Jilid 04
Hian-ih- lo-sat cekikikan, selanya: "Babak ini kalian setanding alias seri, yang satu direbut pedangnya, yang lain selongsong jarinya terjentik jatuh, tiada pihak yang lebih unggul ."
"Omo ng kosong" bentak Thong-pi-thian- ong dengan mata me lotot.
"Siapa o mong kosong?" sikap Hian-ih- lo-sat tetap manis, " me mangnya kau belum menga ku kalah setelah jari tembagamu terjentik jatuh?"
Thong-pi-thian-ong menggerakkan jari2 tembaga seperti menganca m, hardiknya gusar,
" Lekas engkau enyah dari sini"
"Ada suatu hal ingin aku berunding dengan kau, entah kau mau tidak?" kata Hian-ih- lo-sat tetap sabar.
"Kata2ku sekukuh gunung, tiada soal berunding segala, betapapun Lohu harus me nahan bocah ini."
"Soal yang ingin kurundingkan tiada hubungannya dengan dia." Sebel rasa Thong-pi-thian-ong.
"Soal apa ?" tanyanya tidak sabar.
Hian-ih- lo-sat unjuk senyuman manis, ujar-nya : "Kulihat kau me miliki ilmu silat tinggi, me miliki lengan te mbaga lagi, sungguh mencoco ki seleraku ....." tawa yang manis menggiurkan di-ta mbah dengan gerakan badan yang bergaya menantang. Mata sipit Thong-pi-thian-ong menjadi terbeliak, apalagi mendengar kata2 "mencocoki selera- ku", keruan hatinya terasa syuur, senangnya bukan main- Me mang usianya sudah setengah abad, tapi selama ini dia tetap bujangan, sesaat dia mengawas i Kun-gi, ingin rasanya segera menggebah-nya pergi. Tapi demi gengsi, tadi dia menahannya, kalau sekarang mengusirnya ma lah berarti menjilat ludah sendiri, ma ka sesaat mulutnya tak bisa bicara. Tapi wajahnya yang tadi merah padam sekarang ta mpak berseri senang, katanya dengan halus: "cayhe seorang yang suka berterus terang, Siau-nio-cu (nyonya muda) ada omongan apa, boleh silakan katakan saja."
Tadi dia me mbahasakan dia Lohu (aku orang tua ), sekarang diganti cayhe (aku yang rendah), kiranya dia merasa dirinya lebih muda beberapa tahun secara mendadak.
Hian-ih lo-sat me lerok sa mbil mencibir, katanya tertawa genit: "Dengan adik ini kau tidak ber musuhan, biarkan dia pergi saja, nanti kita bicara lagi."
orang suruh Kun-gi pergi, tentu saja cocok dengan keinginan Thong-pi- thian-ong, dia berseri tawa, katanya. "Betul Siau-nio-cu, cayhe hanya mencari gurunya, Hoan-jlu-ji- lay, dulu aku pernah bentrok sama dia, maka sekarang ini ingin ku bereskan perhitungan la ma. Ha h, sebetulnya soal ini juga tidak penting, Siau-nio-cu ma u menda ma ikan soal ini, biarlah aku menurut saja," la lu dia berpaling ke arah Ling Kun-gi, teriaknya: "Anak muda, kau boleh lekas enyah"
Sudah tentu Kun-gi maklum akan watak genit Hian- ih- lo-sat, agaknya dia sengaja hendak me mikat Thong-pi-thian-ong dengan rayuannya, serta memperalat orang menjadi kaki tangannya.
Usia Thong-pi-thian-ong sudah setengah abad, tapi masih mata keranjang dan suka pipi halus. naga2nya laki perempuan ini me mang sudah sama ketagihan- Karena merasa muak dan jijik, lekas Kun-gi je mput pedangnya, tanpa bersuara dia terus tinggal pergi. Sudah seperti di kili2 hati Thong-pi- thian-ong, segera dia me langkah maju sambil me mandang Hian-ih- lo-sat lekat2 se-akan2 ingin mene lannya bulat2, katanya cengar-cengir: "Siau-nio-cu, bocah itu sudah pergi, ingin o mong apa lekas kau katakan"
Hian-ih- lo-sat gigit bibir, mata mengerling penuh arti, katanya sambil tertawa:
"Kalau kukatakan, kau tidak marah bukan?"
Dalam jarak tiga kaki hidung Thong- pi-thian--ong sudah mengendus bau harum yang me mabukkan, seketika jantungnya berdegup lebih cepat. Dia m2 dia menyesali hidupnya sela ma lebih 20 tahun yang lampau secara sia2, kenapa sampai mala m ini baru akan merasakan badan pere mpuan yang cantik dan harum menggiurkan- Lekas dia berkata: "Boleh katakan saja, cayhe pasti tidak akan- ..tidak akan marah."
Dengan sapu tangan menutup mulut, Hian-ih-lo-sat berkata aleman- "Kalau kau tidak marah, biarlah aku bicara terus terang. Kulihat lenganmu ini kalau tidak salah terbuat dari ca mpuran tembaga dengan e mas, malah di dala mnya juga terpasang alat2 rahasia sehingga biaa digunakan secara bebas dan lincah, dibanding
12 tangan besi keluargaku je las lebih se mpurna, oleh karena itu
......."
" Karena itu apa?" tanya Thong- pi-thian-ong.
"Lengan tembaga bukankah setingkat lebih tinggi dari lengan besi? oleh karena itu aku ingin mengundangmu menjadi kepala dari barisan tangan besi keluargaku ".
Ternyata dirinya hanya akan dijadikan kepala barisan segala, sungguh terlalu dan besar salah wesel ini. seketika beruubah kelam air muka Thong-pi-thian-ong, dengus-nya: "Kau .....ingin Lohu menjadi kepala barisan"
Hian-ih- lo-sat me mbetulkan letak ra mbutnya yang terurai, ujarnya: "Eh, kau tidak mau ? Atau merasa merendahkan derajatmu
? Bicara terus terang, setiap anggota barisan tangan besi adalah jago2 silat kelas tinggi diBu- lim, dibanding kau Thong- pi-thian-ong rasanya tidak lebih rendah, kuangkat kau menjadi kepala barisan mereka, karena kau punya lengan te mbaga yang lebih sempurna, ini berarti aku telah me ngangkat dan me nghargai dirimu?"
Naik pitam Thong-pi-thian-ong mendengar kata2 orang, hardiknya beringas: "Pere mpuan bangsat, berani kau menggoda dan me mper ma inkan diriku?"
Mendadak berubah kaku wajah Hian-ih lo-sat, katanya dingin: "Aku sudah naksir lengan tembaga mu itu, maka kau harus jadi kepala barisan lengan besi itu, kuundang kau secara hor mat, kalau tidak mau terpaksa kugunakan kekerasan pada mu." di mana tangannya mela mbai, tiba2 serangkum bau harum merangsang ke muka lawan-
Betapapun Thong-pi-thian-ong juga banyakpengala man, dengan terkesiap cepat ia melo mpat mundur seraya menghardik: "Perempuan sundel ....." belum habis makiannya, tiba2 terasa di sebelah belakang ada apa2 yang tak beres, maklumlah betapa tinggi dan tangguh ilmu silat Thong pi-thian-ong, dalam jarak tiga tomba k asal ada orang mendekati dirinya pasti diketahuinya.
Tapi kali ini panca inderanya bekerja lambat, waktu dia merasakan gejala tidak beres, orang dibelakangnya sudah dekat. Dari suara napas orang ia tahu ada dua orang telah menganca m dirinya dari belakang. Dia m2 dia me mbatin: " orang dapat mende katiku dalam jarak setombak, agaknya kepandaian mereka me mang tidak lebih rendah daripada diriku."
cemerlang sinar mata Hian-ih- lo-sat, katanya sambil tertawa: "Baiklah, kalian saja yang menangkapnya." Berbareng ia lantas me lo mpat mundur.
Kedua orang di belakang saling me mberi isyarat, mulut masing2 bersiul sekali, la lu me lo mpat maju bersa ma, kedua tangan masing2 bergerak menangkap ke tubuh Thong-pi-thian-ong .
Bukan kepalang gusar Thong-pi-thian-ong, sambil menghardik dia ayun lengan tembaga melayani serangan orang yang melabrak dari kiri, berbareng badan berputar, tahu2 kaki kanan melayang menyerampang lawan yang menubruk dari kanan-
Sekilas dilihatnya kedua orang yang melabrak dirinya adalah laki2 berbaju hijau, usianya kurang lebih 40-an, yang mengejut kan adalah tangan kiri mereka bersemu kehijauan, kelima jari tangannya laksana cakar yang mengkilap. kelihatan runcing taja m, dari sinar ke milau kehijauan itu jelas bahwa lengan mereka berlumur racun yang amat jahat.
Mau tak mau timbul rasa curiga Thong-pi-thian-ong, batinnya: "Tadi dia bilang keluarganya punya 12 orang berlengan besi, semuanya adalah tokoh2 Kangouw yang beken na manya, me mangnya siapa dan bagaimana latar belakang orang2 ini?"- Hati me mbatin, se mentara mulut menghardik: "Keparat, kalian bertiga maju bersama juga Lohu t idak pandang sebelah mata."
"Jangan kau takabur," jengek Hian-ih-lo-sat, "kalau tiba saatnya aku turun tangan, pasti aku akan turun gelanggang."
"Trang", suara benturan benda keras me me-kak telinga, lengan tembaga Thong-pi-thian-ong disa mbut oleh pukulan lengan besi orang sebelah kiri, keduanya sama terhempas mundur. Maka laki2 baju hijau di sebelah kanan mendapat peluang untuk menubruk maju, lengan besi kirinya segera bergerak dengan tipu Hing-bo k- liong- kan (me m-belah miring ulu naga), pinggang Thong-pi-thian-- ong menjadi incaran-
Tak keburu berkelit, terpaksa Thong-pi- thian--ong kerahkan tenaga, ia sambut pula serangan lawan dengan lengan tembaganya, "Trang" begitu lengan tembaga, dan lengan besi beradu, laki2 baju hijau di sebelah sana terpental mundur tiga tindak. Thong-pi-thian- ong sendiri juga tak kuasa menguasai diri, iapun me nyurut tiga tindak. dia m2 batinya bertambah kejut, walau Lwekang kedua lawan bukan tandingannya, tapi terpaut tidak jauh.
Sementara lawan di sebelah kiri sudah merangsak maju pula, jari2 tangan besi kirinya bergerak laksana sa mberan kilat, telapak tangan kanan berwarna merah darah menyolok menyerang tiba bersama, jalan mundur Thong- pi-thian-ong sudah terkurung. Sebat sekali lawan di sebelah kananpun melo mpat maju pula, lengan besi menyerang dengan jurus No liong-sip-cu (naga marah menggondo l mut iara), gerak lengannya lapat2 membawa bunyi gemuruh terus mencakar ke batok kepala Thong-pi-thian-ong.
Thong-pi-thian-ong murka sekali, ia me mbentak keras, sambil me loncat ke atas, di ma na lengan bajunya mengebas, segera dia balas menyerang dengan gencar. Sebagai jago nomor satu di daerah selatan yang dijuluki La m-kiang-it-ki, bukan saja lengan tembaganya lihay luar biasa, kepandaian silat lainnyapun terhitung kelas wahid di- kalangan Bu- lim. Tapi di luar dugaan bahwa ke-dua orang baju hijau yang dihadapinya sekarang juga gembong2 aliran hitam pilihan, ilmu silatnya sudah tentu tidak le mah.
Serang menyerang berlangsung dengan gencar, ketiganya tanpa menggunakan senjata, tapi pertempuran ini jauh lebih berbahaya dan sengit dari adu senjata. Gebrak dilakukan dalam jarak dekat - semakin te mpur se ma kin sengit, sedikit lena tentu jiwa terancam, tidak mati juga pasti terluka parah.
Dalam sekejap 30 jurus telah berlalu. Sema-kin bertempur Thong-pi-thian ong se makin mur ka.. tapi juga semakin kaget, tadi dia mengira dalam 30 jurus pasti dapat mengalahkan kedua lawan- nya, tapi kenyataan kedua lengan besi lawan dapat bekerja sa ma sedemikian baiknya, serangan-pun gencar dan ganas. Setelah 30-an jurus ini ternyata dirasakan bahwa Lwekang sendiri se makin susut.
Sudah tentu keadaan ini sema kin menciutkan nyali dan perbawanya, sekaligus menyadarkan benak-nya pula bahwa secara tidak disadarinya tadi dirinya sudah dikerjai oleh Hian-ih- lo-sat. Mendadak dia menggerung gusar, lengan te mbaga sebelah kanan terayun ke atas, dari kelima ujung jari te mbaganya itu serempak menye mperot keluar lima jalur air kuning yang deras. Kiranya buatan lengan tembaga sebelah kanan Thong-pi-thian-ong lebih ringan, di dalamnya ada selongsong yang berisi air beracun, asal tekan tombo lnya, air beracun akan menyemprot dari lubang di ujung jari. Se mprotan air kuning itu dapat mencapai setomba k jauhnya, sekali kulit badan manus ia kena kese mprot, daging seketika me mbus uk. Apalagi serangan ini sering dilancarkan secata mendadak. ma ka ganasnya luar biasa.
Agaknya kedua laki2 baju hijau secara dia m2 telah dikisiki Hian- ih-lo-sat dengan ilmu mengirim gelo mbang suara, begitu lengan kanan Thong-pi--thian-ong terayun ke atas, serempak dengan cepat luar biasa mereka melo mpatjauh menghindarkan diri. Begitu air kuning itu menyemprot bagai kabut tebal me landa ke e mpat penjuru, kedua orang itu-pun sudah mundur setombak lebih.
Maka terdengarlah suara mendesis ra mai, air kuning itu muncrat bertaburan di atas tanah dan seketika menimbulkan kepulan asap kuning yang baunya teramat busuk. untunglah angin pegunungan lekas sekali meniupnya buyar.
Melihat se mprotan air beracunnya gagal, amarah Thong-pi-thian- ong semakin me muncak, ia menuding Hian- ih- lo-sat dan me mbentak: "Sundel, berani kau kerjai Lohu?"
"Baru sekarang kau tahu" jengek Hian-ih- lo-sat cekikikan- Berkerutuk gigi Thong-pi-thian-ong, hardiknya bengis: "Keparat,
ma mpus lah kau, e mpat titik ke milau kuning laksana e mas mendadak menjiprat ke keluar laksana sa mbaran kilat, itulah selongsong jari2 tembaga yang dia pasang pada ujung jari
tangannya. Maka terdengar Hian-ih-lo-sat menjerit kaget, mendadak tubuhnya roboh ke belakang. Thong-pi thian-ong tertawa dingin, ejeknya:
"Perempuan ja lang, sebetutulnya tiada niat Lohu, membunuhmu, kau sendiri yang cari ma mpus, jangan salahkan Lohu keja m"
Sembari bicara segera ia hendak me mungut kembali selongsong jari tembaga, mendadak kepalanya pusing, badan yang sudah terbungkuk ha mpir saja jatuh terjerembab.
Pada saat yang sama, kupingnya mendengar tawa ringan merdu, berbareng jalan darah di belakang batok kepalanya terasa sakit tertutuk. mata menjadi gelap. seketika dia jatuh tersungkur dan tidak ingat diri..
Hian-ih- lo-sat berdiri di belakang sa mbil tertawa cekikikan, di mana tangannya mengulap. dua orang segera maju mendekat, kata mereka sa mbil me luruskan kedua tangan: "Siancu ((dewi) ada perintah apa."?"
Hian-ih- lo-sat mengeluar kan sebuah botol porselin kecil serta menuang sebutir pil warna hijau ,gelap. dianggurkannya kepada kedua orang baju hijau, katanya: "Minumkan obat ini kepadanya."
Laki2 baju hijau sebelah kiri mengia kan, dia terima obat pil itu serta pencet dagu Thong-pi--thian-ong, pil itu terus dia jejal ke mulutnya. Hian-ih- lo-sat tertawa puas, katanya: "Bawa dia, sekarang kita boleh pergi"
oooooooooo
Sepanjang jalan Ling Kun-gi ber-lar i2 kencang, waktu terang tanah dia sudah tiba di cin--siang, ia cari hotel terus masuk ka mar, ia duduk se madi sa mpai lupa keadaan sekelilingnya.
Waktu mengakhiri se madinya, haripun sudah dekat tengah hari, kepada pelayan ia minta diantar makanan ke dalam ka mar, setelah kenyang dia salin pakaian, menyoreng pedang, setelah bayar rekening terus berangkat.
Tengah hari ra mai orang yang berlalu la lang dijalan raya, sudah tentu tak mungkin dia menge mbangkan Ginkang, tapi dari cin-s iang sampai ke Siau-s ian, jaraknya kira2 ada 200 li, ter-paksa dia beli kuda untuk mene mpuh perjalanan jauh ini.
Kuda dibedal terus sampai kehabiaan tenaga dan berbuih mulutnya, sebelum magr ib dia tiba di sebuah dukuh kecil, letaknya tidak jauh dari Pat-kong-san. Kebetulan di pinggir ja lan ada sebuah gubug yang mengibarkan panji bertuliskan "arak", kiranya warung arak tempat orang berteduh dari terik matahari dan sekedar istirahat. Setelah menempuh perjalanan setengah hari, lapar dan dahaga perut Ling Kun-gi, maka dia tambat kuda pada pohon di luar warung terus me masuki warung arak itu.
Tampak seorang laki2 berpakaian kasar tengah me mbersihkan meja. Kiranya hari menje lang magrib, pejalan kaki buru2 me lanjutkan perjalanan masuk kota, maka keadaan warung ini sepi.
"Pelayan, masih ada makanan apa, lekas keluarkan," begitu masuk Kun-gi terus minta makanan serta me milih te mpat duduk.
Pelayan mengawasi Kun-gi sejenak. sahutnya: "Tuan tunggu sebentar, makanan masih ada" buru2 dia berlari masuk.
Melihat langkah orang enteng dan gesit, diam2 tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Pakaian pelayan ini kelihatan kasar, gerak- geriknya kurang me madai, langkahnya gesit lagi, tempat ini sudah tidak jauh dari Pat-kong-san, bukan mustahil ini mata2 musuh? Aku harus berlaku hati." Demikian dia lantas waspada.
Lekas sekali pelayan tadi sudah keluar me m-bawa sepoci air teh dan sebuah cangkir, katanya sambil seri tawa: "Tuan, silakan minum dulu, bak-pau dan pangsit di warung kami me mang selalu sedia, sebentar lagi selesai dipanasi."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ada makanan apa pula boleh kau keluarkan saja."
Pelayan meng ia kan terus berlari masuk pula. Walau kerongkongan merasa kering, tapi Kun-gi tidak berani segera minum, ia keluarkan kantong sulam pe mberian Un Hoan- kun dan ambil sebutir Jing-sim-tan terus dikulum dalam mulut, lalu dia tuang secangkir teh dan ditenggak habis.
Tak la ma ke mudian pelayan sudah keluar me mbawa sepiring pangsit dan bakpau, katanya tertawa: "Tuan silakan mencicipi dulu."
Setelah meletakkan piring, matanya mengerling, dilihatnya Kun-gi sudah menghabiskan secangkir teh, seketika wajahnya menunjuk rasa senang. Tersipu2 dia a mbil poci serta menuang pula secangkir untuk Kun-gi, katanya tertawa: "Tuan mene mpuh perjalanan jauh, tentu haus, daun teh warung ka mi adalah Lo-san-teh keluaran Pat- kong-san yang segar dan nyaman rasanya, warnanya memang tidak sedap dipandang, tapi kental dan nikmat, cocok untuk menghilangkan dahaga."
Melihat gerak-gerik orang serta tutur kata-nya, Kun-gi tahu di dalam air teh pasti ditaruh apa2, namun dia sudah telan Jing-sin- tan, tak perlu takut muslihat orang, maka dia manggut2, kata-nya "Air teh ini me mang enak rasanya." se- cangkir penuh kembali dia tenggak habis, lalu bak-pau dan pangsit ganti berganti dia gasak pula.
Melihat secangkir teh habis pula, se makin riang hati pelayan, lekas dia tuang penuh pula se-cangkir. Sekejap saja Ling Kun-gi sudah lalap-habis sepiring bakpau dan pangsit, air tehpun entah sudah berapa cangkir masuk ke perut, katanya sambil angkat kepala: "Berapa duitnya?"
Habis berkata tiba2 dia pegang kepala sambil mengeluh ringan, katanya: " celaka, kenapa kepalaku jadi pusing?"
Sejak mula pelayan berdiri di sa mping me layaninya, segera dia unjuk seri tawa, katanya: "Mungkin tuan ter-buru2 mene mpuh perjalanan, badan penat tentu kepala pusing."
Sambil mengawasi pelayan, Kun-gi berkata: "Tidak mungkin, barusan aku segar bugar, kenapa mendadak. bisa pusing? Mungkin
..... kau ...... . mencampur apa2 di dalam air teh?"
Beberapa patah kata terakhir diucapkan dengan suara tidak jelas, badan menjadi le mas, kepala tertunduk ke atas meja terus pulas.
Pelayan itu tiba2 tertawa lebar, katanya puas: "Anak muda, bila kau sadar, tapi sudah terla mbat."
Dari dalam warung tiba2 berlari keluar seorang laki2 pula, serunya: "Sudah kau tundukkan bocah itu?"
Pelayan itu tertawa: "obatnya kutaruh satu lipat lebih banyak dari biasanya, me mangnya kuat dia bertahan? Bocah ini me ma ng luar biasa kekuatannya, orang lain seteguk saja pasti semaput, tapi dia hampir menghabiskan sepoci dan sepiring bak-pau dan pangsit, cit- ya bilang dia tidak takut racun, tadi juga aku kuatir kalau dia kebal dari Tip- gau--bi (masuk mulut semaput, na ma obat bius)."
"Kau tunggu dia sebentar, aku akan lapor kepada cit-ya," kata laki2 yang baru datang. Lalu melangkah keluar.
Sudah tentu semua percakapan mereka didengar oleh Ling Kun- gi. baru sekarang dia tahu duduk persoalannya, bahwa yang mengundang dirinya ke Pat-kong-san ternyata me mang betul Tong cit-ya adanya. Sudah tentu dia tidak berpeluk tangan me mbiar kan laki2 itu pergi me mberi laporan- Dia m2 jari tangan kanan menjentik, sejalur angin segera menerjang punggung laki2 yang sudah me langkah ke-luar pintu. Seketika laki2 itu me matung kaku di ambang pintu karena tertutuk Hiat-tonya.
Melihat te mannya berhenti di depan pintu, pelayan itu segera mendesak: "Katanya mau lapor kepada cit-ya, kenapa tidak lekas berangkat, kuda tunggangan bocah ini ditambat di luar pintu, apa pula yang kau tunggu?"
Karena Hiat-to tertutuk. badan kaku tak ma mpu bergerak, sudah tentu mulutnya juga kaku tak dapat bersuara. Keruan laki2 yang menya mar pelayan itu menjadi heran dan menggerutu: "Hai, cui- losam, kenapa kau?"
Baru saja selesai bicara, kupingnya tiba2 mendengar suara halus berkata: "Losam ke masukan setan, lekas kau saja yang lapor kepada cit-ya."
Pelayan berjingkat kaget seperti disengat kelabang, mata jelilatan mengawasi sekelilingnya, tapi dalam warung hanya Ling Kun-gi seorang dan tetap mendeka m di atas meja, sudah se maput minum obat biusnya lalu siapakah yang berbicara?
Tahu ada gejala2 ganjil, dengan jeri dia ber-kata: "Siapa kau?" Hanya dirinya yang masih segar bugar di dalam warung, tiada orang lain, sudah tentu tiada orang yang menjawab pertanyaannya.
Dengan me mbusungkan dada me mperbesar nyail, pelayan ini menjura kee mpat penjuru, katanya keras: "Sahabat dari mana kah yang bicara dengan cayhe? Kami dari keluarga Tong di Sujwan, atas perintah Tong cit-ya kami mela kukan suatu pekerjaan di sini, mungkin sahabat kebetulan lewat, umpama air sungai tidak bercampur air sumur, kuharap sahabat tidak menca mpuri urusan kami."
Kun-gi angkat kepala serta berkata tertawa: "Aku akan me mberi ampun pada mu, asal kau mau bicara terus terang."
Sudah tentu nelayan itu berjingkrak kaget pula, serunya dengan terbeliak: "Kau . . . . kau tidak se maput?"- Ada niat lari, tapi entah mengapa kedua kakinya tidak mau turut perintah lagi.
Kun gi mengawasi orang dengan tertawa, ka-tanya, "Bukankah tadi kau bilang cit-ya mengatakan aku tidak takut racun? Kalau racun aku tidak gentar, apa lagi obat bius, me mangnya aku gampang dibikin se maput?"
Gr metar badan pelayan itu, keringat dingin gemerobyos me mbasahi badannya.
"Saudara harap tenang2 saja, dihadapanku kau tidak bisa lari lebih t iga langkah," Kun-gi me m-peringatkan-
Laki2 itu me mang tidak berani bergerak. katanya tergagap: "Toaya, kau .... kau tentu tahu, hamba hanya menjalankan
perintah "
"Jangan cerewet, jawab pertanyaanku, di mana cit ya sekarang?" "cit-ya .... cit--ya sekarang berada di pat-kong- san."
"Pat-kong-san sebelah mana?" "Di rumah keluarga Go." "Siapa yang telah kalian culik?"
"Kabarnya seorang nona, dia adalah adik Toaya . ."
Heran hati Kun-gi, Entah nona siapa dan dari mana yang mereka culik, tapi orang mengatakan dia adikku? Maka iapun manggut2, katanya: "Baiklah, aku tidak akan menyakiti kalian, tapi kalian harus tetap di sini."
Sekali tuding dari kejauhan dia tutuk Hiat-to pelayan serta berkata dingin: "Hiat-to kalian hanya kututuk. setelah tengah mala m nanti baru akan terbuka sendiri."
Dengan langkah lebar dia keluar dan ce mpla k kudanya terus dibedal ke arah Pat-kong-san..
Lekas sekali dia sudah tiba di Pat-kong-san, tampak sebuah jalan besar yang dialasi papan batu, rata memanjang langsung menuju ke rumah milik keluarga Go di atas gunung.
Hari sudah gelap. tapi mata Ling Kun-gi dapat melihat di te mpat gelap. dilihatnya di depan ada sebuah hutan, di depan sana berdiri empat laki2 seragam hitam. Di sebelah belakangnya lagi adalah laki2 tua berjubah biru, usianya lebih dari setengah abad, kepalanya mengenakan topi yang bentuknya seperti semangka, mukanya kurus tepos, matanya bersinar terang, Thay-yang-hiat dikedua pelipianya menonjol, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang jago kosen me miliki kekuatan luar dala m, Tangan laki2 tua bertopi me megang sebatang pipa cangklong panjang, sikapnya dingin, dengan seksa ma dia mengawasi Kun-gi tanpa bersuara.
Tetap duduk dipunggung kudanya Kun-gi berkata dengan sikap angkuh:
"Ada apa?"
Salah satu keempat laki2 seragam hitam bersuara: "Kau siapa dan mau ke mana ?"
"Siapa aku dan ma u ke mana, peduli apa dengan kalian ?"
Laki2 yang bicara menarik muka, katanya: "Kau tahu menjurus ke mana jalan ini?"
"coba katakan, ke mana?"
"Jalan besar ini hanya menuju ke gedung keluarga Go." "Me mang aku mau ke te mpat keluarga Go."
Agaknya laki2 tua bertopi tidak sabar lagi, dia mengulap tangan menghentikan percakapan, kata-nya kepada Kun-gi: " Untuk keperluan apa tuan pergi ke te mpat keluarga Go?"
Kun-gi tertawa dingin, jawabnya: " Untuk apa aku ke mari?
Kenapa kau tanya aku ma lah?"
"Kalau saudara tidak ingin kena perkara, kuharap lekas putar balik saja," ancam laki2 tua ber--topi.
Menegak alis Kun-gi, tatanya: Justeru seba-liknya, keluarga Tong kalian yang sengaja cari perkara padaku."
Berubah air muka laki2 tua bertopi, katanya berat: "Setelah tahu siapa yang bertempat tinggal di te mpat keluarga Go sekarang, tapi kau masih meluruk datang?"
-o0dw0o-
"Kalau aku takut kena perkara, me mangnya aku berani datang?" ejek Kun-gi.
"Bocah so mbong," ma ki laki2 tua bertopi dengan gusar. Tiba2 dia berpaling kepada kee mpat laki2 seragam hita m, katanya sambil menuding Ling Kun-gi dengan pipanya: "Siapa diantara kalian yang berani meringkusnya?"
Dua orang segera tampil ke muka, masing2 me lolos golok di tangan kanan dan kiri, dengan lang- kah lebar mengha mpiri Kun-gi. Setelah dekat ke duanya sama2 angkat golok, bentaknya: "Saudara mau turun dan terima diringkus? Atau ingin kami ajar?"
Dengan tenang Kun-gi tetap bercokol di atas kudanya, katanya tertawa: "Boleh terserah apa ke-hendak kalian-"
Karena Kun-gi tetap duduk di punggung kuda, kedua orang ini tahu untuk me mbuatnya turun terpaksa harus meluka i kudanya dulu. Maka tanpa berjanji keduanya lantas me mbabat ke kaki kuda, mulutpun menghardik: "Bocah, menggelinding turun"
Berkerut alis Kun-gi, bentaknya: "Ada permusuhan apa kudaku dengan kalian?" Tiba2 ia me- mecut dengan ca mbuk di tangannya, "tarr", dengan tepat ujung ca mbuknya me mbelit pergelangan tangan laki2 di sebelah kanan- Laki2 itu menjerit keras, goloknya terlempar jatuh, sambil me megangi tangan dia menjerit2 sembar i berjongkok. Saking kesakitan keringat dingin sampa i ber-ketes2, terang lukanya tidak ringan-
cambuk Ling Kun-gi ternyata bergerak hidup laksana ular, baru saja di sebelah kanan me-nungging kesakitan, tahu2 bayangan cambuk sudah melecut ke sebelah kiri. "Tarr", telak mengenai pundak laki2 sebelah kiri. orang inipun menjer it kesakitan, goloknya entah mencelat ke mana, saking kesakitan dia ber-guling2 di tanah.
Kedua temannya gusar, segera mereka me m- buru maju seraya ber-kaok2, golok terayun terus menyerbu dengan beringas. Tapi baru saja mereka beberapa langkah di depan kuda, tiba2 terasa bayangan orang berkelebat, hakikatnya mereka tidak melihat jelas bagaimana Ling Kun-gi me lo mpat turun dari punggung kuda, tahu2 orang sudah berdiri di depan mereka.
Selama 300 tahun turun temurun, keluarga Tong malang me lintang di Kangouw dengan senjata rahasia beracun, tidak sedikit orange dari golongan hitam dan putih yang menghor mat dan mengikat persahabatan dengan mereka, soalnya juga karena jeri menghadapi senjata rahasia mereka yang beracun, maka jarang yang berani cari perkara pada mereka.
orang2 keluarga Tong sendiri juga jarang berkecimpung di dunia persilatan, oleh karena secara langsung menjadikan mereka t inggi hati, berpendapat bahwa orang2 Kangouw jeri dan tidak berani cari perkara pada keluarganya sehingga anak buah merekapun bertingkah laku kasar dan so mbong. Melihat Ling Kun-gi maju, kedua orang itu-pun tidak banyak cingcong, serentak golok mere-ka bergerak. sinar biru bersilang seperti gunting raksasa dan me mbacok miring ke tubuh Ling Kun- gi.
Jangan kira mereka hanya kacung keluarga Tong, maklumlah karena orang2 mereka tiada yang berkecimpung di dunia Kangouw, daripada iseng, maka mereka menghabiskan waktu untuk melatih diri. oleh karena itu setiap orang keluarga Tong, memiliki kepandaian silat yang lumayan- Busu atau guru silat yang biasa berkelana di Kangouw mung- kin hanya dalam gebrak sudah dapat dipukul roboh oleh mereka, Tapi hari ini mereka justru menghadapi Ling Kun-gi, seumpa ma telur me mbentur batu.
Begitu kaki hinggap di tanah, Kun-gi langsung menyongsong dua larik sinar biru secara bersilang yang menggunting tiba, dia tertawa lebar, katanya: " Kembali semua keroco tak berguna" mendadak dia gerakkan kedua tangan, sepuluh jari terbuka, masing2 mencengkeram ke batang golok lawan-
Dengan tangan kosong, ternyata dia berani tangkap golok yang tajam ma lah berlumu racun- Baru saja kedua laki2 itu melengak. tahu2 terasa tangan mengencang, golok mas ing2 sudah terpegang oleh musuh.
Sudah tentu kejut mereka bukan main, insaf menghadapi jago kosen, lekas mereka menarik sekuat tenaga. Tak tahunya golok mereka itu seperti terjepit tanggam raksasa, sedakitpun tak bergeming.
Kun-gi menyeringa i dingin, dia m2 ia kerahkan Lwekang, mela lui batang golok dia salurkan tenaga dalamnya.
Terasa telapak tangan tergetar, mendadak lenganpun menjadi linu, sudah tentu kedua laki2 itu tak kuasa me mpertahankan goloknya lagi.
Dengan mudah Kun-gi mera mpas golok kedua lawannya, mendadak golok terpencar ke kanan-kiri, gagang golok masing2 mengetuk ke arah kedua lawan- cara mengetuk dengan golok sebetul-nya bukan gerakan tipu apa2, tapi serangan di-lancarkan oleh Kun-gi, maka perbawanya tentu luar biasa, lain daripada yang lain-
Dikala kedua laki2 itu melo ngo kebingungan karena golok terampas lawan, mendadak lutut te-rasa kesakitan, mulut menjerit, kontan mereka roboh ke tanah.
Gerakan Ling Kun-gi secara beruntun ini dilakukan dengan cepat luar biasa, lompat turun dari kudanya sampai merebut golok serta mengetuk kedua lawan hanya berlangsung dalam sekejap. sampaipun orang tua bertopi yang berdiri menonton di sana hanya mengawasi dengan mendelong, tahu2 keempat pe mbantunya sudah diroboh-kan se muanya, untuk meno long juga tidak se mpat lagi. Keruan ia kaget bercampur gusar, sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa musuh yang masih begini muda me miliki kepandaian setinggi ini, sepasang matanya yang kelam seperti biji mata burung hantu mengawasi Kun-gi, bentaknya dengan suara berat: "Ternyata tuan me mang punya bobot, tak heran berani me luruk ke mari dan me mbuat onar.."
Seenaknya Kun-gi le mpar kedua golok ra mpasannya, dengan tertawa congkak dia berkata- "Aku datang me menuhi undangan, bukan sengaja mau mencar i onar, kalau saudara tidak ingin me mber i pengajaran, lekaslah menya mpaikan laporan, katakan bahwa aku orang she Ling telah datang."
Mendengar orang datang atas undangan sebetulnya si orang tua bertopi mau tanya. atas undangan siapa dia ke mari? Tapi serta mendengar kata2 terakhir yang bernada menantang serta mensindir se-akan2 dirinya tidak berani me lawannya, air mukanya menjadi gelap. katanya terkekeh di-ngin: "Bagus sekali, asal hari kau bisa menga lahkan Lo-hu, nanti pasti akan kulaporkan."
Ling Kun- gi ter-gelak2 lantang, ujarnya: "Bagus, apa yang kau katakan me mang menco coki seleraku."
Laki2 tua bertopi mendengus, pipa cangklong dia pindah ke tangan kiri, tangan kanan t iba2 ter-ayun, telapak tangannya yang hitam legam tahu2 menepuk ke dada lawan-. "Hek-sat-ciang," dia m2 berteriak dalam hati Kun-gi waktu melihat telapak tangan orang berwarna hitam..
Sudah tentu Kun-gi tidak gentar dan tidak unjuk kele mahan? Dia kerahkan lwekang di tangan kanan terus dorong ke depan, secara keras dia sambut pukulan lawan. Terdengar suara keras, pergelangan tangan Kun-gi tergetar kesemutan, dia tahu pukulan orang tua bertopi mengandung racun jahat, ma ka lekas dia merogoh ke kantong menggengga m Pi-to k-cu.
Laki2 tua bertopi juga terhe mpas mundur tiga langkah, darah bergolak dirongga dadanya, ia terkejut, batinnya "Bocah ini begini muda, darima na me mperoleh Lwekang setangguh ini?" Tapi wajahnya yang kurus tiba2 me ngulum senyum sadis, katanya mengulap tangan: "Bocah, lekas kau ke m-bali sana"
Ling Kun-gi berdiri tegak sa mbil bertolak pinggang, sahutnya pura2 keheranan: "Lho, kenapa, apa cayhe kalah?"
"Anak muda," laki2 tua bertopi terkial2, "ingat baik2, hari ini pada tahun depan adalah ulang tahun hari ke matianmu."
Kun gi tertawa tawar, katanya: "Kata2mu sulit kumengerti, agaknya kau mau bilang bahwa jiwaku takkan bertahan sampai ma lam ini?"
"Betul, me mang itulah maksudku."
"Aneh," kata Kun-gi dengan me mbadut, " kenapa cayhe sedikitpun t idak merasakan? Kuha-rap kau lekas melapor kan kedatanganku?"
Ternyata laki2 bertopi ini adalah cong-koan (kepala rumah tangga) keluarga Tong yang bergelar Hek -sat-ciang Khing Su-kwi, biasanya dia pendia m, banyak akal muslihatnya dan keji.
Terutama Hek-sat-ciang yang dilatihnya amat ganas karena menggunakan racun khas keluarga Tong sehingga lebih lihay dibanding Hek-sat-ciang yang biasa di kalangan Kangouw, setiap lawan yang terkena pukulannya dalam jangka setengah hari jiwanya pasti melayang kalau tidak diberi obat penawar tunggal buatan keluarga Tong pula.
Pemuda dihadapannya ini telah mengadu pukulan dengan dirinya, biasanya racun pasti sudah merembes ketelapak tangan dan tubuhnya, langsung menerjang jantung, bekerjanya racun juga jauh le-bih cepat dari luka2 di te mpat lain karena pukulan yang sama. Tapi pe muda ini tetap segar bugar, sedikitpun tidak menunjukkan gejala2 keracunan-
Keruan rasa kejut orang tua itujauh lebih besar dibanding terpukul mundur tiga langkah tadi. Dengan mende lik ia tatap Kun-gi dalam hati me ngumpat: " Keparat, bocah ini tidak takut racun?"
Mendadak dia manggut2, katanya: "Baiklah, mari biar Lohu menunjukkan jalan,"- la lu ia ber-anjak ke atas gunung melalui ja lan yang berian-das papan batu besar2 itu.
Ling Kun-gi tertawa dengan pongah, sambil menar ik tali kendali kudanya, dia ikut dibelakang orang. Jalan berbatu ini ternyata lapang dan halus, walau terus menanjak ke atas, tapi orang tidak merasakan le lah, deretan pohon2 siong dan pek yang sudah tua berjajar disepanjang jalan menuju ke atas. Tanpa terasa, mereka tiba dila mping gu-nung.
Disebelah depan adalah sebuah tanah lapang yang luas, cuaca meski gelap. tapi Kun-gi masih dapat melihat jelas lapangan luas ini sekelilingnya dipagari batu putih yang berukir, tumbuhan bunga beraneka warnanya sedang mekar semerbak di se-panjang pagar batu putih itu.
Disebelah depan sana adalah sebuah pintu gerbang besar dan tinggi dibangun dari mar mer hijau mengkilap. tepat diatas pintu gerbang terukir beberapa huruf yang berwarna menyolok dari dasar hijau berbunyi "Puri keluarga Go". Kedua pintu gerbang terpentang lebar. Di kedua sisi pintu tergantung dua buah lampion besar, di atas lampion ini bertuliskan huruf TONG, kiranya mereka menetap di rumah keluarga Go untuk se mentara. Di depan pintu berdiri dua orang laki2 baju hijau yang menyoreng golok, tegak tanpa bergerak. tak ubahnya seperti dua patung.
Hek-sat-ciang Khing Su-kwi me mbawa Kun--gi ke tengah lapangan- tiba2 dia berhenti dan berpaling, katanya dingin: "Sahabat, tunggulah di sini sebentar, Lohu akan masuk me mber i laporan- "- Lalu dia me langkah masuk ke pintu gerbang.
Ling Kun-gi menunggu dengan sabar, tak la-ma ke mudian tampak Khing Su-kwi sudah keluar pula me mbawa seorang laki2 berusia 50-an, alis go mbyok tebal, mata seperti burung hantu, mengenakan jubah panjang warna biru, sikapnya kelihatan angkuh.
Pada saat kedua orang ini muncul, dari kiri kanan pintu gerbang beruntun keluar pula delapan laki2 bertubuh kekar, berpakaian ketat, pakai ikat kepala, golok besar yang mereka bawa berkilau me mancarkan warna biru, semuanya serba biru.
Walau mereka tidak langsung mengepung Ling Kun-gi, tapi sigap sekali mereka sudah me me ncarkan diri, dari jarak kejauhan mereka menge lilingi tanah lapang ini. .
Sambil menggendong tangan Kun-gi berdiri di tengah lapangan, me lir ikpun tidak ke arah mereka. La ki2 jubah biru menatap dengan tajam ke arah Ling Kun-gi, lalu bertanya kepada Khing Su- kwi,
"Bocah inikah yang kau katakan?" Khing Su- kwi me ngiakan dengan hor mat.
Menyipit mata laki2 jubah biru, tanyanya dingin: "Siapa na ma mu?
Untuk apa ke mari?"
Kun-gi tetap berdiri tegak dengan sikap angkuh, diam saja seperti tidak mendengar tegur sapa orang.
"Anak muda," laki2 jubah biru menarik mu-ka, "Lohu bertanya padamu? Kau dengar tidak?"
"Tanya padaku ?" jawab Kun-gi sa mbil me-lirik, "Lebih baik kau sebutkan dulu siapa diri- mu ini?" Sedikit melenga k laki2 jubah biru, katanya: "Lohu Pa Thian-gi, kepala congkoan dari keluar-ga Tong di Sujwan-"
Kun-gi tetap menggendong kedua tangan, sikapnya sombong tidak hiraukan segala adat umumnya hanya mulutnya bersuara "ooo" saja.
Amarah me mbayang muka Pa Thian-gi katanya: "Sekarang katakan maksud kedatanganmu.."
"Kalau Pa- congkoan tidak tahu maksud kedatanganku, suruhlah Kwi- kian jiu Tong- locit ke-luar, dia tahu siapa diriku."
Berkerut alis Pa Thian-gi, katanya: "Jadi saudara mencari cit-ya, tapi cit-ya sedang keluar."
"Me mangnya dia takut mene mui aku. Kalau begitu bebaskan perempuan yang kalian culik itu," kata Kun- gi ketus.
Berjingkrak gusar Pa Thian - gi, bentaknya: "Anak sombong, jangan kau bertingkah di sini."
Sambil menarik alis Kun-gi balas me mbentak: " orang she Pa, orang she Ling ini datang menepati undangan, walau nona yang kalian culik bukan adikku, tapi aku orang she Ling sudah meluruk ke mari, maka nona itu harus kutolong, lekas suruh Tong cit-ya me mbebaskan dia."
"Kau bocah ini me mbual apa? Terus terang kuberitahu, cit-ya tidak di sini, lekas kau enyah saja."
" Kalian berani main culik, aku tidak peduli kalian dari keluarga Tong segala."
"Kau tahu kami dari keluarga Tong, berani kau ma in tuntut segala, besar sekali nyalimu."
"Siang hari bolong menculik pere mpuan, me mangnya kalian sudah lupa undang2 raja?" Mendelik mata Pa Thian-gi saking gusar, sam-bil mendongak ia ter-gelak2, katanya: "Bocah ini sungguh angkuh, berarti mencar i setori ke te mpat ini, hayo kalian bekuk dia."
Kata2nya yang terakhir ini me mber i perintah kepada delapan laki2 seragam biru yang berpencar di empat penjuru, dengan langkah enteng dan gesit cepat mereka merubung maju. Mereka berdiri dengan kedudukan Pat-kwa, beberapa kaki di sekeliling Ling Kun-gi mereka berhenti, lalu dengan serentak mereka saling geser kedudukan pula seraya mengeluarkan golok masing2 terus me mbaco k secara serabutan, Kun-gi merasakan sinar biru ber-lapis2 lak-sana gunung menindih dari bergagai arah.
Keruan kejut Kun-gi bukan ma in, dia m2 dia berpikir: "Agaknya mereka sudah siap menghadapiku, barisan golok ini sungguh lihay sekali." Otak bekerja tanganpun bergerak, "sret" tahu2 pedangnya dia lolos, selarik sinar hijau t iba2 mengelilingi tubuhnya menjadi semca m jaringan cahaya me m-bungkus badan-
Maka terdengarlah suara berdering keras dari kiri kanan, depan danbelakang, secara berantai senjata beradu keras.
Walau dalam scgebrak dia berhasil me mben-dung delapan golok lawan, Tapi hati sendiri juga mencelos, maklumlah barisan golok yang dilakukan delapan orang ini agaknya merupakan barisan tangguh yang amat dibanggakan oleh keluarga Tong di Sujwan, setiap orangnya masing2 me miliki kepandaian tinggi dan dige mbleng secara khusus.
Begitu barisan golok berke mbang, maka yang kelihatan hanya cahaya biru kemilau yang simpang siur menyamber kian ke mari, la ma kela maan se makin ketat dan ganas, sudah tentu Kun-gi terke- pung dan se makin se mpit ruang geraknya.
Betapapun tinggi ilmu silat Ling Kun-gi dibawah rangsakan sinar golok lawan yang hebat ini, dia rada terdesak juga, terasa ilmu pedang sen-diri yang lihay menjadi susah dike mbangkan- Su-dah tentu dia tidak tahu bahwa yang dihadapinya ini adalah Pat-kwa-to tin ( barisan golok Pat-kwa ) ciptaan keluarga Tong di Sujwan, walau tidak setaraf Lo-han-tin dari Siau- lim-si serta Ngo- heng-kia m-- tin dari Butong-pay, namun perbawanya juga amat mengejutkan, jarang tokoh2 Bu- lim yang terkepung oleh barisan golok ini ma mpu lolos dengan hidup,
Maklumlah keluarga Tong di Sujwan terkenal dengan racun dan alat2 senjata, bukan saja kedelapan orang ini mahir betul me ma inkan barisan golok. senjata merekapun dilumur i racun dan dina makan Thian-lan-hoa-hiat- to (golok langit biru peng luluh darah), disamping itu merekapun meya-kinkan ilmu senjata rahasia yang lihay dan banyak raga mnya. jurus terakhir dina makan Pat sian- hian-siu (delapan dewa merayakan ulang tahun), yaitu masing2 mende monstrasikan kepandaian ilmu senjata rahasia, delapan maca m senjata rahasia serentak memberondong ke satu sasaran, sebelum musuh ro-boh terkapar, serangan tidak akan usai.
Tujuh kali gebrakan telah berlalu, terasa oleh Kun-gi barisan golok lawan me libat dirinya sede-mikian kencang, ke mana dirinya bergerak sinar biru selalu mengikuti gerak langkahnya, dibabat tidak putus, ditusuk tak tembus, dibacokpun tidak pecah. Lama kela maan Kun-gi merasa sebal dan ma ngkel kalau dirinya selalu menjadi bulan2an musuh, kapan perte mpuran berakhir? Tiba2 pedangnya berputar, kaki menjejak dan tubuhpun me la mbung ke atas.
Di luar tahunya bahwa kedelapan orang ini dijuluki Tong- bun- pat-ciang (delapan jago keluarga Tong), ilmu silat masing2 me mang sangat tinggi, bila musuh melo mpat ke atas, merekapun turut me- ngapung ke atas dan golok mereka tetap merangsak secara bersilang dari delapan penjuru, tubuh musuh tetap menjadi sasaran-
Sejak berkelana di Kangouw, baru perta ma kali ini Ling Kun-gi benar2 merasakan betapa dahsyat dan berat pertempuran yang harus dihadap-inya ini. Badan yang terapung
mendadak dia bikin berat dan anjlok dengan cepat dari tangkas, sekaligus dia hindarkan tabasan delapan golok beracun, begitu kaki menginjak tanah selicin belut tubuhnya berputar dan berkisar untuk menerjang keluar kepungan barisan golok musuh. Di luar tahunya bahwa kedelapan lawannya juga sudah gemblengan, ilmu silat dan pikiran mereka boleh dikatakan sudah bersatu padu, be-kerja serasi dan ketat- Begitu golok me mbaco k tempat kosong, sigap sekali merekapun turun- Deliapan orang tetap pada posisi semula, sedikitpun tidak kacau, delapan larik sinar biru ke mbali me-nyamber.
congkoan Pa Thian-gi berdiri diundakan dengan air muka me mbes i kereng. terdengar suaranya membentak: "Anak muda, sekarang buang pedangmu, mas ih ada harapan jiwamu akan hidup,"
Mendengar seruaa congkoan mereka, kedelapan orang itupun ikut me mbentak^ "Anak muda, congkoan suruh kau me mbuang pedang, lekas menyerah?"
Terkepung di tengah, Kun-gi menjadi berang, serunya lantang. " Orang she Pa, soalnya aku tidak ingin melukai orang tanpa sebab, kau kira barisan golok ini dapat mengurung diriku?" Di tengah alunan suaranya pedangnya menusuk dengan jurus aneh dan lihay, tampak selarik sinar le mbayung yang menyilaukan mata tiba2 menya m-ber ke samping terus barputar keluar.Jurus ini adalah Liong- can- gi- ya (naga bertempur di sawah), merupakan salah satu jurus dari delapan jurus ilmu pedang warisan keluarganya. Gurunya pernah berpesan, tiga macam ilmu silat warisan keluarga- nya tidak boleh sembarangan dipertunjukkan sela-ma menge mbara di Kangouw, Tapi sekarang dia di-paksa oleh keadaan demi me mpertahankan diri.
Hanya sekejap saja, terdengar suara berde-ring keras danpanjang secara beruntun, kedelapan laki2 baju biru hanya merasa pandangan kabur dan silau oleh sa mberan sinar terang, tahu2 pergelangan tangan tergetar lemas dan linu, Thian-lan--hoa- hiat-to buyar, hampir dalam waktu yang sama golok mereka terpental lepas dan berjatuhan mengeluarkan suara kerontangan di atas lantai batu.
Sudah tentu kedelapan lelaki itu melenggong dan me matung sesaat oleh serangan lihay dan tak terduga ini, tiada yang tahu cara bagaimana golok mereka bisa terlepas sehingga mereka mende lik saja mengawasi Ling Kun-gi.
Hebat perubahan air muka Pa Thian-gi, mendadak dia tepuk kedua tangan, serunya: " Kalian tunggu apa lagi?"- kata2 ini berarti aba2 pula ter-hadap kedelapan laki2 baju biru itu.
Dengan ter-sipu2 kedelapan orang itu serempak me lo mpat jauh ke belakang, delapan tangan serentak terayun pula, bintik2 biru ke milau yang tak terhitung jumlahnya sama me luncur ke arah Kun- gi berdiri.
Tapi saat itu juga Kun-gi tahu2 sudah berada didepan Pa Thian- gi, ujung pedang yang ke- milau telah menganca m tenggorokannya, katanya dingin: " orang she Pa, berani kau bergerak segera kutusuk tenggorokanmu."
Bahwa Pa Thian-gi bisa diangkat sebagai kepala congkoan keluarga Tong, sudah tentu dia me miliki kepandaian silat yang dapat diandaikan, tapi sekarang hakikatnya dia tidak melihat sesuatu dan Ling Kun-gi tahu2 sudah berada di depan dan menganca m tenggorokan-dengan pedang. Keruan wajahnya seketika pucat berkeringat, tapi tidak berani bergerak sedikitpun.
Hek-sat-ciang Khing su- kwi berdiri di sa mping Pa Thian-gi, orang ini lebih licik dan nakal, melihat gelagat jelek tanpa bersuara mendadak telapak tangannya menepuk ke iga Ling Kun-gi. Se- rangan ini dilakukan dalam jarak dekat, dilancarkan secara mendadak serta berusaha menolong atasan- nyalagi, sudah tentu lihay luar biasa.
Seperti tumbuh mata dibelakang kepalanya, tanpa menoleh Kun- gi geraki tangan kanan, dengan jurus Ji-jiu-po- llong (tangan kosong me mbe kuk naga) cepat laksana kilat, tahu2 pergelangan tangan Khing Su- kwi sudah terpegang terus dikipatkan ke belakang.
Tiada kee mpatan sedikitpun bagi Khing Su-kwi untuk me mpertahankan diri, seperti orang2an ter-buat dari damen, tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting di tengah lapangan- Untung ke delapan orang yang menimpuk senjata rahasia itu sudah menghentikan serangannya karena bayangan Kun-gi sudah lenyap secara mendadak. kalau tidak tentu badan Khing Su- kwi yang menjadi sasaran- Gusar serta malu, tapi Pa Thian-gi tak berani bergerak. dengan ganas ia me mbentak: "Apa keingin-anmu saudara?"
"Tunjukkan jalan" sahut Kun-gi angkuh. Ge mobyos keringat Pa Thian-gi, tanyanya: "Kau ingin berte mu dengan siapa?"
"Sudah tentu majikanmu," sahut Kun-gi ketus. "Kau .." gugup dan gelisah suara Pa Thian-gi.
Tanpa me mberi kese mpatan orang bicara, tiba2 Kun-gi tarik pedangnya, katanya dingin, " orang she Pa, me mbaliklah pelan2 dan masuk ke dala m, kuharap kau tahu diri, dihadapan orang she Ling- menggunakan pedang atau tidak. sama saja, sedikit kau mengunjuk gerakan mencuriga kan, selangkah-pun jangan harap kau bisa lari."
Kalau di waktu biasa tentu Pa Thian-gi t idak percaya, tapi kini kata2 ini diucapkan dari mulut Ling Kun- gi, mau tidak mau dia harus percaya dan betul2 tidak berani banyak tingkah.
Maklumlah kepandaian silat anak muda ini sungguh a mat tinggi dan sukar diukur, berani ber-kata tentu orang berani mela ksanakan ancamannya. Memangnya manus ia mana di kolong langit ini yang berani me mpertaruhkan jiwa sendiri dengan maut? Tanpa bersuara pelan2 Pa Thian-gi me mbalik tubuh, kini teng gorokan ada di depan, tapi masih serasa seperti ada pedang yang tidak kelihatan menganca m di lehernya.
Untung pedang tidak terasa mengancam punggungnya, maka dengan leluasa ia berjalan masuk. ia tahu orang suka member i muka kepada dirinya.
Sebenarnya Ling Kun-gi tidak pandang sebelah mata pada congkoan keluarga Tong ini. Se-baliknya bagi Pa Thian-gi, meski dirinya digusur masuk. Tapi bagi pandangan orang lain se-olah2 Pa Thian-gi menunjuk ja lan dan mengiringi Kun - gi masuk ke dala m. Sudah tentu hal ini jauh lebih terhormat daripada diancam dengan ujung pedang.
Begitulah dia jalan di depan, sementara pe-dang Ling Kun-gi sudah dimasukkan kedalam sarungnya, langkahnya mantap mengikut i orang ke-dala m.
Di depanpintu terjaga pula oleh empat orang laki2 baju hitam bergolok, melihat Pa-Congkoan masuk mengir ingi ta mu, sudah tentu mereka tidak berani mer intangi. Masuk pintu ke dua terlihatlah cahaya lampu terang benderang di ruang tengah, diantara undakan di serambi luar sana, berjajar empat perempuan yang bersenjata Thian-lan-to k-kia m. Usia keempat pere mpuan ini rata2 sudah lebih 40, masing2 me mbawa kantong kulit di kiri kanan pinggang, tangan kiri semuanya mengenakan sarung tangan yang ter-buat dari kulit menjangan-
Kerai bambu menjuntai menutupi pintu besar, terdengar suara serak suara seorang perem-puan tua berkata dari balik kerai sana: "Pa-cong-koan, kudengar katanya ada orang ma mpu me mecahkan Pat-kwa-to-tin kita?"
Bergegas Pa- congkoan beranjak tiga langkah serta membungkuk di undakan, serunya: "Hamba me mang ke mar i untuk me mber i laporan kepada Lohujin ( nyonya tua ), orang ini she Ling, dia minta bertemu dengan Lohujin."
Melengak Kun-gi mendengar ucapan ini, batin- nya: "Yang kucari adalah Kwi-kian-jiu Tong cit-ya, kapan aku pernah bilang hendak mene mu nyonya tua ini?"
Terdengar perempuan tua di dalam berkata pula: "Mana orangnya?"
Pa Thian-gi menjura pula, sahutnya: " Lapor Hujin, hamba sudah me mbawanya ke mar i."
Terdengar perempuan tua mendengus, jengek-nya: "Kalian sudah kecundang bukan?" Keringat dingin ber-ketes2 me mbasahi badan, Pa Thian-gi bungkam t idak berani bersuara.
"Baiklah," suara perempuan tua lebih sabar dan lamban, "Bawa dia masuk"
Pa Thian-gi mengia kan, cepat dia membalik, wajahnya tampak mena mpilkan senyuman sinis, katanya^ "Saudara Ling, mari masuk bersama ku."- Lalu dia mendahului masuk ke dala m.
Ling Kun-gi tidak bersuara, dia ikuti orang naik ke undakan, dua orang perempuan baju hitam maju dari kiri kanan menar ik kerai ke atas dan me mber i jalan kepada mereka.
Empat la mplon besar tergantung di empat penjuru ruang pendopo besar dan luas ini, tepat di tengah tergantung pula sebuah la mpu kaca yang berbentuk menyerupai sekuntum bunga teratai, maka keadaan ruang pendopo terang benderang se-perti siang hari.
Sebuah kursi terbuat dari kayu cendana yang terukir indah berduduk dengan angkernya seorang perempuan tua berbaju kuning, wajahnya putih ber-sih, tapi kaku dingin, rambutnya sudah ubanan di-ikat kain hitam, tepat ditengah ikal ra mbutnya ter-tancap sebentuk mainan batu Giok yang berbentuk persis dengan kelelawar, tangan kanan memegang sebatang tongkat berkepala burung, usianya antara 60. Dua gadis baju hijau pelayan pribadinya berdiri mengapit di kiri- kanan, pedang pendek tergan-tung di pinggang mas ing2.
Tepat dibelakang kursi berdiri seorang nyonya muda yang cantik, sikapnya anggun, kalau dia bu-kan menantu si pere mpuan tua, mungkin puterinya.
Begitu me masuki ruang pendopo, langkah Pa- congkoan dipercepat dengan sedikit munduk2, se-runya: "Hamba menya mpaikan se mbah bakti kepada Lohujin dan Siauhujin-"
"Pa- congkoan tidak usah banyak adat," pe-rempuan tua mengebaskan lengan baju. Mulut bicara, namun biji matanya yang berkilat menatap Ling Kun-gi, lalu tanyanya dingin: "Pa- congkoan, anak muda inikah yang mau mene muiku?"
Pa Thian-gi mengiakan sa mbil me mba lik badan, katanya pada Kun-gi: "Saudara Ling bilang mau mene mui Lohujin, nah, beliau inilah Lohujin-"
Pelan2 Kun-gi melangkah maju, dia me mber i hor mat dan berkata: "cayhe Ling Kun-gi, me m-beri hor mat kepada Lohujin-"
"Anak muda," ujar Tong-lohujin, "katanya di luar tadi kau berhasil menghancur kan Pat-kwa-to-tin ka mi, sungguh hebat kau ini." Nadanya dingin, jelas hatinya mendongkol dan kurang senang,
Kun-gi tertawa, katanya. "Maaf Lohujin, demi me mpertahankan diri terpaksa Cayhe melakukan apa saja yang bisa dilakukan, tapi dalam hal ini aku cukup menaruh belas kasihan, tiada seorang-pun yang kulukai."
Sedikit berubah rona muka Tong-lohujin, "Kalau begitu kau telah bermurah hati, bagaimana kalau kau tidak menaruh belas kasihan? Kau bunuh mereka se mua?" Menegak alis Ling Kun-gi, katanya dingin:
"Mereka tidak dapat me mbedakan salah dan benar, mengepung orang dan turun tangan dengan keji, umpama cayhe tidak mena matkan jiwa mereka, sedikitnya pasti kukutungi lengan mereka yang menyerang dengan senjata beracun."
"Anak muda," semprot Tong-lohujin, "takabur betul kata2 mu, jangan kau me mandang rendah ter-hadap anggota keluarga Tong kami."
"Kurang tepat ucapan Lohujin," ujar Kun-gi, "dalam kalangan Kangouw hukum r imba sering terjadi, siapa le mah dia gugur dan si kuat sering me nindak yang le mah. cuma keluarga Tong kalian cukup terkenal, seharusnya kalian bertindak menurut aturan-"
"Dalam hal apa kami tidak beraturan?" bentak Tong lohujin gusar. "Kalau Lohujin pegang aturan, coba tanya kepada Pa- congkoan, cayhe datang atas undangan, tapi orang kalian main cegat dan menyerang, kalau cayhe tidak ma mpu me mpertahankan diri, sejak tadi sudah terkapar ma mpus di tengah hutan sana."
"Pa-congkoan," seru Tong-lo hujin, "apa betul ucapannya?" "Menurut laporan Khing-hucongkoan," de mikian Pa Thian-gi
menje laskan, "orang ini naik gunung mencari setori, karena sukar dilayani, terpaksa hamba suruh mereka menghadapinya dengan barisan golok."
"Kau tidak tanya maksud kedatangannya?" desak Tong- lohujin.
" Ha mba, sudah tanya, dia menuduh kita menculik pere mpuan baik2, dia menuntut supaya kita me mbebaskan pere mpuan itu," demikian Pa-cong- koan menerangkan.
"Betulkah kalian menculik pere mpuan baik2?" desak Tong-lohujin pula.
Gugup sikap Pa Thian-gi, sahutnya: "Harap Lohujin maklum, mana ka mi berani melakukan perbuatan serendah ini?"
Sorot mata Tong-lohujin beralih ke arah Ling Kun-gi, tanyanya: "Anak muda, kau minta bertemu dengan Losin (aku), maksudmu hendak me-nuntut pe mbebasan pere mpuan itu?"
"Terus terang cayhe tidak tahu bahwa Lohujin ada di sini, jadi tiada maksudku ingin mene mui Lohujin," sahut Ling Kun-gi terus terang.
"Lalu kau cari siapa."
"cayhe ingin mene mui Kwi- kian-jiu Tong cit-ya. ." "Jadi Lo-cit yang menculik pere mpuan itu?"
"Betul, dia menculik seorang pere mpuan, dia kira pere mpuan itu
adalah adikku, maka dia tan-tang aku datang ke Pat-kong-san ini," lalu dari sakunya Kun-gi, keluarkan surat undangan itu katanya mena mbahkan: "Ada surat ini sebagai bukti harap Lohujin me mer iksanya . "
Seorang pelayan perempuan segera maju me-nerima surat itu terus dipersembahkan kepada Lo-hujin.
Setelah me mbaca surat itu, Tong-hujin me ngernyitkan kening, tanyanya^
"Kau tahu siapakah pere mpuan yang diculik Lo cit?"
"cayhe tidak punya adik, siapa pere mpuan yang dia culik, cayhe tidak tahu, tapi dia menculik lantaran cayhe, terpaksa kudatang ke mari menuntut pe mbebasannya."
Tong-lohujin manggut2, katanya: "Memang betul ucapanmu, lalu barang apa yang kau bawa?"
"Hal ini cayhe sendiri juga kurang jelas, ke marin tengah hari waktu cayhe lewat perbatasan, Tong cit- yadan anak buahnya mencegat serta menuntut barang yang kubawa, sampai sekarang cayhe belum tahu apa tujuannya, mencegat dan ingin mera mpas barangku?"
Tampak marah mimik wajah Tong-lo hujin, katanya kepada Pa Thian-gi: "Pa- congkoan, apa saja yang kau urus sela ma ini? orang datang minta bertemu dengan secara hormat, kalau Lo-cit me lakukan kesalahan, kenapa kau bela perbuatannya? Sungguh me ma lukan dan merendahkan derajat ke-luarga Tong kita."
Ter-sipu2 Pa Thian-gi munduk2, serunya:
"Ha mba me mang pantas mati, harap Lohujin suka me mberi ampun- "
"Jangan banyak bicara lagi, di mana Lo cit?" "cit-ya tidak ke mari . . . ^ "
Tong-lohujin mengetuk tongkat di atas lantai, serunya mur ka: "Sekarang juga kalian pergi mencarinya dan suruh dia segera ke mari. Keluarga Tong dari Sujwan sa mpai main culik dan peras segala, betapa memalukan kalau sa mpai hal ini tersiar di kalangan Kangouw? Hayo lekas cari dia ke mar i."
Tak berani ayal, cepat Pa Thian-gi berlari keluar dengan langkah ter-gopoh2.
"Anak muda," kata Tong-lo hujin ke mudian, "Kau sudah dengar, orang2 keluarga Tong tidak seluruhnya jelek seperti dugaanmu. Besok sebelum tengah hari kau boleh ke mari lagi, walau perempuan itu bukan adikmu, Los in akan serahkan dia pada mu dan kau boleh menge mba likan dia keru- mahnya, kau terima tidak?"
Ling Kun-gi menjura, serunya: "Lohujin ber-pesan, cayhe terima dengan senang hati".
"Baik, besok sebelum tengah hari, kau boleh ke mar i mene mui Los in pula."
"Kalau begitu, cayhe mo hon diri."
Setelah meninggalkan puri milik keluarga Go, segera Kun-gi ke mbangkan ilmu ringan tubuh langsung ke mbali ke kota, setelah me lo mpati te m-bo k kota, dia menyelundup melalui tempat sunyi terus berlenggang dijalan raya. Malam belum larut, maka suasana masih cukup rama i, setelah pu-tar kayun dijalan raya sebentar, Kun gi me mbelo k ke sebuah jalan, di sana ada sebuah hotel ber-nama Siu-jun, keadaan di sini tenang dan tenteram di tengah kerama ian kota.
Belum lagi Kun-gi me masuki pinto, seorang pelayan sudah menya mbutnya munduk2 menyilakan masuk. Dengan langkah lebar Ling Kun-gi masuk ke situ, pelayan lain me mbawanya ke sebuah kamar kelas satu, servicenya memang cukup me mu-askan-
Setelah me mbersihkan badan dan makan ala kadarnya, Ling Kun- gi menanggalkan pedang di atas ranjang dan duduk menyandang secangkir teh, pikir-annya mengenang ke mbali pengala man sejak mulai dari Kayhong waktu menguntit si baju biru, yang kini diketahui bernama Dian-ko ngcu serta kejadian sepanjang penguntitan ini. Yang terang banyak orang dari berbagai kelo mpo k juga mengikut i je-jaknya.
Terkenang olehnya Un Hoan- kun, si jelita yang ramah dan anggun- Diapun tak bisa melupa-kan gadis baju cokelat yang lincah dan berbudi halus, dia hanya tahu gadis menggiurkan ini she Pui. Dia terkenang pada Un Hoan-kun, tapi juga rindu pada gadis baju cokelat. Terasa kedua no-na ini bak sekuntum bunga, yang satu merah dan yang lain kuning, sama mo lek dan indah, sukar dipilih mana lebih cantik. Laki2 umumnya suka mengagumi paras cantik, apalagi Ling Kun-gi, pemuda yang baru menanjak dewasa, pe muda yang mula i menda mbakan jenjang as mara, Lama sekali dia termenung sa mbil mengawasi langit2 ka mar, tanpa sadar ia mengulum senyum manis.
Bagi Kun-gi baru pertama kali ini dia me-ngecap manisnya cinta, belum lagi dia rasakan getirnya permainan cinta itu. Lama kela maan dia merasa badan penat dan kepala sedikit berat, tanpa ganti pakaian dia terus merebahkan diri di atas ranjang, tapi sekian la manya tetap tidak bisa pulas. Tanpa terasa dari kejauhan terdengar kentongan kedua.
Se-konyong2 didengarnya di luar jendela ada suara keresekan. Suara lambaian pakaian yang me luncur turun serta terdengar suara kaki hinggap di tanah, lalu mende kati jendela. orang ini jelas menahan napas, cukup la ma dia berdiri di luar jendela.
Sudah tentu semua ini tidak dapat mengelabui Kun-gi, tapi dia ingin tahu apa ma ksud ke-datangan orang "pejalan ma la m" ini, maka dengan sabar dia menunggu dan pura2 tidak tahu.
Setelah menunggu sebentar dan tidak terdengar suara apa2 di dalam ka mar, pejalan ma lam di luar itu agaknya tidak sabar lagi, dari luar jendela dia berkata dingin: "Ling Kun-gi, keluarlah kau"
Kata2nya tidak keras, umpama Kun-gi sudah tidur pulas, pasti juga mendengar suara ini. Makulumlah setiap insan persilatan walau dalam keadaan tidur nyenyak. dia tetap berlaku waspada, re- aksinyapun sigap dan cepat, apalagi Ling Kun-gi me miliki kepandaian tinggi, seharusnya sudah tahu akan kedatangannya ini. Bahwa dia diam menunggu di luar, maksudnya juga supaya Ling Kun-gi me mburu keluar, karena Kun-gi t idak menunjuk reaksi apa2, terpaksa dia bersuara.
Karena orang telah menantangnya keluar, tak bisa Kun-gi berpeluk tangan, mulutnya segera menghardik tertahan: "Siapa?" Sekali lo mpat turtun ranjang, sekenanya dia mengenakan mantel sembari meraih pedang, sekali dorong jendela, ba-gai burung tubuhnya melayang keluar jendela. Waktu kakinya menginjak tanah di luar pekarangan, tampak di atas wuwungan didepan sana berdiri sesosok bayangan kecil kurus.
Melihat sikap orang yang menantang Kun-gi menjadi gusar, sekali enjot kaki, badannya melen-ting ke atap rumah, sekali tutul lagi dia me lesat ke arah bayangan itu.
Begitu Kun-gi menubruk datang, bayangan itupun cepat me layang pergi, beruntun beberapa kali lompatan, pesat sekali tubuhnya sudah melayang kewuwungan rumah yang la in, dengan jalan main lo mpat di wuwungan rumah dia terus kabur laksana terbang ke arah barat.
Karena orang tunjuk nama dan menyuruhnya keluar, sudah tentu Kun-gi tidak mau lepas orang pergi, segera dia kerahkan tenaga, dan mengejar dengan kencang.
Kejar mengejar terjadi, bayangan mereka me-lesat di tengah udara. cepat sekali mereka sudah berada di tempat belukar yang sepi di luar kota sebelah barat. Ginkang orang itu me mang tinggi, tapi dibanding Ling Kun- gi masih kalah setingkat, maka dalam kejar mengejar ini jarak kedua pihak sema kin dekat.. setiba di luar kota jarak antara kedua orang hanya tinggal tiga tombak saja.
Pada saat berlari kencang itu, bayangan kecil kurus di depan mendadak me mbalik tubuh, tangan terayun dan mulut menghardik: "Awas serangan- Setitik bayangan langsung menerjang ke muka Ling Kun-gi. Tidak me ngira bakal diserang, cepat Ling Kun-- gi mengerem langkah seraya ulur tangan menangkap senjata rahasia itu, kiranya hanya sebutir batu. Begitu dirinya berhenti, bayangan itupun sudah ber-henti serta berpaling .Jarak kedua orang kini hanya setomba k lebih.
Ling Kun- gi mengawasi dengan tajam, dilihat-nya orang mengenakan topi beludru, wajahnya kuning, perawakannya kecil kurus, pakaiannya ketat serba hitam, pedang panjang digendong dipunggung- nya, muka kelihatan jelek tapi sepasang matanya sedemikian bening, cerah dan bersinar.
Di kala dia mengawasi orang, orangpun mengawasi dirinya. Kun- gi merasa belum pernah meli-hat orang ini. Keadaan sekeliling sunyi senyap. tidak terlihat adanya tanda2 perangkap di sini? Dia m2 ia heran, tak tahan Kun-gi bertanya: "Tuan me mancingku ke mari, entah ada petunjuk apa?"
"Kau inikah Ling Kun-gi?" rendah suara si baju hitam itu. "Betul," sahut Kun-gi, "entah siapakah tuan ini?"
"Tak perlu kau tanya siapa aku," dingin nada orang itu.
"Baiklah, sekarang coba jelaskan maksudmu?" Pelan2 orang itu menurunkan pedang dari punggungnya, katanya: "Kudengar kau mengagulkan kepandaianmu yang tinggi dan konon tiada bandingan di kolong langit ini."
Kun-gi me lenggong, katanya tertawa tawar: "Mungkin saudara salah dengar, selamanya belum pernah aku mengagulkan ilmu silatku, apa lagi tiada bandingan segala."
"Aku tidak peduli kau berani bilang de mikian atau tidak, kupancing kau ke mari, ingin kujajal ke-pandaianmu, bukankah kau me mbawa pedang pu-sa ka? Nah, marilah kita bertanding ilmu pedang."
sekilas Ling Kun-gi pandang pedang pusaka ditangan kirinya, katanya: "Apa perlu?" " Kecuali kau t idak berani atau menyerah kalah kepadaku."
Menyipit mata Kun-gi, katanya tegas: "Pedang adalah senjata tajam, kita belum saling kenal, tidak pernah bermusuhan lagi, kenapa harus bertanding pedang?"
"Aku ingin me nentukan siapa lebih unggul di antara kita, setelah kau berada di sini, mau atau tidak harus bertanding juga."
"Tuan dihasut orang atau atas keinginanmu sendiri." "Tiada orang menghasutku, atas keinginanku . . ."
"Kalau demikian silakan tuan ke mbali, maaf aku tidak bisa
me layani," habis berkata Kun-gi terus putar tubuh hendak pergi. "Ling Kun-gi," bentak orang itu, " berdirilah ditempat mu" "Tuan mas ih ada urusan la in?"
Sambil mengacung pedang orang itu berkata: "Kau mau pergi, temanku ini yang keberatan."
Gusar Kun-gi tapi dia tetap bersabar, kata-nya: "Agaknya tuan mahir ilmu pedang, tentunya kaupun tahu belajar ilmu pedang bukan untuk pa mer atau buat adu kekuatan segala, tanpa sebab cayhe tidak akan se mbarangan menggunakan pedang kau boleh ke mbali saja."
"Tidak bisa," seru orang itu.
"Sejak cayhe belajar pedang, selamanya me m-batasi diri dan tidak suka se mbarangan bergebrak dengan orang lain."
"Aku tidak tahu apakah itu larangan atau kebiasaan, dua ke mungkinan kau hadapi sekarang, setelah itu baru kau boleh pergi."
Bersinar mata Ling Kun-gi, tanyanya: "Dua ke mungkinan apa?" "Kau mengalahkan pedangku ini atau buang pedangmu serta
menyerah kalah." Semakin terang sinar mata Ling Kun-gi, katanya kalem: "Kuharap kau tahu diri, jangan menyudutkan orang sede mikian rupa."
Berkedip orang itu, katanya tertawa dingin: "Kucari kau untuk bertanding pedang, jangan bilang ma in paksa segala."
"cayhe tadi sudah bilang tidak akan se mbarang menggunakan pedang."
"Kalau kau tidak mau bertanding, boleh kau lempar dan tanggalkan pedangmu di sini, kalau tidak mau menyerah, nah layani diriku, kita tentukan siapa lebih unggul siapa asor. Kukira murid Hoan-jiuji-lay tentu bukan kantong nasi belaka."
Me mancar terang sinar mata Ling Kun- gi, mendadak sikapnya berubah kereng, katanya tertawa lantang: "Saudara menantang tanpa alasan, demi me mpertahankan nama baik perguruan, terpaksa kulayani tantanganmu." dengan tangan kanan segera dia lolos pedangnya.
"Kau sudah siap?" tanya orang itu dengan tertawa senang. "Tunggu sebentar," seru Kun-gi.
Kun-gi, pikirnya: " ilmu pedang apakah ini? Begini licin dan ganas, agaknya aku terlalu pandang enteng padanya."
Sedikit menar ik napas, gaya pedangnya tiba2 mengikuti gerak lawan, pedangnya ditekan menindih pedang lawan. Sebat sekali lawan ke mbali menarik pedangnya, tapi setelah pedang tertarik ke belakang, tiba2 cahaya gemerlapan, sekaligus ia menusuk pula lima kali. Kelima tusukan pedang ini boleh dikatakan dilancarkan dalam satu gerakan, cepatnya tak terukur sehingga ta mpaknya hanya sekali tusuk saja,
Kun-gi bergerak mengikuti gaya pedang musuh, beruntun iapUn balas menyerang lima kali, malah kelima jurus serangan balasan ini serba ragam arahnya, enteng dan cekatan, kedua pedang saling samber dan mene mpel, tapi t idak sa mpa i menerbitkan suara. Agaknya si baju hitam tidak menduga dibawah serangan gencar lima kali tusukannya tadi Ling Kun-gi mas ih ma mpu melancar kan serangan balasan malah, keruan dia tertegun, serta merta dia terdesak mundur dua langkah.
Dengan dongkol dia menggerung tertahan, tiba2 ia menubruk maju pula, beruntun secara berantai dia lancarkan delapan kali serangan. Begitu hebat serangan ini sehingga mata orang serasa silau. Naga2 nya dia sudah keluarkan seluruh ke ma mpuan ilmu pedangnya.
Sayang hari ini dia kebentur Ling Kun-gi. Anak muda itu tertawa, katanya kalem: "Hati2 lah kau." Mendadak pedang dia pindah ke tangan kiri, tubuh bergerak laksana angin berkisar ke kiri terus mendesak maju, mendadak sinar pedangnya berke mbang, lalu menerjang miring laksana sinar perak. "creng" benturan keras me me kak telinga, kedelapan jurus serangan si baju hitam seketika sirna tanpa bekas. Karena tekanan tenaga benturan yang keras itu, pedang di tangannya itu tak kuasa dipegang lagi dan terlepas terbang ke belakang, menyusul terdengar jeritan kaget melengking tajam.
Sejak tadi si baju hitam bicara dengan suara rendah dingin sehingga sukar dibedakan dia laki2 atau perempuan, kali ini dia menjer it melengking tanpa terduga2 dan keluar dengan suara aslinya, suara nyaring merdu ini terang keluar dari kerong-ko ngan seorang gadis.
Begitu mendengar teriakan nyaring ini, lekas Kun-gi tarik pedang dan melo mpat mundur, dengan tajam ia mengawasi orang.
Topi yang dipakai orang itu tadi sudah ditabasnya jatuh, maka tertampaklah ra mbutnya yang panjang hitam legam terurai dipundak. Lekas dia je mput pedangnya, dengan mendelik gusar dia tatap Ling Kun-gi sekejap terus tinggal lari pergi.
Kun gi tidak kira bahwa lawannya pere mpuan, sesaat dia berdiri me longo. Pada saat dia berdiri menjublek inilah, tiba2 dilihatnya tiga titik sinar ungu me lesat tiba dengan cepat menerjang ke dadanya. Waktu ketiga tit ik ungu itu ha mpir mengenai dada, gaya luncur yang semula lurus itu mendadak berpencar, satu menyerang teng gorokan, dua yang lain menerjang ke dua sisi pundak.
Betapa tajam pandangan mata Ling Kun-gi, dengan jelas dia me lihat titik ungu timpukan pere mpuan baju hitam ini adalah t iga ekor kumbang kecil warna ungu, lekas dia ayun pedang menabas ketiga ekor kumbang itu. "Ting, ting, ting," be-runtun ketiga ekor kumbang kena dipukulnya jatuh.
Mendengar suara "ting-ting" itu, ke mbali Kun-gi me lenggong, pikirnya "Ternyata ketiga kumbang ungu ini hanyalah senjata rahasia, tadi kukira kumbang asli."
Segera dia menje mput ketiga kumbang ungu itu, ternyata buatannya memang hidup dan mir ip sekali dengan kumbang asli, cuma warnanya ungu, kelihatan segar dan hidup, di ujung mulutnya terpasang sebatang jarum baja halus sebesar bulu kerbau, warnanya kemilau biru, terang jarum le mbut ini beracun-
Pada saat dia berjongkok menga mbil ketiga kumbang ungu itu, didapatinya pula secomot ra mbut hitam, lekas dia menga mbilnya pula, terasa lembut dan halus, warnanya legam mengkilap. Iapat2 terendus bau harum, jelas ini adalah ra mbut seorang gadis je lita.
Siapakah dia? Menggenggam potongan ra mbut itu, sementara tangan lain menimang2 ketiga kumbang buatan, Ling Kun-gi ber- tanya2 dalam hati: "Dari buatan ketiga kumbang yang begini baiknya, terang perempuan ituprang dari keluarga Tong diSujwan-"
-seketika pula dia terbayang akan perempuan jelita yang berdiri di belakang Tong-lohujin mala m tadi.
Jadi dia nyonya muda keluarga Tong. "Hm, pasti dia, kalau tidak buat apa dia pakai kedok segala mencari setori kepadaku? Tak heran dia begitu getol menantang diriku bertanding? Mungkin karena diriku telah mengalahkan Pat-kwa-to-tin sehingga orang- keluarga Tong penasaran, ma ka secara dia m2 dia me luruk ke mar i me mbuat perhitungan. Besok siang aku harus mene mui Tong- lohujin pula di puri keluarga Go, kenapa rambut dan ketiga kumbang buatan ini tidak langsung kuke mbalikan kepadanya?" Setelah ambil keputusan, Kun- gi simpan kedua barang itu ke dalam kantong terus. lari ke mba li ke Hotel..