Jilid 01

Suatu tengah hari yang terik di padang gurun yang kering, sesosok tubuh berjalan melintasi lautan pasir itu dengan perlahan. Tak ada orang lain lagi yang ada di jalan itu. Tampak peluh bercucuran di dahi dan sekali-kali terdengar hembusan napas yang perlahan. Sejumlah elang pemakan daging terbang berputar- putaran di atas langit, siap memangsa kalau orang itu rubuh.

Kiranya sesosok tubuh itu sudah tidak kuat menahan haus dan lapar serta keletihan, rubuhlah dia di atas permukaan tanah. Elang- elang di atas memperhatikan sambil berputaran, untuk menyaksikan bahwa tubuh di bawah itu sudah binasa.

Beberapa saat kemudian…dengan lekas elang-elang itu mulai menukik ke bawah sambil mementangkan cakarnya yang tajam siap menjobek daging manusia yang dikiranya sudah menjadi majat tersebut.

Mendadak…suatu peristiwa yang sangat aneh telah terjadi. Tangan kanan dari orang itu mendadak bagaikan kilat cepatnya menyapu ke atasnya, disusul dengan pukulan yang dahsyat dan tepat mengenai kepalanya.

Pukulan ini dilancarkan begitu cepat serta tepat , Oleh sebab itu ‘kesempatan’ bagi elang itu untuk merasakan terkejutnya, belum sernpat kepalanya telah hancur luluh dan rnenggeletak ke atas tanah, sajapnya rnemukul mukul beberapa kali di atas tanah kemudian tenang kembali.

Dengan cepat orang itu bangkit berdiri, dari dalam sakunya mencabut keluar sebilah pisau belati yang amat tajam, dengan sekali tabason kepala elang itu jatuh menggelinding: Tububnya dengart cepat di pungut sedang darah yang mulai memancar keluar dengan derasnya itu diisap dengan lahapnya.

Hal ini memperlihatkan kalau orang tersebut amat lapar serta dahaga, dia terus menghisap darah segar hingga betul-betul habis baru berhenti, sambil menghembuskan nafas lega dia menampilkan senjuman kekemenangannya. Gumamnnya:

“Hidup sebagai seekor binatang, di dalam perebutan untuk melanjutkan hidup kau telah kalah satu langkah dari aku” Orang itu berusia kurang lebih dua puluh tiga tahunan, bajunya compang camping, rambutnya kusut tetapi air mukanya masih tetap segar. Mungkin dikarenakan baru saja melakukan perjalanan jauh di bawah terik matahari sebingga wajahnia telah berubah menjadi kecoklatan-kecoklatan bahkan berlapiskan minyak. Tetapi sekali pun bentuknya kurang sedap dipandang, sepasang matanya memancarkan sinar yang amat tajam bahkan penuh dengan semangat untuk tetap mempertahankan hidupnya.

Dengan perlahan lahan dia bangun berdiri sambil menenteng binatang elang itu dengan perlahan berjalan ke bawah sebuah pohon siong dan tangannya mulai bekerja menguliti elang itu kermudian membelah perutnya, mengumpulkan kaju bakar menjulut api.

Kelihatannya dia telah beberapa hari menderita kelaparan, oleh karena itu baru saja daging elang itu matang dengan lahapnya dia telah menyikat tanpa sungkan sungkan, tidak ada beberapa saat lamanya seluruh daging elang itu telah berpindah ke dalam perutnya.

Sambil menepuk nepuk perutnya pada bibirnya tersungging suatu senjuman gumamnya:

“Bagus? kali ini mungkin rnasih bisa bertahan dua tiga hari lagi .

..”

Setelah itu dengan perlahan dia mulai melemaskan otot otot kaki

dan tangannya, punggungnya bersandar pada batang pohon sedang tangannya, merogoh ke dalam sakunya mengambil keluar lima carik kertas yang penuh berisikan tulisan, sinar matanya dengan tajam memandang kearah tulisan itu sedang mulutnya tak henti-hentinya berkata:

’Berjalan kearah Barat tiga ratus lie, gunung Pek Gouw San di bawah puncak Gouw Ong Hong. . Berjalan kearah Barat laut dua ratus li, di bawah pohon siong yang tua di atas gunung Mao Gouw San . Berjalan kearah selatan dua ratus lie, di atas gunung Sek To San di dalam gua Sek To Tong… Berjalan kearah Barat dua ratus li, di atas puncak gunung Koang Mao San. berjalan kearah Barat dua ratus li. daIam gua Hu Lu Tong di atas gunung Lo Cin San …’

Sehabis membaca kelima carik kertas tersebut dia menarik napas panjang, pikirnya:

“Aku telah melakukan perjalanan sejauh seribu li, disaat sebelum malam nanti mungkin aku telah sampai di dalam gua Hu Lu Tong di atas gunung Lo Cin San semoga saja kali ini merupakan penderi taan yang diberikan padaku untuk terakhir kaIinya...

Setelah berpikir keras seorang diri dengan perlahan dia mulai memasukkan kelima carik kertas itu ke dalam sakunya.

Pada saat itu terdapat seekor burung elang lagi yang terbang mengitari kepalanya tetapi burung elang itu sama sekali tidak tertarik pada dirinya lagi. Dengan cepat dia mulai melanjutkan perjalanannya menuju kearah Barat.

Dengan rnenggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang cepat bagaikan kilat tak berapa lama rentetan pegunungan Lo Cin San secara samar-samar mulai terlihat di hadapan matanya.

Pada saat itu matahari dengan perlahan mulai menyembunyikan diri di balik pegunungan Lo Cin San, sedang dirinya pun telah berada di bawah lereng gunuing itu.

Dari kejauhan dilihatnya seorang kakek tua sedang duduk di bawah sebuah pohon besar, dengan cepat dia lari menjongsong kearahnya sambil merangkap tangannya memberi hormat ujarnya:

”Losianseng permisi !”

“Ada urusan apa?” tanya kakek tua itu sambil mengangkat kepalanya sedang air mukanya menunjukkan perasaan yang amat heran.

Sambil menunjuk kearah rentetan gunung Lo Cin San tanyanya:

-Gunung itu apa disebut sebagai gunung Lo Cin San? “Benar, sahut kakek tua itu sambil mengangguk. ”Kenapa gunung itu disebut sebagai gunung Lo Cin San?--

“Menurut dongeng jaman dahulu, seorang yang bernama LoaCin pernah bertapa digunung ini oleh karena itulah gunung ini disebut sebagai gunung Lo Cin San Lo-te kenapa kau menanyakan tentang hal ini?”

"Aku punya rencana untuk melihat pemandangan di atas gunung ini, aku dengar di atas gunung ini ada sebuah gua yang disebut- sebagai gua Hu Lu Tong atau gua cupu-cupu,apa betul?”

Tidak pernah kudengar nama itu” sahut kakek tua itu sambil menggelengkan kepalanya., ”Tetapi di atas gunung ini memang ada sebuah gua hanya letaknya jauh di puncak gunung. Pada masa muda dahulu Lo hu pernah naik sekali ke atas puncak dan melihat gua itu keadaannya memang sangat aneh tetapi menarik sekali, hanya apa..Lo-te benar-benar datang untuk berpesiar?,.

Kakek tua itu bisa miengeluarkan pertanyaan ini dikarenakan pakaian yang digunakan olehnya telah compang camping sehingga mirip sekali dengan seorang pengemis sehingga sudah tentu dengan bentuk seperti ini tidak mirip seorang yang sedang berpesiar.

Sebaliknya dia tidak menyawab atas pertanyaannya itu, sambil tersenjum matanya memandang tajam ke atas puncak gunung Lo Cin san, tanyanya lagi:

” Gua yang kau orang tua katakan tadi kurang lebih terletak pada puncak sebelah mana ?”

Kakek tua itu dengan cepat mengangkat jarinya menunjuk kearah sebuah jalan gunung yang kecil sahutnya kemudian:

"Lo-te kau dapat mengikuti jalanan gunung ini mendaki ke atas gunung, JaIanlah terus sampai tidak ada jalanan lagi dimana terdapat tiga buah puncak gunung, gua tersebut terletak di atas puncak gunung yang berada di tengah. "

Dia berhenti sejenak kemudian sambungnya lagi: ”Kini hari telah hampir gelap, bila Lo-te ingin berpesiar ke atas gunung lebih baik besok pagi saja baru pergi, ditengah malam banyak binatang buas yang berkeliaran, bahaja sekali bagi dirimu,”

”Tidak ada halangan ” Sahutnya sambil tersenjum. ,”"Cayhe adalah seorang pemburu, tentang binatang buas bukanlah merupakan soal yang sulit bagiku terima kasih atas petunjuk dari kau orang tua, aku minta diri dahulu"

Tangannya dirangkap memberi hormat kemudian dengan langkah yang lebar berjalan kearah jalanan kecil itu.

Disekitar daerah gunung Lo Cin San seluas beberapa lie saat itu teiah diliputi oleh kabut yang amat tebal karena itulah baru saja berjalan tidak jauh dari jalanan gunung itu dia sudah tidak dapat melihat dengan jelas kearah kakek tua itu, bagaikan kilat cepatnya dia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya sehingga laksana seekor kelinci dengan gesitnya lari ke atas gunung.

Di dalam sekejap saja jalanan gunung itu telah mencapai pada ujungnya, di hadapannya terbentanglah sebuah rimba yang amat gelap dan liar. Ketika dia mengangkat kepalanya memandang ke atas terlihatlah kurang lebih setengah li di hadapannya menjulang tinggi tiga buah puncak yang diliwati oleh awan tebal:

Melihat hal itu tak terasa dia menghela napas panjang pikirnya: "Bila hendak mendaki ke atas puncak gunung itu kita harus

membutuhkan waktu setengah harian, bilamana di dalam gua Hu Lu Tong itu sekali lagi dia meninggalkan sepucuk surat memerintahkan diriku pergi ke tempat lain. boleh dikata perbuatannya ini sangat keterlaluan."

Baru saja berpikir sampai di situ mendadak dari belakang tubuhnya menyambar datang sebuah senyata rahasia yang disertai dengan desiran angin keras...agaknya sebuah batu cadas sedang disambitkan tepat mengarah batok kepalanya: Hatinya menjadi tergetar, tubuhnya dengan cepat menyingkir ke samping sedang tangan kanannya jajunkan menyambut datangnya batu cadas itu.

Ketika benda itu berhasil ditangkap hatInya menjadi sangat mendongkol kiranya hanya sebuah buah Tho yang telah masak.

Melihat hal itu dia menjadi tertegun, ketika mengangkat kepalanya memandang terlihatlah di atas sebuah pohon yang lebat tidak jauh dari dirinya bergergelantungan seekor kera dengan lincahnya, sedang mulutnya tidak henti-hentinya mengeluarkan suara mencicit yang ramai. keadaannya sangat lucu sekali.

”Binatang, kau berani menggoda aku”

Baru saja suara bentakannya keluar darimulut tubuhnya bagaikan sebuah anak panah yang terlepas dari busurnya meluncur kearah pohon besar itu:

Dengan mengeluarkan suara mencicit kera itu dengan cepat menyambar sebuah akar pohon dan melayang kepohon yang lain.

Melihat hal itu hawa amarahnya semakin memuncak, bentaknya dengan keras:

Kau larilah, aku hendak melihat kau bisa lari seberapa jauh”

Tubuhnya dengan lincah .berjumpalitan ditengah udara sedang ujung kakinya dengan ringan menutul ke atas batang pohon, Dengan kecepatan yang luar biasa sekali lagi dia melayang kearah pohon tersebut.

Siapa tahu.... menanti dia melayang ke arah pohon itu kera tersebut telah lari kearah sebuah pohon lain. Lagi kira-kira tiga depa

.dari tempat semula.

Kali ini hawa amarahnya benar-benar telah meledak, sambil bersuit nyaring tubuhnya sekali lagi mumbul ke atas dan berkelebat ke arah pohon itu, dengan sekuat tenaga dia mengerahkan seluruh kepandaian meringankan tubuhnya mengejar kera itu. Dalam hatinya dia telah rnengambil keputusan akan menggunakan ilmu meringankan tubuh serta sepasang kepalannia untuk menangkap kera itu hidup-hidup.

Siapa tahu gerak gerik dari kera itu jauh lebih lincah, sekali pun dia tak memiliki kepandaian sehingga tidak dapat berlari dengan cepat tetapi loncatannya dari sebuah pohon kepohon yang lain amat cepat sekali,sekali pun orang lelaki itu telah mengerahkan seluruh tenaganya tidak lebih jaraknya masih tetap tertinggal tiga depa di belakang

Hanya yang untung, arah yang ditempuh oleh kera itu tepat merupakan puncak gunung yang dituju olehnya.

Oleh sebab itulah semakin mengejar dia semakin bersemangat, karena dia merasa sekali pun tidak berhasil mengejar kera tersebut tetapi tenaganya juga tidak dibuang secara percuma.

Akhirnya sesosok tubuh manusia dengan seekor kera, yang satu berada di depan sedarng yang lain berada di belakang mengejar, bagaikan meluncurnya sebuah bintang dari langit dengan cepat berkelebat diantara Rimba itu.

Di dalam sekejap saja mereka telah tiba di bawah puncak gunung, sedang waktu itu jarak antara dirinya dengan kera tersebut juga dari tiga depa makin lama makin dekat hingga tinggal satu depa setengah saja. Kelihatannya hanya tinggal beberapa langkah saja dia akan berhasil menawan kera tersebut.

Tetapi di dalam sekejap itu pula kera tersebut telah mencapai di dalam rimba pada bawah puncak gunung. Hanya dengan beberapa loncatan saja tubuh kera itu telah lenyap dari pandangan.

Kiranya puncak gunung itu sekali pun tingginya beberapa ratus kaki tetapi pada lerengnya penuh ditumbuhi dengan pepohonan yang lebat, sedang kepandaian memanyat dari kera itu bagaimana pun juga jauh lebih tinggi satu tingkat dari manusia sehingga dengan demikian ketika mengejar hingga ke bawah   puncak, kera itu telah berhasil melarikan dirinya tak menentu. Dengan cepat dia menghentikan langkah kakinnya sambil mengeringkan keringat yang mengucur keluar membasahi keningnya. Terpikir kembali ketika tadi siang dia membunuh burung elang. Tak terasa dia tertawa pahit, gumamnya:

Sungguh menarik sekali aku dapat menangkap seekor burung elang yang terbang jauh ditengah awang-awang tetapi tidak berhasil menangkap seekor kera yang lari di atas pohon .

Tetapi sekali pun demikian dia tidak menjadi sedih. pengejarannya kali ini tidak sia sia belaka, karena puncak di hadapannya memang harus didaki malam itu juga.

Sesudah beristirahat sejenak mulailah dia berjalan mendaki puncak itu, sekaIi pun harus mengerahkan seluruh tenaganya tetapi setindak demi setindak dia terus melanjutkan perjalanannya.

Tidak sampai sepertanak nasi dia telahberada di atas puncak gunung itu, bahkan dengan tidak usah susah payah lagi telah menemukan sebuah gua di atas puncak itu.

Gua itu tertetak pada ujung sebelah kiri dari puncak gunung itu, lebarnya tidak lebih tiga depa sedang tingginia kurang lebih dua depa sehingga mirip sekali dengan sebuah tebing yang retak,

”Inikah yang disebut sebagai “Gua Hu Lu Tong “ atau gua cupu- cupu?? Hm .. tentu tidak salah, bukankah tadi kakek tua itu bilang kalau di atas gunung Lo Cin San ini hanya terdapat sebuah gua saja, Kalau begitu gua ini tentu adalah gua Hu Lu Tong yang sedang dicari olehnya.

Dalam hatinya dia terus berpikir sedang kakinya tetap berhenti pada tempat semula, dia takut kalau dalam gua itu akan menemukan secarik kertas lagi yang tertuliskan”

“Berjalan   kearah........dua    ratus    li    di    atas    gunung......

puncak........atau gua....”Karena dia telah melakukan perjalanan sejauh seribu li, sebenarnya dia sudah merasa tidak sabar lagi dipermainkan oleh orang lain: Setelah bingung beberapa saat lamanya barulah dengan hati yang tidak tenang dan ragu-ragu dengan perlahan mulai berjalan memasuki gua itu,

Satelah berjalan enam tujuh tindak. di hadapannya terbentanglah sebuah gua yang amat lebar. perkataan dari kakek tua itu ternyata tidak salah, keadaan dari goa itu memang benar-benar sangat aneh.

Sekeliling tempat itu penuh berserakan batu-batu cadas yang amat aneh bentuknya ada yang berbentuk harimau sedang tidur ada pula yang berbentuk kera sedang meloncat bahkan ada yang menjerupai sebuah tugu yang tinggi bersusun-susun. Pemandangan tempat itu benar-benar sangat mengagumkan,

Sebaliknya, pada saat itu dia sama sekali tidak punya minat untuk menikmati keindahan alam goa itu, setelah memeriksa ke adaan sekeliling goa tersebut segera dia, terjerumus ke dalam perasaan yang kecewa serta bingung,

Yang membuat dia kecewa adalah, kiranya dalam goa itu sama sekali tidak dijumpai orang yang hendak ditemuinya itu,

Sedang yang membuat dia bingung adalah, dia. merasa curiga apakah gua ini benar-benar- merupakan gua Hu Lu Tong. yang dimaksud orang itu di dalam suratnya.

Karena jika ditinyau dari nama goaitu tentunya bentuk dari goa Hu Lu Tong ini mirip dengan sehuah cupu-cupu, seharusnyalah terdapat dua buah gua yang besar baru cocok dengan nama itu, tetapi yang dilihatnya sekarang ini hanya sebuah goa biasa saja sedang di samping dan di hadapannya sama sekali tidak terlihat jalan yang menghubungkan gua itu, oleh sebab itulah dia dapat mengambil kesimpulan bahwa selain gua "Hu Lu Tong" ini mungkin dinamakan begitu karena sebab-sebab lain maka gua itu bukanlah gun cupu-cupu atau gua Hu Lu Tong yang sedang dicarinya.

Tetapi, bukankah tadi kakek tua itu bilang kalau di atas gunung Lo Cin San ini hanya terdapat sebuah gua saja? Bilamana gua ini bukan cupu-cupu lalu gua cupu-cupu yang sebenarnya terletak dimana? Sambil berpikir dengan telitinya dia melanjutkan pemeriksaannya terhadap setiap jengkal tanah dari gua itu, semakin dia melihat keadaannya semakin dia dapat mengambil kesimpulan kalau gua itu bukanlah gua cupu-cupu yang sedang dicarinya.

Alasan dari kesimpulannya ini karena gua itu jika benar gua cupu-cupu yang sedang dicarinya kenapa orang itu tidak datang menemui dirinya atau meninggalkan secarik kertas pada suatu tempat yang menjolok?

Pada waktu-waktu yang lalu orang itu tentu meletakkan secarik kertas pada tempat yang menjolok bahkan di samping kertas itu terdapat sebuah pukulan telapak yang amat nyata, sedang jika dilihat keadaan gua ini sama sekali tidak terdapat tanda-tanda adanya secarik kertas yang ditinggalkan.

Dengan perlahan dia menghela napas panjang, kemudian memutarkan tubuhnya berjalan keluar dari gua itu.

”He..hee...kenapa kau mau pergi?”

Suara itu secara mendadak sekali berkumandang keluar dari dalam gua itu bahkan suara itu sangat mendatar, sedikit pun tidak memperlihatkan suara dari seorang manusia

Tubuhnya terasa tergetar dengan kerasnya bahkan dengan cepat menjadi kaku bagaikan sebuah patung arca.

”Kau sudah betul menemukan tempat yang kau cari kenapa kini malah mau pergi?”

Suara itu berkumandang keluar lagi dari dalam gua bahkan bergetar dengan tak henti-hentinya dalam ruangan gua yang kosong itu, membuat orang sukar mengetahui tempat persembunyiannya.

Dengan cepat dia memutar tubuhnya memandang keempat penjuru, dengan perasaan yang amat terkejut tanyanya: ”Kau?”

”Tidak salah....” sahut orang itu dengan amat dingin. Sepasang matanya yang amat tajam dengan cepat menyapu kesekeliling goa itu, sedang perasaan terkejut yang menghiasi wajahnya semakin tebal, serunya:

”Kau .. kau berada dimana ?”

Pada jarak kurang lebih dua depa dari dirinya berdiri mendadak berkumandang suara : ” Ting... ting...ting ” yang nyaring seperti sebuah benda yang terbuat dari besi terbentar pada tanah, kemudian terdengar sahutan dari orang itu:

”Aku berada di sini “

Dengan kecepatan yang luar biasa da memutar tubuhnya, tetapi begitu dia melihat kearah mana tak terasa bulu kuduknya pada berdiri secara mendadak, dengan cepat dia mengundurkan dirinya satu langkah ke belakang.

Apakah orang itu bentuknya sangat jelek sehingga menakutkan ? Bukan, karena orang itu tak lain adalah sebuah patung arca yang terbuat dari emas yang amat menyilaukan mata.

Kiranya didalarn goa itu telah berdiri sebuah patung arca yang terbuat dari emas, Tingginya kurang lebih dua depa sedang wajahnya kelihatan amat gagah sekali.

Pada kepalanya memakai sebuah kopiah pahlawan, pada tubuhnya memakai seperangkat pakaian yang amat ketat sedang pada tangannya mencekal sebilah pedang panjang, sepanjang delapan cun, kelihatannya sangat gagah sekali bahkan mirip dengan seorang jago pedang kenamaan.

Dia dengan kakunya berdiri di atas sebuah batu cadas yang rata di hadapannya.

Dengan perasaan yang amat terkejut dia memandang tajam kearah patung emas itu beberapa saat lamanya, kemudian dengan nada yang agak gemetar tanyanya:

“Kau    kau manusia atau setan ?”

Patung emas itu tertawa aneh, balik tanyanya: ”Kau percaya di dalam dunia ini benar-benar ada setan?”

”Tidak!” Kali ini dia dapat mendengar dengan amat jelas suara itu bukan berasal dari patung emas itu sebaliknya berasal dari dalam gua di belakang patung emas tersebut. Sudah tentu orang itu kini sedang bersembunyi di atas atap gua itu.

Pada saat itulah dia baru dapat menghembuskan napas lega, dengan perlahan dia berjalan maju beberapa langkah ke depan. Ketika dia memandang lebih teliti lagi barulah terlihat olehnya kalau pada tubuh patung emas itu bergantungan beberapa utas tali berwarna hitam sudah tentu tali itu digunakan untuk menggerakkan patung emas tersebut.

Kesepuluh tali hitam itu bergantungan dari atas atap dinding gua, dengan demikian dia dapat memastikan kalau benda itu diturunkan dari atas gua, Hanya sajang ketika dia memandang lebih tajam lagi ke atas dinding itu sama sekali tidak terlihat apa-apa olehnya, karena sebuah batu cadas yang amat besar menutupi pandangannya.

Dengan cepat dia menggerakkan kakinya lagi, pikirnya hendak maju lagi hingga dapat melihat jelas orang yang bersembunyi di atas atap dinding gua tersebut.

Siapa tahu mendadak terdengar suara bentakan yang amat keras:

“Berhenti. Kau tidak dapat berjalan lebih dekat lagi !”

Bersamaan dengan suara bentakan orang itu, tiba-tiba patung emas itu telah maju satu tindak ke depan, "pedang panjang" ditangannya dengan cepat dilintangkan ke depan menghalangi perjalanannya.

Tak terasa dalam hati dia menjadi amat geli, terpaksa ia menghentikan langkahnya sambil angkat kepaia tanyanya lagi

”Siapakah kau sebenanya?”

”Kau tak perlu tahu” sahut orang itu dengan nada yang dingin. ”Lalu kenapa kau bersembunyi di atas?” ”Tentang hal ini kau juga tidak perlu tahu”

Tidak terasa lagi dia mengerutkan alisnya, sambil tertawa pahit tanyanya lagi

”Oh... kiranya aku tidak boleh mengetahui semua-semuanya!” ”Dengan menempuh seribu li jauhnya kau datang kemari,

tentunya kau ingin menanyakan nama serta asal usulku bukan?”

“ Dia termenung berpikir keras beberapa saat lamanya, kemudian dengan mengangkat bahu sahutnya

“Perkataanmu boleh tidak salah, tidak perduli di tempat mana pun asalkan ada dua orang yang tidak saling kenal bila bertemu sudah tentu harus memperkenalkan nama masing-masing.

“Tetapi keadaan kali ini tidak sama” sahut orang itu singkat “Keadaan ini membuat aku merasa jauh diluar dugaan”, Orang itu tertawa terbahak bahak, sahutnya:

“ Ada suatu urusan yang tak akan diuar dugaanmu, kali ini aku membantu kau untuk mencapai cita-cita yang kau inginkan”

- Benarkah?- tanyanya sambil tertawa pahit,

Nada dari orang itu segera berubah, dengan nada yang amat serius sahutnya, ”Tidak salah, kini jawablah pertanyaanku terlebih dahulu: Siapa namamu?”

Da menjadi ragu-ragu untuk sesaat lamanya, seperminum teh kemudian barulah ujarnya:

“ Kau tidak mau memberitahukan padaku siapakah sebenarnya dirimu kenapa aku harus memberi tahukan namaku padamu?”

” Baiklah. Kalau tak mau bilang juga tidak mengapa”

”Tidak, aku akan memberitahukan padamu” sahutnya sambil tertawa paksa: ”Aku she Ti bernama Then” “Ooh apakah kau adalah Hek Ie hiap atau si pendekar berbaju hitam Ti Then: yang telah menggemparkan seluruh dunia kangouw?” tanya orang itu dengan nada yang agak terkejut.

”Benar” sahut Ti Then singkat,

”Kepandaian silatmu tidak cetek bahkan menurut berita dalam Bu-lim saat ini kau sukar untukmendapatkan tandingan, Kenapa kau malah pergi ke atas puncak gunung Kim Teng San mohon Put Tong Ong alias si Kakek Pemalas Kay Kong Beng menerima dirimu sebagai murid?”

Dengan senjuman sedih sahut Ti Then:

”Sebab-Sebab ini apa aku harus memberitahukan padamu juga?” ”Aku tidak memerintahkan kau harus memberitahukan padaku” ”Kalau begitu kebetulan sekali ” sahut Ti Then dengan serius:

''Aku minta maaf sebesar-besarnya karena sebab-sebab ini aku tidak dapat diberitahukan padamu..”

Orang itu tertawa tergelak, ujarnya:

”Tidak ada halangan, kau ada rahasia yang tidak dapat diberitahukan pada orang lain pula, apalagi aku punya niat untuk menurunkan kepandaian silat padamu”

”Kau ingin menurunkan kepandaian silat kepada diriku?” tanya Ti Then dengan termangu-mangu, ”Kenapa kau

memancing aku untuk menempuh perjalanan sejauh seribu li?” ”Aku ingin mewarisi kau ilmu silat”

Ti Then tidak menyawab lagi, pada saat ini benar-benar dia telah dibikin bingung oleh kelakuannya yang aneh serta melanggar kebiasaan itu.

Orang itu tertawa lagi, ujarnya:

”Hari itu secara kebetulan aku melihat kau berlutut di atas gunung Kim Teng San di depan Kakek Pemalas untuk minta dia menerima dirimu sebagai muridnya. Seballiknya si kakek pemalas itu tetap seperti sebuah patung malas tak menghiraukan dirimu, pada saat itulah timbul keinginanku untuk mewarisi kepandaian silat padamu.”

Dia berhenti sejernak kemudian lanjutnya lagi:

“Sudah tentu, kepandaian yang kau dapat dari diriku jika dibandingkan dengan kepandaian yang didapatkan dari si Kakek Pemalas jauh lebih liehay beberapa kali lipat, aku pernah memukul rubuh dirinya”

Pada saat Ti Then untuk pertama kali menerima surat yang ditinggalnya ditambah lagi telapak tangan yang ditinggalkan di atas batu cadas, dalam hatinya telah tahu kalau kepandaiannya sangat tinggi sekali, tetap kini ketika mendengar kalau dia pernah mengalahkan diri si kakek pemalas Kay Kong Beng hatinya malah merasa tidak percaya, oleh karena selama puluhan tahun kakek pemalas Kay Kong Beng telah dianggap sebagai jago nomor wahid di dalam Bu-lim, kepandaian silat yang dimilikinya sejak dahulu telah dikenal oleh orang-orang Bu-lim, bahkan tidak pernah terdengar berita ada orang yang bisa bertempur seimbang dengan dirinya, semakin tidak pernah didengar pula kalau dia pernah dikalahkan oleh orang lain.

Kini, ‘Majikan patung emas’ itu mengaku pernah mengalahkan diri si kakek Pemalas sudah tentu dia tidak mau mempercayai perkataannya itu

Agaknya orang itu tahu kalau Ti Then tidak mau percaya atas perkataannya, sambil tetap tertawa ujarnya lagi:

”Bilamana kau tidak percaya pada kesempatan dikemudian hari kau boleh bertanya pada dirinya apa dia pernah dikalahkan oleh seorang yang bernama majikan patung emas......he...he...he... aku pikir tentunya dia tidak berani mengakuinya oleh karena dia tahu., kalau aku belum mati”

”Aku akan mempercayainya” ”Kini kau tidak percaya juga tidak mengapa” sahut majikan patung emas itu sambil tertawa, ”Pokoknya pada suatu hari tentu kau dapat membuktikan kebenaran perkataanku ini”

”Tetapi aku tidak punya minat untuk belajar kepandaian dari dirimu” ujar Ti Then tiba-tiba.

Agaknya majikan patung emas itu tidak pernah menyangka kalau Ti Then dapat mengucapkan perkataan itu, untuk sesaat lamanya dia dibuat tertegun agaknya. Setelah lewat beberapa saat lamanya barulah tanyanya:

“Kenapa kau tidak punya minat?”

”Oleh karena aku tidak mau berhutang budi dari dirimu” sahut Ti Then dengan kukuhnya.

Sehabis berkata dengan cepat dia membalikkan tubuhnya meninggalkan gua tersebut.

”Tunggu sebentar” seru majikan patung emas itu dengan keras.

Dengan cepat Ti Then menghentikan langkahnya, tanyanya dengan perlahan:

”Ada petunjuk apa lagi?”

Kau tidak ingin berhutang budi dari diriku apakah dikarenakan aku tidak mau mengangkat kau sebagai muridku?”

Ti Then mengangguk dengan perlahan, sahutnya:

“Benar, Bilamana kau mau menerima aku sebagai muridmu:.dengan begitu hubungan kita adalah guru dengan murid, sudah tentu sebagai murid dapat bela¬jar kepandaian dari dirimu. Kini kau. tidak mau menerima aku sebagai murid sudah tentu aku tidak punya alasan untuk belajar kepandaian dari dirimu”

“He..hee..kelihatannya sifatmu amat jujur dan polos: he... he. .”

Ti Then tidak menyawab, dengan melanjutkan langkah kakinya dia berjalan keluar dari dalam gua. “Jangan pergi dulu” teriak majikan patung emas itu. ”Bagaimana jika kita saling bertukar beberapa syarat?”

”Saling bertukar syarat?” tanya Ti Then sambil memutarkan tubuhnya.

”Aku akan menurunkan kepandaian silat pada dirimu hingga kau dapat menjadi jago nomor tiga dalam dunia ini, sedang kau melakukan pekerjaan bagiku sebagai pembalasannya”

”Apa yang kau maksudkan dengan jago nomor tiga dari dunia?” tanya Ti Then sambil tertawa.

”Artinya aku punya cara untuk membuat dirimu berubah menjadi seorang jago yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan dapat menjagoi seluruh dunia selama setengah tahun ini. Selain aku beserta si Kakek pemalas kau dapat dihitung paling lihay dalam dunia ini"

Hati Ti Then menjadi tértarik akan perkataannya, bukannya dia punya ambisi untuk menjadi jago nomor tiga dalam dunia melainkan karena dia merasa bilamana dia dapat berhasiI melatih ilmu hingga setinggi itu maka urusan pribadinya dapat diselesaikan dengan sangat mudah. Maka tanyanya lagi:

“Benarkah kau dapat mengubah aku menjadi jago nomor tiga di dalam dunia ini ?”

“Sama sekali tidak ada persoalan. sesudah kau selesai melatih ilmumu bilamana di dalam Bu-lim kau bisa menemui orang yang bertempur seimbang dengan dirimu, maka kau dapat mengnapus perjanyian diantara kita dan tidak usah melakukan pekerjaan sesuai dengan perintahku”

Dia berhenti sejennk, kemudian lanjutnya lagi:

“Sudah tentu kau tidak dapat sengaja mengaiah kepada orang lain kemudian mengingkari perjanyian kita”

“Bilamana aku menyanggupi sudah tentu tidak akan berbuat pekerjaan seperti itu.” sahut Ti Then tegas, “Kau menyanggupi tidak?”

„Kau menjuruh aku berbuat pekerjaan apa?” tanya Ti Then. “Mudah sekali permintaanku, aku hanya ingin kau berbuat seperti

ini, ha.. . ha.. ha ..”

Sambil tertawa dia mulai menggerakkan kaki serta tangan patung ema tersebut.

Semula Ti Then menjadi tertegun dibuatnya, kemudian sambil.tersenjum sahutnya:

”Maaf saja. Aku bukan seorang pandai besi, sudah tentu tidak bisa membuat patung seperti itu”

”Kau telab menyalahkan artiku, aku bukannya minta kau buatkan sebuah patung besi bagiku, apa yang aku perintahkan maka kau lakukanlah perintahku itu tanpa mernbantah.”

Di dalam hati sekali pun Ti Then merasa amat gusar tetapi tidak sampai diperlihatkan pada wajahnya, dengan angkat kepalanya dia tertawa keras kemudian membalikkan tubuhnya dengan langkah yang lebar berjalan keluar dari dalam gua.

Melihat hal itu segera majikan patung emas berseru: ”Bagaimana bila kau dengarkan dulu perkataanku baru pergi?”

Ti Then tidak mau memperdulikan dirinya lagi dan tetap melanjutkan langkahnya berjalan keluar dari gua itu.

Tiba-tiba terdengar majikan patung emas tersebut berteriak dengan keras:

”Syarat ini hanya berlaku selama satu tahun saja, sesudah lewat satu tahun kau boleh bebas dan memperoleh kemerdekaan kembali untuk pergi membereskan urusanmu sendiri”

Hati Ti Then menjadi tergerak sedang langkah kakinya pun tak terasa bertambah perlahan. Pada saat itu dalam benaknya terlintas banyak sekali persoalan yang rumit dan akhirnya dia mendapatkan satu keputusan dalam hatinya.

Sekali pun syarat pihak lawan hampir-hampir dikata tidak berperikemanusiaan, tetapi ini merupakan suatu kesempatan yang santgat bagus bagi dirinya untuk mempertinggi ilmu silatnya, bilamana dirinya harus membuang kesempatan ini dengan percuma mungkin untuk selamanya dia tidak akan mendapatkan kesempatan kedua kalinya untuk menjelesaikan persoalan sendiri yang amat rumit.

Akhirnya tubuhnya yang telah berjalan keluar dari gua itu diputar kembali, sambil tertawa tanyanya:

”Sebenarnya kau ingin aku kerjakan pekerjaan apa?”

Majikan patung emas yang melihat dia kembali menyaid sangat girang sekali, sambil tertawa terbahak-bahak sahutnya:

”Sekarang kau tidak perlu bertanya, menanti setelah kau selesai belajar silat tentu aku akan beritahukan padamu”

“Urusan ini harus diterangkan lebih jelas lagi,” ujar Ti Then, ”Kalau tidak bilamana pada waktu itu kau menjuruh aku menerjang lautan api apa aku harus melakukannya juga?”

”Menerjang lautan api hanya merupakan suatu gambaran saja dari ucapan seseorang. Padahal tidak ada urusan yang benar- benar begitu”

”Tetapi, dalam dunia ini banyak sekali terdapat urusan yang jauh lebih sukar dari menerjang lautan api !”

”Benar !” sahut majikan patung.emas, ”Tetapi tidak perduli bagaimana sukar urusan itu juga tidak akan membahajakan jiwamu. Sekali pun misaInya kau harus menerjang lautan api.

“Baiklah. Keselamatan diriku boleh tidak usah klta bicarakan, tadi kau bilang akan membuat aku sebagai patung emasmu, kau perintah aku berbuat apa aku harus melakukannya. Kalau begitu bilamana kau menjuruh aku membunuh seorang budiman aku juga harus membunuh orang itu tanpa membantah?”

”Yang tegas memang begitu Hanya aku tidak akan memerintahkan kau untuk pergi membunuh orang”

”Benar?” potong Ti Then dengan cepat.

”Tugas yang kuberikan padamu kemungkinan sekali tidak dapat terhindar dari suatu pertempuran yang amat sengit dan mungkin juga harus membunuh orang, sudah tentu terserah pada kebijaksanaan serta kepandaianmu”

Mendengar penjelasan itu Ti Then termenung berpikir keras, kemudian barulah sahutnya:

”Aku kira pekerjaan yang kau hendak perintahkan tentu merupakan pekerjaan yang tidak lurus”

”Benar” saghut majikan patung emas sambil tertawa, ”Tetapi kau bisa menggunakan jalan yang lurus untuk menjelesaikannya, tegasnya bila aku memerintahkan kau menangkap seekor ajam, bereslah, sedang kau mau mencuri atau mau membeli aku tidak akan melarang”

Ti Then mengangguk agaknya dalam pikirannya sedang teringat akan sesuatu urusan yang menggelikan, mendadak tak tertahan lagi dia tertawa terbahak-bahak.

”Kau sedang menertawakan apa?” tanya majikan patung emas dengan penuh keheranan.

“Ketika di bawah gunung tad aku telah menemukan seorang kakek tua, dia biIang di atas gunung ini tidak ada yang bernama gua cupu-cupu, aku kira nama dari gua cupu-cupu ini tentu kau yang memberikan bukan?”Ha ha...” Tidak salah. " sahut majikan patung emas. “Coba kau bilang tepat tidak?-‘

“Memang sangat tepat sekali, aku benar-benar tidak tahu di dalam cupu-cupumu sedang menjual jamu apa?

Majikan patung emas itu tertawa terbahak-terbahak, ujarnya: “Mungkin pada suatu hari kau akan tahu, kini berilah jawaban

yang tegas kau mau atau tidak?

“Aku menjetujuinya” sahut Ti Then,” Hanya….yang kau maksud satu tahun harus dihitung mulai kapan?”

”Sudah tentu harus dihitung sejak kau tamat dari latihan silatmu“ Ti Then menjadi sangat girang, ujarnya:

”Baiklah, sekarang silahkan kau memperlihatkan kelihayanmu untuk aku lihat dulu, aku akan membuktikan apa kau boleh dianggap sebagai jago tanpa tandingan yang memiliki kepandaian amat tinggi”

”Boleh, aku akan menggunakan patung emas ini bergebrak dengan kau”’

Ti Then menjadi tertegun, tanyanya:

”Bertempur dengan patung emas ini?”

”Benar” sahutnya, ”Tetapi bukannya bertempur secara sungguh- sungguh, dengan menggunakan patung emas ini aku akan melancarkan satu jurus serangan kepadamu asalkan kau bisa menyebutkan jurus pecahannya sudah cukup”

”Ha..ha..sungguh menarik sekali permainan ini”

"Sesudah patung emas ini melancarkan satu jurus serangan, kau harus segera menyebutkan satu jurus pecahannya, asalkan kau tidak menyawab secara cepat maka aku akan menganggap kau telah kalah” ”Sudah tentu” sahut Ti Then sambil mengangguk, ”Kalau bertempur secara sungguh-sungguh, apabila aku tidak berhasil segera mengeluarkan jurus pecahannya pada saat itu mungkin aku telah terluka bahkan mungkin binasa”

”Aku dengar ilmu pedangmu amat sempurna dan telah menjagoi seluruh Bu-lim, tetapi aku akan mengalahkan kau di dalam lima jurus ini mengalahkan dirimu, aku juga tidak akan ada muka lagi untuk bertukar syarat dengan dirimu”

Sejak Ti Then untuk pertama kalinya berkelana dalam dunia kangouw selamanya sukar baginya untuk menemukan lawan yang dapat bertempur seimbang dengan dirinya, saat ini begitu mendengar majikan patung emas itu hendak mengalahkan dirinya di dalam lima jurus saja, dalam hatinya sangat tidak percaya. Segera dia mengangguk sambil sahutnya:

”Baiklah, silahkan kau melancarkan jurus serangan”

Majikan patung emas itu tidak membuka mulutnya lagi tampak patung emasnya segera digerakkan olehnya, sepasang kakinya mendadak menarik ke belakang, tubuhnya berdiri tegak. sedang pedangnya dilintangkan di depan dadanya. Sikarmja mirip sekali dengan seorang manusia hidup.

Sepasang matanya memandang mendatar sedang hawa murninya dipusatkan pada pusar sehingga secara samar-samar memperlihatkan keadaan yang amat serius sekali.

Ti Then tidak berani berlaku gegabah, dengan memusatkan seluruh perhatiannya dia memandang kearahnya.

Tiba-tiba terdengar majikan patung emas itu membentak dengan keras:

”Sambutlah serangan ini”’

Tubuh patung emas itu sedikit merendah, kakinya berbentuk gambar panah sedang tubuhnya mendadak berputar setengah lingkaran. Pedang panjangnya setelah berputar di depan secara tiba-tiba meneruskan gerakannya menusuk ke depan. Jurus ini kelihatan amat sederhana sekali dan disebut dengan jurus ’Coan Sin Si Yen’ atau memutar tubuh memanah burung seriti. Tampak jurus itu Ti Then tertawa, sahutnya dengan cepat:

”Hwi Liong Tiam Cu atau naga membalik menutul mata” ”Jurus pecahan jan amat bagus, terima lagi seranganku ini”

Begitu suara tersebut keluar dari mulutnya, pedang panjang dari patung emas itu lebih ditekan ke bawah bersamaan pula kaki kirinya diangkat ke atas, gajanya mirip sekali dengan jurus ajam emas berdiri disatu kaki, tetapi mendadak pedang panjangnya melancarkan tusukan ke depan.

Ti Then melihat jurus yang digunakan ini pun merupakan jurus ”Jin Liong Jut Si” atau naga menjelam timbul di atas air yang merupakan jurus sangat biasa sekali dalam hatinya diam-diam merasa sangat geli, segera sahutnya:

”Sun Swi Tui Co atau mengikuti air mendorong perahu”

Mendadak kaki patung emas ini menggelincir ke depan sedang tubuhnya berputar di tengah udara, pedang panjangnya dengan mengikuti gerakan itu menusuk ke bawah.

Ti Then tidak berpikir panjang lagi, ujarnya dengan segera:

”Yu Tiau Liong Bun atau ikan melompat ke pintu naga..menjerang alismu”

Pada saat itu tubuh patung emas masih belum berdiri tegak, tampak kepalanya miring ke samping pedang panjangnya yang menusuk ke bawah mendadak mengencang dan menusuk ke atas dengan kecepatan yang luar biasa.

Air muka Ti Then segera berubah, dengan gugup serunya:

”Aku menggunakan jurus Koay meng Huan Sin atau ular aneh membalikkan tubuh” Perkataannya baru saja keluar dari mulutnya, patung emas itu telah meloncat ke atas sedang pedang panjang ditangannya menusuk ke sebelah kiri tubuhnya.

Saat itu Thi Then telah tahu kalau kepandaian pihak lawan sangat lihay sekali sehingga sukar diukur, bukannya dia merasa sedih atas kekalahannya ini malah sebaliknya sangat gembira sekali, sambil tertawa sahutnya:

”Benar, aku mau belajar kepandaian silat dari kau dan menjadi patung emasmu selama satu tahun”

Agaknya majikan patung emas itu pun merasa sangat girang, ujarnya kemudian:

”Kalau begitu, ada suatu syarat yang harus kau ketahui terlebih dahulu, apabila kau telah menjadi patung emasku dan berani melanggar apa yang aku perintahkan bahkan tidak mau menjelesaikan tugas yang aku berikan dengan sebaik-baiknya, aku dapat membunuh dirimu”

”Baiklah!” sahutnya Ti Then sambil mengangguk, ”Aku akan menyanggupi syaratmu itu dan kini silahkan kau turun untuk memperlihatkan dirimu”

“Tidak” ujar majikan patung emas, “Mulai hari ini juga hingga saat kau selesai belajar kepandaian silat aku akan tetap berdiam terus di atas atap dinding gua ini”

Mendengar perkataan itu Ti Then menjadi tertegun, tanyanya: “Kalau begitu kau akan menggunakan cara apa untuk memberi

pelajaran ilmu silat kepadaku?”

Sambil menggerakkan kaki tangan patung emasnya dia tertawa terbahak-bahak, sahutnya:

“Aku akan menggunakan patung emas ini menurunkan ilmu silat kepadamu”

Sekali lagi Ti Then menjadi tertegun dibuatnya, serunya: ”Kalau begitu...apa kau tidak akan makan untuk selamanya?”

”Aku akan makan dan akan tidur di atas atap dinding gua ini juga”

”Oooh..”

”Besok pagi kau harus turun gunung untuk membeli bahan makanan serta peralatan yang diperlukan, besok lusa aku akan mulai menurunkan pelajaran ilmu silat padamu”

”Kau..kenapa kau harus berbuat secara demikian?” ”Ini merupakan rahasiaku!”

”Tidak dapat diberitahukan kepadaku?” tanya Ti Then.

”Tidak dapat” sahut majikan patung emas itu, ”Kau tidak perlu tahu dan lebih baik tidak usah bertanya terus, hal ini akan mendatangkan celaka bagi dirimu”

”Ehmm...”

”Baiklah” ujar majikan patung emas itu lagi, ”Kini cuaca telah mulai gelap, malam ini kau tidurlah di dalam gua ini bilamana perutmu telah lapar di atas batu cadas di belakang tubuhmu telah tersedia rangsum untukmu”

”Sekarang perutku masih belum lapar, aku pikir hendak mandi dulu di mata air”

Tiba-tiba terdengar Majikan patung emas itu berbicara lagi, ujarnya:

”lima puluh langkah di sebelah barat diluar gua terdapat sebuah mata air dan ini merupakan persediaanku selama setengah tahun mendatang ini, janganlah kau bikin kotor”

”Baik” sahut Ti Then singkat.

“Ada lagi, apa kau akan menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri?” ”Keinginanku ini tumbuh dari lubuk hatiku, buat apa harus melarikan diri?” sahut Ti Then.

”Itulah lebih bagus, kau pergilah!”

Ti Then memutar tubuhnya berjalan keluar dari dalam gua dan pergi mencari sumber air di gunung untuk mandi, agar air yang dingin dan segar itu membuat seluruh tubuhnya terasa segar dan bersemangat kembali.

Pada saat itu rembulan telah terpancang jauh ditengah angkasa yang telah berubah menjadi hitam gelap itu, dengan termangu- mangu dia membaringkan diri ditengah mengalirnya sumber air itu, dengan tenang dia mengingat kembali pengalaman aneh yang dialaminya hari ini serta memikirkan keputusan hati dirinya.

Terhadap keputusannya untuk menjadi patung emas selama satu tahun dan mau mengikuti segala perintah majikan patung emas, dia sama sekali tidak menjesal. Sekali pun dia tahu pekerjaannya amat memalukan sekali tetapi dia pun merasa kalau inilah satu-satunya kesempatan yang paling baik bagi dirinya untuk memperoleh pelajaran ilmu silat yang sangat mengejutkan..satu-satunya jalan pula untuk menjelesaikan persoalan pribadinya yang terasa amat sulit itu.

Sekarang, terhadap gerak-gerik serta cara bertindak di dalam segala persoalan dari majikan patung emas itu dia amat merasa terkejut dan tidak mengerti. Dengan tidak henti-hentinya dia putar otak, memeras keringat untuk memperoleh jawaban, siapa dia sebenarnya? Kenapa dia tidak mau memperlihatkan wajahnya? Dia minta dirinya menjadi patung emas sebenarnya punya tujuan apa? Semua persoalan ini tidak dapat diperoleh jawabannya saat ini, tetapi masih ada suatu hal yang masih dapat dia simpulkan. Majikan patung emas itu tidak mau memperlihatkan wajah sesungguhnya, semuanya bukanlah dikarenakan wajahnya yang tumbuh sangat jelek sehingga takut diperlihatkan pada orang lain. Oleh karena dia tidak selalu menyembunyikan diri di atas atap dinding gua itu, dia telah memancing dirinya..Ti Then..dari gunung Kim Teng San yang amat jauh letaknya hingga ke tempat ini.

Dengan demikian, kalau majikan patung emas itu berani memperlihatkan wajah aslinya di depan banyak orang, kenapa kini tidak mau menampilkan dirinya untuk bertemu muka dengan dirinya.

Dari hal ini dia dapat mengambil dua kesimpulan lagi. Pertama Majikan patung emas itu tentu sedang menggunakan dirinya untuk menjelesaikan suatu rencana yang tidak jelas sebaliknya dia pribadi tidak ingin tersangkut secara langsung di dalam urusan ini. Kedua, mungkin dia adalah merupakan seorang jago berkepandaian tinggidari Bu-lim yang dia kenal baik. Oleh karena itu dia tidak ingin bertemu muka secara langsung dengan dirinya.

Kepandaian dari majikan patung emas itu memang benar-benar sangat tinggi sekali, bahkan tenaga pukulannya juga merupakan jago yang sukar untuk dicarikan tandingannya, terbukti dia dapat menekan batu cadas yang besar sehinggga meninggalkan bekas telapak tangan sedalam tiga cun.

Teringat kembali oleh Ti Then terhadap setiap bekas telapak tangan yang ditinggalkan majikan patung emas di tengah jalan, teringat kembali keempat jurus serangan ilmu pedang yang mengalahkan dirinya barusan ini, tidak terasa lagi pikirannya semakin terjerumus ke dalam lamunan yang memabokkan.

Keesokan harinya, dengan perantara patung emasnya majikan patung emas itu memberikan lima puluh tail perak serta sbuah daftar keperluan yang dibutuhkan untuk mereka kepada diri Ti Then dan memerintahkan dirinya untuk membeli barang-barang keperluan sesuai dengan perintahnya itu.

Dengan menurut perintah Ti Then berjalan turun gunung, setelah melakukan perjalanan sejauh kurang lebih lima puluh li barulah ditemukan sebuah dusun kecil yang sangat ramai, ketika dia berhasil mengangkut seluruh kebutuhan serta bahan makanan ke atas gunung Lo Cin San cuaca pun telah mendekati magrib kembali.

Dengan bagi dua kali jalan, barang-barang kebutuhan serta bahan makanan berhasil dimasukkan ke dalam gua cupu-cupu di atas puncak gunung, kemudian segera memasang api memasak air.

Tanya Majikan patung emas itu:

”Waktu dahulu apa kau pernah melakukan pekerjaan seperti ini?” ”Tidak pernah” sahut Ti Then singkat.

”Dapat masak sajur?” tanya Majikan patung emas itu lagi.

”Apabila kau tidak terlalu membicarakan rasa dari setiap masakan, kemungkinan masih boleh juga mematangkan sajur-sajur ini”

Majikan patung emas itu tertawa keras, ujarnya lagi:

”Bila aku tidak membicarakan soal rasanya dari setiap masakan sama saja dengan kau makan daging elang tanpa menggunakan garam”

Mendengar perkataan itu Ti Then menjadi termangu-mangu, katanya:

”Di dalam perjalanan ini kau selalu membuntuti diriku?”

”Tidak salah!” sahut Majikan patung emas, ”Aku harus mengetahui apakah ditengah jalan kau bisa berubah pikiran atau tidak”

”Kalau begitu, kenapa kau begitu teganya melihat aku hampir- hampir mati tetapi sama sekali tidak turun tangan memberi pertolongan?”

”Kau menanyakan peristiwa ditengah pegunungan yang sunyi kemarin siang itu?” tanya Majikan patung emas. ”Benar” sahut Ti Then, ”Waktu itu aku telah empat hari lamanya tidak makan sebutir nasi pun,  hampir-hampir saja mati saking laparnya”

Majikan patung emas itu tertawa terbahak-bahak, ujarnya:

”Aku tahu kalau kau sangat lapar dan dahaga sekali, tetapi ketika kemarin kau rubuh ke atas tanah dan tidak bergerak lagi aku telah tahu kalau kau sedang berpura-pura”

Ti Then berdiam diri tidak menyawab dan menggoreskan korek api untuk membuat api.

Terdengar majikan patung emas itu berkata lagi:

”Tujuanmu pura-pura mati kemarin siang ada dua, tujuan yang pertama adalah untuk memancing datangnya burung elang itu untuk kau dahar, sedang tujuan yang kedua adalah memancing munculnya diriku, bukankah begitu?”

”Tidak benar” sahut Ti Then dengan tawarnya, ”Sama sekali aku tidak pernah mem punyai ingatan kalau kau sedang membuntuti diriku”

”Benarlah” sahut Majikan patung emas sambil tertawa keras, ”Sekali pun dahulu aku tidak pernah tahu kalau kau adalah Hek Ie hiap, Ti Then adanya. Tetapi ketika aku mengawasi secara diam- diam segala gerak-gerikmu ditengah perjalanan segera telah kuketahui kalau kau merupakan seorang pemuda yang amat cerdik lagi licin...saking licinnya hingga seperti seekor rase”

”Bila aku adalah seekor rase maka kau tentunya merupakan seekor siluman rase pula”

Perkataannya ini bilamana ditinyau dari keadaan situasi sekarang ini dimanan orang itu hendak menurunkan kepandaian silat kepada dirinya boleh dikata sangat tidak hormat sekali, tetapi perkataan itu meluncur keluar dari mulutnya tanpa dipikir lebih panjang lagi oleh karena dia hanya sangat kagum dan memuji terhadap kepandaian silatnya yang amat tinggi, tetapi sama sekali tidak memuji atau kagum terhadap tingkah lakunya, sebab dia menganggap kalau dirinya sedang melakukan pertukaran syarat dengan orang itu jadi sama sekali tidak perlu bersikap hormat terhadapnya.

Siapa tahu majikan patung emas itu sama sekali tidak dibuat gusar oleh perkataannya itu, sambil tertawa terbahak-bahak sahutnya:

”Tidak salah, memang aku harus disebut siluman rase, siluman rase yang memiliki pikiran serta kepandaian yang tinggi”

Tidak lama, sajuran serta nasi yang ditanaknya dengan amat sederhana itu telah matang, sambil menghembuskan napas lega, Ti Thenangkat kepalanya bertanya:

”Dengan cara apa aku harus mengantar makanan ini untukmu?” ”Taruh saja di atas batu cadas tepat di bawahku itu sudah cukup”

Dengan mengikuti perkataannya Ti Then meletakkan sajuran serta nasi itu di atas batu cadas, dengan menggunakan kesempatan ketika mundur ke belakang itu dengan tergesa-gesa dia melirik sekejap ke atas tetapi yang dilihatnya hanya tempat yang amat gelap saja.

Ujar Majikan patung emas itu secara tiba-tiba:

”Kita masih ada waktu untuk berkumpul selama setengah tahun lamanya, aku harap kau jangan begitu keheran-heranan melihat ke atas, hal ini sangat berbahaja terhadap keselamatanmu”

Hati Ti Then serasa berdesir, dengan tertawa yang dipaksa sahutnya:

”Pada suatu hari bila aku tahu siapakah kau sebenarnya bukankah kau akan segera membunuh diriku?”

”Tidak salah” sahut majikan patung emas itu dengan dinginnya.

Ti Then tidak mengucapkan kata-kata lagi dan mengundurkan diri ketempat semula untuk mulai mendahar mengisi kekosongan perutnya. Dengan perlahan-lahan majikan patung emas mengambil nasi serta sajuran yang berada di atas batu cadas itu, tak lama kemudian terdengar sambil mendahar ujarnya dengan tertawa:

”Bagus sekali, masakanmu ternyata tidak jelek”

Ti Then tetap tidak membuka mulutnya untuk berbicara, bukannya dia tak senang berbicara dengan majikan patung emas sebaliknya memangnya dia merupakan seseorang yang pendiam dan wegah untuk berbicara lebih banyak.

Ketika majikan patung emas itu mendengar tidak ada lagi jawaban, mendadak tertawa lagi ujarnya:

”Ti Then, ada orang bilang kau merupakan seorang yang sangat aneh serta misterius sekali, kenapa begitu?”

”Karena orang-orang di dalam dunia kang-ouw hanya tahu aku bernama pendekar baju hitam Ti Then saja, sedang tentang lainnya tidak seorang pun yang mengetahuinya”

”Siapa suhumu?” tanya majikan patung emas lagi. ”Tidak tahu!”

Majikan patung emas itu segera tertawa tergelak, tanyanya kemudian:

”Siapakah orang tuamu tentunya kau tahu bukan?”

”Juga tidak tahu” sahutnya sambil menggelengkan kepalanya. Sekonyong-konyong majikan patung emas itu tertawa terbahak-

bahak dengan kerasnya, ujarnya:’

”Baik, baiklah. Masih tetap pada perkataan kemarin malam, aku mem punyai rahasia yang tidak dapat diberitahukan kepada orang lain, kau pun mem punyai rahasia yang tidak dapat diberitahukan kepada orang lain, sejak hari ini juga aku tidak akan menanyakan urusan apa  pun terhadap dirimu”

Ti Then hanya tertawa-tawa sahutnya: ”Bukannya aku tidak ingin memberitahu padamu, sebaliknya memangnya aku benar-benar tidak mengetahuinya”

Suara tertawa tergelak dari majikan patung emas itu semakin keras, suaranya bergema tak henti-hentinya di dalam gua yang kosong melompong itu membuat telinga Ti Then serasa berdengung dengan tak hentinya.

Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali majikan patung emas itu sudah mulai mewarisi ilmu silatnya pada Ti Then, dengan menggunakan patung emasnya dia mula-mula mengajar suatu ilmu pukulan yang amat aneh tetapi sakti sekali. Oleh karena perubahan yang terdapat di dalam ilmu pukulan itu sangat banyak serta mendalam sekali artinya, maka selama satu hari penuh Ti Then hanya berhasil mengingat seperlima dari rangkaian ilmu pukulan tersebut.

Sampai pada hari ketujuh barulah dia berhasil mengingat-ingat serangkaian ilmu pukulan itu. Saat itulah majikan patung emas baru mulai menjelaskan kegunaan dari setiap jurus ilmu pukulan itu, berturut-turut selama tiga hari lamanya barulah Ti Then berhasil menjelami seluruh inti serta kegunaan dari ilmu pukulan itu.

Tetapi memahami bukannya berarti telah terlatih hingga matang, maka pada malam kesepuluh, ujar Majikan patung emas itu:

”Mulai besok kau boleh berlatih ilmu pukulan itu seorang diri diluar gua, ilmumu haruslah kau latih hingga bisa memukul balok kaju hingga sedalam tujuh cun, saat itulah kau baru dapat dianggap sudah matang tiga bagian”

Keesokan harinya Ti Then dengan mengikuti perintahnya berlatih ilmu pukulan itu seorang diri diluar gua, sebenarnya dia memang sudah memiliki bakat yang sangat bagus sehingga setelah berlatih beberapa kali mendadak dengan mengerahkan tenaganya dia melancarkan pukulan kearah sebuah pohon besi yang sangat besar sekali.

”Kraaak....” pohon besi yang sangat besar itu dengan mengeluarkan suara yang amat nyaring telah terpukul rubuh hingga menjadi dua bagian. Melihat hal itu Ti Then menjadi amat girang, sambil berlari ke dalam gua teriaknya:

”Aku sudah berhasil...aku sudah berhasil”

Siapa tahu majikan patung emas itu dengan tertawa dingin ujarnya:

”Bukankah kau berhasil memukul rubuh sebatang pohon besar?” ”Benar” sahut Ti Then. Pohon itu sangat besar sekali, dahulu aku

belum pernah berhasil berbuat seperti ini”

”Mungkin kau telah lupa akan rahasia yang telah aku terangkan padamu, aku memerintahkan kau untuk berlatih hingga pukulanmu dapat meninggalkan bekas telapak pada pohon itu sedalam tujuh cun, bukannya meminta kau untuk pukul rubuh pohon tersebut”

Ti Then menjadi tertegun atas perkataannya itu, bantahnya: ”Tetapi bukankah memukul rubuh sebatang pohon jauh lebih

lihay daripada hanya meninggalkan bekas pukulan telapak sedalam

tujuh cun pada batang pohon itu?”

”Tidak, pukulan dahsyat yang hanya meninggalkan bekas telapak sedalam tujuh cun tetapi tidak sampai merubuhkan batang pohonnya sendiri barulah dapat disebut lihay”

Dengan kebingungan ujar Ti Then lagi:

”Tetapi untuk memukul hingga meninggalkan bekas sedalam tujuh cun itu harus menggunakan tenaga yang besar, dengan demikian pohon itu mungkin akan ikut tumbang pula”

Majikan patung emas itu tertawa ringan, sahutnya:

”Agaknya aku harus memberi suatu contoh padamu baru dapat membuat kau benar-benar paham”

”Silahkan memberi petunjuk”

”Pada tahun yang telah silam aku pernah menggunakan sebatang pedang membunuh seseorang, pedangku dengan satu kali sambaran saja sudah berhasil memutuskan pinggang pihak lawan, tetapi dia sama sekali tidak merasa bahkan tetap memaki-maki terus kepada diriku, menanti ketika dia mulai menggerakkan kakinya tubuh yang bagian atas baru lepas dari tubuhnya bagian bawah, tahukah hal ini apa sebabnya?”

Selamanya Ti Then belum pernah mendengar peristiwa yang demikian anehnya, tidak terasa lagi dia menjadi sangat terkejut, tanyanya:

”Apa sebabnya?”

”Sebabnya karena gerakan pedangku terlalu cepat sehingga sama sekali dia tidak tahu kalau pedangku telah berhasil membabat putus pinggangnya, seseorang bilamana tidak tahu kalau dirinya sebenarnya telah ’binasa’, maka seluruh semangat serta tenaganya masih bisa mempertahankan hidupnya untuk suatu saat tertentu”

Dengan nada yang penuh keheranan dan terkejut, tanya Ti Then: ”Kau..ilmu pedangmu apa benar-benar sudah mencapai

kecepatan begitu?”

”Tidak salah” sahut majikan patung emas, ”Pengalaman kita pada hari pertama aku memangnya telah sungguh-sungguh menggunakan jurus serangan yang sesungguhnya bertempur melawan kau, maka kau masih bisa menahan tiga buah seranganku. Padahal bila aku benar-benar turun tangan jangan dikata tiga jurus hanya cukup satu jurus pun mungkin kau sudah tidak sanggup untuk menerimanya, kepandaianku sebenarnya mengutamakan kecepatan gerak”

”Aku dengar katanya kepandaian dari kakek pemalas Kay Kong Beng juga mengutamakan gerakan yang cepat” ujar Ti Then.

”Sekali pun ilmu pedangnya sangat cepat tetapi dia tidak secepat diriku, aku dapat melancarkan tujuh kali serangan tusukan di dalam sekejap, sebaliknya dia hanya bisa mencapai lima kali tusukan saja”

Dia berhenti sejenak kemudian tanyanya lagi: ”Kini sudah paham belum?”

”Sudah paham” sahut Ti Then sambil mengangguk. ”Kalau begitu, teruskanlah berlatih dengan rajin”

Ti Then memutarkan tubuhnya dan berlalu dari tempat itu, tetapi baru saja berjalan beberapa langkah telah berhenti lagi, tanyanya:

”Menurut penglihatanmu aku harus berlatih berapa lama hingga bisa berhasil memukul hingga meninggalkan bekas pukulan sedalam tujuh cun pada batang pohon tetapi tidak sampai mematahkannya”

Mendengar pertanyaan itu majikan patung emas termenung berpikir keras beberapa saat lamanya, kemudian barulah sahutnya:

”Bakatmu tidak jelek, asal berlatih dengan rajinnya setiap hari kemungkinan sesudah setengah bulan baru berhasil”

”Ehmm..” sahut Ti Then kemudian bertindak keluar dari dalam gua dan mulai berlatih lagi dengan rajinnya.

Berturut-turut dia berlatih selama lima hari lamanya, pukulannya telah berhasil meninggalkan bekas pukulan sedalam satu cun pada batang pohon tanpa menggojangkan tubuh pohon itu sendiri, setelah itu setiap tiga hari dia berhasil menambah satu cun lagi, tidak salah lagi setelah setengah bulan lamanya akhirnya dia berhasil mencapai hasil seperti apa yang diminta oleh Majikan patung emas itu.

Pada bulan yang kedua dia mulai mempelajari suatu rangkaian ilmu telapak dari Majikan patung emas itu. Ilmu telapak ini jauh lebih sukar dipelajari jika dibandingkan dengan ilmu pukulan. Jurus- jurus serangannya amat ruwet dan sukar apalagi tenaga pukulan telapaknya harus berhasil meninggalkan bekas telapak sedalam satu cun pada permukaan batu cadas yang sangat keras bahkan tidak diperkenankan kalau sampai permukaan batu menjadi hancur oleh pukulannya. Dengan tidak mengenal lelah Ti Then , berlatih keras selama empat puluh hari lamanya dan akhirnya berhasil juga dia menguasai ilmu telapak itu.

Jika dihitung dengan jari sejak dia naik gunung hingga kini telah dua bulan lamanya, sedang di dalam dua bulan ini boleh dikata merupakan penghidupan yang paling susash selama hidupnya, tetapi dengan tidak mengenal lelah dan letih dia berlatih terus dengan rajinnya karena dia seratus persen telah percaya kalau majikan patung emas itu akan berhasil membuat dirinya menjadi jago nomor tiga di dalam dunia Kang-ouw pada saat itu.

Majikan patung emas yang melihat cara berlatihnya amat rajin juga merasa amat gembira sekali, sesudah itu dia mulai menurunkan ilmu meringankan tubuh pada dirinya.

Sebulan telah lewat dengan cepatnya, ilmu pukulan, ilmu telapak serta ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Ti Then telah jauh lebih maju jika dibandingkan sesaat dia mulai naik gunung.

Hari itu sesudah makan malam tiba-tiba tanya majikan patung emas:

”Ti Then, kau naik gunung sudah berapa bulan lamanya?” ”Tiga bulan lebih sembilan hari” sahut Ti Then singkat. ”Hee..he..perhitunganmu sungguh amat jelas sekali!”

Ti Then tidak menggubris, ujarnya lagi:

”Jaraknya dengan setengah tahun perjanyian kita masih ada kurang lebih delapan puluh hari lamanya”

”Tidak salah, kemajuan yang kau capai ternyata jauh lebih cepat dua puluh hari dari dugaanku semula, aku mengira paling cepat kau tentu harus menghamburkan empat bulan lamanya untuk berhasil melatih ilmu pukulan, ilmu telapak serta ilmu meringankan tubuh tiga macam kepandaian. Tetapi jika dilihat sekarang ini kemungkinan sekali tidak perlu setengah tahun kau sudah bisa turun gunung. ”Kau masih akan mewariskan kepandaian apa lagi kepada diriku?” tanya Ti Then.

”Ilmu pedang”

”Untuk ini harus membutuhkan berapa lamanya?” tanyanya lagi. ”Sebenarnya harus membutuhkan dua bulan lamanya” sahut

majikan patung emas, ”Tetapi dengan kemajuanmu yang kau capai sekarang ini, kemungkinan hanya cukup satu setengah bulan sudah berhasil”

”Kalau benar-benar begitu tentunya aku akan turun gunung tiga puluh hari lebih pagi?”

”Benar” sahut majikan patung emas, ”Kau turun gunung lebih pagi berarti juga kau dapat bebaskan dirimu sendiri satu bulan lebih cepat, terhadap dirimu tidak ada ruginya”

”Sudah tentu, kapan kau akan mulai menurunkan ilmu pedang kepadaku?”

”Besok” sahut majikan patung emas singkat.

Keesokan harinya ternyata Majikan patung emas itu menepati janyinya dan mulai menurunkan ilmu pedang kepada Ti Then, baru saja dia melihat gerakan beberapa jurus serangan dari patung emas itu segera dia sadar kalau ilmu pedang ini beberapa ratus kali lipat jauh lebih sukar dilatih jika dibandingkan dengan berlatih ilmu pukulan, ilmu telapak mau pun ilmu meringankan tubuh, tetapi dia tidak memperdulikannya juga, dia tahu bahwa orang yang mau menerima penderitaan lebih dahulu itulah yang dapat mencapai kesuksesan.

Meski pun begitu untuk menjelesaikan kesukaran dirinya pun mau tak mau dia harus mengukuhkan pendiriannya untuk tetap berlatih dengan sabarnya.

Di dalam sekejap saja satu setengah bulan telah lewat dengan cepatnya, ilmu pedangnya telah mencapai pada taraf yang hampir- hampir dirinya sendiri tidak percaya, di dalam satu kali gerakan pedangnya dia dapat membabat putus tiga batang lilin tanpa menggerakkan lilin itu sendiri dari tempat semula.

Melihat kemajuan itu, majikan patung emas menjadi sangat girang sekali ujarnya:

”Sudah cukup!” Ti Then, dalam dunia kangouw saat ini selain aku serta si kakek pemalas Kay Kong Beng tidak akan ada lagi seorang pun yang merupakan tandinganmu”

”Aku pun merasa kalau aku telah berubah menjadi seorang lain” sahut Ti Then dengan perlahan, ”Kini apakah aku benar-benar telah menjadi jago nomor tiga dalam dunia kang-ouw, aku masih membuktikan dengan mata kepalaku sendiri”

”Kecuali kalau di dalam bu-lim masih terdapat jago-jago berkepandaian tinggi yang menyembunyikan diri, kalau tidak sekarang kau boleh dikata telah merupakan seorang jago berkepandaian tinggi yang tanpa tandingan di dalam dunia kangouw”

Ti Then hanya tertawa saja, ujarnya kemudian:

”Apabila aku sampai bertemu dengan jago berkepandaian tinggi yang dapat mengalahkan diriku, aku akan segera membatalkan perjanyian kita dan tidak akan menjadi patung emasmu lagi”

”Baiklah” sahut majikan patung emas, ”Tetapi kau tidak dapat pura-pura kalah, bilamana kau sengaja mengalah pada orang lain, aku akan segera membunuh dirimu”

”Perkataan seorang lelaki sejati selamanya tidak akan ditarik kembali, apa yang sudah aku katakan tentu tidak akan kulanggar sendiri dan berbuat pekerjaan yang demikian memalukan”

Majikan patung emas itu hanya tertawa-tawa, ujarnya: ”Aku akan menggunakan waktu untuk membuktikannya?”

”Tetapi bilamana aku benar-benar dikalahkan orang lain, dengan cara apa aku harus membuktikan agar kau mau mempercayainya?” ”Sesudah kau turun gunung” sahut majikan patung emas, ”Aku akan bertindak seperti cacing di dalam perutmu, selamanya akan mengikuti jejakmu, bilamana kau sunggug-sungguh dikalahkan orang lain aku akan bisa melihatnya dengan sangat jelas”

Mendengar hal itu tidak terasa lagi seluruh bulu kuduk Ti Then pada berdiri, ujarnya:

”Kenapa secara diam-diam kau akan terus menerus mengikuti diriku?”

”Kalau tidak berbuat demikian bagaimana aku dapat memberi petunjuk serta memberi perintah kepadamu?”

”Oooh..” sahut Ti Then, ”Baiklah, pertanyaan yang terakhir tugasmu yang kau serahkan kepadaku apabila ada yang merupakan tugas yang bukan seharusnya diselesaikan dengan menggunakan kepandaian silat..”

Tidak menanti dia selesai berkata, memotong majikan patung emas itu dengan cepat:

”Kau dapat menjelesaikannya dengan menggunakan cara lain” ”Tetapi apabila sekali pun telah berusaha sekuat tenaga masih

tetap tidak bisa membereskannya?”

”Asalkan kau telah bekerja sekuat tenaga, sekali pun tidak berhasil aku juga tidak akan menyalahkan dirimu”

”Itu   pun sangat bagus, kapan aku harus turun gunung?” tanya Ti Then lagi.

”Sebelum aku memberi tahu tugas apa yang harus kau laksanakan untuk pertama kali ini aku harus menjelaskan padamu terlebih dahulu, sejak besok pagi kau adalah patung emasku, aku memerintahkan kau berbuat apa pun kau harus melaksanakannya tanpa membantah. Dengan perkataan lain, sekali pun kau merupakan seorang yang masih hidup tetapi merupakan sesosok tubuh tanpa nyawa, tidak memiliki akal budi, tidak tahu baik buruk dan tak ada pendapat apa pun juga. Bilamana aku menjuruh kau makan yang manis sekali pun kau tidak suka akan barang-barang yang manis juga harus dimakan, paham tidak?”

”Paham” sahut Ti Then sambil mengangguk, ”Tetapi hanya ada satu urusan yang aku tidak akan melaksanakannya, kau tidak boleh memerintahkan aku untuk membunuh seseorang yang berbudi”

”Baiklah” sahut majikan patung emas sambil tertawa, ”Tetapi untuk mengetahui baik buruknya orang-orang yang ada di dalam dunia ini sebenarnya amat sukar, apa kau bisa membedakannya?”

”Aku pasti sanggup” sahut Ti Then dengan mantap. ”Perkataanmu    begitu    tegas    serta    mantapnya,    hal    ini

membuktikan   kalau   pengetahuanmu   terhadap   manusia   masih

sangat kurang”

”Sekali pun sangat jelas terhadap seluk beluk manusia juga tidak tentu berguna..silahkan sekarang kau mulai memberi tahu tugasku yang pertama untuk aku selesaikan”

Majikan patung emas itu berdiam diri lama sekali, kemudian barulah ujarnya sepatah demi sepatah:

”Tugas pertama yang harus kau selesaikan adalah pergi mengawini seorang nona menjadi suami isteri”

Mendengar tugasnya itu Ti Then menjadi amat terkejut, dengan melongo serunya:

”Kau bilang apa?”

”Menjadi suami isteri dengan seorang nona”

”Ini mana mungkin, aku masih tidak ingin kawin terlebih dahulu” teriak Ti Then dengan keras.

”Harap kau perhatikan” sahut majikan patung emas itu dengan dinginnya, ”Kau adalah patung emasku, kau tidak   punya nyawa, kau tidak tahu baik buruknya, kau tidak punya pendapat” Ti Then mimpi pun tidak menyangka kalau tugas pertamanya yang harus dia kerjakan adalah pergi mengawini seorang nona, tidak terasa lagi hatinya menjadi amat gugup dan kacau, ujarnya:

”Tetapi..”

”Tidak ada tetapi segala” potong majikan patung emas itu dengan dinginnya.

Ti Then menarik napas panjang-panjang, sesudah berhasil menenangkan pikirannya barulah dia berkata sambil tertawa pahit:

”Coba kau dengarkan dulu perkataanku” Potong majikan patung emas itu dengan cepat:

”Tidak perduli kau berkata apa pun sekarang sudah terlambat”

Aku hanya menyanggupi untuk menjadi patung emasmu selama satu tahun bukannya menjual diriku untuk selamanya” timbrung Ti Then.

”Aku tidak pernah berkata kalau selama hidupmu kau jual padaku”

”Tetapi perkawinan merupakan suatu peristiwa yang amat besar selama hidup” bantah Ti Then.

Satu tahun sesudah perjanyian kita habis, bilamana kau tidak suka padanya kau boleh membuang dirinya”

”Perkataan macam apa itu, apa kau kira perkawinan dapat dianggap sebagai barang mainan?” ujar Ti Then dengan agak gusar.

”Bilamana kau merasa tidak baik untuk melepaskan dirinya, kau boleh terus menjadi suaminya”

”Tetapi aku masih tidak ingin berkeluarga”

”Itulah pendapatmu?” tanya Majikan patung emas. ”Benar!”

”Hee...hee..hee..tetapi kini aku sudah menjadi patung emasku, kau tidak berhak merusak penghidupanku untuk selamanya” ”Aku tidak punya maksud untuk merusak seluruh hidupmu, aku hanya minta kau menjadi suami isteri dengan nona itu selama setahun ini, setelah satu tahun lewat kau mau atau tidak meneruskan perkawinan itu bukan urusanku lagi”

Bagaikan digujur oleh sebaskom air dingin dengan lemasnya Ti Then menyatuhkan diri ke atas tanah, semangatnya telah hancur luluh oleh perkataan itu. Sambil menghela napas ujarnya:

”He..bila sejak dari dahulu sudah tahu harus melakukan pekerjaan ini tentu aku tidak akan menyanggupinya”

”Ini salahmu sendiri kenapa tidak mau tanya lebih jelas lagi” sahut majikan patung emas itu sambil tertawa dingin.

Dengan sedihnya Ti Then menundukkan kepalanya, dengan bingung dan perasaan menjesal pikirnya secara diam-diam:

”Hei..sungguh celaka kali ini, semula aku masih menganggap apabila aku tidak ingin pergi membunuh orang baik, tentu tidak akan ada urusan yang lebih berat lagi, mana kusangka kalau dia ternyata minta aku menjadi suami isteri dengan seorang nona”

Majikan patung emas yang mendengar dia tidak mengeluarkan suara lagi, segera tanyanya:

”Ti Then, kau menjesal bukan? ”Benar!”

”Ingin melarikan diri?” tanya majikan patung emas itu lagi. ”Tidak”

”Itulah sangat bagus” sahut Majikan patung emas sambil tertawa, ”Padahal pekerjaan ini merupakan tugas yang paling menggembirakan. Jangan kita bicarakan yang lain, nona itu memiliki wajah yang amat cantik sekali dan merupakan seorang gadis cantik yang sangat jarang bisa ditemui”

Tidak terasa hati Ti Then menjadi bergerak, dengan tawar tanyanya: ”Putri siapa?”

”Putri tunggal Toa pocu dari Benteng Pek Kiam Po, Kim Liong Kiam atau si Pedang Naga Emas Wi Ci To, Wi Lian In adanya”

Mendengar disebutnya nama itu dalam hati Ti Then merasa sangat terperanyat, dengan sangat terkejut serunya:

”Ha...putri tunggal dari Wi Ci To Pocu dari Benteng Pek Kiam Po?

Kau..bukankah kau punya niat untuk mencelakai diriku?”

Kiranya jika menyinggung Pek Kiam Pocu, si pedang naga emas Wi Ci To boleh dikata semua orang di dalam bu-lim tidak seorang pun yang tidak kenal nama besarnya.

Dia merupakan seorang jago berkepandaian tinggi yang sedikit di bawah si kakek pemalas Kay Kong Beng, juga merupakan seorang pimpinan yang pengaruhnya paling kuat dan paling luas di dalam bu-lim, murid-muridnya tidak terhitung banyaknya sedang dari ’Pendekar Pedang Merah’nya saja yang dia ketahui sudah ada sembilan puluh sembilan orang banyaknya, oleh karena itu dia merupakan sebuah keluarga ilmu pedang yang paling kuat dan paling disegani di dalam Bu-lim.

Tetapi perasaan terkejut dari Ti Then sesudah mendengar nama itu bukannya karena kepandaian silat yang amat tinggi dari si pedang naga emas Wi Ci To, sebaliknya karena sikap serta tindak tanduk dari Wi Ci To.

Dia pernah dengar oarng bilang kalau Wi Ci To jadi orang amat gagah, ramah, sosial serta membela keadilan dan merupakan seorang giam lo ong bagi kaum penyahat di kalangan Hek to, kini Majikan patung emas menghendaki dia pergi mengawini putri tunggal dari Wi Ci To jaitu Wi Lian In, tidak dapat diragukan lagi kalau dia tentu sedang menggunakan dirinya untuk melaksanakan suatu rencana busuk, ketika majikan patung emas telah mencapai pada cita-cita, rencana kejinya segera dia dapat menghindarkan diri dan cuci tangan dari urusan ini, sebaliknya dia...Ti Then..harus melarikan diri kemana? Kini soal yang paling penting, bagaimana dia dapat membantu seorang yang tidak jelas asal usulnya untuk pergi membunuh seorang jago berkepandaian tinggi dari kalangan lurus?

Semakin berpikir dia merasa semakin tidak tenteram, sambil angkat kepala tanyanya:

”Apa tujuanmu sebenarnya? Kenapa kau menjuruh aku memperisteri putri Wi Ci To?”

”Tentang hal ini aku akan memberitahu padamu sesudah kau menjadi menantu kesajangan dari Wi Ci To”

”Kalau begitu adanya, sekarang kau boleh turun” ujar Ti Then sambil tertawa pahit.

”Kau bicara apa?”

”Kau boleh turun untuk membunuh aku”

-ooo0dw0ooo-

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar