Pendekar Kidal Jilid 06

Jilid 06

"Aku punya caraku sendiri," sahut Ji-ping, "bekerjalah menurut

petunjukku, urusan lain kau tidak usah turut ca mpur."

Kun-gi bingung, ia termenung : "Kelihatannya dia apal sekali mengenai seluk-beluk Liong-bin-san-ceng ini."

Ji-ping me lir iknya, katanya tertawa: "Toako, apa yang sedang kau pikir? Lekas masuk, kalau terlambat, nanti in-congkoan keburu pulang."

"Siapakah In-congkoan?" tanya Ling Kun-gi..

"In-congkoan adalah laki2 muka kelabu yang me mbeli lima blok kain di toko Tek-hong itu, dia bernama In Thian-lok, Congkoan dari Liong-bin-san-ceng ini."

"Kiranya kau kenal dia."

"Kalau tidak kenal, untuk apa kita ke mar i?"

Dari kejauhan mereka sudah dengar derap kuda yang lari kencang. "Mereka sudah kemba li," kata Ji-ping., ia tarik tangan Kun-gi serta mena mbahkan: "Pagar te mbok ini ada tiga to mbak tingginya, kalau aku melo mpat setinggi itu mungkin mengeluarkan suara, kau harus bantu menarikku."

Berdebur jantung Kun-gi me nggandeng tangan yang halus ini. Dengan tangan bergandeng tangan mereka keluar hutan terus menge mbangkan Ginkang berlari secepat terbang.

Setiba di kaki te mbok. Kun-gi berseru lir ih: "Naik" badan tanpa jongkok, kaki tidak keli-hatan menekuk, hanya kedua lengan saja yang bergerak. sedikit ujung kaki menutul, dengan ringan dia me mbawa Ji-ping mela mbung ke atas seringan kapas dan hinggap di atas pagar tembok.

Waktu dia melihat ke dalam, ada jalan lebarnya enam kaki. Tak jauh di kaki te mbok sana dua orang laki2 bersenjata golok berseragam hijau tua sedang berdiri me mbela kangi mereka. Di bawah mereka mendeka m seekor anjing galak sebesar anak sapi, kelihatan a mat cerdas dan tangkas, agaknya lebih sukar dilayani dari pada manus ia.

Sebelum me lo mpat naik tadi Kun-gi sudah menje mput dua butir kerikil, baru saya tapak kaki hinggap di atas tembok. dua butir batu lantas me luncur ke arah kedua orang, sementara mulutnya berseru lir ih: "Lekas turun"

Tanpa ayal Ji-ping melo mpat turun- Belum kakinya hinggap di tanah, anjing pelacak itu sudah melo mpat bangun, bulunya berdiri, giginya menyeringai me mburu maju.

Begitu berdiri tegak Ji-ping lantas me mbentak tertahan:. "Jangan menyalak, aku" mendengar suara Ji-ping, anjing galak itu menurunkan ekor-nya, dengan langkah pelan dia mengha mpir i Ji- ping serta meng-endus2 tangan Ji-ping, sikapnya ra mah dan aleman- Pui Ji-ping juga ulur tangan menepuk kepalanya, cepat dia me langkah ke depan, anjing itu mengikut di belakangnya.

Kun-gi melongo, pikirnya:. "Mungkin iapun salah seorang dari Liong-bin-san-ceng?" Ji-ping me mbawa anjing itu ke tempat lain, Kun-gi lantas me lo mpat turun sembar i me mbebas-kan tutukan Hiat-to kedua orang tadi, segera bayangan berkelebat, tahu2 sudah lenyap di balik kegelapan di deretan rumah sana.

Terdengar derap kaki kuda yang datang semakin dekat, agaknya sudah sampa i di depan perka mpungan-

Waktu Kun-gi celingukan, dilihatnya Ji-ping sudah berkelebat datang pula, katanya lirih: "Toako, mari ikuti aku"

Banyak tanda pertanyaan dalam hati Kun-gi, tapi tak sempat bertanya, terpaksa dia ikuti setiap kehendak Pui Ji-ping, mereka sembunyi di antara bayang2 kegelapan, mereka menyelundup masuk lebih dala m.

Agaknya Ji-ping apal benar mengenai keadaan Liong-bin-san- ceng, melewati ber-lapis2 rumah, naik ke wuwungan, me mbelo k kian ke mari, se-olah2 dia berada di rumah sendiri, cuma kali ini dia ma in se mbunyi2.

Untung beberapa bangunan loteng sudah mereka la mpaui tanpa konangan seorangpun, akhirnya mereka mengitari sebuah sera mbi panjang terus me masuki sebuah hala man berbunga, Jiping bawa Kun-gi masuk mela lui pintu kanan yang berbentuk bulan, sebelah dalam adalah pekarangan kecil, sebuah e mpang dikelilingi tana man bunga yang mekar se merbak.

Ada jembatan batu, di antara jalanan kecil yang berliku ke belakang dipagari pot2 ke mbang dari berbagaijenis yang indah.

Di ujung kiri pekarangan terdapat undakan batu, di mana ada tiga baris ka mar tulis, jadi untuk masuk ke ka mar tulis orang harus lewat ruangan bunga, maka pintu bulan di kanan kiri jarang dibuka, namun enam jendela di tiap2 ka mar itu se mua terpentang lebar.

Pelan2 Ji-ping tarik lengan baju Kun-gi, mereka merunduk ke dalam se mak2 bunga terus berjongkok. Di dalam ka mar tersulut sebatang lilin. dari jauh terlihat ka mar itu penuh rak buku yang berjajar rapi, lukisan me menuhi dinding, pada sebuah kursi di ujung timur duduk seorang yang berpakaian ketat warna biru laut sedang me mbaca buku di bawah penerangan lilin besar itu. Karena dia duduk mir ing, yang kelihatan hanya setengah bayangannya, tak jelas raut mukanya.

Kun-gi berpaling hendak tanya Pui Ji-ping, tampak sikap sinona agak tegang, sebuah jarinya tegak di depan bibir, maksudnya supaya dia jangan bersuara.

Pada saat itulah di luar pintu bulan sabit kedengaran langkah ringan berhenti di depan ka mar buku, lalu terdengar suara yang serak rendah berkata: "Cengcu, ha mba sudah ke mbali."

Dia m2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ternyata orang yang me mbaca buku itu adalah Liong-bin-san-ceng Cengcu Cu Bun-hoa adanya." Terdengar suara lantang berkata di dala m: "Masuklah?"

Lalu seorang me mbuka pintu, langkah ringan itu masuk ke dalam kamar. Terdengar suara serak itu berkata pula: "Mengingat musim panas sudah menjelang, para saudara perkampungan perlu berganti pakaian, ma ka dalam perjalanan ke kota kali ini ha mba sekalian me mbe li lima blok kain katun."

"Barang2 permintaan Hujin dan Siocia juga sudah kau belikan?" tanya suara lantang tadi.

"Se muanya sudah hamba beli, seluruhnya habis tiga ratus tiga puluh dua tahil perak."

"Barang apa yang mereka minta, kenapa sampai keluar uang begitu banyak?"

Suara serak melapor: "Tujuh blok kain sutera dan empat blok kain satin, harganya cuma 24 tahil, di sa mping itu Siocia minta dibelikan ke mbang berlian dan kalung mut iara, harganya sebanyak seratus lima puluh tahil, sebelum pergi Hujin berpesan, kalau beli harus sepasang, kalau Slocoa dibelikan, Piau-siocia juga harus dibelikan pula "

Mendengar sampai di sini, Kun-gi me lir ik ke-pada Pui Ji-ping dibelakangnya. "o," suara lantang itu bertanya: "Kau sudah antar ke belakang?

Lalu kabar apa yang kau dengar di kota?"

"Ha mba me mang hendak lapor kepada Ceng-cu," suara serak itu berkata, "dari That-ho dan Ing-ciu diperoleh berita bahwa Lo-sa m dan Lo-cit dari keluarga Tong, serta Loji dari keluarga Un, demikian pula Kim Ting Kim Kay-thay yang jarang keluar pintu bersa ma Thong-pi-thian-ong yang berangasan itu sama muncul di sekitar sana "

"O," suara lantang itu berkata: "Tanpa berjanji mereka sama me masuki daerah ini, sudahkah menyelidiki apa tujuan mereka?"

"Ha mba sudah utus beberapa saudara yang cekatan untuk menyelidiki jejak mereka, sekarang me mang belum berhasil diketahui ma ksud mereka, tapi hamba sudah mendapat laporan anak buah yang ditugaskan ke Thung-seng "

"Berita apa yag kau peroleh?"

"Kabarnya dari Poh-yang, Ing-ciu sa mpai ke Sek-song, secara beruntun beberapa kelompo k orang itu mendadak lenyap tak keruan paran-" Tergerak hati Ling Kun-gi, pikirnya "Masa orang2 itu lenyap seluruhnya?."

"Apa katamu?" suara lantang itu menegas. "Mereka hilang se muanya?"

"Ya, kabarnya mereka bergerak secara sendiri2, tapi tujuan satu, tapi di sinilah letak aneh-nya, sebelum sampa i di Sok-seng, orang2 itu seperti mendadak a mbles ke bumi. Kini hamba sudah utus orang untuk menyelidiki lebih lanjut."

"Bagus, sebelum je las tujuan orang2 itu, penjagaan kita di sini harus diperketat," suara lantang berpesan-

Suara serak mengia kan, lalu bertanya- "Cengcu ada pesan lain?" "Tiada lagi." "Ha mba mo hon diri," kata suara serak terus keluar dari ka mar buku.

Suara serak itu sudah tentu adalah laki2 muka kelabu yang me mbe li kain di toko kain Tek-hong, yaitu Cong-koan Liong-bin son- ceng In Thian- lok adanya.

Setelah dia keluar dari ka mar buku, laki2 jubah hijau itupun berbangkit dari kursi ma las, sambil menggendong tangan dia berjalan ke jendela, mendongak menghirup hawa segar, katanya mengguma m: "orang sebanyak itu mendadak lenyap. ada kejadian aneh apa yang telah mereka alami?"

Begitu dia dekat jendela, Kun gi dapat melihat je las wajahnya, Liong-bin-sun-ceng cengcu yang kena maan dikalangan Kangouw ini kelihatannya berusia 45-an, wajahnya putih, jenggot hitam menjuntai di dada, tingkah lakunya le mah le mbut mirip seorang sekolahan. cuma kedua alisnya tebal, kedua matanya berkilau bagai bintang, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli Lwekang yang lihay.

Pui Ji-ping yang se mbunyi di se mak2 pohon begitu me lihat laki2 jubah hijau berdiri di depan jendela, karena hati keder, tanpa terasa dia menarik kencang lengan baju Ling Kun-gi, sedikit gerakan ini menyebabkan daun pohon tersentuh sehingga mengeluarkan suara kresek, walau hanya gerakan lirih sekali, tapi kedua mata laki2 jubah hijau yang mencorong itu sudah me mperhatikan ke arah sini, mulutpun me mbentak kereng.

"Siapa ?" walau suarabya tidak keras, tapi sangat berwibawa.

Terpaksa Ji-ping berdiri dan keluar dari se mak2, sahutnya pelahan: "Aku paman" jadi dia adalah keponakan laki2 jubah hijau itu.

Lalu dia me mbalik tubuh serta berkata: "Ling-toako, lekas ikut aku." - dari sebutan Toako men-dadak dia ubah menjadi "Ling- toako" dihadapan pa mannya sehingga kedengaran lebih wajar. Setelah Ji-ping keluar, terpaksa Kun-gi ikut keluar, satu persatu mereka melo mpati jendela masuk ke dalam dan berdiri di hadapan laki2 jubah hijau.

Dengan tajam orang mengawasi mere ka, terutama melihat dandanan Pui Ji-ping, seketika dia mengerut alis, katanya: "Kau ini Ji-ping?"

Si nona tertawa, katanya. "Sudan kupanggil pa man, kalau bukan Ji-ping, siapa lagi?" lalu ia berpaling kepada Kun-gi, dan berkata: "Ling-toako, inilah pa manku, Cengcu dari Liong-bin-san-ceng ini."

Lekas Kun-gi me mber i hormat, katanya: "Cayhe Ling Kun-gi me mber i salam hor mat kepa-da Cu-cengcu "

"Paman, Ling-toako telah dua kali menolong jiwa keponakanmu, maka sengaja kubawa dia ke mari untuk mene mui pa man," demikian tutur Ji-ping,

Tajam dan lekat pandangan Cu Bun- hoa, sejenak dia awasi Kun- gi, katanya sedikit manggut2: "Silakan duduk saudara Ling, Ji-ping, suruhlah orang menyuguh teh." - dalam hati dia me mbatin, "Budak ini ma la m2 mene mui aku, entah ada urusan apa." Sambil mengelus jenggot, dan tatap Ji-ping, tanyanya. " Kalian ada urusan apa?"

Ji-ping menekan suaranya: "Ada urusan penting yang amat rahasia hendak ka mi laporkan kepada pa man- "

Cu Bun-hoa me lengak dan bertanya: "Urusan rahasia apa?"

Kata Ji-ping sungguh2: "Pa man, urusan ini a mat penting dan gawat, sekali2 tidak boleh bocor."

Melihat sikapnya yang prihatin, hati Cu Bun-hoa rada bimbang, katanya: "Ji-ping, siapapun tanpa kupanggil t iada yang berani masuk ke ka mar buku pa man ini, maka boleh kau terangkan sekarang."

"Aku tahu," sahut Ji-ping, "tapi lebih baik kalau kututup jendela ini."

"Me mangnya begitu penting?" tanya Cu Bun-hoa. "Ya" sahut Ji-ping tertawa, "tadi kami se mbunyi di luar jendela, bukankah percakapan paman dengan In-congkoan dapat kami dengar semua?" - lalu iapun menutup jendelanya.

Cu Bun-hoa duduk di kursi sebelah atas, tanya-nya: "Ji-ping, apakah Toaci (maksudnya ibu J i-ping) baik2 saja di ruma h?"

"Aku belum pulang," sahut Ji-ping menggeleng. "Lalu ke ma na saja kau sela ma ini?"

Merah muka Ji-ping, sekilas dia lirik Kun-gi, katanya: "Di tengah jalan kuberte mu dengan Ling-toako, la lu bersa ma dia."

Pandangan Cu Bun-hoa beralih ke arah Kun-gi, katanya tertawa: "Aku sudah tahu, walau usia Ling- lote masih muda, tapi sorot matanya gemilang, kepandaian silatnya tentu tidak rendah, entah siapakah gurunya?"

Belum Ling Kun-gi buka suara, Ji-ping sudah mendahului: "pandanganmu me mang tajam, Ling-toako adalah murid Hoan-jiu ji- lay."

Melengak Cu Bun-hoa, katanya serius: "Jadi Ling- lote adalah mur id kesayangan paderi sakti Hoan-jiu-ji-lay, maaf aku kurang hormat."

"cengcu terlalu rendah hati" Kun-gi berkata ra mah.

Mendengar nada pe mbicaraan kedua orang Ji-ping tahu kalau pamannya menaruh hor mat dan pe muja Hoan-jiu-ji lay, ma ka hatinya ikut senang, katanya dengan suara hampir berbisik: "Ling- toako ke mari untuk menyelidiki peristiwa Cin-Cu-ling."

Cu Bun-hoa manggut2, katanya: "Aku pernah dengar berita dari Kangouw bahwa keluarga Un di Ling- lam dan Tong di Sujwan masing2   kehilangan   kepala   keluarganya,   sanak   familinya mene mukan mutiara berukir huruf Ling di bawah bantal mereka. Cin-Cu-ling me mang pernah mengge mparkan Kang-ouw beberapa waktu yang lalu, tapi kejadian sudah berlarut, kini sudah mula i dilupakan orang, lalu bagaimana hasil penyelidikan Ling-lote?" Ji-ping mendahului bicara pula: "Pa man, karena tiga bulan yang lalu ibu Ling-toako juga mendadak lenyap, maka gurunya menyuruh dia menge mbara di Kangouw untuk menyelidiki peristiwa Cin-Cu-ling itu, Langkah pertama Ling-toako pergi ke Kay-hong mene mui Kim Ting Kim Kay-thay, karena ketua Yok-ong-tian, Loh-san Taysu dari Siau-lim-s juga telah lenyap tiga bulan yang lalu."

Tergetar hati Cu Bun-hoa, katanya: " Ketua Yok-ong-tian Siau- lim-s i juga lenyap. kenapa aku t idak me ndengar?"

"Panjang kalau diceritakan, Ling-toako,   kau   saja   yang menje laskan pada pa man- "

Maka Kun-gi bercerita tentang pengalaman belakangan ini sejak dia mene mui Kim Kay-thay di Kayhong serta terima surat yang serba rahasia dan misterius itu sampai sekarang.

"Ling-lote tahu, apa isi kotak sutera itu?" tanya Cu Bun-hoa. "Paman," sela Ji-ping, "dengarkan saja dengan sabar, semuanya

akan jelas "

Kun-gi lalu ceritakan pula penculikan Pui Ji-ping oleh orang2 keluarga Tong yang dipimpin Cit-ya dan terpaksa dirinya sampa i me luruk ke Pat-kong-san.

Cu Bun-hoa mendengus sa mbi1 menge lus jenggot: " Keluarga Tong juga berani main kayu terhadap keluargaku. Ji-ping, kapan2 paman juga ringkus Kwi-kianjiu itu, akan kugantung dia tiga hari tiga mala m."

"Jangan," seru Ji-ping, "sekarang aku sudah angkat Tong-lohujin sebagai ibu angkatku."

"o, apa pula yang telah terjadi ?" tanya Cu Bun-hoa tak mengerti.

"Waktu Ling-toako me luruk ke Pat-kong san, dia pukul hancur Pat-kwa to tin keluarga Tong, Tong-hujin lalu menerima ku sebagai puteri angkat. Toako, untuk selanjutnya kau saja yang bercerita." "Seperti apa yang telah cengcu terima beritanya tadi, sejak mula Wanpwepun terus menguntitnya sampai sini," de mikian sa mbung Kun-gi setelah bercerita panjang lebar.

Berkerut alis Cu Bun-hoa, katanya: " Barang apakah sebenarnya yang diantar secara marathon dengan ganti berganti tangan, sampa i menimbulkan perhatian banyak orang."

Maka Ling Kun-gi bercerita pula akan pengala mannya sejak turun dari   Pat-kong-san,    dan   barang   yang   diantar   itu   sekarang ke mungkinan sudah mencapai tempat tujuan ya terakhir.

"Ke mana mereka antar barang itu?" tanya Cu Bun-hoa ke mudian- "Yang jelas barang itu cin cu-ling, Wanpwe sudah membuktikan

sendiri."

"Lalu bagaimana selanjutnya menur ut apa yang kau ketahui?" "Menurut hasil penyelidikan Wanpwe, Cin-Cu-ling harus

diserahkan kepada seorang yang me mbe li lima blok kain katun di toko kain Tek-hong di kota Thung-seng." '

Berubah air muka Cu Bun-hoa, tanyanya. "Kalian terus menguntitnya tidak?"

"Sudah tentu," sela Ji-ping.

"Jadi kalian sudah melihat Cin-Cu-ling itu di-terimakan kepada orang yang beli lima blok kain katun itu?"

"Ka mi me nga mati dari warung teh diseberang jalan toko Tek- hong, semua kejadian ka mi saksikan dengan jelas," demikian Ji-ping bercerita, "cuma pengantar barang yang semula menggelung kuncir di atas kepala hari itu menyamar sebagai pedagang perhiasan, dengan caranya yang lihay dia simpan C in-Cu-ling di antara perhiasan terus dijual kepada pembeli kain itu, orang lain yang tidak tahu tentu menyangka dia membe likan perhiasan untuk anak gadisnya "

"Jadi dia?" desis Cu Bun-hoa dengan mata terbeliak. "Paman tidak percaya?" Ji-ping menegas.

Pelan2 mata Cu Bun-hoa tatap mereka berdua, suaranya kalem dan rendah: "Sudah puluhan tahun In Thian-lo k mengikuti aku, biasanya amat setia dan menyelesaikan tugasnya dengan baik, selamanya belum pernah me lakukan kesalahan, kalau dikatakan dia me mpunyai maksud jahat, sungguh sukar dipercaya..... " dia pandang Ling Kun-gi, lalu menyambung pula: "Ling lote, di atas loteng itu kau menyaksikan dengan jelas, coba kau jelaskan pula lebih teliti."

Terpaksa Kun-gi me nceritakannya pula lebih terperinci.

Lama Cu Bun-hoa menepekur, katanya kemudian: "Mereka serahkan Cin-Cu-ling kepada In Thian-lok. jadi orang berikutnya yang hendak di-culik adalah diriku."

" Kukira de mikian adanya," kata Ji-ping.

" Waktu Cayhe meninggaikan Kayhong, Kim-loyacu juga pernah menyinggung diri Cu-cengcu kepada cayhe."

"Apa kata Kim Kay-thay?"

"Kim-loyacu bilang, orang2 yang diculik oleh ko mplotan cin-cu ling ini kebanyakan adalah ahli2 racun, obat bius dan obat2an, dalam Bu-lim, kecuali keluarga Tong yang pandai mengguna kan racun dan senjata, keluarga Un ahli obat bius, katanya Cu-cengcu juga seorang ahli dalam bidang ini "

Hebat perubahan air muka Cu Bun-hoa kali ini, mulutnya menggera m sekali.

Terbelalak lebar mata Pui Ji-ping, tanyanya "kenapa tidak pernah kudengar engkau -orang tua juga pandai ma in racun?"

Hanya sebentar perobahan air muka Cu Bun-hoa, tuturnya sambil menghe la napas: " Keluarga cu kita sela manya belum pernah berkecimpung di Kangouw, mungkin itu hanya berita kosong belaka diluaran, soalaya kakek luarmu dulu pernah meno long seorang tua yang terluka parah dan hampir ajal di luar perka mpungan, tiga bulan la manya orang tua itu dirawat sampai sembuh, sebelum pergi dia meningga lkan sesuatu resep obat. Waktu itu keamanan sering terganggu, kawanan rampo k merajale la. ma in bunuh, ra mpok. me mper kosa kaum wanita, sehingga jaman itu keadaan kacau balau, orang tua itu pernah berpesan kepada kakek luar-mu supaya me mbuat obat menurut resep yang di tinggalkan serta ditaburkan di daerah tiga li di luar perkampungan secara melingkar, kemungkinan rampo k itu tidak akan berani mengus ik ke mari "

"Tentunya obat itu racun yang a mat lihay?" tanya Ji-ping.

"Betul," Cu Bun-hoa mengangguk, "tak la ma ke mudian, sekawanan perampok me mang melur uk datang, tapi tiga li di luar perkampungan kita kawanan perampok ini sa ma terjungkal roboh binasa sehingga Liong-bin-san-ceng tidak terusik sedikitpun, orang luar yang tidak tahu persoalannya menganggap keluarga Cu kita juga ahli dalam bidang ini, begitulah sa mpai sekarang, berita ini makin tersiar luas di luaran-"

"Paman, resep obat itu masih ada?" tanya Pui Ji-ping.

Cu Bun-hoa tertawa tawar, ujarnya: " Kejadian ini sudah lima enam puluh, tahun yang lalu, kakek luar mu tidak mewar iskan resep itu padaku."

"Sayang sekali," kata Ji-ping gegetun.

"Jadi ko mplotan ini menyogok In Thian-lo k dan berusaha menculik diriku, tujuannya tentu juga resep obat beracun itu," ujar Cu Bun-hoa sa mbil mengelus jeng got.

"Bagaimana sikap pa man untuk me nghadapi persoalan ini?" tanya Ji-ping.

Cu Bun-hoa naik pita m, katanya gusar: "Biar kupanggil In Thian- lok ke mari, akan kutanya dia."

Cukup la ma Kun-gi tidak bersuara, sekarang dia menyela: "Cu- cengcu, jangan kau menyingkap rumput mengejut kan ular malah." "Secara berhadapan kutanya padanya, memangnya berani dia mungkir?" ujar Cu Bun-hoa.

"Bahwa dalam perka mpungan ini ada orang yang kena sogok oleh ko mplotan itu, mungkin ada mata2 lain pula yang diselundupkan ke mar i, jumlahnya tentu tidak satu dua orang saja, cara-paman benar In Thian- lok menga ku terus terang dihadapan Cengcu, tapi beberapa mata2 itu tetap. menjadi rahasianya, bagaimana Cengcu bisa me mbongkar komplotan jahat itu?"

"Betul ucapan Ling-lote," ujar Cu Bun-hoa, "Ai, sudah puluhan tahun In Thian-lo k menjadi tangan kananku yang terperCaya, ternyata dia berani menging kariku dan berko mplot dengan musuh, kalau dipikir sungguh a mat mengerikan-"

"Sudah beberapa bulan ibu menghilang, menurut dugaan Suhu, ke mungkinan diapun terculik oleh kawanan Cin-Cu-ling ini, kalau mereka sudah menyogok In Thian- lok untuk melaksana kan perintah mut iara itu, terang tujuannya adalah menculik cengcu secara diam2, cayhe punya pendapat bodoh, entah bisa tidak dilaksanakan?"

Bersinar mata Cu Bun-hoa, katanya. "coba jelaskan pendapatmu."

"Menurut pendapat cayhe, untuk sementara cengcu tetap berlaku wajar, anggap tidak tahu apa2, kita balas menipu mereka."

Tangan mengelus jenggot, dengan tajam Cu Bun-hoa tatap muka Ling Kun-gi, la ma dia berdiam diri,

"cayhe sedikit menggunakan tata rias, biar cayhe menyaru Cu- cengcu dan diculik mereka, dengan cara ini sekaligus aku akan berhasil menyelidiki sarang mereka, akupun akan berhadapan dengan biang keladi dari perist iwa ini dan mengetahui apa tujuannya?"

"Baik sekali tipu ini", ujar Cu Bun-hoa.

"Bagi cayhe dapat bekerja menurut keadaan untuk menolong ibunda, bagi cengcu, secara diam2 dapat mengawasi gerak-ger ik In Thian-lo k. supaya semua mata2 yang diselundupkan sini bisa terjaring seluruhnya."

"Masuk akal," ujar Cu Bun- hoa manggut2, "baiklah kita bekerja menurut pendapat Ling-lote ini."

"Ling toako, kau menya mar paman masuk ke sarang musuh, lalu aku?" tanya Ji-ping. "Tugas apa yang kau serahkan padaku?"

"Kau sudah berada di rumah pamanmu sendiri, boleh mencuci samaranmu. tinggal saja beberapa hari di sini, keadaan Kangouw sekarang sudah kacau balau, tidak baik kau keluyuran lagi di luar."

"Tidak keadaanku ini tidak ada yang me mperhatikan, secara dia m2 aku bisa kuntit mereka dengan leluasa aku bisa mengirim kabar kepada pa man-"

"Ji-ping, jangan kau nakal, tepat ucapan Ling-lote, kau seorang perempuan, jangan keluyuran saja, tinggal saja beberapa hari di sini, akan kusuruh orang me mber i kabar kepada ibumu."

Dihadapan pa mannya, Ji-ping tidak berani merenge k dan banyak bicara lagi.

"Malam ini kukira tidak akan ada kejadian, Ling-lote boleh menginap di ka mar rahasiaku Ji- ping lekas kau cuci muka, ganti pakaian dan ke mbali ke belakang.

"Tidak pa man, Ling-toako besok mungkin pergi, dia sudah janji mengajarkan ilmu tata rias padaku, sebelum dia pergi ma lam ini aku akan belajar padanya."

"Ilmu rias mana bisa dipelajari se mala m saja? Belum terla mbat untuk belajar setelah Ling-lote ke mbali nanti."

Sudah tentu dia tidak tahu perhitungan Pui Ji-ping, kata nona itu: "Tidak. ma lam ini juga aku akan belajar, meski hanya kulitnya saja. Ling-toako sekarang juga kau ajarkan padaku?"

Apa boleh buat terpaksa Kun gi manggut2, katanya: "Boleh saja, nanti kuajarkan yang paling ga mpang dulu." Pui Ji-ping berjingkrak girang, katanya: "Ling-toako, ajarkan cara mer ias seperti keadaanku sekarang ini."

"Kalau belajar, ajaklah Ling- lote ke ka mar rahasiaku saja," kata Cu Bun-hoa.

Dengan keheranan Ji-ping Celingukan, tanyanya: "Paman, di mana letak ka mar rahasia itu? Aku kok tidak tahu?"

"Ka mar itu buat latihan kakek luar mu, bibipun tidak tahu. mana kau bisa tahu?"

"Jadi Piauci juga tidak tahu? Pa man, di ka mar itu?"

Cu Bun-hoa tersenyum sambil mengha mpiri rak buku di sebelah timur, tangan diulur dan sedikit ditekan, dua rak buku yang se mula rapat berjajar tiba2 bergerak pelan2, lalu muncul sebuah pintu di belakangnya.

Pui Ji-ping menjer it senang sambil tepuk tangan dan segera dia mendahului menerobos masuk.

"Ji-ping, berhenti" tiba2 Cu Bun- hoa me mbentak.

Baru tiga langkah Ji-ping bergerak lantas dengar seruan pamannya, cepat ia berpaling, tanyanya: "Paman, untuk apa kau me manggilku?"

Cu Bun-hoa melangkah ma ju, tangannya menekan dua kali di pinggir pintu, lalu berkata, "Sekarang boleh masuk."

Melihat kelakuan orang, dia m2 Kun-gi Me mbatin: " Kabarnya Cu Bun-hoa pandai me masang alat2 perangkap. Liong-bin-san-ceng di mana2 banyak jebakan, orang luar yang tidak tahu seluk-beluknya jangan harap bisa masuk ke mari, tapi sepanjang jalan masuk bersama Ji-ping tadi sedikitpun aku tidak me lihat tanda apa2 di kamar ini, terang juga dipasang alat jebakan."

Dari meja di sebelah Cu Bun-hoa ambil sebuah lentera yang terbuat dari tembaga dan diangsurkan kepada Ji-ping, katanya: "Sulut apinya dan tunjukan jalan bagi Ling-toako." Pui Ji-ping mengiakan terus menyulut api, katanya: "Mari Ling- toako" Lalu dia mendahului masuk.

Kun gi segera ikut masuk, pintu di belakang mereka lantas menutup secara otomatis. Dengan seksama dia menga mati, ka mar ini t idak begitu besar, namun serba rapi dan teratur bersih, sebuah dipan kayu terukir indah mepet dinding sebelah kanan, kedua sampingnya masing2 terdapat sebuah meja mar mer yang bergambar indah. Delapan lukisan menghias kedua dinding yang luas itu, tepat di tengah kamar ada sebuah meja delapan segi berukir di kelilingi empat buah kursi berpunggung. Sebuah almar i buku ada di sebelah kiri, di atasnya berjajar berbagai barang2 antik, dilapisan tengah tertaroh botol2 obat, entah obat2 apa karena tiada keterangan-

Melihat gelagatnya, Ciam-Liong (naga terpenda m) Cu Bun- hoa sering meyakinkan ilmu dan sa madi di ka mar ini seorang diri.

Dasar nakal, begitu masuk Ji-ping lantas mengha mpiri dipan dan berduduk. katanya tertawa:

"Mungkin Gwakong (kakek luar) sering latihan di atas dipan ini, ukirannya begini indah dan hidup,"

Entah kenapa, mungkin tanpa sengaja, tangannya yang usil telah menyentuh alat rahasia, tanpa bersuara dipan itu bergeser ke kiri, di bawah segera tampak sebuah lubang dengan deretan undakan menjurus ke bawah, kiranya itulah pintu masuk ke sebuah lorong di bawah tanah.

Karena duduk di atas dipan, Ji-ping ikut tergeser ke kiri, keruan kagetnya bukan main, lekas dia melo mpat turun. Mengawasi lubang gelap di bawah, ia heran dan kaget, katanya: "Toako, mari kita turun melihatnya."

"Jangan, inilah ka mar rahasia pamanmu, lekas kau betulkan ke tempat se mula."

"cuma lihat2 saja, kenapa? Diakan pa manku." "Setiap orang pasti punya rahasianya sendiri, bibipun tidak tahu adanya kamar rahasia ini, bahwa dia member i ijin kita masuk ke mari, pertanda dia percaya pada kita, lalu jangan di luar tahunya kita mencuri lihat rahasianya? Lekas kau betulkan ketempat asalnya."

"Aku menyentuh tanpa sengaja, entah bagaimana aku harus berbuat untuk me mbetulkan ke mbali,"

Baru berakhir percakapan mereka, terdengarlah suara Cu Bun- hoa dengan tertawa, "Aku punya rahasia apa? Lorong itu mene mbus ke belakang gunung2an palsu di tengah taman sana, dulu waktu almarhum ayahku latihan suka ber-jalan2 di ka mar, jadi tiada rahasia apa2."

Sebelum dia selesai bicara, dipan itupun bergerak ke mbali ke tempat asalnya.

Kun-gi cukup tahu diri, dia tahu banyak perangkap dan alat2 rahasia lainnya dalam ka mar ini, terbukti percakapan mereka didengar jelas oleh Cu Bun-hoa di ka mar buku, secara tak langsung kata2nya telah member i peringatan supaya mereka tidak sembarang bergerak atau menyentuh apa2 yang ada di dalam ka mar ini.

Maka ia lantas berkata: "Nona Pui, lekaslah ke mar i, sekarang juga mula i kuajarkan pada mu," lalu dia tarik sebuah kursi serta berduduk. dari bajunya dia keluarkan kotak bahan2 r ias dan ditaruh di atas meja. Dengan riang Ji-ping lantas duduk di kursi sebelah kanan Kun- gi.

Kun-gi keluarkan obat cuci yang berwarna madu dan menyuruhnya mengusap muka sendiri untuk me mbersihkan wajahnya. Lalu dimulai ajaran mengga mbar alis, bagaimana menebalkan lekuk bibir mata, bagaimana menca mpur bahan2 serta me mo leskan ke muka, di sini tebal di sana tipis, sembari me mber i penjelasan sebelah tangan memegang kaca kecil serta bergerak menggo les2 muka sendiri, begitu jelas dan teliti sekali penjelasannya. Otak Ji-ping me mang cerdas, sudah tentu sekali dijelaskan dia lantas tahu, cepat sekali dia sudah mahir juga menggunakan alat rias itu terus memperagakan diri, wajah sendiri dibuat percobaan dihadapan Ling Kun-gi, bila ada yang salah Kun-gi la lu me mber i petunjuk. muka dicuci, diulangi sekali lagi.

Mendekati kentongan kedua, pintu kamar di- ketuk orang dari luar, suaranya lirih. Menurut kebiasaan, setiap mala m sebelum tidur Cengcu Cu Bun-hoa menyuruh pelayan pribadinya me mbikin sop sarang burung, Kebiasaan ini sudah berlang-sung beberapa tahun la manya, pada hari2 biasa ketukan pintu demikian juga sudah terlalu biasa, tapi lain dengan mala m ini, mendengar suara ketukan pintu ini, jantung Cu Bun-hoa lantas berdetak tegang.

Sarapan pagi setiap harinya dia makan sendiri di ka mar buku ini, dalam keadaan terang benderang, komplotan penjahat itu jelas tidak takkan berani turun tangan. Sementara siang dan malam dia makan bersa ma isteri dan puterinya di belakang, ada pelayan yang me layani kebutuhan mereka, musuh terang tiada kesempatan bekerja. Dan untuk makan mala m menjelang tidur ini, selalu diantar dari belakang, hari sudah larut malam, seorang diri dalam ka mar buku lagi, inilah kesempatan paling baik untuk turun tangan bagi ko mplotan itu. Secepat kilat pikirannya bekerja, segera dia bersuara dengan rendah: "Siapa?"

Terdengar suara perempuan di luar pintu, sahutnya: " Hamba Kwi-hoa, mengantar bubur sarang burung untuk cengcu."

"Ya, bawa masuk" sera Cu Bun-hoa.

Pintu terbuka, tampak Kwi-hoa me mbawa nampan warna merah, di mana tertaruh sebuah mangko k yang mengepulkan bau sedap. Nampan diletakkan di atas meja, mangko k berisi bubur itu terus diserahkan kepada Cu Bun-hoa, mulutnya berkata manis: "Silakan cengcu makan-" Duduk dikursi ma las, dengan pandangan tajam Cu Bun-hoa menatap muka Kwi-hoa.

Kwi-hoa adalah nona yang berusia delapan atau sembilan belas tahun, gadis ini a mat cekatan dan cerdik, perasaannyapun tajam, terasa olehnya kedua biji mata sang cengcu tengah menatap dirinya lekat2. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi, keruan hatinya kebat- kebit, wajah seketika merah jengah, berdiri di samping dia menunduk tak berani bergerak.

Sambil mengelus jenggot yang terawat baik, dengan suara tertekan Cu Bun-hoa bertanya: "Kwi-hoa, sudah berapa tahun kau bekerja di sini?"

"Sudah tiga tahun," sahut Kwi-hoa lir ih. "Siapa yang me mbawa mu kerja di sini?" "In-congkoan."

Geram hati Cu Bun-hoa, ternyata memang se- ko mplotan, demikian batinnya, lalu tanyanya pula:

"Bagaimana kau kenal dengan In-congkoan?"

"Se mula ha mba tidak kenal In-congkoan, tiga tahun yang lalu setelah ayah bunda wafat, tiada orang yang kubuat sandaran, terpaksa menjual diri sebagai pelayan, kebetulan In-congkoan lewat, mendengar logat hamba, kiranya ka mi adalah kelahiran sekampung, setelah tanya jelas riwayat hidup ha mba, baru In- congkoan me mbawa ku ke mari."

Cu Bun-hoa manggut2, tangan membuka tutup mangko k lalu mengangkatnya, pelan2 hendak menghirupnya .

Kwi-hoa yang berdiri di sa mping melirik secara dia m2, wajahnya mena mpilkan rasa senang. Sudah tentu perubahan mimiknya tidak lepas dari pengawasan Cu Bun- boa, seperti merasa buburnya terlalu panas, dia urung menghir upnya, lalu ditaruh ke mba li di atas meja pula, tanyanya: "Kau yang masak bubur ini?"

"Ya, atas petunjuk Hujin," sahut Kwi-hog.

"Waktu kau me mbawa bubur ke mar i, adakah kete mu siapa?" Sedikit berubah air muka Kwi-hoa, sahutnya: "Ti tiada." Cu Bun-hoa pura2 mende lik, suaranya kereng: " Waktu kau me mbuat bubur, pernah kau tinggalkan sebentar?"

Kwi-hoa mulai kurang tenteram, sahutnya lir ih: "Tidak."

Terpentang mata Cu Bun-hoa, katanya: " Kurasa bau bubur ini rada ganjil."

"Tidak mungkin," sahut Kwi-hoa, berubah air mukanya, "bahan2nya pilihan khusus, mangko k ini-pun milik cengcu pribadi, waktu me mbuatnya hamba tidak lena, mungkin mala m ini terlalu banyak kuahnya, sehingga rasanya agak tawar."

Cu Bun-hoa tertawa aneh, katanya: " Kuahnya terlalu banyak? Me mangnya Lohu tidak bisa me m-beda kan bau bubur sarang burung?"

"Kalau begitu biar hamba buatkan lagi yang lain," kata Kwi- hoa takut2.

"Kalau me mang kau sendiri yang me mbuatnya, coba kau saja yang makan," ujar Cu Bun-hoa.

Kaget Kwi- hoa dibuatnya, ia menyurut mundur, katanya: "Bubur untuk hidangan cengcu, mana ha mba berani me makannya."

"Tidak apa, Lohu suruh kau ma kan-"

Pucat muka Kwi hoa, suaranya gelisah. "Hamba tidak berani

......."

Cu Bun-hoa menukas   dengan   suara   kereng.-"Berani   kau me mbangkang kehendak Lohu?"

Mendadak dia melo mpat bangun, sekali raih dia Cengkeiam tengkuk Kwi-hoa, tangan kiri menekan dagu orang, mulut dipepetnya sampai terbuka, semangkok bubuk itu terus dia tuang ke mulutnya.

Kejadian berlangsung teramat cepat, tidak se mpat meronta atau bersuara sedikitpun, sebagian besar bubur semangkok itu tertuang masuk perut Kwi-hoa, lekas sekali Hiat-topun tertutuk dan tak ma mpu berkutik lagi.

Pui Ji-ping me mang cerdik, hanya sctengah jam, di bawah petunjuk Ling Kun-gi pelajaran tata rias tingkat pertama sudah berhasil dikuasainya dengan baik, Kini ia sudah berhasil mengubah bentuk mukanya menjadi apa saja yang ia kehendaki, sudah tentu senang hatinya tak terkatakan, hanya suara-nya yang sukar dia ubah dalam waktu singkat, tapi soal suara tidak begitu penting, asal jarang buka suara, orang tetap dapat diketahui.

Tanpa mengenal le lah serta sabar Kun-gi terus me mberi penjelasan segala seluk beluk tentang tata rias ini, pertanyaan Ji- ping ber-tumpuk2, ada saja persoalan yang dia ajukan.

Pada saat itulah, pintu rahasia yang tembus ke ka mar buku tiba2 terbuka, Cu Bun-hoa melangkah masuk sa mbil menge mpit seorang perempuan di bawah ketiaknya.

Lekas Ji-ping berdiri dan menyongsong maju, tanyanya: "orang ini ... he, kau kan Kwi-hoa?"

Cu Bun-hoa turunkan Kwi-hoa di atas lantai, wajahnya tampak serius, katanya: "Tak tersangka komplotan penjahat itu bergerak begini cepat."

Ji-ping kaget, tanyanya: "Maksud paman Kwi-hoa seko mplotan dengan musuh?"

"Di dalam bubur dia ca mpur obat bius, untung Lohu sudah siaga, setelah kupancing lantas kelihatan belangnya, sebelum dia menyadari apa2 semangkok bubur itu sudah kucekok ke mulutnya, betul juga dia lantas kelenger."

"Lalu bagaimana pa man?" tanya Ji-ping.

"Menurut dugaan Lohu, walau musuh sudah menyelundup di sekitar kita, sebelum Kwi-hoa keluar, mereka takkan berani sembarang bertindak, terpaksa kau harus me nyaru Kwi-hoa, bawalah mangko k kosong itu ke belakang, lalu Ling-lote menyaru Lohu, sesuai dengan rencana kita." Kun-gi manggut, katanya: "Mau bekerja janganlah me mbuang waktu, nona Pui, lekas duduk biar kurias muka mu." Hanya sepeminuman teh, Kun-gi sudah selesai mer ias Ji-ping, kini wajahnya mirip benar dengan Kwi-hoa seperti pinang dibelah dua.

Cepat sekali Ji-ping lucuti pakaian Kwi-hoa terus dipakainya. Sementara me megangi kaca Kun-gi mer ias wajah sendiri seperti Cu Bun-hoa, dengan cepat sekali dia sudah berubah jadi Cu Bun-hoa, lalu mereka saling bertukar pakaian- Tak lupa Kun-gi simpan Pi-to- cu warisan keluarganya, kantong sulam pe mber ian Un Hoan-kun dan pedang pan-dak di dalam bajunya. Cu Bun-hoa mendesak: "J i- ping, kau harus lekas keluar."

Mengawasi Kun-gi, berat rasa hati Ji-ping untuk berpisah, katanya: "Ling-toako, kau akan masuk ke sarang harimau, hati2 lah."

"Nona Pui tak usah kuatir, belum setimpal ko mplotan jahat ini menjadi perhatianku."

"Lalu di mana kelak aku harus mencarimu?" tanya Ji-ping. Dia sudah me mberanikan diri mengucapkan kata2 ini dihadapan pamannya. Seorang gadis akan mencari laki2, ke mana maksud tujuannya iapapun sudah mengerti.

"Seorang diri jangan nona keluyuran di Kangouw, kelak setelah berhasil meno long ibu, pasti aku ke mari menengo kmu."

Dalam hati Ji-ping berjanji, "Tidak!! aku takkan tinggal di sini, ke ujung langitpun akan kucari dirimu." Sudah tentu kata2 ini tidak berani dia ucapkan.

Sudah tentu Cu Bun-hoa dapat meraba perasaan keponakannya yang sedang kasmaran ini. soalnya waktu amat mendesak, lekas dia mendesak lagi, "Ji-ping, sudah terlalu la ma Kwi-hoa antar bubur ini, sekarang lekas kau keluar."

Kembali Ji-ping pandang Kun-gi lekat2, la lu dengan langkah berat ia keluar.

Sambil mengelus jenggot Cu Bun- hoa berpesan: "Ling-lote, kau cerdik pandai, tentu Lohu tidak perlu banyak pesan lagi, di sini Lohu menunggu kabar baikmu, semoga kau berhasil meno long ibumu dengan leluasa, dan jangan lupa kemari lagi me mberi kabar, jangan pula kau bikin telantar maksud baik Ji-ping."

Merah muka Kun-gi, katanya sambil menjura: "Terima kasih akan perhatian cengcu."

"Maaf, Ling-lote, Lohu tidak mengantar."

Tanpa bicara lagi Kun-gi beranjak keluar, rak buku di belakangnya segera menutup sendiri. Waktu itu Pui Ji-ping sudah me mbawa na mpan berisi mangkok kosong keluar ka mar.

Pelan2 Kun-gi mendekati kursi ma las lalu duduk bersandar, pelan2 pula me mejamkan mata, diam2 dia kerahkan hawa murni menghimpun se mangat.

Entah berapa lama lagi, terdengar langkah gugup mendatangi dari luar pintu, Lalu terdengar suara serak In Thian-lo k berkumandang di luar: "Lapor cengcu, ada urusan penting akan hamba sa mpa ikan-" Sudah tentu Kun-gi diam saja.

Sesaat kemudian, karena tidak mendengar suara cengcu, in- congkoan berkata pula: "Apa ceng-cu sudah tidur?" Dia tahu bahwa Cu Bun-hoa sudah menghabis kan semangkok bubur, tentu sekarang sudah terbius pulas, tapi dia tidak berani gegabah, mulut bicara, dia tetap berdiri dan menunggu di luar pintu.

Begitulah sesaat lamanya lagi baru In Thian- lok pura2 bersuara heran: "Aneh, Lwekang cengcu a mat tinggi, kenapa tak terdengar suara apa2?"

Kata2nya ini hanya alasan belaka supaya dia dapat mendobrak pintu masuk ke dala m. Kali ini dia keraskan suara: "cengcu, cengcu?"

Di sekeliling ka mar buku ini sudah terpendam anak buahnya, betapapun keras suaranya dia tidak takut mengejutkan orang lain yang tidak bersangkutan. Maka dengan leluasa dia dorong pintu terus me mburu masuk. Sekilas mata menjelajah, dilihatnya Cu Bun- hoa rebah telentang di atas kursi malas. In Thian-lok pura2 kaget, dengan lagak gopoh ia mendekat ke depan kursi dan tanya: "ceng-cu, kenapa? Lekas bangun" Lalu dia raba dahi Cu Bun-hoa, seketika wajahnya mengulum senyum sinis girang, mendadak kedua tangan bekerja cepat, kesepuluh jarinya naik turun, bagai kilat delapan Hiat-to penting didada Cu Bun-hoa telah ditutuknya.

Kun-gi sudah me mpersiapkan diri, hawa murni sudah me lindungi badan, seluruh Hiat-to di badan-nya sudah terlindung, sudah tentu Hiat-tonya tidak mudah tertutuk.

Tapi Cu Bun-hoa yang sembunyi di ka mar buku dapat menyaksikan dengan jelas, sudah tentu dia tidak tahu kalau Kun-gi sudah meyakinkan hawa murni pelindung badan ini, karuan ia kaget, pikirnya: "In Thian-lo k berasal dari golongan hitam, bekal kepandaiannya sendiri tidak le mah, sela ma tahun2 terakhir ini me mpero leh banyak kemajuan lagi atas petunjukku, tingkat kepandaiannya sekarang sudah mencapai kelas wahid, delapan tutukan Hiat-to itu a mat lihay, meski Ling-lote tidak terbius, setelah tertutuk Hiat-tonya, tetap dia tak dapat berkutik diantar masuk ke mulut harimau."

Sementara itu In Thian-lo k mendekati jendela sebelah selatan, kain gordin dia singkap. daun jendela dia buka, lalu menga mbil lilin dan di-gerak2 kan tiga kali di luar jendela.

Tidak la ma ke mudian terdengar suara kesiur angin, sesosok bayangan orang menerobos masuk lewat jendela. Lekas In Thian- lok menyongsong maju, katanya sambil menjura: "Silakan Hou- heng"

Orang yang baru menerobos masuk berpakaian hijau bertubuh tinggi kurus, suaranya dingin: "in- heng menyerahkan orang tepat pada waktunya, tidak kecil pahala mu." Tergerak hati Kun-gi, batinnya. "Orang she Hou, mungkin Hou Thi-jiu adanya?"

In Thian-lo k tertawa, katanya sambil menuding "Cu Bun-hoa" yang rebah di kursi malas: "inilah Cu-cengcu, anak buahku sudah tersebar di sekeliling ka mar ini, bagaimana mengangkutnya keluar, kami tunggu petunjuk Hou-heng."

"Soal ini in- heng tidak usah mencapaikan diri. cuma jalan keluar perkampungan ini, apakah in-heng sudah mengaturnya dengan baik?" tanya laki2 baju hijau.

"Hou-heng tidak usah kuatir, semuanya sudah beres," sahut In Thian-lo k.

"Baiklah," ujar laki2 kurus baju hijau, lalu dia me mbalik ke dekat jendela, ia bertepuk tiga kali. Ta mpak dua bayangan orang me layang masuk. itulah dua laki2 baju abu2, salah seorang me manggul sebuah karung besar.

Kepada kedua laki2 yang baru datang, si baju hijau berkata sambil me nuding Cu Bun-hoa: "Masukkan dia ke dalam karung."

Kedua laki2 mengiakan, seorang me mbuka karung dan yang lain angkat tubuh Ling Kun-gi terus didorong masuk ke dalam karung, lalu di ikat kencang mulut karung itu.

Kata si baju Hijau: "Kami harus segera pergi, bagaimana keadaan di sini selanjutnya, tidak perlu kujelaskan bukan?"

In Thian- lok manggut2, sahutnya: "Siaute sudah tahu, Hou-heng boleh silakan-"

Sibaju hijau me mberi tanda kepada kedua anak buahnya terus mendahului me lo mpat keluar. Gerak-gerik ketiga orang itu ringan dan gesit, dengan cepat sekali bayangan mereka sudah lenyap di luar te mbok.

Percakapan mereka sudah tentu didengar je las oleh Ling Kun-gi, terasa karung dipanggul di atas pundak. dibawa melo mpat turun naik, cepat sekali sudah meninggalkan Liong-bin-san-ceng. Beberapa kejap ke mudian, mendadak mere ka berhenti. Terdengar suara orang bertanya di sebelah depan: "Sudah berhasil?"

Maka terdengar penyahutan orang she Hou: "Lapor Kongcu, sudah berhasil." Kun-gi me mbatin: "Hou Thi-jlu me manggilnya Kongcu, itulah Dian-kongcu atau si baju biru yang berada di Kayhong te mpo hari."

"Baik sekali," ujar Dian-kongcu.

Agaknya sambil bicara Dian-kongcu terus melangkah pergi, ma ka kedua orang yang me manggul Ling Kun-gi ikut ber-lari2 kencang. Dari derap langkah orang, Ling Kun-gi menghitung semuanya ada empat orang. Hanya empat orang berani me luruk ke Liong-bin-san- ceng, menculik "naga terpendam" Cu Bun-hoa, walau mereka sudah tanam mata2 dan kaki tangan di Liong-bin-san-ceng, tapi keberanian mereka sungguh luar biasa.

Mereka terus ber-lari2 satu jam lamanya, di-perhitungkan sudah puluhan li meningga lkan Liong-bin-san-ceng, ro mbongan e mpat orang ini lantas berhenti. Terdengar di pinggir jalan ada suara rendah menyapa maju: "Kongcu sudah ke mba li"

Dian-kongcu hanya mendengus, terdengar suara pintu terbuka dan kerai tersingkap. Dian-kongcu lantas me langkah masuk, kedua laki2 yang me manggul karungpun menurunkannya ke tanah terus me mbuka tutupnya, dua orang baju abu2 menyeret Kun-gi ke atas kereta. 

Kun-gi tetap pejamkan mata, dia pura2 pingsan, biarkan saja apa kehendak mereka atas dirinya, tapi terasa bahwa ruang kereta ini cukup lebar, dirinya diseret ke lantai kereta sebelah kanan setelah itu baru Hou Thi-jiu naik kereta dan duduk disa mpingnya . 

Kereta mulai berjalan- Kusir mengayun pecut, kudapun segera berlari kencang menimbulkan su-ara gemeretak dari roda2 kereta yang beradu dengan batu2 dija lanan.

Semakin cepat laju kereta, goncanganpun semakin besar, walau tidak me mbuka mata, tapi Kun-gi merasakan bahwa bentuk kereta ini tentu dibuat khusus dan a mat mewah.

Kun-gi tahu kepandaian silat kedua orang majikan dan pelayan ini a mat tinggi, supaya tidak menunjukkan gejala2 yang mencur igakan, meski kereta tergoncang semakin keras dia tetap mer ingkal diam sa mbil menghimpun se mangat. Langkah perta ma untuk menyelundup ke sarang musuh sudah tercapai, ke mana dirinya akan dibawa, dia tidak usah peduli lagi, ma ka di tengah jalan ini, dia tidak perlu main int ip.

Dian-kongcu dan Hou Thi- jiu yang duduk di dalam keretapun duduk se madi, tiada yang buka suara. Kuda penarik kereta ternyata berlari kencang sekali.

Tanpa terasa fajar telah mnyings ing, dalam keretapun mulai ada cahaya, maka Ling Kun-gi lebih hati2 lagi, sedikitpun dia tidak berani lena.

Lari kereta mulai lambat, akhirnya berhenti dipinggir hutan. Agaknya sudah ada orang menunggu di situ, terdengar orang mende kati kereta, katanya dengan laku hor mat: "Hamba To Siong- kiu me mberi salam hor mat kepada Kongcu."

Kepalapun tidak bergerak. Dian-kongcu hanya mendengus saja.

Suara Hou Thi-jiu terdengar dingin:

"Mana sarapan pagi yang kau siapkan untuk Kongcu? Lekas bawa ke mari."

Orang di luar mengia kan, pintu kereta dibuka, dengan laku hormat dia masukkan seperangkat tenong susun dua. Hou Thi-jiu menerima nya, orang itu menurunkan kerai terus mengundur kan diri. Sementara itu, orang la in telah mengganti kuda, sampa i pun kusirnyapun berganti orang, jadi orang dan kuda berganti secara bergiliran.

Kereta mulai berangkat lagi pelan2. Terdengar suara To Siong- kiu di belakang: "Ha mba tidak mengantar Kongcu, semoga lekas tiba di tempat tujuan-" Sudah tentu dia tidak me mperoleh penyahutan-

Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "cara kerja orang2 ini ternyata amat teliti, sampai di suatu tempat tertentu lantas ada orang yang ganti kusir dan kuda, dengan demikian kereta ini bisa mene mpuh perjalanan siang mala m tanpa berhenti, cuma entah di mana letak sarang ko mplotan ini?" Hou Thi- jiu sudah me mbuka tenong berisi makanan, katanya hormat, "Silakan Kongcu sarapan pagi."

Dian-kongcu buka tutup tenong terus makan minum seorang diri tanpa bersuara.

Kun-gi yang rebah meringka l sudah tentu juga mencium bau makanan yang sedap. dari bau harum yang diendusnya, dia menduga tenong itu berisi makanan daging dan se mangkok kuah.

Melihat orang ma kan, biasanya orang bisa ngiler, apa lagi kalau perut me mang sudah lapar. Walau Kun-gi tidak me mbuka mata, namun hidungnya dapat mencium bau makanan, maka perutnya terasa berontak. laparnya bukan main.

Setelah melayani Dian-kongcu ma kan selesai, Hou Thi-jiu baru angkat susun tenong yang lain, diapun makan dengan lahap. habis makan dia le mpar tenong keluar kereta, katanya: "Nanti siang apakah kita perlu menyedia kan makanan untuk Cu-cengcu?"

Sambil duduk semedhi, Dian-kongcu berkata: "Dua belas jam ke mudian baru dia akan siuman."

"celaka," demikian keluh Kun-gi dalam hati.

12 jam baru sadar, itu berarti dia harus kelaparan sehari semala m.

Kereta terus laju bagai terbang, tengah hari mereka t iba di sebuah kota, kereta berhenti istirahat di pinggir jalan. Tanpa turun kereta sudah ada orang mengantar tenong berisi masakan yang serba lezat, kali ini ada pula sebotol arak wangi.

Bagi kusir juga disediakan ma kanan tersendiri, dia duduk di pinggir pohon sa mbil me lalap ma kanannya, selesai makan mere ka me lanjutkan perjalanan pula.

Untuk pura2 se maput orang cukup me meja mkan mata dan mer ingkal tanpa bergerak. semua ini adalah kerja yang mudah sekali, siapapun bisa me lakukannya. Tapi harus meringkal diam tanpa bergerak selama sehari semala m dengan posisi sa ma, itulah yang tidak gampang. Bagi orang biasa setelah berselang sekian la ma, kaki tangan pasti merasa kese mutan dan pegal linu. Untuk ini Kun-gi boleh tidak usah peduli..   Lwekangnya tinggi,   dengan me meja mkan mata dan menghimpun se mangat, darah tetap berjalan lancar dan leluasa di dalam tubuh, sudah tentu dia takkan merasa kese mutan dan pegal. Yang paling menyiksa dirinya adalah perut lapar, sejak mala m tadi perutnya tidak di isi barang sedikit- pun, mengendus makanan dan bau wangi arak lagi, sudah tentu hampir tak tahan dia.

Setelah kenyang dan mabuk Dian-kongcu duduk mendongak sambil se medhi lagi ditempat duduknya yang empuk dan silir. Kedua ekor kuda menar ik kereta segera angkat langkah pula mene mpuh perjalanan-

Hari itu berlalu dengan cepat, dari siang menjadi sore, magrib berganti mala m, dalam sehari se mala man ini, menurut perhitungan Kun-gi, kereta ini sudah mene mpuh perjalanan 300-an li jauhnya.

Sejak magrib tadi, jalan kereta sudah bergoncang amat kerasnya, kereta bergunjing seperti kapal dipermainkan o mbak di tengah lautan, begitu keras goncangannya, terang jalanan yang ditempuh ini a mat jelek dan banyak berbatu, tapi kusir kereta tidak peduli, cambuknya terus ber main me mbedal kudanya ke depan-

Terasakan guncangan kereta sedemikian keras, itu menandakan bahwa kereta sudah me mbelo k me masuki jalan pegunungan dan sedang menuju ke suatu puncak gunung. Kira2 satu jam la manya kereta melewati jalanan yang jelek ini. Kini jalan kereta mula i tenang dan angler, agaknya melalui jalan datar yang berpasir karena roda kereta mengeluarkan suara mendesir yang rata.

Mendadak   tak   jauh   di   depan   sana    terdengar   seorang me mbentak: " Langit mencipta, bumi merencana"

Tergerak hati Kun-gi, pikirnya: "Mungkin sudah tiba di te mpat tujuan, seruan itu terang adalah kode pengenal satu sa ma lain." Maka didengarnya Hou Thi-jiu melongo k keluar kereta dan me mbentak gera m: "Keparat yang tidak punya mata, kau tidak lihat kereta siapa ini?"

Terdengar suara beberapa orang dari kanan kiri jalan: "Hamba menya mbut kedatangan Coh-siancu."

"Bedebah, Kongcu yang ada di sini," bentak Hou Thi jiu gusar.

Orang2 itu kembali munduk2, serunya: "Hamba tidak tahu kedatangan Kong-cuya, harap diberi a mpun-"

Kereta sudah mulai jalan pula. Tak lama ke mudian, lari kereta mulai la mbat, kusir kereta melo mpat turun dengan gesit terus menyingkap kerai

Dian-kongcu berpaling me mberi pesan kepada Hou Thi-jiu: "Suruh mereka bawa Cu-cengcu ke Hwi-pin-koan ( ka mar tamu agung ) di taman belakang, aku akan mene mui Gihu." Sekali lo mpat dia turun terus berkelebat pergi.

Hou Thi-jiu juga me lo mpat turun, kepada dua orang laki2 baju abu2 dia menggapai, katanya:

"Kalian gotong dia ke dala m."

Di saat Hou Thi-jiu me lo mpat turun tadi, Kun-gi sempat me mbuka mata sedikit mengawasi keadaan sekitarnya. Ternyata kereta berhenti di depan sebuah pekarangan besar dari suatu perkampungan. Perkampungan ini dibangun di antara lekuk gunung, sekelilingnya dipagari bukit, jelas letaknya diperut pegunungan yang jauh dari kera maian-

Kedua laki2 itu sudah mengha mpiri, seorang melo mpat ke atas kereta dan mengeluarkan secarik kain hitam, mata Kun-gi ditutupnya.

Tindakan ini sebetulnya berlebihan, karena orang2 yang diausur ke mari kebanyakan telah kena bius, dalam keadaan semaput, buat apa harus ditutup matanya lagi? Mungkin inilah aturan mereka, dengan sendirinya Kun- gi mandah saja apapun yang dilakukan atas dirinya, dia tetap tak bergerak.

Dengan setengah gendang dan setengah papah, kedua orang itu menurunkan Kun-gi dari kereta, malah seorang laki2 itu berjongkok, Kun-gi digendongnya. Mereka ikuti Hou Thi-jiu berjalan ke dala m.

Meski mata tertutup, tapi Kun-gi pasang kuping dengan seksama, dia me mbedakan arah, jalan yang ditempuh Hou Thi-jiu bertiga bukan pintu tengah, mereka mengitar ke kiri di mana ada sebuah pintu samping. Setiba di depan pintu, laki2 yang lain memburu maju mendahului Hou Thi jiu mengetuk t iga kali di daun pintu.

"Tek", terdengar suara pelahan, seorang membuka jendela kecil di pintu, suara serak tua me mbentak: "Siapa?"

Lekas Hou Thi-jiu mendekat, katanya: "Lo-go, inilah aku Hou Thi- jiu."

"o", suara serak itu menjadi lunak. "mana tanda buktinya?"

Hou Thi jiu mengeluar kan sebentuk lencana, habis itu baru daun pintu di buka, suara serak itu me mpersilakan mereka mas uk.

Dengan langkah lebar Hou Thi jiu bertiga masuk ke dala m, pintu tertutup pula. Mereka jalan beriring, langkahnya cepat, diam2 Kun- gi men-duga2 dari langkah mereka yang putar sana belok ini, bahwa mereka me lewati sera mbi lika- liku serta beberapa pekarangan, waktu Hou Thi-jiu seperti sudah tiba di satu tempat, seorang segera tampil ke depan menggo ncang dua gelang tembaga, lalu mengundurkan diri pula ke belakang.

Waktu daun pintu terbuka, getaran keras terasa di bawah kaki mereka, ini me mbuktikan bahwa daun pintu terbikin dari papan baja yang berat dan tebal. Seorang telah menghadang di tengah pintu, Hou Thi-jiu maju mengunjuk lencananya pula, baru dia memba lik badan dan katanya: "Serahkan dia padaku"

Laki2 yang menggendang Kun-gi me ngiakan terus berjongkok, dia baringkan Ling Kun-gi di lantai. Dengan kedua tangannya Hou Thi-jiu menjinjing tubuh Kun-gi, katanya: "Kalian tunggu di sini" Ia sendiri masuk dengan langkah lebar. Pintu beratpun mulai tertutup lagi pelan2.

Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Begini keras dan ketat penjagaan di sini, entah di mana letak pusatnya?" Pada saat hati me-nimang2, terasa angin menghe mbus silir2, kupingnya lantas mendengar gesekan dedaunan yang tertiup angin- Agaknya mereka telah berada di sebuah kebon.

Langkah Hou Thi- jiu a mat cepat, jelas dia apal jalanan di sini, kira2 se masakan air ke mudian, hidung Kun-gi mulai mencium bau harum bunga, bau kembang mawar, seruni dan lain2. Pada saat itulah baru Hou Thi- jiu menghentikan langkah dan mengetuk pintu pula. Sebelum daun pintu terbuka terdengar suara merdu bertanya dari dala m: "Siapa?"

"Inilah cengcu dari Liong-bin-san-ceng, kau harus melayaninya baik2," kata Hou Thi jiu.

"Baik, bawa dia ke dala m," sahut suara merdu itu. Lalu dia mendahului melangkah diikuti Hou Thi-jiu.

Kun-gi me mbatin pula: "Kiranya sudah sa mpai di Kwi-pin-koan." seorang membuka daun jendela, suara merdu berkata pula:

"Taruh dia di atas dipan"

Hou-Thi-jiu lantas merebahkan Kun-gi di atas dipan yang beralaskan kasur e mpuk.

Suara merdu itu bertanya: "Kapan cengcu ini akan sadar?." Pertanyaan inipun a mat penting artinya bagi Ling Kun-gi.

Didengarnya Hou Thi- hou menjawab: "Kira2 kentongan kedua nanti."

"O," suara merdu berkata pula, "kini sudah kentongan pertama, jadi masih satu jam lagi."

Hou Thi-jiu lantas keluar, katanya: "Cayhe mohon diri." Suara merdu ikut melangkah keluar dan menutup pintu, sekemba linya dia langsung mendekati pe mbaringan, kain hitam penutup mata Kun-gi dia copot, lalu ditariknya ke mul untuk menutupi badan Kun-gi, dari gerak-geriknya jelas gadis ini sudah terlatih baik menjalankan tugasnya.

Entah apa tujuan mereka menculik Cu Bun-hoa ke mari dengan jalan ber-liku2 sede mikian rupa? Demikian Kun-gi ber-tanya2 dalam hati, tapi dia tidak berani me mbuka mata, karena dengan jelas dia merasakan he mbusan napas si gadis tengah berdiri di pinggir pembaringan, mungkin orang tengah menga mati dirinya, atau menga mati "Cia m-liong Cu Bun-hoa Cengcu" dari Liong- bin-sun- ceng. .

Dengan telentang di atas pembar ingan, kelopak matapun Kun-gi tak berani bergerak, karena gerakan kelopak mata menanda kan bahwa dirinya sudah siuman- Untung hanya sejenak gadis bersuara merdu ini menga mati dirinya, lalu mengundurkan diri dia m2.

Setelah orang sampai di luar dan menurunkan kerai, dia tetap tidak berani me mbuka mata. ia selalu ingat pesan gurunya sebelum berangkat, beliau bilang "Muridku, dengan bekal kepandaianmu sekarang, tiada suatu tempat di dunia Kangouw yang pantang kau datangi, cuma berkelana di Kangouw, bekal kepandaian hanya sebagai cangkingan belaka, yang penting adalah kecerdikan bertindak dan hati2, ada sepatah kata perlu gurumu berpesan dan kau harus mengukirnya di lubuk hatimu, yaitu semakin besar nyalimu, kau harus se makin hati2. Peduli persoalan atau kejadian apapun yang kau hadapi, kau harus tetep tenang dan waspada."

Sementara itu gadis bersuara merdu tadi sudah berada di luar, tapi dia tetap rebah tak bergerak. dia sedang mengerahkan tenaga saktinya, memusatkan seluruh perhatian mendengarkan keadaan sekelilingnya. Umpa ma di dalam ka mar mas ih ada orang lain, pasti suara napasnya bisa didengarnya.

Sepeminuman teh ke mudian barulah Kun-gi yakin bahwa di dalam ka mar betul2 tiada orang lain kecuali dirinya, pelan2 dia me mbuka mata, walau hanya setengah mengintip saja, tapi dia sudah melihat jelas keadaan di depannya.

Itulah sebuah kamar tidur yang amat besar, pajangannya serba mewah, serba antik. Di bawah penerangan cahaya yang rada redup, semua benda pajangan yang ada di dalam ka mar kelihatan indah menarik. letaknya juga   diatur   sedemikian   dan   serasi benar me mbuktikan hasil dari tangan seorang ahli pajang kena maan-

Sekilas pandang Kun-gi lantas pejamkan mata pula, dalam hati ia me-nimang2 cara bagaimana dia harus menghadapi situasi selanjutnya nanti? Akhirnya dia berkeputusan dirinya harus teguh iman, teguh pendirian, berani menghadapi segala perubahan- Waktu berlalu dengan cepat, sejam telah berselang, langkah le mbut mendatang dari luar pintu, Kun-gi tahu waktunya sudah tiba, ia tetap rebah di pembaringan, ia pura2 menarik napas panjang seperti baru siuman dari tidur, dengan suara kereng dia bertanya: "Siapa di luar? Apa Kwi-hoa? Tidak kupanggil, untuk apa kau ke mari?"

Sembari bicara dia me mbuka mata. Begitu mata terpentang segera dia berjingkrak berdiri, ke mana sorot matanya berpancar seketika dia berdiri tertegun. Dia sengaja berbuat demikian- Sorot matanya yang tajam menatap gadis baju hijau yang melangkah masuk menyingkap kerai tanpa berkedip. lalu dengan suara kaget dia bertanya: "Siapa kau, ini . . . . tempat apa ini? Bagaimana aku bisa rebah di sini?" sekaligus tiga pertanyaan keluar dari mulutnya, menandakan kegugupan hatinya yang kaget dan heran-

Gadis baju hijau kira2 berumur 20-an, perawakannya tinggi sema mpai, ramping menggiurkan, wajahnya manis dan molek. buah dadanya menonjol besar, dadanya dihiasi sebuah ma inan kalung besar bentuk jantung hati, semuanya terbuat dari mas murni, dua kuncir ra mbutnya yang besar legam menjuntai di kedua sisi pundaknya.

Gadis ini sudah tentu amat cantik, kecuali cantik juga me mpunyai daya tarik bagi setiap lelaki yang melihatnya. Tangannya menjinjing sebuah nampan putih, baru saja dia menyingkap kerai melangkah masuk lantas dijumpainya Ling Kun-gi berjingkrak dengan rentetan pertanyaan tadi. Dia lantas berhenti di ambang pintu, sepasang matanya yang jeli me natap Kun-gi sa mbil tersenyum mekar, tertampak barisan giginya yang putih rata bagai biji mentimun, begitu menggiur kan senyum tawanya. Terdengar suaranya nan merdu mengandung rasa ma lu: "Cu-cengcu sudah bangun, ha mba Ing jun, ditugaskan meladani Cu-cengcu di sini"

Terasa oleh Kun-gi kakinya menginjak kabut tebal, ia tetap menatap pelayan yang bernama Ing-jun dan bertanya: "Lekas nona beritahu, tempat apakah ini? Bagaima na aku bisa sa mpa i di sini?"

Melihat sorot mata Ling Kun-gi yang bersinar mengawasi dirinya tanpa berkedip. Ing-jun menunduk malu, dia meletakkan na mpan di atas meja di sa mping dipan, sahutnya:

"Inilah bubur yang ha mba sengaja buatkan untuk Cengcu." "Nona belum jawab pertanyaanku," desak Kun-gi sa mbil

menge lus jenggot.

Ing jun tetap menunduk. sahutnya, "Tempat ka mi ini adalah Coat Sin-san-ceng, Cu-cengcu adalah tamu agung yang diundang Cengcu kami yang telah lama mengagumimu." Sebagai pelayan yang ditugaskan me layani tamu, sudah tentu dia pandai bicara.

Coat Sin-san-ceng? Dia m2 Kun-gi me mbatin- "Belum pernah kudangar nama perka mpungan ini di kalangan Kangouw?" Segera ia tanya pula, "Entah siapa she dan na ma besar Cengcu kalian-"

Sedikit angkat kepalanya, sikap Ing jun lebih hor mat, sahutnya: "Cengcu kami she Cek, tentang nama besar beliau, kami sebagai pelayan tiada yang mengetahui." Jelas dia t idak ma u menerangkan.

Tak enak Kun-gi bertanya lebih lanjut, katanya "Lohu ingin bertemu dengan Cengcu kalian-"

"Betapa sukarnya Cengcu kami mengundang Cu-cengcu ke mari dan dilayani sebagai ta mu luar biasa, sudah tentu nanti beliau akan menjenguk ke mari, cuma " "Cuma apa?" desak Kun- gi.

Sekilas bentrok sorot mata mereka, lekas Ing-jun tunduk kepala pula, katanya lirih: "sekarang sudah kentongan kedua, Cengcu kami sudah tidur."

Kehadiran Kun-gi di sini mewakili Cu Bun- hoa, sebagai duplikat orang, tak enak dia banyak o mong, apalagi tujuannya menyelidiki jejak ibunva, maka dia manggut2, katanya: "Baiklah, terpaksa Lohu tunggu sa mpai besok pagi batu mene mui Cek-cengcu kalian-"

Tiba2 sorot matanya menatap tajam, tanyanya: "Dapatkah nona jelaskan, cara bagaimana kalian me mbawa Lohu ke mari?"

Le mbut suara Ing-jun: "Ha mba hanya tahu cengcu kami a mat mengagumi ke mashuran Cu-cengcu, maka beliau mengundang Cu- cengcu ke mari, tentang cara bagaimana mengundangnya, hamba tidak tahu apa2."

"Baiklah," ujar Kun-gi dengan tersenyum, "segala persoalan terpaksa kubicarakan besok kalau berhadapan dengan cengcu kalian-"

"Malam sudah larut, silakan Cu-cengcu dahar dulu sebelum istirahat," kata Ing-jun.

Me mangnya sudah sehari sema lam kelaparan, Kun-gi tidak meno lak lagi, dengan lahapnya dia habiskan semangkok bubur sarang burung itu, semangat seketika berbangkit, rasa lapar tadipun lenyap.

Dengan muka jengah Ing-jun mendekat, katanya: "Cu-cengcu silakan istirahat, biar ha mba bantu menanggalkan pakaian-"

Melihat wajah orang yang merah ma lu2 dan hendak me mbuka pakaiannya, keruan Kun-gi menjadi kelabakan, katanya gugup: "Tak usahlah, nona sendiri pergilah tidur."

Mendadak Ing-jun berkata dengan suara pelahan: "obat bius yang diminum Cu-cengcu semala m tercampur obat racun yang me mbuyarkan Lwekang, kekuatan sekarang hanya tersisa tiga bagian, maka hamba harap cengcu hati2 dan jangan sembarangan bergerak."

Kun-gi me lenggong, katanya sambil mengawasi Ing-jun "Terima kasih atas kebaikan nona."

Merah pula wajah Ing-jun, katanya lebih lir ih: "Ha mba lihat cu cengcu seorang ksatria tulen, makanya berani me mberi peringatan, kalau nasihatku tadi terdengar oleh Cengcu ka mi, ha mba pasti akan dihukum pancung."

Dia m2 Kun- gi tertawa dingin, batinnya: "Yang terang Cengcu kalian sengaja suruh kau bertingkah de mikian-" Tapi lahirnya dia tetap tersenyum, katanya mengangguk: "Terima kasih nona."

Ing-jun lantas menga mbil mang kok serta me mberi hor mat kepada Kun-gi, katanya: "Ha mba mohon diri," lalu ia menyingkap kerai dan keluar. Waktu itu kentongan kedua baru saja lewat, saat paling tepat dan baik bagi setiap pejalan ma la m. tapi Kun-gi tahu perkampungan ini pasti terjaga keras, dengan susah payah dan tersiksa sehari se mala m dirinya baru berhasil me nyelundup ke mari, sudah tentu dia tidak berani bergerak secara semberono. Maka setelah Ing-jun mengundurkan diri, iapun ke mbali rebah di pembaringan, lampu dia pada mkan, terus duduk semadi di atas ranjang.

oooodwoooo

Karena menyamar sebagai Kwi-hoa, setelah meninggalkan ka mar buku, Pui Ji-ping langsung ke mbali ke ka mar Kwi-hoa terus tutup pintu. Dia m2 dia a mbil keputusan dalam hati bila pamannya diketahui lenyap, seluruh perka mpungan pasti akan geger, mala m ini baru saja dia me mpelajar i ilmu tata rias, maka tiba saatnya dia sekarang berdandan sebagai laki2, meningga lkan Liong-bin-san- ceng secara dia m2 dan secara dia m2 pula ia hendak menguntit musuh.

Tapi pada saat dia siap2 hendak mer ias diri, di bawah jendela mendadak seorang bersuara. "Ji-ping, lekas buka pintu" Ji-ping tahu itulah suara pamannya, sekilas dia me lengak, bergegas dia bereskan bahan2 obat rias terus lari membuka pintu. Sebat sekali Cu Bun-hoa menyelinap masuk, lalu menutup daun pintu pula Ji-ping bertanya: "Pa man, darimana kau bisa ke mari?"

Cu Bun-hoa tersenyum, katanya: "Paman datang dari lorong bawah tanah, Kwi-hoa sudah mengaku terus terang."

"Apa yang dia katakan? Ke mana mereka hendak me mbawa paman?" Sudah tentu yang dia perhatikan adalah Ling Kun-gi.

"Diapun tidak tahu, tugasnya hanya mendesak In Thian- lok supaya me mbius diriku dan orang la in akan datang me mber i bantuan," tanpa menunggu Ji-ping bertanya dia melanjutkan pula: "Waktu terlalu mendesak. pa man tidak bisa bicara banyak lagi dengan kau, lekas kau ke mbali ke ka mar buku, beritahu kepada In Thian-lo k bahwa di dalam ka mar buku ada ruangan rahasia, Lok- hun-san milik pa man disimpan di ka mar rahasia itu, kau boleh bawa dia ke depan rak buku dan pura2 mencari to mbo lnya, lalu bawa dia masuk ke dala m."

Terbelalak mata Ji-ping, tanyanya: "Apa yang dinamakan Lok- hun-san itu?"

"Jangan tanya, bekerjalah menurut pesanku, beritahukan pada In Thian-lo k saja."

"Aku toh tidak tahu cara me mbuka alat rahasianya."

"Anak bodoh, cukup asal kau pura2 saja, paman akan bantu kau dari dala m," lalu dia mendesak. "hayolah cepat" Habis berkata dia tarik pintu la lu menyelinap keluar pula.

Ji-ping tak berani ayal, sekali tiup dia padamkan la mpu, dengan langkah enteng ia lari ke depan- Baru saja dia keluar dari serambi tengah, dilihat-nya In Thian-lok sedang menimang Cin-Cu-ling mendatang dengan langkah gopoh. Begitu melihat "Kwi-hoa" segera dia mengulap tangan, katanya lirih: "Sudah kubereskan se mua, lekas kau ke mba li ke ka mar, tiada urusan nona lagi di sini " "Tunggu sebentar," kata Ji-ping dengan suara tertahan-In Tian- lok tertegun, tanyanya: "Nona masih ada urusan?"

Berputar biji mata Pui Ji-ping, katanya lirih: "Di sini bukan tempat bicara, ikutlah aku ke ka mar buku." Sekarang dia tahu kedudukan Kwi-hoa lebih tinggi daripada In Thian- lok. maka sikap dan nada bicaranya kedengaran dingin dan ketus.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar