Pendekar Kidal Jilid 29

Jilid 29

Cui Kinin tertawa, tawa manis karena umpakan ini, katanya: "Ternyata kau pandai merendah juga." Tiba2 kuncup senyumannya, katanya pula dingin: "Setelah saling gebrak, kita harus menentukan siapa unggul dan asor, Nah, hati2lah."

Pada ucapannya terakhir, sebat sekali dia lantas menubruk maju, pedang kiri menusuk dan pedang kanan menabas, kalau tangan kanan me mbabat tangan kiri me nyontek, serangan yang kiri lebih cepat dari yang kanan, menyusul serangan kanan melebihi melebihi kecepatn yang kiri, disa mping ganas dan keji, serangan inipun tambah gencar, sekaligus dia sudah menyerang delapan belas jurus.

Ling Kun-gi ternyata tidak berebut mendahului, dia tetap bertahan dengan mantap dan tenang, pedang dia pindah ke tangan kiri seenaknya dia menge mbangkan Tat- mo-hoanjiu-kia m, ilmu pedang Tat-mo-co-su yang dima inkan dengan tangan kidal, berbeda dengan ilmu pedang aslinya yang dimainkan dengan tangan kanan, tipu2nya serba berbeda, isi kosong sukar dijajagi, belum lagi jurus yang satu dilancarkan tahu2 sudah berganti jurus yang lain, apalagi setiap gerakannya mengandung perubahan, menyerang juga bertahan, di waktu bertahan ada pula gerak menyerang. Permainannya sungguh amat indah dan lihay. Karena dia ber-main pedang dengan tangan kidal, Cui Kinin menjadi kebingungan dan tidak tahu arah mana yang dituju serangan lawan.

Semakin tempur kedua orang bergerak se makin cepat dan sengit, yang kelihatan melulu sinar hijau dan cahaya perak yang melingkar, selulup timbul silih berganti, deru angin pedang bergolak menim- bulkan angin kencang, suaranya semakin ribut seperti benda keras yang tiba2 sobek tergetar, lama kela maan menjadi sukar dibedakan mana lawan dan mana pula kawan.

Pertempuran berjalan lagi tiga puluhan jurus, keadaan tetap berimbang sa ma kuat. Cui kinin ta mpak se makin bernapsu, selebar mukanya me mbara, tiba2 dia menjerit sambil menggentak pedang, permainan pedangnya mendadak berganti, kini dia bergerak selincah kupu2 terbang di atas rumpun bunga, menyelinap kian ke mari dan menari dengan le mah gemulai, gerak sepasang pedangnya semakin lincah dan cepat, bukan saja lebih aneh dan banyak ragamnya, setiap gerakan pasti mencari peluang menyerang ke pertahanan lawan. Suatu ketika Ling Kun- gi bergerak sedikit la mbat, "cret", pedang Cui Kin in segera menyelonong masuk, jubah hijaunya tertusuk robek.

Tidak kepalang kaget Kun-gi, baru sekarang dia benar2 insaf akan perma inan pedang Cui Kinin yang lihay ini, mau t idak mau dia lantas berpikir, "Untuk mengalahkan dia, terpaksa aku harus menge mbangkan Hwi-liong-kia m-hoat." Segera ia bersiul panjang, tubuh bergerak mengikuti gaya pedang, sejalur cahaya pedang lantas me mbumbung ke udara laksana naga sakti me nga muk.

Agaknya Cui Kinin tidak menduga pada saat menghadapi serangan segencar ini, Ling Kun-gi mas ih se mpat me la mbung ke udara, terdengar ia menggerung lirih, tiba2 iapun tutul kedua kakinya, sepasang pedang menggaris lintang, menyusul kedua tangan menggapa i dengan kedua pedang berputar mir ip sayap burung hong lagi terbang.

Sementara itu Kun-gi tengah menge mbangkan jurus Sinliong-jut- hun, waktu badan mencapai ketinggian tiga to mbak, dia lantas pemukik balik, pergelangan tangan bergetar, pedang mengeluar kan sinar cemerlang laksana pancaran kembang api yang meledak, berubah menjadi hujan cahaya yang bertebaran di angkasa.

Waktu Cui Kinin menyusul keatas, kebetulan dia papak Kun-gi yang menukik turun, karena berada di tengah udara, menghadapi serangan lihay lagi, ternyata sedikitpun dia tidak jeri dan gugup, kedua pedangnya masih terus bergerak dengan garis silang dan naik turun mirip burung Hong yang sedang terbang di udara.

Kalau yang lelaki laksana seekor naga me-lingkar2 di tengah mega, maka yang perempuan mirip burung Hong yang terbang di angkasa. Gerak pedang kedua pihak sama2 cepat laksana kilat, dengan benturan senjata berkumandang menimbulkan ge ma nyaring di le mbah pegunungan.

Air muka Yong King-tiong ta mpak berubah berulang kali, katanya dengan penuh keheranan: "Aneh, me mangnya dia me ma inkan Hwi- hong-kia m-hoat?"

Bahwa Cui Kinin ma mpu menandingin Hwi- liong-sa m- kiam warisan keluarganya, ini sudah me mbuat Thi-hujin ikut berubah air mukanya, kini mendengar Yong King tiong menyebut na ma Hwi- hong-sam- kia m, tanpa terasa ia bertanya: "Hwi-hong-kia m-hoat? Kenapa na ma ini t idak pernah kudengar?" "Hwi-hong-kia m-hoat," ujar Yong King-tiong, "adalah ciptaan Soat-sansinni dulu, Sinni adalah sahabat karib Tuan Puteri, bagaimana mungkin anak murid didiknya bisa berkiblat kepada pihak kerajaan "

"Kulihat dia me mang seorang Kinjin," kata Thi-hujin.

Sambil menge lus jenggot Yong King-tio ng mengangguk, katanya: "Sejak tadi Losiu sudah curiga akan hal ini."

Sementara itu setelah Ling Kun-gi dan Cui Kinin mengadu pedang keduanya lantas turun ke atas tanah. Belum lagi Kun-gi berdiri tegak, Cui Kinin sudah me lo mpat maju lagi menyerang dengan gencar.

Keruan Kun-gi naik pitam, kaki menjejak tanah ke mbali ia melejit ke atas, menyusul dia menukik pula menubruk ke arah lawan.

Karena kedua pedangnya menyerang tempat kosong, Cui Kinin me lanjutkan me luncur lurus ke depan. Dari atas Kun-gi lancarkan jurus Lui-kong- pit-bok (geledek me mbe lah kayu)

Tiba2 Cui Kinin me mbalik, kedua pedang tersilang, dengan tepat dia tahan pedang Kun-gi. Karena sedang terkunci oleh kedua pedang Cui Kinin hati Kun-gi semakin berang, belum lagi kakinya menyentuh tanah, segera dia kerahkan Tay-lik- kim- kong-sim-hoat, tenaga dikerahkan di lengan, pedang di tekan sekeras2nya ke bawah.

Karena badan Kun-gi mas ih terapung, sementara tabasan pedangnya kena dikunci oleh sepasang pedangnya, maka Cui Kinin dapat meluangkan sebilah pedangnya untuk menyerang sebelum Kun-gi hinggap di tanah, serangannya pasti akan berhasil, umpa ma tidak berhasil me mbunuh Kun-gi, sedikitnya kedua kaki lawan dapat ditabas kutung.

Tidak terduga selagi dia me-nimang2 itulah, terasa berat pedang Kun-gi yang terjepit di antara kedua pedangnya itu bertambah lipat seolah2 tekanan ribuan kati, hampir saja kedua tangan sendiri tak ma mpu me megang pedang, dengan sendirinya tak se mpat me luangkan sebilah pedang untuk menyerang lawan? Wajahnya nan mo lek itu kontan berubah pucat hijau lalu merah, keringatpun me mbasahi jidat, kedua tangan yang pegang sepasang pedang yang menyilang itu tampa k ge metar, pelan2 tertekan turun seperti tak tahan lagi. Kalau ia tak kuasa manahan tekanan pedang lawan, berarti ia sendiri bakal terbelah menjadi dua dan binasa.

Tapi pada detik gawat itulah, mendadak terasa tenaga ribuan kati yang menindih itu tiba2 sirna, sedikit me minjam tenaga pertahanan pedang Cui-Kinin, Kun-gi terus mela mbung ke belakang. Jelas dalam gebrak ini dia menaruh belas kasihan.

Hampir meledak tangis Cui Kinin saking dongkol, sejak kecil dia berlatih pedang, Hwi-hong- kia m- hoat juga merajai Bu- lim, dia kira tiada tandingan lagi di kolong langit ini, tapi kini dirinya kecundang dua kali oleh Ling Kun-gi. Dia m2 dia mengertak gigi, tanpa bersuara mendadak dia me mburu ma ju, sepasang pedangnya menaburkan cahaya kemilau menggulung ke arah Ling Kun-gi.

Agaknya Cui Kinin benar2 naik pitam sehingga melancarkan serangan gencar dan sengit, ingin rasanya membikin beberapa lubang di tubuh Kun-gi yang dibencinya ini.

Tapi Kun-gi juga ke mbangkan ilmu pedangnya, Ih-thiankiam ditangannya dimainkan begitu rupa sehingga sekujur badan seperti terbungkus cahaya, deru anginpun me ndengung keras.

Kembali kedua jago pedang ini berhantam dengan seru, masing2 keluarkan seluruh ke mahiran sendiri, sudah tentu adegan kali ini jauh lebih me negangkan daripada perte mpuran terdahulu tadi. Tiga jalur sinar pedang saling gubat. kadang2 seperti rantai perak yang menjulang ke atas, tiba2   pula   laksana   gumpalan   mega menga mbang di udara dengan enteng. Yang satu laksana burung Hong menari2 di udara, yang lain seperti naga mengaduk sungai.

Makin sengit pertempuran makin kejut hati Ling Kun-gi, bila dia belum masuk ke dasar kolam naga hitam dan berhasil me mpelajar i ilmu pedang peninggalan Tiong yang Cinjin, dengan bekal Hwi- liong-sa m- kiam saja, terang dia bukan tandingan nona ini. Me mang sembilan jurus ilmu pedang yang dia pelajari dari ukiran dinding itu belum apal dan mahir betul, maka dalam per ma inan adu pedang ini lebih sering dia mengulang per mainan Hwi- liong-sa m- kia m. Sementara enam jurus yang lain karena hanya hanya dilandasi dengan kecerdasan otaknya saja, maka dalam prakteknya masih agak kaku, tapi toh tetap dia kembangkan se mbari disela mi. Me mang sekaranglah kese mpatan latihan untuk me mperdalam ilmu pedangnya itu, apalagi lawan tandingannya adalah Cui Kinin, nona jelita yang berkepandaian ilmu pedang yang tinggi, yang dimainkan juga ilmu pedang kelas tinggi yang aneh dan banyak perubahan dan variasi, pula sa ma2 harus dilancarkan dengan cara mengapung di udara, Hwi-hong-kia m-hoat lawan me mang serasi sebagai kawan latihan yang se mpurna.

Lekas sekali seratus jurus telah dicapai, lama kela maan Kun-gi menjadi apal dan le luasa me mainkan Hwi- liong-kiu-sek. Di tengah pertempuran sengit itu terdengar suara benturan keras dibarengi cipratan kembang api yang menyilaukan mata, sekonyong2 cahaya pedang sama kuncup, dua bayangan orangpun terpental mundur.

Rambut Cui Kinin kusut masai, wajahnya tampak me mbesi hijau, sekilas dia melir ik ke atas tanah, mendadak dia merangkap kedua pedang serta dimasukkan ke dalam sarungnya, lalu berseru lirih: "Hayo pulang!" Tanpa berpaling segera dia me langkah pergi.

Di tanah menggeletak seco mot rambut, kiranya hasil tabasan pedang Ling Kun-gi. Tak heran wajahnya bersungut dan uring2an, maka cepat2 dia me mbawa anak buahnya pergi.

"Cui-tongcu," sera Thi hujin dingin, "kau ingin pergi begini saja?"

Cui Kinin sudah me mutar badan, tiba2 dia menghentikan langkah, tanyanya sambil berpaling: 'Apa kehendak kalian?"

Yong King- tiong bergelak tertawa, katanya: "Sebagai Komisaris umum, adalah tidak pantas kalau Cui-tongcu tinggal pergi begini saja." Rasa marah menjalari selebar muka Cui Kinin, alisnya menegak, katanya sambil tertawa dingin: "Aku ingin pergi boleh segera pergi, siapa dapat menahanku"

"Sreng", The hujin melo los pedang, jengeknya: "Urusan sudah selanjut ini, betapapun kau harus kami tawan."

"Bagus sekali! Nah, coba saja kalau ma mpu," ejek Cui Kinin.

Pada saat itulah, mendadak dari te mpat jauh berkumandang suara serak berkata: "Nona Cui, kau boleh pergi saja."

Thi-hujin dan Ling Kun-gi ta mpak me lenggong, bukankah Put- thong Taysu yang berbicara?

Terunjuk rasa kaget dan heran, tanya Cin Kui-in sa mbil mendonga k: "Siapa kau?"

"Tak usah tanya siapa aku," sahut suara serak tua itu, "kau masih punya urusan sendiri, pergilah, jangan terburu nafsu."

Sekilas me lir ik Thi-hujin, Cui Kinin, lantas turunkan pedang dan me langkah pergi. Empat gadis baju hijau bersa ma delapan laki2 berpedang segera merubung maju berbaris dibelakangnya dan angkat langkah.

Karena yang bersuara adalah guru Ling Kun-gi, yaitu Hoanjiu-ji- lay Put-thong Thaysu, sudah tentu tak enak Thi-hujin merintangi Cui Kinin, maka dia diam saja me mbiar kan mereka pergi, na mun tak tertahan iapun mendongak dan bertanya: 'Kau ini . . . . .

"Jangan banyak tanya Hujin," sahut suara itu, "kalianpun harus lekas pergi." Sa mpai akhir katanya suaranya sudah semakin jauh.

"Kenapa Suhu berulang kali mena mpilkan diri, me mberi keringanan kepada Cui Kinin?" de mikian Kun-gi ber-tanya2 keheranan.

"Pasti Taysu punya maksud tertentu dengan tindakannya ini," ujar Thi- hujin. "Yang bicara barusan, apakah guru Ling-kong-cu?" tanya Yong King-tiong.

Thi-hujin hanya mengangguk.

Sambil mengelus jenggotnya, tiba2 Yong King-tiong menghe la napas, katanya: "Berapa tinggi kepandaian nona muda ini sungguh jarang ada tandingannya jaman   ini,   hari   ini   kita   tak   bisa me lenyapkan dia mungkin kelak bisa menimbulkan banyak kesukaran bagi kita se mua."

"'Bahwa Taysu berulang kali me mber i muka padanya, tentu ada alasannya, kalau betul kelak dia akan mendatangkan kesulitan bagi kita, kukira Taysu takkan me lepaskan dia pergi," demikian ucap Thi- hujin, lalu dia menengadah melihat cuaca, katanya pula: "Anak Gi, sebelum ajal bibimu ada pesan bahwa Bok-tan dan So-yok masing2 diberikan ga mbar peta, sebelum terang tanah seharusnya mereka sudah kumpul di Hek-liong-ta m, tapi sa mpai sekarang masih belum kelihatan bayangan mereka, mungkin di tengah jalan mereka disergap musuh tangguh, bibimu a mat kuatir, maka kau disuruh me mber i bantuan."

Ling Kun-gi me ngiakan.

"Tadi Han Janto bilang bahwa lorong2 rahasia dalam perut gunung ini sudah banyak yang di pugar, kalau mereka bekerja sesuai gambar peta yang diberikan bibimu, tanpa lawan turun tangan dengan sendirinya mereka akan masuk perangkap dan mene mui ajal, kukira Yong-lopek tahu liku2 jalan rahasia di sini, pergilah kau bersa ma Yong- lopek, tolonglah dan kumpulkan dulu kedua rom-bo ngan Pek-hoa-pang yang tercerai berai itu,"kata Thi- hujin pula.

"Dan ibu?" tanya Kun-gi, "engkau "

"Ibu masih ada urusan lain, setelah kalian bertemu dengan mereka dan berhasil me ngge mpur Ceng-liong dan Hwi liong tong, bawalah Bok-tan dan So-yok ke Gak-koh bio mene mui aku.”

Kembali Kun-gi mengia kan. Berkata Thi-hujin kepada Yong King-tiong: "Yong Congkoan, mohon pertolonganmu suka me mbantunya."

Lekas Yong King-tio ng menjura, katanya: "Hujin ada urusan boleh silakan, Losiu akan me m-bantu Ling- kongcu menyelesaikan urusan di sini."

Tak banyak bicara lagi Thi- hujin terus melejit jauh berlari kencang bagai terbang.

'Ling-kongcu, tiba saatnya kitapun harus berangkat" ucap Yong King tiong.

"Dari sini keluar entah mana yang lebih dekat antara Ceng-liong- tong dan Hwi-liong-tong?" kata Kun-gi.

"Sudah tentu Ceng liong-tong lebih dekat, Ceng-liong-tong adalah seksi dalam, letaknya di sebelah kiri markas pusat, maka kita harus ke Ceng-liong-tong menolong orang dulu baru nanti dilanjutkan menuju ke Hwi liong-tong"

"Masih ada sebuah hal, ingin Wanpwe tanya kepada Yong- lopek."

"Soal apa ingin Kongcu tanyakan?"

"Ada dua teman wanpwe yang tertawan orang2 Hek-liong-hwe, mereka dianggap orang Pek-hoa-pang, entah di mana sekarang mereka disekap?"

"Beberapa hari yang lalu me mang pernah kudengar pihak Ceng- liong-tong berhasil menawan beberapa orang laki-perempuan, katanya orang Pek-hoa-pang, setiap tawanan yang digusur ke gunung ini pasti disekap di mar kas pusat."

"Kalau begitu, mar ilah Yong-lope k antar aku pergi me nolong orang saja."

"Ka mar tahanan tidak melulu di markas pusat saja, letaknya yang tepat adalah di perut gunung sebelah belakang Ceng- liong-tong, jalan menuju ke sana adalah daerah rawan yang juga dilewati orang2 Pek-hoa pang, di sana pulalah mereka terjebak dalam perangkap."

Sembari bicara tanpa terasa mereka sudah tiba pula di pinggir Hek-liong-ta m.

"Yong-lo pek, kita telah berada di Hek- liong-tam pula," ucap K urngi.

"Tiga seksi Hek- liong- hwe se muanya didirikan dalam perut gunung, hanya Hek-liong-ta m yang letaknya di bagian luar, tapi di sini dikelilingi dinding gunung yang mencakar langit, putus hubungan dengan dunia luar, untuk keluar sudah tentu kita harus ke mbali ke sini," se mbari mengelus jenggot Yong King-tiong mena mbahkan dengan tertawa: "Dan lagi, sekarang sudah ha mpir lohor, marilah kita makan dulu, apalagi selain Siau-tho, Lo-siu masih ada delapan pembantu, sudah sekian tahun mereka me layani Losiu, setelah keluar dari sini mungkin Losiu takkan kembali lagi, merekapun harus dibubarkan."

Di bawah petunjuk Yong King-tiong mereka menuju kearah barat, tak la ma ke mudian ta mpak di bawah dinding curam sebelah sana terdapat sebuah lubang gua yang terhimpun dari tumpukan batu2 padas. Mulut gua amat besar, tingginya ada beberapa tombak, karena di sini ada pancaran sinar mentari, maka keadaan tidak begitu gelap, tepat di tengah gua terdapat dua baris meja batu dan beberapa kursi, dinding di kanan kiri masing2 terdapat sebuah pintu, Yong King tiong bawa Kun-gi mas uk ke dalam gua lalu berhenti, katanya kepada keempat jago pedang baju hita m: "Kalian pergilah ma kan siang, la lu bebenah bekal kalian masing2, kumpul lagi di sini, nanti ikut Losiu keluar."

Keempat jago pedang itu mengiakan terus mengundurkan diri. "Marilah Ling-ko ngcu ikut Losiu," ajak Yong King-tiong. Dia

me langkah ke pintu sebelah kanan.

Kun-gi ikut di belakangnya terus melangkah masuk, se mentara Yong King-tiong mengeluarkan sebuah bumbung obor. "Cres", dia nyalakan api dan menyulut obor itu. Jelas itulah sebulah lorong, dinding kedua sisi ditatah rata dan licin, lebarnya hanya tiga kaki, cukup untuk ja lan dua orang berjajar.

Langkah mere ka a mat cepat, tak la ma ke mu-dian tibalah di ujung lorong. Yong King-tiong ma ju selangkah, ia mene kan sesuatu di dinding, maka terbukalah sebuah pintu. Begitu mereka melangkah masuk, Siau-tho, pelayan baju hijau itu segera memapak maju, katanya sambil me mbungkuk: "Cong-koan sudah ke mbali."

'Hidangan makan siang sudah kau siapkan belum' tanya Yong- King-tiong.

"Koki barusan sudah datang dan tanya apakah hidangan siang perlu diantar sekarang? Karena Congkoan belum pulang, hamba suruh mereka menunda sebentar."

"Baiklah, sekarang kau suruh koki siapkan pula beberapa maca m hidangan dan arak, mas ih ada kerja la in yang akan kusuruh kau."

Siau-tho mengiakan terus me langkah keluar.

Yong King-tiong mende kati dinding, dia me mbuka sebuah pintu dan beriring melangkah masuk. Ternyata mereka telah berada di kamar rahasia dimana ke maren mala m mereka berbicara.

"Silakan duduk Kongcu," ucap Yong King tiong, ”se mala m suntuk kau tidak tidur, boleh silakan istirahat sebentar."

"Wanpwe tidak merasa letih," sahut Kun-gi. Mereka duduk berhadapan menyandang meja kecil.

Tanya Yong King-tiong: "Bagaimana pengala man kau se mala m waktu selulup ke dasar kolam dan masuk ke ka mar gua itu?"

"Me mang akan kulaporkan kepada pa man." ujar Kun-gi. Lalu dia bercerita ringkas je las pengala mannya di dasar kolam ibtu.

Yong-king-tiong mendengarkan dengan seksa ma, setelah Kun-gi habis bercerita, baru dia manggut2 sambil menge lus jenggot, katanya: "Syukurlah kalau sudah kau hancurkan, cita2 Losiu sela ma ini sudah tercapai. Mengenai tiga ga mbar se madi itu, ke mungkinan adalah penuntun dasar untuk meyakinkan ilmu pedang dengan jalan semadi, kalau se mbilan jurus terdepan sudah Kongcu latih dengan mahir, boleh kau lanjutkan dengan ajaran semadi yang terukir di dinding itu."

"Pendapat paman me mang betul."

Tengah bicara pintu kembali terbuka, Siau-tho melangkah masuk sambil me mbawa tenong, dia taruh arak dan piring mangkok yang berisi ber-maca m2 hidangan di atas meja, lalu katanya sambil me mbungkuk: "Congkoan dan Kongcu silakan ma kan bersa ma."

"Di sini tidak perlu pelayananan lagi, kaupun pergi makan, setelah itu suruh orang di dapur me mbenahi bekal masing2 dan kumpul di depan, nanti ikut Losiu pergi."

Siau-tho melenggong, tanyanya: "Congkoan hendak meninggalkan te mpat ini?"

"Jangan banyak tanya, semua orang akan pergi, kaupun lekas bebenah, dengarkan pesan Losiu selanjutnya."

Dengan terbelalak heran sesaat Siau-tho menatap Yong King tiong, akhirnya dia menunduk sa mbil mengiakan dan mengundur kan diri.

"Marilah Ling- kongcu, tidak usah sungkan, lekas kita makan seadanya."

Masih banyak urusan yang harus dikerjakan, ma ka Kun-gi tidak sungkan2 lagi, segera mereka makan sekenyangnya. Siau-tho tampak me langkah masuk pula, me mbawa dua cangkir teh wangi serta hendak mengangkuti piring mangko k.

"Siau-tho," kata Yong King-t iong setelah meneguk secangkir teh, "tidak usah diangkuti lagi, pergilah kau bebenah barang2 mu saja, kita akan segera berangkat."

"Kecuali beberapa perangkat pakaian, hamba tidak punya bekal apa2 lagi," sahut Siau-tho.

"Baiklah mari kita berangkat," ajak Yong King- t iong. Siau-tho berlari keluar, cepat sekali dia sudah berlari datang pula dengan menjinjing sebuah buntalan kecil, dipinggang masih menyoreng sebatang pedang.

Yong King-t iong mendahului berdiri, katanya: "Mari berangkat Ling- kongcu."

Kun-gi ikut berdiri, bertiga mereka keluar dari ka mar rahasia itu, Yong King-tiong menoleh dengan perasaan berat, katanya lirih: "Sejak umur likuran tahun Losiu atas perintah perguruan mendhar ma-bakt ikan diri di Hek-liong-hwe. Empat puluh tahun la manya tinggal di sini, kini harus pergi takkan ke mbali lagi, hati merasa a mat berat sekali."

Lalu dia mendahului melangkah keluar menuju ke lorong panjang sana, kembali ke ka mar batu di bagian luar gua, kee mpat jago pedang bersama lima laki2 dan dua perempuan tua yang biasa kerja di dapur sudah lama menunggu dengan menyandang buntalan masing2. Melihat Congkoan datang sere mpak mereka berdiri.

Yong King-tiong me mbuka pintu sebelah kiri, dari dala mnya dia menyeret keluar seonggok uang perak terus dibagikan kepada orang banyak, setiap orang kebagian dua ratus tahil perak, katanya ke mudian: "Kalian boleh pergi dan carilah nafkah secara halal, sekedar pesangon ini boleh buat modal dagang atau untuk usaha lain, selanjutnya jangan singgung soal Hek-liong-hwe." Lalu dia berpesan pula: "Loh Jongi, kau harus mengawal mereka keluar, pergilah ke Gak-koh-bio menunggu Losiu di sana."

Salah seorang jago pedang baju hitam mengiakan sa mbil menjura. Tiba2 Siau-tho maju menjatuhkan diri berlutut, katanya sambil menye mbah: "Cong- koan yang terhormat, sejak kecil ha mba dibawa ke mari, entah di mana ayah bundaku sekarang, tiada tempat yang kutuju dan tiada sanak kadang yang bisa kupercaya biarlah ha mba menda mpingi Cong-koan saja, mohon Congkoan menaruh belas kasihan, jangan suruh ha mba pergi."

Yong King-tiong menjadi kasihan melihat gadis re maja ini bercucuran air matanya, katanya: "Lohu akan meninggalkan te mpat ini, selanjutnya kalian tak usah pangil Congkoan kepadaku, apalagi kerajaan tidak akan me mbiarkan Lohu, mana boleh kau ikut Lohu mene mpuh bahaya, akan lebih baik ..."

"Setelah meningga lkan te mpat ini, ha mba akan pandang engkau sebagai kakek, tolong engkau menerimaku sebagi cucu saja." Demikian ratap Siau-tho dengan sesenggukan.

Me mang Siau-tho tidak punya sanak kadang, gadis sebatangkara bagaimana bisa hidup di masyarakat luas yang banyak godaan, maka Yong King-tiong lantas mengulap tangan kepada Loh Jonggi, katanya: "Baiklah, kau bawa mere ka pergi lebih dulu."

Loh Jonggi mengia kan, ia pimpin orang banyak keluar dari pintu sebelah kiri.

Bahwa Yong King-tiong mener ima per mohonannya, keruan Siau- tho kegirangan, berulang kali dia menyembah pula baru berdiri ke pinggir.

"Phoa Sib-bu, Go Nui-cu, Kik Su- hou boleh ikut lohu, di jalan peduli siapapun kalau tiada pesan lohu, kularang kalian turun tangan," kata Yong King-tiong pada sisa ketiga jago pedang uang masih tinggal.

Tiga jago pedang yang masih berdiri di pojok sana me ngiakan bersama.

"Silahkan Ling- kongcu," kata Yong-t iong lebih lanjut, lalu dia mendahului menunjuk jalan. Ke mba li mere ka berada di lorong2 panjang yang gelap, cuman lorong di sini cukup luas, rata dan bersih, jelas lorong ini me njurus ke Ceng-liong-tong.

Yong King-tiong di depan, Kun-gi mengikut di belakangnya, Siau- tho dan tiga jago pedang baju hitam berada di belakang Kun-gi, tiada seorangpun yang buka suara, hanya derap langkah mereka ber-lari kecil saja yang terdengar.

Kira2 setengah li baru lorong ini berakhir, mendadak langkah Yong King-tiong diperla mbat, lalu berhenti di bawah dinding, ia menekan pada sebuah sasaran di dinding, la lu terdengar suara gemuruh terbukalah sebuah pintu di tengah dinding.

Yong King-t iong mendahului melangkah masuk dengan kedua tangan melintang di depan dada, hanya beberapa langkah saja lalu dia berhenti.

Me mbiarkan Kun-gi, Siau-tho dan ketiga jago pedang sa ma masuk, lalu dia mene kan pula ke dinding dua kali, pintu batu pelan2 menutup rapat pula. Mendadak dia ayun telapak tangan terus menghanta m keras2 ke te mpat yang ditekannya tadi. Maka terdengar suara keras bergema, begitu keras getaran yang terjangkit akibat pukulan itu sehingga debu beterbangan dari atap lorong.

"Alat rahasia pintu2 lorong yang mene mbus ke Hek- liong-tam telah lohu rusak, selanjutnya takkan bisa dibuka lagi," de mikian kata Yong King-tiong dengan nada rawan, lalu dia beranjak mende kati dinding sebelah kanan, pelan2 mene mpe lkan kuping ke dinding seperti mendengar kan apa2 sekian la ma, selanjutnya dia pindah ke dinding sebelah kiri, mene mpelkan kuping pula mendengar kan dengan seksa ma.

Melihat tindak-tanduk orang, Kun-gi maklum apa artinya, apalagi sepanjang perjalanan dan pengalamannya selama di lorong2 gelap itu mena mbah pengetahuannya, dia menduga pada dinding di kanan kiri ini pasti terpasang pintu rahasia.

Setelah mendengarkan sekian la ma, mendadak Yong King-tiong mengetuk kaki dinding sebelah kiri dengan tungkak kakinya, pelan2 tangan kananpun mendorong ke depan. Tempat di mana dia berada ternyata betul, adalah sebuah pintu rahasia, didorong pelan2 pintu batu yang tebal berat itupun terbuka.

"Tunggu sebentar Ling- kongcu," ucap Yong King-tiong, "pintu ini berputar bolak-balik, setelah lohu masuk ke sana baru boleh mendorongnya pula" Habis bicara dia terus me langkah ke sana, pintu itupun terbalik dan menutup rapat. Menuruti pesan orang, Kun-gi mendorong pintu serta melangkah ke sana, demikian yang lain2 satu persatu menir u orang yang duluan. Di balik pintu sudah tentu merupakan lorong panjang pula. Cuma lorong di sini jauh lebih se mpit, sama2 gelap gulita pula. Dengan tangan kiri   mengangkat   tinggi   obor,   tangan kanan me lindungi dada, Yong King-tio ng berpaling dan berkata lirih: "Te mpat ini sudah masuk daerah Ceng-liong-tong yang terlarang, banyak dipasang perangkap, keadaan sebenarnya Losiu tidak begitu jelas, maju lebih lanjut lagi setiap saat menghadapi sergapan. Kongcu genggam saja Le liong-cu, supaya cahaya mutiara itu tidak terlihat oleh orang lain, lebih baik kau menghunus pedang juga, supaya tidak menimbulkan suara."

Melihat orang berpesan dengan nada serius, pelan2 Kun-gi keluarkan pedang serta menanggalkan mutiara dan di genggam di tangannya, karena lorong di sini se mpit, Ih-thiankia m terlalu panjang, maka dia me ma kai pedang pandak.

Sedang Siau-tho dan ketiga jago pedang juga menyiapkan pedang masing2. Bukan saja gelap gulita, lorong yang sempit dan panjang inipun terasa sunyi lenggang. Suara pedang terlolos dari serangka mereka menimbulkan pantulan ge ma yang cukup keras juga. Maka terdengar sebuah bentakan keras berkumandang dari arah depan: "Siapa di sana?"

"Lohu", seru Yong King-tiong, suaranya kereng dan berat, sehingga menimbulkan pantulan suara yang bergema mendengung. Maka teguran orang di depan tidak bersuara lagi.

Tanpa me mada mkan obor, Yong King-tiong berpaling, katanya: "Mari ikut aku."

Cepat sekali langkah mereka, kira2 sebidikan panah jauhnya, mendadak terdengar pula bentakan lebih keras: "Siapa yang datang? Hayo berhenti!" Ta mpak selarik sinar api dengan menge luarkan deru angin kencang me luncur tiba. "Blup", api itu jatuh di depan kaki Yong King tiong, seketika meledak dan apipun berkobar. Itulah panah buatan khusus, nyala api a mat keras dan besar sehingga jalan lorong selebar tiga kaki terbendung oleh kobaran api. Belum api pada m, dari arah depan muncul seorang berpakaian hijau, tanyanya: "Siapa kalian?"

Terpaksa Yong King-t iong berhenti, dengusnya: "Memangnya Tang-heng sudah t idak kenal lagi pada Lohu?"

Si baju hitam me lenggong, serunya: "Apakah Yong-congkoan yang datang?" Di bawah cahaya api, jarak dalam tiga to mbak cukup terang, tapi karena teraling asap tebal sehingga sukar melihat jelas orang di seberang.

"Betul, inilah Lohu," kata Yong King-tiong.

Mendengar yang datang betul Yong King-tiong, pejabat Hek- liong-ta m Congkoan, kedudukannya sejajar dengan para Tongcu yang mengetuai setiap seksi, sudah tentu orang itu tidak berani ayal, lekas dia merangkap tangan menjura, katanya: "Ham-ba tidak tahu akan kedatangan Yong-congkoan, harap dimaafkan kelalaian ini." Habis kata2nya, kembali terdengar suara "Blub", api yanrg masih berkobar besar itu seketika pada m, asap juga sirna seketika.

Yong King-tiong me muji di dalam hati: "Peralatan senjata api orang ini me mang lihay."

Dia m2 iapun heran, batinnya: "Setelah mengundurkan diri dari Say-cu-kau, Cui Kinin sudah berangkat setengah jam lebih dulu, seharusnya dia sudah menyampa ikan perintah untuk berjaga lebih ketat, tapi dari nada Tang Kim-seng, agaknya dia belum tahu kalau aku sudah berontak?" Sembar i me mbatin segera ia melangkah maju, katanya: "Apakah Tang-heng berdinas di daerah ini?"

"Ha mba diperintahkan me mbantu Nyo-heng di sini." "Di mana Nyo Ci-ko sekarang"' tanya Yong King t iong.

"Ha mba bertugas jaga pintu ini, Nyo-heng ada di dala m."

Dengan kalem Yong King-tio ng mengha mpiri dan berhenti di depan orang, katanya: "Lohu mendapat perintah kemari untuk me mbe kuk orang, entah siapa saja yang terperangkap di dalam sana"

"Jumlahnya tidak banyak, tapi Kungfu mereka rata2 tinggi, agaknya ada Pangcu Pek-hoa-pang, cuma sekarang kita hanya berhasil mengur ung mere ka, belum bisa me mbe kuknya hidup2."

"Baiklah, biar Lohu periksa di dala m," kata Yong King-tiong. Terunjuk mimik serba salah pada muka Tang Kim-seng, katanya:

"Ha mba mendapat kuasa dari Cui-congka m (komisaris besar) untuk me larang keras, siapapun tidak boleh masuk kecuali me mbawa medali e mas, Yong-co ngkoan ?'

Tanpa menunggu orang bicara habis, Yong King-tiong lantas menukas: "Cui-tongcu suruh aku ke mari me mbekuk musuh, sudah tentu me mberikan meda li kebesarannya? Nah, lihatlah yang jelas Tang-heng', tangan kanan segera diangsurkan ke muka orang.

Tak pernah terpikir oieh Tang Kim-seng bahwa orang akan bertindak mendadak, sambil mengiakan segera ia hendak menerima. Tak terduga tangan yang disodorkan ke depan tahu2 terpegang pergelangan tangannya, kelima jari Yong King-tiong telah menjepit sekeras tangga m, keruan ia berjingkrak kaget, serunya bingung: "Yong-co ngkoan ""

Yong King-t iong tahu orang ini mahir menggunakan berbagai alat rahasia yang serba berapi, lihaynya bukan main, begitu berhasil pegang urat nadi orang, segera dia kerahkan tenaga pada lima jarinya, katanya sambil tertawa ejek: "Tang-heng tidak usah banyak bicara, ikuti saja kehendakku." Lalu dia me langkah ke depan.

Karena pergelangan tangan kanan terpegang, badan Tang Kim- seng menjadi le mas, sudah tentu tak mampu meronta lagi, terpaksa ia ikuti saja kehendak orang, katanya: "Yong-congkoan, lepaskan peganganmu, ha mba akan menunjukkan jalan bagimu."

"Tang Kim-seng," jengek Yok King-tiong, "jangan kau kira Lohu gampang dipedayai, kau dan Nyo Ci- ko adalah anak buah Cui Kinin yang diutus kerajaan sebagai cakar alap2 di sini, hayolah ikut i perintah Lohu, jiwamu masih dapat kuampuni." Sa mbil bicara mereka sudah tiba di depan sebuah dinding.

Yong King-tio ng bertanya: "Di balik pintu ini apakah ada orang2 Ceng-liong-tong yang jaga?"

"Sebelum terang tanah ha mba baru bertugas di sini dan ada perintah jika ada orang menerjang keluar, siapapun harus dibunuh tanpa perkara, tentang keadaan di dala m, sungguh ha mba tidak tahu apa2."

"Kau bicara sejujurnya?" Yong King-tiong me negas.

"Setiap patah kuucapkan dengan sejujurnya," sahut Tang Kim- seng.

"Baik, Ling- kongcu, tolong kau tutuk Ah-bunhiat dan Hong- bwehiatnya," pinta Yong King-tiong. Ah-bunhiat bikin orang bisu sementara, Hong-hwehiat bikin kedua lengan se mentara lumpuh tak bertenaga..

"Congkoan. . . . . . " teriak Tang Kim-seng kaget. Belum selesai dia bicara beruntun Kun-gi sudah menutuk Hiat-tonya.

Kini Yong King-tiong berani me lepaskan pegangan tangannya, ia menekan sebuah to mbol, segera terdengar suara gemuruh dinding, dan lantai lorong terasa bergetar, pelan2 terbuka sebuah lubang pintu di dinding.

Dengan penerangan obor Yong King-tiong menuding ke depan, bentaknya: 'Tang Kim-seng, kau di depan tunjukkan ja lannya."

Karena Hiat-to tertutuk, tangan tak mampu bergerak dan mulut tak dapat bicara, sudah tentu Tang Kim-seng t idak berani bertingkah, terpaksa dia melangkah masuk ke balik pintu. Maklum meski beberapa hiat-to tertutuk, tapi ilmu silatnya belum punah seluruhnya, kedua kaki masih dapat berjalan dengan langkah lebar dan cepat. Semula dia mas ih berjalan dengan baik, tapi begitu t iba di balik pintu, langkahnya segera dipercepat, seperti serigala yang lepas dari kurungan, secepat anak panah dia melesat sejauh dua tombak. Melihat orang mendada k lari, Yong King-tiong hanya mendengus, baru saja dia angkat tangan hendak menyusul dari kejauhan Tang Kim-seng yang sudah sejauh dua tombak itu tiba2 berkelebat ke tempat gelap, tiga bintik seperti kunang2 mendadak meluncur tiba menerjang Yong King-tiong dengan for masi segi tiga.

Sudah la ma Yong King-tiong tahu bahwa senjata rahasia berapi Tang Kim-seng me mang lihay, maka dia suruh Ling Kun- gi menutuk Hong-hwehiat supaya kedua tangannya tak dapat bergerak, sungguh tak pernah terpikir bahwa tanpa menggunakan tangan orangpun dapat menimpukkan senjata rahasia.

Melihat tiga bintik sinar me lesat tiba, ia tak berani menya mbutnya, sembari me mbentak keras, tangan yang sudah terayun dia tepuk ke depan. Ke tiga bintik sinar dingin seketika tersampuk pergi dan "Ting, tring, tring." semuanya terpental balik me mukul dinding, menyusul suara itu terdengar pula tiga kali ledakan le mah, berha mburlah ke mbang api dan asap tebal yang menyala di dinding.

Mencelos juga hati Yong King-tiong me lihat kehebatan senjata rahasia berapi Tang Kim-seng, kalau terkena badan orang tentu akan terbakar mampus. Karena sedikit gangguan ini bayangan Tang Kim-sengpun sudah lenyap entah ke mana.

Terpaksa Yong King-tio ng hanya angkat pundak saja, setelah orang banyak masuk ke lorong di balik pintu baru dia berpesan dengan suara lirih: "Setelah kita masuk ke pintu ini, apalagi keparat she Tang itu sempat lolos, keadaan selanjutnya pasti amat berbahaya, sembarang waktu mungkin menghadapi sergapan serta berhantam sengit dengan musuh, maka kalian harus lebih waspada, lebih baik setiap orang menga mbil jarak tertentu, supaya bebas bergerak."

"Kekuatiran pa man me mang beralasan," Kun-gi menyokong pendapatnya.

Dengan mengacungkan obor Yong King-tiong lantas melangkah ke depan, sebelah tangannya melintang menjaga dada, mata kuping di jaga seksa ma me mer iksa keadaan sebelah depan. Tak la ma ke mu-dian, tiba2 terdengar suara hardikan orang, disusul suara gerungan tertahan, suara gerungan itu seperti suara seorang yang tenggorokannya tersumbat sehingga susah bersuara.

"Keparat she Tang itu agaknya mengbadapi musuh," kata Kun-gi. "Betul," sahut Yong King-t iong mengangguk.

Beberapa langkah pula mereka maju, mendadak terdengar bentakan keras dari lorong depan sana: "Yang merintangi aku ma mpus!" Berbareng sesosok bayangan orang menerjang datang.

Dengan mengangkat tinggi obornya Yong King-tiong me mapak maju mengadang di tengah ja lan, bentaknya: "Berhenti!"

Tapi gerak terjangan orang itu amat cepat, baru Yong King-tiong me langkah setindak me ngadang di tengah lorong, orang itupun sudah menerjang tiba di depannya, kedua pihak jadi saling papak.

Melihat ada orang mengadang jalan, orang itupun me mbentak bengis: "Minggir!" Tanpa tanya siapa di depannya, jari tangannya terus menutuk.

Di bawah penerangan, obor Yong King-tiong me lihat jari lawan berwarna merah me nyolok, itulah Hiat-ing-ci (jari bayangan darah).

Sambil tertawa dingin Yong King-tiong menyambut serangan orang sambil me mbentak: "Siapa kau, kenapa ma in serang?" .

Tutukan jari yang merah mengeluarkan desis angin kencang seketika bentrok dengan pukulan yang mengeluarkran da mparan angtin pula. Mulut qpenerjang itu mrasih terus mengoceh: "Yang mer intangi aku ma mpus!"" Tapi badannya terpental mundur t iga langkah oleh benturan angin keras tadi.

Jarak Kun-gi dengan Yong King-t iong ada beberapa kaki, begitu mendengar bentakan kedua pi-hak, lekas dia me mburu maju; teriaknya: "Kendurkan pukulanmu pa man Yong, dia orang Pek-hoa- pang.” Begitu berdiri tegak pula orang itu lantas me mbentak lagi sa mbil menerjang ma ju.

Mendengar oraug ini adalah anggota Pek-hoa-pang, Yong King- tiong bersuara tertahan dan menyingir ke sa mping. Sementara Kun- gi sudah melo mpat maju mengadang di depan orang itu, teri-aknya: "Liang- heng, lekas berhenti!". Ternyata orang ini adalah Hiat-ing-ci Liang Ih-jun.

Tampak pakaiannya sudah koyak2, badannya terluka puluhan goresan pedang, kedua bola matanya merah mendelik, seperti tidak kenal Ling Kun-gi lagi, mulutnya menghardik: "Yang mer intangi aku ma mpus!" Jari tengah disurung ke depan, secepat kilat jari yang berwarna merah itu menutuk ke muka Kun-gi.

Baru sekarang Yong King-tiong kaget, serunya cepat: "Orang ini sudah kehilangan ingatan, awas Ling- kongcu."

Ling Kun-gi me ngegos ke sa mping, sebat sekali tangannya menangkap pergelangan tangan Liang ih-jun, berbareng ia berkisar me mutar ke belakang orang, sementara jari tangan kanannya menutuk ke Ling- tai hiat Liang lh-jun. tiga gerakan dia laksanakan sekaligus, bukan saja lincah dan gesit juga amat me mpesona, keruan Yong King-tiong bersorak me muji.

Terpentang mulut Liang Ih-jun me muntahkan sekumur darah, pelan2 badannya menjadi le mas terus mendeprok duduk di tanah, kedua matanya terangkat dan jelilalan me ngawasi Ling Kun-gi sekian la manya, mendadak ta mpak secercah sinar jernih pada sorot matanya, mulutpun berteriak gi-rang: "Cong-coh " agaknya dia

hendak meronta bangun.

Lekas Kun-gi menahan pundakmya, katanya: "Liang-heng terlalu capai, setelah mengala mi perte mpuran sengit dan la ma, kini kau lekas himpun tenaga dan pusatkan hawa murni, jangan bicara lagi."

Tapi Liang Ih- jun masih me maksa bicara dengan tersendat: "Pangcu . . . . mereka . . . . terkurung di dalam . . . . alat2 rahasia .

. . disini a mat berbahaya." Kun-gi mengangguk, bujuknya: "Liang-heng tak usah banyak bicara, keadaan di sini sudah kuketahui."

Liang Ih jun tahu bahwa luka2nya a mat parah, kini setelah bertemu dengan Ling Kun-gi, hatipun merasa lega, maka dia tidak banyak bicara lagi, ia duduk bersemedi me mulihkan kesehatan badan.

Yong King tiong me noleh kepada kedua jago pedangnya, dan me mber i pesan supaya mereka berjaga disini melindungi Liang Ih- jun, jadi tidak usah ikut maju lebih lanjut. Kedua jago pedang itu mengiakan.

'Marilah Ling kongcu," ajak Yong King-t iong.

"Paman Yong," ujar Kun-gi, "maju lebih lanjut ke mungkinan akan bersua dengan orang2 Pek-hoa-pang, biarlah wanpwe yang berjalan di depan supaya tidak terjadi salah paha m."

"Begitupun baik," ucap Yong King-tiong sambil menge lus jenggot, "tadi kalau aku tidak tahu cara memecahkan Hiat-ing-ci, hampir saja aku jadi korban."

Tanpa banyak bicara Kun-gi lantas berjalan mendahului, tempat itu kebetulan berada di belokan, beruntun me mbelo k dua kali, beberapa tombak ke mudian terdengarlah suara keresek lirih di sebelah depan. Padahal dalam lorong gelap gulita, tapi karena Kun- gi pegang Leliong-cu, musuh di te mpat gelap pihak sendiri di te mpat terang, jadi lebih jelas dan mudah disergap, maka untuk maju lebih lanjut sudah tentu harus lebih hati2. Mendengar suara keresekan itu, Kun-gi bertambah waspada lagi, tapi begitu dia pasang kuping mendengarkan, suara itupun lenyap.

Berkepandaian tinggi nyali Kun-gi pun besar, langkahnya tidak berhenti, sekejap saja dia sudah tiba di tempat suara keresekan tadi. Dalam keadaan gelap pancaran sinar Leliong-cu dapat mencapai tiga to mba k, waktu diba pandang ke dedpan, dilihatnyaa di sebelah depban ada dinding yang mengadang. Di sebelah kiri mepet dinding ada bayangan seorang berdiri tegak. Orang ini berpakaian ketat warna hijau, dari kejauhan Kun-gi sudah melihat dan mengenali bahwa orang itu berseragam Hou-hoat Pek-hoa- pang. Maka ia lantas bersuara lantang: "Aku Ling Kun-gi; entah siapa di depan?"

Sambil berdiri mepet dinding, orang itu tidak hiraukan seruan Kun-gi, tetap berdiri tak bergeming seperti tidak mendengar dan me lihat.

Waktu bersuara, Kun-gi sudah maju lebih dekat, dalam jarak dua tombak dia sudah melihat jelas wajah orang itu, dan bukan lain adalah Yap Kay-sian yang serombongan dengan Pek-hoa-pangcu Bok-tan, bersama Liang Ih-jun kedua orang ini bertugas melindungi Pangcu. Tampak mukanya pucat seperti kertas, kedua mata. terpejam, mepet dinding seperti kehabisan tenaga. Dilihat dari pakaiannya yang koyak2 disana-sini, sekujur badan berlepotan darah, paling sedikit ada puluhan luka di badannya, jelas barusan telah mengala mi pertempuran dahsyat, luka2nya amat parah dan kini tengah menghimpun tenaga dan me mulihkan se mangat.

Dia m2 Kun-gi kaget dan kuatir, dengan bekal kepandaian Liang Ih-jun dan Yap Kay-sian yang merupa kan jago2 kelas utama, tapi kedua orang itu mengala mi luka parah dengan puluhan luka, kalau tidak kebentur jago ahli pedang, terang mereka baru lolos dari suatu barisan pedang yang lihay. Maka cepat2 Kun-gi me mburu maju dan berteriak: "Bagaima na luka mu, Yap-heng "

Mendadak dilihatnya dua gulung sinar terang meleset keluar dari bawah ketiak Yap Kay-sian, meluncur ke arah dirinya. Waktu me lesat keluar kedua gulung sinar itu hanya sebesar kacang, tapi setelah mencapai satu tomba k bertambah terang dan me mbesar nyala apinya juga berubah biru terang.

Pandangan Kun-gi tajam luar biasa, sekilas pandang dia sudah me lihat kedua gulung sinar biru ini ternyata adalah puluhan batang Bwehoa-cia m warna biru, pada setiap ekor jarum me mbawa percikan api yang menyala terang. Pada detik2 genting itu, Yong King-tiong berseru gugup di belakang: "Awas Ling- kongcu, itulah Ceng-ling-cia m milik Tang Kim- seng, bila menyentuh benda lantas menyala."

Tapi Kun-gi bergerak lebih cepat dari pada peringatannya, tangan me mba lik pedang pandak seketika menabur kan jaring cahaya hijau di depan badannya.

Dua rumpun Ceng-ling-cia m menyamber datang bagai kilat itu, begitu menyentuh cahaya hijau laksana bunga salju yang beterbangan tertimpa sinar matahari, seketika rontok berjatuhan. Nyala api di ekor jarumpun seketika sirna tak berbekas.

Ternyata setiap rumpun Ceng-ling-cia m Tang Kim-seng ini berjumlah tiga puluh enam batang dengan kedua tangan menyambit bersama, dua rumpun berarti berjumlah tujuh puluh dua, jika seba- tang di antaranya mengenai tubuh manus ia, api akan segera berkobar, malah api yang ada pada ekor ja-rum ini sudah dibikin sedemikian rupa dengan obat beracun, bila sudah nyala, sebelum habis terbakar api tidak akan pada m.

Tapi kali ini tujuh puluh dua batang Ceng-ling-cia m seluruhnya kena ditabas kutung oleh ketaja man pedang Ling Kun-gi, ma lah tepat kena ekor jarumnya, betapapun buas dan besar daya nyala api beracun ini, sekali tersampuk oleh hawa dingin pedang pusaka Ling Kun-gi seketika padam sendirinya.

Dalam waktu sedetik itulah Ling Kun-gi sudah melihat jelas bahwa di belakang Yap Kay-sian ada bersembunyi seorang, jelas orang yang sembunyi ini adalah Tang Kim- seng. .Agaknya Yap Kay- sian terluka parah, maka dengan mudah dia tertawan oleh Tang Kim-seng, oleh karena itulah seruannya tadi tidak terjawab.

Mengingat jiwa te man terancam bahaya, mendadak Kun-gi menghardik sekali, jari tengahnya teracung terus menutuk ke arah Yap Kay-sian dari kejauhan. Hardikannya itu ditekan keluar dengan Lwekang, suaranya bagai halilintar menggelegar sampa i Tang Kim- seng merasakan kupingnya pekak mendengung, sudah tentu jantungnya serasa hampir me lonjak keluar. Pada saat itulah didengarnya pula sejalur angin tutukan mendes is kencang dan "Crat" mengenai dinding batu di belakang telinga kanannya, batu seketika muncrat beterbangan, terasa belakang kepalanya sakit pedas.

Ling Kun-gi me mang sengaja mengincar tempat yang mir ing, kalau tidak jiwa Yap Kay-sian sendiripun bakarl terancam. Tapi gertakannya ini justeru bikin Tang Kim-seng kaget bukan ma in, tak pernah diduganya bahwa pe muda di depannya ini me miliki kepandaian dan Lwekang setangguh ini.

Walau dalam waktu singkat ini dia berhasil me mbuka tiga Hiat-to yang ditutuk Ling Kun-gi tadi, tapi dikala me larikan diri tadi dalam lorong kesa mplo k dengan Liang Ih-jun, tanpa sengaja dia dilukai oleh

Hiat-ing-ci Liang Ih-jun, maka sekarang dia merasa perlu menggunakan Yap Kay-sian sebagai tameng untuk menyela matkan diri, malah dia me mbokong dengan Ceng-ling-ca m yang keji.

Kini mendengar hardikan Ling Kun-gi sekeras halilintar, kepala menjadi pusing, mata ber-kunang2, ditambah angin tutukan yang menyakit kan belakang kepalanya, karena sakit dia menjadi nekat serta ber-teriak: "Rasakan ini!" Tenaga dia sudah kerahkan pada dua lengan, tahu2 Yap Kay-sian dia angkat terus dilempar ke arah Ling Kun-gi, berbareng dia lantas mengegos ke sa mping dan baru saja kedua tangan bergerak hendak menimpuk "

Melihat Tang Kim-seng betul2 terjebak oleh tipu dayanya, Yap Kay-sian dile mparnya, sementara lawan lantas mengegos ke pinggir, keruan hatinya senang, dengan tangan kiri Kun-gi menahan ke depan menyambut badan Yap-Kay-sian yang melayang datang, tangan kanan menyusul menepuk sekali, segulung angin pukuian segera menerjang ke arah Tong Kim-seng.

Kejadian ini berlangsung singkat dan cepat, Tang Kim-seng baru mengegos ke pinggir dan hendak menggerakkan kedua tangan, mendadak dirasakan segulung tenaga keras menerjang dirinya, tadi ia sudah merasakan kelihayan tutukan jari Ling Kun-gi, sudah tentu menghadapi gelo mbang pukulan orang dia sekali2 tak berani manya mbutnya dengan keras, tak sempat lagi dia keluarkan senjata apinya dia berkisar ke sebelah kanan terus menyurut mundur.

Sementara itu tangan kiri Kun-gi sudah ber-hasil menyambut badan Yap Kay-sian, tapi begitu dia menyambut badan Yap Kay- sian, Kun-gi tertegun, seketika itu pula hawa amarahnya berkobar. Ternyata badan Yap Kay-sian yang disambutnya itu sudah dingin kaku, hanya sesosok mayat belaka.

Biarpun Ling Kun-gi tidak berniat menjadi Cong-houhoat Pek- hoa-pang, tapi dia pernah bekerja dan menduduki jabatan itu, Yap Kay-sian adalah Hou-hoat Pek-hoa-pang, jelek2 anak buahnya. Bukan saja soal dinas, persahabatan mereka sudah terjalin dengan baik dan akrab, adalah pantas dan menjadi kewajibannya untuk menuntut balas ke matian Yap Kay-sian.

Sekejap itu mata Ling Kun-gi mendadak mencorong terang, tangan kiripun dia tarik mundur terus diangkat tinggi lurus ke atas kepala, lalu pelan2 bergerak menurun lalu didorong ke depa m.

Tang Kim-seng yang me ngegos tadi berhasil menghindarkan diri dari pukulan Ling Kun-gi, serentak dia ayun kedua tangan, dari bawah lengan bajunya tiba2 me lesat keluar puluhan jalur sinar perak.

Itulah tiga belas batang anak panah pendek warna putih perak, kelihatannya seperti rantai perak, secara beruntun meluncur keluar dari lengan bajunya, daya luncurnya keras sekali, tapi belum seberapa jauh luncurannya mendadak berubah la m-ban. Setelah yang di depan menjadi la mban, yang di belakang menyusul, tiba juga ikut bergerak lamban. Maka tiga belas batang anak panah pendek itu kini berjajar menjadi satu baris berhenti di udara, seperti kebentur oleh sesuatu dan tak ma mpu maju lagi. .

Rupanya ketiga belas batang anak panah itu terbendung oleh tenaga pukulan Mo-ni-in yang di-lancar kan Ling Kun-gi, tenaga yang tidak kelihatan tahu2 menindih tiba bagai gugur gunung dahsyatnya mendadak ketiga belas anak panah Ginling-cian itu me mutar balik terus meluncur ke mba li menyerang Tang Kim-seng malah. Kekuatan atau daya bakar Cinling-cian berpuluh kali lebih besar dari Ceng-ling cia m, sudah tentu panah perak berapi inipun bisa menimbulkan daya bakar yang luar biasa.

Melihat Ginling-sian mene mui rintangan dan tak ma mpu melukai musuh, Tang Kim-seng sudah merasakan gelagat jelek, kini melihat senjata putar balik hendak ma kan tuannya, keruan ia se makin gugup, dia hendak berkelit, namun tidak se mpat lagi, dengan menjer it keras ia roboh ke belakang.

Waktu pukulannya berhasil menghantam ma mpus Tang Kim- seng, sementara tangan kiri Ling Kun-gi sudah menurunkan jenazah Yap Kay-sian, sesaat lamanya dia periksa dengan seksama, ternyata sekujur badan Yap Kay-sian terdapat delapan belas goresan luka pedang, luka2   tabasan yang paling   berat   dan menyebabkan ke matiannya terletak pada pinggang kanannya, begitu dalam tabasan pedang di sini sehingga mencapai lima dim. Dari sini dapat dibuktikan bahwa Yap Kay-sign sebetulnya tidak mati di tangan Tang Kim-seng, tapi Tang Kim-seng adalah cakar alap2 kerajaan dengan senjata rahasia jahat yang berapi, manusia jahat seperti ini me mang pantas mene mui ajalnya oleh senjata keji sendiri.

Yong King-tio ng maju mendekat, katanya setelah memeriksa jenasah Yap Kay-sian: "Apakah dia juga orang Pek-hoa-pang?"

Dengan prihatin Kun-gi menjawab: "Dia bernama Yap Kay-sian ialah seorang Houhoat Pek-hoa-pang, ilmu silatnya cukup tinggi, tapi hampir pada saat yang sama sekujur badannya terkena tabasan pedang, menurut luka2nya ini dapatlah diketahui kalau ilmu pedang lawannya itu sangat cepat, telak dan kuat, kukira masih jauh lebih unggul di-bandingkan Cap-coat-kia m-tin, paling sedikit ada delapan belas jago pedang kelas tinggi sekaligus mengeroyok dan menghujani tubuhnya sehingga tak   mungkin   dia   dapat menyela matkan diri, tubuhnya terluka delapan belas goresan pedang. Yong-lopek, tahukah kau barisan pedang apakah ini, masa begini lihay?" Yong King-tiong geleng2 kepala, katanya: "Cui Kinin adalah Ceng-liong-tongcu, tapi diapun merangkap Ko misar is umum Hek- liong-hwe, tiada bedanya sebagai maha ketua Hek-liong-hwe, Losiu tahu waktu dia datang dari kotaraja hanya membawa seorang La ma yang mengaku saudara seperguruan dengan dia, dua orang lagi adalah Nyo Ci-ko dan Tang Kim-seng, kabarnya merekapun anggota Siwi kelas tiga di istana raja, jabatan dan kedudukan mereka tidak lebih rendah dari Han Janto, kecuali tiga orang ini, seingatku tiada orang lain lagi, kecuali itu Ceng-liong-tong hanya ada beberapa jago pedang dan dayang pribadi Cui Kinin, mengena i jago2 pedang itu me mang me miliki Kungfu yang tidak le mah, tapi tingkat mereka setingkat dengan jago2 pedang bawahan Losiu, jadi tiada seorang kosen yang betul2 dapat diagulkan."

Terkerut alis Kun-gi, katanya: "Aneh kalau begitu, dengan bekal kepandaian silat Yap Kay-sian, jelas tak mungkin dalam waktu sekejap sekaligus badannya terluka oleh delapan belas serangan pedang "

"'Betul", ucap Yong King-t iong manggut2, "Walau Losiu tak pernah menyaksikan taraf kepandaian orang she Yap ini, tapi kalau Ling- kongcu bilang kungfunya tinggi, jelas tak perlu diragukan, tapi dari delapan belas luka2 ini dapat kita nila i, tampaknya dia tidak ma mpu lagi me mbe la diri, hanya berdiri diam saja me mbiar kan tubuhnya dihujani serangan pedang, kalau tidak tak mungkin lukanya bisa begini banyak."

Sesaat Ling Kun-gi berdiri me lenggong mengawasi dinding yang mengadang di depan sana, jelas di dinding ini ada pintu rahasia pula, mengingat Bok-tan, Giok-lan, Bikui (Un Hoankun) dan lain2 mungkin berada di balik pintu ini, kemungkinan merekapun telah terluka parah. Liang Ih-jun dan Yap Kay-sian yang me mbeka l kepandaian setinggi itupun terluka parah, apalagi mereka yang telah terperangkap di dalam sana, jelas setiap saat meng-hadapi mara bahaya juga.

Terbayang akan Bok-tan dia teringat kepada Un Hoankun pula, hatinya menjadi gelisah, katanya: "Yong-lopek, di sini ada pintu rahasia lagi, entah cara bagaimana me mbukanya, marilah lekas kita masuk ke sana."

Sekilas Yong King tiong melir ik mayat Tang Kim-seng yang mengge letak di kaki te mbo k sana, mendada k tergerak pikirannya: "Tang Kim-seng berlari sampai di sini, kenapa tidak buka pintu terus lari ke sebelah dala m? Tapi dia sengaja pakai mayat sebagai tameng dan main me mbo kong? Me mangnya di balik pintu ini ada perangkap yang amat lihay!"

Karena itu, sambil me ngelus jenggot dia ber-kata : "Losiu tidak tahu alat perangkap yang terpasang di balik pintu, tapi mengingat Tang Kim-seng lari sa mpai di sini dan tak berani masuk lebih lanjut, dapatlah ditarik kesimpulan pasti ada jebakan lihay di sana, setelah Losiu berhasil me mbuka pintu rahasia ini, jangan Ling-kongcu berlaku gegabah, lihat dulu keadaan baru masuk."

"Wanpwe sa ma sekali asing mengenai alat2 perangkap, silakan paman me mberi petunjuk," kata Kun-gi.

Dengan tersenyum Yong King-tiong lantas maju beberapa langkah, ia me ngelus dinding lalu menekannya beberapa kali, setelah itu tangan kanan melindungi dada, cepat dia menyurut mundur pula.

Dinding batu mula i bergetar dan pelan2 terbuka sebuah celah pintu, tapi tak nampak adanya reaksi apa2. Sudah tentu di balik pintu adalah lorong panjang pula, lebarnya juga hanya tiga kaki, keadaan di sinipun gelap gulita, lima jari sendiripun tidak kelihatan, keadaan hening lelap, tak terdengar suara apapun.

Sementara itu Yong King-tiong telah merogoh keluar dua bumbung besi bundar dari tubuh Tang Kim-seng dan beberapa puluh batang Gin ling-sian, katanya dengan tertawa : "Ling-kongcu, coba kau mundur beberapa langkah. biar Losiu mencobanya."

Kun-gi lantas mundur dua langkah. Yong-King-tiong lantas maju pula, ia pegang sebatang Gin ling-s ian terus menimpuknya ke dalam. Ta mpak sinar perak berkelebat me mecah kegelapan disusul suara ledakan dari permukaan tanah seketika timbul kobaran api perak yang menyala cukup besar.

Dalam lorong sempit yang gelap itu. tiba2 timbul cahaya yang terang benderang dapat mengawasi dengan seksa ma, panjang lorong itu kira2 ada delapan tombak la lu me mbelo k ke kiri, bagaimana keadaan di balik pengkolan sudah tentu sukar diketahui, tapi jalan lorong ini kelihatan lurus datar, tiada sesuatu yang mencur igakan.

Setelab ditunggu sekian lamanya tetap tiada reaksi apa2, diam2 Yong King-bo ng berpikir: "Kalau tidak ada perangkap dalam lorong ini, kenapa Tang Kim seng tak berani masuk?"

"Marilah pa man Yong, kita masuk me meriksanya," ajak Kun-gi. .

Yang King-t iong cukup tabah, cermat dan hati2, katanya mengge leng: "Losiu kira Tang Kim-seng pasti tahu cara me mbuka alat rahasia di sini, tapi dia lebih rela melawan kita secara mati2an dari pada masuk ke sana, kukira pasti ada sesuatu yang menjadi sebabnya."

"'Kalau tidak masuk sarangnya, mana dapat penangkap anak harimau?" demikian kata Kun-gi. "Yang penting kita harus lebih hati2, paman boleh tunggu saja di sini, biar Wanpwe coba masuk ke sana."

"Kalau harus masuk mar ilah bersama supaya bisa saling me mbantu," ujar Yong King-tiong.

"Jangan, biar Wanpwe masuk sendiri, bila benar ada perangkap, segera Wanpwe akan mundur, kalau banyak orang yang masuk, padahal lorong sese mpit itu, kalau menga la mi kesulitan tentu sukar bergerak, bukankah se muanya akan terperangkap ma lah?"

Yong King-tiong mengangguk, katanya: "Jika demikian keinginan Ling- kongcu, Losiu tidak akan me maksa, cuma jangan kau masuk terlalu jauh, bila menghadapi bahaya harus lekas mundur, nanti kita rundingkan pula cara mengatasinya." "Wanpwe mengerti." ujar Kun-gi. Sambil me nenteng pedang dan tangan lain me megang Leliong-cu Kun-gi melangkah masuk ke dalam lorong. Dengan mendelong Yong King-tiong hanya bisa mengawasi punggung Ling Kun- gi.

Lorong inipun a mat gelap tapi ada cahaya mutiara di tangan Ling Kun-gi, ma ka dia dapat maju pelan2, setiap langkahnya a mat hati2 dan diperhitungkan, keadaan terasa tenang dan aman, Yong King- tiong yang berada di luar pintu se makin terbelalak bingung, kalau betul lorong itu tiada perangkap kenapa Tang Kim-seng tidak berani masuk ke sana? Me mangnya dia tidak tahu cara me mbuka pintu ini?

Dalam pada itu Kun-gi sudah berjalan setombak lebih dan ha mpir mencapai dua tomba k jauhnya, keadaan tetap tenang dan aman, tapi dikala langkahnya tepat mencapai jarak dua to mbah dari pintu, tanpa bersuara pintu lorong mendadak bergerak menutup. Berdiri di depan pintu perhatian Yong King-tiong tertuju kepada Ling Kun-gi, tak pernah terpikir bahwa daun pintu akan menutup secara mendadak, waktu dia sadar dengan kaget, namun tak keburu lagi berbuat sesuatu apa, dalam hati dia mengeluh: "Celaka!" Cepat dia ulur tangan ke to mbol untuk me mbuka pintu lagi.

Waktu pertama kali dia menekan tombo i ini pintu segera terbuka, tapi sekarang mes ki dia ketuk2 sekerasnya tombo l itu, daun pintu tetap tertutup rapat.

Sudab e mpat puluh tahun Yong King-tiong hidup di lorong2 gua dalam perut gunung ini, sedikit banyak dia sudah cukup apal akan segala peralatan rahasia yang terpasang di sini, biasanya iapun suka me mperhatikan, dan me mpelajarinya dengan iseng, maka boleh dikatakan sekarang cukup ahli, juga tentang peralatan rahasia di sini. Malah dari hasil penelitiannya itu dia sendiri telah menciptakan ruang rahasia di kamar pribadinya dengan daun pintu yang amat berat itu.

Beruntun dengan mengguna kan beberapa cara ia berusaha me mbuka daun pintu, tapi tetap gagal, baru sekarang dia sadar bahwa peralatan rahasia di sini agaknya berbeda daripada peralatan di tempat lain, pasti di balik daun pintu ini dipasang peralatan istimewa untuk me ngendalikan daun pintu ini. Apa yang dinama kan peralatan khusus tentunya jauh lebih berbahaya.

Kini Ling Kun-gi terperangkap di dala m, tak heran Tang Kim-seng lebih suka tinggal di luar sini daripada masuk ke sana. Se makin dipikir se makin gelisah, tanpa terasa keringat membasahi badan Yong King-tiong. Tiba2 dia mundur dua langkah, obor dia serahkan kepada Siau-tho, pelan2 dia menarik napas. dua tangan terangkat di depan dada Jubah hijau yang longgar tiba2 mele mbung, bola matanya mendelik, tiba2 dia menghe mbuskan napas keras2 dari mulut, berbareng tenaga terkerahkan pada kedua tangannya terus mengge mpur ke daun pintu batu.

"Blang" pukulan menimbulkan getaran yang keras, lorong sempit itu seketika diliputi hawa yang bergolak. Begitu keras pukulan dan akibat yang timbul sehingga Yong King-t iong sendiri tertolak mundur selangkah. Obor padam seketika sehingga lorong menjadi gelap gulita.

Tanpa diminta lekas Siau-tho menyulut obor pula. Yong King- tiong maju me mer iksa, pintu yang terkena pukulan dahsyatnya masih utuh tak kurang suatu apapun. Sudah tentu dia tidak tinggal dia m, beruntun dia me mukul lagi lebih keras, tapi hasilnya nihil, daun pintu tidak berge ming sedikitpun ma lah hawa bergolak semakin keras, lorong se mpit ini terasa berguncang hebat.

Tiga pukulan Yong King tiong telah dilancarkan dengan seluruh kekuatannya, akhirnya dia menjadi le mas sendirinya, tiga pukulan tadi boleh dikatakan telah me meras seluruh kekuatannya, maka keadaannya sekarang menjadi loyo, wajahaya kelihatan letih.

Siau-tho maju sa mbil angkat obor, katanya lirih: "Yong- congkoan, istirahatlah sebentar."

Yong King-tiong menghela napas, katanya: "Lohu sudah menduga pasti di sini ada perangkap yang luar biasa. Ai, kalau Ling- kongcu sa mpai mengala mi musibah, bagaimana Lohu harus me mber i tanggung jawab kepada Thi- hujin?" Siau-tho menggigit bibir, katanya setelah ber-pikir: "Menurut pendapat hamba, Ling-kongcu  me miliki  kepandaian  tinggi, me mbawa senjata pusaka lagi, orang baik tentu dikaruniai umur panjang, semoga Thian selalu me mberkatinya."

"Ya, semoga seperti apa yang kau doakan," Yong King-tiong menghe la napas pula.

-oo0dw0oo-

Sekarang mar ilah, kita ikuti pengala man Ling Kun gi di dalam lorong, cahaya mutiara di tangannya dapat mencapai sejauh tiga tombak, tapi dalam jarak sepuluh to mbak, bila ada musuh sembunyi pasti dapat diketahui juga oleh ketajaman telinganya, setelah menyusuri ha mpir dua tombak dia yakin kalau dalam lorong ini tiada orang bersembunyi, maka hatinya semakin tabah, karena dia tahu setiap peralatan rahasia menjelang alat itu bergerak pasti akan menimbulkan suara, meski itu hanya suara gesekan lirih sekali pasti tidak akan lepas dari pengamatan mata kupingnya, sedikit peringatan ini sudah cukup baginya untuk secepatnya bersiap menjaga ke mungkinan, tapi sejauh hampir dua to mbak ini, keadaan tetap tenang dan aman, Kun-gi menjadi geli akan ketegangan sendiri. 

Lorong gua di perut gunung dengan segala peralatannya ini adalah hasil ciptaan Sinswi-cu, pada setiap petak lorong pasti di pasang sebuah pintu, maksudnya supaya orang luar tidak leluasa keluar masuk menerjang ke dalam Hek- liong-hwe, pada daun pintu di sini masing2 juga menggunakan cara yang berbeda untuk me mbukanya.

Sejak masuk dari Ui-liong-tong sa mpai di sini, entah berapa lorong dan betapa jauh yang telah di tempuh Ling Kun-gi, berapa pintu pula yang berhasil dia dobrak, kecuali sering disergap oleh mu-suh, kapan dia pernah menghadapi alat perangkap yang berbahaya? Karena yakin di depan tiada musuh bersembunyi dan percaya tiada perangkap apa2 di sini, maka Kun-gi me mpercepat langkahnya, tapi waktu dia mencapa i dua to mbak dari dalam pintu, mendadak didengarnya daun pintu di belakang tertutup, seketika Kun-gi tersentak kaget.

Maklumlah bagi seorang persilatan yang berkepandaian tinggi, bila bertindak soal pertama yang dia pikirkan adalah jalan mundur. Bila dia baru mencapai satu tombak lantas tahu daun pintu akan menutup, mungkin dengan kecepatan gerakannya dia masih sempat me lo mpat keluar, tapi kini dia sudah dua to mbak jauhnya, umpa ma segera tahu juga ti-dak mungkin mundur lagi. Kejadian bagai percikan api belaka, baru saja Kun-gi mencelos kaget, kupingnya lantas mendengar suara keretekan dari balik dinding di kanan kirinya.

Kejadian teramat cepat, belum lagi suara keretekan itu lenyap mendadak dilihatnya sinar dingin berkelebat, dari dinding sebelah kiri mendadak menusuk keluar pedang yang tak terhitung jumlahnya, dinding batu di sini tinggi tiga tombak panjang delapan tombak itu hampir se muanya merupakan dinding pedang, jumlah pedang yang menusuk keluar dari dinding sedikitnya ada tiga ratusan batang. Padahal lebar lorong hanya tiga kaki, sedang panjang pedang juga ha mpir tiga kaki.

Syukur Ling Kun-gi sudah berlaku hati2 dan waspada, begitu mendengar suara dari balik dinding, betapa cekatan dia bergerak, belum lagi pedang menusuk badannya, Seng-ka-kia m di tangan kanannya sudah bekerja, terdengar suara benturan keras disusul suara gemerantang, pedang panjang yang menusuk keluar, seluas lima kaki di sekitarnya kena ditabas kutung berhamburan. Tapi kejap lain, dari dinding sebelah kanan, kemba li muncul sinar dingin, entah berapa banyak pedang menusuk keluar pula.

Tanpa pikir ke mbali Kun-gi kerjakan Seng-ka-kia m, di mana pedangnya terobat-abit kemba-li suara gemerentang me meka k telinga, seluas lima kaki di sekitarnya pedang yang sedang menusuk dari dinding ke mba li disapunya kutung.

Kini Kun-gi aman di lingkaran seluas lima kaki itu. Hanya di tempat inilah yang paling a man sepanjang lorong ini, meski kutungan pedang yang menempel dinding masih mulur, tapi sudah tak bisa me lukainya lagi.

Kini Kun- gi bisa me mperhatikan dengan seksa ma, pedang yang menusuk keluar dari kanan-kiri ternyata bergiliran, itu berarti siapapun yang masuk lorong ini pasti akan binasa.

Soalnya bila merasa diserang oleh pedang yang me nusuk keluar dari dinding kiri, dengan sendirinya akan berkelit dan mepet dinding kanan, lorong lebar tiga kaki, panjang pedang ada dua kaki tujuh dim, di sa mping berkelit kaupun harus menge mpiskan dada dan perut, tapi pada saat itu pula, dari dinding kanan di belakang punggung juga, menusuk keluar pedang yang tak terhitung banyaknya. Secara bergiliran maju mundur begini, mustahil kalau sekujur badanmu tidak tertusuk.

Setelah melihat keadaan ini baru Ling Kun-gi paham kenapa sekujur badan Yap Kay- sian sampai terluka sebanyak delapan belas jalur pedang. Tapi nyatanya dengan luka2 sebanyak itu dia berhasil menerjang keluar dari lorong ini, sungguh sukarnya tak dapat dibayangkan, sebab selain harus me miliki kepandaian tinggi, juga kecerdikan tidak kurang pentingnya, di samping itu harus me miliki Ginkang yang luar biasa pula.

Mengingat Yap Kay-sian, dengan sendirinya dia teringat kepada Bok-tan dan rombongannya, entah berapa orang sudah menjadi korban oleh barisan pedang ini. Serasa denyut jantungnya bertambah kencang, perasaan seperti tertekan. Hal ini ma lah mena mbah tekadnya untuk menerjang masuk lebih lanjut.. Pedang di sinipun harus dilenyapkan seluruhnya lebih dulu.

Seng-ka-kia m segera dia pindah ke tangan kiri, tangan kanan menge luarkan Ih-thiankia m, dengan kedua tangan sekaligus me ma inkan kedua pedang pusaka segera dia menerjang masuk lebih dala m.

Tampak dua larik cahaya terang menari turun naik, di mana sinar pedang menyamber, pedang2 selebar itu seketika sa ma rontok berhamburan. Ling Kun-gi terus menerjang maju, tiba di belokan lorong, dilihatnya di atas tanah menggeletak sesosok mayat yang berlepotan darah.

Di bawah pancaran cahaya mutiara tampak jelas bahwa orang yang menggeletak ini adalah Coh-houhoat Kiu-ci-boankoan Leng Tio-cong adanya. Punggungnya terluka sembilan tusukan pedang, dadanya juga tergores beberapa jalur, tapi tusukan dipunggung itu lebih parah sehingga mena matkan jiwanya. Sebetulnya ilmu silat orang ini lebih tinggi, tapi selama hidup dia tidak pernah pakai senjata, maka kali ini menjadi korban secara percuma.

Mungkin dikala menga la mi serangan pedang dari dinding kiri, dengan tangan kosong terang tak berani melawan senjata tajam. Jalan satu2nya ialah berkelit dan mepet ke dinding kanan, tak terduga pedang lantas menus uk keluar juga dari dinding ka-nan sehingga luka dipunggungnya tampak lebih telak daripada luka2 di dadanya.

Dia m2 Kun-gi menghela napas, dalam hati dia berdoa : "Leng- heng, istirahatlah dengan tenang!" Kun-gi menerjang maju lebih lanjut, lorong di situ agak serong dan me mbelok, kira2 delapan tombak lagi baru sampai di ujung lorong, ke mbali dia dihadang sebuah dinding.

Waktu dia berpaling, kutungan pedang berserakan me menuhi lorong, syukur dia selalu me mbe kal kedua batang pedang pusaka ini, kalau t idak jangan harap dia bisa mene mbus hutan pedang di sini. Dikala dia berpikir itulah, suara keresekan di balik dindingpun berhenti. Sisa kutungan pedang yang masih mene mpel dinding dan masih bergerak maju mundur itupun kini sudah hilang ke dalam dinding dan tak berbekas lagi. Keadaan ke mba li tenang seperti sediakala.

Pada saat itulah mendadak didengarnya seruan Yong King-tiong: "Ling-kongcu .... . " suaranya keras dilandasi kekuatan dalam yang hebat, gema suaranya mendengung di dalam lorong, nadanya kedengaran gugup dan kuattir. "Aaaahhh!" sebuah teriakan girang tiba2 berkumandang dari pengkolan sana. Bayangan Yong King-tiong yang tinggi segera muncul, sebat sekali dia sudah me lejit tiba di sa mping Kun-gi, katanya penuh perhatian: "Ling-ko ngcu, kau t idak apa2.”

Terharu juga Kun-gi atas perhatian orang, lekas dia memapak maju, katanya: "Yong- lopek, beruntung Wanpwe me mbe kal kedua pedang ini, perangkap pedang di sini kuhancurkan seluruhnya."

Dengan seksama Yong King-tiong awasi badan Ling Kun-gi, me mang seujung ra mbutpun t idak kurang suatu apa, ma ka dengan menge lus jenggot dia berkata tersenyum: "Untung yang masuk ke mari adalah Ling-ko ngcu, kalau Losiu, tentu sejak tadi sudah mengge letak tak bernyawa" La-lu dia bertanya: "Jenazah di pengkolan itu apakah juga orang Pek-hoa-pang?"

"Dia itujah Kiu-ci-boankoan LengTio-cong, Coh-houhoat Pek-hoa- pang, orang ini dari Eng-jiau-bun, kepandaian yang diyakinkan menguta makan kekerasan jari tangan, selamanya dia tidak pernah pakai alat senjata, ma ka di sini dia menga la mi nasibnya yang sia l."

"Betul, hutan pedang di sini begini lebat, alat perangkap bergerak cara hidup, bagi orang yang tidak bersenjata sudah tentu akan mender ita rugi besar," demikian ujar Yong King-tiong.

Tengah bicara, tampak Siau-tho dan seorang jago pedang baju hitam sudah menyusul tiba.

"Yong-lo pek, di sini ada pintu rahasia lagi, tolong pa man me mbukanya," pinta Kun-gi.

Cepat sekali Yong King-tiong berhasil me m-buka pintu di dinding, Kembali mereka me masuki sebuah lorong pula. Dengan me me gang mut iara dan menenteng pedang Kun-gi jalan ke depan, katanya: "Yong- lopek, biar Wanpwe me mer iksanya dulu."

"Biarlah kita masuk bersa ma," ucap Yong King-tio ng, "selanjutnya takkan ada hutan pedang atau perangkap lain lagi, karena pintu2 di sini rada2 sukar dibuka dari luar, orang yang di dalam bila mende kati segera pintu terbuka sendiri, dari sini dapatlah diduga bahwa orang2 Pek-hoa-pang pasti terkurung di sini."

"Baiklah, biar Wanpwe me mbuka jalan," lalu Kun-gi beranjak lebih dulu.

Sambil menenteng pedang Yong King-tiong ikut masuk, di belakangnya adalah Siau-tho dan jago pedang baju hitam yang terakhir. Ternyata keadaan lorong ini tenang dan aman, kali ini Kun- gi lebih hati2. Setelah empat tomba k jauhnya tetap tiada kejadian apa2, maka dia percepat langkahnya.

Panjang jalan ini entah berapa li, kira2 se masakan air telah mereka te mpuh, tapi bayangan orang Pek-hoa-pang tetap tidak kelihatan, padahal lorong ini sudah berakhir dan diadang sebuah kamar batu, sebuah kamar yang luas dan lebar berbentuk segi enam, di tengah ka mar tertaruh sebuah meja bundar warna hijau dikelilingi enamkursi batu, kecuali ini tiada benda lainnya. Keadaan di sinipun gelap gulita sehingga sukar diketahui keadaan sekelilingnya.

Yong King-tiong berhenti di luar pintu. tanpa terasa ia bersuara heran.

Kun-gi berpaling, tanyanya: "Paman Yong, adakah kau melihat gejala yang tidak beres di sini?"

"Tiga puluh tahun Losiu menjabat Congkoan Hek-liong-hwe tak pernah kuketahui adanya tempat ini."

"Paman Yong, bukankah Han Janto tadi bilang mere ka telah ubah lorong gua serta membangunnya lebih rumit, kalau orang2 Pek-hoa- pang, bergerak menurut peta la ma itu berarti masuk perangkap sendiri, mungkin di sinilah tempat yang di ma ksud itu"

"Losiu hanya tahu bahwa di belakang Ceng-liong-tong ditambah bangunan rahasia, tempat untuk menyekap orang, tapi tak tahu kalau di sini ada tempat seluas ini, dinding segi enam ini entah mengapa t idak berpintu, lalu ke mana kita harus pergi?" Kamar yang luas ini terasa sunyi senyap, tapi di dalam sana lapat2 terasa adanya hawa yang mencekam, dia mengerut kening, katanya pula kepada Kun-gi: "Ling-kongcu tunggu saja di sini, jangan sembarang bergerak, Losiu akan me meriksa ke dala m." Segera dia kerahkan tenaga dalam, dengan hati2 dia melangkah masuk pelan2.

Kamar ini me mang kosong melo mpo ng, kecuali meja kursi tiada benda lain, tapi Yong King-t iong bertindak a mat hati2, dengan cermat dia periksa meja kursi, lalu berjalan mengelilingi dinding sepanjang ruangan.

Terutama pada setiap sudut segi enam itu dia berdiri cukup la ma, matanyapun menatap ke dalam dengan tajam serta mendengar kan dengan seksama tapi agaknya tetap tidak mempero leh sesuatu yang diharapkan.

Setelah berdiri menunggu sekian la ma, Ling Kun- gi jadi hilang sabar, baru saja ia hendak menyusul maju mendadak didengarnya gema suara benturan senjata tajam yang sayup2. Betapa tajam pendengaran Ling Kun-gi, tiba2 sorot matanya berpaling ke arah sudut ketiga di sebelah kanan,

Lwekang Yong King- tiong juga cukup tinggi, iapun mendengar gema suara benturan senjata dari arah yang sama, yaitu dari sudut ketiga, ma ka iapun me mbalik ke arah sini.

Di antara anggota rombongan yang dipimpin Bok-tan, Coh- houhoat Leng Tio-cong dan Yap Kay-sian sudah mati, sementara Liang ih-jun luka parah, yang ketinggalan adalah Bok-tan, Giok-lan, Bikui ( Un Hoankun) dan Ci-hwi serta Binggwat Suthay dari Ciok-sin bio yang belum kelihatan muncul.

Suara benturan senjata itu kemungkinan adalah perjuangan para nona yang kesamplok musuh tangguh dan tengah bertempur sengit, keruan Lingkun-gi jadi kuatir. Maka tanpa ayal segera dia melayang ke dalam ka mar serta berkata lirih: "Yong-lope k harap tunggu di sini, biar Wanpwe masuk menengo k ke dala m, mungkin orang Pek- hoa-pang sedang me labrak musuh tangguh di dalam sana" Tanpa menunggu reaksi Yong King- tiong langsung dia berkelebat masuk ke sudut ketiga.

Melihat betapa rasa kuatir Ling Kun-gi, Yong King-tiong jadi tak enak mer intangi, bahwasanya memang dia tak sempat mencegahnya karena gerakan Kun-gi terla mpau cepat, terpaksa dia berpesan dari belakang: "Ling- kongcu harus hati2, Losiu rasa keenam sudut pintu di sini pasti tidak beres."

Kun-gi sudah melayang beberapa tombak jauhnya, sahutnya sambil berpaling: "Wanpwe me ngerti."

Lorong di belakang sudut pintu ketiga ini juga selebar tiga kaki, dengan me mbawa Leliong-cu, mata dan kuping dipasang tajam2, Kun-gi maju terus ke arah datangnya suara.

Langkahnya cepat sekali, sebentar saja dia sudah mencapai puluhan to mbak, di depan mendadak muncul sebuah lorong se mpit yang melintang. Di tempat persimpangan ini sulit me mbedakan arah datangnya suara benturan senjata, sebetulnya gema suara itu lebih jelas, kadang2 keras tiba2 lirih dan lenyap, dapatlah dibedakan bahwa dua orang yang lagi berhantam itu tidak setanding, atau mungkin seorang me larikan diri dan yang lain mengejar, kini jarak mereka sudah se makin dekat kearah dirinya.

Setiba dipersimpangan jalan terpaksa Kun-gi harus berhenti dan menunggu, dengan penuh perhatian dia bedakan arah datangnya suara, tak nyana waktu dia berhenti dan mendengarkan, itulah suara benturan itu mendadak lenyap. Sesaat kemudian baru berkumandang lagi, kini jelas datang dari arah sebelah kiri, cuma suaranya kedengaran amat jauh.

Kun-gi t idak ayal lagi, lekas dia me mbelo k ke kiri terus menyusul ke sana dengan kencang. Tak terduga baru empat tombak dia berlari, mendadak di kejauhan sana didengarnya suara hardikan nyaring. Suara hardikan nyaring ini serasa sudah amat dikenalnya, cuma sukar dibedakan suara siapa? Keruan dia me lenggong, ke mbali dia menahan lang-kah dan pasang kuping mendengar kan pula. Tapi suara hardikan itu hanya sekali saja, lalu tak terdengar lagi. Dari kecer matan cara Kun-gi me mbeda kan suara, dia yakin kalau suara, hardikan itu datang dari belakangnya malah, jadi berlawanan dengan suara benturan senjata tadi.

Sedikit merandek ini suara benturan senjata tadipun sudah lenyap, malah dia me mperhitungkan suara hardikan, itu tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Otaknya bekerja seeepat kilat, segera dia putar balik terus menerjang ke persimpangan jalan, kali ini me mbe lok ke arah kanan.

Kali ini hanya berlari kira2 enam tombak lantas dilihatnya sesosok bayangan langsing berkelebat keluar dari tikungan sebelah depan dan berlari me ndatangi. Jadi kedua orang berlari saling papak.

Tangkas sekali gerak- kberik bayangan langsing itu, begitu ada orang datang dari arah depan, tanpa tanya siapa dia dan tak peduli apa akibatnya, sekali menghardik kontan dia ayun tangan serta menepuk ke depan. Tepukan telapak tangan ini ternyata dibarengi dengan taburan gumpalan asap putih yang menerjang ke muka orang.

Syukur Kun-gi sudah menahan langkah dan berdiri menunggu, teriaknya: "Adik Hoan, inilah aku!" Gumpalan putih itu bertaburan di muka Ling Kun-gi dan "plak", tepukan tangan orang telak mengena i pundaknya.

Sekilas bayangan langsing itu tampak tertegun, habis itu mendadak berjingkrak dan menjerit girang, teriaknya: "Toako, kau .

. . . " sambil berteriak segera ia menubruk maju dan menjatuhkan diri dalam pelukan Kun gi, dengan kencang ia merangkul Kun-gi, kepalanya mene mpel di pinggir kupingnya, bisiknya lirih penuh rasa haru dan riang serta lega: "Toako, hampir saja aku tak bisa ketemu lagi dengan kau." Ternyata dia bukan lain adalah Un Hoan kun yang menya mar Jadi Bikui.

Tampak oleh Kun-gi pakaian Un Hoankun robek dua tempat, keduanya tergores pedang hingga kulit badannya terluka, rambut awut2an, keadaannya kelihatan amat letih dan kehabisan tenaga, timbul rasa iba dan sayangnya, katanya sambil mengelus ra mbut orang: "Adik Hoan, kau terluka?"

"Untunglah hanya lecet kulit saja," sahut Hoankun. "Eh, Toako, kapan kau masuk ke mari? Kenapa hanya kau saja?"

"Panjang ceritanya, aku mencari kalian, kalau t idak mendengar suara hardikanmu, mungkin belum bisa kutemukan kau?"

Kepala Un Hoakun bersandar dipundak Ling Kun-gi, katanya: "Lorong2 se mpit di sini simpang siur, seperti berada di sarang labah2 yang menyesatkan, sukar mene mukan jalan keluarnya, lama kela maan rombo ngan ka mi lantas terpencar satu persatu, apalagi musuh selalu menyergap dan memboko ng, kepandaian silat dan ilmu pedang merekapun tera mat tinggi, kalau aku tidak me mbeka l obat bius, mungkin aku sudah terluka parah." Setelah merandek dan menghe la napas, dia menambahkan pula dengan tertawa: "Tadi dengan obrt biusku juga sudah kubunuh dua orang,"

"Sejak kapan kalian terpencar?" tanya Kun-gi.

"Entah sejak kapan, yang terang sudah cukup lama, semula Ci- hwi masih berada di sa mpingku, ke mudian terdengar suara benturan senjata lawan segera aku me mbur u ke sana, tak tahunya setiba di tikungan musuh lantas menyergap, setelah aku berhasil me mbereskan orang itu, bayangan Ci-hwipun telah lenyap."

"Jadi kau hanya selalu, berada di lorong se mpit ini.”

Suara Un Hoankun seperti minta belas kasihan: "Ya, obor yang kubawa sudah terbakar ha-bis, seorang diri aku jadi menggere met di tempat gelap, semakin gugup se makin bingung dan se makin sulit mene mukan ja lan keluarnya  "

Kun-gi tertawa, katanya: "Kau sudah tahu takut sekarang?"

Mengencang    pelukan    Un     Hoankun,     katanya     sambil me mbena mkan kepalanya ke dada Ling Kun-gi: "Me mangnya kau saja yang tidak takut?" Terasa oleh Kun-gi waktu orang bicara bau badan si nona nan harum me mbuat hatinya rada terguncang, terutama badan orang yang padat berisi mene mpel kencang di dadanya, jantung mereka yang berdetak seakan saling bertautan menjadi satu, seketika badan terasa hangat. Pelan2 dia angkat muka si nona, katanya lembut: "Sekarang kau tak usah takut." Empat mata beradu pandang, tampak bulu mata Un Hoankun yang panjang me lengkung, bola matanya nan bening dan jeli, bibirnya merah seperti delima merekah. Muka mereka me mangnya amat dekat, kini se makin mende kat "

Badan Un Hoankun seperti mengejang, mulutnyapun mengeluh lir ih. Sayang pada detik2 romantis itu dari tempat yang gelap sana mendadak kelarik sinar pedang berkelebat, cahaya dingin laksana kilat menusuk ke arah mere ka.

Gerak orang ini sangat cepat, kedatangannya tidak menimbulkan suara, tahu2 serangan pedangnya sudah menya mbar tiba dengan perbawa yang mengejutkan.

Kun-gi terkejut sadar, lekas, dia miring kekanan sambil menarik badan Un Hoankun, tiga jari tangan kiri dengan cepat menjepit ujung pedang lawan, berbareng kaki kanan melayang ke dada orang.

Karena tangan menjepit ujung pedang lawan, telapak tangannya ikut me mba lik, cahaya mutiara yang se mula teraling kini mendada k terpancar dan menjadikan lorong se mpit itu terang.

Tampak orang yang menyergap secara licik ini adalah laki2 berbaju hijau, usianya e mpat puluhan, dari serangan pedangnya yang lihay serta kedatangannya yang tidak me mbawa suara, terang dia jago kosen dari Ceng-liong-tong yang berkepandaian t inggi.

Sebetulnya si baju hijau ini tadi hanya melihat segumpal bayangan orang di lorong sempit ini, maka dia m2 dia menggere met maju terus menusukkan pedangnya, sungguh tak nyana bahwa yang diserangnya ini adalah sepasang muda- mudi yang sedang me madu cinta di te mpat gelap ini. Terutama pe muda jubah longgar ini hanya sekali angkat tangan dan ujung pedang lantas terjepit, keruan ia kaget, lekas dia miring badan sambil mundur setengah tindak, berbareng tangan kiri menepuk tendangan kaki Kun-gi, sedang tangan kanan menggentak keras, pergelangan tangan berputar dan pedangpun ditarik.

Dengan gentakan yang dilandasi kekuatan hebat ini, ujung pedangnya bisa menciptakan lingkaran, bagi seorang yang Lwekangnya rendah, jari2 nya yang menjepit ujung pedang pasti bisa tertabas kutung. Tapi Ling Kun-gi juga mengerahkan tenaga saktinya pada ketiga jarinya yang menjepit ujung pedang lawan. Maka terdengar "pletak", ujung pedang tiba2 patah.

Kejadian cepat sekali, orang itu tergentak mundur dua tindak baru berdiri tegak, sekilas kelihatan tertegun, katanya dengan tertawa marah: "Anak bagus, kiranya kau anak mur id Siau-lim."

"Kau salah satu dari tiga puluh enam panglima Haek- liong-hwe?" tanya Kun-gi.

Orang itu melenggong, jawabnya ke mudian: 'Darimana kau dapat tahu?"

"Tiga puluh enam panglima adalah orang kepercayaan Lohwecu, seharusnya mereka patriot bangsa dan tuan '

Tajam tatapan mata si baju hijau, tanyanya: "Siapa kau?" "Kau tidak perlu tahu siapa diriku."

Mendadak beringas sorot mata si baju hijau, bentaknya bengis:

"Kau bocah ini, terlalu banyak yang kau ketahui." Sret, pedangnya ke mbali menusuk ke arah Ling Kun-gi.

Dengan enteng Kun-gi mengegos kesa mping dan   balas me mbentak: "Bukan saja banyak yang Cayhe ketahui, hari ini ma lah aku akan me ncuci bersih na ma baik Hek-liong-hwe di bawah pimpinan Lo-hwecu dulu, sebagai salah seorang tiga puluh enam panglima dulu, kini kau rela menjadi antek musuh, ma ka ke matian adalah bagianmu." "Toako," seru Un Hoankun di belakang,"orang ini harus kita tawan hidup2."

Karena tusukannya luput orang itu jadi me lengak, mendengar ancaman Kun-gi lagi, seketika dia naik pita m, dengusnya: "Anak muda sombong benar kau!" Sret, sret, kembali pedangnya bergetar menusuk dua kali.

Di mana tangan Kun-gi terangkat tahu2 pedang pandak sudah digengga mnya, tapi dia tidak lantas balas menyerang, kaki tidak bergeming, hanya badan bagian atas bergontai mengikut i gerak tusukan lawan, dua kali tusukan si baju hijau ke mbali mengena i tempat kosong. Gerakan bergontai yang ge mulai ini adalah hasil dari Hwi- liong- kiu-se k yang telah dia cangkok dalam praktek.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar