Bab 01. Pil Mustika tercuri.
Kanglam di bulan tiga terhitung bulan yang paling permai, Aneka bunga tumbuh dengan indahnya, pohon nan hjau berdesakan memanjang di sepanjang sungai Tiang kang.
Di karesidenan Kang-poh yang terletak dekat sungai Tiang kang, terhampar sebuah hutan seluas ratusan hektar yang bernama hutan Tho-hoa-lin. Tiap hari banyak pelancong yang mampir di hutan tersebut sambil menikmati satu dua cangkir embun bunga Tho yang tersohor
Pesanggrahan Tho-hoa-kit merupakan sebuah penginapan dan rumah makan yang termashyur di wilayah itu. Pemilik pesanggrahan dengan minuman khususnya Embun Bunga Tho menambah kepopuleran tempat itu.
Pemilik pesanggrahan tersebut bukan hanya mempopulerkan tempatnya dengan minuman khas tersebut jauh di tengah hu-tan Tho-hoa-lin, iapun mendirikan bangunan-bangunan loteng yang sangat megah dengan aneka bunga menghiasi sekeliling bangunan. Rangkaian bambu yang membentuk jembatan, sungai-sungai kecil dengan air jernih membuat panofama tempat itu makin memikat untuk didatangi.
Dari deretan bangunan-bangunan megah itu, boleh dibilang loteng "Gi-hong", loteng "Hui-jui-lo" serta loteng "Thia-chan-thay" merupakan bangunan yang paling terkenal di sana.
Hari ini menjelang tengah hari dari jalan raya sebelah Selatan muncullah dua ekor kuda yang dilarikan kencang. Lelaki yang berada di depan adalah seorang bocah lelaki berusia dua atau tiga belas tahunan, ia mengenakan baju hitam pekat dengan rambut yang dikuncir, sambil melarikan kudanya bocah itu menengok ke kiri kanan dengan wajah riang gembira, sekan-akan apa yang dilihatnya sepanjang jalan merupakan hal baru baginya.
Kuda yang ditungganginya berwarna merah darah.
Bulunya mulus tanpa campuran warna lain, dalam sekejap pandangan saja-orang segera tahu kalau kuda itu merupakan seekor kuda jempolan.
orang yang mengikuti di belakang kuda merah tadi adalah seorang pemuda berbaju putih berusia dua puluh tahunan, wajahnya sangat tampan dengan tubuh yang tinggi, tegap dan kekar. sayangnya wajah tampan itu kelihatan serius, alisnya selalu berkerut dan tak nampak secuwil senyumanpun menghiasi bibirnya. Agaknya ia sedang di-rundung banyak masalah.
Kuda yang ditunggangi pemuda itu berwarna putih bagaikan saiju. Biarpun sudah menempuh perjalanan jauh, binatang itu masih dapat berlari dengan tegap dan penuh semangat.
Kedua orang ini, meski datang berbareng namun jelas menunjukkan sikap yang berbeda. Kalau si bocah selalu menampakkan senyum dikulum dan mendatangkan rasa sayang bagi yang melihat, sebaliknya pemuda itu amat murung, Keningnya selalu berkerut sehingga mendatangkan kesan berat bagi yang memandang.
Ketika tiba di depan papan nama "Tho hoa-kit", mendadak bocah berbaju hitam itu menarik tali les kudanya sambil memutar ke belakang, kepada pemuda berbaju putih itu ia berbisik:
"Toako, pemandangan tempat ini sungguh indah, Bagaimana kalau kita minum teh dulu sebelum melanjutkan perjalanan?"
"Ehm " Pemuda itu berpikir sebentar, "Baiklah"
Bocah berbaju hitam itu tertawa girang, dia segera melompat turun dari kudanya, Lalu sambil menuntun kuda pemuda berbaju putih itu, ia kembali berseru. "Hayo toako, turun"
Perlahan-lahan pemuda itu turun dari kudanya, Gerak geriknya amat lamban, bagaikan orang yang tak punya tenaga saja. Dua orang pelayan segera maju menyambut.
"silahkan masuk tuan berdua" katanya sambil menerima tali les kuda dari kedua tamunya.
"Jangan" tampik bocah berbaju hitam itu seraya menggeleng, "Kuda tunggangan kami bukan binatang sembarangan Mana bisa kalian menuntunnya. Kalau sampai kena sepak. wah bisa runyam"
Dengan agak kaget kedua pelayan itu menarik kembali tangan mereka, Lalu setelah mengamati kuda-kuda itu sekejap, salah seorang menyahut sambil tertawa: " Yaa, sudahlah kalau begitu, silahkan tuan cilik menuntun sendiri"
Pesanggrahan Tho-hoa-kit dibangun agak jauh menjorok ke dalam hutan, kira-kira tiga empat kaki jauhnya dari tepi jalan raya, sebuah jalan beralas batu putih membentang dari sana hingga ke depan pintu Pesanggrahan, sementara bunga Tho yang harum semerbak tumbuh di kedua sisinya.
Bocah berbaju hitam itu menambatkan kedua ekor kudanya di sebuah pohon Tho besar, lalu melangkah masuk.
Tiba-tiba seorang pelayan maju menghadang jalan pergi bocah tadi sambil serunya: "Tuan kecil, harap lewat sini." sambil berkata, ia menuding sebuah jalan setapak yang membentang di samping jalan utama.
"Heei, bagaimana kamu?" Bocah itu mendelik, "Mengapa kami harus melewati jalan setapak?"
"Maaf, Tuan kecil," pelayan itu tertawa, " Ruang utama sebelah kiri amat ramai dan gaduh. Pada umumnya dipakai kaum pedagang keliling dan kuli kasar, sedang jalan setapak ini khusus diperuntukkan tamu terhormat" "ooooh, begitu rupanya" Bocah itu tersenyum. Dengan langkah lebar dia menelusuri jalan setapak tadi menuju ke tengah hutan.
Pelayan itu membawa kedua orang tamunya ke sebuah ruang kecil yang amat artistik selain bersih dan rapi, di luar jendela belakang terbentang sebuah sungai kecil dengan air yang jernih.Jauh di belakang sana, samar-samar terlihat sudut bangunan loteng.
"Tuan berdua ingin pesan apa?" tanya sang pelayan kemudian.
Pemuda berbaju putih itu hanya membungkam, Bukan saja pemandangan alam yang begitu indah tidak membuyarkan kemurungannya, bahkan mimik mukanya pun tetap dingin, kaku dan murung, Bocah berbaju hitam itu berpikir sejenak. lalu jawabnya: "Apa sajalah yang enak boleh dikeluarkan"
Mula-mula pelayan itu agak. tertegun, lalu ujarnya sambil tertawa:
"Tampaknya tuan berdua datang dari jauh sehingga tidak mengenal kepopuleran tempat kami. Bukan hamba sengaja membual, tak satu pun hidangan kami yang tak enak. terutama Embun Bunga Tho, betul-betul sudah populer sampai di mana-mana " "sudahlah, tak usah banyak bicara, cepat keluarkan" potong bocah tadi tak sabar.
sambil menyahut, buru-buru pelayan itu berlalu. Tak lama kemudian, sayur dan arak telah dihidangkan.
Perlahan-lahan pemuda berbaju putih itu memenuhi cawannya dengan arak. Tapi sebelum diteguk isinya, tiba-tiba ia meletakkan kembali cawannya ke meja.
"Toako... toako" bisik bocah berbaju hitam itu sambil menggeleng, "Mengapa sih kau murung sepanjang hari? Bukan cuma membungkam, wajahmu kelihatan kusut, benar-benar membuat perasaan orang tak sedap melihatnya."
Dengan wajah menyesal pemuda berbaju putih itu memandang bocah itu sekejap, tiba-tiba ia berkata: "Coba dengar, dari mana dagangnya suara orang belajar di tempat keramaian semacam ini?"
Bocah berbaju hitam itu coba memusatkan perhatiannya, Betul juga. Dari balik hutan bunga Tho itu lamat-lamat terdengar suara orang membaca, bahkan diiringi suara tali kecapi, Hal ini segera menimbulkan rasa heran dalam hatinya.
"Hemmm, rupanya ada orang gila di situ," dengusnya, "Masa mau belajar malah datang ke tempat ramai macam ini. Betul-betul merusak suasana. Coba dengar, dia malah memetik kecapi untuk mengiringi syairnya. Benar-benar sinting"
"Adik Liong, jangan memaki orang lain," tegur si pemuda berbaju putih sambil menengok ke luar jendela, "Suara kecapi datangnya dari arah Barat, sedang suara syair datang dari Barat Daya, Kedua suara itu berasal dari dua tempat yang berbeda."
Bocah berbaju hitam itu mencoba memperhatikan dengan seksama, sesaat kemudian serunya: "Betul juga Heran, mengapa dari balik hutan Bunga Tho dapat muncul suara kecapi dan syair? Bagaimana kalau kuperiksa?"
"Kau ingin mencari gara-gara?"
"Tak usah kuatir, Aku kan cuma menengok sebentar, ditanggung tak akan mencari gara-gara." kata si bocah sambil ter-tawa.
Biarpun pemuda berbaju putih itu tidak menyetujui namun ia pun tidak berusaha mencegah.
Dengan sekali tekan ke permukaan meja, bocah berbaju hitam itu segera melesat keluar dari jendela dengan kecepatan luar biasa. Tampak bayangan manusia berkelebat lewat di antara bunga-bunga, tahu-tahu ia sudah lenyap dari pandangan. Memandang bayangan tubuh yang menjauh itu, pemuda berbaju putih itu menghela napas panjang: "Aaai. dasar bocah nakal"
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang tergesa- gesa, lalu tirai disingkap dan muncullah seorang gadis berambut panjang yang masuk dengan wajah gelisah.
Belum lagipemuda berbaju putih itu menegur, gadis baju hijau itu sudah menggoyangkan tangannya berulangkali melarang ia berbicara. Gadis itu cepat-cepat bersembunyi di belakang tubuhnya, menarik jubahnya yang panjang dan menutupi sepasang kakinya yang nampak dari luar.
Biarpun ia sebenarnya merasa kesal tapi dasar pemuda ini memang tak suka banyak bicara maka dia pun tidak menggubris lagi, Perlahan-lahan ia angkat cawannya dan menikmati Embun Bunga Tho.
Belum habis secawan embun diteguk. kembali tirai bergoyang, seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan melangkah masuk ke dalam ruangan, Lelaki itu bermata besar Alis matanya tebal. Mulutnya lebar dan wajahnya tampan, sewaktu melangkah masuk. tak terdengar langkahnya, jelas ia memiliki ilmu silat yang tinggi.
Dengan matanya yang besar tajam ia memandang sekejap ke sekeliling ruangan Kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia duduk di bangku yang dipergunakan bocah berbaju hitam tadi.
Terhadap tingkah laku lelaki tersebut, pemuda berbaju putih itu tidak menegur atau pun menggubris, ia hanya memandangnya sekejap lalu perlahan-lahan meneguk isi cawannya, sebaliknya lelaki itu pun tidak mau bertegur sapa. Tanpa sungkan ia sambar poci arak di hadapannya, Diisinya cawan kosong di hadapannya sampai penuh, sekali teguk saja isi cawan itu langsung habis tak tersisa.
Kedua orang itu saling berpandangan tanpa berbicara apa-apa, seakan-akan mereka kuatir ucapan mereka akan merusak suasana tegang dan misterius yang sedang mencekam tempat itu.
Angin berhembus membawa harum bunga nan semerbak. suara petikan kecapi di kejauhan sana pun kedengaran semakin nyaring.
Tiba-tiba lelaki itu menyambar poci arak di meja, kemudian tanpa berhenti ia teguk semua isi poci itu hingga ludas.
Menyaksikan tingkah polah orang itu, kembali pemuda berbaju putih tadi mengerutkan dahinya, tapi ia tetap membungkam.
"Hahahaha " sambil meletakkan poci arak ke meja,
lelaki itu tertawa keras. "Nama besar Embun bunga Tho benar-benar bukan nama kosong belaka, betul-betul minuman enak"
Pemuda itu tidak menggubris. ia sumpit sepotong kentang, mengunyahnya perlahan-lahan dan kembali membuang pandangannya ke luar jendela.
sekali lagi lelaki itu tertawa tergelak. Kali ini dia menyambar sumpit dan menyapu bersih semua hidangan di meja, seakan-akan dialah yang memesan hidangan tersebut.
sekejap mata kemudian semua hidangan telah berpindah ke dalam perutnya, Pemuda berbaju putih itu tetap tidak bicara. ia hanya bangkit berdiri, menjura lalu membuat gerakan menghantar tamu.
"Mengapa?" Lelaki itu terbatuk-batuk, "Kau mengusir aku?"
Pemuda berbaju putih itu mengangguk. la tetap membungkuk
"Tidak usah sungkan kalau ingin aku pergi," kata lelaki itu sambil tertawa, "Tapi kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk makan dan minum sekenyangnya lebih dulu."
Dengan sikapnya lelaki tersebut seolah menyatakan bahwa dia tak akan pergi dari situ sebelum dibiarkan makan minum sepuasnya. Tampaknya pemuda berbaju putih itu sudah tak dapat mengungkap isi hatinya dengan gerakan tangan saja, perlahan-lahan ujarnya: "Kau harus tahu, aku punya seorang saudara yang agak berangasan wataknya, jika ia keburu datang aku-takut kau tak bisa pergi lagi dari sini dalam keadaan selamat."
"Ooh, masa iya? Kalau begitu aku harus menunggunya sampai dia balik. ingin kulihat sampai di mana sih kehebatannya."
Dengan mata mendelik pemuda berbaju putih itu mengawasi orang yang tampak bersikap menantang, lalu serunya lagi: " Kalau kau tetap membandel jangan salahkan aku kalau menderita kerugian nanti"
Tiba-tiba lelaki itu menundukkan wajahnya, lalu bergumam: "Menyembunyikan buronan, melarikan gadis orang, apa kau sudah tak menggubris soal hukum?"
Ucapan tersebut kontan membuat pemuda itu tertegun, tanpa sadar ia menunduk dan menengok ke bawah, saat itulah sambil tertawa terbahak-bahak lelaki tersebut menjulurkan tangannya menyambar ke muka.
Dengan perawakannya yang jangkung dan tangannya yang panjang, biarpun terhalang sebuah meja, ternyata sekali sambar ia telah mencengkeram tubuh nona berbaju hijau itu dan menyeretnya keluar. Belum sempat pemuda berbaju putih itu menghalangi si nona berbaju hijau itu telah menjerit: "Kakak..."
"Hahaha... budak binal, ayoh ikut aku pulang" seru lelaki itu sambil tertawa, Kemudian sambil memberi hormat kepada pemuda berbaju putih itu, katanya lagi, " Kalau kami dua bersaudara telah mengganggu ketenangan tuan, mohon dimaafkan"
Pemuda berbaju putih itu manggut-manggut sebagai balasan hormat, sementara dalam hatinya ia berpikir: " Rupanya mereka adalah dua bersaudara, kalau begitu aku si orang luar lebih baik jangan mencampuri urusan orang."
sementara ia masih berpikir, lelaki tadi sudah menyeret si nona meninggalkan ruangan dengan langkah cepat Memandang mangkuk dan cawan yang berserakan di meja, mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, cepat-cepat ia merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan secarik kertas.
Di atas kertas itu tertera beberapa kalimat surat yang berbunyi sebagai berikut:
"Kami dua bersaudara membawa tugas untuk mencuri pil musiika berusia seribu tahun yang sedang tuan bawa. Untung jalanan kami tidak sia sia. Kutinggalkan secarik sapu tangan sebagai tanda terima kasih, harap dimaafkan dunia persilatan amat berbahaya dan menakutkan semoga tuan bisa menjaga diri baik-baik"
Di bawah surat itu tidak tercantum nama, tapi terpampang sebuah gambar burung elang bermata besar dan seekor kupu-kupu yang sedang mementangkan sayap. Tampaknya pemuda berbaju putih itu menjadi sangat terkejut oleh tulisan di atas kertas tersebut hingga kehilangan semangat ia termangu- mangu dan gelagapan, tak tahu apa yang mesti diperbuatnya, selang berapa saat kemudian ia baru merogoh ke dalam sakunya untuk memeriksa.
Benar juga .Botol porselen putih berisi pil mustika yang disimpan di situ, kini sudah lenyap tak berbekas, Sebagai gantinya ia menemukan selembar sapu tangan.
sapu tangan itu berwarna putih bersih. Pada sudut bawah sebelah kanan terdapat sebuah sulaman berwarna hijau yang membentuk sebuah kupu-kupu sedang mementang sayap.
sulamannya sangat indah dan hidup, jelas hasil karya seorang seniman kenamaan. Bau harum semerbak keluar dari sapu tangan itu dan menusuk penciuman.
Lama sekali pemuda berbaju putih itu memandang sapu tangan tersebut dengan wajah tertegun, sementara paras mukanya berubah menjadi pucat pias seperti mayat, jelas sudah ia sedang merasa sedih, pedih, dan amat emosi. setiap huruf yang tertera di atas kertas bagaikan beribu-ribu batang pisau tajam yang menghujam telak di atas ulu hatinya.
sinar matanya seolah memancarkan cahaya yang menakutkan Perlahan-lahan darah segar menetes keluar dari ujung kelopak matanya dan membasahi wajah serta bajunya yang putih.
Entah berapa lamanya sudah lewat, tiba-tiba bocah berbaju hitam itu menyusup masuk lewat jendela dengan wajah berseri-seri, Namun begitu melihat rekannya penuh darah, dengan rasa kaget ia berteriak lalu menubruk ke hadapannya.
Teriakan keras itu seketika mengejutkan pelayan- pelayan pesanggrahan tersebut, seorang pelayan lari masuk sambil berseru: "Tuan, apa yang terjadi.,.?" Tapi begitu menyaksikan keadaan pemuda berbaju putih itu, cepat-cepat dia menambahkan:
"Tuan ini pasti kesurupan. jangan diusik, hamba segera mencari tabib.,." seraya berkata, cepat-cepat dia lari ke luar.
Tak terlukiskan rasa panik, kesal dan marah si bocah berbaju hitam itu, dengan penuh kegusaran serunya:
"Hmmmm jika terjadi sesuatu atas toakoku, akan kuhancur lumatkan pesanggrahan Tho-hoa-kit ini..." Cepat-cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan, lalu secepat kilat menotok beberapa jalan darah penting di tubuh pemuda berbaju putih itu. Tak berapa lama setelah bocah berbaju hitam itu melakukan hal tersebut, terdengar pemuda berbaju putih itu menghembuskan napas panjang-panjang. ia putar dulu biji matanya beberapa kali, kemudian baru mengeluh. "Aaai.. Habis sudah, habis sudah. "
"Toako, apa yang telah terjadi?" tanya si bocah berbaju hitam itu agak cemas, meski dia lega juga sesudah melihat rekannya sadar
Perlahan-lahan kesadaran pemuda beri baju putih itu pulih kembali, diambilnya sapu tangan serta secarik kertas dari meja, kemudian setelah menghela napas panjang, ia berkata pada bocah tersebut: "Adik Liong, hari ini sudah tanggal berapa?"
"Rasanya sudah tanggal tujuh" sahut si bocah setelah berpikir sebentar.
"Hmmm.,." pemuda itu manggut-manggut sambil bergumam. " Kalau kita tempuh perjalanan tanpa berhenti, dalam sehari sudah bisa mencapai bukit Ciong san, itu berarti kita masih punya waktu tiga hari."
"Hay, apa yang sedang kau katakan?" si bocah agak tertegun, "Aku sama sekali tak mengerti maksudmu" Perlahan-lahan pemuda itu menyeka darah dari wajahnya, setelah itu bisiknya lirih: "Pil mustika seribu tahun kita telah dicuri orang"
"Apa? Dicuri orang?" Bocah berbaju hitam itu amat terkejut.
"Yaa, dicuri orang"
"Lantas, bagaimana sekarang?"
Pemuda berbaju putih itu termenung dan berpikir sebentar, kemudian ujarnya lagi lirih:
"Kita masih punya waktu selama tiga hari, Tapi dunia begini luas, ke mana kita harus kejar pencuri itu..?" pandangannya dialihkan ke atas sapu tangan tersebut, tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, kembali ia berkata: "Adik Liong, aku punya sebuah cara, sekalipun belum tentu mendatangkan hasil, tapi dalam keadaan terdesak begini tak ada salahnya kalau kita coba dulu."
"Apa caramu itu, cepat katakan?"
"Pil mustika seribu tahun itu menyangkut mati hidup supek kita, kalau sampai tak ditemukan, aku mesti menebus dosa besar ini dengan kematian. " "Toako," bisik si bocah sambil melelehkan air mata, "Apabila kau mati, aku pun tak ingin hidup terus di dunia ini."
Pemuda berbaju putih itu menghela napas panjang, ia membisikkan sesuatu ke sisi telinga si bocah, setelah itu ia berteriak keras, dan tahu-tahu tubuhnya beserta bangku yang didudukinya terjengkang ke belakang.
"Toako.. Toako,." jerit bocah berbaju hitam itu keras- keras sambil menangis sedih.
Kegaduhan tersebut dengan cepat memancing perhatian pemilik pesanggrahan maupun pelayan- pelayannya. Begitu mendengar jerit tangis bocah berbaju hitam itu, berbondong-bondong mereka lari masuk ke dalam sambil bertanya:
"Tuan kecil, apa yang terjadi? KaU jangan menangis dulu, sebentar tabib sampai di sini. "
"Huhuhuhu,., hidangan di pesanggrahan Tho-hoa-kit ini pasti ada racunnya." teriak bocah itu sambil menangis tersedu-sedu, "sekarang toako sudah mati keracunan...
oooh, Toako Matimu sungguh mengenaskan."
sambil menangis, dengan marah ia tendang meja kursi di hadapannya, Mangkuk cawan segera mencelat dan hancur berserakan di atas lantai, sedang meja di hadapannya mencelat keluar lewat jendela, menumbuk di atas pohon dan menggugurkan bunganya.
"Waaah, hebat amat tendangan bocah ini," pikir para pelayan agak tertegun karena kaget. " Kalau aku yang kena tendangan itu, niscaya tubuhku akan mencelat sejauh tiga empat tombak. "
Cepat-cepat mereka menjura berulang kali sambil berseru: "Tuan kecil, kaujangan ribut-ribut dulu, Yang penting sekarang bagaimana menyelamatkan saudaramu, biar tabib melakukan pemeriksaan dulu. Kita lihat penyakit apa yang diderita saudara-mu. "
"Aku tak ambil perduli penyakit apa yang dideritanya," kata bocah berbaju hitam itu sambil menurunkan tangannya dari wajah, "Pokoknya saudaraku tewas dalam pesanggrahan Tho-hoa-kit kalian, bagaimana pun hutang ini kucatat atas nama kalian, Hmmm, jangan dilihat aku Yu siau-liong masih kecil, jangan harap aku bisa dipermainkan seenaknya"
"Tuan Yu, minggirlah dulu. Biar tabib melakukan pemeriksaan atas saudaramu itu."
"Toakoku sudah tewas" seru Yu siau-liong sambil mundur.
"Tabib ong, silahkan" ujar sang pelayan sambil memberi jalan, Dengan sepasang kaca mata yang tebal bertengger di atas batang hidungnya, tabib ong berjongkok dan mulai memeriksa denyut nadi pada pergelangan tangan pemuda berbaju putih itu, kemudian sambil menggeleng katanya.
"Aaah, terlambat sudah Anggota tubuhnya mulai mendingin, denyutan nadinya juga sudah berhenti, aaaai Lebih baik siapkan saja upacara penguburan baginya "
Lalu tanpa bicara lagi dia ngeloyor pergi dari situ. "ooooh, masa secepat itu" seru si pelayan tertegun. Dengan geram Yu siau-Liong menyambar perg elangan kiri si pelayan, sambil menariknya keras-keras ia berteriak: "Pasti ulah pesanggrahan Bunga Tho kalian,.."
"Aduhh. Tuan Yu Perlahan sedikit," teriak pelayan itu
kesakitan, "Pergelanganku itu bisa patah oleh cengkeramanmu itu. "
"Hmmm, kau harus menebus nyawa toako- ku lebih dulu, kemudian baru aku mencari majikanmu untuk membuat perhitungan. Akan kubakar pesanggrahan Bunga Tho ini sampai rata dengan tanah"
"Yu siauya jangan emosi dulu, ada urusan dapat
dirundingkan," cegah si pelayan mulaipanik, "Aduuh,., aduh. harap perlahan sedikit, lengan kiriku bisa
cacad " Melihat pelayan itu kesakitan sampai peluhnya
bercucuran, Yu Siau-liong mengendorkan cengkeramannya, serunya: "Kalau begitu cepat panggil ke mari majikan kalian, Bagaimana pun toakoku tewas di pesanggrahan Bunga Tho ini, aku tak bisa berpangku tangan belaka tanpa menuntut kerugian"
setelah merasakan pahit getir di tangan bocah tersebut, sudah barang tentu pelayan itu tak berani berlama-lama lagi di sana, Cepat-cepat dia menjura sambil berkata: "Harap tuan kecil menunggu sebentar di sini, aku segera memanggil majikanku asal dia sudah sampai di sini pasti ada pertanggungan-jawab untukmu."
Tanpa mengunggu jawaban lagi, cepat-cepat dia ngeluyur pergi dari situ diikuti rekan-rekannya .
Menyaksikan para pelayan berlarian meninggalkan tempat itu, tak tahan Yu siau-liong tertawa geli, ia segera berjongkok sambil bisiknya: "Bagaimana sekarang?"
"Adik Liong." kata pemuda berbaju putih itu sambil membuka matanya kembali "Persoalan ini amat penting dan serius, jangan kau anggap seperti permainan kanak- kanak. Paling tidak kau mesti tunjukkan wajah yang sedih dan kehilangan" Lalu tanpa menanti jawaban dia pejamkan kembali matanya.
selang beberapa saat kemudian, pelayan tadi muncul kembali dengan membawa seorang kakek berusia enam puluh tahunan, Kakek itu mempunyai dahi yang tinggi dan dagu yang lancip. sekejap pandangan saja siapa pun akan tahu kalau orang ini ulet dan punya perhitungan yang amat mendalam.
Dengan pandangan dingin Yu siau-liong memandang kakek itu sekejap. lalu tegur-nya: "Jadi kaulah pemilik pesanggrahan Bunga Tho ini?"
"Benar" jawab si kakek sambil mengangguk "sekarang kakakku tewas dalam Pesanggrahan Bunga
Tho ini, Aku tak bisa menerima kejadian seperti ini."
"Aaaai. " Kakek itu menggeleng sambil menghela
napas panjang, "cuaca saja sukar diramalkan apalagi nasib manusia, Aku turut berduka cita atas kematian kakakmu di tempat kami, tapi sebab-sebab kematiannya toh sukar diduga, Dari mana tuan Yu bisa menuduh kalau kematiannya disebabkan keracunan hidangan kami? jelas tuduhan tanpa dasar seperti ini sangat merugikan nama baik perusahaan kami. "
Biarpun Yu siau-liong termasuk seorang bocah yang pintar, bagaimanapun juga usianya. masih sangat muda, lagi pula pengalamannya masih rendah. sudah barang tentu tak bisa menang berdebat dari si kakek yang sudah kenyang makan asam garam itu, Perkataan tersebut kontan saja membuatnya amat marah, Dengan mata membara ia membentak keras. "Aku tak mau tahu Pokoknya kakakku tewas di pesanggrahan Bunga Tho ini Jadi kalau kau tak mau bertanggung jawab, selain kubunuh dirimu, akan kubakar juga tempat usaha ini hingga rata dengan tanah"
"Hahahaha..." sambil mengelus jenggotnya kakek itu tertawa. "Dipandang dari dandanan tuan kecil, rasanya kau tentu punya asal usul yang luar biasa. Ketahuilah aku membuka usaha pesanggrahan Bunga Tho ini hanya tahu mencari untung, Aku tak pernah menipu langganan, kedua aku pun tak melakukan kejahatan apa pun, jadi kata-kata semacam tuan kecil tak akan membuat aku menjadi jeri. "
Dibantah semacam ini, Yu siau-liong jadi gelagapan Untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti diperbuatnya, Kembali kakek itu menghela napas panjang.
"Aku tahu, banyak kesulitan akan dijumpai mereka yang sedang bepergian Jadi apabila tuan kecil menjumpai kesulitan, aku bersedia memberi bantuan secukupnya."
Dengan usia semuda itu, boleh dibilang Yu siau-liong belum pernah menjumpai hal semacam ini. sekalipun tadi ia sudah mendapat petunjuk dari pemuda berbaju putih itu, tapi tak urung dibuat gelagapan juga. untuk sesaat Dia tak tahu bagaimana caranya menyampaikan beberapa pesan titipkan pemuda tersebut kepadanya tadi.
"Tuan kecil" Kakek itu berkata lagi sambil menggeleng dan tertawa. "sudah hampir empat puluh tahun lamanya aku berusaha di sini, mulai dari pangeran, saudagar kaya, para pengawal barang sampai kuli kasar dan perampok boleh dibilang pernah singgah di Pesanggrahan kami. "
Tiba-tiba ia merendahkan suaranya dan meneruskan: "Jika kulihat dari dandanan kalian berdua yang membawa senjata dan menungang kuda jempolan, jelas kalian bukan saudagar, Bisa jadi kematian kakakmu ada sangkut pautnya dengan perselisihan dunia persilatan. Eh saudara kecil, aku tahu meski umurmu masih kecil tapi ilmu silatmu sudah mencapai tingkatan yang luar biasa, aku harap kau mau mempertimbangkan kembali perkataanku tadi."
" Licik benar orang tua ini." pikir Yu siau-1iong. "Untung dia belum tahu kalau kakakku cuma pura-pura mati. " Maka dengan berlagak sedih katanya: "soal
dendam atas kematian kakakku, aku bisa mengatasinya sendiri dan kakek tak usah turut campur, cuma aku
mempunyai satu permintaan harap kakek bersedia mengabulkan."
"Katakan saja tuan kecil" "Terus terang saja bagi kami orang-orang persilatan, mati hidup bukan persoalan besar karena kami sudah terbiasa hidup di bawah ancaman senjata, tapi sebab- sebab kematian kakakku sangat aneh. Dia bukan mati karena terkena senjata rahasia, dia pun bukan terbunuh dalam suatu pertempuran, jadi kami harus menunggu sampai ketua kami tiba di sini dan menyelidiki sebab- sebab kematiannya baru bisa meninggalkan tempat ini, jadi aku berharap kakek bersedia meminjamkan tempat yang sepi untuk menyimpan jenazah kakakku sementara waktu, Begitu ketua kami tiba dan berhasil mengetahui sebab-sebab kematiannya, jenazah kakakku segera kami kuburkan."
Kata-kata itu segera memberikan reaksi yang cukup besar, Buru-buru kakek itu manggut berulang kali, "Tak usah kuatir tuan kecil, segala sesuatunya akan kuatur hingga beres" sambil menitahkan anak buahnya untuk menggotong pergi jenazah pemuda berbaju putih itu, dia berkata lagi kepada Yu siau-liong sambil terawa:
"Soal jenazah kakakmu pasti akan kami selesaikan sesuai dengan tata cara, cuma... aku pun mengharapkan bantuan dari tuan kecil"
Biarpun hati kecilnya keheranan, Yu siau-liong tidak menunjukkan reaksi apapun. Katanya kemudian: "Kalau kakek ingin menyampaikan sesuatu, silahkan diutarakan." "Apabila ketua kalian sudah sampai di sini, aku harap tuan kecil bersedia memberi kabar kepadaku hingga aku bisa menyiapkan perjamuan untuk menyambut kedatangannya."
Dengan pengalamannya yang puluhan tahun, kakek itu sadar betapa menakutkannya peristiwa bunuh membunuh di dalam dunia persilatan, siapa saja kalau sampai terlibat niscaya keluarganya akan tertimpa bencana.
"Ehmm... Kalau soal ini " Yu siau liong berpikir
sejenak, "Begini saja, akan kuberi kabar setelah melaporkan persoalan ini kepada ketua kami."
"ooh. tentu saja, tentu saja."
sementara pembicaraan masih berlangsung, jenazah pemuda berbaju putih itu sudah digotong menelusuri hutan menuju sebuah bangunan terpencil yang sepi tapi bersih. Bangunan itu berdiri sendiri dengan pintu berwarna merah dan atap berwarna hijau,
Perabot dalam ruangan amat sederhana, selain kain tirai berwarna putih, di ruang tengah telah membujur sebuah peti mati berwarna merah, sesaji dan lilin sudah tersedia lengkap.
Kakek itu memerintahkan anak buahnya menggotong jenasah pemuda berbaju putih itu ke dalam peti mati, kemudian sambil menjura kepada Yu Siau liong, ia berkata:
"Bila tuan kecil masih membutuhkan sesuatu, perintahkan saja kepada pelayan kami tanpa sungkan." Yu siau-liong pura-pura berpikir sebentar, kemudian katanya:
"Tolong siapkan kain putih sepanjang satu kaki, peralatan tulis menulis, bambu panjang yang lebih tinggi satu kaki dari hutan bunga Tho, kain belacu serta lampu teng-tengan..."
"Baik, baik. " Kakek itu mengangguk berulang kali,
"Kalau begitu aku mohon diri lebih dulu, sebentar aku pasti akan mengajak anak istriku untuk datang melayat"
"oya,., soal kuda-kuda kami."
"soal ini tak usah tuan kecil kuatirkan, Telah kuperintahkan para pelayan untuk membawanya ke istal dan diberi makan. "
" Kalau begitu terima kasih banyak. Tolong senjata kami diantar sekalian ke sini. "
Bicara sampai di situ, dia menjura dalam-dalam, Lalu tambahnya: "Atas bantuan ini, suatu ketika pasti akan kubayar." Ketika sepasang tangannya merangkap di depan dada, segulung angin pukulan segera dilancarkan ke luar, langsung menghantam sebatang pohon bunga Tho yang berada di hadapannya, Pohon Tho itu seketika terguncang keras, Beribu-ribu kuntum bunga Tho segera berguguran ke atas tanah bagaikan hujan gerimis. Mula- mula kakek itu nampak tertegun, lalu sambil menjura katanya: "Luar biasa Luar biasa Tak kusangka dengan usia semuda tuan kecil, ternyata sudah memiliki ilmu silat yang begitu daksyat."
Tergopoh-gopoh ia meninggalkan ruangan tersebut Tak lama kemudian seorang pelayan dengan pakaian berkabung muncul dalam ruangan sambil menyerahkan keperluan yang dipesan tadi.
Yu siau-liong segera menggelar kain putih itu di atas tanah, lalu ditulisnya beberapa huruf di atas kain tersebut dengan tulisan besar:
"TEMPAT JENAZAH LIM HAN KIM"
Lampu Teng dipasang di sisi kain tadi, lalu diikatkan pada bambu panjang dan ditegakkan diluar-ruangan. Dengan demikian siapa saja yang berada di sekitar pesanggrahan Bunga Tho dapat membaca tulisan di atas kain putih itu dengan amat jelas, Kepada pelayan itu Yu siau-liong berkata: "sampaikan kepada majikan kalian, cukup aku seorang saja yang menjaga di depan layon kakakku" " Kalau memang begitu hamba mohon diri" kata si pelayan segera meminta diri "sampaikan juga kepada majikanmu, tolong agak cepat mengambilkan senjata kami."
Tak lama pelayan itu sudah muncul lagi dengan membawa dua bilah pedang dan sebatang pena baja.
setelah menerima senjatanya, Yu siau-liong berpesan: "sebelum mendapat panggilan dariku, siapa saja dilarang mendekati ruangan ini, mengerti?"
Pelayan itu mengiakan berulang kali dan segera mengundurkan diri, setelah sekeliling tempat itu tak ada orang lain, Yu siau-liong baru mendekati peti mati sambil ber-bisik:
"Toako, mirip tidak lakonku?"
"Adik Liong, kau tak boleh gegabah," kata Lim Han kini memperingatkan, " Ketahuilah musuh kita sangat licik dan pintar. Ayo cepat mundur"
setelah mundur dua langkah, kembali Yu siau-liong berbisik: "Toako, aku jadi teringat suatu kejadian yang sangat mencurigakan"
"Kejadian apa yang mencurigakan?"
"Dua orang pelajar yang berada di loteng Tia-chan- thay rata-rata memiliki sinar mata yang amat tajam dan dahi yang menonjol tinggi sudah jelas mereka memiliki tenaga dalam yang amat sempurna, Anehnya, ketika aku mendekati bangunan tersebut ternyata mereka tidak menengok sekejap pun ke arahku, seolah-olah mereka tidak menyadari kedatanganku. "
"oya?" sela Lim Han kim, "Berapa usia mereka? Laki atau perempuan?"
"Kedua-duanya lelaki seorang berusia empat puluh tahunan, sedang yang lain berusia antara dua puluh tiga, empat tahunan."
"Aah, salah orang yang mencuri pil mustika kita adalah seorang pria dan seorang wanita " Kemudian setelah
berhenti sejenak, tambahnya:
"Ayo cepat mundur, jangan sampai perbuatanmu ketahuan orang, jika sampai dicurigai sia-sia saja usaha kita selama ini."
"Tapi sekarang kan masih pagi. Lagipula tak seorang manusia pun di sekeliling tempat ini Apa salahnya kalau kita bercakap-cakap dahulu, dan lagi orang yang telah mencuri obat kita toh belum tentu balik ke mari."
Lim Han kim tidak menggubris lagi dia pejamkan mata dan mulai mengatur pernapasan Terbentur batu terpaksa Yu siau-liong angkat bahu dan masukkan sebilah pedang ke dalam peti mati, lalu menuju Ke depan sembahyang membakanr sedikit dupa dan mulai duduk termenung.
Entah berapa saat sudah lewat, langit perlahan-lahan menjadi gelap. cahaya lentera yang tergantung di sisi kain putih di depan ruangan sana kelihatan bertambah terang dan Mendadak kedengaran suara orang berbatuk- batuk, disusul kemudian suara langkah kaki memasuki ruangan seorang pemuda tampan berbaju biru, sambil menggoyangkan kipasnya perlahan-lahan berjalan masuk ke ruangan.