Jilid 27
Memang Kun-gi seorang yang cerdik, apalagi ilmu pedang terlatih selama sepuluhan tahun, ma ka taraf ilmu pedangnya boleh dikatakan cukup se mpurna, terutama Hwi- liong-sa m- kiam warisan keluarganya sudah teramat apal sekali, ga mbar di dinding sa mbung bersambung dari satu ke lain ga mbar diawali pula dengan Hwi- liong- sam-kia m, ma ka dengan mudah dan lancar dapatlah dia selami dengan baik.
Habis me mpelajari keenam ga mbar ini, lalu dia pindah ke dinding sebelah kanan. Seperti dinding sebelah kiri, pada dinding sebelah kanan ini juga terukir enam gambar orang bermain pedang, tapi gambar di sini ada sedikit berbeda, yaitu gambar ketujuh sampai kesembilan mas ih merupakan kelanjutan dari perma inan pedang yang harus dilancarkan melo mpat sa mbil menusuk dan me mbabat, tapi mulai ga mbar kesepuluh sampa i kedua belas, hanyalah seseorang berdiri me me luk pedang dan bersimpuh seperti orang semadi, malah gaya ketiga ga mbar ini mirip satu dengan yang lain, sukar diraba dan dibedakan di mana letak keanehan dan ke mujijatannya?.
Secara singkat Kun-gi menga mati dulu keenam ga mbar ini, lalu diulangi pula dari ga mbar ketujuh, satu persatu dia pelajari dan selami dengan hati2 sa mpa i ga mbar kese mbilan. Karena pelajaran enam ga mbar terdepan sudah merasuk dalam benaknya, ma ka ketiga jurus ilmu pedang sambungan ini dengan sendirinya dapat dipaha minya dengan cepat dan mudah. Tapi mulai jurus kesepuluh sampai kedua belas dia benar2 harus me meras otak, dia mat2i kian ke mari, tetap kebingungan dan tak tahu ke mana juntrungan ajaran gambar orang me meluk pedang ini serta letak intisari dari gaya yang sederhana ini? Cukup la ma Kun- gi me mperhatikan ketiga gambar terakhir ini, tapi tetap tak berhasil me nyelaminya, terpaksa dia tinggalkan dulu, sembilan jurus ilmu pedang di bagian depan ke mbali dia ulangi dan dilatih dengan lancar, dengan pedangnya dia ma inkan sembilan jurus ilmu pedang itu.
Sudah tentu tiga jurus di bagian depan yang diyakinkan sejak kecil dia mainkan dengan bagus sekali, tapi mulai jurus kee mpat sampai kesembilan, setiap jurusnya ditambah perubahan dan variasi yang me mbingungkan, untung dia sendiri me mang sudah punya dasar yang kuat, kecuali latihan per mulaan yang terasa masih kaku, setelah dia ulangi beberapa kali, meski belum dapat bergerak bebas dan wajar, tapi sembilan puluh persen gaya permainan ilmu pedang ini sudah dapat dikuasai dengan baik.
Untuk melancarkan keenam jurus ilmu pedang ini kira2 menghabiskan waktu setengah kentongan (setengah jam), mengingat waktu amat mendesak, apalagi untuk sekaligus mengapalkan seluruhnya jelas a mat sulit. Terhadap ketiga ga mbar terakhir dia masih belum berhasil, terasa bahwa ketiga gambar ini pasti mengandang arti yang luas, setelah keluar dari sini takkan mungkin ke mbali lagi, maka kese mpatan ini betapapun tak boleh di- sia2kan.
Maka dia simpan pedangnya dan ke mbali dia berdiri di depan dinding, me musatkan dan menjernihkan pikiran, dengan lebih telit i dia bedakan ketiga ga mbar ini. Tapi sudah berulang kali dengan cara yang berbeda dia coba menyambung kese mbilan jurus ilmu pedang bagian depan dengan gaya memeluk pedang ini, betapapun dia tetap mengala mi kegagalan, rasanya ketiga gaya me meluk pedang ini seperti petilan tersendiri dari sembilan jurus di depannya. Tapi hal ini bagi Ling Kun-gi justeru dirasakan adanya keanehan yaang tersembunyi pada ketiga jurus terakhir ini, sayang pengetahuan sendiri teramat cetek sehingga sesingkat ini tak berhasil me maha minya.
Akhirnya Kun-gi a mbil keputusan, pikirnya "Umpa ma tak berhasil kusela mi, kenapa ketiga gaya bersimpuh ini tidak kucatat saja perubahan satu dengan yang lain, kelak bila ketemu Suhu, akan kutanya dan mohon petunjuknya saja." Maka dengan tekun dia berusaha mereka m ketiga ga mbar terakhir ini dalam benaknya.
Tak terduga dalam penelitiannya terakhir ini baru disadarinya bahwa ukiran pada bagian ga mbar perta ma ada goresan pada le mpitan baju yang agak cetek, tapi gambar kedua goresannya lebih dalam dan lebar, malah pada gambar ketiga kedua mata orang tampak sedikit me micing, seperti menatap tajam ke ujung pedang yang dipeluknya. Jadi ketiga gambar ini hanya ada sekian kecil perbedaannya, kalau tidak diperhatikan betul2 tentu sukar me mbedakan satu dengan yang lainnya. Kini setelah dia rekam dengan baik ke dalam benaknya, ma ka tak perlu tinggal la ma2 lagi di sini.
Setelah me mbetulkan pakaiannya, dengan laku hor mat dia berlutut dan menyembah ke arah meja sempit, dalam hati dia berdoa supaya Tiong-yang Cinjin me mberkati kesuksesan pada dirinya yang menuna ikan tugas berat ini, serta menyatakan bersyukur bahwa dia telah berhasil me mpe lajari ilrnu pedang peninggalannya. Lalu dia berdiri, meniup padam lilin, sekali tutul kaki, badannya seketika melejit keluar dari lubang bundar.
Berada di ka mar sebelah atas, dia mengambil ke mbali duri bengkok yang dia taruh tadi sebagai tanda, langsung dia melangkah ke arah pintu kedua di sebelah kiri. Kira2 t iga langkah sebelum dia sampai mendorong pintu, daun pintu tahu2 terbuka sendiri, didengarnya suara gemur uh di bawah lantai.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Sejak tadi aku sedang keheranan, kenapa Hiolo te mbaga itu belum juga muncul ke mbali ke tempat asalnya? Ternyata setelah aku keluar melalui pintu tertentu ini dan setelah pintu terbuka, itu berarti setelah orang yang berada di kamar sudah keluar baru suara ge muruh itu terdengar, suatu tanda bahwa Hiolo besar itu sedang bergebrak naik ke tempat asalnya, Sinswi cu itu me mang seorang ahli yang je mpo lan."
Hati me mbatin langkah tetap beranjak, tanpa menoleh langsung dia me langkah keluar pintu, baru beberapa langkah, "blang", pintu di belakangnya kemba li menutup sendiri, Kini dia ke mbali me lewati lorong panjang yang diapit dinding mar mer, bentuk dan keadaan di sini mir ip lorong waktu dia masuk tadi. Jalan yang dite mpuhnya ini me mang yang pa-ling a man sesuai petunjuk tadi, maka dengan leluasa dan lancar dia terus berjalan ke depan tanpa mengala mi rintangan apapun. .
Setiba di ujung lorong se mpit dia dorong pintu terus keluar, kini dia berada di serambi bundar dan menyusur i jalan datangnya semula ke mbali ke arah selatan, di ujung sera mbi adalah batu undakan.
Kedua tugas berat berhasil dia capai dengan baik, sudah tentu perasaannya lega, maka langkahnya terasa ringan dan cepat sekali dia sudah tiba di ujung undakan.
Tampak pada tempat keluar ada sebatang besi tegak ke atas, bagian atas bergantungan sepuluh bo-la batu, sementara ujung yang di bawah terikat pada sebuah batu raksasa, jadi seperti setengah menyanggah batu bulat itu, sehingga sulit bagi orang di luar untuk me mbukanya.
Waktu masuk tadi Kun-gi menghabiskan tenaga untuk menarik bola batu itu ke atas dan di sanggah lebih lanjut oleh batang besi itu, kini untuk keluar, sudah tentu dia harus menyanggah pula bola batu itu. Maka dia kerahkan tenaga pada kedua lengannya, pelan2 mendorongnya ke atas.
Tak terduga mes ki mendorongnya sampai mata mendelik bola batu itu tetap tak bergeming. Keruan ia heran dan bingung. Sejak masuk Ui- liong-tong pengala mannya cukup banyak, dia tahu bila pintu rahasianya terpasang oleh alat rahasia pasti tak mung-kin dibuka oleh tenaga manus ia melulu. Bahwa bola batu tak kuasa diangkatnya, maka dia yakin pasti ada alat rahasianya untuk me mbuka.
Maka dia perhatikan dinding di kanan- kirinya.. Tampak di atas dinding sebelah kanan bergantung sebuah roda besi sebesar mulut mangkuk, hatinya menjadi girang, pikirnya: "Mungkin di sinilah letak rahasianya." Segera ia pegang roda itu terus menariknya. Maka didengarnya suara gemerujuk air yang mengalir seperti dituang.
"Waktu aku masuk tadi," demikian batin Kun-gi, "air kolam sudah menurun sedalam lima to mbak saja, mungkin setelah bola batu ini ke mbali ke tempat asalnya, airpun mengalir balik setinggi keadaan semula, kini kalau aku hendak keluar dari sini sudah tentu air kolam harus diturunkan sehingga pucuk karang menongol di luar permukaan baru aku bisa me mbuka bola batu ini, kalau tidak air akan mengalir masuk ke dalam sini."
Dengan sabar dia menunggu, sementara suata gemerujuk air masih terus terdengar, kira2 setanakan nasi kemudian, suara gemuruh mulai sirna, tiba2 batang besi penyangga bola berputar naik sendiri, maka terbukalah sebuah lubang bundar. Tanpa ayal Kun-gi segera menerobos keluar dari lubang itu.
-ooo0dewikz0ooo- Luas Hek-liong-ta m dua puluh empat tombak, dikelilingi tebing yang curam. Kentongan keempat sudah berselang dan menjelang kentongan kelima, waktu sebelum fajar menyingsing adalah saat2 yang paling gelap.
Kolam naga hitam dilingkupi kabut hitam yang tebal lagi, walau lima jari tangan sendiripun tidak terlihat, apalagi berhadanan, bayanganpun tidak ta mpak.
Di ujung sebelah selatan kolam terdapat sebuah jalan ber-liku2 warna hitam, jalan melingkar naik ini terus mene mbus ke arah selat le mbah yang di apit dua gunung. Itulah satu2nya jalan keluar dari kolam naga hitam ini. Tatkala itu, tampak sesosok bayangan orang tengah lari berlo mpatan bagai terbang me luncur ke arah le mbah yang menuju ke Hek- liong-ta m.
Tiba2 terdengar kumandang hardikan seorang: "Siapa?" berbareng muncul dua bayangan orang di mulut le mbah, dari kanan kiri kedua orang ini merintangi orang tadi.
Suasana sedemikian pekat sehingga wajah oraag pun sukar terlihat meski dalam jarak yang dekat, yang kelihatan hanya dua bayangan hitam yang samar2 belaka. Jelas bahwa kedua orang ini mengenakan pakaian serba hitam pula, sampaipun pedang di tangan merekapun berwarna hitam.
Tapi pendatang itu juga mengenakan seragam hitam, malah pakai kedok kepala segala, yang kelihatan juga hanya sosok hitam belaka.
Baru saja kedua bayangan hitam itu menghardik dan belum lagi gema suara mereka lenyap, bayangan hitam yang datang itu tahu2 sudah berada di depannya, tanpa bersuara kontan ia ayun tangan, tiba2 selarik sinar pedang menyambar keluar seiring gerakan tangannya, sekali berkelebat sinar pedangnya tiba2 berpencar mengincar tenggorokan kedua orang yang mengadang di depannya.
Samberan pedang si baju hitam ini bukan saja cepat laksana kilat juga ganas sekali, sehingga lawan yang diserang menjadi kelabakan dan tak ma mpu menangkis atau berkelit. Tapi kedua lawan inipun bukan kaum le mah, sigap sekali mereka menyingkir ke samping, berbareng pedang mereka serempak juga bergerak, bayangan dua batang pedang dari kirikanan sekaligus menyamber si baju hitam.
Si baju hitam menyeringai, pedang berputar, selarik sinar kemba li me mbabat mir ing kedua la-wannya, bukan saja gaya silatnya indah, serangan yang dilancarkan inipun aneh, lihay dan banyak perubahannya, sungguh ilmu pedang yang tak mudah dilawan.
Baru saja orang di sebelah kiri bergerak maju, belum se mpat menarik pedangnya untuk menangkis, sinar pedang lawan tahu2 sudah menabas tiba, terdengar jeritan ngeri, pinggangnya terbabat putus, darahpun muncrat, tubuhnya menge linding ke bawah jurang.
Melihat kawannya binasa, sudah tentu orang di sebelah kanan serasa terbang sukmanya, saking kaget dia melo mpat mundur sambil putar pedang melindungi badan, sementara tangan kirinya sudah merogoh kantong mengeluar kan sebuah sempritan perak dan hendak dijejalkan ke mulut.
Padahal gaya tebasan pedang si baju hitam baru saja me mbinasakan seorang musuh, untuk di tarik balik dan menyerang lawan yang lain jelas tidak sempat lagi, terpaksa dia ayun sebelah tangannya, segulung tenaga raksasa seketika menerjang ke depan.
Lwekang si baju hitam ternyata hebat luar biasa, belum lagi orang di sebelah kanan itu sempat meniup peluitnya, pukulan lawan sudah menerpa dadanya, seperti bola yang kena pukulan telak, badan orang ini tiba2 mence lat jungkir balik sa m-bil mengha mburkan darah, badannya terguling dan akhirnya tak berkutik lagi.
Kuatir musuh yang satu ini belum binasa dan sempat meniup peluitnya, si baju hitam segera melejit maju, sekali pedang terayun, dada orangpun ditambah sekali tusukan pula. Pada saat itulah, mendadak ia seperti merasakan sesuatu, dengan sigap segera ia me mba lik se mbari me mbentak: "Siapa?"
Dingin dan singkat hardikan suara ini, tapi nadanya yang nyaring jelas keluar dari mulut seorang perempuan. Memang tidak keliru perasaannya, tampak sesosok bayangan orang tengah melejit rnendatangi dari celah2 ngarai yang curam di seberang sana. Sorot mata si baju hitam seterang la mpu mene mbus cadar mengawas i pendatang itu.
Aneh pendatang inipun berpakaian serba hitam, iapun mengenakan cadar hitam pula, di pundaknya menongol keluar ujung gagang pedang. Dalam sekejap orang itu sudah melayang tiba, teriaknya kejut2 girang: "Kaukah dik?" Suaranya juga seorang perempuan.
Setajam pisau sorot mata si baju hitam yang datang lebih dulu, sikapnya tampak me lengak ka-get dan bingung, jawabnya dengan suara dingin: "Siapa kau?"
"Bukankah kau adik Ji- hoa?", tanya pendatang baru.
Hanya sekian saja perubahan sikap si baju hitam yang datang duluan, suaranya kedengaran ketus dan kasar: "Bukan!"
Pendatang baru tiba2 menghe la napas rawan, ucapnya: "Ai, meski sudah dua puluh tahun kita tidak berte mu, tapi suara mu tetap kukenal dengan baik."
"Me mangnya kenapa kalau kau kenal suaraku?" jengek si baju hitam yang datang duluan.
"Dik," haru dan pilu suara pendatang baru, "betapapun kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, hubungan kita bagai saubdara kandung bedlaka, setelah aadik pergi, selabma dua puluh tahun ini, sebagai kakakmu setiap saat senantiasa kukenang dan merindukan dikau "
"Tutup mulut," bentak si baju hitam yang datang duluan. "Siapakah adikmu itu?"
Agaknya pendatang baru itu sudah menyangka orang akan bertanya demikian, suaranya tetap sabar dan lembut: "Adik tidak mengakui aku sebagai kakak, ini tidak jadi soal, betapapun aku dibesarkan dan diasuh oleh ayah, aku dipandang sebagai puteri sendiri, betapa besar budi kebaikannya terhadapku tak bisa tidak aku harus tetap me mandangmu sebagai adik."
"Sudah selesai ocehanmu?", jenpek si baju hitam yang datang duluan.
"Kudengar adik mendir ikan Pek-hoa-pang, kini sudah menjadi Thay-siang-pangcunya pula," ujar pendatang baru.
Ternyata si baju hitam yang datang duluan adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang, tak heran me miliki Lwekang dan kepandaian setinggi itu, hanya sekali ayun pedangnya sekaligus telah me mbunuh dua ahli pedang yang bertugas jaga di Hek- liong-ta m.
"Betul," jawab si baju hitam yang datang duluan atau Thay-siang "Sebagai Thay-siang dari Pek-hoa-pang, adik sudah mengerahkan segenap kekuatan Pek-hoa-pang meluruk ke mari, seharusnya kau tumpas dan menuntut balas dulu pada pengkhianat bangsa yang sekarang mengangkangi Hek- liong- hwe, kenapa adik justeru hanya ma in gertak dengan tiga barisan anak buahmu se mentara kau sendiri secara dia m2 lari ke mari malah?"
"Kenapa aku harus menuntut balas kepada keparat yang menjual bangsa dan Hek- liong-hwe? Han Janto kan tidak me mbunuh suamiku, kenapa aku harus menuntut balas bagi orang lain?"
Bergetar tubuh pendatang baru, jelas hatinya tengah bergejolak dan sedang menekan perasaannya, sesaat kemudian baru dia berkata pula: "Me mangnya adik sendiri bukan orang Hek- liong- hwe?"
"Sejak la ma aku bukan orang Hek- liong-hwe lagi," jawab si baju hitam yang datang duluan.
"Me mangnya kau tega dan rela Hek-liong-hwe yang didirikan susah payah oleh beliau jatuh ketangan musuh? Tanpa terusik sedikitpun perasaanmu?"
"Ayah sudah meninggal, setelah orangnya mati segala urusan impas, Hek-liong-hwe direbut orang dari tangan orang she Ling, ini bukti bahwa dia tidak becus. Me mang jerih payah ayah selama tiga puluhan tahun harus dibuat sayang, tapi setelah berada ditangannya justeru beralih ke tangan bangsa lain, itu berarti dia orang yang paling berdosa dalam Hek- liong-hwe, inipun me mbuktikan pandangan ayah sudah kabur, salah menilai orang yang tidak setimpal menerima warisannya, apa pula sangkut- pautnya soal ini dengan diriku?"
Saking dongkol ge metar sekujur badan pendatang baru, tapi dia tetap bersabar, katanya sambil menghela napas: "Sudah dua puluh tahun beliau meninggal, kau mas ih me mbencinya begini rupa?"
"Kaulah yang kubenci," teriak si baju hitam yang duluan, suaranya sengit.
"Jangan kau salahkan aku dik," ujar pendatang baru, "ayah sendiri yang a mbil keputusan."
"Maka akupun tidak peduli kepada beliau, seolah dia bukan ayah kandungku," desis si baju hitam yang datang duluan.
"Dik, betapapun ayah tetap ayah, tiada orang di dunia ini yang tidak mengakui ayah kandungnya sendiri, jangan kau berbicara demikian."
"Kenapa tidak boleh kukatakan de mikian? Justru karena usianya sudah terlalu lanjut, kalau dia tidak loyo me mangnya Hek- liong- hwe bisa direbut musuh secepat itu "
Orang yang datang belekangan agaknya naik pita m, katanya keras: "Kularang kau bilang begini."
"Berdasar apa kau larang aku bicara? Aku justru ingin blak2an, dulu kalau yang dikawinkan dia adalah aku, tentu aku akan me mbantu dia mengurus Hek- liong-hwe dengan baik, teratur dan beres, mungkin sa mpa i hari ini Hek- liong-hwe tetap Hek-liong- hwe yang jaya dulu, takkan jatuh ke tangan bangsa lain, usianya saat ini sebetulnya baru empat puluh lima, kenapa dia harus mati pada usia dua puluh lima."
Agaknya sengaja dia hendak menus uk perasaan si pendatang baru, maka tanpa menunggu reaksi orang dia sudah mena mbahkan lebih pedas: "Coba kau lihat, dengan kedua tanganku yang kosong ini, bukankah kuberhasil me ndirikan Pek-hoa-pang, kekuatan dan kebesaran Pek- hoa-pang tidak lebih asor dibandingkan Hek- liong hwe."
Setiap patah katanya setajam ujung pisau meng-anca m ulu hati pendatang baru itu, tanpa terasa dua jalur air mata tiba2 bercucuran dari balik kedoknya katanya mengangguk : "Ucapanmu me mang benar dik. Me mang salah ayah, aku sendiri juga terlalu tidak becus, seharusnya aku hanya pantas berjodohkan seorang kampungan, menjadi isteri alim dan mendidik putera puteri belaka, me mang aku tidak setimpa l berjodohkan dia, apalagi dia seorang pahlawan yang me mikul tanggung jawab besar, me mang akulah yang bikin celaka dia . . . ." akhirnya dia menangia ter-guguk2.
Si baju hitam yang datang duluan menyeringai puas, katanya: "Sayang kau insap setelah terla mbat." Tanpa melirik lagi segera dia me mba lik badan terus berlari kecelah2 mulut le mbah sana.
Pendatang baru itu terketuk perasaaannya dia lagi tenggelam dalam kepiluan sehingga air mata bercucuran, serta mendengar orang me langkah pergi cepat dia me nyeka air mata: "Dik, lekas berhenti. !"
Si baju hitam yang duluan menjadi tidak sabar, teriaknya juga: "Aku tidak punya waktu mendengarkan obrolanmu."
"Untuk apa adik pergi ke Hek- liong-ta m?", tanya si pendatang baru.
"Kenapa aku harus beritahukan pada mu?"
"Kau ke mari untuk me mpelajari ilmu pedang peninggalan Tiong- yang Cinjin di dasar gua itu bukan?"
"Me mangnya aku tidak boleh turun ke sana?"
"Dik, kau kan tahu, air kolam itu teramat beracun, kecuali Leliong- cu, tiada obat penawar la in di dunia ini."
"Kau bawa Leliong-cu itu?" "Aku tidak pernah me miliki Leliong-cu."
Lama si baju hitam yang datang duluan menatapnya lekat2, tanyanya dingin: "Lalu untuk apa pula kau ke mar i?"
"Aku sengaja ke mari untuk me mbujuk dan mencegah kau menyerempet bahaya."
"Urusanku sendiri, tak perlu kau ikut ca mpur," jengek si baju hitim yang datang duluan, mendadak dia me langkah pergi lebih cepat, tahu2 dia sudah menyelinap keluar celah2 lembah, menyusur i jalan kecil berliku terus me nuju ke bawah.
Pendatang baru tak bersuara lagi, secara diam2 iapun mengikut di belakang orang. Tiba2 si baju hitam yang duluan me mba lik badan, tangannya memegang sebatang pedang ke milau, ujung pedangnya menuding dan sorot matanya me mancar dingin, hardiknya: "Setapak lagi kau mengikuti aku, jangan menyesal kalau pedang ditanganku tak kenal kasihan."
Terhenti langkah pendatang baru, katanya dengan rawan: "Mungkin adik berhasil, me mbuat semaca m obat penawar getah beracun itu, tapi kolam ini sedalam dua puluh to mbak, kadar racunnya juga teramat besar, kecuali Leliong-cu, apapun tak bisa . .
. . . . .."
"Urusanku tak perlu kau tahu," bentak si baju hitam yang duluan. "kalau kau t idak me nyingkir, jangan salahkan aku bertindak keji padamu."
Tanpa hiraukan orang segera dia berkelebat ke depan, larinya bagai terbang meski berjalan di jalan gunung yang licin dan berlumut. Di antara le mbah yang diapit gunung, kabut sudah mulai ber-gulung2 tiba, luncuran tubuhnya laksana meteor, dalam sekejap saja ia sudah lenyap ditelan kabut.
Pendatang baru menarik napas, dia diam saja tidak mengikuti orang lagi, tapi me mba lik ke arah timur terus menyusuri sebuah jalanan kecil yang berlumut tebal, jalan di sini tak pernah diinjak manus ia. Kabut masih tebal di Hek- liong-tam, lima jari sendiri tak kelihatan, Si baju hitam yang datang duluan itu me mang Thay-siang Pek-hoa-pang, sejak kecil dia dibesarkan di Hek-liong-hwe, ma ka jalan dan liku2, di dasar perut gunung ini dia sudah apal di luar kepala. Walau kabut teramat tebal, tapi tak me mbawa pengaruh apapun bagi gerakannya, langkahnya tidak menjadi kendur karenanya, badannya meluncur bagai terbang langsung menuju ke kola m.
Setiba di pinggir la in, langkahnya tampak lebih hati2, sedikitpun tak berani lena, mengitari dinding sebelah timur, terus maju dan mulai injak pagar batu. Tujuannya jelas ke arah utara di mana kepala naga itu berada, tapi tatkala kakinya mula i beranjak di pagar batu itu, jantungnya tiba2 berdetak keras.
Ternyata didapati di tengah kabut di depat sana ada orang, jaraknya tinggal setombak saja. Sudah tentu ketika dia melihat orang di depannya, orang di depan yang me miliki kepandaian tidak rendah juga segera melihat kedatangannya. Betul juga di tengah kabut itu lantas berkumandang sebuah hardikan: "Siapa?"
Sudah tentu Thay-siang tidak pandang sebelah mata para penjaga Hek-liong-ta m ini meski dia seorang ahli pedang, dengan tegas ia menyahut: "Aku!"
Belum lenyap suara "aku" tiba2 bayangannya me lejit maju, pedangnya menusuk cepat ke ulu hati lawan.
Tapi Kungfu orang itu ternyata juga amat tinggi, ketika dilihatnya sinar dingin berkelebat tiba, ia kaget juga, cepat ia me mbentak: "Kau bukan orang kita?!"
Pedang yang semula melintang di depan dada segera didorongnya ke depan, gerakannya tidak kencang, tapi laras pedang seluruhnya dilandasi kekuatan dala m, jelas ilmu pedangnya sudah mencapai taraf yang sempurna. Maka terdengarlah suara "trang", serangan Thay-siang laksana kilat itu kena dipatahkan oleh lawan.
Bahwa serangan yang disiapkan lebih dulu dengan landasan kekuatan hebat dapat dipatahkan lawan, keruan terkesiap hati Thay-siang, jengeknya: "Sudah tentu aku ini bukan orang Hek-liong- hwe."
Belum lagi pedangnya ditarik, tangan kirinya sudah melancarkan pukulan yang dahsyat. Lwekangnya amat tangguh maka pukulan yang dilontarkan lihay sekali, baru saja suara benturan kedua senjata bergema, pukulan telapak tanganpun melandai tiba.
"Serangan bagus," teriak orang itu dengan gusar. Tanpa ayal iapun gerakkan telapak tangan kiri, sekuatnya dia menepuk sekali me mapak serangan lawan. Lwekang yang diyakinkan orang ini agaknya tidak lebih asor daripada Thay-siang, maka tepukan tangan yang dilancarkan dengan gusar ini sungguh kuat sekali.
"Plak", begitu kedua tenaga saling bentur, terdengarlah suara keras, hawa bagai bergolak di sekitar tubuh mereka sehingga menimbulkan angin kencang, pakaian kedua orang mela mba i2.
Thay-siang betul2 kaget, pikirnya: "Kepandaian orang ini begini tinggi, waktuku a mat terbatas, aku harus cepat me mbereskan dia." Mendadak dia lancarkan pula serangan aneh dan ganas, di mana pedangnya terayun, memancarkan cahaya terang melingkar bagai samberan kilat sehingga kabutpun tersa mpuk buyar.
Karena pancaran sinar ini, tertampaklah di depannya berdiri seorang laki2 berjubah hijau berperawakan tinggi kekar, air mukanya mengunjuk rasa kaget, pedang hitam ditangannya berputar cepat, mendadak ia berteriak gugup: " Harap berhenti!"
Betapa sengit dan cepat gerakan pedang kedua belah pihak, belum lagi teriaknya lenyap, terdengarlah suara "trang-trang" benturan yang keras. Dalam sekejap itu, senjata kedua orang saling beradu belasan kali, padahal mereka hanya bergebrak satu jurus belaka.
Setelah sinar pedang sirna, Thay-siang masih tetap berdiri di tempatnya, sementara laki2 jubah hijau menyurut mundur tiga langkah. Karena rasa me mbunuh sudah me mbakar, maka Thay- siang mendesis pula: "Bagus, nah sambutlah sejurus lagi." "Tahan sebentar, tahan sebentar!" teriak si jubah hijau. "Berhenti dulu, coba dengarkan sepatah kataku."
Terpaksa Thay-siang berhenti, namun pedangnya tetap siaga, serunya; "Mau o mong apa, lekas katakan!"
"Losiu mohon tanya, bukankah jurus pedang yang Hujin lancarkan barusan adalah Sinliong-jut-hun?"
Seperti diketahui Sinliong-jut hun dari Hwi-liong-sa m-kia m harus dilancarkan dengan tubuh terapung di udara, tapi Thay-siang sudah meyakinkan jurus ini sela ma dua puluhan tahun dan sudah kelewat sempurna, ma ka cukup dengan mengayun tangan saja tanpa mengapungkan badan, gerakannya malah dapat berubah sesuka hatinya, apalagi dilandasi kekuatan Lwekangnya, sinar pedang yang tajam itu dapat diulur untuk melukai musuh, maka tanpa melejit ke udara ia tetap bisa me lontarkan jurus serangan lihay ini.
Kalau si jubah hijau tidak me miliki ilmu pedang tingkat tinggi mana dia ma mpu me matahkan serangan yang begitu hebat, pengetahuan dan pengala mannya yang luas menjadikan dia kenal betul jurus pedang yang dilancarkan lawan meski gerak dan gayanya berbeda.
Sinar mata Thay-siang berkilat hijau, katanya sambil menyeringai: "Kau dapat mengena li ilmu pedangku, menanda kan kau cukup lihay "
Belum habis bicara, tiba2 laki2 jubah hijau berjingkrak girang sembari berkeplok, lalu menjura dengan gugup, katanya: "Kiranya Ling-hujin adanya, Losiu "
Thay-siang segera menukas: "Aku bukan Ling- hujin."
Laki2 jubah hijau tertegun, katanya: "Barusan Hujin melancarkan Sin liong- jut-bun, kalau engkau bukan Ling hujin, habis siapa?"
"Me mangnya hanya Ji-gio k yang ma mpu melancar kan jurus pedang itu?" jengek Thay-siang. Bergetar badan laki2 jubah hijau, sekejap dia melenggong mengawasi Thay-siang, mendadak dia menjura dan berkata: "Ah, kiranya engkau adalah Jikohnio, maaf Losiu berlaku kurang adat."
Jikohnio alias nona kedua. Yaitu seperti telah diceritakan, Thay- siang adalah puteri kandung Lo-hwecu Thi Tiong- hong, namanya Thi Ji-hoa.
Sikap Thay siang tampak kikuh, katanya tegas: "Sekarang aku adalah Thay-siang dari Pek-hoa-pang.
Cepat si jubah hijau mbengiakan: "Ya, ya, Cay-he menghadap Thay-siang."
"Darimana kau tahu akan diriku?" tanya Thay-siang.
Laki2 jubah hijau menjura pula, katanya: "Cayhe Yong King- tiong, cukup la ma me ngikuti Lohwecu, sudah tentu kukenal baik nona."
"Apa jabatanmu sekarang dalam Hek- liong-hwe?" tanya Thay- siang.
"Sungguh me ma lukan, Cayhe pernah mendapat budi pertolongan Lohwecu, atas kebijaksanaannya Cayhe diangkat sebagai Congkoan Hek-liong-hwe, sela ma dua puluh tahun ini aku selalu berdoa dan mengharap akan datang suatu ketika dapat bebas merde ka, kini beruntung Jikohnio telah ke mar i, Ling kongcu tadipun telah ke mari, syukurlah bahwa penantianku sela ma ini t idak sia2."
"Ling-kongcu juga ke mar i", kata2 ini me mbuat Thay-siang tertegun heran, tanyanya: "Apa katamu? Siapa itu Ling-kongcu?"
”Ternyata Jikohnio belum tahu, Ling-kongcu adaalah putera Ling- hwecu, Thian me mang maha adil, Ling-kongcu dilahirkan setelah ayahnya meninggal."
Tergerak hati Thay-siang, batinnya: "Tak heran Ji-giok juga muncul di sini, kiranya ibu beranak itupun telah ke mari." Lalu dia bertanya dengan menatap tajam: "Kau sudah melihat puteranya Ling Tiang-hong, siapa na manya?" "Dia berna ma Ling Kun-gi." sahut Yong King-tiong. "Ling Kun-gi?"
Hal ini benar2 diluar dugaan, Sorot matanya dibalik cadar tampak semakin dingin, dengusnya: "Kiranya dia, masa dia tidak ma mpus!" Mendadak dia mendelik pada Yong King-t iong, tanyanya gelisah: "Di mana sekarang dia?"
Yong King-t iong adalah jago kawakan Kangouw sudah tentu dia merasa ganjil akan nada pertanyaan Thay-siang, naga2nya mengandung ma ksud kurang baik.
Me mang sejak kecil dulu ketika Lohwecu mas ih hidup, nona kedua yang kini menjadi Thay-siang Pek-hoa-pang ini sangat dimanjakan dan terlalu binal, sifatnya rada eksentrik, diam2 dia menyesal barusan telah kelepabsan o mong, lekas dia unjuk tawa, katanya: "Ling-kongcu tadi me mang muncul di sini, sayang Cayhe tidak ma mpu menahannya, kini dia sudah pergi."
Thay-siang mendengus: "Ke mana dia, masa kau t idak tahu?" "Ling-kongcu t idak mau menerangkan, tak enak Cayhe tanya
padanya," sahut Yong King-tiong.
Tatkala itu fajar telah menyingsing, walau kabut pagi masih tebal, tapi cuaca sudah remang2, dalam jarak tertentu sudah bisa terlihat jelas bayangan orang. - -
Setajam pisau tatapan Thay-siang, tanyanya: "Lalu untuk apa dia datang kemar i?"
"Bahwasanya Ling- kongcu tidak kenal Cayhe, mana mungkin dia mencariku? Soalnya tadi akupun me lihat dia melancarkan Hwi- liong- sam-kia m, ma ka kutanya dia she apa, baru kuketahui dia putera Ling-hwecu."
"Meluruk ke Hek-liong-ta m, sudah tentu mengincar ilmu silat peninggalan Tiong-yang Cinjin di gua itu. Hm, dengan susah payah aku mengerahkan pasukan besar, me mangnya dia yang me mungut hasilnya," sampa i di sini mendadak suaranya berubah aseran: "Yong-congkoan berulang kali bilang ayahku almarhum berbudi padamu, dan kau mas ih tetap setia terhadan beliau, maka ingin kuminta kau bantu menyelesaikan sesuatu, tentu kau tidak keberatan bukan?"
Dia m2 Yong King-tiong mengumpat: "Perempuan ini me mang lihay, tapi aku sudah telanjur o mong, tiada jalan lain kecuali menerima permintaannya saja." Sembari menjura dia lantas menjawab: "Kalau ada tugas, silahkan Jikohnio perintahkan saja, Cayhe tidak akan menola k."
"Bagus, karma kau adalah Hek-liong-hwe Cong-koan, segera perintahkan agar perkeras penjagaan dan suruh para penjaga me larang siapapun datang kemari, barang siapa melanggar harus dibunuh dan habis perkara."
Yong King-tio ng mengunjuk sikap serba salah, katanya: "Terus terang Jikohnio, Cayhe memang punya dua belas anak buah ahli pedang, tapi Hek-liong-hwe sekarang sudah dikendalikan oleh pihak penguasa, banyak orang baru masuk jadi anggota, tujuannya adalah untuk mengejar pangkat dan kedudukan belaka, mereka kebanyakan adalah cakar alap2 yang a mat setia kepada kerajaan, siapapun takkan mau tunduk pada perintahku."
"Kalau mereka tidak mau ya sudahlah, untung jalan te mbus ke dalam kolam ini hanya satu, maka tugas menjaga pintu masuk ini kuserahkan pada mu."
"Jikohnio," seru Yong King-t iong ragu2, "apa yang hendak kaulakukan?"
"Jangan kau banyak bertanya."
"Masih ada pesan la in Jikohnio?" tanya Yong King-tiong -pula.
Thay-siang mengena kan mantel kulit berbulu yang lebar dan panjang, pelan2 dia lepaskan tali sutera dari mantelnya di depan dada, kiranya Thay-siang mengenakan pakaian ketat, di balik mantel tergantung dua buah kantong kulit. Menuding pada kantong kulit ini dia berkata: "Coba kau tuang air obat di kantong kulit ini ke dalam kola m, lalu jagalah pinto di mulut le mbah, siapapun dilarang ke mari."
Semakin curiga Yong King-bong dibuatnya, tanyanya: "Apa ini kedua kantong ini Jikohnio?"
"Obat penawar racun," sahut Thay-siang.
Bimbang sekejap Yong King-tio ng, kemudian bertanya: "Jadi Jikohnio ma u turun ke dasar kolam? Getah beracun ini hanya dapat ditawarkan oleh Le liong-cu '
"Sudahlah, jangan banyak bicara, lekas tuangkan seluruhnya."
Terpaksa Yong King-tiong buka ikatan mulut kantong serta menuang kedua isi kantong ke dalam kola m.
Waktu itu hari sudah terang tanah, kabut dipermukaan Hek- liong-ta m juga sudah se makin tipis, setelah air obat dalam kantong tertuang habis, lekas Thay-siang me longok ke bawah.
Air obat kedua kantong kulit itu adalah obat penawar getah beracun yang dibikin Ling Kun-gi waktu mas ih berada di Pek-hoa- pang tempo hari. Waktu diadakan percobaan tempo hari, setetes air obat ini cukup untuk menawarkan segayung getah beracun menjadi air jernih, maka kalau diperhitungkan, dua kantong air obat penawar ini tentu berkelebihan untuk menawarkan getah beracun sekolam ini.
Seyogianya bila obat penawar dituangkan, air kolam seharusnya bergolak dan timbul perubahan, tapi air kolam yang hitam kental itu kini sedikitpun tidak t imbul perubahan apa2 Tanpa berkedip Thay- siang awasi permukaan air kola m, ternyata obat penawar yang dia bawa sudah hilang khasiatnya, sorot matanya dari balik cadar tampak mencoro ng dingin setajam pisau, terdengar mulutnya menggera m ge mas, desisnya sambil mengertak gigi: "Binatang kecil menggagalkan usahaku."
Melihat cuaca sudah terang benderang, sementara dalam kolam tetap tidak tampak reaksi apa2, keruan hati Yong King-t iong gelisah setengah mati, gua di dasar kolam itu diciptakan oleh Sin swi-cu setelah diadakan perhitungan dan percobaan yang seksama, setiap langkah mengandung mara bahaya, kesalahan serambut saja bisa mendatangkan elmaut bagi orang yang masuk ke dala m. Padahal dia sendiri tak pernah masuk ke sana, entah bagaimana. keadaan di dalam? Ling- kongcu sudah satu jam lebih berada di dala m, me mangnya dia terjebak dan tertimpa malang?
Dikala dia merasa kuatir dan was2 inilah Thay-siang masih tetap mengawasi permukaan air kola m, sorot matanya tampak putus asa, tiba2 ia berteriak beringas: "Anak keparat, kau tidak akan kulepaskan." Mendadak dia me mba lik badan, jengeknya:
"Yong-congkoan, kau tahu kejurusan mana Ling Kun-gi pergi?" "Hanya ada satu jalan keluar di Hek- liong ta m, Ling-ko ngcu . . . .
" belum selesai Yong King-tio ng bicara, tepat di pusar kolam tiba2
terdengar suara gemuruh, air kolam yang semula tenang mendada k berpusar semakin kencang pada delapan tempat. Air beracun yang menga lir dari kepala naga di dinding utarapun seketika berhenti menga lir. Cepat sekali air kolam yang berpusar itu menyusut rendah.
Sorot mata Thay-siang yang tajam tengah menatap Yong King- tiong, ia mendengus sekali lalu berkata: "Sudah ada orang masuk ke dasar kola m. Katakan, bocah she Ling itu bukan?"
Tahu bahwa Kun-gi sudah berhasil menunaikan tugasnya, diam2 hati Yong King-tiong sangat senang, tapi barusan sudah merasakan lihaynya ilmu pedang J ikohnio, dari nadanya kini agaknya dia teramat benci dan dendam terhadap Ling- kongcu, maka hatinyapun menjadi gelisah dan kuatir pula bagi kesela matan Ling Kun-gi. Walau rasa senang lebih merasuk hati, tapi mimik mukanya sedikitpun tidak kentara, ia menyurut selangkah dan menjawab: "Cayhe betul2 tidak tahu."
"Masih bilang tidak tahu," jengek Thay-siang, "sejak tadi kau berjaga di sini, pasti kau yang membantu dia turun ke bawah dan akan bantu dia naik ke atas pula?" Urusan sudah telanjur sejauh ini, terpaksa Yong King-tiong berubah sikap, katanya dengan sungguh: "Jikohnio, engkau seorang cerdik, bahwa Lohwecu mendirikan Hek-liong-hwe adalah untuk menya mbut seruan Tuan Puteri, tujuannya merebut kemba li tanah air yang terjajah, waktu itu tidak sedikit kelompok patriot kita yang beruntun ditumpas oleh kerajaan, maka buku daftar anggota seluruh pahlawan bangsa di Kangouw oleh Tuan Puteri secara dia m2 di simpan di markas pusat Hek-liong hwe kita, buku itu merupakan dokume n paling penting dan rahasia, ma ka Lohwecu me mer lukan me mbangun Hek-liong-tam ini, tak tersangka Hek- liong-hwe telah dijual kepada musuh oleh seko mplotan manus ia yang tamak harta dan gila pangkat, pihak kerajaanpun amat getol untuk merebut buku daftar itu, bila mana sa mpai terjatuh di tangan mereka, entah berlaksa jiwa akan tere mbet dan menjadi korban tanpa dosa, betapa pula banyak aliran per-silatan di Bu-lim akan ditumpasnya, bahwa selama dua puluh tahun ini Cayhe terima hidup terhina, yang kutunggu adalah hari ini."
"Katakan, yang turun ke bawah bocah she Ling itu bukan?" Thay- siang menegas.
"Betul, me mang Ling- kongcu yang turun ke bawah, dia akan menghancur kan buku daftar itu, Cayhe berjaga di sini untuk me mbantu dari segala ke mungkinan, kini dia sudah akan keluar. Jikohnio adalah angkatan tua Ling-kongcu, kekuatan inti Pek-hoa- pangpun telah kau kerahkan ke mari, kalian adalah sanak kadang sendiri, seharusnya saling bantu berdampingan me mberantas musuh, bantulah Ling- kongcu untuk mengge mpur Hek-liong-hwe, karena Hek-liong- hwe yang didirikan ayahmu kini terjatuh ke tangan musuh, Lohwecu '
"Tutup mulut," hardik Thay-siang, "jangan kau minta ampun bagi bocah she Ling, Hek-liong-hwe terang akan kugempur, tapi aku akan bunuh dulu bocah she Ling itu:" Mulut bicara sementara matanya menatap ke dasar kolam tanpa berkedip.
Saat mana air kolam sudah menyurut rendah, tepat di tengah kolam muncul batu karang, tepat di pucuk karang terdapat sebuah batu bulat raksasa, batu itu mula i bergerak mumbul ke atas, kejap lain seorang pe muda berjubah hijau ta mpak me nongol keluar dari lubang di bawah batu bulat itu.
Hari sudah terang benderang, kabutpun sudah me nipis, betapa tajam pandangan Thay-siang, sekilas pandang dia sudah mengenali pemuda yang menongol keluar itu me mang betul Ling Kun-gi.
Darah seketika merangsang kepala, se mbari menggera m pedang ditangan kanannya mendadak dia timpukkan ke bawah, berbareng kedua kakinya menutul, orangnyapun meluncur ke bawah, daya luncurnya teramat cepat, dengan ringan ujung kakinya menginjak di atas batang pedang yang sedang terbang itu.
Cahaya pedang bagai bianglala, dengan terbang naik pedang Thay-siang me lo mpat sejauh dua belas tombak me luncur turun ke puncak karang di tengah kola m.
Melihat orang menimpukkan pedang, semula Yong King-tiong mengira orang mengguna kannya sebagai senjata rahasia uuntuk menyerang Ling Kun-gi, ma ka dia berteriak gugup: "Jangan Jikohnio
. . . ." Demi me lihat orang "terbang" dengan naik pedang, hati Yong King-tiong se makin kaget dan mencelos.
Betapapun tinggi ilmu silat seseorang takkan mungkin dapat me lo mpati sejauh dua belas to mbak dari per mukaan kolam ini, tapi ilmu "It-wi-tohkung" (dengan sebatang gala menyeberang sungai) yang dipertunjukkan Thay-siang ini betul2 amat menakjubkan. Selama dua puluh tahun ini, watak Ji-kohnio ini agaknya makin nyentrik, bila dia betul2 berhasil terjun ke pucuk karang, bukan mustahil akan perang tanding dengan Ling- kongcu, dengan bekal kepandaian silatnya yang bertaraf tinggi itu mungkin Ling-kongcu bukan tandingannya.
Hampir dalam waktu yang sama, dari arah lain sana, tahu2 me layang terbang pula selarik sinar pedang, karena kabut telah menipis, ma ka samar2 dapat terlihat di atas luncuran sinar pedang itu berdiri juga sesosok bayangan orang yang berkedok serba hitam, pakaian mela mba i, meluncur dengan cepat dan sasarannya juga ke puncak karang di dasar kola m.
Kembali Yong King-tiong terkejut, batinnya: "Siapa pula itu?"
Kedua orang sama2 melancarkan Ginkang It-wi-tokang ajaran rahasia Siau-lim-pay yang tidak diturunkan kepada orang luar, jelas bahwa kedua orang ini pasti punya sangkut paut erat dengan Siau- lim-pay.
Sama2 naik pedang yang meluncur, meski keduanya terpaut beberapa kejap tapi keduanya hampir bersamaan pula tiba di pucuk karang. Saat mana Ling Kun- gi baru saja menerobos keluar di bawah batu bulat. Tahu2 Thay-siang sudah hinggap di atas karang, bentaknya: "Binatang kecil, kau pantas ma mpus!" Pedang terayun, dada Kun-gi ditusuknya dengan beringas.
Sebetulnya Kun-gi belum melihat jelas orang di depannya, tapi dia kenal betul suara Thay-siang, tanpa terasa ia menjerit: "Kau ini Thay-siang!" Sebat sekali dia menyurut mundur sa mbil berkelit.
Kejadian berlangsung dalam sekejap dan cukup gawat, dikala Kun-gi mengegos, orang berkedok yang datang belakangan itupun sudah meluncur tiba mengadang di depan Kun-gi. Pedang panjang kontan terayun, "trang", tusukan pedang Thay-siang kena ditangkisnya, teriaknya: "Dik, tak boleh kau me lukai dia!"
Karena suara orang, kembali Kun-gi di bikin kaget, teriaknya: "Ibu!"
Orang berkedok dan berpakaian hitam yang baru datang ini me mang betul ibu kandung Ling Kun-gi, yaitu Thi-hujin alias Thi Ji giok.
Wajah Thay-siang teraling cadar, tapi sorot matanya tajam dingin diliputi nafsu me mbunuh, teriaknya: "Siapa adikmu? Binatang kecil ini menggagalkan urusanku, aku harus mencabut nyawanya, kau minggir!"
"Sret", ke mbali dia menusuk. Pedang Thi hujin segera menyontek dan menindih gerakan Thay- siang, katanya: 'Dik, jangan kau me lupakan persaudaraan. Kau terhitung lebih tua dari dia, umpa ma kau ingin menghukum dia dengan cara apapun boleh, tapi terhadan anak2 tak pantas kau ma in senjata."
"Jangan cerewet!" teriak Thay-siang pula. "Kalian ibu beranak me mang pantas ma mpus." Di tengah teriakannya ini, beruntun dia menyerang tiga kali pula.
Thi hujin tangkis semua serangan Thay-siang itu, katanya: "Aku tak boleh mati sekarang, aku akan me mbunuh bangsat pengkhianat Hek-liong-hwe dengan kedua tanganku sendiri, menegakkan na ma baik ayah dan perguruan, menuntut balas sakit hati ke matian suamiku."
Walau merasa perbuatan Thay-siang keterlaluan, tapi kini Kun-gi sudah tahu bahwa Thay-siang adalah bibinya sendiri. Cuma belum diketahui ada perselisihan apa di antara Thay-siang dengan ibunya, sampai sesama saudara ini saling dendam dan ber musuhan? Tapi kedua orang yang lagi gebrak ini adalah angkatan tuanya, walau hati merasa cemas, tak berani dia ikut turun tangan atau me mbujuk.
Setelah dia keluar dari bawah lubang, batu bulat yang timbul tadi kini sudah turun dan menyumbat lubang tadi. Peralatan rahasia di Hek-liong-ta m ini saling berkaitan satu dengan yang lain bila batu bulat ini sudah ke mbali pada posisinya semula, kepala naga di dinding utara itupun mulai me mancur kan air beracun, sementara air kolam yang semula tersedot ke delapan empang di samping kolam kini ke mbali mengalir balik, maka volume air mulai meninggi pula.
Thay-siang masih mainkan pedangnya sekencang kitiran, seperti orang kalap saja dia menghardik seraya lancarkan serangan, bagai mengadu jiwa layaknya dia cecar Thi-hujin dengan tusukan dan tebasan pedang.
Dengan tenang dan mantap Thi-hujin hanya menangkis dan me matahkan serangan orang, tak pernah balas menyerang, ma ka suara keras benturan senjata mereka terasa me meka k telinga sederas hujan badai.
Kun-gi yang berada di samping cukup tahu situasi yang gawat ini, maka dia berteriak mendesak: "Thay-siang lekas berhenti. Kalau tidak lekas meninggalkan tempat ini, air kolam segera akan naik pasang."
Mendadak terdengar suara gelak tawa aneh di sebelah atas, disusul seorang berkata: "Pe mberontak bernyali besar, kalian masih ingin pergi dengan selamat dari Hek- liong-tam?" Belum lenyap suaranya, beruntun terdengar suara jepretan, maka berhamburanlah anak panah beracun bagai hujan lebatnya sama tertuju ke puncak karang. Sementara cepat sekali air kolam juga semakin tinggi, karangpun ha mpir tenggelam ditelan air.
Thi-hujin berteriak gugup: "Dik, lekas naik!"
Agaknya Thay siang amat jeri juga akan air kolam beracun ini, dengan menggerang gusar segera dia jejak kedua kakinya dan me la mbung ke atas, pedang panjang di tanganpun ditimpuk ke atas, pedang yang bercahaya kemilau me luncur bagai roket, dengan menaiki pedang itulah Thay siang langsung menerjang ke tepi atas. Di tengah udara menyongsong ha mburan anak panah yang melesat kencang itu, dia kebutkan kedua lengan bajunya, bagai menyiba k tangkai bunga layaknya sekejap saja dia sudah hinggap di tepi kola m.
Dikala Thay-siang meleset terbang itu Kun-gi berteriak gugup: "Bu, lekas engkau naik!"
Thi-hujin tahu dengan me mbawa Leliong- cu Kun-gi tidak perlu takut air kola m, ma ka dia berpesan: "Lekas kaupun pergi saja!" Segera iapun timpukkan pedang, badan melijit t inggi hinggap di atas pedang terus meluncur ke atas pula, arahnya ke sebelah sana.
Dua puluh e mpat ahli pe manah tengah berba-ris di tepi kolam dan sibuk dengan anak panahnya kapan mereka pernah lihat ada manus ia bisa numpang pedang, apalagi sinar pedang yang ditimpukkan mencorong seterang itu, sehingga anak panah yang mereka bidikkan seketika menyiba k rninggir sendirinya, karuan ciut nyali mereka, tanpa disadari berama i2 mereka menyurut mundur.
Lekas sekali Thay-siang manfaatkan peluang ini, setelah kaki hinggap di tepi, sembar i tertawa dingin pedangpun bekerja, bagai naga hidup sinar pedangnya menebas kian ke mari. Di mana larikan sinar pedangnya menyamber, jeritan mengerikan seperti berpadu, lima laki2 pe manah terpenggal kepalanya.
Berhasil me mbinasakan lima mus uh. Thay-siang terus berkisar ke kiri, pedangnya kembali menyapu.
Betapa cepat gerakan pedangnya, hakikatnya susah diikuti oleh pandangan mata, tahu2 kilat menya mber dan jiwapun me layang, ke mbali lima sosok tubuh sa ma terjungkal roboh tak berkepala.
Dua kali pedang Thay siang menyapu, hanya sekejap saja hampir separo dari dua puluh e mpat pemanah telah menjadi korban, sisanya keruan menjadi le mas kakinya saking ketakutan, beramai2 mereka me larikan diri sehingga tugas me mbidikkan panah terlupakan sa ma sekali.
Pada saat itulah terdengar seorang menghardik keras: "Pe mberontak bernyali besar, tidak lekas berhenti?"
Waktu Thay-siang berpaling, tertampak tiga to mbak di atas batu padas besar sana berdiri sejajar belasan orang. Orang di tengah2 berusia antara 45-an, alis tebal, mata sipit, kulit mukanya semu merah bagai buah apel, mengenakan jubah abu2 bersulam indah, sikapnya kelihatan gagah dan angker. Di sebelah kirinya adalah seorang Lama berkasa merah. dua muridnya berdiri di kanan kiri sebelah belakang.
Di sebelah kanannya adalah laki2 berjubah hijau berusia enam puluhan, disusul Yong King-t iong sebagai Hek- liong-hwe Congkoan, dilanjutkan e mpat laki2 berbaju biru berusia e mpat puluhan. Di kedua sisi orang2 ini adalah delapan laki2 seragam hitam berpedang panjang warna hitam pula, jelas mereka adalah jago2 pedang dari Hek-liong-hwe. Tadi yang bersuara adalah laki2 jubah hijau berusia enam puluhan itu. Laki2 berjubah abu2 yang berdiri di tengah menatap Thay-siang sekian la manya, katanya kemudian dengan suara kereng: "Kau Thi Ji-hoa atau Thi Ji-gio k?"
"Peduli apa siapa aku?" jengek Thay-siang.
"Siapa kau?" bentak Thi-hujin di sebelah sana. Yong King-tiong menyeringai tawa, katanya: "Kalian berani menyelundup ke tempat terlarang, kini berhadanan dengan Hwecu kita masih berani bertingkah, hayo lemparkan senjata dan menyerah saja. Me mangnya kalian berani me mberontak?" Kata2nya ini me mber i kisikan bahwa si jubah abu2 adalah Hek-liong-hwe Hwecu Han Janto adanya.
Sejak kecil Han Janto dibimbing dan dibesarkan oleh Hek- liong- hwe Hwecu yang terdahulu, yaitu Hek-hay-liong Thi Tiong-hong. Ini berarti bahwa dia tumbuh dewasa bersama Thi-hujin dan Thay- siang, lalu mengapa Thi-hujin dan Thay-siang sekarang tidak mengenalnya?
Soalnya dalam ingatan mereka Han Janto adalah pe muda yang cakap bermuka putih bersih, sikapnya sopan dan lembut, kecuali hidungnya yang me mbetet, tak kelihatan ro man mukanya yang jahat dan sadis, tapi laki2 di depan mata mereka sekarang berwajah merah, alis tebal mata sipit, hakikatnya bukan Han Janto yang menjua l Hek- liong hwe dan mence lakai sua minya itu. Sesaat Thi- hujin me natap si jubah abu2, lalu mendengus hina: "Han Janto?"
Ling Kun- gi kini juga sudah naik ke atas dan berdiri di belakang Thi-hujin, katanya lir ih: "Bu, dia mengenakan kedok muka."
Sorot mata si jubah abu2 menatap Kun-gi lekat2, sekilas iapun me lir ik Leliong cu, tiba2 dia tertawa lebar, katanya: "Anak muda, kau inikah Ling Kun-gi?"
Kini baru Thi hujin mengenal suara orang, seketika badannya gemetar, pedang menuding, bentaknya dengan suara gemetar: "Kau me mang betul Han Janto, kau keparat yang khianat ini, ya, me mang kau adanya." Han Janto tertawa lebar, katanya: "Betul, me mang aku orang she Han, kita kan dibesarkan ber-sa ma2, dulu kalau bocah she Ling tidak menyelinap diantara kita, kau nona Ji-giok pasti sudah menjadi biniku, tapi hari ini kaupun akan tetap disanjung sebagai isteriku tercinta "
Dulu Han Janto sudah beranggapan bahwa dirinyalah yang pasti akan mewaris i jabatan ketua Hek-liong-hwe dari tangan Thi Tiong- hong, ma lah secara dia m2 iapun naksir kepada nona Ji-giok, sementara Ji-hoa alias Thay-siang dari Pek-hoa-pang diam2 kasmaran terhadap Ling Tiang-hong, tapi karena Kay-to Tyasu telah me mper kenalkan mur id pre mannya yang satu ini, maka Thi Tiong- hong berkeputusan mewariskan jabatan ketua Hek-liong- hwe kepada Ling Tiang-hong.
Dan lagi mengingat puteri tunggalnya Ji-hoa berwatak nyentrik, cupet pikirannya dan berjiwa sempit, sebaliknya Ji-giok sang puteri angkat berwatak lembut, welas asih, sikapnya ramah dan halus maka dia berkeputusan lebih setimpal menjodohkan puteri angkatnya Ji-giok kepada Ling Tiang-ho ng.
Keputusan ini sudah me lalui pe mikiran yang seksa ma serta dipertimbangkan untung ruginya, sungguh diluar dugaan bahwa keputusan ini justeru me mbuat puteri kandungnya Ji-hoa minggat tak keruan paran. Karena cemburu, timbul watak Han Janto yang jahat, secara diam2 dia menyerah kepada kerajaan dan rela diperbudak menjadi antek penjual bangsa. Perubahan drastis ini sudah tentu tak pernah terpikir oleh Lohwecu sebelumnya.
Begitulah demi mendengar mulut orang yang kotor, sungguh tidak kepalang marah Thi-hujin di sa mping merasa berduka pula, desisnya sambil menggertak gigi: "Keparat she Han, ayahku teramat baik terhadanmu, kau ma lah lupa akan nenek moyang sendiri dan rela menjua l keluarga dan bangsa kepada musuh, terima hidup diperbudak menjadi antek penjajah, me mbunuh para ksatria bangsa sendiri, dua puluh tahun yang la lu aku sudah bersumpah untuk mengorek ulu hatimu buat sesaji didepan pusara ayah dan suamiku, sekaligus menuntut balas pula bagi para pahlawan yang telah gugur. Nah, Han Janto, menggelinding keluar sini kau."
"Bu, engkau tak perlu mengeluar kan tenaga, dendam orang tua sedalam lautan, bangsat she Han ini serahkan saja kepada anak untuk me mbereskannya," seru Kun-gi.
Bercucuran air mata Thi-hujin, ucapnya: "Tidak, sejak ibu meninggalkan Hek-liong-hwe dulu sudah bersumpah kepada ayahmu, dengan kedua tanganku sendiri akan kubunuh keparat she Han yang durhaka ini."
Thay-siang menyeringai dingin, katanya: "Mencari perkara dengan Han Janto adalah urusan kalian, aku akan pergi saja Ling Kun-gi, persoalanmu menyelundup ke dalam Pek-hoa-pang sejak kini boleh tidak usah kuusut. Nah, serahkan ke mbali Ih-thiankia m padaku."
Thay-siang tidak tahu bahwa Ling Kun-gi mas ih me miliki sebilah Seng-ka-loa m yang tidak kalah a mpuh dan saktinya daripada Ih- thianloa m, bahwa dalam keadaan segawat ini sengaja dia me minta balik Ih-thiankia m yang tajam luar biasa, itu berarti telah me mper le mah perlawanan Ling Kun-gi pada musuh, tujuannya terang cukup keji juga.
"Thay-siang me mang betul," ujar Kun-gi, "Cay-he memang bukan orang Pek-hoa-pang lagi, sudah tentu harus kuke mba likan pedang ini." Betul2 dia menangga lkan Ih-thiankia m lalu diangsurkan dengan kedua tangan.
Thay-siang terima Ih-thiankia m dengan tangan kiri. "Sreng", tangan kanan segera mencabutnya keluar, tampak jelas nafsu amarahnya yang berkobar, katanya ketus: "Dua puluh tahun permusuhan ayah bunda mu denganku, dengan tabasan ini boleh anggap impas permusuhan kita,"
Seiring dengan ucapannya, "sret" Ih-thiankia m t iba2 menabas ke pundak kanan Ling Kun-gi. Betapa cepat tabasan ini,, sampaipun Thi-hujin yang berdiri tidak jauhpun kaget dan tak sempat meno long, teriaknya: "Dik, kau " Sinar pedang berkelebat, "tring," pedang Thay-siang tahu2 tersampuk oleh segulung angin selentikan. Ternyata pada detik2 gawat itu, jari Kun-gi telah menjentik dengan It-cay-sian, ilmu sakti selentikan aliran Hud, sehingga ujung pedang orang terpental ke samping.
"Terima kasih atas ke murahan hati Thay-siang." ucap Kun-gi dengan tertawa.
Gemetar cadar di muka Thay-siang saking menahan gelora marahnya, sambil mendengus segera ia hendak melo mpat pergi.
Mendadak Han Janto bergelak tertawa, katanya: "Thi Ji-hoa, kaupun salah seorang buronan penting yang diincar kerajaan, terus terang saudaramu ini tak berani me mbiar kan kau pergi, Ketahuilah bahwa orang2 Pek-hoa-pang seluruhnya sudah dipancing ke tempat buntu oleh anak buahku, kuharap kau tahu diri, le mparkan pedang dan terima dibelenggu saja."
Thay-siang urungkan niatnya pergi, Ih-thiankiam me lintang di dada, suaranya murka: "Han Janto, kau kira dengan perangkap Hek-liong-hwe seperti itu dapat mengurung orang2 Pek-hoa-pang?"
"Tidak salah," ujar Han Janto dengan tertawa, "Hek-liong-hwe adalah kampung hala manmu, di sini kau tumbuh dewasa, segala peralatan perangkap di sini kau cukup apal, tentu kaupun sudah me mbe kali peta yang terang kepada anak buahmu. Tapi perlu kau ketahui bahwa selama dua puluh tahun ini, kebanyakan tempat sudah kubangun pula perangkap yang aneka raga mnya, kalau anak buahmu hanya bergerak menurut petunjuk petamu, itu berarti mereka sengaja menggali lubang kuburnya sendiri, kini tinggal kau seorang saja yang masih bebas."
Dia m2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Kiranya dua barisan yang lain telah dibekali ga mbar peta oleh Thay-siang, hanya rombonganku t idak dibekali apa2, agaknya dia sengaja hendak me mbinasakan ka mi dengan me minjam tangan musuh," Keruan Thay-siang naik pitam, serunya: "Sebetulnya aku tidak peduli segala urusan Ji-gio k, kalau de mikian biar aku me mbunuh kau lebih dulu."
"Thi Ji hoa," seru Han Jan to, 'kau bukan tandinganku." Lalu dia berpaling kepada si jubah hijau, katanya: "Tang cong- houhoat, tugasmulah untuk me mbekuk dia."
"Ha mba terima tugas," sahut laki2 jubah hijau sambil menjura. "Sreng", pedang panjang di punggung dia cabut, lalu melangkah maju, katanya: "Sudah la ma Losiu dengar na ma Thay-siang dari Pek-hoa-pang yang termashur, hari ini kebetulan dapat belajar kenal."
"Han Janto," jengek Thay-siang menghina, "apa kau tak berani me lawanku, jangan suruh orang lain menjual jiwa.'
Laki2 jubah hijan menarik muka, dengusnya: "Memangnya Thay- siang juga tidak pandang dengan sebelah mata padaku? Apakah Losiu betul2 mengantar ke matian belaka, setelah turun tangan baru akan tahu."
"Baiklah," ucap Thay-siang, "Han Janto, kau sendiri yang me libatkan aku ke dalam persoalan ini." Sa mpai di sini ujung pedang terangkat, bentaknya dingin: "Nah hati2 lah kau!" .
Segera pedangnya membe lah lebih dulu ke arah laki2 jubah hijau. Jurus pertama ini menimbulkan kesiur angin yang menderu, sinar perak kemilau bagai untaian rantai menggulung tiba, betapa hebat serangannya, sungguh tidak ma lu kalau disebut sebagai ahli pedang yang lihay, perbawanya me mang lain.
Menyaksikan betapa hebat serangan pedang Thay-siang, laki2 jubah hijau tak berani me mandang enteng, serentak berteriak: "Bagus!" seringan asap iapun berkelit pergi, pedang segera bergaya seindah orang menari, sinar pedang ke milau terpancar bertaburan ke tubuh Thay-siang Thay-siang mengejek dingin: "Tak nyana Banhoa kia m-kek (tokoh pedang berlaksa bunga) yang dijuluki raja pedang dari lima propinsi utara juga terima menjadi antek musuh."
Karuan merah selebar muka laki2 berjubah hijau, teriaknya gusar: "Losiu bertugas dalam pe mer intahan untuk me mbekuk kau pemberontak ini, me mangnya salah perbuatanku?"
Mulut bicara kedua orang sudah sa ma2 saling serang dengan gencar, masing2 menge mbangkan ke mahiran ilmu pedang sendiri dan berusaha merobohkan lawan lebih dulu. Dalam sekejap serangan pedang kedua pihak bertambah kencang dan sengit, bayangan kedua orangpun terlibat di dalam lingkaran cahaya ke milau sehingga sukar dibedakan satu dengan yang la in.
Thi-hujin a mat getol menuntut balas ke matian sang suami, menghadapi Han Janto si durjana, bola matanya menjadi merah me mbara, ia melihat adiknya Ji-hoa sudah saling labrak dengan laki2 jubah hijau, mana dia kuat menahan sabar lagi, serunya sambii menggreget: "Bangsat keparat she Han, hari ini kau atau aku yang harus gugur. Nah keluarkan senjatamu?"
Han Jan to berdiri tidak bergerak, katanya kalem : "Thi Ji-giok, apa betul kau ingin bergebrak denganku?"
"Sebelum mencacah lebur badanmu itu, sungguh tidak terla mpias dendam kesumatku, sudah tentu kau harus hadani tantanganku."
"Thi Ji-giok;" ujar Han Janto dingin, "jelek2 kita tumbuh dewasa bersama sejak kecil, tak peduli betapa besar dendammu padaku, aku tidak ingin me lukai atau me mbunuh kau dengan tanganku . . .
."
Tiba2 dia berpaling, katanya: "Yong-congkoan, kau saja yang me mbe kuk dia."
Sambil menenteng pedang pelan2 Yong King-tiong beranjak maju meninggalkan barisannya, tapi setelah satu tinbak jauhnya mendadak dia me mba lik badan, ujung pedang menuding Han Janto, jubah dibadannya seketika mele mbung, bola matanya mendelik ber- api2, bentaknya lantang : "Han Janto, kau kunyuk busuk yang menjua l bangsa dan negara, keparat yang khianat, selama dua puluh tahun ini Lohu menahan sabar terima hidup dihina, hari ini tiba saatnya berkesempatan me menggal kepala mu dihadapan umum, menuntut balas bagi para ksatria Hek-liong-hwe yang telah gugur, apalagi Ling-hujin dan Ling- kongcu telah tiba, sumpah Ling- hujin barusan sudah kau dengar pula, nah terima-lah ke matianmu!"
Sampa i di sini mendadak dia angkat kedua tangan ke atas kepala, teriaknya lantang: "Hek-liong-hwe sekarang sudah menjadi antek kerajaan, dua puluh tahun kita diperbudak, hayolah kawan yang berjiwa ksatria, pahlawan bangsaku, bangkitlah, marilah kita bersatu padu me mberantas kawanan cakar alap2, tegakkan na ma baik dan kebesaran Hek-liong-hwe nan jaya."
Suaranya lantang, diucapkan dengan penuh semangat dan gagah perkasa lagi, tapi tiada seorangpun yang ta mpil maju menya mbut seruannya, sampaipun delapan ahli pedang seragam hitam yang menjadi anak buahnyapun tetap berdiri berpeluk tangan menimang pedang tanpa bergerak, seakan tak pernah mendengar suara apapun.
Han Janto menyeringai puas atas kemenangannya ini, katanya: "Yong King-tiong, kau berani bersekongkol dengan musuh dan hendak me mberontak pula, tapi coba kau lihat, delapan jago pedang anak buahmu sendiripun tiada yang sudi mendengar seruanmu, sekarang kalau kau mau me mbekuk ibu beranak she Ling ini masih dapat kau tebus dosamu dengan pahala, kalau tidak, hukuman mati adalah bagianmu, jangan kau menyesal setelah terlambat."
Merah me mbara ro man Yong King-t iong, matanya mendelik gusar, teriaknya: "Orang she Han, hari ini adalah saat ke matianmu, Ling-hujin akan menjatuhkan vonisnya terhadanmu. Wahai, delapan jago pedang Hek- liong- hwe, dengarkan seruanku, kalian ma u menurut petunjukku atau tetap terus diperbudak oleh musuh, menjadi antek kerajaan dan menindas sesa ma bangsa mu sendiri?" Kedelapan jago pedang itu hanya mengawasi Yong King-tiong, semuanya tetap berdiri tak bergerak dan tidak bersuara.
Keruan Han Jan to ter-gelak2, katanya: "Yong King-tiong, sekarang kau harus sadar, me mberontak harus dipancung kepalanya, di kolong langit ini takkan ada orang yang rela mengekor oleh hasutanmu dan rela dipenggal kepalanya," Mendadak ia me mber ikan perintah : "Si-toa-hou-hoat ( empat pelindung tinggi), lekas ringkus Yong King-t iong yang sekongkol dengan pemberontak, kalau berani melawan bunuh saja tanpa perkara,"
Empat laki2 yang berdiri di sebelah kanannya berpakaian biru serentak melo los senjata masing2 terus melangkah maju merubung Yong King-tiong.
Yong King-t iong ter-bahak2 dengan mendongak, serunya: "Kalian berempat maju bersama lebih baik, supaya menghe mat tenagaku."
Pada saat keempat orang ini maju, mendada k Thi-hujin berpaling, katanya lir ih: "Anak Gi lekas jaga arena dan awasi gerak gerik musuh." Tanpa menunggu jawaban Ling Kun-gi, sekali berkelebat dia menerjang maju menyerang Han Janto sambil me mbentak: "Bangsat keparat, serahkan jiwa mu!"
Sejak kecil Han Janto dididik oleh Thi Tiong-hong sendiri, usianya lebih tua lima tahun daripada Thi-hujin, pelajaran yang diperoleh jelas lebih banyak dan matang.
Ia tidak tahu sejak dua puluh tahun yang lalu Thi- hujin telah bersumpah untuk menuntut batas bagi kematian suaminya, secara tekun dan rajin berlatih dan mengge mbleng diri, taraf ilmu pedangnya boleh dikatakan melo mpat maju berlipat kali lebih t inggi dan sempurna.
Melihat sekali me mbuka serangan, lawan sudah sedemikian dahsyat dan lihay, mau tidak mau Han Jan to terkejut juga hatinya, timbul rasa waspada dan hati2, tapi mulut mas ih ter-kekeh2 aneh, sembari berkelit, sebelah tangannya menyampuk serta melo los sebilah pedang panjang warna hita m, bentaknya: "Thi Ji-giok, sebetulnya aku tidak ingin bergebrak dengan kau, tapi kalau tidak kusa mbut beberapa gebrak matipun pasti kau tidak akan tenteram. Baiklah kukabulkan keinginanmu!" Se mbari bicara dengan enteng pedangnya menutuk dan menindih, "trang", tusukan pedang Thi- hujin kena ditekan ke bawah.
Gemeratak gigi Thi- hujin saking menahan marah dan benci, tanpa bersuara kembali pedang me mbalik, di mana kilat menya mber. dia me mbabat kencang miring ke atas. Maklum ajaran ilmu pedang kedua orang sama diwarisi dari liok-hay-liong Thi Tiong-hong, meski kedua orang masing2 me mpunyai bakat dan ke ma mpuan yang berbeda, tapi sumbernya tetap sama, betapapun ruwet perubahan dan variasi masing2 tetap tak lepas dari intinya semula.
Sejak tadi Kun-gi sudah me lolos Seng-ka- kia m, dengan seksa ma dia menonton dan mengawasi gerak-gerik kedua orang yang lagi bertempur, diam2 ia terkejut dan heran mengikut i pertandingan pedang ini.
Sejak kecil dia hanya tahu bahwa ibunya sedikitpun tidak pernah belajar silat sehingga waktu mendidik dirinya belajar Hwi- liong-sa m- kiam warisan keluarganyapun sang ibu hanya menggores2 di atas kertas, jadi cuma diajarkan teorinya belaka serta me mberi petunjuk dikala dia me mpra ktekkannya, beliau sendiri belum pernah pegang pedang dan me mberikan contoh. Baru tadi dengan mata kepalanya sendiri dia menyaksikan ibunya mele mpar pedang serta naik di luncuran pedangnya untuk me ncapai ketinggian tepi Hek- liong-ta m, nyata bahwa Ginkang dan ilmu pedang ibunya tidak lebih asor daripada Thay-siang.
Ilmu pedang Han Janto me mang satu sumber dengan kepandaian Thi-hujin, gaya pedangnya lebih mantap dan matang, perubahannya serba aneh dan tak habis2, malah setiap gerak pedangnya pasti menimbulkan deru angin tajam, dari sini dapatlah dinilai bahwa taraf ilmu pedangnya sudah mencapai puncaknya.
Kalau bicara soal Lwekang jelas Thi-hujin setingkat lebih asor, tapi dendam kesumat selama dua puluh tahun yang terpendam dalam sanubarinya kini meleda k, dengan dilandasi dendam permusuhan yang menimbulkan kekuatan luar biasa ini, maka setiap gerak serangannya boleh dikatakan dike mbangkan dengan segala ke ma mpuannya, pedang merangsek dengan gencar dan tanpa kenal ampun.
Bahwa sesengit itu pertempuran berjalan, tapi sejauh ini belum pernah pedang mereka saling bentur meski sekalipun, jelas bahwa betapa sempurna latihan ilmu pedang mere ka. Kalau bergebrak terus berlangsung seperti ini, sebelum tiga-lima ratusan jurus pasti belum ada kesudahan menang dan kalah.
Laki2 jubah hijau yang bergebrak me lawan Thay-siang, yaitu bernama Banhoa-kia m Tang Cu cin, sebagai Conghouhoat dari Hek- liong-hwe, ia dijuluki raja pedang di lima propinsi utara, maka dapatlah dinilai betapa tinggi kepandaian silatnya. Setiap gerak pedangnya pasti menimbulkan ceplok2 sinar besar kecil yang berbeda dan aneka ragamnya sesuai dengan nama julukannya (Banhoa-kia m- ilmu pedang selaksa bunga), justeru karena beraneka ragam ceplok2 bunga sinar pedangnya yang bercampur baur itulah yang me mbikin silau dan me mbingungkan lawan.
Apalagi ceplok2 bunga sinar pedang itu timbul tenggelam silih berganti, setiap ceplok bunga sinar pedang itu mengandang pusaran angin tajam beberapa kaki di sekitar gelanggang orang merasakan kulit daging pedas dan perih seperti teriris piaau.
Yang diperhatikan Ling Kun-gi adalah Yong King-tiong, seorang diri dengan pedangnya dia melawan e mpat orang jago pelindung Hek-liong-hwe. Keempat Houhoat itu sama mengguna kan senjata aneh yang jarang terlihat di Kangouw, seorang mengguna kan sepasang gelang terbuat dari e mas hita m, seorang pakai bandulan, orang ketiga pakai ganco berkepala ular, yang terakhir menggunakan senjata palu. Bahwa kee mpat orang ini diangkat menjadi Houhoat tentunya me miliki kepandaian silat dan Lwekang yang tinggi. Kini dari e mpat penjuru mere ka mengeroyok Yong King- tiong, empat macam senjata mereka sa ma merangsak kencang silih berganti, begitu cepat dan ganas kerja la ma mereka. . Tapi diluar tahu mereka bahwa sela ma dua puluh tahun ini Yong King-tiong telah berlatih rajin dan tekun secara diam2 sehingga kepandaian aslinya tak pernah diperlihatkan kepada umum, kini dikeroyok empat dan terkepung lagi, mendadak ia ter-gelak2 lalu bersiul panjang, pedang berputar serentak iapun balas menyerang, sinar pedangnya ber-gulung2 bagai da mparan o mba k, yang satu lebih kuat daripada yang terdahulu. Terdengar serentetan suara benturan keras, sekali gebrak sekaligus empat maca m senjata lawan kena dipukul balik.
Berhasil me mbendung rangsakan musuh, sinar pedangnya menya mbar lebih lincah lagi, seperti naga sakti selulup timbul di tengah mega, dalam belasan jurus saja, keempat musuh yang mengeroyoknya telah dilibat dalam lingkupan sinar pedangnya. Baru sekarang dia betul2 pamer kepandaian silatnya yang sejati, yaitu Thianlo- kia m- hoat dari Kunlunpay yang sudah lama putus turunan di kalangan Bu-lim.
Perhatian Kun gi tertarik ke sini waktu dia mendengar rentetan suara keras benturan senjata, sampai di sini dia m2 ia mengulum senyum dan merasa girang. Paman Yong ini ternyata memiliki Lwekang dan kepandaian ilmu pedang begini tinggi, sungguh tak pernah terpikir olehnya, sia2lah rasa kuatirnya tadi.
Tatkala dia berpaling kesana, ternyata pada arena pertempuran di sebelah sini telah terjadi perubahan drastis. Bahwasanya Thay- siang yang tinggi hati, suka menang dan mengagulkan diri, sudah seratus jurus melabrak Banhoa- kia m, keadaan tetap setanding, karuan la ma kela maan dia menjadi tak sabar. Sembari menghardik, tiba2 dia melijit ke atas, pedang terayun ke kanan kiri sehingga Ih- tiankiam me mancarkan cahaya hijau laksana air bah tumpah dari le mbah gunung, manusia bersama pedangnya berubah menjadi segulung sinar mengurung ke atas kepala Banhoa-kiam Tang Cu- cin.
Tang Cu-cin tidak tahu bahwa Thay-siang tengah melancarkan No-liong-bankhong (naga menga muk me lingkar di angkasa), jurus ketiga dari Hwi- liong-sa m- kia m, ma ka ia berteriak kaget: "Ih- thiankia m-sut.”
Sudah sepuluh tahun dia meyakinkan ilmu pedang, sehingga dijuluki rajanya pedang di lima propinsi utara, betapa luas dban pengalamannyda menghadapi musuh, meski Ih-kia m-sut adalah ilmu pedang tiada taranya di Bu-lim, tapi sedikitpun dia tidak menjadi gugup, se mbari mendongak dia menghardik sekali, pedang me lindungi badan, segera dia menyambut ke atas.
Serangan balasan ini dilancarkan menghadapi serangan dari atas, dari bawah timbul ceplok2 perak yang tak terhitung banyaknya sehingga seluruh badan se-akan2 dibungkus dan ditumpuki kuntum bunga. Sudah tentu jurus yang dilancarkan ini bukan me lulu untuk bertahan saja, karena ceplok2 bunga itu setiap saat bisa juga balas menyerang melukai musuh.
Kalau yang satu menukik dengan cahaya pedang yang benderang menyilaukan mata, seorang lagi menciptakan ceplok2 bunga perak yang tak terhitung banyaknya membungkus tubuh, perpaduan cahaya pedang mereka menjadikan kolam naga hitam ini terang benderang, hadirin menjadi silau dan tak kuasa me mentang mata.
Betapa cepat kelangsungan perang tandang ini sungguh laksana kilat menyambar, terdengarlah dering keras me ma njang, perak yang berlaksa jumlahnya itu seketika sirna tak berbekas begitu benturan keras berlangsung.
Perang tanding ini jauh berbeda dengan gebrak2 pendahuluan tadi, kalau tadi bila mana cahaya pedang Thay-siang menya mbar lewat, ceplok2 bunga lantas tersapu lenyap, tapi begitu cahaya pedang lewat, ceplok2 dan sinar pedang itu timbul ke mba li, begitulah seterusnya tak ber-henti2. Tapi kali ini betul2 lenyap tak muncul pula.
Ternyata pedang Banhoa-kiam Tang Cu-cin yang terbuat dari baja murni itu dalam gebrak terakhir ini telah, terpapas putus ber- keping2 oleh Ih-thiankia m, yang tinggal hanya gagangnya yang masih terpegang di tangannya. Meski kehilangan senjata betapapun Tang Cu-cin seorang ge mbong persilatan yang cukup berpengalaman, ia tahu mes ki kalah, paling2 kalah oleh karena senjata pusaka yang lebih tajam, kalau sekarang dirinya tidak mundur, hanya bertangan kosong terang lebih2 bukan tandingan lawan. Maka tanpa sangsi segera ia me lejit mundur sejauh mungkin.
Sejak turun tangan tadi marah Thay-siang sudah berkobar, apalagi setelah sekian la ma masih belum berhasil merobohkan lawan yang satu ini, hatinya tambah murka, sekali bentrok senjata dia berhasil menghancurkan pedang lawan, sudah tentu kesempatan baik ini tak di-sia2kan. Sekali tangan berputar sambil masih tetap meluncur ke depan sehingga cahaya pedangnya ikut me manjang di udara mengejar ke arah Banhoa-kia m.
Cukup cepat Banhoa-kia m mengundurkan diri, tapi cara Thay- siang mengejar sa mbil meluncur ini merupa kan hasil ge mblengan tiga puluh tahun, Sin liong-jut-hun, salah satu jurus dari Hwi- liong kia m-hoat yang dia lancarkan ini boleh dikatakan sudah mencapa i puncaknya. Kecepatan cahaya pedang yang mengejar itu sungguh sukar dibayangkan.
Padahal Ban hoa-kia m Tang Cu-cin sudah mundur setornbak lebih, belum lagi kedua kakinya berdiri tegak, cahaya ke milau sinar pedang tahu2 sudah menerjang tiba menghujam ke dadanya. Untung pada saat gawat ini sebagai seorang ahli pedang meski menghadapi bahaya dia tetap tidak menjadi gugup, sedetik sebelum pedang lawan kena sasarannya, tangan kanannya cepat menolak keluar serta mengebutkan secarik kain bajunya sendiri yang dia robek untuk senjata terus diayun ke depan menyongsong kedatangan pedang.
Selama hidup ini dia meyakinkan ilmu pedang, betapa tinggi kepandaian serta Lwekangnya, dengan secarik kainpun cukup ampuh dan tidak kalah hebatnya dibanding sebilah pedang. Demi me mpertahankan jiwa, sudah tentu bukan kepalang tenaga yang dia kerahkan sehingga kain di tangan itupun menjadi kaku keras.
Sayang sekali pedang Thay-siang justeru adalah Ih-thiankia m yang tajam luar biasa, jangankan hanya secarik kain, umpa ma pedang baja murni juga tak kuat menahannya. Sudah tentu hal inipun cukup dimengerti oleh Ban hoa-kia m, tapi keadaan sekarang teramat gawat dan mendesak, terpaksa sekenanya dia berusaha menahan dan menangkis demi kesela matannya.
Kejadian berlangsung dalam sekejap saja, paderi La ma berkasa merah yang sejak tadi me nonton diluar gelanggang, demi melihat Banhoa-kia m menghadapi bahaya sembari melo mpat mundur, sementara Thay-siang mengejar dengan serangan maut, tiba2 ia menggerung keras, kontan dia ayun sebelah tangannya menepuk dari kejauhan ke punggung Thay- siang.
Gerakan tiga pihak boleh dikatakan dilakukan dalam waktu yang sama, semuanya sama cepat lagi, apalagi Thay-siang terlalu bernafsu melukai musuh, sudah tentu tak terpikir bahwa orang lain bakal me mbo kong dirinya.