Jilid 08
DENGAN meraung gusar mendadak Toh bing-sik- mo menjejak kaki menerjang keatas, setelah terluka dia tidak berani bertempur lebih lama lagi, secepat angin tubuhnya meluncur keluar dari ceng hun-kok.
Sembari mengayun langkah sempat juga dia menoleh, bola matanya yang tidak terlindung perban tampak memancarkan sinar kebencian dan dendam.
"Lari kemana." hardik Hwi-khong Sinni, sudah siap dia mengudak-
"Bluk" Tapi suara jatuh gedebukan membuat Hwi-khong Sinni mengerem gerakannya seketika, begitu dia menoleh tersirap darah Hwi-khong Sinni, dilihatnya Tio swat-in sudah terkapar di lumpur beCek, Tok-Liong sian-li berseru kaget, buru-buru mereka memapah Tio-Swat in tanpa menghiraukan Toh-bing-sik-mo pula.
Wajah Tio Swat-in tampak merah, sebelah kiri kotor kena lumpur, matanya terpejam, badannya terasa panas. Hwi-khong Sinni saling pandang sekejap dengan Tok-Liong-sian-li, mereka tidak habis mengerti apa yang terjadi pada gadis belia ini.
Lekas Tok-Liong sian li bopong Tio Swat-in terus memberi tanda kepada Hwi-khong Sinni: "Hayo pergi." Lalu dia mendahului lari keluar ceng hun kok, menempuh arah yang berlawanan dari Toh- bing-sik mo.
Hwi-khong Sinni mengintil dibelakangnya dengan perasaan hambar dan bingung, lekas sekali mereka telah pergi jauh dan tidak kelihatan pula.
C- hun- kok kembali tenang dan sepi, namun suasana tetap rawan dan mengerikan, dua mayat kuda dengan CeCeran darah yang memualkan. Sejak peristiwa ini, Toh-bing-sik-mo yang pernah menggetarkan dikalangan kang-ouw dan mengganas di ceng-hun- kok tidak pernah muncul dan ditemukan jejaknya lagi.
Dalam sebuah bilik yang sederhana, Hwi-khong Sinni dan Tok- Liong-sian-li tengah berdiri di depan ranjang, mereka mengawasi Tio Swat-in yang rebah tidak sadarkan diri dengan bingung dan resah, badan Tio Swat-in panas dingin, pingsan lagi.
Tapi di samping mereka berdiri seorang laki-laki tua berusia hampir enam puluh, sambil membungkuk laki-laki ini sedang memeriksa nadi Tio Swat-in, dengan teliti dia memeriksa mata Tio Swat- in pula.
Rambut dan jenggot laki-laki ini sudah beruban,jenggotnya panjang menyentuh dada, dia bukan lain adalah suami Tok-Liong- sianli, Ih-hiap (Tabib pendekar) Siangkoan Bu yang terkenal di kalangan Kangouw.
Pelan-pelan Siangkoan Bu masukkan tangan Tio Swat-in ke dalam kemul, sambil menegakkan badan dia mengawasi Hwi khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li istrinya lalu menghela napas, katanya: "Dalam keadaan sedih dan haru dia terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga hawa murninya ludes, dalam kondisi lemah itu dia terserang demam lagi, keadaannya memang cukup prihatin, tapi tidak perlu dibuat khawatir, namun untuk menyembuhkan penyakitnya harus makan waktu panjang, malah..."
Hwi-khong Sinni bingung, tanyanya: "Malah bagaimana, apakah ada persoalan pelik?"
Hwi-khong Sinni dipandangnya lekat-lekat baru Siangkoan Bu berkata: "Sebagai tabib yang terkenal di Kangouw selama puluhan tahun. Swat-in muridmu terserang penyakit dan sudah kau serahkan kepadaku, maka aku akan berusaha menyembuhkan dia, yakinlah akan kukembalikan Swat-in yang segar- bugar kepadamu, tapi tentunya kau juga tahu, bagi kaum persilatan seperti kita,jarang jatuh sakit, tapi sekali sakit untuk menyembuhkan juga bukan soal sepele tapi bukan aku suka mengagulkan diriku, setelah pasien berada di tanganku, apa lagi jarang ada tabib lain yang bisa mengungkuli diriku di kalangan Kang ouw, percayalah dia akan segar - bugar dalam waktu sebulan."
Setelah menghela nafas, Siangkoan Bu ber berkata pula. "Maksudku tadi yalah, untuk menyembuhkan Swat-in, sekarang aku masih memerlukan dua jenis obat yang lebih penting tapi tidak jadi soal, tiba saatnya aku akan pergi mencarinya."
Mendengar penjelasan Siangkoan Bu, IHwi khong Sinni mengiakan sambil manggut-manggut, tiba tiba dari luar tampak berlari masuk seorang gadis berusia enam belasan. Begitu melihat Tok-Liong-sian li segera dia berteriak riang: "Ma, kau sudah pulang, aku minta ikut kau larang beberapa hari ini .."
Sambil merengek dia menubruk kedalam pelukkan ibunya Tok- Liong-sian-li, tiba-tiba dia melihat Tio Swat-in yang rebah di kemul di-ranjang serta Hwi-khong Sinni disamping ibunya, sesaat dia mengawasi bingung bergantian lalu bertanya kepada ibunya: "Ma, bukankah ini cici swat-in? Kenapa dia?"
Tok-Liong-sian-li menghela napas, katanya: "Cici Swat-in mendadak jatuh sakit. "
Belum habis Tok-Liong-sian-li bicara, putrinya sudah menyela: "Cici Swat-in sakit, biar aku mengobatinya." lalu dia mendekati ranjang.
Lekas Tok-Liong sian li menariknya, katanya: "Jangan sembrono, anak Ceng, memang nya kau mampu menyembuhkan apa. Hayo beri hormat kepada Supek."
Sekilas Siangkoan Ceng melirik ibunya, dengan cemberut perlahan-lahan dia berputar menghadap Hwi-khong Sinni yang tengah mengawasinya dengan tersenyum simpul, segera dia berlutut dan menyembah, serunya: "Kepada Supek. terimalah sembah sujud Ceng-ji."
"Ah jangan, tidak usah menyembah..." ujar Hwi-khong Sinni sambil memapah Siangkoan Ceng bangun, sejenak dia menatap Siangkoan Ceng lalu berkata: "Ceng-ji, dua tahun lebih aku tidak melihatmu, kini kau sudah besar, malah lebih cakap dan cantik lagi, aku jadi pangling kepadamu."
Siangkoan Ceng tertunduk malu sambil menggoyang pundak. rengeknya aleman: "Supek. kenapa kau juga menggodaku.." Dengan tertawa Siangkoan Bu bangun dari pinggir ranjang, katanya: "Mari kita duduk di luar, biar yang sakit istirahat, aku akan meracik obat."
Terpaksa Tio Swat-in merawat penyakitnya dirumah Siangkoan Bu. Di bawah pengob atan Siangkoan Bu yang ahli, dibantu oleh Hwi-khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li yang selalu menjaga dan merawatnya, demikian pula Siangkoan Ceng yang selalu menghiburnya dengan cerita dan bernyanyi, lambat laun penyakit Tio Swat-in ada kemajuan.
Setengah bulan kemudian, Tio swat-in masih merasa lemah tak punya tenaga, sukar mengerahkan hawa murni untuk samadhi, tapi dia sudah mampu duduk dan beberapa langkah, seminggu lagi keadaannya sudah seperti orang biasa. Cepat sekali sebulan telah berselang tanpa terasa.
Hari itu mendadak Siangkoan Bu berkata: "Hampir tiba saatnya Swat-in harus ganti obat, hari ini juga aku akan berangkat mencari beberapa jenis obat yang tiada persediaan lagi padaku, sebelum aku pulang, Swat-in tetap minum obat yang kuracik itu, setelah aku pulang dan membuat racikan baru, tanggung dalam jangka sepuluh hari kesehatannya sudah akan pulih seperti sedia kala."
Lalu dia berpaling kepada Tio swat-in : "Tetap pada nasehatku semula, jangan terlalu sedih, penyakitmu timbul karena kau tidak bisa mengekang emosi, ingat carilah kerja ringan yang membangkitkan semangat dan meriangkan hati. oh, ya, dua hari lagi mungkin kau akan merasa lebih segar, mungkin sudah bisa latihan samadi, sisa hawa dingin yang masih bersemayam dalam tubuhmu bisa kau usir keluar, tapi kau harus ingat,jangan gegabah dan mencoba secara serampangan, kau harus maklum, hawa murnimu memang sudah ludes, sebulan lebih kau tidak pernah samadi, bila di paksakan salah-salah bisa fatal akibatnya, bukan saja kau tidak berhasil mengusir hawa dingin itu, malah tenaga yang sudah pulih sedikit itu bisa buyar dan mendatangkan kesukaran lagi." Dengan pandangan haru dan terima kasih Tio Swat-in menatap kepada Siangkoan Bu, tabib yang welas asih, dan penuh kasih sayang ini, dia hanya mengangguk kepala, Siangkoan Bu segera keluar terus berangkat.
Siangkoan Bu menjelajah pegunungan, dimana dia kira ada obat, kesitu dia mencari, dengan ketelitian dan ketekunannya dia mencari bahan-bahan obat yang diperlukan sudah tentu sekalian diapun memetik daon-daon obat-obatan yang kebetulan ditemukan.
Lekas sekali beberapa hari telah berselang. Hari itu Siangkoan Bu memasuki sebuah lembah dipegucungan Ceng-king san, di tengah malam yang dingin baru dia berhasil menemukan bahan-bahan obat yang diperlukan, jadi bahan-bahan obat yang diperlukan sudah lengkap seluruhnya, dengan rasa senang segera dia berlompatan sambil lari mengembangkan Ginkang mau meninggalkan lembah dingin itu pulang kerumah.
Tiba-tiba gelak tawa seram berkumandang dari atas jurang dan mengalun ditengah malam gelap ini bergema didalam lembah, kontan Siangkoan Bu menghentikan langkah sambil bersuara heran.
Karena ketarik, dan ingin tahu apa yang terjadi, segera dia putar haluan, melesat terbang kearah datangnya suara. Tawa aneh itu masih berkumandang dari atas jurang. Di kala Siangkoan Bu mencapai suatu ketinggian dan hinggap di atas batu cadas yang menonjol, begitu dia mendongak, kebetulan dilihatnya sesosok bayangan orang jungkir balik melayang jatuh dari atas.
Sebagai tabib tugas nya mendong jiwa orang, dalam keadaan gawat ini Siangkoan Bu tidak pikir panjang lagi, tanpa peduli siapa yang jatuh segera dia samber bayangan jatuh itu terus dibawa lompat jauh beberapa kali lenyap dibawah sana.
Tanpa sengaja tabib pendekar Siangkoan Bu telah mendong jiwa Pakkiong Yau-Liong yang nekad menerjunkan diri kedalam jurang karena terancam oleh Tok-ni-kau-hun Ni Ping ji yang kejam dan telengas itu. Mungkin ajal Pakkiong Yau-Liong memang belum saatnya, setelah disiksa sedemikian rupa dan nekad ingin bunuh diri terjun kejurang, secara kebetulan dia justru ditolong oleh Siangkoan Bu.
Setelah membawa lari Pakkiong Yau-Liong cukup jauh, dibawah sebuah pohon dia berhenti serta menurunkan Pakkiong Yau-Liong yang kurus tinggal kulit membungkus tulang, maklum setelah disiksa sedemikian rupa keadaannya memang amat mengenaskan, dia masih pingsan-
Bau apek. amis yang memualkan merangsang hidung Siangkoan Bu, keadaan orang yang ditolongnya ini memang teramat menyedihkan, sesaat lamanya Siangkoan Bu menjublak kaget ditempatnya.
Rambut Pakkiong Yau Liong terurai panjang, kusut masai, kulit mukanya membesi hijau, tulang dipundak sebelah kiri menongol keluar, luka-lukanya mumur, pakaiannya dekil dan sobek tak karuan, berlepotan darah, sepuluh jarinya melepuh besar berwarna biru, darah masih meleleh dari mulutnya, mata nya cekung, bibirnya pecah-pecah kering, keadaannya mirip mayat hidup, siapapun tidak tega melihat keadaannya.
Bau yang kurang sedap merangsang hidung Siangkoan Bu dari badan Pakkiong Yau-Liong. Cinta kasih kepada sesamanya adalah sifat manusia, apalagi Siangkoan Bu sebagai Tabib pendekar yang sudah memperoleh nama harum di kalangan Kangouw.
Lekas dia memeriksa keadaan Pakkiong Yau-Liong, luka-luka disepuluh jarinya, luka-luka dipundak dengan tulang nya yang parah, denyut nadinya yang sudah teramat lemah, seperti jantungnya akan berhenti berdetak sewaktu-waktu.
Siangkoan Bu yakin bahwa orang yang tidak dikenalnya dengan keadaan tubuh yang mengenaskan inipasti mengalami siksaan yang luar biasa, malah kehilangan darah terlalu banyak sehingga keadaannya teramat lemah.
Bertaut alis Siangkoan Bu, beberapa kali dia menghela napas sambil geleng-geleng mengingat nasib orang yang tersiksa sesadis ini, tak pernah terbayang dalam ingatannya bahwa di dunia ini ada juga manusia sekejam dan setelengas ini, menyiksanya begini rupa.
Maka dia berkeputusan untuk menolong orang asing ini, malah dia sudah berjanji, untuk mencurahkan segenap kemahirannya, dengan tekun merawat dan mengobati sampai sembuh.
Dari kantongnya dia keluarkan botol obat lalu menjejalkan dua butir Kui-goan-sia-tan kemulut Pakkiong Yau-Liong. Dengan hati- hati dia membopong Pakkiong Yau-Liong yang pingsan terus dibawa pulang.
Layap-layap Pakkiong Yau liong mulai sadar, pelan-pelan setelah agak lama kemudian dia membuka pelupuk matanya. Samar-samar tampak olehnya sinar rembulan menyorot masuk dari jendela, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang empuk di dalam kamar sederhana yang bersih, rasanya nyaman dan nikmat.
Pakkiong Yau-Liong merasa dirinya dalam impian, maka dia menggumam: "Di manakah aku ini, tidak mirip diakhirat."
Tiba-tiba dia mendengar cekikik tawa geli yang lirih tapi merdu. Lekas Pakkiong Yau-Liong berpaling, matanya yang masih redup dan samar-simar terbuka lebar, tampak diambang pintu berdiri seorang gadis belia berusia enam belasan, berwajah bundar telur, tubuh nan semampai dengan gaun panjang serta baju sari menjuntai pula, cantiknya seperti bidadari, gadis ayu ini sedang mengawasi dirinya dengan senyumnya yang manis.
Gadis ini bukan lain adalah putri tunggal Siangkoan Bu dengan Tok-Liong-sian-li yaitu Siangkoan Ceng. begitu sorot matanya bentrok dengan pandangan Pakkiong Ytu-Liong, lekas dia melengos dengan wajah merah malu, maklum gadis pingitan yang belum pernah keluar rumah,jarang bergaul lagi, lekas ia berlari keluar.
Pakkiong Yau-Liong makin bingung dan heran, batinnya: "Jelas disini bukan akhirat, lalu tempat apa?" tengah berpikir, tiba-tiba terasa luka-luka di tubuhnya sudah dibalut dan diobati, rasa sakit telah lenyap. dengan haru hatinya berteriak: "Apakah aku belum mati..." dia meronta hendak bangun, tapi sendi-sendi tulangnya terasa linu seperti ditusuk jarum, badanpun lunglai tak bertenaga, dia mendapatkan rambutnya yang tersisir rapi wajahnya tercuci bersih, pakaiannyapun telah diganti, Maka dia yakin bahwa dirinya telah ditolong orang.
Pakkiong Yau-Liong bingung, tak tahu apakah perasaannya sekarang senang atau berduka? Hambar atau rawan? Pendek kata dia sudah yakin bahwa dirinya masih hidup, suatu ketika kelak dia masih mampu mencari Toh bing sik-mo untuk menuntut balas, demikian pula membalas siksaan Tok-ni-kau-hun Ni ping-ji, bukan melulu untuk dirinya, juga menuntut bagi perempuan tidak berdosa yang ajal karena berusaha menolong dirinya.
Tiba-tiba di luar didengarnya langkah mendatangi, maka masuklah Tabib pendekar Siangkoan Bu sambil tersenyum ramah. begitu Siangkoan Bu tiba dipinggir ranjang, sebelum orang bersuara Pakkiong Yau-Liong sudah berusaha bangkit dan berkata: "Cianpwe ini tentu orang yang telah menolong jiwa Pakkiong Yau-Liong, budi pertolongan Cia npwe atas pertolongan kali ini, aku..."
Sebelum Pakkiong Yau liong berkata habis Siangkoan Bu sudah menekan Pakkiong tidur lagi, sebelah tangannya digoyang mencegah dia banyak bicara. Katanya. "Tak usah rikuh atau sungkan, kondisi badanmu teramat lemah, kau harus banyak istirahat cukup lama."
Pakkiong Yau-Liong ditekan tidur pula, mendengar perkataan orang, mulut yang sudah terbuka urung bicara, tak tahu bagaimana dia harus menghaturkan terima kasih.
Dengan tertawa Siangkoan Bu berkata: "Kalau dibicarakan mungkin kau bukan terhitung orang luar, waktu aku menukar pakaianmu tadi, kutemukan ruyung lemas singa emas senjata tunggalmu itu, kukira kau punya hubungan erat dengan Biau-hu Suseng."
Pakkiong Yau-liong manggut2, katanya. "Betul beliau adalah guru Wanpwe yang berbudi luhur." "Nah, betul dugaanku,jadi kau bukan orang luar lagi. Saat aku memanggilmu Hian-tit saja. Aku bernama Siangkoan Bu, waktu mudaku meski tidak kental hubunganku dengan gurumu, tapi gurumu pernah memberi bantuan berharga sehingga aku berhasil menyempurnakan diri, entah bagaimana keadaannya sekarang?"
Pakkiong Yau-liong menghela napas, lalu katanya: "Sayang beliau sudah meninggal setahun yang lalu."
Siangkoan Bu melengak, akhirnya menghela napas panjang.
Tiga puluh tahun yang lampau, waktu itu Siangkoan Bu masih bujangan dan baru saja terjun diBulim, belum ada setahun dia sudah mendapat nama dan diagulkan para pengagumnya, masih muda mendapat kedudukan terhormat, adalah jamak kalau Siangkoan Bu menjadi tinggi hati.
Dalam suatu pertemuan dengan kaum persilatan, mereka membicarakan Biau-hu Suseng, tokoh lihay yang mendapat julukan jago nomor satu di seluruh Bulim masa itu, sudah tentu Siangkoan Bu kurang senang bahwa seseorang lebih tinggi, lebih besar namanya dari dirinya, sejak hati itu diam-diam dia berupaya untuk menjajal kepandaian Biau-hu Suseng siapa lebih unggul di antara mereka.
Maka kemana-mana dia pergi mencari jejak Biau-hu Suseng, karena usahanya tidak berhasil dia menyiarkan tekad hatinya di hadapan umum, bahwa dia ingin bertanding melawan Biau-hu Suseng. Malah dia menentukan waktu dan tempatnya.
Sudah tentu aksinya menimbulkan kegemparan diBulim, kaum persilatan dari aliran putih atau golongan hitam sama memperbincangkan berita besar ini, orang banyak ingin tahu dan menyaksikan pertandingan besar dari dua jago pendekar yang sama sama mempunyai reputasi baik dan besar dikalangan persilatan, yang ditentukan Tabib pendekar Siangkoan Bu telah tiba.
Eatah betapa banyak pendekar, orang-orang gagah dan gembong-gembong penjahat yang ternama datang kekota Pakkhia. Waktu yang ditentukan adalah tanggal sembilan bulan Sembilan malam menjelang hari raya cong yang, mereka akan bertanding di Koh-Siok bok dibiara pintu barat kota, Pakkhia.
Siapa tidak ingin menyaksikan duel dua Harimau yang erkepandaian tinggi. Seorang adalah Tabib pendekar Siangkoan Bu yang belum genap setahun menggetar dunia persilatan, lawannya adalah Biau-hu Suseng yang diakui sebagai jago nomor satu diseluruh jagat oleh selapisan kaum persilatan.
Tanggal 9 bulan sembilan malam, bulan sabit di atas largit menerangi Koh-jiok boh sepuluh li diluar pintu barat kota Pak khia, letaknya diujuug hutan bambu yang rimbun dan rungkut.
Di tengah Koh-Siok-boh terdapat sebidang tanah lapang seluas tiga puluhan tombak, dimana penuh sesak manusia yang berjubel,jumlahnya ada ratusan orang. Mereka adalah kaum persilatan yang ingin menyaksikan pertandingan, suasana masih ribut oleh pembicaraan ramai dari hadirin yang masing-masing menjagoi orang yang diagulkan, tidak sedikit pula yang bertaruh dari nilai keCil sampai jumlah yang laksaan tail banyaknya.
Tapi tunggu punya tunggu, tidak terasa hari sudah menjelang kentongan kedua, bukan saja Biau-hu Saseng tidak muncul, malahan Tabib Pendekar Siangkoan Bu yang menyiarkan berita tentang pertandingan inipun tidak kelihatan bayangannya.
Ditengah keributan orang banyak. sang waktu terus berlalu, hadirin jadi menebak-nebak. apa yang bakal terjadi, bulan sabit sudah semakin doyong kebarat kentungan ketiga sudah jelang.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang melesat terbang dengan kecepatan luar biasa, hanya sekejap bayangan itu sudah meluncur keatas Ko-tiok-boh, kecepatan geraknya dan gayanya yang gemulai indah mengejutkan seluruh hadirin, dengan pandangan mendelong mereka mengawasi pendatang ini.
Yang berdiri ditengah gelanggang adalah seorapg pemuda berusia dua puluh tahunan, berwajah tampan, gagah, berpakaian ringkas, kancing putih berderet didepan dada, itulah pakaian yang peranti dibikin khusus bagi kaum pesilat, pemuda tampan ini menggendong pedang lima kaki dipunggungnya, gerak-geriknya begitu menarik sehingga perhatian seluruh hadirin ditujukan kepadanya, suara ribut sirap seketika.
Yang datang ini bukan lain adalah Siang koan Bu. Pandangannya yang jumawa menyapu pandang keseluruh hadirin, dengan senyum lebar menghias wajahnya, segera dia merangkap kedua tangan menjura keempatpenjuru, dengan suaranya yang lantang berbicara:
"cayhe (aku yang rendah) Siangkoan Bu, entah apa kemampuanku, sehingga tuan-tuan sekalian sudi datang dari tempat jauh, biarlah setelah pertandingan nanti usai, akan kuhaturkan banyak terima kasihku akan kehadiran tuan-tuan."
Nada bicaranya terasa sombong, sikapnya juga jumawa, tidak sedikit yang menggeleng sambil menghela napas. Habis bicara Siangkoan Bu membusung dada, sorot matanya semakin Cemerlang, katanya lantang sambil berputar tubuh:
"Kentongan ketiga sudah tiba, Biau-hu Suseng yang kutantang kemari seharusnya sudah datang,jikalau dia sudah berada di antara hadirin, silahkan keluar memberi petunjuk, supaya hadirin tidak terlalu lama menunggu."
Tapi ratusan hadirin tiada Satupun yang bergerak. tiada yang bersuara, SuaSana menjadi hening Siangkoan Bu menyapu hadirin pula dengan sorot tajam, ditunggu beberapa kejap tetap tiada sambutan, apa boleh buat, diba-wah tontonan orang banyak terpaksa Siangkoan Bu mundur kesamping.
Bulan sabit sudah semakin doyong kebarat, hadirin mulai bisik- bisik lagi, kentongan ketiga sudah lewat. Siangkoan Bu yang menyingkir kepinggir makin tidak enak perasaannya, pikirnya: "Mungkinkah dia tidak mendengar atau menerima tantanganku yang kusebar luaskan dikalangan Kangouw? Ah tidak mungkin ? Sejak bulan empat sampai sekarang ada lima bulan lamanya, setiap kaum persilatan yang berkecimpung dikalangan Kangouw tiada yang tidak tahu akan tantanganku kepada Biau-hu Suseng, mana mungkin dia tidak tahu menahu tentang tantangan duelku itu ? Kalau dia mendengar, sebagai jago top yang disanjung puji, pesilat nomor satu dijagat ini, apapun yang terjadi, mana berani dia mengabaikan tantanganku dan tidak berani muncul didepan umum.
Begitulah batin Siangkoan Bu dengan lamunannya, hadirin masih bisik-bisik, suasana seketika ribut, yang bertabiat kasar malah ada yang mengumpat caci, namun tidak sedikit pula yang diam-diam tinggal pergi.
Kentongan keempat. Bagi mereka yang tidak punya kerja dan tertarik akan pertandingan masih menunggu dengan penuh harapan, padahal yang berlalu sudah setengah lebih.
Hadirin tahu Biau-hu Suseng bukan orang yang takut menghadapi persoalan, dalam keadaan seperti ini, siapapun meski menyadari Kungfu sendiri bukan tandingan Siangkoan Bu juga pasti berani mempertaruhkan jiwa raga menempur Siangkoan Bu, apalagi Biau-hu Suseng yang diagulkan sebagai jago nomor satu di seluruh Bulim.
Hembusan angin malam nan dingin menggontai hutan-hutan bambu sehingga mengeluarkan suara lirikan yang mengerikan, hadirin kedinginan dan mengkirik juga oleh suasana yang seram ini.
Kalau hadirin masih ada yang sabar menunggu, adalah Tabib Pendekar Siangkoan Bu tidak betah lagi, dia tahu bahwa Biau-hu Suseng memperoleh julukan setinggi itu tentu memiliki kepandaian yang sejati. Kalau kenyataannya memang demikian, tidak mungkin dia jeri menghadapi dirinya, lalu kenapa dia tidak memenuhi tantanganku ? Pasti dia meremehkan diriku, dia tidak mau datang karena dla menghina dan mengecilkan arti tantanganku.
Entah dari mana datangnya pikiran tidak sehat itu, yang jelas hati Siangkoan Bu sudah mulai dirundung pikiran yang kacau. Akhirnya dengan gusar dia membanting kaki. tiba-tiba dia berkelebat melompat ketengah arena pula serunya lantang sambil angkat kepalanya:
"Biau-hu Suseng tidak mau datang memenuhi tantanganku, mungkin karena Kungfuku masih terlalu rendah, maka dia tak sudi memberi petunjuk kepadaku. Maaf kepada hadirin bahwa kedatangan kalian sia-sia, maka sudilah menerima maafku ini."
Lalu dia menjura keempat penjuru, habis itu dia membusung dada pula, serunya: "Tapi mohon bantuan hadirin supaya menyampaikan kepada Biau-hu Suseng bila ketemu, katakan kepadanya sejak hari ini sebelum aku berduel dengan dia menentukan siapa hidup siapa mati dengan dia, aku bersumpah tak akan bercokol dibumi ini." kata-katanya tandas dan tegas, agaknya tekadnya sudah teguh, habis bicara segera dia meninggalkan tempat itu.
Diantara hadirin yang ikut kecewa dan siap-siap pergi, tiba-tiba seseorang menghela napas panjang, sekejap tampak sinar matanya memancar, tapi lekas sekali sudah sirna tak berbekas, sekali berkelebat tahu-tahu dia sudah melompat kesamping Siangkoan Bu, sambil menjura dia menyapa kepada Siangkoan Bu.
"Siangkoan Siauhiap. sudah lama Lo-han mendengar Kungfumu lihay dan jiwamu yang pendekar, hari ini sudah ku bUktikan sendiri. Bahwa kau sudah berada di sini, maka Lo-han yang tidak berguna ini ingin mohon petunjukmu sejurus setelah hadirin pergi seluruhnya, entah Siauhiap (pendekat muda) sudi memberi petunjuk kepada Lo-han (aku orang tua)."
Siangkoan Bu serba salah, tapi sikap dan cara orang tua dihadapannya ini begini tulus dan sungguh-sungguh, dia jadi bimbang dan ragu-ragu, sekilas dia melirik orang tua ini.
Orang tua itu tidak sungkan lagi katanya lagi: "Siauhiap tidak usah bimbang aku sudah tua, kaki tanganku sudah tidak selincah masa muda dulu, tapi aku masih mampu berkelahi. Nah, sambutlah pukulanku."
Tiba-tiba kedua tangan melintang didepan dada, tangan kanan berputar satu lingkar, tangan kiri menyodok keluar dari tengah menepuk dada Siangkoan Bu. Gayanya aneh, serangannya lucu, hakikatnya bukan serangan seorang pesilat yang mahir Kungfu, namun telapak tangan yang disodok maju perlahan ternyata mengandung tenaga berat dan besar.
Masih ada belasan orang yang ketinggalan, jadi urung meninggalkan tempat itu, mereka membatalkan niat semula mau pergi, dari kejauhan mereka menonton dengan keheranan-
Siangkoan Bu berpikir: "Kakek tua ini kenapa tidak tahu aturan ?" sembari berpikir sudah timbul niatnya hendak balas menyerang tapi suatu pikiran lain berkelebat dalam benaknya: "Kalau Siangkoan Bu menanggapi tantanganmu, menangpun aku tetap malu, lebih celaka lagi kaum persilatan akan mentertawakan diriku, dikatakan aku hanya berani menganiaya seorang kakek belaka." karena itu ketika tangan, yang bergerak dan terangkat itu lekas ditarik pula, berbareng kakinya bergerak secepat kilat dia meluputkan diri dari tepukan lawan-
Ternyata kakek ini tidak tinggal diam, mendapat angin dia malahan mendesak lebih lanjut, tangan yang menepuk kedepan tetap menjulur lurus bergerak mengikuti gerak-gerik Siangkoan Bu, sementara telapak tangan yang lain ikut menepuk pula secara bergantian-Kali ini bukan saja serangannya aneh, jurus serangannya juga amat mengejutkan.
Apapun Siangkoan Bu tidak pernah menyangka bahwa kakek tua ini bisa merobah permainan secepat dan selihay ini, yang diincarpun sasaran yang mematikan, saking kaget dan meraung gusar, sebat sekali dia memiringkan tubuh sambil menyingkir kesamping. Untung masih sempat meluputkan diri dari serangan kedua tangan sang kakek.
Agaknya amarah Siangkoan Bu terbakar, kini dia tidak hiraukan akibatnya pula, tangan kanan segera bergerak dengan Thian-hing- kay-thay (langit terbentang membuka bukit) telapak tangannya menampar ke muka si kakek. Serangan balasannya ternyata tak kalah lihay tenaganya malah kuat dan besar.
Sudah jelas kakek tua ini bakal pecah batok kepalanya oleh pukulan telapak tangan Siangkoan Bu. Tapi, tampak kakek tua itu seperti terlalu besar menggunakan tenaganya sehingga serangannya tak mampu ditarik balik langkahnya tersuruk maju sehingga dia jatuh terjerembab, secata kebetulan dia selamat dari tepukan telapak tangan Siangkoan Bu.
Pelan-pelan kakek itu merangkak duduk lalu berbangku sambil menghela napas, katanya menjura kepada Siangkoan Bu : "Siauhiap memang lihay Kungfunya, aku orang tua amat kagum." lalu dia menunduk dan menggumam sendiri. "Maklum sudah tua, tak berguna lagi.."
Geli campur jengkel juga Siangkoan Bu dibuatnya mendengar gumam orang. Biau-hu Suseng tidak datang telah membuatnya keki dan tidak redam panas penasarannya, namun dia tidak ingin ribut- ribut, sekali berkelebat dia melesat pergi dengan gerak tubuh laksana mengejar angin.
Orang-orang yang ingin melihat keramaian itu pun, segera hengkang dari tempat itu. Tinggal kakek tua itu saja yang masih geleng-geleng sambil menghela napas, lalu berdiri terlongong.
Angin tetap berhembus, daon-daon bambu melambai, dahannya yang bergesek masih mengeluarkan suara kerikan yang mengerikan. Mendadak kakek tua itu melompat berdiri, lalu mencopot kedok yang menutupi mukanya, demikian pula rambut palsu diatas kepalanya.
Maka kakek tua yang semula ubanan kini berobah menjadi laki- laki gagah, tampan berusia empat puluhan, dia bukan lain adalah Biau hu Suseng jago silat nomor satu yang diakui dunia persilatan.
Sejenak Biau-hu Suseng geleng-geleng kepala lalu mengerutkan kening, sekejap mengawasi telapak tangan sendiri, akhirnya dia menjejak tanah, tubuhnya seringan asap melenting kepucuk pohon bambu, dengan sekali pantulan tubuhnya kembali melesat tujuh tombak jauhnya .
Itulah Ginkang kebanggaan Biau-hu Suseng yang sudah terkenal dikalangan persilatan, namanya Yanteng-hua siang-in (asap bergolak diatas mega). Hanya beberapa kali lompatan, lekas sekali bayangannya telah lenyap dari pandangan mata.
Setelah meninggalkan Koh-tiok-boh langsung Siangkoan Bu kembali ke Pakkhia dengan kecepatan Ginkangnya, karena Biau-hu Suseng hatinya amat kecewa dan hambar, heran tapi juga benci serta gegetun lagi, segala perasaan campur aduk dalam hatinya.
Layap-layap dia merasa aneh akan tingkah laku kakek tua yang ingin menjajal kepandaiannya tadi, namun hatinya sedang kacau maka dia tidak pikirkan kejadian tadi. Lekas sekali dia sudah memasuki pintu barat kota Pakkhia, langsung kembali kehotelnya.
Pelan-pelan dia mendorong daon jendela terus melompat masuk. Dia tarik napas dalam-dalam lalu menggeliat, badannya amat capai dan lesu, tanpa buka pakaian dia sudah siap merebahkan diri keatas ranjang.
Mendadak dia menjerit kaget, mukanya berobah pucat seketika, matanya pun terbeliak. cahaya rembulan menyorot masuk dari jendela yang masih terbuka, dengan jelas dia melihat diatas meja di kamarnya menggeletak tiga buah kancing putih yang menindih secuil kertas putih pula.Bahna kejutnya Siangkoan Bu membatin.
"Bukankah itu kancing bajuku?" lalu dia menunduk memeriksa bajunya, dia kehilangan tiga buah kancing.
Bahna gusar dia renggut ketiga buah kancing dan lampiran kertas itu serta membebernya, tinta tulisan dalam kertas ini masih belum kering seluruhnya, dimana dia membaca: "Ditujukan kepada Siangkoan Siauhiap yang terhormat. Bukan soal mudah untuk memperoleh gelar "Pendekar", untuk menghancurkan nama baik justru segampang membalik telapak tangan, segala sesuatunya harap dipikirkan lebih matang sebelum bertindak, janganlah bekerja mengikuti adat atau di buru nafsu melulu. Salam dari Biau-hu Suseng."
Luluh hati Siangkoan Bu dengan lesu dia menunduk kepala, meski gusar dan malu, tapi dia menyadari kekhilafan dan kebodohan sendiri, hatinya jadi maklum, dengan bekal Kungfunya sekarang, ternyata dia bukan tandingan Biau-hu Suseng yang menyamar kakek tua dan berhasil mencopot tiga buah kancing bajunya tanpa dia sendiri menyadari.
Demikian pula Ginkang sendiri yang rasanya sudah tinggi juga bukan apa-apa dibanding Ginkang Biau-hu Suseng, buktinya orang bisa tiba lebih dulu sempat tulis surat segala.
Maka sadarlah Siangkoan Bu bahwa kaUm pendekar di kalangan Kangouw yang berkepandaian tinggi memang tidak terhitung banyaknya, dengan kemampUannya sekarang, di banding dengan Biau-hu Suseng, ternyata masih jauh sekali, mau tidak mau peristiwa ini telah menjadikan Siangkoan Bu patah semangat.
Syukurlah pikirannya masih sehat, setelah redahawa amarahnya, dia maklum dan menyelami usaha baik Biau hu Suseng untuk menginsyafkan dirinya, maka tak terlukiskan betapa haru dan terima kasihnya terhadap budi luhur dan jiwa besar Biau-hu Suseng yang telah mempertahankan karier dan nama baiknya, sejak itu meski tidak pernah ketemu lagi, tapi dalam sarubarinya amat mengagumi dan menaruh hormat setinggi-tingginya tethadap Biau-hu Suseng.
Sejak peristiwa itu untuk beberapa lamanya dia melanglang- buana mencari jejak Biau-hu Suseng, bukan ingin menantang duel lagi, tapi untuk mengikat persahabatan, mohon petunjuk dan menyatakan terima kasihnya akan budi kebaikannya.
Tapi telah puluhan tahun sampai sekarang, tidak pernah dia bertemu lagi dengan Biau-hu Suseng, namun bahwa Biau-hu Suseng telah mempertahankan reputasinya dikalangan Kangouw, selama hidup tak akan terlupakan olehnya.
Kini dari badan pemuda yang ditolongnya ini dia mendapatkan senjata khusus yang dahulu dia sering dengar adalah gaman Biau- hu Suseng yang tunggal, maka tahulah dia bahwa pemuda yang sudah sekarat dan harus di tolongnya ini pasti punya hubungan erat dengan Biau-hu Suseng yang dipujanya dulu.
Sudah tentu bukan kepalang senangnya hati Siangkoan Bu, tak nyana setelah Pakkiong Yau-Liong ditolongnya hingga siuman, setelah tanya jawab berlangsung, baru dia tahu bahwa Biau-hu Suseng yang dipujanya itu ternyata sudah meninggal dunia, betapa hatinya takkan rawan dan pilu ?
Namun secara tak langsung dia sudah menolong murid Biau-hu Suseng, berarti suatu imbalan juga bagi kebaikan Biau-hu Suseng dulu kepadanya, maka dia berkeputusan untuk berusaha semaksimal mungkin menolong pemuda yang sudah kronis keadaannya itu sebagai imbalan budi kebaikan Biau-hu Suseng atas pemuda yang satu ini. Setelah menghela napas, dia berkata:
"Tanpa terasa tiga puluh tahun telah berselang, sungguh tak nyana bahwa beliau telah meninggal, Hian-tit (keponakan), bolehlah kau merawat luka-lukamu disini dengan tenang. Anggaplah tempat iniseperti rumahmu sendiri, entah bagaimana Hian-tit bisa mengalami nasib seburuk ini. "
Tanpa terasa Pakkiong Yau Liong menarik napas panjang, maka dia tuturkan seluruh pengalamannya kepada tuan penolongnya ini.
Tiba-tiba Siangkoan ceng melangkah masuk sambil membawa semangkok obat yang masih panas mengepulkan asap putih, sekilas dia pandang Pakkiong Yau-Liong, lalu berkata lirih kepada Siangkoan Bu: "Ayah, obatnya sudah kumasak."
Maka sejak hari itu Pakkiong Yau-Liong menetap dirumah Tabib sakti atau Siangkoan Bu, meski hati merasa rikuh, tapi apa boleh buat, karena kondisi badannya memang teramat lemah dan dia perlu perawatan yang teliti. Berkat pengobatan Siangkoan Bu yang telaten dan cermat, meski keadaan Pakkiong Yau-Liong teramat parah, sebulan kemudian kesehatannya sudah memperoleh banyak kemajuan-
Malam telah larut, bunga salju tampak bertaburan diangkasa. Rebah diatas ranjang, entah mengapa Pakkiong Yau Liong tidak bisa pulas, hatinya risau, dia menghela napas panjang.
Dendam kesumat, budi pertolongan, entah kapan baru dia bisa membalasnya, walau kesehatannya sudah sembuh, tapi dia masih merasakan kondisi badannya masih teramat lemah, lebih prihatin lagi karena Kungfunya sudah sekian lama terbengkalai.
Tiba-tiba sebuah pikiran menggelitik sanubarinya, pelan-pelan dia menyingkap selimut dan mengenakan baju lalu beranjak perlahan- lahan keluar rumah.
Diluar kamarnya adalah sebuah pekarangan kecil dalam lingkungan rumah besar, air dalam empang sudah membeku dan dilapisi salju, beberapa pucuk pohon sakura tampak mekar dan mengeluarkan bau harum semerbak.
Salju masih terus melayang-layang di angkasa, hawa sedingin ini, semua orang tentu sudah tertidur lelap. suasana hening lelap. Tiba- tiba Pakkiong Yau-Liong menggigil kedinginan, hembusan angin lalu membawa harum bunga ternyata tidak kuat lagi ditahannya, tapi tanpa hiraukan keadaan sendiri dia melangkah ketengah pekarangan.
Di tengah taburan kembang salju, pelan-pelan Pakkiong Yau- Liong mengerahkan hawa muminya, lalu dia mulai menggerakkan tubuhnya pelan-pelan, Kungfunya memang sudah lama terbengkalai, maka dia merasa perlu untuk mulai latihan lagi, tapi baru dua tiga jurus, napasnya sudah mulai memburu, terasa betapa berat dia menggunakan tenaga, tetapi dengan tersenyum dia tetap latihan seorang diri. Entah kenapa perasaan lama kelamaan menjadi longgar, hatinya riang dan gembira.
"Bluk" tiba-tiba Pakkiong Yau-Liong tersungku rjatuh ditanah bersalju. Dalam waktu sekejap itulah, sesosok bayangan tampak berkelebat memburu kesamping Pakkiong Yau-Liong terus memapahnya bangun.
Seketika hidung Pakkiong Yau-Liong di-rangsang oleh bau yang menyegarkannya, jelas bukan harumnya kembang sakura, tapi bau wangi yang tidak bisa dia bayangkan, karena bau wangi itu seolah- olah membuatnya mabuk dan menimbulkan rasa romantis.
Pakkiong Yau-Liong menarik napas serta mengaturnya pelan- pelan, lalu dia angkat kepalanya dan seketika dia berdiri melenggong. orang yang memapahnya bangun ternyata memiliki seraut wajah nan molek. terutama sepasang bola matanya yang bening, seperti mata yang bisa berbicara saja, bola mata yang sudah terukir dalam sanubarinya dan tak akan terlupakan selama hidup,
Dia bukan lain adalah gadis cantik yang pernah dilihatnya malah melabraknya dengan sengit waktu di ceng-hun kok saat Pakkiong Yau-Liong menyamar Toh-bing-sik-mo, yaitu Tio Swat-in, gadis berbakti yang ingin menuntut balas kematian ayahnya.
Sesaat Pakkiong Yau-Liong menatapnya lekat-lekat, beberapa kali mulutnya terbuka, tapi hanya kuasa mengucapkan separah kata. "Kau..."
Dia mengangguk perlahan, ujung bibir-nya yang mungil mengulum senyum manis, senyum yang menggiurkan. pada detik itulah tanpa terasa empat tangan saling genggam, meski gemetar tapi makin kencang dan erat.
Dua sejoli yang mengalami nasib sama, penderitaan yang sama pula, sehingga berpadulah perasaan yang sukar dilukiskan itu serta menarik rasa simpati satu dengan yang lain- Dan kini nasib mempertemukan mereka pula ditengah malam hujan salju ini, segala sesuatunya seperti sudah diatur, betapa murni dan tulus, serta agung tali asmara telah memadu hati mereka, sama-sama meresap dalam lubuk hati mereka yang paling dalam.
Entah bahagia atau malapetaka bakal menimpa mereka dalam menghadapi hari-hari yang bakal menjelang ini? Nasib tidak mungkin dijangkau oleh manusia dan tidak bisa diramaikan sebelumnya, siapapun tak akan perduli juga tidak mau memikirkannya didalam suasana yang semesta ini, karena semua itu hanya akan memeras keringat dan merisaukan hati belaka.
Lekas sekali musim dingin telah berlalu, musim semi nan indah permai dan sejuk telah tiba. Pagi itu sang surya memancarkan cahaya nan cemerlang menerangi jagat raya, suasana hangat menjalar dalam sanubari setiap insan kehidupan didunia ini. Dua bayangan orang tampak bergerak dipegunungan Ai-lo-san diwilayah In-lam, mereka meluncur dari dalam hutan menuju kearah timur. Seorang pemuda berusia dua puluh satu, walau badannya kelihatan agak kurus, tapi tampangnya kelihatan gagah dan ganteng. Temannya adalah seorang gadis belia berusia tujuh belasan, punggung mereka menggendong pedang, sehingga tampak betapa perkasa dan gagah mereka.
Mereka bukan lain adalah Pakkiong Yau-Liong dan Tio swat- in- Wajah mereka kelihatan kotor berdebu, pakaian lusuh, kelihatan amat lelah secelah melakukan perjalanan jauh.
Kira-kira dua bulan yang lalu, meski kesehatan Pakkiong Yau- Liong belum sembuh seluruhnya, tapi tekad menuntut balas membakar hatinya, meski Siangkoan Bu sua mi isteri menahan serta membujuknya, tapi tekad Pak klong Yau-Liong sudah teguh, maka mereka mohon diri dan berpisah dengan tuan penolong mereka, tanpa menghiraukan perjalanan jauh meluruk ke Biau-kiang hendak mencari jejak Toh-bing-sik-mo untuk menuntut balas kepada musuh besar mereka bersama.
Kini mereka sudah berada di Ai lo-san daerah suku Biau, tidak jarang mereka mencari tahu kepada penduduk setempat, sayang karena bahasa yang tidak sama sehingga sukar mereka berkomunikasi dengan orang-orang yang ditanyai.
Belasan hari sudah lalu, kelompok demi kelompok, gua demi gua sudah mereka jelajahi, tapi sukar mereka menemukan jejak Toh- bing-sik-mo sulit pula mendapat keterangan dari mulut orang-orang Biau.
Kini mereka sudah tiba diperbatasan yang membatasi kehidupan suku suku Biau yang masih liar dengan suku Biau yang sudah mengenal hidup baru bermasyarakat dengan dunia luar, di daerah suku Biau yang terisolir ini, hakikatnya Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat- in asing sama sekali, mereka hanya tahu menjelajah dan menjelajah dari utara ke selatan, dari barat kembali ketimur, mencari dan mencari terus tidak kenal lelah, tak pernah mereka berputus asa, walau sejauh ini mereka belum memperoleh berita apapua atau menemukan jejak musuhnya.
Keyakinan teguh menghayati mereka, kalau ucapan Ni Ping-ji dapat dipercaya, mereka percaya pasti suatu hari mereka dapat menemui musuh besar mereka Toh bing-sik mo.
Setelah menarik napas panjang, mereka duduk istirahat dibawah dinding batu yang berada dlpinggir hutan. Pakkiong Yau-Liong menurunkan buntalan rangsum, tanpa bicara bersama Tio Swat-in mereka makan sekenyang2-nya lalu membuka kantong air serta meneguk air dengan nikmatnya, namun mereka hanya terbatas minum tiga teguk, kantong air merekapun telah kosong.
Saking lelahnya mereka jadi malas bergerak. perut sudah kenyang, rasa dahaga juga teratasi, biarlah sebentar lagi baru mencari sumber air. Maka mereka merebahkan diri dibawah dinding yang sedikit lekuk kedalam, istirahat dengan santai.
Tio Swat-in tidur miring disamping Pakkiong Yau-Liong, dengan senyum manis dia mengawasi Pakkiong Yau-Liong, pelan-pelan dia memejamkan bola matanya yang bundar besar. Angin sepoi-sepoi terasa semilir dan sejuk. rasanya nyaman dan menyegarkan.
Pakkiong Yau- Liong rebah celentang, kedua telapak tangannya menjadi bantal, matanya lurus keangkasa mengawasi gumpalan mega dilangit. Tapi tak ada hasratnya mengikuti perobahan cuaca, perobahan gumpalan mega yang tidak menentu itu.
Otaknya kini sedang berpikir tentang tugas dan beban yang dipikulnya belum tercapai terasa betapa berat dan sukar tugas yang dipikulnya, maklum Toh-bing sik-mo atau Tok-ni-kau hun Ni Ping-ji adalah musuh besar yang sukar dihadapi.
Tapi ..tiba-tiba alisnya bertaut, sorot matanyapun memancarkan sinar khawatir dan rawan-
Bila angin musim semi yang membawa harumnya kembang menghembus lalu membuat badannya yang sudah letih ini seperti luluh dan lunglai saja, maka tanpa disadarinya wajahnya telah mengulum senyum.
Terbayang betapi indah masa depan bersama Tio Swat-in yang kini berada di sampingnya, akan dicari suatu tempat yang bagus membelakangi gunung dipinggir sungai hidup tentram dan bahagia, lepas dan keramaian dunia, hidup rukun sampai tua. ah, betapa bahagia, begitu asyik, manis dan mesra.
Waktu dia menoleh mengawasi Tto Swat-in, pelan-pelan dia genggam jari-jari Tio Swat in, lalu memejamkan mata.
Perjalanan beberapa hari ini memang memakan tenaga dan menguras seluruh kekuatan mereka, istirahat di tempat sejuk dengan pemandangan seindah danpermai ini, tanpa merasa mereka tidur berpelukan dengan nyenyak.
Entah berapa lama mereka tertetap. tiba-tiba suara aneh melengking tajam menggugah Pakkiong Yau-Liong dari mimpinya.
Secara reftek Pakkiong Yau-Liong berjingkrak duduk, dilihatnya Tio Swat-in mendekap mulut dengan gaya setengah tidur menatap ke sela-sela dinding gunung dua tombak disebelah kanan, seekor binatang aneh tengah melata keluar kearah mereka.
Ternyata hari sudah menjelang senja, sang surya masih memancarkan cahayanya yang terakhir sebelum kembali keperaduannya. Tampak binatang aneh itu panjang empat kaki, bentuk mirip katak tapi berkaki enam, seluruh badannya dihiasi bintik-bintik hijau yang benjol-benjol, kepalanya persegi, bola matanya sebesar tinjU, memancarkan cahaya merah, ekornya pendek cuma setengah kaki tampak bergerak pergi datang, dengan tatapan tajam katak puru itu tengah mengincar mereka.
Semakin dekat moncongnya yang besar berwarna merah darah terbuka lebar mengeluarkan suara aneh yang membisingkan, lidahnya yang merah panjang menjulur keluar masuk menyemburkan uap putih, bau amis yang memualkan merangsang hidung. Tidak sedikit binatang aneh beracUn yang pernah mereka saksikan, tapi bentuk aneh dari binatang yang satu ini sungguh teramat ganjil, tanpa merasa mereka merinding dan berdiri bulU kudUknya. Pakkiong Yau-liong tahu bahwa binatang aneh ini pasti beracun jahat.
Ternyata binatang aneh dengan kepala persegi empat bermata tunggal ditengah dengan benjolan hijau yang bertaburan di tubuhnya ini bernama Hwe-to-tan-toh (katak puru beracun api), binatang beracun yang jarang ada dan sukar terlihat, racunnya teramat jahat sekali.
Seribu tahun baru Hwe-tok-tan-toh bersetubuh sekali dan menelorkan sekitar lima puluhan telor, habis bersetubuh katak puru yang jantan pasti mati saking kenikmatan dan kehabisan tenaga, sementara yang betina pasti melalap habis bangkai sang jantan, lalu mencari suatu tempat yang lembab mengeram dua tahun, setelah telurnya menetas maka katak puru betina inipun matilah.
Yang jelas katak puru ini hanya bisa hidup seribu tahun, mungkin yang jantan bisa hidup lebih lama lagi, tapi itu pun ditentukan keadaan dan lingkungannya.
Begitu telur keluar dari rahim induknya terkena angin maka telur itu pun menetas panjang setengah kaki, namun lima puluhan katak puru yang baru menetas itu pasti akan saling bunuh dan caplok hingga tinggal seekor saja yang masih hidup,
Seratus tahun baru katak puru bertambal besar satu kaki panjangnya, dari benjol-benjol daging kasar diseluruh tubuhnya itulah racun jahatnya menguap keluar, binatang atau manusia bila terkena racunnya, dalam jangka sehari kalau tidak terobati, jiwa pasti melayang.
Bila katak puru sudah beusia delapan ratus tahun lebih sukar dihadapi, semburan hawa putih dari mulutnya membawa kadar racun yang jahat, dalam jarak satu tombak dapat melukai orang, hawa panas yang keluar dari badannya, menyebabkan enam tombak disekitar badannya mendekam, tetumbuhan tiada yang bisa hidup subur, semuanya mati kekeringan.
Racun katak puru juga dinamakan racun api, manusia atau binatang yang terkena racun api, badannya akan terbakar dan akhirnya mati kering, begitu ganasnya racun itu bekerja dalam jangka sehari sang korban pasti mati dengan badan menjadi abu, tulang-belulangpun tidak ketinggalan lagi.
Bila usianya sudah mencapai seribu tahun katak puru betina didesak oleh kebutuhan lahiriahnya, secara alamiah badannya akan mengeluarkan bau yang aneh, bila tertiup angin kadar baunya bisa mencapai ratusan li jauhnya. Begitu mencium bau aneh ini, katak puru jantan akan segera meluruk datang meski menghadapi rintangan apapun.
Kalau sekaligus datang dua atau tiga ekor, ketiganya akan bertarung sampat mati, dan pemenangnya akan memiliki si betina.
Bila dalam jangka setahun tidak berhasil mengundang katak puru jantan, maka bau aneh itu masih terus keluar hingga habis sendiri, itu berarti berakhir pula hidup katak puru betina.
Karena seringnya terjadi perebutan dan bunuh membunuh, dituntut oleh keperluan lahiriah pula, maka katak puru ini memang sudah jarang ada dan sukar ditemukan, boleh dikata termasuk binatang aneh yang sudah hampir punah di dunia ini.
Secara tidak terduga, hari ini Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat-in memergoki binatang aneh yang ganas di hutan liar yang tidak pernah diinjak maausia ini, mungkin memang sudah ditakdirkan mereka harus menghadapi petaka ini.
katak puru itui masih terus mengeluarkan suara aneh, asap putih masih terus menyembur dari mulutnya, lidah merah sepanjang satu kaki terus mulur masuk. bola matanya yang bundar tepat ditengah kepalanya yang persegi melotot semakin besar.
Sesaat Pakkiong Yau-Liong dan Tio Swat in sama-sama kaget dan melenggong oleh binatang aneh yang tiba-tiba muncul ini. Saking kaget dan takutnya, serta merta Tio Swat-in menegakkan badan seraya melolos pedang ditangan.
Tapi pada detik yang sama, katak puru masih delapan kaki di depan mereka tiba-tiba menggerakkan kepalanya yang persegi, dimana keenam kakinya memancal, secepat kilat tubuhnya sudah melesat lurus menerjang kearah Tio Swat-in yang sudah melolos pedang.
Bukan kepalang kaget Tio Swat-in lekas dia berkelit sambil miring kesamping, pedang pusaka ditangannnya secara reftek menabas dengan sembilan bagian tenaganya kearah perut katak puru yang menerjang tiba.
Dalam waktu yang sama, tampak sinar emas gemerdep dalam waktu singkat itu Pakkiong Yau-Liong juga sudah mengeluarkan tombak lemasnya, dengan jurus Le-cu kian-kian-toh menusuk ke tenggorokan katak puru, bukan saja serangannya sangat cepat, aneh, tenaga yang dikerahkan juga cukup besar.
-oo0dw0oo-