiarkan Ti Then melakukan penyerbuannya.
Suasana yang manis dan mendebarkan hati itu hanya di dalam sekejap saja sudah berlalu, kentongan pertama kini menjelang di depan mata, terpaksa dengan hati berat Ti Then mendorong badannya ke samping lalu bangkit berdiri "Sekarang aku harus berangkat" ujarnya perlahan.
"Ti Toako, biarkan aku mengikuti dirimu?" Mohon Wi Lian In segera.
"Tidak. kau harus menanti di sini."
"Woow. . kamu orang. ." seru Wi Lian In sambil mencibirkan bibirnya.
"Aku tidak ingin kau pun menempuh bahaya, aku juga tidak mau membiarkan si rase Bumi Bun Jin Cu menawan dirimu karenanya terpaksa aku harus berbuat demikian-"
"Kalau begitu kapan kau baru kembali??"
"Sebelum terang tanah, bilamana sesudah terang tanah aku belum kembali juga, hal ini berarti juga aku sudah menemui sesuatu kejadian diluar dugaan, waktu itu kau harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini pergi cari ayahmu, paham tidak??"
"Tidak, jikalau kau tidak kembali aku pasti mau raik ke atas gunung mencari kau."
"Hmm" sahut Ti Then sambil tertawa "Jikalau benar-benar begitu tentu si rase bumi segera membagi hartanya kepada anak buah mereka."
"Soal ini aku tidak mau ikut campur" Desak Wi Lian In tetap ngotot, "Besoknya aku mesti bersama-sama kau orang"
"Baik. . baiklah" sambung Ti Then dengan cepat "Urusan tidak akan berobah menjadi demikian beratnya, kau tidak usah berbicara lagi, aku mau pergi"
Baru saja dia selesai berbicara tubuhnya sudah berkelebat sejauh puluhan kaki kemudian dengan cepatnya berlari dan lenyap di balik pepohonan yang amat lebat disekitar tempat itu.
Bagaikan melayangnya seekor burung elang dengan amat cepatnya dia berkelebat menuju ke atas puncak gunung Kim Hud san, di dalam sekejap mata saja sudah berada di atas sebuah puncak bukit, sambil berdiri diam diam memandang kealam di sekelilingnya.
Terlihatlah kurang lebih satu li di punggung gunung secara samar-samar terlihatlah memancarnya beberapa titik lampu yang sangat terang, dia tahu tempat itu pasti bukanlah istana Thian Teh Kong melainkan sebuah kuil yang sudah direbut oleh orang-orang istana Thian Teh Kong. Tubuhnya dengan berkelebat menuju ke arah dimana berasalnya sinar yang terang itu.
Tetapi sesudah berlari selama beberapa waktu lamanya mendadak dia merasakan kalau keadaan sedikit tidak beres.
Karena kini dia sudah berada kurang lebih empat lima li jauhnya memasuki gunung tetapi selama perjalanan ini dia sama sekali tidak bertemu dengan seorang penjaga pun.
Gerak geriknya sangat gesit dia cepat sekali, tetapi selama ini dia tidak lupa untuk memeriksa setiap tempat yang kemungkinan sekali ditempati sebagai pos penjagaan, tetapi setiap tempat pegunungan yang dilalui selama ini bukan saja keadaannya amat terang bahkan tidak tampak seorang penyahat pun yang berjaga ditempat-tempat yang strategis. Keadaan seperti tidak perduli untuk orang yang berjalan malam macam apa pun tentu merasakan suatu keadaan yang tidak beres. Atau dengan perkataan lain tidak ada penjagaan di atas gunung bukannya berarti si rase Bun Jin Cu sudah mengendorkan penjagaan terhadap serangan orang lain, melainkan dia sudah perintahkan orang agar termakan ke dalam jebakan yang membingungkan ini, dia sengaja tidak memberi penjagaan pada pos-posnya, hal ini bermaksud agar musuhnya terjerumus ke dalam jebakannya yang sudah disiapkan terlebih dahulu.
Karenanya gerak gerik Ti Then semakin berhati-hati, dia tidak berani bergerak maju secara serampangan, tubuhnya dibungkukkan rendah-rendah, kemudian dengan menggunakan pohon-pohon serta dedaunan yang tumbuh di sana sebagai penghalang pandangan, bergerak dengan sangat hati-hati sekali, dia sama sekali tidak membiarkan sinar rembulan menyinari tubuhnya sehingga meninggalkan bayangan di belakangnya, apalagi sesuatu yang membuat orang lain merasa curiga.
Sebentar dia berlari cepat, sebentar kemudian dia berhenti dan berjongkok, gerak geriknya amat berhati-hati, sesudah membuang waktu yang sangat banyak akhirnya dia berhasil juga mendekati tempat dimana berasalnya sinar lampu tadi.
Dengan terburu-buru dia menerobos ke dalam sebuah semak kemudian menongolkan kepalanya keluar, terlihatlah olehnya sebuah pemandangan yang lain daripada yang lain, bahkan hal itu membuat dia berdiri tertegun. Apakah sinar lampu itu mendadak lenyap?
Bukan, sinar lampu masih ada, cuma yang ia lihat sekarang bukanlah sinar lampu melainkan sinar dari api yang sedang berkobar.
Di atas punggung gunung itu tidak tampak adanya kuil lagi, melainkan setumpukan puing-puing berserakan memenuhi permukaan tanah.
Setumpukan puing-puing itu diantaranya masih mengepulkan api yang lumayan besar.
Tempat itu memang betul-betul merupakan sebuah kuil, cuma sekarang kuil itu sudah terbakar hingga tinggal puing-puingnya. Iih.
. sudah terjadi peristiwa apa?
Apa mungkin Wi Ci To sudah tiba?
Tidak mungkin, dia adalah seorang yang tahu aturan dan bukanlah manusia semacam dia sebelum waktunya yang sudah dijanyikan pasti tidak akan mempercepat waktunya datang ke atas gunung untuk melancarkan serangan bokongan.
Peristiwa ini tentu dilakukan oleh musuh-musuh dari si anying langit rase bumi yang sudah mendengar akan kematian dari si anying langit Kong Sun Yau dan kini sengaja datang hendak balas dendam dan membumi hangus semua tempat yang ada disekitar istana Thian Teh Kong.
Sambil berpikir keras Ti Then memandang keadaan sekelilingnya dengan lebih teliti lagi, baru saja dia mau majukan jalannya ke depan untuk melihat lebih jelas lagi mendadak dari antara pepohonan di sebelah kiri dari reruntuhan puing-puing kuil itu berjalan mendatang dua orang lelaki berpakaian singsat, keadaan dari mereka berdua amat mengenaskan sekali, pakaian mereka sudah robek-robek tidak karuan bahkan kelihatan beberapa lubang bekas terkena api apalagi badannya terluka bakar sehingga membuat gerak-gerik mereka sangat lamban sekali.
Mereka berdua dengan saling rangkul-merangkul memaksakan diri berjalan ke depan sedang dari mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan suara rintihan yang memilukan hati.
Sesampainya di luar hutan di dekat runtuhan puing-puing kuil itu mereka baru menghentikan langkah kakinya, sambil memandang ke arah puing-puing yang berserakan itu mereka bersama-sama menghela napas panjang.
Terdengar salah satu diantara mereka itu sambil menghela napas panjang makinya dengan perasaan sangat gemas.
“Maknya..tidak kusangka ini hari aku bisa terjatuh sampai keadaan semacam ini.”
Salah seorang lelaki dengan telinga seperti kuping gajah itu segera menyambung:
“Heeeyy….cialat…cialat…begitu Thian Cun modar semuanya juga ikut musnah.”
“Hanya sayang kita sudah mengikuti Thian Cun selama puluhan tahun lamanya kini apa pun tidak mendapat.”
“Itu salahnya kita sendiri, semua orang secara diam-diam membuat rencana untuk merampok semua harta benda yang ada di dalam istana sebaliknya kita malah dengan enak-enak tertidur pulas, untung saja kita cepat-cepat sadar kembali, kalau tidak…waaah…waaah..nyawa pun ikut lenyap.”
“Heey..entah bagaimana keadaan di dalam istana sekarang ini?” “Apanya yang bisa dibicarakan lagi, sudah tentu keadaannya
seperti tempat ini. Semua orang dengan andalkan nyawa sendiri- sendiri pada merampok barang yang ditemui kemudian lemparkan api ke dalamnya..semuanya akan segera beres, makanya..makanya…”
“Bagaimana kalau kita ke istana sebentar untuk lihat?”
“Sudah, sudahlah tidak perlu pergi lagi, kaki kanan aku si orang tua sudah terluka bakar kini terasa begitu sakitnya, buat apa balik ke sana lagi..makanya, lebih baik kita turun gunung saja.”
“Turun gunung sekarang juga?” “Kenapa?”
“Cuaca begini gelapnya, apalagi di badan kita masih terluka, jikalau sampai jatuh bukankah keadaan kita semakin parah?”
“Tidak mungkin, ayoh kita perlahan-lahan jalan..”
Berbicara sampai di sini mereka berdua segera saling bombing membimbing untuk menuruni gunung itu dengan mengikuti jalan kambing yang ada di sana.
Ti Then sesudah melihat bayangan dari kedua orang itu lenyap dari pandangannya dia barulah bangkit berdiri, pikirnya.
“Kiranya di dalam istana Thian The Kong sudah terjadi kekacauan, kaum perampok sudah pada berontak dan kini merampok semua harta kekayaan yang tersimpan di dalam istana Thian Teh Kong.”
Akhirnya seperti ini dia sama sekali tidak pernah membayangkannya, tetapi dia paham akibat ini memang seharusnya terjadi, pada waktu yang lalu pengaruh istana Thian Teh Kong bisa kuat hal ini dikarenakan kepandaian silat dari si Anying langin Kong Sun Yauw sangat liehay, karenanya anak buahnya tidak berani melawan, sebaliknya kini si Anying langit Kong Sun Yauw sudah binasa, si Rase bumi Bun Jin Cu pun sedang merasa sedih sehingga tidak ada kekuatan untuk mengurusi anak buahnya, sudah tentu banyak anak buahnya akan memberontak kemudian merampok dan melarikan diri dari atas gunung.
Akibat yang terjadi seperti ini terhadap kalangan Bu-lim memang merupakan suatu hal yang menyedihkan.
Ti Then menarik hawa segar dalam-dalam kemudian pikirnya lagi
:
“Entah sirase bumi Bun Jin Cu masih ada di atas gunung atau
tidak ? Aku harus naik ke atas untuk Iihat-lihat, jikalau dia masih ada di sana lebih baik aku selesaikan saja urusan ini secara pribadi.”
Begitu pikiran ini berkelebat di dalam benaknya dia segera mulai menggerakkan badannya melayang menuju ke puncak gunung.
Setelah diketahui olehnya kalau di dalam istana Thian Teh Kong sendiri sudah terjadi kekacauan hal ini berarti juga tidak adanya penjagaan di atas gunung bukanlah merupakan salah satu siasat yang sedang diatur oleh sirase bumi Bun Jin Cu, karenanya dia tidak perlu menyembunyikan dirinya lagl selama di dalam perjalanan ini, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada kesempurnaan dia melayang terus menuju puncak gunung.
Setelah melewati gua Sak Gouw Tong serta Si Ci Go dia melanjutkan kembali perjalanannya sejauh puluhan li dan akhirnya sampai juga di istana Thian Teh Kong.
Istana Thian Teh Kong yang sudah menggetarkan seluruh dunia kangouw ini sama sekali tidak sampai dibakar oleh kaum pemberontak, tetapi depan pintu istana terlentanglah berpuIuh puluh mayat yang menggeletak memenuhi permukaan tanah, ada yang kepalanya putus, ada yang perutnya robek sehingga ususnya keluar dan lain-lain, keadaan yang begitu mengerikan, darah yang berbau amis tercecer memenuhi seIuruh permukaan tanah.
Jika dilihat dari keadaan .tersebut agaknya pertempuran sengit baru saja berhenti tidak lama.
Ti Then takut di dalam istana kemungkinan sekaIi masih tersisa kaum penyahat yang masih belum meninggaIkan tempat itu dan tidak berani langsung menerjang masuk ke dalam, setelah diperiksanya dengan amat teliti keadaan sekeliling tempat itu dan betul-betul merasa yakin kalau tidak ada musuh yang masih sisa di dalam istana itu, dia barulah berani meloncat naik ke atas wuwungan dari istana Thian Teh Kong tersebut.
Keadaan di dalam istana itu sama saja seperti keadaan diluar, mayat-mayat menggeletak diseluruh tempat agaknya karena perebutan harta kekayaan memaksa mereka saling bunuh membunuh.
Diantara mayat-mayat itu bahkan ada dua mayat yang gayanya sangat menggelikan sekali, mereka berdua sudah binasa semua,yang satu terkena tembusan pedang panjang sedang yang lain terkena bacokan pada pundak sebelah kirinya tetapi ditangan masing masing bersama sama mencekal sebuah buntalan, agaknya sesudah terluka parah dan rubuh ke atas tanah mereka masih ingin memperebutkan buntalan tersebut.
Ti Then sesudah berdiam diri untuk memperhatikan keadaan disekelilingnya beberapa saat kemudian dengan tanpa mengeluarkan sedikit suara pun dia meloncat turun dari atas wuwungan rumah. lalu berjalan mendekati buntalan itu, terlihatlah di dalam buntalan itu kini cuma tersisa dua stel pakaian saja, agaknya intan permata yang berharga sudah disikat oleh ‘Nelayan Beruntung’ yang menonton di samping.
Dia melemparkan kembali buntatan itu ke atas tanah. kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke dalam, setelah melewati
ruangan besar, ruang Teh, ruang bunga sampailah dia disebuah serambi yang amat panjang sekali bahkan dari dalam serambi itu secara samar-samar terdengarlah suara seorang perempuan sedang menangis terisak-isak.
Dia segera angkat kepalanya memandang ke sana terilhatlah di hadapannya berdirilah sebuah ruangan yang amat besar dan megah sekali, di atas ruangan itu terpancanglah sebuah papan nama bertuliskan ‘Khie le Tong’ tiga huruf kata dari emas.
Suara tangisan itu tidak lama berkumandang keluar dari dalam ruangan “Khie le Tong” itulah.
Dalam hati Ti Then merasa amat terperanyat, cepat-cepat dia menyatuhkan diri berjongkok di samping sebuah tiang besar, pikirnya:
“Untung sekali masih ada seorang yang hidup, entah siapakah dia orang ?? Apakah sirase bumi Bun Jin Cu ? Ataukah dayang dari istana Thian Teh Kong?”
Dengan amat tenangnya dia memperhatikan keadaan di sana selama beberapa saat lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk masuk ke dalam mengadakan memeriksa, demikianlah tubuhnya segera bergerak menuju kearah ruangan Khie Ie Tong tersebut.
Sesampainya di samping ruangan Khie Ie Tong itu suara tangisan terisak dari dalam ruangan itu terdengar semakin jelas lagi, di atas tebing Sian Ciang di belakang benteng Pek Kiam Po tempo hari pernah mendengar suara isak tangisan rase bumi Bun Jin Cu oleh karena jtulah begitu dia mendengar suara tangisan tersebut segera diketahui olehnya kalau suara tangisan itu bukan lain berasaI dari si Rase bumi Bun Jin Cu.
“Hmmm, ternyata dia masih ada di sini.”
Setelah berpikir keras beberapa waktu lamanya mendadak terdengar Ti Then berteriak :
“Orang yang ada di dalam apa benar si rase bumi Bun Jin Cu ?? Dari dalam ruangan Khie le Tong suara tangisan dari si rase bumi Bun Jin Cu segera berhenti kemudian diikuti ruangan itu menjadi terang benderang,
“Siapa ?” tanya si rase bumi Bun Jin Cu dengan suara yang amat dingin sekali.
Ti Then segera munculkan dirinya di depan pintu Khie le Tong itu.
“Cayhe Ti Then,” sahutnya. tenang.
TerIihatlah pada waktu itu si rase bumi Bun Jin Cu sedang duduk disebuah kursi kebesaran, pakaiannya tidak karuan rambutnya kacau sedang wajahnya amat pucat, begitu dilihatnya Ti Then sudah muncul di depan air mukanya tanpa terasa lagi sudah berubah sangat hebat. Cepat-cepat dia meloncat bangun kemudian serunya dengan amat benci:
“Kiranya kamu orang.”
“Entah di dalam istana itu sudah terjadi urusan apa?”
Si rase bumi Bun Jin Cu tidak memberi jawabannya, dengan pandangan mata yang rnemancarkan sinar kebencian dia pelototi diri Ti Then, kemudian sambil menggigit bibirnya dia berteriak kembali.
“Waktu perjanyan belum tiba, kau bangsat cilik buat apa datang ke sini ?”
“Aku boleh bicara terus terang padamu malam ini sebenarnya aku cuma datang ke atas gunung untuk melakukan pengintaian, siapa tahu di dalam istana Thian Teh Kong sudah terjadi peristiwa yang demikian menyedihkan karena itu terpaksa aku meneruskan perjalanan datang ke sini untuk melihat keadaan yang sebenarnya.”
Sepasang alis dari Si rase bumi Bun Jin Cu segera dikerutkan rapat-rapat, sambil menggerutuk giginya dia menjerit kembali.
“Semuanya ini hasil hadiah yang kau berikan kepada kami, kedatanganmu malam ini sungguh bagus sekati bilamana aku tidak bisa menghancurkan tubuhmu sekali pun binasa mataku tidak meram.”
“Hee..heee..bukankah anak buahmu sudah pada meninggalkan dirimu seorang diri?” ejek Ti Then sambil tertawa tawar.
“Tidak salah” teriak si rase bumi Bun Jin Cu sambil menghajar sebuah meja dengan amat kerasnya, “Mereka semua memang sudah pergi, tetapi kau bangsat cilik jangan bergembira terlebih dahulu, cukup aku seorang sudah lebih dari cukup untuk bereskan dirimu.”
“Aku menaruh perasaan simpatik terhadap kejadian yang kau alami, tetapi harus kau ketahui pada itu hari kejadian di atas tebing Sian Ciang jikalau aku tidak bunuh suamimu kemungkinan sekali aku sudah terbunuh oleh dirinya. .”
“Tidak usah banyak omong lagi,” sekali lagi teriak si rase bumi Bun Jin Cu sambil menghajar meja yang ada di sampingnya. Ti Then segera tertawa dingin.
“Aku cuma mengharapkan kau menjadi paham, istana Thian The Kong kalian bisa menjadi demikian kesemuanya dikarenakan keserakahan dirimu, janganlah kau salahkan urusan ini kepadaku.”
“Tidak usah banyak omong lagi, pokoknya ini hari aku harus bunuh dirimu untuk melampiaskan kebencianku terhadap dirimu.”
“Bagus sekali, aku tahu untuk selamanya kau tidak akan melepaskan aku hidup, memang lebih baik kita selesaikan urusan diri kita pada malam ini juga. Tetapi kini, seperti omonganku tadi, aku betul-betul merasa simpatik atas kejadian yang kau alami, walau pun kau Bun Jin Cu bukanlah seorang perempuan baik-baik, tetapi tidak perduli bagaimana pun kejadian yang kau alami selama satu bulan ini betul-betul membuat keadaanmu patut dikasihani.”
“Telur makmu.” maki si rase bumi Bun Jin Cu dengan gusarnya. "Aku tidak membutuhkan rasa simpatik dari kau bangsat.”
Mendengar makian yang kotor itu Ti hen. tanpa terasa sudah kerutkan alisnya rapat-rapat. “Maksud dari perkataanku tadi, malam ini aku tidak akan membunuh dirimu, nanti bilamana terjadi pertempuran diantara kita kau boleh serang aku dengan. menggunakan cara apa pun, waktu itu aku akan bertahan saja tanpa melancarkan serangan balasan, jikalau kau berhasil membunuh mati aku, yaaah.. tidak ada perkataan lain lagi tetapi jikalau kau tidak berhasil rnembinasakan diriku maka lain kali jikalau sampai bertemu kembali, aku, tidak akan sungkan-sungkan lagi terhadap kau orang. "
“Hmm..kau bangsat cilik jangan bermimpi, malam ini kau tidak akan berhasil meloloskan diri dari tanganku.” Teriak si rase bumi Bun Jin Cu sambil tertawa dingin tak henti-hentinya.
“Perkataanku kini sudah selesai, sekarang silahkan kau mulai turun tangan”
Dari balik sebuah kursi Si rase bumi Bun Jin Cu mencabut keluar sebilah pedang panjang, teriaknya sambil menudingkan pedang itu ke hadapan Ti Then.
“Kau masuklah ke sini, kita bereskan hutang-hutang kita di dalam ruangan Khie le Tong ini juga”
Ti Then sama sekali tidak mau percaya kalau dirinya bisa terluka ditangannya,..tanpa ragu-ragu lagi dia berjalan masuk ke dalam ruangan itu.
Ketika Bun Jin Cu melihat dia berjalan memasuki ke dalam ruangan mendadak berteriak kembali :
“Berhenti !”
“Ada apa??” tanya Ti Then tersenyum tapi dia menghentikan langkahnya juga.
“Aku mau bertanya suatu urusan…” “Silahkan berbicara”
“Malam ini kalian datang berapa orang?” “Cuma dua orang saja, aku serta nona Wi.” “Wi Ci To ???".
“Dia tidak datang bersama kami, mungkin lusa baru sampai didini.”
Sepasang mata dari Bun Jin Cu segera berkedip-kedip tanyanya kembali:
“Dimana budak itu ?"
“Dia tidak ikut naik ke atas gunung” “Kenapa tidak sekalian ikut ke sini??"
“Sebelum waktunya perjanyian buat apa dia datang ke sini??” “Kini dia ada dimana ?”
“Maaf tentang pertanyaan ini cayhe tidak bisa memberikan jawabannya.” seru Ti Then sambil tertawa.
Si rase bumi Bun Jin Cu segera tertawa dingin tak henti-hentinya. “Aku sangat mengharapkan dia ikut datang, agar dia bisa melihat
dengan cara bagaimana aku menghukum rnati dirimu”
“Haaaa ..haaaaa.. tapi dia tidak punya ganyalan sakit hati apa- apa dengan dirimu..”
Sepasang mata bolanya segera berputar-putar sekali lagi dia tertawa dingin,
“Tentu dia sedang menunggu di bawah gunung, hmmm.. kini aku mau tawan dirimu terIebih dulu, jikalau lama sekali dia tidak melihat kau kembali tentu dengan sendirinya bisa naik ke atas gunung untuk mengadakan pencarian. hee ,... heee..saat itu aku mau sekalian tangkap dirinya,”
“Tidak salah pada waktu itu dia memang bisa naik ke atas gunung untuk mencari aku tetapi apa kau punya kekuatan untuk menawan aku orang ?”
“Hee..hee.. tanpa membuang banyak tenaga aku bisa tawan kau bangsat” Mendadak Ti Then teringat kembali kalau di dalam istana Thian Teh Kong penuh dipasangi alat-alat rahasia, kemungkinan sekali di dalam ruangan Khie Ie Tong ini sudah dipasang sebuah alat rahasia yang sangat dahsyat sekali, tanpa terasa lagi dia sudah merasa amat terperanyat, cepat-cepat dia menjejak tubuhnya meloncat mundur ke belakang.
Tetapi... dia sudah terlambat satu tindak.
Pada saat dia sedang teringat kembali untuk mengundurkan diri dari ruangan Khie le Tong itulah mendadak permukaan tanah yang diinyaknya sudah meresap ke dalam, kemudian diikuti dengan suara peletekan yang amat nyaring, permukaan tanah itu sudah membalik kearah dalam tanah.
Kiranya permukaan tanah dari ruangan Khie le Tong ini merupakan sebuah papan yang bisa berputar.
Ti Then tidak sempat untuk menghindarkan diri lagi dari kejadian itu, padahal sekali pun dia sempat meloncat mundur juga tidak mungkin bisa menghindarkan diri dari kejadian itu karena seluruh badannya kini sudah meluncur turun ke bawah dengan kecepatan yang luar biasa.
Begitu tubuh Ti Then meluncur ke bawah, papan permukaan yang ada di atasnya sudah menutup kembali seperti asalnya semula, karenanya Ti Then yang meluncur ke bawah dengan amat cepatnya itu sebelum tubuhnya mencapai permukaan tanah keadaan di sekelilingnya sudah menggelap kembali.
Dia tidak tahu, bagaimana keadaan di bagian bawahnya, tetapi dengan cepat, di dalam hatinya sudah mengambil suatu bayangan yang paling buruk yaitu dia menduga dibagian bawahnya sudah dipasang golok-golok yang amat banyak sekali menantikan kejatuhan badannya, karena itu cepat-cepat dia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya melancarkan satu pukulan dahsyat kearah bawah, pada saat yang bersamaan puIa. dengan menggunakan tenaga pantulan itu dia berjumpalitan di tengah udara untuk kemudian melayang turun dengan amat ringannya. Di daIam sekejap saja tubuhnya sudah mencapai permukaan tanah, pada saat kakinya mencapai tanah itulah seperti menggerakkan alat rahasia lainnya terdengarlah suara benturan yang amat keras di bagian atasnya sebuah benda besi yang amat berat sekali melayang turun menghajar kepalanya.
Ti Then menjadi amat terperanyat sepasang tangannya dengan cepat diayunkan ke atas siap-siap menerima benda yang mau menekan dirinya itu, siapa tahu pada jarak kurang lebih beberapa depa di atasnya benda itu berhenti bergerak.
Dia menghembuskan napas lega, dengan perlahan kakinya mulai bergerak ke samping sedang tangannya mulai meraba-raba, terasalah di sekelilingnya Cuma ada terali besi yang amat kuatnya. Sebuah…dua..tiga..empat buah..mendadak dia menjadi paham, teriaknya dengan perasaan amat kaget:
“Celaka, kiranya aku dikurung di dalam sebuah sangkar besi.”
Cepat-cepat dia mencekal besi-besi itu kemudian dengan sekuat tenaga ditarik-tariknya beberapa kali, walau pun sudah kerahkan seluruh tenaganya keadaan masih tetap seperti semula, bukan saja tidak cidera bahkan gemilang sedikit pun tidak.
Besarnya terali besi itu ada sebesar kepalan bocah cilik, sedang luasnya tempat itu hanya cukup buat dia berdiri saja,..dia tahu ternpat ini adalah sebuah kurungan besi yang amat kuat sekali.
Bagaimana sekarang ?
Si rase bumi Bun Jin Cu sebentar lagi tentu sudah sampai di sini ,
„ .
Mendadak ditengah kegelapan itu tertembuslah suatu sinar yang
amat terang sekali, sinar itu semakin lama semakin membesar, dengan diikuti masuknya sinar terang terdengar juga suara cicitan yang amat nyaring.
Sebuah pintu batu yang amat besar dengan perlahan-lahan bergeser kearah sebelah kiri. Ketika seluruh pintu batu itu sudah bergeser ke samping, sinar terang memancar masuk memenuhi seluruh ruangan, dia bisa melihat keadaan disekelilingnya dengan amat jelas sekali bahkan melihat juga si rase bumi Bun Jin Cu yang berdiri di depan pintu.
Sedikit pun tidak salah, dia memang sudah terjerumus di dalam sebuah
sangkar terbuat dari besi.
Pada tangan Bun Jin Cu menenteng sebuah lampu yang tahan terhadap angin sedang wajahnya penuh dengan senyuman puas sedang memandang dirinya, mendadak terlihatlah tangannya menekan sebuah tomboI pada dinding di sampingnya kemudian serunya sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Hey bangsat cilik, ayoh kemari.”
Sangkar dari besi itu dengan perlahan-lahan segera bergeser ke depan dan terus bergerak sampai pada ujungnya yang persis ada di hadapan dari dari si rase bumi Bun Jin Cu.
Bun Jin Cu segera meletakkan Iampu yang ada ditangannya ke atas tanah kemudian sambil bertolak pinggang, ejeknya dengan suara yang amat dingin.
“Bagaimana ? Hey bangsat, kau punya perkataan apa lagi ?” “Tidak ada yang bisa dibicarakan lagi, sekarang aku sudah
terjatuh ke tanganmu, mau dibunuh mau disiksa sesukamu.”.
“Kau sudah bunuh suamiku, mencelakakan kami orang-orang istana Thian Teh Kong sehingga berantakan, aku tidak akan memberikan kematian yang terlalu cepat buat kamu orang, aku mau menggunakan bermacam-macam cara siksaan untuk menyiksa kamu, aku mau membuat kau binasa perlahan-lahan, binasa sepotong demi sepotong”
“Apa itu binasa secara perlahan-Iahan, binasa sepotong demi sepotong?” tanya Ti Then sambil tertawa pahit.
“Nanti kau akan tahu dengan sendirinya.” “Besok lusa Wi Pocu sudah sampai di sini, jika kau mau menghukum mati diriku lebih baik cepat sedikit.”
“Hmmm..” dengus Bun Jin Cu dengan amat dinginnya, “Kau masih mengharapkan ada orang yang dating menolongmu keluar dari sini?”
“Bilamana Wi Pocu tahu kalau aku sudah kau tawan sudah tentu akan berusaha untuk menolong aku.”
“Betul!” seru si rase bumi Bun Jin Cu sambil tertawa dingin, “Tetapi selamanya dia tidak akan berhasil.”
“Hee..soal ini lebih baik kita tunggu saja di kemudian hari.”
Bun Jin Cu tidak berbicara lagi, pada sebuah tempat di atas dinding dia menekan lagi sebuah tombol alat rahasia, setelah itu dengan tenangnya dia meninggalkan tempat tersebut.
Semula Ti Then menganggap tentunya dia akan menggerakkan alat rahasia untuk mengembalikan sangkar besinya ketempat semula, tetapi segera dia merasa keadaan sedikit tidak beres karena begitu dia menekan tombol tersebut sangkar besi dimana dia berada bukannya mundur ke belakang melainkan meluncur kembali ke bawah,
Kurang lebih sesudah menurun sejauh tiga empat depa dalamnya mendadak permukaan sangkar besi itu sudah terendam di dalam air yang sangat dingin, kiranya di bawah permukaan tanah itu merupakan sebuah kolam air yang sangat dingin.
Sangkar besi itu meluncur turun terus ke bawah sehingga air yang merendam badan Ti Then setinggi lehernya, dalam hati dia benar-benar merasa berdesir pikirnya:
“Oooh…Thian, sebetulnya dia mau berbuat apa terhadap diriku dengan merendam badanku ke dalam kolam?? mau menenggelamkan badanku ataukah agar badanku menjadi hancur
?” Kelihatannya dia punya maksud untuk menenggelamkan seluruh badannya, karena ketika air sudah mencapai pada lehernya sangkar besi itu masih terus meluncur ke bawah sehingga seketika itu juga air kolam melampaui kepalanya.
Dengan tergesa-gesa dia merambat naik ke atas sangkar besi itu untuk menongolkan kepalanya ke atas permukaan air, siapa tahu sangkar besi itu tidak berhenti sampai di situ saja akhirnya sangkar besi itu berhenti pada dasar kolam.
Kini dia terkurung di dalam sangkar, untuk keluar sudah tidak mungkin lagi karena seluruh tubuhnya sudah terkurung di dalam air sedang pernapasannya pun mulai terasa amat sesak.
Seperti seekor tikus yang terjatuh ke dalam air dengan gugup dia bergerak ke sana kemari berusaha membuka penutup dari sangkar besi itu, tetapi walau pun dia sudah berusaha dengan menggunakan seluruh
tenaga dalamnya tetap tidak memperoleh hasil yang diinginkan, beberapa waktu kemudian dia mulai terasa napasnla habis, tanpa bisa dicegah lagi dia mulai membuka mulutnya meneguk air kolam itu.
Satu detik kemudian dia tidak bisa bergerak lagi, tubuhnya dengan amat tenangnya menggeletak pada dasar kolam ..jatuh tidak sadarkan diri.
XXX
Waktu itu Wi Lian In sedang menunggu di bawah pohon dengan amat tenangnya, dia rnerasakan hatinya amat kesepian tetapi sedikit pun tidak merasa kuatir atas keselamatan dari Ti Then, karena dia percaya dengan kepandaian silat yang dimiliki Ti Then sekarang ini dia masih sanggup untuk menghadapi segala mara bahaya.
Sepasang tangannya dipangku di depan dadanya sedang kepalanya didongakkan memandang rembulan yang terpancang ditengah awan, pada benaknya terbayang kembali berbagai pemandangan indah semasa lalu, terbayang olehnya juga keadaan sewaktu benteng Pek Kiam Po mengadakan perayaan buat perkawinannya dengan Ti Then, bagaimana para tamu pada berdatangan untuk memberi selamat sehingga seluruh Benteng penuh sesak, ayahnya dengan senyum manis menarik tangannya Ti Then untuk dikenalkan pada tamunya satu persatu…
Mendadak segulung awan gelap menutupi cahaya rembulan membuat cuaca menjadi sangat gelap, seketika itu juga dia menjadi sadar kembali dari lamunannya.
Pada saat itulah mendadak dia merasakan seseorang dengan perlahan lahan mendekati badannya, dalam hati diam-diam dia merasa sangat girang pikirnya.
“Tentu dia sudah kembali, tentu dia sudah datang. Hmmmm,dia mau memeluk aku dari belakang agar aku menjadi kaget.”
Karena itu dia tidak bergerak lagi, dengan pura-pura tidak tahu dia tetap berpangku tangan duduk di sana.
Perasaannya sedikit pun tidak salah, di belakang badannya memang benar-benar ada seseorang yang mulai berjalan mendekati badannya, cuma saja orang itu bukan Ti Then melainkan adalah seorang yang berkerudung hitam.
Orang berkerudung hitam ini bukanlah orang yang sudah melarikan diri sewaktu ada di perkam pungan Thay Peng Cung melainkan orang lain.
Tubuhnya tinggi bahkan kelihatan gemuk sekali, sepasang matanya memancarkan sinar yang amat tajam, jika dilihat dari gerak-geriknya jelas sekali kepandaian silatnya berada jauh di atas kedua orang berkerudung hitam yang melarikan diri dari perkam pungan Thay Peng Cung tempo hari itu.
Dengan perlahan-lahan dia menggeserkan badannya mendekati Wi Lian In yang sedang duduk terpekur, agaknya dia punya maksud untuk menawan diri Wi Lian In secara tiba-tiba. Akhirnya dia sudah mencapai pada kurang lebih tiga depa dari diri Wi Lian In.
Tampak tangan kanannya dengan perlahan-lahan diangkat ke atas sehingga terlihatlah lima jarinya yang seperti kuku garuda, dengan perlahan dia mulai mendekat tubuh Wi Lian In dan mengancam jalan darah Cian Cing Hiat-nya.
Pada saat yang bersamaan pula mendadak Wi Lian In putar badannya menubruk kearah sepasang kaki dari ‘Ti Then’ sambil serunya genit.
“Haa….haaa..mau menggoda aku yaah?”
Orang berkerudung itu sama sekali tidak menyangka dia bisa melancarkan serangan ini dengan cepat sepasang kakinya menutul permukaan tanah kemudian meloncat mundur sejauh tujuh delapan kaki dari tempat semula.
Ketika Wi Lian In melihat orang itu bukanlah Ti Then dalam hati juga merasa terperanyat, dengan gugup dia meloncat bangun kemudian teriaknya.
“Siapa kau?”
Walau pun di dalam keadaan terperanyat dan gugup tetapi dia bisa melihat kalau pihak lawannya bukanlah anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu (Karena anak buah dari si rase bumi Bun Jin Cu tidak perlu menggunakan kain kerudung segala), juga dia tahu orang ini bukanlah orang berkerudung hitam yang melarikan diri tempo hari sewaktu ada di dalam perkam pungan Thay Peng Cung.
Ketika orang berkerudung hitam itu mendengar perkataannya ditambah lagi melihat perubahan wajahnya yang amat terperanyat bercampur gugup segera tahu kalau tadi dia sudah salah menganggap dirinya sebagai Ti Then, tanpa terasa lagi dia tertawa terbahak-bahak.
“Kau kira aku siapa? Kekasihmu Ti Then? He..hee…” Wi Lian In benar-benar merasa malu, gusar bercampur kaget, segera dia maju satu langkah ke depan, kemudian bentaknya dengan nyaring:
“Siapa kamu orang?”
Orang berkerudung hitam itu tetap tidak bergerak, dia hanya tertawa dingin tak henti-hentinya.
“Aku datang khusus hendak menyampaikan sebuah kabar buruk, kekasihmu Ti Then sudah binasa di dalam istana Thian Teh Kong.”
Wi Lian In benar-benar merasakan hatinya tergetar sangat keras sekali, air mukanya berubah menjadi pucat pasi sedang suaranya pun rada gernetar.
“Kau . . . kau orang dari istana Thian Teh Kong?”
“Tidak salah” jawab orang berkerudung hitam itu mengangguk.
-ooo0dw0ooo-